Anda di halaman 1dari 7

Peran Perawat dalam Evaluasi Budaya Keselamatan Pasien

Salsabila Zati Iwani / shamesalsabila@gmail.com

LATAR BELAKANG

Keselamatan rumah sakit saat ini telah menjadi isu global. Terdapat lima komponen penting
yang berkatitan dengan keselamatan rumah sakit yang salah satunya adalah keselamatan pasien.
Keselamatan pasien dipengaruhi oleh budaya individu dan sistem yang berjalan di dalam
organisasi tersebut. Hambatan yang sering ditemui dalam pelaksanaan budaya keselamatan
pasien adalah perilaku dari petugas kesehatan dan dukungan dari manajemen yang belum
maksimal. Pada saat ini upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan dan rneningkatkan upaya
keselamatan pasien di rumah sakit sudah merupakan sebuah gerakan universal. Berbagai negara
maju bahkan telah menggeser paradigma "quality” ke arah paradigma baru Quality-safety yang
mengandung arti tidak hanya meningkatkan mutu pelayanan, namun yang lebih penting adalah
menjaga keselamatan pasien secara konsisten dan terus menerus. Keselamatan (safety) telah
menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Terdapat lima isu penting yang terkait
dengan keselamatan (safety) di rumah sakit dan keselamatan pasien (patient safety) merupakan
salah satunya. Kelima aspek keselamatan tersebut sangatlah penting untuk dilaksanakan disetiap
rumah sakit. Namun harus diakui kegiatan institusi rumah sakit dapat berjalan apabila ada
pasien, sehingga keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan dan hal
tersebut terkait dengan isu, mutu dan citra rumah sakit.

Keselamatan pasien adalah suatu sistem yang membuat asuhan pasien lebih aman, meliputi
asessmen risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,
kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, serta implementasi solusi untuk
meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya
diambil. Insiden keselamatan pasien adalah setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi
yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien.

Keselamatan pasien dipengaruhi oleh bagaimana budaya individu dan sistem yang berjalan di
dalam organisasi tersebut. Sehingga harus dilakukan pendekatan secara personal/individu
maupun sistem manajemen di dalam institusi tersebut. Budaya keselamatan di berbagai Industri
berkembang sangat pesat. Angka kecelakaan kerja menurun karena didukung oleh kesadaran
akan arti pentingnya nilai keselamatan dalam organisasi, namun dalam praktik kedokteran
program keselamatan pasien baru dihembuskan secara luas setelah adanya paksaan dari luar.
Dalam upaya meminimalisir terjadinya KTD yang terkait dengan aspek keselamatan pasien
maka manajemen rumah sakit perlu menciptakan adanya budaya keselamatan pasien yang harus
diterapkan dalam seluruh lingkup rumah sakit. AHRQ (Agency Health Research and Quality)
mengemukakan budaya keselamatan pasien terdiri atas 12 dimensi.
METODE

Jurnal ini menggunakan metode yaitu menganalisis dari berbagai tulisan seperti text book, jurnal,
dan ebook yang tersedia di internet ataupun perpustakaan. Mengambil refrensi dari berbagai
tulisan dan menggabungkannya lalu membandingkan di Peran Perawat dalam Evaluasi Budaya
Keselamatan Pasien. Materi ini terkait dengan Promosi dan Evaluasi Penerapan Budaya
Keselamatan Pasien. Penulisan jurnal ini dimulai pada tanggal 5 November 2020. Penulisan
jurnal dilakukan dengan membandingkan refrensi yang telah dicari dan dicantumkan.

HASIL

Dari hasil perbandingan refrensi-refrensi maka telah didapatkan Hasil penelitian Hall et al (2004)
mengatakan bahwa rendahnya jumlah perawat professional dan berpengalaman yang bekerja
pada sebuah unit semakin tinggi juga jumlah insiden medical error. Banyaknya proporsi perawat
professional dan berpengalaman akan menghasilkan pemahaman dan persepsi pada program
keselamatan pasien yang baik sehingga dapat mencegah terjadinya insiden keselamatan pasien.
Dari 12 dimensi yaitu, terdapat:

1. Dimensi Frekuensi Pelaporan


2. Dimensi Persepsi
3. Dimensi Supervisi
4. Dimensi Pembelajaran Organisasi
5. Dimensi Timbal Balik Kesalahan
6. Dimensi Kerjasama Intra Bagian
7. Dimensi Keterbukaan Informasi
8. Dimensi sangsi kesalahan
9. Dimensi Staff
10. Dimensi Dukungan Manajemen
11. Dimensi Kerjasama Antar Bagian
12. Dimensi Pemindahan dan Pergantian

Hambatan dalam pelaksanaan budaya keselamatan pasien ini terdiri dari perilaku dari petugas
yang belum membiasakan diri untuk melaksanakan budaya keselamatan pasien dan juga
dukungan manajemen dalam pelaksanaan budaya keselamatan pasien itu sendiri seperti respon
untuk melengkapi fasilitas yang ada. Rekomendasi yang diberikan agar budaya keselamatan
pasien dapat terlaksana dengan baik dengan adalah pembentukan Tim Keselamatan Pasien
Rumah Sakit (KPRS), Edukasi, dan Monitoring secara berkala. Tim KPRS diharapkan dapat
membuat program kerjanya berupa sistem pelaporan yang baik dan mudah dipahami oleh seluruh
petugas. Inspeksi K3 merupakan upaya deteksi dini dan mengoreksi adanya potensi bahaya di
tempat kerja yang dapat menimbulkan kecelakaan. Inspeksi tempat kerja bertujuan untuk
mengidentifikasi sumber-sumber bahaya potensial yang ada di tempat kerja, mengevaluasi
tingkat resiko terhadap tenaga kerja serta mengendalikan sampai tingkat yang aman bagi
kesehatan dan keselamatan tenaga kerja.

PEMBAHASAN

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 340 tahun 2010 tentang klasifikasi rumah sakit
pasal 11 ayat delapan menyebutkan bahwa perbandingan tenaga keperawatan dengan tempat
tidur adalah 1:1 untuk rumah sakit umum kelas B. Budaya keselamatan pasien negatif meliputi
tingkat karir yang curam antar staf medis dengan staf lain, hubungan tim kerja yang renggang,
dan keengganan mengakui kesalahan. Gibson menyatakan budaya keselamatan pasien postif
akan meningkatkan produktivitas, sedangkan budaya keselamatan pasien negatif akan merusak
keefektifan dari suatu tim dan menimbulkan efek desain organisasi yang tidak baik.(19) Dalam
budaya keselamatan pasien baik pemimpin organisasi, pihak manajemen dan staf perlu belajar
secara terus menerus guna meningkatkan kinerja organisasi dan menunjukkan keberhasilan
upaya dalam peningkatan dan perbaikan budaya keselamatan pasien.

Pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha sadar manusia untuk mengembangkan


kepribadian dan meningkatkan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung
seumur hidup. Berkaitan dengan pendidikan yang diterima perawat saat masih menjadi siswa
keperawatan, topik keselamatan pasien, tidak diajarkan kepada siswa secara khusus. Oleh karena
itu setelah lulus, siswa keperawatan tidak cukup akrab dengan fenomena keselamatan pasien dan
kurangnya peran perawat dalam meningkatkan keamanan pelayanan, sehingga kesalahan praktik
perawatan dianggap sebagai bagian normal dari sebuah proses kerja. Canadian Nurse Association
yang menyatakan respon tidak menghukum terhadap kesalahan masih menjadi faktor yang
menghambat pelaksanaan pemberian asuhan keperawatan yang aman bagi pasien.(5) Kesalahan
medis sangat jarang disebabkan oleh faktor kesalahan manusia secara tunggal, namun lebih
banyak disebabkan karena kesalahan sistem di rumah sakit, yang mengakibatkan rantai-rantai
dalam sistem terputus.(5) Hal ini sejalan pula dengan AHRQ dengan survei rumah sakit tentang
pelaksanaan budaya keselamatan pasien yang menyatakan respon tidak menghukum terhadap
kesalahan merupakan komponen yang masih rendah penerapannya yaitu sebesar 44%

Pelaksanaan pendidikan pasien dan keluarga perlu didukung oleh organisasi rumah sakit. Faktor-
faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pendidikan pasien dan keluarga antara lain budaya
organisasi, pengetahuan, pemahaman setiap individu ketika berlatih dan dukungan pemimpin
serta ketersediaan fasilitas (Edwards et al., 2012). Hal ini didukung penelitian yang menjelaskan
bahwa faktor manajemen organisasi rumah sakit sangat besar pengaruhnya mendukung
kepatuhan. (Kim & Oh, 2015). Selain itu, role models, bimbingan, komunikasi, serta hubungan
interpersonal antara pimpinan dengan champion promosi kesehatan penting didalamnya.
Interpersonal pimpinan yang baik kepada champion promosi kesehatan meningkatkan perilaku
kepatuhan. Kedekatan proses mengajar antara pimpinan dan champion promosi kesehatan
sebagai cara yang tepat untuk meningkatkan pengetahuan, perilaku dan kepatuhan (Darawad dan
Al-Hussami, 2013). Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa pengetahuan tidak cukup untuk
mengubah keyakinan, tetapi kepercayaan dari atasan memperkuat perilaku dan kepatuhan (Jeong
dan Kim, 2016). Penerapan ketrampilan hubungan interpersonal pimpinan dengan champion
promosi kesehatan dengan pendekatan Peplau perlu diuji pengaruhnya terhadap penerapan
pendidikan pasien dan keluarga. Promosi kesehatan rumah sakit merasa perlu mempertahankan
predikat paripurna tersebut saat verifikasi akreditasi di bulan Desember 2017. Upaya yang
dilakukan antara lain membentuk champion disetiap ruang rawat inap membudayakan edukasi
kepada pasien dan keluarga. Pendidikan pada pasien dan keluarga yang dilakukan antara lain
edukasi kelompok, individu dan interdisiplin Profesional Pemberi Asuhan (PPA). Untuk
meningkatkan pengetahuan dan kemauan champion promosi kesehatan diperlukan pengaruh
peran interpersonal. Penguatan dengan metode active learning melalui pendekatan Teori Peplau
merupakan kompetensi peran kepala ruang ketika melakukan hubungan interpersonal dengan
perawat pelaksana. Peningkatan rerata pengetahuan kepala ruang selama penguatan peran
interpersonal Peplau dikarenakan keinginan yang kuat untuk belajar memahami teori, lingkungan
dan pengalaman sehari-hari yang dilakukan dengan proses pembelajaran active learning dengan
metode gibbs self reflection, case based learning, dan self directed learning selama dua hari
(Suhariyanto dkk., 2017).

World Health Organization (WHO) mengungkapkan bahwa keselamatan pasien merupakan


masalah keseahatan masyarakat global yang serius. Pasien mengalami resiko infeksi 83.5% di
Eropa dan bukti kesalahan medis menunjukkan 50-72.3%. Berdasarkan hasil pengumpulan data-
data penelitian rumah sakit di berbagai negara, ditemukan Kejadian Tak Diharapkan (KTD)
dengan rentang 3.2 – 16.6 %. Data Patient Safety tentang Kejadian Nyaris Cedera (KNC) dan
Kejadian Tak Diharapkan (KTD) di Indonesia masih jarang, namun di pihak lain terjadi
peningkatan tuduhan malpraktek yang belum tentu sesuai dengan pembuktian akhir. Insiden
pelanggaran patient safety sebesar 28.3% yang dilakukan oleh perawat. Data kejadian pasien
jatuh di Indonesia berdasarkan Kongres XII PERSI (2012) bahwa kejadian pasien jatuh tercatat
sebesar 14%, padahal untuk mewujudkan keselamatan pasien angka kejadian pasien jatuh
seharusnya 0%. Meskipun pada umumnya jika sistem dapat dijalankan dengan sebagaimana
mestinya maka KTD dapat ditekan sekecil-kecilnya, namun fakta menunjukkan bahwa sistem
tidak dapat berjalan secara optimal jika kompetensi dan nilai-nilai atau budaya yang ada tidak
mendukung.

Dalam pelaksanaannya di rumah sakit, berbagai tuntutan pasien banyak dilayangkan kepada
rumah sakit akibat kurang amannya keselamatan tindakan yang sangat terkait dengan budaya
keselamatan pasien (patient safety culture). Dalam hal menganalisis budaya keselamatan pasien
dapat dilihat dari pengukuran indikator pola komunikasi, sistem pelaporan insiden (organisasi
pembelajar), kerjasama tim, pendidikan dan pelatihan, iklim kerja, komitmen pimpinan, dan no
blaming culture.

Banyak kejadian insiden yang terjadi kemudian tidak dilaporkan yang dikarenakan laporan yang
diadakan tersebut akan dikaitkan dengan area kerja pada insiden yang terjadi. Hasilnya, para
pengambil kebijakan di rumah sakit tidak mengetahui peringatan akan potensial bahaya yang
dapat menyebabkan error. Pencegahan kesalahan yang akan terjadi tersebut juga dapat
menurunkan biaya yang dikeluarkan pasien akibat perpanjangan masa rawat yang mungkin
terjadi. Keselamatan pasien (patient safety) meliputi: angka kejadian infeksi nosokomial, angka
kejadian pasien jatuh, kesalahan dalam pemberian obat, dan tingkat kepuasan pasien terhadap
pelayanan kesehatan. udaya patient safety merupakan pilar gerakan keselamatan pasien di
pelayanan kesehatan. Penerapan budaya keselamatan pasien akan mendeteksi kesalahan yang
akan dan telah terjadi. Budaya keselamatan pasien tersebut akan meningkatkan kesadaran untuk
mencegah error dan melaporkan jika ada kesalahan. Hal ini dapat memperbaiki outcome yang
dihasilkan oleh rumah sakit tersebut. Rumah sakit harus memiliki budaya aman agar setiap orang
sadar dan memiliki tanggung jawab terhadap keselamatan pasien.

Terdapat hubungan komitmen pimpinan terhadap budaya keselamatan pasien, adapun indikator
dari komitmen pimpinan terdiri dari pimpinan memberi reward dan punishment bagi staf,
pelibatan staf, dan bekerja sesuai prosedur keselamatan pasien. Setelah dilakukan penelitian
ditemukan bahwa masih minimnya reward atasan terhadap bawahan ketika staf bekerja sesuai
dengan prosedur keselamatan pasien, kemudian atasan tidak memberi surat peringatan apabila
ada masalah keselamatan pasien yang terjadi berulang kali, staf kurang dilibatkan untuk
membuat suatu program keselamatan pasien. Setelah dilakukan wawancara kepada responden,
dikemukakan bahwa masalah yang terjadi adalah keselamatan pasien belum membudaya di
Rumah Sakit, seluruh jajaran rumah sakit masih mempelajari secara lebih serius terkait
keselamatan pasien. Ketika para pemimpin memprioritaskan budaya keselamatan, resiko
terhadap pasien mungkin telah diperbaiki dengan pergantian staf dan peningkatan produktivitas.
Untuk meningkatkan produktivitas dapat melalui pemberian penghargaan. Wujud dari
penghargaan dapat berupa gaji pokok/upah dasar, gaji variabel, insentif, uang jasa prestasi
(bonus), kesempatan karier/promosi, liburan, pensiun, untuk meningkatkan produktivitas
karyawan perlu memberikan penghargaan terhadap prestasi kerja karyawannya yaitu dengan
melakukan pemberian kompensasi, karena dengan adanya kompensasi sangat diperlukan dan
merupakan sebuah penghargaan atas pengorbanan serta kerja keras yang dilakukan oleh
karyawan. Hal ini dapat dijadikan investasi dalam sistem keselamatan pasien untuk memberikan
perawatan andal dan aman.

Dalam melaksanakan asuhan keperawatan kepada pasien, perawat akan selalu membutuhkan
bantuan dari perawat maupun tenaga kesehatan yang lainnya, korelasi antara unit
kerja/kerjasama dengan penerapan patient safety adalah bermakna, kerjasama yang dilakukan
didalam unit kerja masingmasing. Kerjasama yang baik tentu akan menghasilkan penerapan
budaya keselamatan pasien yang baik. Penerapan budaya keselamatan pasien yang adekuat harus
ditunjang oleh seluruh unit di rumah sakit tersebut. Unit-unit ini diharapkan dapat bekerja sama
membentuk suatu sistem kerja sehingga proses pelayanan kesehatan dapat berjalan dengan
optimal. Terwujudnya pelayanan kesehatan yang bermutu dan aman tergantung pada kokohnya
sistem yang dibangun dari unit-unit yang ada di rumah sakit.
Komunikasi yang baik antar petugas medis dengan pasien akan memberikan dampak yang positif
terhadap mutu pelayanan kesehatan di suatu rumah sakit serta dimungkinkan menurunkan
kesalahpahaman apabila terjadi kecelakaan, kelalaian dan ataupun malpraktik. Pola komunikasi
berpengaruh terhadap budaya keselamatan pasien, pola komunikasi menggambarkan saling
percaya dan terbuka (communication founded on mutual trust and openness); alir dan proses
informasi yang baik (good information flow and processing) akan meningkatkan budaya
keselamatan pasien. Hal ini sejalan dengan penelitian Isfan tahun 2019, bahwa kualitas
pelayanan termasuk komunikasi petugas mempengaruhi loyalitas pasien di RSU Dewi Sartika
Kendari.

KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa evaluasi yang dilakukan untuk meningkatkan angka keselamatan
pasien ialah perlunya pendidikan terhadap tenaga medis. Diperlukan pula kerja sama tim antara
pemimpin dan pekerja. Adanya tindakan dari atasan untuk memperhatikan alat-alat di rumah
sakit agar keselamatan pasien dapat terlaksana dengan baik. Evaluasi perlu dilakukan kepada
perawat-perawat yang bekerja di rumah sakit agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Ada pula beberapa hal yang dilakukan untuk evaluasi seperti yang sudah dicantumkan di atas.

DAFTAR ISI

1. Buhari, Basok. (2019). Budaya Keselamatan Pasien Rumah Sakit Pemerintah dan Rumah
Sakit Swasta di Kota Jambi. Jurnal ‘Aisyiyah Medika, Volume 3, Nomor 1, Februari
2019
2. Heriyati. Dkk. (2019). Budaya Keselamatan Pasien Rumah Sakit Umum Daerah Majene.
Jurnal Kesehatan, Vol. 2 No. 3 (Juli, 2019) : 194-205
3. Iriviranty, Afrisya. (2015). Analisis Budaya Organisasi dan Budaya Keselamatan Pasien
Sebagai Langkah Pengembangan Keselamatan Pasien di RSIA Budi Kemuliaan Tahun
2014. Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 1 Nomor 3
4. Iskandar, Heru. Dkk. (2014). Faktor Penyebab Penurunan Pelaporan Insiden Keselamatan
Pasien Rumah Sakit. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 28, Suplemen No. 1, 2014
5. Mandriani, Essy. Dkk. (2019). Analisi Dimensi Budaya Keselamatan Pasien oleh Petugas
Kesehatan di RSUD dr Rasidin Padang Tahun 2018. Jurnal Kesehatan Andalas. 2019;
8(1)
6. Nurdianna, Fitri. (2017) .Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Rumah Sakit
Universitas Airlangga Surabaya . Jurnal Promkes, 5 (2), 217–231
7. Prasetyo, Eko. Dkk. (2016). Analisis Program Inspeksi Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(K3) sebagai Bentuk Upaya Promosi Budaya K3 di Lingkungan Kerja. Jurnal Kesehatan
Masyakarat, Vol. 4, No. 1, Agustus 2016.
8. Suhariyanto, dkk. (2019). PeningkatanPendidikan Pasien dan Keluarga dengan
Penguatan Peran Interpersonal ChampionPromosi Kesehatan dengan Pendekatan
Teori Peplau. Journal of Hospital Accreditation, 1(1), 9-12.
9. Syam, Nur Syarianingsih. (2017).Implementasi Budaya Keselamatan
Pasienoleh Perawat di Rumah Sakit Ibnu SinaMakassar. Jurnal Fakultas
Kesehatan Masyarakat, 11 (2), 169-174
10. Yasmi, Yulia, dan Hasbullah Thabrany. (2018). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Budaya Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Karya Bhakti Pratiwi Bogor Tahun 2015.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
11. Simamora, R. H., & Fathi, A. (2019). The Influence Of Training Handover Based SBAR
Communication For Improving Patients Safety. Indian journal of public health research
& development, 10(9), 1280-1285.

Anda mungkin juga menyukai