Anda di halaman 1dari 166

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

Arie Supriyatno
Dosen FKIP Univ. Muh Magelang

Abstract
Pancasila ideology of openness at the level of instrumental value does not mean that we also open ourselves to wawasanan
ideology of communism. But instead requires you to be aware of our vulnerability, so that both consciously and unconsciously
not to use the insights of doctrine, policy and strategy that is Marxism Leninism / Communism. Salain a feature of this
ideology is the permanent contradiction minded about, about not being able to didamaikannya conflict that existed until one
of the parties to the contrary completely destroyed. One of the characteristics that others should watch out for is penghalalan
all means to achieve goals.
Keywords: Pancasila, Ideology Open.

A. PENDAHULUAN
Ada beberapa faktor lain yang mendorong kedua setelah Amerika Serikat, akhirnya runtuh
pemikiran kita mengenai Pancasila sebagai ideologi bercerai berai.
terbuka. Beberapa diantaranya dapat kita sebutkan di Ketiga, pengalaman sejarah politik kita sendiri di
sini. Pertama, kenyataan bahwa dinamika masyarakat masa lampau sewaktu pengaruh komunisme sangat
kita berkembang dengan amat cepat. Tidak selalu besar. Karena pengaruh ideologi komunisme yang
jawabannya bisa kita temukan secara ideologis pada dasarnya bersifat tertutup, Pancasila pernah
dalam pemikiran ideologi kita sebelumnya. Ambillah merosot menjadi semacam dogma yang kaku.
sebagai misalnya tendensi globalisasi ekonomi yang Tidak lagi dibedakan antara aturan-aturan pokok
merupakan ciri khas dari dunia pada awal abad ke 21 yang memang harus dihargai sebagai aksioma
dan diperkirakan akan berlanjut di masa mendatang. yang kita sepakati bersama, dengan aturan-aturan
Dalam kecenderungan ini, peranan besar tidak lagi pelaksanaannya yang seyogyanya bisa disesuaikan
dipegang oleh negara dan pemerintah yang karena dengan perkembangan. Dalam suasana kekakuan
besar dan kompleksitasnya relatif lamban untuk tersebut, Pancasila tidak lagi tampil sebagai ideologi
menangani kecepatan tersebut. Peranan yang lebih yang menjadi acuan bersama, tetapi sebagai senjata
besar justru dipegang oleh badan swasta. Gejala ini konseptual untuk menyerang lawan-lawan politik.
jelas memerlukan kejelasan sikap secara jelas. Kebijaksanaan pemerintah pada saat itu menjadi
Kedua, kenyataan bangkrutnya ideologi bersifat absolut, dengan konsekuensi perbedaan
tertutup seperti marxisme-leninisme/komunisme. pendapat menjadi alasan untuk secara langsung
Jika dengan ideologi terbuka pada dasarnya kita dicap sebagai anti-Pancasila. Hal itu jelas tidak benar
maksudkan ideologi yang berinteraksi secara dinamis dan perlu dikoreksi secara mendasar.
dengan perkembangan lingkungan sekitarnya, maka Keempat, tekad kita untuk menjadi Pancasila
dengan istilah ideologi tertutup kita maksudkan sebagai asas dalam hidup bermasyarakat,
ideologi yang merasa sudah mempunyai seluruh berbangsa dan bernegara. Kualifikasi dalam
jawaban terhadap kehidupan ini, sehingga yang hidup “bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”
perlu dilakukan adalah melaksanakannya bahkan menunjukkan bahwa ada kawasan kehidupan
secara dogmatik. Dewasa ini ideologi komunisme yang bersifat otonom dan karena itu tidak secara
dihadapkan kepada pilihan yang amat berat, untuk langsung mengacu kepada nilai Pancasila. Salah
menjadi pilihan suatu ideologi terbuka atau tetap satu diantaranya adalah nilai-nilai religi. Peranan
menjadi ideologi tertutup seperti selama ini. Uni Pancasila dalam religi adalah mengayomi,
Soviet di bawah kepemimpinan Mikhail Gorbachev melindungi dan mendukungnya dari luar. Agama
memilih langkah radikal menuju ideologi terbuka bahkan diharapkan menjadi sumber inspirasi dan
yang sebagaimana kita ketahui, negara super power motivasi bagi pembangunan nasional.

Jurnal Penelitian & Artikel Pendidikan


164
B. Fungsi Filsafat dan Ideologi suatu ajaran filsafat. Ideologi, yang secara harfiah
Pancasila berarti a system of ideas, akan mensistematisasikan
seluruh pemikiran mengenai kehidupan ini, dan
Secara umum filsafat berfungsi memberikan
melengkapinya dengan sarana serta kebijakan dan
jawaban kepada kita tentang hakikat terdasar
strategi, dengan tujuan menyesuaikan keadaan nyata
dari segala sesuatu. Pemahaman tentang hakikat
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam filsafat
terdasar dari segala sesuatu ini amat penting agar
yang menjadi induknya. Dengan lain kata bahwa
kita tidak keliru dalam menilai keadaan serta dalam
ideologi adalah petunjuk pelaksanaan bagi filsafat.
menentukan kebijaksanaan yang akan kita tempuh.
Barangkali ada pandangan bahwa peranan
Tentang hidup bermasyarakat, berbangsa dan
ideologi berakhir. Namun saya kira pandangan itu
bernegara misalnya, kita bertanya: manakah yang
berlebihan. Sebabnya adalah sederhana, yaitu karena
sesungguhnya benar, apakah manusia ini pada
tidak mungkin kita mengerti dunia yang demikian
dasarnya adalah srigala bagi yang lain (homo homini
kompleks dan bersifat interdependen, tanpa
lupus), ataukah justru merupakan sahabat bagi lainnya
dukungan suatu konsep yang bersifat makro seperti
(homo homini socius). Jika kita menyimpulkan berdasar
filsafat dan ideologi.
jawaban pertama, kita akan menganut jawaban yang
Berada di latar belakang setiap ideologi adalah
pertama, kita akan menganut faham individualisme
pemikiran filsafati, baik yang merupakan hasil
serta liberalisme yang amat mementingkan
renungan seorang atau beberapa orang filosof,
perseorangan dan relatif mengabaikan masyarakat,
ataupun yang merupakan kristalisasi pemikiran
setidak-tidaknya dalam teori kalaupun bukan dalam
suatu bangsa.
praktek. Jika kita memilih jawaban yang kedua, kita
Jika kita renungkan sungguh-sungguh, Pancasila
akan menganut paham cenderung kepada humanisme
lebih merupakan kristalisasi pemikiran kita sebagai
dalam berbagai variasinya yang ada.
bangsa dari pada merupakan hasil pemikiran
Pemikiran filsafat yang sudah mencapai
perseorangan. Nilai-nilai yang terkandung dalam
kematangan, cenderung untuk dikristalisasikan
Pancasila itu, baik sebagai filsafat maupun sebagai
menjadi suatu sistem filsafat. Dengan demikian,
ideologi, tumbuh dari sejarah bangsa kita sendiri,
kebenaran-kebenaran yang dikandungnya dapat
khususnya dalam sejarah perjuangan kemerdekaan
dipelajari serta dimasyarakatkan kepada seluruh
kita dalam abad ke 20. Rumusnya bukanlah sekedar
bangsa. Ulasan-ulasannya bisa disusun secara panjang
merupakan buah renungan teoritikal seorang filosof,
lebar dan mendetail, dan juga bisa membatasi diri
tetapi merupakan mufakat 62 orang tokoh pemimpin
pada esensialinya saja.
nasional, yang merupakan para pendiri negara
Filsafat bisa bertumpu pada pemikiran seorang
antara bulan Mei dan Agustus 1945. Masing-masing
filosof besar, yang akan melahirkan aliran-aliran
tokoh ini memberikan andilnya dalam rumusan
filsafat seperti Marxisme-Leninisme; dan juga bisa
akhir Pancasila itu, baik yang terdapat dalam alinea
merupakan kristalisasi pemikiran terdalam suatu
4 Pembukaan UUD 1945, maupun dalam wujud
bangsa, seperti misalnya filsafat India, Yunani
jabarannya dalam pasal-pasal UUD 1945 itu sendiri.
ataupun Cina. Secara pribadi penulis berpendapat
Untuk mendalami hal ini, kita bisa membaca
bahwa Pancasila sebagai filsafat lebih cenderung
risalah dan dialog yang berkembang dalam BPUPKI
merupakan kristalisasi pemikiran terdasar kita sebagai
dan PPKI di tahun 1945. Risalah sidang-sidang
bangsa. Upaya kita untuk mengaitkan Pancasila
kedua Badan ini kita temukan dalam buku himpunan
secara khusus kepada pemikiran pemimpin nasional
Prof. Mr. Muhammad Yamin, Naskah Periapan
tertentu ternyata terlalu sempit untuk menampung
Undang-Undang Dasar 1945. Sikap serta pernyataan
demikian luas nuansa yang dikandung Pancasila itu.
pendiri negara kita itu tidaklah statis. Hal ini terlihat
Filsafat sudah merasa puas jika setelah melalui
nyata pada perkembangan pendapat Prof. Mr. Dr.
renungan yang dalam merasa sudah mendapatkan
Soepomo yang merancang UUD 1945.
jawaban mengenai hakikat terdasar itu. Memang
Dalam tahun 1945 beliau amat gigih menentang
demikianlah latar belakang filsafat, yang secara
usul Drs. Muhammad Hatta untuk mencantumkan
harfiah berarti “cinta akan kebenaran”.
adanya hak-hak kewarganegaraan dalam rancangan
Jika kita ingin bukan hanya sekedar tahu,
UUD 1945, dengan alasan bahwa hal itu bersifat
tetapi juga untuk melaksanakan kebenaran yang
individualistis. Namun dalam Konstitusi Republik
dikandung filsafat secara taat asas, maka kita harus
Indonesia Serikat dan dalam Undang-Undang
memasuki kategori pemikiran lain, yaitu ideologi.
Sementara 1950 yang juga beliau rancang, kita sudah
Ideologi merupakan komitmen untuk melaksanakan

Jurnal Penelitian & Artikel Pendidikan


165
menemukan banyak sekali pernyataan hak warga yang merupakan nilai dasar yang tidak berubah
negara ini. Walaupun hal itu bisa kita terangkan dan tidak boleh diubah lagi?
dengan alasan bahwa dalam kurun 1949-1959 kita Nilai dasar Pancasila yang abadi itu kita
menganut faham liberal, namun sangatlah jelas bahwa temukan dalam empat alinea Pembukaan UUD
kedua konstitusi itu tidak akan tersusun demikian, 1945.
jika Soepomo tidak mengembangkan wawasannya Alinea pertama memuat keyakinan kita kepada
mengenai hidup bernegara. Setidak-tidaknya beliau kemerdekaan sebagai hak segala bangsa, kepada
akan berpendapat bahwa pencantuman hak-hak perikemanusiaan dan kepada perikeadilan.
warga negara bukan saja merupakan suatu kebutuhan, Penghapusan penjajahan adalah merupakan
tetapi setidak-tidaknya tidak bertentangan dengan suatu kosnekuensi logis dari keyakinan kita ini.
faham kekeluargaan yang beliau anut. Kemerdekaan, perikemanusiaan dan perikeadilan
Dalam penjabaran Pancasila, baik sebagai filsafat adalah rangkaian aksioma tempat bertumpunya
maupun sebagai ideologi, para pemimpin kita terbagi seluruh wawasan kenegaraan pada tataran
dalam dua aliran besar. Untuk sementara penulis formal, serta seluruh wawasan kita tentang
ingin menyebutnya sebagai aliran konstitusionalis kehidupan kebangsaan secara substantial.
yang ingin berpegang teguh kepada konstitusi ���������������������������������������
Ada perbedaan arti antara “negara” dan
sebagai hukum dasar tertulis; dan aliran revolusioner, “bangsa”. Negara adalah suatu organisasi
yang cend\erung mengabaikan konstitusi itu, demi yang meliputi unsur-unsur rakyat, wilayah,
filsafat dan ideologi yang menjadi latar beakangnya. pemerintah serta kedaultan. Sedangkan
Pengalaman menunjukkan bahwa aliran “bangsa” adlah kesatuan tekad dari rakyat untuk
konstitusionalis dapat membawa kita kepada hidup bersama mencapai cita-cita dan tujuan
kehidupan yang stabil, sedangkan aliran revolusioner bersama, terlepas dari perbedaan etnik, ras,
membawa kita dari suatu krisis ke krisis yang lain. agama ataupun golongan asalnya. Kesadaran
����������
Sejak tahun 1966, kita sudah meninggalkan aliran kebangsaan adalah perekat yang akan mengikat
revolusioner, dan memilih aliran konstitusionalis. batin seluruh rakyat.
Itulah yang kita maksud dengan “melaksanakan Alinea kedua memuat cita-cita nasional
Pancasila secara murni dan konsekuen”. sekaligus cita-cita kemerdekaan kita; yaitu suatu
Hal ini berarti bahwa pemahaman kita negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
selanjutnya tentang Pancasila ini harus selalu makmur. Pengertian-pengertian
�����������������������������������
singkat yang
dikaitkan dengan Undang-Undang dasar 1945 yang terdapat dalam alinea ini harus diberi makna
menjabarkan nilai-nilai yang dikandung sila-silanya filsafati yang mendasar. Rakyat Indonesia dalam
dalam pasal-pasalnya. negara Indonesia yang kita bentuk itu ingin
hidup dalam suasana yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur. Inilah nilai yang
C. Urgensi Keterbukaan Ideologi merupakan tolok ukur terakhir apakah negara
dan Penerapannya yang kita bentuk itu sudah sesuai dengan apa
yang kita harapkan apa belum.
Keterbukaan ideologi bukan saja merupakan
Alinea ketiga, memuat watak aktif dari
suatu penegasan kembali dari pola pikir yang dinamis
rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaan,
dari para pendiri negara kita dalam tahun 1945, tetapi
untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang
juga merupakan suatu kebutuhan konseptual dalam
bebas, bukan dengan keangkuhan yang bersifat
dunia modern yang berubah dengan cepat.
chauvinistis, tetapi dengan sikap religius, dengan
Dengan menegaskan Pancasila sebagai
kesadaran akan rakhmat Allah SWT serta
ideologi yang terbuka, di satu pihak kita diharuskan
didorongkan oleh keinginan luhur. Bangsa yang
mempertajam kesadaran akan nilai-nilai dasarnya
ingin kita bangun bukanlah bangsa yang pasif,
yang bersifat abadi, di lain pihak didorong untuk
yang pasrah kepada nasibnya, tetapi bangsa yang
mengembangkannya secara kreatif dan dinamis
aktif, yang percaya kepada dirinya serta berbuat
untuk menjawab kebutuhan zaman.
secara nyata untuk mengubah nasibnya.
Namun nasionalisme kita bukanlah
Hal ini perlu kita dalami lebih lanjut:
nasionalisme yang sekular yang haya tahu
1. Nilai Dasar Pancasila yang Abadi dengan apa yang nyata kelihatan. Nasionalisme
Masalah yang kita hadapi sehubungan kita adalah nasionalisme yang sarat dengan
dengan nilai dasarnya adalah nilai-nilai mana nilai religi serta kemanusiaan. Nasionalisme

Jurnal Penelitian & Artikel Pendidikan


166
kita bukanlah nasionalisme yang berkehendak kita anut, yang tidak ingin dan tidak boleh kita
mengagresi bangsa lain, tetapi nasionalisme ubah lagi. Mengutip terminologi para akhli
yang terbatas pada tuntutan pengakuan akan hukum, mengubah nilai-nilai dasar itu berarti
eksistensi dirinya sebagai bangsa. membubarkan negara.
Alinea keempat memberi arahan mengenai
2. Nilai Instrumental yang berkembang dina-
tujuan negara, susunan negara, sistem
mis
pemerintahan dan dasar negara.
Tujuan negara kita jelas; melindungi Betapapun pentingnya nilai-nilai dasar
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah tersebut, namun sifatnya belum operasional,
darah Indonesia; memajukan keejahteraan artinya kita belum dapat menjabarkannya
umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; ikut secara langsung dalam kehidupan sehari-hari.
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan Penjelasan UUD 1945 sendiri menunjuk pada
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan adanya undang-undang sebagai pelaksanaan
sosial. Susunan Negara Republik Indonesia hukum dasar tertulis itu. Nilai-nilai dasar yang
jelas-jelas disebutkan berkedaulatan rakyat, yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 itu
berarti sumber dari seluruh otoritas kenegaraan memerlukan penjabaran lebih lanjut, sebagai
dalam republik ini adalah rakyat. arahan untuk kehidupan nyata. Penjabaran
Sistem pemerintahan kita juga jelas, yaitu lanjut ini kita namakan nilai instrumental.
sistem pemerintahan konstitusional, yang Nilai instrumental harus tetap mengacu
secara padat dirumuskan sebagai: “disusunlah kepada nilai-nilai dasar yang dijabarkannya.
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif
dalam suatu Undang-Undang Dasar negara dan dinamis dalam bentuk-bentuk baru untuk
Indonesia”. Kemerdekaan bukanlah sekedar mewujdukan semangat yang sama, dalam
suatu konsep filosofis, tetapi juga suatu konsep batas-batas yang dimungkinkan oleh nilai
yuridis dengan pengertian yang pasti dan dasar itu. Penjabaran
���������������������������������
itu jelas tidak boleh
dirumuskan dalam konstitusi. Semua kegiatan bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang
pemerintah harus mempunyai alasan pembenar dijabarkannya.
dalam konstitusi sebagai hukum dasar tertulis, Dokumen konstitusional yang disediakan
yang dapat dikembangkan dalam hukum tidak untuk penjabaran secara kreatif dari nilai-nilai
tertulis yang tumbuh praktek penyelenggaraan dasar itu adalah TAP MPR yang merupakan
negara. kewenang MPR, peraturan-peraturan
Akhirnya, Dasar Negara kita tercantum perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan
dalam lima sila, yang rumusnya sudah kita kenal pemerintah lainnya.
benar, dan tidak akan penulis ulangi di sini. Apapun bentuknya, ada satu syarat yang
Makna nilai-nilai yang terkandung dalam merupakan conditio sine quo non yang harus
pembukaan UUD 1945 itu dapat kita cari dalam dipenuhi penjabaran ini, yaitu dimufakati seluruh
berbagai sumber, sumber pertama jelas adalah bangsa. Tolok ukur kebenaran dalam nilai dasar
Penjelasan UUD 1945. Jika kita ingin lebih Pancasila adalah kebersamaan, kekeluargaan,
dalam memahaminya, kita harus membaca persatuan dan kesatuan. Gagasan-gagasan
risalah sidang-sidang BPUPKI dan PPKI, perseorangan dan golongan sampai ia menjadi
seperti yang sudah penulis kemukakan di muka. kesepakatan bersama, baik secara formal
Selanjutnya jika ingin mempunyai prespektif maupun secara informal.
kesejarahan yang lebih lengkap, kita harus Kehidupan berpancasila itu memang
mendalami keseluruhan gerakan kemerdekaan merupakan kehidupan yang penuh dengan
nasional khususnya sejak awal abad ke 20. dialog, dengan musyawarah, dengan mufakat.
Rumusan-rumusan dalam UUD 1945 tidaklah Diperlukan kesabaran, keterbukaan, kearifan
timbul mendadak dalam ruang sidang BPUPKI dan ketekunan, yang juga dituntut pada setiap
di Jalan Pejambon Jakarta dalam tahun 1945 itu. bentuk negara yang hendak menegakkan
Seperti halnya dengan sejarah pemikiran filsafah demokrasi’
lainnya, ada akar sejarah, akar sosiologis serta Nilai yang sudah memperoleh kesepakatan
akar kulturalnya. masyarkat, perlu kita bakukan, untuk kita
Itulah nilai-nilai dasar dalam hidup masyarakatkan serta kita budayakan selanjutnya.
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang Nilai-nilai yang masih belum memperoleh

Jurnal Penelitian & Artikel Pendidikan


167
kesepakatan masyarkat, kita kaji kembali untuk Implikasi Penerimaan Pancasila sebagai
kemudian kita ajukan kembali dalam bentuknya Indeologi Terbuka
yang sudah disempurnakan. Masyarakat kita dewasa ini telah menerima
Cepatnya perkembangan nilai-nilai pandangan bahwa Pancasila merupakan ideologi
instrumental ini bisa mempunyai suatu dampak terbuka. Proses penerimaan ini tidaklah mudah.
negatif, yaitu timbulnya rasa tidak pasti mengenai Seperti juga halnya dengan setiap gagasan baru,
konsep-konsep yang kita anut. �������������
Namun memang masyarakat kita mula-mula menanggapinya
demikianlah suatu resiko masyarakat yang dengan hati-hati. Ada kekhawatiran dalam
sedang berubah. keterbukaan itu berarti diterimanya seluruh nilai
3. Penyelenggara Negara sebagai Pengem- apapun, termasuk yang bertentangan dengan
bang dari Nilai-nilai nilai-nilai dasar Pancasila itu. Setelah ternyata
�������������������������������������������
Baik nilai dasar maupun nilai instrumental bukanlah demikian halnya, maka secara de facto
berada dalam kawasan yang bersifat abstrak. kita mulai mempergunakan konsep Pancasila
Nilai-nilai itu tidak dapat melaksanakan ini sebagai acuan, antara lain sebagai landasan
dirinya sendiri, betapapun luhur dan agungnya. konseptual untuk kebijaksanaan deregulasi dan
Diperlukan dukungan manusia yang menganut debirokratisasi. Adalah jelas bahwa
nilai-nilai itu untuk mewujudkannya dalam deregulasi dan debirokratisasi bukanlah
kenyataan. merupakan liberalisasi, yang mengandung
Pendiri negara menyadari penuh bahwa para konotasi dianutnya faham liberalisme.
penyelenggara negara bisa mempunyai semangat Deregulasi dan debirokratisasi adaah penyesuai
yang sama dengan nilai yang terkandung dalam nilai instrumental Pancasila dalam bidang
UUD, bisa juga tidak. Jika tidak, maka secara ekonomi, sambil tetap berpegang teguh pada
lugas dinyatakan bahwa UUD itu tidak akan ada nilai-nilai dasarnya yang bersifat kekeluargaan.
artinya sama sekali. Sudah barang tentu akan ada kemiripan dalam
Para penyelenggara negara, baik yang berada beberapa aspek tertentu, seperti juga akan ada
pada tataran suprastruktur poitik yang tersebut perbedaan dalam hal-hal yang penting.
dalam UUD 1945, maupun yang berada dalam Hal ini membawa kita kepada masalah
tataran infrastruktur politik yang berkembang berikutnya, yaitu apakah implikasi dari
dalam masyarakat, memegang peranan sentral penerimaan Pancasila sebagai ideologi terbuka
dalam terwujud atau tidaknya nilai-nilai Pancasila itu? Menurut penulis, ada dampaknya baik pada
itu. nilai dasar, nilai instrumental maupun pada
Dalam tahun-tahun mendatang, berdasar praksis penyelenggara negara, sebagai berikut:
kehendak kita untuk tumbuh dan berkembang a. Pendalaman Nilai-nilai Dasar Panca-
berdasar kekuatan sendiri, kita memberikan sila
peluang dan dorongan lebih besar kepada Keharusan pertama adalah pendalaman
kreativitas dan praktek masyarakat. Hal itu terhadap nilai-nilai dasar Pancasila itu sendiri.
juga berarti bahwa kreativitas dan prakarsa Sebagian dari nilai-nilai itu kita angkat dari
tidak hanya berasal dari lembaga-lembaga yang khazanah kebudayaan bangsa kita sendiri di
berada di tingkat suprastruktur politik, tetapi daerah-daerah berdasar pasal 18 UUD 1945:
telah didesentralisasikan secara meluas kepada dan sebagian lagi berdasar peluang yang
masyarakat sebagai infrastruktur politik. Dalam dimungkinkan oleh pasal 32 UUD 1945 kita
hubungan ini kita mulai menyadari bahwa ambil alih dari khazanah kebudayaan dunia.
infrastruktur politik itu merupakan mitrakerja Tampaknya tidak banyak diantara
dari suprastruktur politik. kita yang memahami makna kultural
Gagasan-gagasan ini jelas merupakan sesungguhnya dari nilai-nilai itu. Sebagai
pengembangan secara kreatif dan dinamis dari seorang doktor hukum adat kita bisa
aturan-aturan pokok yang tercantum dalam yakin bahwa Soepomo tahu persis apa
UUD 1945. Hal itu mungkin kita laksanakan yang dilakukannya dalam menyusun UUD
karena para pendiri negara kita ini secara sadar 1945. Seyogyanya kita memiliki kedalaman
memberi peluang bagi generasi-generasi yang pengetahuan serta kearifan yang dimiliki
menyusuli mereka. Soepomo untuk bisa benar-benar memahami
yang beliau maksud

Jurnal Penelitian & Artikel Pendidikan


168
b. Pengembangan wawasan, doktrin, ke- karena rumusan filsafati bisa terasa
bijakan, strategi dan hukum nasional amat abstrak.
Keharusan berikutnya setelah Doktrin adalah suatu pedoman
kita memperdalam dan menjernihkan bertindak secara baku yang dipandang
pemahaman kita mengenai nilai-nilai terbaik dalam menangani suatu bidang
instrumentalnya, antara lain dalam bentuk pada suatu saat, yang dirumuskan
wawasan, doktrin, kebijakan, strategi dan dengan menerapkan suatu teori kepada
hukum nasional. Sebabnya adalah karena kenyataan nyata. Jika teori dan atau
nilai-nilai dasar Pancasila itu secara sengaja kenyataan berubah, maka doktrin
dibatasi oleh para pendiri negara kita pada harus diubah pula. Adanya doktrin
“aturan-aturan pokok” belaka. Tanpa memudahkan kita menangani masalah-
dijabarkan dalam ketentuan-ketentuan masalah yang sejenis, sehingga dengan
pelaksanaannya, maka aturan-aturan pokok demikian menghemat pikiran, tenaga
itu akan tetap terbatas pada aturan pokok dan waktu.
belaka. Penjabaran
������������������������������
ini menyangkut dua Kebijakan adalah serangkaian
kegiatan lanjutan. keputusan mendasar mengenai cara
1) Pengembangan wawasan. Doktrin, mencapai tujuan dan sasaran yang telah
kebijakan dan strategi ditetapkan berdasar filsafat, ideologi,
Kegiatan lanjutan pertama adalah wawasan serta doktrin.
pengembangan wawasan, doktrin, Strategi pada dasarnya adalah
kebijakan dan strategi, yaitu kegiatan rencana induk untuk melaksanakan
konseptual yang diperlukan agar suatu kebijaksanaan, dengan
“aturan-aturan pokok” yang tercantum mempergunakan sumberdaya yang ada.
dalam UUD 1945 itu bisa dilaksanakan Strategi selanjutnya dijabarkan ke dalam
dalam praktek secara mantap. program dan proyek, yang baik cakupan
Secara teoritikal, suatu “aturan maupun kedalamannya lebih khusus.
pokok” yang sama bisa dijabarkan Sudah barang tentu kita bisa
dalam berbagai wawasan, doktrin, mengembangkan berbagai alternatif
kebijaksanaan dan strategi, yang bisa pemikiran lainnya selain seperti di atas.
saling bertentangan dalam kenyataannya. Namun yang paling penting adalah
Contohnya bahwa pemikiran filosofi agar ada seperangkat nilai instrumental
historis materialisme Karl Marx bisa yang dengan jelas, eksplisit, cukup
dijabarkan baik dalam wawasan sosialis rinci, baku, sistematik, menjabarkan
yang moderat maupun wawasan nilai-nilai dasar yang terdapat dalam
komunis yang ekstrim. Perbedaan nilai-nilai dasar, atau “aturan-aturan
antar kedua varian Marxisme ini adalah pokok” Pancasila itu. Tanpa nilai-nilai
dalam nilai-nilai dasarnya, tetapi dalam instrumental, maka nilai-nilai dasar itu
wawasan lanjutan, doktrin, kebijakan akan “mengambang”
dan strategi pelaksanaannya. Karenanya, Bagaimana cara yang paling ideal
bagi kehidupan nyata, jabaran lanjut ini untuk membangun perangkat nilai
tidak kalah pentingnya dibandingkan instrumental Pancasila ini? Menurut
dengan pemikiran-pemikiran filsafati penulis, nilai instrumental Pancasila
yang melatarbelakanginya. harus dibangun menurut cara-cara
Wawasan adalah cara pandang Pancasila pula.
yang lahir dari keseluruhan kepribadian Sila-sila Pancasila mengamanat-
kita, terhadap lingkungan sekitar kita. kan kepada kita untuk selalu mengingat
Sifatnya adalah subjektif, dan bisa kita semangat religi, memuliakan martabat
pandang sebagai suatu rangkuman manusia, kesatuan dan persatuan bangsa,
dan penerapan praktis dari pemikiran demokrasi serta keadilan sosial dalam
filsafati yang melatarbelakangi wawasan kehidupan bermasyarakat, berbangsa
tersebut. Kita memerlukan adanya dan bernegara, dalam wujud yang selalu
wawasan yang relatif lebih konkrit, tumbuh dan berkembang semakin lama

Jurnal Penelitian & Artikel Pendidikan


169
semakin baik. Sudah barang tentu, komitmen para penyelenggara negara
dalam hal-hal khusus sila-sila tertentu ini. Sebelum di bawa ke forum yang
lebih mengemuka peranannya dari sila- bersifat formal, dimana martabat dan
sila yang lain. harga diri dipertaruhkan, maka hal-hal
Terkandung dalam kebutuhan yang peka dalam suasana yang umumnya
untuk mengembangkan seperangkat terasa tegang, dapat dibahas secara
nilai instrumental Pancasila ini adalah terbuka dan jujur dalam forum yang
dibukanya peluang sebesar-besarnya bersifat tertutup dikalangan apa yang
untuk merenung, mengutarakan pikiran biasa dinamakan dalam literatur politik
dengan lisan dan tulisan, untuk berserikat sebagai the strategi elites. Manfaatnya jelas
dan berkumpul, seperti yang telah sangat besar sekali.
dijamin dalam pasal 28 UUD 1945. Hal Oleh karena itu dewasa ini, bangsa
itu dengan sendirinya bermakna bahwa dan negara Pancasila adalah suatu
kita harus benar-benar mewujudkan konstruksi modern yang masih harus
suatu masyarakat yang demokratis kita bangun bersama dari puncak-
dalam negara yang didasarkan kepada puncak terbaik tradisi kita, seperti
kedaulatan rakyat ini. dipesankan oleh semangat penjelasan
Demokrasi dan kedaulatan rakyat pasal 32 UUD 1945.
sebagaimana dikemukakan tentang 2) Pengembangan sistem hukum nasional
konsep negara serta nasionalisme, baru yang taat asas
kita kenal dalam bentuknya yang modern Wawasan, doktrin, kebijakan dan
dalam awal abad ke 20. Kita seluruhnya strategi masih merupakan produk
masih harus belajar banyak mengenai intelektual. Kekuatannya terletak pada
asas-asasnya, mekanismenya dan kukuhnya penalaran yang melatar
tatakramanya. Memang ada persamaan belakanginya, tetapi ada kelemahannya
kedua konsep demokrasi dan kedaulatan yaitu bahwa seluruh tesis-tesisnya bisa
rakyat ini, dengan konsep negara dan dibantah dengan penalaran yang lebih
“bangsa” dalam artian tradisional, tetapi kuat. Jika hal itu dibiarkan berkembang
juga besar perbedaannya, paling kurang terus-menerus, kerugiannya adalah
dalam cakupan dan manajemennya. bahwa kita tidak akan mempunyai
Demokrasi dan kedaulatan rakyat pegangan. Betapapun pentingnya
dewasa ini mempunyai cakupan yang seluruh kebebasan itu, dalam
luas serta manajemen politik yang pelaksanaan diperlukan pegangan
jauh lebih rumit dibandingkan dengan yang jelas. Kalaupun akan diubah,
embrionya dalam hidup tradisional kita. perlu dilaksanakan secara teratur dan
Sifatnya lebih formal, dengan lugas, berencana agar tidak menimbulkan
hak, wewenang dan tanggung jawab kegoncangan dan kebingunan dalam
yang dirumuskan secara lugas dalam masyarakat.
peraturan perundangan. Mufakat tidak Dalam hal inilah timbulnya
lagi cukup sekedar saling pengertian, kebutuhan akan hukum. Hukum yang
tetapi dirumuskan dalam dokumen- baik akan memberikan landasan yang
dokumen tertulis yang ditandatangani kukuh dan pegangan yang pasti kepada
secara formal pula. seluruh pihak. Normanya dirumuskan
Suatu bentuk kesepakatan dengan jelas dan sanksinya perlu
politik, yang tumbuh dalam upaya ditegaskan dan bila perlu dikenakan
penjabaran nilai-nilai Pancasila itu hukuman yang berat atau maksimal
untuk memecahkan masalah penting agar mempunyai efek jera dan berlaku
kenegaraan pada masa era reformasi dengan tidak pandang bulu terhadap
seperti sekarang, adalah perlunya ditata setiap orang, seperti ditegaskan dalam
ulang political will pemimpin nasional. pasal 27 ayat 1 UUD 1945.
Banyak produk-produk legislatif Dengan hukum yang tidak
penting dalam bidang hukum dan politik baik kita akan menghadapi masalah.
pada mulanya berawal dari adanya Hukum kolonial yang disusun dalam

Jurnal Penelitian & Artikel Pendidikan


170
zaman penjajahan, yang bertujuan dapat membangun hal itu dalam waktu
mengeksploitir tanah air kita untuk yang lebih cepat secara berencana, melalaui
kepentingan negara asing; atau hukum proses pendidikan berkarakter yang bersifat
nasional sendiri yang disusun tanpa pola partisipatif ataupun melalui program
atau mengandung norma yang sudah keluarga sadar hukum (Kadarkum) yang
ketinggalan zaman, akan menimbulkan sudah lama dicanangkan di Indonesia.
ketidakpastian hukum dan sekaligus Menanamkan kesadaran hukum kepada
akan membuka celah serta kesempatan warga masyarakat bukan berarti menanamkan
untuk disalahgunakan yang merugikan disiplin mati, tetapi menanamkan keikhlasan,
masyarakat, bangsa dan negara. bahkan kegairahan, untuk secara rokhaniah
c. Mempersiapkan dan membawa kebia- menerima nilai dan norma itu dalam sistem
saan masyarakat untuk setia kepada nilai pribadinya, dengan kesadaran bahwa
nilai-nilai moral serta norma hukum. jika semua orang itu berbuat sama, hal itu
Setelah nilai dasar dan nilai instrumental pada taraf terakhir juga akan memberi
kita benahi secara mantap, suatu kegiatan manfaat kepada dirinya sendiri.
lanjutan berikutnya yang harus kita lakukan Penanaman kesadaran hukum harus
adalah mempersiapkan kebiasaan masyarakat dilakukan secara persuasif dan edukatif
untuk setiap kepada nilai-nilai moral serta sejak usia dini, sehingga kepatuhan kepada
norma hukum yang telah disusun itu. hukum akan merupakan bagian dari watak
Hal itu tidak mungkin tumbuh dengan serta kepribadian setiap orang. Dalam
sendirinya. Salah satu sebabnya adalah karena hal ini sudah barang tentu keluarga dapat
negara nasional yang sedang kita bangun ini memberikan peranannya yang besar.
adalah negara yang struktur dan prosedurnya Peranan berikutnya bisa diemban
modern, walaupun semangatnya tetap kita oleh kepemimpinan masyarakat, seperti
sandarkan kepada faham kekeluargaan yang kepemimpinan adat, kepemimpinan agama
kita warisi dari para leluhur. Perlu juga kita ataupun kaum terpelajar. Kaidah adat
ingat, bahwa tidak seluruhnya yang berasal dan agama bisa mendukung perwujudan
dari lelulhur itu kita lanjutkan begitu saja. Pancasila dalam masyarakat, apalagi jika kita
Ada proses aktif memilih mana yang sesuai ingat bahwa substansi nilai-nilai Pancasila
dan mana yang tidak lagi sesuai dengan itu sebagian berasal dari nilai adat dan
kebutuhan zaman kita sekarang. Feodalisme agama itu, khususnya sila pertama, kedua
atau fanatisme kedaerahan yang sempit dan keempat. Sedangkan sila ketiga dan
sudah seharusnya kita buang. Kita sedang kelima merupakan ilham dari khazanah
membangun suatu negara modern ! kebudayaan dunia yang universal sejak abad
Banyak konsep yang telah kita ke 18 dahulu. Nasionalisme tumbuh dalam
kembangkan mengenai hal ini, seperti abad ke 18 di Amerika Serikat dan Eropa
konsep disiplin nasional, tertib hukum, Barat, kemudian berkembang dalam gerakan
tertib sosial, anti KKN, stabilitas nasional, kemerdakaan dunia Timur. Keadilan sosial
ketahanan nasional, ataupun penegakan adalah merupakan tema perjuangan kaum
hukum. �����������������������������
Penulis percaya bahwa konsep- terpelajar kita sejak awal abad ke 20.
konsep ini akan berkembang terus dimasa Jika seluruhnya berhasil kita wujudkan,
mendatang seperti pendidikan berkarakter. baik di pusat maupun di daerah, pada
Catatan kecil lainnya yang perlu penulis suprastruktur politik maupun pada
kemukakan di sini yaitu bahwa baik infrastruktur politik, maka kita dapat berkata
pembangunan hukum maupun membangun bahwa kita sudah matang sebagai bangsa.
kebiasaan masyarakat untuk patuh kepada Pembatasan Keterbukaan Ideologi
nilai serta norma hukum itu akan memakan Ideologi terbuka ini banyak pertanyaan
waktu yang sangat lama. Menurut para dalam masyarakat apakah ideologi terbuka ini
pakar, Inggris memerlukan waktu selama berarti segala ideologi dan tafsir bisa diterima
400 tahun untuk membangun kesadaran begitu saja dalam memahami dan menjabarkan
hukum rakyatnya. Kita tentu tidak perlu nilai-nilai Pancasila. Hal itu memang perlu
menunggu selama itu. Seyogyanya kita dijelaskan.

Jurnal Penelitian & Artikel Pendidikan


171
Secara teoretitikal, sesungguhnya tidak Sudah barang tentu perlu digariskan
mungkin bahwa segala ideologi dan tafsiran batas-batas keterbukaan itu antara lain sebagai
bisa diterima begitu saja dalam memahami dan berikut:
menjabarkan nilai-nilai Pancasila. Hal itu bukan 1) Kepentingan Stabilitas Nasional
berarti suatu ideologi terbuka, tetapi malahan Walaupun pada dasarnya semua gagasan
menunjukkan tidak ada ideologi sama sekali. untuk menjabarkan nilai dasar itu bisa
Ideologi terbuka yang difahami sedemikian diajukan, namun jika sejak awal sudah bisa
sama saja artinya dengan mengatakan Pancasila diperkirakan gagasan itu akan menimbulkan
itu suatu non ideologi! keresahan yang meluas, selayaknya dicarikan
Ideologi yang berarti a system ideas, momen, bentuk, serta metoda yang tepat
mensyaratkan adanya sistematik serta untuk menyampaikannya.
konsistensi dalam gagasan-gagasannya. Hal 2) Larangan terhadap Ideologi Marxisme-
itu dengan sendirinya berarti bahwa unsur- Leninisme/Komunisme
unsurnya haruslah serasi, selaras dan seimbang Meskipun secara faktual kita bisa melihat
satu dengan lainnya. Ideologi serta gagasan yang proses kebangkrutan ideologi Marxisme-
tidak sesuai, apalagi yang bertentangan, sudah Leninisme/Komunisme di mana-mana,
dengan sendirinya akan ditolak, jika ideologi namun kita belum dapat mengabaikan
yang bersangkutan tetap akan memelihara ancaman ideologi ini sama sekali. Korea
konsistensi dirinya. Utara dan Kuba masih merupakan penganut
Namun secara praktikal hal itu perlu Komunisme yang gigih. Keterbukaan ideologi
ditegaskan secara lugas, karena istilah “terbuka” Pancasila pada tataran nilai instrumental
memang bisa diartikan macam-macam. tidak berarti bahwa kita juga membuka
Dimaksudkan terbuka di sini untuk berinteraksi diri kepada wawasanan faham komunisme.
dengan lingkungan sekitar adalah pada tataran Sebaliknya malah mengharuskan untuk
nilai instrumentalnya, dan bukan pada tataran waspada terhadap kerawanan kita, agar baik
nilai dasarnya. secara sadar maupun secara tidak sadar
Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam jangan sampai mempergunakan wawasan
Pembukaan UUD 1945, yang meliputi doktrin, kebijakan dan strategi yang bersifat
pandangan kita tentang kemerdekaan, tentang Marxisme Leninisme/Komunisme. Salain
cita-cita nasional, tentang Ke Tuhanan satu ciri faham ini adalah wawasannya tentang
YME, tentang dasar negara, tentang sumber kontradiksi permanen, tentang tidak dapat
kedaulatan negara, dan tujuan nasional, sudah didamaikannya konflik yang ada sampai
kita tempatkan sebagai aksioma yang tidak akan salah satu pihak yang bertentangan hancur
kita pertanyakan lagi. sama sekali. Salah satu cirinya yang lain yang
harus diwaspadai adalah penghalalan segala
cara untuk mencapai tujuan.

Daftar Pustaka

Undang-Undang Dasar 1945 dan Penjelasannya.

Jurnal Penelitian & Artikel Pendidikan


172
Keunggulan Dan Ketangguhan Ideologi Pancasila

Surajiyo
Universitas Indraprasta PGRI
Jl. Nangka/TB Simatupang No. 58C, Tanjung Barat, Jakarta Selatan
Email: drssurajiyo@yahoo.co.id

ABSTRAK

Ideologi sebenarnya bersumber pada suatu sistem filsafat, dan merupakan pelaksanaan
sistem filsafat. Komunisme bersumber pada filsafat materialisme, melahirkan faham
atheisme serta faham perjuangan kelas dan diktator proletariat. Pancasila bersumber dari
filsafat bangsa Indonesia sendiri sejak dahulu kala dalam ‘triprakoro’ (istilah Notonagoro)
yaitu adat-istiadat, kebudayaan, dan religi. Kemudian dengan pemikiran yang mendalam para
‘founding fathers’ menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara. Pancasila sebagai ideologi
bangsa indonesia adalah hasil karya bangsa indonesia sendiri sejajar dengan ideologi-ideologi
besar lainnya di dunia, bahkan memiliki keunggulan dibandingkan dengan ideologi lainnya.
Meode penelitian ini adalah berdasarkan penelitian pustaka, maka data yang
dikumpulkan merupakan data kualitatif yang diolah dengan metode reflektif, dilengkapi
dengan metode ’verstehen’. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ideologi Pancasila
memiliki keunggulan dibandingkan dengan ideologi komunisme, liberalisme dan fascisme.
Ideologi Pancasila juga mempunyai ketangguhan bukan hanya karena faktor internal ideologi
itu sendiri, yaitu kebulatan dan keutuhannya yang mengagumkan, namun juga karena
dukungan faktor eksternal yaitu barisan penjaga ideologi Pancasila, baik yang formal maupun
informal.
Kata kunci : Ideologi, Pancasila, komunisme, Liberalisme, Fascisme.

ABSTRACT

Ideology actually comes from a philosophical system, and is the implementation of a


philosophical system. Communism originated in the philosophy of materialism, gave birth to
atheism and class struggle and the dictatorship of the proletariat. Pancasila originates from
the philosophy of the Indonesian nation itself since time immemorial in the 'triprakoro'
(Notonagoro term), namely customs, culture, and religion. Then with deep thought the
'founding fathers' made Pancasila the state ideology. Pancasila as the ideology of the
Indonesian nation is the work of the Indonesian nation itself, which is parallel to the other
major ideologies in the world, it even has advantages over other ideologies.
This research method is based on literature research, so the data collected is
qualitative data that is processed by reflective method, equipped with the 'verstehen' method.
The results showed that the Pancasila ideology had advantages over the ideology of
communism, liberalism and fascism. The Pancasila ideology also has resilience not only
because of the internal factors of the ideology itself, namely its amazing unanimity and
integrity, but also because of the support of external factors, namely the guardians of the
Pancasila ideology, both formal and informal.
Keywords: Ideology, Pancasila, Communism, Liberalism, Fascism

Jurnal IKRA-ITH Humaniora Vol 4 No 3 Bulan November 2020 145


1. PENDAHULUAN Jadi ideologi menurut arti kata adalah
pengucapan dari yang terlihat atau
Ideologi sebenarnya bersumber pada pengutaraan apa yang terumus di dalam
suatu sistem filsafat, dan merupakan pikiran sebagai hasil dari pemikiran.
pelaksanaan sistem filsafat. Atas dasar asas Secara definitif, ideologi banyak
teoritis, maka tidak mungkin suatu bangsa ragamnya. Ideologi menurut The Advence
menganut dan melaksanakan sistem Learner’s Dictionnary adalah suatu sistim
ideologi yang tidak bersumber pada dari pada idea-idea atau hasil pemikiran
filsafat hidup atau filsafat negara mereka yang telah dirumuskan untuk teori politik
sendiri. Mengingat ideologi nasional atau ekonomi. Ideologi menurut The
bersumber dari filsafat hidup dan filsafat Wbster’s New Collegiate Dictionary
negara mereka sendiri, maka wujud nilai- adalah : 1. cara hidup (tingkah laku) atau
nilai dasarnya cenderung terpadu. hasil pemikiran yang menunjukkan sifat-
Untuk membuktikan pada teoritis- sifat tertentu dari pada seorang individu
filosofis itu, dapat diberikan contoh atau sesuatu kelas; 2. Pola pikiran
ideologi yang bersumber dari filsafat mengenai pengembangan pergerakan atau
tertentu yakni komunisme, dan Pancasila. kebudayaan (Sukarna, 1981).
Komunisme bersumber pada filsafat Soejono Soemargono (1986) dalam
materialisme, melahirkan faham atheisme Slamet Sutrisno (1986) secara umum
serta faham perjuangan kelas dan diktator mengartikan ideologi adalah sekumpulan
proletariat. Pancasila bersumber dari keyakinan-keyakinan, kepercayaan-
filsafat bangsa Indonesia sendiri sejak kepercayaan, gagasan-gagasan yang
dahulu kala dalam ‘triprakoro’ (istilah menyangkut serta mengatur tingkah laku
Notonagoro) yaitu adat-istiadat, sekelompok manusia tertentu dalam
kebudayaan, dan religi. Kemudian dengan pelbagai bidang kehidupan. Bidang
pemikiran yang mendalam para ‘founding kehidupan itu secara garis besar ada lima
fathers’ menjadikan Pancasila sebagai hal yaitu bidang politik (termasuk di
ideologi negara. Persoalannya adalah dalamnya bidang pertahanan/keamanan),
apakah keunggulan dan ketangguhan sosial, ekonomi, kebudayaan, dan
ideologi Pancasila dibandingan dengan keagamaan.
ideologi-ideologi lain yang ada di dunia Namun berbagai hal variasi definisi
ini! ideologi itu, yang jelas ideologi adalah
hasil dari suatu kegiatan pemikiran. Di
2. METODOLOGI dalam kegiatan pemikiran itu selalu
Metode penelitian ini adalah menggunakan ratio. Immanuel Kant
berdasarkan penelitian pustaka, maka data (1724-1804) seorang filosof Jerman
yang dikumpulkan merupakan data mengemukakan bahwa ratio manusia itu di
kualitatif yang diolah dengan metode dalam kegiatan pemikirannya terbagi dua
reflektif, dilengkapi dengan metode yaitu : Reinen Vernunft atau pure reason
’verstehen’. Komponen-komponen metode atau pikiran murni, dan practische
reflektif adalah diskripsi, pemahaman, dan Vernunft atau practical reason atau pikiran
analisa. praktis.
Pure reason dalam kegiatannya
3. LANDASAN TEORI bersifat metaphysis yaitu keluar jagat raya
3. 1. Pengertian Ideologi. sehingga sampai kepada Lex Devina yaitu
Ideologi berasal dari bahasa Greek Tuhan yang menciptakan alam semesta
terdiri dari kata ‘idea’ dan ‘logia’. Idea dan manusia. Sedangkan practical reason
berasal dari kata ‘idein’ yang berarti dalam kegiatannya bertalian dengan
melihat atau suatu rencana yang experience atau pengalaman di mana
dibentuk/dirumuskan di dalam pemikiran.

146 Jurnal IKRA-ITH Humaniora Vol 4 No 3 Bulan November 2020


pengalaman itu tidak terlepas dari panca ideologi selalu memitoskan sesuatu ajaran,
indera manusia. dan secara optimistik-deterministik
Dengan menggunakan teori mengajarkan, bagaimana suatu ideologi
Immanuel Kant itu maka dalam ideologi pasti akan dapat dicapai. Loyalitas, dalam
sebagai hasil pemikiran manusia dalam arti bahwa dalam setiap ideologi selalu
bidang kehidupannnya, tidak akan dapat menuntut adanya loyalitas serta
lepas terhadap kepercayaan adanya yang keterlibatan optimal kepada para
Maha Ghaib, yaitu Tuhan yang Maha Esa pendukungnya.
dan terlepas dari pengalaman-pengalaman Karena itulah agar suatu ideologi
yang telah dialami manusia pada masa mampu menarik keterlibatan optimal para
silam dan masa sekarang. pendukungnya, yang berarti bahwa
Sebenarnya sesuatu ideologi itu ideologi tersebut mendapatkan ‘derajat
walaupun berasal dari pada hasil penerimaan optimal’ dari para
pemikiran seseorang atau lebih, pada pendukungnya, maka dalam ideologi
kenyataannya tidak terlepas dari pada tersebut juga harus terkandung unsur-
kenyataan yang hidup dalam masyarakat, unsur : rasionalitas (logos),
bahkan pemikir itu tadi tidak akan dapat penghayatannya (pathos), dan susilanya
hidup dalam masyarakat. Jadi sesuatu (ethos) sedemikian rupa dengan unsur-
pemikiran itu menunjukkan kenyataan unsur tersebut, suatu konsep ideologi akan
yang hidup dalam masyarakat. Tetapi dapat diharapkan mengejewantah dalam
masyarakat itu sendiri dipengaruhi oleh perilaku konkrit. (Koento Wibisono, 1989)
hasil pemikiran itu sendiri. Jadi tidak benar
seperti dikemukakan oleh sesuatu ideologi 3.3. Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka.
(Marxisme-Leninisme) yang menyatakan 3.3.1.Arti Ideologi Terbuka.
bahwa pemikiran manusia itu hanya Ciri khas ideologi terbuka ialah
ditentukan oleh keadaan masyarakat. Hal bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak
ini dapat dilihat dari sesuatu kenyataan dipaksakan dari luar, melainkan digali dan
dimana ideologi Marxisme-Leninisme diambil dari kekayaan rohani, moral, dan
berasal dari pengaruh masyarakat, yang budaya masyarakatnya sendiri. Dasarnya
pada akhirnya mempengaruhi bahkan dari konsensus masyarakat, tidak
mengubah masyarakat itu sendiri. Yang diciptakan oleh Negara, melainkan
benar adalah pengaruh mempengaruhi ditemukan dalam masyarakat sendiri. Oleh
antara masyarakat dengan pikiran dan sebab itu, ideologi terbuka adalah milik
antara pikiran atau idea-idea dengan dari semua rakyat, masyarakat dapat
masyarakat. (Sukarna, 1981) menemukan dirinya di dalamnya. Ideologi
terbuka bukan hanya dapat dibenarkan
3.2. Unsur-unsur Ideologi. melainkan dibutuhkan. Nilai-nilai dasar
Terlepas dari berbagai ragam definisi menurut pandangan Negara modern bahwa
ideologi, menurut Koento Wibisono Negara modern hidup dari nilai-nilai dan
(1989) apabila diteliti dengan cermat ada sikap-sikap dasarnya.
kesamaan unsur ideologi yaitu : keyakinan, Ideologi terbuka adalah ideologi
mitos dan loyalitas. Keyakinan, dalam arti yang dapat berinteraksi dengan
bahwa dalam setiap ideologi selalu perkembangan zaman dan adanya
memuat gagasan-gagasan vital, konsep- dinamika secara internal. Sumber
konsep dasariah yang menggambarkan semangat ideologi terbuka itu sebenarnya
seperangkat keyakinan yang diorientasikan terdapat dalam Penjelasan Umum UUD
kepada tingkah laku atau perbuatan 1945, yang menyatakan, “… Terutama
manusia sebagai subyek pendukungnya bagi Negara baru dan Negara muda, lebih
untuk mencapai suatu tujuan yang dicita- baik hukum dasar yang tertulis itu hanya
citakan. Mitos, dalam arti bahwa setiap memuat aturan-aturan pokok, sedangkan

Jurnal IKRA-ITH Humaniora Vol 4 No 3 Bulan November 2020 147


aturan-aturan yang menyelenggarakan dalam dunia modern yang berubah dengan
aturan pokok itu diserahkan kepada cepat.
undang-undang yang lebih mudah cara Dengan menegaskan Pancasila
membuatnya, mengubahnya, dan sebagai ideologi yang terbuka, di satu
mencabutnya”. pihak kita diharuskan mempertajam
Selanjutnya dinyatakan, “… Yang kesadaran akan nilai-nilai dasarnya yang
sangat penting dalam pemerintahan dan bersifat abadi, di lain pihak didorong untuk
dalam hidupnya bernegara ialah semangat, mengembangkannya secara kreatif dan
semangat para penyelenggara Negara, dinamis untuk menjawab kebutuhan
semangat para pemimpin pemerintahan”. zaman.
(Syahrial Syarbaini, 2003; 57) Berdasarkan pengertian tentang
Suatu ideologi yang wajar ialah ideologi terbuka tersebut nilai-nilai yang
bersumber atau berakar pada pandangan terkandung dalam ideologi Pancasila
hidup bangsa dan falsafah hidup bangsa. sebagai ideologi terbuka (Kaelan, 2004)
Dengan demikian, ideologi tersebut akan adalah sebagai berikut :
dapat berkembang sesuai dengan 1. Nilai Dasar, yaitu hakikat sila
perkembangan masyarakat dan kecerdasan Pancasila yaitu Ketuhanan,
kehidupan bangsa. Hal ini adalah suatu kemanusiaan, persatuan, kerakyatan
prasyarat bagi suatu ideologi. Berbeda dan keadilan. Nilai dasar tersebut
halnya dengan ideologi yang diimpor, adalah merupakan esensi dari nilai-
yang akan bersifat tidak wajar dan sedikit nilai Pancasila yang bersifat universal,
banyak memerlukan pemaksaan oleh sehingga dalam nilai dasar tersebut
kelompok kecil manusia (yang mengimpor terkandung cita-cita, tujuan serta nilai-
ideologi tersebut). Dengan demikian, nilai yang baik dan benar. Nilai dasar
ideologi tersebut disebut bersifat tertutup. ideologi tersebut tertuang dalam
Pancasila berakar pada pandangan Pembukaan UUD 1945, sehingga oleh
hidup bangsa dan falsafat bangsa, sehingga karena Pembukan memuat nilai-nilai
memenuhi prasyarat suatu ideologi dasar yang merupakan tertib hukum
terbuka. Sekalipun suatu ideologi itu tertinggi, sebagai sumber hukum
bersifat terbuka, tidak berarti bahwa positif sehingga dalam Negara
keterbukaannya adalah sebegitu rupa memiliki kedudukan sebagai
sehingga dapat memusnahkan atau “Staatsfundamental norm” atau pokok
meniadakan ideologi itu sendiri, hal mana kaidah Negara yang fundamental.
merupakan suatu yang tidak nalar. Suatu Sebagai ideologi terbuka nilai dasar
ideologi sebagai suatu rangkuman inilah yang bersifat tetap dan terlekat
gagasan-gagasan dasar yang terpadu dan pada kelangsungan hidup Negara,
bulat tanpa kontradiksi atau saling sehingga mengubah Pembukaan UUD
bertentangan dalam aspek-aspeknya, pada 1945 yang memuat nilai dasar ideologi
hakikatnya berupa suatu tata nilai, di mana Pancasila tersebut sama halnya dengan
nilai dapat kita rumuskan sebagai hal ihwal pembubaran Negara. Adapun nilai
buruk baiknya sesuatu, yang dalam hal ini dasar tersebut kemudian dijabarkan
ialah apa yang dicita-citakan. (Padmo dalam pasal-pasal UUD 1945 yang
Wahyono, 1991). didalamnya terkandung lembaga-
3.3.2. Urgensi Keterbukaan Ideologi. lembaga penyelenggaran Negara,
Keterbukaan ideologi bukan saja hubungan antara lembaga
merupakan suatu penegasan kembali dari penyelenggara Negara beserta tugas
pola pikir yang dinamis dari para pendiri dan wewenangnya.
Negara kita dalam tahun 1945, tetapi juga 2. Nilai Instrumental, yang merupakan
merupakan suatu kebutuhan konseptual arahan, kebijakan, strategi, sasaran
serta lembaga pelaksanaannya. Nilai

148 Jurnal IKRA-ITH Humaniora Vol 4 No 3 Bulan November 2020


instrumental ini merupakan 4. Larangan terhadap pandangan ekstrim
eksplisitasi, penjabaran lebih lanjut yang menggelisahkan kehidupan
dari nilai-nilai dasar ideologi masyarakat.
Pancasila. Misalnya Garis-garis Besar 5. Penciptaan norma yang baru harus
Haluan Negara yang lima tahun melalui konsensus.
senantiasa disesuaikan dengan
perkembangan zaman serta aspirasi 3.4. Sejauhmana Pancasila telah
masyarakat, undang-undang, menjadi dasar negara dan ideologi
departemen-departemen sebagai bangsa dan negara Indonesia?
lembaga pelaksanaan dan lain Persoalan yang muncul sejauh mana
sebagainya. Pada aspek ini senantiasa Pancasila telah menjadi dasar negara dan
dapat dilakukan perubahan juga menjadi ideologi bangsa dan negara
(reformatif). Indonesia? Jawaban dari Pandji Setijo
3. Nilai Praksis yaitu merupakan realisasi (2006: 14), mengatakan:
nilai-nilai instrumental dalam suatu 1. Ideologi Pancasila telah sesuai serta
realisasi pengamalan yang bersifat berakar pada nilai-nilai budaya luhur
nyata, dalam kehidupan sehari-hari bangsa sendiri, digali dari kehidupan
dalam bermasyarakat, berbangsa dan rakyat yang telah berabad-abad
bernegara. Dalam realisasi praksis lamanya dari bumi Indonesia
inilah maka penjabaran nilai-nilai semenjak zaman Nusantara;
Pancasila senantiasa berkembang dan 2. Pancasila juga telah terbukti dapat
selalu dapat dilakukan perubahan dan mempersatukan seluruh kebhinekaan
perbaikan (reformasi) sesuai dengan suku, kelompok, agama, bahasa dalam
perkembangan zaman ilmu kehidupan masyarakat bangsa
pengetahuan dan teknologi serta Indonesia dari Sabang sampai
aspirasi masyarakat. Merauke, menjadi satu kehidupan
Jadi Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan bernegara Indonesia
terbuka dikenal ada tingkat nilai, yaitu dalam bentuk bhinneka tunggal ika,
nilai dasar yang tidak berubah, nilai 3. Dalam kondisi krisis multidimensi
instrumental sebagai sarana mewujudkan dewasa ini yang sedang melanda
nilai dasar yang dapat berubah sesuai bangsa dan negara Indonesia,
dengan keadaan, dan nilai praksis berupa pelaksanaan ideologi Pancasila telah
pelaksanaan secara nyata yang membantu dalam mengatasi segenap
sesungguhnya. Perwujudan atau krisis melalui berbagai solusi yang
pelaksanaan nilai-nilai instrumental dan bermanfaat baik,
nilai-nilai praksis harus tetap mengandung 4. Dengan melaksanakan ideologi
jiwa dan semangat yang sama dengan nilai Pancasila, derajat dan martabat
dasarnya. bangsa Indonesia telah terangkat di
3.3.3 Batas-batas Keterbukaan Ideologi tengah kehidupan bangsa dunia, juga
Pancasila. untuk kehidupan masyarakat bangsa
Sungguhpun demikian, sendiri.
keterbukaan ideologi Pancasila ada batas-
batasnya yang tidak boleh dilanggar (BP-7 4. HASIL PENELITIAN DAN
Pusat, 1993), yaitu sebagai berikut : PEMBAHASAN
1. Stabilitas nasional yang dinamis. 4.1. Perbandingan Ideologi Pancasila
2. Larangan terhadap ideology Marxisme, Dengan Paham Ideologi Besar
Leninisme, Komunisme. Lainnya Di Dunia.
3. Mencegah berkembangnya paham Suatu ideologi pada suatu bangsa
Liberal. pada hakikatnya memiliki ciri khas serta
karakteristik masing-masing sesuai dengan

Jurnal IKRA-ITH Humaniora Vol 4 No 3 Bulan November 2020 149


sifat dan ciri khas bangsa itu sendiri. Mises (tokoh Liberalisme abad ke-20),
Namun demikian dapat juga terjadi bahwa yaitu kesejahteraan material,
ideologi pada suatu bangsa datang dari luar kecenderungan rasionalistik, kebaikan bagi
dan dipaksakan keberlakuannya pada lebih banyak orang, dan kepemilikan hak
bangsa tersebut sehingga tidak pribadi atau property. (Hendar Putranto,
mencerminkan kepribadian dan dkk., 2015;71-72)
karakteristik bangsa tersebut. Ideologi Masyarakat yang menggunakan
Pancasila sebagai ideologi bangsa dan prinsip-prinsip liberal seperti 4 ciri
Negara Indonesia berkembang melalui tersebut adalah masyarakat kapitalis.
suatu proses yang cukup panjang. Pada Daam tatanan sosial-ekonomi, kapitalisme
awalnya secara kausalitas bersumber dari didasarkan pada kepemilikan pribadi
nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa sarana-sarana produki. Hak milik pribadi
Indonesia yaitu dalam adat-istiadat, serta dan kepemilikan atas modal oleh pribadi,
dalam agama-agama bangsa Indonesia yang dilindungi oleh undang-undang, akan
sebagai pandangan hidup bangsa. Oleh menjamin sebuah aturan permainan yang
karena itu nilai-nilai Pancasila berasal dari objektif tanpa ada campur tangan
nilai-nilai pandangan hidup bangsa telah kekuasaan (prinsip non-intervention) di
diyakini kebenarannya kemudian diangkat dalamnya.
oleh bangsa Indonesia sebagai dasar Alasannya jika kekuasaan ikut
filsafat Negara dan kemudian menjadi campur tangan, apalagi sampai mengambil
ideologi bangsa dan Negara. Oleh karena alih hak milik, maka aturan permainan
itu ideologi Pancasila, ada pada kehidupan akan jadi berat sebelah dan kondisi
bangsa dan terlekat pada kelangsungan semacam ini tidak memungkinkan bagi
hidup bangsa dalam rangka bermasyarakat, perwujudan kebebasan yang merupakan
berbangsa dan bernegara. nilai utama dalam ideologi Liberalisme.
Dalam usaha untuk memahami Filsuf politik yang dianggap
dasar Negara Indonesia yakni Pancasila , membesarkan paham liberalisme klasik
akan lebih jelas jika memahami ideologi- adalah John Locke (1632-1704), Jean-
ideologi bangsa-bangsa lain. Lebih-lebih jacques Rousseau (1712-1778), Jeremy
jika bangsa lain itu sedikit banyak turut Bentham (1724-1832), dan John Start Mill
mementukan baik perjalanan bangsa- (1806-1873). Sementara dari sudut
bangsa di dunia pada umumnya maupun pandang ekonomi yang mengemuka yaitu
perjalanan bangsanya sendiri. Ideologi- Adam Smith (1723-1790), David Ricardo
ideologi bangsa di dunia selain Pancasila (1772-183), Thomas Robert Malthus
adalah : (1766-1834).
1. Liberalisme – Kapitalisme Berpangkal dari dasar ontologis
2. Marxisme – Leninisme bahwa manusia pada hakikatnya adalah
(Komunisme) sebagai makhluk individu yang bebas.
3. Fasisme, Totalitarianisme dan Manusia menurut paham liberalisme
Nasionalsosialisme (NAZI) memandang bahwa manusia sebagai
4. Sosialisme manusia pribadi yang utuh dan lengkap
5. Sosial Demokrasi dan terlepas dari manusia lainnya. Manusia
Liberalisme - kapitalisme sebagai individu memiliki potensi dan
Liberalisme, berakar pada kata Latin senantiasa berjuang untuk dirinya sendiri.
liber, artinya bebas.Seorang yang berjiwa Dalam pengertian inilah maka dalam hidup
dan berpikiran liberal berarti orang yang masyarakat bersama akan menyimpan
percaya akan kebebasan sebagai nilai yang potensi konflik, manusia akan menjadi
utama, di atas nilai-nilai lainnya. ancaman bagi manusia lainnya yang
Ada empat ciri pokok dari doktrin menurut istilah Thomas Hobbes disebut
liberalisme klasik menurut Ludwig von ‘homo homini lupus’ sehingga manusia

150 Jurnal IKRA-ITH Humaniora Vol 4 No 3 Bulan November 2020


harus membuat suatu perlindungan ideologi ini awalnya diusulkan oleh Josef
bersama. Atas dasar kepentingan bersama, Stalin (1878 – 1953).
negara menurut liberalisme harus tetap Sebagai ideologi, komunisme
menjamin kebebasan individu, dan untuk memang “baru” mulai diterapkan saat
itu maka manusia secara bersama-sama meletusnya Revolusi Bolshevik di Rusia
mengatur negara. (Kaelan, 2004;142) tanggal 7 November 1917, namun kiprah
Pokok-pokok ideologi liberal dan pengaruhnya masih terasa hingga
menurut Sukarna (1981) adalah : sekarang, berkat daya tarik ajaran
a. Percaya terhadap Tuhan sebagai ideologisnya untuk membebaskan manusia
pencipta. (kelas proletar) dari belenggu penindasan
b. Percaya terhadap persamaan dasar kelas borjuis, dan untuk mewujudkan
semua manusia. masyarakat tanpa kelas, di mana cita-cita
c. Memperlakukan pemikiran orang lain keadilan dan kesamaan meraja.
secara sama. Pada 25 Desember 1989, President
d. Pemerintahan dilakukan dengan USSR, Mikhail Gorbachev mundur dari
persetujuan yang diperintah. jabatannya dan mengumumkan bahwa
e. Pemerintahan berlandaskan hukum. pemerintahan komunis sudah punah. The
f. Mementingkan individu. Supreme Soviet (parlemen) mengumumkan
g. Negara adalah alat. kebangkrutan dan pembubaran negara
h. Menolak dogmatisme. komunis Soviet.
Jadi bisa dikatakan bahwa Secara ringkas, beberapa ajaran
liberalisme adalah suatu ideologi atau kunci Marxisme-Leninisme adalah :
ajaran tentang negara, ekonomi dan 1. Doktrin partai komunis revolusioner
masyarakat yang mengharapkan kemajuan yang memiliki peran kunci dalam
di bidang budaya, hukum, ekonomi dan masyarakat;
tata kemasyarakatan atas dasar kebebasan 2. Kemungkinan terjadinya revolusi kelas
individu yang dapat mengembangkan proletar (kelas pekerja) dan
bakat dan kemampuannya sebebas terbentuknya sosialisme di negara
mungkin. Liberalisme ekonomi manapun yang sistem kapitalismenya
mengajarkan kemakmuran orang perorang berkembang lambat;
dan masyarakat seluruhnya diusahakan 3. Peran revolusioner dari buruh tani,
dengan memberi kesempatan untuk orang desa dan simpatisan gerakan
mengejar kepentingan masing-masing pembebasan nasional (yang
dengan sebebas-bebasnya. disimbolkan dengan palu dan arit);
Marxisme – Leninisme (Komunisme). 4. Penanaman doktrin secara terstruktur,
Marxisme-Leninisme berasal dari sistematis, dan masif bahwa
nama Karl Marx (filsuf asal Jerman, ahli kapitalisme modern adalah sebentuk
ekonomi, seorang komunis dan penjajahan baru (imperalisme);
revolusioner, bersama rekannya Friedrich 5. Paham Ateisme yang menolak
Engels, 1820-1895, merumuskan “kitab eksistensi agama dan menyebarkan
suci” kaum komunis, “The Communist pemahaman materialis tentang alam.
Manifesto”, yang diterbitkan pada 1848) Agama harus dihapuskan dari muka
dan Vladimir Lenin (1870-1924), seorang bumi dan sebagai konsekuensinya,
tokoh komunis revolusioner, politisi dan ateismelah yang harus dipeluk.
pemikir politik kelahiran Rusia. Ideologi (Hendar Putranto, dkk., 2015;73)
Marxisme-Leninisme merupakan ideologi Dalam mewujudkan masyarakat
gabungan dari ide-ide kedua tokoh ini, dan komunis, menurut Herqutanto
sering juga disebut sebagai penafsiran Sosronegoro (1984) digunakan beberapa
Lenin terhadap ideologi Marxis. Nama prinsip pelaksanaan yang merupakan ciri-
ciri pokok yaitu:

Jurnal IKRA-ITH Humaniora Vol 4 No 3 Bulan November 2020 151


a. Sistem totaliter. Pertengahan, lewat paham religius
b. Sistem pemerintahan kediktatoran satu Kristiani yang mengatakan bahwa untuk
partai. mencapai kesempurnaan hidup, orang
c. Sistem ekonomi negara. harus terbebas dari segala jenis keterikatan
d. Sistem sentralisme demokratis. atau kelekatan duniawi, terutama
keterikatan terhadap hak milik. Gagasan
Fasism-Totalitarianisme-Nasionalisme kunci pelepasan diri dari kelekatan
(Nazi) duniawi ini berkeyakinan bahwa hak milik
Kata Fasisme (fascism) berasal dari pribadi sebagai sarana yang membuat
kata Italia fascio (bentuk jamaknya: fasci), manusia menjadi egois dan, pada
yang berarti ikatan (bundle). Ditampakkan gilirannya, menghancurkan keselarasan
dalam ikatan kelompok (entah politis, alami atau harmoni antara alam dan
ideologis, berdasarkan kelas, dsb.) atau manusia.
ikatan kolektif seperti bangsa. Selain itu Sosial-demokrasi merupakan
bisa juga berasal dari kata fasces (rumput ideologi politik yang mengkampanyekan
atau akar yang dililitkan mengelilingi transisi masyarakat secara damai dan
sebilah kapak), yang merupakan simbol evolusioner, dari kapitalisme menuju
Kekaisaran Romawi kuno untuk otoritas sosialisme, dengan menggunakan proses-
hukum (magistrates). Simbol “rumput atau proses politik yang sudah ada dan
akar yang melilit” (fasces) menunjukkan dianggap mapan.
makna terbentuknya kekuatan lewat Meminjam cukup banyak ide dan
persatuan: kalau hanya sebatang ranting mimpi dari sosialisme abad ke-19,
kecil akan mudah dipatahkan, sementara digabungkan dengan pokok-pokok ajaran
kalau sebundel akan sulit untuk Karl Marx dan Friedrich Engels, ideologi
dipatahkan. sosial-demokrasi berbagi akar-akar
Kamus Merriem-Webster ideologis yang sama dengan ideologi
mendifinikan fasisme sebagai sebuah komunisme, namun tidak mengadopsi
filsafat politik, gerakan politik atau rezim semangat militan, penggunaan kekerasan,
(Fascisti) yang mengagungkan bangsa dan maupun pandangan totaliternya. Ideologi
ras di atas individu, yang berjuang untuk ini awalnya dikenal dengan nama
mewujudkan pemerintahan otokrasi, dan revisionisme, karena di dalamnya berisikan
tersentral yang dikepalai seorang diktator, ajaran Marxis yang sudah mengalami
dengan mekanisme pengaturan sosial dan modifikasi, khususnya dalam hal tidak
ekonomi yang keras terkontrol, dan menggunakan jalan revolusi untuk
memakai cara-cara kekerasan untuk membentuk masyarakat yang sosialis.
menekan lawan politiknya (oposisi).
(Hendar Putranto, dkk., 2015; 75) 4.2. Keunggulan Ideologi Pancasila
Menurut Prof. Dr. William Berikut merupakan artikulasi ringkas
Eberstein (dalam Sukarna, 1981) Fascisme keunggulan Pancasila jika dibandingkan
ialah pengorganisasian pemerintah dan dengan ideologi-ideologi besar dunia
masyarakat secara totaliter oleh lainnya.
kediktatoran suatu partai, yang berwatak 1. Sila Pertama Pancasila lebih unggul
atau bercorak nasionalist, racialist, dibandingkan paham Atheisme yang
militarist dan imperialist. dianut Komunisme, yang berbasiskan
ajaran materialisme dialektis dan
Sosialisme. materialisme historis versi Marxisme.
Sosialisme bertumpu pada ide Berbeda dari Marxisme dan Leninisme
keadilan dan solidaritas sosial. Paham (Komunisme) yang menjangkarkan
“solidaritas sosial” sebenarnya sudah bisa ideologinya pada paham sejarah dan
ditelusuri akar historisnya sejak Abad alam yang berwujud materi dan kembali

152 Jurnal IKRA-ITH Humaniora Vol 4 No 3 Bulan November 2020


(lagi) pada materi, dalam suatu gerak secara ilmiah (ilmu eugenics).
materi yang menempuh siklus abadi Persatuan model fasis bertumpu pada
tanpa akhir, Ideologi Pancasila sila keseragaman dan penyeragaman yang
pertama menjangkarkan sekaligus berimplikasi pada penyangkalan bahkan
menjiwai sila-sila yang lain peniadaan yang lain dan berbeda.
(Perikemanusiaan, Persatuan, Persatuan model Volksgemeinschaft
Kerakyatan, dan Keadilan Sosial) dalam yang digelorakan NAZI secara implisit
Realitas yang Pertama dan Ultim, mengandung kehendak untuk berkuasa
sekaligus memberikan orientasi yang dan meluaskan kekuasaan tersebut
lebih luhur dan transenden dalam diri (ekspansi) sekaligus kehendak untuk
manusia penghayatnya. menjaga kemurnian darah dan tanah air
2. Sila Kedua Pancasila, berupa prinsip dari unsur-unsur yang dianggap “asing,
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, lain, dan berbeda” (seperti orang
mau menunjukkan jalan tengah konsep Yahudi, kaum gipsy, kaum
tentang “Manusia” yang lebih seimbang homoseksual, dst). Prinsip Persatuan
dan bijaksana sebagai tandingan dari Indonesia versi Pancasila tidak seperti
kontestasi konseptual antara paham ini. Prinsip Persatuan Indonesia
Liberalisme-Kapitalisme, yang melihat didasarkan pada penghormatan atas
gambaran manusia sebagai “subjek perbedaan dan keragaman, bukan hanya
pelaku bebas yang dapat secara prinsipiil, namun juga secara riil-
mendeterminasi dirinya sendiri” dan konkret.
homo oeconomicus murni, dengan 4. Sila keempat pancasila lebih unggul
paham Sosialisme dan Komunisme, dibandingkan paham kerakyatan yang
yang melihat gambaran manusia diusung baik oleh sosialisme maupun
sebagai “yang dibentuk oleh totalitas fasisme. Dalam pidatonya di depan
relasi-relasi sosialnya,” (pandangan sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945,
Feuerbach dan Marx awal) juga sebagai Sukarno mengatakan bahwa’Dasar itu
zóon politikón (Aristoteles) atau homo ialah dasar mufakat, dasar perwakilan,
socius (manusia sebagai makhluk dasar permusyawaratan. Negara
politik dan makhluk sosial). Dengan Indonesia bukan satu negara untuk satu
demikian, konsep manusia Pancasila orang, bukan satu negara untuk satu
lebih lengkap, komprehensif, dan golongan walaupun golongan kaya.
seimbang dalam memandang, meneliti, Tetapi kita mendirikan negara’ semua
dan memperlakukan manusia, tidak buat semua’, satu buat semua, semua
berat sebelah seperti pada Liberalisme- buat satu’. Saya yakin bahwa syarat
Kapitalisme, maupun pada Marxisme- yang mutlak untuk kuatnya negara
Sosialisme. Indonesia ialah permusyawaratan,
3. Konsep Persatuan Indonesia sebagai perwakilan’
Sila Ketiga Pancasila lebih unggul Dengan demikian jelas bahwa prinsip
daripada konsep persatuan ras (NAZI) kerakyatan yang diwujudkan dalam
dan persatuan bangsa yang chauvinis bentuk badan permusyawaratan/
(Fasis). Persatuan ras dan bangsa yang perwakilan, yang dipimpin oleh
chauvinis merupakan pemahaman “hikmat kebijaksanaan” (dalam bentuk
persatuan yang sempit dan singularis, tuntunan moral lewat agama dan
bahkan eksklusif. Persatuan jenis ini tuntunan akal budi lewat filsafat)
mengandung unsur peninggian diri merupakan amanah para bapak pendiri
sendiri (superioritas ras Arya) dan Negara Indonesia yang
perendahan yang-lain yang berbeda membedakannya dengan, dan
(inferioritas), yang lalu dilegalkan membuatnya lebih unggul dari, prinsip
(Nuremberg Laws) dan dijustifikasi kerakyatan “solidaritas sosial” yang

Jurnal IKRA-ITH Humaniora Vol 4 No 3 Bulan November 2020 153


bertumpukan pada perjuangan dan kabinetnya, para penatar Pancasila lulusan
antagonisme kelas yang dicita-citakan Lemhannas RI, para guru dan dosen
Sosialisme dan Marxisme. pengajar dan pendidik Pancasila, maupun
5. Konsep sila kelima Pancasila yang informal, seperti para tokoh agama, suku
berimplikasi pada konsep kesejahteraan dan adat, serta komunitas warga di tingkat
sosial dan demokrasi ekonomi lebih akar rumput, yang tidak pernah mengenal
unggul daripada konsep pasar bebas kata menyerah dalam memperjuangkan
yang diusung Liberalisme-Kapitalisme penegakan keluhuran nilai-nilai Pancasila
dan bentuk barunya, yaitu paham Neo- dalam hidup berbangsa dan bernegara
Liberalisme, maupun ekonomi yang sehari-hari.
dikontrol speneuhnya oleh negara Supaya tetap tangguh ideologi
seperti tampak dalam paham Pancasila maka yang perlu dilakukan
komunisme maupun fasisme. Menurut antara lain :
Sri Edi Swasono, Sistem Ekonomi 1. Penguatan dan radikalisasi ideologi
Indonesia dapat difokuskan pada Pancasila tidak hanya ditujukan kepada
wawasan yang dikaitkan dengan sila para kader pemimpin di bidang
Pancasila yaitu berorientasi pada lima pemerintahan (seperti lewat aneka
sila Pancasila dengan tekanan pada sila kursus “wajib” yang diadakan oleh
“Keadilan sosial” yang berarti kegiatan Lemhannas), namun juga bagi para
ekonomi menggunakan asas persamaan pemimpin dan pengurus ormas, partai
demi kemakmuran masyarakat, bukan politik, organisasi Serikat Buruh, para
kemakmuran perseorangan. Hal ini pimpinan universitas, sekolah baik
paling jelas terwujud dalam konsep negeri maupun swasta, pondok
Koperasi. (Hendar Putranto, dkk., 2015, pesantren dan pusat-pusat pembelajaran
80-84) agama serta aliran kepercayaan.
2. Ideologi Pancasila sebagai benteng
4.3. Ketangguhan Ideologi Pancasila identitas nasional perlu lebih
Di mata pengamat dan akademisi digalakkan lagi di wilayah perbatasan
dari Barat yang berminat mengkaji dan atau titik-titik terluar batas wilayah
peduli tentang ideologi Pancasila, NKRI Ideologi Pancasila sebagai
Pancasila merupakan ideologi yang masuk ikhtiar pembangunan karakter bangsa
akal dan dijalankan di Indonesia jika perlu kembali dimasukkan sebagai
Indonesia tetap ingin mempertahankan kurikulum wajib di semua tingkat
persatuan dan keragamannya scara pendidikan formal di seluruh Indonesia,
bersamaan. Berbagai ancaman yang hanya saja dihindari cara-cara
dihadapi baik datang dari dalam maupun penyampaian yang indoktrinatif dan
dari luar yang terkait ideologi seperti semi-militeristik seperti pola P4 di masa
DI/TII, NII, PKI, samai sekarang Pancasila Orde Baru. Para guru, dosen, dan
sebagai ideologi bangsa dan negara penatar Pancasila memegang peranan
Indonesia tetap menunjukkan penting dan tak tergantikan untuk
ketangguhannya. secara kreatif dan inspiratif
Ketangguhan Pancasila memperkaya metode pengajaran,
berkontestasi dengan ideologi-ideologi sosialisasi, dan internalisasi ideologi
besar maupun alternatif tersebut, bukan Pancasila bagi siswa didiknya.
hanya karena faktor internal ideologi itu
sendiri, yaitu kebulatan dan keutuhannya 5. KESIMPULAN
yang mengagumkan, namun juga karena Ideologi sebagai suatu rangkaian
dukungan faktor eksternal yaitu barisan kesatuan cita-cita yang mendasar dan
penjaga ideologi Pancasila, baik yang menyeluruh dan yang mengkait menjadi
formal seperti Presiden dan jajaran suatu sistem pemikiran yang logis, adalah

154 Jurnal IKRA-ITH Humaniora Vol 4 No 3 Bulan November 2020


bersumber pada filsafat. Pancasila Slamet Sutrisno (Penyunting), 1986,
merupakan hasil perenungan yang Pancasila Sebagai Metode, Liberty,
mendalam dari tokoh-tokoh kenegaraan Yogyakarta.
Indonesia untuk mengarahkan kehidupan Soejono Soemargonno, 1986, ‘Pancasila
bangsa Indonesia dalam bernegara. Sebagai Suatu Ideologi’ dalam Slamet
Pancasila sebagai ideologi bangsa Sutrisno (Penyunting), Pancasila
indonesia adalah hasil karya bangsa Sebagai Metode, Liberty, Yogyakarta.
indonesia sendiri sejajar dengan ideologi- Sukarna, 1981, Ideologi Suatu Studi Ilmu
ideologi besar lainnya di dunia, bahkan Politik, Penerbit Alumni, Bandung.
memiliki keunggulan dibandingkan Syahrial Syarbaini,2003, Pendidikan
dengan ideologi lainnya. Pancasila Di Perguruan Tinggi,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
BP-7 Pusat, 1993, Bahan Penataran P-4,
Undang-Undang Dasar 1945,
Jakarta.
Hendar Putranto, dkk., 2015, Pendidikan
Pancasila; Ikhtiar Membangun
Karakter Bangsa, Penerbit
Universitas Multimedia Nusantara
Press, Tangerang-Banten.
Herqutanto Sosronegoro, dkk., 1984,
Beberapa Ideologi Dan
Implementasinya Dalam Kehidupan
Kenegaraan, Liberty, Yogyakarta.
Kaelan, 2004, Pendidikan Pancasila,
Edisi Reformasi, Penerbit paradigma
Yogyakarta.
Koento Wibisono, 1989, Peran Kelompok
Ilmiah Dalam Ikut
Mengembangkan Pancasila Sebagai
Ideologi Terbuka, Makalah dalam
Forum Pertemuan Para Angota
Komisariat Fak. Filsafat Keluarga
Alumni UGM , Jakarta.
Oetojo Oesman dan Alfian, 1991,
Pancasila Sebagai Ideologi Dalam
Berbagai Bidang Kehidupan
Bermasyarakat, Berbangsa Dan
Bernegara, BP7 Pusat, Jakarta.
Padmo Wahyono, 1991, “Demokrasi
Politik Indonsia” dalam Rusli Karim
dan Fauzi Rizal, Dinamika Budaya
dan Politik dalam Pembangunan,
Tiara Wacana, Jakarta.
Pandji Setijo, 2006, Pendidikan
Pancasila Perspektif Sejarah
Perjuangan Bangsa, PT Gramedia
Widiasarana, Jakarta.

Jurnal IKRA-ITH Humaniora Vol 4 No 3 Bulan November 2020 155


Wacana Hukum:
Vol.XXIV, No.2, Desember 2018 [WACANA HUKUM: JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI]

PROBLEMATIKA PELAKSANAAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR


100/PUU-XI/2013 DALAM MENDUDUKKAN PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA

Udiyo Basuki** Abdul Kadir Jaelani**


**Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, E-mail: udiyobee@gmail.com
**Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta, E-mail: zaelanialan@ymail.com

Info Artikel Abstract


Masuk: 5/9/2018. In the legislative system, Pancasila is a basic norm (staatsfundamental), which
Revisi: 17/9/2018. successively then verfassungnorm UUD 1945, grundgezetznorm or MPR
Diterima: 23/9/2018. provisions, and gezetznorm or the Act. But in reality, Pancasila is equalized and
Terbit: 15/12/2018. equated with the 1945 Constitution, the Unitary State of the Republic of
Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, which is then referred to as the Four Pillars
Keywords: of Nation and State. The Constitutional Court as the constitution gatekeeper
Decision of the Constitutional institution returns the position of the Pancasila as the state foundation through
Court, Four Pillars of Nation the Decision of the Constitutional Court Number 100/PUU-XI/2012. The
and Pancasila. decision is part of the implementation of the authority of the Constitutional Court
which has 4 (four) authorities and 1 (one) obligation as stipulated in Article
24C paragraph (1) and paragraph (2) of the 1945 Constitution. In addition to
being a guardian of democracy ) The Constitutional Court is also the Protector of
the state's foundation and legal source.

Abstrak
Kata kunci: Dalam sistem peraturan perundang-undangan, Pancasila merupakan
Putusan Mahkamah Konstitusi, norma dasar (staatsfundamental), yang berturut turut kemudian
Empat Pilar Berbangsa dan verfassungnorm UUD 1945, grundgezetznorm atau ketetapan MPR,
Pancasila. serta gezetznorm atau Undang-Undang. Namun dalam kenyataannya,
Pancasila disamakan kedudukannya dan disejajarkan dengan UUD
1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika
P-ISSN: 1412-310x yang kemudian disebut dengan istilah Empat Pilar Berbangsa dan
E-ISSN: xxxxxxx Bernegara. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penjaga gawang
konstitusi mengembalikan kedudukan pancasila sebagai dasar negara
melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XI/2012.
Putusan tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan kewenangan
Mahkamah Konstitusi yang mempunyai 4 (empat) kewenangan dan
1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) dan
ayat (2) UUD 1945. Selain sebagai lembaga negara pengawal
demokrasi, Mahkamah Konstitusi juga sebagai Pelindung dasar
negara dan sumber hukum.

PENDAHULUAN
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan.1 Amanat ini adalah pelaksanaan dari Pasal 1 ayat (3) UUD
NRI 1945.2 Salah satu prinsip negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan
lembaga peradilan yang merdeka, bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstrayudisial
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan ketertiban, keadilan, kebenaran dan

1Rimdan, 2013, Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi, Jakarta: Kencana, p.1.


2Setelah Amandemen Ketiga Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa negara indonesia adalah negara
hukum.

Udiyo Basuki dan Abdul Kadir Jaelani: Problematika Pelaksanaan Putusan... 1


Wacana Hukum:
Vol.XXIV, No.2, Desember 2018 [WACANA HUKUM: JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI]

kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat.3 Keberadaan


Indonesia sebagai negara hukum, dibuktikan dengan eksisnya lembaga-lembaga pelaksana
kekuasaan kehakiman. Dimensi operasional kekuasaan kehakiman mencakup kekuasaan negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan pancasila dan konstitusi demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.
Independensi kekuasaan kehakiman menjadi kata kunci dalam implementasi terwujudnya negara
hukum, tanpa eksisnya kekuasaan kehakiman yang independen, maka cita-cita negara hukum tidak
mungkin terwujud dalam realita.4
Menyadari untuk memastikan terwujudnya kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan
jaminan yang tegas dalam konstitusi, langkah besar yang dihasilkan dalam Amandemen UUD
NRI 1945 tidak hanya menyebutkan secara eksplisit kekuasaan kehakiman yang merdeka, namun
Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman tidak hanya dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung tetapi juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.5 Pasal 24C UUD
NRI 19456 menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap
konstitusi, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
konstitusi, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum. Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan pengawal
konstitusi, pengawal demokrasi dan sebagai pelindung hak asasi manusia,7 sedangkan Pataniari
Siahaan menambahkan bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penafsir dan Penguji
Undang-Undang dengan Undang-Undang Dasar (the final judicial interpreter of the constitution).8
Pengujian Undang-Undang (PUU) adalah tindakan pengujian oleh Mahkamah Konstitusi
(MK) untuk menguji konstitusionalitas suatu undang-undang, baik secara keseluruhan maupun
sebagian. Pengujian konstitusionalitas yang dimaksud menggunakan konstitusi yaitu UUD NRI
1945 sebagai batu ujinya. Undang-Undang dinyatakan konstitusional ketika normanya
berkesesuaian dengan norma UUD NRI 1945, dan dinyatakan tidak konstitusional ketika
normanya bertentangan dengan UUD NRI 1945.9 Memaknai seberapa penting pengujian
Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi, John Marshall, Hakim Agung Amerika Serikat,
hakim pertama di dunia yang melakukan judicial review terhadap Judiciary Act (1789) menyatakan
alasannya sebagai berikut: Pertama, Hakim bersumpah menjunjung konstitusi. Kedua, konstitusi
adalah the supreme law of the land, sehingga harus ada peluang pengujian terhadap peraturan
dibawahnya agar isi konstitusi tidak dilanggar. Ketiga, Hakim tidak boleh menolak perkara.10
Sejalan dengan John Marshall, Moh. Mahfud MD menambahkan satu alasan lagi mengapa judicial
review penting untuk menjaga konsistensi politik hukum agar tetap pada rel konstitusi, karena
hukum merupakan produk politik.11 Lebih lanjut Moh. Mahfud MD menegaskan bahwa minimal
terdapat 2 alasan yang menyebabkan sebuah undang-undang berisi hal-hal yang bertentangan

3Rimdan, 2013, Op.Cit, p.2.


4Anwar Usman, “Bentuk-Bentuk Intervensi Terhadap Independensi Kekuasaan Kehakiman” Desertasi, Program
Doktor Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Tahun 2010, p.2.
5Siti Fatimah, “Proliferasi Kekuasaan Kehakiman Setelah Perubahan UUD 1945” Disertasi, Program Doktor Ilmu

Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2014, p.29.
6Lihat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
7Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Konpress, p. 156.
8Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, 2010, Jakarta: Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, p. 78


9Mardian Wibowo, “Menakar Konstitusionalitas sebuah Kebijakan Hukum Terbuka
dalam Pengujian Undang-Undang”, Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 2, Juni 2015, p. 197.
10Federal & State Cases, 1803, Combined Marbury and Madison, Supreme Court of the United States, February 24,

1803, Decided, p. 3-30.


11Moh. Mahfud MD, 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen, Jakarta: LP3ES, p. 96.

Udiyo Basuki dan Abdul Kadir Jaelani: Problematika Pelaksanaan Putusan... 2


Wacana Hukum:
Vol.XXIV, No.2, Desember 2018 [WACANA HUKUM: JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI]

dengan UUD NRI 1945 atau konstitusi: Pertama, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) sebagai lembaga legislatif yang membentuk undang-undang adalah lembaga politik yang
sangat mungkin membuat undang-undang atas dasar kepentingan mereka atau kelompok yang
dominan di dalamnya. Kedua, Pemerintah dan DPR sebagai lembaga politik dalam faktanya lebih
banyak berisi orang-orang bukan ahli hukum atau kurang dapat berfikir menurut logika hukum.12
Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi memang bukan merupakan bagian dari
proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Presiden13 dan Dewan Perwakilan Rakyat14
sebagai pembentuk undang-undang,15 harus dapat memberikan keterangan ataupun penjelasan
yang diperlukan dalam persidangan permohonan pengujian Undang-Undang di Mahkamah
Konstitusi.16 Berdasarkan prinsip dan alasan tersebut, kiprah lembaga yudikatif dalam menjaga
konsitensi UU terhadap UUD 1945 dapat dilihat antara lain dari banyaknya perkara dan putusan
dalam pengujian. Misalnya dari tahun 2014-2018, MK telah menangani perkara pengujian
peraturan perundang-undangan sebanyak 310 perkara, yang amar putusannya menolak,
mengabulakan atau tidak diterima.17 Pengujian Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tersebut,
dapat disimpulkan bahwa pembentukan undang-undang masih bersifat sektoral baik di
lingkungan Pemerintah maupun di lingkungan DPR dan DPD, hal ini ditandai dengan banyaknya
UU yang di judicial review dan usulan RUU dalam prolegnas belum berdasarkan kebutuhan akan
suatu UU dan kebutuhan yang objektif dan empirik.18 Prolifersai kewenangan legislasi tersebut,
tidak diiringi oleh fungsi sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang
optimal. Masing-masing pihak memiliki argumen yang kuat dalam mempertahankan suatu
peraturan dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas).19
Akibatnya, kondisi tersebut melahirkan situasi hukum yang serba multitafsir, konfliktual dan
tidak taat asas. Hal ini juga mengakibatkan lemahnya efektivitas implementasi regulasi yang pada
ujungnya dibawa ke Mahkamah Konstitusi untuk di judicial review.20 Mahkamah Konstitusi sebagai
penafsir konstitusi dalam amar Putusannya terdiri dari dua macam, yaitu dikabulkan dan ditolak.
Suatu permohonan dikabulkan manakala inkonstitusionalitas suatu undang-undang yang didalilkan
Pemohon terbukti menurut hukum, sedangkan suatu permohonan ditolak manakala Pemohon
tidak dapat membuktikan atau Mahkamah tidak dapat menemukan inkonstitusionalitas undang-
undang yang dimohonkan dalam pengujian. Baik dalam hal amar putusan menyatakan
permohonan dikabulkan atau permohonan ditolak, MK dapat memberikan syarat bagi dikabulkan
atau ditolaknya permohonan Pemohon.21

12Moh. Mahfud MD, 1999, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi , Jakarta: LP3ES, p. 130.
13Lihat Pasal 5 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
14Lihat Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
15Lihat Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
16Lihat Pasal 54 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
17Mahkamah Konstitusi, “Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-Undang”, https:// mkri.
id/index.php?page=web.RekapPUU&menu=5, diakses pada Tanggal 29 April 2016, Pukul 14.00 WIB.
18Bayu Dwi Anggono, “The Politics of Law On The Formation of Responsive, Participative and Populist

Legislation “, International Journal of Business, Economics and Law, Vol. 9, Issue 4 , April 2016, p. 85.
19Siti Fatimah, “Proliferasi Kekuasaan Kehakiman Setelah Perubahan UUD 1945” Disertasi, Program Doktor

Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2014, p. 50.
20Akhmad Adi Purawan, “Korupsi Legislasi dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”, Jurnal
Rechtsvinding, Vol. 3 No. 3 Desember 2014, p. 347-348.
21Mahkamah Konstitusi RI, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, p. 56.

Udiyo Basuki dan Abdul Kadir Jaelani: Problematika Pelaksanaan Putusan... 3


Wacana Hukum:
Vol.XXIV, No.2, Desember 2018 [WACANA HUKUM: JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI]

Syarat yang disandangkan demikian disebut konstitusional bersyarat (conditionally constitutional)22


maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally inconstitutional).23 Putusan konstitusional bersyarat,
MK merumuskan syarat-syarat atau membuat tafsir agar suatu norma undang-undang yang diuji
dapat dinyatakan sesuai dengan UUD NRI 1945, sedangkan dalam putusan inkonstitusional
bersyarat, MK membuat tafsir secara negatif, artinya suatu norma undang-undang dinyatakan
inkonstitusional ketika ditafsirkan seperti rumusan atau tafsiran MK.24 Putusan Mahkamah
Konstitusi bersifat final,25 tapi fakta menunjukkan bahwa putusan final MK sering tidak direspon
positif oleh lembaga negara lain, putusan final tidak jarang memperoleh tantangan sengit dari
segelintir aktor-aktor negara non-yudisial.26 Meminjam pendapat Hamilton, lembaga yudikatif
merupakan cabang yang paling lemah, bahkan untuk dapat mengeksekusi putusannya, peradilan
harus dibantu oleh cabang eksekutif dan legislatif, karena eksekutif memiliki pedang (senjata),
sedangkan legislatif menentukan atas keuangan negara (dompet). Sebaliknya, cabang yudikatif
(judiciary power) hanya berwenang memutus perkara.27 Beberapa negara, kondisi ini cenderung
merepresentasikan krisis konstitusional. Akibatnya, putusan MK tidak implementatif karena selalu
dihadang oleh kompleksitas permasalahan yang mengemuka di tahap aplikasi putusan final.28
Persoalan tersebut terlihat jelas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-
XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
Putusan tersebut membatalkan Pasal 34 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
yang menyatakan bahwa Pancasila tidak boleh disetarakan kedudukannya dengan UUD 1945,
NKRI, dan Bhinneka Tunggal-Ika. Pancasila adalah dasar negara dan sumber nilai bagi ketiga
prinsip-prinsip lainnya, yaitu UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika,29 namun putusan
tersebut tidak direspon baik oleh MPR, DPR dan DPD dengan tetap membuat program
sosialisasi pancasila melalui program empat pilar berbangsa dan bernegara.30 Padahal Pasal 2 Ayat
(2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan secara ekplisit menyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum
negara. Dalam dinamika proses kemasyarakatan, Pancasila diwujudkan dalam berbagai bidang
kehidupan, juga pada bidang hukum. Penerapan atau realisasi Pancasila pada bidang kehidupan
hukum itu menumbuhkan ketentuan-ketentuan hukum yang dijiwai atau diwarnai oleh Pancasila.
Keseluruhan tata hukum sebagai suatu sistem aturan hukum positif yang merupakan penjabaran

22Konstitusional bersyarat adalah kondisi suatu norma UU dinilai bersesuaian dengan UUD 1945 jika kelak
ditafsir sesuai dengan syarat atau parameter yang telah ditetapkan oleh MK. Disarikan dari Mardian Wibowo, Op.Cit,
p.198.
23Adapun inkonstitusional bersyarat adalah sebaliknya, yaitu norma UU yang dimohonkan pengujian secara

kekinian bersesuaian dengan UUD 1945, namun ada potensi menjadi inkonstitusional ketika kelak ditafsirkan secara
berbeda. Mardian Wibowo, Op.Cit, p.199.
24Martitah, 2013, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positive Legislature, Jakarta: Konpress, p. 9-11.
25Lihat Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Baca juga Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.


26Fajar Laksono Soeroso, “Pembangkangan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi: Kajian Putusan Nomor

153/G/2011/PTUN_JKT” Jurnal Yudisial Komisi Yudisial, Vol.6 No.3 Desember Tahun 2013, p. 228.
27Alexander Hamilton, 1995, Federalist 78. In The Federalist Papers, New York: Mentor, p. 30.
28Inosentius Samsul, 2009, Laporan Akhir Pengkajian Hukum tentang Putusan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Badan

Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, p. 4. Baca juga Dri Utari Christina R dan Ismail
Hasani (Ed), 2013, Masa Depan Mahkamah Konstitusi RI: Naskah Konferensi Mahkamah Konstitusi dan Pemajuan Hak
Konstitusional Warga, Jakarta: Setara Press, p. 3.
29Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
30Hastangka, Armaidy Armawi dan Kaelan, “Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XI/2013

tentang Pembatalan Frasa 4 Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol.30, No. 2 Juni
2018.

Udiyo Basuki dan Abdul Kadir Jaelani: Problematika Pelaksanaan Putusan... 4


Wacana Hukum:
Vol.XXIV, No.2, Desember 2018 [WACANA HUKUM: JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI]

atau penerapan Pancasila pada bidang hukum, dapat disebut Hukum Pancasila. Hukum Pancasila
sebagai hukum positif tumbuh dari dalam dan/atau dibuat oleh masyarakat Indonesian untuk
mengatur dan mewujudkan ketertiban yang adil dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.31
Rumusan Pancasila tersebut berlaku dan mengikat seluruh lembaga negara, lembaga
masyarakat dan setiap warga negara, tanpa kecuali. Rumusan pancasila secara imperatif harus
dilaksanakan oleh rakyat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap sila
Pancasila merupakan satu kesatuan yang integral, yang saling mengandaikan dan saling mengunci.
Ketuhanan dijunjung tinggi dalam kehidupan bernegara, tetapi diletakkan dalam konteks negara
kekeluargaan yang egaliter, yang mengatasi paham perseorangan dan golongan; selaras dengan visi
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan kebangsaan, demokrasi permusyawaratan yang
menekankan konsensus, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.32 Dalam sistem
peraturan perundang-undangan di Indonesia, keseluruhan sistem norma hukum Negara Republik
Indonesia secara keseluruhan merupakan suatu sistem yang hierarkhis (berjenjang). Pancasila
sebagai dasar negara dalam hukum Indonesia merupakan sumber karena merupakan norma dasar
(staatsfundamental), yang berturut turut kemudian verfassungnorm UUD 1945, grundgezetznorm atau
ketetapan MPR, serta gezetznorm atau Undang-Undang. Pancasila merupakan esensi dari
staatsfundamentalnorm, sehingga berkedudukan sebagai staatsfundamentalnorm dalam sistem tertib
hukum nasional. Konsekuensinya Pancasila merupakan sumber bagi pembentukan pasal-pasal
dalam Undang-Undang Dasar 1945, merupakan sumber dan dasar bagi pembentukan peraturan
di bawahnya.33 Tulisan ini akan membahas mengenai berbagai permasalahan diantaranya
kedudukan pancasila sebagai dasar negara pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
100/PUU-XI/2013 dan problematika pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
100/PUU-XI/2013 oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif yang
membentuk Undang-Undang.

PEMBAHASAN
Kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 100/PUU-XI/2013
Pertumbuhan dan perkembangan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, memberikan pengalaman positif bagi pemahaman filosofis
bangsa dalam menuju tercapainya cita-cita kesejahtraan rakyat. Para pendiri bangsa ini dengan
penuh ketulusan merumuskan dan menggali nilai-nilai filosofis bangsa, di tengah-tengah
perbedaan kepentingan ideologi antara liberalisme, nasionalisme, islamisme, sosialisme, dan komunisme,34
yang diakhiri secara konstitusional tanggal 18 Agustus 1945 bertepatan dengan disahkannya
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia sebagai tindak lanjut dari pernyatataan kemerdekaan Indonesia melalui
naskah proklamsi 17 Agustus 1945.35 Pancasila sebagai dasar negara36 dan sumber hukum negara37

31Soediman Kartohadiprodjo, 2010, Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Gatra Pustaka,
p. 41.
32Sudjito Atmoredjo, 2018, Ideologi Hukum Indonesia: Kajian tentang Pancasila dalam Perspektif Ilmu Hukum dan Dasar

Negara Indonesia, Yogyakarta: Lingkar Media, p. 5-10.


33Pandji Setijo, 2009, Pendidikan Pancasila, Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa, Jakarta: Gramedia Widiasarana

Indonesia, p. 66.
34Udiyo Basuki, “Qua Vadis UUD 1945: Refleksi 67 Tahun Indonesia Berkonstitusi, dalam Jurnal Kajian Ilmu

Hukum Supremasi Hukum, Vol.1, No.1, Juni 2012.


35Secara Filosofis kemerdekaan merupakan wujud dari nilai-nilai kebenaran dan keadilan karena segala bentuk

penjajahan itu bertentangan dengan perikemanusiaan dan keadilan. Selain itu refleksi filosofis yang lain dari makna
sebuah kemerdekaan bangsa Indonesia dapat dilacak dari konsepsi manusia sebagai mahluk individu (mahluk Tuhan)
yang telah diberikan kebebasan dalam menentukan pilihannya secara bertanggung jawab. Sebagai bangsa, rakyat
Indonesia juga dilekati hak untuk menentukan nasibnya sendiri (self determination) sebagai bangsa yang merdeka, karena

Udiyo Basuki dan Abdul Kadir Jaelani: Problematika Pelaksanaan Putusan... 5


Wacana Hukum:
Vol.XXIV, No.2, Desember 2018 [WACANA HUKUM: JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI]

merupakan amanah dari pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 alinea keempat:38
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawatan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam hal pembuatan peraturan perundang-undangan, Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara ekplisit
menyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. Dalam dinamika
proses kemasyarakatan, Pancasila diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan, juga pada bidang
hukum. Penerapan atau realisasi Pancasila pada bidang kehidupan hukum itu menumbuhkan
ketentuan-ketentuan hukum yang dijiwai atau diwarnai oleh Pancasila. Keseluruhan tata hukum
sebagai suatu sistem aturan hukum positif yang merupakan penjabaran atau penerapan Pancasila
pada bidang hukum, dapat disebut Hukum Pancasila. Hukum Pancasila sebagai hukum positif
tumbuh dari dalam dan/atau dibuat oleh masyarakat Indonesian untuk mengatur dan
mewujudkan ketertiban yang adil dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.39
Rumusan Pancasila itulah dalam hukum positif Indonesia secara konstitusional, berlaku, dan
mengikat seluruh lembaga negara, lembaga masyarakat, dan setiap warga negara, tanpa kecuali.
Rumusan pancasila secara imperatif harus dilaksanakan oleh rakyat Indonesia dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Setiap sila Pancasila merupakan satu kesatuan yang integral, yang saling
mengandaikan dan saling mengunci. Ketuhanan dijunjung tinggi dalam kehidupan bernegara,
tetapi diletakkan dalam konteks negara kekeluargaan yang egaliter, yang mengatasi paham
perseorangan dan golongan, selaras dengan visi kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
kebangsaan, demokrasi permusyawaratan yang menekankan konsensus, serta keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.40
Dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia, keseluruhan sistem norma hukum
Negara Republik Indonesia secara keseluruhan merupakan suatu sistem yang hierarkhis
(berjenjang). Pancasila sebagai dasar negara dalam hukum Indonesia merupakan sumber karena
merupakan norma dasar (staatsfundamental), yang berturut turut kemudian verfassungnorm atau UUD
1945, grundgezetznorm atau ketetapan MPR, serta gezetznorm atau Undang-Undang. Pancasila

sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa. Secara politik, kemerdekaan terletak pada realitas bahwa
proklamasi merupakan tindakan politik tunggal yang menyatakan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia.
Sedangkan secara sejarahahnya adalah apakah kemerdekaan RI ini merupakan pemberian atau hadiah dari penjajah
jepang. Disarikan dari Jazim Hamidi, 2006, Revolusi Hukum Indonesia: Makna, Kedudukan, dan Implikasi Hukum Naskah
Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, p. 6.
36Kaelan, 2013, Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya, Yogyakarta:

Paradigma, p. xi.
37Siti Fatimah, 2013, Legal Drafting, Yogyakarta: Daras, p. 5.
38Hendarmin Ranadireksa, 2013, Dinamika Konstitusi Indonesia, Bandung: Fokusmedia, p. 10.
39Soediman Kartohadiprodjo, 2010, Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Gatra Pustaka,

p. 41.
40Kaelan, 2013, Op.Cit, p. 544.

Udiyo Basuki dan Abdul Kadir Jaelani: Problematika Pelaksanaan Putusan... 6


Wacana Hukum:
Vol.XXIV, No.2, Desember 2018 [WACANA HUKUM: JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI]

merupakan esensi dari staatsfundamentalnorm, sehingga berkedudukan sebagai staatsfundamentalnorm


dalam sistem tertib hukum nasional. Konsekuensinya Pancasila merupakan sumber bagi
pembentukan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945, merupakan sumber dan dasar bagi
pembentukan peraturan di bawahnya.41
Namun dalam kenyataannya, Pancasila yang sudah disepakati menjadi Dasar Negara Republik
Indonesia disamakan kedudukannya dan disejajarkan dengan UUD 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika yang kemudian disebut dengan istilah "Empat Pilar
Berbangsa dan Bernegara".42 Empat pilar dari konsepsi kenegaraan Indonesia tersebut merupakan
prasyarat minimal, di samping pilar-pilar lain, bagi bangsa ini untuk bisa berdiri kukuh dan meraih
kemajuan berlandaskan karakter kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Setiap penyelenggara
negara dan segenap warga negara Indonesia harus memiliki keyakinan, bahwa itulah prinsip-
prinsip moral keindonesian yang memandu tercapainya perikehidupan bangsa yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dalam negara yang berasaskan kekeluargaan, para
penyelenggara negara wajib memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang
teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.43
Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara dipandang sebagai sesuatu yang harus
dipahami oleh para penyelenggara negara bersama seluruh masyarakat dan menjadi panduan
dalam kehidupan berpolitik, menjalankan pemerintahan, menegakkan hukum, mengatur
perekonomian negara, interaksi sosial kemasyarakatan, dan berbagai dimensi kehidupan bernegara
dan berbangsa lainnya. Dengan pengamalan prinsip Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara, diyakini bangsa Indonesia akan mampu mewujudkan diri sebagai bangsa yang adil,
makmur, sejahtera, dan bermartabat.44 Kenyataan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 34 ayat
(3b) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang berbunyi:
a.Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diprioritaskan untuk
melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai Politik dan masyarakat.

41Pandji Setijo, 2009, Pendidikan Pancasila, Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa, Jakarta: Gramedia, p. 66.
42Dimasukkannya Pancasila sebagai bagian dari Empat Pilar, semata-mata untuk menjelaskan adanya landasan
ideologi dan dasar negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, yang menjadi pedoman
penuntun bagi pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan lainnya. Pilar Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
Bhinneka Tunggal Ika sudah terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
tetapi dipandang perlu untuk dieksplisitkan sebagai pilar-pilar tersendiri sebagai upaya preventif mengingat besarnya
potensi ancaman dan gangguan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wawasan kebangsaan. Pancasila
sebagai ideologi dan dasar negara harus menjadi jiwa yang menginspirasi seluruh pengaturan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai Pancasila baik sebagai ideologi dan dasar negara sampai hari ini
tetap kokoh menjadi landasan dalam bernegara. Pancasila juga tetap tercantum dalam konstitusi negara kita meskipun
beberapa kali mengalami pergantian dan perubahan konstitusi. Ini menunjukkan bahwa Pancasila merupakan
konsensus nasional dan dapat diterima oleh semua kelompok masyarakat Indonesia. Pancasila terbukti mampu
memberi kekuatan kepada bangsa Indonesia, sehingga perlu dimaknai, direnungkan, dan diingat oleh seluruh
komponen bangsa. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah konstitusi negara sebagai
landasan konstitusional bangsa Indonesia yang menjadi hukum dasar bagi setiap peraturan perundang-undangan di
bawahnya. Oleh karena itu, dalam negara yang menganut paham konstitusional tidak ada satu pun perilaku
penyelenggara negara dan masyarakat yang tidak berlandaskan konstitusi. Negara Kesatuan Republik Indonesia
merupakan bentuk negara yang dipilih sebagai komitmen bersama. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
pilihan yang tepat untuk mewadahi kemajemukan bangsa. Oleh karena itu komitmen kebangsaan akan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi suatu “keniscayaan” yang harus dipahami oleh seluruh komponen
bangsa. Disarikan dari Pimpinan MPR dan TIM Kerja Sosialisai MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: Sekretariat MPR, p. 6-7.
43Ibid.
44Ibid, p. 8.

Udiyo Basuki dan Abdul Kadir Jaelani: Problematika Pelaksanaan Putusan... 7


Wacana Hukum:
Vol.XXIV, No.2, Desember 2018 [WACANA HUKUM: JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI]

b. Pendidikan Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) berkaitan dengan


kegiatan:
1. Pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD
1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun
etika dan budaya politik
3. Pengkaderan anggota Partai Politik secara berjenjang dan berkelanjutan
Apabila posisi Pancasila disejajarkan dengan UUD 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika maka ini artinya posisi Pancasila mengalami degradasi serta
bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 Alinea keempat berbunyi sbb:45
Maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-
Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentu dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada:
Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Persatuan
Indonesia; Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan; serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia" dan TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966.
Pancasila sebagai dasar negara merupakan harga mati bagi bangsa dan negara Indonesia yang
telah disepakati oleh para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila sebagai dasar
negara yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 (Philosophiche Grondslag) itu diubah menjadi
Pilar maka ini sama halnya dengan mengubah dan membubarkan negara proklamasi 1945. Di sisi
lain menyamakan "Dasar Negara" dengan "Pilar" merupakan kekeliruan yang sangat fundamental,
bahkan fatal, artinya telah mengubah Dasar Negara Republik Indonesia.46 Melihat realitas
tersebut, sebagai upaya mengembalikan Dasar Negara Indonesia, Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga negara penjaga konstitusi telah mengambil langkah progresif dalam putusannya
No.100/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Putusan tersebut
membatalkan empat pilar yang berisi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Pada pokoknya, putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Pancasila tidak boleh
disetarakan kedudukannya dengan UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal-Ika. Pancasila
adalah dasar negara dan sumber nilai bagi ketiga prinsip-prinsip lainnya, yaitu UUD 1945, NKRI,
dan Bhinneka Tunggal Ika.47
Tindakan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut merupakan sebuah langkah yang tepat. MK
telah berada pada jalan konstitusi yang benar, mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi
demi kehidupan kebangsaan dan bernegara yang bermartabat. Putusan MK tersebut merupakan
sebuah pilihan bijaksana serta langkah maju di bidang hukum khususnya sistem hukum yang
mendudukan pancasila sebagai dasar negara Indonesia.48 Menurut Kaelan, sistem hukum adalah
suatu tatanan berupa kaidah tentang yang seharusnya menuju tujuan kesatuan. Bertolak dari
pengertian tersebut, maka seluruh peraturan hukum merupakan suatu sistem, yang memiliki unsur
dan bagian sehingga memiliki hubungan secara konsisten. Konsisten dalam hukum di Indonesia

45Yudi Latif, 2011, Negara Paripurna. Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: PT Gramedia, p. 57.
46SudjitoAtmoredjo, 2017, Hukum dalam Pelangi Kehidupan, Yogyakarta: Dialektika, p. 87.
47Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
48Sudjito Atmoredjo, 2018, Ideologi Hukum Indonesia: Kajian tentang Pancasila dalam Perspektif Ilmu Hukum dan Dasar

Negara Indonesia, Yogyakarta: Lingkar Media, p. 5-10.

Udiyo Basuki dan Abdul Kadir Jaelani: Problematika Pelaksanaan Putusan... 8


Wacana Hukum:
Vol.XXIV, No.2, Desember 2018 [WACANA HUKUM: JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI]

sekaligus menyangkut norma-norma dan kaidah yang terkandung di dalamnya secara koheren
antara unsur satu dengan lainnya.49

Problematika Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XI/2013


oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif yang
membentuk Undang-Undang.
Sejak awal keberadaan Mahkamah Konstitusi didesain untuk mengawal konstitusi dalam arti
menjaga agar UU konsisten, sejalan dan tidak bertentangan dengan UUD. Dalam hal ini, ada
semacam sekat konstitusionalisme yang membatasi secara tegas MK sebagai peradilan konstitusi
untuk tidak mencampuri ranah kekuasaan legislatif, karena itu sebagai lembaga yudikatif MK
prinsipnya hanya boleh menyatakan bahwa pasal/ayat/bagian atau seluruh UU bertentangan atau
tidak bertentangan dengan konstitusi.50 Putusan Mahkamah Konstitusi termasuk jenis putusan
akhir. Hal ini bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Pelaksanaan putusan MK dikategorikan
menjadi dua jenis putusan yaitu pertama, putusan yang bersifat self executing. Artinya, putusan MK
dapat dilaksanakan tanpa pengaturan lebih lanjut oleh lembaga negara yang berwenang. Kedua,
putusan yang bersifat non self executing yakni putusan yang membutuhkan pengaturan lebih lanjut
dalam pelaksanaannya.51
Semua jenis putusan MK tetap membutuhkan tindak lanjut implementasinya dalam kasus-
kasus konkret oleh pihak-pihak yang berwenang, karena norma dalam UU adalah satu kesatuan
sistem yang terkait dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh karenanya, ada
pelaksanaan putusan yang harus melalui tahapan-tahapan tertentu, ada pula yang dapat
berlangsung tanpa tahapan yang rumit, bergantung pada subtansi putusan sendiri. Putusan yang
berlangsung dapat dilaksanakan adalah putusan membatalkan norma tertentu yang tidak
mengganggu sistem norma yang ada karenanya tidak perlu pengaturan lebih lanjut. Tindak lanjut
putusan MK seperti ini dapat berupa UU, Perpu, PP ataupun peraturan pelaksana lainnya dari
instansi terkait.52 Pada konteks putusan MK Nomor 100/PUU-XI/2013, putusan tersebut
termasuk yang bersifat self executing yaitu putusan yang dapat dilaksanakan tanpa pengaturan lebih
lanjut oleh lembaga negara yang berwenang, putusan tersebut juga dapat berlangsung tanpa
tahapan yang rumit, karena putusan tersebut membatalkan norma tertentu yang tidak
mengganggu sistem norma yang ada karenanya tidak perlu pengaturan lebih lanjut. Tindak lanjut
putusan MK tersebut seharusnya melalui UU dan TAP MPR.
Namun, pada tahap pelaksanaannya putusan tersebut yang seharusnya menghapus sosialisasi
empat pilar kebangsaan (berbangsa dan bernegara) yang berada di dalam Pasal 34 Ayat (3b) huruf
a Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik. Putusan itu memilki arti bahwa
segala bentuk kegiatan yang berhubungan dengan mensosialisasikan ajaran empat pilar
kebangsaan harus di stop. Putusan tersebut keluar pada bulan April tahun 2014. Artinya semenjak
tahun 2014 seharusnya segala unsur yang biasanya melakukan kegiatan sosialisasi empat pilar
kebangsaan harus memberhentikan kegiatan sosialisasinya, namun nyatanya MPR tetap

49Kaelan,2018, Negara Kebangsaan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma, p. 20.


50Martitah,
2013, Op.Cit, p. 174.
51Bambang Sutiyoso, “Putusan Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya Terhadap Pencari Keadilan”, Jurnal

Hukum, Vol.15, No.3, Juli Tahun 2018.


52Ibid.

Udiyo Basuki dan Abdul Kadir Jaelani: Problematika Pelaksanaan Putusan... 9


Wacana Hukum:
Vol.XXIV, No.2, Desember 2018 [WACANA HUKUM: JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI]

mensosialisasikan kedudukan pancasila sebagai empat pilar dengan merubah nama menjadi empat
pilar kebangsaan ataupun Empat Pilar MPR RI. Perubahan tersebut bukan tindak lanjut dari
putusan MK yang berupa produk hukum, melainkan berdasarkan hasil kajian yang sampai saat ini
belum memberikan hasil yang jelas, bahkan belum ditemukan dasar penyusunan ilmiahnnya.53
Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa perubahan nama tersebut hanyalah perubahan
redaksional semata, namun isinya tetap saja. Sementara yang menjadi permasalahan selama ini
adalah isi dan makna dari empat pilar yang tidak tepat, apalagi melihat Pancasila adalah dasar
negara, tetapi di dalam teori empat pilar malah disejajarkan dengan pilar yang lainnya. Tindakan
MPR tersebut salah satu disebabkan oleh anggaran sekali mengadakan sosialisasi empat pilar
kebangsaan, Negara menganggarkan Rp. 37.800.000,00, dengan ditambah ongkos perjalanan
sedangkan jumlah anggota DPR RI ada 560 orang, dan jumlah anggota DPD RI ada 136 orang.
Jadi total ada 696 orang jumlah anggota DPR/MPR RI yang mendapat fasilitas anggaran untuk
melakukan kegiatan sosialisasi tersebut. Anggota DPR/MPR RI untuk melakukan kegiatan
tersebut yang nominalnya disesuaikan jarak daerah pemilihannya masing-masing.54
Putusan MK bersifat final, artinya pertama dan terakhir, tidak ada upaya hukum lainnya.
Konsekuensi dari putusan final adalah langsung berlaku mengikat sejak dibacakannya putusan
(binding). Namun pada kenyatannya di lapangan terjadi kesenjangan antara teori dan praktek.
Maksudnya, apa yang diharapkan dari teori putusan bersifat final dan mengikat, ternyata pada
level implementasinya kerap tidak terjadi demikian. Putusan Mahkamah Konstitusi banyak yang
dianulir atau tidak dipedulikan oleh organ pembentuk undang-undang. Akibatnya, putusan MK
sepertinya tidak memiliki kekuatan mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat
declaratoir constitutif secara implisit menempatkan Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator,
yang menciptakan suatu hukum berdasarkan suatu pemyataan.55
Implikasi dari putusan declaratoir constitutif ialah lahirya suatu keadaan hukum baru, terkait
dengan jenis putusannya yang bersifat declaratoir. Menurut Maruarar Siahaan, salah satu mantan
hakim konstitusi, bahwa Mahkamah Konstitusi tidak membutuhkan organ atau aparat khusus
yang bertugas sebagai lembaga eksekutorial atau aparat yang bertugas melaksanakan putusannya.
Jika organ pembentuk undang-undang (pemerintah atau lembaga negara lainnya) tidak mentaati
putusan Mahkamah Konstitusi, dan sebaliknya justru tetap menjalankan undang-undang yang
tidak lagi memiliki kekuatan mengikat, maka menurut Maruarar, praktek tersebut diluar tanggung
jawab Mahkamah Konstitusi, melainkan satu tindakan yang pengawasannya ada dalam mekanisme
hukum dan tatanegara itu sendiri. Lebih lanjut Maruarar menyebutkan, bahwa perbuatan yang
dilaksanakan atas dasar undang-undang yang sudah dinyatakan batal dan tidak berlaku mengikat,
merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Jika dikemudian terjadi kerugian atas tindakan
aparat pemerintah tersebut, justru mereka harus mempertanggungjawabkannya secara
perseorangan (personal liability).56
Terkait dengan kekuatan eksekutorial yang dimiliki putusan Mahkamah Konstitusi, secara
eksplisit memang susah diwujudkan pada perkara pengujian undang-undang, tetapi seperti halnya
putusan pengadilan biasa, putusan Mahkamah Konstitusi tetap memiliki kekuatan eksekutorial,
misalnya ada penyatuan atau integrasi putusan Mahkamah Konstitusi dengan undang-undang
yang telah diajukan, sehingga khalayak umum bisa tahu secara jelas, bahwa pada bagian tertentu

53Akhmad Adi Purawan, “Korupsi Legislasi dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”, Jurnal
Rechtsvinding, Vol. 3 No. 3 Desember 2014, p. 347-348.
54Andra Bani Sagalane, “Implementasi dan Implikasi Sosialisasi Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara Pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Legalitas, Vol. 9 No. 1 Januari 2015, p. 2.


55Bambang Sutiyoso, “Putusan Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya Terhadap Pencari Keadilan”, Jurnal

Hukum, Vol.15, No.3, Juli Tahun 2018.


56Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar, “Komparasi Sifat Mengikat Putusan Judicial Review Mahkamah

Konstitusi dan Peradila Tata Usaha Negara”, Mimbar Hukum, Vol. 19, No.3, Oktober 2007, p. 441.

Udiyo Basuki dan Abdul Kadir Jaelani: Problematika Pelaksanaan Putusan... 10


Wacana Hukum:
Vol.XXIV, No.2, Desember 2018 [WACANA HUKUM: JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI]

undang-undang bersangkutan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun demikian,
meski putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan eksekutorial, hal itu tidak memberi hak
kepada pemohon untuk meminta pelaksanaan putusan tersebut, misalnya saja menuntut
diadakannya perubahan undang-undang.57
Dalam tradisi judiciary yang telah berkembang sejak lama, suatu putusan pasti mempunyai sifat
atau kekuatan mengikat (binding), karena hal ini terkait dengan kewenagan absolut lembaga
peradilan, yang memiliki kekuasaan untuk melakukan penghakiman (judgement). Tentunya tidak
berguna, jika suatu putusan yang proses pen gambilannya kadang membutuhkan tempo yang
sangat panjang dan melelahkan, akan tetapi pada akhimya tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat, hasilnya hanya sebuah kesia-siaan belaka. Problem pada level implementasi/eksekusi
putusan seperti inilah yang kerap menghinggapi organ Pengadilan Tata Usaha Negara dan
Mahkamah Konstitusi, karena tidak adanya lembaga eksekutorial bagi putusan-putusan kedua
peradilan tersebut, serta tidak adanya ancaman sanksi yang serius apabila tidak melaksanakan
putusan. Selama ini pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi hanya mengandalkan
kerjasama/hubungan yang baik antara Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga judicial dengan
organ-organ pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden), serta organ pelaksana undang-
undang (pemerintah).58
Jika tidak ada itikad baik dari ketiga organ, yang terkena implikasi dari keluarnya putusan
Mahkamah Konstitusi, tentunya putusan Mahkarnah Konstitusi hanya menjadi kesia-siaan belaka,
atau sekedar menjadi macan kertas, yang tidak memiliki kekuatan implementatif. Menurut
pandangan beberapa ahli hukum, cabang kekuasaan yudikatif adalah cabang paling lemah dari
ketiga cabang kekuasaan yang ada, karenanya kewenangannya hanya sebagai pemutus perkara.
Selebihnya untuk mengeksekusi putusan yang dikeluarkan, organ yudikatif membutuhkan campur
tangan dari pihak eksekutif untuk menjadi eksekutor.59 Meskipun Mahkamah Konstitusi saat ini
memiliki kewenangan yang luar biasa tinggi, yakni sebagai organ yang berwenang untuk
melakukan constitutional review, yang artinya berfungsi untuk membatasi dan mengawasi organ-
organ negara lainnya agar berjalan dalam koridor-koridor yang telah ditetapkan oleh konstitusi,
namun hal ini belum bisa menjamin pelaksanaan dari ketentuan yang digariskan oleh Mahkamah
Konstitusi, bahkan seringkali diingkari. Apalagi sekarang dengan kecenderungan yang mengarah
pada judicial activism (peradilan aktif), di mana peran dari lembaga judicial sebagai penjamin
konstitusi akan semakin dominan, putusan Mahkamah Konstitusi akan mendapat tantangan
sengit dari aktor-aktor negara non-yudisial yang terkena imbas dari putusan MK. 60
Apabila menganalisis ketentuan yang terdapat dalam Pasal 24 C ayat (1), di situ memang hanya
disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terkahir
yang putusannya bersifat final, jadi memang secara eksplisit tidak pernah dicantumkan bahwa
putusan Mahkamah Konstitusi bersifat mengikat (binding). Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi hanya menyebutkan demikian, bahwa putusan
Mahkamah Konstitusi hanya sekedar bersifat final, artinya pertama dan terakhir, serta tidak ada
upaya hukum lain yang bisa ditempuh sesudahnya, sifat binding tidak turut serta dalam putusan
Mahkamah Konstitusi. Kejadian ini merupakan kesalahan fatal organ pembentuk undang-undang
dalam mengarti-kulasikan tenninologi putusan final, artikulasi putusan final ialah tidak dapat

57Ibid, p. 443.
58Jimly Asshiddiqie, “Upaya Perancangan Undang-Undang tentang Larangan Merendahkan Martabat Pengadilan
(Contempt Of Court)”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol.4, No.2 Juli 2015.
59Ibid.
60Pan Mohamad Faiz, “Dimensi Judicial Activism dalam Putusan Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Vol.13,

No.2 Juni 2016.

Udiyo Basuki dan Abdul Kadir Jaelani: Problematika Pelaksanaan Putusan... 11


Wacana Hukum:
Vol.XXIV, No.2, Desember 2018 [WACANA HUKUM: JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI]

dibanding atau tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh, oleh karenanya konsekuensi
normatif dari putusan final adalah hams mengikat.61
Oleh karenanya di negara manapun, kecuali Indonesia, konstitusi dan pengaturan yang
mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mencantumkan kata-kata bersifat final tentu
selalu diikuti dengan kata mengikat (final and binding). Meski telah dicantumkan secara eksplisit,
seringkali putusan Mahkamah Konstitusi diingkari atau tidak dipedulikan oleh organ pembentuk
undang-undang dan/atau aktor-aktor non yudisial Iainnya, apalagi jika kedua kata tersebut tidak
dicantumkan secara berdampingan dan eksplisit, sangat dimungkinkan terjadi penafsiran bahwa
putusan yang bersifat final belum tentu mengikat, karena tidak ada ketentuan yang secara eksplisit
mengaturnya.62 Akibatnya, putusan Mahkamah Konstitusi tidak berwatak implementatif, ketika
mencapai tahap aplikasi, Putusan Mahkamah Konstitusi akan dihadang oleh sekian banyak
rintangan yang menggangu eksekusi putusan. Oleh karenanya perlu adanya suatu strategi
kesadaran kolektif dari seluruh lembaga negara dan organ-organ non negara lainnya, untuk
bersama-sama mengaplikasikan putusan Mahkamah Konstitusi pada kondisi yang secara jelas
dikehendaki oleh konstitusi. Pengimplementasian putusan Mahkamah Konstitusi akan sangat
absurd tanpa adanya respon positif dari organ pembentuk undang-undang dan pemerintah pada
umumnya. Selama ini kerap kali terjadi kesenjangan dan disparitas antara tahap pembacaan
dengan implementasi putusan final di lapangan. Jika persoalan besar ini ternsdibiarkan, niscaya
putusan Mahkamah Konstitusi hanya akan memiliki kekuatan simbolik yang menghiasi lembaran
berita negara.63
Ke depan, organ Mahkamah Konstitusi sebaiknya tidak sekedar memiliki kewenangan yang
besar dalam hal pengujian konstitusionalitas, melainkan juga hams dibekali kewenangan untuk
mengawasi putusannya, artinya putusan final yang disertai dengan judicial order yang diarahkan
kepada perorangan ataupun institusi negara. Selanjutnya harus pula diadakan ketentuan formal
yang mengatur implementasi putusan final dan mengikat, selain diperkuat dengan adanya
kesepakatan kolektif dari lembaga-Iembaga negara dan aktor negara untuk melakukan tindakan
koordinatif dankolaboratif yang mendukung pelaksanaanl implementasi dari putusan Mahkamah
Konstitusi. Disertai dukungan publik yang massif untuk "menekan" organ-organ negara dalarn
melaksanakan putusan yang telah digariskan.64

PENUTUP
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa,
pertama, kedudukan Pancasila sebagai dasar negara pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
100/PUU-XI/2013 yang membatalkan empat pilar yang berisi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan
Bhinneka Tunggal Ika. Pada pokoknya, putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa
Pancasila tidak boleh disetarakan kedudukannya dengan UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka
Tunggal-Ika. Pancasila adalah dasar negara dan sumber nilai bagi ketiga prinsip-prinsip lainnya,
yaitu UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Kedua, problematika pelaksanaan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XI/2013 oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai
lembaga legislatif yang membentuk Undang-Undang adalah terkait dengan kekuatan eksekutorial
yang dimiliki putusan Mahkamah Konstitusi, secara eksplisit memang susah diwujudkan pada

61Ahmad Syahrizal. "Problem lmplementasi Putusan MK" Jurnal Konstitusi, Volume 4 Nomor I, Maret 2007, p.
115.
62Jimly Asshiddiqie, “Upaya Perancangan Undang-Undang tentang Larangan Merendahkan Martabat Pengadilan

(Contempt Of Court)”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol.4, No.2 Juli 2015.
63Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar, “Komparasi Sifat Mengikat Putusan Judicial Review Mahkamah

Konstitusi dan Peradila Tata Usaha Negara”, Mimbar Hukum, Vol. 19, No.3, Oktober 2007, p. 445.
64Ibid, p. 450.

Udiyo Basuki dan Abdul Kadir Jaelani: Problematika Pelaksanaan Putusan... 12


Wacana Hukum:
Vol.XXIV, No.2, Desember 2018 [WACANA HUKUM: JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI]

perkara pengujian undang-undang, tetapi seperti halnya putusan pengadilan biasa, putusan
Mahkamah Konstitusi tetap memiliki kekuatan eksekutorial, misalnya ada penyatuan atau integrasi
putusan Mahkamah Konstitusi dengan undang-undang yang telah diajukan, sehingga khalayak
umum bisa tahu secara jelas, bahwa pada bagian tertentu undang-undang bersangkutan tidak lagi
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun demikian, meski putusan Mahkamah Konstitusi
memiliki kekuatan eksekutorial, hal itu tidak memberi hak kepada pemohon untuk meminta
pelaksanaan putusan tersebut, misalnya saja menuntut diadakannya perubahan undang-undang.
Fenomena tersebut seolah memperkuat pernyataan Hamilton, Denny Indrayana dan Zainal Arifin
Mochtar yang menyatakan bahwa lembaga yudikatif merupakan cabang yang paling lemah,
bahkan untuk dapat mengeksekusi putusannya, peradilan harus dibantu oleh cabang eksekutif dan
legislatif, karena eksekutif memiliki pedang (senjata), sedangkan legislatif menentukan atas
keuangan negara (dompet). Sebaliknya, cabang yudikatif (judiciary power) hanya berwenang
memutus perkara.

REFERENCES
Anggono, Bayu Dwi, “The Politics of Law On The Formation of Responsive, Participative and
Populist Legislation “, International Journal of Business, Economics and Law, Vol. 9, Issue 4 , April
2016.
Asshiddiqie, Jimly, “Upaya Perancangan Undang-Undang tentang Larangan Merendahkan
Martabat Pengadilan (Contempt Of Court)”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol.4, No.2 Juli 2015.
____________________, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Jakarta: Konpress.
Atmoredjo, Sudjito, 2017, Hukum dalam Pelangi Kehidupan, Yogyakarta: Dialektika.
____________________, 2018, Ideologi Hukum Indonesia: Kajian tentang Pancasila dalam Perspektif
Ilmu Hukum dan Dasar Negara Indonesia, Yogyakarta: Lingkar Media.
Basuki, Udiyo, “Qua Vadis UUD 1945: Refleksi 67 Tahun Indonesia Berkonstitusi, dalam Jurnal
Kajian Ilmu Hukum Supremasi Hukum, Vol.1, No.1, Juni 2012.
Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar, “Komparasi Sifat Mengikat Putusan Judicial Review
Mahkamah Konstitusi dan Peradila Tata Usaha Negara”, Mimbar Hukum, Vol. 19, No.3,
Oktober 2007.
Faiz, Pan Mohamad, “Dimensi Judicial Activism dalam Putusan Mahkamah Konstitusi”, Jurnal
Konstitusi, Vol.13, No.2 Juni 2016.
Fatimah, Siti, “Proliferasi Kekuasaan Kehakiman Setelah Perubahan UUD 1945” Disertasi,
Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta, 2014.
_____________, 2013, Legal Drafting, Yogyakarta: Daras.
Federal & State Cases, 1803, Combined Marbury and Madison, Supreme Court of the United States,
February 24, 1803, Decided.
Hamidi, Jazim, 2006, Revolusi Hukum Indonesia: Makna, Kedudukan, dan Implikasi Hukum Naskah
Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press.
Hamilton, Alexander, 1995, Federalist 78. In The Federalist Papers, New York: Mentor.
Hastangka, Armaidy Armawi dan Kaelan, “Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
100/PUU-XI/2013 tentang Pembatalan Frasa 4 Pilar Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol.30, No. 2 Juni 2018.
Indrayana, Denny dan Zainal Arifin Mochtar, “Komparasi Sifat Mengikat Putusan Judicial Review
Mahkamah Konstitusi dan Peradila Tata Usaha Negara”, Mimbar Hukum, Vol. 19, No.3,
Oktober 2007.

Udiyo Basuki dan Abdul Kadir Jaelani: Problematika Pelaksanaan Putusan... 13


Wacana Hukum:
Vol.XXIV, No.2, Desember 2018 [WACANA HUKUM: JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI]

Kaelan, 2013, Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya,
Yogyakarta: Paradigma.
__________, 2018, Negara Kebangsaan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma.
Kartohadiprodjo, Soediman, 2010, Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Yogyakarta:
Gatra Pustaka.
Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna. Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Mahkamah Konstitusi RI, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi, “Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-Undang”, https:// mkri.
id/index.php?page=web.RekapPUU&menu=5, diakses pada Tanggal 29 April 2016, Pukul 14.00
WIB.
Martitah, 2013, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positive Legislature, Jakarta:
Konpress.
MD, Moh. Mahfud, 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen, Jakarta: LP3ES.
___________________, 1999, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi , Jakarta: LP3ES.
Pimpinan MPR dan TIM Kerja Sosialisai MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: Sekretariat MPR.
Purawan, Akhmad Adi, “Korupsi Legislasi dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan”, Jurnal Rechtsvinding, Vol. 3 No. 3 Desember 2014.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ranadireksa, Hendarmin, 2013, Dinamika Konstitusi Indonesia, Bandung: Fokusmedia.
Rimdan, 2013, Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi, Jakarta: Kencana, Jakarta.
Sagalane, Andra Bani, “Implementasi dan Implikasi Sosialisasi Empat Pilar Berbangsa dan
Bernegara Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Legalitas, Vol. 9 No. 1 Januari 2015.
Samsul, Inosentius, 2009, Laporan Akhir Pengkajian Hukum tentang Putusan Mahkamah Konstitusi,
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI.
Setijo, Pandji, 2009, Pendidikan Pancasila, Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa, Jakarta: Gramedia.
Soeroso, Fajar Laksono, “Pembangkangan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi: Kajian
Putusan Nomor 153/G/2011/PTUN_JKT” Jurnal Yudisial Komisi Yudisial, Vol.6 No.3
Desember Tahun 2013.
Sutiyoso, Bambang, “Putusan Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya Terhadap Pencari
Keadilan”, Jurnal Hukum, Vol.15, No.3, Juli Tahun 2018.
Syahrizal, Ahmad, "Problem lmplementasi Putusan MK" Jurnal Konstitusi, Volume 4 Nomor I,
Maret 2007.
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, 2010, Jakarta: Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Usman, Anwar, “Bentuk-Bentuk Intervensi Terhadap Independensi Kekuasaan Kehakiman”
Desertasi, Program Doktor Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Tahun
2010.
Wibowo, Mardian, “Menakar Konstitusionalitas sebuah Kebijakan Hukum Terbuka
dalam Pengujian Undang-Undang”, Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 2, Juni 2015.

Udiyo Basuki dan Abdul Kadir Jaelani: Problematika Pelaksanaan Putusan... 14


Aktualisasi Nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Falsafah Negara dan
Implementasinya Dalam Pembangunan Karater Bangsa

Sutan Syahrir Zabda


Dosen PPKN-FKIP UMS
e-mail:
ssz196@ums.ac.id

Abstract
The problems discussed in this paper were; 1) why the Pancasila (the five
Indonesian National Principles) values had not been fully understood and acted in
the Indonesian, 2) how Pancasila Values could be revitalised so that it could be
characteristically internalised in the daily society activities. Based on the deep
review from some theories, the conclusions were: 1) the tentative manners were
the main problems of unimplemented Pancasila values in the most Indonesian. 2)
The Pancasila values must be revitalised trough seriously dissemination process
with the appropriate strategies and scientifically instead of doctrine. Every effort
of Pancasila values internalisations must use persuasion approach.
Keywords : Pancasila values, Philosophy, Nation

PENDAHULUAN yang menjerat para remaja didorong


Ada yang salah dalam kehidupan untuk menjual tubuh mereka dengan
masyarakat modern kita saat ini, imbalan obat-obatan/narkoba.
halmana gejala menunjukkan bahwa Di sisi lain orang tua sudah
kita sebagai penghuni bumi ini banyak yang kehilangan kontrol
seharusnya menjadi khalifah bumi terhdap putera-putera mereka atau
yang tugasnya mengelola dan keturunan mereka. Sudah sudah
memelihara, namun justru manusia menjadi pengetahuan kita bersama
menjadi penghancur rumah bumi kita bahwa pertikaian antar remaja hanya
sendiri. Perilaku kebiasaan tersebut karena perkara sepele, anak saling
berkontribusi terhadap degradasi atau mangsa satu sama lain. Terlalu
kerusakan lingkungan fisik dan banyak bayi yang lahir dari ibu
lenyapnya bentuk kehidupan yang menikah usia remaja bahkan di luar
sangat berharga / bernilai. nikah akibat pergaulan bebas, seks
Penyalahgunaan narkoba sudah bebas yang mengabaikan nilai-nilai
menjadi perilaku banyak orang dari kehidupan yang berharga. Terlalu
semua lapisan masyarakat bahkan banyak anak muda yang menipu dan
semakin merajalela dan sulit melanggar hukum tanpa penyesalan.
mengontrolnya. Di jalan-jalan telah Terlalu banyak media berita kita
banyak menjadi tempat-tempat justru mengajarkan generasi muda
berbahaya di mana predator atau menjadi pahlawan pahlawan maya
pemangsa berkeliaran mengintai yang dimplementasikan dalam
remaja dan terjebak dalam telikungan perilaku kekerasan, pragmatis,

Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol 26, No.2, Desember 2016, ISSN:1412-3835
106
berpikir pendek, sikat dulu urusan Permasalahan yang muncul dalam
belakang, mereka menjadi budak tulisan ini adalah:
industri dunia maya, sehingga para Mengapa nilai-nilai Pancasila
remaja asik dengan dirinya sendiri belum sepenuhnya dapat diamalkan
dalam permainan games on line, dalam kehidupan bermasyarakat,
pornografi dan lain sebagainya. Hal berbangsa dan bernegara Indonesia?
ini membuat generasi muda pasif, Bagaimana Nilai-nilai Pancasila
reksioner negatif, dan tidak kreatif dapat direvitalisasi agar dapat
positif. diamalkan dalam kehidupan
Terlalu banyak para pemimpin bermasyarakat, berbangsa dan
atau tokoh politik, para profesional bernegara yang berkarakter?
dan bisnis telah meninggalkan etika,
menghalalkan cara demi tujuan. ARGUMEN TEORITIS
Banyak fakta yang membuktikan Gejala dalam masyarakat di atas
perilaku pemimpin kita yang menurut Pat Duffy Hutcheon
mengabaikan nilai dan etika disegala sebagaimana dinyatakaannya di
bidang seperti: bidang politik para bawah ini:
politisi kita banyak yang There is a dawning
mengabaikan etika berpolitik, dalam recognition among ordinary
bidang ekonomi, sudah bukan people that something is
rahasia lagi para pembisnis dreadfully wrong in modern
melanggar etika bisnis; dalam bidang industrial society. We are
sosial sudah terlalu banyak para destroying our earthly home.
tokoh, para remaja, bahkan awam Too many of our habitual
yang mengabaikan etika sosial, tidak behaviors contribute to the
ada lagi sopan dan santun dalam degradation of our physical
pergaulan sehari-hari, semua surroundings and the
dihitung pada keuntungan materi disappearance of valuable forms
semata. of life. We are losing control of
Gejala di atas melahirkan our lives. Too many people from
pertanyaan, bahwa Apakah gejala all walks of life are abusing
perilaku masyarakat mengisyaratkan drugs. We are losing control of
nilai-nilai kehidupan yang menjadi our cities. Too many of our
landasan moral etik sudah tidak ada. streets have become dangerous
Secara sosiologis, setiap masyarakat places where predators lurk in
memiliki tata nilai mereka sendiri. the dark and pre-adolescents are
Secara kebangsaan, Indonesia masih encouraged to sell their
tetap berlandaskan nilai-nilai unformed bodies in return for
Pancasila sebagai dasar falsafah drugs. We are losing control of
bangsa, sebagai way of life , namun our offspring. Too many
kenyataannya nilai-nilai Pancasila children prey on one another,
belum mencerminkan karakter dan with guns and knives. Too many
perilaku kehidupan bermasyarakat babies are being born to unwed
dan berbangsa tidak sesuai antara teen-aged mothers. We are
dass sollen dan dass sein antara losing the precious core of
idealisnya dengan kenyataannya. values necessary for keeping any

Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol 26, No.2, Desember 2016, ISSN:1412-3835
107
society workable. Too many Gejala tersebut di atas
youngsters cheat and break the sebenarnya dapat berpangkal pada
law without compunction. Too kegagalan dalam proses
many of our news media make pembangunan karakter banga.
heroes of ruthless commercial Hutcheon,1999) menyatakan:
exploiters and serial murderers. “In the face of all this it may
Too many of our political seem trite to say that it all comes
leaders and professional and down to a matter of character,
business people have abandoned and how that character is
ethics (Hutcheon,1999:1). formed, and to a matter of
culture, and how that culture is
Eric Fromm menyatakan bahwa formed. But it is true. Character
perkembangan Eropa sebagai and culture are what it is all
perkembangan peradaban modern, about. Until we understand what
yang berpangkal pada timbulnya it means to be a human being
kebebasan (freedom) yang terjadi capable of acquiring a character
pada level individu maupun and participating in and
masyarakat (Budimansyah,2010:14). contributing to a culture, ..........”
Lebih lanjut From menyatakan
bahwa pada level individu kebebasan Pernyatan Hutcheon di atas
itu diawali timbulnya “diri” (self) walau mungkin pernyataan klise,
dalam proses individuasi sejak lahir, bahwa itu semua bermuara pada soal
sedang pada level masyarakat, kebe- karakter, dan bagaimana karakter
basan menentukan perkembangan yang terbentuk, dan masalah budaya,
kepribadian melalui proses dan bagaimana budaya terbentuk.
individuasi sepanjang sejarah, seperti Tapi itu memang benar, itulah
yang dialami masyarakat Barat kenyataannya. Semua tentang
sebagai hasil perjuangan kebebasan Karakter dan budaya sehingga kita
individu Budiman,201). Kebebasan
memahami apa artinya menjadi
Individu dalam dimensi masyarakat manusia yang cakap memiliki
mengakibatkan lepasnya ikatan- karakter dalam/dan berpartisipasi
ikatan nilai dalam masyarakat atau dalam dan memberikan kontribusi
kelompok. Lepasnya individu den- untuk berbudaya. Penulis sependapat
gan nilai-nilai kemasyarakatannya bahwa persoalan yang dihadapi
berakibat pada munculnya pribadi bangsa Indonesia dalam kontek krisis
anggota masyarakat yang mengalami peradaban di atas lebih karena
gangguan kejiwaan seperti: bangsa Indonesia sudah atau sedang
kegelisaan (anxiety), perasaan mengalami krisis atau degradasi
kesendirian (aloneness). Perasaan karakter bangsa.
tercabut dari akar kemasyarakat,
berkembangnya perasaan saling
Membangun Karakter Bangsa
curiga, negative prejudice dengan
Indonesia
orang lain atau kelompok lain yang Membangun karakter bangsa
berujung pada saling permusuhan sebenarnya sudah terpikirkan oleh
(hostility). bangsa Indonesia melalui para the
founding father nya jauh sebelum

Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol 26, No.2, Desember 2016, ISSN:1412-3835
108
bangsa Indoensia merdeka. Bung atau character. Pengetahuan
Karno amat sering menyampaikan kewarganegaraan berkenaan dengan
pentingnya membangun karakter apa yang seharusnya diketahui oleh
bangsa (nation character building). seorang warganegara mengenai
Awal rintisan membangun bangsa negaranya seperti kehidupan politik,
Indonesia sebelum sumpah pemuda undang-undang kewarganegaraan,
28 Oktober 1928 dalam lagu pemerintahan, konstitusi dan
kebangsaan hasil gubahan WR seterusnya. Kecakapan kewarga-
Supratman Indonesia raya negaraan berkenaan dengan
menyatakan bahwa Indonesia Raya kecakapan intelektual, kecakapan
dapat dibangun melalui membangun emosional dan kecakapan spiritual.
jiwanya. Simaklah bunyi syair lagu Sedang watak kewarganegaraan atau
Indonesia Raya “bangunlah jiwanya, karakter kewarganegaraan/ bangsa
bangunlah badannya untuk Indonesia berkenaan dengan nilai-nilai unik
Raya”. Syair lagu kebangsaan yang terinternalisasi dan terintegrasi
Indonesia Raya tersebut tidak cukup dalam diri seseorang yang melandasi
cuma dinyanyikaan melainkan dan mengarahkan sikap dan
ditindak lanjuti dengan aksi tindakannya sehingga termini-
membangun bangsa ini mulai dari festasikan dalam perilaku seseorang
membangun Jiwa atau karakter warganegara. Nilai-nilai unik
Bangsanya. Namun, yang terjadi tersebut dari berasal dari nilai
pada bangsa Indonesia dalam budaya, ajaran agama, atau dasar
pembangunannya justru dimulai dan filsafat yang dimiliki dan disepakati
menitik beratkan pada aspek fisik oleh bangsa tersebut.
material. Dan tidak aneh kalau Furqon (2010:12-13), menulis
hasilnya adalah lahirnya anak-anak dalam bukunya Pendidikan Karakter
bangsa yang berorientasi pada faktor membangun peradaban bangsa
fisik material, individualistis. Hal ini bahwa karakter adalah kualitas
tercermin dalam kurikulum mental atau moral, kekuatan moral,
Pendidikan Nasional, bahkan dalam nam, reputasi; sifat-sifat kejiwaan,
Ujian Nasionalnya. Artinya, walau akhlak atau budi pekerti yang
amanat para pendiri bangsa membedakan dari orang lain; watak,
mengedepankan pembangunan tabi’at, mempunyai kepribadian.
karakter bangsa, namun yang Lebih lanjut menurut Furqon,
dilakukan bangsa ini justru aspek seseorang berkarakter jika telah
fisik material. berhasil menyerap nilai dan
keyakinan yang dikehendaki
Pengertian dan Konsep Mem- masyaarakat serta digunakan sebagai
bangun Karakter Bangsa kekuatan moral dalam hidupnya
Berdasarkan perspektif (Furqon,2010). Dalam kontek
pendidikan kewarganegaraan dikenal karakter bangsa, maka kualitas
tiga kompetensi yaitu: pengetahuan mental atau moral, kekuatan moral
kewarganegaraan (civic knowledge), seseorang warga bangsa mampu
kecakapan kewarganegaraan (civic berperilaku berbasis nilai dasar
skill), dan watak kewarganegaraan / bangsa dalam wujud kegiatan hidup
civic disposition(Budimansyah,2010) dan kehidupan bermasyarakat,

Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol 26, No.2, Desember 2016, ISSN:1412-3835
109
berbangsa dan bernegara Indonesia Berkenaan dengan tema atau
di segala bidang.. topik di atas, sudah barang tentu
Oleh karena itu membangun sasaran pembahasan di sini adalah
karakter bangsa merupakan proses Pancasila sebagai dasar falsafah
internalisasi nilai-nilai kehidupan bangsa dan negara Indonesia sebagai
luhur bangsa indonesia ke dalam acuan yang akan direvitalisasi untuk
jiwa setiap warga bangsa Indonesia membangun karakter bangsa.
sehingga nilai-nilai tersebut Namun, persoalannya adalah
terwejantahkan / termanifestasi bagaimana Pancasila di derivasi
dalam perilaku bagi pribadi masing- dalam implementasinya bagi
masing dan dan bagi kehidupan pembentukan karakter bangsa
bersama bermasyarakat, berbangsa, tersebut. Banyak pendapat dan
dan bernegara Indonesia. Dalam hal pemahaman dikalangan para tokoh
ini, Hutcheon menyatakan: bangsa ini mengenai Pancasila. Baik
‘‘Where does character come dari aspek sejarah, politik, yuridis,
from?’’ The search for answers maupun aspek kultural. Oleh karena
takes us into the sources of menyepakati lebih dahulu konsep
popular beliefs about whether or revitalisasi Pancasila sebagai dasar
not people learn to be sinners or falsafah negara Indonesia harus
saints. Religious and dilakukan secara terbuka namun
philosophical world views that berada dalam koridor staatsside yang
imply an ethical role for humans digagas oleh para pendiri negara
in the yang menginginkan Dasar falsafah
universe.................(Hutcheon,19 Pancasila sebagai dasar pemikiran
99) (Dari mana karakter berasal? filsafati dalam membangun
Mencari jawaban membawa kita masyarakat, bangsa dan negara
ke dalam sumber keyakinan Indonesia baik untuk kekinian
populer tentang apakah atau maupun untuk masa depan bangsa
tidak orang belajar untuk dan negara Indonesia.
menjadi orang berdosa atau
orang-orang suci Pandangan Mencari jabaran Pancasila dan
dunia keagamaan dan filosofis Implementasinya.
yang menyiratkan peran etis
untuk manusia di alam Menjabarkan Pancasila ke dalam
semesta.......) implementasinya untuk membangun
karakter bangsa adalah bagian upaya
Sedang menurut Dasim, karakter merevitalisasi Pancasila ke dalam
secara koheren memancar dari hasil bentuk fungsional dalam membentuk
olah pikir, olah hati, olah rasa, dan karakter bangsa Indonesia. Dengan
oleh karsa, serta olah raga yang kata lain menjadikan Pancasila
mengandung nilai, kemampuan, sebagai paradigma karakter bangsa.
kapasitas moral, dan ketegaran dalam Keberadaan Pancasila dapat dilihat
menghadapi kesulitan dan tantangan dari dua sudut, pertama secara hitoris
(Budimansyah,1999). dan secara kultural. Kaelan yang
mengutip pendapat Notonagoro
menyatakan bahwa “Secara historis

Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol 26, No.2, Desember 2016, ISSN:1412-3835
110
Pancasila adalah merupakan suatu Ralp Linton, dan Abraham Kardiner
pandangan hidup bangsa yang nilai- dalam Anthropology to Day, disebut
nilainya sudah ada sebelum secara sebagai National Character.
yuridis bangsa Indonesia membentuk Selanjutnya Linton lebih condong
negara. Bangsa Indonesia secara dengan istilah Peoples Character,
historis ditakdirkan oleh Tuhan atau dalam suatu negara disebut
YME, berkembang melalui suatu sebagai National Identity
proses dan menemukan bentuknya (Kaelan,2011) , sehingga nilai-nilai
sebagai suatu bangsa dengan jati- kebudayaan dan nilai religius yang
dirinya sendiri. Secara kultural telah ada pada bangsa Indonesia,
dasar-dasar pemikiran tentang kemudian dibahas dan dirumuskan
Pancasila dan nilai-nilai Pancasila oleh the founding fathers bangsa
berakar pada nilai-nilai kebudayaan Indonesia, yang kemudian disepakati
dan nilai-nilai religius yang dimiliki dalam suatu konsensus sebagai dasar
oleh bangsa Indonesia sendiri hidup bersama dalam suatu negara
sebelum mendirikan negara” Indonesia.
(Kaelan,2011:8).
Nilai-nilai Pancasila sebelum Sebagai dasar falsafah,
terbentuknya negara dan bangsa Pancasila yang merupakan suatu
Indonesia pada dasarnya terdapat pilihan bangsa Indonesia melalui The
secara sporadis dan fragmentaris Founding Fathers adalah core
dalam kebudayaan bangsa yang philosophy bangsa Indonesia, bahwa
tersebar di seluruh kepaulauan dalam hidup kenegaraan dan
nusantara baik pada abad kedua kebangsaan Pancasila sebagai dasar
puluh maupun sebelumnya, di mana filsafat negara yang secara yuridis
masyarakat Indonesia telah tercantum dalam tertib hukum
mendapatkan kesempatan untuk Indonesia, yaitu dalam Pembukaan
berkomunikasi dan berakulturasi UUD 1945. Oleh karena itu nilai-
dengan kebudayaan lain. Nilai-nilai nilai Pancasila adalah sebagai
tersebut merupakan suatu local sumber nilai dalam realisasi normatif
genius dan sekaligus sebagai suatu dan praksis dalam kehidupan
local wisdom bangsa kenegaraan dan kebangsaan. Dalam
Indonesia(Kaelan,2011) yang pengertian seperti ini nilai-nilai
kemudian disintesiskan secara Pancasila merupakan das sollen bagi
dialektis kemudian dituangkan ke bangsa Indonesia, sehingga seluruh
dalam sebuah dasar negara yang derivasi normatif dan praksis
sering disebut sebagai dasar falsafah berbasis pada nilai-nilai
negara (staats philosofiche Pancasila(Kaelan,2007:10). Dalam
grondslag). kedudukannya yang demikian ini,
maka Pancasila sebagai dasar negara
Pancasila yang sebab yang tercantum dalam Pembukaan
materialnya (causa materialis) UUD 1945, adalah merupakan suatu
bersumber pada bersumber pada cita-cita hukum (Rechtsidee), yang
nilai-nilai budaya bangsa ini, menguasai hukum dasar, baik hukum
menurut Kaelan yang meminjam dasar tertulis maupun hukum dasar
meminjam istilah Margareth Mead, tidak tertulis. Sebagai cita-cita

Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol 26, No.2, Desember 2016, ISSN:1412-3835
111
hukum Pancasila merupakan Dengan demikian membangun
konstruksi pikir yang merupakan karakter bangsa berbasis falsafah
suatu keharusan untuk mengarahkan Pancasila adalah menjadikan nilai-
hukum dan perilaku masyarakat nilai Pancasila tercermin dalam
kepada cita-cita yang diinginkan perilaku hidup dan kehidupan setiap
masyarakat. Oleh karena itu, orang anggota masyarakat. Jika nilai
integritas Pancasila sebagai sistem Pancasila telah terimplementasi
filsafat menjadi asas kerohanian dalam karater setiap orang, secara
bangsa harus dijadikan basis dan inti outmatif membudaya dalam perilaku
dalam membangun karakter bangsa masyarakat bangsa, dan
(nation and haracter building) yang penyelenggara negara.
sinergi dengan sistem pembangunan
nasional(Syam,2009). Persoalannya adalah,
bagaimana wujud kongrit nilai-moral
Mengngingat pembangunan Pancasila tersebut yang secara
karakter harus bersifat berlanjut terus universal dapat dilaksanakan. Lima
menerus (sustainable), maka nilai Sila dari Pancasila diderivasikan ke
yang dijadikan paradigma karakter dalam bentuk nilai operasional yang
haruslah nilai (values) yang bersifat secara aplikatif dapat dilaksanakan.
berlanjut. Membangunan karakter Dulu di zaman orba, ada eka persetya
merupakan pembangunan manusia,, pancasikarsa pernah dirinci menjadi
maka sustainable values merupakan tiga puluh enam butir; bahkan juga
core dari pembangunan adalah pernah dirinci menjadi 45 butir.
Pancasila sebagai nillai-nila Secara tentatif, rumusan operasional
kemanusia yang dapat dirumuskan nilai Pancasila dapat saja disusun dan
sebagai debatable.
berikut(Sastraprateja,1998:72):
Sila Ketuhanan Yang Mahaesa,
1. Hormat menghormati dapat dioperasionalkan seperti: setiap
terhadap keyakinan regius orang Indonesia seharusnya beriman
orang lain kepada Tuhan Yang Mahaesa, yang
2. Hormat terhadap martabat wujud perilakunya adalah
manusia sebagai pribadi atau menjalankan perintah ajaran
subyek yang tidak boleh agamanya masing, bertoleransi
direduksi sebagai obyek. terhadap orang lain yang menjalani
3. Kesatuan sebagai bangsa ajarannya agamanya. Kemudian
yang mengatasi segala mengamalkaan ajaran agama betul
sektarianisme memberi manfaat baagi kepentingan
4. Nilai-nilai terkait dengan orang lain/banyak. Sila Kemanusian
demokrasi konstitusional yang adil dan beradab, diwujudkan
5. Keadilan sosial persamaan dalam bentuk perilaku yang saling
(equlity) dan (equity) menghargai harkat dan martabat
manusia, kesamaan dalam
Dalam kontek revitalisasi kemasyarakatan dan hukum, saling
Pancasila tersebut, akan lebih efektif mengasihi, dan menyayangi satu
jika terimplementasikan dalam sama lain hingga mewujudkan
bentuk budaya perilaku masyarakat. kondisi yang serasi selaras dalam

Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol 26, No.2, Desember 2016, ISSN:1412-3835
112
masyarakat. Sila Persatuan dalam implementasi manusia sebagai
Indonesia, diwujudkan tiadanya indidu dan masyarakat. Nilai-nilai
diskriminasi individu dan antar Pancasila tersebut perlu
golongan, kesedian bekerjsasama direvitalisasikan melalui proses
untuk kepentingan bersama, deseminasi secara serius dan
bergotong royong, rela berkorban, menggunak strategi metode pendekat
senantiasa sama berupaya yang tepat dan rasional ilmiah, bukan
menciptakan kerukunan, mencitai indoktrinasi. Jangan pernah ada
tanah air dengan cara mencintai unsur pemaksaan, melalinkan
karya bangsa sendiri, dan lain-lain. pendekatan persuasive educkatif
Sila Kerakyatan yang dipimpin leh
hikmat kebijaksanaan dalam Disamping itu, praktek
permusyawaratan/perwakilan. Sila kehidupan dalam segala bidang
itu diwujud ke dalam menyelesaikan tercerminkan dalam etika setiap
masalah dengan musyawarah, orang dan kelompok. Misal nilai
demokrasi substansial, dan tidak kejujuran adalah selaras dengan Nilai
memaksakan kehendak, dan Pancasila. Oleh karena itu dalam
seterusnya. Sila keadilan sosial bagi bidang politik, maka etika politik
seluruh rakyat Indonesia, diwujudkan melahirkan perilaku politik yang
dalam bentuk perilaku menghargai jujur. Dalam bidang ekonomi, jujur
hak orang lain, karya cipta orang dalam berbisnis, dalam sosial jujur
lain, mengedepankan kewajiban sehingga dapat dipercai oleh sesama,
kemudian hak yang dilaksanakan dalam bidang hukum, jujur dalam
secara seimbang. penegaakan hukum, maka tercegah
mafia hukum, dalam bidang hankam,
Sekali lagi bentuk perilaku di bahwa jujur melahirkan kepercayaan
atas masih bersifat tentatif, dan dapat masyarakat pada penegak hukum,
dirinci lebih detil lagi sehingga betul- dan seterusnya.
betul menjadi pedoman perilaku
sebagai kaarakter setiap anak bangsa. Tuntunan operasional tersebut
Dalam implementasinya, pedoman di atas perlu dikaji secara bersama
tersebut harus bersifat penuntun dan terbuka sehingga hasil rumusan
perilaku bukan perilaku paksaan, operasional nilai Pancsila dapat
harus bersifat manusia, sesuai diterima oleh semua laapisan
dengan kodrat manusia, serta selaras masyarakat bangsa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Budimansyah, Dasim, 2010, Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan untuk
Membangun Karakter Bangsa, Bandung: Widya Aksara Press.,
Furqon Hidayatullah, 2010, Pendidikan Karakter Membangun Peradaban
Bangsa,Surakarta: UNS Press.
Hutcheon, Pat Duffy, 1999, Building Character dan Culture, London:
Greenwood Publishing Group, Inc.

Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol 26, No.2, Desember 2016, ISSN:1412-3835
113
Kaelan, 2011, Fungsi ancasila sebagai Paradigma Hukum dalam Menegakkan
Konstitusionalitas Indonesia, Yogyakarta: Sarasehan Nasional Pancasila,
Mahkamah Konstitusi RI dan Universitas Gajah Mada, 2-3 Mei 2011
Kaelan, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma, Yogyakarta.
Sastraprateja, M., 1998, Pancasila sebagai Etos Pembangunan Nasional, Jurnal
Filsafat Pancasila: Nasionalisme dala m Perspektif Historis, Politis,
Yuridis, dan Filosofis, Yogyakarta:Pusat Studi Pancasila Univesitas
Gajah Mada
Syam, Mohammad Noor, 2009, Sistem Filsafat Pancasila (Tegak sebagai sistem
Kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 1945, dalam Kongres
Pancasila: Pancasila dalam berbagai Perspektif, Jakarta: Setjend MK RI

Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol 26, No.2, Desember 2016, ISSN:1412-3835
114
VOLUME 5 NO. 2 Februari 2015-Juli 2015 JURNAL ILMU HUKUM

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA SEBAGAI DASAR


NEGARA DALAM PEMBENTUKKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

OKSEP ADHAYANTO
Dosen Fakultas Hukum Universitas Raja Ali Haji

Abstrak Abstract
Sebagai dasar Negara (ground norm)-nya As a basis for the ground norm of
bangsa Indonesia, Pancasila telah terbukti Indonesia, Pancasila has been proven
sebagai salah satu media pemersatu dalam as one of the media unifying role in
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan the life of society, nation and state in
bernegara di Indonesia. Melalui kelima sila Indonesia. Through five precepts
yang terkandung didalam Pancasila, contained in Pancasila, in the
menjadikan pondasi kehidupan bernegara foundation of the state of life in
di Indonesia menjadi kokoh terhadap Indonesia is established against the
ancaman yang datang baik dari luar threat that comes both from outside
maupun dari dalam. Dalam konteks hukum, and from within. In the context of the
khususnya dalam pembentukkan peraturan law, especially in the formation of
perundang-undangan, Pancasila semestinya legislation, Pancasila should be placed
diletakkan dalam wilayah sumber hukum in the area of legal source material
materiil dari pembentukkan peraturan from the formation of legislation.
perundang-undangan. Semestinya, nilai- Supposedly, the values contained in
nilai yang terkandung di dalam Pancasila Pancasila should be explored in more
harus digali secara lebih rinci dalam detail in the discussion of the
pembahasan terhadap landasan filosofis philosophical and sociological
maupun sosiologis dari proses foundation of the process of formation
pembentukkan peraturan perundang- of the legislation.
undangan.

Kata kunci: Pancasila, Negara dan perundang-undangan

A. Pendahuluan
Negara Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang tentunya
sangat membutuhkan pembinaan dan pengembangan sistem hukum
nasional dalam rangka mendorong dan mendukung pembangunan
disegala bidang. Meminjam istilah Roscoe Pound bahwa “as tool as social
engineering”, maka sesungguhnya pembinaan dan pengembangan hukum
nasional sudah semestinya dapat memberikan arah dan jalan bagi hukum,
masyarakat dan negara untuk saling terkait satu dengan yang lainnya.
Tentunya hal itu dapat terwujud jika semangat dalam pembinaan dan
pengembangan hukum nasional itu dilandasi dengan semangat dan nilai-

1
VOLUME 5 NO. 2 Februari 2015-Juli 2015 JURNAL ILMU HUKUM

nilai yang dianut dalam masyarakat dengan tidak mengenyampingkan


juga nilai-nilai yang berkembang lainnya yang sesuai dengan kultur
masyarakat Indonesia. 1
Hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan
yang dibentuk dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan, dasar, dan cita
hukum suatu negara. Dalam konteks ini hukum nasional Indonesia adalah
kesatuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibangun
untuk mencapai tujuan negara yang bersumber pada Pembukaan dan
pasal-pasal UUD 1945. Sebab, di dalam Pembukaan dan pasal-pasal UUD
1945 itulah terkandung tujuan, dasar, dan cita hukum negara Indonesia. 2
Dengan demikian, sistem hukum nasional Indonesia adalah sistem hukum
yang berlaku di seluruh Indonesia yang meliputi semua unsur hukum
(seperti isi, struktur, budaya, sarana, peraturan perundang-undangan, dan
semua sub unsurnya) yang antara yang satu dengan yang lain saling
bergantung dan yang bersumber dari Pembukaan dan Pasal-pasal UUD
1945. 3

B. Pembahasan
1. Pancasila Sebagai Dasar Negara
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 alenia keempat terdapat rumusan Pancasila sebagai
dasar negara Indonesia. Rumusan Pancasila itulah dalam hukum positif
Indonesia secara yuridis-konstitusional sah, berlaku, dan mengikat
seluruh lembaga negara, lembaga masyarakat, dan setiap warga negara,
tanpa kecuali. Rumusan Pancasila yang terdapat pada Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana
pembukaan tersebut sebagai hukum derajat tinggi yang tidak dapat diubah

1Oksep Adhayanto, Rekonstruksi Nilai-Nilai Masyarakat Lokal dalam Semangat


Otonomi Daerah Menuju Penguatan Sistem Hukum Nasional, Jurnal Perbatasan,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Maritim Raja Ali Haji, 2014.
2Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta.

2006, hlm. 21.


3 Ibid.

2
VOLUME 5 NO. 2 Februari 2015-Juli 2015 JURNAL ILMU HUKUM

secara hukum positif, maka Pancasila sebagai dasar negara Indonesia


bersifat final dan mengikat bagi seluruh penyelenggara negara. 4
Sebagai dasar Negara (ground norm)-nya bangsa Indonesia,
Pancasila telah terbukti sebagai salah satu media pemersatu dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia. Melalui
kelima sila yang terkandung didalam Pancasila, menjadikan pondasi
kehidupan bernegara di Indonesia menjadi kokoh terhadap ancaman yang
dating baik dari luar maupun dari dalam.
Norma yang ada dalam masyarakat atau negara selalu merupakan
suatu susunan yang bertingkat, speerti suatu piramida. Menurut Adolf
Merkel dan Hans Kelsen, setiap kaidah hukum merupakan suatu susunan
daripada kaedah-kaedah (stufenbau des Recht). Dalam “stufentheorie”-
nya Hans Kelsen mengemukakan bahwa dipuncak “stufenbau” terdapat
kaedah dasar dari suatu tata hukum nasional yang merupakan suatu
kaedah fundamental. Kaedah dasar tersebut disebut “groundnorm” yang
merupakan asas-asas hukum yang bersifat abstrak, bersifat umum dan
hipotetis. 5
Menurut Hans Nawiasky, dalam suatu negara yang merupakan
kesatuan tatanan hukum, terdapat suatu kaidah tertinggi, yang
kedudukannya lebih tinggi dari undang-undang dasar. Berdasarkan
kaidah yang lebih tinggi inilah undang-undang dasar dibentuk. Kaidah
tertinggi dalam kesatuan tatanan hukum dalam negara itu disebut dengan
staatsfundamentalnorm, yang untuk bangsa Indonesia berupa Pancasila.
Hakikat suatu staatsfundamentalnorm adalah syarat bagi berlakunya
suatu undang-undang dasar karena lahir terlebih dahulu dan merupakan
akar langsung pada kehendak sejarah suatu bangsa serta keputusan
bersama yang diambil oleh bangsa. 6

4 Sekretariat Jenderal MPR RI, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara,
Sekjend MPR RI, Jakarta, 2012, hlm. 87-88.
5 Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, Mandar

Maju, Bandung, 1998, hlm. 26.


6 Riyanto Astim, Teori Konstitusi, Yapemdo, Bandung, 2006.

3
VOLUME 5 NO. 2 Februari 2015-Juli 2015 JURNAL ILMU HUKUM

Konsekuensi logis dari diletakkannya Pancasila sebagai ground


norm-nya bangsa Indonesia tentunya harus dapat diimplementasikan
dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila harus dijadikan “way of life” dalam diri setiap masyarakat
Indonesia. Setiap aspek kehidupan baik ekonomi, sosial, budaya, maupun
hukum harus senantiasa berlandaskan kepada nilai-nilai yang terkandung
dalam setiap sila yang ada di dalam Pancasila.
Hakikat dari pembangunan di Indonesia sesungguhnya merupakan
pengejawantahan dari semangat tujuan negara Indonesia sebagai mana
termuat di dalam pembukaan UUD 1945. Sedangkan keberlanjutan
pembangunan itu sendiri hakikatnya adalah pengamalan terhadap sila-sila
didalam Pancasila. Berikut bagan implementasi nilai-nilai Pancasila
tersebut.

Bagan 1. Implementasi Nilai-Nilai Pancasila


2. Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Peraturan
Perundang-Undangan
Sesungguhnya, dalam alenia keempat pada Pembukaan UUD NKRI
sudah memuat ketentuan dari setiap sila Pancasila yang selanjutnya
diturunkan didalam Pasal-pasal didalam batang tubuh. Dengan kata lain,
pasal-pasal yang terkandung didalam batang tubuh sudah barang tentu

4
VOLUME 5 NO. 2 Februari 2015-Juli 2015 JURNAL ILMU HUKUM

membawa semangat yang terkandung didalam materi pembukaan UUD


1945 itu sendiri.
Rumusan dasar filosofis negara atau ideologi negara yang
terkandung oleh Pembukaan UUD 1945 adalah Pancasila. Rumusan
Pancasila tersebut dapat pula disebut sebagai rumusan dasar dari cita
hukum7 (rechtsidee) negara Republik Indonesia. Sebagai cita negara,
tentunya ia harus dirumuskan berdasarkan cita yang hidup di dalam
masyarakat (volksgeemenschapside) yang telah ada sebelum negara ini
didirikan. 8
Sebagaimana diketahui cita hukum selain mempunyai fungsi
konstitutif yang menentukan dasar suatu tata hukum, yang tanpa itu suatu
tata hukum kehilangan arti dan maknanya sebagai hukum, juga
mempunyai fungsi regulatif yang menentukan apakah suatu hukum positif
itu adil atau tidak adil. Dengan demikian juga, dalam hal Pancasila
merupakan cita hukum, maka nilai-nilai yang terdapat di dalam Pancasila
mempunyai fungsi konstitutif yang menentukan apakah tata hukum
Indonesia merupakan tata hukum yang benar, dan disamping itu
mempunyai fungsi regulatif yang menentukan apakah hukum positif yang
berlaku di Indonesia merupakan hukum yang adil atau tidak. 9
Terkait dengan hal ini sangat relevan dengan teori hierarchy of
norms yang menyatakan bahwa setiap norma hukum dianggap sah karena
ia diciptakan/dibuat dengan cara yang ditentukan oleh norma lain. Jadi,
hubungan hirarkis norma-norma hukum tersebut menggambarkan bahwa
suatu norma hukum yang lebih tinggi menjadi dasar keabsahan norma
yang dibentuknya (norma yang lebih rendah). Hubungan antar norma
yang mengatur pembentukkan norma yang lain dapat dipersentasikan
sebagai suatu hubungan super dan subordinasi. Sebuah norma yang

7 Cita Hukum mengandung arti bahwa pada hakikatnya hukum sebagai aturan tingkah
laku masyarakat berakar pada gagasan, rasa, karsa, cipta, dan pikiran masyarakat itu
snediri.
8 Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun &

Merancang Peraturan Daerah, Kencana, Jakarta, 2009, hlm. 19.


9 Ibid., hlm. 20.

5
VOLUME 5 NO. 2 Februari 2015-Juli 2015 JURNAL ILMU HUKUM

menentukan pembentukkan norma yang lain adalah norma yang superior,


sedangkan norma yang diciptakan menurut hubungan ini adalah norma
yang inferior.
Dalam konteks ini, materi muatan setiap peraturan perundang-
undangan, peran dan aspek filosofis, sosiologis, dan politis sangat urgen
dan strategis untuk melengkapi konsep Hans Kelsen tersebut.10
Sebagai negara berdasarkan atas hukum (rechstaat) yang modern
berdasarkan ketentuan dalam UUD 1945, Indonesia secara sadar
berkehendak, berusaha, dan berupaya untuk menggapai tujuan-tujuannya.
Untuk itu, perlu dilakukan modifikasi-modifikasi dalam kehidupan dan
penghidupan masyarakat serta rakyatnya. Pengubahan-pengubahan sosial
itu dilakukan dengan penyelenggaraan pembangunan, rencana-rencana,
hukum yang melandasinya, peraturan-peraturan kebijakan yang
menunjang pelaksanaannya. 11
Dalam konteks hukum, khususnya dalam pembentukkan peraturan
perundang-undangan, Pancasila semestinya diletakkan dalam wilayah
sumber hukum materiil dari pembentukkan peraturan perundang-
undangan. Hal ini diperkuat dengan amanat dari Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-
Undangan yang menyebutkan bahwa “ Pancasila merupakan sumber
segala sumber hukum Negara”. Penempatan Pancasila sebagai sumber
dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana
Pancasila ditempatkan sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus
dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-
nilai yang terkandung dalam Pancasila. 12
Pada prinsipnya terdapat dua pandangan mengenai arti penting
penyusunan peraturan perundang-undangan, yakni:

10 Ibid., hlm. 21.


11 Hamzah, Loc. Cit.
12 Sekretariat Jenderal MPR RI, Op. Cit., hlm. 90-91.

6
VOLUME 5 NO. 2 Februari 2015-Juli 2015 JURNAL ILMU HUKUM

a. Menciptakan kodifikasi bagi norma-norma dan nilai-nilai


kehidupan yang sudah mengendap dalam masyarakat,
b. Menciptakan modifikasi atau perubahan dalam kehidupan
masyarakat (T Koopmans). Menurut IC Van der Vlies, regulasi
modifikasi adalah regulasi yang bertujuan mengubah pendapat
hukum yang berlaku dan peraturan perundang-undangan yang
mengubah hubungan-hubungan sosial. 13
`Produk hukum yang dibuat sesungguhnya merupakan interprestasi
dari kehendak masyarakat itu sendiri. Mengutip pendapat Eugen Erlich,
yang menyebutkan hukum sebagai living law-nya masyarakat atau dengan
menyetir pendapatnya Von Savigny yang menyebutkan bahwa hukum itu
sebagai volksgeist- masyarakat. Selain itu juga, pentingnya mengkaji
hukum dari aspek sosiologis menurut Soerjono Soekanto dikarenakan
salah satu faktor yang mempengaruhi proses penegakkan hukum itu
adalah masyarakat itu sendiri. Sehingga dinilai sangat perlulah untuk
melakukan kajian kemasyarakatan atau kondisi terkini dimasyarakat
terhadap upaya penyusunan setiap rancangan peraturan perundang-
undangan. Hal ini dikarenakan pembentukkan peraturan perundang-
undangan yang baik dan mudah diterapkan di masyarakat merupakan
salah satu pilar utama bagi penyelenggaraan suatu negara. 14
Hal-hal di atas sebenarnya telah diperkuat di dalam ketentuan Pasal
6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukkan
Peraturan Perundang-Undangan yang menyebutkan bahwa materi muatan
Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas: pengayoman,
kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka
tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan yang notabenenya kesemua asas tersebut
mencerminkan setiap butir pada sila-sila yang terkandung di dalam

13 W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Darsono, Legislative Drafting: Teori dan Teknik

Pembuatan Peraturan Daerah, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2009, hlm. 90.
14 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-dasar dan

7
VOLUME 5 NO. 2 Februari 2015-Juli 2015 JURNAL ILMU HUKUM

Pancasila. Pertanyaan selanjutnya apakah setiap perancang produk


peraturan perundang-undangan telah memperhatikan asas-asas tersebut
pada proses penyusunan peraturan perundang-undangan yang akan
dibuat.
Asas-asas hukum di atas sesungguhnya berfungsi untuk menafsirkan
aturan-aturan hukum dan memberikan pedoman bagi suatu perilaku,
sekalipun tidak secara langsung sebagaimana terjadi dengan norma-
norma perilaku. Asas-asas hukum menjelaskan dan menjustifikasi norma-
norma hukum, yang didalamnya terkandung (tertumpu) nilai-nilai
ideologis tertib hukum. 15
Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan juga dalam penulisan makalah
yang berjudul Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Dasar Negara
Dalam Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan ini adalah apakah
nilai-nilai Pancasila tersebut sudah diimplementasikan pada setiap
penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan mulai pada level
pusat sampai dengan level daerah?. Mengingat banyaknya pengujian
terhadap Undang-Undang dengan Undang-Undang Dasar di Mahkamah
Konstitusi, maupun pengujian peraturan perundang-undangan lainnya
terhadap Undang-Undang di Mahkamah Agung, tentulah dapat dipahami
bahwa masih terdapat beberapa perancang produk hukum peraturan
perundang-undangan yang belum secara maksimal menjadikan Pancasila
sebagai dasar dalam pembentukkan peraturan perundang-undangan.
Norma-norma maupun nilai-nilai yang terkandung didalam
Pancasila semestinya dapat dielaborasi dalam bentuk Pasal-pasal dalam
setiap penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga dapat
mencerminkan nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat itu sendiri.
Bukankah “The Founding Father” kita menggali nilai-nilai Pancasila dari
kehidupan masyarakat itu sendiri melalui proses yang panjang. Sehingga
dengan demikian jika Pancasila dijadikan dasar dalam setiap proses
penyusunan peraturan perundang-undangan akan dengan mudah untuk

15 , hlm. 164.

8
VOLUME 5 NO. 2 Februari 2015-Juli 2015 JURNAL ILMU HUKUM

diterima oleh setiap lapisan masyarakat, karena sesungguhnya nilai-nilai


tersebut merupakan nilai-nilai yang hidup, tumbuh dan berkembang
dimasyarakat itu sendiri. Berikut dapat dilihat gambar sebagaimana
dimaksud di atas.

Bagan 2. Kedudukan Cita Hukum


Untuk selanjutnya, pembangunan sistem hukum Indonesia
seharusnya mengarah kepada cita negara (staatsidee) Indonesia yang
sejauh mungkin harus dibangun secara khas dalam arti tidak meniru
paham individualisme-liberalisme yang justru telah melahirkan
kolonialisme dan imperialisme yang harus ditentang, ataupun paham
kolektivisme ekstrim seperti yang diperlihatkan dalam praktek di
lingkungan negara-negara sosialis-komunis. Dengan kata lain, semangat
yang melandasi pemikiran para pendiri Republik Indonesia adalah
semangat sintesis, semangat untuk melakukan kombinasi atau semangat
untuk menciptakan suatu paham baru, yakni paham yang berlandaskan
Pancasila. 16
Jika hal demikian dilakukan tentunya akan menyebabkan hukum
dapat berlaku secara filosofis yakni produk hukum itu harus
mencerminkan sistem nilai maupun sebagai sarana mewujudkannya
dalam tingkah laku masyarakat maupun secara sosiologis sebagai regulasi
yang mencerminkan kenyataan yang hidup didalam masyarakat dan
16Ni’matulHuda, Hukum Tata Negara : Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Konstitusi
Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm. 3.

9
VOLUME 5 NO. 2 Februari 2015-Juli 2015 JURNAL ILMU HUKUM

apabila efektif ini dikarenakan karena norma maupun nilai-nilai hukum


yang terkandung didalam peraturan perundang-undangan yang dibuat
sesuai dengan kenyataan yang hidup didalam masyarakat.
Perlu dicatat, bahwa filsafat atau pandangan hidup sesuatu bangsa
tiada lain berisi nilai-nilai moral atau etika dari bangsa tersebut, moral
dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan yang tidak baik.
Nilai yang baik adalah pandangan dan cita-cita yang dijunjung tinggi. Di
dalamnya ada nilai kebenaran, keadilan, kesusilaan, dan berbagai nilai
lainnya yang dianggap baik. 17
Untuk itu, semangat untuk meng-internalisasi nilai-nilai Pancasila
dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan sesungguhnya
sudah tercermin sejak awal melalui proses penyusunan Naskah Akademik
peraturan perundang-undangan dimana dalam penyusunan naskah
akademik peraturan perundang-undangan mengisyaratkan untuk
menyajikan landasan filosofis maupun sosiologis dari setiap peraturan
perundang-undangan yang akan dibentuk. Semestinya, nilai-nilai yang
terkandung di dalam Pancasila harus digali secara lebih rinci dalam
pembahasan terhadap landasan filosofis maupun sosiologis dari proses
pembentukkan peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat dilihat pada
bagan Analisis Produk Regulasi berikut ini:

Sumber: W. Riawan Tjandra, 2009: 80


17Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, Mandar Maju, Bandung, 2009,
hal. 16-17.

10
VOLUME 5 NO. 2 Februari 2015-Juli 2015 JURNAL ILMU HUKUM

Pengembangan hukum nasional Indonesia merupakan suatu hal


yang mau tidak mau mesti dilakukan oleh pemerintah dalam rangka
membentuk hukum nasional yang mengakar ke seluruh lapisan
masyarakat. Pengembangan hukum nasional Indonesia yang saat ini
sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur luar sedapat mungkin untuk tetap
mempertahankan sumber-sumber hukum materil dari hukum-hukum
Indonesia. Pengembangan hukum nasional yang menitik beratkan kepada
semangat ke-indonesia-an dan citarasa Indonesia hanya dapat dilakukan
dengan konsensus dari seluruh elemen bangsa. 18

C. Penutup
Norma-norma maupun nilai-nilai yang terkandung didalam
Pancasila semestinya dapat dielaborasi dalam bentuk Pasal-pasal dalam
setiap penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga dapat
mencerminkan nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat itu sendiri.
Bukankah “The Founding Father” kita menggali nilai-nilai Pancasila dari
kehidupan masyarakat itu sendiri melalui proses yang panjang. Sehingga
dengan demikian jika Pancasila dijadikan dasar dalam setiap proses
penyusunan peraturan perundang-undangan akan dengan mudah untuk
diterima oleh setiap lapisan masyarakat, karena sesungguhnya nilai-nilai
tersebut merupakan nilai-nilai yang hidup, tumbuh dan berkembang
dimasyarakat itu sendiri.

D. Daftar Pustaka
Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis
Menyusun & Merancang Peraturan Daerah, Kencana, Jakarta,
2009.
Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,
LP3ES, Jakarta. 2006.

18 Oksep Adhayanto, Loc. Cit.

11
VOLUME 5 NO. 2 Februari 2015-Juli 2015 JURNAL ILMU HUKUM

Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-dasar dan


Pembentukkannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998.
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara : Kajian Teoritis dan Yuridis
Terhadap Konstitusi Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999.
Oksep Adhayanto, Rekonstruksi Nilai-Nilai Masyarakat Lokal dalam
Semangat Otonomi Daerah Menuju Penguatan Sistem Hukum
Nasional, Jurnal Perbatasan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Maritim Raja Ali Haji, 2014.
Riyanto Astim, Teori Konstitusi, Yapemdo, Bandung, 2006.
Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia,
Mandar Maju, Bandung, 1998.
Sekretariat Jenderal MPR RI, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara, Sekjend MPR RI, Jakarta, 2012.
Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, Mandar Maju,
Bandung, 2009.
W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Darsono, Legislative Drafting: Teori
dan Teknik Pembuatan Peraturan Daerah, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 2009.
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan
Yang Baik, Rajawali Press, Jakarta, 2009.

12
Sandra Dewi, Andrew Shandy Utama Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
17-PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA INDONESIA SERTA
PERKEMBANGAN IDEOLOGI PANCASILA PADA MASA ORDE
LAMA, ORDE BARU DAN ERA REFORMASI
SANDRA DEWI, ANDREW SHANDY UTAMA
Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning
e-mail: sandra.fh.unilak@gmail.com, andrew.fh.unilak@gmail.com
ABSTRAK
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa sebenarnya merupakan
perwujudan dari nilai-nilai budaya milik bangsa sendiri yang diyakini
kebenarannya. Pancasila digali dari budaya bangsa yang sudah ada, tumbuh,
dan berkembang berabad-abad lamanya. Rumusan masalahnya adalah
bagaimanakah sejarah dan perkembangan Pancasila sebagai ideologi bangsa
Indonesia? Bagaimanakah perkembangan ideologi Pancasila pada masa Orde
Lama? Bagaimanakah perkembangan ideologi Pancasila pada masa Orde
Baru? Bagaimanakah perkembangan ideologi Pancasila pada Era Reformasi?
Pembahasannya adalah pada awalnya, konsep Pancasila dapat dipahami
sebagai common platform bersama bagi berbagai ideologi politik yang
berkembang saat itu di Indonesia. Nilai integratif Pancasila mengandung
makna bahwa Pancasila dijadikan sebagai sarana pemersatu dalam masyarakat
dan prosedur penyelesaian konflik. Pada masa Orde Lama, pada masa Presiden
Soekarno, Pancasila mengalami ideologisasi. Pada masa Orde Baru, pada masa
Presiden Soeharto, bangsa Indonesia kembali menjadikan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara. Era Reformasi yang
diharapkan sebagai era pembaruan memberikan angin segar bagi bangsa
Indonesia. Bangsa Indonesia diharapkan kembali mengamalkan nilai-nilai
luhur Pancasila sebagai pedoman berbangsa dan bernegara. Akan tetapi,
faktanya justru pada Era Reformasi ini bangsa Indonesia dirasakan semakin
jauh dari nilai-nilai luhur Pancasila. Rakyat Indonesia mengalami degradasi
moral dan cenderung liberalis karena pengaruh globalisasi. Tindak pidana
korupsi dilakukan secara terang-terangan seolah-olah telah membudaya di
Indonesia.

Kata kunci: Pancasila; Ideologi; Nilai-nilai Luhur

JURNAL PPKn & HUKUM________________Vol.13, No.1 April 2018 17


Sandra Dewi, Andrew Shandy Utama Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
A. PENDAHULUAN Pancasila yang lahir pada tanggal
Pancasila sebagai pandangan 1 Juni 1945 ini resmi ditetapkan
hidup bangsa sebenarnya merupakan sebagai dasar Negara Indonesia dan
perwujudan dari nilai-nilai budaya masih terus digunakan hingga saat ini.
milik bangsa sendiri yang diyakini Penerapannya berbeda sesuai dengan
kebenarannya. Pancasila digali dari masa yang ada. Di setiap masa,
budaya bangsa yang sudah ada, Pancasila mengalami perkembangan
tumbuh, dan berkembang berabad-abad terutama dalam mengartikan Pancasila
lamanya. Oleh karena itu, Pancasila itu sendiri. Dalam masa-masa tersebut,
adalah khas milik bangsa Indonesia terdapat banyak hal yang belum
sejak keberadaannya sebagai sebuah relevan dalam penerapan nilai-nilai
bangsa. Pancasila merangkum nilai- luhur Pancasila sebagai ideologi bangsa
nilai yang sama yang terkandung dalam Indonesia. Banyak penyimpangan yang
adat-istiadat, kebudayaan, dan agama terjadi.
yang ada di Indonesia. Dengan Oleh karena itu, menarik rasanya
demikian, Pancasila sebagai pandangan untuk dibahas mengenai sejarah
hidup mencerminkan jiwa dan Pancasila sebagai ideologi bangsa
kepribadian bangsa Indonesia. Indonesia serta perkembangan ideologi
Pancasila adalah ideologi dasar Pancasila pada masa Orde Lama, pada
bangsa Indonesia, yaitu sebagai nilai- masa Orde Baru, dan pada Era
nilai yang mendasari segala aspek Reformasi.
kehidupan bermasyarakat rakyat B. METODE PENELITIAN
Indonesia. Pancasila terdiri dari lima Penelitian hukum adalah suatu
sendi utama, yaitu: (1) Ketuhanan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
Yang Maha Esa; (2) Kemanusiaan metode, sistematika, dan pemikiran
yang adil dan beradab; (3) Persatuan tertentu, yang bertujuan untuk
Indonesia; (4) Kerakyatan yang mempelajari satu atau beberapa gejala
dipimpin oleh khidmat kebijaksaan hukum tertentu dengan jalan
dalam permusyawaratan perwakilan; menganalisanya. Metode yang
dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh digunakan dalam penelitian ini adalah
rakyat Indonesia. penelitian hukum normatif dengan

JURNAL PPKn & HUKUM________________Vol.13, No.1 April 2018 18


Sandra Dewi, Andrew Shandy Utama Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
menggunakan pendekatan sejarah. negara tercantum dalam Ketetapan
Sumber data yang digunakan dalam MPR Nomor 18 Tahun 1998 tentang
penelitian ini adalah data sekunder, Pencabutan dari Ketetapan MPR
yaitu data yang diperoleh dari Nomor 2 Tahun 1978 mengenai
peraturan perundang-undangan, jurnal- Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
jurnal ilmiah, dan literatur hukum. Pancasila dan Penetapan tentang
Teknik pengumpulan data yang Penegasan Pancasila sebagai Dasar
digunakan dalam penelitian ini adalah Negara. Pada Pasal 1 Ketetapan MPR
studi kepustakaan. Teknik analisis data tersebut menyatakan bahwa Pancasila
yang digunakan dalam penelitian ini sebagaimana dimaksud dalam
adalah analisis kualitatif. Pembukaan Undang-Undang Dasar
C. PEMBAHASAN 1945 adalah dasar negara dari Negara

1. Sejarah dan Perkembangan Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Pancasila sebagai Ideologi yang harus dilaksanakan secara

Bangsa Indonesia konsisten dalam kehidupan bernegara.

Pengertian Pancasila sebagai Dari ketetapan MPR tersebut dapat

„ideologi negara‟ adalah nilai-nilai diketahui bahwa di Indonesia

yang terkandung di dalam Pancasila kedudukan Pancasila adalah sebagai

menjadi cita-cita normatif di dalam ideologi negara, selain kedudukannya

penyelenggaraan negara. Secara luas, sebagai dasar negara.

pengertian Pancasila sebagai ideologi Pancasila sebagai ideologi negara

Negara Indonesia adalah visi atau arah yang berarti sebagai cita-cita bernegara

dari penyelenggaraan kehidupan dan sarana yang mempersatukan

berbangsa dan bernegara di Indonesia, masyarakat perlu perwujudan yang

yaitu terwujudnya kehidupan yang konkret dan operasional aplikatif,

menjunjung tinggi ketuhanan, nilai sehingga tidak hanya dijadikan slogan

kemanusiaan, kesadaran akan kesatuan, belaka. Dalam Ketetapan MPR tersebut

berkerakyatan, serta menjunjung tinggi dinyatakan bahwa Pancasila perlu

nilai keadilan. diamalkan dalam bentuk pelaksanaan

Keputusan bangsa Indonesia yang konsisten dalam kehidupan

mengenai Pancasila sebagai ideologi bernegara.

JURNAL PPKn & HUKUM________________Vol.13, No.1 April 2018 19


Sandra Dewi, Andrew Shandy Utama Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
Pada awalnya, konsep Pancasila Pernyataan Soekarno ini menjadi
dapat dipahami sebagai common jauh berkembang dan berbeda dengan
platform atau platform bersama bagi pernyataan yang disampaikan oleh
berbagai ideologi politik yang Notonagoro. Beliau melalui interpretasi
berkembang saat itu di Indonesia. filosofis memberi status ilmiah dan
Pancasila merupakan tawaran yang resmi tentang ideologi bagi masyarakat
dapat menjembatani perbedaan Indonesia, yang pada mulanya
ideologis di kalangan anggota Pancasila sebagai ideologi terbuka
BPUPKI. Pancasila dimaksudkan oleh sebuah konsensus politik menjadi
Soekarno pada waktu itu yaitu sebagai ideologi yang benar-benar
asas bersama agar dengan asas itu komprehensif. Interpretasi ini
seluruh kelompok yang terdapat di berkembang luas, masif, dan bahkan
Indonesia dapat bersatu dan menerima monolitik pada masa pemerintahan
asas tersebut. Orde Baru.
Menurut Adnan Buyung Pancasila dilihat dari sudut
Nasution, telah terjadi perubahan pandang politik merupakan sebuah
fungsi Pancasila sebagai ideologi konsensus politik, yaitu suatu
negara. Pancasila sebenarnya persetujuan politik yang disepakati
dimaksudkan sebagai platform bersama oleh berbagai golongan
demokratis bagi semua golongan di masyarakat di Negara Indonesia.
Indonesia. Perkembangan doktrinal Dengan diterimanya Pancasila oleh
Pancasila telah mengubahnya dari berbagai golongan dan aliran
fungsi awal Pancasila sebagai platform pemikiran, maka mereka bersedia
bersama bagi ideologi politik dan aliran bersatu dalam negara kebangsaan
pemikiran sesuai dengan rumusan Indonesia. Dalam istilah politiknya,
pertama yang disampaikan oleh Pancasila merupakan common platform
Soekarno menjadi ideologi yang masyarakat Indonesia yang plural.
komprehensif integral. Ideologi Sudut pandang politik ini teramat
Pancasila menjadi ideologi yang khas, penting untuk bangsa Indonesia
berbeda dengan ideologi lain. sekarang ini. Jadi, sebenarnya
perkembangan Pancasila sebagai

JURNAL PPKn & HUKUM________________Vol.13, No.1 April 2018 20


Sandra Dewi, Andrew Shandy Utama Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
doktrin dan pandangan dunia yang khas Indonesia Masa Depan. Dalam
tidak menguntungkan kalau dinilai dari Ketetapan MPR tersebut menyatakan
tujuan mempersatukan bangsa. bahwa Visi Indonesia Masa Depan
Banyak para pihak yang sepakat terdiri atas tiga visi, yaitu:
bahwa Pancasila sebagai ideologi 1. Visi ideal, yaitu cita-cita luhur
negara merupakan kesepakatan bangsa Indonesia sebagaimana
bersama, common platform, dan nilai dimaksudkan dalam Undang-
integratif bagi bangsa Indonesia. Undang Dasar 1945 pada alinea
Kesepakatan bersama bahwa pancasila kedua dan alinea keempat.
sebagai ideologi negara inilah yang 2. Visi antara, yaitu visi bangsa
harus kita pertahankan dan Indonesia yang berlaku sampai
ditumbuhkembangkan dalam dengan tahun 2020.
kehidupan bangsa yang plural ini. 3. Visi lima tahunan, yaitu
Berdasarkan uraian di atas, maka sebagaimana dimaksudkan dalam
makna Pancasila sebagai ideologi Garis-garis Besar Haluan Negara
bangsa dan Negara Indonesia yaitu: (GBHN).
1. Nilai-nilai dalam Pancasila Menurut Hamdan Mansoer,
dijadikan sebagai cita-cita mewujudkan bangsa yang religius,
normatif dari penyelenggaraan manusiawi, demokratis, bersatu, adil
bernegara di Indonesia. dan sejahtera pada dasarnya merupakan
2. Nilai-nilai dalam Pancasila upaya menjadikan nilai-nilai Pancasila
merupakan nilai yang telah sebagai cita-cita bersama. Bangsa yang
disepakati bersama dan oleh demikian merupakan ciri dari
karenanya menjadi salah satu masyarakat madani Indonesia. Sebagai
sarana untuk menyatukan suatu cita-cita, nilai-nilai Pancasila
masyarakat Indonesia. diambil dimensi idealismenya. Sebagai
Perwujudan Pancasila sebagai nilai-nilai ideal, penyelenggaraan
ideologi negara yang berarti menjadi negara hendaknya berupaya bagaimana
cita-cita penyelenggaraan bernegara menjadikan kehidupan bernegara
terwujud melalui Ketetapan MPR Indonesia ini semakin dekat dengan
Nomor 7 Tahun 2001 mengenai Visi nilai-nilai ideal tersebut.

JURNAL PPKn & HUKUM________________Vol.13, No.1 April 2018 21


Sandra Dewi, Andrew Shandy Utama Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
Nilai integratif Pancasila 2. Perkembangan Ideologi
mengandung makna bahwa Pancasila Pancasila pada Masa Orde
dijadikan sebagai sarana pemersatu Lama
dalam masyarakat dan prosedur Pada masa Orde Lama, yaitu
penyelesaian konflik. Masyarakat pada masa kekuasaan Presiden
Indonesia telah menerima Pancasila Soekarno, Pancasila mengalami
sebagai sarana pemersatu, yang artinya ideologisasi. Artinya, Pancasila
sebagai suatu kesepakatan bersama berusaha untuk dibangun, dijadikan
bahwa nilai-nilai yang terkandung di sebagai keyakinan dan kepribadian
dalamnya disetujui sebagai milik bangsa Indonesia. Presiden Soekarno
bersama. Pancasila dijadikan semacam menyampaikan bahwa ideologi
social ethic dalam masyarakat yang Pancasila berangkat dari mitologi yang
heterogen. belum jelas bahwa Pancasila itu dapat
Nilai-nilai luhur yang terkandung mengantarkan bangsa Indonesia ke
di dalam Pancasila semestinya dapat arah kesejahteraan, tetapi Soekarno
dielaborasi dalam bentuk pasal-pasal tetap berani membawa konsep
pada setiap proses penyusunan Pancasila ini untuk dijadikan ideologi
peraturan perundang-undangan, bangsa Indonesia.
sehingga dapat mencerminkan nilai- Pada masa ini, Pancasila
nilai yang hidup dan berkembang di dipahami berdasarkan paradigma yang
masyarakat. Hal ini dikarenakan The berkembang pada situasi dunia yang
Founding Father menggali nilai-nilai ketika itu diliputi oleh kekacauan dan
Pancasila dari kehidupan sosial kondisi sosial-budaya berada di dalam
masyarakat kita melalui proses yang suasana transisional dari masyarakat
panjang. Oleh karena itu, apabila nilai- terjajah menjadi masyarakat merdeka.
nilai luhur yang terkandung di dalam Masa ini adalah masa pencarian bentuk
Pancasila dijadikan rujukan dalam implementasi Pancasila, terutama
setiap peraturan perundang-undangan, dalam sistem kenegaraan. Maka dari
maka peraturan perundang-undangan itu, Pancasila diimplementasikan dalam
tersebut tidak akan mendapatkan bentuk yang berbeda-beda.
pertentangan dari masyarakat.

JURNAL PPKn & HUKUM________________Vol.13, No.1 April 2018 22


Sandra Dewi, Andrew Shandy Utama Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
Pada periode tahun 1945 sampai DI/TII yang ingin mendirikan negara
dengan 1950, nilai persatuan dan berdasarkan ajaran Islam.
kesatuan rakyat Indonesia masih tinggi Pada periode tahun 1950 sampai
karena menghadapi Belanda yang dengan 1955, penerapan Pancasila
masih ingin mempertahankan daerah diarahkan sebagai ideologi liberal,
jajahannya di Indonesia. Namun, yang pada kenyataannya tidak dapat
setelah penjajah dapat diusir, bangsa menjamin stabilitas pemerintahan.
Indonesia mulai mendapat tantangan Walaupun dasar negara tetap Pancasila,
dari dalam. Dalam kehidupan politik, tetapi rumusan sila keempat tidak
sila keempat yang mengutamakan berjiwakan musyawarah mufakat,
musyawarah dan mufakat tidak dapat melainkan suara terbanyak. Sistem
dilaksanakan karena demokrasi yang pemerintahannya yang liberal lebih
diterapkan adalah demokrasi menekankan hak-hak individual. Pada
parlementer. Presiden hanya berfungsi periode ini, persatuan dan kesatuan
sebagai kepala negara, sedangkan bangsa mendapat tantangan yang berat
kepala pemerintahan dipegang oleh dengan munculnya pemberontakan-
perdana menteri. Sistem ini pemberontakan yang dilakukan oleh
menyebabkan tidak adanya stabilitas RMS, PRRI, dan Permesta yang ingin
pemerintahan. melepaskan diri dari NKRI.
Padahal dasar negara yang Dalam bidang politik, demokrasi
digunakan adalah Pancasila dan berjalan lebih baik dengan
Undang-Undang Dasar 1945 yang terlaksananya pemilihan umum tahun
presidensil, namun dalam praktiknya 1955 yang dianggap sebagai pemilihan
sistem ini tidak dapat terwujud. umum yang paling demokratis. Akan
Persatuan rakyat Indonesia mulai tetapi, anggota Konstituante hasil
mendapatkan tantangan dengan pemilihan umum tidak dapat menyusun
munculnya upaya-upaya untuk Undang-Undang Dasar seperti yang
mengganti Pancasila sebagai dasar diharapkan. Hal ini menimbulkan krisis
negara dengan paham komunis oleh politik, ekonomi, dan keamanan.
PKI melalui pemberontakan di Madiun Pada periode tahun 1956 sampai
pada tahun 1948. Selain itu, ada juga dengan 1965, dikenal sebagai

JURNAL PPKn & HUKUM________________Vol.13, No.1 April 2018 23


Sandra Dewi, Andrew Shandy Utama Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
demokrasi terpimpin. Akan tetapi, Indonesia, demokrasi terpimpin,
demokrasi justru tidak berada pada ekonomi terpimpin, dan kepribadian
kekuasaan rakyat yang merupakan nasional. Akan tetapi, hasilnya adalah
amanah nilai-nilai Pancasila, terjadinya rencana kudeta oleh PKI dan
kepemimpinan berada pada kekuasaan lengsernya Presiden Soekarno dari
pribadi Presiden Soekarno melalui jabatannya.
„Dekrit Presiden‟. Oleh karena itu, Dinamika perdebatan ideologi
terjadilah berbagai penyimpangan antara kelompok Islam dengan
penafsiran terhadap Pancasila dalam Pancasila adalah wajah dominan
konstitusi. Akibatnya, Presiden perpolitikan nasional pada masa Orde
Soekarno menjadi presiden yang Lama. Pada dasarnya, hal ini
otoriter, mengangkat dirinya menjadi dilatarbelakangi oleh kekecewaan
presiden dengan masa jabatan seumur kelompok Islam atas penghapusan
hidup. Selain itu, terjadinya politik Piagam Jakarta dari Pembukaan
konfrontasi karena digabungkannya Undang-Undang Dasar 1945. Apalagi
nasionalis, agama, dan komunis, yang ketika penguasa menggunakan
ternyata tidak cocok dengan konsep Pancasila sebagai alat untuk menekan
Negara Indonesia. Terbukti bahwa dan mengekang kelompok Islam.
pada masa ini adanya kemerosotan Hal ini tampak jelas ketika akhir
moral di masyarakat yang tidak lagi tahun 1950-an, Pancasila sudah bukan
hidup bersendikan nilai-nilai Pancasila, merupakan titik pertemuan bagi semua
serta berusaha untuk menggantikan ideologi sebagaimana yang dimaksud
Pancasila dengan ideologi lain. oleh Soekarno dahulu. Pancasila telah
Dalam mengimplementasikan dimanfaatkan sebagai senjata ideologis
Pancasila, Presiden Soekarno untuk mendelegitimasi tuntutan Islam
melaksanakan pemahaman Pancasila bagi pengakuan negara atas Islam.
dengan paradigma yang disebut dengan Bahkan, secara terang-terangan pada
USDEK. Untuk mengarahkan tahun 1953 Presiden Soekarno
perjalanan bangsa, beliau menekankan mengungkapkan kekhawatirannya
pentingnya memegang teguh Undang- tentang implikasi-implikasi negatif
Undang Dasar 1945, sosialisme ala terhadap kesatuan nasional jika

JURNAL PPKn & HUKUM________________Vol.13, No.1 April 2018 24


Sandra Dewi, Andrew Shandy Utama Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
kelompok Islam di Indonesia masih tampilnya militer sebagai pemenang.
memaksakan tuntutan mereka untuk Tarik-menarik antara Soekarno, militer,
sebuah negara Islam. dan PKI pada era demokrasi terpimpin
Pada masa ini juga, Presiden mencapai titik puncaknya pada bulan
Soekarno membubarkan partai Islam September 1965, menyusul kudeta PKI
terbesar di Indonesia, Partai Masyumi, yang gagal, yang kemudian dikenal
karena dituduh terlibat dalam sebagai G 30 S/PKI. Setelah kudeta
pemberontakan regional berideologi yang gagal itu, kekuasaan Soekarno
Islam. dan PKI merosot tajam.
Kepentingan-kepentingan politis Merosotnya kekuatan Soekarno
dan ideologis yang saling berlawanan dan PKI secara drastis setelah G 30
antara Presiden Soekarno, militer, S/PKI disebabkan oleh peran-peran
Partai Kominis Indonesia (PKI), serta yang dimainkan oleh keduanya
kelompok Islam telah menimbulkan sebelumnya. Seperti diketahui,
struktur politik yang sangat labil pada Soekarno bersikap sangat otoriter,
awal tahun 1960-an, sampai akhirnya sehingga banyak yang menunggu
melahirkan Gerakan G 30 S/PKI yang momentum untuk melakukan
berakhir pada runtuhnya kekuasaan penantangan secara terbuka tanpa
Orde Lama. risiko masuk penjara. Sementara PKI
3. Perkembangan Ideologi sejak tahun 1963 (ketika UU Darurat
Pancasila pada Masa Orde dicabut oleh Soekarno) tidak lagi
Baru memilih jalan damai dalam berpolitik.
Meletusnya G 30 S/PKI pada Akhirnya Soekarno
tahun 1965 telah meruntuhkan mengeluarkan Surat Perintah Sebelas
konfigurasi politik era demokrasi Maret (Supersemar) 1966 yang
terpimpin yang bercorak otoritarian. ditujukan kepada Soeharto untuk:
Pengkhianatan tersebut mengakhiri 1. Pertama, mengambil segala
tolak-tarik di antara tiga kekuatan tindakan yang dianggap perlu
politik -Soekarno, Angkatan Darat, dan untuk terjaminnya keamanan dan
PKI- dalam dinamika era demokrasi ketenangan serta kestabilan
terpimpin yang ditandai dengan jalannya pemerintahan dan

JURNAL PPKn & HUKUM________________Vol.13, No.1 April 2018 25


Sandra Dewi, Andrew Shandy Utama Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
jalannya revolusi, serta menjamin kendati secara resmi masih menjabat
keselamatan pribadi dan Presiden dalam status „Presiden
kewibawaan Konstitusional‟.
pimpinan/presiden/panglima Setelah dibersihkan dari unsur
tertinggi/pemimpin besar PKI dan pendukung Soekarno, DPR-
revolusi/mandataris MPRS demi GR dan MPRS mulai mengadakan
untuk keutuhan bangsa dan sidang-sidangnya sebagai lembaga
negara Republik Indonesia, dan negara. Pada tahun 1967, MPRS
melaksanakan dengan pasti mencabut mandat Soekarno sebagai
segala ajaran pemimpin besar Presiden. Soekarno kehilangan
revolusi. jabatannya berdasarkan TAP No.
2. Kedua, mengadakan koordinasi XXXIII/MPRS/1967, yang sekaligus
pelaksanaan pemerintah dengan mendudukkan Soeharto sebagai Pejabat
panglima-panglima angkatan- Presiden. Setahun kemudian, melalui
angkatan lain dengan sebaik- TAP No. XLIII/MPRS/1968, Soeharto
baiknya. diangkat menjadi Presiden definitif.
3. Ketiga, supaya melaporkan Rezim baru yang tampil di atas
segala sesuatu yang bersangkut- keruntuhan demokrasi terpimpin
paut dalam tugas dan tanggung menamakan diri sebagai „Orde Baru‟.
jawabnya seperti tersebut di atas. Yang muncul sebagai pemeran utama
Surat perintah tersebut telah Orde Baru adalah Angkatan Darat. Ada
menjadi alat legitimasi yang sangat landasan konstitusional mengenai
efektif bagi Angkatan Darat untuk masuknya militer ke dalam politik,
melangkah lebih jauh dalam panggung yakni Undang-Undang Dasar 1945
politik. Sehari setelah surat perintah itu yang menyebutkan adanya golongan
diterima, Soeharto membubarkan PKI, ABRI dalam anggota Majelis
sesuatu yang sudah lama dituntut oleh Permusyawaratan Rakyat (MPR).
masyarakat melalui demonstrasi- Untuk mendapatkan dominasi di
demonstrasi. Presiden Soekarno sendiri DPR, pemerintah mengusulkan adanya
praktis kehilangan kekuasaannya pengangkatan sebagian anggota DPR
setelah mengeluarkan Supersemar, oleh pemerintah. Di samping itu,

JURNAL PPKn & HUKUM________________Vol.13, No.1 April 2018 26


Sandra Dewi, Andrew Shandy Utama Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
pemerintah menghendaki pemilu partai-partai dan peranan lembaga
sistem distrik. Partai-partai yang ikut perwakilan rakyat. Pemerintah Orde
membahas rancangan undang-undang Baru bertekad untuk mengoreksi
itu di DPR menolak usul pemerintah, penyimpangan politik yang terjadi pada
baik yang menyangkut pengangkatan era Orde Lama dengan memulihkan
anggota DPR maupun yang tertib politik berdasarkan Pancasila.
menyangkut sistem pemilihan. Penegasan bahwa stabilitas politik
Satu model yang dianggap dapat menjadi prasyarat pembangunan
menjelaskan realitas politik Orde Baru ekonomi secara tidak langsung dapat
adalah rezim otoriter birokratis, yang berimplikasi pada pengurangan
melenceng jauh dari nilai-nilai luhur pluralisme kehidupan politik atau
Pancasila. Dalam rezim seperti ini, pembatasan pada sistem politik yang
keputusan dibuat melalui cara demokratis.
sederhana, tepat, tidak bertele-tele, Pada awal kehadirannya, Orde
efisien, dan tidak memungkinkan Baru memulai langkah
adanya proses bergaining yang lama. pemerintahannya dengan langgam
Munculnya rezim ini disebabkan libertarian. Orde Baru telah menggeser
adanya semacam delayed-dependent sistem politik Indonesia dari titik
development syndrome di kalangan ekstrim otoriter pada zaman demokrasi
elite politik, seperti ketergantungan terpimpin ke sistem demokrasi liberal.
pada sistem internasional dan Akan tetapi, kenyataannya langgam
kericuhan-kericuhan politik dalam libertarian tidak berlangsung lama,
negeri. Rezim ini didukung oleh sebab di samping merupakan reaksi
kelompok-kelompok yang paling dapat terhadap sistem otoriter yang hidup
mendukung proses pembangunan yang sebelumnya, sistem ini hanya ditolerir
efisien, yaitu militer, teknokrat sipil, selama pemerintah mencari format baru
dan pemilik modal. politik Indonesia. Segera setelah format
Tekad Orde Baru menjamin baru terbentuk, sistem liberal bergeser
stabilitas politik dalam rangka lagi ke sistem otoriter.
pembangunan ekonomi mempunyai Setelah format baru politik
implikasi tersendiri pada kehidupan Indonesia dikristalisasikan melalui

JURNAL PPKn & HUKUM________________Vol.13, No.1 April 2018 27


Sandra Dewi, Andrew Shandy Utama Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
Undang-Undang Nomor 15 Tahun Beberapa tahun kemudian, kebijakan-
1969 dan Undang-Undang Nomor 16 kebijakan yang dikeluarkan ternyata
Tahun 1969, yang memberi landasan tidak sesuai dengan jiwa Pancasila.
bagi pemerintah untuk mengangkat 1/3 Pancasila ditafsirkan sesuai
anggota MPR dan lebih dari 1/5 kepentingan kekuasaan pemerintah
anggota DPR, langgam sistem politik sehingga tertutup bagi tafsiran lain.
mulai bergeser lagi ke arah yang Pancasila justru dijadikan sebagai
otoritarian. Gagasan demokrasi liberal indoktrinasi. Presiden Soeharto
dicap sebagai gagasan yang menggunakan Pancasila sebagai alat
bertentangan dengan demokrasi untuk melanggengkan kekuasaannya.
Pancasila dan karenanya harus ditolak. Ada beberapa metode yang
Hasil Pemilu 1971 yang memberikan digunakan dalam indoktrinasi
62,8% kursi DPR kepada Golkar Pancasila. Pertama, melalui ajaran P4
semakin memberi jalan bagi tampilnya yang dilakukan di sekolah-sekolah
eksekutif yang kuat. melalui pembekalan. Kedua, Presiden
Rezim Orde Baru dipimpin oleh Soeharto membolehkan rakyat untuk
Presiden Soeharto. Pada masa Orde membentuk organisasi-organisasi
Baru, pemerintah berkehendak ingin dengan syarat harus berasaskan
melaksanakan Pancasila dan Undang- Pancasila, atau yang disebut sebagai
Undang Dasar 1945 secara murni dan asas tunggal. Ketiga, Presiden Soeharto
konsekuen sebagai kritik terhadap Orde melarang adanya kritikan-kritikan yang
Lama yang menyimpang dari dapat menjatuhkan pemerintah dengan
Pancasila, melalui program P4 alasan stabilitas, karena Presiden
(Pedoman Pengahayatan dan Soeharto beranggapan bahwa kritikan
Pengamalan Pancasila). terhadap pemerintah menyebabkan
Pemerintahan Orde Baru berhasil ketidakstabilan di dalam negeri. Oleh
mempertahankan Pancasila sebagai karena itu, untuk menjaga stabilitas
dasar dan ideologi negara sekaligus negara, Presiden Soeharto
berhasil memberantas paham komunis menggunakan kekuatan militer
di Indonesia. Akan tetapi, implementasi sehingga tidak ada pihak-pihak yang
dan aplikasinya sangat mengecewakan. berani untuk mengkritik pemerintah.

JURNAL PPKn & HUKUM________________Vol.13, No.1 April 2018 28


Sandra Dewi, Andrew Shandy Utama Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
Dalam sistem pemerintahannya, perekonomian Indonesia anjlok
Presiden Soeharto melakukan beberapa sehingga memicu gerakan besar-
penyelewengan dalam penerapan besaran untuk menggulingkan rezim
Pancasila, yaitu dengan diterapkannya Orde Baru di bawah kepemimpinan
demokrasi sentralistik, demokrasi yang Presiden Soeharto.
berpusat pada pemerintah. Selain itu, Selama rezim Orde Baru
Presiden Soeharto juga memegang berkuasa, terdapat beberapa tindakan
kendali terhadap lembaga eksekutif, penguasa yang melenceng dari nilai-
legislatif, dan yudikatif sehingga nilai luhur Pancasila, antara lain yaitu:
peraturan yang dibuat harus sesuai 1. Melanggengkan Presiden
dengan persetujuannya. Soeharto berkuasa selama 32
Presiden Soeharto juga tahun.
melemahkan aspek-aspek demokrasi, 2. Terjadi penafsiran sepihak
terutama pers, karena dinilai dapat terhadap Pancasila melalui
membahayakan kekuasaannya. Maka, program P4.
Presiden Soeharto membentuk 3. Adanya penindasan ideologis
Departemen Penerangan sebagai sehingga orang-orang yang
lembaga sensor secara besar-besaran mempunyai gagasan kreatif dan
agar setiap berita yang dimuat di media kritis menjadi takut bersuara.
tidak ada menjatuhkan pemerintah. 4. Adanya penindasan secara fisik,
Penyelewengan lainnya yang seperti pembunuhan di Timor
sangat buruk dan menyimpang dari Timur, Aceh, Irian Jaya, kasus di
nilai-nilai luhur Pancasila adalah Tanjung Priok, kasus
bahwa Presiden Soeharto pengrusakan pada 27 Juli, dan
melanggengkan Korupsi, Kolusi, dan lain sebagainya.
Nepotisme (KKN) sehingga pada masa 5. Perlakuan diskriminasi oleh
ini dikenal sebagai rezim terkorup di negara terhadap masyarakat non
Indonesia. pribumi (keturunan) dan
Puncaknya adalah saat terjadinya golongan minoritas.
krisis ekonomi dan moneter di tahun 4. Perkembangan Ideologi
1997 yang menyebabkan Pancasila pada Era Reformasi

JURNAL PPKn & HUKUM________________Vol.13, No.1 April 2018 29


Sandra Dewi, Andrew Shandy Utama Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
Kata „reformasi‟ secara terjaminnya persatuan dan
etimologis berasal dari kata reform, kesatuan bangsa.
sedangkan secara harfiah reformasi Reformasi memiliki beberapa
mempunyai pengertian suatu gerakan tujuan, antara lain yaitu:
yang memformat ulang, menata ulang, 1. Melakukan perubahan secara
menata kembali hal-hal yang serius dan bertahap untuk
menyimpang untuk dikembalikan pada menemukan nilai-nilai baru
format atau bentuk semula sesuai dalam kehidupan berbangsa dan
dengan nilai-nilai ideal yang dicita- bernegara.
citakan rakyat. Reformasi juga 2. Menata kembali seluruh struktur
diartikan pembaruan dari paradigma kenegaraan, termasuk konstitusi
pola lama ke paradigma pola baru dan perundang-undangan yang
untuk menuju ke kondisi yang lebih menyimpang dari arah
baik sesuai dengan harapan. perjuangan dan cita-cita seluruh
Untuk melakukan reformasi, ada rakyat.
beberapa syarat yang harus terpenuhi, 3. Melakukan perbaikan di segala
antara lain yaitu: bidang kehidupan, baik di bidang
1. Adanya suatu penyimpangan. politik, ekonomi, sosial-budaya,
2. Berdasar pada suatu kerangka maupun pertahanan dan
struktural tertentu. keamanan.
3. Gerakan reformasi akan 4. Menghapus dan menghilangkan
mengembalikan pada dasar serta cara-cara hidup dan kebiasaan
sistem negara demokrasi. dalam masyarakat yang tidak
4. Reformasi dilakukan ke arah sesuai lagi dengan tuntutan
suatu perubahan kondisi serta reformasi, seperti KKN,
keadaan yang lebih baik. kekuasaan yang otoriter,
5. Reformasi dilakukan dengan penyimpangan, dan
suatu dasar moral dan etik penyelewengan lainnya.
sebagai manusia yang ber- Inti reformasi adalah memelihara
Ketuhanan Yang Maha Esa, serta segala yang sudah baik dari kinerja
bangsa dan negara di masa lampau,

JURNAL PPKn & HUKUM________________Vol.13, No.1 April 2018 30


Sandra Dewi, Andrew Shandy Utama Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
mengoreksi segala kekurangannya, di Indonesia. Tatanan politikpun
sambil merintis pembaruan untuk berubah seiring dengan semakin
menjawab tantangan masa depan. berkurangnya peran dan dwifungsi
Pelaksanaan kehidupan berbangsa dan ABRI dalam ketatanegaraan.
bernegara di masa lalu memerlukan Pengangkatan anggota ABRI yang
identifikasi, mana yang masih perlu terdiri dari TNI dan Polri sudah kurang
pertahankan dan mana yang harus dari periode sebelumnya. Dari 75 kursi
diperbaiki. yang tersedia menjadi 38 kursi di
Pada awal reformasi, konfigurasi parlemen. Di MPR tidak ada lagi
politik di DPR dan MPR tidak berubah, pengangkatan tambahan selain yang
sama dengan konfigurasi politik yang berasal dari DPR, yaitu melalui utusan
dihasilkan melalui pemilu 1997, yang daerah. Jumlah anggota DPR
tetap didominasi oleh Golkar dan pascapemilu 1999 sebanyak 500 orang,
ABRI. Tetapi, karena adanya reformasi 462 orang duduk melalui pemilihan
disertai penggantian Presiden, maka umum sedangkan 38 orang merupakan
merubah sifat lama anggota MPR dan pengangkatan wakil ABRI. Sedangkan,
DPR tersebut dan mengikuti tuntutan anggota MPR berjumlah 700 orang,
reformasi, antara lain keterbukaan, 500 orang dari anggota DPR, 125
demokratisasi, peningkatan orang utusan daerah, dan 75 orang
perlindungan HAM, pemeberantasan utusan golongan.
KKN, reformasi sistem politik dan Dari konfigurasi politik yang
ketatanegaraan, termasuk amandemen demokratis tetapi tidak ada satu partai
atas Undang-Undang Dasar 1945. yang menguasai mayoritas di parlemen
Pascapemilu 1999, peranan partai (dalam DPR), seperti yang telah
politik di Indonesia kembali menguat, diuraikan di atas, maka akan sulit bagi
karena tidak adanya satu partaipun suatu fraksi untuk menggolkan
yang menguasai suara mayoritas di programnya tanpa berkoalisi dengan
parlemen yakni MPR dan DPR, dan fraksi-fraksi lainnya sampai tercapai
juga karena iklim demokrasi sudah mayoritas di kedua lembaga negara
menyelimuti kehidupan politik di tersebut. Demikian juga halnya dengan
Indonesia sejak Era Reformasi bergulir eksekutif adalah sulit bagi presiden

JURNAL PPKn & HUKUM________________Vol.13, No.1 April 2018 31


Sandra Dewi, Andrew Shandy Utama Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
untuk menggolkan rancangan undang- tersebut sangat bertentangan dengan
undang yang diajukan ke DPR. Dan di Pancasila. Klimaks dari keadaan
sisi lain, demikian pula terjadi dalam tersebut ditandai dengan hancurnya
setiap sidang tahunan MPR, presiden ekonomi nasional, sehingga muncullah
harus dapat pula menampung aspirasi- gerakan masyarakat yang dipelopori
aspirasi fraksi-fraksi di MPR agar ia oleh mahasiswa, cendekiawan, dan
tidak kesulitan dalam meloloskan masyarakat sebagai gerakan moral
program dan pertanggungjawabannya. politik yang menuntut adanya
Sesudah tahun 2002, presiden reformasi di segala bidang, terutama di
tidak lagi bertanggung jawab kepada bidang hukum, politik, ekonomi, dan
MPR seperti pada masa sebelumnya. pembangunan.
Presiden dapat diberhentikan MPR Awal dari gerakan reformasi
hanya bila melanggar hukum, bukan bangsa Indonesia yakni ditandai
karena masalah politik. dengan mundurnya Presiden Soeharto
Dengan konfigurasi politik pada tanggal 21 Mei 1998, yang
seperti itu, peranan partai politik kemudian digantikan oleh Wakil
menguat kembali seperti pada masa Presiden B.J. Habibie.
liberal dulu. DPR dan pemerintah telah Dalam kenyataannya, bangsa
menetapkan undang-undang tentang Indonesia telah salah mengartikan
pemilu dan susunan DPR, DPRD, DPD makna dari sebuah kata „reformasi‟,
dan pemilu langsung sebagaimana pada yang saat ini menimbulkan gerakan
masa terpilihnya Presiden Susilo yang mengatasnamakan reformasi,
Bambang Yudhoyono dan Wakil padahal gerakan tersebut tidak sesuai
Presiden M. Jusuf Kalla. dengan pengertian dari reformasi itu
Pancasila yang pada dasarnya sendiri. Contohnya, saat masyarakat
sebagai sumber nilai, dasar moral etik hanya bisa menuntut dengan
bagi negara dan aparat pelaksana melakukan aksi-aksi anarkis yang pada
negara digunakan sebagai alat akhirnya terjadilah pengrusakan
legitimasi politik. Semua tindakan dan fasilitas umum, sehingga menimbulkan
kebijakan mengatasnamakan Pancasila, korban yang tak bersalah. Oleh karena
kenyataannya tindakan dan kebijakan itu, dalam melakukan gerakan

JURNAL PPKn & HUKUM________________Vol.13, No.1 April 2018 32


Sandra Dewi, Andrew Shandy Utama Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
reformasi, masyarakat harus tahu dan Reformasi belum berlangsung dengan
paham akan pengertian dari reformasi baik karena Pancasila belum
itu sendiri, agar proses menjalankan difungsikan secara maksimal
reformasi sesuai dengan tujuan sebagaimana mestinya. Banyak
reformasi tersebut. masyarakat yang hafal butir-butir
Pancasila merupakan dasar Pancasila tetapi belum memahami
filsafat Negara Indonesia, sebagai makna yang sesungguhnya.
pandangan hidup bangsa Indonesia, Pada Era Reformasi, Pancasila
namun ternyata Pancasila tidak sebagai re-interpretasi, yaitu Pancasila
diletakkan pada kedudukan dan harus selalu diinterpretasikan kembali
fungsinya. Pada masa Orde Lama, sesuai dengan perkembangan zaman,
pelaksanaan negara mengalami berarti dalam menginterpretasikannya
penyimpangan dan bahkan harus relevan dan kontekstual, serta
bertentangan dengan Pancasila. harus sinkron atau sesuai dengan
Presiden diangkat seumur hidup yang kenyataan pada zaman saat itu.
bersifat diktator. Pada masa Orde Baru, Berbagai perubahan dilakukan
Pancasila hanya dijadikan sebagai alat untuk memperbaiki sendi-sendi
politik oleh penguasa. Setiap warga kehidupan berbangsa dan bernegara di
negara yang tidak mendukung bawah payung ideologi Pancasila.
kebijakan penguasa dianggap Namun, faktanya masih banyak
bertentangan dengan Pancasila. Oleh masalah sosial-ekonomi yang belum
karena itu, gerakan reformasi harus terjawab. Eksistensi dan peranan
dimasukkan dalam kerangka Pancasila, Pancasila dalam reformasipun
sebagai landasan cita-cita dan ideologi dipertanyakan. Pancasila di Era
bangsa agar tidak terjadi anarkisme Reformasi tidak jauh berbeda dengan
yang menyebabkan hancurnya bangsa Pancasila di masa Orde Lama dan Orde
dan negara. Baru, karena saat ini debat tentang
Eksistensi Pancasila masih masih relevan atau tidaknya Pancasila
banyak dimaknai sebagai konsepsi dijadikan ideologi masih kerap terjadi.
politik yang substansinya belum Pancasila seakan tidak memiliki
mampu diwujudkan secara riil. kekuatan mempengaruhi dan menuntun

JURNAL PPKn & HUKUM________________Vol.13, No.1 April 2018 33


Sandra Dewi, Andrew Shandy Utama Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
masyarakat. Pancasila tidak lagi Setiap sila pada Pancasila
populer seperti pada masa lalu. mempunyai nilai dalam paradigma
Pancasila banyak diselewengkan dan reformasi, antara lain yaitu:
dianggap sebagai bagian dari 1. Reformasi yang ber-Ketuhanan
pengalaman buruk di masa lalu, dan Yang Maha Esa. Artinya,
bahkan ikut disalahkan menjadi sebab gerakan reformasi berdasarkan
kehancuran. pada moralitas ketuhanan dan
Pancasila pada Era Reformasi harus mengarah pada kehidupan
tidaklah jauh berbeda dengan Pancasila yang baik bahwa manusia adalah
pada masa Orde Lama dan Orde Baru, makhluk Tuhan.
yaitu tetap ada tantangan yang harus di 2. Reformasi yang
hadapi. Tantangan itu adalah Korupsi, berperikemanusiaan yang adil
Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang dan beradab. Artinya, gerakan
sampai hari ini tidak ada habisnya. reformasi berlandaskan pada
Pada masa ini, korupsi benar-benar moral kemanusiaan sebagai
merajalela. Para pejabat negara yang upaya penataan kehidupan yang
melakukan korupsi sudah tidak malu penuh penghargaan atas harkat
lagi. Mereka justru merasa bangga, dan martabat manusia.
ditunjukkan saat pejabat itu keluar dari 3. Reformasi yang berdasarkan nilai
gedung KPK dengan melambaikan persatuan Indonesia. Artinya,
tangan serta tersenyum seperti artis gerakan reformasi harus
yang baru terkenal. menjamin tetap tegaknya bangsa
Selain itu, globalisasi menjadi dan negara Indonesia sebagai
tantangan tersendiri bagi bangsa satu kesatuan.
Indonesia karena semakin lama 4. Reformasi yang berakar pada
ideologi Pancasila semakin tergerus asas kerakyatan. Artinya, seluruh
oleh liberalisme dan kapitalisme. penyelenggaraan kehidupan
Apalagi tantangan pada saat ini bersifat berbangsa dan bernegara harus
terbuka, bebas, dan nyata. dapat menempatkan rakyat
5. Reformasi dengan Paradigma sebagai subjek dan pemegang
Pancasila kedaulatan. Kekuasaan tertinggi

JURNAL PPKn & HUKUM________________Vol.13, No.1 April 2018 34


Sandra Dewi, Andrew Shandy Utama Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
berada di tangan rakyat 5. Korupsi yang semakin terbuka
Indonesia. dan membudaya.
5. Reformasi yang bertujuan pada D. KESIMPULAN
keadilan sosial bagi seluruh Pada masa Orde Lama, yaitu
rakyat Indonesia. Artinya, pada masa kekuasaan Presiden
gerakan reformasi harus memiliki Soekarno, Pancasila mengalami
visi yang jelas, yaitu demi ideologisasi. Artinya, Pancasila
terwujudnya keadilan sosial bagi berusaha untuk dibangun, dijadikan
seluruh rakyat. sebagai keyakinan dan kepribadian
Selama Era Reformasi berjalan, bangsa Indonesia. Kenyataannya,
terdapat beberapa kelemahan yang Pancasila hanya dijadikan sebagai alat
melenceng dari nilai-nilai luhur untuk melanggengkan kekuasaan
Pancasila, antara lain yaitu: dengan diangkatnya presiden dengan
1. Menjadikan Pancasila sebagai masa jabatan seumur hidup. Pada masa
ideologi bangsa tanpa Orde Baru, yaitu pada masa kekuasaan
memperhatikan relevansinya Presiden Soeharto, bangsa Indonesia
dengan perkembangan zaman. kembali menjadikan Pancasila dan
2. Para elite politik cenderung Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
hanya memanfaatkan gelombang dasar negara. Kenyataannya, Pancasila
reformasi ini guna meraih lagi-lagi hanya dijadikan sebagai alat
kekuasaan, sehingga tidak untuk melanggengkan kekuasaan
mengherankan apabila banyak otoriter Presiden Soeharto yang
terjadi benturan kepentingan berkuasa selama lebih kurang 32 tahun.
politik. Era Reformasi yang diharapkan sebagai
3. Pemerintah kurang konsisten era pembaruan memberikan angin
dalam menegakkan hukum. segar bagi bangsa Indonesia. Bangsa
4. Menurunnya rasa persatuan dan Indonesia diharapkan kembali
kesatuan yang ditandai dengan mengamalkan nilai-nilai luhur
adanya konflik di beberapa Pancasila sebagai pedoman berbangsa
daerah. dan bernegara. Akan tetapi, faktanya
justru pada Era Reformasi ini bangsa

JURNAL PPKn & HUKUM________________Vol.13, No.1 April 2018 35


Sandra Dewi, Andrew Shandy Utama Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
Indonesia dirasakan semakin jauh dari dalam Pembentukan Peraturan
nilai-nilai luhur Pancasila. Rakyat Perundang-undangan”. Jurnal
Indonesia mengalami degradasi moral Ilmu Hukum, Volume 5 Nomor 2,
dan cenderung liberalis karena Februari-Juli 2015.
pengaruh globalisasi. Tindak pidana R. Warsito. 2012. Pendidikan
korupsi dilakukan secara terang- Pancasila Era Reformasi.
terangan seolah-olah telah membudaya Banten: Ombak.
di Indonesia. Salam. 1996. Filsafat Pancasilaisme.
E. DAFTAR PUSTAKA Jakarta: Rineka Cipta.

Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari. Soerjono Soekanto. 2007. Pengantar

2011. Dasar-dasar Politik Penelitian Hukum. Jakarta: UI

Hukum. Jakarta: Rajawali Pers. Press.

Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila. Subandi Al Marsudi. 2003. Pancasila

Yogyakarta: Paradigma. dan UUD 1945 dalam

Kokom Komalasari. 2007. Pendidikan Paradigma Reformasi. Jakarta:

Pancasila. Jakarta: Lentera Rajawali Pers.

Cendikia. Syahrial Syarbani. 2004. Pendidikan

Komaruddin Hidayat dan Azyumardi Pancasila di Perguruan Tinggi.

Azra. 2012. Pancasila Jakarta: Ghalia Indonesia.

Demokrasi, HAM, dan


Masyarakat Madani. Jakarta:
Kencana.
Moh. Mahfud M.D. 2012. Politik
Hukum di Indonesia. Jakarta:
Rajawali Pers.
Oetojo Oesman. 1993. Pancasila
sebagai Ideologi Bangsa.
Surabaya: Karya Anda.
Oksep Adhayanto. 2015.
“Implementasi Nilai-nilai
Pancasila sebagai Dasar Negara

JURNAL PPKn & HUKUM________________Vol.13, No.1 April 2018 36


Jurnal Studi Agama dan Masyarakat ISSN: 1829-8257; E ISSN: 2540-8232
Vol. 14, No 02, Desember 2018, p. 119-126 119

Interkoneksi Nilai-Nilai Huma Betang


Kalimantan Tengah dengan Pancasila
Ibnu Elmi AS Pelua,1 Jefry Tarantangb,2
a
IAIN Palangka Raya, Jl. G. Obos Komplek Islamic Center No. 24, Indonesia
a,b
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Indonesia
1
ibnu.elmi@iain-palangkaraya.ac.id
2
hukumtarantang@gmail.com

ARTICLE INFO ABSTRACT

Article history: Huma betang is a typical traditional house inhabited by Dayak


Received : 2018-08-01 people. The life intertwined from the residents of the Betang Huma
Revised : 2018-08-03 is safe, peaceful and warmly in differences. This research is a
Accepted : 2018-08-20 qualitative research with an empirical and normative approach
focusing on the philosophy of Huma betang and its relationship to
Pancasila. This study reveals that Pancasila can be seen from the
foundation of life of Central Kalimantan people, namely Garing
Hatungku Tungket Langit, isen mulang, Hupungkal Lingu Nalatai
Hapangajan Karendem Malempang, dan Belom Bahadat. If it is
Keywords: seen from the relationships and its interrelations, there is an
Interconnection interconnection of the Huma betang values of the Central
Huma betang Kalimantan Dayak people with the Pancasila philosophy with the
Pancasila spirit of togetherness in difference of Unity in Diversity in the life of
the nation and state.
Copyright © 2018 IAIN Palangka Raya.
All rights reserved.

penghujan yang mengancam daerah-daerah di


I. Pendahuluan hulu sungai di Kalimantan Tengah. Beberapa
Rumah Betang atau Huma betang adalah unit pemukiman bisa memiliki rumah betang
rumah adat khas Kalimantan Tengah yang lebih dari satu buah tergantung dari besarnya
terdapat di berbagai penjuru Kalimantan rumah tangga anggota komunitas hunian
Tengah, terutama di daerah hulu sungai yang tersebut.
biasanya menjadi pusat pemukiman suku Setiap rumah tangga (keluarga)
Dayak, dimana sungai merupakan jalur menempati bilik (ruangan) yang di sekat-
transportasi utama bagi suku Dayak untuk sekat dari Rumah Betang yang besar tersebut,
melakukan berbagai mobilitas kehidupan di samping itu pada umumnya masyarakat
sehari-hari seperti pergi bekerja ke ladang Kalimantan Tengah juga memiliki rumah-
dimana ladang masyarakat Kalimantan rumah tunggal yang dibangun sementara
Tengah biasanya jauh dari pemukiman waktu untuk melakukan aktivitas
penduduk, atau melakukan perdagangan perladangan, hal ini disebabkan karena
(zaman dulu masyarakat Kalimantan Tengah jauhnya jarak antara ladang dengan tempat
biasanya berdagang dengan menggunakan pemukiman penduduk. Lebih dari bangunan
sistem barter yaitu dengan saling menukarkan untuk tempat tinggal suku Dayak, sebenarnya
hasil ladang, kebun maupun ternak). Bentuk rumah betang adalah jantung dari struktur
dan besar Rumah Betang ini bervariasi di sosial kehidupan kehidupan. Budaya Betang
berbagai tempat. Ada Rumah Betang yang merupakan cerminan mengenai kebersamaan
mencapai panjang 150 meter dan lebar hingga dalam kehidupan sehari-hari orang
30 meter. Umumnya Rumah Betang di masyarakat Kalimantan Tengah. Di dalam
bangun dalam bentuk panggung dengan Rumah Betang ini setiap kehidupan individu
ketinggian tiga sampai lima meter dari tanah. dalam rumah tangga dan masyarakat secara
Tingginya bangunan Rumah Betang ini untuk sistematis diatur melalui kesepakatan bersama
menghindari datangnya banjir pada musim yang dituangkan dalam hukum adat(14).

DOI: 10.23971/jsam.v14i2.928 W : http://e-journal.iain-palangkaraya.ac.id/index.php/jsam


E : Jsam.iainpky@gmail.com
120 Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Vol. 14, No. 02, Desember 2018, p. 119-126

Indonesia mengakui adat yang ada di di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi
Indonesia, termasuk pula adat yang berlaku di pusat pemukiman suku Dayak Kalimantan
Kalimantan Tengah yang memiliki falsafah Tengah. Hal inilah yang melandasi adanya
Huma Betang (filosofis) yang berlaku secara Huma Betang bila dilihat dari konteks
sosiologis di masyarakat dan juga berlaku sejarah maka tidaklah heran bahwa Huma
secara yuridis dengan adanya Peraturan Betang itu berdiri dan menjadi rumah bagi
Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor masyarakat Kalimantan Tengah. Mengenai
10 tahun 2010 Tentang Perubahan Atas model bangunan perlu disampaikan bahwa
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Huma Betang menyerupai rumah panggung
Tengah Nomor 16 Tahun 2008 Tentang yang apabila dilihat dari model dan kontruksi
Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan bangunan Huma Betang tersebut tinggi dan
Tengah(1). Adat atau kebiasaan yang terjadi memanjang, secara tidak langsung hal
dalam masyarakat Dayak dan berlaku tersebut merujuk kepada maksud dan tujuan.
berdasarkan pengalaman hidup(13) Secara garis besar tinggi dari pada Huma
masyarakat Dayak membentuk norma atau Betang tersebut berkisar tiga sampai lima
aturan perilaku(7) dengan falsafah Huma meter dari permukaan tanah dan panjang
betang . bangunan diperkirakan mencapai 150 dan
lebar sampai dengan 30 meter(4).
Beberapa penelitian sebelumnya hanya
membahas mengenai Huma Betang dalam Namun betang-betang yang ada di
konteks kehidupan masyarakat dayak(6) Kalimantan Tengah mulai dari tinggi dan
dalam kehidupan sosial, agama dan panjangnya bervariasi artinya setiap betang
budaya(1). Berbeda dengan fokus penelitian yang dibangun tidak sama bila dilihat dari
ini yaitu melihat hubungan dan saling tinggi maupun panjang bangunan Huma
ketergantungan falsafah Huma Betang Betang tersebut tergantung dari pada
mengatur kehidupan masyarakat Dayak dan penghuni. Pada dasarnya ada banyak aspek
merupakan suatu pandangan hidup yang juga yang mendasari Huma Betang tersebut
terkoneksi dengan falsafah Pancasila sebagai khususnya pada masyarakat Dayak Ngaju.
pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Aspek-aspek yang dimaksudkan adalah gejala
alam, hal keamanan dari serangan musuh.
Aspek yang pertama, adanya Huma Betang
II. Metode Penelitian
tersebut yaitu untuk mengantisipasi luapan air
Penelitian ini menggunakan metode hujan atau menghindari datangnya banjir pada
penelitian kualitatif deskriptif dengan musim penghujan yang mengancam daerah-
menggunakan pendekatan empiris dan daerah di hulu sungai di Kalimantan Tengah
normatif melalui penggalian data wawancara karena baik Betang ataupun kehidupan
dan juga telaah terhadap referensi bacaan masyarakat Kalimantan Tengah lebih dekat
berupa buku, hasil penelitian, dan bahan dengan sungai kahayan tempat terjadinya
bacaan yang mendukung lainnya. Data yang rutinitas masyarakat tersebut(11).
dikumpulkan kemudian direkduksi dan
diambil konklusi sebagai bahan analisis. Kedua dilihat dari aspek keamanan yang
Adapun analisis yang digunakan yaitu analisis terbagi atas dua yaitu menghindari dari
kualitatif dari data yang telah diolah, pertama serangan musuh atau dikenal dengan
falsafah Huma Betang pada masyarakat dayak asang/kayau dengan ancaman dari serangan
Kalimantan Tengah, kedua hubungan nilai- binatang buas yang ingin memangsa. Lebih
nilai Huma Betang dengan falsafah dari pada itu Huma Betang adalah tempat
Pancasila, dan ketiga interkoneksi nilai-nilai bernaungnya puluhan bahkan ratusan kepala
Huma Betang dengan falsafah Pancasila. keluarga yang hidup dalam satu wadah Huma
Betang itu sendiri yang di bagi hanya dengan
pembatas yang dapat juga dikatakan dengan
III. Hasil dan Pembahasan sekat sebagai pembatas antara keluarga yang
1. Falsafah Huma betang pada satu dengan keluarga yang lain. Namun
Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah walaupun demikian halnya dalam Huma
Betang tersebut setiap kehidupan yang
Huma Betang adalah rumah adat khas
terjalin dari pada para penghuni-penghuni
yang dihuni oleh masyarakat Dayak terutama
Huma Betang tersebut aman, damai dan

Ibnu Elmi AS Pelu.al (Nilai-Nilai Huma betang ) ISSN: 1829-8257; E ISSN: 2540-8232
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 121
Vol. 14, No. 02, Desember 2018, p. 119-126

tentram sekalipun dalam perbedaan yang lain. Contohnya dalam Huma Betang
berbeda-beda antara satu dengan yang lain. yang berbeda Agama satu sama lain(4).
Inilah lah yang sekiranya tentang Huma
Nilai-nilai dalam Huma betang ini terlihat
Betang apabila ditinjau sekilas, namun yang
dalam falsafah Belom Bahadat (hidup
unik pada Huma Betang ini tidak hanya
beradat) dan semangat isen mulang.
sekedar mengetahui apa itu Huma Betang
Pengertian dari Belom Bahadat adalah dalam
akan tetapi bila diperdalam maka akan
kehidupan sehari-hari masyarakat Kalimantan
banyak ditemukan hal-hal yang berkaitan erat
Tengah khususnya Dayak Ngaju, adat istiadat
dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam
mengajarkan bahwa setiap orang harus Belom
Huma Betang tersebut. Untuk mengetahui
Bahadat artinya “Hidup Beradat”. Ketentuan
nilai-nilai apa saja yang terkandung dalam
Belom Bahadat tersebut berlaku bagi setiap
Huma Betang tersebut maka tentu saja tidak
insan, yang diajarkan mulai dari masa anak-
sampai disini.
anak, masa remaja, masa akil balig/pemuda.
Nilai-nilai apa saja yang terkandung di Belom Bahadat juga dituntut kepada orang
dalam Huma Betang tersebut maka terlebih dewasa atau terhadap mereka yang kaya atau
dahulu menurut penulis harus diketahui apa miskin maupun terhadap mereka yang
yang dimaksud dengan filosofi. Filosofi berpangkat atau warga masyarakat biasa(4).
merupakan suatu kebenaran yang dianggap
Selain berfungsi sebagai rumah adat,
benar. Untuk diketahui bahwa filosofi Huma
Huma Betang memiliki filosofi kehidupan
Betang (Rumah Betang) di Kalimantan
yang sangat dalam dan mendasar bagi
Tengah sangat menjunjung tinggi perdamaian
masyarakat Dayak. Filosofi Huma Betang
dan anti-kekerasan serta hidup toleransi yang
diantaranya adalah :
tinggi antar-umat beragama(4). Lebih
spesifiknya nilai-nilai yang terkandung di a. Hidup Rukun dan Damai Walau Terdapat
dalam Huma betang tersebut melingkupi Banyak Perbedaan
empat pilar yaitu kebersamaan, kejujuran, Huma betang dihuni oleh 1 keluarga
kesetaraan, dan sikap saling menghargai satu besar yang terdiri dari berbagai agama dan
sama lain (toleransi)(9). kepercayaan, namun mereka selalu hidup
Empat pilardalam Huma Betang yaitu rukun dan damai.Perbedaan yang ada tidak
sebagai berikut: dijadikan alat pemecah diantara mereka.
Seiring dengan berkembangnya zaman,
a. Nilai kebersamaan adalah sikap saling
masyarakat Dayak sudah mulai meninggalkan
bergotong royong. Contohnya dalam
rumah adatnya dan beralih kepada tempat
menjaga dan memelihara Huma betang
tinggal yang lebih modern. Walaupun
dan dalam mengerjakan pekerjaan ladang
demikian keharmonisan tidak hanya terjadi di
menanam padi (menanam parei).
Huma Betang. Seluruh masyarakat
b. Nilai kejujuran adalah sikap yang baik Kalimantan Tengahselalu menjaga
artinya tidak ada kebohongan didalamnya keharmonisan itu dengan cara saling hormat
atau dengan kata lain dengan tidak menghormati dan juga sikap toleransi(5).
berbohong kepada orang lain baik dari hal
b. Bergotong Royong
yang kecil sampai hal yang besar.
Contohnya bila seseorang bertanya siapa Perbedaan yang ada tidak membuat
nama anda? Maka harus dijawab dengan penghuni Huma Betang memikirkan
jujur. kelompoknya sendiri. Mereka selalu bahu-
membahu dalam melakukan sesuatu,
c. Nilai kesetaraan adalah sikap dalam hal
misalnya apabila ada kerusakan di Huma
kesederajatan yang sama antara satu
Betang. Mereka bersama-sama
dengan yang lain. Contohnya dimana
memperbaikinya, tidak memandang agama
dalam Huma Betang tersebut mempunyai
ataupun suku. Tidak hanya di Huma Betang,
hak dan kewajiban yang sama antara satu
Seluruh masyarakat Kalimantan Tengah
dengan yang lain.
diharapkan juga bahu-membahu dalam
d. Toleransi adalah sikap menghargai membangun daerahnya tidak memandang
perbedaan atau pun latar belakang orang suku bahkan agama(5).

ISSN: 1829-8257; E ISSN: 2540-8232 Ibnu Elmi AS Pelu.al (Nilai-Nilai Huma betang )
122 Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Vol. 14, No. 02, Desember 2018, p. 119-126

c. Menyelesaikan Perselisihan dengan Damai pantang mundur sebelum memutuskan tali


dan Kekeluargaan kemiskinan, kebodohan dan kemelaratan”.
Kata-kata Isen Mulang dalam teks sebenarnya
Pada dasarnya setiap penghuni rumah
di atas merupakan teks yang ditulis
menginginkan kedamaian dan kekeluargaan.
menggunakan Bahasa Sangiang yakni bahasa
Apabila ada perselisihan akan di cari
Dayak yang tertua di Kalimantan
pemecahnya dengan cara damai dan
Tengah.Bahasa Sangiang ini hingga sekarang
kekeluargaan. Begitu pula di Huma Betang,
masih banyak digunakan olehmasyarakat
masyarakat Dayak cinta damai dan
Kalimantan Tengah yang beragama
mempunyai rasa kekeluargaan yang
Kaharinganuntuk melakukan ritual
tinggi(10). Peristiwa kerusuhan Sampit tahun
keagamaan dan komunikasi dengan yang
2001 lalu adalah masa kelam provinsi ini,
Maha Kuasa. Manakir Petak (menumiti bumi)
dalam kerusuhan ini terjadi antara masyarakat
dan mengikatkan kain merah di kepala
suku Dayak dan Masyarakat suku pendatang
mereka (lawung bahandang), pertanda
dari pulau Jawa yaitu suku Madura.
semangat Isen Mulang (pantang mundur) jika
Perselisihan yang ada sempat membuat
tak berhasil melaksanakan misi mereka tak
provinsi ini tidak aman, perkelahian dimana-
akan pulang. Isen Mulang ini oleh Provinsi
mana, termasuk peristiwa pembantaian.
Kalimantan Tengah dijadikan Motto Provinsi
Perselisihan terjadi sangat alot, sampai saat
sehingga Kalimantan Tengah sering juga
perdamaianpun tiba. Demi kedamaian juga
dikenal dengan sebutan “Bumi Isen Mulang”
keamanan Kalimantan Tengah mereka
yang lengkapnya bermakna biarkan nama saja
bersedia berdamai(5).
yang kembali apabila gagal merampungkan
d. Menghormati Leluhur misi(11).
Setelah masuknya agama-agama baru Secara filosofi kata Isen Mulang bukan
seperti Hindu, Kristen, dan Islam, banyak berarti perang secara fisik yang saling
masyarakat Dayak berganti kepercayaan. membunuh satu sama lain akan tetapi Isen
Walaupun demikian masih ada sebagian dari Mulang berarti memerangi kemiskinan,
mereka yang menganut agama nenek moyang kebodohan, dan sengaja diambil sebagai
yaitu Kaharingan. Untuk menghormati simbol semangat juang masyarakat
leluhur mereka, masyarakat suku Dayak Kalimantan Tengah untuk membangun
melakukan upacara adat. Upacara adat daerah agar dapat terus maju dan
tersebut terdiri dari ritual membongkar berkembang dan dapat bersaing di tengah
makam leluhur dan membersihkan tulang zaman yang semakin berkembang, tanpa
belulangnya untuk kemudian disimpan di henti-hentinya di dalam berbagai bidang
dalam sanding yang telah dibuat bersama- kehidupan, seperti pendidikan, sosial, budaya,
sama(4). politik, ekonomi dan yang lainnya sampai
Filosofi dari Huma Betang merupakan tutup usia atau titik darah terakhir. Isen
nilai-nilai yang akan selalu melekat pada diri Mulang merupakan semangat yang dijadikan
setiap masyarakat Kalimantan Tengah dalam motto masyarakat Kalimantan Tengah untuk
arti kata, nilai-nilai yang ada didalam Huma mencapai visi dan misinya(11).
Betang tersebut bukan hanya sekedar warisan Berdasarkan uraian di atas, menurut
akan tetapi untuk dikelola oleh masyarakat penulis melalui pendekatan kearifan lokal
Kalimantan Tengah. Walaupun tidak dapat (local wisdom) kebudayaan Huma Betang
dipungkiri lagi bahwa Huma Betang akan menyangkut masalah nilai hakiki yang hidup
punah seiring berjalannya waktu dan arus dan terpelihara oleh masyarakat Kalimantan
globalisasi dan modernisasi(5). Tengah(15). Nilai hakiki dari Huma Betang
Selain Huma Betang di Kalimantan inilah yang merupakan sari kebudayaan,
Tengah juga dikenal semboyan Isen sehingga yang disebut “filosofi hidup Huma
Mulangyang berasal dari kata Ela Buli betang atau Belom Bahadat” oleh Peraturan
Manggetu Hinting Bunu Panjang Isen Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor
Mulang Menetas Rantai Kamara Ambu yang 10 tahun 2010 Tentang Perubahan Atas
berarti “jangan pulang sebelum Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan
memenangkan perjuangan yang panjang, Tengah Nomor 16 Tahun 2008 Tentang
Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan

Ibnu Elmi AS Pelu.al (Nilai-Nilai Huma betang ) ISSN: 1829-8257; E ISSN: 2540-8232
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 123
Vol. 14, No. 02, Desember 2018, p. 119-126

Tengahadalah perilaku hidup yang b. Isen Mulang


menjunjung tinggi kejujuran, kesetaraan,
Isen Mulang berasal dari bahasa sangen
kebersamaan dan toleransi serta taat pada
(Bahasa Dayak Kuno)(8) memiliki arti “Ela
hukum (hukum negara, hukum adat dan
buli manggetu hinting bunu panjang, Isen
hukum alam)(3). Dalam Huma Betang
Mulang Manetes Rantai Kamara Ambu”.
tersebut terdapat empat pilar falsafah hidup
Memiliki arti “ jangan pulang sebelum
utama yaitu: Kejujuran, kesetaraan,
memenangkan perjuangan yang panjang,
kebersamaan dan menjunjung tinggi Hukum
pantang mundur sebelum memutuskan tali
adat dan Hukum nasional dengan menjunjung
kemiskinan, kebodohan dan kemelaratan
tinggi prinsip hidup “Belom Bahadat”
dengan semangat kebersamaan dan persatuan.
(artinya hidup bertata krama dan beradab) dan
Hal ini sesuai dengan sila ke-3 pada
“Belom Penyang Hinje Simpei” (hidup dalam
Pancasila(11).
kedamaian, kebersamaan, kesetaraan,
keharmonisan, toleransi, menjunjung tinggi c. Hupungkal Lingu Nalatai Hapangajan
hukum dan kerja sama untuk meraih Karendem Malempang
kesejahteraan bersama)(4). Jadi falsafah Memiliki arti “Bersatu dalam
Huma betang di Kalimantan Tengah adalah menyelesaikan suatu masalah dengan cara
kebersamaan di dalam perbedaan mufakat sehingga segala sesuatunya dapat
(togetherness in diversity), artinya ada mencapai kesepakatan bersama. Sesuai
semangat persatuan, etos kerja dan toleran dengan sila Ke-4 pada Pancasila(11).
yang tinggi untuk mengelola secara bersama-
sama perbedaan itu dan berkompetisi secara d. Belom Bahadat
jujur, sehingga tidak akan menjadi jurang Artinya hidup beradat. Ketentuan Belom
yang memisahkan sekaligus menghancurkan. Bahadat tersebut berlaku bagi setiap warga
2. Hubungan Nilai-Nilai Huma Betang masyarakat Kalimantan Tengah sesuai
dengan Falsafah Pancasila dengan Pancasila pada sila Ke-5(11).
Pancasila selain merupakan dasar negara, Berdasarkan uraian di atas, menurut
juga merupakan pandangan hidup, jiwa dan penulis melalui pendekatan kearifan lokal
kepribadian bangsa, cita-cita dan tujuan (local wisdom) maka nilai-nilai yang
bangsa, falsafah hidup yang mempersatukan terkandung dalam kehidupan masyarakat
bangsa yang perlu dimaknai secara arif dan Kalimantan Tengah yaitu falsafah Huma
bijak baik itu pemerintah maupun seluruh betang yang merupakan pilar kehidupan
komponen masyarakat. Pancasila bila dilihat yang dimiliki masyarakat kalimantan Tengah
dari hubungannya dengan nilai-nilai Huma berkaitan erat dan sesuai dengan falsafah
betang maka dapat dilihat dari landasan Pancasila yang merupakan ideologi bangsa
hidup atau pilar kehidupan masyarakat Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika. Hal ini
Kalimantan Tengah, yaitu: merupakan koneksivitas nilai-nilai Huma
Betang dengan falsafah pancasila (12).
a. Garing Hatungku Tungket Langit
3. Interkoneksi Nilai-Nilai Huma Betang
Memiliki arti “tiga pegangan hidup
dengan Falsafah Pancasila
seseorang yang bisa menjadi seorang
pemimpin”. Pancasila merupakan ideologi pemersatu
bangsa yang digali dari akar budaya bangsa
1) Kayu Gamalang Nyahu, (umat manusia Indonesia yang mengandung nilai-nilai luhur
harus beragama percaya kepada Tuhan), yang dijunjung tinggi hingga sekarang, baik
yang sesuai dengan Pancasila pada sila nilai-nilai agama, adat istiadat, kebersamaan,
Ke-1. keseteraan, keadilan, maupun perjuangan
2) Kayu Erang Tingang, (harus punya adat untuk melepaskan diri dari segala bentuk
istiadat atau sopan santun), sesuai dengan penjajahan. Nilai-nilai luhur ini mengkristal
Pancasila pada sila Ke-2. dalam rumusan Pancasila sebagai perwujudan
filsafat kemanusiaan yang mencerminkan
3) Kayu Pampang Seribu, (hidup pintar
hubungan manusia dengan Tuhan, manusia
harati), sesuai dengan Pancasila pada sila
dengan manusia dan manusia dengan
Ke-2(11).
lingkungan alam sekitarnya. Falsafah

ISSN: 1829-8257; E ISSN: 2540-8232 Ibnu Elmi AS Pelu.al (Nilai-Nilai Huma betang )
124 Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Vol. 14, No. 02, Desember 2018, p. 119-126

Pancasila ini merupakan suatu pandangan sebagai sesama manusia, yang memiliki
hidup yang telah diyakini bangsa Indonesia martabat mulia, dan hak-hak serta kewajiban
sebagai suatu kebenaran oleh karena itu asasi. Dengan kata lain sikap untuk
dijadikan falsafah hidup bangsa. Begitu pula menjunjung tinggi martabat dan hak-hak
dengan falsafah hidup masyarakat Dayak kemanusian dan nilai keseteraan yang
yaitu Huma Betang, terdapat beberapa menunjukkan tidak adanya perlakuan
hubungan yang dapat diaktualisasikan dan diskriminatif walaupun dari suku, agama, ras,
membentuk hubungan antara nilai-nilai Huma dan golongan yang berbeda. Dalam hal ini
Betang dengan falsafah Pancasila dengan manusia harus dilihat dari sisi
adanya kesaling-terkaitan (interkoneksi)(2) kemanusiaannya bukan dari simbol-simbol
meliputi nilai untuk hidup saling tolong yang dimilikinya, Seperti:
menolong atau semangat gotong royong,
1) Mengembangkan sikap tenggang rasa dan
rukun, saling menjaga keamanan dan
tepa selira.
pertahan serta saling menghargai dan
memberi kebebasan beragama(13), dalam 2) Menjunjung tinggi nilai-nilai
konteks kehidupan bermasyarakat dan kemanusiaan.
bernegara yaitu: 3) Berani membela kebenaran dan keadilan.
a. Ketuhanan Yang Maha Esa Sesuai dengan landasan hidup masyarakat
Kalimantan Tengah yaitu Kayu Pampang
Sila pertama menuntut masing-masing
Seribu (harus pintar harati).
warga negara Indonesia untuk mengakui
Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta dan c. Persatuan Indonesia
tujuan akhir baik dalam hati maupun dalam Sila ke-tiga, menumbuhkan sikap
perilaku sehari-hari. Konsekuensinya adalah masyarakat untuk mencintai tanah air, bangsa,
Pancasila menuntut masing-masing umat dan negara Indonesia, ikut memperjuangkan
beragama dan berkepercayaan untuk hidup kepentingan-kepentingan nasional dan loyal
rukun dan saling menghormati walaupun terhadap sesama warga negara. Sila ini
berbeda-berbeda keyakinannya. Hal ini mengandung nilai persatuan, nilai perjuangan,
merupakan nilai ketuhanan dan dan semangat nasionalisme (ke-Indonesiaan).
kemasyarakatan yang harus dimanifestasikan Contoh prilaku yang sesuai dengan sila ini
dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya: seperti:
1) Membina kerukunan hidup di antara sesama 1) Sanggup dan rela berkorban untuk
umat beragama dan kepercayaan terhadap kepentingan negara dan bangsa apabila
Tuhan Yang Maha Esa. Masyakarat Dayak diperlukan.
Kalimantan Tengah menjunjung tinggi
toleransi keberagaman agama, hal ini 2) Mengembangkan rasa cinta kepada tanah
terlihat dengan rumah ibadah yang air dan bangsa.
berdampingan dan saling menghormati 3) Mengembangkan sikap persatuan atas
pelaksanaan ibadah agama masing-masing. dasar Bhineka Tunggal Ika. Sesuai dengan
2) Tidak memaksakan suatu agama dan motto hidup masyarakat Kalimantan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang maha Tengah yaitu Isen Mulang (pantang
Esa. Sesuai dengan landasan hidup mundur).
masyarakat Kalimantan Tengah yaitu Kayu d. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Gamalang Nyahu, (umat manusia harus Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan
beragama, percaya kepada Tuhan). /Perwakilan
Masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah
menganut berbagai macam agama 1) Sila ke-empat mengajak masyarakat untuk
(pluralisme), seperti Islam, Kristen, Hindu, bersikap peka dan ikut serta dalam
Katolik, Kaharingan (agama leluhur), dan kehidupan politik serta pemerintahan
agama lainnya yang diakui. negara, setidaknya secara tidak langsung,
bersama dengan sesama warga atas dasar
b. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab persamaan tanggung jawab sesuai dengan
Sila ke-dua mengajak masyarakat untuk kedudukannya masing-masing. Sila ini
mengakui dan memperlakukan setiap orang mengandung nilai-nilai kemasyarakatan,

Ibnu Elmi AS Pelu.al (Nilai-Nilai Huma betang ) ISSN: 1829-8257; E ISSN: 2540-8232
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 125
Vol. 14, No. 02, Desember 2018, p. 119-126

permusyawaratan, dan saling menghormati pancasila yang hidup di Kalimantan Tengah.


di antara sesama untuk mengabdi kepada Dengan kata lain, terdapat interkoneksi nilai-
bangsa dan negara berdasarkan nilai Huma Betang Masyarakat Dayak
kedudukannya dan profesinya masing- Kalimantan Tengah dengan falsafah Pancasila
masing. dengan semangat kebersamaan di dalam
perbedaan (togetherness in diversity) Bhineka
2) Sebagai warga negara dan warga
Tunggal Ika, bahkan mampu melawan arus
masyarakat, setiap manusia Indonesia
globalilasi dan menangkal paham radikal,
mempunyai kedudukan, hak dan
serta menumbuhkan nilai-nilai Huma betang
kewajiban yang sama.
secara global dalam berbangsa dan bernegara.
3) Di dalam musyawarah diutamakan
kepentingan bersama di atas kepentingan
IV. Kesimpulan
pribadi atau golongan.
Huma Betang di Kalimantan Tengah
4) Tidak boleh memaksakan kehendak orang adalah perilaku hidup yang menjunjung tinggi
lain. Sesuai dengan landasan hidup kejujuran, kesetaraan, kebersamaan dan
masyarakat Kalimantan tengah yaitu toleransi serta taat pada hukum (hukum
Hapungkal Lingu Nalatai Hapangajan negara, hukum adat dan hukum alam). Dalam
Karendem malempang, (bersatu dalam Huma Betang tersebut terdapat empat pilar
menyelesaikan suatu masalah dengan cara falsafah hidup utama yaitu: Kejujuran,
mufakat, sehingga segala sesuatunya dapat kesetaraan, kebersamaan dan menjunjung
mencapai kesepakatan bersama). tinggi Hukum adat dan Hukum nasional
e. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat dengan menjunjung tinggi prinsip hidup
Indonesia “Belom Bahadat” (artinya hidup bertata
krama dan beradab) dan “Belom Penyang
Sila ke-lima mengajak masyarakat untuk Hinje Simpei” (hidup dalam kedamaian,
aktif dalam memberikan sumbangan yang kebersamaan, kesetaraan, keharmonisan,
wajar sesuai dengan kemampuan dan toleransi, menjunjung tinggi hukum dan kerja
kedudukannya masing-masing kepada negara sama untuk meraih kesejahteraan bersama).
demi terwujudnya kesejahteraan umum, yaitu Falsafah Huma Betang yang merupakan pilar
kesejahteraan lahir dan batin yang dapat kehidupan masyarakat Dayak kalimantan
dirasakan oleh seluruh warga negara Tengah berkaitan erat dan sesuai dengan
Indonesia. Sila ini mengandung nilai keadilan falsafah Pancasila yang merupakan ideologi
dan kebersamaan yang mencerminkan bangsa Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika.
keluhuran budaya bangsa. Contohnya: Interkoneksi nilai-nilai Huma Betang dengan
1) Suka bekerja keras. falsafah Pancasila meliputi nilai untuk hidup
saling tolong menolong, rukun, saling
2) Menghormati hak orang lain. menjaga keamanan dan pertahanan, serta
3) Menjaga keseimbangan antara hak dan saling menghargai dan memberi kebebasan
kewajiban. beragama dalam konteks kehidupan
berbangsa dan bernegara.
4) Sesuai dengan motto Kalimantan Tengah
yaitu Isen Mulang dan landasan hidup Daftar Pustaka
Belom Bahadat. 1. Abu Bakar HM. Huma betang dan
Semangat Isen Mulang budaya Belom Aktualisasi Nilai Kearifan Lokal dalam
Bahadat yang tertanam pada masyarakat Budaya Dayak. Jurnal Humanika 1, 2016.
Kalimantan Tengah merupakan bentuk 2. Amin Abdullah dkk. Islamic Studies dalam
interkoneksi nilai-nilai Huma Betang Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Sebuah
Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah Antologi). Yogyakarta: SUKA Press, 2007.
dengan falsafah pancasila yang merupakan 3. Andriani S. Kusni dkk. Dimana Bumi
ideologi bangsa Indonesia dalam memadukan Dipijak Disana Langit Dibangun. Malang:
kebersamaan di balik perbedaan yang Bayu Media, 2011.
multikultural di Kalimantan Tengah. Dengan
4. Epep Tuah Rawai. 69 Tahun (Tokoh
konektivitas tersebut dapat dikatakan bahwa Masyarakat Adat Dayak/Mantan Damang
falsafah Huma Betang merupakan miniatur Kecamatan Bukit Batu). Palangka Raya:

ISSN: 1829-8257; E ISSN: 2540-8232 Ibnu Elmi AS Pelu.al (Nilai-Nilai Huma betang )
126 Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Vol. 14, No. 02, Desember 2018, p. 119-126

Epep Tuah Rawai, Hukum Adat Dayak 11. Nila Riwut. Maneser Panatau Tatu Hiang
Kedamangan Kecamatan Bukit Batu Kota (Menyelami Kekayaan Leluhur). Palangka
Palangka Raya Kalimantan Tengah, 2015. Raya: Pustaka Lima, 2003.
5. Farada. Budayawan Kalimantan Tengah. 12. Riswanto D, Mappiare-AT A, Irtadji M.
2015. Kompetensi Multikultural Konselor Pada
Kebudayaan Suku Dayak Kalimantan
6. Gita Anggraini. Internalisasi Nilai-Nilai
Tengah. Jomsign: Journal of Multicultural
Pendidikan. At-Turats Jurnal Pendidikan
Studies in Guidance and Counseling 1: 215–
Pemikiran Islam 10, 2016.
226, 2017.
7. Hans Kelsen. Teori Konstitusi. Bandung:
13. Satjipto Rahardjo. Penegakan Hukum
Yapemdo, 2010.
Progresif. Jakarta: Kompas Gramedia
8. Lambertus Elbar. Struktur Bahasa Sangen. Nusantara, 2010.
Jakarta: Pusat Pengembangan Bahasa
14. Tjilik Riwut. Kalimantan Membangun Alam
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
dan Kebudayaan. Yogyakarta: NR
1986.
Publishing, 2007.
9. M. Norsanie Darlan. Pembangunan Daerah
15. Usop TB. Kearifan Lokal dalam Arsitektur
Berbasis Kearifan Lokal (Huma betang ).
Kalimantan Tengah Yang
Aquarius Hotel Palangka Raya: M. Norsanie
Berkesinambungan. 6: 8, 2011.
Darlan. Pembangunan Daerah Seminar
Nasional yang disenggarakan Majelis 15. Yosia Nugrahaningsih. Proses Komunikasi
Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI) bekerja Masyarakat Dayak Ngaju Dalam Rangka
sama dengan Universitas Muhammadiyah Melestarikan Nilai-Nilai Hidup Huma betang
Palangka Raya (UMP), 2012. Studi di lingkungan masyarakat Dayak Ngaju
di Desa Buntoi KaliPascasarjana Program
10. Maresty E, Zamroni Z. Analisis nilai-nilai
Studi Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas
budaya Huma Betang dalam pembinaan
Maret: 2013.
persatuan kesatuan bangsa siswa SMA di
Kalimantan Tengah. Harmoni Sosial: Jurnal
Pendidikan IPS 4: 67–79, 2017.

Ibnu Elmi AS Pelu.al (Nilai-Nilai Huma betang ) ISSN: 1829-8257; E ISSN: 2540-8232
PENDIDIKAN PANCASILA

A. Dasar Pendidikan Pancasila


1. Dasar Filosofis

Ketika Republik Indonesia diproklamasikan pasca Perang Dunia kedua, dunia


dicekam oleh pertentangan ideologi kapitalisme dengan ideologi komunisme.
Kapitalisme berakar pada faham individualisme yang menjunjung tinggi kebebasan dan
hak-hak individu; sementara komunisme berakar pada faham sosialisme atau
kolektivisme yang lebih mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan
individual. Kedua aliran ideologi ini melahirkan sistem kenegaraan yang berbeda. Faham
individualisme melahirkan negara-negara kapitalis yang mendewakan kebebasan
(liberalisme) setiap warga, sehingga menimbulkan perilaku dengan superioritas individu,
kebebasan berkreasi dan berproduksi untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal.
Sementara faham kolektivisme melahirkan negara-negara komunis yang otoriter dengan
tujuan untuk melindungi kepentingan rakyat banyak dari eksploitasi segelintir warga
pemilik kapital.
Pertentangan ideologi ini telah menimbulkan ‘perang dingin’ yang dampaknya
terasa di seluruh dunia. Namun para pendiri negara Republik Indonesia mampu
melepaskan diri dari tarikan-tarikan dua kutub ideologi dunia tersebut, dengan
merumuskan pandangan dasar (philosophische grondslag) pada sebuah konsep filosofis
yang bernama Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila bahkan bisa
berperan sebagai penjaga keseimbangan (margin of appreciation) antara dua ideologi
dunia yang bertentangan, karena dalam ideologi Pancasila hak-hak individu dan
masyarakat diakui secara proporsional.

Rumusan tentang Pancasila tidak muncul dari sekedar pikiran logis-rasional,


tetapi digali dari akar budaya masyarakat bangsa Indonesia sendiri. Maka Bung Karno
hanya mengaku diri sebagai penggali Pancasila, karena nilai-nilai yang dirumuskan dalam
Pancasila itu diambil dari nilai-nilai yang sejak lama hadir dalam masyarakat Nusantara.
Oleh karena itulah Pancasila disebut mengandung nilai-nilai dasar filsafat (philosophische
grondslag), merupakan jiwa bangsa (volksgeist) atau jati diri bangsa (innerself of nation),
dan menjadi cara hidup (way of life) bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Dengan
demikian nilai-nilai dalam Pancasila merupakan karakter bangsa, yang menjadikan
bangsa Indonesia berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Pendidikan Pancasila perlu karena
dengan cara itulah karakter bangsa dapat lestari, terpelihara dari ancaman gelombang
globalisasi yang semakin besar.
2. Dasar Sosiologis

Bangsa Indonesia yang penuh kebhinekaan terdiri atas lebih dari 300 suku bangsa
yang tersebar di lebih dari 17.000 pulau, secara sosiologis telah mempraktikan Pancasila
karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan kenyataan-kenyataan
(materil, formal, dan fungsional) yang ada dalam masyarakat Indonesia. Kenyataan
objektif ini menjadikan Pancasila sebagai dasar yang mengikat setiap warga bangsa untuk
taat pada nilai-nilai instrumental yang berupa norma atau hukum tertulis (peraturan
perundang-undangan, yurisprudensi, dan traktat) maupun yang tidak tertulis seperti adat
istiadat, kesepakatan atau kesepahaman, dan konvensi.

Kebhinekaan atau pluralitas masyarakat bangsa Indonesia yang tinggi, dimana


agama, ras, etnik, bahasa, tradisi-budaya penuh perbedaan, menyebabkan ideologi
Pancasila bisa diterima sebagai ideologi pemersatu. Data sejarah menunjukan bahwa
setiap kali ada upaya perpecahan atau pemberontakan oleh beberapa kelompok
masyarakat, maka nilai-nilai Pancasilalah yang dikedepankan sebagai solusi untuk
menyatukan kembali. Begitu kuat dan ‘ajaibnya’ kedudukan Pancasila sebagai kekuatan
pemersatu, maka kegagalan upaya pemberontakan yang terakhir (G30S/PKI) pada 1
Oktober 1965 untuk seterusnya hari tersebut dijadikan sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

Bangsa Indonesia yang plural secara sosiologis membutuhkan ideologi pemersatu


Pancasila. Oleh karena itu nilai-nilai Pancasila perlu dilestarikan dari generasi ke generasi
untuk menjaga keutuhan masyarakat bangsa. Pelestarian nilai-nilai Pancasila dilakukan
khususnya lewat proses pendidikan formal, karena lewat pendidikan berbagai butir nilai
Pancasila tersebut dapat disemaikan dan dikembangkan secara terencana dan terpadu.
3. Dasar Yuridis

Pancasila sebagai norma dasar negara dan dasar negara Republik Indonesia yang
berlaku adalah Pancasila yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (Pembukaan UUD NRI Tahun 1945) junctis Keputusan
Presiden RI Nomor 150 Tahun 1959 mengenai Dekrit Presiden RI/Panglima Tertinggi
Angkatan Perang Tentang Kembali Kepada Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Naskah Pembukaan UUD NRI 1945 yang berlaku adalah
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang disahkan/ditetapkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945. Sila-sila Pancasila yang
tertuang dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 secara filosofis-sosiologis
berkedudukan sebagai Norma Dasar Indonesia dan dalam konteks politis-yuridis
sebagai Dasar Negara Indonesia. Konsekuensi dari Pancasila tercantum dalam
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, secara yuridis konstitusional mempunyai kekuatan
hukum yang sah, kekuatan hukum berlaku, dan kekuatan hukum mengikat.

Nilai-nilai Pancasila dari segi implementasi terdiri atas nilai dasar, nilai
instrumental, dan nilai praksis. Nilai dasar terdiri atas nilai Ketuhanan Yang Maha Esa,
nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan nilai
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai dasar ini terdapat pada Pembukaan
UUD NRI Tahun 1945, dan Penjelasan UUD NRI Tahun 1945 mengamanatkan bahwa
nilai dasar tersebut harus dijabarkan konkret dalam Batang Tubuh UUD NRI Tahun 1945,
bahkan pada semua peraturan perundang-undangan pelaksanaannya.
Peraturan perundang-undangan ke tingkat yang lebih rendah pada esensinya
adalah merupakan pelaksanaan dari nilai dasar Pancasila yang terdapat pada Pembukaan
dan batang tubuh UUD NRI Tahun 1945, sehingga perangkat peraturan perundang-
undangan tersebut dikenal sebagai nilai instrumental Pancasila. Jadi nilai instrumental
harus merupakan penjelasan dari nilai dasar; dengan kata lain, semua perangkat
perundang-undangan haruslah merupakan penjabaran dari nilai-nilai dasar Pancasila
yang terdapat pada Pembukaan dan batang tubuh UUD NRI Tahun 1945.

Para penyusun peraturan perundang-undangan (legal drafter) di lembaga- lembaga


legislatif, eksekutif, dan yudikatif dari tingkat pusat hingga daerah adalah orang- orang
yang bertugas melaksanakan penjabaran nilai dasar Pancasila menjadi nilai-nilai
instrumental. Mereka ini, dengan sendirinya, harus mempunyai pengetahuan, pengertian
dan pemahaman, penghayatan, komitmen, dan pola pengamalan yang baik terhadap
kandungan nilai-nilai Pancasila. Sebab jika tidak, mereka akan melahirkan nilai-nilai
instrumental yang menyesatkan rakyat dari nilai dasar Pancasila.

Jika seluruh warga bangsa taat asas pada nilai-nilai instrumental, taat pada semua
peraturan perundang-undangan yang betul-betul merupakan penjabaran dari nilai dasar
Pancasila, maka sesungguhnya nilai praksis Pancasila telah wujud pada implementasi
setiap warga. Pemahaman perspektif hukum seperti ini sangat strategis disemaikan pada
semua warga negara sesuai dengan usia dan tingkat pendidikannya, termasuk pada para
penyusun peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu menjadi suatu kewajaran,
bahkan keharusan, jika Pancasila disebarluaskan secara massif antara lain melalui
pendidikan, baik pendidikan formal maupun nonformal.

Penyelenggaraan pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi lebih penting lagi


karena Perguruan Tinggi sebagai agen perubahan yang melahirkan intelektual-intelektual
muda yang kelak menjadi tenaga inti pembangunan dan pemegang estafet kepemimpinan
bangsa dalam setiap strata lembaga dan badan-badan negara, lembaga- lembaga daerah,
lembaga-lembaga infrastruktur politik dan sosial kemasyarakatan, lembaga-lembaga
bisnis, dan lainnya.

B. Tujuan Penyelenggaraan
Dengan penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, diharapkan
dapat tercipta wahana pembelajaran bagi para mahasiswa untuk secara akademik
mengkaji, menganalisis, dan memecahkan masalah-masalah pembangunan bangsa dan
negara dalam perspektif nilai-nilai dasar Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara
Republik Indonesia.

Pendidikan Pancasila sebagai bagian dari pendidikan Nasional bertujuan untuk


mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional. Sistem pendidikan nasional yang ada
merupakan rangkaian konsep, program, tata cara, dan usaha untuk mewujudkan tujuan
nasional yang diamanatkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa. Jadi tujuan penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di Perguruan
Tinggi pun merupakan bagian dari upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara
spesifik tujuan penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi adalah untuk:
1. Memperkuat Pancasila sebagai dasar falsafah negara dan ideologi bangsa melalui
revitalisasi nilai-nilai dasar Pancasila sebagai norma dasar kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Memberikan pemahaman dan penghayatan atas jiwa dan nilai-nilai dasar Pancasila
kepada mahasiswa sebagai warga negara Republik Indonesia, serta membimbing
untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
3. Mempersiapkan mahasiswa agar mampu menganalisis dan mencari solusi terhadap
berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui
sistem pemikiran yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI Tahun
1945.
4. Membentuk sikap mental mahasiswa yang mampu mengapresiasi nilai-
nilai ketuhanan, kemanusiaan, kecintaan pada tanah air dan kesatuan bangsa, serta
penguatan masyarakat madani yang demokratis, berkeadilan, dan bermartabat
berlandaskan Pancasila, untuk mampu berinteraksi dengan dinamika internal dan
eksternal masyarakat bangsa Indonesia.

C. Capaian Pembelajaran

1. Memiliki kemampuan analisis, berfikir rasional, bersikap kritis dalam


menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
2. Memiliki kemampuan dan tanggung jawab intelektual dalam mengenali
masalah- masalah dan memberi solusi berdasarkan nilai-nilai Pancasila
3. Mampu menjelaskan dasar-dasar kebenaran bahwa Pancasila adalah ideologi yang
sesuai bagi bangsa Indonesia yang majemuk (Bhinneka Tunggal Ika).
4. Mampu mengimplementasikan dan melestarikan nilai-nilai Pancasila dalam
realitas kehidupan
5. Memiliki karakter ilmuwan dan profesional Pancasilais yang memiliki komitmen
atas kelangsungan hidup dan kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
MODUL 2.

KESEJARAHAN PANCASILA (PRA KEMERDEKAAN)

PERTEMUAN (1 KALI TATAP MUKA) TUJUAN PERTEMUAN:

Mahasiswa mampu memahami kesejarahan Pancasila yang meliputi; (1) kajian sejarah
Pancasila pada beberapa fase secara komprehensif. (2) analisis objektif tentang kebenaran
sejarah Pancasila yang utuh. (3) bertanggungjawab atas keputusan yang diambil dari
pengambilan kajian Pancasila yang dipandang benar berdasarkan hasil kajian yang
dilakukan secara kolektif-etis.

INDIKATOR:

1. Mempunyai pemahaman komprehensif atau utuh mengenai sejarah Pancasila


dalam 4 era beserta problem-problem yang mengitarinya
2. Mempunyai kemampuan memilah sejarah Pancasila yang obyektif, terutama
terkait dengan tafsir pancasila dalam setiap periode kekuasaan.
3. Bertangungjawab secara akademik-moral atas kajian sejarah Pancasila yang
bersifat komprehensif.
4. Mampu mengimplementasikan pemahaman sejarah pancasila tersebut untuk
terciptanya pemikiran kritis, konstruktif, dan inklusif atas makna Pancasila untuk
kemajuan bangsa indonesia menghadapi tantangan-tantangan zaman kini.

SKENARIO (PELAKSANAAN PEMBELAJARAN):

1. Pada pertemuan pertama ini Dosen memberikan ceramah kepada mahasiswa.


2. Setelah ceramah, dosen membagi mahasiwa menjadi tujuh kelompok.
3. Setiap kelompok diberi tugas menganalisis embrio nilai-nilai pancasila yang ada
dalam zaman kerajaan Nusantara.
4. Setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompok.

1
5. Dosen menyampaikan klarifikasi atas hasil diskusi berdasarkan materi
pembelajaran dan menguraikan dasar negara Pancasila yang menjadi kesepakatan
bersama seluruh bangsa Indonesia.

BAHAN BACAAN:

Ali, A.,S. 2009. Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Jakarta: Pustaka
LP3ES.

Bahar, S. 1995. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan


Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat Negara Republik
Indonesia.

Darmodihardjo, D. 1978. Orientasi Singkat Pancasila. Jakarta : PT. Gita Karya.

Darmodihardjo, D. dkk. 1991. Santiaji Pancasila Edisi Revisi. Surabaya: Usaha Nasional.

Fauzi, A. 1983. Pancasila Ditinjau Dari Segi Yuridis Konstitusional dan Segi Filosofis.
Malang: Lembaga Penerbitan UB.

Kaelan. 2000. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Latif, Y. 2002. Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila.


Jakarta: Gramedia Pustaka.

Latif, Y. 2013. “Soekarno Sebagai Penggali Pancasila”, dalam Prisma Edisi Khusus
Soekarno, Membongkar Sisi-sisi Hidup Putera Sang Fajar, Volume 32, No.2 &
No.3, 2013, Jakarta, LP3ES.

Lay, C. 2013. “Pancasila, Soekarno, dan Orde Baru”, dalam Prisma Edisi Khusus
Soekarno, Membongkar Sisi-sisi Hidup Putera Sang Fajar, Volume 32, No.2 &
No.3, 2013, Jakarta, LP3ES.

Nurdin, E., S. 2012. “Pancasila Dalam Kajian Sejarah Bangsa Indonesia”. dalam E-
Materi Pendidikan Pancasila, Dikti dan UGM.

2
Setiardja, A., G. 1994. Filsafat Pancasila Bagian II: Moral Pancasila. Semarang:
Universitas Diponegoro.

Siswanto, J. 2015. Pancasila (Refleksi Komperehensif Hal-Ikhwal Pancaila).


Yogyakarta: Ladang Kata.

Soekarno. 1984. Pancasila Sebagai Dasar Negara, Jakarta, Inti Idayu Press dan Yayasan
Pendidikan Soekarno.

Suhadi. 2001. Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Yayasan


Pembinaan Fakultas Filsafat UGM.

Suwarno. 1993. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Wilson. 2013. “Soekarno, Staatspartij, dan Demokrasi Terpimpin”, dalam Prisma


Edisi Khusus Soekarno, Membongkar Sisi-sisi Hidup Putera Sang Fajar, Volume
32, No.2 & No.3, 2013, Jakarta, LP3ES.

MEDIA/BAHAN PEMBELAJARAN

a. Power point
b. Buku bacaan penunjang

MATERI AJAR:

KESEJARAHAN PANCASILA (SEBELUM KEMERDEKAAN)

A. PENDAHULUAN

Dalam perkuliahan ini Anda akan mempelajari sejarah, dinamika, dan


perkembangan pancasila pada lintasan kesejarahan bangsa Indonesia. Anda akan melihat
bahwa pancasila merupakan buah karya para pendiri bangsa mewujudkan dasar dan
pandangan hidup masyarakat Indonesia merdeka. Selain itu, akan terlihat pula
bagaimana pancasila dikonstruksi di dalam sejarah perkembangan bangsa, mulai dari
proses merumuskan pancasila, penggalian, hingga dikristalkan, dan kemudian

3
diinterpretasikan kembali guna mewadahi kebutuhan dan kepentingan setiap elemen
bangsa Indonesia untuk menentukan identitas dirinya secara terus-menerus. Tujuan akhir
perkuliahan ini adalah memberi pengetahuan kepada Mahasiswa ketika mempelajari
sejarah terbentuknya pancasila sebagai pandangan hidup bangsa beserta tantangan yang
mengirinya, dan dengan itu, diharapkan mampu memberikan pemahaman mendalam dan
terbuka atas ideologi dan identitas bangsa Indonesia, serta dapat menghasilkan pemikiran
serta sumbangan kritis-konstruktif bagi kemajuan bangsa yang terus- menerus dalam
proses “menjadi manusia indonesia”.

Ir. Soekarno, presiden pertama sekaligus pendiri bangsa Indonesia,


menyemboyankan “jas merah”; yakni “jangan sekali-kali melupakan sejarah”.
Maksudnya, baik sebagai individu maupun kelompok sosial masyarakat tertentu, harus
memahami sejarah sebagai pengalaman untuk menentukan cara bagaimana melangkah
dan menyambut masa depan. Ringkasnya masa lalu (sejarah) adalah guru terbaik bagi
masa depan bangsa.

Arus sejarah juga telah memperlihatkan dengan sangat nyata bahwa semua bangsa
memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tidak memilikinya atau jika
konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya
(Soekarno, 1989: 64). Pernyataan Bung Karno tersebut memperjelas bahwa suatu
konsepsi dan cita-cita sebuah bangsa merupakan suatu hal yang tak bisa ditawar lagi, jika
kita sebagai bangsa tidak mau tersuruk dalam dalam lubang kehancuran.

Pancasila, yang secara luas telah diketahui, merupakan buah konsepsi dan cita-cita
para perumus awal berdirinya negeri Indonesia. Pancasila merupakan manifestasi dan
usaha para pendiri bangsa untuk memberi arah dan tujuan berdirinya negara republik
Indonesia. Sebagai bangsa yang berdaulat, rakyat Indonesia berusaha sekuat tenaga
memerdekakan dirinya dari penjajahan asing. Pancasila menjadi dasar instrumen dari
kristalisasi cita-cita dan jawaban kongkrit seluruh pejuang kemerdekaan, bahwa seluruh
rakyat Indonesia benar-benar menginginkan kedaulatan negara yang utuh, dengan tujuan,
arah, dan fondasi filsafati serta pandangan hidup bangsa untuk menyelenggarakan negara
Indonesia secara meyakinkan.

4
Seperti dinyatakan oleh Soekarno, Pancasila tidak diciptakan dan tidak dirumuskan
sama sekali baru oleh para pendiri bangsa, melainkan wujud kristalisasi nilai dan
pandangan hidup bangsa yang telah lama ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia
sendiri selama beratus-ratus tahun. Para pendiri negara ini hanya membantu
mengeksplisitkan khasanah kebijaksanaan bangsa itu menjadi pedoman bangsa untuk
memandu arah dan tujuan bangsa serta melangsungkan kemerdekaan guna memajukan
bangsa Indonesia. Oleh karenanya, perlu dilacak kembali periodesasi sejarah
terbentuknya Pancasila sebagai ideologi bangsa pertama kali muncul hingga dijadikan
dasar dari berdirinys bangsa ini hingga hari ini dengan tujuan mengilhami spirit dan
semangat yang dapat ditangkap pada proses sejarah itu untuk menangkap pesan para
founding fathers kepada generasi penerus berikutnya.

B. POKOK BAHASAN
1. Pancasila Sebagai Kristalisasi Nilai-Nilai Bangsa

John Gardner (1992) menyatakan bahwa tidak ada bangsa yang dapat mencapai
kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang
dipercayainya itu memiliki dimensi moral guna menopang peradaban. Artinya, untuk
mencapai derajat sebuah bangsa besar dibutuhkan bangunan nilai, paradigma, dan cara
berpikir bangsa dalam usahanya membentuk sebuah negara. Inilah yang disebut sebagai
pandangan dunia. Pandangan dunia sebuah bangsa yang didalamnya terdapat nilai-nilai,
cara hidup, tata sosial, dll merupakan cara menafsir dunia dan lingkungannya. Dengan
cara inilah dia berjuang mempertahankan hidup dan membentuk masyarakat sosialnya
menuju tata sosial masyarakat yang diinginkan.

Pendapat Gardner tentang perlunya bangsa memiliki pandangan dunia, atau disebut
sebagai ideologi dapat dikatakan tepat untuk melihat perspektif para pendiri bangsa
Indonesia yang sadar bahwa mendirikan sebuah bangsa perlu pedoman hidup. Mereka
sangat sadar bahwa negara-bangsa yang akan mereka bentuk memerlukan sebuah cita-
cita, arah-tujuan, dan filosofi dasar pembentukannnya.

Pada Sidang Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yakni sebuah


badan bentukan penjajah Jepang yang berjanji akan memberikan kemerdekaan bagi
5
bangsa Indonesia yang pertama (tanggal 29 mei 1945). Dr. Rajiman Wedyodiningrat
selaku ketua lembaga tersebut, meminta kepada para anggota sidang untuk
mengemukakan dasar (negara) Indonesia merdeka. Permintaan itu sungguh sangat
menantang dan sekaligus menimbulkan rangsangan anamnesis yang memutar kembali
ingatan para pendiri bangsa ke belakang. Hal ini juga mendorong para anggota sidang
untuk menggali kekayaan kerohanian, kepribadian, wawasan kebangsaan yang terpendam
lama dalam sejarah bangsa ini (Latif, 2002; 4).

Tantangan ini tentu disambut hangat oleh para anggota sidang. Banyak dari para
anggota sidang telah mencurahkan usahanya untuk menjawab respon ini, yakni dengan
merumuskan cita-cita, dan arah dan tujuan dari terbentuknya negara baru ini. Di antara
tokoh-tokoh tersebut yang menonjol adalah Ir. Soekarno, Dr. Soepomo, dan Muhammad
Yamin.

Dari sekian respon yang diberikan, Ir Soekarno adalah tokoh yang menonjol dalam
menyampaikan pendapatnya terkait bentuk dasar negara yang harus dimiliki “calon
bangsa dan negara Indonesia”. Bung Karno, begitu ia biasa disapa oleh masyarakat, telah
memahami bahwa bangsa yang besar harus ditopang oleh norma- norma, nilai-nilai,
ataupun pandangan dunia yang telah membentuk bangsanya, selaras dengan ungkapan
John Garder. Karena dasar dari sebuah pandangan hidup bangsa adalah falsafah hidup
bangsa itu sendiri, maka mereka harus bisa menyelami alam pikir masyarakatnya
dalam rentetan sejarah kehidupan mereka sebelumnya. Sebuah fondasi sebuah bangsa
tidak boleh diambil dari “luar dirinya” melainkan harus dicari “di dalam” kehidupan
bangsa itu sendiri, meski tetap ada pengaruh nilai-nilai lain yang berada di luar dirinya.
Maka dengan perenungan yang sungguh-sungguh, mendalam, dan atas berkat ilham
Tuhan, Sokarno telah menemukan mutiara nusantara yang sekarang kita kenal dengan
nama Pancasila.

Sebagai bangsa yang mempunyai akar sejarah dan kebudayaan yang sangat panjang,
bangsa Indonesia selalu kaya dengan dengan warisan-warisan kultural maupun bangun
pemikiran masyarakatnya. Pada karakteristik geografis, bangsa Indonesia merupakan
gugus-gugus wilayah yang mewah dengan keanekaragaman hayati dan non-hayati,

6
berbhinneka suku dengan bahasanya, agama, adat-istiadat, kebudayaan, hingga nilai-nilai
luhur sebagai manifestasi cara pandang dunianya.

Yudi Latif (2002: 2-3) berpendapat bahwa wilayah Nusantara/Indonesia adalah


wilayah lautan yang luas sekaligus wilayah daratan subur. Dua aspek inilah yang melekat
pada seluruh wilayah yang didiami bangsa Indonesia. Sebagai “negeri lautan yang
ditaburi oleh pulau-pulau” (archiphilego) ini merupakan istilah yang lebih disukai oleh
Soekarno wilayah Nusantara/Indonesia mempunyai karakter- karakter tertentu: yakni
Nusantara merefleksikan sifat laut. Sifat lautan adalah menyerap dan membersihkan,
menyerap tanpa mengotori lingkungannya. Sedangkan sebagai wilayah daratan (titik
tekannnya adalah pulau-pulau bukan lautnya), karakter wilayah nusantara bersifat
seperti tanah: yakni kesanggupannya untuk menerima dan menumbuhkan.

Dari kedua jenis karakteristik ini, tentu kita bisa sangat mafhum bahwa bangsa
Indonesia selalu ramah saat bersentuhan dengan kebudayaan-kebudayaan asing yang
sewaktu-waktu datang melalui seluruh pejuru negeri. Bangsa-bangsa asing seperti kaum
Hindi, Arab, dan Tionghoa telah lama hilir-mudik untuk berniaga dengan bangsa
Indonesia. Dengan kenyataan tersebut, bangsa Indonesia telah paiwai menjadi bangsa
kosmopolitan dan terbuka dengan kebudayaan lain bahkan sebelum kedatangan para
penjajah kolonial. Selain menyerap kebudayaan-kebudayaan asing, bangsa Indonesia juga
mampu menyaring dan membersihkan unsur-unsur kebudayaan yang tidak sesuai dengan
kondisi lingkungan maupun adab masyarakat. Selain itu dengan wawasan kelautannya,
cakrawala bangsa indonesia menatap jauh ke depan, menaklukkan dan mengarungi lautan
tanpa gentar dan menjadikannya pelaut-pelaut handal. Dari pertemuannya dengan dengan
bangsa-bangsa asing, watak dan karakter bangsa Indonesia menjadi terasah dan
menjadikannya sebagai bangsa peramah yang siap menerima perubahan-perubahan dan
berondongan nilai dan budaya bangsa asing. Ringkasnya wilayah Nusantara seperti
dikatakan oleh Dennys Lombards (1987) adalah merupakan wilayah terjadinya “silang-
budaya” dari berbagai penjuru dunia.

Di sisi lain, karena terdiri dari berbagai daratan (pulau-pulau), wilayah nusantara
memiliki kemapuan dan kesanggupan untuk menerima dan menumbuhkan. Di wilayah
ini apapun budaya dan ideologi masuk, sejauh dapat dicerna dan disesuaikan oleh tata

7
sosial dan tata nilai masyarakatnya, dapat berkembang secara berkelanjutan. Dalam
sebuah etos pertanian yang dipunyai oleh masyarakat pedalaman nilai-nilai gotong
royong, religiusitas (ketuhanan) tumbuh subur dan menguntungkan mereka dalam rangka
menggarap lahan garapan pertaniannya. Sensivitas kebersamaan dan nilai-nilai ketuhanan
ini telah mendorong dan menjadikan wilayah nusantara sebagai tempat penyemaian dan
penyerbukan berbagai berbagai corak kebudayaan yang lebih beragam dibanding
dengan kawasan asia manapun (Oppenheimer 2010, dalam Latif 2002: 3).

Dengan corak karakteristik pulau maupun lautan yang dipunyainya, bangsa


Indonesia telah mewariskan nilai-nilai, pandangan-pandangan, dan filsafat hidup, yang
dikemudian hari akan digali oleh para pendiri bangsa ini, dan kemudian dirumuskan
menjadi asas-asas serta dasar-dasar berdirinya negara ini. Berangkat dari konsepsi di
tersebut, Pancasila adalah sistem nilai dan pandangan hidup yang terpendam dan hadir di
dalam sanubari bangsa Indonesia. Pancasila dalam pengertian definitifnya merupakan
saripati nilai-nilai bangsa Indonesia yang telah dihayati dan terkristalisasi dalam
perikehidupan seluruh bangsa Indonesia. Para Founding Father hanya menggali dan
secara eksplisit merumuskan dalam lima dasar dan dituangkan ke dalam sila-sila
Pancasila tersebut.

2. Periodesasi Sejarah Pancasila

Istilah periodesasi dapat diartikan sebagai rentetan atau urutan waktu kesejarahan yang
membentuk sebuah peristiwa dan alasan mengapa peristiwa itu terjadi. Pemikiran tentang
pancasila juga mengalami lintasan waktu yang terbagi menjadi beberapa fase dan masih
menggejala hingga saat ini. Ada dua konsep pokok periodesasi pemikiran pancasila yang
akan digunakan sebagai pendekatan. Berkaitan dengan hal tersebut, kita akan membagi
menjadi dua fase besar periodesasi pemikiran tentang pancasila. Pertama, fase pemikiran
pancasila sebelum kemerdekaan (zaman purbakala pra sejarah, hingga kolonialisme) dan
kedua, fase pemikiran pancasila menjelang dan sesudah kemerdekaan. Dengan membagi
dua periodesasi pemikiran pancasila tersebut diharapkan mampu mempermudah kita
untuk menangkap spirit yang bisa ditangkap dari kesejarahan pancasila.

8
3. Zaman Purbakala dan Kerajaan-Kerajaan Nusantara

Sebagai kristalisasi nilai-nilai dan pandangan hidup, tentu benih-benih pancasila


telah ada dan hidup dalam alam pikiran dan tindakan bangsa ini beratus- ratus tahun
lamanya sebelum bangsa ini mendeklarasikan kemerdekannnya.

a. Pada zaman Purbakala, menurut Yudi Latif (2002: 57), sejak zaman purbakala
hingga pintu gerbang (kemerdekaan) negara Indonesia, masyakarat Nusantara
telah melewati ribuan tahun pengaruh agama- agama lokal, (sekitar) 14 abad
pengaruh Hinduisme dan Budhisme, (sekitar) 7 abad pengaruh Islam, dan
(sekitar) 4 abad pengaruh Kristen. Sebelum pengaruh agama-agama datang,
masyarakat Indonesia telah bersikap religius-spiritual yang kita kenal dengan
penganut animisme dan dinamisme. Animisme dan dinamisme merupakan budaya
religius pertama bangsa Indonesia.
Pada lintasan sejarah ini, Tuhan telah menyejarah dalam ruang publik
Nusantara. Agama (dapat kita artikan konsep religiusitas) memiliki peran
sentral dalam pendefinisian insititusi-institusi sosial. Penguasa menghormati
otoritas kegamaan sebagai bagian dari ketundukannya kepada Tuhan (Latif,
2002: 58-59). Berdasarkan kesejarahan purba tadi, nyata bahwa bangsa Indonesia
sudah memiliki nilai spiritualitas yang tinggi dan itulah alasan bangsa Indonesia
tidak bisa lepas dari hal-hal religius dan hal inilah yang menjiwai perilaku
humanity hingga pembentukan masyarakat.
b. Pada zaman Kerajan Kutai Kartanegara, kita telah mengenal dan menemukan
nilai-nilai,seperti nilai sosial politik, dan Ketuhanan dalam bentuk kerajaan,
kenduri dan sedekah kepada para Brahmana. Hal ini terkait dengan nilai-
nilai integrasi sosial, kebersamaan, serta nilai ketuhanan (Kaelan, 2000: 29).
c. Perkembangan sosial pada Kerajaan Sriwijaya juga telah mengenalkan nilai-nilai
maupun pandangan-pandangan tentang dasar kesatuan, yakni kerajaan. Nilai-nilai
ini mengeksplisitkan serta memberi bahan-bahan material terhadap nilai-nilai
Pancasila, seperti nilai persatuan yang tidak terpisahkan dengan nilai ke-Tuhanan.
Dalam nilai ini, raja dianggap merupakan pusat kekuasaan dan kekuatan religius

9
yang berusaha mempertahankan kewibawaannya terhadap para datu (raja-raja
kecil). Selain itu selama kekuasaan Sriwijaya, nilai-nilai kemasyarakatan dan
ekonomi juga telah mengemuka dan terjalin satu sama lain dengan nilai
internasionalisme dalam bentuk hubungan dagang yang terentang dari pedalaman
sampai ke negeri-negeri seberang lautan pelabuhan kerajaan dan Selat Malaka
yang diamankan oleh para nomad laut yang menjadi bagian dari birokrasi
pemerintahan Sriwijaya. (Suwarno, 1993: 20-21).
d. Pada masa Kerajaan Majapahit, kita mengenal sumpah palapa patih Gajah Mada:
Tidak akan berhenti bekerja, sebelum nusantara bersatu. Di bawah pemerintahan
raja Prabhu Hayam Wuruk, Gajah Mada telah berhasil mengintegrasikan
nusantara. Semboyan dan Istilah-istilah seperti Bhinneka Tunggal Ika, Nusantara,
Pancasila sudah ada pada periode ini. Tiga istilah ini konon telah terdapat dan
termuat dalam kakawin Nagarakertagama karangan empu Prapanca dan buku
Sutasoma karangan Empu Tantular, meski dengan pengertian dan pemaknaan
sedikit berbeda. Sebagai contoh, dalam buku tersebut istilah Pancasila di samping
mempunyai arti “berbatu sendi yang lima” (dalam bahasa Sansekerta), juga
mempunyai arti “pelaksanaan kesusilaan yang lima” (Pancasila Krama), yaitu:
1) Tidak boleh melakukan kekerasan
2) Tidak boleh mencuri
3) Tidak boleh berjiwa dengki
4) Tidak boleh berbohong
5) Tidak boleh mabuk minuman keras (Darmodihardjo, 1978: 6).

Atau Semboyan Bangsa kita Bhinneka Tunggal Ika sebenarnya juga telah ada di
kitab Negara Kartagama yang berbunyi Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma
Mangrua yang berarti “meskipun agama-agama itu kelihatan berbeda bentuk
namun pada hakekatnya satu jua” (Fauzi, 1983: 17) . Dari zaman Majapahit ini
kita telah bisa memetik nilai-nilai seperti persatuan dalam keberbedaan. Dengan
wilayah yang sangat luas, yakni seluruh wilayah nusantara, Majapahit telah
memberi ilham persatuan nusantara menjadi persatuan Indoesia. Ia juga telah
memberi contoh bagaimana indonesia mengusahakan keadilan sosial bagi
masyarakat, yakni menuju keadaan negara berdaulat, bersatu dan berwilayah

10
Nusantara, mencapai kehidupan yang “gemah ripah loh jinawi, tata tentrem, kerta
raharja”. (Darmodihardjo dkk, 1991: 21).

e. Pada Masa Kerajaan Kerajaan Islam, Islam sebagai agama baru, telah mulai
dipeluk oleh banyak Kerajaan-kerajaan di Nusantara. Tentu agama baru ini telah
banyak memberi sumbangsih bagi terbentuknya pandangan dunia baru bagi
masyarakat Nusantara. Dengan karakter egaliter, yakni menampik stratifikasi
kasta di masa lalu, Islam telah memberi daya dorong terbentuknya masyarakat
religius baru dengan penekanan pada nilai-nilai kesamaan yang merupakan hak
yang melekat pada diri manusia. Konsep kesatuan ummah, juga telah
menyorongkan konsep baru bernama persatuan. Dengan kesamaan identitas
agama mereka, kerajaan-kerajaan di nusantara seperti Kerajaan Samudera Pasai
di Sumatera, Kesultanan Islam Aceh, Kerjaaan Demak, Kerajaan Pajang,
Kesultanan Mataram, Kerajaan Banten, Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan,
Kerajaan Jailolo, dan Kerajaan Goa Makasar, serta lainnya semakin intensif
untuk menjalin kerjasama mereka dalam mengusir penjajah Belanda yang telah
merebut hak kekuasaan sosial, teritori, ekonomi, maupun politik di wilayah
masing- masing.
Selain telah mengajarkan dan memperkaya paham keyakinan dan kepercayaan
akan adanya Tuhan yang maha esa, yakni sebuah identitas sebagai bangsa yang
religius (Fauzi 1983: 22), Islam seperti dipeluk oleh berbagai kerajaan - kerajaan
tersebut telah menjadi bibit persemaian persatuan Indonesia di nusantara ini dan
juga menjadi daya dorong perlawanan yang gigih dari bangsa Indonesia melawan
penjajah.

4. Zaman Pergerakan Nasional

Sejak kolonialisme menjangkarkan kuasanya di bumi Nusantara, Khususnya pada


masa VOC dan Pemerintah Hindia Belanda, bangsa Indonesia mulai sedikit- demi sedikit
menyemai kesadaran nasionalnya: yakni bersatu secara bersama-sama untuk mengusir
penjajahan yang menguasai mereka berabad-abad lamanya. Pada masa-masa kerajaan-
kerajaan masih berkuasa, penjajah Belanda (VOC) berusaha menggerogoti otoritas

11
kekuasaan politik, dominasi ekonomi, maupun teritori wilayah politiknya. Sehingga
sangat wajar jika perlawanan kerajaan-kerajaaan ini terhadap kolonialisme bersifat
parsial, yakni untuk mempertahankan dan mengembalikan dominasi, kontrol, dan
kekuasaan sesuai wilayahnya masing-masing. Perlawanan raja-raja maupun pejuang-
pejuang lokal ini bersifat parsial dan terpecah-pecah berdasar wilayah mereka masing-
masing.

Namun begitu sejak VOC dan Pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan
kebijakan-kebijakan mengurangi perlawanan pemerintah Belanda secara frontal, maka
belanda mulai memikirkan Kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan taraf kehidupan
ekonomi, budaya, dan pendidikan, melaui pendirian sekolah-sekolah, kebijakan politik
etis, pembentukan dewan rakyat (volkraad), dll. Namun semangat menjinakkan bangsa
terjajah ini justru nanti akan menjadi senjata ampuh untuk penyebaran gagasan anti-
imperialisme, nasionalisme, persatuan, dan gelora mengusir tuannya sendiri (penjajah
Belanda). Persemaian ide-ide modern inilah yang dimanfaatkan baik oleh para pendiri
bangsa untuk menciptakan sebuah negara baru bernama: Indonesia.

Pemuda-pemuda paling terpelajar bangsa Indonesia yang bersekolah di Belanda,


misalnya, sudah sejak tahun 1924 telah menyemai semangat nasionalisme mereka dengan
membentuk Perhimpunan Indonesia (PI). Mereka memberanikan diri untuk secara tegas
mencita-citakan Indonesia Meredeka. Tujuan kemerdekaan politik haruslah didasarkan
pada empat prinsip: persatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi, dan kemandirian (self-
help). Mereka yang datang dari latar suku, bahasa, daerah-daerah yang berbeda telah
berani untuk bertekad bulat bersama untuk cita- cita indonesia merdeka, dengan
mengenyampingkan semangat kedaerahan mereka. Prinsip-prinsip tidak dimulai dari hal
yang kosong, tanpa ada pijakan sejarah.

Sejatinya, prinsip-prinsip ini adalah kristalisasi dan buah sintesis ideologi yang telah
dirintis oleh kaum-kaum maupun organisasi pergerakan yang telah berdiri sebelumnya.
Indische Partij misalnya menyuarakan tema persatuan nasional, kalangan komunis
menyuarakan platform non-kooperasi, organisasi Sarekat Islam (SI) menyuarakan
kemandirian, dan masih banyak lagi. Efek persebaran ide-ide kebangsaan ini merupakan

12
buah dari pendidikan-pendidikan yang diselenggarakan pemerintah Belanda yang justru
berbalik menyerangnya.

Di tahun itu juga pejuang lain Tan Malaka mulai menyuarakan tulisan Naar de
Republik Indonesia (menuju republik Indonesia merdeka). Meski terlibat dengan
Komunisme Internasional, Tan Malaka sungguh mempunyai kepekaan nasionalisme
bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka. Selain itu,
Tjokroaminoto, sebagai pemeimpin Sarikat Islam (SI) sebuah organisasi masa terbesar
pada zaman itu juga telah mengkonsepsikan sintesis antara Islam, sosialisme, dan
demokrasi. (Latif, 2002: 5-6).

Seperti para sahabatnya di negeri Belanda, Ir. Soekarno bersama para kaum
pergerakan Hindia Belanda juga mempunyai keprihatinan dan prinsip-prinsip ideal yang
sama. Dalam Majalah Indonesia Moeda, sejak dini soekarno telah menulis esai berjudul:
“Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang memimpikan persatuan dan sintesis
ideologi-ideologi besar tersebut demi persatuan dan persenyawaan antar ideologi untuk
menopang konstruksi kemerdekaan dan kebangsaan Indonesia.

Pergulatan ide-ide kebangsaan Indonesia tersebut selanjutnya telah menciptakan


monumen kebangsaan bernama: Sumpah pemuda (28 Oktober 1928). Mereka para
pemuda-pemudi Indonesia menyatakan:

“Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air
Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu,
bangsa Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan,
bahasa Indonesia”.

Visi Sumpah Pemuda adalah menyatukan berbagai elemen kebangsaan dengan


berbagai latar perbedaan menuju kesatuan tanah air dan bangsa dengan menjujung tinggi
bahasa persatuan: bahasa Indonesia. Mereka berusaha untuk menyingkirkan sekat-sekat
etnis-keagamaan yang memungkinkan mereka bertekad untuk bersatu dalam bingkai
kesamaan penderitaan, tumpah darah, bangsa, dan bahasa persatuan (Latif, 2002; 7).

Nilai-nilai, gagasan-gagasan, ide-ide, serta ideologi-ideologi kebangsaan yang


terkulminasi dalam “sumpah Pemuda” tentu merupakan hasil dari pertemuan gagasan

13
dan nilai-nilai modern yang berasal dari tempat lain, dan sekaligus merupakan
rangkaian kontinum dan persambungan nilai-nilai lama yang telah meresap dan
mengendap dalam sanubari para pejuang kemerdekaan kita. Dari persenyawaan inilah
selanjutnya pancasila sebagai dasar negara dan pemersatu bangsa menemukan pijakan
material dari khasanah pandangan dunia bangsa Indonesia.

C. PENUTUP

Modul I ini membahas mengenai kesejarahan Pancasila yang melingkupi ruang


sejarah purbakala hingga zaman pergerakan. Adapun alasan utama membatasi
periodesasi sejarah pada zaman tersebut adalah memberikan insight kepada mahasiswa
bahwa nilai-nilai luhur yang terangkum dalam sila-sila pancasila merupakan manifestasi
kemulyaan leluhur yang sudah mendarah daging. Sehingga, kita mengambil spirit utama
yang tersirat dalam pancasila dan semakin memahami bahwa kebudayaan bangsa
Indonesia sudah cukup mapan untuk dijadikan pandangan hidup. Pembahasan mengenai
sejarah Pancasila dimaknai sebagai pengantar awal untuk memahami proses pembentukan
Pancasila beserta varian pemikiran dan gagasan yang mengitarinya. Modul ini sangat
penting sebagai pijakan dasar dalam memahami Pancasila.

14
MODUL 3
KESEJARAHAN PANCASILA (PASCA KEMERDEKAAN)

PERTEMUAN (1 KALI TATAP MUKA) TUJUAN PERTEMUAN:

Mahasiswa mampu memahami kesejarahan Pancasila yang meliputi; (1) kajian sejarah
Pancasila pada beberapa fase secara komprehensif. (2) analisis objektif tentang
kebenaran sejarah Pancasila yang utuh. (3) bertanggungjawab atas keputusan yang
diambil dari pengambilan kajian Pancasila yang dipandang benar berdasarkan hasil
kajian yang dilakukan secara kolektif-etis.

INDIKATOR:

1. Mempunyai pemahaman komprehensif atau utuh mengenai sejarah Pancasila


dalam 4 era beserta problem-problem yang mengitarinya

2. Mempunyai kemampuan memilah sejarah Pancasila yang obyektif, terutama


terkait dengan tafsir pancasila dalam setiap periode kekuasaan.

3. Bertangungjawab secara akademik-moral atas kajian sejarah Pancasila yang


bersifat komprehensif.

4. Mampu mengimplementasikan pemahaman sejarah pancasila tersebut untuk


terciptanya pemikiran kritis, konstruktif, dan inklusif atas makna Pancasila
untuk kemajuan bangsa indonesia menghadapi tantangan-tantangan zaman
kini.

SKENARIO (PELAKSANAAN PEMBELAJARAN):

1) Pada pertemuan kedua ini Dosen memberikan ceramah pengantar kepada


mahasiswa terkait konsepsi kesejarahan pancasila dari zaman kemerdekaan
hingga pasca reformasi

2) Setelah ceramah, dosen membagi mahasiwa menjadi dua kelompok.


3) Setiap kelompok diberi tugas menganalisis “naskah pidato lahirnya Pancasila”
dan pembukaan Undang-Undang Dasar.

4) Setiap kelompok menganalisis teks pembukaan Undang-Undang Dasar untuk


didiskusikan, kemudian kelompok membentuk sosio-drama pendek untuk
menganalisis suasana kebatinan para pendiri bangsa dalam mencetuskan dasar
negara Pancasila.

5) Setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompok.

6) Dosen menyampaikan klarifikasi atas hasil diskusi berdasarkan materi


pembelajaran dan menguraikan dasar negara Pancasila yang menjadi
kesepakatan bersama seluruh bangsa Indonesia.

BAHAN BACAAN:

Ali, A.,S. 2009. Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Jakarta:


Pustaka LP3ES.

Bahar, S. 1995. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan


Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat Negara Republik
Indonesia.

Darmodihardjo, D. 1978. Orientasi Singkat Pancasila. Jakarta : PT. Gita Karya.

Darmodihardjo, D. dkk. 1991. Santiaji Pancasila Edisi Revisi. Surabaya: Usaha


Nasional.

Fauzi, A. 1983. Pancasila Ditinjau Dari Segi Yuridis Konstitusional dan Segi
Filosofis. Malang: Lembaga Penerbitan UB.

Kaelan. 2000. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Latif, Y. 2002. Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas


Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka.

Latif, Y. 2013. “Soekarno Sebagai Penggali Pancasila”, dalam Prisma Edisi Khusus
Soekarno, Membongkar Sisi-sisi Hidup Putera Sang Fajar, Volume 32, No.2 &
No.3, 2013, Jakarta, LP3ES.
Lay, C. 2013. “Pancasila, Soekarno, dan Orde Baru”, dalam Prisma Edisi Khusus
Soekarno, Membongkar Sisi-sisi Hidup Putera Sang Fajar, Volume 32, No.2 &
No.3, 2013, Jakarta, LP3ES.

Nurdin, E., S. 2012. “Pancasila Dalam Kajian Sejarah Bangsa Indonesia”. dalam E-
Materi Pendidikan Pancasila, Dikti dan UGM.

Setiardja, A., G. 1994. Filsafat Pancasila Bagian II: Moral Pancasila. Semarang:
Universitas Diponegoro.

Siswanto, J. 2015. Pancasila (Refleksi Komperehensif Hal-Ikhwal Pancaila).


Yogyakarta: Ladang Kata.

Soekarno. 1984. Pancasila Sebagai Dasar Negara, Jakarta, Inti Idayu Press dan
Yayasan Pendidikan Soekarno.

Suhadi. 2001. Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Yayasan


Pembinaan Fakultas Filsafat UGM.

Suwarno. 1993. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Wilson. 2013. “Soekarno, Staatspartij, dan Demokrasi Terpimpin”, dalam Prisma


Edisi Khusus Soekarno, Membongkar Sisi-sisi Hidup Putera Sang Fajar,
Volume 32, No.2 & No.3, 2013, Jakarta, LP3ES.

MEDIA/BAHAN PEMBELAJARAN

a. Power point
b. Teks pembukaan Undang-Undang Dasar
c. Naskah Pidato Bung Karno
d. Tongkat estafet
e. Buku bacaan penunjang
f. Buku bacaan penunjang
MATERI AJAR:

KESEJARAHAN PANCASILA (SEBELUM KEMERDEKAAN)

A. PENDAHULUAN

Jika dalam perkuliahan sebelumnya telah dibahas periodesasi pemikiran


pancasila dari zaman purbakala dan zaman kerajaan hingga zaman pergerakan, maka
pada pertemuan kali ini akan dilanjutkan periodesasi tersebut dengan berfokus
pada awal abad ke-20. Pada awal milenia baru ini bangsa Indonesia mulai sadar akan
pentingnya bernegara dengan merdeka.

Pada perkuliahan kali ini Anda akan mempelajari dinamika sejarah


perkembangan Pancasila dalam lintasan akhir kolonialisme di Indonesia, awal
kemerdekaan hingga zaman kontemporer saat ini (pasca reformasi). Pada pelajaran
kali ini kita akan sadar bahwa pancasila terus bergerak dinamis baik dalam makna
maupun implementasi. Mulai dari awal terbentunya negara Indonesia, Pancasila
diletakkan sebagai staat fundamental norm sekaligus grundnorm dalam tata hukum
negara. Seiring beralihnya tampuk pimpinan pemerintahan ke Orde Baru, Pancasila
dipakai sebagai instrumen politik yang (seolah-olah) benar-benar diimplementasikan
secara murni dan konsekuen, namun syarat penyimpangan legitimasi kekuasaan.

Akibatnya, pasca reformasi masyarakat Indonesia tampak enggan melirik


pancasila yang dianggap “berbau Orba” dalam melihat fenomena global yang secara
masif mulai masuk ke Indonesia. Dampak yang ditimbulkan dari lunturnya semangat
berpancasila sangat nyata terkait makin parahnya perilaku moral pemimpin yang kian
korup hingga pendidikan yang semakin tidak punya arah tujuan. Dengan alasan itulah
kini banyak anggota masyarakat mulai merindukan Pancasila sebagai jati diri bangsa.
Oleh sebab itu, dengan melihat kesejarahan pada periodesasi ini kita bisa menangkap
spirit pancasila yang bisa kita pakai untuk mencermati ihwal-ihwal sosial yang nyata
saat ini.

1. Zaman Kemerdekan

Permusan dasar negara Indonesia, Pancasila sebenarnya secara defenitif dimulai


dan dirintis sejak berdirinya BPUPK (Badan Pengawas dan Penyelidik Usaha
Kemerdekaan) pada tanggal 29 April 1945, yakni sebuah lembaga bentukan Jepang.
Seperti banyak ditulis di buku-buku sejarah, pada tanggal 9 Maret 1942 praktis
wilayah Hindia Belanda (Indonesia) telah dikuasai oleh penjajah baru Pemerintah
Militer Dai Nippon alias Pemerintah Militer Jepang. Pada tahun ini, Gubernur
Jenderal Hindia Belanda secara resmi menyerah kepada Jenderal Imamura,
Panglima Balatentara Pemerintah Militer Jepang di Kalijati (Bandung). Pemerintah
Dai Nippon dalam perang Asia Timur Raya (perang Pasifik), kita tahu,
menggabungkan diri dalam front Jerman dibawah Pemerintah Hittler dan Italia di
bawah pimpinan Mussolini, yang bertempur dalam perang Dunia I melawan negara-
negara Eropa yang dipimpin oleh Amerika dan Rusia.

Jepang sebagai pihak yang berseberangan menyerbu dan menyerang dan


berusaha menguasai Indo China, Muangthai, Filiphina, dan Indonesia. Karena berhasil
menguasai wilayah Indonesia, Jepang berusaha menarik simpati pemuda Indonesia
untuk memobilisir tentara untuk mendukung perang untuk kemenangan Asia Timur
Raya. Dengan motif inilah, Jepang memberikan janji kemerdekaan bagi Indonesia
kelak “di masa depan”. Janji ini diucapkan oleh Perdana Menteri Kaiso pada tanggal
7 September 1944. Oleh karena terus menerus terdesak, maka pada tanggal 29 April
1945 Jepang memberikan janji kemerdekaan yang kedua kepada bangsa Indonesia,
yaitu janji kemerdekaan tanpa syarat yang dituangkan dalam Maklumat Gunseikan
(Pembesar Tertinggi Sipil dari Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Madura).

Seturut dengan janji itu, maka dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-Usaha


Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) atau Douritsu Zyunbi Tjoosakai. Tugas badan ini
adalah menyelidiki dan mengumpulkan usul-usul untuk selanjutnya dikemukakan
kepada pemerintah Jepang untuk dapat dipertimbangkan bagi kemerdekaan
Indonesia. Setelah itu akan dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI).

Anggota BPUPK awalnya berjumlah 63 orang, namun kemudian bertambah


menjadi 69 orang. Selain itu di badan ini juga terdiri dua orang anggota wanita yakni
ny. Maria Ulfa Santoso dan R.S.S. Soenarjo Mangoenpoespito. Serta 6 orang
perwakilan orang jepang (Latif, 2002: 9 dan Suhadi 2001: 39). Keanggotaan BPUPKI
ini secara resmi dilantik pada tanggal 28 mei 1945 dengan ketua KRT Radjiman
Widyadiningrat dan dua orang wakil ketua: R.P. Soeroso dan Ichtibangase (jepang).
Sebagai lembaga penyeledik, BPUPKI yang awalnya hanya bertugas menyelediki
kondisi-kondisi yang memungkin kemerdekaan, dan bukan merumuskan dasar-dasar
negara, malah justru sudah bergerak lebih jauh. Berkat kreatifitas dan semangat
menggebu-gebu untuk segera mendeklarasikan Indonesia merdeka, para pendiri
bangsa ini menerobos batas-batas prosedur yang telah digariskan oleh Jepang.

Pada sidang BPUPKI pertama tanggal 29 mei 1945, Dr. Radjiman


Wediodiningrat, selaku ketua, meminta dan sekaligus menantang kepada sidang untuk
mencari dan mengemukakan dasar (negara) Indonesia merdeka. Permintaan tersebut
sungguh telah menimbulkan rangsangan luar biasa pada para anggota sidang untuk
memutar kembali ingatan para pendiri bangsa ke belakang. Hal ini juga mendorong
mereka untuk menggali kekayaan kerohanian, kepribadian dan wawasan kebangsaan
yang terpendam lumpur sejarah (Latif, 2011: 4 dalam Nurdin, 2012). Begitu lamanya
penjajahan di bumi pertiwi menyebabkan bangsa Indonesia hilang arah dalam
menentukan dasar negaranya. Dengan permintaan Dr. Radjiman inilah, figur-figur
negarawan bangsa Indonesia berpikir keras untuk merumuskan usulan bagi Indonesia
Merdeka.

Dalam sidang pertama ini (29 mei 1945-1 Juni 1945), beberapa anggota muncul
menyampaikan gagasannya seputar dasar negara untuk Indonesia merdeka nanti,
mulai dari Muhammad yamin, wiranata koesoema, Soerio, Suranto tirtoprodjo,
Dasaad, Agoes Salim, Andoel Rachiem Pratalykama, Abdul Kadir, K.H. Sanoesi, Ki
Bagus Hadikoesoema, Soepomo, ir. Soekarno, dan Moehammad Hatta. Usul para
anggota sidang ini kebanyakan masih bersifat “serabutan” dan belum dirumuskan
secara sistematis. Dari usul-usul tersebut, Muhammad Yamin salah satu dari sekian
tokoh yang memberikan usul yang lebih terstruktur. Dalam kesempatan itu,
Muhammad Yamin secara lisan mengajukan usul mengenai dasar negara terdiri atas
lima hal, yaitu:

1) Peri Kebangsaan;
2) Peri Kemanusiaan;
3) Peri Ketuhanan;
4) Peri Kerakyatan;
5) Kesejahteraan Rakyat.

Selain itu Muhammad Yamin juga mengajukan usul secara tertulis yang juga
terdiri atas lima hal, yaitu:

1) Ketuhanan Yang Maha Esa


2) Persatuan Indonesia
3) Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
4) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
5) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Perlu dicatat ditekankan lagi bahwa usul lima asas dasar negara yang
dikemukakan oleh muhammad Yamin secara lisan dan yang dikemukakan secara
tertulis terdapat perbedaan, baik perumusan kata-katanya maupun sistematikanya
(Darmodihardjo; 1988: 26). Selain itu, usul yang sedikit lebih sistematis juga
dikemukakan oleh Soepomo. Ia mengemukakan pentingnya prinsip-prinsip:

1) Ketuhanan
2) Kemanusian
3) Persatuan
4) Permusyarawatan
5) Keadilan/kesejahteraan

Dari dua usul Muhammad Yamin dan Soepomo, kategorisasi-kategorisasi


yang dibuat mereka masih banyak menimbulkan kerancuan-kerancuan juga masih
terdapat konsep-konsep yang masih implisit. Misalnya, oleh Yamin
permusaywaratan, perwakilan dan kebijaksanaan, disebut sebagai dasar negara (dasar
yang tiga), sementara kebangsaan dan kemanusiaan, dan kesejahteraan disebut sebagai
asas. Di bagian lain, perwakilan digolongkan sebagai paham, sedangkan
“kerakhmatan” tuhan tidak jelas digolongkan kemana. Selain itu Yamin juga sering
mencampur adukkan antara dasar negara dan bentuk negara. Bahkan yang dimaksud
dengan dasar negara oleh Yamin diartikan “pembelaan negara”. “budi pekerti”,
“daerah negara”, ”pendduduk dan putera negara”, “susunan pemerintahan” dan
“tentang hak tanah”. (Latif; 2002; 11).

Dari usulan-usulan dan gagasan-gasan yang disampaikan oleh anggota- anggota


sidang tentu hal ini memberi masukan penting khususnya bagi Soekarno. Namun
melihat ketidakjelasan kategori, unsur-unsur yang masih serabutan, maka Soekarno
tertantang untuk merumuskan gagasan tentang dasar negara secara sistematis, holistik,
dan koheren. Maka pada tanggal 1 Juni 1945 (pidato lahirnya pancasila) Ir Soekarno
berusaha menjawab permintaan akan dasar negara. Seperti di awal pidatonya ia
mengatakan:

“Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka
itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua yang
mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya yang diminta
oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda: “Philosofische
grond-slag” daripada Indonesia Merdeka. Philosofische grond-slag itulah pundamen,
filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk
di atasnya didirikan gedung Indonesia yang kekal dan abadi”(Soekarno: dalam Bahar,
1995: 63).

Dalam merumuskan filsafat dasar negara ini (Philosofische grond-slag),


seperti diakuinya dikemudian hari, Soekarno pada malam 1 Juni 1945 benar-benar
bertafakkur, menjelajah lapis-lapis lintasan sejarah, menangkap gelora dalam jiwa
rakyat, serta menengadahkan tangan meminta petunjuk kepada Allah swt. Agar
diberi jawaban yang tepat perihal dasar negara bagi Indonesia merdeka (Latif, 2013:
28). Dalam kursus politiknya mengenai Pancasila di kemudian hari, soekarno
mengatakan bahwa untuk mencari dan mengadakan dasar negara Indonesia ada
beberapa hal yang ia gelisahkan dan ia pikirkan.

Akhirnya Soekarno mengatakan: “Ini adalah satu soal yang susah, saudara-
saudara”. Setelah digali sedalam-dalamnya, “Saya gali sampai zaman Hindu dan
zaman pra Hindu...saya lantas gogo sedalam-dalamnya sampai menembus zaman
imperialis, menembus zaman Islam, menembus zaman Hindu, masuk ke dalam zaman
pra Hindu” (Soekarno; 1984; 30-36, lihat juga Latif 2013; 28-29)...total dasar statis
dan leidstar dinamis itu ”berkristalisir dalam lima hal”. Menurut penggaliannya, lima
hal ini yang dianggap sebagai isi jiwa bangsa Indonesia yang relatif mengemuka dalam
timbul-tenggelamnya sejarah (Latif 2002;15).

Lima hal inilah yang diuraikan Soekarno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945
untuk menjawab tantangan atau pemintaan ketua sidang BPUPKI tentang
philosofische grond-slag seperti diungkatan dalam larik-larik pidatonya, yakni:
1. Kebangsaan Indonesia

Yakni sebuah dasar yang “hendak mendirikan sebuah negara, ‘semua buat
semua’. Bukan buat satu orang untuk satu orang, bukan satu golongan, baik golongan
bangsawan maupun golongan kaya, tetapi ‘semua buat semua’”.

2. Perikemanusiaan/internasionalisme

“Kebangsaan yang kita anjurkan bukanlah kebangsaan yang menyendiri, bukan


chauvinisme,...Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia. Kita bukan
saja mendirikan negara indonesia merdeka, tetapi kita harus mendirikan negara
Indonesia merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-
bangsa”

3. Mufakat/Demokrasi

Dasar itu ialah dasar mufakat. kita mendirikan negara "semua buat semua", "satu
buat semua, semua buat satu"... “Saya yakin syarat yang mutlak untuk kuatnya negara
In-donesia ialah permusyawaratan perwakilan. Apa-apa yang belum memuaskan, kita
bicarakan di dalam permusyawaratan”.

4. Kesejahteraan Sosial

“Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi


permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ecomische democratie yang
mampu mendatangkan kesejahteraan sosial... Maka oleh karena itu, jikalau kita
memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita
terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik,
saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan
persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya”.

5. Ketuhanan yang berkebudayaan.

Prinsip yang kelima hendaknya: “Menyusun Indonesia Merdeka dengan


bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa... Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa
Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan
Tuhannya sendiri... Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya
dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya
ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada "egoisme-agama"....bahwa
prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan,
Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati
satu sama lain” (latif; 2010; 15-17, lihat juga Soekarno; 147-154). Ke lima prinsip
ini oleh soekarno ia beri nama “Pancasila”. Seperti dikatakannya:

“Dasar-dasar negara telah saya usulkan. Bilanganya lima. Inikah panca dharma?
Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedangkan
kita membahas dasar...Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan Pancasila.
Sila artinya asas atau dasar, dan di atas ke lima dasar itulah kita mendirikan negara
Indonesia, kekal, dan abadi”. (Soekarno: 1984; 154).

Kenapa soekarno memilih lima? Selain kelima unsur itu telah mengakar kuat
dalam jiwa bangsa Indonesia, ia ternyata sangat menyukai simbolisme angka lima,
seperti rukun Islam ada lima, jari kita setangan ada lima, manusia mempunyai panca
indera, pandawa berjumlah lima dan masih banyak lainnya. Namun lebih lanjut
soekarno menjelaskan bagi mereka yang tidak menyukai angka simbolik lima, angka
tersebut bisa diperas lagi menjadi tiga hal saja atau bahkan menjadi satu saja.

“atau barangkali ada saudara-sudara yang tidak suka dengan bilangan lima?
Saya boleh peras lagi, sehingga tinggal 3 saja...saya namakan socio-
demokrasi...socio-nationalisme...ketuhanan. Tetapi barangkali tidak semua tuan- tuan
senang pada trisula ini dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya
kumpulkan menjadi satu. Apakah yang satu itu? Semua buat semua...yaitu perkataan
gotong royong..” (Soekarno; 1984; 154-155). Jika dirinci, Pancasila (lima sila) oleh
soekarno bisa diperas menjadi tiga (trisula), yaitu:

a. Sosio-nationalism
b. Sosio-democratie
c. Ketuhanan yang berkebudayaan

Yakni sila kebangsaan dan Internasionalisme diperas menjadi socio-


nationalisme, sila mufakat atau demokrasi dan kesejahteraan sosial dioperas socio-
democratie dan sila ketuhanan yang berkebudayaan. Berikutnya, Trisula ini
menurutnya juga masih dapat diperas menjadi Ekasila yaitu “Gotong Royong”.

Selain itu, Soekarno juga mengatakan bahwa susunan atau urutan sila-sila lima
dari pancasila itu bersifat urutan kebiasaan saja alias bukan urutan prioritas dan
menganggap urutan-urutan itu tidak prinsipil. Namun perlu dipertegas bahwa meski
secara urutan tidak prinsipil, namun masing-masing sila dalam pancasila merupakan
satu-kesatuan integral yang saling mengunci, saling kait-mengkait, dan saling
mengandaikan.

“Urut-urutan yang biasa saya pakai untuk menyebut kelima sila dalam pancasila
itu ialah: Ketuhahan yang maha esa, kebangsaan nomor dua, perikemanusiaan nomor
tiga, kedaulatan rakyat nomor empat, keadilan sosial nomor lima. Ini sekedar urut-
urutan kebiasaan saja. Ada kawan-kawan yang mengambil urutan lain yaitu
meletakkan sila perkemanusiaan sebagai yang kedua dan sila kebangsaan sebagai yang
ketiga. Bagi saya prinsipil tidak ada keberatan untuk mengambil urut-urutan itu”.
(Soekarno, 1958, dalam Latif, 2013: 30.)

“Kenapa diucapkan terima kasih kepada saya, kenapa saya diagung-agungkan,


padahal toh sudah sering saya katakan, bahwa saya bukan pencipta Pancasila. Saya
sekedar penggali Pancasila daripada bumi tanah air Indonesia ini, yang kemudian lima
mutiara yang saya gali itu, saya persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia.
Malah pernah saya katakan, bahwa sebenarnya hasil, atau lebih tegas penggalian
daripada Pancasila ini saudara-saudara, adalah pemberian Tuhan kepada saya…
Sebagaimana tiap-tiap manusia, jikalau ia benar-benar memohon kepada Allah
Subhanahu Wataala, diberi ilham oleh Allah Subhanahu Wataala” (Soekarno dalam
Latif, 2011: 21).

Namun, usulan Sokarno pada tanggal 1 Juni 1945 masih sebatas usulan bersifat
pribadi. Untuk menjadi sebuah dasar negara Indonesia, usulan soekarno tersebut perlu
mendapat persetujuan dan pengesahan bersama dari anggota- anggota BPUPKI. Untuk
mempertimbangkan usul tersebut, pada akhir sidang pertama BPUPKI, tanggal 1 Juni
1945 para anggota BPUPKI akhirnya bersepakat untuk membentuk sebuah panitia
kecil yang tugasnya adalah menampung usul-usul yang masuk dan memeriksanya
serta melaporkan kepada sidang pleno BPUPKI. Tiap-tiap anggota diberi kesempatan
mengajukan usul secara tertulis paling lambat sampai dengan tanggal 20 Juni 1945.
Adapun anggota panitia kecil ini terdiri atas delapan orang, dan oleh karena itu panitia
ini sering disebut sebagai “Panitia Delapan”. Anggotanya (Fauzi, 1983: 51) yakni:

a. Ir. Soekarno (Ketua)


b. Ki Bagus Hadikusumo
c. K.H. Wachid Hasjim
d. Mr. Muh. Yamin
e. M. Sutardjo Kartohadikusumo
f. Mr. A.A. Maramis
g. R. Otto Iskandar Dinata
h. Drs. Muh. Hatta

Ke delapan anggota ini terdiri 6 wakil golongan kebangsaan dan 2 orang wakil
golongan Islam, dengan ketua Soekarno. Seperti telah dikemukakan di awal, rute
perumusan dasar negara yang seharusnya dilakukan PPKI, ditabrak oleh Soekarno
dengan melampaui prosedur formalitas. Selaku ketua Panitia Delapan, Soekarno
sengaja membuat dan menyelenggarakan rapat di sela-sela pertemuan Chuo Sangi In
ke VIII (18-21 Juni 1945) atau pertemuan Dewan Pertimbangan Pusat yang diadakan
oleh Pemerintah Militer Jepang. Di Sela-sela pertemuan ini, Soekarno memimpin
pertemuan terkait dengan tugas Panitia Kecil dan mengumpulkan usul-usul dari 40 lin
yang dihadiri oleh 38 orang. Usul-usul tersebut dapat dikelompokkan dalam 9 kategori
(Latif, 2013: 32):

a. Indonesia yang merdeka selekas-lekasnya.


b. Dasar negara
c. Bentuk Negara Uni atau Federasi
d. Daerah negara Indonesia
e. Badan Perwakilan Rakyat
f. Badan Penasehat
g. Bentuk negara dan Kepala negara
h. Soal pembelaan
i. Soal Keuangan.

Usul-usul dari 40 lini ini dapat dikelompokkan berkisar seputar,

a. Kebangsaan dan Ketuhanan(diusulkan oleh 11 lin)


b. Kebangsaan dan kerakyatan(diusulkan oleh 2 lin)
c. Kebangsaan kerakyatan, ketuhanan. (diusulkan oleh 3 lin)
d. Kebangsaan kerakyatan dan kekeluargaan(diusulkan oleh 4 lin)
e. Kemakmuran hidup berdama, kemajuan kerohanian, dan bertaqwa kepada
tuhan yang maha esa, agama negara adalah agama Islam(diusulkan oleh 1 lin)
f. Kebangsaan kerakyatan dan Islam (diusulkan oleh3 lin)
g. Jiwa timur asia raya(diusulkan oleh 4 lin).

Diakhir pertemuan, Soekarno mengusulkan “panitia kecil” yang bersifat “tak


resmi” yang beranggotakan 9 orang. Oleh karenanya jumlahnya 9 panitia ini sering
disebut sebagai “Panitia Sembilan”. Panitia ini bertugas menyusun rancangan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang di dalamnya
termuat dasar negara (Latif: 2013: 32). Kesembilan orang tersebut terdiri dari 5 orang
wakil golongan kebangsaan dan 4 wakil golongan Islam, yaitu:

a. Ir. Soekarno (ketua)


b. Drs. Muh. Hatta
c. Mr. A.A. Maramis
d. K.H. Wachid Hasyim
e. Abdul Kahar Muzakkir
f. Abikusno Tjokrosujoso
g. H. Agus Salim
h. Mr. Ahmad Subardjo
i. Mr. Muh. Yamin

Panitia Kecil yang beranggotakan sembilan orang ini diketuai oleh Soekarno,
dan merupakan sebuah langkah untuk mempertemukan pandangan dua golongan,
yakni antara golongan nasioanalis dan golongan Islam, menyangkut dasar negara ini.
Dengan komposisi seperti ini akhirnya pada tanggal 22 juni 1945, panitia kecil (panitia
Sembilan) ini berhasil merumuskan calon Mukadimah Hukum Dasar, yang kemudian
lebih dikenal dengan sebutan “Piagam Jakarta”. Atau disebut Mukaddimah oleh
Soekarno, atau Gentlemen’s Agreement oleh Sukiman Wirosandjojo. Bunyi dari
“Piagam Jakarta” (ini merupakan istilah dari Muhammad Yamin) sebagai berikut

a. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-


pemeluknya
b. Kemanusiaan yang adil beradab
c. Persatuan Indonesia
d. Kerakayatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan
e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rancangan pembukaan undang-undang dasar negara republik Indonesia
merupakan titik pertemuan dan kompromi antara golongan Islam dan golongan
kebangsaan. Seperti terlihat pada alenia tiga “Atas berkat rahmat Allah yang
Mahakuasa dan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas”...Alinea ini menurut Yudi latif (2013: 33) mencerminkan pandangan
golongan kebangsaan yang menekankan pada kebangsaan yang bebas dan golongan
Islam yang menekankan perjuangannya atas rahmat Allah. Lanjutnya alinea “Atas
berkat Rahmat Allah yang maha kuasa” bermakna bahwa konstitusi indonesia
berlindung kepada Allah, dan dengan itu mengutip Muhammad Yamin “syarat agama
dipenuhi dan rakyat pun tentu menimbulkan perasaan yang baik terhadap hukum dasar
itu”.

Kompromi terkahir juga tercermin di alinea terakhir yang memuat rumusan


dasar negara yang di dasarkan pada prinsip-prinsip pancasila. Islam misalnya tidak
dijadikan dasar negara maupun agama negara. Juga terjadi perubahan tata urut
Pancasila dari yang dikemukakan oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Prinsip
“Ketuhanan” yang sebelumnya menempati sila paling akhir, kemudian dipindah
menjadi sila pertama, dengan menambah anak kalimat ”dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” (dikenal dengan “tujuh kata”).
Penambahan tujuh kata ini dianggap penting bagi golongan Islam sebagai politik
pengakuan. Seperti dikatakan oleh Prawoto mangkoesasmito, golongan Islam sepakat
semua sila pancasila, namun menuntut “tujuh kata” dari sila ketuhanan karena hal itu
penting sebagai politik pengakuan. Islam yang di zaman kolonial telah sering
dipinggirkan akan mendapat tempat yang layak dalam negara Indonesia merdeka
(Latif, 2013: 34).

Selain itu prinsip internasionlisme atau peri-kemanusiaan tetap dipertahankan di


sila ke dua dengan perumusan lebih sempurna dengan kalimat “kemanusiann yang
adil dan beradab”. Sedangkan prinsip kebangsaan yang sebelumnya merupakan
sila pertama dipindah menjadi sila ke tiga dengan penyempurnaan rumusan dengan
kalimat “persatuan Indonesia”. Prinsip mufakat dan demokrasi berubah posisi dari
sila ke tiga menjadi sila ke empat dengan bunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksaan dalam permusyaratan perwakilan”. Prinsip kesejahteraan Sosial
berubah dari sila ke keempat menjadi sila kelima dengan bunyi: Keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia” (Latif, 2013: 34).
Setelah mencapai kesepakatan baik urutan sila maupun penyempurnaan redaksi,
maka hasil dari piagam jakarta atau mukaddimah undang-undang dasar 1945 ini dalam
sidang BPUPKI kedua, yakni tanggal 10-16 juli 1945. Dalam sidang kedua ini
beberapa anggota menyampaikan keberatan terutama pencantuman “7 kata”. Menurut
mereka pencantuman tersebut dapat menimbulkan benih-benih pengutamaan agama
tertentu (Islam) dan dapat ditafsirkan secara macam-macam sebagai agama negara
misalnya, dll. Salah satu anggota mengusulkan bahwa rancangan pencantuman “tujuh
kata” dianggap bersifat sementara dan dapat didiskusikan lagi di pertemuan
berikutnya. Namun pro-kontra dapat diredakan oleh Soekarno sebagai pemimpin
rapat meminta dengan meneteskan air mata, agar setiap golongan menanggalkan
kepentingannya masing-masing demi persatuan Indonesia. Akhirnya usaha Soekarno
berbuah hasil, piagam jakarta yang kemudian menjadi rancangan pembukaan UUD
1945 akhirnya disetujui dengan tetap mempertahankan pencantuman “tujuh kata”
(Latif; 2013: 35).

Proses sejarah terus berjalan. Pada tanggal 9 Agustus dibentuk Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah
tanpa syarat kepada Sekutu, dan sejak saat itu Indonesia kosong dari kekuasaan.
Keadaan tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para pemimpin bangsa
Indonesia, yaitu dengan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17
Agustus 1945. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan PPKI mengadakan sidang,
dengan acara utama (1) mengesahkan rancangan Hukum Dasar dengan preambulnya
(Pembukaannya) dan (2) memilih Presiden dan Wakil Presiden (Fauzi: 1983: 63-4)

Pengesahan Rancangan Pembukaan UUD yang telah disetujui di BPUPKI,


akhirnya di bawa ke rapat PPKI. Namun sebelum rapat, Bung Hatta mengemukakan
bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 sore hari, sesaat setelah Proklamasi
Kemerdekaan, menerima sekelompok utusan daerah yang menemuinya. Mereka
mengusulkan agar pada alinea keempat preambul, di belakang kata “ketuhanan”
yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya” dihapus. Akhirnya karena desakan tersebut, Hatta akhirnya menemui
perwakilan golongan Islam dan mempersuasi untuk menyetujui
penanggalan/penghapusan “tujuh kata” seperti dalam keputusan sebelumnya.
Di antara tokoh yang ditemui dan dibujuk Hatta antara lain kepada Ki Bagus
Hadikusumo, dan Teuku Muh. Hasan. Sedangkan KH. Wakhid Hasyim tidak dapat
ditemui karena sedang pulang ke Jawa Timur. Muh. Hatta berusaha meyakinkan
tokoh-tokoh Islam, demi persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena pendekatan yang
terus-menerus dan demi persatuan dan kesatuan, mengingat Indonesia baru saja
merdeka, akhirnya tokoh-tokoh Islam itu merelakan dicoretnya “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya” di belakang kata Ketuhanan
dan diganti dengan “Yang Maha Esa”.

Maka dalam Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, akhirnya rapat


mengesahkan rancangan pembukaan UUD 1945 (piagam Jakarta, dengan pencoretan
“tujuh kata”) menjadi undang-undang dasar RI 1945 secara resmi serta mengangkat
Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai presiden Republik Indonesia. UUD 1945
yang telah disahkan oleh PPKI itu terdiri dari “pembukaan” dan “Batang Tubuh UUD”
yang berisi 37 pasal, 1 aturan peralihan terdiri dari 4 pasal, 1 aturan tambahan terdiri
dari 2 ayat (Darmodiharjo, 1988; 31). Adapun bunyi Pembukaan UUD1945
selengkapnya sebagai berikut:

UNDANG-UNDANG DASAR

NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

PEMBUKAAN (Preambule)

Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai
dengan peri-kemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan
Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rakhmat
Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadil-an sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia dan Ke-rakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Zaman Setelah Kemerdekaan

Semenjak diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia secara


resmi menjadi negara merdeka dan berdaulat secara sah. PPKI pada tanggal 18
Agustus secara resmi telah mengangkat Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai
presiden dan wakil presiden negara Indonesia. Pada tahun-tahun ini, secara tersirat
negara Indonesia menganut sistem prisidensial, dimana presiden dan wakil presiden
merupakan pemimpin tertinggi Negara Indonesia dalam menjalankan kekuasaan.
Namun begitu, sistem presidensial segera berubah menjadi sistem parlementer sejak
dikeluarkannya maklumat wakil presiden 16 oktober 1945 dan maklumat pemerintah
14 november 1945, yakni merupakan awal sistem presidensial dan pemberlakuan
sistem multi-partai dalam politik formal Indonesia (Wilson, 2013: 68).

Sejak saat itu partai-partai politik tumbuh bak cendawan di musim hujan.
Pemerintahan Indonesia yang dipimpin oleh seorang perdana menteri bergonta-ganti
dalam periode yang sangat singkat sebelum mereka dapat menjalankan kebijakannya.
Pertentangan ideologi lama antara golongan nasionalis, Islam, dan bahkan
Komunisme malah semakin menguat dan terlembaga dalam partai politik.
Fragmentasi politik dan ideologi tersebut bisa kita lihat dari 4 partai terbesar yang
berlaga di pemilu pertama di tahun 1955.

Pada awal dekade 1950-an itu juga mulai muncul silang-pendapat dan inisiatif
dari sejumlah tokoh yang hendak melakukan interpretasi ulang terhadap Pancasila.
Saat itu muncul perbedaan perspektif yang dikelompokkan dalam dua kubu. Yakni
kelompok pertama berusaha menempatkan Pancasila lebih dari sekedar kompromi
politik atau kontrak sosial. Mereka memandang Pancasila tidak hanya kompromi
politik melainkan sebuah filsafat sosial atau weltanschauung bangsa. Sedangkan
kelompok kedua berusaha menempatkan Pancasila hanya sebagai sebuah
kompromi politik. Dasar argumentasinya adalah fakta yang muncul dalam sidang-
sidang BPUPKI dan PPKI. Pancasila pada saat itu benar-benar merupakan
kompromi politik di antara golongan nasionalis netral agama (Sidik Djojosukarto dan
Sutan takdir Alisyahbana dkk) dan nasionalis Islam (Hamka, Syaifuddin Zuhri sampai
Muhammad Natsir dkk) mengenai dasar negara (Nurdin, 2012; 8).

Bahkan, dalam perumusan Undang-undang baru yang diselenggarakan pada


sidang majlis Konstituante muncul dua kehendak dan pertentangan. Di satu sisi
banyak tokoh menginginkan memenuhi anjuran presiden untuk “kembali pada
Undang- Undang Dasar 1945” dengan pancasila sebagaimana tertera dalam “piagam
Jakarta” (yang mencantumkan ‘tujuh kata’) dan di sebagian lain juga banyak tokoh
yang juga menyetujui “kembali pada Undang-undang dasar 1945” namun tanpa
pencantuman “tujuh kata” seperti di naskah yang disyahkan PPKI pada tanggal 18
Agustus 1945 (Anshari dalam Nurdin, 2012; 8-9). Perdebatan seru dalam sidang
Konstituante ini mengalami jalan macet, karena tidak memenuhi kuorum. Akhirnya
presiden republik Indonesia Soekarno mengambil langkah taktis dengan
mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang berisi:

a. Pembubaran konstituante;
b. Undang-Undang Dasar 1945 kembali berlaku; dan
c. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.

Dengan keluarnya dekrit presiden tersebut, Republik Indonesia secara resmi


kembali pada undang-undang Dasar 1945 seperti rumusan pancasila (dasar negara)
seperti yang disyahkan oleh PPKI. Dekrit ini mendapat dukungan oleh masyarakat
luas, terutama militer. Dekrit ini dikeluarkan oleh Soekarno karena kekecewaannya
terhadap sistem multi partai yang dianggap tidak mendengarkan aspirasi rakyat dan
tidak memedulikan persatuan bangsa. Selain itu militer juga sangat mendukung
dekrit ini karena mereka telah kehilangan kepercayaan pada pemimpin sipil (Wilson,
2013; 72).

Sejak 1959, dekrit prsiden mengakhiri perdebatan ideologis yang terjadi di


majelis konstituante dan menginstruksikan pembentukan majelis permusyawaratan
sementara. Sejak berlakukannnya demokrasi terpimpin, Pancasila benar-benar
tampil secara hegemonik sebagai “ideologi negara” dengan penafsiran negara.
Soekarno menafsirkan pancasila sebagai kesatuan paham “Manipol/USDEK”.
Manifesto politik adalah materi pokok dari pidato Soekarno tanggal 17 Agustus 1959
berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang kemudian ditetapkan oleh Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Belakangan, materi pidato tersebut dikukuhkan dalam Penetapan Presiden (Penpres)
Nomor 1 tahun 1960 dan Ketetapan MPRS No. 1/MPRS1960 tentang GBHN (Ali,
2009: 30 dalam Nurdin 2013: 9). Manifesto politik Republik Indonesia tersebut
merupakan hasil perumusan suatu panitia yang dipimpin oleh D.N. Aidit yang
disetujui oleh DPA pada tanggal 30 September 1959 sebagai haluan negara (Ismaun,
1978: 105 dalam Nurdin 2013: 9).

Manipol/USDEK oleh Soekarno dianggap sebagai langkah untuk menyatukan


fragmentasi ideologi dalam tubuh masyarakat yang terbelah dalam kubu Nasionalis,
Islam, dan Komunis. Namun kondisi ‘keterbelahan’ masyarakat ini akhirnya sudah
dipertahankan. Peristiwa G/30/S 1965 pecah. Pembunuhan pimpinan teras jenderal-
jenderal di angkatan Darat memicu konflik masyarakat. Jenderal Soeharto yang
mengantongi Surat Perintah 11 maret 1966 (supersemar) mengkonsolidasikan
kekuatan militer dan bekerja-sama dengan rakyat membunuh dan memenjarakan
ratusan ribu bahkan jutaan kelompok yang dianggap terlibat dengan PKI. Pada tanggal
23 februari 1967 akhirnya presiden Soekarno akhirnya dilengserkan dan Soeharto
dilantik sebagai pejabat Presiden RI. Akhirnya pada maret 1968, melalui sidang
MPRS, Soeharto resmi menjadi Presiden Republik Indonesia (Lay, 2013: 44).

3. Zaman Orde Baru

Sejak soeharto secara resmi menjadi Presiden Republik Indonesia, Pancasila


sepertinya benar-benar alat ampuh menopang kekuaksaanya. Keberhasilan
Soeharto dalam menumpas Gerakan 30 September 1965 benar-benar menjadi
pengalaman yang berarti baginya. Ia melihat seperti tercermin dalam pidatonya pada
peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni 1967 Presiden Soeharto mengatakan, “Pancasila
makin banyak mengalami ujian zaman dan makin bulat tekad kita mempertahankan
Pancasila”. Selain itu, Presiden Soeharto juga mengatakan, “Pancasila sama sekali
bukan sekedar semboyan untuk dikumandangkan, Pancasila bukan dasar falsafah
negara yang sekedar dikeramatkan dalam naskah UUD, melainkan Pancasila harus
diamalkan (Setiardja, 1994: 5).

Pidato sungguh menegaskan bahwa pancasila sebagai dasar negara banyak


mengalami ujian yang melibatkan perdebatan maupun pertentangan-pertentangan
sengit yang melibatkan masyarakat luas. Soeharto oleh karena itu melihat
perdebatan soal pancasila telah menghabiskan energi bangsa harus segera diakhiri.
Selanjutnya, saatnya bangsa mengamalkan pancasila dan bukan memperdebatkannya.

Pada awal-awal masa kekuasaannya, Soeharto segera meninjau Undang-


Undang RI No. 22 tahun 1961 tentang perguruan tinggi. Pasal tentang “mata
pelajaran” umum yang menyebutkan istilah manipol/USDEK dihapus oleh ketetapan
MPRS no XXXIV/MPRS/1967. Manifesto Politik sebagai garis besar haluan negara
dan Manipol USDEK sebagai terminologi politik dihapus, sembari tetap
mempertahankan istilah Pancasila. Soeharto, menetapkan secara resmi tanggal 1
Oktober sebagai hari Kesaktian Pancasila. Bahkan karena kekhawatiran perbedaan
berlarut-larut terkait pancasila, Soeharto mengeluarkan Inpres no.12/1968 pada 13
April 1968. Yakni sebuah instruksi yang membakukan susunan dan kata-kata dalam
pancasila. (Lay, 2013; 44-45) Seperti dikatakan Soehato sendiri pada tanggal 1
Juni 1968, bahwa “Pancasila sebagai pegangan hidup bangsa akan membuat bangsa
Indonesia tidak loyo, bahkan jika ada pihak-pihak tertentu mau mengganti, merubah
Pancasila dan menyimpang dari Pancasila pasti digagalkan” (Pranoto dalam Dodo dan
Endah (ed.), 2010: 42 seperti dikutip Nurdin, 2013; 10).

Orde Baru sepertinya benar-benar mendambakan stabilitas dan persatuan,


setelah trauma perselisihan yang terjadi pada orde sebelumnya. Dan Karenanya
Soeharto benar-benar ingin menjadikan Pancasila Ideologi tunggal “demi
melaksanakan Pancasila dan amanat UUD 1945 secara murni dan konsekuen”.
Untuk melaksanakan Pancasila “secara murni dan konsekuen” serta membentuk
“manusia Pancasilais”, maka pada tanggal 22 Maret 1978 ditetapkan ketetapan
(disingkat TAP) MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa). Eka Prasetya Panca Karsa berarti
“tekad bulat untuk melaksanankan lima kehendak dalam kelima sila Pancasila”
(Lay, 2013; 56). Seperti tertera dalam Pasal 4 menjelaskan, “Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan pancasila merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan
bermasyarakat berbangsa dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap
penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan,
baik Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh”. (Nurdin, 2003;
11)
Adapun nilai dan norma-norma yang terkandung dalam Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) berdasarkan
ketetapan tersebut terdiri 36 butir. Namun, pada tahun 1994, lembaga BP-7
kemudian menjabarkan kembali menjadi 45 butir (Nurdin, 2003; 14). BP-7 adalah
merupakan singkatan dari Badan pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila. Lembaga ini didirikan melalui Keputusan Presiden no.
10/1976. Selanjutnya BP-7 juga didirikan di semua daerah tingkat I dan II, sehingga
setiap propinsi dan Kabupaten/kotamadya terdapat BP-7 di semua wilayah Indonesia.
Dengan lembaga inilah pemerintah secara reguler mengadakan penataran P-4 nang
diselenggarakan di berbagai institusi. Tujuannnya adalah membentuk persepsi yang
sama serasi, selaras, dan seimbang mengenai “demokrasi Pancasila” sebagai prasyarat
utama terwujudnya persatuan dan kesatuan Nasional (Lay, 2013: 56).

Obsesi soeharto akan stabilitas politik membuatnya sangat mencurigai berbagai


pandangan dan ideologi organisasi maupun kelompok masyarakat baik yang
berhaluan Komunis, kelompok Islam yang masih memendam “cita-cita” negara Islam,
maupun kelompok nasionalis ekstrem yang sering didentikan dengan “kelompok
kiri”. Berbekal kekhawatiran dan usaha menopang kekuasaannya, dalam pidato
kenegaraan di depan sidang DPR 16 Agustus 1982, Presiden Soeharto secara
resmi mengajukan konsepsi Pancasila sebagai azas tunggal. Hal ini berarti semua
organisasi politik, organisasi masyarakat, maupun organisasi keagamaan hanya boleh
berasas satu: yakni Pancasila. Selain Itu haram. Penerapan Pancasila sebagai azas
tunggal ini dimaksudkan seperti disampaikan dalam pidato Soeharto dalam peringatan
ulang tahun KOPPASANDHA (sekarang Kopasus) di Cijantung 16 April 1980 untuk
“mengingatkan akan adanya usaha-usaha menggantikan Pancasila dengan ideologi
lain tidak semata-mata dengan senjata melainkan juga dengan kekuatan subversi,
infiltrasi, bahkan sampai menghalalkan segala cara” (Lay, 2013: 57).

Sejak diberlakukannya Pancasila sebagai azas tunggal, praktis organisasi-


organisasi baik politik, keagamaan, maupun masyarakat rela maupun tidak rela
akhirnya menerima asas tunggal ini. Organisasi oposisi pemerintah menjadi “tiarap”.
Golkar sebagai partai resmi pemerintah didirikan (1973), aspirasi Islam ditampung
oleh satu jalur/wadah MUI yang didesain mengabdi pemerintah, dan akhirnya PPP
maupun PDI dikebiri aspirasinya dengan secara resmi menrima asas tunggal Pancasila
(1985). Organisasi, kelompok, maupun tokoh-tokoh yang menyuarakan suara kritis
terhadap kebijakan pemerintah dicap sebagai “kelompok anti-Pancasila” dan
kemudian dipenjarakan dan ditahan (Lay, 2013: 57).

Wajah Orde Baru lambat laun semakin menampilkan sikap otoriternya.


Pancasila sebagai dasar negara ditafsir secara tunggal dan dijadikan alat untuk
menopang kekuasaan Soeharto, sekaligus juga dijadikan benteng ampuh untuk
menekan kelompok-kelompok yang menyuarakan secara kritis penyalahgunaan
kekuasaan yang dilakukan oleh Orde Baru. Stabilitas politik dijadikan tameng yang
ampuh menekan kelompok-kelompok oposisi demi langgengnya praktik kebijakan
orde baru yang dipenuhi oleh Nepotisme, Kolusi, maupun korupsi.

Namun kondisi inipun menemukan batasnya. Suara-suara, kerinduan,


maupun tuntutan akan suasana keterbukaan (demokrasi) menemui momentumnya.
Pada 21 mei 1998, rakyat, mahasiswa, LSM, maupun rakyat Indonesia secara luas
menyerukan “reformasi”. Soeharto akhirnya lengser.

4. Zaman Reformasi Hingga Sekarang

Kita semua tahu bahwa sejak masa-masa orde baru berkuasa, Pancasila benar-
benar merupakan seperangkat ideologi untuk menopang kuasaan rezim otoriter.
Anggota, tokoh, maupun organisasi yang berusaha menyuarakan suara kritis terhadap
kebijakan pemerintah Soeharto akan dicap sebagai anti-Pancasila, tidak pancasilais,
dll. Oleh karena itu sejak Reformasi berhasil menggulingkan kekuasaan Soeharto,
image rakyat Indonesia sangatlah buruk terhadap Pancasila. Pancasila dianggap
sebagai sesuatu indoktrinasi dijejalkan oleh pemerintah di segala lini kehidupan rakyat
yang berusaha menyeragamkan perbedaan yang berlangsung dalam masyarakkat.
Pemerintah seolah merupakan aktor satu-satunya yang maha tahu yang bisa
menentukan “apa yang benar” dan “apa yang salah”. Akibatnya pada masa-masa
tahun-tahun awal Pancasila seolah dilupakan dan ditinggalkan.

Fobia terhadap apa-apa saja yang berbau Orde Baru, termasuk di dalamnya fobia
atas pancasila, berlangsung di masyarakat. Apapun yang ditinggalkan oleh Soeharto
seolah bernilai buruk dan otoriter dan oleh karena itu harus dihindari bahkan
ditinggalkan. Namun, lambat laun keterbukaan Demokrasi sebagai buah dari
Reformasi 1998 mempunyai konsekuensinya sendiri. Masyarakat mulai tersadarkan,
bahwa di bidang ekonomi kesenjangan kesejahteraan ekonomi masyarakat semakin
terlihat dan menjadi fakta yang semakin tampak dan memenuhi kesadaran bersama.
Kesenjangan pemerataan keadilan sungguh merupakan problem yang harus segera
dipecahkan.

Selain itu dibidang persatuan, masyarakat semakin terlibat konflik horizontal


yang melemahkan sendi-sendi persatuan bangsa. Kelompok-kelompok Islam yang
dulu di masa orde ditekan langkah politik maupun aspirasinya semakin berani
menyuarakan pendapatnya. Globalisasi semakin menyuburkan organisasi-organisai
Islam tumbuh subur dan semakin nyaring menyuarakan “penggantian ideologi
negara (pancasila)” dengan sistem Islam, entah bernama Khilafah Islamiah maupun
isu-isu mengembalikan “piagam jakarta” sebagai dasar tertinggi negara ini. Bahkan di
beberapa wilayah perda-perda syariah mulai diberlakukan. Konflik-konflik berbau
sara pecah di berbagai daerah, dari mulai pertikaian etnik di Sampit,
perkelahian/peperangan bernuansa agama di Ambon, atau penganiayaan dan persekusi
terhadap kelompok minoritas Ahmadiyah dan penganiayaan serta pengsusiran warga
Syiah di sampang Madura, dan masih banyak lainnya.

Praktik intolerasi baik berdasar konflik etnis, agama, maupun penguasaan


sumber daya sungguh menjadi keprihatinan bersama karena telah membelah prinsip
persatuan nasional yang telah dibangun bertahun-tahun lamanya. Di bidang Politik,
sejak desentralisai dijalankan oleh bangsa ini, praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme
yang merupakan musuh utama Reformasi justru tidak hanya semakin subur,
melainkan semakin menyebar dan meluas di berbagai daerah pada hampir tiap institusi
dan birokrasi negara. Keterbukaan demokrasi dan penerapan demokrasi langsung yang
telah digadang-gadang sebagai cara untuk melibatkan dan meluaskan partisipasi
masyarakat agar tercipta lembaga perwakilan (pemerintahan legislatif dan yudikatif)
yang peka terhadap tuntutan masyarakat ternyata belum menciptakan keseimbangan
kontrol kekuasaan untuk terciptanya tata kelola pemerintahan yang bersih, efisien,
akuntabel dan bersifat melayani. Malahan, organisasi maupun institusi yang
diharapkan malah menjadi episentrum tumbuhnya budaya korupsi yang merajalela di
berbagai level kekuasaan.

Tak hanya itu, praktik peradilan, hukum, maupun kemananan untuk


penciptaan rasa keadilan maupun rasa aman masih jauh dari yang dicita-citakan.
Korupsi suap merajalela, Hukum semakin tumpul ke atas namun runcing ke bawah
serta belum memenuhi rasa keadilan masyarakat luas. Pers yang merupakan ‘pilar
demokrasi keempat” justru menjadi corong kepentingan golongan maupu ormas
tertentu dan semakin menyebarkan informasi yang mengadu-domba.

Namun begitu, secara resmi keputusan atau kesepakatan Pancasila menjadi


dasar Negara Republik Indonesia secara normatif ternyata tercantum dalam ketetapan
MPR. Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 Pasal 1 menyebutkan bahwa
“Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar
negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten
dalam kehidupan bernegara” (MD, 2011). Ketetapan ini terus dipertahankan,
meskipun ketika itu Indonesia akan menghadapi Amandeman Undang-Undang Dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 (Nurdin 2013; 16) Selain itu, meski
terjadi fobia pancasila, Pancasila pun masih tetap menjadi sumber hukum yang
ditetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Pasal 1 Ayat (3): “Sumber
hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang-Undang
Dasar 1945”(Nurdin, 2013: 17).

Fakta-fakta tentang merebaknya budaya korupsi, penegakan hukum yang


mandul, kesenjangan ekonomi yang menganga, intoleransi berbasis agama dan
etnis, juga pers yang semakin distorsif seperti yang dikemukakan di atas sungguh
semakin menyadarkan kita untuk “menengok kembali” Pancasila sebagai dasar
untuk merawat keragaman, prinsip perumusan kebaikan bersama, maupun penciptaan
keadilan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Berangkat dari keprihatinan akan terkoyaknya perahu/kapal bersama bernama


Indonesia, beberapa tokoh maupun institusi mengambil inisiatif. Azyumardi Azra,
misalnya, sekitar tahun 2004 menggagas perlunya rejuvenasi Pancasila sebagai
faktor integratif dan salah satu fundamen identitas nasional. Seruan demikian tampak
signifikan karena proses amandeman UUD 1945 saat itu sempat memunculkan
gagasan menghidupkan kembali Piagam Jakarta (Ali, 2009: 51).

Selain inisiatif Azra, diskursus tentang Pancasila kembali menghangat dan


meluas usai Simposium Peringatan Hari Lahir Pancasila yang diselenggarakan
FISIP-UI pada tanggal 31 Mei 2006 (Ali, 2009: 52). Sekretariat Wapres Republik
Indonesia, pada tahun 2008/2009 secara intensif melakukan diskusi-diskusi untuk
merevitalisasi sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Tahun 2009 Dirjen Dikti, juga
membentuk Tim Pengkajian Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Sementara itu,
beberapa perguruan tinggi telah menyelenggarakan kegiatan sejenis, yaitu antara
lain: Kongres Pancasila di Universitas Gadjah Mada, Simposium Nasional Pancasila
dan Wawasan Kebangsaan di Universitas Pendidikan Indonesia, dan Kongres
Pancasila di Universitas Udayana (Nurdin, 2013: 17).

Sungguh usaha-usaha yang telah dirintis untuk “meremajakan Pancasila” karena


telah terlalu menjadi alat kepentingan politik orde Baru perlu terus menerus
digalakkan dan dilanjutkan. Benar sekali apa yang dikatakan oleh Ignas Kleden,
bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah merupakan barang yang sudah jadi
melainkan sesuatu yang harus terus-menerus diusahakan. Kemerdekaan Indonesia
hanyalah merupakan “gerbang” menuju apa-apa yang telah dicita-citakan oleh
bangsa Indonesia. Seperti dalam perkataan Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945 bahwa
kemerdekaan Indonesia adalah “jembatan emas,... dan di seberang jembatan,...
jembatan emas, inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka
yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi” (Soekarno: 1983).

B. PENUTUP

Modul ini membahas mengenai Kesejarahan Pancasila yang fokus pada


pergolakan dalam mempertahankan ide-ide dasar negara. Perubahan bentuk negara
dan penyelenggaraannya telah memberikan dampak yang cukup signifikan kepada
amalan pancasila itu sendiri di dalam masyarakat. Dengan mempelajari kesejarahan
ini mahasiswa diharapkan mampu menangkap simpul-simpul spirit dan
perkembangan pemikiran tentang pancasila. Tujuannya adalah mahasiswa mampu
mengambil nilai-nilai luhur pancasila itu untuk bisa diterapkan dalam kehidupan
pribadi mahasiswa khususnya dalam melihat fenomena yang mereka alami sendiri
tanpa harus menggadaikan idealitasnya.

Pembahasan mengenai sejarah Pancasila dimaknai sebagai pengantar awal


untuk memahami proses pembentukan Pancasila pada nilai-nilai kefilsafatan. Modul
II dan III berfokus untuk membawa mahasiswa pada hamparan luas nilai kearifan lokal
yang selayaknya tetap dipertahankan dan kemudian dihayati sebagai pandangan hidup
bangsa yang lebih dalam dibahas pada materi selanjutnya.
MODUL IV

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA

TUJUAN PERTEMUAN:

Mahasiswa mampu menganalisis dan mengevaluasi Pancasila sebagai dasar negara


yang meliputi (1) Hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945; (2)
Penjabaran Pancasila dalam pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945; dan (3)
Implementasi Pancasila dalam pembuatan kebijakan negara dalam bidang ekonomi,
politik, sosial budaya, dan Hankam.

INDIKATOR:

1. Mampu melakukan penyimpulan bahwa Pancasila sebagai dasar negara


Republik Indonesia dengan memberikan berbagai rasionalitas. 

2. Menunjukkan hasil pembelajaran melalui analisis pemahaman Pancasila yang
hidup dalam setiap tata peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia.

3. Dalam kondisi semangat jiwa Pancasila dalam tata peraturan, mahasiswa
mampu mengidentifikasi nilai-nilai Pancasila apa saja yang hidup atau
menjiwai tata peraturan tersebut. 

4. Menguasai pengetahuan tentang hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD
NRI Tahun 1945, Penjabaran Pancasila dalam Batang Tubuh UUD NRI Tahun
1945, dan Implementasi Pancasila dalam pembuatan kebijakan negara dalam
bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan serta keamanan. 

5. Untuk dapat menguji pengetahuan tersebut, mahasiswa akan diberikan
tugas kelompok untuk melakukan diskusi mengenai nilai-nilai Pancasila yang
hidup dalam kebijakan dan tata peraturan yang ada di Indonesia. 

6. Mampu mengelola hasil kerja individu dan kelompok menjadi suatu
gagasan mengenai Pancasila yang hidup dalam kebijakan dan tata peraturan
Indonesia.
SKENARIO: Pertemuan Pertama

1. Pada pertemuan sebelumnya Tutor membagi mahasiswa menjadi 7 kelompok.


b) Setiap kelompok harus menunjuk koordinator dan juru bicara.
2. Setiap kelompok diberi tugas membaca dan mendiskusikan naskah/catatan
pidato anggota BPUPK tentang dasar negara, yaitu:
a. Muhammad Yamin;
b. Soekarno;
c. Soepomo;
d. Soesanto Tirtoprodjo;
e. Ki Bagoes Hadikoesoemo;
f. Surio;
g. Liem Koen Hian.
3. Setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompok dengan membahas:
a. Apa yang dimaksud dengan dasar negara?
b. Mengapa dasar negara penting bagi Indonesia merdeka?
c. Apa dasar-dasar negara menurut tokoh tersebut dan argumentasinya?
4. Dosen menyampaikan klarifikasi atas hasil diskusi berdasarkan materi
pembelajaran dan menguraikan dasar negara Pancasila yang menjadi
kesepakatan bersama seluruh bangsa Indonesia.

BAHAN BACAAN:

 Agus Wahyudi dkk (eds). Proceeding Kongres Pancasila: Pancasila Dalam


Berbagai Perspektif. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK,
2009.
 B. Herry Priyono. “Agenda Indonesia: Sebuah Bangsa hanya dibentuk
dengan sengaja”. Makalah disampaikan pada Kongres Pancasila 2009.
 Endang Saifuddin Anshari. Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Jakarta: Rajawali,
1986.
 Jimly Asshiddiqie. “Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi”. Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2007.
 Kaelan. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma, 2000.
 Moh. Hatta. Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Jakarta: Tintamas, 1970.
 Muhammad Yamin. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Djilid
Pertama. Jakarta: Siguntang, 1971.
 Notonagoro. Pancasila Dasar Falsafah Negara. Jakarta: Pantjuran Tujuh,
1974.
 O.E. Engelen dkk. Lahirnya Satu Bangsa dan Satu Negara. Jakarta: UI-Press,
1997.
 Oetojo Oesman & Alfian. Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7 Pusat,
1992.
 RM. A.B. Kusuma. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Badan
Penerbit FH UI, 2009.
 Sri Soemantri Martosoewignyo. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi.
Bandung: Alumni, 1987.

Media/Bahan Pembelajaran

1. Naskah/catatan pidato anggota BPUPK:


a. Muhammad Yamin;
b. Soekarno;
c. Soepomo;
d. Soesanto Tirtoprodjo;
e. Ki Bagoes Hadikoesoemo;
f. Surio;
g. Liem Koen Hian.
2. Kebijakan atau peraturan di bidang:
a. Politik;
b. Hukum;
c. Pendidikan;
d. Kesehatan;
e. Ekonomi;
h. Pertahanan dan Keamanan;
MATERI AJAR:

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA

a) Kedudukan Pancasila Sebagai Dasar negara

Tatkala para pendiri bangsa Indonesia dalam Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) merumuskan
kemerdekaan bangsa Indonesia, salah satu pertanyaan yang muncul adalah dasar apa
yang dipakai untuk Indonesia merdeka. Pertanyaan ini pun pernah kembali
mengemuka pada saat Sidang Dewan Konstituante yang hendak membentuk
konstitusi Indonesia pada tahun 1955 sampai 1959.

Anggota BPUPK dilantik pada 28 Mei 1945 dan menggelar sidang yang
membahas rancangan UUD. Sidang BPUPK meliputi sidang pertama pada 29 Mei
hingga 1 Juni 1945 dan sidang kedua yang diselenggarakan pada 11 sampai 17 Juli
1945. Pada sidang pertama tanggal 29 Mei, Ketua BPUPK Radjiman
Wedyodiningrat menyampikan hal yang penting untuk dibahas, yaitu tentang dasar
Negara (Martosoewignyo, 1987: 25).

Pancasila sebagai dasar negara dapat didasarkan pada tinjauan historis yang
melatarbelakangi lahirnya Pancasila. Nilai-nilai Pancasila mengemuka dan
selanjutnya terumuskan adalah pada saat para pendiri bangsa sedang mencari dasar
dari negara yang akan dibentuk. Hal itu diawali dari pertanyaan Ketua BPUPKI, Dr.
Radjiman Wediodiningrat yang mengajukan pertanyaan “Negara Indonesia yang akan
kita bentuk itu apa dasarnya?” Pertanyaan tentang dasar negara itu ditafsirkan oleh
peserta rapat, terutama Soekarno sebagai “philosophische grondslag”, yaitu
fundamen, filsafat, pikiran-pikiran yang sedalam- dalamnya, jiwa, hasrat yang
sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan bangunan Indonesia merdeka. Dasar
negara tersebut oleh Hatta juga diartikan sebagai ideologi negara yang membimbing
politik negara dan hukum tata negara Indonesia (Sastrapratedja, 2009: 67).

Oleh karena itu dasar negara adalah serangkaian nilai yang digali dari dan
tumbuh berkembang dalam masyarakat Indonesia sendiri sejak berabad yang lalu,
yang memuat gagasan tentang cita negara (staatsidee) dan cita hukum (rechtsidee)
sehingga dijadikan sebagai sumber bagi penyusunan hukum dasar atau pasal-pasal
Konstitusi. Sebagian besar anggota BPUPK memberikan pandangannya tentang dasar

4
- dasar negara yang akan dibentuk (Yamin, 1971: 59 – 396). Anggota yang berlatar
belakang gerakan keislaman menghendaki agar dasar-dasar negara digali dari nilai-
nilai ajaran agama Islam, sedangkan anggota yang berlatar belakang gerakan
kebangsaan menghendaki agar dasar-dasar negara digali dari nilai-nilai budaya bangsa
dan teori-teori ketatanegaraan yang sedang berkembang. Salah satu pandangan yang
mendapat sambutan paling hangat dari para peserta ialah pandangan Soekarno yang
memperkenalkan Pancasila sebagai dasar negara.

Pada masa akhir masa sidang pertama, BPUPK membentuk Panitia Kecil
beranggotakan delapan orang yang dipimpin oleh Soekarno. Panitia ini bertugas
meneliti serta mempelajari usul-usul yang telah disampaikan para anggota BPUPK,
melakukan inventarisasi, serta menyusunnya sebagai sebuah naskah yang akan
dibahas pada masa sidang kedua yang direncanakan berlangsung bulan Juli 1945
(Martosoewignyo, 1987: 27).

Susunan Keanggotaan Panitia Kecil

No. Nama Kedudukan


1 Ir. Soekarno Ketua
2 Drs. Moh. Hatta Anggota
3 Mr. Moh. Yamin Anggota
4 Mr. A. A. Maramis Anggota
5 R. Oto Iskandardinata Anggota
6 M. Soetardjo Kartohadikoesoemo Anggota
7 Ki Bagoes Hadikoesoemo Anggota
8 K.H. Wachid Hasjim. Anggota

Soekarno menganggap keanggotaan Panitia Kecil dari golongan Islam yang


hanya diwakili oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo dan K.H. Wachid Hasjim tidak
proporsional (Kusuma, 2009: 21). Soekarno menambahkan jumlah anggota Panitia
Kecil menjadi sembilan orang sehingga diberi nama Panitia Sembilan dengan
komposisi lima dari golongan Kebangsaan dan empat dari golongan Islam.

5
Susunan Keanggotaan Panitia Sembilan

No. Nama Perwakilan Kedudukan


1 Ir. Soekarno Kebangsaan Ketua
2 Drs. Moh. Hatta Kebangsaan Anggota
3 Mr. Moh. Yamin Kebangsaan Anggota
4 Mr. A. A. Maramis Kebangsaan Anggota
5 Mr. A. Soebardjo Kebangsaan Anggota
6 K.H. Wachid Hasjim. Islam Anggota
7 K.H. Kahar Moezakkir Islam Anggota
8 H. Agoes Salim Islam Anggota
9 R. Abikoesno Islam Anggota

Panitia merumuskan naskah Mukaddimah UUD yang juga dikenal dengan


Tjokrosoejoso
istilah Piagam Jakarta (Yamin, 2009: 472) dan (Anshari, 1986: 32), pada masa reses
sebagai berikut.

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab
itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-
kemanusiaan dan peri-keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat


yang berbahagia, dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan
pintu gerbang Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Hukum Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan, dengan

6
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jakarta, 22 Juni 1945

Ir. Soekarno

Drs. Moh. Hatta

Mr. A. A. Maramis

Abikoesno Tjokrosoejoso

Abdoel Kahar Moezakkir

H. Agoes Salim

Mr. Achmad Soebardjo

K.H. Wachid Hasjim

Mr. Moh. Yamin

Pada 9 Agustus 1945 dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia


(PPKI) yang beranggotakan 21 orang dan menunjuk Soekarno sebagai ketua serta
Moh. Hatta sebagai wakil ketua (Anshari, 1986: 32). Pada 15 Agustus 1945, Jepang
menyerah tanpa syarat kepada Sekutu karena pada hari itu kota Hiroshima dan
Nagasaki dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat. Kekalahan Jepang itu tentu saja
membuat janji kemerdekaan yang telah diberikan Jepang kepada bangsa Indonesia
menjadi sesuatu yang tidak pasti. Atas desakan para pemuda pejuang
kemerdekaan. desakan pemuda ini dilakukan dengan membawa Soekarno ke
Rengasdengklok sehingga kemudian dikenal dengan peristiwa Rengasdengklok
(Engelen, 1997). Pada 17 Agustus 1945 Soekarno dan Moh. Hatta memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia.

Meskipun bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya, pada


saat itu belum ada lembaga kekuasaan yang dapat mengatasnamakan negara.
Satu-satunya lembaga kekuasaan yang ada dan diakui adalah PPKI yang dibentuk oleh
7
pemerintah pendudukan Jepang. Untuk mengubah sifat yang melekat pada lembaga
itu sebagai lembaga bentukan Jepang menjadi badan nasional Indonesia, Soekarno
selaku ketua menambah enam orang lagi anggotanya sehingga anggota PPKI yang
semula berjumlah 21 orang menjadi 27 orang. Keenam orang yang ditambahkan oleh
Soekarno itu ialah Wiranatakoesoemah, Ki Hadjar Dewantara, Mr. Kasman
Singodimedjo, Sajuti Melik, Mr. Iwa Koesoema Soemantri, dan Mr. Achmad
Soebardjo. Dengan demikian, PPKI menjadi badan resmi Indonesia dalam negara
Indonesia yang merdeka.

Badan ini segera menjadwalkan sebuah pertemuan pada 18 Agustus 1945 untuk
menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Namun, sehari sebelum rapat
dimulai, persisnya setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, tersiar kabar
bahwa rakyat Kristen di wilayah Indonesia bagian timur akan menolak bergabung
kedalam Republik Indonesia jika syariat Islam masuk di dalam UUD. Dalam buku
Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Tintamas, Jakarta, 1970, Moh. Hatta
menceritakan bahwa kabar mengenai keberatan dimasukkannya syari’at Islam dalam
UUD datang dari seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang) yang menemuinya.

Namun dalam buku Lahirnya Satu Bangsa dan Satu Negara, O.E. Engelen dkk.
menyatakan bahwa yang menemui Moh. Hatta adalah tiga mahasiswa Ika Daigaku
yakni Piet Mamahit, Moeljo, dan Imam Slamet yang berpakaian seragam Angkatan
Laut Jepang. Kelompok mahasiswa Asrama Prapatan 10 mengutus tiga orang itu
setelah beberapa tokohnya berdiskusi dengan Dr. Ratulangi, Mr. A. A. Maramis, dan
Mr. Pudja. Menanggapi keberatan tersebut, Moh. Hatta mengumpulkan beberapa
wakil golongan Islam yang duduk di PPKI, yakni K.H. Wachid Hasjim, Ki Bagus
Hadikoesoemo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Mohammad Hasan, untuk
membicarakan persoalan tersebut. Dalam pembicaraan informal itu wakil-wakil
golongan Islam dengan ikhlas merelakan dihapusnya tujuh kata dalam Mukaddimah,
dua kata dalam Pasal 6 ayat (1), dan tujuh kata dalam Pasal 29 ayat (1) demi
terwujudnya persatuan Indonesia (Basalim, 2002: 39).

Seiring dengan dihapusnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta, istilah


Mukaddimah diubah menjadi Pembukaan. Adapun naskah lengkap Pembukaan
sebagai berikut.

8
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai
dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah


kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat
Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan
oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara


Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pada sidang, PPKI Moh. Hatta membacakan beberapa perubahan naskah


rancangan UUD sebagaimana yang telah disepakatinya bersama beberapa wakil
golongan Islam. Seluruh anggota mufakat sehingga sidang yang dipimpin Soekarno
itu berjalan lancar tanpa hambatan yang berarti. Ketika pembahasan sampai pada
aturan peralihan, Soekarno meminta agar sidang mendahulukan pembahasan Pasal III
tentang pemilihan presiden dan wakil presiden. Begitu rumusan Pasal III Aturan
Peralihan selesai, PPKI langsung melakukan pemilihan presiden dan wakil presiden.
Dalam pemilihan yang berlangsung singkat itu, secara aklamasi Soekarno terpilih
sebagai Presiden dan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden (Yamin, 1987: 427). Setelah

9
menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih, sidang PPKI
kemudian mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Di dalam Pembukaan UUD 1945 ditegaskan bahwa: “..................., maka


disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang
Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan .....”. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa Pancasila yang
sila-silanya dimuat dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut adalah dasar negara.

Pancasila menjadi dasar negara karena nilai-nilai Pancasila diyakini sebagai


fitrah (bawaan dasar) yang tak mungkin dilepaskan dari bangsa ini. Bung Karno
menyatakan bahwa sila-sila itu digali dari budaya bangsa kita yang sudah berusia
selama berabad-abad (Mahfud, MD, 2). Mahfud MD menyatakan bahwa sejak
dahulu kala nenek moyang bangsa Indonesia sudah percaya dan beriman pada Tuhan
dan seluruh kekuasaannya, menjunjung nilai-nilai kemanusian yang mempunyai
martabat sebagai makhluk ciptaaan Tuhan, serta selalu diikat oleh rasa bersatu dan
tolong menolong dengan sikap gotong royong. Bangsa Indonesia selalu mau
bermusyawarah untuk menjalin kehidupan bersama yang harmonis tanpa mencari
menang-menangan dan mengadu kekuatan sebagai bentuk penghayatan cara hidup
yang berkeadilan sosial, keadilan yang berdasarkan penghargaan atas seluruh warga
masyarakat dan bukan keadilan individual yang membuka pintu bagi terjadinya
eksploitasi oleh manusia terhadap manusia lain (Mahfud, MD, 2).

Dalam tinjauan teoretis, kedudukan Pancasila sebagai dasar negara tersebut


berasal dari realitas Pancasila yang telah menjadi “jiwa bangsa” Indonesia. Bangsa
adalah puncak perkembangan organis masyarakat yang terjadi bukan hanya karena
pengalaman hidup bersama, melainkan karena adanya “jiwa” bangsa. Dalam filsafat
sejarah Hegel, jiwa bangsa adalah puncak dari proses dialektika yang terjadi antar
individu dan antar kelompok sehingga dikatakan sebagai pencapaian akal tertinggi.
Oleh karena itu jiwa bangsa berisi pandangan dasar dan seperangkat nilai luhur yang
diyakini kebenarannya dan dipegang teguh oleh segenap warga bangsa. Jiwa bangsa
menjadi panduan dalam mempersepsi dan menyikapi segala bidang persoalan
sekaligus menjadi pembeda antara satu bangsa dengan bangsa lain. Dalam perspektif

10
hukum, Von Savigny menyatakan bahwa jiwa bangsa antara lain berisi perasaan
keadilan kolektif yang menjadi sumber hukum nasional (Mahfud, MD. 2).

Jiwa bangsa di satu sisi menentukan eksistensi negara dan di sisi lain
menjadi pedoman dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada
saat jiwa bangsa telah padam atau dipadamkan, maka eksistensi negara pun terancam.
Sebaliknya, hidup dan padamnya jiwa bangsa bergantung sepenuhnya kepada warga
bangsa dan penyelenggara negara itu sendiri. Pada saat nilai-nilai yang menghidupi
jiwa bangsa telah ditinggalkan atau diingkari, pada saat itu pula secara pelan-pelan
kita sudah memadamkan jiwa bangsa. Akibatnya, kita akan kehilangan identitas dan
pegangan untuk hidup bersama sebagai satu bangsa dan satu negara.

Konsekuensi dari Pancasila sebagai dasar negara, maka Pancasila menjadi cita
hukum nasional. Dalam sejarah hukum Indonesia, konsep cita hukum termuat dalam
Penjelasan UUD 1945 Bagian III alenia I sebelum perubahan yang menyatakan
“Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang- Undang
Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum
(Reichtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis
(Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis.” Alenia ini terkait
dengan pokok-pokok pikiran yang diuraikan dalam Bagian II yaitu (1) negara
persatuan; (2) negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat; (3)
negara yang berkedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan
perwakilan; dan (4) negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab. Pokok-pokok pikiran inilah yang mewujudkan
cita hukum. Lalu apakah yang menjadi cita hukum itu sendiri?

Notonagoro menyatakan bahwa Pancasila merupakan cita hukum karena


kedudukannya sebagai pokok kaidah fundamental negara (staatsfundamentalnorm)
yang mempunyai kekuatan sebagai grundnorm. Sebagai cita hukum, Pancasila
menjadi bintang pemandu seluruh produk hukum nasional. Semua produk hukum
ditujukan untuk mencapai ide-ide yang dikandung Pancasila (Notonagoro, 1974: 17-
19). Hamid Attamimi juga menyatakan bahwa sebagai dasar negara, Pancasila
merupakan cita hukum yang menguasai hukum dasar negara, baik tertulis maupun
tidak tertulis (Oetojo Oesman & Alfian, 1992: 7). Sementara itu Jimly Asshiddiqie
walaupun tidak menempatkannya sebagai staatsfundamentalnorm maupun

11
grundnorm, juga berpandangan bahwa Pancasila adalah cita hukum sebagai yardstick
dalam menafsirkan konstitusi dan sebagai panduan dalam menata kehidupan
berbangsa dan bernegara (Asshiddiqie, 2007). Oleh karena itu Pasal 2 UU Nomor 12
tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pancasila
ditempatkan sebagai sumber dari segala sumber hukum.

Kedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum mengandung


konsekuensi bahwa kekuasaan atau kedaulatan hukum bersumber pada Pancasila.
Oleh sebab itu, setiap hukum yang lahir harus berdasar dan mengalir dari Pancasila
dengan memuat konsistensi isi mulai dari yang paling atas sampai yang paling rendah
hirarkinya. Pancasila memang berkonotasi yuridis dalam arti melahirkan berbagai
peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis dan bersumber darinya.
Hal ini berarti bahwa hukum yang ada dan berlaku haruslah hukum yang memuat nilai-
nilai Ketuhanan Yang Esa, nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, nilai-nilai
yang mempersatukan bangsa Indonesia, nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai keadilan
sosial. Dengan kata lain, tidak boleh di negara ini ada hukum yang tidak mendasarkan
diri pada kekuasaan Tuhan. Tidak boleh ada yang menyimpangi atau melanggar hak
asasi manusia. Tidak boleh ada hukum yang mengoyak persatuan dan kesatuan
bangsa. Tidak boleh ada hukum yang elitis apalagi karena diproduksi oleh sistem
politik yang tidak demokratis. Tidak boleh juga ada hukum yang bertentangan dengan
keadilan sosial.

Sebagai dasar negara, Pancasila adalah titik sentral. Pancasila adalah


medium dalam dan melalui mana kita “mereka-bayangkan” (imagined) serta
menghendaki bangsa yang diinginkan. Pancasila bersifat normatif sebagai pemandu
ideologis bagi pembuatan dan pelaksanaan semua kebijakan publik (tentu saja
termasuk hukum) dalam membentuk dan menjalani Indonesia sebagai suatu bangsa
(Priyono, 2009: 14)

b) Hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945

Hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD NRI tahun 1945 dapat dipahami
sebagai hubungan yang bersifat formal dan material. Hubungan secara formal
menunjuk pada tercantumnya Pancasila secara formal di dalam Pembukaan yang
mengandung pengertian bahwa tata kehidupan bernegara tidak hanya bertopang pada

12
asas sosial, ekonomi, politik, akan tetapi dalam perpaduannya dengan keseluruhan
asas yang melekat padanya, yaitu perpaduan asas-asas kultural, religius dan asas-asas
kenegaraan yang unsur-unsurnya terdapat dalam Pancasila (Kaelan, 2009: 90-91).

Dalam hubungan yang bersifat formal rumusan Pancasila sebagai dasar Negara
Republik Indonesia adalah sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD NRI
tahun 1945 alinea keempat. Pembukaan UUD NRI tahun 1945 merupakan Pokok
Kaidah Negara yang Fundamental sehingga terhadap tertib hukum Indonesia
mempunyai dua macam kedudukan, yaitu: 1) sebagai dasarnya, karena Pembukaan
itulah yang memberikan faktor-faktor mutlak bagi adanya tertib hukum Indonesia; 2)
memasukkan dirinya di dalam tertib hukum tersebut sebagai tertib hukum tertinggi
(Kaelan, 2009: 90-91).

Pembukaan yang berintikan Pancasila merupakan sumber bagi pasal-pasal di


dalam UUD NRI Tahun 1945. Akibat hukum dari kedudukan Pembukaan ini adalah
memperkuat kedudukan Pancasila sebagai norma dasar hukum tertinggi yang tidak
dapat diubah dengan jalan hukum dan melekat pada kelangsungan hidup Negara
Republik Indonesia.

Hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD NRI tahun 1945 secara material
adalah menunjuk pada materi pokok atau isi Pembukaan yang tidak lain adalah
Pancasila. Oleh karena kandungan material Pembukaan UUD NRI tahun 1945 yang
demikian itulah maka Pembukaan UUD NRI tahun 1945 dapat disebut sebagai Pokok
Kaidah Negara yang Fundamental yang berintikan Pancasila (Kaelan, 2009: 90-
91).

13
MODUL V

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA

TUJUAN PERTEMUAN:

Mahasiswa mampu menganalisis dan mengevaluasi Pancasila sebagai dasar negara


yang meliputi (1) Hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945; (2)
Penjabaran Pancasila dalam pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945; dan (3)
Implementasi Pancasila dalam pembuatan kebijakan negara dalam bidang ekonomi,
politik, sosial budaya, dan Hankam.

INDIKATOR:

1. Mampu melakukan penyimpulan bahwa Pancasila sebagai dasar negara


Republik Indonesia dengan memberikan berbagai rasionalitas. 

2. Menunjukkan hasil pembelajaran melalui analisis pemahaman Pancasila yang
hidup dalam setiap tata peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia.

3. Dalam kondisi semangat jiwa Pancasila dalam tata peraturan, mahasiswa
mampu mengidentifikasi nilai-nilai Pancasila apa saja yang hidup atau
menjiwai tata peraturan tersebut. 

4. Menguasai pengetahuan tentang hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD
NRI Tahun 1945, Penjabaran Pancasila dalam Batang Tubuh UUD NRI Tahun
1945, dan Implementasi Pancasila dalam pembuatan kebijakan negara dalam
bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan serta keamanan. 

5. Untuk dapat menguji pengetahuan tersebut, mahasiswa akan diberikan
tugas kelompok untuk melakukan diskusi mengenai nilai-nilai Pancasila yang
hidup dalam kebijakan dan tata peraturan yang ada di Indonesia. 

6. Mampu mengelola hasil kerja individu dan kelompok menjadi suatu
gagasan mengenai Pancasila yang hidup dalam kebijakan dan tata peraturan
Indonesia.
Pertemuan Kedua:

1. Pada pertemuan sebelumnya, mahasiswa dibagi ulang menjadi 6 kelompok


dan masing-masing menunjuk koordinator dan juru bicara yang berbeda
dengan mahasiswa sebelumnya (Mahasiswa yang sudah pernah menjadi
koordinator/juru bicara tidak boleh dipilih lagi).
2. b) Setiap kelompok diminta untuk mengidentifikasi kebijakan/aturan yang
dinilai tidak sesuai dengan Pancasila. Setiap kelompok satu kebijakan berikut:
a. Politik;
b. Hukum;
c. Pendidikan;
d. Kesehatan;
e. Ekonomi;
f. Pertahanan dan Keamanan;
3. Masing-masing kelompok menyampaikan hasil diskusi kelompok yang
meliputi aspek:
a. Apa uraian kebijakan yang dianalisis?
b. Apa argumentasi bahwa kebijakan dimaksud tidak sesuai dengan
Pancasila?
c. Bagaimana model kebijakan yang sesuai?
d. Apa yang dapat dilakukan untuk memperjuangkan perubahan kebijakan
itu?
4. d). Tutor melakukan klarifikasi dan review untuk mempertajam dan meluruskan
analisis yang dilakukan oleh mahasiswa.

BAHAN BACAAN:

 Agus Wahyudi dkk (eds). Proceeding Kongres Pancasila: Pancasila Dalam


Berbagai Perspektif. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK,
2009.
 B. Herry Priyono. “Agenda Indonesia: Sebuah Bangsa hanya dibentuk
dengan sengaja”. Makalah disampaikan pada Kongres Pancasila 2009.
 Endang Saifuddin Anshari. Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Jakarta: Rajawali,
1986.
 Jimly Asshiddiqie. “Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi”. Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2007.
 Kaelan. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma, 2000.
 Moh. Hatta. Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Jakarta: Tintamas, 1970.
 Muhammad Yamin. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Djilid
Pertama. Jakarta: Siguntang, 1971.
 Notonagoro. Pancasila Dasar Falsafah Negara. Jakarta: Pantjuran Tujuh,
1974.
 O.E. Engelen dkk. Lahirnya Satu Bangsa dan Satu Negara. Jakarta: UI-Press,
1997.
 Oetojo Oesman & Alfian. Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7 Pusat,
1992.
 RM. A.B. Kusuma. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Badan
Penerbit FH UI, 2009.
 Sri Soemantri Martosoewignyo. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi.
Bandung: Alumni, 1987.

Media/Bahan Pembelajaran

1. Naskah/catatan pidato anggota BPUPK:


a. Muhammad Yamin;
b. Soekarno;
c. Soepomo;
d. Soesanto Tirtoprodjo;
e. Ki Bagoes Hadikoesoemo;
f. Surio;
g. Liem Koen Hian.
2. Kebijakan atau peraturan di bidang:
a. Politik;
b. Hukum;
c. Pendidikan;
d. Kesehatan;
e. Ekonomi;
h. Pertahanan dan Keamanan;

MATERI AJAR

c) Penjabaran dan Implementasi Pancasila

Di dalam sistem hukum Indonesia staats fundamentalnorm meliputi Pancasila


dan Pembukaan UUD 1945 yang seluruh alineanya merupakan pengejawantahan sila
Pancasila; staatsgrundgesetze meliputi segenap pasal-pasal UUD 1945; formelle
gesetze meliputi segenap undang-undang serta verordnungen dan autonome satzungen
meliputi segenap peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang.

Nilai-nilai, cita negara dan cita hukum Pancasila diejawantahkan dalam pasal-
pasal dan ayat UUD 1945 yang selanjutnya dijabarkan dalam peraturan perundang-
undangan. Dengan demikian pada hakikatnya Pancasila sebagai dasar negara
merupakan sumber dari segala sumber hukum. Oleh karena itu pada hakikatnya
Pancasila, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, adalah juga
merupakan sumber tertib hukum Indonesia.

Eksistensi Pancasila tidak mengalami perubahan dengan adanya Perubahan


terhadap UUD NRI Tahun 1945. Hal itu dapat dilihat dari adanya tujuh kesepakatan
MPR. Kesepakatan pertama adalah tidak mengubah Pembukaan UUD 1945.
Kesepakatan itu dicapai karena di dalam Pembukaan UUD 1945 terkandung nilai- nilai
Pancasila yang diyakini oleh semua komponen bangsa sebagai nilai bersama yang
mendasari berdirinya negara Indonesia. Nilai-nilai tersebut tidak hanya memiliki arti
historis sebagai nilai yang menjadi dasar kemerdekaan, tetapi juga memiliki arti
futuristik sebagai nilai yang menjadi pemandu dalam perkembangan bangsa dan negara
Indonesia ke depan untuk mencapai cita-cita nasional. Lukman Hakim Saifuddin
menguraikan penjabaran lima sila dalam Pancasila sebagai acuan pokok Perubahan
UUD 1945 sebagai berikut (Saifuddin, 2010).

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

UUD 1945 pasca perubahan memperkuat posisi sila pertama, Ketuhanan Yang
Maha Esa. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa hal berikut, yaitu: Pertama, secara
substansial, spirit dan filosofi yang terkandung dalam UUD 1945 bersumber dari nilai-
nilai ketuhanan. Konsep dasar yang terkandung dalam UUD 1945, seperti keadilan
sosial, kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, permusyawaratan, dan lain- lain
merupakan konsep yang tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai ketuhanan yang
bersumber dari agama yang ada di Indonesia. Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa ini telah
menjiwai dan membedakan konsep-konsep konstitusional bangsa Indonesia dengan
bangsa lain. Terkait dengan hak asasi manusia misalnya, bangsa Indonesia menganut
konsep HAM yang bersumber pada pengakuan terhadap Ketuhanan Yang Maha
Esa, bukan bersumber pada pemikiran filsafat humanis yang anthroposentris. Oleh
karena itu, dalam konsepsi HAM berdasarkan UUD 1945 juga terkandung maksud
kewajiban asasi menghormati HAM orang lain, serta dimungkinkannya pembatasan
untuk melindungi hak orang lain berdasarkan tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam
masyarakat yang demokratis.

Kedua, tidak ada satu ayat pun dalam UUD 1945 yang dianggap
bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan, baik secara implisit maupun secara
eksplisit. Lebih dari itu, UUD 1945 secara tegas menentukan agar bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang berketuhanan (agamis) serta menolak atheisme, komunisme, dan
paham-paham lain yang anti tuhan. Pernyataan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 bahwa ”(1)
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” mempertegas nilai- nilai ketuhanan
dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.

Ketiga, dalam UUD 1945 setidak-tidaknya terdapat tujuh ketentuan yang secara
eksplisit mempertegas bahwa nilai-nilai ketuhanan merupakan roh dari Konstitusi itu,
yakni:
a. Alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 yang menyebut ”Atas berkat rahmat Allah
Yang Maha Kuasa” sebagai basis pernyataan kemerdekaan Indonesia. Ini
berarti kedaulatan bangsa Indonesia dan upaya untuk mengisi kedaulatan itu
demi keadilan dan kesejahteraan rakyat harus selalu berpijak pada nilai-nilai
agama untuk mendapatkan berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.
b. Pasal 9 UUD 1945 yang mewajibkan Presiden/Wakil Presiden bersumpah
menurut agamanya. Ini berarti dalam menjalankan tugas dan wewenang
pemerintahan, Presiden/Wakil Presiden harus memperhatikan nilai-nilai agama
karena mereka telah bersumpah menurut agamanya.
c. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menetapkan adanya peradilan agama di
bawah Mahkamah Agung.
d. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang wajib
tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang (UU) untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang
demokratis.
e. Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa ” (1) Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
f. Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa ”Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia...”.
g. Pasal 31 ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan bahwa ”Pemerintah
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-
nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Sila kedua dalam Pancasila, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan beradab
sangat diperkuat oleh UUD 1945. UUD 1945 menjadikan Hak Asasi Manusia (HAM)
sebagai hal yang cukup penting, sehingga dimuat dalam bab tersendiri, yaitu Bab XA
Hak Asasi Manusia yang terdiri dari 9 Pasal dan 29 ayat.

Jika dibandingkan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)


yang dideklarasikan oleh Majelis Umum PBB, 10 Desember 1948, maka konsep HAM
dalam UUD 1945 sejalan dengan konsep HAM yang menjadi kesepakatan masyarakat
internasional. Semua hal yang dianggap sebagai hak umat manusia secara universal
juga sudah dimuat dalam UUD 1945.

Konsep HAM dalam UUD 1945 tidak hanya membicarakan hak-hak setiap
orang, melainkan juga kewajibannya. Jadi, ada keseimbangan antara hak dan
kewajiban. Pasal 28A sampai Pasal 28I berisi hak-hak setiap orang. Namun, hak- hak
itu harus diimbangi dengan kewajiban, sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat
(1) dan (2) bahwa: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai- nilai agama, keamanan,
dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Pasal 28J ayat (2) merupakan terjemahan dari Pasal 29 ayat (2) DUHAM,
sehingga penyeimbangan antara hak dan kewajiban juga merupakan ketentuan
HAM yang berlaku secara universal. Bunyi dari Pasal 29 ayat(2) DUHAM adalah: “(2)
Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk
hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang
tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat
terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan
moralitas, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang
demokratis.” Perbedaannya hanya tipis, istilah “requirements of morality” dan “public
order and the general welfare” dalam DUHAM diterjemahkan menjadi “pertimbangan
moral dan nilai-nilai agama” dan “keamanan dan ketertiban umum” dalam UUD 1945.

Perlu ditegaskan di sini bahwa pasal-pasal HAM dalam UUD 1945 tidak terbatas
pada Bab XA, karena dalam pasal lain juga ada ketentuan yang secara langsung atau
tidak langsung memperkuat ketentuan HAM dalam UUD 1945 sekaligus memperkuat
sila kemanusiaan dalam Pancasila. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, misalnya, yang
menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu” juga memperkuat HAM di bidang agama dan kepercayaan. Begitu pula Bab X
Warga Negara dan Penduduk, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 bahwa “Tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,”
memperkuat pelaksanaan HAM di bidang ekonomi dan kesejahteraan.

3. Persatuan Indonesia

Spirit dari sila ketiga dalam Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia diterjemahkan
oleh UUD 1945 sebagai negara kesatuan. Spirit ini dipertahankan dan diperkokoh oleh
UUD 1945, baik di masa kini maupun di masa mendatang. Sebelum Perubahan UUD
1945 dilaksanakan, salah satu kesepakatan dasar para pihak yang terlibat di dalamnya
adalah mempertahankan NKRI. Ini berarti, MPR-RI yang terlibat dalam Perubahan
UUD 1945 telah menyerap aspirasi seluruh masyarakat yang masih menganggap
relevan keputusan para pendiri bangsa agar Indonesia menganut negara kesatuan,
bukan negara federal.

Semangat mempertahankan negara kesatuan itu kemudian dipertegas dalam


Perubahan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Pasal 1 ayat
(1) UUD 1945 menyatakan: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik.” Pada Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 juga ditegaskan bahwa “Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi
atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Ketentuan itu lalu dikunci
untuk tidak diubah melalui Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 bahwa “Khusus mengenai
bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.”
Bagi Indonesia, NKRI lahir sebagai jawaban bahkan perlawanan atas upaya
Pemerintah Belanda yang hendak memecah-mecah Indonesia menjadi 32 negara
bagian dalam sistem negara federal yang dikenal dengan nama Republik Indonesia
Serikat (RIS) sejak 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950. Karena RIS dianggap
sebagai biang perpecahan bangsa dan negara, masyarakat menentang pemberlakuan
Konstitusi RIS itu, lalu parlemen di sebagian besar negara-negara bagian merespon
aspirasi masyarakat dengan mengeluarkan putusan politik berupa pembubaran RIS di
wilayahnya, lalu menyatakan kembali lagi ke NKRI.

Dengan begitu, NKRI bukan hanya merupakan sebuah konsep ilmiah di


bidang kenegaraan, melainkan juga sebagai bagian penting dari perjuangan
menegakkan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Upaya
mempertahankan NKRI sama dengan mempertahankan kedaulatan Indonesia itu
sendiri. Di atas itu, upaya mempertahankan NKRI juga merupakan perwujudan dari
semangat sila ketiga dalam Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia.

4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan


dalam Permusyawaratan/Perwakilan

Dalam sila keempat Pancasila, ada dua kata kunci yang perlu didiskusikan
bersama, yaitu kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan. Kongres Pancasila, 30
Mei - 1 Juni 2009, di Yogyakarta mengartikan kerakyatan dengan penguatan elemen
dan peningkatan mutu masyarakat sipil (masyarakat madani atau civil society), lalu
permusyawaratan/perwakilan sebagai perwujudan dari checks and balances (saling
kontrol dan mengimbangi) sehingga masing-masing pihak selalu mengutamakan
kedaulan rakyat (Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009:
59-60).

“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam


permusyawaratan/perwakilan” menekankan urgensi penguatan masyarakat sipil
sebagai syarat bagi adanya permusyawaratan/perwakilan, sehingga proses perumusan
kepentingan publik yang dilakukan dalam sebuah permusyawaratan/perwakilan
berjalan sesuai dengan aspirasi rakyat serta tidak dibelokkan untuk kepentingan
lainnya.
UUD 1945 menerjemahkan sila keempat itu, dalam artian penguatan masyarakat
sipil, dengan pemberian kedaulatan kepada rakyat sepenuhnya. Pasal 1 ayat 2 UUD
1945 menyatakan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya
menurut Undang-Undang Dasar”. Bahkan dalam “usaha pertahanan dan keamanan
negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan kemanan rakyat semesta...” (Pasal
30 ayat 2 UUD 1945). Ini berarti, semua lembaga negara yang dibentuk berdasarkan
UUD 1945 atau peraturan di bawahnya tidak boleh mendistorsi makna “kedaulatan
berada di tangan rakyat” sedikitpun.

Begitu pula halnya dengan proses pemilihan pejabat publik, baik yang dilakukan
melalui pemilihan umum secara langsung untuk presiden/wakil presiden, anggota
DPR, DPD, dan DPRD atau melalui pemilihan yang demokratis untuk kepala
daerah provinsi dan kabupaten/kota atau melalui cara lain harus mencerminkan
“kedaulatan berada di tangan rakyat”.

Mengingat urgensi sila kerakyatan, UUD 1945 penuh dengan ketentuan yang
bahwa kepentingan rakyat berada di atas segala-galanya. Banyak sebutan rakyat dalam
UUD 1945, seperti setiap orang, setiap warga, manusia dan kemanusiaan, penduduk,
warga negara, masyarakat, fakir miskin, anak-anak, hajat hidup orang banyak,
pelayanan umum, nusa dan bangsa, serta lain sebagainya. Intinya, semua ketentuan
dalam UUD 1945, mulai dari Pembukaan sampai Aturan Tambahan merupakan
perintah untuk mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya.

Secara teknis, kata rakyat merupakan hal yang subjektif, karena bisa saja
kepentingan rakyat berbeda satu sama lain. Untuk itulah, agar tidak terjadi anarki maka
Pancasila mengisyaratkan bahwa kerakyatan itu harus berada dalam bingkai
permusyawaratan di mana pesertanya dibentuk melalui perwakilan. UUD 1945 dan
peraturan perundang-undangan di bawahnya telah menentukan bahwa proses
pembentukan perwakilan rakyat harus melalui pemilihan umum secara langsung,
sehingga tidak dikenal lagi istilah utusan golongan dan utusan daerah di mana
pesertanya dipilih oleh kalangan secara terbatas.

Apakah sekarang proses demokrasi di Indonesia, dengan pemilihan umum secara


langsung, penguatan checks and balances antara cabang kekuasaan negara,
kebebasan pers, dan lain-lain sudah sesuai serta menghasilkan hal-hal yang menjadi
spirit sila keempat Pancasila atau Pasal 1 ayat (2) UUD 1945? Jawabannya, masih
banyak hal yang harus kita lakukan sesuai dengan kapasitas dan kemampuan kita
masing-masing.

5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

UUD 1945 sebenarnya sangat tegas dalam memperkuat semangat keadilan.


Bahkan, kita tidak perlu takut untuk mengatakan bahwa inti dari pesan UUD 1945
adalah keadilan. Hal ini terlihat dalam Pembukaan UUD 1945, dari empat alinea yang
ada, tiga di antaranya menyebut secara eksplisit keharusan mewujudkan “keadilan”
atau “peri-keadilan” atau “adil.” Hanya satu alinea yakni alinea ketiga yang tidak
menyebutkan kata “adil”, walaupun pesan dari alinea itu penuh dengan muatan
keadilan, karena berisi deklarasi kemerdekaan Indonesia.

Secara keseluruhan, pasal-pasal dalam UUD 1945 menekankan keadilan dalam


segala aspek kehidupan. Pesan konstitusi bahwa Indonesia adalah negara hukum
merupakan pernyataan yang tegas bahwa keadilan harus diwujudkan di bumi
Indonesia, karena hukum tanpa keadilan tidak mempunyai makna apapun. Pasal 18
ayat (5) UUD 1945 bahwa “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-
luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan Pemerintah Pusat” merupakan pesan keadilan dalam bidang pemerintahan.
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar
besar kemakmuran rakyat” merupakan pesan keadilan dalam bidang ekonomi.
Ringkasnya, seluruh muatan UUD 1945 memerintahkan perwujudan keadilan dalam
segala aspek kehidupan.

Selain itu, setidak-tidaknya dalam 8 hal UUD 1945 memerintahkan


perwujudan keadilan, dengan menggunakan kata “adil” atau turunannya secara
eksplisit, yaitu:
a. Pasal 7B UUD 1945 bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili,
dan memutus dengan seadil-adilnya dalam proses pemberhentian
Presiden/Wakil Presiden.
b. Pasal 9 UUD 1945 bahwa dalam sumpahnya, Presiden dan Wakil Presiden
berjanji memenuhi kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden seadil-
adilnya.
c. Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 bahwa hubungan keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah
pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras
berdasarkan undang-undang.
d. Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 bahwa Pemilihan Umum dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
e. Pasal 24, 24A, 24B, dan 24C UUD 1945 yang memerintahkan agar kekuasaan
kehakiman yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi harus
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kata
“menyelenggarakan” itu bermakna bahwa proses, pelaksanaan, dan produk
hukum harus berlandaskan keadilan untuk menegakkan keadilan. Selain itu,
pesan eksplisit dari pasal-pasal di atas adalah agar hakim dalam kekuasaan
kehakiman yang ada di lingkungan Mahkamah Agung dan peradilan di
bawahnya atau di lingkungan Mahkamah Konstitusi haruslah orang yang adil,
di samping profesional, tidak tercela, dan lain-lain.
f. Pasal 28D ayat (1) dan (2) UUD 1945 bahwa setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta berhak
untuk bekerja, mendapat imbalan, dan perlakuan yang adil.
g. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
h. Pasal 33 ayat(4) UUD 1945 bahwa perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional.
MODUL VII
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

TUJUAN PERTEMUAN:

Mahasiswa mampu memahami, menghayati dan mengamalkan Pancasila sebagai


ideologi Indonesia. Tujuan tersebut termasuk tujuan instruksional umum, meliputi: (1)
Mempunyai pemahaman tentang pandangan hidup bangsa dan ideologi, (2) Mampu
mengambil kelebihan ideologi Pancasila di antara ideologi-ideologi besar dunia, (3)
Mempunyai pengetahuan dan kesadaran ilmiah dalam menghubungkan Pancasila dan
Agama secara harmonis, (4) Meyakini Pancasila sebagai ideologi bangsa di tengah
gempuran ideologi radikal keagamaan dan ideologi-semu budaya pop (pop culture).

INDIKATOR:

a) Mampu mengambil kelebihan ideologi Pancasila di antara ideologi-ideologi besar


dunia.
b) Memberikan rasionalitas (penjelasan rasional) serta berkeyakinan bahwa
Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia.
c) Menguasai pengetahuan tentang hubungan ideologi dan pandangan hidup.
d) d) Mampu menghubungkan keterkaitan (interdependensi-dialog) antara
Pancasila dengan Agama.
e) Menunjukkan hasil pemahaman tentang Pancasila sebagai ideologi dan pandangan
hidup dengan menganalisis kasus tertentu, baik secara individu maupun kelompok.
f) Mampu mengelola hasil kerja individu dan kelompok menjadi suatu gagasan
mengenai Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup.

SKENARIO:
a) Pada pertemuan sebelumnya, mahasiswa telah diberi tugas dan diminta untuk
mengumpulkan hasil resumenya.
b) Dosen melanjutkan pembahasan materi selanjutnya yang lebih khusus, yakni
Pancasila sebagai ideologi negara, perbandingan pancasila dengan ideologi lain, dan
pancasila sebagai pandangan hidup, dengan media power point yang telah
disiapkan.
1
c) Setelah penyampaian materi selesai, kelas dibagi menjadi 6 kelompok dan memilih
1 orang anggota untuk menjadi juru bicara kelompok.
d) Mahasiswa ditugaskan untuk menonton video bersama-sama, kemudian
mendiskusikannya.
e) Masing-masing kelompok menyampaikan hasil diskusi kelompok yang
meliputi aspek:
1) Apa uraian hasil diskusi dan analisis?
2) Bagaimana pendapat mereka terkait Pancasila sebagai Ideologi Indonesia,
meliputi:
- Fungsi Pancasila
- Peran Pancasila
- Saran dan sikap mahasiswa menghadapi permasalahan saat ini
f) Dosen melakukan klarifikasi dan review untuk mempertajam dan meluruskan
analisis yang dilakukan oleh mahasiswa.

BAHAN BACAAN:
1. Arrsa, Ria Casmi, 2011, Deideologi Pancasila, UB Press, Malang.
2. Asshiddiqie, Jimly, tt, Ideologi, Pancasila dan Konstitusi. Artikel tidak
diterbitkan.
3. Bakry, Noor Ms, 2010, Pendidikan Pancasila, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
4. Chilcote, Ronald, 2007, Teori Perbandingan Politik: Penelusuran Paradigma. PT
Rajagrafindo Persada, Jakarta.
5. Haryatmoko, 2003, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta, Gramedia.
6. Jurdi, Fatahullah, 2014, Ilmu Politik; Ideologi dan Hegemoni Negara, Graha Ilmu,
Yogyakarta.
7. Kaelan, 2009, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia,
Paradigma, Yogyakarta.
8. Kusumohamidjojo, Budiono, 2014, Filsafat Politik dan Kotak Pandora Abad Ke
21, Jalasutra, Yogyakarta.
9. Latief, Yudi, 2011, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila, Gramedia, Jakarta.
10. Latief, Yudi, 2015, Revolusi Pancasila, Mizan, Jakarta.
11. Santoso, Listiyono dan Ikhsan Rosyid, 2011, Harapan, Peluang dan

2
Tantangan Pembudayaan Nilai-nilai Pancasila, Airlangga University Press,
Surabaya.
12. Magnis-Suseno, Franz, 1992, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta,
Kanisius.
13. Mubyarto, 1994. Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia, LP3ES, Jakarta.
14. Noor Syam, Mohammad, 2000, Pancasila, Dasar Negara Republik Indonesia:
Wawasan Sosi-Kultural, Filosofis dan Konstitusional, Lab Pancasila UM, Malang.
15. Notonegoro, 1975, Pancasila Ilmiah Populer, Pancuran Tujuh, Jakarta.
16. Oesman, Oetojo dan Alfian, 1992, Pancasila Sebagai Ideologi: Dalam Berbagai
Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, BP7, Jakarta.
17. Pranarka, A.M.W, 1987, Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar, CSIS, Jakarta.
18. Sutrisno, Slamet, 2006, Filsafat dan Ideologi Pancasila, Yogyakarta, Penerbit Andi.
19. Syarbaini, Syahrial, 2012, Pendidikan Pancasila, Implementasi Nilai-Nilai
Karakter Bangsa di Perguruan Tinggi. Ghalia Indonesia, Bogor.
20. Thomson, Jhon B, 2015, Kritik Ideologi Global. IRCiSoD, Yogyakarta.
21. Tim Laboratorium Pancasila Ikip Malang, 1981, Glossarium Sekitar Pancasila:
Usaha Nasional, Surabaya

MEDIA/BAHAN PEMBELAJARAN:

2. IDEOLOGI BESAR DUNIA


Kebedaan Pancasila sebagai ideologi negara senantiasa diperbandingkan dengan
ideologi-ideologi besar dunia. Perbandingan ini dapat menjadi bukti bahwa ideologi
Pancasila merupakan ideologi integral yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa, bukan berasal
dari dominasi ideologi besar dunia yang sedang menguasai pandangan dunia kala Indonesia
lahir. Perbandingan ini juga menjadikan wacana Pancasila sebagai ideologi Indonesia lebih
menarik untuk diperbincangkan. Memperbincangkan Pancasila dengan cara yang demikian
juga diharapkan mampu memupuk kemauan dan keyakinan bagi segenap masyarakat
Indonesia untuk mempraktikkan ideologi bangsanya dan tidak silau terhadap gempuran
ideologi asing yang menembus batas geografis.Tidak semua ideologi besar dunia akan
dibahas di sini, namun hanya beberapa ideologi yang paling penting dan
berpengaruh sejauh catatan historis yang ada.

3
a. Liberalisme
Liberalisme adalah suatu paham yang menghendaki adanya kebebasan individu
dalam segala bidang. Menurut paham ini, manusia adalah titik pusat, ukuran segala
hal, atau dalam istilah filsafat disebut antroposentris. Bahwa nilai-nilai manusia merupakan
pusat untuk berfungsinya alam semesta dan alam semesta menopang dan secara tahap demi
tahap mendukung nilai-nilai itu (Lorens Bagus, 2000: 60). Karena eksistensi individu,
masyarakat dapat tersusun dan karena individu pula negara dapat terbentuk. Oleh
karena itu, masyarakat atau negara harus selalu menghormati dan melindungi kebebasan
kemerdekaan individu.
Lahirnya liberalisme untuk pertama kalinya muncul akibat dominasi kaum feodal dan
kaum agama. Keadaan ini pada akhirnya membuat kelompok cerdik pandai dan kaya,
yang kemudian dikenal sebagai kelompok bourjuis, melawan kelompok agama dan feodal
dengan mendalihkan falsafah kebebasan bahwa setiap manusia yang dilahirkan bebas dan
sama (man are born free and equal). Falsafah kebebasan semacam ini lalu berpengaruh dan
mendominasi masayarakt Eropa dan dunia pada umumnya, bahkan pada batas-batas tertentu
berpengaruh bagi masyarakat Indonesia (Oetojo Oesman, dan Alfian, 1991: 98). Setiap
individu harus memiliki kebebasan kemerdekaan, seperti dalam bidang politik, ekonomi, dan
agama.
Praktik liberalisme dalam bidang politik (negara), menurut John Locke, Thomas
Hobbes, dan Jean Jaque Rousseau bahwa negara tidak lagi dipahami sebagai tanah atau
kekayaan (land and reich), sebagaimana tesis kaum feodal. Akan tetapi negara dipahami
sebagai suatu status hukum (legal society) dari suatu Perjanjian masyarakat (social
contract). Jadi negara adalah hasil perjanjian bermasyarakat dari individu-individu yang
bebas, sehingga hak-hak orang atau hak asasi lebih tinggi kedudukannya ketimbang negara
yang merupakan hasil bentukan individu-individu yang bebas (Oesman, dan Alfian, 1991:
93). Negara tidak mempunyai legitimasi untuk mengurus segala-galanya. Inti paham liberal
tentang negara adalah bahwa kekuasaan negara harus seminimal mungkin, oleh karena itu
dapat dilihat liberalism sangat membatasi peran dan fungsi Negara. Pembatasan kekuasaan
ini berangkat dari prinsip dasar bahwa semua orang berkedudukan sama, tidak ada orang
atau kelompok yang berhak memerintah pada yang lain/kelompok lain (Magnis Suseno,
2003: 229-230).
Pada wilayah ekonomi, liberalisme klasik yang dimotori oleh Adam Smith
menyandarkan pemikiran ekonominya pada konsep determinisme alam. Dalam buku The
Wealth of Nations, Smith berasumsi bahwa kebebasan alamiah individu untuk berinteraksi
4
dalam bidang ekonomi, masing-masing memburu kebaikannya sendiri, dengan menawarkan
barang dan jasa kepada orang lain, akan mengarah pada alokasi sumber daya secara efesien
dari sudut pandang masyarakat. Untuk bekerjanya mekanisme pasar yang menguntungkan
semua pihak, diperlukan apa yang disebutnya kondisi “persaingan yang sempurna” (Yudi
Latief, 2011: 564-565).
Sementara pada pemahan agama, liberalisme meminggirkan agama hanya berperan
di ruang privat. Agama dipinggirkan hanya menjadi urusan pribadi. Pemisahan antara agama
dan negara ini (sekularisme) ditandai dengan pemisahan gereja dan negara di masa itu.
Pemisahan agama dan negara sangat mungkin memunculkan sebuah sikap militan, Ketika
agama tersudut dari ruang publik menjadi ruang privat, ekspresi spiritual personal terputus
dari ruang publik, spiritual tanpa pertanggungjawaban sosial, politik tanpa jiwa.

b. Libertarian
Perkembangan lebih lanjut paham ekonomi liberal klasik ini memberi jalan pada
ekspansi kapitalisme yang melahirkan kolonialisme jenis baru. Pemikiran ekonomi yang jauh
lebih liberal lalu dikembangkan terutama menekankan pada paham libertarianisme
(libertarian capitalism), yang melahirkan kini apa yang disebut dengan neoliberalisme.
Neoliberalisme cenderung meringkus peran negara, dengan membatasinya semata-mata
sebagai pelayan pasar (pemodal). Dengan memberikan ruang yang besar kepada negara
sebaai pelayan pasar, neoliberalisme memberi terlalu besar pada kebebasan individu,
melupakan bahwa individualisme yang bersifat predator juga bisa membawa sumber-sumber
penindasan dan ketidakadilannya tersendiri (Yudi Latief, 2011: 276-268).

c. Kapitalisme
Orientasi kaum kapitalis murni berdasarkan mengejar modal atau uang, bahkan
pengejaran keuntugan ini diselubungi oleh ideologi yang dianggap suci. Kapitalis terus
menyebarkan sayap untuk menguasai modal dan keuntungan, maka pada titik ini posisi kaum
buruh kian terjepit. Penguasaan barang, jasa, modal dan keuntungan yang hanya dimiliki
oleh kaum kapitalis, menyebabkan kaum buruh semakin tersingkir dalam persaingan bebas
ekonomi. Maka, tidak ada jalan lagi kecuali kaum buruh harus merebut alat-alat produksi
yang dikuasi oleh kaum pemodal. Kaum buruh bangkit, merebut pabrik dan modal dari
kaum kapitalis. Setelah kaum buruh mampu bekerja dengan bebas dan kreatif, maka
diciptakanlah masyarakat komunis (Magnis Suseno, 2003: 269-270).

5
Aliran ini erat kaitannya dengan materialisme yang menonjolkan penggolongan,
pertentangan antar golongan, kekerasan dengan tujuan revolusi, dan perebutan kekuasaan
negara (Bakry, 2010:187). Masyarakat komunis diandaikan sebagai kegiatan kerja yang tidak
eksklusif, orang dapat bekerja dengan bebas, tanpa tekanan, pagi hari berburu, siang hari
memancing, sore memelihara ternak dan sesudah makan mengkritik. Negara tidak dihapus,
ia akan mati dengan sendirinya. Proses produksi dipimpin oleh persekutuan bebas semua
individu (Magnis Suseno, 2003: 269-270).

d. Komunisme
Cara pandang individualistik dan dominasi kelas tertentu ini mendapat pertentangan
dalam sejarah kenegaraan di Eropa dari kelompok sosialis-komunis yang dipelopori oleh
Marx, Engels, Lenin, yang beranggapan berdasarkan teori kelas bahwa negara secara
hakiki merupakan alat dari mereka yang ekonominya kuat untuk menindas yang lemah.
Menurut Marx, negara tidak mengabdi kepada kepentingan seluruh masyarakat, negara justru
melayani kepentingan kelas tertentu untuk mengamankan posisi dan statusnya. Dalam
masyarakat yang sungguh manusiawi, yang bebas dari penguasaan kelas, negara tidak
mempunyai fungsi lagi (Magnis Suseno, 2003: 261). Pemikiran Marx ini di kolaborasi
dengan pemikiran Lenin oleh Engels. Engels menyusun sistem operasional dari pemikiran-
pemikiran Marx, meliputi politik, ekonomi, dan sosial. Cita-cita komunisme adalah
kehidupan masyarakat tanpa kelas, yang diharapkan menghadirkan atmosfir kedamaian,
tanpa hak milik. Namun pada praktiknya, kediktaktoran muncul untuk menguasai dan
membentuk kehidupan yang tanpa kelas itu.
Pandangan Marx, tentang agama sebetulnya dipengaruhi oleh Ludwig Feuerbach.
Marx menulis, “Manusia yang membangun agama, bukan agama yang membuat manusia”,
agama adalah perealisasian hakikat manusia dalam angan- angan, tanda keterasingan dari
dirinya sendiri. Pertanyaan mendasar Marx mengenai hal ini, apakah yang membuat
manusia berada dalam keterasingan diri yang direalisasikan dalam angan-angan semata?.
Marx lalu memberikan gambaran bahwa kenyataannya, masyarakatlah yang menggiring
pada pola pikir demikian. Oleh karena itu, lanjut Marx kini harus diarahkan pada sikap
materialistik, yakni kritik surga menjadi kritik dunia, kritik agama menjadi kritik hukum,
kritik teologi menjadi kritik politik (Magnis Suseno, 1997: 10).

6
e. Jalan Tengah Pancasila
Di antara pertentangan yang sangat tajam antara liberalism-kapitalisme dan
sosialisme-komunisme, para pendiri bangsa ini memberikan jalan alternatif untuk berada di
antara dua titik ekstrim tersebut. Dalam pidatonya, Mr. Soepomo menguraikan adanya cara
pandang ketiga yang disebut cara pandang integralistik, yakni melihat negara sebagai suatu
kesatuan organik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hegel, Adam Muller dan Spinoza.
Cara pandang integralistik ini berbeda dengan cara pandang Rousseau dkk dan kolektivisme
Rusia. Hatta mengkritik cara pandang integralistik ini karena dinilai terdapat kemungkinan
tumbuhnya negara dengan kekuasaan absolut, sekalipun ada kemiiripan dengan cara
pandangan Indonesia mengenai makro dan mikrokosmos. Hatta melengkapi cara pandang
integralistik tersebut dengan mengajukan usulan penghargaan terdapat hak-hak dasar
manusia. Kemudian hak-hak dasar itu muncul pada urain UUD 45, yakni kemerdekaan
berserikat, berkumpul dan berpendapat (Oetojo Oesman dan Alfian, 1991: 93-94).
Cara pandang integralistik ini melihat kemakmuran masyarakat diutamakan, namun
harkat dan martabat manusia tetap dihargai. Cara pandangan seperti ini tidak melihat
negara secara organis, melainkan sebagaimana disepakati kemudian yang kemudian
terumuskan pada alenia ke-3 pembukaan UUD 1945. Bahwa negara adalah suatu keadaan
kehidupan berkelompoknya bangsa Indonesia yang atas berkat rahmat Allah yang
didorongkan oleh keinginan yang luhur bangsa Indoneis untuk berkehidupan kebangsaan
yang bebas.
Sementara dalam bidang ekonomi, jelas Pancasila Ekonomi pancasila didefinisikan
sebagai sistem ekonomi yang dijiwai ideologi Pancasila yang merupakan usaha
bersama yang berasaskan kekeluargaan dan kegotongroyongan nasional. Sistem ekonomi
Pancasila bersumber langsung dari Pancasila sila kelima; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia dan amanat pasal 33 27, 31, 33 34. Ekonomi Pancasila merupakan sistem ekonomi
integratif yang mengandung pada dirinya ciri-ciri positif dari kedua sistem ekstrim
(Mubyarto, 1980).
Peranan unsur moralitas sangat kuat dalam konsep ekonomi Pancasila. Karena unsur
moral dapat menjadi salah satu pembimbing utama pemikian dan kegiatan ekonomi. Kalau
moralitas ekonomi Smith adalah kebebasan (liberalisme) dan ekonomi Marx adalah
diktator mayoritas (oleh kaum proletar). Moralitas Ekonomi Pancasila mencakup
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Pelaku-pelaku ekonomi
inilah yang secara agregatif menciptakan masyarakat yang berkeadilan sosial dan besifat
sosialistik yaitu adanya perhatian yang besar pada mereka yang tertinggal (Mubyarto, 1981).
7
Ditambah dengan semangat nasionalistis dan kesungguhan dalam implementasi, Ekonomi
pancasila akan mampu menciutkan kesenjangan kaya-miskin atau mampu mencapai tujuan
pemerataan (Mubyarto, 1986).
Sementara itu, hubungan antara Pancasila (Negara) dengan agama diletakkan
dalam kerangaka pembedaan (differentiation), bukan pemisahan (sekularisme). Pembadaan
agama dan negara dalam konteks ini diartikan masing- masing mempunyai batas otoritas,
tetapi terhubung dengan ranah kehidupan yang berbeda secara konseptual (tapi bisa saja
terhubung) dalam metode, bentuk pemikiran, wacana dan tindakan. Perihal tersebut disebut
“toleransi kembar” (twin tolerations), yakni situasi ketika institusi agama dan negara
menyadari batas otoritasnya masing-masing (Yudi Latief, 2011).
Agama menyediakan landasan moral untuk menopang atau bahkan melawan
kekuasaan; Agama tak perlu diintegrasikan ke dalam negara (institusi), sebab rawan dengan
politisasi agama. Agama justru harus terus mengkontrol kecenderungan absolutisme dunia
sekuler negara. Untuk itu, agama harus melakukan proses obyektivikasi dan rasionalisasi
agar bersifat universal. Institusi negara bebas menjalankan kebijakan dalam batas konstitusi,
sementara agama juga diberi kebebasan penuh beribadah privat dalam batas keyakinan
masing-masing. Agama bisa mengembangkan nilai keagamaan di ruang publik melalui civil
society atau bahkan political society (Yudi Latief, 2011).

4. IDEOLOGI PANCASILA SEBAGAI PANDANGAN HIDUP


Pemikiran kefisafatan, baik dalam kajian historis maupun tokoh/filsuf, harus
dipahami sebagai proses pemikiran dan sebagai produk pemikiran. Sebagai proses, filsafat
adalah kerangka berpikir yang menggunakan sistematika kefilsafatan. Dalam proses berfikir
(perenungan filsosofis) setidaknya harus terpenuhi empat karakter mendasar, yakni rasional,
radikal, kritis. dan komprehensif. Perenungan yang melibatkan dimensi akal budi sebagai
‘panglima’ tersebut pada akhirnya menghasilkan sebuah produk pemikiran. Hasil proses
berpikir yang kemudian menjadi produk pemikiran tersebut seiring dengan zaman menjadi
suatu pandangan hidup, bahkan ideologi, bagi sebuah kelompok masayarakat. Munculnya
filsafat sebagai pandangan hidup terkait dengan upaya sekelompok orang yang merespon dan
menjawab permasalahan pokok kehidupan manusia. Permasalahan itu mencakup:
a. Hakikat hidup manusia
b. Hakikat kerja atau karya
c. Hakikat ruang dan waktu

8
d. Hakikat hubungan manusia dengan alam
e. Hakikat hubungan manusia dengan manusia lainnya (Sutrisno, 2006: 20)
Cara memandang hidup bangsa-bangsa tidak hanya berkenaan dengan menjawab
permasalahan yang bersifat epistemologis belaka (‘bagaimana’), tetapi juga menyangkut
persepsi tentang “apa” permasalahannya, atau apakah hakikatnya. Sumber persepsi yang
berangkat dari pertanyaan ‘apa’ (ontologis) itu merupakan permasalahan pokok hidup
manusia, yakni menyangkut keyakinan dasar, yang memberikan manusia konsep
fundamental sekaligus merupakan idealisasi kehidupan. Dalam konteks komunitas atau
kolektif, bisa disebut dengan suatu cita- cita bangsa yang bersangkutan (idealisasi kolektif).
Menurut Frederick Sontaq, setidaknya ada lima problem fundamental dalam ontologi.
Pertama, apakah yang-ada itu bersifat plural atau tunggal. Kedua, apakah yang-ada itu
bersifat transenden atau immanen. Ketiga, apakah yang-ada itu bersifat permanen
atau terbaru keempat, apakah yang-ada itu bersifat jasmani atau rohani. Kelima, apakah
yang- ada itu bernilai atau tidak. Lima problem mendasar inilah yang selalu menjadi
kerangka konseptual dalam melihat cara masyarakat atau orang memang diri dan
lingkungannya.
Berangkat dari dasar pandangan fundamental tersebut, lalu menjadi idealisasi
kolektif yang terangkum dalam sistem nilai yang bersifat dasar, yang terekspresikan ke dalam
budaya masyarakat bangsa tersebut. Perangkat konseptual keyakinan dasar yang dimiliki
manusia, masyarakat, bangsa disadari atau tidak, itulah yang disebut pandangan hidup.
Singkatnya, pandangan hidup merupakan suatu pandangan menyeluruh mengenai hakikat,
asal, nilai, tujuan dan arti dunia seisinya, khususnya mengenai manusia dan kehidupannya,
suatu pandangan yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari (Slamet Sutrisno, 2006: 20).
Jika dilihat dari perspektif ontologis, masyarakat Indonesia memandang realitas itu
bersifat plural, kebhinekaan, baik dari sisi agama, bahasa, suku dst. Titik tolak ontologis ini
harus menjadi kerangka acuan bangsa Indonesia dalam bersikap dan berperilaku dengan
orang lain/kelompok lain yang berbeda dari kelompoknya. Kenyataannya, nilai kebhinekaan
tersebut diekspresikan oleh masyarakat dalam bentuk budaya, misalnya, kebudayaan tepa
slira, tenggang rasa, dan lainnya. Pandangan hidup yang terdiri atas kesatuan rangakaian
nilai-nilai luhur, yakni menyangkut wawasan menyeluruh terhadap kehidupan itu sendiri.
Pada level praksis, pandangan hidup berfungsi sebagai acuan, baik untuk menata diri pribadi
maupun menata hubungan antara manusia, masyarakat dan alam sekitar. Kebudayaan tepa
slira tersebut terbukti mampu menata hubungan manusia satu dengan lainnya (Slamet
Sutrisno, 2006: 21).
9
Pandangan hidup memberikan orientasi dalam kehidupan, serta menunjukkan
tatanan bagi segala sesuatu yang berada dalam jagad raya. Oleh karenanya, arah atau
orientasi yang diberikan suatu pandangan hiduap bersifat global dan tidak eksplisit
(Oetojo Oesman dan Alfian, 1992: 48). Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa
merupakan kenyataan objektif yang hidup dan berkembang dalam masyarakat
Indonesia. Dalam pengertian inilah maka diistilahkan bahwa bangsa Indonesia
sebagai causa materialis dari Pancasila. Secara ilmiah harus disadari bahwa suatu
masyarakat, suatu bangsa senantiasa mempunyai suatu pandangan hidup atau filsafat hidup
masing-masing yang berbeda dengan bangsa lain. Bangsa Indonesia tidak mungkin
mempunyai pandangan hidup atau filsafat hidup dengan bangsa lain. Pembuktian
epistemologis mengenai hal ini dapat diverifikasi melalui pengalaman selama ribuan tahun
bangsa Indonesia dalam bertuhan, memanusiakan manusia, kebhinekaan, musyawarah dan
cita-cita sosial, yakni keadilan.
Sejatinya, konsep pandangan hidup, filsafat atau falsafah dan ideologi memiliki
keterkaitan satu sama lain. Istilah-istilah ini merupakan gambaran menyeluruh Pancasila,
namun ketiganya memuat makna yang berlainan atau berdekatan . Filsafat adalah pemikiran
ilmiah dan rasional dengan klaim validitas universalitas, falsafah adalah hasil dari kegiatan
filsafati. Kemudian, weltanschauung (pandangan hidup atau pandangan dunia) adalah
pandangan yang lebih relatif, personal, eksistensial dan historikal. Filsafat tidak otomatis
menjadi pandangan hidup. Untuk menjadi sebuah weltanschauung, sebuah falsafaf harus
menjadi sikap dan pendirian orang atau sekelompok orang tentang dunia kehidupan.
Pandangan hidup lebih abstrak kemudian di jalankan dan diterima dalam kehidupan sehari-
hari. Weltanschauung tidak selalu lahir dari filsafat dan membentuk fisafat. Dalam
beragam nilai kearifan tradisional di Indonesia tidak semua weltanschauung didahului
oleh bangunan filsafat, tetapi bisa dijumpai pula weltanschauung yang melahirkan rumusan
filsafat. (Latif, 2015: 33-35).
Terdapat lima kelompok pandangan yang melihat hubungan antara filsafat dan
weltanschauung. Latif (2015: 35) merangkumnya sebagai berikut:
a. Weltanschauung berbeda dengan filsafat.
b. Weltanschauung adalah mahkota filsafat.
c. Weltanschauung adalah manifestasi tertinggi filsafat.
d. Weltanschauung berdampingan dengan filsafat.
e. Weltanschauung menjadi induk filsafat.
f. Weltanschauung sebagun (sama) dengan filsafat.
10
Latif (2015, 32-36) mencatat bahwa Soekarno memposisikan Pancasila sebagai
ideologi yang berasal dari pandangan hidup rakyat Indonesia. “Pancasila sebagai pandangan
hidup/pandangan dunia (weltanschauung) bangsa Indonesia hendak dijadikan ideologi
nagara”. Posisi ini mirip dengan posisi yang dikonsepkan oleh Engels. Bahwa ideologi
adalah weltanschauung yang diorientasikan dan disistematisasikan secara ilmiah-filosofis
bagi operasional pemerintahan Indonesia. Weltanschauung yang demikian menjadi
weltanschauung yang ilmiah (scientific worldview).
Di antara pandangan hidup bangsa Indonesia adalah menempatkan Tuhan atau yang
adi kodrati sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam hidup manusia Indonesia. Hal ini
terbukti adanya banyak peninggalan yang bernuansa religi, misalnya di zaman Megalitikum
terdapat menhir, punden berundak-undak di Pasemah (wilayah antara Palembang dan Jambi),
candi Borobudur, dan seterusnya. Pandangan hidup yang menempatkan Tuhan atau yang adi
kodrati sebagai kutub yang penting dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia
menandakan nilai-nilai ketuhanan menjadi ‘pemandu’ dalam menjalani kehidupan. Implikasi
cara pandang demikian dapat dilihat dari aktivitas keduniawian (politik, sosial, ekonomi)
sebagian besar masyarakat Indonesia yang selalu menghubungkannya dengan dunia adi
kodrati atau Tuhan. Dalam konteks, antropologis-sosiologis, berbagai ragam keyakinan
tersebut adalah hidup berdampingan dan tidak menjadi hambatan dalam berhubungan
dengan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa manusia Indonesia betul-betul menjaga
hidup dalam keharmonisan (Kaelan, 2002: 48).
Demikian pula pada wilayah kemanusiaan, pengakuan atas sifat kodrat manusia
sebagai individu dan sosial telah dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Sebagai makhluk
individu, manusia mempunyai hak-hak yang sederajat dengan lainnya, sementera sebagai
makhluk sosial itu terkait dengan hubungannya dengan manusia lain. Hubungan sosial
masyarakat Indonesia sejak dulu tidak membedakan satu dengan lainnya, meskipun tidak
dengan masyarakat pribumi, yakni dengan komunitas Arab, Tionghoa, dan India.
Bukti historis mengenai hal ini dapat dilihat pada masa kerajaan Sriwijaya yang
telah mengakui bahwa di dunia terdapat bangsa lain secara sederajat. Dalam sebuah buku
yang berjudul Iching, dijelaskan tentang berbagai bekerjasama masyarakat pribumi dengan
bangsa lain seperti Cina, Birma di Universitas Nalanda. Perwujudan kerjasama juga terjadi
dengan bangsa India, Cina dan Arab. Filsafat hidup bangsa memandang manusia
sebagaimana ia sebagai manusia, karena ia adalah manusia (Immanuel Kant), bukan sebagai
lainnya, bukan sebagai obyek di luar dirinya yang harus dieksplotasi. Pandangan filosofis
inilah yang bisa menjadi modal dasar untuk bisa berhubungan dengan yang lain, the others,
11
meskipun berbeda dari sisi etnis, social, budaya bahkan agama (Kaelan, 2002: 48-49). Titik
sentral manusia dalam filsafat hidup bangsa Indonesia tidaklah tenggelam dan sekaligus
tidak menonjol.
Di antara kutub Tuhan dan manusia terdapat keseimbangan tanpa saling
mendominasi satu dengan yang lain. Inilah filsafat hidup yang terkristal dalam Pancasila
Cita-cita dan kesatuan tercermin dalam berbagai ungkapan dalam bahasa- bahasa daerah di
seluruh nusantara sebagai budaya bangsa, seperti atau ungkapan ‘tanah air’ sebagai ekspresi
pengertian persatuan antara tanah dan air, kesatuan wilayah yang terdiri dari pulau-pulau,
lautan dan udara: ‘tanah tumpah darah’ yang mengungkapkan persatuan antara manusia
dengan alam sekitar, persatuan antara orang dan bumi tempat tinggalnya. Ungkapan-
ungkapan tersebut mempunyai kekhasan tersendiri bagi bangsa Indonesia dan tentu saja
mempunyai makna khas pula. Pengalaman kesejarahan bangsa Indonesia dalam merebut
‘tanah tumpah darah’ memberi pesan akan pentingnya persatuan antar berbagai ragam suku,
bahasa, dan bahkan dengan ‘tanah’ yang dipijaknya. Cita-cita persatuan dan kesatuan ini
dalam sejarah bangsa Indonesia juga terungkap bahwa sejarah mencatat adanya kerajaan
yang dapat dikelompokkan bersifat nasional, yakni Sriwijaya dan Majapahit (Kaelan, 2002:
49).
Persatuan bukan hanya slogan semata, persatuan justru harus dibangun dalam
bentuk kerja-kerja praksis kebudayaan, seperti pada ‘gotong royong’, ‘siadapari’,
‘masohi’, ‘sambatan’, ‘gugur gunung’, dan sebagainya mengungkapkan cita-cita
kerakyatan, kebersamaan dan solidaritas sosial. Berdasarkan semangat gotong royong
dan asas kekeluargaan negara tidak mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar atau
bagian yang terkuat dalam masyarakat, baik politik, ekonomis, maupun sosial kultural.
Negara menempatkan diri di atas golongan dan bagian masyarakat, dan mempersatukan diri
dengan seluruh lapisan masyarakat. Rakyat tidak untuk Negara, tetapi Negara untuk
rakyat sebab pengambilan keputusan selalu berdasarkan musyawarah mufakat, seperti yang
dilakukan dalam rembug desa, karaptan nagari, kuria, wanua, banua, nua (Kaelan, 2002: 49).
Dalam hal ini, negara yang kadang berambisi untuk menyeragamkan, adanya perbedaan
justru harus meletakkan keragaman itu sebagai potensi untuk dikelolo dan dikembangkan
untuk menjadi kebudayaan nasional.
Selanjutnya, hubungan antara hak, kewajiban serta kedudukan yang seimbang
itu merupakan cita-cita keadilan sosial. Ide tentang keadilan sosial ini bukanlah hal yang baru
bagi bangsa Indonesia. Cita-cita akan masyarakat yang gemah ripa loh jinawi tata tentrem
karta raharja, serta ajaran milinarisme dan messianime yang menyatakan bahwa masyarakat
12
adil dan makmur akan terwujud dengan datangnya ‘Ratu Adil’ (Kaelan, 2002: 50).
Kedatangan ‘ratu adil’ itu bukanlah datangya ‘sosok’ itu sendiri, tetapi keadilan itu hadir jika
telah dilakukan penegakan hukum, kedaulatan dan mandiri.

13

Anda mungkin juga menyukai