Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN APPENDICITIS ACUTE

Oleh :

NI PUTU MERRY TASIA S


NIM: 219012668

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2021/2022
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN APPENDICITIS ACUTE

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Definisi
Appendix vermiformis atau yang sering disebut apendiks
merupakan organ sempit, berbentuk tabung yang mempunyai otot dan
mengandung banyak jaringan limfoid. Panjang apendiks bervariasi dari 3–
4 inci (8–13 cm). Dasarnya melekat pada permukaan sekum. Sekum
adalah bagian dari usus besar yang terletak di perbatasan ileum dan usus
besar. Bagian apendiks lainnya bebas. Apendiks ditutupi seluruhnya oleh
peritoneum, yang melekat pada lapisan bawah mesenterium intestinum
tenue melalui mesenteriumnya sendiri yang pendek yang dinamakan
mesoapendiks. Mesoapendiks berisi arteri, vena dan saraf-saraf (Snell,
2014). Appendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke
dalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil,
appendiks cenderung menjadi tersumbat dan rentan terhadap infeksi
(Smeltzer & Bare, 2013).
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat
mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih
sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer,
2011). Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapat terjadi
tanpa penyebab yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau
akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahnya (Corwin, 2011).
Apendisitis merupakan inflamasi saluran usus yang tersembunyi
dan kecil yang berukuran sekitar 4 inci (10 cm) yang buntu pada sekum.
Apendiks dapat terobstruksi oleh masa feses yang keras, yang akibatnya
akan terjadi inflamasi, infeksi, gangren, dan mungkin perforasi. Apendiks
yang ruptur merupakan gejala serius karena isi usus dapat masuk ke dalam
abdomen dan menyebabkan peritonitis atau abses (Caroline & Kowalski,
2017).
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau
umbai cacing. Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga
memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang
umumnya berbahaya (Sjamsuhidajat, 2010). Apabila tidak ditangani
segera, apendisitis bisa menyebabkan pecahnya lumen usus (Williams &
Wilkins, 2011).

2. Epidemiologi
Apendisitis merupakan peradangan apendik vermivormis, dan
merupakan penyebab masalah abdomen yang paling sering. Apendiksitis
dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang terjadi. Insidensi pada pria dengan perbandingan 1,4 lebih
banyak daripada wanita (Muttaqin & Sari, 2013). Apendisitis ditemukan
pada semua kalangan dalam rentang usia 21-30 tahun (Ajidah & Haskas,
2015). Komplikasi apendisitis yang sering terjadi yaitu apendisitis
perforasi yang dapat menyebabkan perforasi atau abses sehingga
diperlukan tindakan pembedahan (Haryono, 2012).
Berdasarkan Data Tabulasi Nasional Departemen Kesehatan
Republik Indonesia tahun 2009, tindakan bedah menempati urutan ke 11
dari 50 pertama penyakit di rumah sakit se-Indonesia dengan persentase
12.8% yang diperkirakan 32% diantaranya merupakan tidakan bedah
laparatomi (Ajidah & Haskas, 2015). Laporan Departemen Kesehatan
(Depkes) mengenai kejadian laparatomi atas indikasi apendiksitis
meningkat dari 162 kasus pada tahun 2005 menjadi 983 kasus pada tahun
2006 dan 1.281 kasus pada tahun 2007 (Ajidah & Haskas, 2015).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyatakan pada tahun
2008 jumlah penderita apendisitis mencapai 591.819, pada tahun 2009
sebesar 596.132 orang dan insiden ini menempati urutan tertinggi di antara
kasus kegawatan abdomen lainnya. Penderita apendiksitis yang dirawat di
rumah sakit pada tahun 2013 sebanyak 3.236 orang dan pada tahun 2014
sebanyak 4.351 orang. Kementrian Kesehatan menganggap apendiksitis
merupakan isu prioritas kesehatan di tingkat lokal dan nasional karena
mempunyai dampak besar pada kesehatan masyarakat (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Apendisitis merupakan salah satu
penyebab untuk dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen. Hal-hal
yang berhubungan dengan perawatan klien postoperasi dan dilakukan
segera setelah operasi diantaranya adalah dengan melakukan latihan napas
dalam, batuk efektif serta latihan mobilisasi dini (Muttaqin & Sari, 2013).

3. Etiologi
Obstruksi pada lumen merupakan etiologi paling sering pada
apendisitis akut. Fecalith (Faex = tinja, lithos = batu) merupakan
penyebab paling umum obstruksi apendiks. Penyebab yang paling jarang
adalah pembesaran dari jaringan limfoid, penggumpalan barium dalam
pemeriksaan X-Ray, tumor, sayur-sayuran dan biji-bijian dari buah, dan
parasit dari usus halus. Frekuensi obstruksi meningkat seiring dengan
tingkat keparahan proses inflamasi. Fecalith ditemukan pada 40% kasus
apendisitis akut, pada 65% kasus apendisitis gangren tanpa adanya ruptur
apendiks, dan 90% kasus pada apendisitis gangren dengan ruptur apendiks
(Berger, 2010).

4. Faktor Predisposisi
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks
menurut Haryono (2012) diantaranya:
a. Faktor sumbatan
Faktor sumbatan merupakan faktor terpenting terjadinya
apendisitis (90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi
disebabkan oleh hiperplasia jaringan limfoid submukosa, 35% karena
stasis fekal, 4% karena benda asing, dan sebab lainnya 1% diantaranya
sumbatan oleh parasit dan cacing.

b. Faktor bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada
apendisitis akut. Adanya fekolit dalam lumen apendiks yang telah
terinfeksi dapat memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi
peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur yang
banyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragilis dan
E.coli, Splanchius, Lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus.
Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob
sebesar 96% dan aerob lebih dari 10%.
c. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang
herediter dari organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang
tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga
dihubungkan dengan kebiasaan makan dalam keluarga terutama
dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekolit dan
menyebabkan obstruksi lumen.
d. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan
sehari-hari. Bangsa kulit putih yang dulunya mempunyai resiko lebih
tinggi dari negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat
sekarang kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah mengubah pola
makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru negara berkembang
yang dulunya mengonsumsi tinggi serat kini beralih ke pola makan
rendah serat, kini memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi.

5. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur
karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi
pada bagian apendiks menyebabkan tertutupnya kedua ujung segmen usus
(close-loop obstruction), dan sekresi pada mukosa apendiks yang
normalnya terus menerus mengalami bendungan dan menyebabkan
distensi pada apendiks. Kapasitas lumen dari apendiks normalnya hanya
0,1 ml. Sekresi cairan pada distal apendiks yang melebihi kapasitas
menyebabkan peningkatan tekanan
di dalam lumen apendiks. Distensi dari apendiks akan menstimulasi
serabut saraf aferen viseral yang kemudian diteruskan menuju korda
spinalis Th8 – Th10, sehingga akan timbul penjalaran nyeri yang yang
tumpul, menyebar dan tidak terlokalisir di daerah epigastrium dan
preumbilikal. Distensi yang terjadi tiba-tiba juga menstimulasi terjadinya
peristaltik sehingga pada beberapa nyeri viseral pada apendiks didahului
oleh kram perut. Sekresi mukosa yang berlanjut dan berkembangnya
bakteri dalam apendiks semakin meningkatkan distensi. Distensi pada
tingkat ini juga menyebabkan mual, muntah dan nyeri viseral yang berat.
Peningkatan tekanan intraluminar akan menyebabkan peningkatan
tekanan perfusi kapiler, yang akan menimbulkan pelebaran vena,
kerusakan arteri dan iskemi jaringan. Dengan rusaknya barier dari epitel
mukosa maka bakteri yang sudah berkembang biak dalam lumen akan
menginvasi dinding apendik sehingga akan terjadi inflamasi transmural.
Selanjutnya iskemia jaringan yang berlanjut akan menimbulkan infark dan
perforasi. Proses inflamasi akan meluas ke peritoneum parietalis dan
jaringan sekitarmya, termasuk ileum terminal, sekum dan organ pelvis
dimana dihasilkan karakteristik nyeri yang berpindah ke kuadran kanan
bawah.
Mukosa saluran cerna termasuk apendiks rentan terhadap gagguan
pada aliran darah. Oleh sebab, itu integritas mukosa apendiks menjadi
terganggu. Dengan distensi yang berlanjut, invasi bakteri, aliran darah
yang tidak adekuat, progresi dari nekrosis jaringan dapat menyebabkan
munculnya perforasi. Perforasi biasanya muncul di sisi luar obstruksi
karena efek tekanan intraluminal pada dinding yang paling tipis (Berger,
2010).
Patofisiologi apendisitis dapat dimulai di mukosa dan kemudian
melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam
pertama. Sistem pertahanan tubuh berusaha membatasi proses radang ini
dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa
sehingga terbentuk massa periapendikuler yang dikenal dengan istilah
wall off atau appendicular mass. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis
jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak
terbentuk abses,
apendisitis akan sembuh dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat
(Sjamsuhidajat, 2010).
Penatalaksanaan medik pada pasien apendisitis yakni apendiktomi
yaitu pembedahan untuk mengangkat apendiks. Pembedahan diindikasikan
bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Hal ini dilakukan sesegera
mungkin untuk menurunkan risiko perforasi. Pilihan apendiktomi dapat
Cito (segera) untuk apendisitis akut, abses dan perforasi (Suratun &
Lusianah, 2011). Pembedahan atau operasi adalah semua tindakan
pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka atau
menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh
ini umumnya dilakukan dengan membuat sayatan. Setelah bagian yang
akan ditangani ditampilkan, dilakukan tindak perbaikan yang diakhiri
dengan penutupan dan penjahitan luka (Sjamsuhidajat, 2011).
Sayatan atau luka yang dihasilkan merupakan suatu trauma bagi
penderita dan menimbulkan berbagai keluhan dan gejala. Akibat dari
prosedur pembedahan pasien akan mengalami gangguan rasa nyaman
nyeri. Nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional
yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang
aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana
terjadi kerusakan (Potter & Perry, 2011). Sehingga terjadinya nyeri akut
yang sering ditandai dengan tampak meringis, bersikap protektif (mis.
waspada, posisi menghindari nyeri), gelisah, frekuensi nadi meningkat,
sulit tidur, tekanan darah meningkat, pola napas berubah, nafsu makan
berubah, proses berfikir terganggu, menarik diri, berfokus pada diri sendiri
dan diaforesis (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).
Pathway Apendisitis
Penyumbatan lumen appendik

Appendicitis

Appendectomy

Pre operasi Post operasi

Kurang pengetahuan ↑ Vaskularisasi Perforasi usus Diskontinuitas jaringan Pembatasan peroral

Ttg prosedur dan


Tujuan pmbedahan peregangan lumen infeksi meluas nyeri kerusakan RISIKO
integritas KETIDAKSEIMBANGAN
Usus (peritonitis/sepsis) CAIRAN
kulit
CEMAS
Odema ↑ Stimulasi Gangguan RESIKO INFEKSI

Peritoneum mobilitas fisik


↑ Sirkulasi saraf
Usus NYERI AKUT Anoreksia
Mual, muntah

RISIKO
DEFISIT NUTRISI
6. Klasifikasi
Apendisitis menurut Sjamsuhidajat (2011) dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa jenis yaitu:
1) Apendisitis Akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat,
disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala
apendisitis akut talah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan
nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini
sering disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney.
Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
merupakan nyeri somatik setempat.
2) Apendisitis Kronik
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan
adanya: riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang
kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria
mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan
parut dan ulkus lama dimukosa dan adanya sel inflamasi kronik.
Insiden apendisitis kronik antara 1-5 persen.
3) Apendisitis Perforata
Apendisitis ini terjadi disebabkan adanya fekalit didalam lumen.
Keterlambatan diagnosis merupakan faktor yang berperan dalam
terjadinya perforasi apendiks. Insiden yang sering terjadinya perforasi
ini adalah pada anak kecil dan lansia. Faktor yang mempengaruhi
seringnya terjadi pada lansia disebabkan karena gejalanya yang samar,
keterlambatan pengobatan, adanya perubahan anatomi apendiks berupa
penyempitan lumen dan arteriosklerosis. Sedangkan pada anak
disebabkan karena dinding apendiks yang masih tipis, komunikasi
anak yang belum baik sehingga memperpanjang waktu diagnosis.
4) Apendisitis Rekurens
Kasus ini baru dapat dipikirkan jika ada riwayat nyeri pada perut
kanan bawah secara berulang, yang mendorong dilakukannya
apendiktomi. Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut
pertama kali sembuh secara sepontan. Risiko untuk terjadinya
serangan secara berulang lagi sekitar 50 persen. Insiden apendisitis
rekurens adalah 10 persen dari spesimen apendiktomi yang diperiksa
secara patologik.

7. Gejala Klinis
Gejala dari apendisitis antara lain:
1. Nyeri kolik periumbilikus
Nyeri abdomen merupakan keluhan utama apendisitis akut. Nyeri pada
awalnya terpusat pada epigastrium atau periumbilikus, nyeri bersifat
berat menetap dan biasanya disertai dengan kram intermiten. Distensi
dari apendiks akan menstimulasi serabut saraf aferen viseral yang
menyebabkan rasa sakit yang tumpul, menyebar dan tidak terlokalisir
di bagian tengah abdomen dan bawah epigastrium.
2. Nyeri pada fossa-iliaca kanan
Nyeri akan berpindah setelah beberapa jam dari periumbilikus ke
kanan bawah daerah fosa iliaka kanan. Disini, nyeri dirasakan lebih
tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik
setempat.
3. Nyeri tekan
Hal yang paling khas pada apendisitis adalah berupa nyeri tekan pada
daerah McBurney. Kemudian dapat timbul spasme otot dan nyeri tekan
lepas. Apabila sudah terjadi rupture apendiks, tanda perforasi dapat
berupa nyeri tekan dan spasme. Penyakit ini sering disertai hilangnya
nyeri secara dramatis untuk sementara.
4. Demam (pyrexia)
Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5–38,5oC. Bila suhu
lebih tinggi kemungkinan sudah terjadi perforasi.
5. Mual, muntah, dan anoreksia
Nyeri perut bagian sentral berhubungan dengan mual, muntah, dan
anoreksia. Apendisitis hampir selalu disertai dengan anoreksia dan
biasanya terjadi satu atau dua kali episode muntah. Hal ini konstan
sehingga pada saat diagnosis harus ditanyakan ada tidaknya keluhan
anoreksia. Walaupun 75% pasien menunjukkan gejala muntah namun
hal itu tidak berlangsung lama, kebanyakan hanya satu atau dua kali
saja. Gejala muntah ini disebabkan stimulasi dari neuron maupun
gerakan dari usus. Pada 95% pasien dengan apendisitis akut, anoreksia
merupakan gejala utama diikuti oleh nyeri abdomen kemudian
dilanjutkan dengan gejala muntah. Jika muntah lebih dominan dari
gejala nyeri abdomen maka apendisitis harus dipertanyakan (Berger,
2011).

8. Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan apendisitis akut akan tampak kesakitan dan
berbaring. Umumnya demam sekitar 38oC. Pada pemeriksaan abdomen,
bising usus akan berkurang dan nyeri tekan daerah apendiks pada titik
sepertiga bawah garis antara umbilikus dengan spina iliaka anterior
superior (McBurney’s point). Pada palpasi akan didapatkan muscle
guarding. Nyeri tekan dan nyeri lepas akan dijumpai, batuk juga akan
meningkatkan rasa nyeri pada apendisitis.

Gambar 2.1 McBurney’s point


Tanda khas yang dapat dijumpai pada apendisitis akut adalah
sebagai berikut:
Nama pemeriksaan Tanda dan gejala
Rovsing’s sign Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan pada
kuadran kiri bawah dan timbul nyeri pada sisi
kanan.
Psoas sign Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian
atau dilakukan ekstensi dari panggul kanan. Positif jika
Obraztsova’s sign timbul nyeri pada kanan bawah.
Obturator sign Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan
dilakukan rotasi internal pada panggul. Positif
jika
timbul nyeri pada hipogastrium atau vagina.
Dunphy’s sign Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah
dengan batuk.
Ten Horn sign Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut
pada korda spermatik kanan.
Kocher (Kosher)’s sign Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium atau
sekitar pusat, kemudian berpindah ke kuadran
kanan bawah.
Sitkovskiy Nyeri yang semakin bertambah pada perut
(Rosenstein)’s kuadran kanan bawah saat pasien dibaringkan
sign pada sisi kiri.
Aure-Rozanova’s sign Bertambahnya nyeri dengan jari pada
petit triangle kanan (akan positif
Shchetkin-
Bloomberg’s sign).
Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada
kuadran kanan bawah kemudian dilepaskan tiba-
tiba.
Pada apendisitis perforata, nyeri abdomen menjadi sangat hebat
dan tersebar, peningkatan spasme daripada otot abdomen sehingga
menyebabkan kaku otot (muscle rigidity). Denyut jantung akan meningkat
dan temperatur akan meningkat hingga melebihi 39oC.

9. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
Pada kebanyakan pasien, sel darah putih akan meningkat
dengan neutrofil lebih dari 75%. Kadar leukosit normal pada
apendisitis ditemukan pada 10% kasus. Kadar leukosit yang tinggi,
lebih dari 20.000/ml didapatkan apabila terjadinya gangren atau
apendisitis perforasi. Urinalisis dapat dilakukan untuk menyingkirkan
diagnosis banding pyelonephritis atau nephrolithiasis (Wibisono &
Jeo, 2014).
2) Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi dapat digunakan dengan penemuan diameter
anteroposterior apendiks yang lebih besar dari 7 mm, penebalan
dindng, struktur lumen yang tidak dapat dikompresi, atau adanya
apendikolit.
3) Pemeriksaan CT-Scan
CT-scan merupakan pilihan untuk pasien pria, pasien yang
lebih tua dan ketika pasien diduga terdapat abses sekitar apendiks.
Diagnosis CT-scan pada apendisitis didasarkan pada penemuan
sebagai berikut:
a. Dilatasi apendiks hingga > 6mm.
b. Apendiks dikelilingi oleh gambaran inflamasi atau abses.
c. Abses pericecal atau massa inflamasi dengan pembentukan
apendicolith.
10. Penatalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan
merupakan satu-satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Menurut
Wibisono dan Jeo (2013), ada hal-hal yang perlu diperhatikan:
1) Preoperatif
Observasi ketat, tirah baring dan puasa. Pemeriksaan abdomen dan
rektal serta pemeriksaan darah dapat diulang secara periodik. Foto
abdomen dan toraks dapat dilakukan untuk mencari penyulit lain.
Antibiotik intravena spektrum luas dan analgesik dapat diberikan. Pada
apendisitis perforasi perlu diberikan resusitasi cairan sebelum operasi.
2) Intraopeartif
a. Apendektomi terbuka dilakukan dengan insisi transversal pada
kuadran kanan bawah (Davis-Rockey) atau insisi oblik (McArthur-
McBurney). Pada diagnosis yang belum jelas dapat dilakukan
subumbilikal pada garis tengah.
b. Laparoskopi apendektomi, teknik operasi dengan luka dan
kemungkinan infeksi lebih kecil.
3) Postoperatif
Perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya
perdarahan dalam, syok, hipertermi atau gangguan pernapasan. Pasien
dibaringkan dalam posisi Fowler dan selama 12 jam dipuasakan
terlebih dahulu. Pada operasi dengan perforasi atau peritonitis umum,
puasa dilakukan hingga fungsi usus kembali normal. Secara bertahap
pasien diberi minum, makanan saring, makanan lunak dan makanan
biasa.
11. Komplikasi
Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik
berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang mengalami
pendindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks,
sekum, dan lekuk usus halus.
1) Massa apendikular
Massa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi atau di bungkus oleh omentum. Pada massa
periapendikuler dengan pembentukan dinding yang belum sempurna,
dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika
perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu,
massa periapendikuler yang masih bebas (mobile) sebaiknya segera
dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasinya
masih mudah. Pada anak, dipersiapkan operasi dalam waktu 2-3 hari
saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikuler yang terpancang
dengan pendindingan yang sempurna sebaiknya dirawat terlebih
dahulu dan diberi antibiotik sambil dilakukan pemantauan terhadap
suhu tubuh, ukuran massa serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak
ada demam, massa periapendikuler hilang, dan leukosit normal,
penderita boleh pulang dan apendektomi dapat dikerjakan 2-3 bulan
kemudian agar pendarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil
mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini
ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya
nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka
leukosit.
Apendektomi dilakukan pada infiltrat periapendikuler tanpa
pus yang telah ditenangkan. Sebelumnya, pasien diberi antibiotik
kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah
keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan
apendektomi. Pada anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut,
jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses,
dianjurkan operasi secepatnya. Bila sudah terjadi abses, dianjurkan
drainase saja. Apendektomi dikerjakan setelah 6-8 minngu kemudian.
Jika pada saat
dilakukan drainase bedah, apendiks mudah diangkat, dianjurkan
sekaligus dilakukan apendektomi (Sjamsuhidajat, 2011).
2) Apendisitis perforata
Adanya fekalit didalam lumen, penderita pada usia anak-anak
maupun orangtua, dan keterlambatan diagnosis, merupakan faktor
yang berperanan dalam terjadinya perforasi apendiks. Insidensi
perforasi pada penderita di atas usia 60 tahun dilaporkan sekitar 60%.
Faktor yang mempengaruhi tingginya insidensi perforasi pada orang
tua adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat, adanya
perubahan anatomi apendiks berupa penyempitan lumen, dan
arteriosklerosis. Insidensi tinggi pada anak disebabkan oleh dinding
apendiks yang masih tipis, anak kurang komunikatif sehingga
memperpanjang waktu diagnosis, dan proses pendindingan kurang
sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat dan omentum anak
belum berkembang.
Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta
yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi
seluruh perut, perut menjadi distensi (tegang dan kembung). Nyeri
tekan dan defans muskuler terjadi di seluruh perut, mungkin disertai
dengan pungtum maksimun di regio iliaka kanan, peristalsik usus
dapat menurun sampai menghilang akibat adanya ileus paralitik. Abses
rongga peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar terlokalisasi
di suatu tempat, paling sering di rongga pelvis dan subdiafragma.
Adanya massa intraabdomen yang nyeri disertai demam harus
dicurigai sebagai abses. Ultrasonografi dapat membantu mendeteksi
adanya abses.
Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik
untuk kuman Gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan
pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan sebelum pembedahan.
Perlu dilakukan laparatomi dengan insisi yang panjang, supaya dapat
dilakukan pencucian ronga peritoneum dari pus maupun pengeluaran
fibrin yang adekuat secara mudah serta pembersihan abses. Akhir-
akhir ini mulai banyak dilaporkan pengelolaan apendisitis perforasi
secara laparoskopi apendektomi. Pada prosedur ini, rongga
abdomen dapat
dibilas dengan mudah. Hasilnya dilaporkan tidak berbeda jauh
dibandingkan dengan laparatomi terbuka, tetapi keuntungannya adalah
lama rawat lebih pendek dan secara kosmetik lebih baik
(Sjamsuhidajat, 2011).

12. Prognosis
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis
yang akurat serta pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar
antara 0,2-0,8% dan disebabkan oleh komplikasi penyakit dan pada
intervensi bedah. Pada anak, angka ini berkisar antara 0,1-1%, sedangkan
pada pasien diatas 70 tahun angka ini meningkat di atas 20% terutama
karena keterlambatan diagnosis dan terapi (Wibisono & Jeo, 2014).
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Identitas: Identitas Px meliputi: nama, jenis kelamin, umur, pekerjaan,
pendidikan, status perkawinan, agama, kebangsaan, suku, alamat, tanggal dan
jam masuk RS, No. Reg, ruangan, serta identitas yang bertanggung jawab.
a. Pengkajian Pre Operasi
1) Keluhan utama: paien apendisitis biasanya memiliki keluhan Nyeri terasa
pada abdomen kuadran bawah dan biasanya disertai oleh demam ringan,
mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
2) Lingkungan
Dengan adanya lingkungan yang bersih, maka daya tahan tubuh
penderita akan lebih baik dari pada tinggal di lingkungan yang kotor. Hal
itu akan mencegah masuknya cacing askariasis ke dalam lumen apendiks.
3) Riwayat kesehatan
a) Riwayat kesehatan sekarang: yang harus dikaji adalah nyeri, mual
muntah dan penurunan nafsu makan
b) Riwayat kesehatan dahulu: yang harus dikaji antara lain penyakit
anak sebelumnya, apakah pernah dirawat di RS sebelumnya, obat-
obatan yang digunakan sebelumnya, riwayat alergi, riwayat operasi
sebelumnya atau kecelakaan dan imunisasi dasar.
c) Riwayat kesehatan keluarga: yang harus dikaji adalah riwayat
penyakit apendisitis dalam keluarga dan penyakit keturunan dalam
keluarga sperti DM, Hipertensi, dll
d) Riwayat diet, kebiasaan konsumsi makanan rendah serat
4) Pola Gordon:
a) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Meliputi: penggunaan alkohol, tembakau dan kebiasaan olahraga
b) Nutrisi dan metabolism
Meliputi: nafsu makan, mual, muntah, penurunan berat badan, porsi
makan, jenis makan, diit tinggi serat/suplemen. Biasanya pasien
tidak diperbolehkan makan dan minum selama setidaknya 8 jam
sebelum operasi.
Pola minum pasien meliputi: jenis yang diminum, berapa liter
perhari, contoh: sehari klien menghabiskan 1000 liter air putih + air
the.
c) Pola eliminasi: Meliputi: kebiasaan eliminasi urine/defekasi, warna,
konsistensi (kadang-kadang diare) penurunan atau tidak ada bising
usus, dan bau sebelum MRS atau MRS. Tanda: Distensi abdomen,
nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan.
d) Pola istirahat dan tidur: Meliputi: lama tidur px sebelum MRS dan
MRS, gangguan waktu tidur, merasa tenang setelah tidur.
e) Pola aktifitas dan latihan: Meliputi: kegiatan px dirumah dan di RS,
serta lamanya aktivitas. Contoh: Aktivitas klien hanya dihabiskan di
tempat tidur ngobrol bersama keluarga, bila jenuh klien jalan-jalan
keluar kamar. Perawatan diri seperti mandi BAB/BAK dilakukan
sendiri.
f) Pola persepsi dan konsep diri: Meliputi: body image, self sistem,
kekacauan identitas, depersonalisasi.
g) Pola sensori dan kognitif: Meliputi: daya pengelihatan, pendengaran,
penciuman, perabaan dan kognitif Px baik atau tidak.
h) Pola reproduksi sexual: Meliputi: penyakit yang diderita pasien
dapat mempengaruhi pola seksual px, pemeriksaan payudara setiap
bulan sekali/2 bulan, masalah seksual yang berhubungan dengan
penyakit.
i) Pola hubungan peran: Meliputi: hubungan dengan keluarga, rekan
kerja dan teman atau masyarakat.
j) Pola penanggulangan stress: Meliputi: penyebab stres, koping
terhadap stres, adaptasi terhadap stres, pertahanan diri terhadap dan
pemecahan masalah.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan: Meliputi: agama, keyakinan dan
ritualitas.

b. Pengkajian Post Operasi.


1) Keluhan utama: paien apendisitis biasanya memiliki keluhan Nyeri
terasa pada abdomen kuadran bawah tepat di bekas luka insisi post
operasi
2) Riwayat kesehatan
a) Riwayat kesehatan sekarang: yang harus dikaji adalah keluhan
nyeri pada luka post operasi apendektomi, mual muntah,
peningkatan suhu tubuh, peningkatan leukosit.
b) Riwayat kesehatan dahulu: yang harus dikaji antara lain
penyakit anak sebelumnya, apakah pernah dirawat di RS
sebelumnya, obat-obatan yang digunakan sebelumnya,
riwayat alergi, riwayat operasi sebelumnya atau kecelakaan
dan imunisasi dasar.
c) Riwayat kesehatan keluarga: yang harus dikaji adalah riwayat
penyakit apendisitis dalam keluarga dan penyakit keturunan
dalam keluarga sperti DM, Hipertensi, dll
3) Pola Gordon
a) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Meliputi : upaya yang dilakukan untuk menjaga kesehatannya
b) Nutrisi dan metabolism
Meliputi: nafsu makan, mual, muntah, BB saat ini, porsi makan,
jenis makan, tekstur makan yang diberikan biasanya, diberikan
makanan saring dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.
Pola minum pasien meliputi: biasanya berikan minum mulai
15ml/jam selama 4-5 jam lalu naikan menjadi 30 ml/jam.
c) Pola eliminasi: Meliputi: kebiasaan eliminasi urine/defekasi,
warna, konsistensi (kadang-kadang diare) penurunan atau tidak
ada bising usus,
d) Pola istirahat dan tidur: Meliputi: lama tidur px setelah post op,
adakah gangguan waktu tidur akibat tindakan dari pembedahan
yang dilakukan, perasaan setelah bangun tidur.
e) Pola aktifitas dan latihan: Meliputi: Aktivitas klien semua
dilakukan di tempat tidur dan dibantu keluarga. Seperti Makan
dan minum serta BAK, BAB dibantu menggunakan pispot.
f) Pola persepsi dan konsep diri: Meliputi: body image, self
sistem, kekacauan identitas, depersonalisasi.
g) Pola sensori dan kognitif: Meliputi: daya pengelihatan,
pendengaran, penciuman, perabaan dan kognitif px baik atau
tidak.
h) Pola reproduksi sexual: Meliputi: penyakit yang diderita pasien
dapat mempengaruhi pola seksual Px, pemeriksaan payudara
setiap bulan sekali/2 bulan, masalah seksual yang berhubungan
dengan penyakit.
i) Pola hubungan peran: Meliputi: hubungan dengan keluarga,
rekan kerja dan teman atau masyarakat.
j) Pola penanggulangan stress: Meliputi: penyebab stres, koping
terhadap stres, adaptasi terhadap stres, pertahanan diri terhadap
dan pemecahan masalah.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan: Meliputi: agama, keyakinan
dan ritualitas.

2) Pemeriksaan Fisik
1) Pre Operasi
a) Penampilan/keadaan umum : Baik/tampak kesakitan
b) Tingkat kesadaran : Composmentis
c) Tanda-tanda vital (meliputi: TD, Nadi, Suhu, Respirasi)
d) Pengukuran antropometri: meliputi: BB klien saat masuk RS,
TB, LILA
e) Kepala dan leher : Bentuk, kelainan, tanda-tanda trauma, warna
rambut dan kebersihan rambut.
Mata : Sklera, konjungtiva dan
kornea.
Hidung : Bentuk, bersih atau tidak ada
polip atau tidak, daya
penciuman normal atau tidak.
Mulut : Bentuk, kebersihan, ada
perdarahan atau tidak, mukosa
bibir.
Telinga : Bentuk, kebersihan, daya
pendengaran.
Leher : Ada pembesaran kelenjar
tynoid atau tidak ada
pembengkakan atau tidak.
f) Dada dan thorak : Bentuk dada simetris, pergerakan sama tidak
ada kelainan, tidak ada luka, tidak menggunakan otot bantu
pernafasan.
g) Paru-paru : Inpeksi : Pergerakan dada simetris/tidak
Perkusi : Sonor seluruh lapang dada/ adanya whezing
atau ronkhi
Palpasi : S F (Stem Fremitus) kanan dan kiri, ada
tidaknya nyeri tekan
Auskultasi : Vesikuler, bronchial, takipnea,
h) Jantung: Didapatkan suara 1 dan suara 2 tunggal, atau takikardi
i) Abdomen: Inpeksi : Tidak ada luka, bentuk simetris
Auskultasi : Bising usus berkurang atau lambat
± 10x/m
Perkusi : Kembung
Palpasi : Nyeri tekan dan nyeri lepas di kuadran
kanan bawah.
j) Kulit : Tidak didapatkan kelainan pada tekstur kulit, warna kulit,
turgor kulit menurun atau tidak
k) Genetalia Tidak terpasang kateter/tidak, bersih/kotor daerah
genetalia, ada atau tidak ada luka.
l) Ekstrimititas : Akral hangat dan dingin, ada edema dikaki atau
tidak, nyeri waktu berjalan atau tidak, kemampuan pasien
biasanya masih bisa melakukan aktivitas seperti makan atau
minum, perawatan diri dilakukan sendiri
2) Post Operasi
a) Penampilan/keadaan umum : Baik/tampak kesakitan
b) Tingkat kesadaran : Composmentis/Apatis/Somnolen
c) Tanda-tanda vital (meliputi: TD, Nadi, Suhu, Respirasi)
d) Kepala dan leher : Bentuk, kelainan, tanda-tanda trauma, warna
rambut dan kebersihan rambut.
Mata : Sklera, konjungtiva dan kornea.
Hidung : Bentuk, bersih atau tidak ada polip atau
tidak, daya penciuman normal atau tidak.
Mulut : Bentuk, kebersihan, ada perdarahan atau
tidak, mukosa bibir.
Telinga : Bentuk, kebersihan, daya pendengaran.
Leher : Ada pembesaran kelenjar tynoid atau
tidak ada pembengkakan atau tidak.
e) Dada dan thorak : Bentuk dada simetris, pergerakan sama tidak
ada kelainan, tidak ada luka, tidak menggunakan otot bantu
pernafasan.
f) Paru-paru : Inpeksi : Pergerakan dada simetris/tidak
Perkusi : Sonor seluruh lapang dada/ adanya whezing
atau ronkhi
Palpasi : S F (Stem Fremitus) kanan dan kiri, ada
tidaknya nyeri tekan
Auskultasi : Vesikuler, bronchial, takipnea,
g) Jantung: Didapatkan suara 1 dan suara 2 tunggal, atau takikardi
h) Abdomen:
- Inpeksi : Ada luka balutan di daerah kuadran kanan bawah
bentuk simetris
- Auskultasi : Bising usus berkurang atau lambat
- Perkusi : Terasa nyeri, bunyi tympani
- Palpasi : Nyeri tekan dan nyeri lepas di seluruh
permukaan abdomen.
i) Kulit: bersih tidak ada edema, lembab, turgor baik. Terdapat
luka post operasi apendiktomi di kuadran kanan bawah, balutan
bersih, ada/tidak ada rembesan, ada/tidak ada kemerahan di
daerah sekitar luka, luka kering/basah, ada/tidak ada pus,
terdapat jahitan ukuran luka 7 cm tidak ada tanda-tanda infeksi.
j) Genetalia tidak terpasang kateter/tidak, bersih/kotor daerah
genetalia, ada atau tidak ada luka.
k) Ekstrimititas: terasa nyeri bila badannya digerakan semua
aktivitas dibantu keluarga seperti perawatan diri di dominasi dan
pergerakan klien terbatas. Klien berbaring di tempat tidur. Klien
kesakitan saat kakinya mencoba digerakkan.

3) Fokus Pengkajian
Menurut Doenges (2012) pengkajian pada pasien dengan :
a. Pre Appendiktomi
1) Aktivitas
Gejala : Malaise
2) Sirkulasi
Tanda: Tachicardia
3) Eliminasi
Gejala : Konstipasi pada awitan awal, diare (kadang-kadang)
Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan
penurunan/ tidak ada bising usus
4) Makanan/cairan
Gejala : Anoreksia, mual/muntah
5) Nyeri/ kenyamanan
Gejala: Nyeri abdomen sekitar epigastrum dan umbilikus,
yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc Burney
(setelah jarak antara umbilikus dan tulang ileum kanan). Nyeri
ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri
dirasakan samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral di daerah epigastrium atau sekitar (titik Mc Burney).
Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
berupa nyeri umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah
dan menetap di abdomen kanan bawah somatik setempat. Bila
terjadi perangsangan peritonium biasanya penderita akan
mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk.
Tanda : Perilaku berhati-hati, berbaring ke samping atau
telentang dengan lutut ditekuk, meningkatnya nyeri pada
kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/
posisi duduk tegak.
6) Keamanan
Tanda : demam (biasanya rendah). Demam terjadi bila sudah
ada komplikasi, bila belum adakomplikasi biasanya tubuh
belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º
7) Pernafasan
Tanda : takipnea/pernafasan dangkal
8) Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Riwayat kondisi lain yang berhubungan dengan nyeri
abdomen contoh pielitis akut, batu uretra, dapat terjadi pada
berbagai usia
b. Post Appendiktomi
1) Sirkulasi
Gejala : riwayat masalah jantung, edema pulmonal, penyakit
vaskuler perifer.
2) Integritas ego
Gejala : perasaan takut, cemas, marah, apati.
Tanda : tidak dapat beristirahat, peningkatan ketegangan/peka
rangsang, stimulasi simpatis
3) Makanan/cairan
Gejala : insufisiensi pangkreas, malnutrisi, membran mukosa
yang kering
4) Pernafasan
Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok
5) Keamanan
Gejala : alergi, defisiensi imun, riwayat keluarga tentang
hipertermi malignan/reaksi anastesi, riwayat penyakit hepatik,
riwayat transfusi darah
Tanda : munculnya proses infeksi yang melelahkah, demam

4) Diagnosis Keperawatan yang Mungkin Muncul


Diagnosis keperawatan yang mungkin muncul pada kasus
Apendisitis berdasarkan Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (Tim
Pokja SDKI DPP PPNI, 2016), antara lain:
a. Pre-operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik ( prosedur
operasi) ditandai dengan mengeluh nyeri, tampak meringis,
bersikap protektif, gelisah, TD meningkat, nadi meningkat.
2. Cemas berhubungan dengan kurang terpapar informasi ditandai
dengan tampak gelisah, tampak tegang, sulit tidur, merasa khawatir
akibat kondisi yang di hadapi.
3. Risiko defisit nutrisi berhubungan dengan asupan nutrisi tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme ditandai dengan
berat badan menurun minimal 10% dibawah rentang ideal.
b. Post-operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik ( prosedur
operasi) ditandai dengan mengeluh nyeri, tampak meringis,
bersikap protektif, gelisah, TD meningkat, nadi meningkat.
2. Resiko ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan penurunan,
peningkatan atau percepatan perpindahan cairan intravaskuler
dengan faktor resiko prosedur pembedahan mayor.
3. Risiko infeksi berhubungan dengan peningkatan terserang
organisme patogenik dengan faktor kerusakan integritas kulit.
5) Rencana Tindakan dan Rasionalisasi
Rencana tindakan pada kasus Apendisitis berdasarkan Standar Luaran Keperawatan Indonesia (Tim Pokja SLKI DPP PPNI,
2018) dan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018), antara lain:

Rencana Perawatan
Diagnosa
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor tanda-tanda vital 1. Peningkatan tanda-tanda
dengan agen pencedera fisik keperawatan selama … x 24 pasien. vital dapat menjadi acuan
(prosedur operasi) ditandai jam, tingkat nyeri pasien 2. Identifikasi lokasi, adanya peningkatan
dengan mengeluh nyeri, menurun dengan kriteria hasil: karakteristik, durasi, intensitas nyeri.
tampak meringis, bersikap 1. Keluhan nyeri menurun. frekuensi, kualitas, intensitas 2. Nyeri merupakan
protektif, gelisah, TD nyeri. pengalaman subyektif dan
2. Meringis menurun.
meningkat, nadi meningkat. 3. Identifikasi respon nyeri harus dijelaskan oleh
3. Pola napas membaik.
nonverbal. pasien. Identifikasi
4. Diaforesis menurun.
4. Identifikasi faktor yang karakteristik nyeri dan
5. Frekuensi nadi berada
memperberat dan faktor yang berhubungan
dalam rentang normal yaitu
memperingan nyeri. merupakan suatu hal yang
60 – 100 kali permenit.
5. Berikan lingkungan yang amat penting untuk
tenang. memilih intervensi yang
6. Frekuensi pernapasan 6. Berikan pasien posisi yang cocok dan untuk
berada dalam rentang menyenangkan. mengevaluasi keefektifan
normal yaitu 12-20 kali 7. Ajarkan teknik napas dalam. dari terapi yang diberikan.
permenit. 8. Jelaskan penyebab, periode 3. Respon nonverbal seperti
7. Tekanan darah berada dan pemicu nyeri. meringis atau gelisah
dalam rentang normal yaitu 9. Kolaborasi pemberian menunjukkan
100-139/60-99 mmHg. analgetik sesuai indikasi. ketidaknyamanan yang
dirasakan oleh pasien.
4. Membantu mengurangi
nyeri dan mencegah nyeri
bertambah parah.
5. Lingkungan yang tenang
dapat membantu pasien
untuk rileks sehingga
pasien dapat beristirahat
dengan efektif.
6. Membantu meningkatkan
kenyamanan mengurangi
nyeri.
7. Napas dalam dapat
merilekskan pasien
sehingga membantu
mengurangi nyeri yang
dirasakan.
8. Memberikan informasi
kepada pasien mengenai
penyebab, periode dan
pemicu nyeri.
9. Analgetik dapat memblok
rangsang nyeri sehingga
nyeri tidak dipersepsikan.
Cemas berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor tanda-tanda vital. 1. Peningkatan tanda-tanda
kurang terpapar informasi keperawatan selama … x 24 2. Monitor tanda-tanda ansietas vital dapat
ditandai dengan tampak jam, diharapkan tingkat (verbal dan nonverbal). mengindikasikan
gelisah, tampak tegang, sulit ansietas pasien menurun 3. Berikan lingkungan yang terjadinya peningkatan
tidur, merasa khawatir akibat dengan kriteria hasil: nyaman. ansietas.
kondisi yang di hadapi. 4. Libatkan keluarga dalam 2. Mengetahui sejauhmana
proses keperawatan. tingkat ansietas pasien
1. Verbalisasi kebingunan 5. Berikan support sistem sehingga dapat dijadikan
menurun. (perawat, keluarga atau acuan dalam menentukan
teman dekat dan pendekatan intervensi selanjutnya.
2. Verbalisasi khawatir akibat
spiritual). 3. Menurunkan stimulasi
kondisi yang dihadapi
Informasikan secara faktual yang berlebihan dan dapat
menurun.
mengenai diagnosis, membantu mengurangi
3. Perilaku gelisah menurun.
pengobatan, dan prognosis. kecemasan.
4. Perilaku tegang menurun.
4. Peran serta keluarga
5. Diaforesis menurun.
sangat membantu dalam
6. Pucat menurun.
menentukan koping.
7. Konsentrasi membaik.
5. Dukungan dari beberapa
8. Frekuensi nadi berada
orang yang memiliki
dalam rentang normal yaitu
pengalaman yang sama
60 – 100 kali permenit.
akan sangat membantu
9. Tekanan darah berada
pasien.
dalam rentang normal yaitu
Memberikan informasi
100-139/60-99 mmHg
secara faktual mengenai
diagnosis, pengobatan,
dan prognosis sehingga
dapat membantu
mengurangi kecemasan
yang dirasakan oleh
pasien.
Risiko defisit nutrisi Setelah dilakukan asuhan 5. Identifikasi status nutrisi. 1. Mengetahui status
berhubungan dengan asupan keperawatan selama … x 24 6. Identifikasi alergi dan nutrisi pasien sehingga
nutrisi tidak cukup untuk jam, diharapkan status nutrisi intoleransi makanan. dapat dijadikan acuan
memenuhi kebutuhan pasien membaik dengan 7. Monitor berat badan. dalam menentukan
metabolisme ditandai dengan kriteria hasil: 8. Lakukan oral hygiene intervensi selanjutnya.
berat badan menurun minimal 1. Porsi makanan yang sebelum makan, jika perlu. 2. Menghindari
10% dibawah rentang ideal. dihabiskan meningkat. 9. Sajikan makanan secara terjadinya reaksi alergi
2. Nafsu makan membaik. menarik dan suhu yang karena makanan.
3. Frekuensi makan membaik. sesuai. 3. Penurunan berat badan
4. Membran mukosa 10. Anjurkan untuk makan mengindikasikan
membaik. sedikit tapi sering. terjadinya kekurangan
5. Bising usus membaik. 11. Kolaborasi dengan ahli gizi nutrisi.
6. Berat badan membaik. untuk menentukan jumlah 4. Mulut yang bersih
7. Indeks Masa Tubuh (IMT) kalori dan jenis nutrien yang dapat membantu
membaik. dibutuhkan, jika perlu.
meningkatkan nafsu
makan.
5. Membantu
menggugah selera
makan dan
meningkatkan nafsu
makan.
6. Membantu memenuhi
kebutuhan nutrisi dan
mencegah mual
muntah.
7. Menentukan jumlah
kalori dan jenis
nutrien yang tepat
untuk pasien.
Resiko ketidakseimbangan Setelah dikakukan tindakan Observasi : 1. Agar frekuensi dan
cairan berhubungan dengan Keperawatan … x 24 jam 1. Monitor frekuensi dan kekuatan nadi normal
penurunan, peningkatan atau diharapkan keseimbangan kekuatan nadi 2. Untuk mengetahui
percepatan perpindahan cairan cairan meningkat. 2. Monitor tekana darah tekanan darah pasien
intravaskuler, interstisial atau Kriteria Hasil : 3. Monitor jumlah dan warna 3. Untuk mengetahui
intraseluler dengan faktor 1. Asupan cairan meningkat urin jumlah dan warna urin
resiko prosedur pembedahan (5) 4. Monitor inteka dan output yang dikeluarkan oleh
mayor. 2. Kelembaban membrane cairan pasien
mukosa meningkat (5) Terapeutik : 4. Untuk mengetahui
3. Membrane mukosa 1. Atur waktu pemantauan inteka dan output cairan
membaik (5) sesuai dengan kondisi klien pasien
4. Turgor kulit membaik (5) 2. Dokumentasikan hasil Terapeutik :
pemantauan 1. Agar mengetahui waktu
Edukasi : pemantauan sesuai
1. Jelaskan tujuan dan dengan kondisi klien
prosedur Pemantauan 2. Untuk mengetahui
2. Informasikan hasil dokumentasikan hasil
pemantauan pemantauan pasien
Edukasi :
1. Untuk mengetahui
tujuan dan prosedur
Pemantauan pasien
2. Agar mengetahui hasil
pemantauan pasien
Risiko infeksi berhubungan Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor tanda-tanda vital.
dengan peningkatan terserang keperawatan selama … x 24 2. Monitor tanda-tanda infeksi.
organisme patogenik dengan jam, diharapkan tingkat infeksi 3. Pertahankan teknik aseptik
faktor kerusakan integritas menurun dengan kriteria hasil: pada prosedur invasif. 1. Mengetahui
kulit. 1. Kebersihan badan 4. Anjurkan pasien untuk selalu perkembangan kondisi
meningkat. menjaga kebersihan. pasien, karena perubahan
2. Demam menurun. 5. Anjurkan pasien untuk TTV (terutama suhu)
3. Nyeri menurun. meningkatkan asupan nutrisi. menandakan adanya
4. Drainase purulen menurun. 6. Kolaborasi dalam pemberian masalah sistemik yang
5. Kadar sel darah putih antibiotik. diakibatkan adanya
membaik. proses inflamasi.
6. Kultur area luka membaik. 2. Mengetahui tanda-
tanda infeksi sehingga
dapat dijadikan acuan
dalam menentukan
intervensi selanjutnya.
3. Mencegah
kontaminasi
mikroorganisme.
4. Mencegah terjadinya
infeksi.
5. Nutrisi yang baik
dapat membantu
meningkatkan sistem
kekebalan tubuh.
6. Antibiotik digunakan
untuk mengatasi dan
mencegah infeksi
bakteri.
6) Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana untuk mencapai
tujuan yang spesifik yang ditujukan untuk membantu klien dalam hal
mencegah penyakit, peningkatkan derajat kesehatan dan pemulihan
kesehatan.

7) Evaluasi Keperawatan

Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam menilai


tindakan keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan
kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan
yang dilakukan dengan Format SOAP.
DAFTAR PUSTAKA

Ajidah, & Haskas, Y. (2015). Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Peristaltik Usus
pada Pasien Pasca Operasi Laparatomi di Ruang Rawat Inap RSUP dr.
Wahidin Sudirohusodo Makasar. Jurnal Kesehatan STIKes
Nani Hasanuddin Makasar, 3(6).
Berger, D. (2010). Schawrtz Principle of Surgery: The appendix (9 ed.). United
States of America: The Mc Graw-Hill Companies.
Caroline, & Kowalski, I. (2017). Asuhan Keperawatan Pasien Dengan
Gangguan Sistem Pencernaan. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Corwin. (2011). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Profil Kesehatan Indonesia.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Haryono, R. (2012). Keperawatan Medikal Bedah Sistem Pencernaan.
Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Mansjoer, A. (2011). Kapita Selekta Kedokteran (4 ed.). Jakarta: Media
Aesculapius.
Muttaqin, A., & Sari, K. (2013). Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi
Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.
Potter, & Perry. (2011). Fundamental Of Nursing: Consep, Proses and Practice
(7 ed., Vol. 3). Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat. (2011). Buku Ajar Ilmu Bedah (2 ed.). Jakarta: EGC.
Smeltzer, S., & Bare, B. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth (8 ed.). Jakarta: EGC.
Snell, R. (2014). Anatomi Klinik Berdasarkan Regio. Jakarta: EGC.
Suratun, & Lusianah. (2011). Asuhan Keperawatan Klien Dengan
Gangguan Sistem Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Jakarta: DPP PPNI.
Wibisono, E., & Jeo, W. S. (2014). Kapita Selekta Kedokteran: Apendisitis (4
ed.). Jakarta: Media Aesculapis.
Williams, & Wilkins. (2011). Nursing: Menafsirkan Tanda-Tanda dan
Gejala Penyakit. Jakarta: PT. Indeks.

Anda mungkin juga menyukai