Anda di halaman 1dari 6

Nama : Aep Saefulloh

NIM : 19210193
Kelas :C
Mata Kuliah : Tarikh Tasyri’
Dosen Pengampu : H. Khoirul Anam, Lc, M.HI
Perihal : Tugas UTS

 Nikah Secara Etimologi:


 Haqiqi: Ad-Dhomu (mengumpulkan)
 Majazi: Al-‘Aqdu (Akad), Al-Wath”u
 Contoh Muskilat:
Jika ada dua sejoli, sebut saja (A dan B), melakukan hubungan biologis
(Zina) saat umur 17 tahun. Ke mudian lahir seorang anak perempuan sebut si
(C). Ketika si C beranjak dewasa (17 thn), si C menikah dengan si Atanpa
diketahui bahwa si C adalah anak A secara biologis. Bagaimana hukum
nikahnya?
1. Boleh, Jika nikah bima’na Al-‘aqdu
2. Tidak boleh, Jika nikah bima’na Al-Wath’u
 Imam Syafi’I memaknai arti nikah adalah Al-‘aqdu
‫ُولدت من نكاح ال من شفاح‬
 Imam Hanafi Memaknai arti nikah adalah Al-Wah’u
An-Nisa;23
 Tafsir bil Ma’tsur : Menjelaskan tafsir ayat dengan ayat lain
1. Tafsir Surat Al-Baqoroh ayat 229
 Asbabun Nuzul:
Berkenaan dengan habibah yang mengadu kepada rosulullah tentang
suaminya yang bernama tsabit bin qais. Rasulullah bersabda: ‘’apakah engkau
sanggup membrikan kembali kebunnya (maskawinnya)?’’ ia menjawab: ‘’ya’’.
Kemudian rosulullah memanggil tsabit bin qais seraya menerangkan pengaduan
istrinya yang akan mengembalikan kebunnya. Maka berkatalah tsabit bin qais:
‘’apakah kebun itu halal bagiku?’’ nabi mejawab: ‘’ya’’. ia berkata: ‘’saya
terima.’’ Kejadian ini membenarkan seorang suami menerima kembali
maskawin yang dikembalikan istrinya sebagai tanda sahnya si istri memutuskan
hubungan perkawinan.’’ (diriwayatkan oleh ibnu jarir yang bersumber ibnu
jurair).
 Talak:
 Ba’in: Sudah terjadi talak 2x maka tidak dikasih kesempatan untuk ruju’
 Raj’I: Boleh ruju’ setelah dicerai 1x, terikat dengan waktu(masa ‘Iddah).
Dan kembali tanpa akad dan mahar yang baru.
 ‫ ثالثة قروء‬:
 Syafi’I : ‫(طهر‬Suci), melihat dari lafadz ‫ قروء‬merupakan isim Mudzakkar
 Selain Syafi’i: ‫حيض‬, melihat dari lafadz ‫ قروء‬merupakan isim mu’anas
 Contoh talaq bidh’i: Ibnu Umar mentalaq istrinya, sedangkan Istrinya dalam
keadaan haid.
2. Surat Al-Baqoroh ayat 223
 Adapun asbab al-nuzul dari Q.S. Al-Baqarah ayat 223 adalah sebagai berikut:
 Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Daud, dan at-Tirmidzi meriwayatkan
dari Jabir, dia berkata, “Orang-orang Yahudi berkata bahwa jika seorang
menggauli istrinya dari arah belakang maka anaknya akan bermata
juling”.
 Maka turunlah firman Allah, “Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka
datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai....”.
 Imam Ahmad dan at-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia
berkata, “Pada suatu hari, Umar mendatangi Rasulullah, lalu berkata,
“Celaka saya wahai Rasulullah! Rasulullah pun bertanya, “Apa yang
membuatmu celaka?, Umar berkata, “Semalam saya mendatangi istri
saya dari arah belakang. Namun Rasulullah tidak menjawab. Lalu Allah
menurunkan ayat, “Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah
ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai....”.
 Lafadz ‫( فأتوا‬gaulilah)
 Lafadz ‫( انّى شئتم‬Arah dari mana semaumu yang kamu inginkan), namun tidak
dalam segala kondisi/memiliki batasan,Diantaranya:
 Tidak dengan cara kekerasan
 Tidak saat Istri haid
 Inti dari ayat: Ayat tersebut merupakan tentangan dari ucapan orang-orang
Yahudi yaitu “Orang-orang yang menggauli Istrinya dari arah belakang maka
akan lahir anak bermata juling”. Kata “Juling” merupakan mitos dan tidak ada
kaitannya dengan seks, mungkin saja karena faktor lain atau memang sudah
ditaqdirkan oleh Allah SWT
3. Surat An-Nisa ayat 19-21
 Pada riwayat ini, Al Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas lalu asy- Syaibani
berkata: “Abul Hasan as Sawai menyebutkannya dan aku tidak memiliki dugaan
yang lain kecuali, penuturan tersebut berasal dari Ibnu Abbas tentang ayat ini.
ٰۤ ” ia berkata: “Dahulu jika seorang
“‫ٓا َء كَرْ هًا‬n‫وا النِّ َس‬nnُ‫ لُّ لَـ ُك ْم اَ ْن ت َِرث‬n‫  يـاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل يَ ِح‬
laki- laki meninggal maka, para walinya lebih berhak atas istrinya. Jika sebagian
dari mereka mau, mereka dapat mengawininya, atau menkawinkannya, atau
membiarkannya. Mereka adalah orang yang paling berhak atas istrinya
dibandingkan keluarganya. Maka ayat ini turun. Perawi yang meriwayatkan ini
diantaranya, Bukhari, Abu Dawud, an Nasai, Ibnu Mardawaih dan Ibnu Hatim.”
 Abu Dawud meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang ayat ini
َ‫ْض َم ۤا ٰاتَ ْيتُ ُموْ ه َُّن اِاَّل ۤ اَ ْن يَّْأتِ ْينَ بِفَا ِح َش ٍة ُّمبَيِّنَ ٍة‬
ِ ‫ضلُوْ ه َُّن لِت َْذهَبُوْ ا بِبَع‬
ُ ‫ا يَ ِحلُّ لَـ ُك ْم اَ ْن ت َِرثُوا النِّ َسٓا َء كَرْ هًا   َواَل تَ ْع‬
Tidak halal bagimu mewarisi wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu
menyusahkannya karena hendak mengambil sebagian dari yang kamu berikan
padanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji secara nyata. Dengan
permisalan sebagai berikut, “Seorang lelaki yang mewariskan istrinya untuk para
kerabatnya maka, ia menghalanginya untuk kawin hingga ia mati atau
mengembalikan maharnya maka, Allah melarang hal tersebut”. Diriwayatkan
hanya oleh Abu Dawud. 
 Ibnu Juraij pun berkata bahwa Ikrimah berkata “Ayat ini turun tentang
Kubaisyah binti Ma’n bin Ashim bin al Aus yang ditinggal oleh Abul Qais bin al
Aslat. Lalu putra suaminya menyukainya. Dia pun menghadap Rasulullah dan
berkata: ‘Wahai Rasulullah, aku bukan warisan suamiku dan aku tidak mau
untuk dinikahi’ lalu Allah menurunkan ayat ini.”
ۤ ‫ذهَبُوْ ا ببَعْض َم‬nnnَ
 Pada firman-Nya, ‫وْ ه َُّن‬nnn‫ا ٰاتَ ْيتُ ُم‬nnn ْ ‫لُوْ ه َُّن لِت‬nnn‫ْض‬
ُ ‫( َواَل تَع‬Dan janganlah kamu
ِ ِ
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang
telah kamu berikan kepadanya) yang bermakna janganlah kalian menyusahkan
mereka dalam hal pergaulan karena hendak mengambil kembali seluruh atau
sebagian mahar yang telah diberikan atau salah satu haknya dengan jalan
memaksa atau mencelakakannya. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu
Abbas tentang firman-Nya: ‫لُوْ ه َُّن‬nn‫ْض‬
ُ ‫" َواَل تَع‬Dan janganlah kamu menyusahkan
mereka," ia berkata: "Janganlah kalian paksa mereka, ‫وْ ه َُّن‬nn‫ا ٰاتَ ْيتُ ُم‬nۤ n‫ْض َم‬
ِ ‫ذهَبُوْ ا بِبَع‬nْ nَ‫لِت‬
“Karena hendak mengambil kembali sebagian apa yang kamu berikan
kepadanya.” Yaitu seorang lelaki yang memiliki istri dan ia benci
menggaulinya. Sedangkan ia memiliki hutang mahar, maka ia berusaha
mencelakakannya agar istri menebusnya dengan mahar. Demikianlah yang
dikatakan oleh adh-Dhahhak, Qatadah dan yang lainnya serta dipilih oleh Ibnu
Jarir.
 Ibnul Mubarak dan 'Abdurrazzaq berkata: "Ma'mar telah mengabarkan kepada
kami bahwa Samak bin al-Fadhl mengabarkan kepadaku dari Ibnu Silmani, ia
berkata: 'Kedua ayat ini, salah satunya turun berkenaan dengan urusan pada
masa Jahiliyyah dan ayat satunya lagi pada masa Islam." Abdullah bin al-
Mubarak melanjutkan: "Firman Allah
 ‫“  اَل يَ ِحلُّ لَـ ُك ْم اَ ْن ت َِرثُوا النِّ َسٓا َء كَرْ هًا‬Tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan
jalan paksa” adalah (sebagaimana yang terjadi) pada masa Jahiliyyah.
Sedangkan ‫ضلُوْ ه َُّن‬
ُ ‫‘ َواَل تَ ْع‬Dan janganlah kamu menyusahkan mereka’ pada masa
Islam."
4. Surat An-Nisa Ayat 3
 Asbabun Nuzul:
 Maih terkait ayat 2 yang menjelaskan tentang peringatan bagi
seorang wali anak yatim agar tidak memakan hartanya.
 Kebiasaan perilaku wali wanita yatim yang mengawini anak
dibawah naungannya karena ingin menguasai hartanya dan
memperlakukannya dengan tidak adil.
 Pembolehan poligami berlatar belakng motivasi sosial dan
kemanusiaan bukan dari motivasi sek/ keni’matan biologis
 ‫( وإن خفتم‬dan jika kamiu tidak takut), kata ini memakai huruf “In” yang
berarti “jika”. Menunjukkan bahwa ini mungkin masih bisa terjadi, mungkin
juga tidak terjadi. Sedangkan lafadz “khiftum” berasal dari “Khofa Yakhofu”
yeng bermakna takut, ngeri, khawatir.
 ‫طو‬nn‫( التقس‬Tidak dapat berlaku adil), maksudnya adil secara umum adalah
sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak.
 ‫امى‬nn‫(في اليت‬terhadap anak Yatim). Maksudnya yaitu terhadap hak-hak anak
yatim yang ada dalam tanggungan orang tersebut
 ‫(فانكحوا‬Maka nikahilah) rujuknya kepada wali tersebut.
 Lafadz tersebut merupakan fi’il amar
 Fi’il amar : Lil wujub: Li An-Nadb
 ‫مثنى وثالث ورباع‬
 Jika “Wawu” dimaknai “dan” maka akan muncul permasalahan,
menjadi penjumlahan (2+3+4=9).
 Jika kedudukannya sebagai Athof, mengapa tidak menggunakan Au,
karena jika menggunakan huruf au maka jika suami memilih dua
istri dia sudah tidak boleh lagi menambah lagi 3 atau 4.
 Maka wawu disini bukan bermakna wawu athof (menambahkan)
tetapi bermakna (badal) pengganti, sehingga gambapangnya
menikah dengan 3 Istri itu menjadi badal pengganti dari dua istri dan
setrusnya.
5. Surat Al-Baqoroh ayat 221
ِ ‫َوالَتَ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر َك‬
 Menurut Al-Qurthubi pada firman Allah yang berbunyi ‫ت َحتَّى‬
‫ْؤ ِم َّن‬nُ‫[“ ي‬dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik] (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.” Beliau menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan wanita-wanita yang musyrik tersebut adalah
wanita-wanita penyembah berhala dan wanita-wanita yang beragama
majusi, hal ini dinukil dari pendapat Imam Malik, Asy-Syafi’I, Abu
Hanifah, Al Auza’I, yang melarang menikah dengan wanita majusi
sdangkan Ibn Hambal berkata, “Hal itu tidak menarik untukku.”
Diriwayatkan bahwa Hudzaifah bin Al yaman pernah menikahi seorang
wanita majusi, lalu Umar berkata kepadanya, “Ceraikan dia!”.
 Beliau juga menukil pendapat Ibnu Athiyah yang mengatakan, “Ibnu Abbas
berkata pada sebagian keterangan yang diriwayatkan darinya,
“sesungguhnya ayat ini (Al Baqoroh: 221) adalah umum (sehingga
mencakup) setiap wanita penyembah berhala, wanita majusi, dan wanita
ahlul kitab. Setiap wanita yang memeluk agama selain agama Islam adalah
musyrik. Adapun perkataan Ibn Umar dalam al-Muwatha’, “aku tidak
mengetahui kemusyrikan yang lebih besar daripada seorang wanita yang
mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa”. Senada dengan apa yang telah
diriwayatkan oleh Ibn Umar, beliau kemudian memisahkan Thalhah bin
Ubaidillah dengan istrinya, dan juga Hudzaifah bin al Yaman dengan
istrinya. Keduanya kemudian berkata, “kami akan menjatuhkan talak wahai
Amirul Mukminin, dan janganlah engkau marah, Umar berkata,
“Seandainya talak kalian dibolehkan, niscaya nikah kalian pun dibolehkan,
akan tetapi aku akan memisahkan kalian secara paksa.
 Menurut Syafi’I dan maliki: Boleh menikahi seluruh orang ahli kitab
(Yahudi dan Nashrani)
 Menurut Umar: Tidak boleh menikahi ahli kitab
 AT-Thabrani: Musyrik (tidak termasuk yahudi nashroni)

Anda mungkin juga menyukai