Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENGERTIAN DAN SEJARAH LAHIRNYA ILMU KALAM/


TEOLOGI DALAM ISLAM
Di ajukan untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Tauhid/Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Syarifudin Basyar, M.A

Disusun oleh kelompok 5


Dea Apriliani (2111020016)
Eka Prastya (2111020019)
Hani Nur Fadila (2111020029)

PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG 2022
Kata pengantar

Puji syukur kita haturkan atas kehadirat Allah SWT. Yang telah melipahkan rahmat-Nya
kepada kita semua khususnya kepada kami selaku penyusun makalah ini Bandar sehingga
makalah ini bisa selesai tepat pada waktu yang telah ditentukan. Makalah ini kami susun untuk
memenuhi tugas mata kuliah “Tauhid / Ilmu Kalam “.
Judul dari makalah yang kami susun ini adalah “Pengertian dan Sejarah Lahirnya Ilmu Kalam /
Teologi dalam Islam” Kami sebagai penyusun sangat berharap makalah yang kami susun ini
dapat bermanfa’at bagi pembaca.
Kami sebagai penyusun juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu kami sangat mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca guna membangun makalah ini agar menjadi lebih baik.

Bandar lampung, 14 Maret 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul………………………………………………….…………………….…………i
Kata Pengantar…………………………………………………………………..…………...…ii
Daftar Isi……………………………………………………….………………………………..iii
BAB I
PENDAHULUAN……………………………………………………………………………….1
A. Latar Belakang……………………………………………….…………………………..1
B. Rumusan Masa.……………………………………………….………………………….1
C. Tujuan Penulisan……….………………………………………………………………...1
BAB II
PEMBAHASAN…..……………………………………………………………………………2
A. Pengertian Ilmu Kalam………………………………………………………………….2
B. Sejarah Lahirnya Ilmu Kalam/Teologi…………………………………………………4
BAB III
PENUTUP…………………………………………………………………………………..
A. Kesimpulan…………………………………………………………………………….
B. Saran …………………………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu kalam adalah ilmu adalah ilmu yang membahas tentang keesaan Allah SWT. Namun
argumentasi ilmu kalam lebih dikonsentrasikan pada penguasaan logika. Ilmu kalam bias disebut
dengan beberapa nama,antara lain : ilmu ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh Al-Akbar.
Kemunculan Ilmu Kalam dalam Islam berawal dari peristiwa tahkim atau arbitrase antara
Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Perseteruan politik ini tidak hanya memecah
belah Islam dalam perkara pemerintahan, namun juga bergeser ke penafsiran teks agama yang
melahirkan disiplin Ilmu Kalam.
Secara definitif, Ilmu Kalam adalah ilmu yang mempelajari masalah ketuhanan atau
akidah. Padanan kata populernya adalah teologi Islam. Harun Nasution dalam buku Muhammad
Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (1987) menuliskan bahwa Ilmu Kalam adalah “ilmu
yang membahas wujud Allah, sifat-sifat-Nya, kenabian, alam, dan hubungan Tuhan dengan
makhluk-makhluknya".
Di masa kenabian, tidak ada perdebatan mengenai perkara akidah dan ketuhanan. Nabi
Muhammad merupakan rujukan tunggal. Orang-orang yang berselisih mendatangi beliau SAW
untuk mencari pencerahan sehingga tidak ada perbedaan pendapat di kalangan sahabat mengenai
perkara ketuhanan. Selain itu, Nabi Muhammad juga sempat melarang sahabatnya bertanya
mengenai qadar yang nantinya menjadi kontroversi di kalangan ahli Ilmu Kalam. Selepas
wafatnya Rasulullah, barulah aliran pemikiran Islam bermunculan.
Ilmu Kalam kemudian lahir ketika terjadi perseteruan politik di masa Ali bin Abi Talib
dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Sebenarnya, embrionya sudah tampak di masa kekhalifahan
Usman bin Affan. Di masa itu, orang-orang yang memiliki paham seragam saling berdiskusi
membincangkan pemikiran mereka. Lantas, ketika terjadi peristiwa arbitrase, mereka muncul
mengungkapkan pandangan mereka masing-masing dan menentukan sikap terhadap Ali dan
Muawiyah. Peristiwa arbitrase itu terjadi pada perang Shifin pada 657 M, pertempuran antara
kubu Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Perang ini merupakan serangan Ali
terhadap Muawiyah yang tidak mau tunduk kepada pemerintahan Kekhalifahan Rasyidin.
Karena kekuatan tempur dan strategi perang kedua belah pihak yang nyaris setara, diajukanlah
arbitrase untuk mengurangi jumlah korban yang berjatuhan. Arbitrase ini adalah upaya
penyelesaian perseteruan politik antara Ali dan Muawiyah dengan melibatkan pihak ketiga yang
diharapkan dapat memberikan keputusan netral. Pihak ketiga untuk merundingkan seteru politik
itu adalah Amr bin Ash dari kubu Muawiyah dan Abu Musa Al-Asyari dari kubu Ali bin Abi
Thalib. Setelah perundingan itu, Abu Musa Al-Asyari kemudian menyampaikan hasil arbitrase
sebagai berikut.

1
“Setelah kami mengadakan pembahasan, kami tidak menemukan jalan keluar yang lebih baik
untuk mengatasi kemelut ini, selain mengambil langkah demi kebaikan kita semua, yaitu kami
sudah sama-sama sepakat untuk memecat Ali dan Muawiyah dan selanjutnya kita kembalikan
kepada Majelis Syura di antara kaum muslimin sendiri," sampaikan Abu Musa Al-Asyari,
sebagaimana dikutip dari buku Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam (2014) yang ditulis Yunan
Yusuf. Keputusan tahkim ini pun langsung diingkari oleh kubu Muawiyah, yang diikuti dengan
kubu Ali bin Abi Thalib. Jejak politik ini rupanya bergeser ke penafsiran agama yang menjadi
titik tolak lahirnya tiga aliran Ilmu Kalam dalam Islam sebagai berikut :
1. Aliran Khawarij yang menolak tahkim atau arbitrase sepenuhnya, serta menanggap bahwa
orang-orang yang menyetujui tahkim telah melanggar hukum Islam. Orang yang melanggar
hukum Islam telah berdosa besar. Selanjutnya, orang-orang yang melakukan dosa besar
tergolong sudah murtad dan keluar dari Islam, serta darahnya halal ditumpahkan. Karena itulah,
mereka berencana membunuh empat pentolan pelaku tahkim, yaitu Ali, Muawiyah, Amr bin
Ash, dan Abu Musa Al-Asyari. Namun, yang berhasil dibunuh hanya Ali bin Abi Thalib.
2. Aliran Murjiah yang menyatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin dan
tidak kafir. Perkara dosa diserahkan kepada Allah SWT, terserah Dia mengampuni atau
memasukkan pelakunya ke dalam neraka.
3. Aliran Mu'tazilah yang menolak dua pendapat di atas. Bagi aliran Mu'tazilah, orang berdosa
besar tidak bisa dianggap kafir, tidak juga orang mukmin. Pendosa besar berada di posisi antara
Islam dan kafir. Penegasan posisi inilah yang menjadi penamaan Mu'tazilah, yang dalam bahasa
Arab kesohor dengan sebutan al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi).
Setelah ketiga aliran di atas, muncul lagi aliran Ilmu Kalam yang terkenal, yaitu Qadariyah dan
Jabariah, kemudian Asyariah, Maturidiyah, dan lain sebagainya.

B. Rumusan Masalah
1) Apakah yang dimaksud dengan ilmu kalam?
2) Bagaimanakah sejarah ilmu kalam dalam islam?
C. Tujuan
1) Dapat mengetahui maksud dari pengertian ilmu kalam secara baik dan benar.
2) Dapat mengetahui sejarah ilmu kalam dalam islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ILMU KALAM


Ilmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain:ilmu ushuluddin, ilmu
tauhid, fiqh Al-Akbar, dan teologi Islam. Disebut ilmu ushuluddin karena karena ilmu ini
membahas pokok-pokok agama. Disebut ilmu tauhid karena ilmu ini membahas ke-esaan Allah
SWT. Teologi Islam merupakan istilah lain dari ilmu kalam, yang diambil dari Bahasa Inggris,
theology. William L. Reese mendefisinikannya dengan discourse or reason concerning God
(diskursus atau pemikiran tentang Tuhan). Sementara itu Musthafa Abdul Raziq berkomentar,
ilmu ini (ilmu kalam) yang berkaitan dengan akidah imani ini sesungguhnya dibangun di atas
argumentasiargumentasi rasional. Atau, ilmu yang berkaitan dengan akidah Islami ini bertolak
atas bantuan nalar. sementara itu Al-Farabi mendefinisikan ilmu kalam sebagai berikut : ilmu
kalam adalah disiplin ilmu yang membahas Dzat dan sifat Allah beserta eksistensi semua yang
mungkin, mulai yang berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang
berlandaskan doktrin Islam. Stressing akhirnya adalah memproduksi ilmu ketuhanan secara
filosofis Ibnu Khaldun mendefinisikan ilmu kalam sebagai berikut: ilmu kalam adalah disiplin
ilmu yang mengandung berbagai aargumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dalil
rasional. Adapun ilmu ini dinamakan ilmu Kalam, disebabkan :

a). Persoalan yang terpenting yang menjadi pembicaraan pada abad-abad permulaan hijriah ialah
apakah Kalam Allah (Al-qur an) itu qadim atau hadits.

b). Dasar ilmu Kalam ialah dalil-dalil fikiran dan pengaruh dalil fikiran ini tampak jelas dalam
pembicaraan para mutakallimin. Mereka jarang mempergunakan dalil naqli (Al-Qur an dan
hadits), kecuali sesudah menetapkan benarnya pokok persoalan terlebih dahulu berdasarkan
dalil-dalil fikiran.

c). Dinamakan Ilmu Kalam karena pembicaraan tentang Tuhan dibahas dengan logika.
Maksudnya menggunakan dalil-dalil aqliyah ; dari permasalahan masalah sifat-sifat kalam bagi
Allah. Dasar-dasar dan ruang lingkup ilmu kalam Al-quran Sebagai dasar dan sumber ilmu
kalam, Al-quran banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan,
diantaranya adalah: Artinya: Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakan dan tidak ada
sesuatu yang sama dengan dia. Hadis Hadis Nabi SAW pun banyak membicarakan masalah-
masalah yang dibahas ilmu kalam yang dipahami sebagian ulama sebagai prediksi Nabi
mengenai kemunculan berbagai golongan dalam ilmu kalam, diantaranya adalah: hadits yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, orang-orang
Yahudi akan terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan terpecah
menjadi tujuh puluh golongan. Pemikiran manusia Pemikiran manusia dalam hal ini, baik berupa

3
pemikiran umat Islam sendiri atau pemikiran yang berasal dari luar umat Islam. Sebelum filsafat
Yunani masuk dan berkembang di dunia Islam, umat Islam sendiri telah menggunakan pemikiran
rasionalnya untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat Al-quran, terutama yang
belum jelas maksudnya (al-mutasyabihat) –(Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam
untuk UIN, STAIN, PTAIS, Bandung: Pustaka Setia,2009,)

Seperti halnya filosofi muslim yaitu Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Al- Razi atau
yang di kenal dengan Al-Razi yang mendukung penggunaan akal dalam memahami kalam Ilahi,
ia berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui yang baik serta apa yang buruk,
untuk tahu kepada Tuhan, dan untuk mengatur hidup manusia di dunia Insting Secara instingtif,
manusia selalu ingin bertuhan, oleh karena itu kepercayaaan adanya Tuhan telah berkembang
sejak adanya manusia pertama. William L. Reese mengatakan bahwa ilmu yang berhubungan
dengan ketuhanan ini yang dikenal dengan istilah theologia, telah berkembang sejak lama dan
muncul dari mitos. Selanjutnya teologi itu berkembang menjadi teologi alam dan teologi wahyu
Sebelum membahas mengenai ruang lingkup ilmu kalam kita harus mengetahui ajaran dasar
agama yang tidak boleh diperselisihkan seperti:

1. Allah maha Esa 2. Muhammad adalah Rasul 3. Al-Quran adalah wahyu 4. Hari akhirat itu
pasti 5. Surga dan neraka itu ada. Selanjutnya yang menjadi tema besar ajaran ilmu kalam (ruang
lingkup), seperti: 1. Allah mempunyai sifat di luar dzat atau tidak 2. Diutusnya Rasul wajib atau
tidak 3. Al-quran Qadim atau baharu 4. Surga dan neraka itu jasmani atau rohani 5. Melihat
Tuhan di akhirat, dengan jasmani atau rohani 6. Dan lain-lain. _Harun Nasution, Falsafat dan
Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1999, h op. cit. h M. Yunan Yusuf, Diktat Ilmu
Kalam, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2001, h. 8-9.

B. SEJARAH MUNCULNYA ILMU KALAM


Sejarah Timbulnya Ilmu alam Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam
dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin affan yang
berbuntut pada penolakan Muawwiyah atas kekhalifahan Ali bin abi Thalib. Ketegangan tersebut
mengkristal menjadi perang Siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim (arbitrase). Sikap Ali
menerima tipu muslihat Amr bin Al ash, utusan dari pihak Muawwiyah dalam tahkim.
Kelompok yang awalnya berada dengan Ali menolak keputusan tahkim tersebut mereka
menganggap Ali telah berbuat salah atas keputusan tersebut sehingga mereka meninggalkan
barisannya, kelompok ini dikenal dengan nama khawarij, yaitu orang yang keluar dan
memisahkan diri. Diluar pasukan yang membelot Ali, adapula yang sebagian besar tetap
mendukung Ali. Mereka inilah yang kemudian memunculkan kelompok Syiah. Harun lebih jauh
melihat bahwa persoalan kalam yang pertama muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan
siapa yang bukan kafir. Sementara itu menurut Dr. M. Yunan yusuf masalah ilmu kalam ini
timbul berawal dari masalah politik yaitu ketika Utsman bin Affan wafat terbunuh dalam suatu
pemberontakan. sebagai gantinya Ali dicalonkan sebagai khalifah namun pencalonan Ali ini

4
banyak mendapat pertentangan dari para pemuka sahabat di Mekkah. Tantangan kedua datang
dari Muawwiyah, gubernur Damaskus salah seorang keluarga dekat Utsman bin Affan. Ia pun
tidak mau pengangkatan Ali sebagai khalifah. Muawwiyah menuntut untuk menghukum para
pembunuh Utsman bin Affan.

Pada zaman khalifah Abu Bakar ( 632-634 M ) dan Umar bin Khattab ( 634-644 )
problema keagamaan juga masih relative kecil termasuk masalah aqidah. Tapi setelah Umar
wafat dan Ustman bin Affan naik tahta ( 644-656 ) fitnah pun timbul. Abdullah bin Saba’,
seorang Yahudi asal Yaman yang mengaku Muslim, salah seorang penyulut pergolakan.
Meskipun itu ditiupkan, Abdullah bin Saba’ pada masa pemerintahan Ustman namun kemelut
yang serius justru terjadi di kalangan Umat Islam setelah Ustman mati terbunuh ( 656 ).
Perselisihan di kalangan Umat islam terus berlanjut di zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib (
656-661 ) dengan terjadinya perang saudara, pertama, perang Ali dengan Zubair, Thalhah dan
Aisyah yang dikenal dengan perang jamal, kedua, perang antara Ali dan Muawiyah yang dikenal
dengan perang Shiffin. Pertempuran dengan Zubair dan kawan-kawan dimenangkan oleh Ali,
sedangkan dengan Muawiyah berakhir dengan tahkim ( Arbritrase ).

Hal ini berpengaruh pada perkembangan tauhid, terutama lahir dan tumbuhnya aliran-aliran
Teologi dalam islam. Ketauhidan di Zaman Bani Umayyah ( 661-750 M ) masalah aqidah
menjadi perdebatan yang hangat di kalangan umat islam. Di zaman inilah lahir berbagai aliran
teologi seperti Murji’ah, Qadariah, Jabariah dan Mu’tazilah. Pada zaman Bani Abbas ( 750-1258
M ) Filsafat Yunani dan Sains banyak dipelajari Umat Islam. Masalah Tauhid mendapat
tantangan cukup berat. Kaum Muslimin tidak bisa mematahkan argumentasi filosofis orang lain
tanpa mereka menggunakan senjata filsafat dan rasional pula. Untuk itu bangkitlah Mu’tazilah
mempertahankan ketauhidan dengan argumentasi-argumentasi filosofis tersebut. Namun sikap
Mu’tazilah yang terlalu mengagungkan akal dan melahirkan berbagai pendapat controversial
menyebabkan kaum tradisional tidak menyukainya. Akhirnya lahir aliran Ahlussunnah
Waljama’ah dengan Tokoh besarnya Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. Mula-
mula ialah untuk membuat penalaran logis oleh orangorang yang melakukan pembunuhan
'Utsm'an atau menyetujui pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu disederhanakan, maka kira-
kira akan berjalan seperti ini: Mengapa 'Utsman boleh atau harus dibunuh? Karena ia berbuat
dosa besar (berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan) padahal berbuat dosa besar
adalah kekafiran. Dan kekafiran, apalagi kemurtadan (menjadi kafir setelah Muslim), harus
dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran? Karena manusia berbuat dosa besar,
seperti kekafiran, adalah sikap menentang Tuhan. Maka harus dibunuh! Dari jalan pikiran itu,
para (bekas) pembunuh 'Utsman atau pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu
mereka yang berpaham Qadariyyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal
perbuatannya, maka manusia mutlak bertanggung jawab atas
segala perbuatannya itu, yang baik dan yang buruk. Para pembunuh 'Utsman itu, menurut
beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung kekhalifahan 'Ali Ibn Abi Thalib, Khalifah
5
IV. Ini disebutkan, misalnya, oleh Ibn Taymiyyah, sebagai berikut: Sebagian besar pasukan Ali,
begitu pula mereka yang memerangi Ali dan mereka yang bersikap netral dari peperangan itu
bukanlah orang-orang yang membunuh 'Utsman. Sebaliknya, para pembunuh 'Utsman itu adalah
sekelompok kecil dari pasukan 'Ali, sedangkan umat saat kekhalifahan 'Utsman itu berjumlah
dua ratus ribu orang, dan yang menyetujui pembunuhannya seribu orang sekitar itu.
Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada ‘Ali, karena Khalifah ini menerima usul
perdamaian dengan musuh mereka, Mu’awiyah ibn Abu Sufyan, dalam “Peristiwa Shiffin” di
situ ‘Ali mengalami kekalahan di plomatis dan kehilangan kekuasaan “de jure”-nya. Karena itu
mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan
kaum Khawarij (al-Kahwarij, kaum Pembelot atau Pemberontak). Seperti sikap mereka terhadap
‘Utsman, kaum Khawarij juga memandang ‘Ali dan Mu’awiyah sebagai kafir karena
mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka
merencanakan untuk membunuh ‘Ali dan Mu’awiyah, juga Amr ibn al-’Ash, gubernur Mesir
yang sekeluarga membantu Mu’awiyah mengalahkan Ali dalam “Peristiwa Shiffin” tersebut.
Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, berhasil membunuh hanya ‘Ali,
sedangkan Mu’awiyah hanya mengalami luka-luka, dan ‘Amr ibn al-’Ash selamat sepenuhnya
(tapi mereka membunuh seseorang bernama Kharijah yang disangka ‘Amr, karena rupanya
mirip). Karena sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan eksklusifistik, kaum Khawarij
akhirnya boleh dikatakan binasa. Tetapi dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, pengaruh
mereka tetap saja menjadi pokok problematika pemikiran Islam. Yang paling banyak mewarisi
tradisi pemikiran Khawarij ialah kaum Mu’tazilah. Mereka inilah sebenarnya kelompok Islam
yang paling banyak mengembangkan Ilmu Kalam seperti yang kita kenal sekarang. Berkenaan
dengan Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang ‘ulama’
yang disebutnya Imam ‘Abdull’ah ibn al-Mubarak. Menurut Ibn Taymiyyah, sarjana itu
menyatakan demikian: Agama adalah kepunyaan ahli (pengikut) Hadits, kebohongan kepunyaan
kaum Rafidlah, (ilmu) Kalam kepunyaan kaum Mu’tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra’y
(temuan rasional). Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah bahwa Ilmu Kalam adalah
keahlian khusus kaum Mu’tazilah. Maka salah satu ciri pemikiran Mu’tazili ialah rasionalitas
dan paham Qadariyyah. Namun sangat menarik bahwa yang pertama kali benar-benar
menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah seseorang bernama Jahm
ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah, yaitu pandangan bahwa manusia tidak
berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan
bahan untuk penalaran Jabariyyahnya dari Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles
yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang
hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus
(partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang
terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti perjalanan hukum alam. Hukum alam seperti itu
tidak mengenal pribadi (impersonal) dan bersifat pasti, jadi tak terlawan oleh manusia.
Aristoteles mengingkari adanya Tuhan yang berpribadi personal God.

6
Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dasyat namun tak berkesadaran kecuali mengenai hal-hal
universal. Maka mengikuti Aristoteles itu Jahm dan para pengikutpya sampai kepada sikap
mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat-sifat kasib, pengampun, santun, maha tinggi,
pemurah, dan seterusnya. Bagi mereka, adanya sifat-sifat itu membuat Tuhan menjadi ganda,
jadi bertentangan dengan konsep Tauhid yang mereka akui sebagai hendak mereka tegakkan.
Golongan yang mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu dikenal sebagai al-Nufat (“pengingkar”
[sifat-sifat Tuhan]) atau al-Mu’aththilah (“pembebas” [Tuhan dari sifat-sifat])

Kaum Mu’tazilah menolak paham Jabiriyyah-nya kaum Jahmi. Kaum Mu’tazilah justru
menjadi pembela paham Qadariyyah seperti halnya kaum Khawarij. Maka kaum Mu’tazilah
disebut sebagai “titisan” doktrinal (namun tanpa gerakan politik) kaum Khawarij. Tetapi kaum
Mu’tazilah banyak mengambil alih sikap kaum Jahmi yang mengingkari sifat-sifat Tuhan itu.
Lebih penting lagi, kaum Mu’tazilah meminjam metologi kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional,
meskipun dengan berbagai premis yang berbeda, bahkan berlawanan (seperti premis kebebasan
dan kemampuan manusia). Hal ini ikut membawa kaum Mu’tazilah kepada penggunaan bahan-
bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya membawa kaum Mu’tazilah kepada penggunaan
bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani,
ditambah dengan buku-buku Persi dan India, ke dalam bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di
bawah pemerintahan al-Ma’mun ibn Harun al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong
munculnya Ahli Kalam dan Falsafa.

Khalifah al-Ma’mun sendiri, di tengah-tengah pertikaian paham berbagai kelompok Islam,


memihak kaum Mu’tazilah melawan kaum Hadits yang dipimpin oleh Ahmad ibn Hanbal
(pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab Fiqh). Lebih dari itu, Khalifah al-
Ma’mun, dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah al-Mu’tashim, melakukan mihnah
(pemeriksaan paham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan banyak orang,
termasuk Ahmad ibn Hanbal, ke dalam penjara. Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah
apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud al-Qur’an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi
satu dengan Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara yang
dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)? Khalifah al-Ma’mun dan kaum Mu’tazilah
berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits, sementara kaum Hadits (dalam arti Sunnah, dan
harap diperhatikan perbedaan antara kata-kata hadits [a dengan topi] dan hadits [i dengan topi])
berpendapat al-Qur’an itu qadim seperti Dzat Allah sendiri. Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal
adalah karena masalah ini.
Mihnah itu memang tidak berlangsung terlalu lama, dan orang pun bebas kembali. Tetapi ia telah
meninggalkan luka yang cukup dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang sampai saat inipun
masih banyak dirasakan orang-orang Muslim. Namun jasa al-Ma’mun dalam membuka pintu
kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap diakui besar sekali dalam sejarah umat manusia.
Maka kekhalifahan al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M), dengan campuran unsur-unsur positif
dan negatifnya, dipandang sebagai salah satu tonggak sejarah perkembangan pemikiran
7
Islam,termasuk perkembangan Ilmu Kalam, dan juga Falsafah Islam.”

Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum Mu’tazilah.
Adalah seorang sarjana dari kota Basrah di Irak, bernama Abu al-Hasan al-Asy’ari (260-324
H/873-935 M) yang terdidik dalam alam pikiran Mu’tazilah (dan kota Basrah memang pusat
pemikiran Mu’tazili). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham Mu’tazilinya,
dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mu’tazilah. Ilmu Kalam al-Asy’ar’i
itu, yang juga sering disebut sebagai paham Asy’ariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang
untuk menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena
dianggap paling sah menurut pandangan Sebagian besar kaum Sunni.
Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa “jalan keselamatan” hanya didapatkan
seseorang yang dalam masalah Kalam menganut al-Asy’ari. Seorang pemikir lain yang Ilmu
Kalam-nya mendapat pengakuan sama dengan al-Asy’ari ialah Abu Manshur al-Maturidi (wafat
di Samarkand pada 333 H/944 M). Meskipun terdapat sedikit perbedaan dengan al-Asy ‘ari,
khususnya berkenaan dengan teori tentang kebebasan manusia (al-Maturidi mengajarkan
kebebasan manusia yang lebih besar daripada al-Asy’ari), al-Maturidi dianggap sebagai
pahlawan paham Sunni, dan system Ilmu Kalamnya dipandang sebagai “jalan keselamatan”,
bersama dengan sistem al-Asy’ari. Sangat ilustratif tentang sikap ini adalah pernyataan Haji
Muhammad Shalih ibn ‘Umar Samarani (yang populer dengan sebutan Kiai Saleh Darat dari
daerah dekat Semarang), dengan mengutip dan menafsirkan Sabda nabi dalam sebuah hadits
yang amat terkenal tentang perpecahan umat Islam dan siapa dari mereka itu yang bakal selamat:
Umat yang telah lalu telah terpecah-pecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan kelak kamu
semua akan terpecah-pecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, dari antara tujuh puluh tiga itu
hanya satu yang selamat, sedangkan yang tujuh puluh dua semuanya dalam neraka.

Tetapi tak urung konsep kasb al-Asy’ari itu menjadi sasaran kritik lawan-lawannya. Dan
lawan-lawan al-Asy’ari tidak hanya terdiri dari kaum Mu’tazilah dan Syi’ah (yang dalam Ilmu
Kalam banyak mirip dengan kaum Mu’tazilah), tetapi juga muncul, dari kalangan Ahl al-Sunnah
sendiri, khususnya kaum Hanbali. Dalam hal ini bisa dikemukakan, sebagai contoh, yaitu
pandangan Ibn Taymiyyah (661-728 H/1263-1328 M), seorang tokoh paling terkemuka dari
kalangan kaum Hanbali. Ibn Taymiyyah menilai bahwa dengan teori kasb-nya itu alAsy’ari
bukannya menengahi antara kaum Jabari dan Qadari, melainkan lebih mendekati kaum Jabari,
bahkan mengarah kepada dukungan terhadap Jahm ibn Shafwin, teoretikus Jabariyyah yang
terkemuka. Dalam ungkapan yang menggambarkan pertikaian pendapat beberapa golongan di
bidang ini, Ibn Taymiyyah yang nampak lebih cenderung kepada paham Qadariyyah beberapa
golongan di bidang ini, Ibn Taymiyyah yang nampak lebih cenderung kepada paham Qadariyyah
(meskipun ia tentu akan mengingkari penilaian terhadap dirinya seperti itu) mengatakan
demikian: Sesungguhnya para pengikut paham Asy’ari dan sebagian orang yang menganut
paham Qadariyyah telah sependapat dengan al-Jahm ibn Shafwan dalam prinsip pendapatnya
tentang Jabariyyah, meskipun mereka ini menentangnya secara verbal dan mengemukakan hal-
8
hal yang tidakmasuk akal. Begitu pula mereka itu berlebihan dalam menentang kaum Mu’tazilah
dalam masalah-masalah Qadariyyah –sehingga kaum Mu’tazilah menuduh mereka ini pengikut
Jabariyyah– dan mereka (kaum Asy’ariyyah) itu mengingkari bahwa pembawaan dan
kemampuan yang ada pada bendabenda bernyawa mempunyai dampak atau menjadi sebab
adanya kejadian-kejadian (tindakan-tindakan).

Namun agaknya Ibn Taymiyyah menyadari sepenuhnya betapa rumit dan tidak
sederhananya masalah ini. Maka sementara ia mengkritik konsep kasb alAsy’ari yang ia
sebutkan dirumuskan sebagai “sesuatu perbuatan yang terwujud pada saat adanya kemampuan
yang diciptakan (oleh Tuhan untuk seseorang) dan perbuatan itu dibarengi dengan kemampuan
tersebut” Ibn Taymiyyah mengangkat bahwa pendapatnya itu disetujui oleh banyak tokoh Sunni,
termasuk Malik, Syafii dan Ibn Hanbal. Namun Ibn Taymiyyah juga mengatakan bahwa konsep
kasb itu dikecam oleh ahli yang lain sebagai salah satu hal yang paling aneh dalam Ilmu Kalam.

Ilmu Kalam, termasuk yang dikembangkan oleh al-Asy’ari, juga dikecam kaum Hanbali
dari segi metodologinya. Persoalan yang juga menjadi bahan kontroversi dalam Ilmu Kalam
khususnya dan pemahaman Islam umumnya ialah kedudukan penalaran rasional (‘aql, akal)
terhadap keterangan tekstual (naql, “salinan” atau “kutipan”), baik dari Kitab Suci maupun
Sunnah Nabi. Kaum “liberal”, seperti golongan Mut’azilah,cenderung mendahulukan akal, dan
kaum “konservatif” khususnya kaum Hanbali, cenderung mendahulukan naql. Terkait dengan
persoalan ini ialah masalah interprestasi (ta’wil), sebagaimana telah kita bahas.[16] Berkenaan
dengan masalah ini, metode al-Asy’ari cenderung mendahulukan naql dengan membolehkan
interprestasi dalam hal-hal yang memang tidak menyediakan jalan lain. Atau mengunci dengan
ungkapan “bi la kayfa” (tanpa bagaimana) untuk pensifatan Tuhan yang bernada antropomorfis
(tajsim) –menggambarkan Tuhan seperti manusia, misalnya, bertangan, wajah, dan lain-lain.
Metode al-Asy’ari ini sangat dihargai, dan merupakan unsur kesuksesan sistemnya.Tetapi
bagian-bagian lain dari metodologi al-Asy’ari, juga epistemologinya, banyak dikecam oleh kaum
Hanbali. Di mata mereka, seperti halnya dengan Ilmu Kalam kaum Mu’tazilah, Ilmu Kalam al-
Asy’ari pun banyak menggunakan unsur-unsur filsafat Yunani, khususnya logika (manthiq)
Aristoteles. Dalam penglihatan Ibn Taymiyyah, logika Aritoteles bertolak dari premis yang
salah, yaitu premis tentang kulliyyat (universals) atau al-musytarak al-muthlaq (pengertian
umum mutlak), yang bagi Ibn Taymiyyah tidak ada dalam kenyataan, hanya ada dalam pikiran
manusia saja karena tidak lebih daripada hasil ta’aqqul (intelektualisasi).
Demikian pula konsep-konsep Aristoteles yang lain, seperti kategorikategori yang
sepuluh (esensi, kualitas, kuantitas, relasi, lokasi, waktu, situasi, posesi, aksi, dan pasi), juga
konsep-konsep tentang genus, spesi, aksiden, properti, dan lain-lain, ditolak oleh Ibn Taymiyyah
sebagai basil intelektualisasi yang tidak ada kenyataannya di dunia luas. Maka terkenal sekali
ucapan Ibn Taymiyyah bahwa “hakikat ada di alam kenyataan (di luar), tidak dalam alam
pikiran” (Al-haqiqah fi al-ayan, la fi al-adzhan).

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang membahas Dzat dan sifat Allah beserta eksistensi semua
yang mungkin, mulai yang berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang
berlandaskan doktrin Islam atau disiplin ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang
akidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional.

kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa
pembunuhan Utsman bin affan yang berpusat pada penolakan Muawwiyah atas kekhalifahan Ali
bin abi Thalib. Hal ini berpengaruh pada perkembangan tauhid, terutama lahir dan tumbuhnya
aliran-aliran ilmu kalam atau Teologi dalam islam.

B. Saran

Demikian makalah ini kami susun, yang mana tentunya tak lepas dari kekurangan baik dalam
penyusunan maupun penyajian. Demikianlah pembahasan tentang isim fa’il, isim maf’ul, isim
zaman, isim makan dan isim alat disertai dengan beberapa contoh penggunaannya dalam kalimat.
Kami merasa bahwa pembahasan ini masih jauh dari kata sempurna. Sangat diharapkan saran
dan kritikan yang membangun. Terima kasih.

Karena kami pun menyadari tak ada gading yang tak retak. Untuk itu kritik dan saran pembaca
sekalian sangat kami harapkan demi perbaikan dan evaluasi dari apa yang kami usahakan.
Harapan kami semoga bermanfaat. Aamiin

10
DAFTAR PUSTAKA

http://kumpulanreferansi.blogspot.com/2017/03/sejarah-awal-perkembangan-ilmu-kalam.html

https://docplayer.info/73057235-Pengertian-sejarah-dan-sebab-sebab-timbulnya-ilmu-
kalam.html

http://syafieh.blogspot.com/2013/02/sejarah-munculnya-ilmu-kalam-dan.html

11

Anda mungkin juga menyukai