Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PELAKSANAAN KEBIJAKAN DEREGULASI DAN


DEBIROKRATISASI DI INDONESIA

DOSEN PENGAMPU

Budi Sadarman, S.E., M.M

DISUSUN OLEH

Mia Ayu Minarti (200313159)

Muhammad Hilmii (200313182)

Muhammad Ihsan N (200313169)

M Farhan Ramadhan (200313181)

Muhammad Akmal F (200313177)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANDUNG

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

PRODI MANAJEMEN

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat,

taufik serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul

“pelaksanaan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di indonesia” dengan baik. Oleh

karena itu kami ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada dosen mata kuliah

perekonomian indonesia yang telah membimbing kami dalam proses pembuatan makalah ini.

Kami menyadari berbagai kelemahan dan keterbatasan yang ada, sehingga terbuka

kemungkinan terjadinya kesalahan dalam penulisan makalah ini. Kami sangat memerlukan

kritik dan saran yang membangun dari pembaca, terutama dosen untuk penyempurnaan

makalah ini.

Demikian yang dapat kami sampaikan, kami berharap semoga makalah ini bermanfaat

bagi siapapun yang membacanya.

Bandung,20 Maret 2022

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Deregulasi di Indonesia

Berbagai kebijakan reformasi di bidang keuangan yang merupakan bagian yang

integral dalam upaya deregulasi pemerintah. Tujuan utama deregulasi adalah

mendorong pertumbuhan dan meningkatkan efisiensi sistem keuangan Indonesia.

Digulirkannya Paket Deregulasi 1 Juni 1983 merupakan babak baru dunia perbankan

di Indonesia yang mulai tampak, yaitu mengeni kebebasan perbankan untuk

menetapkan garis halauan perkreditannya sendiri. Tujuannya,perbankan mampu

mendorong dan meningkatkan efisiensi dan profesionalismenya melalui terciptanya

mekanisme pasar yang sehat di bidang manajemen dana bank. Terlihat bahwa aspek

kunci reformasi keuangan Indonesia adalah meliberalisasikan suku bunga,

menurunkan kontrol terhadap kredit domestik,meningkatkan persaingan dan efisiensi

system keuangan, memperkuat pengawasan, meningkatkan pertumbuhan dan

memperluas pasar keuangan. Kebijakan deregulasi masih dilanjutkan dengan

digulirkannya Paket Deregulasi antara lain Pakto 27, Paktri 28, dan Paket Mei 1993;

perlu diketahui bahwa masalah manajemen, pengawasan, permodalan, dan kesehatan

bank, dimuat di dalam Paktri 28, sedangkan penyempurnaan tatacara penilaian tingkat

kesehatan tersebut diatur dalam Paket mei 1993.

B. Proses,Hasil dan Kegagalan Deregulasi dan Debirokrasi di Indonesia di era orde baru

Deregulasi dan Devaluasi Pemerintahan Soeharto akhirnya mengambil serangkaian

kebijakan untuk memperbaiki perekonomian. Penghematan besar-besaran dilakukan.


Menurut Bondan Winarno dalam JB Sumarlin, Cabe Rawit yang Lahir di Sawah

(2013), sebanyak 47 proyek bermodal besar senilai 14 juta dolar AS ditunda dan

pengeluaran militer dipangkas. Pada 30 Maret 1983, pemerintah mengumumkan

devaluasi rupiah dari Rp702,5 menjadi Rp970 per dolar AS, menyusul daya saing

Indonesia yang terus merosot. Hal itu disebabkan karena nilai tukar rupiah yang

overvalued, serta terjadi defisit neraca pembayaran. Kebijakan pengendalian yang

mengacu pada mekanisme pasar perlu diambil. Pada Juni 1983, pemerintah

mengumumkan paket deregulasi sektor moneter atau biasa disebut Pakjun 1983.

Deregulasi ini pada intinya mengubah mekanisme dan piranti pengendalian moneter.

Sasarannya kali ini adalah mendorong swasta lebih berperan dalam pembangunan,

mengingat sumber-sumber pendanaan pemerintah sedang terbatas.

Pakjun 1983 memberikan kebebasan kepada bank-bank pemerintah untuk menetapkan

suku bunga deposito serta penghapusan ketentuan pagu kredit. Dengan demikian,

bank menjadi lebih leluasa untuk mengucurkan kredit. Sebelum Pakjun 1983, suku

bunga deposito ditetapkan oleh Bank Indonesia. Sementara pagu kredit digunakan

pemerintah sebagai salah satu instrumen intervensi langsung ke pasar uang. Sebagai

gantinya, pemerintah menggunakan instrumen tidak langsung seperti penentuan

cadangan wajib, operasi pasar terbuka, dan fasilitas diskonto. Ketentuan baru tersebut

mampu meningkatkan kredit investasi ke sektor industri. Seperti ditulis Yoga

Adiyanto dalam Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (2019), terjadi kenaikan

dalam pertumbuhan kredit investasi. Jika pada periode 1973-1982, rata-rata kredit

investasi hanya tumbuh 30,1%, angkanya kemudan meningkat pesat menjadi 177,26%

dari sisi kredit investasi pada akhir tahun 1983. Setelah deregulasi tahun 1983,

pemerintah melanjutkannya dengan berbagai deregulasi lanjutan. Di kemudian hari,


kebijakan ini ternyata menimbulkan masalah baru. Seperti ditulis Armida Alisjahbana

dalam Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad

Terakhir (2005). “Berbagai kebijakan deregulasi dan liberalisasi ekonomi yang

dilaksanakan sejak tahun 1983 sampai dengan pertengahan tahun 1990 telah

menyebabkan “boom” ekonomi, yang kemudian menimbulkan banyak permasalahan

baru seperti utang luar negeri, lemahnya pengawasan perbankan, Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme (KKN). Faktor inilah yang kemudian terbukti mengantarkan Indonesia

menuju gerbang krisis ekonomi di tahun 1997/1998."

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian deregulasi ?

2. Bagaimana Proses , hasil dan kegagalan deregulasi serta debirokrasi di indonesia?

3. Bagaimana perkembangan industri nasional di masa orde baru?

4. Apa dampak dari deregulasi?

5. Bagaimana paket deregulasi yang dilakukan di indonesia di orde baru?

6. Bagaimana paket debirokratisasi yang di lakukan di indonesia di era reformasi?

C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian deregulasi

2. Mengetahui Bagaimana Proses , hasil dan kegagalan deregulasi serta debirokrasi di


indonesia

3. Mengetahui perkembangan industri nasional di masa orde baru

4. Mengetahui dampak dari deregulasi

5. Mengetahui Bagaimana paket deregulasi yang dilakukan di indonesia


6. Mengetahui paket debirokratisasi yang di lakukan di indonesia di era reformasi

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Deregulasi

Pada dasarnya, pengertian deregulasi adalah merujuk pada hal pengurangan atau

menghilangkan suatu aturan yang mampu menghambat aktivitas ekonomi tertentu,

khususnya dalam hal persaingan dan juga pasar bebas. Kegiatan deregulasi ini terus

menjamur sebagai suatu hasil dari pemikiran ekonomi yang saat itu sedang tidak

efisien yang di dalam peraturan pemerintah.Sebagian kritikus menilai bahwa regulasi

mampu merugikan ekonomi dan secara lebih luas bahkan mampu mengganggu

perekonomian negara.Tidak efisiennya suatu alokasi sumber daya ekonomi akan

melahirkan rendahnya suatu persaingan.Sebagai gantinya, para ahli menilai bahwa

deregulasi adalah salah satu cara untuk melahirkan bentuk persaingan dan juga

memperbaiki efisiensi dalam suatu perekonomian. Tapi di lain hal, paa peneliti lain

ada yang menganggap bahwa deregulasi akan melahirkan berbagai masalah baru

daripada menyelesaikan masalah lama.

B. Proses,Hasil dan Kegagalan Deregulasi dan Debirokrasi di Indonesia di era orde baru
Deregulasi dan Devaluasi Pemerintahan Soeharto akhirnya mengambil serangkaian

kebijakan untuk memperbaiki perekonomian. Penghematan besar-besaran dilakukan.

Menurut Bondan Winarno dalam JB Sumarlin, Cabe Rawit yang Lahir di Sawah

(2013), sebanyak 47 proyek bermodal besar senilai 14 juta dolar AS ditunda dan

pengeluaran militer dipangkas. Pada 30 Maret 1983, pemerintah mengumumkan

devaluasi rupiah dari Rp702,5 menjadi Rp970 per dolar AS, menyusul daya saing

Indonesia yang terus merosot. Hal itu disebabkan karena nilai tukar rupiah yang

overvalued, serta terjadi defisit neraca pembayaran. Kebijakan pengendalian yang

mengacu pada mekanisme pasar perlu diambil. Pada Juni 1983, pemerintah

mengumumkan paket deregulasi sektor moneter atau biasa disebut Pakjun 1983.

Deregulasi ini pada intinya mengubah mekanisme dan piranti pengendalian moneter.

Sasarannya kali ini adalah mendorong swasta lebih berperan dalam pembangunan,

mengingat sumber-sumber pendanaan pemerintah sedang terbatas.

Pakjun 1983 memberikan kebebasan kepada bank-bank pemerintah untuk menetapkan

suku bunga deposito serta penghapusan ketentuan pagu kredit. Dengan demikian,

bank menjadi lebih leluasa untuk mengucurkan kredit. Sebelum Pakjun 1983, suku

bunga deposito ditetapkan oleh Bank Indonesia. Sementara pagu kredit digunakan

pemerintah sebagai salah satu instrumen intervensi langsung ke pasar uang. Sebagai

gantinya, pemerintah menggunakan instrumen tidak langsung seperti penentuan

cadangan wajib, operasi pasar terbuka, dan fasilitas diskonto. Ketentuan baru tersebut

mampu meningkatkan kredit investasi ke sektor industri. Seperti ditulis Yoga

Adiyanto dalam Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (2019), terjadi kenaikan

dalam pertumbuhan kredit investasi. Jika pada periode 1973-1982, rata-rata kredit

investasi hanya tumbuh 30,1%, angkanya kemudan meningkat pesat menjadi 177,26%

dari sisi kredit investasi pada akhir tahun 1983. Setelah deregulasi tahun 1983,
pemerintah melanjutkannya dengan berbagai deregulasi lanjutan. Di kemudian hari,

kebijakan ini ternyata menimbulkan masalah baru. Seperti ditulis Armida Alisjahbana

dalam Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad

Terakhir (2005). “Berbagai kebijakan deregulasi dan liberalisasi ekonomi yang

dilaksanakan sejak tahun 1983 sampai dengan pertengahan tahun 1990 telah

menyebabkan “boom” ekonomi, yang kemudian menimbulkan banyak permasalahan

baru seperti utang luar negeri, lemahnya pengawasan perbankan, Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme (KKN). Faktor inilah yang kemudian terbukti mengantarkan Indonesia

menuju gerbang krisis ekonomi di tahun 1997/1998."

C. Perkembangan Industri Nasional di Indonesia di era orde baru

Orde Baru mengawalinya dengan desain kebijakan ISI (industri substitusi impor).

Namun sejak awal 1980-an desain strategi kebijakan industrial secara bertahap

bergeser ke IOE (industri orientasi ekspor). Industrialisasi yang dicanangkan Orde

Baru boleh dikata berhasil merombak struktur ekonomi Indonesia. Perubahan struktur

ekonomi ini terlihat dari sektor-sektor ekonomi yang berkontribusi pada PDB.

Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemeratan Pembangunan

Di awal pemerintahan Orde Baru, Soeharto memfokuskan pemerintahannya dalam

kebijakan ekonomi dan pembangunan. Soalnya, di akhir masa Orde Lama dulu,

kondisi ekonomi Indonesia lagi buruk-buruknya. Inflasi Indonesia saat itu mencapai

650% dan membuat harga kebutuhan pokok melonjak. Belum lagi utang luar negeri

yang menumpuk. Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintahan Orde Baru

membentuk Trilogi Pembangunan yang isinya: Stabilitas nasional yang dinamis,

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya

Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) Agar delapan jalur pemerataan

pembangunan di atas tercapai, Soeharto membuat kebijakan ekonomi dan


pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun atau Repelita.

Kebijakan ini berjalan selama enam kali sebelum Soeharto digantikan oleh B. J.

Habibie.

industri manufaktur selama periode 1980--1997, pertumbuhannya rata-rata mencapai

10,9%. Angka ini nisbi lebih tinggi ketimbang pertumbuhan ekonomi pada periode

itu, yang rata-rata tumbuh kisaran 6,7%. Selain itu, jika pada 1967 sektor ini baru

menyumbang 7,5% dari PDB, maka pada 1997 kontribusinya mencapai 26,8%.

Sayangnya, proses industrialisasi ini terinterupsi krisis ekonomi 1997--1998. Krisis

disinyalir disebabkan kelemahan struktural perekonomian nasional, baik itu terkait

sistem keuangan atau perbankan maupun corak kapitalisme kronisme—atau

meminjam istilah Kunio Yoshihara, “kapitalisme semu”.

D. Dampak deregulasi terhadap produk Unskiled labor intensive (ULI) dan perananya

terhadap ekspor manufaktur

Pemerintah lewat Kementerian Koordinator Perekonomian bakal meningkatkan

pertumbuhan industri manufaktur sebagai industri yang berperan penting dalam pertumbuhan

ekonomi nasional. Dari data Kementerian Perindustrian, kontribusi industri manufaktur pada

2015 mencapai 19,16% dengan pertumbuhan 5,04% terhadap PDB lebih tinggi dari total

pertumbuhan PDB itu sendiri yang sampai 4,79%.Sekretaris Jenderal Kementerian

Perindustrian, Syarif Hidayat menilai deregulasi menjadi langkah positif untuk memperbaiki

berbagai hambatan dari pelaku industri.

Pembangunan sektor industri manufaktur mulai berkembang pada zaman Orde Baru. Di masa

awal, industrialisasi difokuskan pada substitusi impor kebutuhan pokok, khususnya pangan,

sandang, dan papan, dan mendukung pembangunan sektor pertanian. Pada era 1980-an

kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB masih berada di angka 12,4 persen, lebih
rendah dari kontribusi sektor pertambangan dan sektor pertanian sebesar 23 persen dan 22

persen.

Peristiwa oil booming-di mana harga minyak melonjak tinggi akibat embargo minyak oleh

negara-negara Arab- menjadi momentum bagi pemerintah Orde Baru untuk melakukan

industrialisasi secara lebih ekspansif. Hasilnya, dalam kurun satu dekade sumbangan industri

manufaktur dalam PDB mencapai 20,3 persen pada tahun 1994. Ekonomi Indonesia saat itu

bahkan menjadi contoh kesuksesan pembangunan di negara berkembang.Kontribusi industri

manufaktur di masa Orde Baru mencapai puncaknya sebesar 24,3 persenjustru pada saat

krisis ekonomi tahun 1997 di mana pertumbuhan industri di tahun tersebut sebenarnya minus

13 persen.

Peningkatan ekspor non-migas

Usaha peningkatan ekspor non-migas sebagai salah satu sumber devisa tidak terlepas dari

peranan sektor perbankan yang semestinya semakin baik dan lebih luas cakupan usahanya.

Untuk mencapai tujuan ini diperlukan beberapa hal seperti:

a. Perluasan bank devisa,

(1) Syarat untuk menjadi bank devisa lebih dipermudah yaitu, hanya dikaitkan

dengan tingkat kesehatan lembaga perbankan. Bank yang bersangkutan selama 24 terakhir

paling tidak 20 bulan tergolong bank yang sehat dan selebihnya cukup sehat, serta volume

usahanya harus mencapai sekurang- kurangnya sebesar Rp. 100 milyar.

(2) Cabang-cabang dari bank devisa nasional yang semula perlu izin untuk berfungsi sebagai

bank devisa, sekarang secara otomatis dapat berfungsi sebagai bank devisa. Bank devisa yang

bersangkutan cukup melaporkan kepada Bank Indonesia.

b. Pendirian bank campuran,


Dibukanya kemungkinan untuk mendirikan bank-bank campuran dengan memenuhi

persyaratan sebagai berikut:

(1) Didirikan bersama oleh satu atau lebih bank nasional Indonesia dan satu atau lebih bank

asing di luar negeri.

(2) Bank nasional yang dapat ikut serta mendirikan harus selama 24 bulan terakhir paling

tidak 20 bulan tergolong bank yang sehat dan selebihnya tergolong yang cukup sehat

termasuk permodalannya.

(3) Bank asing yang dapat menjadi partner dalam bank campuran adalah bank asing yang:

(a) Telah mempunyai kantor perwakilan di Indonesia. (b) Termasuk bank peringkat besar di

Negara asalnya. (c) Negara asalnya menganut azas resiprositas.

(4) Modal disetor sekurang-kurangnya Rp. 50 milyar, dimana penyertaan pihak bank nasional

paling tidak 15 persen dan pihak bank asing paling tidak 85 persen.

(5) Bank campuran dapat memilih tempat kedudukan di salah satu kota Jakarta, bandung,

Medan, Semarang, Ujangpandang atau Denpasar.

(6) Setelah 12 bulan sejak didirikannya bank campuran tersebut, posisi kredit ekspor dari

bank campuran harus mencapai sekurang-kurangnya 50 persen dari kredit yang diberikan.

c Pembukaan kantor cabang pembantu bank asing,

Setiap bank asing diperbolehkan untuk membuka cabang pembantu dengan persyaratan

sebagai berikut:

(1) Bank asing yang telah ada dan tergolong sehat, termasuk permodalannya

dapat membuka cabang pembantunya di 6 kota besar lainnya diluar Jakarta


yaitu, Medan, bandung, Semarang, Surabaya, Ujungpandang atau Denpasar.

(2) Setelah 12 bulan semenjak dibukanya kantor cabang pembantu, posisi kredit ekspor dari

kantor cabang pembantu tersebut harus mencapai sekurang-

kurangnya 50 persen dari kredit yang diberikan.

d Penyempurnaan mekanisme Swap,

Untuk merangsang pelayanan perbankan terhadap kegiatan ekspor perlu disempurnakan

mekanisme swap sebagai berikut:

(1) Jangka waktu swap diperpanjang dari maksimal 6 bulan menjadi maksimal 3

tahun.

(2) Premi swap didasarkan atas keadaan pasar, yaitu perbedaan antara suku

bunga deposito di dalam negeri dengan suku bunga LIBOR.

(3) Jika bank menggunakan premi swap lebih tinggi, maka premi swap ulang ke

Bank Indonesia harus disesuaikan dengan premi swap tersebut.

e Merangsang berkembangnya usaha perdagangan valuta asing,

Valuta asing sebagai salah satu alat tukar dalam perdagangan luar negeri harus dirangsang

tumbuh dalam perdagangan mata uang. Untuk itu dilakukan langkah- langkah sebagai

berikut:

(1) Izin usaha pedagang valuta asing yang selama ini hanya berlaku untuk satu

tahun diubah menjadi izin tanpa batas waktu, namun dapat dicabut apabila

terjadi penyimpangan-penyimpangan.

(2) Bank-bank bukan devisa diperbolehkan untuk melakukan transaksi valuta


asing.

(3) Jasa perdagangan valuta asing mencakup jual beli mata uang kertas dan logam asing dan

pembelian cek perjalanan (traveller’s cheque).

E. Berbagai paket deregulasi yang di lakukan di indonesia di era orde baru

Pada awal 1980an, harga minyak mulai jatuh lagi dan reposisi mata uang di tahun

1985 menambah hutang luar negeri Indonesia. Pemerintah harus melakukan usaha-usaha

baru untuk memulihkan stabilitas makroekonomi. Nilai rupiah didevaluasi di tahun 1983

untuk mengurangi defisi transaksi berjalan yang bertumbuh, UU pajak yang baru diterapkan

untuk menambah pendapatan dari pajak non minyak dan tindakan-tindakan deregulasi

perbankan dilakukan (credit ceilings untuk suku bunga dihapuskan dan bank diizinkan untuk

menentukan tingkat suku bunga dengan bebas). Terlebih lagi, perekonomian telah

diarahkan ulang dari perekonomian yang tergantung kepada minyak kepada sebuah

perekonomian yang memiliki sektor swasta yang kompetitif yang berorientsi pada pasar

ekspor. Ini menyebabkan adanya tindakan-tindakan deregulasi baru untuk memperbaiki

iklim investasi bagi para investor swasta. Waktu harga minyak jatuh lagi di pertengahan

1980an, Pemerintah meningkatkan tindakan-tindakan untuk mendukung pertumbuhan yang

didorong oleh ekspor (seperti pembebasan bea cukai-bea cukai impor dan pengulangan

devaluasi rupiah). Perubahan kebijakan-kebijakan ini (dikombinasi dengan paket deregulasi

di tahun 1990an) juga mempengaruhi investasi asing di Indonesia. Investasi asing yang

berorientasi pada ekspor disambut secara khusus.

Sektor lain yang juga terpengaruh oleh tindakan-tindakan deregulasi yang mendalam adalah

sektor keuangan Indonesia. Bank-bank swasta baru diizinkan untuk didirikan, bank-bank
yang sudah ada bisa membuka cabang-cabang di seluruh negeri dan bank-bank asing bebas

beroperasi di luar Jakarta. Reformasi finansial ini kemudian akan menjadi masalah yang

memperkuat krisis di Indonesia pada akhir 1990an. Namun sebelumnya, tindakan-tindakan

ketat ini memiliki dampak positif pada perekonomian Indonesia. Ekspor produk-produk

manufaktur mulai menjadi mesin perekonomian Indonesia. Antara 1988 dan 1991 produk

domestik bruto (PDB) Indonesia bertumbuh rata-rata 9% setiap tahunnya, melambat

menjadi 'hanya' rata-rata 7,3% pada periode 1991-1994 dan meningkat lagi di dua tahun

selanjutnya.

F. Berbagai paket debirokratisasi di indonesia di era reformasi

Dengan penerapan debirokratisasi akan mengantarkan kepada praktik tata kelola

pemerintahan yang baik (good governance). Untuk itu struktur birokasi daerah hendaknya

tetap bisa menjamin tidak terjadinya distorsi aspirasi yang datang dari masyarakat serta

menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat ditarik dari masing- masing permasalahan dari segi deregulasi dan

debirokrisasi di indonesia mempunyai dampak yang begitu signifikan bagi perekonomian di

indonesia dari waktu ke waktu yang membuat tidak seimbangnya perekonomian di indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Berry & Donnely (1975). Marketing for bankers. American Bankers Association.

Djiwandono, J. Soedradjat (1998). Kesehatan perbankan dan kebijakan moneter:

Suatu tantangan baru pengelolaan ekonomi makro. Makalah yang dibawakan

pada Kuliah Tamu program Studi Magister Manajemen Universitas

INDONUSA Esa Unggul, Jakarta 21 Agustus 1998.

Djohan, Robby (1995). Perubahan manajemen bank dalam era deregulasi dan

globalisasi. Makalah yang dibawakan pada Sekolah Staff dan Pimpinan Bank

Indonesia (SESPIBI) XVII, Jakarta.Nasution, Anwar (1988). Tinjauan ekonomi

atas dampak paket deregulasi tahun 1988

Widjanarko (1993). Hukum dan ketentuan perbankan di Indonesia. Jakarta: Grafiti

Anda mungkin juga menyukai