Anda di halaman 1dari 10

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daun Pepaya (Carica papaya L.)

2.1.1 Taksonomi Daun Pepaya (Carica papaya L.)

Kingdom : Plantae – plantes, Planta, Vegetal, plants

Subkingdom : Viridaeplantae – green plants

Infrakingdom : Streptophyta – land plants

Division : Tracheophyta – vascular plants, tracheophytes

Subdivision : Spermatophytina – spermatophytes, seed plants, phanerogames

Class : Magnoliopsida

Superorder : Rosanae

Order : Brassicales

Family : Caricaceae – papayas

Genus : Carica L. – papaya

Species : Carica papaya L. – papaya, pawpaw

(Begum, 2014)

2.1.2 Sifat Fisik Daun Pepaya (Carica papaya L.)

Carica pepaya atau dikenal dengan nama umum lainnya seperti


pepaya, pawpaw, chichpu dan mamao adalah spesies yang paling populer di
antara keluarga Caricacae (Elgadir Mohammed ABD, Salama Mohammed,
Adam Aishah, 2014). Pepaya tumbuh hingga 5-10 m. Daun pepaya daunnya
tunggal, bentuknya bulat, ujungnya runcing, pangkalnya bertoreh dan tepinya
bergerigi dengan diameter 50-70 cm, dan memiliki 7 lobus (Kausilya, 2017).

2.1.3 Kandungan Daun Pepaya (Carica papaya L.)

Masyarakat biasanya menggunakan daun sebagai makanan dalam


bentuk sayur maupun produk olahan lainnya. Hal tersebut berdasarkan
padakandungan daun papaya yang beragam (Yogiraj, 2014). Selain itu daun
muda pepaya (Carica papaya L.) juga mengandung fenolik, alkaloid, saponin
dan flavonoid. Daun dan akar juga mengandung polifenol dan biji
mengandung saponin (Depkes RI, 2013).

2.1.4 Antioksidan Daun Pepaya (Carica papaya L.)

Menurut penelitian Andrawulan (2010) daun pepaya memiliki


senyawa anti oksidan flavonoid yang tinggi dibanding daun daun lain. Dalam
penelitian Maisarah AM dkk (2013) menunjukan hasil bahwa kandungan
antioksidan dalam pepaya dari jumlah tertinggi adalah daun muda. Senyawa
utama sebagai antioksidan yang terkandung dalam daun muda pepaya adalah
flavonid dan fenolik. Flavonoid memiliki sifat antioksidan yang berperan
sebagai penangkap radikal bebas karena mengandung gugus hidroksil yang
dapat menyumbangkan elektronnya pada molekul yang memiliki elektron
tidak berpasangan seperti radikal bebas sehingga flavonoid berperan penting
dalam menghambat peningkatan radikal bebas dalam tubuh. Fenolik
merupakan senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan dengan cara
menetralkan lipid dari radikal bebas dan mencegah dekomposisi
hidroperoksida menjadi radikal bebas. Selain itu antioksidan yang terkandung
dalam daun muda pepaya adalah saponin. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Diniz et al tahun 2012, saponin merupakan senyawa antioksidan yang dapat
meningkatkan aktivitas ATP.
2.1.5 Manfaat Daun Pepaya (Carica papaya L.)

Daun pepaya (Carica papaya L.) memiliki banyak sekali manfaat.


Banyak penelitian in-vitro dan in-vivo telah menunjukkan khasiat obat dari
ekstrak daun pepaya termasuk anti-dengue, anti-plasmodial, anti kanker,
antibakteri, hepatoproteksi, anti-inflamasi dan antioksidan (Nugroho A et al,
2016). Menurut Tebekeme Okoko tahun 2012 juga menunjukan bahwa latex
dalam daun pepaya memiliki kegunaan sebagai antihelmints dan antibakteri.

Studi lainnya menyatakan bahwa intake daun pepaya (Carica papaya


L.) pada individu yang sehat dapat menyebabkan penurunan respond
inflamasi melalui regulasi aktivitas sel T (Abdulah M et al, 2011).

2.2 Anemia Defisiensi Besi

Anemia merupakan suatu kondisi dimana jumlah sel darah merah tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Anemia didefinisikan sebagai
rendahnya kadar hemoglobin dalam tubuh. Meskipun pemeriksaan kadar
hemoglobin darah merupaka indikator yang paling dapat diandalkan, namun
hanya dengan pemeriksaan hemoglobin saja belum dapat menjelaskan
penyebab dari anemia (WHO, 2015).

Anemia bisa disebabkan oleh beberapa faktor, yang signifikan adalah


terjadinya defisiensi besi. Kurang lebih 50% penyebab dari anemia
dikarenakan defisiensi besi, tetapi jumlahnya kemungkinan bervariasi
tergantung jumlah populasi dan perbedaan lokasi tergantung kondisi
lingkungan (WHO, 2015). Diperkirakan lebih dari 1,5 miliar penduduk secara
global menderita anemia, satu pertiga dari populasi tersebut karena defisiensi
besi (Parmar, Jwal D, Ruhi, 2016). Penyebab anemia harus ditegakkan
sebelum pengobatan diberikan. Hal ini dilakukan dengan penilaian klinis
(anamnesis, pemeriksaan fisik) dan penggunaan pemeriksaan penunjang
khusus secara tepat (Hoffbrand AV, Moss PAH, 2016).
Defisiensi besi merupakan penyebab paling umum dari anemia karena
faktor nutrisi dan sering terjadi selama periode peningkatan kebutuhan
misalnya pada masa kehamilan dan selama masa menyusui terutama diantara
orang orang dengan status sosioekonomi yang rendah karena kurangnya
asupan zat besi, infeksi dan malabsorbsi (Parmar, Jwal D, Ruhi, 2016). Status
zat besi dipertimbangkan sebagai berikut : defisiensi besi dengan anemia,
efisiensi besi tanpa anemia, status zat besi normal dan zat besi berlebih, yang
bisa menyebabkan kerusakan organ jika parah atau berat (WHO, 2001).

2.2.1 Patofisiologi

Besi terkandung dalam hemoglobin, sistem retikuloendotelial


(reticuloendothelial system, RES) (sebagai feritin dan hemosiderin), otot
(mioglobin), plasma (terikat pada transferin), dan enzim selular (misalnya
sitokrom, katalase) (Hoffbrand AV, Moss PAH, 2016). Besi memiliki peran
penting pada sintesis hemoglobin (Parmar, Jwal D, Ruhi, 2016). Sel RE
(makrofag) mendapatkan besi dari hemoglobin sel darah merah yang tidak
terpakai lagi dan melepaskannya ke transferin plasma yang membawa besi ke
sumsum tulang dan jaringan lain dengan reseptor transferin (Hoffbrand AV,
Moss PAH, 2016).

Besi diabsorbsi dari darah oleh DMT-1 pada ujung vilosa, dan HFE
serta feroportin-1 pada permukaan basolateral enterosit. Besi pada saat itu
dalam bentuk divalent. Kemungkinan terjadi dengan reduksi Fe3+ menjadi
Fe2+ oleh vitamin C atau oleh sitokrom dari duodenum (Kotze et al, 2009).
Transferin mempu mengikat dua atom besi per molekul dan dapat digunakan
kembali setelah memberikan besi ke sel protein pengikat unsur responsif besi
adalah suatu protein pengikat RNA yang berikatan dengan sekuens RNA
messenger spesifik, dan merupakan suatu mekanisme dimana kandungan besi
tubuh mengatur pengambilan dan penyimpanan besi melalui RES. Bila besi
berlebih, sintesis reseptor transferin menurun, dan oleh sebab itu ambilan besi
menurun, serta feritin meningkat (Hoffbrand AV, Moss PAH, 2016).

Hepcidin juga memiliki peran yang penting. Hepcidin merupakan


polipeptida besar yang dilepaskan oleh hati sebagai respon terhadap kadar
besi atau inflamasi. Hepcidin mengurangi absorbsi besi dan pelepasan besi
dari makrofag ke plasma jika penyimpanan zat besi tinggi (Hoffbrand AV,
Moss PAH, 2016). Selain hepcidin dapat mengurangi absorbsi besi (inhibitor)
seperti fitat (phytate) dan polifenol. Vitamin C dapat meningkatkan absorbsi
zat besi dalam tubuh dan membantu mereduksi menjadi ferro (Fe2+) dari ferri
(Fe3+) sehingga tubuh dapat mengabsorbsi zat besi lebih mudah karena pada
zat besi anorganik ferro lebih mudah diserap dalam tubuh (Kotze et al, 2009).

Tubuh mendapatkan asupan zat besi dari makanan yang diabsorbsi


melalui duodenum dan pada saat makrofag memakan sel darah merah mati
atau sel darah merah hasil eritropoiesis tidak sempurna. Transferrin akan
membawa dua molekul zat besi ke organ yang terdapat reseptor transferrin
(Tfr) seperti hati dan sumsum tulang untuk dilakukan proses pembuatan sel
darah merah (Hoffbrand AV, Moss PAH, 2016).

2.2.2 Diagnosis

Ada banyak gejala dari anemia, setiap individu tidak akan mengalami
seluruh gejala dan apabila anemia tersebut sangat ringan, gejalanya mungkin
tidak tampak. Beberapa gejalanya antara lain: warna kulit pucat, mudah lelah,
pusing, lemah, nafas pendek, selera makan turun, sakit kepala (Adamson JW,
2015). Gambaran khusus (sebagian kecil pasien) dari anemia defisiensi zat
besi antara lain :

a) Koilonika atau kuku rapuh dan bergerigi


b) Glositis : lidah merah, bengkak, licin , bersinar dan lunak, terkadang
muncul sporadis

c) Keilosis angular : luka pada pinggir mulut

d) Pika : selera makan abnormal

e) Penipisan rambut

f) Terbentuknya sarang (web) faringeal (sindrom Patrson-Kelly)

(Hoffbrand AV, Moss PAH, 2016)

Selain itu, perlu dilakukan pemeriksaan laboraturium untuk


menegakkan diagnosa pasti anemia defisiensi zat besi. temuan laboratorium
tersebut antara lain:

a) Anemia mikrositik hipokromik

b) Gambaran apusan darah meliputi sel hipokromik/ mikrositik,


anisositosis/poikilositosis, sel target dan sel “pensil”

c) Sumsum tulang: eritoblas memperlihatkan sitoplasma iregular kasar; tidak


adanya besi dari simpanan dan eritoblas

d) Jumlah trombosit meningkat

e) Feritin serum berkurang, besi serum rendah dengan peningkatan transferin


dan kapasitas pengikat besi tidak jenuh

f) Reseptor transferin yang dapat larut dalam serum meningkat (Hoffbrand


AV, Moss PAH, 2016).

2.3 Mekanisme Absorbsi Besi (Fe)


Kadar besi seluruh tubuh dikontrol secara dominan pada tingkat
penyerapan zat makanan dari usus. Penyerapan zat besi terutama terjadi pada
duodenum (dan jejunum atas) dan meningkat selama defisiensi besi dan
menurun selama pengisian zat besi dan kandungan zat besi yang berlebihan
dalam tubuh (Lane et al, 2015). Pada tingkat sel, besi diserap melintasi
membran apikal sel epitel yang terdiferensiasi (enterosit) pada zona
pertengahan dan villus bagian atas. Sel-sel ini dapat menyerap zat besi
makanan, yang terdiri dari dua bentuk utama: besi non-heme (terutama
ditemukan pada sereal dan sayuran) dan besi heme (terutama berasal dari
hemoprotein dalam daging) (Lane et al, 2015).

Serapan diet besi non-heme terjadi dalam dua fase. Pada fase pertama,
besi diambil melintasi membran apikal enteroten duodenum pada gambar 2.3,
yang mensyaratkan bahwa zat besi dapat larut dan dalam bentuknya yang
direduksi. Nutrien asam nutrisi kemudian dikeluarkan dari perut ke dalam

duodenum, di mana sebagian besar penyerapan zat besi diperkirakan


terjadi (Lane et al, 2015).

Pandangan saat ini dan yang dipegang secara luas adalah bahwa
reduksi dari besi non-heme, yang dengan cepat dioksidasi menjadi bentuk
ferri (Fe3+) dengan adanya oksigen terlarut, dimediasi oleh membran
fermentasi apikal, seperti DCYTB di- Heme transmembran oksidoreduktase
yang dimanfaatkan askorbat intraseluler sebagai donor elektron untuk
mengurangi ferri (Fe3+) ekstraselular dan substrat fisiologis lainnya ada juga
bukti bahwa pengurangan besi non-heme di lingkungan ekstraselular dapat
melibatkan reduksi ferri (Fe3+) non-enzimatik yang didorong oleh reduktan
endogen dan sekresi seperti askorbat dan atau superoksida (Lane et al, 2015).

Kontribusi pengurangan non-enzimatik dari besi duodenum oleh


askorbat terlarut, terlepas dari atau disuplai dalam makanan, terkait
patofisiologis dengan mekanisme pengurangan dan penyerapan zat besi pada
mamalia (misalnya, manusia) yang tidak mampu mensintesis askorbat mereka
sendiri. Besi kemudian diangkut melintasi membran apikal enterocyte melalui
transporter besi, seperti transporter logam divalen 1 (DMT1), dan
emungkminan transporter logam divalen lainnya, seperti ZIP14 (Lane et al,
2015).

Transferrin (Tf) merupakan protein utama yang terlibat dalam


transportasi besi di plasma darah. Normalnya antara 20 dan 40 % dari protein
pengikat ditempati oleh ferri (Fe3+). Nilai diagnostik Tf baru saja ditinjau
ulang. Terbukti parameter yang berguna untuk menilai kedua defisiensi zat
besi dan besi yang berlebih. Saturasi Tf dalam darah digunakan sebagai
petunjuk kuat adanya besi yang berlebihan (Waldvogel-Abramowski et al,
2014). Prekursor eritrosit mengambil besi dengan menggunakan Tfr, terutama
Tfr1, sedangkan hepatosit dan sel bukan eritroid lainnya juga dapat
menggunakan NTBI (Waldvogel-Abramowski et al, 2014).

Transferrin yang mengangkut besi berikatan dengan reseptor


transferrin (Tfr) dan hal yang kompleks di internalisasi di dalam sel dengan
mendaur ulang vesikel endosom. Siklus Tf yang bergantung pada kompleks
Tf-Tfr, melibatkan internalisasi yang kompleks di dalam endosome, di ikuti
oleh pelepasan zat besi setelah mengalami perubahan menjadi asam dari
endosome dan daur ulang kompleks Tf-Tfr untuk dibawa ke permukaan sel.
Akhirnya, di permukaan sel, di pH netral, Tf berdisosiasi dari Tfr, dan
digunakan untuk mengulang siklus besi (Waldvogel-Abramowski et al, 2014).

Prekursor eritroid membutuhkan lebih banyak besi dari jenis sel yang
lain dalam tubuh, dan seperti yang telah disebutkan, prekursor eritroid
mengambil besi hampir secara eksklusif melalui Tfr1. Transportasi besi ke
mitokondria yang disediakan oleh mitoferrin-1 atau dengan nama lain
zitokondrial transferrin 1 dari prekursor eritroid. Mitoferrin-1 berinteraksi
dengan transporter pengikat Atp dan mengikat ferrokelatase untuk
membentuk sebuah kompleks oligomerik, memungkinkan penyerapan besi
dan biosintesis heme (Waldvogel-Abramowski et al, 2014).

2.3 Peran Daun Pepaya dalam Meningkatkan Kadar Hemoglobin

Carica papaya L.telah banyak diteliti pada beberapa tahun terakhir


terutama pada tikus. Hasil penelitian in vitro pada hewan dan manusia
membuktikan bahwa semua bagian dari Carica papaya L.memiliki fungsi
baik secara fisiologis maupun farmakologi. Penelitian sebelumnya yang
dilakukan pada manusia mengindikasikan bahwa bubuk daun Carica papaya
L.yang diberikan secara oral diketahui berguna sebagai antianemia,
kemoprotektif, dan efek antioksidan tanpa menimbulkan efek samping (Fahey
JW, 2005). Daun pepaya mempunyai banyak kandungan vitamin A, vitamin C
dan zat besi (Fe) sebagai sumber yang berpengaruh erhadap kadar hemoglobin
pada anemia defisiensi besi. Vitamin A dan Vitamin C dapat mempercepat
penyerapan zat besi (Fe) (Canadian PharmacistAssociation, 2012).

Kandungan zat besi daun pepaya dibantu dengan kandungan vitamin C


dapat mempercepat pengembalian zat besi yang tersimpan dalam tubuh. Zat
besi yang telah disimpan akan digunakan untuk proses eritropoiesis sehingga
eritrosit yang beredar ditubuh akan bertambah (Yulianti H, Hadju V, Elma
Alasiry. 2015).

Zat besi yang terdapat dalam daun pepaya akan diserap oleh tubuh
melalui usus duodenum dengan bantuan reseptor DMT1 untuk masuk ke
enterosit. Zat besi akan diteruskan ke ferroportin yang merupakan pintu keluar
menuju cairan interstisial tubuh. Sebelum dilepas ke cairan interstisial tubuh,
zat besi akan di oksidasi menjadi Fe3+ oleh HEPH. Setelah di oksidasi, zat
besi akan dilepas ke cairan interstisial dan berikatan dengan Transferrin
(Hoffbrand AV, Moss PAH, 2016).
Transferin yang membawa zat besi akan masuk ke dalam sel melalui
reseptor. Zat besi akan dilepaskan lalu menuju ke mitokondria yang
merupakan tempat sintesis protoporphyrin pada gambar 2.5. Protoporphyrin
bergabung dengan zat besi dalam bentuk Fe2+ sehingga terbentuk Hemo.
Hemo akan dikeluarkan dari mitokondria untuk bergabung dengan α2β2
globin menjadi Hemoglobin (Hoffbrand AV, Moss PAH, 2016).

Penelitian sebelumnya dilakukan pada perempuan yang diberikan buah


kiwi sebagai vitamin C dengan diberikan bersamaan dengan suplemen besi
menghasilkan terdapat perbedaan signifikan kenaikan kadar besi dan
hemoglobin. Meningkatnya absorbsi zat besi di dalam tubuh yang dibantu
dengan vitamin C, maka kadar hemoglobin dalam darah akan meningkat
(Beck et al, 2011).

Penggunaan vitamin C pada saat konsumsi zat besi juga dapat


menurunkan kebutuhan jumlah total zat besi yang diperlukan untuk
mendapatkan tujuan klinis yang sama. Selain itu dengan menggunakan
vitamin C dapat meningkatkan kelarutan zat besi yang akan berpengaruh
terhadap penyerapan zat besi (Lane DJR, Jansson PJ, Richardson DR, 2016).

Anda mungkin juga menyukai