Sosiologi dan ekonomi mengalami disparitas field of study sejak ekonom klasik dan
neoklasik mengembangkan teori-teori ekonomi tanpa institutional framework. Menurut
Schumpeter, kesenjangan antara ekonomi dan sosiologi sudah dimulai sejak Adam Smith
menulis ‘The Wealth of Nations’ yang hingga kini menjadi rujukan teori-teori ekonomi modern.
Adalah Karl Marx yang menurutnya, menjadi ekonom paling berhasil menganalisis ekonomi
secara sosiologis. Keberhasilan Marx terletak pada analisisnya tentang konflik struktur antar
kelas. Torsten Veblen juga mengkritik ekonomi neoklasik yang bersifat utilitarian,
mengasumsikan aktor ekonomi secara individualistik dan transaksional. Asumsi seperti itu,
menurutnya, membuat ekonom neoklasik cenderung menjauhkan analisisnya dari realitas
historis-empirisis menuju transaksi rasional yang individualistik. Padahal dalam tindakan
transaksional, selau melibatkan dua individu atau lebih. Granovetter mengkritik cara pandang
neoklasik sebagai berikut:
Studi sosiologi ekonomi sempat mengalai vacuum sekitar tahun 1960-1970.[7] Dalam
arti, tidak ada karya intelektual yang memberi pengaruh signifikan terhadap sosiologi ekonomi.
Sosiologi dan ekonomi seakan terpisah satu sama lain dengan segala persoalanya sendiri.
Perkembangan sosiologi ekonomi mengalami kebangkitan kembali melaui artikel yang
diterbitkan oleh ‘American Journal of Sociology’ pada 1985 “Economic Action and Social
Structure: The Problem of Embeddedness“.[8] Perkembangan teoritis tersebut menjadi awal dari
studi yang kini dikenal sebagai ‘The New Economic Sociology’.[9]
Dalam ekonomi klasik dan neoklasik, jika aktor ekonomi memiliki relasi sosial, maka
dapat mengancam terwujudnya pasar yang kompetitif. Oleh karena itu, ekonom klasik
dan neoklasik mensyaratkan bahwa aktor harus otonom. Dalam istilah lain disebut, aktor
mengalami atomisasi sehingga lahirlah apa yang menurut para sosiolog disebut Homo
Economicus.[12]
Bantahan yang radikal datang dari sosiolog strukturalis, terutama mereka yang mendapat pengaruh dari
pemikiran Talcott Parson. Strukturalis terutama kalangan Parsonian berasumsi bahwa tindakan ekonomi
selalu berada dalam struktur sosial sehingga sangat dipengaruhi oleh determinasi yang sifatnya non-
ekonomi. Aktor bertindak bisa atas nama tradisi atau budaya atau apa saja yang disebut sebagai
kewajiban, keadilan, penghormatan, dan lain sebagainya. Pengaruh sosial selalu berkontribusi pada
proses produksi, distribusi, dan konsumsi.
James Duesenberry memberi kesimpulan sendiri mengenai perdebatan ini. Menurutnya ekonomi
adalah tentang bagaimana orang-orang membuat keputusan. Sedangkan sosiologi adalah tentang
bagaimana orang-orang tidak punya keputusan untuk dibuat.[13] Bagi Granovetter, konsepsi
‘under-‘ dan ‘oversocialized’ tampak sebagai sesuatu yang contrast. Padahal keduanya sama-
sama mengeliminasi struktur relasi sosial.
Dalam teori social embeddedness, Granovetter berargumen bahwa aktor ekonomi harus dihindari
dari proses atomisasi karena membuat aktor keluar dari konteks sosial. Hal ini untuk mencegah
konsepsi ‘undersocialized’. Tidak pula aktor ditempatkan dalam ruang-ruang determinasi
kultural yang mengakibatkan ‘oversocialized’. Namun, aktor ditempatkan pada struktur relasi
sosial dalam sebuah sistem yang sedang berjalan.[14]
Kedua, Granovetter mendiskusikan embeddedness dalam problem trust dan
distrust. Fenomena trust dan distrust dalam ekonomi tidak bisa dijelaskan apabila aktor ekonomi
diasumsikan sebagai ‘under-‘ dan ‘oversocialized’ sebab pada masyarakat tertentu, proses
ekonomi terstruktur dalam hubungan-hubungan non-pasar, seperti: keluarga, komunitas, atau pun
birokrasi. Hubungan-hubungan non-pasar tersebut dapat menjelaskan mengapa trust atau distrust
muncul atau menghilang.[15] Argumentasi dalam teori sosial embeddedness menekankan pada
relasi sosial yang kongrit.[16] Trust adalah elemen yang dibangun diatas relasi sosial yang
kongrit bukan ‘self-interested’ sebagaimana argumen para ekonom modern saat ini
problem antara market dan hierarki. Problem ini merupakan kritik Granovetter atas gagasan
Oliver Williamson. Menurut Williamson, bisnis berkembang dipengaruhi oleh hierarki dalam
oganisasi atau perusahaan. Eksekutif dalam satu perusahaan bertemu untuk mengadakan relasi
dan kontak. Relasi sosial yang hierarkis ini menciptakan order dalam kehidupan ekonomi. Pada
akhirnya bisnis berkembang. Namun, Granovetter memandang relasi sosial antar perusahaan di
semua level lebih penting ketimbang mekanisme otoritas dalam perusahaan. Relasi di semua
level dapat menciptakan suppliers dan pembeli baru. Pada level tertentu, embeddedness dalam
relasi sosial dapat menghadirkan trust dan solidaritas. Jaringan sosial yang berdiri diatas modal
sosial tersebut pada akhirnya mampu mengembangkan ekonomi dalam hal pasar kerja,
entrepreneurship, dan perusahaan.[17]
Embeddedness atau keterlekatan bagi Granovetter lebih ditekankan pada fungsi network atau
relasi sosial. Sebenarnya ada kontribusi teori lain yang mendukung gagasan embeddedness dari
Granovetter ini. Richard Swedberg menyimpulkan bahwa setidaknya ada 3 kontribusi teoritis
yang menjadi fondasi dari social embeddedness, yaitu Networks Theory, Organization Theory,
Cultural Sociology.[18]
Network theory Granovetter banyak menuai kritik terutama karena mereduksi aspek budaya
dalam sosiologi ekonomi. Sosiologi budaya baik dalam aspek simbol maupun cultural meaning
menurut para pengkajinya, semestinya dilibatkan karena mengandung pengaruh signifikan pada
networks yang dikembangkan. Teori organisasi juga berperan dalam menjelaskan hubungan-
hubungan ekonomi, misalnya menjelaskan hubungan antara korporasi dengan lingkungan
disekitarnya. Teori ini juga menganalisis interplay antara organisasi ekonomi dan organisasi non
ekonomi dalam sosiologi ekonomi.