Anda di halaman 1dari 24

HUBUNGAN VAKSIN BOOSTER COVID-19 DENGAN

JUMLAH PASIEN YANG TERINFEKSI COVID-19 DI


PUSKESMAS CISAUK

Oleh:
Usha Wijay Kumar Chugani - 01073200146
Yolanda Annastasia - 01073200136

Pembimbing:
Dr. dr. Shirley Ivonne Moningkey, M.Kes
dr. Lidia Arita

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE JANUARI - MARET 2022
TANGERANG
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Perumusan Masalah

1.3 Pertanyaan Penelitian

1.4 Tujuan Penelitian

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Akademik

1.5.2 Manfaat Akademik

1.5.3 Manfaat Untuk Puskesmas


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 COVID-19

2.1.1 Definisi COVID-19

Virus Corona atau Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2


(SARS-CoV-2) adalah virus yang menyerang sistem pernapasan. Penyakit karena
infeksi virus ini disebut COVID-19. Virus Corona bisa menyebabkan gangguan
ringan pada sistem pernapasan, infeksi paru-paru yang berat, hingga kematian.
Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARSCoV-2) yang lebih
dikenal dengan nama virus Corona adalah jenis baru dari coronavirus yang
menular ke manusia (1).
Awal mulanya, penyakit ini dinamakan sebagai 2019 novel coronavirus
(2019-nCoV), kemudian WHO mengumumkan nama baru pada 11 Februari 2020
Coronavirus Disease (COVID-19) yang diakibatkan oleh virus Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2). Nama ini diseleksi karena
virus itu secara genetik terpaut dengan virus korona yang bertanggung jawab atas
wabah SARS pada tahun 2003. Namun setelah dilakukan penelitian, ternyata
kedua virus itu berbeda. Coronavirus merupakan kumpulan virus yang dapat
menginfeksi sistem respirasi. Tepat 11 Maret 2020, WHO mengumumkan
COVID-19 dikategorikan sebagai pandemi (2,3,4).

2.1.2 Etiologi COVID-19

Coronavirus merupakan virus RNA yang besar serta berselubung.


Coronavirus manusia menimbulkan selesma serta menyebabkan gastroenteritis
pada balita. Coronavirus baru diidentifikasi sebagai pemicu wabah sindrom
respirasi kronis berat (SARS) di seluruh dunia pada tahun 2003. Coronavirus pada
hewan tingkatan rendah menyebabkan peradangan persisten pada pejamu
alamiahnya. Virus pada manusia sulit untuk dibiakkan sehingga sulit pula dikenal
karakteristiknya (5).
Coronavirus merupakan partikel berselubung berukuran 120-nm hingga
160-nm yang mengandung genom tak bersegmen dari RNA beruntai tunggal,
sense positif (27-32 kb), genom terbesar di antara virus RNA. Genom RNA yang
diisolasi bersifat infeksius. Nukleokapsid heliks mempunyai diameter 9-11 nm.
Terdapat toniolan sepanjang 20 nm berbentuk gada atau kelopak bunga yang
tersebar Iuas di permukaan luar selubung, menyerupai korona matahari (Gambar
2.1). Protein struktural virus meliputi protein nukleokapsid (N) terfosforilasi 50-
60 kDa, glikoprotein membran (M) 20-35 kDa yang berperan sebagai protein
matriks yang tertanam di dalam selubung lipid berlapis ganda (lipid bilayer) dan
berinteraksi dengan nukleokapsid, serta glikoprotein duri (S: 180-220 kDa) yang
membentuk peplomer berbentuk kelopak bunga. Beberapa virus, termasuk
coronavirus manusia OC43, mengandung glikoprotein ketiga (HE; 65 kDa) yang
menyebabkan hemaglutinasi dan memiliki aktivitas asetilesterase. Susunan dari
genom pada coronavirus diperlihatkan pada gambar (Gambar 2.2). Urutan gen
untuk protein yang dikodekan oleh semua klasifikasi dari coronavirus adalah Pol-
S-M-N. Beberapa frame bacaan terbuka mengkode protein nonstruktural dan
protein HE yang memiliki perbedaan jumlah serta urutan gen di antara semua
jenis coronavirus (5).
Coronavirus yang menjadi etiologi COVID-19 termasuk dalam genus
betacoronavirus. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa virus ini masuk
dalam subgenus yang sama dengan coronavirus yang menyebabkan wabah Severe
Acute Respiratory Syndrome (SARS) pada 2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus.
Sekuens SARS-CoV-2 memiliki kemiripan dengan coronavirus yang diisolasi
pada kelelawar, sehingga muncul hipotesis bahwa SARS-CoV-2 berasal dari
kelelawar yang kemudian bermutasi dan menginfeksi manusia. Mamalia dan
burung diduga sebagai reservoir perantara. Protein ini pada SARS-CoV memiliki
afinitas yang kuat terhadap Angiotensin-Converting-Enzyme 2 (ACE2). SARS-
CoV-2 tidak menggunakan reseptor coronavirus lainnya seperti Aminopeptidase
N (APN) dan Dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4). Struktur genom virus ini memiliki
pola seperti coronavirus pada umumnya (2).
2.1.3 Epidemiologi COVID-19

Saat ini coronavirus tersebar luas di seluruh dunia. Ketika musim dingin
datang, virus ini menjadi penyebab utama penyakit pernapasan pada orang dewasa
ketika insiden flu tinggi, namun rinovorus dan virus pernapasan lain rendah. Virus
ini cenderung berkaitan dengan wabah yang jelas. Diperkirakan coronavirus
menyebabkan l5-30% flu. Insiden infeksi coronavirus sangat bervariasi dari tahun
ke tahun; pada satu penelitian selama 3 tahun, berkisar dari l% hingga 35%.
Antibodi terhadap coronavirus pernapasan muncul pada masa kanak-kanak,
prevalensinya meningkat seiring dengan usia dan ditemukan pada lebih dari 90%
dewasa. Reinfeksi yang menimbulkan gejala dapat terjadi setelah masa 1 tahun.
Coronavirus umumnya menyebabkan penyakit pernapasan akut pada orang usia
lanjut, bersama dengan rinovorus, virus influenza, dan virus sinsitial pernapasan.
Prevalensi infeksi coronavirus diperkirakan sekitar setengah dari infeksi rinovorus
(5).
Sejak kasus pertama di Wuhan, terjadi peningkatan kasus COVID-19 di
China setiap hari dan memuncak di antara akhir Januari hingga awal Februari
2020. Awalnya kebanyakan laporan datang dari Hubei dan provinsi di sekitar,
kemudian bertambah hingga ke provinsi-provinsi lain dan seluruh China.7
Tanggal 30 Januari 2020, telah terdapat 7.736 kasus terkonfirmasi COVID-19 di
China, dan 86 kasus lain. COVID-19 pertama dilaporkan di Indonesia pada
tanggal 2 Maret 2020 sejumlah dua kasus. Data 31 Maret 2020 menunjukkan
kasus yang terkonfirmasi berjumlah 1.528 kasus dan 136 kasus kematian. Tingkat
mortalitas COVID-19 di Indonesia sebesar 8,9%, angka ini merupakan yang
tertinggi di Asia Tenggara. Per 30 Maret 2020, terdapat 693.224 kasus dan 33.106
kematian di seluruh dunia. Eropa dan Amerika Utara telah menjadi pusat pandemi
COVID-19, dengan kasus dan kematian sudah melampaui China. Amerika Serikat
menduduki peringkat pertama dengan kasus COVID-19 terbanyak dengan
penambahan kasus baru sebanyak 19.332 kasus pada tanggal 30 Maret 2020
disusul oleh Spanyol dengan 6.549 kasus baru. Italia memiliki tingkat mortalitas
paling tinggi di dunia, yaitu 11,3% (2).
Berdasarkan data yang ada umur pasien yang terinfeksi COVID-19 mulai
dari usia 30 hari hingga 89 tahun. Menurut laporan 138 kasus di Kota Wuhan,
didapatkan rentang usia 37–78 tahun dengan rerata 56 tahun (42-68 tahun) tetapi
pasien rawat ICU lebih tua (median 66 tahun (57-78 tahun) dibandingkan rawat
non-ICU (37-62 tahun) dan 54,3% laki-laki. Laporan 13 pasien terkonfirmasi
COVID-19 di luar Kota Wuhan menunjukkan umur lebih muda dengan median 34
tahun (34-48 tahun) dan 77% laki laki (6).

2.1.4 Patofisiologi COVID-19

Tahap awal infeksi, SARS-CoV-2 menargetkan sel-sel seperti hidung dan


bronkial sel epitel dan pneumosit melalui lonjakan struktural virus S protein yang
mengikat Angiotensin-Converting Enzyme 2 (ACE2) reseptor 7 (Gambar 2.6).
Protease serin transmembran tipe 2 (TMPRSS2), hadir dalam sel inang
mendorong serapan virus dengan membelah ACE2 dan mengaktifkan protein
SARS-CoV-2 S yang memediasi masuknya virus ke dalam sel. ACE2 dan
TMPRSS2 diekspresikan dalam sel target host, terutama sel epitel alveolar tipe II.
Mirip dengan penyakit virus pernapasan yang lain seperti influenza, mungkin
lebih parah terjadi apabila individu dengan COVID-19 ketika SARS-CoV-2
menginfeksi dan membunuh sel limfosit. Selain itu, respon inflamasi virus terdiri
dari respon imun bawaan dan adaptif (humoral dan seluler) merusak limfopoesis
dan meningkatkan apoptosis limfosit. Meskipun peningkatan regulasi reseptor
ACE2 dari ACE inhibitor dan angiotensin reseptor bloker telah dihipotesiskan
dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi SARS-CoV-2, kelompok
observasi yang besar belum menemukan hubungan antara obat-obatan ini dan
risiko infeksi atau kematian di rumah sakit karena COVID-19 (7).
Pada tahap infeksi selanjutnya, ketika replikasi virus dipercepat, epitel
integritas penghalang endotel tidak terkompromi. Selain epitel sel, SARS-CoV-2
juga menginfeksi sel endotel kapiler paru, merangsang respon inflamasi dan
memicu masuknya monosit dan neutrofil. Studi otopsi menunjukkan penebalan
yang menyebar dari dinding alveolar dengan sel mononuklear dan makrofag
infiltrasi ruang udara selain endotelitis. Mononuklear intersisial infiltrat inflamasi
dan edema berkembang dan muncul sebagai kekeruhan ground-glass pada
pencitraan tomografi. Edem paru mengisi ruang alveolar dengan mengikuti
formasi membran hialin. Angioderma paru yang tergantung bradikinin juga
mungkin mempengaruhi penyakit ini. Secara kolektif, gangguan endotelial,
disfungsional transmisi oksigen alveolar-kapiler, dan gangguan oksigen
kapasitas difusi adalah ciri khas COVID-19 (14). SARS-CoV-2 telah terbukti
menginfeksi saluran cerna berdasarkan hasil biopsi pada sel epitel gaster,
duodenum, dan rektum. Virus dapat terdeteksi di feses, bahkan ada 23% pasien
yang dilaporkan virusnya tetap terdeteksi dalam feses walaupun sudah tak
terdeteksi pada sampel saluran napas. Kedua fakta ini menguatkan dugaan
kemungkinan transmisi secara fekal-oral (2).
Stabilitas SARS-CoV-2 pada benda mati tidak berbeda jauh dibandingkan
SARS-CoV. Eksperimen yang dilakukan van Doremalen, dkk. menunjukkan
SARS-CoV-2 lebih stabil pada bahan plastik dan stainless steel (>72 jam)
dibandingkan tembaga (4 jam) dan kardus (24 jam). Studi lain di Singapura
menemukan pencemaran lingkungan yang ekstensif pada kamar dan toilet pasien
COVID-19 dengan gejala ringan. Virus dapat dideteksi di gagang pintu, dudukan
toilet, tombol lampu, jendela, lemari, hingga kipas ventilasi, namun tidak pada
sampel udara (2).

2.1.5 Patogenesis COVID-19

Patogenesis SARS-CoV-2 masih belum banyak diketahui, tetapi diduga


tidak jauh berbeda dengan SARS-CoV yang sudah lebih banyak diketahui. SARS-
CoV-2 terutama menginfeksi sel-sel saluran napas yang melapisi alveoli. SARS-
CoV-2 akan berikatan dengan reseptor-reseptor dan membuat jalan masuk ke
dalam sel. Glikoprotein yang terdapat pada envelope spike virus akan berikatan
dengan reseptor selular berupa ACE2 pada SARS-CoV-2. Di dalam sel, SARS-
CoV-2 melakukan duplikasi materi genetik dan mensintesis protein-protein yang
dibutuhkan, kemudian membentuk virion baru yang muncul di permukaan sel.
Sama dengan SARS-CoV, pada SARS-CoV-2 diduga setelah virus masuk ke
dalam sel, genom RNA virus akan dikeluarkan ke sitoplasma sel dan
ditranslasikan menjadi dua poliprotein dan protein struktural. Selanjutnya, genom
virus akan mulai untuk bereplikasi. Glikoprotein pada selubung virus yang baru
terbentuk masuk ke dalam membran retikulum endoplasma atau Golgi sel. Terjadi
pembentukan nukleokapsid yang tersusun dari genom RNA dan protein
nukleokapsid. Partikel virus akan tumbuh ke dalam retikulum endoplasma dan
Golgi sel. Tahap akhir, vesikel yang mengandung partikel virus akan bergabung
dengan membran plasma untuk melepaskan komponen virus yang baru. Protein S
pada SARS-CoV dilaporkan sebagai determinan yang signifikan dalam masuknya
virus ke dalam sel pejamu. Telah diketahui bahwa masuknya SARS-CoV ke
dalam sel dimulai dengan fusi antara membran virus dengan plasma membran dari
sel. Protein S2 pada proses ini berperan penting dalam proses pembelahan
proteolitik yang memediasi terjadinya proses fusi membran. Selain fusi membran,
terdapat juga clathrin-dependent dan clathrin-independent endocytosis yang
memediasi masuknya SARS-CoV ke dalam sel pejamu (2).
Penelitian lain menunjukkan protein S memfasilitasi masuknya virus
corona ke dalam sel target. Proses ini bergantung pada pengikatan protein S ke
reseptor selular dan priming protein S ke protease selular. Penelitian hingga saat
ini menunjukkan kemungkinan proses masuknya COVID-19 ke dalam sel mirip
dengan SARS. Hal ini didasarkan pada kesamaan struktur 76% antara SARS dan
COVID-19. Sehingga diperkirakan virus ini menargetkan Angiotensin Converting

Enzyme 2 (ACE2) sebagai reseptor masuk dan menggunakan serine protease


TMPRSS2 untuk priming S protein, meskipun hal ini masih membutuhkan
penelitian lebih lanjut (6).
Respons imun yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 juga belum
sepenuhnya dapat dipahami, namun dapat dipelajari dari mekanisme yang
ditemukan pada SARS-CoV dan MERS-CoV. Ketika virus masuk ke dalam sel,
antigen virus akan dipresentasikan ke Antigen Presentation Cells (APC).
Presentasi antigen virus terutama bergantung pada molekul Major
Histocompatibility Complex (MHC) kelas I. Namun, MHC kelas II juga turut
berkontribusi. Presentasi antigen selanjutnya menstimulasi respons imunitas
humoral dan selular tubuh yang dimediasi oleh sel T dan sel B yang spesifik
terhadap virus. Respons imun humoral terbentuk IgM dan IgG terhadap SARS-
CoV. IgM terhadap SAR-CoV hilang pada akhir minggu ke-12 dan IgG dapat
bertahan jangka panjang. Hasil penelitian terhadap pasien yang telah sembuh dari
SARS menujukkan setelah 4 tahun dapat ditemukan sel T CD4+ dan CD8+
memori yang spesifik terhadap SARS-CoV, tetapi jumlahnya menurun secara
bertahap tanpa adanya antigen (2).

2.1.6 Manifestasi Klinis COVID-19

Coronavirus pada manusia menimbulkan selesma pada orang dewasa dan


biasanya tanpa demam. Masa inkubasi dari 2 hari hingga 5 hari, dan biasanya
gejala berlangsung selama 1 minggu. Anak dengan asma dapat mengalami
serangan mengi, dan pada orang dewasa yang menderita penyakit paru kronik
dapat mengalami eksaserbasi gejala pernapasan. Coronavirus SARS yang baru
dikenali menyebabkan penyakit pernapasan berat. Masa inkubasi rata-rata sekitar
6 hari. Gejala awal biasanya berupa demam, malaise, menggigil, nyeri kepala,
pusing, batuk, dan nyeri tenggorok, beberapa hari kemudian diikuti oleh sesak
napas. Banyak pasien menunjukkan gambaran radiologi paru yang abnormal (5).
Manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas, mulai
dari tanpa gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia, pneumonia berat,
ARDS, sepsis, hingga syok sepsis. Sekitar 80% kasus tergolong ringan atau
sedang, 13,8% mengalami sakit berat, dan sebanyak 6,1% pasien jatuh ke dalam
keadaan kritis. Berapa besar proporsi infeksi asimtomatik belum diketahui.
Viremia dan viral load yang tinggi dari swab nasofaring pada pasien yang
asimptomatik telah dilaporkan. Gejala ringan didefinisikan sebagai pasien dengan
infeksi akut saluran napas atas tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam,
fatigue, batuk (dengan atau tanpa sputum), anoreksia, malaise, nyeri tenggorokan,
kongesti nasal, atau sakit kepala. Pasien tidak membutuhkan suplementasi
oksigen. Pasien geriatri dapat muncul gejala-gejala yang atipikal. Sebagian besar
pasien yang terinfeksi SARS- CoV-2 menunjukkan gejala-gejala pada sistem
pernapasan seperti demam, batuk, bersin, dan sesak napas. Berdasarkan data
55.924 kasus, gejala tersering adalah demam, batuk kering, dan fatigue. Gejala
lain yang dapat ditemukan adalah batuk produktif, sesak napas, sakit tenggorokan,
nyeri kepala, mialgia/artralgia, menggigil, mual/muntah, kongesti nasal, diare,
nyeri abdomen, hemoptisis, dan kongesti konjungtiva. Lebih dari 40% demam
pada pasien COVID-19 memiliki suhu puncak antara 38,1-39°C, sementara 34%
mengalami demam suhu lebih dari 39°C (2).
Perjalanan penyakit dimulai dengan masa inkubasi yang lamanya sekitar
3- 14 hari (umumnya 5 hari). Leukosit dan limfosit masih normal atau sedikit
menurun dan pasien tidak bergejala. Fase berikutnya (gejala awal), virus
menyebar melalui aliran darah, diduga terutama pada jaringan yang mengekspresi
ACE2 seperti paru- paru, saluran cerna dan jantung. Gejala pada fase ini
umumnya ringan. Serangan kedua terjadi empat hingga tujuh hari setelah timbul
gejala awal. Saat ini pasien masih demam dan mulai sesak, lesi di paru
memburuk, limfosit menurun. Penanda inflamasi mulai meningkat dan mulai
terjadi hiperkoagulasi. Jika tidak teratasi, fase inflamasi selanjutnya makin tak
terkontrol, terjadi badai sitokin yang mengakibatkan ARDS, sepsis, dan
komplikasi lainnya (2).

2.1.7 Penegakan Diagnosis COVID-19

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis dan


pemeriksaan penunjang. Anamnesis dilakukan dengan wawancara baik langsung
pada pasien (Auto anamnese) atau pada orang tua atau sumber lain
(Alloanamneses) untuk menegakkan diagnosa. Anamnesis terutama gambaran
riwayat perjalanan atau riwayat kontak erat dengan kasus terkonfirmasi atau
bekerja di fasyankes yang merawat pasien infeksi COVID-19 atau berada dalam
satu rumah atau lingkungan dengan pasien terkonfirmasi COVID-19 disertai
gejala klinis dan komorbid. Gejala klinis bervariasi tergantung derajat penyakit
tetapi gejala yang utama adalah demam, batuk, mialgia, sesak, sakit kepala, diare,
mual dan nyeri abdomen. Gejala yang paling sering ditemui hingga saat ini adalah
demam (98%), batuk dan myalgia (6,7).
2.1.8 Pemeriksaan Fisik COVID-19

Pemeriksaan fisik atau pemeriksaan klinis adalah sebuah proses dari


tenaga medis memeriksa tubuh pasien untuk menemukan tanda klinis penyakit.
Pemeriksaan fisik dapat ditemukan tergantung ringan atau beratnya manifestasi
klinis (8.9).

1. Tingkat kesadaran: kompos mentis atau penurunan kesadaran,


2. Tanda vital: frekuensi nadi meningkat, frekuensi napas
meningkat, tekanan darah normal atau menurun, suhu tubuh
meningkat. Saturasi oksigen dapat normal atau turun,
3. Dapat disertai retraksi otot pernapasan,
4. Pemeriksaan fisik paru didapatkan inspeksi dapat tidak simetris
statis dan dinamis, fremitus raba mengeras, redup pada daerah
konsolidasi, suara napas brokovesikuler atau bronkial dan
ronki kasar (8,9).

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang COVID-19

Protokol laboratorium pasien terkonfirmasi maupun belum terkonfirmasi


COVID-19 (10).
1. Pemeriksaan Laboratorium
2. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi terdiri atas foto thorax dan CT-scan
thorax. Perlu diperhatikan apabila pasien hamil agar membeli
perlindungan kepada janin.
a. Foto thoraks
Meskipun memiliki sensitifitas yang lebih rendah
dibandingkan CT scan thorax, foto thorax dapat digunakan
sebagai modalitas lini pertama untuk pasien yang dicurigai
COVID-19 atau untuk mengevaluasi pasien kritis yang
tidak dapat dilakukan CT scan. Foto thorax dapat terlihat
normal pada fase awal atau pada pasien dengan klinis
ringan. Gambaran foto thorax pada pasien COVID-19 yang
tersering adalah berupa konsolidasi atau infiltrat dengan
tempat predileksi dominan di lapangan bawah, perifer,
bilateral. Selain itu pada foto thorax juga terlihat gambaran
seperti opasifikasi ground-glass, infiltrat, penebalan
peribronkial, konsolidasi fokal, efusi pleura, dan atelectasis
(11,12).

b. CT scan thorax tanpa kontras


CT scan thorax memiliki sensitifitas yang lebih tinggi di
bandingkan foto thorax dalam menilai lesi pada pasien
COVID-19. CT scan dilakukan pada pasien yang dicurigai
menilai lesi pada pasien COVID- 19 namun gambaran yang
ditemukan pada foto thorax tidak khas atau meragukan.
Gambaran CT scan thorax pada pasien COVID-19 dapat
berupa Ground Glass Opacities (GGO), crazy paving
appearance, konsolidasi, penebalan bronkovaskular atau
traction bronchiectasis dengan tempat predileksi di basal,
perifer dan bilateral. Multipel lobular bilateral dan area
subsegmental konsolidasi terlihat hari ke-15 setelah onset
gejala pada Gambar 2.11 (kiri) dan opasitas ground-glass
bilateral dan area subsegmental konsolidasi hari ke-8
setelah onset gejala (11,12).

c. Rekomendasi utama
a) Imaging foto thorax/CT scan thorax tanpa tidak
diindikasikan sebagai alat skrining COVID-19 untuk
pasien asimptomatik,
b) Imaging foto thorax/CT scan thorax tidak diindikasikan
pada pasien COVID-19 ringan kecuali mimiliki risiko,
c) Imaging foto thorax/CT scan thorax diindikasikan pada
pasien COVID-19 dengan gejala sedang hingga berat
tanpa memerlihatkan hasil pemeriksaan COVID-19,
d) Imaging foto thorax/CT scan thorax diindikasikan pada
paseien dengan COVID-19 dan terdapat bukti
perburukan dari fungsi pernapasannya,
e) Daerah dengan sumber daya terbatas dan ketersediaan
CT scan terbatas, foto thorax dapat dilakukan pada
pasien dengan COVID-
19 kecuali terdapat gejala perburukan dari fungsi
pernapasan sehingga memerlukan CT scan thorax tanpa
kontras (13).

Gambar 2.1 Foto thorax pada pasien COVID-19


d. Rekomendasi tambahan
a) Foto thorax tidak diindikasikan pada pasien COVID-19
yang terintubasi dan stabil,
b) CT scan thorax diindikasikan pada pasien dengan
gangguan fungsional dan atau hipoksemia setelah
perbaikan dan COVID-19,
c) Pemeriksaan COVID-19 diindikasikan pada paseien
yang secara tidak sengaja/kebetulan ditemukan
gambaran COVID-19 pada pemeriksaan CT scan yang
sudah dikerjakan,
d) Pemeriksaan imaging foto thorax diharapkan dapat
berperan dalam pemeriksaan respon terapi atau
karakteristik pasien dala mpengembangan terapi baru
(12).
3. Pemeriksaan diagnostik SARS-CoV-2
1. Pemeriksaan Antigen-Antibodi
Salah satu kesulitan dalam melakukan uji diagnostik tes
cepat yang sahih adalah memastikan negatif palsu, karena
angka deteksi virus pada dRT-PCR sebagai Gold Standart
tidak ideal. Selain itu perlu mempertimbangkan onset
paparan dan durasi gejala sebelum memutuskan
pemeriksaan serologi. IgM dan IgA dilaporkan terdeteksi
mulai dari 3-6 setelah onset gejala, sementara IgG mulai
hari 10-18 setelah onset gejala. Pemeriksaan jenis ini tidak
direkomendasikan WHO sebagai dasar diagnosis utama.
Pasien negatif serologi masih perlu observasi dan diperiksa
ulang bila dianggap ada faktor risiko tertular. Faktor-faktor
yang berkontribusi terhadap hasil uji negatif palsu adalah
kecukupan teknik pengambilan spesimen, waktu
pemaparan, dan sumber spesimen. Sampel saluran
pernapasan bawah seperti cairan bronkoalveolar, leboh
sensitif dibandingkan sampel saluran pernapasan atas (1,6).
2. Pemeriksaan virologi
Saat ini WHO merekomendasikan pemeriksaan molekular
untuk seluruh pasien yang termasuk dalam kategori suspek.
Pemeriksaan pada individu yang tidak memenuhi kriteria
suspek atau asimptomatis juga boleh dikerjakan dengan
mempertimbangkan aspek epidemiologi, protokol skrining
setempat, dan ketersediaan alat. Pengerjaan pemeriksaan
molekular membutuhkan fasilitas dengan biosafety level 2
(BSL-2), sementara untuk kultur minimal BSL-3. Kultur
virus tidak direkomendasikan untuk diagnosis rutin.
Metode yang direkomendasikan untuk deteksi virus adalah
amplifikasi asam nukleat dengan real-time
reversetranscription polymerase chain reaction (rRT-
PCR) dan dengan sequencing. Sampel dikatakan positif
(konfirmasi SARS-CoV-2) bila rRT-PCR positif pada
minimal dua target genom (N, E, S, atau RdRP) yang
spesifik SARS-CoV-2 atau rRT-PCR positif
betacoronavirus, ditunjang dengan hasil sequencing
sebagian atau seluruh genom virus yang sesuai dengan
SARS-CoV-2 (2).

Gambar 2.2 Gambaran histopatologi paru pada pasien


COVID-19

2.1.10 Diagnosis Banding COVID-19

Dari beberapa gejala klinis yang terlihat pada pasien dengan


COVID-19, beberapa diagnosis banding COVID-19 yang mungkin
diantaranya:
 Pneumonia bakterial
Gejala yang sering muncul pada pasien pneumonia
bakterial seperti batuk baik berdahak atau tidak, kemunculan
dahak biasanya seperti purulen, dahak berdarah dengan atau
tanpa adanya nyeri dada. Secara umum tidak bersifat infeksius
dan bukan pula infeksius (12).
Gejala lain dari penyakit pneumonia ini yaitu
menggigil, demam, sakit kepala, dan sesak napas. Populasi
yang rentan pneumonia adalah anak- anak usia kurang dari 2
tahun, usia lanjut lebih dari 65 tahun dan orang yang memiliki
masalah kesehatan (malnutrisi, gangguan imunologis) (12).
 Pneumonia jamur.
 Edema paru kardiogenik (gagal jantung) (14).

2.1.11 Tatalaksana COVID-19

Prinsip tatalaksana secara keseluruhan menurut rekomendasi WHO yaitu:


Triase: identifikasi pasien segera dan pisahkan pasien dengan Severe Acute
Respiratory Infection (SARI) dan dilakukan dengan memperhatikan prinsip
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) yang sesuai, terapi suportif dan
monitor pasien, pengambilan contoh uji untuk diagnosis laboratorium, tata
laksana secepatnya pasien dengan hipoksemia atau gagal nafas dan Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS), syok sepsis dan kondisi kritis lainnya.
Hingga saat ini tidak ada terapi spesifik anti virus nCoV 2019 dan anti virus
corona lainnya (7).
Beberapa peneliti membuat hipotesis penggunaan baricitinib, suatu
inhibitor kinase dan regulator endositosis sehingga masuknya virus ke dalam sel
terutama sel epitel alveolar. Pengembangan lain adalah penggunaan rendesivir
yang diketahui memiliki efek antivirus RNA dan kombinasi klorokuin, tetapi
keduanya belum mendapatkan hasil. Vaksinasi juga belum ada sehingga tata
laksana utama pada pasien adalah terapi suportif disesuaikan kondisi pasien,
terapi cairan adekuat sesuai kebutuhan, terapi oksigen yang sesuai derajat
penyakit mulai dari penggunaan kanul oksigen dan masker oksigen (7).

2.1.12 Komplikasi COVID-19

Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada COVID-19 diantaranya:

 Pneumonia,
 Sepsis,
 Syok sepsis,
 Gagal napas,
 Multiorgan Dysfunction Syndrome (MODS),
 Tromboemboli vena,
 Stres ulcer dan pendarahan saluran pencernaan,
 Komplikasi lainnya selama perawatan pasien (11,13).
2.1.13 Pencegahan COVID-19

Pencegahan utama adalah membatasi mobilisasi orang yang berisiko


hingga masa inkubasi. Pencegahan lain adalah meningkatkan daya tahan tubuh
melalui asupan makanan sehat, meperbanyak cuci tangan, menggunakan masker
bila berada

di daerah berisiko atau padat, melakukan olah raga, istirahat cukup serta makan
makanan yang dimasak hingga matang dan bila sakit segera berobat ke RS
rujukan untuk dievaluasi (5).
Pencegahan pada petugas kesehatan juga harus dilakukan dengan cara
memperhatikan penempatan pasien di ruang rawat atau ruang intensif isolasi.
Pengendalian infeksi di tempat layanan kesehatan pasien terduga di ruang instalasi
gawat darurat (IGD) isolasi serta mengatur alur pasien masuk dan keluar.
Pencegahan terhadap petugas kesehatan dimulai dari pintu pertama pasien
termasuk triase. Pasien yang mungkin mengalami infeksi COVID-19 petugas
kesehatan perlu menggunakan APD standar untuk penyakit menular.
Kewaspadaan standar dilakukan rutin, menggunakan APD termasuk masker untuk
tenaga medis (N95), proteksi mata, sarung tangan dan gaun panjang (gown) (5).
a. Vaksin
Salah satu upaya yang sedang dikembangkan adalah pembuatan vaksin
guna membuat imunitas dan mencegah transmisi. Saat ini, sedang
berlangsung 2 uji klinis fase I vaksin COVID-19. Studi pertama dari
National Institute of Health (NIH) menggunakan mRNA-1273 dengan
dosis 25, 100, dan 250 μg.124 Studi kedua berasal dari China
menggunakan adenovirus type 5 vector dengan dosis ringan, sedang dan
tinggi. Pada 2 Oktober 2020 diketahui terdapat 42 calon vaksin
COVID- 19 dalam evaluasi klinis dimana 10 diantaranya dalam uji fase
III dan membutuhkan setidaknya 30.000 peserta atau lebih, selain itu
terdapat 151 calon vaksin lainnya yang masih berada dalam evaluasi
praklinis dan semua kandidat vaksin teratas diterapkan untuk injeksi
intramuskular (2,11).
b. Deteksi dini dan isolasi
Seluruh individu yang memenuhi kriteria suspek atau pernah berkontak
dengan pasien yang positif COVID-19 harus segera berobat ke fasilitas
kesehatan. WHO juga sudah membuat instrumen penilaian risiko bagi
petugas kesehatan yang menangani pasien COVID-19 sebagai panduan
rekomendasi tindakan lanjutan. Bagi kelompok risiko tinggi,

direkomendasikan pemberhentian seluruh aktivitas yang berhubungan


dengan pasien selama 14 hari, pemeriksaan infeksi SARS-CoV-2 dan
isolasi. Untuk kelompok risiko rendah, dihimbau melaksanakan
pemantuan mandiri setiap harinya terhadap suhu dan gejala pernapasan
selama 14 hari dan mencari bantuan jika keluhan memberat. Tingkat
masyarakat, usaha mitigasi meliputi pembatasan berpergian dan kumpul
massa pada acara besar (social distancing) (2).

c. Higiene, cuci tangan, dan desinfeksi


Rekomendasi WHO dalam menghadapi wabah COVID-19 adalah
melakukan proteksi dasar, yang terdiri dari cuci tangan secara rutin
dengan alkohol atau sabun dan air, menjaga jarak dengan seseorang
yang memiliki gejala batuk atau bersin, melakukan etika batuk atau
bersin, dan berobat ketika memiliki keluhan yang sesuai kategori
suspek. Rekomendasi jarak yang harus dijaga adalah satu meter.
Perilaku cuci tangan harus diterapkan oleh seluruh petugas kesehatan
pada lima waktu, yaitu sebelum menyentuh pasien, sebelum melakukan
prosedur, setelah terpajan cairan tubuh, setelah menyentuh pasien dan
setelah menyentuh lingkungan pasien. Air sering disebut sebagai pelarut
universal, namun mencuci tangan dengan air saja tidak cukup untuk
menghilangkan coronavirus karena virus tersebut merupakan virus
RNA dengan selubung lipid bilayer. Hindari menyentuh wajah terutama
bagian wajah, hidung atau mulut dengan permukaan tangan. Ketika
tangan terkontaminasi dengan virus, menyentuh wajah dapat menjadi
portal masuk. Terakhir, pastikan menggunakan tisu satu kali pakai
ketika bersin atau batuk untuk menghindari penyebaran droplet (2).

d. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)


SARS-CoV-2 menular terutama melalui droplet. Alat pelindung diri
(APD) merupakan salah satu metode efektif pencegahan penularan
selama penggunannya rasional. Komponen APD terdiri atas sarung
tangan, masker wajah, kacamata pelindung atau face shield, dan gaun
nonsteril lengan panjang. Jika pasien memiliki gejala pernapasan, jaga

jarak minimal satu meter dan pasien dipakaikan masker. Tenaga medis
disarankan menggunakan APD lengkap. Alat seperti stetoskop,
termometer, dan spigmomanometer sebaiknya disediakan khusus untuk
satu pasien. Bila akan digunakan untuk pasien lain, bersihkan dan
desinfeksi dengan alkohol 70%. World Health Organization tidak
merekomendasikan penggunaan APD pada masyarakat umum yang
tidak ada gejala demam, batuk, atau sesak (2).
e. Penggunaan masker N95
CDC merekomendasikan petugas kesehatan yang merawat pasien yang
terkonfirmasi atau diduga COVID-19 dapat menggunakan masker N95
standar. Masker N95 dapat menyaring 95% partikel ukuran 300 nm
meskipun penyaringan ini masih lebih besar dibandingkan ukuran
SARS-CoV-2 (120-160 nm) (2).

f. Daya tahan tubuh


Terdapat beragam upaya dari berbagai literatur yang dapat
memperbaiki daya tahan tubuh terhadap infeksi saluran napas. Suatu
meta-analisis dan telaah sistematik menunjukkan bahwa suplementasi
vitamin D dapat secara aman memproteksi terhadap infeksi saluran
napas akut. Efek proteksi tersebut lebih besar pada orang dengan kadar
25-OH vitamin D kurang dari 25 nmol/L dan yang mengonsumsi harian
atau mingguan tanpa dosis bolus (2).

2.2 Vaksin
Vaksin merupakan buatan biologi yang bermuatan antigen berwujud
mikroba ataupun partikel serta komponen tertentu yang sudah di uji dan terjamin
sehingga aman untuk digunakan serta mampu memicu imunitas spesifik yang
dapat berespon langsung terhadap penyakit tertentu. Vaksin bukan diberikan
untuk pengobatan, namun fungsi vaksin adalah untuk merangsang pembuatan
imunitas spesifik sehingga tubuh mudah tidak mudah terserang penyakit. Adapun
vaksinasi adalah memasukkan vaksin ke tubuh seseorang dengan tujuan
mengaktifkan atau menaikkan imunitas terhadapa suatu penyakit, sehingga bila
suatu waktu individu tersebut terekspos oleh penyakit maka individu tidak akan
sakit atau sekadar menderita sakit ringan (16).
Bagi sebagian besar negara, upaya vaksinasi skala besar dimulai pada paruh
pertama tahun 2021. Permintaan akan melampaui pasokan, dan negara-negara
perlu memprioritaskan siapa yang harus ditargetkan terlebih dahulu untuk
vaksinasi, berdasarkan risiko dan pertimbangan epidemiologis. Banyak dari upaya
ini akan diatur dalam "gelombang", menargetkan kelompok populasi yang
berbeda berdasarkan prioritas. Vaksinasi COVID-19 dilaksanakan guna
mencukupi usaha preventif dengan implementasi protokol kesehatan, sehingga
walaupun vaksin sudah ada, protokol kesehatan menggunakan prosedur 3-M
yakni menggunakan masker, menjagai jarak, menjauhi keramaian juga
membersihkan lengan memakai sabun dengan air mengalir, wajib konsisten
dilakukan dengan optimal. Kontribusi vaksin ini diharapkan dapat memberikan
kekebalan komunitas dan mampu menanggulangi pandemi (17).

2.1.1 Vaksin Booster


DAFTAR PUSTAKA

1. Fadli A. Mengenal Covid-19 dan Cegah Penyebabnya Dengan


“Peduli Lingkungan” Aplikasi Berbasis Android. Jurnal Teknik
Elektro. 2020;(April).[cited 2021 Jan 25].
2. Susilo A, Rumende CM, Pitoyo CW, Santoso WD, Yulianti M,
Herikurniawan H, et al. Coronavirus Disease 2019: Tinjauan
Literatur Terkini. Jurnal Penyakit Dalam Indones. 2020;7(1):45.
3. World Health Organization. Naming The Coronavirus Disease
(COVID-19) and The Virus That Causes It [Internet]. World
Health Organization. 2020.
p. 1. Available from:
https://www.who.int/emergencies/diseases/novel- coronavirus-
2019.[cited 2020 Okt 17].
4. Rothan HA, Byrareddy SN. The Epidemiology and
Pathogenesis of Coronavirus Disease (COVID-19) Outbreak.
Vol. 109, Journal of Autoimmunity. Academic Press; 2020.
5. Jawetz, Melnick, Adelberg. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi
XXII. Jakarta: Salemba Medika; 2001. 581–582 p.
6. WHO. Coronavirus disease (COVID-19). World Health
Organization; 2020.[cited 2021 Jan 25].
7. Handayani D, Hadi DR, Isbaniah F, Burhan E, Agustin H.
Penyakit Virus Corona 2019. Jurnal Respirologi Indonesia.
2020;Volume 40:119–29.
8. Wiersinga WJ, Rhodes A, Cheng AC, Peacock SJ, Prescott HC.
Pathophysiology, Transmission, Diagnosis, and Treatment of
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19): A Review. JAMA - J
Am Med Assoc. 2020;324(8):782–93.
9. Sugihantono A, Burhan E, Susanto AD, Damayanti T, Dkk.
Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease
(COVID-19) Revisi Ke-
5. KemkesGoId. 2020;24.
10. Burhan E, Isbaniah F, Susanto AD. Pneumonia COVID-19
Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2020. 1–58 p.
11. PatKLIn P. Usulan Panduan Pemeriksaan Laboratorium
COVID-19. Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia.
2020;2(5):0–6.
12. PDSRI. Pemeriksaan Radiologi Saat Pandemi COVID-19.
2020; Available from: https://drive.google.com.[diunduh 19
Oktober 2020].
13. Perhimpuan Dokter Paru Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia Awal dan Perkembangannya. 2020;(19):19–21.
14. Wibowo W, Putranto RH, Widianto W, Sahir S. Situasi
Pneumonia Di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten
Gowa Sulawesi Selatan Tahun 2017. Media Kesehat Politek
Kesehat Makassar. 2018;13(2):34.
15. Burhan E, Dwi Susanto A, Nasution SA, Ginanjar E,
Wicaksono Pitoyo C, Susilo A, et al. Protokol Tatalaksana
COVID-19 Tim Penyusun Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
(PDPI) Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia (PERKI) Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia (PAPDI) Perhimpunan Dokter Anestesiologi
dan Terapi Int. 2020;
16. Kementerian Kesehatan RI. 2020. Pandemi COVID-19.
17. WHO. 2020. ―Modes of Transmission of Virus Causing
COVID-19: Implications for IPC Precaution
Recommendations.‖ Geneva: World Health Organization;
Available: 1–10.
https://www.who.int/publicationsdetail/modes-of-transmission-
of-virus-causing-covid-19-implications-foripc-precaution-
recommendations.

Anda mungkin juga menyukai