Anda di halaman 1dari 29

HUBUNGAN VAKSIN BOOSTER COVID-19 DENGAN JUMLAH PASIEN

YANG TERINFEKSI COVID-19 DI PUSKESMAS CISAUK

Oleh:
Usha Wijay Kumar Chugani - 01073200146
Yolanda Annastasia - 01073200136

Pembimbing:
Dr. dr. Shirley Ivonne Moningkey, M.Kes
dr. Lidia Arita

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE JANUARI - MARET 2022
TANGERANG
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................3
1.1 Latar Belakang......................................................................................3
1.2 Perumusan Masalah..............................................................................4
1.3 Pertanyaan Penelitian............................................................................4
1.4 Tujuan Penelitian..................................................................................5
1.5 Manfaat Penelitian................................................................................5
1.5.1 Manfaat Praktisi........................................................................5
1.5.2 Manfaat Untuk Puskesmas........................................................5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...................................................................6
2.1 COVID-19................................................................................................6
2.1.1 Definisi COVID-19......................................................................6
2.1.2 Etiologi COVID-19......................................................................6
2.1.3 Epidemiologi COVID-19.............................................................8
2.1.4 Patofisiologi COVID-19..............................................................9
2.1.5 Patogenesis COVID-19..............................................................10
2.1.6 Manifestasi Klinis COVID-19...................................................12
2.1.7 Penegakan Diagnosis COVID-19..............................................13
2.1.8 Pemeriksaan Fisik COVID-19...................................................13
2.1.9 Pemeriksaan Penunjang COVID-19...........................................14
2.1.10 Diagnosis Banding COVID-19................................................18
2.1.11 Tatalaksana COVID-19...........................................................19
2.1.12 Komplikasi COVID-19............................................................20
2.1.13 Pencegahan COVID-19............................................................20
2.2 Vaksin.....................................................................................................23
2.1.1 Vaksin Booster...........................................................................24
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................26
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Vaksinasi adalah pemberian Vaksin yang khusus diberikan dalam rangka
menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu
penyakit, sehingga apabila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan
sakit atau hanya mengalami sakit ringan dan tidak menjadi sumber penularan.
Sedangkan, vaksin sendiri adalah biologi yang berisi antigen berupa
mikroorganisme yang sudah mati atau masih hidup yang dilemahkan, masih utuh
atau bagiannya, atau berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi
toksoid atau protein rekombinan, yang ditambahkan dengan zat lainnya, yang bila
diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif
terhadap penyakit tertentu (Menkes RI, 2017).
Seri utama vaksin COVID-19 telah terbukti mempertahankan vaksin yang
tinggi efektivitas tanpa bukti memudar terhadap penyakit serius, rawat inap, dan
kematian akibat COVID-19 di sebagian besar populasi. Meskipun ada beberapa
bukti peningkatan risiko dari infeksi terobosan dari waktu ke waktu, mereka yang
divaksinasi terhadap COVID-19 dengan seri twodose terus menunjukkan
kemungkinan SARS-CoV-2 yang jauh lebih rendah infeksi dibandingkan dengan
individu yang tidak divaksinasi dan, ketika infeksi terjadi, gejala cenderung lebih
ringan pada kasus yang divaksinasi. Namun, buktinya adalah muncul bahwa
efektivitas vaksin terhadap infeksi dan penyakit COVID-19 menurun seiring
berjalannya waktu, dan efektivitas vaksin COVID-19 yang saat ini resmi terhadap
varian Omicron tidak pasti. Oleh karena itu, untuk populasi tertentu, dosis
tambahan mungkin diperlukan untuk mendapatkan perlindungan yang lebih tahan
lama. Vaksin Pfizer-BioNTech dan Moderna COVID-19 telah diberi wewenang
untuk digunakan oleh Health Canada sebagai dosis booster setelah menyelesaikan
seri utama di individu berusia 18 tahun ke atas. Analisis risiko manfaat untuk
masing-masing pasien adalah di pusat proses pengambilan keputusan dokter
pasien kolaboratif. Informed consent untuk dosis tambahan vaksin COVID-19
harus dengan jelas mengkomunikasikan apa yang diketahui dan tidak diketahui
tentang risiko dan manfaat dari dosis tambahan. Bukti dari uji klinis menunjukkan
bahwa dosis booster vaksin mRNA yang diberikan enam bulan setelah seri primer
menimbulkan respons kekebalan yang kuat. Data dunia nyata menunjukkan
bahwa dosis booster memberikan efektivitas vaksin jangka pendek yang baik dan
memiliki profil keamanan yang mirip dengan dosis kedua vaksin. Individu yang
menerima vaksin Covid-19 AstraZeneca /COVISHIELD untuk dosis pertama dan
kedua mereka dianjurkan untuk menerima vaksin mRNA untuk dosis ketiga atau
booster mereka. Orang yang mengalami reaksi alergi langsung yang parah setelah
dosis pertama vaksin COVID-19 mRNA dapat dengan aman menerima dosis
vaksin COVID-19 di masa depan. vaksin COVID-19 mRNA yang sama atau
lainnya setelah berkonsultasi dengan ahli alergi / imunologi atau dokter lain yang
sesuai. Individu berusia 12 tahun ke atas, terinfeksi COVID-19 setelah seri utama
mereka tetapi sebelum dosis booster mereka, dianjurkan untuk menerima dosis
booster mereka 3 bulan setelah onset gejala atau tes positif (jika asimtomatik) dan,
untuk usia 12 hingga 17 tahun, asalkan setidaknya 6 bulan dari menyelesaikan seri
utama (1).

1.2 Perumusan Masalah


Dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas, oleh karenanya penelitian
ini dilakukan guna melihat hubungan vaksin booster COVID-19 dengan jumlah
pasien yang terinfeksi COVID-19 di Puskesmas Cisauk.

1.3 Pertanyaan Penelitian


1.3.1 Bagaimana karaktersitik responden dalam penelitian?
1.3.2 Berapa presentase pasien puskesmas yang memperoleh vaksin booster?
1.3.3 Berapa presentase pasien puskesmas yang positif dan negatif COVID-19?
1.3.4 Bagaimana hubungan vaksin booster COVID-19 dengan jumlah pasien
yang terinfeksi COVID-19?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Untuk mengetahui presentase penerima vaksin booster COVID-19 di
Puskesmas Cisauk.
1.4.2 Untuk melihat seberapa banyak pasien yang positif dan negatif COVID-19
di Puskesmas Cisauk.
1.4.3 Untuk mengetahui hubungan vaksin booster dengan jumlah pasien
terinfeksi COVID-19.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Praktisi


1. Menjadi data untuk penelitian lebih lanjut mengenai hubungan vaksin
booster COVID-19 dengan jumlah pasien yang terinfeksi COVID-19 di
Puskesmas Cisauk.
2. Menjadi data tambahan atas hasil penelitian vaksin booster COVID-19 dan
jumlah paisen terinfeksi COVID-19 Puskesmas Cisauk..

1.5.2 Manfaat Untuk Puskesmas


1. Menjadi arsip data untuk Puskesmas Cisauk
2. Mengetahui hubungan vaksin booster dengan jumlah pasien terinfeksi
COVID-19 Puskesmas Cisauk.
3. Menjadi bahan evaluasi bagi Puskesmas Cisauk untuk dapat memberikan
edukasi vaksin booster kepada masyarakat.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 COVID-19

2.1.1 Definisi COVID-19

Virus Corona atau Severe Acute Respiratory Syndrome


Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) adalah virus yang menyerang sistem
pernapasan. Penyakit karena infeksi virus ini disebut COVID-19. Virus
Corona bisa menyebabkan gangguan ringan pada sistem pernapasan,
infeksi paru-paru yang berat, hingga kematian. Severe Acute Respiratory
Syndrome Coronavirus 2 (SARSCoV-2) yang lebih dikenal dengan nama
virus Corona adalah jenis baru dari coronavirus yang menular ke manusia
(1).
Awal mulanya, penyakit ini dinamakan sebagai 2019 novel
coronavirus (2019-nCoV), kemudian WHO mengumumkan nama baru
pada 11 Februari 2020 Coronavirus Disease (COVID-19) yang
diakibatkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2
(SARS-CoV-2). Nama ini diseleksi karena virus itu secara genetik terpaut
dengan virus korona yang bertanggung jawab atas wabah SARS pada
tahun 2003. Namun setelah dilakukan penelitian, ternyata kedua virus itu
berbeda. Coronavirus merupakan kumpulan virus yang dapat menginfeksi
sistem respirasi. Tepat 11 Maret 2020, WHO mengumumkan COVID-19
dikategorikan sebagai pandemi (2,3,4).

2.1.2 Etiologi COVID-19

Coronavirus merupakan virus RNA yang besar serta berselubung.


Coronavirus manusia menimbulkan selesma serta menyebabkan
gastroenteritis pada balita. Coronavirus baru diidentifikasi sebagai pemicu
wabah sindrom respirasi kronis berat (SARS) di seluruh dunia pada tahun
2003. Coronavirus pada hewan tingkatan rendah menyebabkan
peradangan persisten pada pejamu alamiahnya. Virus pada manusia sulit
untuk dibiakkan sehingga sulit pula dikenal karakteristiknya (5).
Coronavirus merupakan partikel berselubung berukuran 120-nm
hingga 160-nm yang mengandung genom tak bersegmen dari RNA
beruntai tunggal, sense positif (27-32 kb), genom terbesar di antara virus
RNA. Genom RNA yang diisolasi bersifat infeksius. Nukleokapsid heliks
mempunyai diameter 9-11 nm. Terdapat toniolan sepanjang 20 nm
berbentuk gada atau kelopak bunga yang tersebar Iuas di permukaan luar
selubung, menyerupai korona matahari (Gambar 2.1). Protein struktural
virus meliputi protein nukleokapsid (N) terfosforilasi 50-60 kDa,
glikoprotein membran (M) 20-35 kDa yang berperan sebagai protein
matriks yang tertanam di dalam selubung lipid berlapis ganda (lipid
bilayer) dan berinteraksi dengan nukleokapsid, serta glikoprotein duri (S:
180-220 kDa) yang membentuk peplomer berbentuk kelopak bunga.
Beberapa virus, termasuk coronavirus manusia OC43, mengandung
glikoprotein ketiga (HE; 65 kDa) yang menyebabkan hemaglutinasi dan
memiliki aktivitas asetilesterase. Susunan dari genom pada coronavirus
diperlihatkan pada gambar (Gambar 2.2). Urutan gen untuk protein yang
dikodekan oleh semua klasifikasi dari coronavirus adalah Pol-S-M-N.
Beberapa frame bacaan terbuka mengkode protein nonstruktural dan
protein HE yang memiliki perbedaan jumlah serta urutan gen di antara
semua jenis coronavirus (5).
Coronavirus yang menjadi etiologi COVID-19 termasuk dalam
genus betacoronavirus. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa
virus ini masuk dalam subgenus yang sama dengan coronavirus yang
menyebabkan wabah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) pada
2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus. Sekuens SARS-CoV-2 memiliki
kemiripan dengan coronavirus yang diisolasi pada kelelawar, sehingga
muncul hipotesis bahwa SARS-CoV-2 berasal dari kelelawar yang
kemudian bermutasi dan menginfeksi manusia. Mamalia dan burung
diduga sebagai reservoir perantara. Protein ini pada SARS-CoV memiliki
afinitas yang kuat terhadap Angiotensin-Converting-Enzyme 2 (ACE2).
SARS-CoV-2 tidak menggunakan reseptor coronavirus lainnya seperti
Aminopeptidase N (APN) dan Dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4). Struktur
genom virus ini memiliki pola seperti coronavirus pada umumnya (2).

2.1.3 Epidemiologi COVID-19

Saat ini coronavirus tersebar luas di seluruh dunia. Ketika musim


dingin datang, virus ini menjadi penyebab utama penyakit pernapasan
pada orang dewasa ketika insiden flu tinggi, namun rinovorus dan virus
pernapasan lain rendah. Virus ini cenderung berkaitan dengan wabah yang
jelas. Diperkirakan coronavirus menyebabkan l5-30% flu. Insiden infeksi
coronavirus sangat bervariasi dari tahun ke tahun; pada satu penelitian
selama 3 tahun, berkisar dari l% hingga 35%. Antibodi terhadap
coronavirus pernapasan muncul pada masa kanak-kanak, prevalensinya
meningkat seiring dengan usia dan ditemukan pada lebih dari 90%
dewasa. Reinfeksi yang menimbulkan gejala dapat terjadi setelah masa 1
tahun. Coronavirus umumnya menyebabkan penyakit pernapasan akut
pada orang usia lanjut, bersama dengan rinovorus, virus influenza, dan
virus sinsitial pernapasan. Prevalensi infeksi coronavirus diperkirakan
sekitar setengah dari infeksi rinovorus (5).
Sejak kasus pertama di Wuhan, terjadi peningkatan kasus COVID-
19 di China setiap hari dan memuncak di antara akhir Januari hingga awal
Februari 2020. Awalnya kebanyakan laporan datang dari Hubei dan
provinsi di sekitar, kemudian bertambah hingga ke provinsi-provinsi lain
dan seluruh China.7 Tanggal 30 Januari 2020, telah terdapat 7.736 kasus
terkonfirmasi COVID-19 di China, dan 86 kasus lain. COVID-19 pertama
dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020 sejumlah dua kasus.
Data 31 Maret 2020 menunjukkan kasus yang terkonfirmasi berjumlah
1.528 kasus dan 136 kasus kematian. Tingkat mortalitas COVID-19 di
Indonesia sebesar 8,9%, angka ini merupakan yang tertinggi di Asia
Tenggara. Per 30 Maret 2020, terdapat 693.224 kasus dan 33.106 kematian
di seluruh dunia. Eropa dan Amerika Utara telah menjadi pusat pandemi
COVID-19, dengan kasus dan kematian sudah melampaui China. Amerika
Serikat menduduki peringkat pertama dengan kasus COVID-19
terbanyak dengan penambahan kasus baru sebanyak 19.332 kasus pada
tanggal 30 Maret 2020 disusul oleh Spanyol dengan 6.549 kasus baru.
Italia memiliki tingkat mortalitas paling tinggi di dunia, yaitu 11,3% (2).
Berdasarkan data yang ada umur pasien yang terinfeksi COVID-19
mulai dari usia 30 hari hingga 89 tahun. Menurut laporan 138 kasus di
Kota Wuhan, didapatkan rentang usia 37–78 tahun dengan rerata 56
tahun (42-68 tahun) tetapi pasien rawat ICU lebih tua (median 66 tahun
(57-78 tahun) dibandingkan rawat non-ICU (37-62 tahun) dan 54,3% laki-
laki. Laporan 13 pasien terkonfirmasi COVID-19 di luar Kota Wuhan
menunjukkan umur lebih muda dengan median 34 tahun (34-48 tahun) dan
77% laki laki (6).

2.1.4 Patofisiologi COVID-19

Tahap awal infeksi, SARS-CoV-2 menargetkan sel-sel seperti


hidung dan bronkial sel epitel dan pneumosit melalui lonjakan struktural
virus S protein yang mengikat Angiotensin-Converting Enzyme 2 (ACE2)
reseptor 7 (Gambar 2.6). Protease serin transmembran tipe 2 (TMPRSS2),
hadir dalam sel inang mendorong serapan virus dengan membelah ACE2
dan mengaktifkan protein SARS-CoV-2 S yang memediasi masuknya
virus ke dalam sel. ACE2 dan TMPRSS2 diekspresikan dalam sel target
host, terutama sel epitel alveolar tipe II. Mirip dengan penyakit virus
pernapasan yang lain seperti influenza, mungkin lebih parah terjadi apabila
individu dengan COVID-19 ketika SARS-CoV-2 menginfeksi dan
membunuh sel limfosit. Selain itu, respon inflamasi virus terdiri dari
respon imun bawaan dan adaptif (humoral dan seluler) merusak
limfopoesis dan meningkatkan apoptosis limfosit. Meskipun peningkatan
regulasi reseptor ACE2 dari ACE inhibitor dan angiotensin reseptor bloker
telah dihipotesiskan dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi
SARS-CoV-2, kelompok observasi yang besar belum menemukan
hubungan antara obat-obatan ini dan risiko infeksi atau kematian di rumah
sakit karena COVID-19 (7).
Pada tahap infeksi selanjutnya, ketika replikasi virus dipercepat,
epitel integritas penghalang endotel tidak terkompromi. Selain epitel sel,
SARS-CoV-2 juga menginfeksi sel endotel kapiler paru, merangsang
respon inflamasi dan memicu masuknya monosit dan neutrofil. Studi
otopsi menunjukkan penebalan yang menyebar dari dinding alveolar
dengan sel mononuklear dan makrofag infiltrasi ruang udara selain
endotelitis. Mononuklear intersisial infiltrat inflamasi dan edema
berkembang dan muncul sebagai kekeruhan ground-glass pada pencitraan
tomografi. Edem paru mengisi ruang alveolar dengan mengikuti formasi
membran hialin. Angioderma paru yang tergantung bradikinin juga
mungkin mempengaruhi penyakit ini. Secara kolektif, gangguan
endotelial, disfungsional transmisi oksigen alveolar-kapiler, dan
gangguan oksigen kapasitas difusi adalah ciri khas COVID-19 (14).
SARS-CoV-2 telah terbukti menginfeksi saluran cerna berdasarkan hasil
biopsi pada sel epitel gaster, duodenum, dan rektum. Virus dapat
terdeteksi di feses, bahkan ada 23% pasien yang dilaporkan virusnya tetap
terdeteksi dalam feses walaupun sudah tak terdeteksi pada sampel saluran
napas. Kedua fakta ini menguatkan dugaan kemungkinan transmisi secara
fekal-oral (2).
Stabilitas SARS-CoV-2 pada benda mati tidak berbeda jauh
dibandingkan SARS-CoV. Eksperimen yang dilakukan van Doremalen,
dkk. menunjukkan SARS-CoV-2 lebih stabil pada bahan plastik dan
stainless steel (>72 jam) dibandingkan tembaga (4 jam) dan kardus (24
jam). Studi lain di Singapura menemukan pencemaran lingkungan yang
ekstensif pada kamar dan toilet pasien COVID-19 dengan gejala ringan.
Virus dapat dideteksi di gagang pintu, dudukan toilet, tombol lampu,
jendela, lemari, hingga kipas ventilasi, namun tidak pada sampel udara (2).
2.1.5 Patogenesis COVID-19

Patogenesis SARS-CoV-2 masih belum banyak diketahui, tetapi


diduga tidak jauh berbeda dengan SARS-CoV yang sudah lebih banyak
diketahui. SARS- CoV-2 terutama menginfeksi sel-sel saluran napas yang
melapisi alveoli. SARS- CoV-2 akan berikatan dengan reseptor-reseptor
dan membuat jalan masuk ke dalam sel. Glikoprotein yang terdapat pada
envelope spike virus akan berikatan dengan reseptor selular berupa ACE2
pada SARS-CoV-2. Di dalam sel, SARS-CoV-2 melakukan duplikasi
materi genetik dan mensintesis protein-protein yang dibutuhkan, kemudian
membentuk virion baru yang muncul di permukaan sel. Sama dengan
SARS-CoV, pada SARS-CoV-2 diduga setelah virus masuk ke dalam sel,
genom RNA virus akan dikeluarkan ke sitoplasma sel dan ditranslasikan
menjadi dua poliprotein dan protein struktural. Selanjutnya, genom virus
akan mulai untuk bereplikasi. Glikoprotein pada selubung virus yang baru
terbentuk masuk ke dalam membran retikulum endoplasma atau Golgi sel.
Terjadi pembentukan nukleokapsid yang tersusun dari genom RNA dan
protein nukleokapsid. Partikel virus akan tumbuh ke dalam retikulum
endoplasma dan Golgi sel. Tahap akhir, vesikel yang mengandung partikel
virus akan bergabung dengan membran plasma untuk melepaskan
komponen virus yang baru. Protein S pada SARS-CoV dilaporkan sebagai
determinan yang signifikan dalam masuknya virus ke dalam sel pejamu.
Telah diketahui bahwa masuknya SARS-CoV ke dalam sel dimulai
dengan fusi antara membran virus dengan plasma membran dari sel.
Protein S2 pada proses ini berperan penting dalam proses pembelahan
proteolitik yang memediasi terjadinya proses fusi membran. Selain fusi
membran, terdapat juga clathrin-dependent dan clathrin-independent
endocytosis yang memediasi masuknya SARS-CoV ke dalam sel pejamu
(2).
Penelitian lain menunjukkan protein S memfasilitasi masuknya
virus corona ke dalam sel target. Proses ini bergantung pada pengikatan
protein S ke reseptor selular dan priming protein S ke protease selular.
Penelitian hingga saat ini menunjukkan kemungkinan proses masuknya
COVID-19 ke dalam sel mirip dengan SARS. Hal ini didasarkan pada
kesamaan struktur 76% antara SARS dan COVID-19. Sehingga
diperkirakan virus ini menargetkan Angiotensin Converting
Enzyme 2 (ACE2) sebagai reseptor masuk dan menggunakan serine protease
TMPRSS2 untuk priming S protein, meskipun hal ini masih membutuhkan
penelitian lebih lanjut (6).
Respons imun yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 juga belum
sepenuhnya dapat dipahami, namun dapat dipelajari dari mekanisme yang
ditemukan pada SARS-CoV dan MERS-CoV. Ketika virus masuk ke
dalam sel, antigen virus akan dipresentasikan ke Antigen Presentation
Cells (APC). Presentasi antigen virus terutama bergantung pada molekul
Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas I. Namun, MHC kelas II
juga turut berkontribusi. Presentasi antigen selanjutnya menstimulasi
respons imunitas humoral dan selular tubuh yang dimediasi oleh sel T dan
sel B yang spesifik terhadap virus. Respons imun humoral terbentuk IgM
dan IgG terhadap SARS-CoV. IgM terhadap SAR-CoV hilang pada akhir
minggu ke-12 dan IgG dapat bertahan jangka panjang. Hasil penelitian
terhadap pasien yang telah sembuh dari SARS menujukkan setelah 4 tahun
dapat ditemukan sel T CD4+ dan CD8+ memori yang spesifik terhadap
SARS-CoV, tetapi jumlahnya menurun secara bertahap tanpa adanya
antigen (2).

2.1.6 Manifestasi Klinis COVID-19

Coronavirus pada manusia menimbulkan selesma pada orang


dewasa dan biasanya tanpa demam. Masa inkubasi dari 2 hari hingga 5
hari, dan biasanya gejala berlangsung selama 1 minggu. Anak dengan
asma dapat mengalami serangan mengi, dan pada orang dewasa yang
menderita penyakit paru kronik dapat mengalami eksaserbasi gejala
pernapasan. Coronavirus SARS yang baru dikenali menyebabkan penyakit
pernapasan berat. Masa inkubasi rata-rata sekitar 6 hari. Gejala awal
biasanya berupa demam, malaise, menggigil, nyeri kepala, pusing, batuk,
dan nyeri tenggorok, beberapa hari kemudian diikuti oleh sesak napas.
Banyak pasien menunjukkan gambaran radiologi paru yang abnormal (5).
Manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas,
mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia,
pneumonia berat, ARDS, sepsis, hingga syok sepsis. Sekitar 80% kasus
tergolong ringan atau sedang, 13,8% mengalami sakit berat, dan sebanyak
6,1% pasien jatuh ke dalam keadaan kritis. Berapa besar proporsi infeksi
asimtomatik belum diketahui. Viremia dan viral load yang tinggi dari
swab nasofaring pada pasien yang asimptomatik telah dilaporkan. Gejala
ringan didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi akut saluran napas atas
tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam, fatigue, batuk (dengan atau
tanpa sputum), anoreksia, malaise, nyeri tenggorokan, kongesti nasal, atau
sakit kepala. Pasien tidak membutuhkan suplementasi oksigen. Pasien
geriatri dapat muncul gejala-gejala yang atipikal. Sebagian besar pasien
yang terinfeksi SARS- CoV-2 menunjukkan gejala-gejala pada sistem
pernapasan seperti demam, batuk, bersin, dan sesak napas. Berdasarkan
data 55.924 kasus, gejala tersering adalah demam, batuk kering, dan
fatigue. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah batuk produktif, sesak
napas, sakit tenggorokan, nyeri kepala, mialgia/artralgia, menggigil,
mual/muntah, kongesti nasal, diare, nyeri abdomen, hemoptisis, dan
kongesti konjungtiva. Lebih dari 40% demam pada pasien COVID-19
memiliki suhu puncak antara 38,1-39°C, sementara 34% mengalami
demam suhu lebih dari 39°C (2).
Perjalanan penyakit dimulai dengan masa inkubasi yang lamanya
sekitar 3- 14 hari (umumnya 5 hari). Leukosit dan limfosit masih normal
atau sedikit menurun dan pasien tidak bergejala. Fase berikutnya (gejala
awal), virus menyebar melalui aliran darah, diduga terutama pada jaringan
yang mengekspresi ACE2 seperti paru- paru, saluran cerna dan jantung.
Gejala pada fase ini umumnya ringan. Serangan kedua terjadi empat
hingga tujuh hari setelah timbul gejala awal. Saat ini pasien masih demam
dan mulai sesak, lesi di paru memburuk, limfosit menurun. Penanda
inflamasi mulai meningkat dan mulai terjadi hiperkoagulasi. Jika tidak
teratasi, fase inflamasi selanjutnya makin tak terkontrol, terjadi badai
sitokin yang mengakibatkan ARDS, sepsis, dan komplikasi lainnya (2).

2.1.7 Penegakan Diagnosis COVID-19

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis dan


pemeriksaan penunjang. Anamnesis dilakukan dengan wawancara baik
langsung pada pasien (Auto anamnese) atau pada orang tua atau sumber
lain (Alloanamneses) untuk menegakkan diagnosa. Anamnesis terutama
gambaran riwayat perjalanan atau riwayat kontak erat dengan kasus
terkonfirmasi atau bekerja di fasyankes yang merawat pasien infeksi
COVID-19 atau berada dalam satu rumah atau lingkungan dengan pasien
terkonfirmasi COVID-19 disertai gejala klinis dan komorbid. Gejala klinis
bervariasi tergantung derajat penyakit tetapi gejala yang utama adalah
demam, batuk, mialgia, sesak, sakit kepala, diare, mual dan nyeri
abdomen. Gejala yang paling sering ditemui hingga saat ini adalah demam
(98%), batuk dan myalgia (6,7).

2.1.8 Pemeriksaan Fisik COVID-19

Pemeriksaan fisik atau pemeriksaan klinis adalah sebuah proses


dari tenaga medis memeriksa tubuh pasien untuk menemukan tanda klinis
penyakit. Pemeriksaan fisik dapat ditemukan tergantung ringan atau
beratnya manifestasi klinis (8.9).

1. Tingkat kesadaran: kompos mentis atau penurunan kesadaran,

2. Tanda vital: frekuensi nadi meningkat, frekuensi napas


meningkat, tekanan darah normal atau menurun, suhu tubuh
meningkat. Saturasi oksigen dapat normal atau turun,
3. Dapat disertai retraksi otot pernapasan,

4. Pemeriksaan fisik paru didapatkan inspeksi dapat tidak simetris


statis dan dinamis, fremitus raba mengeras, redup pada daerah
konsolidasi, suara napas brokovesikuler atau bronkial dan
ronki kasar (8,9).

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang COVID-19

Protokol laboratorium pasien terkonfirmasi maupun belum


terkonfirmasi COVID-19 (10).
1. Pemeriksaan Laboratorium

2. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi terdiri atas foto thorax dan CT-scan


thorax. Perlu diperhatikan apabila pasien hamil agar membeli
perlindungan kepada janin.
a. Foto thoraks

Meskipun memiliki sensitifitas yang lebih rendah


dibandingkan CT scan thorax, foto thorax dapat digunakan
sebagai modalitas lini pertama untuk pasien yang dicurigai
COVID-19 atau untuk mengevaluasi pasien kritis yang
tidak dapat dilakukan CT scan. Foto thorax dapat terlihat
normal pada fase awal atau pada pasien dengan klinis
ringan. Gambaran foto thorax pada pasien COVID-19 yang
tersering adalah berupa konsolidasi atau infiltrat dengan
tempat predileksi dominan di lapangan bawah, perifer,
bilateral. Selain itu pada foto thorax juga terlihat gambaran
seperti opasifikasi ground-glass, infiltrat, penebalan
peribronkial, konsolidasi fokal, efusi pleura, dan atelectasis
(11,12).

b. CT scan thorax tanpa kontras

CT scan thorax memiliki sensitifitas yang lebih tinggi di


bandingkan foto thorax dalam menilai lesi pada pasien
COVID-19. CT scan dilakukan pada pasien yang dicurigai
menilai lesi pada pasien COVID- 19 namun gambaran yang
ditemukan pada foto thorax tidak khas atau meragukan.
Gambaran CT scan thorax pada pasien COVID-19 dapat
berupa Ground Glass Opacities (GGO), crazy paving
appearance, konsolidasi, penebalan bronkovaskular atau
traction bronchiectasis dengan tempat predileksi di basal,
perifer dan bilateral. Multipel lobular bilateral dan area
subsegmental konsolidasi terlihat hari ke-15 setelah onset
gejala pada Gambar 2.11 (kiri) dan opasitas ground-glass
bilateral dan area subsegmental konsolidasi hari ke-8
setelah onset gejala (11,12).
c. Rekomendasi utama

a) Imaging foto thorax/CT scan thorax tanpa tidak


diindikasikan sebagai alat skrining COVID-19 untuk
pasien asimptomatik,
b) Imaging foto thorax/CT scan thorax tidak diindikasikan
pada pasien COVID-19 ringan kecuali mimiliki risiko,
c) Imaging foto thorax/CT scan thorax diindikasikan pada
pasien COVID-19 dengan gejala sedang hingga berat
tanpa memerlihatkan hasil pemeriksaan COVID-19,
d) Imaging foto thorax/CT scan thorax diindikasikan pada
paseien dengan COVID-19 dan terdapat bukti
perburukan dari fungsi pernapasannya,
e) Daerah dengan sumber daya terbatas dan ketersediaan
CT scan terbatas, foto thorax dapat dilakukan pada
pasien dengan COVID-
19 kecuali terdapat gejala perburukan dari fungsi
pernapasan sehingga memerlukan CT scan thorax tanpa
kontras (13).
Gambar 2.1 Foto thorax pada pasien COVID-19

d. Rekomendasi tambahan

a) Foto thorax tidak diindikasikan pada pasien COVID-19


yang terintubasi dan stabil,
b) CT scan thorax diindikasikan pada pasien dengan
gangguan fungsional dan atau hipoksemia setelah
perbaikan dan COVID-19,
c) Pemeriksaan COVID-19 diindikasikan pada paseien
yang secara tidak sengaja/kebetulan ditemukan
gambaran COVID-19 pada pemeriksaan CT scan yang
sudah dikerjakan,
d) Pemeriksaan imaging foto thorax diharapkan dapat
berperan dalam pemeriksaan respon terapi atau
karakteristik pasien dala mpengembangan terapi baru
(12).
3. Pemeriksaan diagnostik SARS-CoV-2

1. Pemeriksaan Antigen-Antibodi

Salah satu kesulitan dalam melakukan uji diagnostik tes


cepat yang sahih adalah memastikan negatif palsu, karena
angka deteksi virus pada dRT-PCR sebagai Gold Standart
tidak ideal. Selain itu perlu mempertimbangkan onset
paparan dan durasi gejala sebelum memutuskan
pemeriksaan serologi. IgM dan IgA dilaporkan terdeteksi
mulai dari 3-6 setelah onset gejala, sementara IgG mulai
hari 10-18 setelah onset gejala. Pemeriksaan jenis ini tidak
direkomendasikan WHO sebagai dasar diagnosis utama.
Pasien negatif serologi masih perlu observasi dan diperiksa
ulang bila dianggap ada faktor risiko tertular. Faktor-faktor
yang berkontribusi terhadap hasil uji negatif palsu adalah
kecukupan teknik pengambilan spesimen, waktu
pemaparan, dan sumber spesimen. Sampel saluran
pernapasan bawah seperti cairan bronkoalveolar, leboh
sensitif dibandingkan sampel saluran pernapasan atas (1,6).
2. Pemeriksaan virologi

Saat ini WHO merekomendasikan pemeriksaan molekular


untuk seluruh pasien yang termasuk dalam kategori suspek.
Pemeriksaan pada individu yang tidak memenuhi kriteria
suspek atau asimptomatis juga boleh dikerjakan dengan
mempertimbangkan aspek epidemiologi, protokol skrining
setempat, dan ketersediaan alat. Pengerjaan pemeriksaan
molekular membutuhkan fasilitas dengan biosafety level 2
(BSL-2), sementara untuk kultur minimal BSL-3. Kultur
virus tidak direkomendasikan untuk diagnosis rutin.
Metode yang direkomendasikan untuk deteksi virus adalah
amplifikasi asam nukleat dengan real-time
reversetranscription polymerase chain reaction (rRT-
PCR) dan dengan sequencing. Sampel dikatakan positif
(konfirmasi SARS-CoV-2) bila rRT-PCR positif pada
minimal dua target genom (N, E, S, atau RdRP) yang
spesifik SARS-CoV-2 atau rRT-PCR positif
betacoronavirus, ditunjang dengan hasil sequencing
sebagian atau seluruh genom virus yang sesuai dengan
SARS-CoV-2 (2).

Gambar 2.2 Gambaran histopatologi paru pada pasien


COVID-19

2.1.10 Diagnosis Banding COVID-19

Dari beberapa gejala klinis yang terlihat pada pasien dengan


COVID-19, beberapa diagnosis banding COVID-19 yang mungkin
diantaranya:
 Pneumonia bakterial

Gejala yang sering muncul pada pasien pneumonia


bakterial seperti batuk baik berdahak atau tidak, kemunculan
dahak biasanya seperti purulen, dahak berdarah dengan atau
tanpa adanya nyeri dada. Secara umum tidak bersifat infeksius
dan bukan pula infeksius (12).
Gejala lain dari penyakit pneumonia ini yaitu
menggigil, demam, sakit kepala, dan sesak napas. Populasi
yang rentan pneumonia adalah anak- anak usia kurang dari 2
tahun, usia lanjut lebih dari 65 tahun dan orang yang memiliki
masalah kesehatan (malnutrisi, gangguan imunologis) (12).
 Pneumonia jamur.
 Edema paru kardiogenik (gagal jantung) (14).

2.1.11 Tatalaksana COVID-19

Prinsip tatalaksana secara keseluruhan menurut rekomendasi WHO


yaitu: Triase: identifikasi pasien segera dan pisahkan pasien dengan Severe
Acute Respiratory Infection (SARI) dan dilakukan dengan memperhatikan
prinsip Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) yang sesuai, terapi
suportif dan monitor pasien, pengambilan contoh uji untuk diagnosis
laboratorium, tata laksana secepatnya pasien dengan hipoksemia atau
gagal nafas dan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), syok
sepsis dan kondisi kritis lainnya. Hingga saat ini tidak ada terapi spesifik
anti virus nCoV 2019 dan anti virus corona lainnya (7).
Beberapa peneliti membuat hipotesis penggunaan baricitinib, suatu
inhibitor kinase dan regulator endositosis sehingga masuknya virus ke
dalam sel terutama sel epitel alveolar. Pengembangan lain adalah
penggunaan rendesivir yang diketahui memiliki efek antivirus RNA dan
kombinasi klorokuin, tetapi keduanya belum mendapatkan hasil. Vaksinasi
juga belum ada sehingga tata laksana utama pada pasien adalah terapi
suportif disesuaikan kondisi pasien, terapi cairan adekuat sesuai
kebutuhan, terapi oksigen yang sesuai derajat penyakit mulai dari
penggunaan kanul oksigen dan masker oksigen (7).

2.1.12 Komplikasi COVID-19

Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada COVID-19


diantaranya:

 Pneumonia,

 Sepsis,

 Syok sepsis,
 Gagal napas,

 Multiorgan Dysfunction Syndrome (MODS),

 Tromboemboli vena,

 Stres ulcer dan pendarahan saluran pencernaan,

 Komplikasi lainnya selama perawatan pasien (11,13).

2.1.13 Pencegahan COVID-19

Pencegahan utama adalah membatasi mobilisasi orang yang


berisiko hingga masa inkubasi. Pencegahan lain adalah meningkatkan daya
tahan tubuh melalui asupan makanan sehat, meperbanyak cuci tangan,
menggunakan masker bila berada
di daerah berisiko atau padat, melakukan olah raga, istirahat cukup serta makan
makanan yang dimasak hingga matang dan bila sakit segera berobat ke RS
rujukan untuk dievaluasi (5).
Pencegahan pada petugas kesehatan juga harus dilakukan dengan
cara memperhatikan penempatan pasien di ruang rawat atau ruang intensif
isolasi. Pengendalian infeksi di tempat layanan kesehatan pasien terduga di
ruang instalasi gawat darurat (IGD) isolasi serta mengatur alur pasien
masuk dan keluar. Pencegahan terhadap petugas kesehatan dimulai dari
pintu pertama pasien termasuk triase. Pasien yang mungkin mengalami
infeksi COVID-19 petugas kesehatan perlu menggunakan APD standar
untuk penyakit menular. Kewaspadaan standar dilakukan rutin,
menggunakan APD termasuk masker untuk tenaga medis (N95), proteksi
mata, sarung tangan dan gaun panjang (gown) (5).
a. Vaksin

Salah satu upaya yang sedang dikembangkan adalah pembuatan vaksin


guna membuat imunitas dan mencegah transmisi. Saat ini, sedang
berlangsung 2 uji klinis fase I vaksin COVID-19. Studi pertama dari
National Institute of Health (NIH) menggunakan mRNA-1273 dengan
dosis 25, 100, dan 250 μg.124 Studi kedua berasal dari China
menggunakan adenovirus type 5 vector dengan dosis ringan, sedang dan
tinggi. Pada 2 Oktober 2020 diketahui terdapat 42 calon vaksin
COVID- 19 dalam evaluasi klinis dimana 10 diantaranya dalam uji fase
III dan membutuhkan setidaknya 30.000 peserta atau lebih, selain itu
terdapat 151 calon vaksin lainnya yang masih berada dalam evaluasi
praklinis dan semua kandidat vaksin teratas diterapkan untuk injeksi
intramuskular (2,11).
b. Deteksi dini dan isolasi

Seluruh individu yang memenuhi kriteria suspek atau pernah berkontak


dengan pasien yang positif COVID-19 harus segera berobat ke fasilitas
kesehatan. WHO juga sudah membuat instrumen penilaian risiko bagi
petugas kesehatan yang menangani pasien COVID-19 sebagai panduan
rekomendasi tindakan lanjutan. Bagi kelompok risiko tinggi,
direkomendasikan pemberhentian seluruh aktivitas yang berhubungan
dengan pasien selama 14 hari, pemeriksaan infeksi SARS-CoV-2 dan
isolasi. Untuk kelompok risiko rendah, dihimbau melaksanakan
pemantuan mandiri setiap harinya terhadap suhu dan gejala pernapasan
selama 14 hari dan mencari bantuan jika keluhan memberat. Tingkat
masyarakat, usaha mitigasi meliputi pembatasan berpergian dan kumpul
massa pada acara besar (social distancing) (2).
c. Higiene, cuci tangan, dan desinfeksi

Rekomendasi WHO dalam menghadapi wabah COVID-19 adalah


melakukan proteksi dasar, yang terdiri dari cuci tangan secara rutin
dengan alkohol atau sabun dan air, menjaga jarak dengan seseorang
yang memiliki gejala batuk atau bersin, melakukan etika batuk atau
bersin, dan berobat ketika memiliki keluhan yang sesuai kategori
suspek. Rekomendasi jarak yang harus dijaga adalah satu meter.
Perilaku cuci tangan harus diterapkan oleh seluruh petugas kesehatan
pada lima waktu, yaitu sebelum menyentuh pasien, sebelum melakukan
prosedur, setelah terpajan cairan tubuh, setelah menyentuh pasien dan
setelah menyentuh lingkungan pasien. Air sering disebut sebagai pelarut
universal, namun mencuci tangan dengan air saja tidak cukup untuk
menghilangkan coronavirus karena virus tersebut merupakan virus
RNA dengan selubung lipid bilayer. Hindari menyentuh wajah terutama
bagian wajah, hidung atau mulut dengan permukaan tangan. Ketika
tangan terkontaminasi dengan virus, menyentuh wajah dapat menjadi
portal masuk. Terakhir, pastikan menggunakan tisu satu kali pakai
ketika bersin atau batuk untuk menghindari penyebaran droplet (2).
d. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)

SARS-CoV-2 menular terutama melalui droplet. Alat pelindung diri


(APD) merupakan salah satu metode efektif pencegahan penularan
selama penggunannya rasional. Komponen APD terdiri atas sarung
tangan, masker wajah, kacamata pelindung atau face shield, dan gaun
nonsteril lengan panjang. Jika pasien memiliki gejala pernapasan, jaga
jarak minimal satu meter dan pasien dipakaikan masker. Tenaga medis
disarankan menggunakan APD lengkap. Alat seperti stetoskop,
termometer, dan spigmomanometer sebaiknya disediakan khusus untuk
satu pasien. Bila akan digunakan untuk pasien lain, bersihkan dan
desinfeksi dengan alkohol 70%. World Health Organization tidak
merekomendasikan penggunaan APD pada masyarakat umum yang
tidak ada gejala demam, batuk, atau sesak (2).
e. Penggunaan masker N95

CDC merekomendasikan petugas kesehatan yang merawat pasien yang


terkonfirmasi atau diduga COVID-19 dapat menggunakan masker N95
standar. Masker N95 dapat menyaring 95% partikel ukuran 300 nm
meskipun penyaringan ini masih lebih besar dibandingkan ukuran
SARS-CoV-2 (120-160 nm) (2).
f. Daya tahan tubuh

Terdapat beragam upaya dari berbagai literatur yang dapat


memperbaiki daya tahan tubuh terhadap infeksi saluran napas. Suatu
meta-analisis dan telaah sistematik menunjukkan bahwa suplementasi
vitamin D dapat secara aman memproteksi terhadap infeksi saluran
napas akut. Efek proteksi tersebut lebih besar pada orang dengan kadar
25-OH vitamin D kurang dari 25 nmol/L dan yang mengonsumsi harian
atau mingguan tanpa dosis bolus (2).

2.2 Vaksin
Vaksin merupakan buatan biologi yang bermuatan antigen berwujud
mikroba ataupun partikel serta komponen tertentu yang sudah di uji dan
terjamin sehingga aman untuk digunakan serta mampu memicu imunitas
spesifik yang dapat berespon langsung terhadap penyakit tertentu. Vaksin
bukan diberikan untuk pengobatan, namun fungsi vaksin adalah untuk
merangsang pembuatan imunitas spesifik sehingga tubuh mudah tidak
mudah terserang penyakit. Adapun vaksinasi adalah memasukkan vaksin
ke tubuh seseorang dengan tujuan mengaktifkan atau menaikkan imunitas
terhadapa suatu penyakit, sehingga bila suatu waktu individu tersebut
terekspos oleh penyakit maka individu tidak akan sakit atau sekadar
menderita sakit ringan (16).
Bagi sebagian besar negara, upaya vaksinasi skala besar dimulai
pada paruh pertama tahun 2021. Permintaan akan melampaui pasokan, dan
negara-negara perlu memprioritaskan siapa yang harus ditargetkan terlebih
dahulu untuk vaksinasi, berdasarkan risiko dan pertimbangan
epidemiologis. Banyak dari upaya ini akan diatur dalam "gelombang",
menargetkan kelompok populasi yang berbeda berdasarkan prioritas.
Vaksinasi COVID-19 dilaksanakan guna mencukupi usaha preventif
dengan implementasi protokol kesehatan, sehingga walaupun vaksin sudah
ada, protokol kesehatan menggunakan prosedur 3-M yakni menggunakan
masker, menjagai jarak, menjauhi keramaian juga membersihkan lengan
memakai sabun dengan air mengalir, wajib konsisten dilakukan dengan
optimal. Kontribusi vaksin ini diharapkan dapat memberikan kekebalan
komunitas dan mampu menanggulangi pandemi (17).

2.1.1 Vaksin Booster


Vaksinasi booster adalah vaksinasi COVID-19 setelah seseorang
mendapat vaksinasi primer dosis lengkap yang ditujukan untuk
mempertahankan tingkat kekebalan serta memperpanjang masa
perlindungan, asil studi menunjukkan telah terjadi penurunan antibodi
pada enam bulan setelah mendapatkan vaksinasi COVID-19 dosis primer
lengkap, sehingga dibutuhkan pemberian dosis lanjutan atau booster untuk
meningkatkan proteksi individu terutama pada kelompok masyarakat
rentan. Pemberian vaksinasi booster ini juga telah disarankan Komite
Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (ITAGI)  untuk memperbaiki
efektivitas vaksin yang telah menurun.
Vaksinasi booster dilakukan melalui dua mekanisme. Pertama,
mekanisme homolog yaitu pemberian vaksin booster dengan
menggunakan jenis vaksin yang sama dengan vaksin primer dosis lengkap
yang telah didapat sebelumnya. Kedua, mekanisme heterolog yaitu
pemberian vaksin booster dengan menggunakan jenis vaksin yang berbeda
dengan vaksin primer dosis lengkap yang telah didapat sebelumnya.
Jenis vaksin yang digunakan pada bulan Januari ini yaitu, untuk
sasaran dengan dosis primer Sinovac maka diberikan vaksin AstraZeneca
sejumlah separuh dosis atau 0,25 mililiter atau vaksin Pfizer sejumlah
separuh dosis atau 0,15 mililiter. Sedangkan untuk sasaran dengan dosis
primer AstraZeneca maka diberikan vaksin Moderna sejumlah separuh
dosis atau 0,25 mililiter atau Pfizer separuh dosis atau 0,15 mililiter.

Kementerian Kesehatan terus mendorong masyarakat untuk


melakukan vaksinasi untuk menekan angka risiko sakit yang parah hingga
kematian akibat COVID-19. Vaksinasi lengkap ditambah booster dapat
memberikan perlindungan hingga 91% dari kematian, atau risiko terburuk
lainnya akibat COVID-19. Dosis booster mengacu pada dosis vaksin
tambahan setelah vaksin primer. Bukti saat ini menunjukkan bahwa
kekebalan humoral terhadap SARS-CoV-2 (diukur dengan antibodi
spesifik virus) berkurang, dan ada pengurangan perlindungan terhadap
infeksi setelah vaksinasi dari waktu ke waktu. Perlindungan terhadap
penyakit parah telah terbukti tetap tinggi dan berkurang ke tingkat yang
lebih rendah daripada terhadap infeksi atau penyakit non-parah dalam
banyak penelitian, termasuk untuk varian Delta.
Perlindungan terhadap penularan dari individu yang divaksinasi
yang terinfeksi juga tampaknya berkurang dari waktu ke waktu.
Perlindungan terhadap penularan dari individu yang divaksinasi yang
terinfeksi juga tampaknya berkurang dari waktu ke waktu . Pemberian
dosis booster vaksin COVID-19 4 bulan atau lebih setelah selesainya
vaksin primer telah terbukti meningkatkan respons kekebalan tubuh dan
diantisipasi untuk meningkatkan perlindungan, terutama pada orang tua di
mana memudar lebih jelas.Efektivitas perlindungan dosis booster Covid-
19 Moderna telah disimpulkan dari perbandingan menetralkan titre
antibodi dan tingkat seroresponse terhadap varian Delta dan strain SARS-
CoV-2 yang lebih tua, menunjukkan bahwa konsentrasi antibodi lebih
tinggi setelah dosis booster daripada setelah pemberian utama. Dosis
booster juga dapat mengurangi potensi individu yang terinfeksi untuk
menularkan virus kepada orang lain, meskipun bukti untuk mendukung hal
ini saat ini terbatas. Studi menunjukkan bahwa efek samping ringan dan
sementara yang umum setelah dosis booster sebanding dengan yang
mengikuti dosis vaksin primer. Namun, ada data terbatas tentang kejadian
efek samping yang jarang namun berpotensi serius setelah dosis booster
(2)
DAFTAR PUSTAKA
1. Ministry of Health. COVID-19 Vaccine Third Dose Recommendations.
2021;2021(page 10):1–9.
2. Islander TS. Australian Technical Advisory Group on Immunisation
(ATAGI) recommendations on the use of a booster dose of COVID-19
vaccine. 2021;(October 2021):1–6.

3. Fadli A. Mengenal Covid-19 dan Cegah Penyebabnya Dengan


“Peduli Lingkungan” Aplikasi Berbasis Android. Jurnal Teknik
Elektro. 2020;(April).[cited 2021 Jan 25].

4. Susilo A, Rumende CM, Pitoyo CW, Santoso WD, Yulianti M,


Herikurniawan H, et al. Coronavirus Disease 2019: Tinjauan
Literatur Terkini. Jurnal Penyakit Dalam Indones. 2020;7(1):45.

5. World Health Organization. Naming The Coronavirus Disease


(COVID-19) and The Virus That Causes It [Internet]. World Health
Organization. 2020.p. 1. Available from:
https://www.who.int/emergencies/diseases/novel- coronavirus-2019.
[cited 2020 Okt 17].

6. Rothan HA, Byrareddy SN. The Epidemiology and Pathogenesis of


Coronavirus Disease (COVID-19) Outbreak. Vol. 109, Journal of
Autoimmunity. Academic Press; 2020.

7. Jawetz, Melnick, Adelberg. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi XXII.


Jakarta: Salemba Medika; 2001. 581–582 p.

8. WHO. Coronavirus disease (COVID-19). World Health


Organization; 2020.[cited 2021 Jan 25].

9. Handayani D, Hadi DR, Isbaniah F, Burhan E, Agustin H. Penyakit


Virus Corona 2019. Jurnal Respirologi Indonesia. 2020;Volume
40:119–29.

10. Wiersinga WJ, Rhodes A, Cheng AC, Peacock SJ, Prescott HC.
Pathophysiology, Transmission, Diagnosis, and Treatment of
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19): A Review. JAMA - J Am
Med Assoc. 2020;324(8):782–93.

11. Sugihantono A, Burhan E, Susanto AD, Damayanti T, Dkk.


Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease
(COVID-19) Revisi Ke-5. KemkesGoId. 2020;24.

12. Burhan E, Isbaniah F, Susanto AD. Pneumonia COVID-19 Diagnosis


& Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia; 2020. 1–58 p.

13. PatKLIn P. Usulan Panduan Pemeriksaan Laboratorium COVID-19.


Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia. 2020;2(5):0–6.

14. PDSRI. Pemeriksaan Radiologi Saat Pandemi COVID-19. 2020;


Available from: https://drive.google.com.[diunduh 19 Oktober 2020].

15. Perhimpuan Dokter Paru Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru


Indonesia Awal dan Perkembangannya. 2020;(19):19–21.

16. Wibowo W, Putranto RH, Widianto W, Sahir S. Situasi Pneumonia


Di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Gowa Sulawesi
Selatan Tahun 2017. Media Kesehat Politek Kesehat Makassar.
2018;13(2):34.

17. Burhan E, Dwi Susanto A, Nasution SA, Ginanjar E, Wicaksono


Pitoyo C, Susilo A, et al. Protokol Tatalaksana COVID-19 Tim
Penyusun Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) Perhimpunan
Dokter Anestesiologi dan Terapi Int. 2020;
18. Kementerian Kesehatan RI. 2020. Pandemi COVID-19.

19. WHO. 2020. ―Modes of Transmission of Virus Causing COVID-


19: Implications for IPC Precaution Recommendations.‖ Geneva:
World Health Organization; Available: 1–10.
https://www.who.int/publicationsdetail/modes-of-transmission-of-
virus-causing-covid-19-implications-foripc-precaution-
recommendations.

Anda mungkin juga menyukai