Arie Supriyatno
Dosen FKIP Univ. Muh Magelang
Abstract
Pancasila ideology of openness at the level of instrumental value does not mean that we also open ourselves to wawasanan
ideology of communism. But instead requires you to be aware of our vulnerability, so that both consciously and unconsciously
not to use the insights of doctrine, policy and strategy that is Marxism Leninism / Communism. Salain a feature of this
ideology is the permanent contradiction minded about, about not being able to didamaikannya conflict that existed until one
of the parties to the contrary completely destroyed. One of the characteristics that others should watch out for is penghalalan
all means to achieve goals.
Keywords: Pancasila, Ideology Open.
A. PENDAHULUAN
Ada beberapa faktor lain yang mendorong kedua setelah Amerika Serikat, akhirnya runtuh
pemikiran kita mengenai Pancasila sebagai ideologi bercerai berai.
terbuka. Beberapa diantaranya dapat kita sebutkan di Ketiga, pengalaman sejarah politik kita sendiri di
sini. Pertama, kenyataan bahwa dinamika masyarakat masa lampau sewaktu pengaruh komunisme sangat
kita berkembang dengan amat cepat. Tidak selalu besar. Karena pengaruh ideologi komunisme yang
jawabannya bisa kita temukan secara ideologis pada dasarnya bersifat tertutup, Pancasila pernah
dalam pemikiran ideologi kita sebelumnya. Ambillah merosot menjadi semacam dogma yang kaku.
sebagai misalnya tendensi globalisasi ekonomi yang Tidak lagi dibedakan antara aturan-aturan pokok
merupakan ciri khas dari dunia pada awal abad ke 21 yang memang harus dihargai sebagai aksioma
dan diperkirakan akan berlanjut di masa mendatang. yang kita sepakati bersama, dengan aturan-aturan
Dalam kecenderungan ini, peranan besar tidak lagi pelaksanaannya yang seyogyanya bisa disesuaikan
dipegang oleh negara dan pemerintah yang karena dengan perkembangan. Dalam suasana kekakuan
besar dan kompleksitasnya relatif lamban untuk tersebut, Pancasila tidak lagi tampil sebagai ideologi
menangani kecepatan tersebut. Peranan yang lebih yang menjadi acuan bersama, tetapi sebagai senjata
besar justru dipegang oleh badan swasta. Gejala ini konseptual untuk menyerang lawan-lawan politik.
jelas memerlukan kejelasan sikap secara jelas. Kebijaksanaan pemerintah pada saat itu menjadi
Kedua, kenyataan bangkrutnya ideologi bersifat absolut, dengan konsekuensi perbedaan
tertutup seperti marxisme-leninisme/komunisme. pendapat menjadi alasan untuk secara langsung
Jika dengan ideologi terbuka pada dasarnya kita dicap sebagai anti-Pancasila. Hal itu jelas tidak benar
maksudkan ideologi yang berinteraksi secara dinamis dan perlu dikoreksi secara mendasar.
dengan perkembangan lingkungan sekitarnya, maka Keempat, tekad kita untuk menjadi Pancasila
dengan istilah ideologi tertutup kita maksudkan sebagai asas dalam hidup bermasyarakat,
ideologi yang merasa sudah mempunyai seluruh berbangsa dan bernegara. Kualifikasi dalam
jawaban terhadap kehidupan ini, sehingga yang hidup “bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”
perlu dilakukan adalah melaksanakannya bahkan menunjukkan bahwa ada kawasan kehidupan
secara dogmatik. Dewasa ini ideologi komunisme yang bersifat otonom dan karena itu tidak secara
dihadapkan kepada pilihan yang amat berat, untuk langsung mengacu kepada nilai Pancasila. Salah
menjadi pilihan suatu ideologi terbuka atau tetap satu diantaranya adalah nilai-nilai religi. Peranan
menjadi ideologi tertutup seperti selama ini. Uni Pancasila dalam religi adalah mengayomi,
Soviet di bawah kepemimpinan Mikhail Gorbachev melindungi dan mendukungnya dari luar. Agama
memilih langkah radikal menuju ideologi terbuka bahkan diharapkan menjadi sumber inspirasi dan
yang sebagaimana kita ketahui, negara super power motivasi bagi pembangunan nasional.
Daftar Pustaka
Surajiyo
Universitas Indraprasta PGRI
Jl. Nangka/TB Simatupang No. 58C, Tanjung Barat, Jakarta Selatan
Email: drssurajiyo@yahoo.co.id
ABSTRAK
Ideologi sebenarnya bersumber pada suatu sistem filsafat, dan merupakan pelaksanaan
sistem filsafat. Komunisme bersumber pada filsafat materialisme, melahirkan faham
atheisme serta faham perjuangan kelas dan diktator proletariat. Pancasila bersumber dari
filsafat bangsa Indonesia sendiri sejak dahulu kala dalam ‘triprakoro’ (istilah Notonagoro)
yaitu adat-istiadat, kebudayaan, dan religi. Kemudian dengan pemikiran yang mendalam para
‘founding fathers’ menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara. Pancasila sebagai ideologi
bangsa indonesia adalah hasil karya bangsa indonesia sendiri sejajar dengan ideologi-ideologi
besar lainnya di dunia, bahkan memiliki keunggulan dibandingkan dengan ideologi lainnya.
Meode penelitian ini adalah berdasarkan penelitian pustaka, maka data yang
dikumpulkan merupakan data kualitatif yang diolah dengan metode reflektif, dilengkapi
dengan metode ’verstehen’. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ideologi Pancasila
memiliki keunggulan dibandingkan dengan ideologi komunisme, liberalisme dan fascisme.
Ideologi Pancasila juga mempunyai ketangguhan bukan hanya karena faktor internal ideologi
itu sendiri, yaitu kebulatan dan keutuhannya yang mengagumkan, namun juga karena
dukungan faktor eksternal yaitu barisan penjaga ideologi Pancasila, baik yang formal maupun
informal.
Kata kunci : Ideologi, Pancasila, komunisme, Liberalisme, Fascisme.
ABSTRACT
Abstrak
Kata kunci: Dalam sistem peraturan perundang-undangan, Pancasila merupakan
Putusan Mahkamah Konstitusi, norma dasar (staatsfundamental), yang berturut turut kemudian
Empat Pilar Berbangsa dan verfassungnorm UUD 1945, grundgezetznorm atau ketetapan MPR,
Pancasila. serta gezetznorm atau Undang-Undang. Namun dalam kenyataannya,
Pancasila disamakan kedudukannya dan disejajarkan dengan UUD
1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika
P-ISSN: 1412-310x yang kemudian disebut dengan istilah Empat Pilar Berbangsa dan
E-ISSN: xxxxxxx Bernegara. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penjaga gawang
konstitusi mengembalikan kedudukan pancasila sebagai dasar negara
melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XI/2012.
Putusan tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan kewenangan
Mahkamah Konstitusi yang mempunyai 4 (empat) kewenangan dan
1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) dan
ayat (2) UUD 1945. Selain sebagai lembaga negara pengawal
demokrasi, Mahkamah Konstitusi juga sebagai Pelindung dasar
negara dan sumber hukum.
PENDAHULUAN
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan.1 Amanat ini adalah pelaksanaan dari Pasal 1 ayat (3) UUD
NRI 1945.2 Salah satu prinsip negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan
lembaga peradilan yang merdeka, bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstrayudisial
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan ketertiban, keadilan, kebenaran dan
Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2014, p.29.
6Lihat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
7Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Konpress, p. 156.
8Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, 2010, Jakarta: Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat
dengan UUD NRI 1945 atau konstitusi: Pertama, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) sebagai lembaga legislatif yang membentuk undang-undang adalah lembaga politik yang
sangat mungkin membuat undang-undang atas dasar kepentingan mereka atau kelompok yang
dominan di dalamnya. Kedua, Pemerintah dan DPR sebagai lembaga politik dalam faktanya lebih
banyak berisi orang-orang bukan ahli hukum atau kurang dapat berfikir menurut logika hukum.12
Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi memang bukan merupakan bagian dari
proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Presiden13 dan Dewan Perwakilan Rakyat14
sebagai pembentuk undang-undang,15 harus dapat memberikan keterangan ataupun penjelasan
yang diperlukan dalam persidangan permohonan pengujian Undang-Undang di Mahkamah
Konstitusi.16 Berdasarkan prinsip dan alasan tersebut, kiprah lembaga yudikatif dalam menjaga
konsitensi UU terhadap UUD 1945 dapat dilihat antara lain dari banyaknya perkara dan putusan
dalam pengujian. Misalnya dari tahun 2014-2018, MK telah menangani perkara pengujian
peraturan perundang-undangan sebanyak 310 perkara, yang amar putusannya menolak,
mengabulakan atau tidak diterima.17 Pengujian Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tersebut,
dapat disimpulkan bahwa pembentukan undang-undang masih bersifat sektoral baik di
lingkungan Pemerintah maupun di lingkungan DPR dan DPD, hal ini ditandai dengan banyaknya
UU yang di judicial review dan usulan RUU dalam prolegnas belum berdasarkan kebutuhan akan
suatu UU dan kebutuhan yang objektif dan empirik.18 Prolifersai kewenangan legislasi tersebut,
tidak diiringi oleh fungsi sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang
optimal. Masing-masing pihak memiliki argumen yang kuat dalam mempertahankan suatu
peraturan dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas).19
Akibatnya, kondisi tersebut melahirkan situasi hukum yang serba multitafsir, konfliktual dan
tidak taat asas. Hal ini juga mengakibatkan lemahnya efektivitas implementasi regulasi yang pada
ujungnya dibawa ke Mahkamah Konstitusi untuk di judicial review.20 Mahkamah Konstitusi sebagai
penafsir konstitusi dalam amar Putusannya terdiri dari dua macam, yaitu dikabulkan dan ditolak.
Suatu permohonan dikabulkan manakala inkonstitusionalitas suatu undang-undang yang didalilkan
Pemohon terbukti menurut hukum, sedangkan suatu permohonan ditolak manakala Pemohon
tidak dapat membuktikan atau Mahkamah tidak dapat menemukan inkonstitusionalitas undang-
undang yang dimohonkan dalam pengujian. Baik dalam hal amar putusan menyatakan
permohonan dikabulkan atau permohonan ditolak, MK dapat memberikan syarat bagi dikabulkan
atau ditolaknya permohonan Pemohon.21
12Moh. Mahfud MD, 1999, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi , Jakarta: LP3ES, p. 130.
13Lihat Pasal 5 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
14Lihat Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
15Lihat Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
16Lihat Pasal 54 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
17Mahkamah Konstitusi, “Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-Undang”, https:// mkri.
id/index.php?page=web.RekapPUU&menu=5, diakses pada Tanggal 29 April 2016, Pukul 14.00 WIB.
18Bayu Dwi Anggono, “The Politics of Law On The Formation of Responsive, Participative and Populist
Legislation “, International Journal of Business, Economics and Law, Vol. 9, Issue 4 , April 2016, p. 85.
19Siti Fatimah, “Proliferasi Kekuasaan Kehakiman Setelah Perubahan UUD 1945” Disertasi, Program Doktor
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2014, p. 50.
20Akhmad Adi Purawan, “Korupsi Legislasi dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”, Jurnal
Rechtsvinding, Vol. 3 No. 3 Desember 2014, p. 347-348.
21Mahkamah Konstitusi RI, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
22Konstitusional bersyarat adalah kondisi suatu norma UU dinilai bersesuaian dengan UUD 1945 jika kelak
ditafsir sesuai dengan syarat atau parameter yang telah ditetapkan oleh MK. Disarikan dari Mardian Wibowo, Op.Cit,
p.198.
23Adapun inkonstitusional bersyarat adalah sebaliknya, yaitu norma UU yang dimohonkan pengujian secara
kekinian bersesuaian dengan UUD 1945, namun ada potensi menjadi inkonstitusional ketika kelak ditafsirkan secara
berbeda. Mardian Wibowo, Op.Cit, p.199.
24Martitah, 2013, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positive Legislature, Jakarta: Konpress, p. 9-11.
25Lihat Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Baca juga Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24
153/G/2011/PTUN_JKT” Jurnal Yudisial Komisi Yudisial, Vol.6 No.3 Desember Tahun 2013, p. 228.
27Alexander Hamilton, 1995, Federalist 78. In The Federalist Papers, New York: Mentor, p. 30.
28Inosentius Samsul, 2009, Laporan Akhir Pengkajian Hukum tentang Putusan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, p. 4. Baca juga Dri Utari Christina R dan Ismail
Hasani (Ed), 2013, Masa Depan Mahkamah Konstitusi RI: Naskah Konferensi Mahkamah Konstitusi dan Pemajuan Hak
Konstitusional Warga, Jakarta: Setara Press, p. 3.
29Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
30Hastangka, Armaidy Armawi dan Kaelan, “Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XI/2013
tentang Pembatalan Frasa 4 Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol.30, No. 2 Juni
2018.
atau penerapan Pancasila pada bidang hukum, dapat disebut Hukum Pancasila. Hukum Pancasila
sebagai hukum positif tumbuh dari dalam dan/atau dibuat oleh masyarakat Indonesian untuk
mengatur dan mewujudkan ketertiban yang adil dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.31
Rumusan Pancasila tersebut berlaku dan mengikat seluruh lembaga negara, lembaga
masyarakat dan setiap warga negara, tanpa kecuali. Rumusan pancasila secara imperatif harus
dilaksanakan oleh rakyat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap sila
Pancasila merupakan satu kesatuan yang integral, yang saling mengandaikan dan saling mengunci.
Ketuhanan dijunjung tinggi dalam kehidupan bernegara, tetapi diletakkan dalam konteks negara
kekeluargaan yang egaliter, yang mengatasi paham perseorangan dan golongan; selaras dengan visi
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan kebangsaan, demokrasi permusyawaratan yang
menekankan konsensus, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.32 Dalam sistem
peraturan perundang-undangan di Indonesia, keseluruhan sistem norma hukum Negara Republik
Indonesia secara keseluruhan merupakan suatu sistem yang hierarkhis (berjenjang). Pancasila
sebagai dasar negara dalam hukum Indonesia merupakan sumber karena merupakan norma dasar
(staatsfundamental), yang berturut turut kemudian verfassungnorm UUD 1945, grundgezetznorm atau
ketetapan MPR, serta gezetznorm atau Undang-Undang. Pancasila merupakan esensi dari
staatsfundamentalnorm, sehingga berkedudukan sebagai staatsfundamentalnorm dalam sistem tertib
hukum nasional. Konsekuensinya Pancasila merupakan sumber bagi pembentukan pasal-pasal
dalam Undang-Undang Dasar 1945, merupakan sumber dan dasar bagi pembentukan peraturan
di bawahnya.33 Tulisan ini akan membahas mengenai berbagai permasalahan diantaranya
kedudukan pancasila sebagai dasar negara pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
100/PUU-XI/2013 dan problematika pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
100/PUU-XI/2013 oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif yang
membentuk Undang-Undang.
PEMBAHASAN
Kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 100/PUU-XI/2013
Pertumbuhan dan perkembangan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, memberikan pengalaman positif bagi pemahaman filosofis
bangsa dalam menuju tercapainya cita-cita kesejahtraan rakyat. Para pendiri bangsa ini dengan
penuh ketulusan merumuskan dan menggali nilai-nilai filosofis bangsa, di tengah-tengah
perbedaan kepentingan ideologi antara liberalisme, nasionalisme, islamisme, sosialisme, dan komunisme,34
yang diakhiri secara konstitusional tanggal 18 Agustus 1945 bertepatan dengan disahkannya
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia sebagai tindak lanjut dari pernyatataan kemerdekaan Indonesia melalui
naskah proklamsi 17 Agustus 1945.35 Pancasila sebagai dasar negara36 dan sumber hukum negara37
31Soediman Kartohadiprodjo, 2010, Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Gatra Pustaka,
p. 41.
32Sudjito Atmoredjo, 2018, Ideologi Hukum Indonesia: Kajian tentang Pancasila dalam Perspektif Ilmu Hukum dan Dasar
Indonesia, p. 66.
34Udiyo Basuki, “Qua Vadis UUD 1945: Refleksi 67 Tahun Indonesia Berkonstitusi, dalam Jurnal Kajian Ilmu
penjajahan itu bertentangan dengan perikemanusiaan dan keadilan. Selain itu refleksi filosofis yang lain dari makna
sebuah kemerdekaan bangsa Indonesia dapat dilacak dari konsepsi manusia sebagai mahluk individu (mahluk Tuhan)
yang telah diberikan kebebasan dalam menentukan pilihannya secara bertanggung jawab. Sebagai bangsa, rakyat
Indonesia juga dilekati hak untuk menentukan nasibnya sendiri (self determination) sebagai bangsa yang merdeka, karena
merupakan amanah dari pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 alinea keempat:38
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawatan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam hal pembuatan peraturan perundang-undangan, Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara ekplisit
menyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. Dalam dinamika
proses kemasyarakatan, Pancasila diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan, juga pada bidang
hukum. Penerapan atau realisasi Pancasila pada bidang kehidupan hukum itu menumbuhkan
ketentuan-ketentuan hukum yang dijiwai atau diwarnai oleh Pancasila. Keseluruhan tata hukum
sebagai suatu sistem aturan hukum positif yang merupakan penjabaran atau penerapan Pancasila
pada bidang hukum, dapat disebut Hukum Pancasila. Hukum Pancasila sebagai hukum positif
tumbuh dari dalam dan/atau dibuat oleh masyarakat Indonesian untuk mengatur dan
mewujudkan ketertiban yang adil dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.39
Rumusan Pancasila itulah dalam hukum positif Indonesia secara konstitusional, berlaku, dan
mengikat seluruh lembaga negara, lembaga masyarakat, dan setiap warga negara, tanpa kecuali.
Rumusan pancasila secara imperatif harus dilaksanakan oleh rakyat Indonesia dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Setiap sila Pancasila merupakan satu kesatuan yang integral, yang saling
mengandaikan dan saling mengunci. Ketuhanan dijunjung tinggi dalam kehidupan bernegara,
tetapi diletakkan dalam konteks negara kekeluargaan yang egaliter, yang mengatasi paham
perseorangan dan golongan, selaras dengan visi kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
kebangsaan, demokrasi permusyawaratan yang menekankan konsensus, serta keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.40
Dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia, keseluruhan sistem norma hukum
Negara Republik Indonesia secara keseluruhan merupakan suatu sistem yang hierarkhis
(berjenjang). Pancasila sebagai dasar negara dalam hukum Indonesia merupakan sumber karena
merupakan norma dasar (staatsfundamental), yang berturut turut kemudian verfassungnorm atau UUD
1945, grundgezetznorm atau ketetapan MPR, serta gezetznorm atau Undang-Undang. Pancasila
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa. Secara politik, kemerdekaan terletak pada realitas bahwa
proklamasi merupakan tindakan politik tunggal yang menyatakan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia.
Sedangkan secara sejarahahnya adalah apakah kemerdekaan RI ini merupakan pemberian atau hadiah dari penjajah
jepang. Disarikan dari Jazim Hamidi, 2006, Revolusi Hukum Indonesia: Makna, Kedudukan, dan Implikasi Hukum Naskah
Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, p. 6.
36Kaelan, 2013, Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya, Yogyakarta:
Paradigma, p. xi.
37Siti Fatimah, 2013, Legal Drafting, Yogyakarta: Daras, p. 5.
38Hendarmin Ranadireksa, 2013, Dinamika Konstitusi Indonesia, Bandung: Fokusmedia, p. 10.
39Soediman Kartohadiprodjo, 2010, Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Gatra Pustaka,
p. 41.
40Kaelan, 2013, Op.Cit, p. 544.
41Pandji Setijo, 2009, Pendidikan Pancasila, Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa, Jakarta: Gramedia, p. 66.
42Dimasukkannya Pancasila sebagai bagian dari Empat Pilar, semata-mata untuk menjelaskan adanya landasan
ideologi dan dasar negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, yang menjadi pedoman
penuntun bagi pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan lainnya. Pilar Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
Bhinneka Tunggal Ika sudah terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
tetapi dipandang perlu untuk dieksplisitkan sebagai pilar-pilar tersendiri sebagai upaya preventif mengingat besarnya
potensi ancaman dan gangguan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wawasan kebangsaan. Pancasila
sebagai ideologi dan dasar negara harus menjadi jiwa yang menginspirasi seluruh pengaturan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai Pancasila baik sebagai ideologi dan dasar negara sampai hari ini
tetap kokoh menjadi landasan dalam bernegara. Pancasila juga tetap tercantum dalam konstitusi negara kita meskipun
beberapa kali mengalami pergantian dan perubahan konstitusi. Ini menunjukkan bahwa Pancasila merupakan
konsensus nasional dan dapat diterima oleh semua kelompok masyarakat Indonesia. Pancasila terbukti mampu
memberi kekuatan kepada bangsa Indonesia, sehingga perlu dimaknai, direnungkan, dan diingat oleh seluruh
komponen bangsa. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah konstitusi negara sebagai
landasan konstitusional bangsa Indonesia yang menjadi hukum dasar bagi setiap peraturan perundang-undangan di
bawahnya. Oleh karena itu, dalam negara yang menganut paham konstitusional tidak ada satu pun perilaku
penyelenggara negara dan masyarakat yang tidak berlandaskan konstitusi. Negara Kesatuan Republik Indonesia
merupakan bentuk negara yang dipilih sebagai komitmen bersama. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
pilihan yang tepat untuk mewadahi kemajemukan bangsa. Oleh karena itu komitmen kebangsaan akan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi suatu “keniscayaan” yang harus dipahami oleh seluruh komponen
bangsa. Disarikan dari Pimpinan MPR dan TIM Kerja Sosialisai MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: Sekretariat MPR, p. 6-7.
43Ibid.
44Ibid, p. 8.
45Yudi Latif, 2011, Negara Paripurna. Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: PT Gramedia, p. 57.
46SudjitoAtmoredjo, 2017, Hukum dalam Pelangi Kehidupan, Yogyakarta: Dialektika, p. 87.
47Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
48Sudjito Atmoredjo, 2018, Ideologi Hukum Indonesia: Kajian tentang Pancasila dalam Perspektif Ilmu Hukum dan Dasar
sekaligus menyangkut norma-norma dan kaidah yang terkandung di dalamnya secara koheren
antara unsur satu dengan lainnya.49
mensosialisasikan kedudukan pancasila sebagai empat pilar dengan merubah nama menjadi empat
pilar kebangsaan ataupun Empat Pilar MPR RI. Perubahan tersebut bukan tindak lanjut dari
putusan MK yang berupa produk hukum, melainkan berdasarkan hasil kajian yang sampai saat ini
belum memberikan hasil yang jelas, bahkan belum ditemukan dasar penyusunan ilmiahnnya.53
Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa perubahan nama tersebut hanyalah perubahan
redaksional semata, namun isinya tetap saja. Sementara yang menjadi permasalahan selama ini
adalah isi dan makna dari empat pilar yang tidak tepat, apalagi melihat Pancasila adalah dasar
negara, tetapi di dalam teori empat pilar malah disejajarkan dengan pilar yang lainnya. Tindakan
MPR tersebut salah satu disebabkan oleh anggaran sekali mengadakan sosialisasi empat pilar
kebangsaan, Negara menganggarkan Rp. 37.800.000,00, dengan ditambah ongkos perjalanan
sedangkan jumlah anggota DPR RI ada 560 orang, dan jumlah anggota DPD RI ada 136 orang.
Jadi total ada 696 orang jumlah anggota DPR/MPR RI yang mendapat fasilitas anggaran untuk
melakukan kegiatan sosialisasi tersebut. Anggota DPR/MPR RI untuk melakukan kegiatan
tersebut yang nominalnya disesuaikan jarak daerah pemilihannya masing-masing.54
Putusan MK bersifat final, artinya pertama dan terakhir, tidak ada upaya hukum lainnya.
Konsekuensi dari putusan final adalah langsung berlaku mengikat sejak dibacakannya putusan
(binding). Namun pada kenyatannya di lapangan terjadi kesenjangan antara teori dan praktek.
Maksudnya, apa yang diharapkan dari teori putusan bersifat final dan mengikat, ternyata pada
level implementasinya kerap tidak terjadi demikian. Putusan Mahkamah Konstitusi banyak yang
dianulir atau tidak dipedulikan oleh organ pembentuk undang-undang. Akibatnya, putusan MK
sepertinya tidak memiliki kekuatan mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat
declaratoir constitutif secara implisit menempatkan Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator,
yang menciptakan suatu hukum berdasarkan suatu pemyataan.55
Implikasi dari putusan declaratoir constitutif ialah lahirya suatu keadaan hukum baru, terkait
dengan jenis putusannya yang bersifat declaratoir. Menurut Maruarar Siahaan, salah satu mantan
hakim konstitusi, bahwa Mahkamah Konstitusi tidak membutuhkan organ atau aparat khusus
yang bertugas sebagai lembaga eksekutorial atau aparat yang bertugas melaksanakan putusannya.
Jika organ pembentuk undang-undang (pemerintah atau lembaga negara lainnya) tidak mentaati
putusan Mahkamah Konstitusi, dan sebaliknya justru tetap menjalankan undang-undang yang
tidak lagi memiliki kekuatan mengikat, maka menurut Maruarar, praktek tersebut diluar tanggung
jawab Mahkamah Konstitusi, melainkan satu tindakan yang pengawasannya ada dalam mekanisme
hukum dan tatanegara itu sendiri. Lebih lanjut Maruarar menyebutkan, bahwa perbuatan yang
dilaksanakan atas dasar undang-undang yang sudah dinyatakan batal dan tidak berlaku mengikat,
merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Jika dikemudian terjadi kerugian atas tindakan
aparat pemerintah tersebut, justru mereka harus mempertanggungjawabkannya secara
perseorangan (personal liability).56
Terkait dengan kekuatan eksekutorial yang dimiliki putusan Mahkamah Konstitusi, secara
eksplisit memang susah diwujudkan pada perkara pengujian undang-undang, tetapi seperti halnya
putusan pengadilan biasa, putusan Mahkamah Konstitusi tetap memiliki kekuatan eksekutorial,
misalnya ada penyatuan atau integrasi putusan Mahkamah Konstitusi dengan undang-undang
yang telah diajukan, sehingga khalayak umum bisa tahu secara jelas, bahwa pada bagian tertentu
53Akhmad Adi Purawan, “Korupsi Legislasi dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”, Jurnal
Rechtsvinding, Vol. 3 No. 3 Desember 2014, p. 347-348.
54Andra Bani Sagalane, “Implementasi dan Implikasi Sosialisasi Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara Pasca
Konstitusi dan Peradila Tata Usaha Negara”, Mimbar Hukum, Vol. 19, No.3, Oktober 2007, p. 441.
undang-undang bersangkutan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun demikian,
meski putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan eksekutorial, hal itu tidak memberi hak
kepada pemohon untuk meminta pelaksanaan putusan tersebut, misalnya saja menuntut
diadakannya perubahan undang-undang.57
Dalam tradisi judiciary yang telah berkembang sejak lama, suatu putusan pasti mempunyai sifat
atau kekuatan mengikat (binding), karena hal ini terkait dengan kewenagan absolut lembaga
peradilan, yang memiliki kekuasaan untuk melakukan penghakiman (judgement). Tentunya tidak
berguna, jika suatu putusan yang proses pen gambilannya kadang membutuhkan tempo yang
sangat panjang dan melelahkan, akan tetapi pada akhimya tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat, hasilnya hanya sebuah kesia-siaan belaka. Problem pada level implementasi/eksekusi
putusan seperti inilah yang kerap menghinggapi organ Pengadilan Tata Usaha Negara dan
Mahkamah Konstitusi, karena tidak adanya lembaga eksekutorial bagi putusan-putusan kedua
peradilan tersebut, serta tidak adanya ancaman sanksi yang serius apabila tidak melaksanakan
putusan. Selama ini pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi hanya mengandalkan
kerjasama/hubungan yang baik antara Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga judicial dengan
organ-organ pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden), serta organ pelaksana undang-
undang (pemerintah).58
Jika tidak ada itikad baik dari ketiga organ, yang terkena implikasi dari keluarnya putusan
Mahkamah Konstitusi, tentunya putusan Mahkarnah Konstitusi hanya menjadi kesia-siaan belaka,
atau sekedar menjadi macan kertas, yang tidak memiliki kekuatan implementatif. Menurut
pandangan beberapa ahli hukum, cabang kekuasaan yudikatif adalah cabang paling lemah dari
ketiga cabang kekuasaan yang ada, karenanya kewenangannya hanya sebagai pemutus perkara.
Selebihnya untuk mengeksekusi putusan yang dikeluarkan, organ yudikatif membutuhkan campur
tangan dari pihak eksekutif untuk menjadi eksekutor.59 Meskipun Mahkamah Konstitusi saat ini
memiliki kewenangan yang luar biasa tinggi, yakni sebagai organ yang berwenang untuk
melakukan constitutional review, yang artinya berfungsi untuk membatasi dan mengawasi organ-
organ negara lainnya agar berjalan dalam koridor-koridor yang telah ditetapkan oleh konstitusi,
namun hal ini belum bisa menjamin pelaksanaan dari ketentuan yang digariskan oleh Mahkamah
Konstitusi, bahkan seringkali diingkari. Apalagi sekarang dengan kecenderungan yang mengarah
pada judicial activism (peradilan aktif), di mana peran dari lembaga judicial sebagai penjamin
konstitusi akan semakin dominan, putusan Mahkamah Konstitusi akan mendapat tantangan
sengit dari aktor-aktor negara non-yudisial yang terkena imbas dari putusan MK. 60
Apabila menganalisis ketentuan yang terdapat dalam Pasal 24 C ayat (1), di situ memang hanya
disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terkahir
yang putusannya bersifat final, jadi memang secara eksplisit tidak pernah dicantumkan bahwa
putusan Mahkamah Konstitusi bersifat mengikat (binding). Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi hanya menyebutkan demikian, bahwa putusan
Mahkamah Konstitusi hanya sekedar bersifat final, artinya pertama dan terakhir, serta tidak ada
upaya hukum lain yang bisa ditempuh sesudahnya, sifat binding tidak turut serta dalam putusan
Mahkamah Konstitusi. Kejadian ini merupakan kesalahan fatal organ pembentuk undang-undang
dalam mengarti-kulasikan tenninologi putusan final, artikulasi putusan final ialah tidak dapat
57Ibid, p. 443.
58Jimly Asshiddiqie, “Upaya Perancangan Undang-Undang tentang Larangan Merendahkan Martabat Pengadilan
(Contempt Of Court)”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol.4, No.2 Juli 2015.
59Ibid.
60Pan Mohamad Faiz, “Dimensi Judicial Activism dalam Putusan Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Vol.13,
dibanding atau tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh, oleh karenanya konsekuensi
normatif dari putusan final adalah hams mengikat.61
Oleh karenanya di negara manapun, kecuali Indonesia, konstitusi dan pengaturan yang
mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mencantumkan kata-kata bersifat final tentu
selalu diikuti dengan kata mengikat (final and binding). Meski telah dicantumkan secara eksplisit,
seringkali putusan Mahkamah Konstitusi diingkari atau tidak dipedulikan oleh organ pembentuk
undang-undang dan/atau aktor-aktor non yudisial Iainnya, apalagi jika kedua kata tersebut tidak
dicantumkan secara berdampingan dan eksplisit, sangat dimungkinkan terjadi penafsiran bahwa
putusan yang bersifat final belum tentu mengikat, karena tidak ada ketentuan yang secara eksplisit
mengaturnya.62 Akibatnya, putusan Mahkamah Konstitusi tidak berwatak implementatif, ketika
mencapai tahap aplikasi, Putusan Mahkamah Konstitusi akan dihadang oleh sekian banyak
rintangan yang menggangu eksekusi putusan. Oleh karenanya perlu adanya suatu strategi
kesadaran kolektif dari seluruh lembaga negara dan organ-organ non negara lainnya, untuk
bersama-sama mengaplikasikan putusan Mahkamah Konstitusi pada kondisi yang secara jelas
dikehendaki oleh konstitusi. Pengimplementasian putusan Mahkamah Konstitusi akan sangat
absurd tanpa adanya respon positif dari organ pembentuk undang-undang dan pemerintah pada
umumnya. Selama ini kerap kali terjadi kesenjangan dan disparitas antara tahap pembacaan
dengan implementasi putusan final di lapangan. Jika persoalan besar ini ternsdibiarkan, niscaya
putusan Mahkamah Konstitusi hanya akan memiliki kekuatan simbolik yang menghiasi lembaran
berita negara.63
Ke depan, organ Mahkamah Konstitusi sebaiknya tidak sekedar memiliki kewenangan yang
besar dalam hal pengujian konstitusionalitas, melainkan juga hams dibekali kewenangan untuk
mengawasi putusannya, artinya putusan final yang disertai dengan judicial order yang diarahkan
kepada perorangan ataupun institusi negara. Selanjutnya harus pula diadakan ketentuan formal
yang mengatur implementasi putusan final dan mengikat, selain diperkuat dengan adanya
kesepakatan kolektif dari lembaga-Iembaga negara dan aktor negara untuk melakukan tindakan
koordinatif dankolaboratif yang mendukung pelaksanaanl implementasi dari putusan Mahkamah
Konstitusi. Disertai dukungan publik yang massif untuk "menekan" organ-organ negara dalarn
melaksanakan putusan yang telah digariskan.64
PENUTUP
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa,
pertama, kedudukan Pancasila sebagai dasar negara pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
100/PUU-XI/2013 yang membatalkan empat pilar yang berisi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan
Bhinneka Tunggal Ika. Pada pokoknya, putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa
Pancasila tidak boleh disetarakan kedudukannya dengan UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka
Tunggal-Ika. Pancasila adalah dasar negara dan sumber nilai bagi ketiga prinsip-prinsip lainnya,
yaitu UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Kedua, problematika pelaksanaan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XI/2013 oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai
lembaga legislatif yang membentuk Undang-Undang adalah terkait dengan kekuatan eksekutorial
yang dimiliki putusan Mahkamah Konstitusi, secara eksplisit memang susah diwujudkan pada
61Ahmad Syahrizal. "Problem lmplementasi Putusan MK" Jurnal Konstitusi, Volume 4 Nomor I, Maret 2007, p.
115.
62Jimly Asshiddiqie, “Upaya Perancangan Undang-Undang tentang Larangan Merendahkan Martabat Pengadilan
(Contempt Of Court)”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol.4, No.2 Juli 2015.
63Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar, “Komparasi Sifat Mengikat Putusan Judicial Review Mahkamah
Konstitusi dan Peradila Tata Usaha Negara”, Mimbar Hukum, Vol. 19, No.3, Oktober 2007, p. 445.
64Ibid, p. 450.
perkara pengujian undang-undang, tetapi seperti halnya putusan pengadilan biasa, putusan
Mahkamah Konstitusi tetap memiliki kekuatan eksekutorial, misalnya ada penyatuan atau integrasi
putusan Mahkamah Konstitusi dengan undang-undang yang telah diajukan, sehingga khalayak
umum bisa tahu secara jelas, bahwa pada bagian tertentu undang-undang bersangkutan tidak lagi
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun demikian, meski putusan Mahkamah Konstitusi
memiliki kekuatan eksekutorial, hal itu tidak memberi hak kepada pemohon untuk meminta
pelaksanaan putusan tersebut, misalnya saja menuntut diadakannya perubahan undang-undang.
Fenomena tersebut seolah memperkuat pernyataan Hamilton, Denny Indrayana dan Zainal Arifin
Mochtar yang menyatakan bahwa lembaga yudikatif merupakan cabang yang paling lemah,
bahkan untuk dapat mengeksekusi putusannya, peradilan harus dibantu oleh cabang eksekutif dan
legislatif, karena eksekutif memiliki pedang (senjata), sedangkan legislatif menentukan atas
keuangan negara (dompet). Sebaliknya, cabang yudikatif (judiciary power) hanya berwenang
memutus perkara.
REFERENCES
Anggono, Bayu Dwi, “The Politics of Law On The Formation of Responsive, Participative and
Populist Legislation “, International Journal of Business, Economics and Law, Vol. 9, Issue 4 , April
2016.
Asshiddiqie, Jimly, “Upaya Perancangan Undang-Undang tentang Larangan Merendahkan
Martabat Pengadilan (Contempt Of Court)”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol.4, No.2 Juli 2015.
____________________, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Jakarta: Konpress.
Atmoredjo, Sudjito, 2017, Hukum dalam Pelangi Kehidupan, Yogyakarta: Dialektika.
____________________, 2018, Ideologi Hukum Indonesia: Kajian tentang Pancasila dalam Perspektif
Ilmu Hukum dan Dasar Negara Indonesia, Yogyakarta: Lingkar Media.
Basuki, Udiyo, “Qua Vadis UUD 1945: Refleksi 67 Tahun Indonesia Berkonstitusi, dalam Jurnal
Kajian Ilmu Hukum Supremasi Hukum, Vol.1, No.1, Juni 2012.
Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar, “Komparasi Sifat Mengikat Putusan Judicial Review
Mahkamah Konstitusi dan Peradila Tata Usaha Negara”, Mimbar Hukum, Vol. 19, No.3,
Oktober 2007.
Faiz, Pan Mohamad, “Dimensi Judicial Activism dalam Putusan Mahkamah Konstitusi”, Jurnal
Konstitusi, Vol.13, No.2 Juni 2016.
Fatimah, Siti, “Proliferasi Kekuasaan Kehakiman Setelah Perubahan UUD 1945” Disertasi,
Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta, 2014.
_____________, 2013, Legal Drafting, Yogyakarta: Daras.
Federal & State Cases, 1803, Combined Marbury and Madison, Supreme Court of the United States,
February 24, 1803, Decided.
Hamidi, Jazim, 2006, Revolusi Hukum Indonesia: Makna, Kedudukan, dan Implikasi Hukum Naskah
Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press.
Hamilton, Alexander, 1995, Federalist 78. In The Federalist Papers, New York: Mentor.
Hastangka, Armaidy Armawi dan Kaelan, “Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
100/PUU-XI/2013 tentang Pembatalan Frasa 4 Pilar Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol.30, No. 2 Juni 2018.
Indrayana, Denny dan Zainal Arifin Mochtar, “Komparasi Sifat Mengikat Putusan Judicial Review
Mahkamah Konstitusi dan Peradila Tata Usaha Negara”, Mimbar Hukum, Vol. 19, No.3,
Oktober 2007.
Kaelan, 2013, Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya,
Yogyakarta: Paradigma.
__________, 2018, Negara Kebangsaan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma.
Kartohadiprodjo, Soediman, 2010, Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Yogyakarta:
Gatra Pustaka.
Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna. Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Mahkamah Konstitusi RI, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi, “Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-Undang”, https:// mkri.
id/index.php?page=web.RekapPUU&menu=5, diakses pada Tanggal 29 April 2016, Pukul 14.00
WIB.
Martitah, 2013, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positive Legislature, Jakarta:
Konpress.
MD, Moh. Mahfud, 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen, Jakarta: LP3ES.
___________________, 1999, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi , Jakarta: LP3ES.
Pimpinan MPR dan TIM Kerja Sosialisai MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: Sekretariat MPR.
Purawan, Akhmad Adi, “Korupsi Legislasi dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan”, Jurnal Rechtsvinding, Vol. 3 No. 3 Desember 2014.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ranadireksa, Hendarmin, 2013, Dinamika Konstitusi Indonesia, Bandung: Fokusmedia.
Rimdan, 2013, Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi, Jakarta: Kencana, Jakarta.
Sagalane, Andra Bani, “Implementasi dan Implikasi Sosialisasi Empat Pilar Berbangsa dan
Bernegara Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Legalitas, Vol. 9 No. 1 Januari 2015.
Samsul, Inosentius, 2009, Laporan Akhir Pengkajian Hukum tentang Putusan Mahkamah Konstitusi,
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI.
Setijo, Pandji, 2009, Pendidikan Pancasila, Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa, Jakarta: Gramedia.
Soeroso, Fajar Laksono, “Pembangkangan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi: Kajian
Putusan Nomor 153/G/2011/PTUN_JKT” Jurnal Yudisial Komisi Yudisial, Vol.6 No.3
Desember Tahun 2013.
Sutiyoso, Bambang, “Putusan Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya Terhadap Pencari
Keadilan”, Jurnal Hukum, Vol.15, No.3, Juli Tahun 2018.
Syahrizal, Ahmad, "Problem lmplementasi Putusan MK" Jurnal Konstitusi, Volume 4 Nomor I,
Maret 2007.
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, 2010, Jakarta: Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Usman, Anwar, “Bentuk-Bentuk Intervensi Terhadap Independensi Kekuasaan Kehakiman”
Desertasi, Program Doktor Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Tahun
2010.
Wibowo, Mardian, “Menakar Konstitusionalitas sebuah Kebijakan Hukum Terbuka
dalam Pengujian Undang-Undang”, Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 2, Juni 2015.
Abstract
The problems discussed in this paper were; 1) why the Pancasila (the five
Indonesian National Principles) values had not been fully understood and acted in
the Indonesian, 2) how Pancasila Values could be revitalised so that it could be
characteristically internalised in the daily society activities. Based on the deep
review from some theories, the conclusions were: 1) the tentative manners were
the main problems of unimplemented Pancasila values in the most Indonesian. 2)
The Pancasila values must be revitalised trough seriously dissemination process
with the appropriate strategies and scientifically instead of doctrine. Every effort
of Pancasila values internalisations must use persuasion approach.
Keywords : Pancasila values, Philosophy, Nation
Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol 26, No.2, Desember 2016, ISSN:1412-3835
106
berpikir pendek, sikat dulu urusan Permasalahan yang muncul dalam
belakang, mereka menjadi budak tulisan ini adalah:
industri dunia maya, sehingga para Mengapa nilai-nilai Pancasila
remaja asik dengan dirinya sendiri belum sepenuhnya dapat diamalkan
dalam permainan games on line, dalam kehidupan bermasyarakat,
pornografi dan lain sebagainya. Hal berbangsa dan bernegara Indonesia?
ini membuat generasi muda pasif, Bagaimana Nilai-nilai Pancasila
reksioner negatif, dan tidak kreatif dapat direvitalisasi agar dapat
positif. diamalkan dalam kehidupan
Terlalu banyak para pemimpin bermasyarakat, berbangsa dan
atau tokoh politik, para profesional bernegara yang berkarakter?
dan bisnis telah meninggalkan etika,
menghalalkan cara demi tujuan. ARGUMEN TEORITIS
Banyak fakta yang membuktikan Gejala dalam masyarakat di atas
perilaku pemimpin kita yang menurut Pat Duffy Hutcheon
mengabaikan nilai dan etika disegala sebagaimana dinyatakaannya di
bidang seperti: bidang politik para bawah ini:
politisi kita banyak yang There is a dawning
mengabaikan etika berpolitik, dalam recognition among ordinary
bidang ekonomi, sudah bukan people that something is
rahasia lagi para pembisnis dreadfully wrong in modern
melanggar etika bisnis; dalam bidang industrial society. We are
sosial sudah terlalu banyak para destroying our earthly home.
tokoh, para remaja, bahkan awam Too many of our habitual
yang mengabaikan etika sosial, tidak behaviors contribute to the
ada lagi sopan dan santun dalam degradation of our physical
pergaulan sehari-hari, semua surroundings and the
dihitung pada keuntungan materi disappearance of valuable forms
semata. of life. We are losing control of
Gejala di atas melahirkan our lives. Too many people from
pertanyaan, bahwa Apakah gejala all walks of life are abusing
perilaku masyarakat mengisyaratkan drugs. We are losing control of
nilai-nilai kehidupan yang menjadi our cities. Too many of our
landasan moral etik sudah tidak ada. streets have become dangerous
Secara sosiologis, setiap masyarakat places where predators lurk in
memiliki tata nilai mereka sendiri. the dark and pre-adolescents are
Secara kebangsaan, Indonesia masih encouraged to sell their
tetap berlandaskan nilai-nilai unformed bodies in return for
Pancasila sebagai dasar falsafah drugs. We are losing control of
bangsa, sebagai way of life , namun our offspring. Too many
kenyataannya nilai-nilai Pancasila children prey on one another,
belum mencerminkan karakter dan with guns and knives. Too many
perilaku kehidupan bermasyarakat babies are being born to unwed
dan berbangsa tidak sesuai antara teen-aged mothers. We are
dass sollen dan dass sein antara losing the precious core of
idealisnya dengan kenyataannya. values necessary for keeping any
Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol 26, No.2, Desember 2016, ISSN:1412-3835
107
society workable. Too many Gejala tersebut di atas
youngsters cheat and break the sebenarnya dapat berpangkal pada
law without compunction. Too kegagalan dalam proses
many of our news media make pembangunan karakter banga.
heroes of ruthless commercial Hutcheon,1999) menyatakan:
exploiters and serial murderers. “In the face of all this it may
Too many of our political seem trite to say that it all comes
leaders and professional and down to a matter of character,
business people have abandoned and how that character is
ethics (Hutcheon,1999:1). formed, and to a matter of
culture, and how that culture is
Eric Fromm menyatakan bahwa formed. But it is true. Character
perkembangan Eropa sebagai and culture are what it is all
perkembangan peradaban modern, about. Until we understand what
yang berpangkal pada timbulnya it means to be a human being
kebebasan (freedom) yang terjadi capable of acquiring a character
pada level individu maupun and participating in and
masyarakat (Budimansyah,2010:14). contributing to a culture, ..........”
Lebih lanjut From menyatakan
bahwa pada level individu kebebasan Pernyatan Hutcheon di atas
itu diawali timbulnya “diri” (self) walau mungkin pernyataan klise,
dalam proses individuasi sejak lahir, bahwa itu semua bermuara pada soal
sedang pada level masyarakat, kebe- karakter, dan bagaimana karakter
basan menentukan perkembangan yang terbentuk, dan masalah budaya,
kepribadian melalui proses dan bagaimana budaya terbentuk.
individuasi sepanjang sejarah, seperti Tapi itu memang benar, itulah
yang dialami masyarakat Barat kenyataannya. Semua tentang
sebagai hasil perjuangan kebebasan Karakter dan budaya sehingga kita
individu Budiman,201). Kebebasan
memahami apa artinya menjadi
Individu dalam dimensi masyarakat manusia yang cakap memiliki
mengakibatkan lepasnya ikatan- karakter dalam/dan berpartisipasi
ikatan nilai dalam masyarakat atau dalam dan memberikan kontribusi
kelompok. Lepasnya individu den- untuk berbudaya. Penulis sependapat
gan nilai-nilai kemasyarakatannya bahwa persoalan yang dihadapi
berakibat pada munculnya pribadi bangsa Indonesia dalam kontek krisis
anggota masyarakat yang mengalami peradaban di atas lebih karena
gangguan kejiwaan seperti: bangsa Indonesia sudah atau sedang
kegelisaan (anxiety), perasaan mengalami krisis atau degradasi
kesendirian (aloneness). Perasaan karakter bangsa.
tercabut dari akar kemasyarakat,
berkembangnya perasaan saling
Membangun Karakter Bangsa
curiga, negative prejudice dengan
Indonesia
orang lain atau kelompok lain yang Membangun karakter bangsa
berujung pada saling permusuhan sebenarnya sudah terpikirkan oleh
(hostility). bangsa Indonesia melalui para the
founding father nya jauh sebelum
Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol 26, No.2, Desember 2016, ISSN:1412-3835
108
bangsa Indoensia merdeka. Bung atau character. Pengetahuan
Karno amat sering menyampaikan kewarganegaraan berkenaan dengan
pentingnya membangun karakter apa yang seharusnya diketahui oleh
bangsa (nation character building). seorang warganegara mengenai
Awal rintisan membangun bangsa negaranya seperti kehidupan politik,
Indonesia sebelum sumpah pemuda undang-undang kewarganegaraan,
28 Oktober 1928 dalam lagu pemerintahan, konstitusi dan
kebangsaan hasil gubahan WR seterusnya. Kecakapan kewarga-
Supratman Indonesia raya negaraan berkenaan dengan
menyatakan bahwa Indonesia Raya kecakapan intelektual, kecakapan
dapat dibangun melalui membangun emosional dan kecakapan spiritual.
jiwanya. Simaklah bunyi syair lagu Sedang watak kewarganegaraan atau
Indonesia Raya “bangunlah jiwanya, karakter kewarganegaraan/ bangsa
bangunlah badannya untuk Indonesia berkenaan dengan nilai-nilai unik
Raya”. Syair lagu kebangsaan yang terinternalisasi dan terintegrasi
Indonesia Raya tersebut tidak cukup dalam diri seseorang yang melandasi
cuma dinyanyikaan melainkan dan mengarahkan sikap dan
ditindak lanjuti dengan aksi tindakannya sehingga termini-
membangun bangsa ini mulai dari festasikan dalam perilaku seseorang
membangun Jiwa atau karakter warganegara. Nilai-nilai unik
Bangsanya. Namun, yang terjadi tersebut dari berasal dari nilai
pada bangsa Indonesia dalam budaya, ajaran agama, atau dasar
pembangunannya justru dimulai dan filsafat yang dimiliki dan disepakati
menitik beratkan pada aspek fisik oleh bangsa tersebut.
material. Dan tidak aneh kalau Furqon (2010:12-13), menulis
hasilnya adalah lahirnya anak-anak dalam bukunya Pendidikan Karakter
bangsa yang berorientasi pada faktor membangun peradaban bangsa
fisik material, individualistis. Hal ini bahwa karakter adalah kualitas
tercermin dalam kurikulum mental atau moral, kekuatan moral,
Pendidikan Nasional, bahkan dalam nam, reputasi; sifat-sifat kejiwaan,
Ujian Nasionalnya. Artinya, walau akhlak atau budi pekerti yang
amanat para pendiri bangsa membedakan dari orang lain; watak,
mengedepankan pembangunan tabi’at, mempunyai kepribadian.
karakter bangsa, namun yang Lebih lanjut menurut Furqon,
dilakukan bangsa ini justru aspek seseorang berkarakter jika telah
fisik material. berhasil menyerap nilai dan
keyakinan yang dikehendaki
Pengertian dan Konsep Mem- masyaarakat serta digunakan sebagai
bangun Karakter Bangsa kekuatan moral dalam hidupnya
Berdasarkan perspektif (Furqon,2010). Dalam kontek
pendidikan kewarganegaraan dikenal karakter bangsa, maka kualitas
tiga kompetensi yaitu: pengetahuan mental atau moral, kekuatan moral
kewarganegaraan (civic knowledge), seseorang warga bangsa mampu
kecakapan kewarganegaraan (civic berperilaku berbasis nilai dasar
skill), dan watak kewarganegaraan / bangsa dalam wujud kegiatan hidup
civic disposition(Budimansyah,2010) dan kehidupan bermasyarakat,
Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol 26, No.2, Desember 2016, ISSN:1412-3835
109
berbangsa dan bernegara Indonesia Berkenaan dengan tema atau
di segala bidang.. topik di atas, sudah barang tentu
Oleh karena itu membangun sasaran pembahasan di sini adalah
karakter bangsa merupakan proses Pancasila sebagai dasar falsafah
internalisasi nilai-nilai kehidupan bangsa dan negara Indonesia sebagai
luhur bangsa indonesia ke dalam acuan yang akan direvitalisasi untuk
jiwa setiap warga bangsa Indonesia membangun karakter bangsa.
sehingga nilai-nilai tersebut Namun, persoalannya adalah
terwejantahkan / termanifestasi bagaimana Pancasila di derivasi
dalam perilaku bagi pribadi masing- dalam implementasinya bagi
masing dan dan bagi kehidupan pembentukan karakter bangsa
bersama bermasyarakat, berbangsa, tersebut. Banyak pendapat dan
dan bernegara Indonesia. Dalam hal pemahaman dikalangan para tokoh
ini, Hutcheon menyatakan: bangsa ini mengenai Pancasila. Baik
‘‘Where does character come dari aspek sejarah, politik, yuridis,
from?’’ The search for answers maupun aspek kultural. Oleh karena
takes us into the sources of menyepakati lebih dahulu konsep
popular beliefs about whether or revitalisasi Pancasila sebagai dasar
not people learn to be sinners or falsafah negara Indonesia harus
saints. Religious and dilakukan secara terbuka namun
philosophical world views that berada dalam koridor staatsside yang
imply an ethical role for humans digagas oleh para pendiri negara
in the yang menginginkan Dasar falsafah
universe.................(Hutcheon,19 Pancasila sebagai dasar pemikiran
99) (Dari mana karakter berasal? filsafati dalam membangun
Mencari jawaban membawa kita masyarakat, bangsa dan negara
ke dalam sumber keyakinan Indonesia baik untuk kekinian
populer tentang apakah atau maupun untuk masa depan bangsa
tidak orang belajar untuk dan negara Indonesia.
menjadi orang berdosa atau
orang-orang suci Pandangan Mencari jabaran Pancasila dan
dunia keagamaan dan filosofis Implementasinya.
yang menyiratkan peran etis
untuk manusia di alam Menjabarkan Pancasila ke dalam
semesta.......) implementasinya untuk membangun
karakter bangsa adalah bagian upaya
Sedang menurut Dasim, karakter merevitalisasi Pancasila ke dalam
secara koheren memancar dari hasil bentuk fungsional dalam membentuk
olah pikir, olah hati, olah rasa, dan karakter bangsa Indonesia. Dengan
oleh karsa, serta olah raga yang kata lain menjadikan Pancasila
mengandung nilai, kemampuan, sebagai paradigma karakter bangsa.
kapasitas moral, dan ketegaran dalam Keberadaan Pancasila dapat dilihat
menghadapi kesulitan dan tantangan dari dua sudut, pertama secara hitoris
(Budimansyah,1999). dan secara kultural. Kaelan yang
mengutip pendapat Notonagoro
menyatakan bahwa “Secara historis
Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol 26, No.2, Desember 2016, ISSN:1412-3835
110
Pancasila adalah merupakan suatu Ralp Linton, dan Abraham Kardiner
pandangan hidup bangsa yang nilai- dalam Anthropology to Day, disebut
nilainya sudah ada sebelum secara sebagai National Character.
yuridis bangsa Indonesia membentuk Selanjutnya Linton lebih condong
negara. Bangsa Indonesia secara dengan istilah Peoples Character,
historis ditakdirkan oleh Tuhan atau dalam suatu negara disebut
YME, berkembang melalui suatu sebagai National Identity
proses dan menemukan bentuknya (Kaelan,2011) , sehingga nilai-nilai
sebagai suatu bangsa dengan jati- kebudayaan dan nilai religius yang
dirinya sendiri. Secara kultural telah ada pada bangsa Indonesia,
dasar-dasar pemikiran tentang kemudian dibahas dan dirumuskan
Pancasila dan nilai-nilai Pancasila oleh the founding fathers bangsa
berakar pada nilai-nilai kebudayaan Indonesia, yang kemudian disepakati
dan nilai-nilai religius yang dimiliki dalam suatu konsensus sebagai dasar
oleh bangsa Indonesia sendiri hidup bersama dalam suatu negara
sebelum mendirikan negara” Indonesia.
(Kaelan,2011:8).
Nilai-nilai Pancasila sebelum Sebagai dasar falsafah,
terbentuknya negara dan bangsa Pancasila yang merupakan suatu
Indonesia pada dasarnya terdapat pilihan bangsa Indonesia melalui The
secara sporadis dan fragmentaris Founding Fathers adalah core
dalam kebudayaan bangsa yang philosophy bangsa Indonesia, bahwa
tersebar di seluruh kepaulauan dalam hidup kenegaraan dan
nusantara baik pada abad kedua kebangsaan Pancasila sebagai dasar
puluh maupun sebelumnya, di mana filsafat negara yang secara yuridis
masyarakat Indonesia telah tercantum dalam tertib hukum
mendapatkan kesempatan untuk Indonesia, yaitu dalam Pembukaan
berkomunikasi dan berakulturasi UUD 1945. Oleh karena itu nilai-
dengan kebudayaan lain. Nilai-nilai nilai Pancasila adalah sebagai
tersebut merupakan suatu local sumber nilai dalam realisasi normatif
genius dan sekaligus sebagai suatu dan praksis dalam kehidupan
local wisdom bangsa kenegaraan dan kebangsaan. Dalam
Indonesia(Kaelan,2011) yang pengertian seperti ini nilai-nilai
kemudian disintesiskan secara Pancasila merupakan das sollen bagi
dialektis kemudian dituangkan ke bangsa Indonesia, sehingga seluruh
dalam sebuah dasar negara yang derivasi normatif dan praksis
sering disebut sebagai dasar falsafah berbasis pada nilai-nilai
negara (staats philosofiche Pancasila(Kaelan,2007:10). Dalam
grondslag). kedudukannya yang demikian ini,
maka Pancasila sebagai dasar negara
Pancasila yang sebab yang tercantum dalam Pembukaan
materialnya (causa materialis) UUD 1945, adalah merupakan suatu
bersumber pada bersumber pada cita-cita hukum (Rechtsidee), yang
nilai-nilai budaya bangsa ini, menguasai hukum dasar, baik hukum
menurut Kaelan yang meminjam dasar tertulis maupun hukum dasar
meminjam istilah Margareth Mead, tidak tertulis. Sebagai cita-cita
Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol 26, No.2, Desember 2016, ISSN:1412-3835
111
hukum Pancasila merupakan Dengan demikian membangun
konstruksi pikir yang merupakan karakter bangsa berbasis falsafah
suatu keharusan untuk mengarahkan Pancasila adalah menjadikan nilai-
hukum dan perilaku masyarakat nilai Pancasila tercermin dalam
kepada cita-cita yang diinginkan perilaku hidup dan kehidupan setiap
masyarakat. Oleh karena itu, orang anggota masyarakat. Jika nilai
integritas Pancasila sebagai sistem Pancasila telah terimplementasi
filsafat menjadi asas kerohanian dalam karater setiap orang, secara
bangsa harus dijadikan basis dan inti outmatif membudaya dalam perilaku
dalam membangun karakter bangsa masyarakat bangsa, dan
(nation and haracter building) yang penyelenggara negara.
sinergi dengan sistem pembangunan
nasional(Syam,2009). Persoalannya adalah,
bagaimana wujud kongrit nilai-moral
Mengngingat pembangunan Pancasila tersebut yang secara
karakter harus bersifat berlanjut terus universal dapat dilaksanakan. Lima
menerus (sustainable), maka nilai Sila dari Pancasila diderivasikan ke
yang dijadikan paradigma karakter dalam bentuk nilai operasional yang
haruslah nilai (values) yang bersifat secara aplikatif dapat dilaksanakan.
berlanjut. Membangunan karakter Dulu di zaman orba, ada eka persetya
merupakan pembangunan manusia,, pancasikarsa pernah dirinci menjadi
maka sustainable values merupakan tiga puluh enam butir; bahkan juga
core dari pembangunan adalah pernah dirinci menjadi 45 butir.
Pancasila sebagai nillai-nila Secara tentatif, rumusan operasional
kemanusia yang dapat dirumuskan nilai Pancasila dapat saja disusun dan
sebagai debatable.
berikut(Sastraprateja,1998:72):
Sila Ketuhanan Yang Mahaesa,
1. Hormat menghormati dapat dioperasionalkan seperti: setiap
terhadap keyakinan regius orang Indonesia seharusnya beriman
orang lain kepada Tuhan Yang Mahaesa, yang
2. Hormat terhadap martabat wujud perilakunya adalah
manusia sebagai pribadi atau menjalankan perintah ajaran
subyek yang tidak boleh agamanya masing, bertoleransi
direduksi sebagai obyek. terhadap orang lain yang menjalani
3. Kesatuan sebagai bangsa ajarannya agamanya. Kemudian
yang mengatasi segala mengamalkaan ajaran agama betul
sektarianisme memberi manfaat baagi kepentingan
4. Nilai-nilai terkait dengan orang lain/banyak. Sila Kemanusian
demokrasi konstitusional yang adil dan beradab, diwujudkan
5. Keadilan sosial persamaan dalam bentuk perilaku yang saling
(equlity) dan (equity) menghargai harkat dan martabat
manusia, kesamaan dalam
Dalam kontek revitalisasi kemasyarakatan dan hukum, saling
Pancasila tersebut, akan lebih efektif mengasihi, dan menyayangi satu
jika terimplementasikan dalam sama lain hingga mewujudkan
bentuk budaya perilaku masyarakat. kondisi yang serasi selaras dalam
Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol 26, No.2, Desember 2016, ISSN:1412-3835
112
masyarakat. Sila Persatuan dalam implementasi manusia sebagai
Indonesia, diwujudkan tiadanya indidu dan masyarakat. Nilai-nilai
diskriminasi individu dan antar Pancasila tersebut perlu
golongan, kesedian bekerjsasama direvitalisasikan melalui proses
untuk kepentingan bersama, deseminasi secara serius dan
bergotong royong, rela berkorban, menggunak strategi metode pendekat
senantiasa sama berupaya yang tepat dan rasional ilmiah, bukan
menciptakan kerukunan, mencitai indoktrinasi. Jangan pernah ada
tanah air dengan cara mencintai unsur pemaksaan, melalinkan
karya bangsa sendiri, dan lain-lain. pendekatan persuasive educkatif
Sila Kerakyatan yang dipimpin leh
hikmat kebijaksanaan dalam Disamping itu, praktek
permusyawaratan/perwakilan. Sila kehidupan dalam segala bidang
itu diwujud ke dalam menyelesaikan tercerminkan dalam etika setiap
masalah dengan musyawarah, orang dan kelompok. Misal nilai
demokrasi substansial, dan tidak kejujuran adalah selaras dengan Nilai
memaksakan kehendak, dan Pancasila. Oleh karena itu dalam
seterusnya. Sila keadilan sosial bagi bidang politik, maka etika politik
seluruh rakyat Indonesia, diwujudkan melahirkan perilaku politik yang
dalam bentuk perilaku menghargai jujur. Dalam bidang ekonomi, jujur
hak orang lain, karya cipta orang dalam berbisnis, dalam sosial jujur
lain, mengedepankan kewajiban sehingga dapat dipercai oleh sesama,
kemudian hak yang dilaksanakan dalam bidang hukum, jujur dalam
secara seimbang. penegaakan hukum, maka tercegah
mafia hukum, dalam bidang hankam,
Sekali lagi bentuk perilaku di bahwa jujur melahirkan kepercayaan
atas masih bersifat tentatif, dan dapat masyarakat pada penegak hukum,
dirinci lebih detil lagi sehingga betul- dan seterusnya.
betul menjadi pedoman perilaku
sebagai kaarakter setiap anak bangsa. Tuntunan operasional tersebut
Dalam implementasinya, pedoman di atas perlu dikaji secara bersama
tersebut harus bersifat penuntun dan terbuka sehingga hasil rumusan
perilaku bukan perilaku paksaan, operasional nilai Pancsila dapat
harus bersifat manusia, sesuai diterima oleh semua laapisan
dengan kodrat manusia, serta selaras masyarakat bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Budimansyah, Dasim, 2010, Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan untuk
Membangun Karakter Bangsa, Bandung: Widya Aksara Press.,
Furqon Hidayatullah, 2010, Pendidikan Karakter Membangun Peradaban
Bangsa,Surakarta: UNS Press.
Hutcheon, Pat Duffy, 1999, Building Character dan Culture, London:
Greenwood Publishing Group, Inc.
Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol 26, No.2, Desember 2016, ISSN:1412-3835
113
Kaelan, 2011, Fungsi ancasila sebagai Paradigma Hukum dalam Menegakkan
Konstitusionalitas Indonesia, Yogyakarta: Sarasehan Nasional Pancasila,
Mahkamah Konstitusi RI dan Universitas Gajah Mada, 2-3 Mei 2011
Kaelan, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma, Yogyakarta.
Sastraprateja, M., 1998, Pancasila sebagai Etos Pembangunan Nasional, Jurnal
Filsafat Pancasila: Nasionalisme dala m Perspektif Historis, Politis,
Yuridis, dan Filosofis, Yogyakarta:Pusat Studi Pancasila Univesitas
Gajah Mada
Syam, Mohammad Noor, 2009, Sistem Filsafat Pancasila (Tegak sebagai sistem
Kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 1945, dalam Kongres
Pancasila: Pancasila dalam berbagai Perspektif, Jakarta: Setjend MK RI
Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol 26, No.2, Desember 2016, ISSN:1412-3835
114
VOLUME 5 NO. 2 Februari 2015-Juli 2015 JURNAL ILMU HUKUM
OKSEP ADHAYANTO
Dosen Fakultas Hukum Universitas Raja Ali Haji
Abstrak Abstract
Sebagai dasar Negara (ground norm)-nya As a basis for the ground norm of
bangsa Indonesia, Pancasila telah terbukti Indonesia, Pancasila has been proven
sebagai salah satu media pemersatu dalam as one of the media unifying role in
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan the life of society, nation and state in
bernegara di Indonesia. Melalui kelima sila Indonesia. Through five precepts
yang terkandung didalam Pancasila, contained in Pancasila, in the
menjadikan pondasi kehidupan bernegara foundation of the state of life in
di Indonesia menjadi kokoh terhadap Indonesia is established against the
ancaman yang datang baik dari luar threat that comes both from outside
maupun dari dalam. Dalam konteks hukum, and from within. In the context of the
khususnya dalam pembentukkan peraturan law, especially in the formation of
perundang-undangan, Pancasila semestinya legislation, Pancasila should be placed
diletakkan dalam wilayah sumber hukum in the area of legal source material
materiil dari pembentukkan peraturan from the formation of legislation.
perundang-undangan. Semestinya, nilai- Supposedly, the values contained in
nilai yang terkandung di dalam Pancasila Pancasila should be explored in more
harus digali secara lebih rinci dalam detail in the discussion of the
pembahasan terhadap landasan filosofis philosophical and sociological
maupun sosiologis dari proses foundation of the process of formation
pembentukkan peraturan perundang- of the legislation.
undangan.
A. Pendahuluan
Negara Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang tentunya
sangat membutuhkan pembinaan dan pengembangan sistem hukum
nasional dalam rangka mendorong dan mendukung pembangunan
disegala bidang. Meminjam istilah Roscoe Pound bahwa “as tool as social
engineering”, maka sesungguhnya pembinaan dan pengembangan hukum
nasional sudah semestinya dapat memberikan arah dan jalan bagi hukum,
masyarakat dan negara untuk saling terkait satu dengan yang lainnya.
Tentunya hal itu dapat terwujud jika semangat dalam pembinaan dan
pengembangan hukum nasional itu dilandasi dengan semangat dan nilai-
1
VOLUME 5 NO. 2 Februari 2015-Juli 2015 JURNAL ILMU HUKUM
B. Pembahasan
1. Pancasila Sebagai Dasar Negara
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 alenia keempat terdapat rumusan Pancasila sebagai
dasar negara Indonesia. Rumusan Pancasila itulah dalam hukum positif
Indonesia secara yuridis-konstitusional sah, berlaku, dan mengikat
seluruh lembaga negara, lembaga masyarakat, dan setiap warga negara,
tanpa kecuali. Rumusan Pancasila yang terdapat pada Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana
pembukaan tersebut sebagai hukum derajat tinggi yang tidak dapat diubah
2
VOLUME 5 NO. 2 Februari 2015-Juli 2015 JURNAL ILMU HUKUM
4 Sekretariat Jenderal MPR RI, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara,
Sekjend MPR RI, Jakarta, 2012, hlm. 87-88.
5 Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, Mandar
3
VOLUME 5 NO. 2 Februari 2015-Juli 2015 JURNAL ILMU HUKUM
4
VOLUME 5 NO. 2 Februari 2015-Juli 2015 JURNAL ILMU HUKUM
7 Cita Hukum mengandung arti bahwa pada hakikatnya hukum sebagai aturan tingkah
laku masyarakat berakar pada gagasan, rasa, karsa, cipta, dan pikiran masyarakat itu
snediri.
8 Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun &
5
VOLUME 5 NO. 2 Februari 2015-Juli 2015 JURNAL ILMU HUKUM
6
VOLUME 5 NO. 2 Februari 2015-Juli 2015 JURNAL ILMU HUKUM
13 W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Darsono, Legislative Drafting: Teori dan Teknik
Pembuatan Peraturan Daerah, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2009, hlm. 90.
14 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-dasar dan
7
VOLUME 5 NO. 2 Februari 2015-Juli 2015 JURNAL ILMU HUKUM
15 , hlm. 164.
8
VOLUME 5 NO. 2 Februari 2015-Juli 2015 JURNAL ILMU HUKUM
9
VOLUME 5 NO. 2 Februari 2015-Juli 2015 JURNAL ILMU HUKUM
10
VOLUME 5 NO. 2 Februari 2015-Juli 2015 JURNAL ILMU HUKUM
C. Penutup
Norma-norma maupun nilai-nilai yang terkandung didalam
Pancasila semestinya dapat dielaborasi dalam bentuk Pasal-pasal dalam
setiap penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga dapat
mencerminkan nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat itu sendiri.
Bukankah “The Founding Father” kita menggali nilai-nilai Pancasila dari
kehidupan masyarakat itu sendiri melalui proses yang panjang. Sehingga
dengan demikian jika Pancasila dijadikan dasar dalam setiap proses
penyusunan peraturan perundang-undangan akan dengan mudah untuk
diterima oleh setiap lapisan masyarakat, karena sesungguhnya nilai-nilai
tersebut merupakan nilai-nilai yang hidup, tumbuh dan berkembang
dimasyarakat itu sendiri.
D. Daftar Pustaka
Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis
Menyusun & Merancang Peraturan Daerah, Kencana, Jakarta,
2009.
Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,
LP3ES, Jakarta. 2006.
11
VOLUME 5 NO. 2 Februari 2015-Juli 2015 JURNAL ILMU HUKUM
12
Sandra Dewi, Andrew Shandy Utama Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
17-PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA INDONESIA SERTA
PERKEMBANGAN IDEOLOGI PANCASILA PADA MASA ORDE
LAMA, ORDE BARU DAN ERA REFORMASI
SANDRA DEWI, ANDREW SHANDY UTAMA
Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning
e-mail: sandra.fh.unilak@gmail.com, andrew.fh.unilak@gmail.com
ABSTRAK
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa sebenarnya merupakan
perwujudan dari nilai-nilai budaya milik bangsa sendiri yang diyakini
kebenarannya. Pancasila digali dari budaya bangsa yang sudah ada, tumbuh,
dan berkembang berabad-abad lamanya. Rumusan masalahnya adalah
bagaimanakah sejarah dan perkembangan Pancasila sebagai ideologi bangsa
Indonesia? Bagaimanakah perkembangan ideologi Pancasila pada masa Orde
Lama? Bagaimanakah perkembangan ideologi Pancasila pada masa Orde
Baru? Bagaimanakah perkembangan ideologi Pancasila pada Era Reformasi?
Pembahasannya adalah pada awalnya, konsep Pancasila dapat dipahami
sebagai common platform bersama bagi berbagai ideologi politik yang
berkembang saat itu di Indonesia. Nilai integratif Pancasila mengandung
makna bahwa Pancasila dijadikan sebagai sarana pemersatu dalam masyarakat
dan prosedur penyelesaian konflik. Pada masa Orde Lama, pada masa Presiden
Soekarno, Pancasila mengalami ideologisasi. Pada masa Orde Baru, pada masa
Presiden Soeharto, bangsa Indonesia kembali menjadikan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara. Era Reformasi yang
diharapkan sebagai era pembaruan memberikan angin segar bagi bangsa
Indonesia. Bangsa Indonesia diharapkan kembali mengamalkan nilai-nilai
luhur Pancasila sebagai pedoman berbangsa dan bernegara. Akan tetapi,
faktanya justru pada Era Reformasi ini bangsa Indonesia dirasakan semakin
jauh dari nilai-nilai luhur Pancasila. Rakyat Indonesia mengalami degradasi
moral dan cenderung liberalis karena pengaruh globalisasi. Tindak pidana
korupsi dilakukan secara terang-terangan seolah-olah telah membudaya di
Indonesia.
Negara Indonesia adalah visi atau arah yang berarti sebagai cita-cita bernegara
Indonesia mengakui adat yang ada di di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi
Indonesia, termasuk pula adat yang berlaku di pusat pemukiman suku Dayak Kalimantan
Kalimantan Tengah yang memiliki falsafah Tengah. Hal inilah yang melandasi adanya
Huma Betang (filosofis) yang berlaku secara Huma Betang bila dilihat dari konteks
sosiologis di masyarakat dan juga berlaku sejarah maka tidaklah heran bahwa Huma
secara yuridis dengan adanya Peraturan Betang itu berdiri dan menjadi rumah bagi
Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor masyarakat Kalimantan Tengah. Mengenai
10 tahun 2010 Tentang Perubahan Atas model bangunan perlu disampaikan bahwa
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Huma Betang menyerupai rumah panggung
Tengah Nomor 16 Tahun 2008 Tentang yang apabila dilihat dari model dan kontruksi
Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan bangunan Huma Betang tersebut tinggi dan
Tengah(1). Adat atau kebiasaan yang terjadi memanjang, secara tidak langsung hal
dalam masyarakat Dayak dan berlaku tersebut merujuk kepada maksud dan tujuan.
berdasarkan pengalaman hidup(13) Secara garis besar tinggi dari pada Huma
masyarakat Dayak membentuk norma atau Betang tersebut berkisar tiga sampai lima
aturan perilaku(7) dengan falsafah Huma meter dari permukaan tanah dan panjang
betang . bangunan diperkirakan mencapai 150 dan
lebar sampai dengan 30 meter(4).
Beberapa penelitian sebelumnya hanya
membahas mengenai Huma Betang dalam Namun betang-betang yang ada di
konteks kehidupan masyarakat dayak(6) Kalimantan Tengah mulai dari tinggi dan
dalam kehidupan sosial, agama dan panjangnya bervariasi artinya setiap betang
budaya(1). Berbeda dengan fokus penelitian yang dibangun tidak sama bila dilihat dari
ini yaitu melihat hubungan dan saling tinggi maupun panjang bangunan Huma
ketergantungan falsafah Huma Betang Betang tersebut tergantung dari pada
mengatur kehidupan masyarakat Dayak dan penghuni. Pada dasarnya ada banyak aspek
merupakan suatu pandangan hidup yang juga yang mendasari Huma Betang tersebut
terkoneksi dengan falsafah Pancasila sebagai khususnya pada masyarakat Dayak Ngaju.
pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Aspek-aspek yang dimaksudkan adalah gejala
alam, hal keamanan dari serangan musuh.
Aspek yang pertama, adanya Huma Betang
II. Metode Penelitian
tersebut yaitu untuk mengantisipasi luapan air
Penelitian ini menggunakan metode hujan atau menghindari datangnya banjir pada
penelitian kualitatif deskriptif dengan musim penghujan yang mengancam daerah-
menggunakan pendekatan empiris dan daerah di hulu sungai di Kalimantan Tengah
normatif melalui penggalian data wawancara karena baik Betang ataupun kehidupan
dan juga telaah terhadap referensi bacaan masyarakat Kalimantan Tengah lebih dekat
berupa buku, hasil penelitian, dan bahan dengan sungai kahayan tempat terjadinya
bacaan yang mendukung lainnya. Data yang rutinitas masyarakat tersebut(11).
dikumpulkan kemudian direkduksi dan
diambil konklusi sebagai bahan analisis. Kedua dilihat dari aspek keamanan yang
Adapun analisis yang digunakan yaitu analisis terbagi atas dua yaitu menghindari dari
kualitatif dari data yang telah diolah, pertama serangan musuh atau dikenal dengan
falsafah Huma Betang pada masyarakat dayak asang/kayau dengan ancaman dari serangan
Kalimantan Tengah, kedua hubungan nilai- binatang buas yang ingin memangsa. Lebih
nilai Huma Betang dengan falsafah dari pada itu Huma Betang adalah tempat
Pancasila, dan ketiga interkoneksi nilai-nilai bernaungnya puluhan bahkan ratusan kepala
Huma Betang dengan falsafah Pancasila. keluarga yang hidup dalam satu wadah Huma
Betang itu sendiri yang di bagi hanya dengan
pembatas yang dapat juga dikatakan dengan
III. Hasil dan Pembahasan sekat sebagai pembatas antara keluarga yang
1. Falsafah Huma betang pada satu dengan keluarga yang lain. Namun
Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah walaupun demikian halnya dalam Huma
Betang tersebut setiap kehidupan yang
Huma Betang adalah rumah adat khas
terjalin dari pada para penghuni-penghuni
yang dihuni oleh masyarakat Dayak terutama
Huma Betang tersebut aman, damai dan
Ibnu Elmi AS Pelu.al (Nilai-Nilai Huma betang ) ISSN: 1829-8257; E ISSN: 2540-8232
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 121
Vol. 14, No. 02, Desember 2018, p. 119-126
tentram sekalipun dalam perbedaan yang lain. Contohnya dalam Huma Betang
berbeda-beda antara satu dengan yang lain. yang berbeda Agama satu sama lain(4).
Inilah lah yang sekiranya tentang Huma
Nilai-nilai dalam Huma betang ini terlihat
Betang apabila ditinjau sekilas, namun yang
dalam falsafah Belom Bahadat (hidup
unik pada Huma Betang ini tidak hanya
beradat) dan semangat isen mulang.
sekedar mengetahui apa itu Huma Betang
Pengertian dari Belom Bahadat adalah dalam
akan tetapi bila diperdalam maka akan
kehidupan sehari-hari masyarakat Kalimantan
banyak ditemukan hal-hal yang berkaitan erat
Tengah khususnya Dayak Ngaju, adat istiadat
dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam
mengajarkan bahwa setiap orang harus Belom
Huma Betang tersebut. Untuk mengetahui
Bahadat artinya “Hidup Beradat”. Ketentuan
nilai-nilai apa saja yang terkandung dalam
Belom Bahadat tersebut berlaku bagi setiap
Huma Betang tersebut maka tentu saja tidak
insan, yang diajarkan mulai dari masa anak-
sampai disini.
anak, masa remaja, masa akil balig/pemuda.
Nilai-nilai apa saja yang terkandung di Belom Bahadat juga dituntut kepada orang
dalam Huma Betang tersebut maka terlebih dewasa atau terhadap mereka yang kaya atau
dahulu menurut penulis harus diketahui apa miskin maupun terhadap mereka yang
yang dimaksud dengan filosofi. Filosofi berpangkat atau warga masyarakat biasa(4).
merupakan suatu kebenaran yang dianggap
Selain berfungsi sebagai rumah adat,
benar. Untuk diketahui bahwa filosofi Huma
Huma Betang memiliki filosofi kehidupan
Betang (Rumah Betang) di Kalimantan
yang sangat dalam dan mendasar bagi
Tengah sangat menjunjung tinggi perdamaian
masyarakat Dayak. Filosofi Huma Betang
dan anti-kekerasan serta hidup toleransi yang
diantaranya adalah :
tinggi antar-umat beragama(4). Lebih
spesifiknya nilai-nilai yang terkandung di a. Hidup Rukun dan Damai Walau Terdapat
dalam Huma betang tersebut melingkupi Banyak Perbedaan
empat pilar yaitu kebersamaan, kejujuran, Huma betang dihuni oleh 1 keluarga
kesetaraan, dan sikap saling menghargai satu besar yang terdiri dari berbagai agama dan
sama lain (toleransi)(9). kepercayaan, namun mereka selalu hidup
Empat pilardalam Huma Betang yaitu rukun dan damai.Perbedaan yang ada tidak
sebagai berikut: dijadikan alat pemecah diantara mereka.
Seiring dengan berkembangnya zaman,
a. Nilai kebersamaan adalah sikap saling
masyarakat Dayak sudah mulai meninggalkan
bergotong royong. Contohnya dalam
rumah adatnya dan beralih kepada tempat
menjaga dan memelihara Huma betang
tinggal yang lebih modern. Walaupun
dan dalam mengerjakan pekerjaan ladang
demikian keharmonisan tidak hanya terjadi di
menanam padi (menanam parei).
Huma Betang. Seluruh masyarakat
b. Nilai kejujuran adalah sikap yang baik Kalimantan Tengahselalu menjaga
artinya tidak ada kebohongan didalamnya keharmonisan itu dengan cara saling hormat
atau dengan kata lain dengan tidak menghormati dan juga sikap toleransi(5).
berbohong kepada orang lain baik dari hal
b. Bergotong Royong
yang kecil sampai hal yang besar.
Contohnya bila seseorang bertanya siapa Perbedaan yang ada tidak membuat
nama anda? Maka harus dijawab dengan penghuni Huma Betang memikirkan
jujur. kelompoknya sendiri. Mereka selalu bahu-
membahu dalam melakukan sesuatu,
c. Nilai kesetaraan adalah sikap dalam hal
misalnya apabila ada kerusakan di Huma
kesederajatan yang sama antara satu
Betang. Mereka bersama-sama
dengan yang lain. Contohnya dimana
memperbaikinya, tidak memandang agama
dalam Huma Betang tersebut mempunyai
ataupun suku. Tidak hanya di Huma Betang,
hak dan kewajiban yang sama antara satu
Seluruh masyarakat Kalimantan Tengah
dengan yang lain.
diharapkan juga bahu-membahu dalam
d. Toleransi adalah sikap menghargai membangun daerahnya tidak memandang
perbedaan atau pun latar belakang orang suku bahkan agama(5).
ISSN: 1829-8257; E ISSN: 2540-8232 Ibnu Elmi AS Pelu.al (Nilai-Nilai Huma betang )
122 Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Vol. 14, No. 02, Desember 2018, p. 119-126
Ibnu Elmi AS Pelu.al (Nilai-Nilai Huma betang ) ISSN: 1829-8257; E ISSN: 2540-8232
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 123
Vol. 14, No. 02, Desember 2018, p. 119-126
ISSN: 1829-8257; E ISSN: 2540-8232 Ibnu Elmi AS Pelu.al (Nilai-Nilai Huma betang )
124 Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Vol. 14, No. 02, Desember 2018, p. 119-126
Pancasila ini merupakan suatu pandangan sebagai sesama manusia, yang memiliki
hidup yang telah diyakini bangsa Indonesia martabat mulia, dan hak-hak serta kewajiban
sebagai suatu kebenaran oleh karena itu asasi. Dengan kata lain sikap untuk
dijadikan falsafah hidup bangsa. Begitu pula menjunjung tinggi martabat dan hak-hak
dengan falsafah hidup masyarakat Dayak kemanusian dan nilai keseteraan yang
yaitu Huma Betang, terdapat beberapa menunjukkan tidak adanya perlakuan
hubungan yang dapat diaktualisasikan dan diskriminatif walaupun dari suku, agama, ras,
membentuk hubungan antara nilai-nilai Huma dan golongan yang berbeda. Dalam hal ini
Betang dengan falsafah Pancasila dengan manusia harus dilihat dari sisi
adanya kesaling-terkaitan (interkoneksi)(2) kemanusiaannya bukan dari simbol-simbol
meliputi nilai untuk hidup saling tolong yang dimilikinya, Seperti:
menolong atau semangat gotong royong,
1) Mengembangkan sikap tenggang rasa dan
rukun, saling menjaga keamanan dan
tepa selira.
pertahan serta saling menghargai dan
memberi kebebasan beragama(13), dalam 2) Menjunjung tinggi nilai-nilai
konteks kehidupan bermasyarakat dan kemanusiaan.
bernegara yaitu: 3) Berani membela kebenaran dan keadilan.
a. Ketuhanan Yang Maha Esa Sesuai dengan landasan hidup masyarakat
Kalimantan Tengah yaitu Kayu Pampang
Sila pertama menuntut masing-masing
Seribu (harus pintar harati).
warga negara Indonesia untuk mengakui
Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta dan c. Persatuan Indonesia
tujuan akhir baik dalam hati maupun dalam Sila ke-tiga, menumbuhkan sikap
perilaku sehari-hari. Konsekuensinya adalah masyarakat untuk mencintai tanah air, bangsa,
Pancasila menuntut masing-masing umat dan negara Indonesia, ikut memperjuangkan
beragama dan berkepercayaan untuk hidup kepentingan-kepentingan nasional dan loyal
rukun dan saling menghormati walaupun terhadap sesama warga negara. Sila ini
berbeda-berbeda keyakinannya. Hal ini mengandung nilai persatuan, nilai perjuangan,
merupakan nilai ketuhanan dan dan semangat nasionalisme (ke-Indonesiaan).
kemasyarakatan yang harus dimanifestasikan Contoh prilaku yang sesuai dengan sila ini
dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya: seperti:
1) Membina kerukunan hidup di antara sesama 1) Sanggup dan rela berkorban untuk
umat beragama dan kepercayaan terhadap kepentingan negara dan bangsa apabila
Tuhan Yang Maha Esa. Masyakarat Dayak diperlukan.
Kalimantan Tengah menjunjung tinggi
toleransi keberagaman agama, hal ini 2) Mengembangkan rasa cinta kepada tanah
terlihat dengan rumah ibadah yang air dan bangsa.
berdampingan dan saling menghormati 3) Mengembangkan sikap persatuan atas
pelaksanaan ibadah agama masing-masing. dasar Bhineka Tunggal Ika. Sesuai dengan
2) Tidak memaksakan suatu agama dan motto hidup masyarakat Kalimantan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang maha Tengah yaitu Isen Mulang (pantang
Esa. Sesuai dengan landasan hidup mundur).
masyarakat Kalimantan Tengah yaitu Kayu d. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Gamalang Nyahu, (umat manusia harus Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan
beragama, percaya kepada Tuhan). /Perwakilan
Masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah
menganut berbagai macam agama 1) Sila ke-empat mengajak masyarakat untuk
(pluralisme), seperti Islam, Kristen, Hindu, bersikap peka dan ikut serta dalam
Katolik, Kaharingan (agama leluhur), dan kehidupan politik serta pemerintahan
agama lainnya yang diakui. negara, setidaknya secara tidak langsung,
bersama dengan sesama warga atas dasar
b. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab persamaan tanggung jawab sesuai dengan
Sila ke-dua mengajak masyarakat untuk kedudukannya masing-masing. Sila ini
mengakui dan memperlakukan setiap orang mengandung nilai-nilai kemasyarakatan,
Ibnu Elmi AS Pelu.al (Nilai-Nilai Huma betang ) ISSN: 1829-8257; E ISSN: 2540-8232
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 125
Vol. 14, No. 02, Desember 2018, p. 119-126
ISSN: 1829-8257; E ISSN: 2540-8232 Ibnu Elmi AS Pelu.al (Nilai-Nilai Huma betang )
126 Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Vol. 14, No. 02, Desember 2018, p. 119-126
Epep Tuah Rawai, Hukum Adat Dayak 11. Nila Riwut. Maneser Panatau Tatu Hiang
Kedamangan Kecamatan Bukit Batu Kota (Menyelami Kekayaan Leluhur). Palangka
Palangka Raya Kalimantan Tengah, 2015. Raya: Pustaka Lima, 2003.
5. Farada. Budayawan Kalimantan Tengah. 12. Riswanto D, Mappiare-AT A, Irtadji M.
2015. Kompetensi Multikultural Konselor Pada
Kebudayaan Suku Dayak Kalimantan
6. Gita Anggraini. Internalisasi Nilai-Nilai
Tengah. Jomsign: Journal of Multicultural
Pendidikan. At-Turats Jurnal Pendidikan
Studies in Guidance and Counseling 1: 215–
Pemikiran Islam 10, 2016.
226, 2017.
7. Hans Kelsen. Teori Konstitusi. Bandung:
13. Satjipto Rahardjo. Penegakan Hukum
Yapemdo, 2010.
Progresif. Jakarta: Kompas Gramedia
8. Lambertus Elbar. Struktur Bahasa Sangen. Nusantara, 2010.
Jakarta: Pusat Pengembangan Bahasa
14. Tjilik Riwut. Kalimantan Membangun Alam
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
dan Kebudayaan. Yogyakarta: NR
1986.
Publishing, 2007.
9. M. Norsanie Darlan. Pembangunan Daerah
15. Usop TB. Kearifan Lokal dalam Arsitektur
Berbasis Kearifan Lokal (Huma betang ).
Kalimantan Tengah Yang
Aquarius Hotel Palangka Raya: M. Norsanie
Berkesinambungan. 6: 8, 2011.
Darlan. Pembangunan Daerah Seminar
Nasional yang disenggarakan Majelis 15. Yosia Nugrahaningsih. Proses Komunikasi
Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI) bekerja Masyarakat Dayak Ngaju Dalam Rangka
sama dengan Universitas Muhammadiyah Melestarikan Nilai-Nilai Hidup Huma betang
Palangka Raya (UMP), 2012. Studi di lingkungan masyarakat Dayak Ngaju
di Desa Buntoi KaliPascasarjana Program
10. Maresty E, Zamroni Z. Analisis nilai-nilai
Studi Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas
budaya Huma Betang dalam pembinaan
Maret: 2013.
persatuan kesatuan bangsa siswa SMA di
Kalimantan Tengah. Harmoni Sosial: Jurnal
Pendidikan IPS 4: 67–79, 2017.
Ibnu Elmi AS Pelu.al (Nilai-Nilai Huma betang ) ISSN: 1829-8257; E ISSN: 2540-8232
PENDIDIKAN PANCASILA
Bangsa Indonesia yang penuh kebhinekaan terdiri atas lebih dari 300 suku bangsa
yang tersebar di lebih dari 17.000 pulau, secara sosiologis telah mempraktikan Pancasila
karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan kenyataan-kenyataan
(materil, formal, dan fungsional) yang ada dalam masyarakat Indonesia. Kenyataan
objektif ini menjadikan Pancasila sebagai dasar yang mengikat setiap warga bangsa untuk
taat pada nilai-nilai instrumental yang berupa norma atau hukum tertulis (peraturan
perundang-undangan, yurisprudensi, dan traktat) maupun yang tidak tertulis seperti adat
istiadat, kesepakatan atau kesepahaman, dan konvensi.
Pancasila sebagai norma dasar negara dan dasar negara Republik Indonesia yang
berlaku adalah Pancasila yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (Pembukaan UUD NRI Tahun 1945) junctis Keputusan
Presiden RI Nomor 150 Tahun 1959 mengenai Dekrit Presiden RI/Panglima Tertinggi
Angkatan Perang Tentang Kembali Kepada Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Naskah Pembukaan UUD NRI 1945 yang berlaku adalah
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang disahkan/ditetapkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945. Sila-sila Pancasila yang
tertuang dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 secara filosofis-sosiologis
berkedudukan sebagai Norma Dasar Indonesia dan dalam konteks politis-yuridis
sebagai Dasar Negara Indonesia. Konsekuensi dari Pancasila tercantum dalam
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, secara yuridis konstitusional mempunyai kekuatan
hukum yang sah, kekuatan hukum berlaku, dan kekuatan hukum mengikat.
Nilai-nilai Pancasila dari segi implementasi terdiri atas nilai dasar, nilai
instrumental, dan nilai praksis. Nilai dasar terdiri atas nilai Ketuhanan Yang Maha Esa,
nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan nilai
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai dasar ini terdapat pada Pembukaan
UUD NRI Tahun 1945, dan Penjelasan UUD NRI Tahun 1945 mengamanatkan bahwa
nilai dasar tersebut harus dijabarkan konkret dalam Batang Tubuh UUD NRI Tahun 1945,
bahkan pada semua peraturan perundang-undangan pelaksanaannya.
Peraturan perundang-undangan ke tingkat yang lebih rendah pada esensinya
adalah merupakan pelaksanaan dari nilai dasar Pancasila yang terdapat pada Pembukaan
dan batang tubuh UUD NRI Tahun 1945, sehingga perangkat peraturan perundang-
undangan tersebut dikenal sebagai nilai instrumental Pancasila. Jadi nilai instrumental
harus merupakan penjelasan dari nilai dasar; dengan kata lain, semua perangkat
perundang-undangan haruslah merupakan penjabaran dari nilai-nilai dasar Pancasila
yang terdapat pada Pembukaan dan batang tubuh UUD NRI Tahun 1945.
Jika seluruh warga bangsa taat asas pada nilai-nilai instrumental, taat pada semua
peraturan perundang-undangan yang betul-betul merupakan penjabaran dari nilai dasar
Pancasila, maka sesungguhnya nilai praksis Pancasila telah wujud pada implementasi
setiap warga. Pemahaman perspektif hukum seperti ini sangat strategis disemaikan pada
semua warga negara sesuai dengan usia dan tingkat pendidikannya, termasuk pada para
penyusun peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu menjadi suatu kewajaran,
bahkan keharusan, jika Pancasila disebarluaskan secara massif antara lain melalui
pendidikan, baik pendidikan formal maupun nonformal.
B. Tujuan Penyelenggaraan
Dengan penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, diharapkan
dapat tercipta wahana pembelajaran bagi para mahasiswa untuk secara akademik
mengkaji, menganalisis, dan memecahkan masalah-masalah pembangunan bangsa dan
negara dalam perspektif nilai-nilai dasar Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara
Republik Indonesia.
C. Capaian Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami kesejarahan Pancasila yang meliputi; (1) kajian sejarah
Pancasila pada beberapa fase secara komprehensif. (2) analisis objektif tentang kebenaran
sejarah Pancasila yang utuh. (3) bertanggungjawab atas keputusan yang diambil dari
pengambilan kajian Pancasila yang dipandang benar berdasarkan hasil kajian yang
dilakukan secara kolektif-etis.
INDIKATOR:
1
5. Dosen menyampaikan klarifikasi atas hasil diskusi berdasarkan materi
pembelajaran dan menguraikan dasar negara Pancasila yang menjadi kesepakatan
bersama seluruh bangsa Indonesia.
BAHAN BACAAN:
Ali, A.,S. 2009. Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Jakarta: Pustaka
LP3ES.
Darmodihardjo, D. dkk. 1991. Santiaji Pancasila Edisi Revisi. Surabaya: Usaha Nasional.
Fauzi, A. 1983. Pancasila Ditinjau Dari Segi Yuridis Konstitusional dan Segi Filosofis.
Malang: Lembaga Penerbitan UB.
Latif, Y. 2013. “Soekarno Sebagai Penggali Pancasila”, dalam Prisma Edisi Khusus
Soekarno, Membongkar Sisi-sisi Hidup Putera Sang Fajar, Volume 32, No.2 &
No.3, 2013, Jakarta, LP3ES.
Lay, C. 2013. “Pancasila, Soekarno, dan Orde Baru”, dalam Prisma Edisi Khusus
Soekarno, Membongkar Sisi-sisi Hidup Putera Sang Fajar, Volume 32, No.2 &
No.3, 2013, Jakarta, LP3ES.
Nurdin, E., S. 2012. “Pancasila Dalam Kajian Sejarah Bangsa Indonesia”. dalam E-
Materi Pendidikan Pancasila, Dikti dan UGM.
2
Setiardja, A., G. 1994. Filsafat Pancasila Bagian II: Moral Pancasila. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Soekarno. 1984. Pancasila Sebagai Dasar Negara, Jakarta, Inti Idayu Press dan Yayasan
Pendidikan Soekarno.
MEDIA/BAHAN PEMBELAJARAN
a. Power point
b. Buku bacaan penunjang
MATERI AJAR:
A. PENDAHULUAN
3
diinterpretasikan kembali guna mewadahi kebutuhan dan kepentingan setiap elemen
bangsa Indonesia untuk menentukan identitas dirinya secara terus-menerus. Tujuan akhir
perkuliahan ini adalah memberi pengetahuan kepada Mahasiswa ketika mempelajari
sejarah terbentuknya pancasila sebagai pandangan hidup bangsa beserta tantangan yang
mengirinya, dan dengan itu, diharapkan mampu memberikan pemahaman mendalam dan
terbuka atas ideologi dan identitas bangsa Indonesia, serta dapat menghasilkan pemikiran
serta sumbangan kritis-konstruktif bagi kemajuan bangsa yang terus- menerus dalam
proses “menjadi manusia indonesia”.
Arus sejarah juga telah memperlihatkan dengan sangat nyata bahwa semua bangsa
memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tidak memilikinya atau jika
konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya
(Soekarno, 1989: 64). Pernyataan Bung Karno tersebut memperjelas bahwa suatu
konsepsi dan cita-cita sebuah bangsa merupakan suatu hal yang tak bisa ditawar lagi, jika
kita sebagai bangsa tidak mau tersuruk dalam dalam lubang kehancuran.
Pancasila, yang secara luas telah diketahui, merupakan buah konsepsi dan cita-cita
para perumus awal berdirinya negeri Indonesia. Pancasila merupakan manifestasi dan
usaha para pendiri bangsa untuk memberi arah dan tujuan berdirinya negara republik
Indonesia. Sebagai bangsa yang berdaulat, rakyat Indonesia berusaha sekuat tenaga
memerdekakan dirinya dari penjajahan asing. Pancasila menjadi dasar instrumen dari
kristalisasi cita-cita dan jawaban kongkrit seluruh pejuang kemerdekaan, bahwa seluruh
rakyat Indonesia benar-benar menginginkan kedaulatan negara yang utuh, dengan tujuan,
arah, dan fondasi filsafati serta pandangan hidup bangsa untuk menyelenggarakan negara
Indonesia secara meyakinkan.
4
Seperti dinyatakan oleh Soekarno, Pancasila tidak diciptakan dan tidak dirumuskan
sama sekali baru oleh para pendiri bangsa, melainkan wujud kristalisasi nilai dan
pandangan hidup bangsa yang telah lama ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia
sendiri selama beratus-ratus tahun. Para pendiri negara ini hanya membantu
mengeksplisitkan khasanah kebijaksanaan bangsa itu menjadi pedoman bangsa untuk
memandu arah dan tujuan bangsa serta melangsungkan kemerdekaan guna memajukan
bangsa Indonesia. Oleh karenanya, perlu dilacak kembali periodesasi sejarah
terbentuknya Pancasila sebagai ideologi bangsa pertama kali muncul hingga dijadikan
dasar dari berdirinys bangsa ini hingga hari ini dengan tujuan mengilhami spirit dan
semangat yang dapat ditangkap pada proses sejarah itu untuk menangkap pesan para
founding fathers kepada generasi penerus berikutnya.
B. POKOK BAHASAN
1. Pancasila Sebagai Kristalisasi Nilai-Nilai Bangsa
John Gardner (1992) menyatakan bahwa tidak ada bangsa yang dapat mencapai
kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang
dipercayainya itu memiliki dimensi moral guna menopang peradaban. Artinya, untuk
mencapai derajat sebuah bangsa besar dibutuhkan bangunan nilai, paradigma, dan cara
berpikir bangsa dalam usahanya membentuk sebuah negara. Inilah yang disebut sebagai
pandangan dunia. Pandangan dunia sebuah bangsa yang didalamnya terdapat nilai-nilai,
cara hidup, tata sosial, dll merupakan cara menafsir dunia dan lingkungannya. Dengan
cara inilah dia berjuang mempertahankan hidup dan membentuk masyarakat sosialnya
menuju tata sosial masyarakat yang diinginkan.
Pendapat Gardner tentang perlunya bangsa memiliki pandangan dunia, atau disebut
sebagai ideologi dapat dikatakan tepat untuk melihat perspektif para pendiri bangsa
Indonesia yang sadar bahwa mendirikan sebuah bangsa perlu pedoman hidup. Mereka
sangat sadar bahwa negara-bangsa yang akan mereka bentuk memerlukan sebuah cita-
cita, arah-tujuan, dan filosofi dasar pembentukannnya.
Tantangan ini tentu disambut hangat oleh para anggota sidang. Banyak dari para
anggota sidang telah mencurahkan usahanya untuk menjawab respon ini, yakni dengan
merumuskan cita-cita, dan arah dan tujuan dari terbentuknya negara baru ini. Di antara
tokoh-tokoh tersebut yang menonjol adalah Ir. Soekarno, Dr. Soepomo, dan Muhammad
Yamin.
Dari sekian respon yang diberikan, Ir Soekarno adalah tokoh yang menonjol dalam
menyampaikan pendapatnya terkait bentuk dasar negara yang harus dimiliki “calon
bangsa dan negara Indonesia”. Bung Karno, begitu ia biasa disapa oleh masyarakat, telah
memahami bahwa bangsa yang besar harus ditopang oleh norma- norma, nilai-nilai,
ataupun pandangan dunia yang telah membentuk bangsanya, selaras dengan ungkapan
John Garder. Karena dasar dari sebuah pandangan hidup bangsa adalah falsafah hidup
bangsa itu sendiri, maka mereka harus bisa menyelami alam pikir masyarakatnya
dalam rentetan sejarah kehidupan mereka sebelumnya. Sebuah fondasi sebuah bangsa
tidak boleh diambil dari “luar dirinya” melainkan harus dicari “di dalam” kehidupan
bangsa itu sendiri, meski tetap ada pengaruh nilai-nilai lain yang berada di luar dirinya.
Maka dengan perenungan yang sungguh-sungguh, mendalam, dan atas berkat ilham
Tuhan, Sokarno telah menemukan mutiara nusantara yang sekarang kita kenal dengan
nama Pancasila.
Sebagai bangsa yang mempunyai akar sejarah dan kebudayaan yang sangat panjang,
bangsa Indonesia selalu kaya dengan dengan warisan-warisan kultural maupun bangun
pemikiran masyarakatnya. Pada karakteristik geografis, bangsa Indonesia merupakan
gugus-gugus wilayah yang mewah dengan keanekaragaman hayati dan non-hayati,
6
berbhinneka suku dengan bahasanya, agama, adat-istiadat, kebudayaan, hingga nilai-nilai
luhur sebagai manifestasi cara pandang dunianya.
Dari kedua jenis karakteristik ini, tentu kita bisa sangat mafhum bahwa bangsa
Indonesia selalu ramah saat bersentuhan dengan kebudayaan-kebudayaan asing yang
sewaktu-waktu datang melalui seluruh pejuru negeri. Bangsa-bangsa asing seperti kaum
Hindi, Arab, dan Tionghoa telah lama hilir-mudik untuk berniaga dengan bangsa
Indonesia. Dengan kenyataan tersebut, bangsa Indonesia telah paiwai menjadi bangsa
kosmopolitan dan terbuka dengan kebudayaan lain bahkan sebelum kedatangan para
penjajah kolonial. Selain menyerap kebudayaan-kebudayaan asing, bangsa Indonesia juga
mampu menyaring dan membersihkan unsur-unsur kebudayaan yang tidak sesuai dengan
kondisi lingkungan maupun adab masyarakat. Selain itu dengan wawasan kelautannya,
cakrawala bangsa indonesia menatap jauh ke depan, menaklukkan dan mengarungi lautan
tanpa gentar dan menjadikannya pelaut-pelaut handal. Dari pertemuannya dengan dengan
bangsa-bangsa asing, watak dan karakter bangsa Indonesia menjadi terasah dan
menjadikannya sebagai bangsa peramah yang siap menerima perubahan-perubahan dan
berondongan nilai dan budaya bangsa asing. Ringkasnya wilayah Nusantara seperti
dikatakan oleh Dennys Lombards (1987) adalah merupakan wilayah terjadinya “silang-
budaya” dari berbagai penjuru dunia.
Di sisi lain, karena terdiri dari berbagai daratan (pulau-pulau), wilayah nusantara
memiliki kemapuan dan kesanggupan untuk menerima dan menumbuhkan. Di wilayah
ini apapun budaya dan ideologi masuk, sejauh dapat dicerna dan disesuaikan oleh tata
7
sosial dan tata nilai masyarakatnya, dapat berkembang secara berkelanjutan. Dalam
sebuah etos pertanian yang dipunyai oleh masyarakat pedalaman nilai-nilai gotong
royong, religiusitas (ketuhanan) tumbuh subur dan menguntungkan mereka dalam rangka
menggarap lahan garapan pertaniannya. Sensivitas kebersamaan dan nilai-nilai ketuhanan
ini telah mendorong dan menjadikan wilayah nusantara sebagai tempat penyemaian dan
penyerbukan berbagai berbagai corak kebudayaan yang lebih beragam dibanding
dengan kawasan asia manapun (Oppenheimer 2010, dalam Latif 2002: 3).
Istilah periodesasi dapat diartikan sebagai rentetan atau urutan waktu kesejarahan yang
membentuk sebuah peristiwa dan alasan mengapa peristiwa itu terjadi. Pemikiran tentang
pancasila juga mengalami lintasan waktu yang terbagi menjadi beberapa fase dan masih
menggejala hingga saat ini. Ada dua konsep pokok periodesasi pemikiran pancasila yang
akan digunakan sebagai pendekatan. Berkaitan dengan hal tersebut, kita akan membagi
menjadi dua fase besar periodesasi pemikiran tentang pancasila. Pertama, fase pemikiran
pancasila sebelum kemerdekaan (zaman purbakala pra sejarah, hingga kolonialisme) dan
kedua, fase pemikiran pancasila menjelang dan sesudah kemerdekaan. Dengan membagi
dua periodesasi pemikiran pancasila tersebut diharapkan mampu mempermudah kita
untuk menangkap spirit yang bisa ditangkap dari kesejarahan pancasila.
8
3. Zaman Purbakala dan Kerajaan-Kerajaan Nusantara
a. Pada zaman Purbakala, menurut Yudi Latif (2002: 57), sejak zaman purbakala
hingga pintu gerbang (kemerdekaan) negara Indonesia, masyakarat Nusantara
telah melewati ribuan tahun pengaruh agama- agama lokal, (sekitar) 14 abad
pengaruh Hinduisme dan Budhisme, (sekitar) 7 abad pengaruh Islam, dan
(sekitar) 4 abad pengaruh Kristen. Sebelum pengaruh agama-agama datang,
masyarakat Indonesia telah bersikap religius-spiritual yang kita kenal dengan
penganut animisme dan dinamisme. Animisme dan dinamisme merupakan budaya
religius pertama bangsa Indonesia.
Pada lintasan sejarah ini, Tuhan telah menyejarah dalam ruang publik
Nusantara. Agama (dapat kita artikan konsep religiusitas) memiliki peran
sentral dalam pendefinisian insititusi-institusi sosial. Penguasa menghormati
otoritas kegamaan sebagai bagian dari ketundukannya kepada Tuhan (Latif,
2002: 58-59). Berdasarkan kesejarahan purba tadi, nyata bahwa bangsa Indonesia
sudah memiliki nilai spiritualitas yang tinggi dan itulah alasan bangsa Indonesia
tidak bisa lepas dari hal-hal religius dan hal inilah yang menjiwai perilaku
humanity hingga pembentukan masyarakat.
b. Pada zaman Kerajan Kutai Kartanegara, kita telah mengenal dan menemukan
nilai-nilai,seperti nilai sosial politik, dan Ketuhanan dalam bentuk kerajaan,
kenduri dan sedekah kepada para Brahmana. Hal ini terkait dengan nilai-
nilai integrasi sosial, kebersamaan, serta nilai ketuhanan (Kaelan, 2000: 29).
c. Perkembangan sosial pada Kerajaan Sriwijaya juga telah mengenalkan nilai-nilai
maupun pandangan-pandangan tentang dasar kesatuan, yakni kerajaan. Nilai-nilai
ini mengeksplisitkan serta memberi bahan-bahan material terhadap nilai-nilai
Pancasila, seperti nilai persatuan yang tidak terpisahkan dengan nilai ke-Tuhanan.
Dalam nilai ini, raja dianggap merupakan pusat kekuasaan dan kekuatan religius
9
yang berusaha mempertahankan kewibawaannya terhadap para datu (raja-raja
kecil). Selain itu selama kekuasaan Sriwijaya, nilai-nilai kemasyarakatan dan
ekonomi juga telah mengemuka dan terjalin satu sama lain dengan nilai
internasionalisme dalam bentuk hubungan dagang yang terentang dari pedalaman
sampai ke negeri-negeri seberang lautan pelabuhan kerajaan dan Selat Malaka
yang diamankan oleh para nomad laut yang menjadi bagian dari birokrasi
pemerintahan Sriwijaya. (Suwarno, 1993: 20-21).
d. Pada masa Kerajaan Majapahit, kita mengenal sumpah palapa patih Gajah Mada:
Tidak akan berhenti bekerja, sebelum nusantara bersatu. Di bawah pemerintahan
raja Prabhu Hayam Wuruk, Gajah Mada telah berhasil mengintegrasikan
nusantara. Semboyan dan Istilah-istilah seperti Bhinneka Tunggal Ika, Nusantara,
Pancasila sudah ada pada periode ini. Tiga istilah ini konon telah terdapat dan
termuat dalam kakawin Nagarakertagama karangan empu Prapanca dan buku
Sutasoma karangan Empu Tantular, meski dengan pengertian dan pemaknaan
sedikit berbeda. Sebagai contoh, dalam buku tersebut istilah Pancasila di samping
mempunyai arti “berbatu sendi yang lima” (dalam bahasa Sansekerta), juga
mempunyai arti “pelaksanaan kesusilaan yang lima” (Pancasila Krama), yaitu:
1) Tidak boleh melakukan kekerasan
2) Tidak boleh mencuri
3) Tidak boleh berjiwa dengki
4) Tidak boleh berbohong
5) Tidak boleh mabuk minuman keras (Darmodihardjo, 1978: 6).
Atau Semboyan Bangsa kita Bhinneka Tunggal Ika sebenarnya juga telah ada di
kitab Negara Kartagama yang berbunyi Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma
Mangrua yang berarti “meskipun agama-agama itu kelihatan berbeda bentuk
namun pada hakekatnya satu jua” (Fauzi, 1983: 17) . Dari zaman Majapahit ini
kita telah bisa memetik nilai-nilai seperti persatuan dalam keberbedaan. Dengan
wilayah yang sangat luas, yakni seluruh wilayah nusantara, Majapahit telah
memberi ilham persatuan nusantara menjadi persatuan Indoesia. Ia juga telah
memberi contoh bagaimana indonesia mengusahakan keadilan sosial bagi
masyarakat, yakni menuju keadaan negara berdaulat, bersatu dan berwilayah
10
Nusantara, mencapai kehidupan yang “gemah ripah loh jinawi, tata tentrem, kerta
raharja”. (Darmodihardjo dkk, 1991: 21).
e. Pada Masa Kerajaan Kerajaan Islam, Islam sebagai agama baru, telah mulai
dipeluk oleh banyak Kerajaan-kerajaan di Nusantara. Tentu agama baru ini telah
banyak memberi sumbangsih bagi terbentuknya pandangan dunia baru bagi
masyarakat Nusantara. Dengan karakter egaliter, yakni menampik stratifikasi
kasta di masa lalu, Islam telah memberi daya dorong terbentuknya masyarakat
religius baru dengan penekanan pada nilai-nilai kesamaan yang merupakan hak
yang melekat pada diri manusia. Konsep kesatuan ummah, juga telah
menyorongkan konsep baru bernama persatuan. Dengan kesamaan identitas
agama mereka, kerajaan-kerajaan di nusantara seperti Kerajaan Samudera Pasai
di Sumatera, Kesultanan Islam Aceh, Kerjaaan Demak, Kerajaan Pajang,
Kesultanan Mataram, Kerajaan Banten, Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan,
Kerajaan Jailolo, dan Kerajaan Goa Makasar, serta lainnya semakin intensif
untuk menjalin kerjasama mereka dalam mengusir penjajah Belanda yang telah
merebut hak kekuasaan sosial, teritori, ekonomi, maupun politik di wilayah
masing- masing.
Selain telah mengajarkan dan memperkaya paham keyakinan dan kepercayaan
akan adanya Tuhan yang maha esa, yakni sebuah identitas sebagai bangsa yang
religius (Fauzi 1983: 22), Islam seperti dipeluk oleh berbagai kerajaan - kerajaan
tersebut telah menjadi bibit persemaian persatuan Indonesia di nusantara ini dan
juga menjadi daya dorong perlawanan yang gigih dari bangsa Indonesia melawan
penjajah.
11
kekuasaan politik, dominasi ekonomi, maupun teritori wilayah politiknya. Sehingga
sangat wajar jika perlawanan kerajaan-kerajaaan ini terhadap kolonialisme bersifat
parsial, yakni untuk mempertahankan dan mengembalikan dominasi, kontrol, dan
kekuasaan sesuai wilayahnya masing-masing. Perlawanan raja-raja maupun pejuang-
pejuang lokal ini bersifat parsial dan terpecah-pecah berdasar wilayah mereka masing-
masing.
Namun begitu sejak VOC dan Pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan
kebijakan-kebijakan mengurangi perlawanan pemerintah Belanda secara frontal, maka
belanda mulai memikirkan Kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan taraf kehidupan
ekonomi, budaya, dan pendidikan, melaui pendirian sekolah-sekolah, kebijakan politik
etis, pembentukan dewan rakyat (volkraad), dll. Namun semangat menjinakkan bangsa
terjajah ini justru nanti akan menjadi senjata ampuh untuk penyebaran gagasan anti-
imperialisme, nasionalisme, persatuan, dan gelora mengusir tuannya sendiri (penjajah
Belanda). Persemaian ide-ide modern inilah yang dimanfaatkan baik oleh para pendiri
bangsa untuk menciptakan sebuah negara baru bernama: Indonesia.
Sejatinya, prinsip-prinsip ini adalah kristalisasi dan buah sintesis ideologi yang telah
dirintis oleh kaum-kaum maupun organisasi pergerakan yang telah berdiri sebelumnya.
Indische Partij misalnya menyuarakan tema persatuan nasional, kalangan komunis
menyuarakan platform non-kooperasi, organisasi Sarekat Islam (SI) menyuarakan
kemandirian, dan masih banyak lagi. Efek persebaran ide-ide kebangsaan ini merupakan
12
buah dari pendidikan-pendidikan yang diselenggarakan pemerintah Belanda yang justru
berbalik menyerangnya.
Di tahun itu juga pejuang lain Tan Malaka mulai menyuarakan tulisan Naar de
Republik Indonesia (menuju republik Indonesia merdeka). Meski terlibat dengan
Komunisme Internasional, Tan Malaka sungguh mempunyai kepekaan nasionalisme
bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka. Selain itu,
Tjokroaminoto, sebagai pemeimpin Sarikat Islam (SI) sebuah organisasi masa terbesar
pada zaman itu juga telah mengkonsepsikan sintesis antara Islam, sosialisme, dan
demokrasi. (Latif, 2002: 5-6).
Seperti para sahabatnya di negeri Belanda, Ir. Soekarno bersama para kaum
pergerakan Hindia Belanda juga mempunyai keprihatinan dan prinsip-prinsip ideal yang
sama. Dalam Majalah Indonesia Moeda, sejak dini soekarno telah menulis esai berjudul:
“Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang memimpikan persatuan dan sintesis
ideologi-ideologi besar tersebut demi persatuan dan persenyawaan antar ideologi untuk
menopang konstruksi kemerdekaan dan kebangsaan Indonesia.
“Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air
Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu,
bangsa Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan,
bahasa Indonesia”.
13
dan nilai-nilai modern yang berasal dari tempat lain, dan sekaligus merupakan
rangkaian kontinum dan persambungan nilai-nilai lama yang telah meresap dan
mengendap dalam sanubari para pejuang kemerdekaan kita. Dari persenyawaan inilah
selanjutnya pancasila sebagai dasar negara dan pemersatu bangsa menemukan pijakan
material dari khasanah pandangan dunia bangsa Indonesia.
C. PENUTUP
14
MODUL 3
KESEJARAHAN PANCASILA (PASCA KEMERDEKAAN)
Mahasiswa mampu memahami kesejarahan Pancasila yang meliputi; (1) kajian sejarah
Pancasila pada beberapa fase secara komprehensif. (2) analisis objektif tentang
kebenaran sejarah Pancasila yang utuh. (3) bertanggungjawab atas keputusan yang
diambil dari pengambilan kajian Pancasila yang dipandang benar berdasarkan hasil
kajian yang dilakukan secara kolektif-etis.
INDIKATOR:
BAHAN BACAAN:
Fauzi, A. 1983. Pancasila Ditinjau Dari Segi Yuridis Konstitusional dan Segi
Filosofis. Malang: Lembaga Penerbitan UB.
Latif, Y. 2013. “Soekarno Sebagai Penggali Pancasila”, dalam Prisma Edisi Khusus
Soekarno, Membongkar Sisi-sisi Hidup Putera Sang Fajar, Volume 32, No.2 &
No.3, 2013, Jakarta, LP3ES.
Lay, C. 2013. “Pancasila, Soekarno, dan Orde Baru”, dalam Prisma Edisi Khusus
Soekarno, Membongkar Sisi-sisi Hidup Putera Sang Fajar, Volume 32, No.2 &
No.3, 2013, Jakarta, LP3ES.
Nurdin, E., S. 2012. “Pancasila Dalam Kajian Sejarah Bangsa Indonesia”. dalam E-
Materi Pendidikan Pancasila, Dikti dan UGM.
Setiardja, A., G. 1994. Filsafat Pancasila Bagian II: Moral Pancasila. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Soekarno. 1984. Pancasila Sebagai Dasar Negara, Jakarta, Inti Idayu Press dan
Yayasan Pendidikan Soekarno.
MEDIA/BAHAN PEMBELAJARAN
a. Power point
b. Teks pembukaan Undang-Undang Dasar
c. Naskah Pidato Bung Karno
d. Tongkat estafet
e. Buku bacaan penunjang
f. Buku bacaan penunjang
MATERI AJAR:
A. PENDAHULUAN
1. Zaman Kemerdekan
Dalam sidang pertama ini (29 mei 1945-1 Juni 1945), beberapa anggota muncul
menyampaikan gagasannya seputar dasar negara untuk Indonesia merdeka nanti,
mulai dari Muhammad yamin, wiranata koesoema, Soerio, Suranto tirtoprodjo,
Dasaad, Agoes Salim, Andoel Rachiem Pratalykama, Abdul Kadir, K.H. Sanoesi, Ki
Bagus Hadikoesoema, Soepomo, ir. Soekarno, dan Moehammad Hatta. Usul para
anggota sidang ini kebanyakan masih bersifat “serabutan” dan belum dirumuskan
secara sistematis. Dari usul-usul tersebut, Muhammad Yamin salah satu dari sekian
tokoh yang memberikan usul yang lebih terstruktur. Dalam kesempatan itu,
Muhammad Yamin secara lisan mengajukan usul mengenai dasar negara terdiri atas
lima hal, yaitu:
1) Peri Kebangsaan;
2) Peri Kemanusiaan;
3) Peri Ketuhanan;
4) Peri Kerakyatan;
5) Kesejahteraan Rakyat.
Selain itu Muhammad Yamin juga mengajukan usul secara tertulis yang juga
terdiri atas lima hal, yaitu:
Perlu dicatat ditekankan lagi bahwa usul lima asas dasar negara yang
dikemukakan oleh muhammad Yamin secara lisan dan yang dikemukakan secara
tertulis terdapat perbedaan, baik perumusan kata-katanya maupun sistematikanya
(Darmodihardjo; 1988: 26). Selain itu, usul yang sedikit lebih sistematis juga
dikemukakan oleh Soepomo. Ia mengemukakan pentingnya prinsip-prinsip:
1) Ketuhanan
2) Kemanusian
3) Persatuan
4) Permusyarawatan
5) Keadilan/kesejahteraan
“Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka
itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua yang
mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya yang diminta
oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda: “Philosofische
grond-slag” daripada Indonesia Merdeka. Philosofische grond-slag itulah pundamen,
filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk
di atasnya didirikan gedung Indonesia yang kekal dan abadi”(Soekarno: dalam Bahar,
1995: 63).
Akhirnya Soekarno mengatakan: “Ini adalah satu soal yang susah, saudara-
saudara”. Setelah digali sedalam-dalamnya, “Saya gali sampai zaman Hindu dan
zaman pra Hindu...saya lantas gogo sedalam-dalamnya sampai menembus zaman
imperialis, menembus zaman Islam, menembus zaman Hindu, masuk ke dalam zaman
pra Hindu” (Soekarno; 1984; 30-36, lihat juga Latif 2013; 28-29)...total dasar statis
dan leidstar dinamis itu ”berkristalisir dalam lima hal”. Menurut penggaliannya, lima
hal ini yang dianggap sebagai isi jiwa bangsa Indonesia yang relatif mengemuka dalam
timbul-tenggelamnya sejarah (Latif 2002;15).
Lima hal inilah yang diuraikan Soekarno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945
untuk menjawab tantangan atau pemintaan ketua sidang BPUPKI tentang
philosofische grond-slag seperti diungkatan dalam larik-larik pidatonya, yakni:
1. Kebangsaan Indonesia
Yakni sebuah dasar yang “hendak mendirikan sebuah negara, ‘semua buat
semua’. Bukan buat satu orang untuk satu orang, bukan satu golongan, baik golongan
bangsawan maupun golongan kaya, tetapi ‘semua buat semua’”.
2. Perikemanusiaan/internasionalisme
3. Mufakat/Demokrasi
Dasar itu ialah dasar mufakat. kita mendirikan negara "semua buat semua", "satu
buat semua, semua buat satu"... “Saya yakin syarat yang mutlak untuk kuatnya negara
In-donesia ialah permusyawaratan perwakilan. Apa-apa yang belum memuaskan, kita
bicarakan di dalam permusyawaratan”.
4. Kesejahteraan Sosial
“Dasar-dasar negara telah saya usulkan. Bilanganya lima. Inikah panca dharma?
Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedangkan
kita membahas dasar...Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan Pancasila.
Sila artinya asas atau dasar, dan di atas ke lima dasar itulah kita mendirikan negara
Indonesia, kekal, dan abadi”. (Soekarno: 1984; 154).
Kenapa soekarno memilih lima? Selain kelima unsur itu telah mengakar kuat
dalam jiwa bangsa Indonesia, ia ternyata sangat menyukai simbolisme angka lima,
seperti rukun Islam ada lima, jari kita setangan ada lima, manusia mempunyai panca
indera, pandawa berjumlah lima dan masih banyak lainnya. Namun lebih lanjut
soekarno menjelaskan bagi mereka yang tidak menyukai angka simbolik lima, angka
tersebut bisa diperas lagi menjadi tiga hal saja atau bahkan menjadi satu saja.
“atau barangkali ada saudara-sudara yang tidak suka dengan bilangan lima?
Saya boleh peras lagi, sehingga tinggal 3 saja...saya namakan socio-
demokrasi...socio-nationalisme...ketuhanan. Tetapi barangkali tidak semua tuan- tuan
senang pada trisula ini dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya
kumpulkan menjadi satu. Apakah yang satu itu? Semua buat semua...yaitu perkataan
gotong royong..” (Soekarno; 1984; 154-155). Jika dirinci, Pancasila (lima sila) oleh
soekarno bisa diperas menjadi tiga (trisula), yaitu:
a. Sosio-nationalism
b. Sosio-democratie
c. Ketuhanan yang berkebudayaan
Selain itu, Soekarno juga mengatakan bahwa susunan atau urutan sila-sila lima
dari pancasila itu bersifat urutan kebiasaan saja alias bukan urutan prioritas dan
menganggap urutan-urutan itu tidak prinsipil. Namun perlu dipertegas bahwa meski
secara urutan tidak prinsipil, namun masing-masing sila dalam pancasila merupakan
satu-kesatuan integral yang saling mengunci, saling kait-mengkait, dan saling
mengandaikan.
“Urut-urutan yang biasa saya pakai untuk menyebut kelima sila dalam pancasila
itu ialah: Ketuhahan yang maha esa, kebangsaan nomor dua, perikemanusiaan nomor
tiga, kedaulatan rakyat nomor empat, keadilan sosial nomor lima. Ini sekedar urut-
urutan kebiasaan saja. Ada kawan-kawan yang mengambil urutan lain yaitu
meletakkan sila perkemanusiaan sebagai yang kedua dan sila kebangsaan sebagai yang
ketiga. Bagi saya prinsipil tidak ada keberatan untuk mengambil urut-urutan itu”.
(Soekarno, 1958, dalam Latif, 2013: 30.)
Namun, usulan Sokarno pada tanggal 1 Juni 1945 masih sebatas usulan bersifat
pribadi. Untuk menjadi sebuah dasar negara Indonesia, usulan soekarno tersebut perlu
mendapat persetujuan dan pengesahan bersama dari anggota- anggota BPUPKI. Untuk
mempertimbangkan usul tersebut, pada akhir sidang pertama BPUPKI, tanggal 1 Juni
1945 para anggota BPUPKI akhirnya bersepakat untuk membentuk sebuah panitia
kecil yang tugasnya adalah menampung usul-usul yang masuk dan memeriksanya
serta melaporkan kepada sidang pleno BPUPKI. Tiap-tiap anggota diberi kesempatan
mengajukan usul secara tertulis paling lambat sampai dengan tanggal 20 Juni 1945.
Adapun anggota panitia kecil ini terdiri atas delapan orang, dan oleh karena itu panitia
ini sering disebut sebagai “Panitia Delapan”. Anggotanya (Fauzi, 1983: 51) yakni:
Ke delapan anggota ini terdiri 6 wakil golongan kebangsaan dan 2 orang wakil
golongan Islam, dengan ketua Soekarno. Seperti telah dikemukakan di awal, rute
perumusan dasar negara yang seharusnya dilakukan PPKI, ditabrak oleh Soekarno
dengan melampaui prosedur formalitas. Selaku ketua Panitia Delapan, Soekarno
sengaja membuat dan menyelenggarakan rapat di sela-sela pertemuan Chuo Sangi In
ke VIII (18-21 Juni 1945) atau pertemuan Dewan Pertimbangan Pusat yang diadakan
oleh Pemerintah Militer Jepang. Di Sela-sela pertemuan ini, Soekarno memimpin
pertemuan terkait dengan tugas Panitia Kecil dan mengumpulkan usul-usul dari 40 lin
yang dihadiri oleh 38 orang. Usul-usul tersebut dapat dikelompokkan dalam 9 kategori
(Latif, 2013: 32):
Panitia Kecil yang beranggotakan sembilan orang ini diketuai oleh Soekarno,
dan merupakan sebuah langkah untuk mempertemukan pandangan dua golongan,
yakni antara golongan nasioanalis dan golongan Islam, menyangkut dasar negara ini.
Dengan komposisi seperti ini akhirnya pada tanggal 22 juni 1945, panitia kecil (panitia
Sembilan) ini berhasil merumuskan calon Mukadimah Hukum Dasar, yang kemudian
lebih dikenal dengan sebutan “Piagam Jakarta”. Atau disebut Mukaddimah oleh
Soekarno, atau Gentlemen’s Agreement oleh Sukiman Wirosandjojo. Bunyi dari
“Piagam Jakarta” (ini merupakan istilah dari Muhammad Yamin) sebagai berikut
Proses sejarah terus berjalan. Pada tanggal 9 Agustus dibentuk Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah
tanpa syarat kepada Sekutu, dan sejak saat itu Indonesia kosong dari kekuasaan.
Keadaan tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para pemimpin bangsa
Indonesia, yaitu dengan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17
Agustus 1945. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan PPKI mengadakan sidang,
dengan acara utama (1) mengesahkan rancangan Hukum Dasar dengan preambulnya
(Pembukaannya) dan (2) memilih Presiden dan Wakil Presiden (Fauzi: 1983: 63-4)
UNDANG-UNDANG DASAR
PEMBUKAAN (Preambule)
Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai
dengan peri-kemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan
Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rakhmat
Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadil-an sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia dan Ke-rakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sejak saat itu partai-partai politik tumbuh bak cendawan di musim hujan.
Pemerintahan Indonesia yang dipimpin oleh seorang perdana menteri bergonta-ganti
dalam periode yang sangat singkat sebelum mereka dapat menjalankan kebijakannya.
Pertentangan ideologi lama antara golongan nasionalis, Islam, dan bahkan
Komunisme malah semakin menguat dan terlembaga dalam partai politik.
Fragmentasi politik dan ideologi tersebut bisa kita lihat dari 4 partai terbesar yang
berlaga di pemilu pertama di tahun 1955.
Pada awal dekade 1950-an itu juga mulai muncul silang-pendapat dan inisiatif
dari sejumlah tokoh yang hendak melakukan interpretasi ulang terhadap Pancasila.
Saat itu muncul perbedaan perspektif yang dikelompokkan dalam dua kubu. Yakni
kelompok pertama berusaha menempatkan Pancasila lebih dari sekedar kompromi
politik atau kontrak sosial. Mereka memandang Pancasila tidak hanya kompromi
politik melainkan sebuah filsafat sosial atau weltanschauung bangsa. Sedangkan
kelompok kedua berusaha menempatkan Pancasila hanya sebagai sebuah
kompromi politik. Dasar argumentasinya adalah fakta yang muncul dalam sidang-
sidang BPUPKI dan PPKI. Pancasila pada saat itu benar-benar merupakan
kompromi politik di antara golongan nasionalis netral agama (Sidik Djojosukarto dan
Sutan takdir Alisyahbana dkk) dan nasionalis Islam (Hamka, Syaifuddin Zuhri sampai
Muhammad Natsir dkk) mengenai dasar negara (Nurdin, 2012; 8).
a. Pembubaran konstituante;
b. Undang-Undang Dasar 1945 kembali berlaku; dan
c. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.
Kita semua tahu bahwa sejak masa-masa orde baru berkuasa, Pancasila benar-
benar merupakan seperangkat ideologi untuk menopang kuasaan rezim otoriter.
Anggota, tokoh, maupun organisasi yang berusaha menyuarakan suara kritis terhadap
kebijakan pemerintah Soeharto akan dicap sebagai anti-Pancasila, tidak pancasilais,
dll. Oleh karena itu sejak Reformasi berhasil menggulingkan kekuasaan Soeharto,
image rakyat Indonesia sangatlah buruk terhadap Pancasila. Pancasila dianggap
sebagai sesuatu indoktrinasi dijejalkan oleh pemerintah di segala lini kehidupan rakyat
yang berusaha menyeragamkan perbedaan yang berlangsung dalam masyarakkat.
Pemerintah seolah merupakan aktor satu-satunya yang maha tahu yang bisa
menentukan “apa yang benar” dan “apa yang salah”. Akibatnya pada masa-masa
tahun-tahun awal Pancasila seolah dilupakan dan ditinggalkan.
Fobia terhadap apa-apa saja yang berbau Orde Baru, termasuk di dalamnya fobia
atas pancasila, berlangsung di masyarakat. Apapun yang ditinggalkan oleh Soeharto
seolah bernilai buruk dan otoriter dan oleh karena itu harus dihindari bahkan
ditinggalkan. Namun, lambat laun keterbukaan Demokrasi sebagai buah dari
Reformasi 1998 mempunyai konsekuensinya sendiri. Masyarakat mulai tersadarkan,
bahwa di bidang ekonomi kesenjangan kesejahteraan ekonomi masyarakat semakin
terlihat dan menjadi fakta yang semakin tampak dan memenuhi kesadaran bersama.
Kesenjangan pemerataan keadilan sungguh merupakan problem yang harus segera
dipecahkan.
B. PENUTUP
TUJUAN PERTEMUAN:
INDIKATOR:
BAHAN BACAAN:
Media/Bahan Pembelajaran
Tatkala para pendiri bangsa Indonesia dalam Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) merumuskan
kemerdekaan bangsa Indonesia, salah satu pertanyaan yang muncul adalah dasar apa
yang dipakai untuk Indonesia merdeka. Pertanyaan ini pun pernah kembali
mengemuka pada saat Sidang Dewan Konstituante yang hendak membentuk
konstitusi Indonesia pada tahun 1955 sampai 1959.
Anggota BPUPK dilantik pada 28 Mei 1945 dan menggelar sidang yang
membahas rancangan UUD. Sidang BPUPK meliputi sidang pertama pada 29 Mei
hingga 1 Juni 1945 dan sidang kedua yang diselenggarakan pada 11 sampai 17 Juli
1945. Pada sidang pertama tanggal 29 Mei, Ketua BPUPK Radjiman
Wedyodiningrat menyampikan hal yang penting untuk dibahas, yaitu tentang dasar
Negara (Martosoewignyo, 1987: 25).
Pancasila sebagai dasar negara dapat didasarkan pada tinjauan historis yang
melatarbelakangi lahirnya Pancasila. Nilai-nilai Pancasila mengemuka dan
selanjutnya terumuskan adalah pada saat para pendiri bangsa sedang mencari dasar
dari negara yang akan dibentuk. Hal itu diawali dari pertanyaan Ketua BPUPKI, Dr.
Radjiman Wediodiningrat yang mengajukan pertanyaan “Negara Indonesia yang akan
kita bentuk itu apa dasarnya?” Pertanyaan tentang dasar negara itu ditafsirkan oleh
peserta rapat, terutama Soekarno sebagai “philosophische grondslag”, yaitu
fundamen, filsafat, pikiran-pikiran yang sedalam- dalamnya, jiwa, hasrat yang
sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan bangunan Indonesia merdeka. Dasar
negara tersebut oleh Hatta juga diartikan sebagai ideologi negara yang membimbing
politik negara dan hukum tata negara Indonesia (Sastrapratedja, 2009: 67).
Oleh karena itu dasar negara adalah serangkaian nilai yang digali dari dan
tumbuh berkembang dalam masyarakat Indonesia sendiri sejak berabad yang lalu,
yang memuat gagasan tentang cita negara (staatsidee) dan cita hukum (rechtsidee)
sehingga dijadikan sebagai sumber bagi penyusunan hukum dasar atau pasal-pasal
Konstitusi. Sebagian besar anggota BPUPK memberikan pandangannya tentang dasar
4
- dasar negara yang akan dibentuk (Yamin, 1971: 59 – 396). Anggota yang berlatar
belakang gerakan keislaman menghendaki agar dasar-dasar negara digali dari nilai-
nilai ajaran agama Islam, sedangkan anggota yang berlatar belakang gerakan
kebangsaan menghendaki agar dasar-dasar negara digali dari nilai-nilai budaya bangsa
dan teori-teori ketatanegaraan yang sedang berkembang. Salah satu pandangan yang
mendapat sambutan paling hangat dari para peserta ialah pandangan Soekarno yang
memperkenalkan Pancasila sebagai dasar negara.
Pada masa akhir masa sidang pertama, BPUPK membentuk Panitia Kecil
beranggotakan delapan orang yang dipimpin oleh Soekarno. Panitia ini bertugas
meneliti serta mempelajari usul-usul yang telah disampaikan para anggota BPUPK,
melakukan inventarisasi, serta menyusunnya sebagai sebuah naskah yang akan
dibahas pada masa sidang kedua yang direncanakan berlangsung bulan Juli 1945
(Martosoewignyo, 1987: 27).
5
Susunan Keanggotaan Panitia Sembilan
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab
itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-
kemanusiaan dan peri-keadilan.
Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Hukum Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan, dengan
6
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ir. Soekarno
Mr. A. A. Maramis
Abikoesno Tjokrosoejoso
H. Agoes Salim
Badan ini segera menjadwalkan sebuah pertemuan pada 18 Agustus 1945 untuk
menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Namun, sehari sebelum rapat
dimulai, persisnya setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, tersiar kabar
bahwa rakyat Kristen di wilayah Indonesia bagian timur akan menolak bergabung
kedalam Republik Indonesia jika syariat Islam masuk di dalam UUD. Dalam buku
Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Tintamas, Jakarta, 1970, Moh. Hatta
menceritakan bahwa kabar mengenai keberatan dimasukkannya syari’at Islam dalam
UUD datang dari seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang) yang menemuinya.
Namun dalam buku Lahirnya Satu Bangsa dan Satu Negara, O.E. Engelen dkk.
menyatakan bahwa yang menemui Moh. Hatta adalah tiga mahasiswa Ika Daigaku
yakni Piet Mamahit, Moeljo, dan Imam Slamet yang berpakaian seragam Angkatan
Laut Jepang. Kelompok mahasiswa Asrama Prapatan 10 mengutus tiga orang itu
setelah beberapa tokohnya berdiskusi dengan Dr. Ratulangi, Mr. A. A. Maramis, dan
Mr. Pudja. Menanggapi keberatan tersebut, Moh. Hatta mengumpulkan beberapa
wakil golongan Islam yang duduk di PPKI, yakni K.H. Wachid Hasjim, Ki Bagus
Hadikoesoemo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Mohammad Hasan, untuk
membicarakan persoalan tersebut. Dalam pembicaraan informal itu wakil-wakil
golongan Islam dengan ikhlas merelakan dihapusnya tujuh kata dalam Mukaddimah,
dua kata dalam Pasal 6 ayat (1), dan tujuh kata dalam Pasal 29 ayat (1) demi
terwujudnya persatuan Indonesia (Basalim, 2002: 39).
8
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai
dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan
oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
9
menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih, sidang PPKI
kemudian mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
10
hukum, Von Savigny menyatakan bahwa jiwa bangsa antara lain berisi perasaan
keadilan kolektif yang menjadi sumber hukum nasional (Mahfud, MD. 2).
Jiwa bangsa di satu sisi menentukan eksistensi negara dan di sisi lain
menjadi pedoman dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada
saat jiwa bangsa telah padam atau dipadamkan, maka eksistensi negara pun terancam.
Sebaliknya, hidup dan padamnya jiwa bangsa bergantung sepenuhnya kepada warga
bangsa dan penyelenggara negara itu sendiri. Pada saat nilai-nilai yang menghidupi
jiwa bangsa telah ditinggalkan atau diingkari, pada saat itu pula secara pelan-pelan
kita sudah memadamkan jiwa bangsa. Akibatnya, kita akan kehilangan identitas dan
pegangan untuk hidup bersama sebagai satu bangsa dan satu negara.
Konsekuensi dari Pancasila sebagai dasar negara, maka Pancasila menjadi cita
hukum nasional. Dalam sejarah hukum Indonesia, konsep cita hukum termuat dalam
Penjelasan UUD 1945 Bagian III alenia I sebelum perubahan yang menyatakan
“Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang- Undang
Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum
(Reichtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis
(Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis.” Alenia ini terkait
dengan pokok-pokok pikiran yang diuraikan dalam Bagian II yaitu (1) negara
persatuan; (2) negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat; (3)
negara yang berkedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan
perwakilan; dan (4) negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab. Pokok-pokok pikiran inilah yang mewujudkan
cita hukum. Lalu apakah yang menjadi cita hukum itu sendiri?
11
grundnorm, juga berpandangan bahwa Pancasila adalah cita hukum sebagai yardstick
dalam menafsirkan konstitusi dan sebagai panduan dalam menata kehidupan
berbangsa dan bernegara (Asshiddiqie, 2007). Oleh karena itu Pasal 2 UU Nomor 12
tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pancasila
ditempatkan sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD NRI tahun 1945 dapat dipahami
sebagai hubungan yang bersifat formal dan material. Hubungan secara formal
menunjuk pada tercantumnya Pancasila secara formal di dalam Pembukaan yang
mengandung pengertian bahwa tata kehidupan bernegara tidak hanya bertopang pada
12
asas sosial, ekonomi, politik, akan tetapi dalam perpaduannya dengan keseluruhan
asas yang melekat padanya, yaitu perpaduan asas-asas kultural, religius dan asas-asas
kenegaraan yang unsur-unsurnya terdapat dalam Pancasila (Kaelan, 2009: 90-91).
Dalam hubungan yang bersifat formal rumusan Pancasila sebagai dasar Negara
Republik Indonesia adalah sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD NRI
tahun 1945 alinea keempat. Pembukaan UUD NRI tahun 1945 merupakan Pokok
Kaidah Negara yang Fundamental sehingga terhadap tertib hukum Indonesia
mempunyai dua macam kedudukan, yaitu: 1) sebagai dasarnya, karena Pembukaan
itulah yang memberikan faktor-faktor mutlak bagi adanya tertib hukum Indonesia; 2)
memasukkan dirinya di dalam tertib hukum tersebut sebagai tertib hukum tertinggi
(Kaelan, 2009: 90-91).
Hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD NRI tahun 1945 secara material
adalah menunjuk pada materi pokok atau isi Pembukaan yang tidak lain adalah
Pancasila. Oleh karena kandungan material Pembukaan UUD NRI tahun 1945 yang
demikian itulah maka Pembukaan UUD NRI tahun 1945 dapat disebut sebagai Pokok
Kaidah Negara yang Fundamental yang berintikan Pancasila (Kaelan, 2009: 90-
91).
13
MODUL V
TUJUAN PERTEMUAN:
INDIKATOR:
BAHAN BACAAN:
Media/Bahan Pembelajaran
MATERI AJAR
Nilai-nilai, cita negara dan cita hukum Pancasila diejawantahkan dalam pasal-
pasal dan ayat UUD 1945 yang selanjutnya dijabarkan dalam peraturan perundang-
undangan. Dengan demikian pada hakikatnya Pancasila sebagai dasar negara
merupakan sumber dari segala sumber hukum. Oleh karena itu pada hakikatnya
Pancasila, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, adalah juga
merupakan sumber tertib hukum Indonesia.
UUD 1945 pasca perubahan memperkuat posisi sila pertama, Ketuhanan Yang
Maha Esa. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa hal berikut, yaitu: Pertama, secara
substansial, spirit dan filosofi yang terkandung dalam UUD 1945 bersumber dari nilai-
nilai ketuhanan. Konsep dasar yang terkandung dalam UUD 1945, seperti keadilan
sosial, kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, permusyawaratan, dan lain- lain
merupakan konsep yang tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai ketuhanan yang
bersumber dari agama yang ada di Indonesia. Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa ini telah
menjiwai dan membedakan konsep-konsep konstitusional bangsa Indonesia dengan
bangsa lain. Terkait dengan hak asasi manusia misalnya, bangsa Indonesia menganut
konsep HAM yang bersumber pada pengakuan terhadap Ketuhanan Yang Maha
Esa, bukan bersumber pada pemikiran filsafat humanis yang anthroposentris. Oleh
karena itu, dalam konsepsi HAM berdasarkan UUD 1945 juga terkandung maksud
kewajiban asasi menghormati HAM orang lain, serta dimungkinkannya pembatasan
untuk melindungi hak orang lain berdasarkan tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam
masyarakat yang demokratis.
Kedua, tidak ada satu ayat pun dalam UUD 1945 yang dianggap
bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan, baik secara implisit maupun secara
eksplisit. Lebih dari itu, UUD 1945 secara tegas menentukan agar bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang berketuhanan (agamis) serta menolak atheisme, komunisme, dan
paham-paham lain yang anti tuhan. Pernyataan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 bahwa ”(1)
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” mempertegas nilai- nilai ketuhanan
dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.
Ketiga, dalam UUD 1945 setidak-tidaknya terdapat tujuh ketentuan yang secara
eksplisit mempertegas bahwa nilai-nilai ketuhanan merupakan roh dari Konstitusi itu,
yakni:
a. Alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 yang menyebut ”Atas berkat rahmat Allah
Yang Maha Kuasa” sebagai basis pernyataan kemerdekaan Indonesia. Ini
berarti kedaulatan bangsa Indonesia dan upaya untuk mengisi kedaulatan itu
demi keadilan dan kesejahteraan rakyat harus selalu berpijak pada nilai-nilai
agama untuk mendapatkan berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.
b. Pasal 9 UUD 1945 yang mewajibkan Presiden/Wakil Presiden bersumpah
menurut agamanya. Ini berarti dalam menjalankan tugas dan wewenang
pemerintahan, Presiden/Wakil Presiden harus memperhatikan nilai-nilai agama
karena mereka telah bersumpah menurut agamanya.
c. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menetapkan adanya peradilan agama di
bawah Mahkamah Agung.
d. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang wajib
tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang (UU) untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang
demokratis.
e. Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa ” (1) Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
f. Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa ”Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia...”.
g. Pasal 31 ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan bahwa ”Pemerintah
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-
nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sila kedua dalam Pancasila, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan beradab
sangat diperkuat oleh UUD 1945. UUD 1945 menjadikan Hak Asasi Manusia (HAM)
sebagai hal yang cukup penting, sehingga dimuat dalam bab tersendiri, yaitu Bab XA
Hak Asasi Manusia yang terdiri dari 9 Pasal dan 29 ayat.
Konsep HAM dalam UUD 1945 tidak hanya membicarakan hak-hak setiap
orang, melainkan juga kewajibannya. Jadi, ada keseimbangan antara hak dan
kewajiban. Pasal 28A sampai Pasal 28I berisi hak-hak setiap orang. Namun, hak- hak
itu harus diimbangi dengan kewajiban, sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat
(1) dan (2) bahwa: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai- nilai agama, keamanan,
dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Pasal 28J ayat (2) merupakan terjemahan dari Pasal 29 ayat (2) DUHAM,
sehingga penyeimbangan antara hak dan kewajiban juga merupakan ketentuan
HAM yang berlaku secara universal. Bunyi dari Pasal 29 ayat(2) DUHAM adalah: “(2)
Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk
hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang
tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat
terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan
moralitas, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang
demokratis.” Perbedaannya hanya tipis, istilah “requirements of morality” dan “public
order and the general welfare” dalam DUHAM diterjemahkan menjadi “pertimbangan
moral dan nilai-nilai agama” dan “keamanan dan ketertiban umum” dalam UUD 1945.
Perlu ditegaskan di sini bahwa pasal-pasal HAM dalam UUD 1945 tidak terbatas
pada Bab XA, karena dalam pasal lain juga ada ketentuan yang secara langsung atau
tidak langsung memperkuat ketentuan HAM dalam UUD 1945 sekaligus memperkuat
sila kemanusiaan dalam Pancasila. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, misalnya, yang
menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu” juga memperkuat HAM di bidang agama dan kepercayaan. Begitu pula Bab X
Warga Negara dan Penduduk, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 bahwa “Tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,”
memperkuat pelaksanaan HAM di bidang ekonomi dan kesejahteraan.
3. Persatuan Indonesia
Spirit dari sila ketiga dalam Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia diterjemahkan
oleh UUD 1945 sebagai negara kesatuan. Spirit ini dipertahankan dan diperkokoh oleh
UUD 1945, baik di masa kini maupun di masa mendatang. Sebelum Perubahan UUD
1945 dilaksanakan, salah satu kesepakatan dasar para pihak yang terlibat di dalamnya
adalah mempertahankan NKRI. Ini berarti, MPR-RI yang terlibat dalam Perubahan
UUD 1945 telah menyerap aspirasi seluruh masyarakat yang masih menganggap
relevan keputusan para pendiri bangsa agar Indonesia menganut negara kesatuan,
bukan negara federal.
Dalam sila keempat Pancasila, ada dua kata kunci yang perlu didiskusikan
bersama, yaitu kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan. Kongres Pancasila, 30
Mei - 1 Juni 2009, di Yogyakarta mengartikan kerakyatan dengan penguatan elemen
dan peningkatan mutu masyarakat sipil (masyarakat madani atau civil society), lalu
permusyawaratan/perwakilan sebagai perwujudan dari checks and balances (saling
kontrol dan mengimbangi) sehingga masing-masing pihak selalu mengutamakan
kedaulan rakyat (Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009:
59-60).
Begitu pula halnya dengan proses pemilihan pejabat publik, baik yang dilakukan
melalui pemilihan umum secara langsung untuk presiden/wakil presiden, anggota
DPR, DPD, dan DPRD atau melalui pemilihan yang demokratis untuk kepala
daerah provinsi dan kabupaten/kota atau melalui cara lain harus mencerminkan
“kedaulatan berada di tangan rakyat”.
Mengingat urgensi sila kerakyatan, UUD 1945 penuh dengan ketentuan yang
bahwa kepentingan rakyat berada di atas segala-galanya. Banyak sebutan rakyat dalam
UUD 1945, seperti setiap orang, setiap warga, manusia dan kemanusiaan, penduduk,
warga negara, masyarakat, fakir miskin, anak-anak, hajat hidup orang banyak,
pelayanan umum, nusa dan bangsa, serta lain sebagainya. Intinya, semua ketentuan
dalam UUD 1945, mulai dari Pembukaan sampai Aturan Tambahan merupakan
perintah untuk mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya.
Secara teknis, kata rakyat merupakan hal yang subjektif, karena bisa saja
kepentingan rakyat berbeda satu sama lain. Untuk itulah, agar tidak terjadi anarki maka
Pancasila mengisyaratkan bahwa kerakyatan itu harus berada dalam bingkai
permusyawaratan di mana pesertanya dibentuk melalui perwakilan. UUD 1945 dan
peraturan perundang-undangan di bawahnya telah menentukan bahwa proses
pembentukan perwakilan rakyat harus melalui pemilihan umum secara langsung,
sehingga tidak dikenal lagi istilah utusan golongan dan utusan daerah di mana
pesertanya dipilih oleh kalangan secara terbatas.
TUJUAN PERTEMUAN:
INDIKATOR:
SKENARIO:
a) Pada pertemuan sebelumnya, mahasiswa telah diberi tugas dan diminta untuk
mengumpulkan hasil resumenya.
b) Dosen melanjutkan pembahasan materi selanjutnya yang lebih khusus, yakni
Pancasila sebagai ideologi negara, perbandingan pancasila dengan ideologi lain, dan
pancasila sebagai pandangan hidup, dengan media power point yang telah
disiapkan.
1
c) Setelah penyampaian materi selesai, kelas dibagi menjadi 6 kelompok dan memilih
1 orang anggota untuk menjadi juru bicara kelompok.
d) Mahasiswa ditugaskan untuk menonton video bersama-sama, kemudian
mendiskusikannya.
e) Masing-masing kelompok menyampaikan hasil diskusi kelompok yang
meliputi aspek:
1) Apa uraian hasil diskusi dan analisis?
2) Bagaimana pendapat mereka terkait Pancasila sebagai Ideologi Indonesia,
meliputi:
- Fungsi Pancasila
- Peran Pancasila
- Saran dan sikap mahasiswa menghadapi permasalahan saat ini
f) Dosen melakukan klarifikasi dan review untuk mempertajam dan meluruskan
analisis yang dilakukan oleh mahasiswa.
BAHAN BACAAN:
1. Arrsa, Ria Casmi, 2011, Deideologi Pancasila, UB Press, Malang.
2. Asshiddiqie, Jimly, tt, Ideologi, Pancasila dan Konstitusi. Artikel tidak
diterbitkan.
3. Bakry, Noor Ms, 2010, Pendidikan Pancasila, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
4. Chilcote, Ronald, 2007, Teori Perbandingan Politik: Penelusuran Paradigma. PT
Rajagrafindo Persada, Jakarta.
5. Haryatmoko, 2003, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta, Gramedia.
6. Jurdi, Fatahullah, 2014, Ilmu Politik; Ideologi dan Hegemoni Negara, Graha Ilmu,
Yogyakarta.
7. Kaelan, 2009, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia,
Paradigma, Yogyakarta.
8. Kusumohamidjojo, Budiono, 2014, Filsafat Politik dan Kotak Pandora Abad Ke
21, Jalasutra, Yogyakarta.
9. Latief, Yudi, 2011, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila, Gramedia, Jakarta.
10. Latief, Yudi, 2015, Revolusi Pancasila, Mizan, Jakarta.
11. Santoso, Listiyono dan Ikhsan Rosyid, 2011, Harapan, Peluang dan
2
Tantangan Pembudayaan Nilai-nilai Pancasila, Airlangga University Press,
Surabaya.
12. Magnis-Suseno, Franz, 1992, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta,
Kanisius.
13. Mubyarto, 1994. Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia, LP3ES, Jakarta.
14. Noor Syam, Mohammad, 2000, Pancasila, Dasar Negara Republik Indonesia:
Wawasan Sosi-Kultural, Filosofis dan Konstitusional, Lab Pancasila UM, Malang.
15. Notonegoro, 1975, Pancasila Ilmiah Populer, Pancuran Tujuh, Jakarta.
16. Oesman, Oetojo dan Alfian, 1992, Pancasila Sebagai Ideologi: Dalam Berbagai
Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, BP7, Jakarta.
17. Pranarka, A.M.W, 1987, Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar, CSIS, Jakarta.
18. Sutrisno, Slamet, 2006, Filsafat dan Ideologi Pancasila, Yogyakarta, Penerbit Andi.
19. Syarbaini, Syahrial, 2012, Pendidikan Pancasila, Implementasi Nilai-Nilai
Karakter Bangsa di Perguruan Tinggi. Ghalia Indonesia, Bogor.
20. Thomson, Jhon B, 2015, Kritik Ideologi Global. IRCiSoD, Yogyakarta.
21. Tim Laboratorium Pancasila Ikip Malang, 1981, Glossarium Sekitar Pancasila:
Usaha Nasional, Surabaya
MEDIA/BAHAN PEMBELAJARAN:
3
a. Liberalisme
Liberalisme adalah suatu paham yang menghendaki adanya kebebasan individu
dalam segala bidang. Menurut paham ini, manusia adalah titik pusat, ukuran segala
hal, atau dalam istilah filsafat disebut antroposentris. Bahwa nilai-nilai manusia merupakan
pusat untuk berfungsinya alam semesta dan alam semesta menopang dan secara tahap demi
tahap mendukung nilai-nilai itu (Lorens Bagus, 2000: 60). Karena eksistensi individu,
masyarakat dapat tersusun dan karena individu pula negara dapat terbentuk. Oleh
karena itu, masyarakat atau negara harus selalu menghormati dan melindungi kebebasan
kemerdekaan individu.
Lahirnya liberalisme untuk pertama kalinya muncul akibat dominasi kaum feodal dan
kaum agama. Keadaan ini pada akhirnya membuat kelompok cerdik pandai dan kaya,
yang kemudian dikenal sebagai kelompok bourjuis, melawan kelompok agama dan feodal
dengan mendalihkan falsafah kebebasan bahwa setiap manusia yang dilahirkan bebas dan
sama (man are born free and equal). Falsafah kebebasan semacam ini lalu berpengaruh dan
mendominasi masayarakt Eropa dan dunia pada umumnya, bahkan pada batas-batas tertentu
berpengaruh bagi masyarakat Indonesia (Oetojo Oesman, dan Alfian, 1991: 98). Setiap
individu harus memiliki kebebasan kemerdekaan, seperti dalam bidang politik, ekonomi, dan
agama.
Praktik liberalisme dalam bidang politik (negara), menurut John Locke, Thomas
Hobbes, dan Jean Jaque Rousseau bahwa negara tidak lagi dipahami sebagai tanah atau
kekayaan (land and reich), sebagaimana tesis kaum feodal. Akan tetapi negara dipahami
sebagai suatu status hukum (legal society) dari suatu Perjanjian masyarakat (social
contract). Jadi negara adalah hasil perjanjian bermasyarakat dari individu-individu yang
bebas, sehingga hak-hak orang atau hak asasi lebih tinggi kedudukannya ketimbang negara
yang merupakan hasil bentukan individu-individu yang bebas (Oesman, dan Alfian, 1991:
93). Negara tidak mempunyai legitimasi untuk mengurus segala-galanya. Inti paham liberal
tentang negara adalah bahwa kekuasaan negara harus seminimal mungkin, oleh karena itu
dapat dilihat liberalism sangat membatasi peran dan fungsi Negara. Pembatasan kekuasaan
ini berangkat dari prinsip dasar bahwa semua orang berkedudukan sama, tidak ada orang
atau kelompok yang berhak memerintah pada yang lain/kelompok lain (Magnis Suseno,
2003: 229-230).
Pada wilayah ekonomi, liberalisme klasik yang dimotori oleh Adam Smith
menyandarkan pemikiran ekonominya pada konsep determinisme alam. Dalam buku The
Wealth of Nations, Smith berasumsi bahwa kebebasan alamiah individu untuk berinteraksi
4
dalam bidang ekonomi, masing-masing memburu kebaikannya sendiri, dengan menawarkan
barang dan jasa kepada orang lain, akan mengarah pada alokasi sumber daya secara efesien
dari sudut pandang masyarakat. Untuk bekerjanya mekanisme pasar yang menguntungkan
semua pihak, diperlukan apa yang disebutnya kondisi “persaingan yang sempurna” (Yudi
Latief, 2011: 564-565).
Sementara pada pemahan agama, liberalisme meminggirkan agama hanya berperan
di ruang privat. Agama dipinggirkan hanya menjadi urusan pribadi. Pemisahan antara agama
dan negara ini (sekularisme) ditandai dengan pemisahan gereja dan negara di masa itu.
Pemisahan agama dan negara sangat mungkin memunculkan sebuah sikap militan, Ketika
agama tersudut dari ruang publik menjadi ruang privat, ekspresi spiritual personal terputus
dari ruang publik, spiritual tanpa pertanggungjawaban sosial, politik tanpa jiwa.
b. Libertarian
Perkembangan lebih lanjut paham ekonomi liberal klasik ini memberi jalan pada
ekspansi kapitalisme yang melahirkan kolonialisme jenis baru. Pemikiran ekonomi yang jauh
lebih liberal lalu dikembangkan terutama menekankan pada paham libertarianisme
(libertarian capitalism), yang melahirkan kini apa yang disebut dengan neoliberalisme.
Neoliberalisme cenderung meringkus peran negara, dengan membatasinya semata-mata
sebagai pelayan pasar (pemodal). Dengan memberikan ruang yang besar kepada negara
sebaai pelayan pasar, neoliberalisme memberi terlalu besar pada kebebasan individu,
melupakan bahwa individualisme yang bersifat predator juga bisa membawa sumber-sumber
penindasan dan ketidakadilannya tersendiri (Yudi Latief, 2011: 276-268).
c. Kapitalisme
Orientasi kaum kapitalis murni berdasarkan mengejar modal atau uang, bahkan
pengejaran keuntugan ini diselubungi oleh ideologi yang dianggap suci. Kapitalis terus
menyebarkan sayap untuk menguasai modal dan keuntungan, maka pada titik ini posisi kaum
buruh kian terjepit. Penguasaan barang, jasa, modal dan keuntungan yang hanya dimiliki
oleh kaum kapitalis, menyebabkan kaum buruh semakin tersingkir dalam persaingan bebas
ekonomi. Maka, tidak ada jalan lagi kecuali kaum buruh harus merebut alat-alat produksi
yang dikuasi oleh kaum pemodal. Kaum buruh bangkit, merebut pabrik dan modal dari
kaum kapitalis. Setelah kaum buruh mampu bekerja dengan bebas dan kreatif, maka
diciptakanlah masyarakat komunis (Magnis Suseno, 2003: 269-270).
5
Aliran ini erat kaitannya dengan materialisme yang menonjolkan penggolongan,
pertentangan antar golongan, kekerasan dengan tujuan revolusi, dan perebutan kekuasaan
negara (Bakry, 2010:187). Masyarakat komunis diandaikan sebagai kegiatan kerja yang tidak
eksklusif, orang dapat bekerja dengan bebas, tanpa tekanan, pagi hari berburu, siang hari
memancing, sore memelihara ternak dan sesudah makan mengkritik. Negara tidak dihapus,
ia akan mati dengan sendirinya. Proses produksi dipimpin oleh persekutuan bebas semua
individu (Magnis Suseno, 2003: 269-270).
d. Komunisme
Cara pandang individualistik dan dominasi kelas tertentu ini mendapat pertentangan
dalam sejarah kenegaraan di Eropa dari kelompok sosialis-komunis yang dipelopori oleh
Marx, Engels, Lenin, yang beranggapan berdasarkan teori kelas bahwa negara secara
hakiki merupakan alat dari mereka yang ekonominya kuat untuk menindas yang lemah.
Menurut Marx, negara tidak mengabdi kepada kepentingan seluruh masyarakat, negara justru
melayani kepentingan kelas tertentu untuk mengamankan posisi dan statusnya. Dalam
masyarakat yang sungguh manusiawi, yang bebas dari penguasaan kelas, negara tidak
mempunyai fungsi lagi (Magnis Suseno, 2003: 261). Pemikiran Marx ini di kolaborasi
dengan pemikiran Lenin oleh Engels. Engels menyusun sistem operasional dari pemikiran-
pemikiran Marx, meliputi politik, ekonomi, dan sosial. Cita-cita komunisme adalah
kehidupan masyarakat tanpa kelas, yang diharapkan menghadirkan atmosfir kedamaian,
tanpa hak milik. Namun pada praktiknya, kediktaktoran muncul untuk menguasai dan
membentuk kehidupan yang tanpa kelas itu.
Pandangan Marx, tentang agama sebetulnya dipengaruhi oleh Ludwig Feuerbach.
Marx menulis, “Manusia yang membangun agama, bukan agama yang membuat manusia”,
agama adalah perealisasian hakikat manusia dalam angan- angan, tanda keterasingan dari
dirinya sendiri. Pertanyaan mendasar Marx mengenai hal ini, apakah yang membuat
manusia berada dalam keterasingan diri yang direalisasikan dalam angan-angan semata?.
Marx lalu memberikan gambaran bahwa kenyataannya, masyarakatlah yang menggiring
pada pola pikir demikian. Oleh karena itu, lanjut Marx kini harus diarahkan pada sikap
materialistik, yakni kritik surga menjadi kritik dunia, kritik agama menjadi kritik hukum,
kritik teologi menjadi kritik politik (Magnis Suseno, 1997: 10).
6
e. Jalan Tengah Pancasila
Di antara pertentangan yang sangat tajam antara liberalism-kapitalisme dan
sosialisme-komunisme, para pendiri bangsa ini memberikan jalan alternatif untuk berada di
antara dua titik ekstrim tersebut. Dalam pidatonya, Mr. Soepomo menguraikan adanya cara
pandang ketiga yang disebut cara pandang integralistik, yakni melihat negara sebagai suatu
kesatuan organik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hegel, Adam Muller dan Spinoza.
Cara pandang integralistik ini berbeda dengan cara pandang Rousseau dkk dan kolektivisme
Rusia. Hatta mengkritik cara pandang integralistik ini karena dinilai terdapat kemungkinan
tumbuhnya negara dengan kekuasaan absolut, sekalipun ada kemiiripan dengan cara
pandangan Indonesia mengenai makro dan mikrokosmos. Hatta melengkapi cara pandang
integralistik tersebut dengan mengajukan usulan penghargaan terdapat hak-hak dasar
manusia. Kemudian hak-hak dasar itu muncul pada urain UUD 45, yakni kemerdekaan
berserikat, berkumpul dan berpendapat (Oetojo Oesman dan Alfian, 1991: 93-94).
Cara pandang integralistik ini melihat kemakmuran masyarakat diutamakan, namun
harkat dan martabat manusia tetap dihargai. Cara pandangan seperti ini tidak melihat
negara secara organis, melainkan sebagaimana disepakati kemudian yang kemudian
terumuskan pada alenia ke-3 pembukaan UUD 1945. Bahwa negara adalah suatu keadaan
kehidupan berkelompoknya bangsa Indonesia yang atas berkat rahmat Allah yang
didorongkan oleh keinginan yang luhur bangsa Indoneis untuk berkehidupan kebangsaan
yang bebas.
Sementara dalam bidang ekonomi, jelas Pancasila Ekonomi pancasila didefinisikan
sebagai sistem ekonomi yang dijiwai ideologi Pancasila yang merupakan usaha
bersama yang berasaskan kekeluargaan dan kegotongroyongan nasional. Sistem ekonomi
Pancasila bersumber langsung dari Pancasila sila kelima; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia dan amanat pasal 33 27, 31, 33 34. Ekonomi Pancasila merupakan sistem ekonomi
integratif yang mengandung pada dirinya ciri-ciri positif dari kedua sistem ekstrim
(Mubyarto, 1980).
Peranan unsur moralitas sangat kuat dalam konsep ekonomi Pancasila. Karena unsur
moral dapat menjadi salah satu pembimbing utama pemikian dan kegiatan ekonomi. Kalau
moralitas ekonomi Smith adalah kebebasan (liberalisme) dan ekonomi Marx adalah
diktator mayoritas (oleh kaum proletar). Moralitas Ekonomi Pancasila mencakup
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Pelaku-pelaku ekonomi
inilah yang secara agregatif menciptakan masyarakat yang berkeadilan sosial dan besifat
sosialistik yaitu adanya perhatian yang besar pada mereka yang tertinggal (Mubyarto, 1981).
7
Ditambah dengan semangat nasionalistis dan kesungguhan dalam implementasi, Ekonomi
pancasila akan mampu menciutkan kesenjangan kaya-miskin atau mampu mencapai tujuan
pemerataan (Mubyarto, 1986).
Sementara itu, hubungan antara Pancasila (Negara) dengan agama diletakkan
dalam kerangaka pembedaan (differentiation), bukan pemisahan (sekularisme). Pembadaan
agama dan negara dalam konteks ini diartikan masing- masing mempunyai batas otoritas,
tetapi terhubung dengan ranah kehidupan yang berbeda secara konseptual (tapi bisa saja
terhubung) dalam metode, bentuk pemikiran, wacana dan tindakan. Perihal tersebut disebut
“toleransi kembar” (twin tolerations), yakni situasi ketika institusi agama dan negara
menyadari batas otoritasnya masing-masing (Yudi Latief, 2011).
Agama menyediakan landasan moral untuk menopang atau bahkan melawan
kekuasaan; Agama tak perlu diintegrasikan ke dalam negara (institusi), sebab rawan dengan
politisasi agama. Agama justru harus terus mengkontrol kecenderungan absolutisme dunia
sekuler negara. Untuk itu, agama harus melakukan proses obyektivikasi dan rasionalisasi
agar bersifat universal. Institusi negara bebas menjalankan kebijakan dalam batas konstitusi,
sementara agama juga diberi kebebasan penuh beribadah privat dalam batas keyakinan
masing-masing. Agama bisa mengembangkan nilai keagamaan di ruang publik melalui civil
society atau bahkan political society (Yudi Latief, 2011).
8
d. Hakikat hubungan manusia dengan alam
e. Hakikat hubungan manusia dengan manusia lainnya (Sutrisno, 2006: 20)
Cara memandang hidup bangsa-bangsa tidak hanya berkenaan dengan menjawab
permasalahan yang bersifat epistemologis belaka (‘bagaimana’), tetapi juga menyangkut
persepsi tentang “apa” permasalahannya, atau apakah hakikatnya. Sumber persepsi yang
berangkat dari pertanyaan ‘apa’ (ontologis) itu merupakan permasalahan pokok hidup
manusia, yakni menyangkut keyakinan dasar, yang memberikan manusia konsep
fundamental sekaligus merupakan idealisasi kehidupan. Dalam konteks komunitas atau
kolektif, bisa disebut dengan suatu cita- cita bangsa yang bersangkutan (idealisasi kolektif).
Menurut Frederick Sontaq, setidaknya ada lima problem fundamental dalam ontologi.
Pertama, apakah yang-ada itu bersifat plural atau tunggal. Kedua, apakah yang-ada itu
bersifat transenden atau immanen. Ketiga, apakah yang-ada itu bersifat permanen
atau terbaru keempat, apakah yang-ada itu bersifat jasmani atau rohani. Kelima, apakah
yang- ada itu bernilai atau tidak. Lima problem mendasar inilah yang selalu menjadi
kerangka konseptual dalam melihat cara masyarakat atau orang memang diri dan
lingkungannya.
Berangkat dari dasar pandangan fundamental tersebut, lalu menjadi idealisasi
kolektif yang terangkum dalam sistem nilai yang bersifat dasar, yang terekspresikan ke dalam
budaya masyarakat bangsa tersebut. Perangkat konseptual keyakinan dasar yang dimiliki
manusia, masyarakat, bangsa disadari atau tidak, itulah yang disebut pandangan hidup.
Singkatnya, pandangan hidup merupakan suatu pandangan menyeluruh mengenai hakikat,
asal, nilai, tujuan dan arti dunia seisinya, khususnya mengenai manusia dan kehidupannya,
suatu pandangan yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari (Slamet Sutrisno, 2006: 20).
Jika dilihat dari perspektif ontologis, masyarakat Indonesia memandang realitas itu
bersifat plural, kebhinekaan, baik dari sisi agama, bahasa, suku dst. Titik tolak ontologis ini
harus menjadi kerangka acuan bangsa Indonesia dalam bersikap dan berperilaku dengan
orang lain/kelompok lain yang berbeda dari kelompoknya. Kenyataannya, nilai kebhinekaan
tersebut diekspresikan oleh masyarakat dalam bentuk budaya, misalnya, kebudayaan tepa
slira, tenggang rasa, dan lainnya. Pandangan hidup yang terdiri atas kesatuan rangakaian
nilai-nilai luhur, yakni menyangkut wawasan menyeluruh terhadap kehidupan itu sendiri.
Pada level praksis, pandangan hidup berfungsi sebagai acuan, baik untuk menata diri pribadi
maupun menata hubungan antara manusia, masyarakat dan alam sekitar. Kebudayaan tepa
slira tersebut terbukti mampu menata hubungan manusia satu dengan lainnya (Slamet
Sutrisno, 2006: 21).
9
Pandangan hidup memberikan orientasi dalam kehidupan, serta menunjukkan
tatanan bagi segala sesuatu yang berada dalam jagad raya. Oleh karenanya, arah atau
orientasi yang diberikan suatu pandangan hiduap bersifat global dan tidak eksplisit
(Oetojo Oesman dan Alfian, 1992: 48). Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa
merupakan kenyataan objektif yang hidup dan berkembang dalam masyarakat
Indonesia. Dalam pengertian inilah maka diistilahkan bahwa bangsa Indonesia
sebagai causa materialis dari Pancasila. Secara ilmiah harus disadari bahwa suatu
masyarakat, suatu bangsa senantiasa mempunyai suatu pandangan hidup atau filsafat hidup
masing-masing yang berbeda dengan bangsa lain. Bangsa Indonesia tidak mungkin
mempunyai pandangan hidup atau filsafat hidup dengan bangsa lain. Pembuktian
epistemologis mengenai hal ini dapat diverifikasi melalui pengalaman selama ribuan tahun
bangsa Indonesia dalam bertuhan, memanusiakan manusia, kebhinekaan, musyawarah dan
cita-cita sosial, yakni keadilan.
Sejatinya, konsep pandangan hidup, filsafat atau falsafah dan ideologi memiliki
keterkaitan satu sama lain. Istilah-istilah ini merupakan gambaran menyeluruh Pancasila,
namun ketiganya memuat makna yang berlainan atau berdekatan . Filsafat adalah pemikiran
ilmiah dan rasional dengan klaim validitas universalitas, falsafah adalah hasil dari kegiatan
filsafati. Kemudian, weltanschauung (pandangan hidup atau pandangan dunia) adalah
pandangan yang lebih relatif, personal, eksistensial dan historikal. Filsafat tidak otomatis
menjadi pandangan hidup. Untuk menjadi sebuah weltanschauung, sebuah falsafaf harus
menjadi sikap dan pendirian orang atau sekelompok orang tentang dunia kehidupan.
Pandangan hidup lebih abstrak kemudian di jalankan dan diterima dalam kehidupan sehari-
hari. Weltanschauung tidak selalu lahir dari filsafat dan membentuk fisafat. Dalam
beragam nilai kearifan tradisional di Indonesia tidak semua weltanschauung didahului
oleh bangunan filsafat, tetapi bisa dijumpai pula weltanschauung yang melahirkan rumusan
filsafat. (Latif, 2015: 33-35).
Terdapat lima kelompok pandangan yang melihat hubungan antara filsafat dan
weltanschauung. Latif (2015: 35) merangkumnya sebagai berikut:
a. Weltanschauung berbeda dengan filsafat.
b. Weltanschauung adalah mahkota filsafat.
c. Weltanschauung adalah manifestasi tertinggi filsafat.
d. Weltanschauung berdampingan dengan filsafat.
e. Weltanschauung menjadi induk filsafat.
f. Weltanschauung sebagun (sama) dengan filsafat.
10
Latif (2015, 32-36) mencatat bahwa Soekarno memposisikan Pancasila sebagai
ideologi yang berasal dari pandangan hidup rakyat Indonesia. “Pancasila sebagai pandangan
hidup/pandangan dunia (weltanschauung) bangsa Indonesia hendak dijadikan ideologi
nagara”. Posisi ini mirip dengan posisi yang dikonsepkan oleh Engels. Bahwa ideologi
adalah weltanschauung yang diorientasikan dan disistematisasikan secara ilmiah-filosofis
bagi operasional pemerintahan Indonesia. Weltanschauung yang demikian menjadi
weltanschauung yang ilmiah (scientific worldview).
Di antara pandangan hidup bangsa Indonesia adalah menempatkan Tuhan atau yang
adi kodrati sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam hidup manusia Indonesia. Hal ini
terbukti adanya banyak peninggalan yang bernuansa religi, misalnya di zaman Megalitikum
terdapat menhir, punden berundak-undak di Pasemah (wilayah antara Palembang dan Jambi),
candi Borobudur, dan seterusnya. Pandangan hidup yang menempatkan Tuhan atau yang adi
kodrati sebagai kutub yang penting dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia
menandakan nilai-nilai ketuhanan menjadi ‘pemandu’ dalam menjalani kehidupan. Implikasi
cara pandang demikian dapat dilihat dari aktivitas keduniawian (politik, sosial, ekonomi)
sebagian besar masyarakat Indonesia yang selalu menghubungkannya dengan dunia adi
kodrati atau Tuhan. Dalam konteks, antropologis-sosiologis, berbagai ragam keyakinan
tersebut adalah hidup berdampingan dan tidak menjadi hambatan dalam berhubungan
dengan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa manusia Indonesia betul-betul menjaga
hidup dalam keharmonisan (Kaelan, 2002: 48).
Demikian pula pada wilayah kemanusiaan, pengakuan atas sifat kodrat manusia
sebagai individu dan sosial telah dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Sebagai makhluk
individu, manusia mempunyai hak-hak yang sederajat dengan lainnya, sementera sebagai
makhluk sosial itu terkait dengan hubungannya dengan manusia lain. Hubungan sosial
masyarakat Indonesia sejak dulu tidak membedakan satu dengan lainnya, meskipun tidak
dengan masyarakat pribumi, yakni dengan komunitas Arab, Tionghoa, dan India.
Bukti historis mengenai hal ini dapat dilihat pada masa kerajaan Sriwijaya yang
telah mengakui bahwa di dunia terdapat bangsa lain secara sederajat. Dalam sebuah buku
yang berjudul Iching, dijelaskan tentang berbagai bekerjasama masyarakat pribumi dengan
bangsa lain seperti Cina, Birma di Universitas Nalanda. Perwujudan kerjasama juga terjadi
dengan bangsa India, Cina dan Arab. Filsafat hidup bangsa memandang manusia
sebagaimana ia sebagai manusia, karena ia adalah manusia (Immanuel Kant), bukan sebagai
lainnya, bukan sebagai obyek di luar dirinya yang harus dieksplotasi. Pandangan filosofis
inilah yang bisa menjadi modal dasar untuk bisa berhubungan dengan yang lain, the others,
11
meskipun berbeda dari sisi etnis, social, budaya bahkan agama (Kaelan, 2002: 48-49). Titik
sentral manusia dalam filsafat hidup bangsa Indonesia tidaklah tenggelam dan sekaligus
tidak menonjol.
Di antara kutub Tuhan dan manusia terdapat keseimbangan tanpa saling
mendominasi satu dengan yang lain. Inilah filsafat hidup yang terkristal dalam Pancasila
Cita-cita dan kesatuan tercermin dalam berbagai ungkapan dalam bahasa- bahasa daerah di
seluruh nusantara sebagai budaya bangsa, seperti atau ungkapan ‘tanah air’ sebagai ekspresi
pengertian persatuan antara tanah dan air, kesatuan wilayah yang terdiri dari pulau-pulau,
lautan dan udara: ‘tanah tumpah darah’ yang mengungkapkan persatuan antara manusia
dengan alam sekitar, persatuan antara orang dan bumi tempat tinggalnya. Ungkapan-
ungkapan tersebut mempunyai kekhasan tersendiri bagi bangsa Indonesia dan tentu saja
mempunyai makna khas pula. Pengalaman kesejarahan bangsa Indonesia dalam merebut
‘tanah tumpah darah’ memberi pesan akan pentingnya persatuan antar berbagai ragam suku,
bahasa, dan bahkan dengan ‘tanah’ yang dipijaknya. Cita-cita persatuan dan kesatuan ini
dalam sejarah bangsa Indonesia juga terungkap bahwa sejarah mencatat adanya kerajaan
yang dapat dikelompokkan bersifat nasional, yakni Sriwijaya dan Majapahit (Kaelan, 2002:
49).
Persatuan bukan hanya slogan semata, persatuan justru harus dibangun dalam
bentuk kerja-kerja praksis kebudayaan, seperti pada ‘gotong royong’, ‘siadapari’,
‘masohi’, ‘sambatan’, ‘gugur gunung’, dan sebagainya mengungkapkan cita-cita
kerakyatan, kebersamaan dan solidaritas sosial. Berdasarkan semangat gotong royong
dan asas kekeluargaan negara tidak mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar atau
bagian yang terkuat dalam masyarakat, baik politik, ekonomis, maupun sosial kultural.
Negara menempatkan diri di atas golongan dan bagian masyarakat, dan mempersatukan diri
dengan seluruh lapisan masyarakat. Rakyat tidak untuk Negara, tetapi Negara untuk
rakyat sebab pengambilan keputusan selalu berdasarkan musyawarah mufakat, seperti yang
dilakukan dalam rembug desa, karaptan nagari, kuria, wanua, banua, nua (Kaelan, 2002: 49).
Dalam hal ini, negara yang kadang berambisi untuk menyeragamkan, adanya perbedaan
justru harus meletakkan keragaman itu sebagai potensi untuk dikelolo dan dikembangkan
untuk menjadi kebudayaan nasional.
Selanjutnya, hubungan antara hak, kewajiban serta kedudukan yang seimbang
itu merupakan cita-cita keadilan sosial. Ide tentang keadilan sosial ini bukanlah hal yang baru
bagi bangsa Indonesia. Cita-cita akan masyarakat yang gemah ripa loh jinawi tata tentrem
karta raharja, serta ajaran milinarisme dan messianime yang menyatakan bahwa masyarakat
12
adil dan makmur akan terwujud dengan datangnya ‘Ratu Adil’ (Kaelan, 2002: 50).
Kedatangan ‘ratu adil’ itu bukanlah datangya ‘sosok’ itu sendiri, tetapi keadilan itu hadir jika
telah dilakukan penegakan hukum, kedaulatan dan mandiri.
13