Anda di halaman 1dari 8

‫بسم

الرحمن الرحيم‬

IBN JARIR AL-THABARI (224H-310H)


Pencari Ilmu Sejati dan Ulama Ensiklopedis
Oleh: Asep Sobari, Lc.

NAMA DAN ASAL-USUL

Tokoh yang menyandang nama lengkap Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ini lahir pada
tahun 224H di kota Amul1, bagian dari wilayah Thabaristan yang saat ini terletak di Iran.
Karena itulah sesekali ia disebut al-Amuli selain, tentunya yang lebih masyhur, al-
Thabari. Uniknya, al-Thabari dikenal juga dengan nama panggilan (kun-yah) Abu Ja`far
(Ayah Ja`far), padahal para ulama yang menulis biografinya mencatat bahwa sampai
akhir hayatnya, al-Thabari tidak menikah.2

Para sejarawan yang menulis biografi al-Thabari tidak banyak menjelaskan kondisi
keluarga ulama besar ini. Hanya saja, dari sumber yang sangat terbatas tersebut dapat
disimpulkan bahwa keluarga al-Thabari tergolong sederhana, kalau tidak dikatakan
miskin, namun ayahnya sangat mementingkan pendidikan putranya tersebut,
sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.

Kehadiran Islam di Thabaristan terbilang cukup dini. Wilayah ini tunduk kepada
penguasa Islam melalui sebuah perjanjian damai pada tahun 22H di masa kepemimpinan
Umar ibn Khaththab melalui panglimanya, Suwaid ibn Muqarrin al-Muzani.3 Peristiwa
ini terjadi tidak lama setelah pasukan muslim berhasil menaklukkan kota al-Ray, kini
Teheran, dan Jurjan.

Keberadaan Islam yang lebih awal ini mendorong tradisi keilmuan Islam mengakar
sangat kuat di wilayah tersebut. Karena seperti biasa, penaklukan daerah baru yang
dilakukan pasukan muslim selalu disertai dengan gerakan pendidikan yang dipelopori
oleh para gubernur dan pejabat. Terlebih lagi di masa Umar ra. yang menjadikan gerakan
keilmuan menjadi tugas utama para pejabatnya di daerah. Dalam salah satu pidatonya,
Umar ra. mengatakan,

"Ya Allah, aku memohon kesaksian-Mu terhadap para pejabat daerah. Sesungguhnya aku
mengangkat mereka agar mengajarkan kepada masyarakat, ajaran agama dan sunnah
Nabi saw.".4

1
Yaqut al-Hamawi, Mu`jam al-Buldan, vol.1 hlm. 29.
2
Ibn Hajar al-`Asqalani, Lisan al-Mizan, vol. 5 hlm. 102.
3
Ibn Jarir al-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, vol. 2 hlm. 539.
4
Akram Dhiya' al-`Umari, `Ashr al-Khilafah al-Rasyidah, hlm. 296, mengutip dari Ahmad, al-Musnad, vol.
1 hlm. 48 dan Ibn Sa`ad, vol. 3 hlm. 149.

1
Dengan demikian, tidak mengherankan jika dari kota Amul saja muncul sejumlah ulama
besar dalam berbagai disiplin ilmu, seperti Ahmad ibn Harun al-Amuli, Abu Ishaq
Ibrahim ibn Basyar al-Amuli, Zur`ah ibn Ahmad al-Amuli, Abdullah ibn Hamad al-
Amuli –salah seorang guru Imam al-Bukhari--, Ahmad ibn Abdah al-Amuli –salah
seorang guru Abu Dawud--, dan ulama besar lainnya.5

PETUALANGAN MENCARI ILMU

Selain faktor lingkungan, orang tua al-Thabari, Jarir ibn Yazid, berperan sangat penting
dalam menumbuhkan semangat mencari ilmu pada diri al-Thabari. Sejak kecil al-Thabari
sudah didekatkan kepada tradisi keilmuan, sehingga saat usianya baru 7 tahun sudah
hapal Al-Qur'an dan dalam usia 9 tahun sudah mulai serius mempelajari hadits.6

Saat menginjak usia 12 tahun (236H)7, al-Thabari dilepas ayahnya untuk memulai
petualangan panjang keluar tanah kelahirannya guna mencari ilmu yang kelak kemudian
menobatkannya sebagai ulama kenamaan yang karya-karya besarnya hingga kini masih
dikagumi dan dipelajari.

Kepada segenap muridnya, al-Thabari menceritakan dukungan sang ayah dan


pengalamannya mencari ilmu dimasa kanak-kanak, "Ayah berusaha sekuat tenaga
mendukungku untuk mencari ilmu saat aku masih kecil sekali". Al-Thabari melanjutkan,
"Selama di kota al-Ray, kami belajar hadits kepada Ibn Humaid al-Razi. Ia suka
mengontrol kami di malam hari untuk memeriksa catatan kami. Padahal, disaat yang
sama kami juga belajar kepada Ahmad al-Dulabi. Ia tinggal di pinggiran kota dan
jaraknya cukup jauh. Alhasil, kami harus lari pontang-panting seperti orang gila agar
tidak terlambat menghadiri pengajian Ibn Humaid". Ada yang menyebutkan bahwa dari
Ibn Humaid saja, al-Thabari mencatat lebih dari 100.000 hadits.8

Kota lain yang disinggahi al-Thabari adalah Bagdad, ibu kota Daulah Abbasiyah,
Bashrah, Kufah, Damaskus, Beirut, dan Mesir. Tampaknya di beberapa kota, Imam al-
Thabari merasa tidak cukup singgah satu kali, sehingga ia berulang kali keluar masuk
kota tersebut untuk memuaskan hasrat keilmuannya. Pada akhirnya, al-Thabari sempat
pulang ke tanah kelahirannya di Thabaristan tahun 290H,9 tapi tidak lama kemudian
kembali ke Bagdad dan menjadikannya tempat persinggahan terakhir untuk mencurahkan
seluruh aktivitas ilmiahnya hingga wafat tahun 310H.

Di setiap kota yang disinggahinya itu, al-Thabari menjumpai guru-guru besar dan
menjadi rujukan pada bidang masing-masing di masa itu. Di Bagdad, al-Thabari belajar
fiqih mazhab Syafi`i kepada al-Hasan al-Za`farani (w.259H) dan Abu Sa`id al-
Ashthakhari (w.328), dan belajar ilmu qira'at kepada Ahmad ibn Yusuf al-Taghlibi

5
Yaqut al-Hamawi, vol. 1 hlm. 30.
6
Abd al-Fattah Abu Ghuddah, al-`Ulama' al-`Uzzab, hlm. 39.
7
Ibn Hajar, vol. 2 hlm. 359.
8
Abd al-Fattah Abu Ghuddah, ibid.
9
Muhammad Umahzun, Tahqiq Mawaqif al-Shahabah fi al-Fitnah, vol. 1 hlm. 152.

2
(w.277H), seorang ulama qira'at paling terkemuka di masanya. Di Bashrah, al-Thabari
belajar hadits kepada Abu Abdullah al-Shan`ani (w.245H), guru hadits Imam Muslim, al-
Tirmidzi, al-Nasa'i dan Ibn Majah, dan Abu al-Asy`ats (w.253H), guru hadits Imam al-
Bukhari dan al-Nasa'i. Di Kufah, al-Thabari belajar ilmu puisi kepada Tsa`lab (w.291H),
ulama Nahwu dan bahasa Arab paling terkemuka di Kufah. Di Beirut, al-Thabari belajar
ilmu qira'at kepada al-Abbas ibn al-Walid al-`Adzri, ulama qira'at kenamaan sekaligus
pengikut mazhab al-Auza`i. Sedangkan di Mesir, al-Thabari belajar fiqih langsung
kepada kolega Imam al-Syafi`i, yaitu al-Muzani (w.268H) dan belajar fiqih Maliki
kepada Ibn Abd al-Hakam dan Yunus ibn Abd al-A`la.10

Imam al-Nawawi menambahkan sejumlah nama guru al-Thabari lainnya, terutama


mereka yang juga menjadi guru al-Bukhari dan Muslim dalam bidang hadits, seperti Abd
al-Malik ibn Abu al-Syawarib, Ahmad ibn Mani` al-Baghawi, al-Walid ibn Syuja`, Abu
Kuraib Muhammad ibn al-`Ala', Ya`qub ibn Ibrahim al-Dauraqi, Abu Sa`id al-Asyaj,
`Amr ibn Ali, Muhmmad ibn al-Mutsanna dan Muhammad ibn Yasar.11

Sebenarnya, jika melihat setengah abad lebih petualangan panjang al-Thabari dalam
mencari ilmu, tentu banyak sekali jumlah ulama yang menjadi gurunya. Al-Dzahabi saja
setidaknya mencatat 42 orang dan menutup uraiannya dengan "wa umaman siwahum"
(dan masih banyak lagi selain mereka).12

INTEGRITAS KEILMUAN AL-THABARI

Al-Thabari dapat dikatakan sebagai ulama multi talenta dan menguasai berbagai disiplin
ilmu. Tafsir, qira'at, hadits, ushul al-din, fiqih perbandingan, sejarah, linguistik, sya`ir13
dan `arudh (kesusateraan) dan debat (jadal) adalah sejumlah disiplin ilmu yang sangat
dikuasainya.14 Namun tidak hanya ilmu-ilmu agama dan alat, al-Thabari pandai ilmu
logika (mathiq), berhitung, al-Jabar, bahkan ilmu kedokteran.15

Penguasaan al-Thabari terhadap berbagai disiplin ilmu ini menjadi catatan sendiri para
ulama sepanjang masa, sehingga tidak heran sederet predikat dan sanjungan disematkan
kepadanya. Al-Khathib al-Baghdadi (w.463H) salah satunya. Dalam kitab Tarikh
Baghdad, ia menyatakan, "Al-Thabari adalah seorang ulama paling terkemuka yang
pernyataannya sangat dipehitungkan dan pendapatnya pantas menjadi rujukan, karena
keluasan pengetahuan dan kelebihannya. Ia menguasai berbagai disiplin ilmu yang sulit
ditandingi oleh siapa pun di masa itu".16

10
Muhammad Umahzun, vol. 1 hlm. 149-152.
11
Al-Nawawi, Tahdzib al-Asma' wa al-Lughat, vol. 1 hlm. 97.
12
Al-Dzahabi, Siyar A`lam al-Nubala', vol. 14 hlm. 268-269.
13
Ali ibn Yusuf al-Qifthi menyatakan kelihaian al-Thabari dalam berpuisi diatas rata-rata para ulama.
Lihat, al-Muhammadun min al-Syu`ara', vol. 1 hlm. 56.
14
Yaqut al-Hamawi, Mu`jam al-Udaba', vol. 2 hlm. 367.
15
Ibid.
16
Al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, vol. 1 hlm. 264.

3
Pengakuan terhadap keilmuan al-Thabari tidak hanya datang dari para ulama lintas
generasi sesudahnya yang mengkaji dan meneliti karya-karya besarnya, seperti Ibn al-
Atsir (w.630H),17 al-Nawawi (w.676H)18, Ibn Taimiyah (w.728H), al-Dzahabi
(w.748H)19, Ibn Katsir (w.774H)20, Ibn Hajar al-`Asqalani (w.852H)21, al-Suyuthi
(w.911H) dan lain-lain. Tapi para ulama yang hidup satu generasinya juga tidak kurang
menyatakan kekaguman dan pujiannya.

Abu Bakr ibn Mujahid, seorang ulama qira'at terkemuka menyatakan, "Aku tidak pernah
mendapati seseorang berdiri di mihrab (imam shalat) yang lebih hebat bacaan [Al-
Qur'an]nya dari Abu Ja`far [ibn Jarir]".22 Ibn Mujahid sendiri sempat hendak belajar
qira`at Warasy dari Nafi` kepada Ibn Jarir, tapi berhubung Ibn Mujahid ingin
mempelajarinya secara privat, maka Ibn Jarir menolaknya.23

Ibn Khuzaimah (w.311H), ulama hadits kenamaan, menyesalkan sikap muridnya, Husain
ibn Ali al-Tamimi yang tidak sempat belajar kepada al-Thabari selama keberadaannya di
kota Bagdad, "Seaindainya engkau belajar hadits kepadanya, itu akan lebih baik daripada
belajar kepada semua gurumu yang lain disana".24

Keilmuan al-Thabari tidak hanya dikagumi dan diminati oleh murid-murid bertalenta
tinggi seperti al-Thabrani, al-Farghani dan Muhammad ibn Kamil al-Qadhi, melainkan
juga para pejabat tinggi, termasuk para menteri hingga Khalifah. Abu Ma`bad al-
Dinawari menuturkan bahwa dia pernah menghadiri majlis (kelas) al-Thabari dan
diantara murid yang hadir terdapat al-Fadhl ibn Ja`far, menteri Daulah Abbasiyah.25

Menurut penuturan al-Farghani, al-Thabari diminta secara khusus oleh menteri al-Abbas
bin al-Hasan untuk menyusun sebuah buku ringkas dalam bidang ilmu fiqih karena dia
tertarik dengannya. Al-Thabari mengabulkan dan menyusun buku al-Khafif fi Ahkam
Syara'i` al-Islam untuknya.26

Puncaknya, ketika Khalifah al-Muktafi mengumumkan sebuah proyek wakaf intelektual


atas nama dirinya, yaitu berupa buku dengan syarat masalah-masalah pada
pembahasannya dapat diterima oleh semua ulama. Kala itu para penasehatnya memberi
masukan, "Tidak ada yang dapat menyusun buku seperti itu, selain Muhammad ibn Jarir
al-Thabari". Maka Khalifah pun meminta al-Thabari menuntaskan proyek wakaf
intelektualnya itu.27

17
Ibn al-Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, al-Muqaddimah.
18
Al-Nawawi, ibid.
19
Al-Dzahabi, vol. 14 hlm. 267.
20
Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, vol. 11 hlm. 165.
21
Ibn Hajar al-`Asqalani, vol. 5 hlm. 100.
22
Yaqut al-Hamawi, vol. 2 hlm. 369.
23
Ibid.
24
Ibn Katsir, vol. 11 hlm. 166.
25
Ibn Hajar, vol. 5 hlm. 102.
26
Al-Subki, Thabaqat al-Syafi`iyah al-Kubra, vol. 3 hlm. 77.
27
Ibn Katsir, ibid.

4
Semua apresiasi diatas akan terasa lebih istimewa, bila kita tahu bahwa masa al-Thabari
dapat dikatakan sebagai era keemasan intelektual Islam, mengingat hampir seluruh
disiplin ilmu berkembang dan melahirkan karya-karya besar yang menjadi rujukan
generasi-generasi Islam berikutnya. Dalam bidang ushuluddin, hadits dan fiqih terdapat
Ahmad ibn Hanbal (w.241H), Abu Ja`far al-Thahawi (w. 322H), Abu al-Hasan al-Asy`ari
(w.330H), al-Ramuharmuzi (w.360H) dan al-Ajuri (w.360H). Aliran Mu`tazilah
melahirkan Abu Ali al-Jubba'i (w.235H). Tasawuf melahirkan al-Harits al-Muhasibi
(w.243H), al-Junaid al-Baghdadi (w. 297H) dan Abu al-Hasan al-Nuri (w. 295H).
Linguistik dan tata Bahasa Arab melahirkan al-Jahizh (w. 255H), Tsa`lab (w.291H), al-
Zajjaj (w.310H) dan Ibn Duraid (w.321H). Sementara bidang filsafat melahirkan al-
Farabi (w. 339H).28

Di tengah nama-nama besar inilah, al-Thabari berhasil menempatkan dirinya sebagai


ulama besar yang sangat diperhitungkan. Fakta-fakta diatas membuktikannya,
sebagaimana juga dapat dilihat dari karya-karya fenomenal yang dilahirkannya.

SUMBANGAN AL-THABARI TERHADAP KEILMUAN ISLAM

Al-Thabari adalah seorang penulis produktif dan tekun, terlebih di masa-masa akhir
hayatnya. Selama 40 tahun, tidak kurang dari 40 halaman yang berhasil ia tulis setiap
harinya.29 Al-Farghani menuturkan, sekelompok murid al-Thabari menghitung jumlah
seluruh halaman buku yang dikarang guru mereka, lalu membaginya dengan usia al-
Thabari sejak aqil balig. Hasilnya, setidaknya sang Imam menulis 14 halaman setiap
harinya.30

Jika kita hitung dengan ukuran buku sekarang, hasilnya akan lebih mencengangkan.
Buku Tarikh al-Rusul wa al-Muluk yang kini terbit dalam 5 jilid besar, di masa al-
Thabari dihitung setebal 3000 halaman31. Ini berarti, jika menggunakan ukuran sekarang,
jumlah seluruh buku yang dikarang al-Thabari tidak kurang dari 500 jilid besar.

Tampaknya tidak semua buku al-Thabari berupa karangan utuh, melainkan sebagiannya
merupakan ringkasan atau saduran dari buku-buku induknya yang cukup panjang, seperti
buku al-Khafif fi Ahkam Syara'i` al-Islam dan Adab al-Qudhah. Berikut ini beberapa
judul buku al-Thabari dan bidang utama kajiannya,

Adab al-Manasik (fiqih), Adab al-Nufus (psikologi), Ikhtilaf `Ulama al-Amshar fi Ahkam
Syara'i` al-Islam (fiqih perbandingan), Ahadits Ghadir Khum (hadits), al-Bashir fi
Ma`alim al-Din (aqidah), Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (sejarah), Tahdzib al-Atsar fi
Tafshil al-Tsabit min al-Akhbar (ensiklopedi hadits), Jami` al-Bayan `an Ta'wil Ay al-

28
Lihat penjelasan lengkapnya dalam, Majid `Irsan al-Kilani, Tathawwur Mafhum al-Nazhariyyah al-
Tarbawiyah al-Islamiyyah, al-Fashl al-Rabi`; al-Nazhariyyah al-Tarbawiyah khilal al-Qarnain al-Tsalits wa
al-Rabi` al-Hijri, hlm. 102-131.
29
Al-Khathib al-Baghdadi, vol. 2 hlm. 163.
30
Yaqut al-Hamawi, vol. 2 hlm. 363.
31
Al-Khathib al-Baghdadi, ibid.

5
Qur'an (tafsir), al-Jami` fi al-Qira'at (qira'at), al-Radd `ala dzi al-Asfar (aqidah, jadal),
Thuruq al-Hadits (sanad hadits), `Ibarat al-Ru'ya (takwil mimpi), Lathif al-Qaul fi Ahkam
Syari'i` al-Islam (fiqih), Mukhtashar al-Fara'idh (ilmu waris) dan lain-lain.32

Selain banyaknya bidang keilmuan yang disentuh, bobot karya-karya al-Thabari sangat
dikagumi para ulama dan peneliti. Al-Hasan ibn Ali al-Ahwazi, ulama qira'at,
menyatakan, "Abu Ja`far [al-Thabari] adalah seorang ulama fiqih, hadits, tafsir, nahwu,
bahasa dan `arudh. Dalam semua bidang tersebut dia melahirkan karya bernilai tinggi
yang mengungguli karya para pengarang lain".33

Tafsir Jami` al-Bayan `an Ta'wil Ay Al-Qur'an

Tampaknya sejak kanak-kanak, Imam al-Thabari sudah bercita-cita ingin menjadi ahli
tafsir. Karena menurut pengakuannya, redaksi judul bukunya tersebut telah
dipersiapkannya sejak masih kecil.34 Buku yang terdiri dari sekitar 6 jilid besar ini selesai
disusun sekaligus diajarkan kepada murid-muridnya selama 7 tahun (283H-290H).35

Imam al-Thabari mengawali bukunya dengan sebuah pengantar tentang keistimewaan Al-
Qur'an dari aspek bahasa dan sastra, masalah tafsir dan cara-cara menerapkannya, dalil
penafsiran Al-Qur'an yang dibolehkan dan dilarang, penjelasan pernyataan Rasulullah
saw. "Al-Qur'an diturunkan dengan tujuh dialek" dan bantahan terhadap anggapan
terdapat ungkapan non-Arab dalam Al-Qur'an. Kemudian al-Thabari masuk kedalam
tafsir Al-Qur'an kata demi kata dengan mengutip pendapat para sahabat, tabi`in dan
ulama generasi berikutnya; menjelaskan pendapat ulama bahasa baik aliran Basrah
maupun Kufah; mengulas perbedaan qira'at, nasikh dan mansukh; menjelaskan hukum-
hukum yang terkandung dalam ayat dan perbedaan pendapat ulama di dalamnya;
membantah pendapat ahli bid`ah dan seterusnya.36

Al-Thabari mengedepankan tafsir yang diriwayatkan oleh para sahabat dan tabi`in
dengan ragam jalan periwayatan mereka, seperti Ibn Abbas, Sa`id ibn Jubair, Mujahid ibn
Jabr, Qatadah ibn Da`amah, al-Hasan al-Bashri, `Ikrmah, al-Dhahak ibn Muzahim,
Abdullah ibn Mas`ud, Abd al-Rahman ibn Zaid, Ibn Juraij, Muqatil ibn Hayyan dan lain-
lain. Al-Thabari tidak menggunakan sumber-sumber riwayat yang tidak valid, seperti
Muhammad ibn al-Sa'ib al-Kalbi, Muqatil ibn Sulaiman, al-Waqidi dan lain-lain, karena
dalam penilaian al-Thabari, mereka lemah.37

Kekuatan dan validitas sumber-sumber tafsir inilah yang menjadi titik berat penilain Ibn
Taimiyah yang membawanya kepada kesimpulan, setelah membandingkan dengan tafsir-
tafsir lain, bahwa "Tafsir paling shahih diantara semua tafsir itu adalah Tafsir
Muhammad ibn Jarir al-Thabari, karena ia mengutip pendapat ulama generasi salaf

32
Dikutip dari Muqaddimah (pengantar) Tarikh al-Thabari, vol. 1 hlm. 5-6.
33
Yaqut al-Hamawi, ibid.
34
Yaqut al-Hamawi, vol. 2 hlm. 367 dan Pengantar Tarikh al-Thabari, vol. 1 hlm. 5.
35
Al-Khathib al-Baghdadi, vol. 1 hlm. 265.
36
Yaqut al-Hamawi, vol. 2 hlm. 368.
37
Ibid.

6
dengan sanad yang valid, tidak ada bid`ah, dan tidak mengutip dari sumber-sumber yang
tertuduh (muttaham) seperti Muqatil ibn Bukair dan al-Kalbi".38

Pengakuan terhadap keunggulan Tafsir al-Thabari datang dari para ulama lintas generasi.
Abu Bakr ibn Khuzaimah menyatakan, "Aku telah meneliti tafsir (al-Thabari) ini dari
awal hingga akhir. Dan aku menyimpulkan, di atas jagad ini tidak ada yang lebih alim
dari Muhammad ibn Jarir".39 Abu Hamid al-Isfarayaini menyatakan, "Jika seseorang
pergi ke China hanya untuk mendapatkan kitab tafsir Muhammad ibn Jarir, maka itu
tidak seberapa".40 Sebagai ahli tafsir generasi belakangan, al-Suyuthi menyimpulkan
Tafsir al-Thabari adalah "tafsir paling berbobot. Semua ulama sepakat, tidak ada karya
(tafsir) yang setara dengannya".41

Tahdzib al-Atsar fi al-Tsabit min al-Akhbar

Buku ini layak disebut sebagai ensiklopedi hadits. Para ulama dan kritikus hadits sangat
mengagumi karya al-Thabari ini, karena keunikan metode penulisan dan kekayaan
materinya, tapi sayang ia tidak sempat menyelesaikannya.42 Padahal jika selesai, karya ini
benar-benar akan menjadi ensiklopedi hadits terlengkap yang pernah ada dan jumlahnya,
diperkirakan al-Dzahabi, mencapai 100 jilid.43

Tarikh al-Rusul wa al-Muluk44

Salah satu karya terbesar al-Thabari dan menjadi rujukan sejarah Islam terpenting
sepanjang masa.45 Buku ini ditulis dengan metode yang cermat dan memaparkan data
yang lengkap dengan sumber riwayat yang jelas. Karena itu, keberadaannya dapat
dikatakan melengkapi karya para sejarawan sebelumnya, seperti al-Ya`qubi, al-Baladzuri,
al-Waqidi dan Ibn Sa`ad, sekaligus menjembatani kelahiran karya besar para sejarawan
setelahnya, seperti al-Mas`udi, Ibn Miskawaih, Ibn al-Atsir, Ibn Katsir dan Ibn
Khaldun.46

AKHLAQ DAN PERILAKU

Tampaknya al-Thabari bukan berasal dari keluarga berekonomi mapan apalagi kaya raya.
Selama berpetualang mencari ilmu dia hanya mengandalkan bekal dari orang tua yang
ketika dicuri, ia tidak dapat menggantinya lagi.47 Begitu juga kisah kelaparan yang
dialaminya ketika berada di Mesir dan kiriman orang tuanya yang terlambat sehingga dia

38
Ibn Taimiyah, Majmu` al-Fatawa, vol. 13 hlm. 385.
39
Al-Khathib al-Baghdadi, vol. 2 hlm. 164.
40
Ibid, vol. 2 hlm. 163.
41
Jalal al-Din al-Suyuthi, Thabaqat al-Mufassirin, vol. 1 hlm. 16.
42
Al-Khathib al-Baghdadi, ibid dan al-Subki, vol. 3 hlm. 75.
43
Al-Dzahabi, vol. 14 hlm. 273.
44
Kajian lebih lengkap tentang buku ini akan dibahas pada sesi diskusi INSISTS berikutnya, insya Allah.
45
Ibn al-Atsir, ibid.
46
Pengantar Tarikh al-Thabari, vol. 1 hlm. 6.
47
Al-Dzahabi, vol. 14 hlm. 271.

7
terpaksa menjual pakaiannya48, menguatkan kesimpulan bahwa kondisi ekonomi al-
Thabari cukup memprihatinkan.

Keterbatasan ekonomi tidak lantas melunturkan semangat al-Thabari mencari ilmu. Di


awal keberadaanya di Bagdad, al-Thabari berusaha mengatasi persoalan ini dengan
mengajar anak menteri Abu al-Hasan ibn Khaqan. Itupun dengan kesepakatan tidak
mengganggu waktu belajar al-Thabari. Dari pekerjaan barunya ini, al-Thabari menerima
upah 10 Dinar setiap bulan dan mendapat pinjaman 10 Dinar untuk modal pertama.49

Gaya hidup sederhana dan bersahaja rupanya menjadi pilihan al-Thabari hingga akhir
hayatnya. Menteri al-Khaqani pernah menawarkan jabatan hakim Daulah Abbasiyah tapi
al-Thabari menolaknya. Tidak hanya itu, al-Thabari juga menolak hadiah 1000 dinar dari
menteri al-Abbas ibn al-Hasan atas buku al-Khafif yang disusun untuknya. Bahkan al-
Thabari menolak hadiah proyek intelektual Khalifah al-Muktafi yang tentu saja nilainya
sangat besar.50

Kedudukan yang begitu terhormat dan kedekatannya dengan para pejabat tinggi Daulah
Abbasiyah tidak lantas merubah gaya hidup al-Thabari. Malah sebaliknya, ia tetap
bertahan hidup sederhana dengan mengandalkan hasil panen ladang yang ditanggalkan
ayahnya di Thabaristan.51 Padahal jika mau, tentu begitu mudah baginya untuk meraih
materi dan bergelimang kemewahan. Al-Thabari menggubah pilihan hidupnya itu dalam
sebuah puisi,

Ketika aku kesulitan uang


Tidak satupun sahabatku yang tahu

Tapi ketika aku punya uang


Sahabatku ikut merasakan kesenanganku

Rasa malu menjaga air mukaku


Rasa enggan meminta adalah sifatku

Andai saja aku tepis rasa malu


Jalan menjadi kaya terlalu mudah bagiku52

Imam al-Thabari wafat pada hari sabtu petang, tanggal 26 Ramadhan 310H di Bagdad
dalam usia 86 tahun. Ulama yang berperawakan tinggi, kurus dan rambutnya masih hitam
ini meninggal di rumahnya tanpa kehadiran sanak keluarga, tapi masyarakat beramai-
ramai menghantar jenazahnya, bahkan berbulan-bulan orang berdatangan ke makamnya
untuk menshalatinya. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada beliau seluas-luasnya.

48
Al-Dzahabi, Tadzkirat al-Huffazh, vol. 2 hlm. 713.
49
Al-Dzahabi, Siyar A`lam al-Nubala', ibid.
50
Al-Subki, vol. 3 hlm. 77-78.
51
Ibn Katsir, vol. 11 hlm. 166.
52
Ibid.

Anda mungkin juga menyukai