SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHA TAN WIRA MEDIKA BALI DENPASAR 2022 A. KONSEP DASAR TEORI 1. Pengertian Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur atau patahan tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan karena rudapaksa (Lukman dan Ningsi, Nurna, 2018). Fraktur adalah terputusnya hubungan suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh kekerasan (E. Oerswari,2018). Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian),Patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan penderita jatuh dalam syok (Muttaqin.2017). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Smeltzer & Bare, 2017). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Mansjoer dkk, 2017). Fraktur adalah pemecahan suatu bagian, khususnya tulang; pecahan atau rupture pada tulang (Dorland, 1998). Jadi, fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang disebabkan trauma atau tenaga fisik dan menimbulkan nyeri serta gangguan fungsi. 2. Etiologi Lewis (2017) berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun mempunyai cukup kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu : 1) Fraktur akibat peristiwa trauma Sebagisan fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran atau penarikan. Bila tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas. 2) Fraktur akibat peristiwa kelelahan atau tekanan Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering dikemukakan pada tibia, fibula atau matatarsal terutama pada atlet, penari atau calon tentara yang berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh. 3) Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh. 3. Manifestasi Klinis Manifestasi klinik dari fraktur menurut (Brunner and Suddarth, 2017) 1) Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai almiah yang di rancang utuk meminimalkan gerakan antar fregmen tulang 2) Setelah terjadi faraktur, bagian-bagian tidak dapat di gunakan dan cenderung bergerak secara alamiah (gerak luar biasa) bukanya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen tulang pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas yang bisa diketahui membandingkan ekstermitas yang normal dengan ekstermitas yang tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot. 3) Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu samalain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi) 4) Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya (uji krepitus dapat mengaibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat). 5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat trauma dari pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cidera. Menurut Santoso Herman (2017:153) manifestasi klinik dari fraktur adalah: 1) Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang diimobilisasi, hematoma, dan edema. 2) Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah 3) Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. 4) Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. 5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit. 3. Klasifikasi 1) Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Fraktur tidak menyebabkan robeknya kulit, integritas kulit dan jaringan masih utuh. 2) Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukan di kulit, fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat, yaitu : a. Derajat I Luka kurang dari 1 cm. Kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk. Fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan. Kontaminasi ringan. b. Derajat II Laserasi lebih dari 1 cm. Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse. Fraktur komuniti sedang. c. Derajat III Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot, dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III terbagi atas : IIIA : Fragmen tulang masih dibungkus jaringan lunak IIIB : Fragmen tulang tak dibungkus jaringan lunak terdapat pelepasan lapisan periosteum, fraktur kontinuitif IIIC : Trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan agar bagian distal dapat dipertahankan, terjadi kerusakan jaringan lunak hebat. 3) Fraktur complete Patah pada seluruh garis tengah tulang, luas dan melintang, biasanya mengalami pergerseran (bergeser dari posisi normal). 4) Fraktur incomplete Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang. 5) Jenis khusus fraktur a. Bentuk garis patah Garis patah melintang. Garis patah obliq, dimana fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang. Garis patah spiral, fraktur memuntir seputar batang tulang. b. Jumlah garis patah Fraktur komunitif garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan. Fraktur segmental garis patah lebih dari satu tetapi saling berhubungan. Fraktur multiple garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan. 6) Fraktur kompresi, fraktur akibat adanya kompresi, biasanya pada tulang belakang 7) Fraktur avulse, tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau tendo pada perlekatannya 8) Fraktur greenstick, fraktur dimana salah satu sisi tulang patang sedang sisi lainnya membengkok 9) Fraktur depresi, fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam (sering terjadi pada tulang tengkorak dan wajah) 10) Fraktur patologik, fraktu yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang, paget, metastasis tulang, tumor) 11) Fraktur Epivisial, fraktur melalui epifisis 12) Fraktur impaksi, fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainnya 13) Bergeser-tidak bergeser Fraktur tidak bergeser garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser. Fraktur bergeser, terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang juga disebut di lokasi fragmen (Smeltzer, 2018:2357). 4. Patofisiologi Fraktur terjadi bila ada interupsi dari kontinuitas tulang. Biasanya, fraktur disertai cedera jaringan di sekitar yaitu ligament, otot, tendon, pembuluh darah dan persarafan. Fraktur bisa juga di sebabkan karena trauma ataupun karena suatu penyakit, misal osteoporosis. Trauma yang terjadi pada tulang dapat menyebabkan fraktur dan akan mengakibatkan seseorang memiliki keterbatasan gerak, ketidakseimbangan dan nyeri pergerakan jaringan lunak yang terdapat di sekitar fraktur, missal pembuluh darah, saraf, dan otot serta organ lainnya yang berdekatan dapat di rusak. Pada waktu trauma ataupun karena mencuatnya tulang yang patah, apabila kulit sampai robek akan mengakibatkan luka terbuka dan akan mengakibatkan seseorang beresiko terkena infeksi. Luka dan keluarnya darah dapat mempercepat pertumbuhan bakteri. Pada osteoporosis secara tidak langsung mengalami penurunan kadar kalsium dalam tulang. Dengan berkurangnya kadar kalsium dalam tulang lama- kelamaan tulang menjadi rapuh sehingga hanya trauma minimal saja atau tanpa trauma sedikitpun akan mengakibatkan terputusnya kontinuitas tulang yang di sebut fraktur. Tingkatan pertumbuhan tulang : 1) Hematoma Formation (Pembentukan Hematoma) Karena pembuluh darah cedera maka terjadi pada daerah fraktur dan kedalam jaringan di sekitar tulang tersebut. Reaksi peradangan hebat timbul setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast terakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat tersebut. Darah menumpuk dan mengeratkna ujung-ujung tulang yang patah dan fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. 2) Fibrin Mesk Work (Pembentukan Fibrin) Hematom menjadi terorganisasi karena fibrablast masuk lokasi cedera, membentuk mesk work (gumpalan fibrin) dan berfungsi sebagai jalan untuk melekatkan sel-sel baru. 3) Invasi Osteoblast Osteoblast masuk ke daerah fibrosis untuk mempertahankan penyambungan tulang dan merangsang pembentukan tulang baru imatur (callus). Pembuluh darah berkembang mengalirkan nutrisi untuk membentuk collagen. Untaian collagen terus di satukan dengan kalsium. 4) Callus Formation (Pembentukan Callus) Osteoblast terus membuat jalan untuk membangun tulang. Osteoblast merusakkan tulang mati dan membantu mensintesa tulang baru. Collagen menjadi kuat dan terus menyatu dengan deposit kalsium. 5) Remodelling Bekuan fibrin di reabsorpsi dan sel-sel tulang baru secara perlahan mengalami tulang sejati. Tulang sejati menggantikan callus dan secara perlahan mengalami kalsifikasi. Penyembuhan memerlikan waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan. Penyembuhan dapat terganggu atau terlambat apabila hematom fraktur atau callua rusak sebelum tulng sejati terbentuk atau apabila sel-sel tulang baru rusak selam proses kalsifikasi dan pengerasan. 5. Komplikasi Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2018) antara lain : 1) Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak, sindrom kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis. a) Syok Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang biasa menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra. b) Sindrom emboli lemak Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya globula lemak pada aliran darah. c) Sindroma kompartemen Sindrom kompartemen ditandai oleh kerusakan atau destruksi dan pembuluh darah yang disebabkan oleh pembengkakan dan edema di daerah fraktur. Dengan pembengkakan interstisial yang intens, tekanan pada pembuluh darah yang menyuplai daerah tersebut dapat menyebabkan pembuluh darah tersebut kolaps. Hal ini menimbulkan hipoksia jaringan dan dapat menyebabkan kematian syaraf yang mempersyarafi daerah tersebut. Biasanya timbul nyeri hebat. Individu mungkin tidak dapat menggerakkan jari tangan atau kakinya. Sindrom kompartemen biasanya terjadi pada ekstremitas yang memiliki restriksi volume yang ketat, seperti lengan.resiko terjadinya sinrome kompartemen paling besar apabila terjadi trauma otot dengan patah tulang karena pembengkakan yang terjadi akan hebat. Pemasangan gips pada ekstremitas yang fraktur yang terlalu dini atau terlalu ketat dapat menyebabkan peningkatan di kompartemen ekstremitas, dan hilangnya fungsi secara permanen atau hilangnya ekstremitas dapat terjadi (Corwin, 2009). d) Kerusakan Arteri Pecahnya arteri karena trauma biasanya ditandai dengan tidak ada nadi, CRT menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan. e) Infeksi Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic, infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat. f) Avaskuler nekrosis Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2002). g) Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union, delayed union, dan non union. 1) Mal union Mal union adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya, membentuk sudut, atau miring. Contoh yang khas adalah patah tulang paha yang dirawat dengan traksi, dan kemudian diberi gips untuk imobilisasi dimana kemungkinan gerakan rotasi dari fragmen- fragmen tulang yang patah kurang diperhatikan. Akibatnya sesudah gips dibung ternyata anggota tubuh bagian distal memutar ke dalam atau ke luar, dan penderita tidak dapat mempertahankan tubuhnya untuk berada dalam posisi netral. Komplikasi seperti ini dapat dicegah dengan melakukan analisis yang cermat sewaktu melakukan reduksi, dan mempertahankan reduksi itu sebaik mungkin terutama pada masa awal periode penyembuhan. Gips yang menjadi longgar harus diganti seperlunya. Fragmen- fragmen tulang yang patah dan bergeser sesudah direduksi harus diketahui sedini mungkin dengan melakukan pemeriksaan radiografi serial. Keadaan ini harus dipulihkan kembali dengan reduksi berulang dan imobilisasi, atau mungkin juga dengan tindakan operasi. 2) Delayed Union Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang. 3) Non union Non union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6- 9 bulan. Non union ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseuardoarthrosis. Banyak keadaan yang merupakan faktor predisposisi dari nonunion, diantaranya adalah reduksi yang tidak benar akan menyebabkan bagian-bagian tulang yang patah tetap tidak menyatu, imobilisasi yang kurang tepat baik dengan cara terbuka maupun tertutup, adanya interposisi jaringan lunak (biasanya otot) diantara kedua fragmen tulang yang patah, cedera jaringan lunak yang sangat berat, infeksi, pola spesifik peredaran darah dimana tulang yang patah tersebut dapat merusak suplai darah ke satu atau lebih fragmen tulang. 6. Pemeriksaan Penunjang 1) Pemeriksaan rongent: Menentukan lokasi atau luasnya fraktur atau trauma. 2) Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI: Memperlihatkan fraktur dan juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak. 3) Hitung Darah Lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel). Peningkatan jumlah SDP adalah respon stress normal setelah trauma. 4) Arteriogram: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai. 5) Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal. 7. Penatalaksanaan 1) Penatalaksanaan Kedaruratan Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing) dan sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara terperinci. Waktu tejadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat golden period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara cepat, singkat dan lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto. Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak menyadari adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah, maka bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagain tubuh segera sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien yang mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga di atas dan di bawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi. Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak dan perdarahan lebih lanjut. Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian yang memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang. Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan ektremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada cedera ektremitas atas, lengan dapat dibebatkan ke dada, atau lengan bawah yang cedera digantung pada sling. Peredaran di distal cedera harus dikaji untuk menntukan kecukupan perfusi jaringan perifer. Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan melakukan reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar melalui luka. Pasanglah bidai sesuai yang diterangkan di atas. Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan kemudian dari sisi cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada sisi cedera. Ektremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
2) Penatalaksanaan bedah ortopedi
Banyak pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal harus menjalani pembedahan untuk mengoreksi masalahnya. Masalah yang dapat dikoreksi meliputi stabilisasi fraktur, deformitas, penyakit sendi, jaringan infeksi atau nekrosis, gangguan peredaran darah (misal sindrom kompartemen), adanya tumor. Prosedur pembedahan yang sering dilakukan meliputi Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Interna atau disingkat ORIF (Open Reduction and Fixation). Berikut dibawah ini jenis-jenis pembedahan ortopedi dan indikasinya yang lazim dilakukan: Reduksi terbuka: melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang yang patah setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang patah. Fiksasi interna: stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan skrup, plat, paku dan pin logam. Graft tulang: penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun heterolog) untuk memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi atau mengganti tulang yang berpenyakit. Amputasi: penghilangan bagian tubuh. Artroplasti: memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat yang memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang besar) atau melalui pembedahan sendi terbuka. Menisektomi: eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak. Penggantian sendi: penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau sintetis. Penggantian sendi total: penggantian kedua permukaan artikuler dalam sendi dengan logam atau sintetis. Transfer tendo: pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki fungsi. Fasiotomi: pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi otot atau mengurangi kontraktur fasia (Ramadhan, 2018). PATHWAY Trauma jatuh Trauma jatuh Trauma jatuh
Perubahan jaringan sekitar Kerusakan fragmen tulang
Tekanan sumsum tulang
Laserasi kulit Spasme otot lebih tinggi dari kapiler
Mengenai jaringan Peningkatan tek.
kutis dan sub kutis kapiler Melepaskan katekolamin
Perdarahan Pelepasan Metabolisme asam lemak
histamnin
Kehilangan Bergabung dengan trombosit
volume cairan Protein plasma hilang Emboli Risiko syok (hipovolemik) Edema Menyumbat pembuluh darah Penekanan pembuluh darah
Perfusi perifer tidak
efektif B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian 1) Pengkajian Primer a. Airway Penilaian kelancaran airway pada klien yang mengalami fraktur, meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trachea. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra servikal karena kemungkinan patahnya tulang servikal harus selalu diperhitungkan. Dalam hal ini dapat dilakukan chin lift, tetapi tidak boleh mengakibatkan hiperekstensi leher. Cara melakukan chinlift dengan menggunakan jari-jari satu tangan yang diletakan dibawah mandibula, kemudian mendorong dagu ke anterior. Ibu jari tangan yang sama sedikit menekan bibir bawah untuk membuka mulut dan jika diperlukan ibu jari dapat diletakkan didalam mulut dibelakang gigi seri untuk mengangkat dagu. Jaw trust juga merupakan tekhnik untuk membebaskan jalan nafas. Tindakan ini dilakukan oleh dua tangan masing-masing satu tangan dibelakang angulus mandibula dan menarik rahang ke depan. Bila tindakan ini dilakukan memakai face- mask akan dicapai penutupan sempurna dari mulut sehingga dapat dilakukan ventilasi yang baik. Jika kesadaran klien menurun pembebasan jalan nafas dapat dipasang guedel (oro-pharyngeal airway) dimasukkan kedalam mulut dan diletakkan dibelakang lidah. Cara terbaik adalah dengan menekan lidah dengan tongue spatol dan mendorong lidah kebelakang, karena dapat menyumbat fariks. Pada klien sadar tidak boleh dipakai alat ini, karena dapat menyebabkan muntah dan terjadi aspirasi. Cara lain dapat dilakukan dengan memasukkan guedel secara terbalik sampai menyentuh palatum molle, lalu alat diputar 180o dan diletakkan dibelakang lidah. Naso- Pharyngeal airway juga merupakan salah satu alat untuk membebaskan jalan nafas. Alat ini dimasukkan pada salah satu lubang hidung yang tidak tersumbat secara perlahan dimasukkan sehingga ujungnya terletak di fariks. Jika pada saat pemasangan mengalami hambatan berhenti dan pindah kelubang hidung yang satunya.Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi leher. b. Breathing Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Dada klien harus dibuka untuk melihat pernafasan yang baik. Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura.Inspeksi dan palpasi dapat mengetahui kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi. Evaluasi kesulitan pernafasan karena edema pada klien cedera wajah dan leher. Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah tension pneumothoraks, flail chest dengan kontusio paru, open pneumothoraks dan hemathotoraks massif. Jika terjadi hal yang demikian siapkan klien untuk intubasi trakea atau trakeostomi sesuai indikasi. c. Circulation Control pendarahan vena dengan menekan langsung sisi area perdarahan bersamaan dengan tekanan jari pada arteri paling dekat dengan area perdarahan. Kaji tanda-tanda syok yaitu penurunan tekanan darah, kulit dingin, lembab dan nadi halus. Darah yang keluar berkaitan dengan fraktur femur dan pelvis. Pertahankan tekanan darah dengan infuse IV, plasma. Berikan transfuse untuk terapi komponen darah sesuai ketentuan setelah tersedia darah. Berikan oksigen karena obstruksi jantung paru menyebabkan penurunan suplai oksigen pada jaringan menyebabkan kolaps sirkulsi. Pembebatan ekstremitas dan pengendalian nyeri penting dalam mengatasi syok yang menyertai fraktur. d. Disability/evaluasi neurologis Dievalusai keadaan neurologisnya secara cepat, yaitu tingkat kesadaran ukuran dan reaksi pupil. Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigen atau penurunan perfusi ke otak atau perlukaan pada otak. Perubahan kesadaran menuntutu dilakukannya pemeriksaan terhadap keadaan ventilasi, perfusi dan oksigenasi. e. Exporsure/ control lingkungan Pada saat tiba di RS, seluruh pakaian yang dikenakan klien harus dibuka, untuk mengevaluasi klien. Setelah pakaian dibuka, penting untuk menjaga klien agar tidak kedinginan, harus diberikan selimut hangat dan diberikan cairan intravena yang sudah dihangatkan. Pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma muskuloskeletal seperti fraktur adalah imobilisasi patah tulang dan pemeriksaan radiologi f. Imobilisasi Fraktur Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang cedera dalam posisi anatomis mungkin dan mencegah gerakan yang berlebihan pada daerah fraktur.hal ini akan tercapai dengan melakukan traksi untuk meluruskan ekstrimitas dan dipertahankan dengan alat imobilisasi. Pemakaian bidai yang benar akan membantu menghentikan pendarahan, mengurangi nyeri, dan mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut. Imobilisasi harus mencakup sendi diatas dan di bawah fraktur. Fraktur femur dilakukan imobilisasi sementara dengan traction splint. Traction splint menarik bagian distal dari pergelangan kaki atau melalui kulit. Di proksimal traction splint didorong ke pangkal paha melalui ring yang menekan bokong, perineum dan pangkal paha. Cara paling sederhana dalam membidai tungkai yang trauma adalah dengan tungkai sebelahnya. Pada cedera lutut pemakaian long leg splint atau gips dapat membantu kenyamanan dan stabilitas. Tungkai tidak boleh dilakukan imobilisasi dalam ekstensi penuh. Fraktur tibia sebaiknya dilakukan imobilisasi dengan cardboard atau metal gutter, long leg splint. Jika tersedia dapat dipasang gips dengan imobilisasi meliputi tungkai bawah, lutut, dan pergelangan kaki. g. Pemeriksaan Radiologi Umumnya pemeriksaan radiologis pada trauma skeletal merupakan bagian dari survey sekunder. Jenis dan saat pemeriksaan radiologis yang akan dilakukan ditentukan oleh hasil pemeriksaan, tanda klinis, keadaan hemodinamik, sertamekanisme trauma. Foto pelvis AP perlu dilakukan sedini mungkin pada pasien multitrauma tanpa kelainan hemodinamik dan pada pasien dengan sumber pendarahan yang belum dapat ditentukan. 2) Pengkajian Sekunder a. Kaji riwayat trauma, mengetahui riwayat trauma, karena penampilan luka kadang tidak sesuai dengan parahnya cidera, jika ada saksi seseorang dapat menceritakan kejadiannya sementara petugas melakukan pemeriksaan klien. b. Kaji seluruh tubuh dengan pemeriksaan fisik dari kepala sampai kaki secara sistematis, inspeksi adanya laserasi bengkak dan deformitas. c. Kaji kemungkinan adanya fraktur multiple : Trauma pada tungkai akibat jatuh dari ketinggian sering disertai dengan trauma pada lumbal Trauma pada lutut saat pasien jatuh dengan posisi duduk dapat disertai dengan trauma panggul Trauma lengan sering menyebabkan trauma pada siku sehingga lengan dan siku harus dievaluasi bersamaan. Trauma proksimal fibula dan lutut sering menyebabkan trauma pada tungkai bawah. d. Kaji adanya nyeri pada area fraktur dan dislokasi e. Kaji adanya krepitasi pada area fraktur f. Kaji adanya perdarahan dan syok terutama pada fraktur pelvis dan femur. g. Kaji adanya sindrom kompartemen, fraktur terbuka, tertutup dapat menyebabkan perdarahan atau hematoma pada daerah yang tertutup sehingga menyebabkan penekanan saraf. h. Kaji TTV secara continue. 2. Diagnosa Keperawatan 1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma) dibuktikan dengan mengeluh nyeri, tampak meringis, gelisah, frekuensi nadi meningkat, tekanan darah meningkat, pola nafas berubah. 2) Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan kekurangan volume cairan dibuktikan dengan pengisian kapiler >3 detik, akral teraba dingin, warna kulit pucat, turgor kulit menurun, edema dan nyeri pada ekstremitas. 3) Risiko syok berhubungan dengan faktor risiko kekurangan volume cairan 4) Resiko Infeksi berhubungan prosedurinfasif yang ditandai dengan kemerahan menurun, nyeri pada klien menurun dan bengkak menurun. 3. Intervensi/Rencana Keperawatan No Diagnosa Keperawatan Standar Luaran Keperawatan Indonesia Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SLKI) (SIKI) 1 Nyeri Akut Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Manajemen nyri (I.08238) …x….. jam diharapkan tingkat nyeri menurun Penyebab 1.Observasi (L.08066) dengan kriteria: □ Agen pencedera fisiologis □Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, □ Keluhan nyeri menurun (5) (mis, inflamasi, iskemia, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri. □ Meringis menurun (5) neoplasma) □ Sikap protektif menurun (5) □Identifikasi skala nyeri □ Gelisah menurun (5) □Identifikasi respons nyeri non verbal □ Agen pencedera kimiawi (mis □ Frekuensi nadi membaik (5) □Identifikasi faktor yang memperberat dan terbakar, bahan kimia iritan) □ Pola nafas membaik (5) memperingan nyeri □ Tekanan darah membaik (5) □ Agen pencedera fisik (mis □Identifikasi pengetahuan dan keyakinan abses, amputasi, terbakar, tentang nyeri terpotong, mengangkat berat, □Identifikasi pengaruh budaya terhadap prosedur operasi, trauma, respons nyeri latihan fisik berlebihan). □Identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup Gejala dan tanda mayor □Monitor keberhasilan terapi Subjektif □ Mengeluh nyeri Objektif □ Tampak meringis □Bersikap protektif (mis waspada, posisi menghindari nyeri) □ Gelisah □ Frekuensi nadi meningkat □ Sulit tidur
Gejala dan tanda minor
Subjektif (tidak tersedia) Objektif □ Tekanan darah meningkat □ Pola nafas berubah □ Nafsu makan berubah □ Proses berpikir terganggu □ Menarik diri □ Berfokus pada diri sendiri □ Diaforesis □Jelaskan strategi meredakan nyeri □Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri □Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat □Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri 4.Kolaborasi □Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu
Pemberian analgesik (I.08243)
1.Observasi □Identifikasi karakteristik nyeri (mis. Pencetus, kualitas, lokasi, intensitas, frekuensi, durasi) □Identifikasi riwayat alergi obat □Identifikasi kesesuaian jenis anlagetik (mis. Narkotika, non-narkotk, atau NSAID) dengan tingkat keparahan nyeri □Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian analgetik □Monitor efektifitas analgesic 2. Terapeutik □Diskusikan jenis analgesic yang disukai untuk mencapai analgesia optimal, jika perlu □Perimbangkan penggunaan infus kontinu atau bolus oploid untuk mempertahankan kadar dalam serum □Tetapkan target efektifitas analgesic untuk mengoptimalkan respons pasien □Dokumentasikan respons terhadap efek analgesic dan efek yang tidak diinginkan. 3. Edukasi □Jelaskan efek terapi dan efek samping obat 4. Kolaborasi □Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesic, sesuai indikasi 2. Perfusi perifer tidak efektif Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Perawatan sirkulasi (I.20279) …x….. jam diharapkan perfusi perifer (L.02011) 1. Observasi Penyebab □Periksa sirkulasi perifer (mis.nadi perifer, meningkat dengan kriteria hasil: □Hiperglikemia edema, pengisian kapiler, warna, suhu, □Penurunan konsentrasi □Denyut nadi perifer meningkat (5) □Penyembuhan luka meningkat (5) ankle brachial index) hemoglobin □Sensasi meningkat (5) □Identifikasi faktor resiko gangguan □Peningkatan tekanan darah □Warna kulit pucat menurun (5) □Kekurangan volume cairan □Kelemahan otot menurun (5) sirkulasi (mis.diabetes, perokok, orang □Penuruan aliran arteri □Kram otot menurun (5) tua, hipertensi, dan kadar kolesterol □Nekrosis menurun (5) dan/atau vena □Pengisian kapiler membaik (5) tinggi) □Kurang terpapar informasi □Akral membaik (5) □Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau □Turgor kulit membaik (5) tentang faktor pemberat □Tekanan darah sistolik membaik (5) bengkak pada ekstremitas. (mis. Merokok, gaya hidup □Tekanan darah diastolik (5) 2. Terapeutik menoton, trauma, obesitas, □Hindari pemasangan infus atau asupan garam, imobilitas) Tingkat cedera (L.14136) menurun dengan pengambilan darah di area keterbatasan □Kurang terpapar informasi kriteria hasil : perfusi tentang proses penyakit □Kejadian cedera menurun (5) □Hindari pengukuran tekanan darah pada (mis diabetes mellitus, ekstremitas dengan keterbatasan perfusi hyperlipidemia) □Lakukan pencegahan infeksi □Hindari penekanan dan pemasangan □Kurang aktivitas fisik □Luka/lecet menurun (5) tourniquet pada area yang cedera. □Fraktur menurun (5) □Lakukan hidrasi Gejala dan tanda mayor □Perdarahan menurun (5) 3. Edukasi Subjektif (tidak tersedia) □Ekspresi wajah kesakitan menurun (5) □Anjurkan berhenti merokok □Tekanan darah membaik (5) □Anjurkan berolahraga rutin Objektif □Frekuensi nadi membaik (5) □Anjurkan menggunakan obat penurun □Pengisian kapiler > 3 detik □Frekuensi napas membaik (5) tekanan darah, antikoagulan, dan penurun □Nadi perifer menurun atau kolesterol jika perlu tidak teraba Tingkat perdarahan (L.02017) menurun dengan □Anjurkan minum obat pengontrol tekanan □Akral teraba dingin kriteria hasil : □Warna kulit pucat darah jika perlu □Turgor kulit menurun □Kelembapan membran mukosa meningkat □Ajarkan program diet untuk memperbaiki (5) sirkulasi (mis. Rendah lemak jenuh, Gejala dan tanda minor □Kelembapan kulit meningkat (5) minyak ikan omega tiga) □Hemoptisis menurun (5) Subjektif □Hematemesis menurun (5) □Informasikan tanda dan gejala darurat □Parastesia □Hematuria menurun (5) □Nyeri ekstremitas yang harus dialporkan (mis rasa sakit □Hemoglobin membaik (5) □Hematokrit membaik (5) yang tidak hilang saat istirahat, luka (klaudikasi intermiten) □Tekanan darah membaik (5) Objektif tidak sembuh, hilangnya rasa) □Edema □Penyembuhan luka lambat □Indeks ankle-brachial <0,90 Manajemen Sensasi Perifer (I.06195) □Bruit femoral 1. Observasi □Identifikasi penyebab perubahan sensasi □Identifikasi penggunaan alat pengikat, prosthesis, sepatu, dan pakaian □Periksa perbedaan sensasi tajam atau tumpul □Periksa perbedaan sensasi panas atau dingin □Periksa kemampuan mengidentifikasi lokasi dan tekstur benda □Monitor terjadinya paresthesia, jika perlu □Monitor perubahan kulit □Monitor adanya tromboflebitis dan tromboemboli vena 2. Terapeutik □Hindari pemakaian benda-benda yang berlebihan suhunya (terlalu panas atau dingin) 3. Edukasi □Anjurkan penggunaan sarung tangan termal saat memasak □Anjurkan memakai sepatu lembut dan bertumit rendah 4. Kolaborasi □Kolaborasi pemberian analgesic, jika perlu □Kolaborasi pemberian kortikosteroid jika perlu
Manajemen hipovolemia (I.03116)
1. Observasi □Periksa tanda dan gejala hypovolemia (mis frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membrane mukosa kering, volume urine menurun, hematocrit meningkat, haus, lemah. □Monitor intake dan output cairan 2. Terapeutik □Hitung kebutuhan cairan □Berikan posisi modified trendelenburg □Berikan asupan cairan oral 3. Edukasi □Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral □Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak 4. Kolaborasi □Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (mis.NaCl, RL) □Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis. Glukosa 2,5%, NaCl 0,4%) □Kolaborasi pemberian cairan koloid (mis, albumin, plasmanate) □Kolaborasi pemberian produk darah 3. Risiko syok Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Pencegahan Syok (I.02068) …x….. jam diharapkan tidak terjadi syok 1. Observasi Faktor resiko: □Monitor status kardiopulmonal (frekuensi (L.03032) dengan kriteria hasil: □Hipoksemia dan kekuatan nasi, frekuensi napas, TD, □Hipoksia □Kekuatan nadi meningkat (5) □Hipotensi □Output urine meningkat (5) MAP) □Kekurangan volume cairan □Tingkat kesadaran meningkat (5) □Monitor status oksigenasi □Sepsis □Akral dingin menurun (5) □Monitor status cairan (masukan dan □Sindrom respons inflamasi □Mean arterial pressure membaik (5) □Tekanan darah sistolik membaik (5) haluaran, turgor kulit, CRT) sistemik □Tekanan darah diastolik membaik (5) □Monitor tingkat kesadaran da respon pupil □Tekanan nadi membaik (5) □Periksa riwayat alergi □Frekuensi nadi membaik (5) 2. Terapeutik □Frekuensi napas membaik (5) □Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen >90% □Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis jika perlu □Pasang jalur IV jika perlu □Pasang kateter urine untuk menilai produksi urine, jika perlu □Lakukan skin test untuk mencegah reaksi alergi 3. Edukasi □Jelaskan penyebab/faktor resiko syok □Jelaskan tanda dan gejala awal syok □Anjurka melapor jika menemukan /merasakan tanda dan gejala awal syok □Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral □Anjurkan menghindari allergen
4. Kolaborasi □Kolaborasi pemberian IV jika perlu □Kolaborasi pemberian trasfusi darah jika perlu □Kolaborasi pemberian antiinflamasi jika perlu
Pemantauan cairan (I.03121)
1. Observasi □Monitor frekuensi dan kekuatan nadi □Monitor frekuensi napas □Monitor tekanan darah □Monitor berat badan □Monitor waktu pengisian kapiler □Monitor elastisitas atau turgor kulit □Monitor jumlah,warna dan berat jenis urine □Monitor kadar albumin dan protein total □Monitor hasil pemeriksaan serum (mis. Osmolaritas serum, hematocrit, natrium, kalium, BUN) □Monitor intake dan output cairan □Identifikasi tanda-tanda hypovolemia (mis. Frekuensi nasi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun,membrane mukosa kering, volume urine menurun, hematocrit meningkat, haus, lemah, konsentrasi urine meningkat, berat badan menurun dalam waktu singkat) □Identifikasi tanda-tanda hypervolemia (mis dyspnea, edema perifer, edema anasarka, JVP meningkat, CVP meningkat, Refleks hepatojugular positif, berat badan menurun dalam waktu singkat) □Identifikasi faktor resiko ketidakseimbangan cairan (mis prosedur pembedahan mayor, trauma/perdarahan, luka bakar, apheresis, obstruksi intestinal, peradangan pancreas, penyakit ginjal dan kelenjar, disfungsi intestinal) 2. Terapeutik □Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien □Dokumentasikan hasil pemantauan 3. Edukasi □Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan □Informasikan hasil pemantauan jika perlu 4. Implementasi Implementasi menyesuaikan dengan intervensi keperawatan yang akan diberikan pada klien. 5. Evaluasi Evaluasi keperawatan menyesuaikan dengan implementasi keperawatan yang diberikan kepada klien DAFTAR PUSTAKA
Apley, A Graham.2017.Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley.Jakarta: Widya
Medika Dudley, Hugh AF.2016. Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II.Jogjakarta: FKUGM Henderson, M.A.2016.Ilmu Bedah untuk Perawat.Yogyakarta: Yayasan Essentia Medika Herdman, T Heather.2016.Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012- 2014.Jakarta: EGC Hudak and Gallo.2017.Keperawatan Kritis Volume I.Jakarta: EGC. Mansjoer, Arif.2017.Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II.Jakarta: Medika Aesculapius FKUI Lynda Juall Carpenito.2018.Buku Saku Diagnosis Keperawat (Handbook of Nursing Diagnosis) Edisi 10.Jakarta: EGC Mansjoer, Arif. 2018.Kapita Selekta Kedokteran.Jakarta: Media Aesculapius. Price A S, Wilson.2006.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses penyakit Edisi Vol. 2. Jakarta: EGC Price, Evelyn C.2017.Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis.Jakarta: Gramedia Smeltzer, S.C. dan Bare, B.G.2017.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8, Vol. 2. Jakarta: EGC .