PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pneumonia
2.1.1 Defenisi
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Dahlan 20).
2.1.2 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu,
bakteri, virus, jamur dan protozoa.
a. Bakteri
Penyebab bakteri dibagi menjadi dua penyebab, yaitu :
1) Typical organisme
Penyebab pneumonia berasal dari gram positif berupa :
- Streptococcus pneumonia
- Staphylococcus aureus
- Enterococcus (E.faecalis, E.faecium)
Penyebab pnemonia berasal dari gram negatif berupa :
- Pseudomona aeroginosa
- Klebsiela pneumonia
- Haemophilus influenza
2) Atipikal organisme
Mycoplasma sp. , chlamedia sp. , legionella sp.
b. Virus
- Virus influenza
- Virus Para Influenza
- Respiratory syntitial Virus
- Virus corona
c. Fungi
- Candida sp.
- Aspergilus sp.
- Cryptococcus neoformans (Supandi dkk, 2014)
2
Cara penularan berkaitan pula dengan jenis kuman, misalnya infeksi melalui
droplet sering disebabkan Streptococcus pneumonia, melalui slang infuse oleh
Staphylococcus aureus sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator oleh P.
auruginosa dan Enterobacter (Dahlan).
2.1.3 Epidemiologi
Penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan
yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum
berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (pneumonia
komuniti) atau di dalam rumah sakit/ pusat perawatan (pneumonia nosokomial).
Pneumonia yang merupakan bentuk infeksi saluran napas bawah akut di parenkim
paru yang serius dijumpai sekitar 15-20% (Dahlan).
Kejadian pneumonia nosokomial di ICU lebih sering daripada pneumonia
nosokomial di ruangan umum, yaitu dijumpai pada hampir 25% dari semua infeksi
di ICU, dan 90% terjadi pada saat ventilasi mekanik. Pneumonia dapat terjadi pada
orang normal tanpa kelainan imunitas yang jelas, namun pada kebanyakan pasien
dewasa yang menderita pneumonia didapati adanya satu atau lebih penyakit dasar
yang mengganggu daya tahan tubuh.
Pneumonia semakin sering dijumpai pada orang-orang lanjut usia (lansia)
dan sering terjadi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Juga dapat terjadi
pada pasien dengan penyakit lain seperti diabetes melitus(DM), penyakit renal,
penyakit syaraf kronik, dan penyakit hati kronik. Juga adanya tindakan invasif
seperti infus, intubasi, trakeostomi, atau pemasangan ventilator. Perlu diterliti faktor
lingkungan khususnya tempat kediaman misalnya di rumah jompoi, obat suntik (iv)
(Zul Dahlan, 2009)
2.1.4 Patogenesis
3
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak
dan menimbulkan penyakit.
Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme
untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara
mikroorganisme mencapai permukaan :
1) Inokulasi langsung
2) Penyebaran melalu pembuluh darah
3) Inhalasi bahan aerosol
4) Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakterium
atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5-2,0 m melalui udara dapat
mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila
terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi
aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini
merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru.
Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu
tidur (50 %) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai
obat (drug abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10
8-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat
memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada
pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya
mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama dengan di saluran
napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak di temukan jenis
mikroorganisme yang sama (Supandi dkk,2014)
2.1.5Klasifikasi
1) Berdasarakan klinis dan epideologis :
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial
pneumonia)
c. Pneumonia geriatri.
2) Berdasarkan bakteri penyebab :
4
a. Pneumonia bakterial / tipikal, dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
mempunyai tendensi menyerang seseorang yang peka, misalnya klebsiela pada
penderita alkoholik, staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan oleh mycoplasma, legionella dan chlamydia
c. Pneumonia virus,
d. Pneumonia jamur, sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama
pada penderita dengan daya tahan lemah.
2.1.6 DIAGNOSIS
1. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
Gambaran klinis biasanya di tandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat melebihi 40 0c, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang
disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.
b. Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi
dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pada palpasi fremitus
dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang
kemudia menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Gambaran Radilogis
5
Foto thorax (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologi dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan “air broncogram”, penyebab bronkogenik dan interstisial
serta gambaran kaviti. Foto thorax saja tidak dapat secara khas menentukan
penyebab pneumonia.
b. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya
lebih 10.000/ul kadang mencapai 30.000/ul dan hitung jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkata LED. Untuk menentukan diagnosis
etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah
dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak di obati. Analisis gas darah
menunjukkan hipoksemia dan hikarbia pada stadium lanjut dapat terjadi
asidosis respiratorik (Supandi dkk, 2014)
2.1.7 Pengobatan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik
pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji
kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu :
1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia.
3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.maka pada penderita pneumonia dapat
diberikan terapi secara empiris. Secara umum pemilihan antibiotik berdasarkan
baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagaiberikut:
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
Golongan Penisilin
TMP-SMZ
Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi
Marolid baru dosis tinggi
Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
Aminoglikosid
6
Seftazidim, Sefoperason, Sefepim
Tikarsilin, Piperasilin
Karbapenem : Meropenem, Imipenem
Siprofloksasin, Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
Vankomisin
Teikoplanin
Linezolid
Hemophilus influenza
TMP-SMZ
Azitromisin
Sefalosporin gen. 2 atau 3
Fluorokuinolon respirasi
Legionella
Makrolid
Fluorokuinolon
Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
Doksisiklin
Makrolid
Fluorokuinolon
Chlamydia Pneumoniae
Doksisikin
Makrolid (Supandi dkk, 2014)
2.1.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi :
• Efusi pleura
• Empiema.
• Abses Paru.
• Pneumotoraks.
• Gagal napas.
• Sepsis. (Supandi dkk, 2014)
7
2.2 Pneumonia Komuniti
2.2.1 Definisi
Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat di masyarakat. Pneumonia
komuniti ini merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan angka kematian tinggi di
dunia (Supandi dkk, 2014)
2.2.2 Etiologi
Menurut kepustakaan penyebab pneumonia komuniti banyak disebabkan bakteri
Gram positifdan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di
Indonesia menunjukkanbahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita
pneumonia komuniti adalah bakteriGram negatif (Supandi dkk, 2014)
Berdasarkan laporan 5 tahun terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia (Medan,
Jakarta,Surabaya, Malang, dan Makasar) dengan cara pengambilan bahan dan metode
pemeriksaanmikrobiologi yang berbeda didapatkan hasil pemeriksaan sputum sebagai
berikut :
o Klebsiella pneumoniae 45,18%
o Streptococcus pneumoniae 14,04%
o Streptococcus viridans 9,21%
o Staphylococcus aureus 9%
o Pseudomonas aeruginosa 8,56%
o Steptococcus hemolyticus 7,89%
o Enterobacter 5,26%
o Pseudomonas spp 0,9% (Supandi dkk, 2014).
2.2.3 Diagnosis
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan
fisis, fototoraks dan labolatorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika
pada foto toraks trdapatinfiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih
gejala di bawah ini :
• Batuk-batuk bertambah
• Perubahan karakteristik dahak / purulen
• Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam
8
• Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan ronki
• Leukosit > 10.000 atau < 4500 (Supandi dkk, 2014).
Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah satu atau lebih' kriteria di
bawah ini:
Kriteria minor:
• Frekuensi napas > 30/menit
• Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg
• Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
• Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
• Tekanan sistolik < 90 mmHg
• Tekanan diastolik < 60 mmHg
9
Kriteria mayor adalah sebagai berikut :
• Membutuhkan ventilasi mekanik
• Infiltrat bertambah > 50%
• Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok)
• Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada penderita riwayat penyakit
ginjal ataugagal ginjal yang membutuhkan dialisis (Supandi dkk, 2014).
Pneumonia atipik
Pada pneumonia selain ditemukan bakteri penyebab yang tipik sering pula dijumpai
bakteri atipik. Bakteriatipik yang sering dijumpai adalah Mycoplasma pneumoniae,
Chlamydia pneumoniae, Legionella spp.Penyebab lain Chlamydiapsittasi, Coxiella burnetti,
virus Influenza tipe A & B, Adenovirus dan Respiratorisyncitial virus (Supandi dkk, 2014).
10
• Uji serologi
• Cold agglutinin
• Uji fiksasi komplemen merupakan standar untuk diagnosis M.pneumoniae
• Micro immunofluorescence (MIF). Standard serologi untuk C.pneumoniae
• Antigen dari urin untuk Legionella
untuk membantu secara klinis gambaran perbedaan gejala klinis atipik dan tipik dapat
dilihatpada tabel 2, walaupun tidak selalu dijumpai gejala-gejala tersebut.
2.2.6 Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri
penyebab danpenggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan
intensif sangatmempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat. Angka
kematian penderitapneumonia komuniti kurang dari 5% pada penderita rawat jalan ,
sedangkan penderita yang dirawatdi rumah sakit menjadi 20%. Menurut Infectious Disease
11
Society Of America ( IDSA) angka kematianpneumonia komuniti pada rawat jalan
berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1% dan kelas II 0,6% danpada rawat inap kelas III sebesar
2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2%. Hal ini menunjukkanbahwa meningkatnya risiko
kematian penderita pneumonia komuniti dengan peningkatan risiko kelas.Di RS
Persahabatan pneumonia rawat inap angka kematian tahun 1998 adalah 13,8%, tahun
1999adalah 21%, sedangkan di RSUD Dr. Soetomo angka kematian 20 -35% (Supandi dkk,
2014).
2.2.7 Pencegahan
• Pola hidup sebut termasuk tidak merokok
• Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza)
sampai saat ini masih perlu dilakukan penelitian tentang efektivitinya. Pemberian
vaksin tersebutdiutamakan untuk golongan risiko tinggi misalnya usia lanjut, penyakit
kronik , diabetes, penyakitjantung koroner, PPOK, HIV, dll. Vaksinasi ulang
direkomendasikan setelah > 2 tahun. Efeksamping vaksinasi yang terjadi antara lain
reaksi lokal dan reaksi yang jarang terjadi yaituhipersensitiviti tipe 3 (Supandi dkk,
2014).
2.3.2 Etiologi
Patogen penyebab pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia komuniti.
Pneumonia nosokomial dapat disebabkan oleh kuman bukan multi drug resistance
(MDR) misalnya S.pneumoniae, H.Influenza Methicilin Sensitive Staphylococcus aureus
(MSSA) dan kuman MDR misalnya pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, klebsiela
pneumonia, acinetobacter spp dan gram positif seperti Mathicillin Resistance
Staphylococcus aureus (MRSA). Pneumonia nosokomial yang disebabkan jamur, kuman
anaerob dan virus jarang terjadi (Slamet dkk, 2014).
12
Angka kejadian sebenarnya dari penumonia nosokomial di indonesia tidak diketahui
disebabkan antara lain data nasional tidak ada dan data yang ada hanya berasal dari
beberapa rumah sakit swasta dan pemerintah serta angkanya sangat bervariasi (Slamet
dkk, 2014).
Bahan pemeriksaan untuk menentukan bakteri penyebab dapat diambil dari dahak,
darah. Cara invasif misalnya bilasan bronku, sikatan bronkus. Biopsi aspirasi trantorakal
dan biopsi aspirasi transtrakea (Slamet dkk, 2014).
13
d. Pemasangan pipa/selang nasogatrik, pemberian antasid dan alimentasi enteral
Pada individu sehat, jarang dijumpai bakteri gram negatif di lambung, karena asam
lambung dengan pH<3 mampu dengan cepat membunuh bakteri yang tertelan.
Pemberian antasid / penyekat H2 yang mempertahankan pH>4 menyebabkan
peningkatan kolonisasi bakteri gram negatif aerobik di lambung, sedangkan larutan
enteral mempunyai pH netral 6,4 – 7,0.
e. Lingkungan rumah sakit
a. Petugas rumah sakit yang mencuci tangan tidak sesuai dengan prosedur,
b. Penatalaksanaan dan pemakaian alat-alat yang tidak sesuai prosedur. Seperti
alat bantu napas. Selang makanan, selang infus, kateter, dll.
c. Pasien dengan kuman MDR tidak dirawat diruang isolasi (Slamet dkk, 2014).
Faktor risiko kuman MDR penyebab HAP dan VAP (ATS/IDSA 2004) :
3 Pemakaian antibiotik pada 90 hari terakhir
4 Dirawat di rumah sakit > 5 hari
5 Tingginya frekuensi resistensi antibiotik di masyarakat atau di rumah sakit tersebut
6 Penyakit imunosupresi dan atau pemberian imunoterapi
7 Ada faktor risiko pneumonia nosokomial
8 Ada penyakit / terapi yang bersifat imunosupresif (Slamet dkk, 2014).
2.3.4 Diagnosis
Menurut kriteria dari The Centers for Disease Control (CDC-Atrlanta), diagnosa
pneumonia nosokomial adalah sebagai berikut :
1. Onset pnemonia yang terjadi 48 jam setelah dirawat di rumah sakit dan menyingkirkan
semua infeksi yang inkubasinya terjadi pada waktu masuk rumah sakit.
2. Diagnosa pnemonia nosokomial ditegakkan atas dasar :
Foto toraks : terdapat infiltrat baru atau progresif
Ditambah 2 diantara kriteria berikut : suhu tubuh >38 C, sekret purulen, leukositosis.
Pemeriksaan yang diperlukan adalah :
1. Pewarnaan gram dan kultur dahak yang dibatukkan. Induksi sputum atau aspirasi
sekret dari selang endotrakela atau trakeostomi. Jika fasiliti memungkinkan dapat
dilakukan pemeriksaan biakan kuman secara semikuantitatif atau kuantitatif dan
dianggap bermakna jika ditemukan > 10 6
colony-forming unit/ml dari sputum. Jika
14
hasil kultur darah (+) maka sangat penting untuk menyingkirkan infeksi di tempat
lain. Pada semua pasien pneumonia nosokomial harus dilakukan pemeriksaan kultur
darah.
Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan biakan
yaitu bila ditemukan sel PMN >25/lapangan pandang kecil(lpk)dan sel epitel <10/lpk.
2. Analisa gas darah untuk membatu menentukan berat penyakit
3. Jika keadaan memburuk atau tidak ada respons terhadap pengobatan maka dilakukan
pemeriksaan secara invasif. Bahan kultur dapat diambil melalui tindakan bronkoskopi
dengan cara bilasan, sikatan bronkus dengan kateter ganda terlindung dan
bronchoalveolar lavage (BAL). Tindakan lain adalah aspirasi transtorakal (Slamet
dkk, 2014).
2.3.5 Terapi
Beberapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosokomial ialah :
1. Semua terapi awal antibiotik adalah empirik dengan pilihan antibiotik yang harus
mampu mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang mungkin sebagai
penyebab, perhitungkan pola resistensi setempat
2. Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan dosis dan
cara pemberian yang adekuat untuk menjamin efektiviti yang maksimal. Pemberian
terapi emperis harus intravena dengan sulih terapi pada pasien yang terseleksi,
dengan respons klinis dan fungsi saluran cerna yang baik.
3. Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada hasil
kultur yang berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan respons klinis.
4. Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi kuman
MDR
5. Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis memburuk
6. Data mikroba dan sensitiviti dapat digunakan untuk mengubah pilihan empirik
apabila respons klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi pemberian antibiotik
berdasarkan data mikrobial dan uji kepekaan tidak akan mengubah mortaliti apabila
terapi empirik telah memberikan hasil yang memuaskan.
15
Tabel. 1 Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP pada pasien tanpa
faktor risiko patogen MDR, onset dini dan semua derajat penyakit (mengacu ATS / IDSA
2004)
Patogen potensial Antibiotik yang
direkomendasikan
Betalaktam + antibetalaktamase
• Streptocoocus pneumoniae (Amoksisilin klavulanat)
• Haemophilus influenzae atau
• Metisilin-sensitif Sefalosporin G3 nonpseudomonal
Staphylocoocus aureus (Seftriakson, sefotaksim)
• Antibiotik sensitif basil Gram atau
negatif enterik Kuinolon respirasi
- Escherichia coli (Levofloksasin, Moksifloksasin)
- Klebsiella pneumoniae
- Enterobacter spp
- Proteus spp
- Serratia marcescens
Tabel 2. Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP untuk semua derajat
penyakit pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR (mengacu
ATS / IDSA 2004)
16
Acinetobacter sp (Piperasilin – tasobaktam)
Methicillin resisten ditambah
Staphylococcus aureus Fluorokuinolon antipseudomonal
(MRSA) (Siprofloksasin atau levofloksasin)
atau
Aminoglikosida
(Amikasin, gentamisin atau
tobramisin)
ditambah
Linesolid atau vankomisin atau
teikoplanin
Tabel 3. Dosis antibiotik intravena awal secara empirik untuk HAP dan VAP pada pasien
dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR (mengacu pada ATS/IDSA
2004)
Antibiotik Dosis
Sefalosporin antipseudomonal 1-2 gr setiap 8 – 12 jam
Sefepim 2 gr setiap 8 jam
Seftasidim 1 gr setiap 8 jam
Sefpirom
Karbapenem 1 gr setiap 8 jam
Meropenem 500 mg setiap 6 jam / 1 gr setiap
Imipenem 8 jam
2.3.6 Komplikasi
Empiema atau abses paru
Kolitis
Enfeksi “occult”
Demam
17
1. Pencegahan pada orofaring dan koloni di lambung
• Letakkan pasien pada posisi kepala lebih ( 30-45 O ) tinggi untuk mencegah aspirasi
isi lambung
• Gunakan selang lambung yang kecil untuk menurunkan kejadian refluks gastro
esofagal
• Hindari intubasi ulang untuk mencegah peningkatan bakteri yang masuk ke dalam
saluran napas bawah
18
3. Pencegahan inokulasi eksogen
• Prosedur pencucian tangan harus dijalankan sesuai prosedur yang benar, untuk
menghindari infeksi silang
• Alat-alat yang digunakan untuk pasien harus diganti secara berkala misalnya selang
makanan , jarum infus dll
Faktor Inang
2.3.8 Prognosis
Prognosis akan lebih buruk jika dijumpai salah satu dari kriteria di bawah ini, yaitu :
1. Umur > 60 tahun
2. Koma waktu masuk
3. Perawatan di IPI
4. Syok
5. Pemakaian alat bantu napas yang lama
6. Pada foto toraks terlihat gambaran abnormal bilateral
7. Kreatinin serum > 1,5 mg/dl
19
8. Penyakit yang mendasarinya berat
9. Pengobatan awal yang tidak tepat
10. Infeksi yang disebabkan bakteri yang resisten (P.aeruginosa, S.malthophilia,
Acinetobacter spp. atau MRSA)
11. Infeksi onset lanjut dengan risiko kuman yang sangat virulen
12. Gagal multiorgan
13. Penggunaan obat penyekat H2 yang dapat meningkatkan pH pada pencegahan
perdarahan usus
BAB III
KESIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Dahlan, Zul (2009). Pneumonia dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III ed.
V. Jakarta: Interna Publishing.
2. Putri, Rizki M. dan Helmia Hasan (2014). Jurnal Tinjauan Imunologi Pneumonia
pada Pasien Geriatri. Surabaya, Indonesia.
3. Supandi, dkk (2014). Pneumonia Komunitas. Edisi II. Jakarta: PDPI
4. Z, Slamet Hariadi, dkk (2014). Pneumonia Nosokomial. Jakarta :PDPI
21
22