Anda di halaman 1dari 13

Nama: Dian Eka Nurma Sari

NIM : 201751075

Tugas Pendidikan Agama Islam

Membuat kesimpulan dari beberapa refernsi!

1. Memahami Sumber Hukum Islam Kedua


Hadis atau sunah adalah sumber hukum Islam kedua setelah

Alquran. Hadis menjadi penjelas atas ayat-ayat Alquran yang tak

sepenuhnya dipahami oleh umat Islam.

Hal itu dimungkinkan karena Alquran tak hanya berisi ayat-ayat

yang qath’i (jelas), tetapi juga banyak yang zhanni (samar) sehingga

membutuhkan penjelasan terperinci. Salah satu contohnya adalah

perihal shalat.

Banyak ayat Alquran yang mengungkapkan perintah shalat.

Namun, bagaimana shalat itu dilakukan, hal itu tidak dijelaskan secara

perinci. Dari sini, Nabi Muhammad SAW menjelaskan bagaimana

shalat harus dikerjakan. “Shalatlah kalian sebagaimana me lihat aku

shalat.” (HR Bukhari).

Dari sini tampak bahwa kedudukan hadis menjadi penting

terhadap kandungan ayat-ayat Alquran. Karena itu, para ulama sepakat

untuk menempatkannya sebagai sumber hukum Islam kedua setelah

Alquran.

Saat wukuf di Padang Arafah, 9 Dzulhijah tahun 10 H, Rasulullah

bersabda, “Telah aku tinggalkan kepadamu dua perkara dan tidak akan
tersesat kalian selamanya bila berpegang teguh kepada keduanya,

yakni kitabullah (Alquran) dan su nah Rasulullah.” (HR Imam Malik).

Hadis ini menjelaskan, betapa pen tingnya kedudukan hadis sebagai

pedoman umat Islam bila menemu kan hal-hal yang belum jelas dalam

Alquran.

Dalam hal ini, Rasulullah pernah mengecam orang-orang yang

suka menisbatkan sesuatu pada dirinya, sementara hal itu tak pernah

dikerjakannya. “Barang siapa yang berdusta atas nama diri ku,

sesungguhnya tempatnya adalah neraka.”

Daftar Pustaka

Nashih Nasrullah, Agung Sasongko “Memahami Sumber Hukum Islam


Kedua” pada tanggal 23 Januari 2018.
https://www.republika.co.id/berita/p302vv313/memahami-sumber-
hukum-islam-kedua
2. Fungsi Hadist Sebagai Sumber Hukum Islam, Pahami
Penjelasan dan Contohnya.

Hadits adalah sumber pokok ajaran Islam yang tentunya dapat

memberikan penjelasan lebih lanjut ajaran Islam yang tercantum dalam

Al-Qur’an.

Al-Qur’an dan hadits merupakan pegangan umat muslim agar

tidak kehilangan arah dan mendapatkan petunjuk dari Allah SWT.

Hadits mempunyai makna segala perkataan (sabda), perbuatan, dan

ketetapan lainnya dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan hukum

syariat islam selain Al-Qur’an. Ada banyak sekali ulama-ulama ahlul

hadits, diantaranya adalah Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam

Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Abu Daud, Imam Ibnu Majah, dan

Imam Nasa’i.

Pengertian Hadist Menurut Kalangan Ulama :

A. Menurut Para Ahli Hadits

Menurut para ahli hadits, hadits merupakan segala perkataan

(sabda), perbuatan, hal ihwal (kejadian, peristiwa, masalah), dan

ketetapan lainnya yang disandarkan kepada Nabi Muhahmmad

SAW.

B. Menurut Ahli Ushul Fiqh (Ushuliyyun)

Pengetian hadits juga dijelaskan oleh ahli ushul fiqh

(Ushuliyyun). Menurut ahli ushul fiqh, hadits adalah segala

perkataan, perbuatan, dan ketetapan yang disandarkan kepada Nabi

Muhammad SAW yang hanya berhubungan dengan hukum-hukum

islam.
C. Menurut Jumhur Ulama

Beberapa ulama berpendapat bahwa hadist adalah segala

perkataan (sabda), perbuatan, dan ketetapan lainnya (taqrir) yang

disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan para

tabiin.

Fungsi hadits sebagai sumber hukum Islam tentunya untuk

menjelaskan lebih detail apa yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an.

Para ulama sepakat setiap umat islam diwajibkan untuk mengikuti

perintah yang ada hadits-hadits shahih.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


‫َاب هللاِ َو ُسنَّةَ َرسُوْ لِ ِه‬ ِ ‫ت فِ ْي ُك ْم َأ ْم َر ْي ِن لَ ْن ت‬
َ ‫ ِكت‬: ‫َضلُّوْ ا َما تَ َم َّس ْكتُ ْم بِ ِه َما‬ ُ ‫ت ََر ْك‬

“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat

selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah

Rasul-Nya.” (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-

Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-

Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-

13).

Berikut ini beberapa fungsi hadits sebagai sumber hukum Islam

yang perlu kamu pahami :

a) Bayan At-Taqrir (Memperjelas Isi Al-Qur’an)

Fungsi Hadist sebagai bayan al- taqrir berarti memperkuat isi

dari Al-Qur’an. Sebagai contoh hadits yang diriwayatkan oleh H.R

Bukhari dan Muslim terkait perintah berwudhu, yakni:


“Rasulullah SAW bersabda, tidak diterima shalat seseorang

yang berhadats sampai ia berwudhu” (HR.Bukhori dan Abu

Hurairah)”

Hadits diatas mentaqrir atau menjelaskan dari surat Al-

Maidah ayat 6 yang berbunyi:

ِ ِ‫صلَو ِة فَا ْغ ِسلُوْ ا ُوجُوْ هَ ُك ْم َوَأ ْي ِد يَ ُك ْم اِلَى ْال َم َراف‬


‫ق َوا ْم َسحُوْ ا بِ ُرءُوْ ِس ُك ْم‬ ّ ‫يَااَيُّهَاالَّ ِذ ْينَ اَ َمنُوْ ااِ َذاقُ ْمتُ ْم اِلَى ال‬
‫َواَرْ ُجلَ ُك ْم اِلَى ْال َك ْعبَي ِْن‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan

shalat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku,

dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua

mata kaki” (QS.Al-Maidah:6)

Contoh lainnya dari Bayan at-Taqrir adalah terkait perintah

sholat. Allah SWT berfirman, “Sungguh, sholat itu adalah kewajiban

yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (QS.

4/An-Nisa`: 103)

“Bacalah Kitab (Al-Quran) yang telah diwahyukan kepadamu

(Muhammad) dan laksanakanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu

mencegah dari (perbuatan) keji dan juga mungkar.” (QS. 29/Al-

Ankabut: 45).

Dalam dua ayat diatas Allah SWT tidak memberikan

penjelasan tentang jumlah rakaat didalam shalat dan juga bagaiman

tata cara pelaksanaannya. Maka dari itu Rosulullah SAW

menjelaskan dengan berupa perbuatan/praktek ataupun dengan

perkataan. Rasulullah SAW bersabda, ” Sholatlah kalian

sebagaimana kalian melihat aku sholat. ” (HR. Bukhori).


b) Bayan At-Tafsir (Menafsirkan Isi Al-Qur’an)

Fungsi hadist sebagai bayan at-tafsir berarti memberikan

tafsiran (perincian) terhadap isi Al-Qur’an yang masih bersifat

umum (mujmal) serta memberikan batasan-batasan (persyaratan)

pada ayat-ayat yang bersifat mutlak (taqyid). Contoh hadist sebagai

bayan At- tafsir adalah penjelasan nabi Muhammad SAW mengenai

hukum pencurian.
ِّ‫ص ِل ْالكَف‬ ِ ‫َأتَى بِ َسا ِر‬
َ ‫ق فَقَطَ َع يَ َدهُ ِم ْن ِم ْف‬

“Rasulullah SAW didatangi seseorang yang membawa pencuri,

maka beliau memotong tangan pencuri tersebut dari pergelangan

tangan”

Hadist diatas menafsirkan surat Al-maidah ayat 38:


ِ‫َّارقَةُ فَا ْقطَعُوْ ااَ ْي ِد يَهُ َما َجزَ ا ًء بِ َما َك َسبَا نَ َكاالً ِمنَ هللا‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوالس‬ ِ ‫َوالس‬

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah

tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka

kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah” (QS.Al-Maidah:38)

Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan hukuman bagi

seorang pencuri dengan memotong tangannya. Ayat ini masih

bersifat umum, kemudian Nabi SAW memberikan batasan bahwa

yang dipotong dari pergelangan tangan.


c) Bayan At-Tasyri’ (Memberi Kepastian Hukum Islam yang Tidak

Terdapat dalam Al-Qur’an)

Fungsi hadits sebagai sumber hukum Islam berikutnya yakni

adalah sebagai Bayan At-Tasyri’, yang dimana hadits sebagai

pemberi kepastian hukum atau ajaran-ajaran islam yang tidak

dijelaskan dalam Al-Qur’an. Biasanya Al-Qur’an hanya menjelaskan

secara general, kemudian diperkuat dan dijelaskan lebih lanjut

dalam sebuah hadits. Sebagaimana contohnya hadist

mengenai zakat fitrah, dibawah ini:


ْ‫صا عًا ِم ْن تَ َم ٍراَو‬
َ ‫اس‬ِ َّ‫ضانَ َعلَى الن‬ َ ‫ط ِر ِم ْن َر َم‬ ْ ِ‫ض زَ َكا ةَ الف‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَ َر‬
َ ِ‫اِ َّن َرسُوْ ُل هللا‬
َ‫صا عًا ِم ْن َش ِعي ٍْر َعلَى ُكلِّ ُح ٍّر اَوْ َع ْب ٍد َذ َك ٍر َأوْ ُأ ْنثَى ِمنَ ْال ُم ْسلِ ِم ْين‬ َ

“Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada

bulan Ramadhan satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang,

beik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan”(HR. Muslim).

d) Bayan Nasakh (Mengganti Ketentuan Terdahulu)

Fungsi hadits sebagai sumber hukum Islam berikutnya yakni

sebagai Bayan Nasakh atau mengganti ketentuan terdahulu. Secara

etimologi, An-Nasakh memiliki banyak arti diantaranya at-taqyir

(mengubah), al-itbal (membatalkan), at-tahwil (memindahkan), atau

ijalah (menghilangkan).

Untuk fungsi hadist sebagai Bayan Nasakh ini masih terjadi

perdebatan di kalangan ulama. Para ulama Ibn Hazm dan

Mutaqaddim membolehkan menasakh al-Qur’an dengan segala

hadits walaupun hadits ahad.

Kelompok Hanafiyah berpendapat boleh menasakh dengan

hadist masyhur tanpa harus matawatir.  Sedangkan para mu’tazilah


membolehkan menasakh dengan syarat hadist harus mutawatir.

Selain itu, ada juga yang berpendapat Bayan Nasakh bukanlah

fungsi hadist.

Salah satu contoh dari Bayan Nasakh ini yakni :


‫ث‬ ِ ‫صيَّةَ لِ َو‬
ٍ ‫ار‬ ِ ‫الَ َو‬

“Tidak ada wasiat bagi ahli waris”

Hadits ini menasakh surat QS.Al-Baqarah ayat 180:


‫ف َحقًّا َعلَى‬
ِ ْ‫صيَّةُ لِ ْل َوالِ َد ي ِْن َواَْأل ْق َربِ ْينَ بِ ْال َم ْعرُو‬ ُ ْ‫ض َر اَ َح َد ُك ْم ال َمو‬
ِ ‫ت اِ ْن ت ََركَ َخ ْي َرال َو‬ َ ‫ب َعلَ ْي ُك ْم اِ َذ‬
َ ‫اح‬ َ ِ‫ُكت‬
َ‫ال ُمتَّقِ ْين‬

“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu

kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang

banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara ma’ruf.

(ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa” (QS.Al-

Baqarah:180)

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, hadist mempunyai

kedudukan sebagai sumber hukum islam kedua. Dalam Al-Qur’an juga

telah dijelaskan berulang kali perintah untuk mengikuti ajaran

Rasulullah SAW, sebagaimana yang terangkum firman Allah SWT di

surat An-Nisa’ ayat 80:


‫ُول فَقَ ْد َأطَا َع هَّللا َ ۖ َو َم ْن ت ََولَّ ٰى فَ َما َأرْ َس ْلنَاكَ َعلَ ْي ِه ْم َحفِيظًا‬
َ ‫َم ْن ي ُِط ِع ال َّرس‬
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati

Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami

tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.”(QS.An-

Nisa: 80)

Hubungan hadits dengan Al-Qur’an tentunya memiliki

hubungan yang cukup erat. Hadits berfungsi menjelaskan hukum-

hukum dalam Al-Qur’an. Allah SWT menetapkan hukum dalam Al-

Qur’an adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itulah

terletak tujuan yang digariskan. Pengalaman hukum Allah diberi

penjelasan oleh Nabi.

Daftar Pustaka

Hafidha, Selma Intania. “Fungsi Hadist Sebagai Sumber Hukum Islam,


Pahami Penjelasan dan Contohnya” pada tanggal 10 November 2020.
https://m.liputan6.com/hot/read/4404644/fungsi-hadits-sebagai-sumber-
hukum-islam-pahami-penjelasan-dan-contohnya
3. Hadist Sebagai Sumber Hukum Islam
A. Fungsi dan Kedudukan Hadist

Sekiranya hadist Nabi hanya berkedudukansebagai sumber sejarah,

niscaya perhatian ulama terhadap penelitian kesahihan hadis akan

lain dari pada yang ada sekarang ini. Kedudukan hadist, menurut

kesepakatan mayoritas ulama, adalah sebagai salah satu sumber

ajaran Islam. Akan tetapi, terdapat sekelompok kecil dan kalangan

ulama dan umat Islam telah menolak hadist sebagai salah satu

sumber ajaran Islam. Mereka ini biasa dikenal sebutan Inkar al

Sunnah.

Adanya kelompok yang menolak hadist itu diketahui melalui tulisan

– tulisan al-Syafi’i. Mereka itu oleh al-Syafi’I dibagi 3 golongan,

yakni :

1. Golongan yang menolak seluruh sunnah

2. Golongan yang menolak sunnah, kecuali bila sunnah itu memiliki

kesamaan dengan peyunjuk al Qur’an

3. Golongan yang menolak sunnah yang ber status Ahad, dua

golongan yang disebutkan pertama sekali, sebagaimana di

jeleaskan Ahmad Yusuf, sebenarnya dapat dikelompokan

menjadi satu, karena kedua-duanya sama-sama menolak

kewajiban-kewajiban yang timbul dari hadist.

B. Pembagian Hadist

Dalam uraian penulis, istilah hadist dan sunnah disamakan

pengertiannya dengan istilah hadist sebagaimana yang di nyatakan

oleh ulama hadist pada umumnya, yakni segala sabda, perbuatan,

iaqrir, dan sifat Rasullah SAW.


Seseorang aliran Zahiriyyah tidak menyetujui apabila seluruh

perbuatan Nabi masuk ke dalam katagori hadist. Baginya, perbuatan

Nabi baru dapat dikatagorikan sebagai hadist, jika perbuatan itu

didukung oleh perkataan Nabi yang menyuruh melakukannnya,

misalnya perbuatan shalat yang di dukung oleh ucapan nabi yang

menyuruh melakukan.

Al-Syafi’i membagi hadist yang datang dari Nabi Muhammad

SAW, menjadi 2, yaitu Khabar al-ammah dan Khabar al-khasah.

Untuk beniuk pertama ulama lainnya menyebutkan dengan istilah

mutawatir, al-Syafi’i terkadang menybutkan hal ini dengan dengan

al-khabar al-mujtama’alaih.

Apabila dikatan suatu khabar itu ammah (umum), maka

menurut al-Syafi’i itu berate yang diterima oleh banyak orang,

kemudian mereka mengamalkannya. Ia memberi contoh, seperti

jumlah bilangan sholat, dan kewajiban puasa di bulan Ramadhan.

Wahbah Zuhailiy, menurunya dalam menentukan status

mutawatir-nya, suatu hadist tidaklah di dasari pada jumlah tertentu

pada periwayat, tetapi pada dasara pengetahuan dan keyakinan

yang di rangkum dari pendapat-pendapat orang-orang terdahulu.

Penelitian terhadap hadist mutawir tetap saja musti dilakukan,

hanya saja yang menjadi tujuan penelitaian bukalah untuk

mengetahui bagaimana kualitas sanad dan matan hadist yang

bersangkutan. Penelitian yang dimaksud adalah untuk

membuktikan apakah benar hadist tersebut berstatus mutawir.

Selanjutnya mengenai khabar al-kadsah, al-Syafi’i

mengidentifikasi kanya sebagai hadist yang diriwayatkan oleh


seseorang periwayat sampai ke Nabi Muhammad Saw. Pengertian

umumnya di terima oleh kebanyakan ulama. Bahkan mereka

bersepakat bahwa yang disebut hadist ahad adalah hadist yang

tidak mencapai tingkat mutawatir.

Mengenai hadist mursal, al-Syafi’i membaginya menjadi 2

bagian, mursal iabi’in besar (kibar al-tabi’in) dan tabi’in kecil (siqar

al-abi’in). untuk yang disebutkan terakhir kalil, al-Syafi’i menolak

menjadikan hujjah. Ia memberikan 3 alasan :

1. Hadist mursal yang merka sebutkan sampai ke Nabi terlalu jauh

melompat.

2. Hadist mursal seperti ini tidak jelas sumber nya.

3. Seringnya terjadi penyimpangan yang mengakibatkan salah

dalam mengartikannya.

Adapun mursal tabi’in besar, ia membolehkannya dengan syarat :

1. Tabi’in yang menggugurkan adalah tabi’in besar yang memang

berjumpa dengan sebagian besar sahabat, misalnya, Sa’id ibn

Musayyab dan al-Hasan al-Basri.

2. Matan hadist tersebut diriwayatkan oleh sanad lain yang mttasil

atau hadist mursal lain yang ber-sanad lain pula, atau disaksikan

kebenaran hadis mursal itu oleh fatwa sahabat.

3. Periwayat hadist mursal itu adlah orang yang adil.

Uraian syarat-syarat yang diajukan al-Syafi’i untuk menjadikan

hadist mursal sebagai hujah dapat disebut ketat. Hal itu

disebabakan, keputusan sanad yang dimiliki oleh hadis mursal.


Sesungguhnya al-Syafi’i, sebagaimana ditulis oleh al-Ghazali, sangat

menolak hadis mursal.

Daftar Pustaka

Yusuf, Nasrudin. “Hadist Sebagai Sumber Hukum Islam”

file:///C:/Users/DELL/Downloads/240230-hadis-sebagai-sumber-

hukum-islam-telaah-31f6e404%20(1).pdf

Anda mungkin juga menyukai