Anda di halaman 1dari 5

Ekonomi Islam:

Konsep dan Implementasi

Pendahuluan
Islam mewajiibkan umatnya untuk bekerja mencari nafkah dan menegaskan bahwa
aktivitas perekonomian yang dilakukan dengan baik merupakan perbuatan mulia dan menjadi
bagian dari kesalehan (qurbah). Islam tidak menghendaki orang yang suka menganggur
melainkan memerintahkan untuk membiasakan diri bekerja keras agar bisa mendapatkan
harta dengan cara yang baik demi kebaikan dirinya, keluarganya dan masyarakatnya. (Asyur,
80).
Banyak ayat al-Quran yang menegaskan pesan untuk bekerja mencari rizki
disandingkan dengan perintah menunaikan ibadah lainnya. Misalnya Allah berfirman: “Jika
shalat Jumat sudah selesai dilaksanakan maka segera bertebaranlah kalian di muka bumi dan
carilah karunia (rizqi) Allah dan perbanyaklah kalian mengingat Allah agar kalian
mendapatkan keberhasilan” (QS. 62:10). “Kami telah membagi di antara mereka
penghidupan di dalam kehidupan dunia” (QS. 43:32). “Dia telah menjadikan bumi ini mudah
bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya dan
kepada-Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan” (QS. 57:15). “Katakanlah: Setiap
orang (seharusnya) bekerja menurut keahliannya ”.(QS. 17: 84) dan sebagainya.
Dalam berbagai kesempatan, Rasilullah SAW pernah bersabda: “Berusaha mencari
rizki dengan cara yang halal adalah bagian dari jihad.” (Shihab: 304). Ketika melihat di
tangan sahabatnya, Muadz, terdapat bekas-bekas kerja kerasnya dalam bercocok tanam,
Rasulullah SAW menyatakan: “Inilah tangan yang disukai oleh Allah dan Rasul-Nya”.
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kalian bekerja maka bekerjalah kalian”. Setiap orang
memang seharunsnya mendapatkan kedudukan sesui dengan apa yang dikerjakan (QS. 46:
19).
Rasulullah SAW bersabda: “Seseorang di antara kalian yang di pagi hari (pergi mencari
kayu bakar) memikul kayu bakar di atas punggungnya untuk menyedekahkan (hasil
penjualannya) kepada orang lain dan agar tercukupi kebutuihannya sendiri adalah lebih baik
dari pada meminta-minta kepada orang lain, baik diberi atau tidak. Demikian itu karena
tangan yang di atas adalah lebih baik dari pada tangan yang di bawah. (Alkaf: 20). Dalam
hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar dijelaskan bahwa yang dimaksud tangan di atas adalah
pemberi dan tangan di bawah adalah peminta-minta (Hasyimi: 160).
Identifikasi aktivitas ekonomi sebagai bagian dari aktivitas keagamaan dan ibadah
memiliki dua konsekuensi penting:
1. Bekerja bukanlah aktivitas yang dilakukan hanya untuk tujuan mencari penghasilan
demi menyambung kelangsungan hidup dan menikmati kemakmuran di dunia ini,
melainkan juga harus diniatkan, dan dihayati sebagai panggilan agama. Dengan
penghayatan seperti ini, aktivitas ekonomi pun akan memiliki nilai ibadah kepada
Allah SWT

1
2. Dalam kegiatan ekonomi tidak boleh hanya mempertimbangkan kuantitas
keuntungan materi yang diperoleh, melainkan juga harus mengindahkan aturan-
aturan hukum dan etika yang diajarkan syariat Islam.
Oleh karena itu, agar dapat sukses dalam kegiatan ekonomi dan sejalan dengan
tuntunan syariat, maka di samping harus memiliki pengetahuan dan keterampilan di dunia
usaha yang dijalaninya, seseorang juga harus memahami berbagai filosofi, prinsip-prinsip
dan berbagai aturan syariat terkait dengan kegiatan perekonomian.
Kemandirian dan kecukupan ekonomi memiliki makna yang penting bagi kaum
muslimin antara lain karena:
1. Dengan kondisi ekonomi yang baik mereka dapat memelihara imannya sendiri dan
keluarganya dengan lebih baik dan menjauhkannya dari perangkap kekafiran seperti
dinyatakan oleh Nabi “Hampir-hampir kemiskinan (faqr) itu akan menjerumuskan
ke dalam kekafiran (kufur)”.
2. Dengan ekonomi yang baik mereka dapat menjalankan aktivitas ibadah dengan
lebih tenang, khusyuk, dan merasa memiliki harga diri dalam komuitasnya.
Pengalaman dalam hidup bermasyarakat menunjukkan bahwa kemiskinan tidak
hanya menimbulkan penderitaan, kesulitan dan kesengsaraan hidup tetapi juga
menyebabkan hilangnya kehormatan dan harga diri di dalam pergaulan sosial.
Kemiskinan yang meluas di masyarakat juga menjadi faktor penting bagi
meluasnya tindak kriminal serta menimbulkan situasi tidak aman dan tidak nyaman
bagi warga masyarakat.
3. Kekuatan ekonomi sangat diperlukan untuk menunjang pelaksanaaan berbagai
bentuk kegiatan ibadah dan kebajikan, seperti haji, zakat, sedekah, dakwah,
menyediakan pendidikan bagi anak-anak terlantar, membantu fakir miskin dll.
4. Kemampuan ekonomi amat diperlukan dalam proses regenerasi umat agar penerus
generasi umat ini tumbuh lebih berkualitas dari pada generasi sebelumnya seperti
untuk biaya/pendidikan, kesehatan, perbaikan gizi, serta bekal hidup lain yang
mereka perlukan di kemudian hari.
5. Kekuatan ekonomi diperlukan bagi pengembangan peradaban secara keseluruhan,
seperti pengembangan Ilmu Pengetahuan dan teknologi (IPTEK), kebudayaan,
memperbaiki infrastruktur publik, dan memperbaiki dan kualitas hidup masyarakat
secara keseluruhan.
6. Dalam konteks organisasi kemasyarakatan yang lebih besar misalnya sebuah
negara, kekuatan dan kemandirian dalam bidang ekonomi menjadi syarat mutlak
agar warga atau bangsa yang bersangkutan dapat menikmati kesejahteraan hidup,
menjadi terhormat di hadapan bangsa lain, memiliki daya tawar yang tinggi dalam
percaturan di berbagai bidang, dapat merancang sendiri cita-cita kolektif dan
agenda pembangunan mereka tanpa harus tunduk pada tekanan eksternal atau
terlalu bergantung pada bantuan dari luar yang seringkali lebih didorong oleh motif
mencari keuntungan dan kekuasaan dari pada ketulusan dalam memberi bantuan.
Pada masa sekarang pengembangan ekonomi Islam semakin menemukan urgensinya
baik karena alasan keagamaan maupun alasan sosiologis. Dari sudut pandang agama,
pengembangan ekonomi Islam merupakan kebutuhan setiap muslim untuk penyempurnaan
keislaman mereka sehingga dapat berislam secara lebih paripurna (Islam kaffah) di semua
dimensi kehidupan sebagaimana difirmankan oleh Allah.
Sedangkan secara sosiologis pengembangan konsep dan implementasi ekonomi Islam
amat mendesak antara lain karena:
1. Pola pikir keagamaan dan ekonomi pada umumnya masih bersifat dikotomik
belum terintegrasi dan tersinergikan satu sama lain. Akibatnya ajaran agama,
khususnya Teologi, yang mereka pelajari dan mereka amalkan tidak menginspirasi

2
dan mendorong penguatan etos kerja dan pembentukan mentalitas yang sesuai
dengan dunia ekonomi yang penuh kompetisi dan tantangan. Rendahnya etos kerja,
wawasan dan maindset ekonomi yang buruk pada sebagian besar kaum muslimin,
antara lain disebabkan oleh faktor ini, disamping ada juga faktor-faktor lainnya,
2. Dominasi sistem ekonomi kapitalistik yang sangat eksploitatif dan menindas secara
sistemik terhadap golongan ekonomi lemah (dhu’afa) di mana kaum muslimin
pada umumnya berada dalam kelompok ini, mulai dari level individual, lokal,
nasional hingga di tingkat global, Dengan sistem ekonomi yang kapitalistik terjadi
proses pemiskinan sistemik terhadap mereka yang sudah lemah karena mereka
dipaksa untuk bersaing secara bebas melawan mereka yang kuat.
3. Sistem ekonomi kapitalis juga menimbulkan tekanan hebat dan percepatan
kerusakan ekologis karena meningkatnya eksploitasi semua jenis sumber daya
alam, alih fungsi lahan untuk kepentingan perluasan kegiatan usaha, dan
peningkatan residu kegiatan ekonomi yang menimbulkan polusi lingkungan
ekologis. Implikasi dari keserakahan dan kebebasan tanpa batas seperti itu bahkan
telah mengancam masa depan planet bumi ini. Dan lagi-lagi dalam hal ini
kelompok masyarakat yang paling menderita adalah golongan ekonimi lemah.
4. Sistem ekonomi kapitalis yang tidak didasarkan pada falsafah moral kemanusiaan
yang luhur melainkan sepenuhnya didasarkan pada prinsip hak asasi dan kebebasan
mutlak individu menimbulkan persaingan yang kian sengit antar individu (untuk
memperebutkan lahan usaha, peluang lapangan kerja dan posisi sosial), antar
perusahaan dan antar negara secara global (memperebutkan lahan, penguasaan
sumber daya alam, sumber energi dan pangsa pasar). Kondisi ini pada gilirannya
mendorong berbagai kebiadaban yang “legal” (legal savage) serta pengabaian
nilai-nilai moral (moral hazard), religiusitas, dan nilai-nilai kemanusiaan yang
luhur. Prinsip menghalalkan segala cara menjadi mindset warga masyarakat di
mana-mana.
5. Perimbangan kekuatan ekonomi yang pincang dan kesenjangan yang menganga
antara kelompok kuat dan lemah pada gilirannya melahirkan perbudakan, dan
imperialisme gaya baru yang menyentuh bidang-bidang kehidupan yang luas
seperti pola pikir, sistem nilai, gaya hidup, kesenian, pendidikan, arus informasi,
dan bahkan juga hingga pola pikir dalam masalah keagamaan.
Oleh karena itu, dalam situasi ekonomi kapitalistik yang eksploitatif, penuh disparitas
dan ironi seperti sekarang ini, pengembangan konsep ekonomi alternatif menjadi kebutuhan
yang amat mendesak baik pada tataran ekonomi mikro maupun makro, baik dalam konteks
kebutuhan kaum muslimin sendiri maupun bagi segenap warga masyarakat, bahkan hingga
pada tingkat ekonomi global. Dalam hal ini sistem ekonomi Islam dapat menjadi alternatif
yang amat menarik dan prospektif baik pada konsep-konsep teoretiknya maupun dalam
aplikasinya.

Konsep Fundamental
Secara fundamental setiap konsep teori dan implementasi sistem ekonomi Islam harus
mencakup orientasi dasar yang komprehensif sebagai berikut:
1. Menempatkan ekonomi dalam format pandangan dunia (weltanschauung) manusia
yang holistik. Islam tidak melihat manusia semata-mata sebagai economic animal
(binatang yang hidup untuk mencari kemakmuran) yang boleh melakukan apa saja
untuk meraih tujuannya itu, melainkan sebagai makhluk Allah yang dimuliakan oleh
Allah SWT dengan potensi-poteni keunggulan fisik, intelektualitas, emosional, dan
spiritual disertai dengan tanggungjawab sebagai khalifah-Nya di bumi (QS. 2:30)
untuk memakmurkan bumi-Nya. Semua bentuk karunia Allah tersebut harus

3
dikembangkan dan dimanfaatkan secara sinergis agar mereka tetap menjadi makhluk
yang mulia. Kemuliaan itu dicapai melalui iman dan amal saleh, yang tanpanya
mereka justru akan menjadi makhluk yang paling hina (QS.95:4-6) .Islam
memandang kemuliaan hakiki setiap manusia bukan pada banyaknya kekayaan
melainkan pada ketakwaannya kepada allah SWT.(Zainab: 77-8, Syalaby: 79).
Dalam kegiatan ekonomi mereka juga harus mengindahkan aturan hukum dan moral
yang diajarkan dalam syariat Islam.
2. Pengembangan diri (self development) dalam membentuk karakter/mentalitas
enterpreneurship. seperti hidup hemat, suka bekerja keras, disiplin, suka menabung
dll, (Huda: 18) Sejumlah kutipan ayat Quran dan Hadits yang disebutkan di awal
tulisan ini menunjukkan pesan yang jelas agar setiap orang berusaha memiliki
mentalitas berusaha di bidang ekonomi yang baik.
Menurut ajaran Islam, setiap orang baik secara individual maupun kolektif, harus
selalu berupaya agar bisa memenuhi kebutuhannya secara mandiri dan tidak
menggantungkan hidupnya kepada bantuan dari pihak lain sekalipun keluarga sendiri.
Bahkan akan lebih baik lagi jika mereka dapat menyisihkan sebagian dari hasil jerih
payahnya untuk beramal dan membantu saudara-saudaranya yang secara ekonomi
masih belum beruntung.
Nabi bersabda: “Tangan di atas (pemberi bantuan) lebih baik dari pada tangan yang
berada di bawah (peneriman bantuan)”; “Hasil kerja sendiri lebih baik, apapun
bentuknya, asalkan tidak berupa perbuatan maksiat”. “Seseorang tidak makan sesuatu
yang lebih baik dari pada hasil jerih payahnya sendiri. Sesungguhnya Nabi Dawud AS
juga makan dari hasil jerih payahnya sendiri.” (Hasyimi:38)
3. Membangun sistem dan tatanan ekonomi (economic order) yang berkeadilan, dan
sinergis, yang mencerminkan perhormatan terhadap hak dan kebebasan berusaha,
etos kerja yang baik, dan semangat solidaritas sosial antar warga masyarakat untuk
kemaslahatan semua. Memang di antara nilai dasar ekonomi yang diajarkan syariat
adalah keadilan. Kata ’adil adalah kata yang yang paling banyak disebutkan dalam al-
Quran setelah lafaz Allah dan Ilmu (lebih dari 100 kali). Hal itu menunjukkan betapa
kuat pesan al-Quran terhadap pentingnya menjunjung tinggi nilai keadilan. Dalam
kegiatan ekonomi prinsip keadilan ini harus diterapkan di semua lini baik dalam hal
penguasaan lahan, aktivitas eksploitasi sumber daya, produksi, pengolahan, distribusi
dan konsumsi.
Prinsip keadilan seharusnya juga medorong berkembangnya kultur hidup hemat dan
menghindari pemborosan (QS. 17:16). Karena kebiasaan hidup boros menyebabkan
jiwa manusia menjadi haus harta, memiliki keinginan yang nyaris tidak terbatas dan
tidak merasa puas sekalipun jumlah kekayaannya sangat besar. Kondisi seperti itu
akan mendorong akumulasi penguasaan harta kekayaan yang tidak terkendali oleh
orang-orang tertentu hingga membawa dampak-dampak buruk sbb.:
a. Menutup akses sebagian warga masyarakat untuk mendapat kesejahteraan hidup
bahkan pada batas minimal sekalipun. Tersumbatnya akses di sektor ekonomi ini
akan menyebabkan tertutupnya akses mereka ke sektor-sektor lainnya, seperti
pendidikan, kesehatan, politik, dan sebagainya.
b. Posisi sebagian warga masyarakat menjadi lemah dan mudah dieksploitasi oleh
pihak lain, termasuk untuk melakukan tindakan yang merusak, dan melanggar
norma etika.
c. Meluasnya kecemburuan sosial yang dapat meningkatan tindak kriminal dan
dekadensi moral.
d. Kerusakan lingkungan hidup hingga melampaui batas-batas yang dapat dikelola
dan diantisipasi.

4
4. Sistem ekonomi Islam, pada tataran aplikasinya, harus didesain dan dikembangkan
sedemikian rupa agar benar-benar dapat diterapkan dalam kehidupan nyata
(applicable), bisa menjadi solusi konkret atas masalah sosial ekonomi yang ada, dapat
mendatangkan keuntungan dan manfaat yang nyata sehingga memiliki daya tarik dan
dapat berkompetisi dengan sistem-sistem lainnya. Dengan kata lain, keunggulan
sistem ekonomi Islam tidak boleh hanya dijelaskan dengan argumen-argumen
keagamaan dan filosofis tetapi juga harus benar-benar dapat dijelaskan dengan logika
ilmu ekonomi dan dibuktikan dalam kehidupan nyata.

Agenda Implementasi
Dalam upaya menegembangkan konsep teori dan aplikasi sistem ekonomi Islam, ada
sejumlah agenda penting yang perlu dilakukan secara terus menerus:
1. Riset dan kajian, yang berorientasi pada kajian-kajian intelektual tentang ekonomi
Islam seperti:
a. Menggali dan sistematisasi nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam sumber-
sumber syariat terutama al-Quran dan Hadits
b. Pengkajian dan diskusi tentang ekonomi Islam secara lebih luas dalam konteks
relevansinya dengan dinamika kehidupan masyarakat, dan untuk
membandingkannya dengan sistem-sistem ekonomi lainnya.
c. Menyusun konsep-konsep aplikasi ekonomi Islam dalam kegiatan-kegiatan
ekonomi di sektor riil seperti konsep koperasi, bank syariah, gadai syariah, BMT,
asuransi syariah, dll.
d. Penelitian sosiologis tentang kinerja, citra, persepsi, dan respons publik terhadap
institusi-institusi ekonomi berlabel syariah.
e. Kajian terhadap kebijakan publik dan strategis di bidang ekonomi yang dilakukan
negara dalam perspektif ekonomi Islam
f. Publikasi karya ilmiah hasil kajian dan penelitian.
2. Pendidikan dan pelatihan, yang kegiatannya antara llain :
a. Mengembangkan dan terus melakukan inovasi kurikulum mata kuliah ekonomi
Islam dan perangkat pembelajarannya
b. Mengembangkan modul-modul pelatihan ekonomi berbasis syariah
3. Eksperimen-eksperimen aplikasi institusi-institusi ekonomi alternatif yang berbasis
nilai-nilai syariah seperti mendirikan BMT, BPR, Koperasi, franchise, dll. yang
didesain berdasarkan nilai-nilai syariah.
4. Kampanye publik dan mainstreaming wacana ekonomi Islam dalam kehidupan
masyarakat melalui berbagai aktivitas, sarana dan media sosial untuk meningkatkan
popularitas dan membangun citra publik yang positif mengenai ekonomi Islam.
5. Membangun jejaring kerja sama (networking) diantara institusi dan individu yang
berkomitmen untuk mengembangkan sistem ekonomi Islam.
Agenda-agenda tersebut merupakan bagian dari ikhtiar yang penting untuk
membuka lahan jihad yang baru, membangkitkan semangat kemandirian umat untuk
memperbaiki nasibnya sendiri, memperbaiki moral ekonomi serta memuliakan Islam dan
umat Islam

Anda mungkin juga menyukai