Anda di halaman 1dari 6

HET BOEK VAN BONANG (KITAB PRIMBON SUNAN BONANG)

I. Pengantar

Ada dua sumber yang layak dipercaya sebagai bahan rujukan tentang bagaimana ajaran, wejangan,
madrasah, madzhab, serta aliran pemikiran asli Walisongo. Pertama, teks primbon wejangan Sunan
Bonang ( Het Boek Van Bonang ) yang pernah dibuat sebagai bahan tesis oleh Dr. B.J.O. Schrieke pada
tahun 1916 di Universitas Leiden Belanda (Primbon I). Kedua, teks primbon jawa abad ke XVI yang
isinya mirip dengan isi primbon wejangan Sunan Bonang diatas, yang pernah diulas dalam Een
Javaansche Geschrift uit de 16 de Eeuw, tesis Dr. J.G.H. Gunning pada tahun 1881 di Universitas yang
sama (primbon II).

Kedua manuskrip tersebut berupa tulisan tangan pada lembar-lembar daun lontar dan diyakini sebagai
hasil karya Sunan Bonang dengan beberapa alasan. Pertama, adanya kalimat “Tammat carita cinitra
kang pakerti pangeraning Bonang”, yang menandakan bahwa teks primbon I itu ditulis oleh Sunan
Bonang. Kedua, umur dari primbon tersebut tidak terpaut jauh dari masa kehidupan Sunan Bonang,
yaitu disekitar tahun 1595 M. Naskah tersebut secara kebetulan ditemukan di Tuban oleh armada
Belanda yang pertama kali berlayar sampai di kepulauan Nusantara dalam persinggahan yang agak lama
di Sedayu pada tahun 1597 M. Naskah tersebut selanjutnya dibawa pulang ke negeri Belanda dan
dipelihara dengan baik hingga akhirnya berada dibawah pemeliharaan Liedsche Universiteitsbibliotheek
sejak oktober 1597 M., ditempatkan di bawah katalogus no. XVII kal. Octob. 1599 M. Adapun, Primbon
II tidaklah disebutkan inisial pengarang di dalamnya, namun jika melihat umur, tempat ditemukan,
serta bahasa yang dipergunakan dalam primbon tersebut tampak mirip dengan gaya bahasa primbon I.
Yang jelas, primbon tersebut ditemukan dan diangkut oleh kapal yang sama sehingga dapat dianggap
bahwa primbon tersebut adalah karya Sunan Bonang atau sekurang-kurangnya ajaran yang meluas pada
jaman Sunan Bonang.

Meski hanya primbon karya Sunan Bonang yang dapat dianggap sebagai bukti paling autentik dari kitab-
kitab karya Walisongo. Kita masih beruntung dan patut bersyukur sebab Sunan Bonang paling
representatif mewakili ajaran walisongo yang lain karena secara resmi beliau memang yang paling
berkompeten diantara para Wali untuk memberikan wejangan keilmuan dan keagamaan. Hal ini dapat
dilihat dari sejarah hidup beliau, dimana Sunan Bonang adalah Prabu Hanyakrawati yang menguasai
Sesuluking ngelmi lan agami. Beliau adalah putra dan murid Sunan Ampel bersama adiknya, Sunan
Drajat. Beliau juga teman satu almamater dengan Sunan Giri karena sama-sama berguru kepada Syekh
Maulana Ishaq di Samudera Pasai. Beliau adalah guru pertama Sunan kalijaga. Disamping itu atas dasar
bahwa Sunan Gunung Jati adalah murid dari Syekh Maulana Ishaq maka sedikit-banyak ajaran beliau
memiliki kesamaan dengan ajaran Sunan Gunung Jati.

II. Isi Kitab Primbon Sunan Bonang

1.Sumber rujukan isi primbon


Dengan melihat isi dari ajaran dan wejangan Sunan Bonang yang tertulis dalam kitab primbon Het Boek
Van Bonang, setidak-tidaknya ada sejumlah kitab Arab klasik yang diperkirakan telah menjadi sumber
rujukan dari ajaran walisongo. Beberapa kitab tersebut, antara lain adalah :
1. Ihya’ Ulumuddin karya Hujjatul Islam Imam Abu Hamid al-Ghozali
2. Tamhid (fi bayanit-Tawhid Wa Hidayati fi Kulli Mustarasyid Wa Rasyid) karya Abu Syakur bin Syu’aib
Al-Kasi al Hanafi as-Salimi (hidup diakhir abad 5 H).
3. Talkhis al-Minhaj karya Imam Nawawi,
4. Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makky
5. Risalah al-Makkiyah fi Thariq al-Sada al-Sufiyyah karya Afifuddin at-Tamimi,
6. Al-Anthaki. Mengenai al-Anthaki ini, ada dua kemungkinan, yaitu Abu Muhammad al-Anthaki seorang
penyair dari Faulah Bani Fathimiyyah zaman al-Mu’iz Li Dinillah (341-365 H.) dan Zaman Al-Aziz Billah
(365-386 H.) atau Daud al-Anthaki penulis kitab Tazyinul Asywaq bi Tafshil Asywaq Al Usysyaq atau Abu
Nu’aim Ahmad bin Abdillah al-Isfahani pengarang kitab Hilyatul Auliya’ yang bergelar Ahmad bin Ashim
Al-Anthaki.
Disamping beberapa nama pengarang kitab tersebut diatas, ditemui pula nama para tokoh Tasyawwuf
seperti Abu Jazid Al-Basthami, Muhyiddin ibn ‘Arabi, Syekh Ibrahim al-Iraqi, Syekh Abdul Qodir Jailani,
Syekh Semangu Asarani (?), Syekh Ar-Rudaji, Syekh sabti (?), Pandita Sujadi Waquwatihi (?).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ajaran Walisongo, meliputi bidang ilmu fiqih (syariat), ilmu
kalam -- termasuk didalamnya adalah ilmu tauhid dan ushuluddin, serta diajarkan pula ilmu tasyawwuf
seperti suluk, tarikat dan mistik.

2.Beberapa wejangan Sunan Bonang


Isi dari ajaran dan wejangan yang terdapat dalam kitab primbon karya Sunan Bonang itu dapat
diringkas sebagai berikut :
Pertama-tama, Sunan Bonang mengawali tulisannya dengan bacaan Basmalah dan puji syukur,
kemudian menunjukkan maksud dan tujuan dari penulisan isi primbon, yaitu hendak menyampaikan
ajaran tentang ilmu suluk. Ilmu suluk ini meliputi ilmu Ushuluddin, Tauhid, Tarekat dan Tasyawwuf
yang berhaluan ahlussunnah Wal Jama’ah.
Ajaran Ushul Suluk berpangkal pada penafsiran terhadap dua kalimat Syahadat yang diungkapkan dalam
pembukaan kitab : “Asyhadu an La ilaha Illallah Wahdahu La Syarikalahu, Wa Asyhadu anna
Muhammadan Rasulullah”. Selanjutnya beliau menguraikan ajaran-ajarannya dengan menitik beratkan
pada ushul suluk menurut pemikiran al-Ghozali dan Abu Syakur as-Salimi. Ajaran ushul suluk merupakan
perpaduan antara uraian ilmu ushuluddin dan Tasyawwuf atau tauhid mistik dalam batas-batas akidah
Ahlussunnah Wal Jama’ah yang materinya berkisar pada tiga polok masalah ditambah satu penegasan,
yaitu :
1. Kajian tentang Allah, yang meliputi zat, sifat dan af’al-Nya,
2. Kajian tentang hubungan antara manusia dengan Allah,
3. Kajian tentang masalah Ru’yat (kemampuan melihat) Allah, dan
4. Tanbih, tambahan dari kitab yang diutarakan dengan maksud sebagai peringatan agar senantiasa
berbuat sholeh, takwa, dan berpegang teguh serta menjaga batas syariat.
Pada bagian pertama dari isi Primbon, pembahasan Sunan Bonang tentang Allah meliputi pendirian
mengenai berbagai paham dan ajaran tauhid serta ketuhanan yang benar dimana isi uraian beliau pada
dasarnya hanya merupakan ikhtisar dan terjemahan bebas dari kitab Ihya’ Ulumuddin dan kitab
Tamhid. Disamping itu diungkapkan pula bagaimana ajaran dan faham yang sesat tentang tauhid dan
Tuhan, yang menurut beliau, dapat mengakibatkan penganutnya menjadi kafir.
Pembahasan Sunan Bonang terhadap dua tema diatas meliputi uraian tentang ma’rifat Dzat Allah,
Ma’rifat Sifat Allah dan ma’rifat Af’al Allah yang diungkapkan dengan metode dialog katekismus, yaitu
berbentuk dialog tanya jawab antara guru dan murid dimana si murid bertanya yang kemudian dijawab
oleh sang guru dengan uraian materi diatas.
Pada bagian tersebut, diungkapkan juga 12 macam pandangan tentang ajaran tauhid dan ketuhanan
yang dianggap sesat dan layak dijuluki “wong sasar” menurut standar empat madzhab, yaitu :
1. Pandangan yang menyatakan bahwa :”i(ng)kang ana iku Allah, i(ng)kang ora ana iku Allah, den
tegesake oraning Allah iku ora andade’aken. (yang ada ialah Allah, yang tiada ialah Allah, dengan arti
tiadanya adalah tiada mejadikan).
2. Pandangan tentang Tuhan yang menyatakan : “iya namane iya kersane, iya namane iya dzate, iya
dzat(e) iya kersane. Iku among ing paekan tan weruh ing panunggale”. (nama-Nya itu itulah juga
kehendak-Nya, nama -Nya itulah juga dzat-Nya, Dzat-Nya itulah kehendak-Nya…).
Kedua ungkapan tersebut diatas dianggap sesat karena dapat mengacaukan pemahaman akan keesaan
Tuhan.
3. Pandangan Kawabatiniyah (kebatinan) yang disifati oleh Sunan Bonang sebagai “atunggal sastra
anging tan apatut “ atau congkak dalam kata namun tidak patut dan tidak sesuai dengan akal budi
karena bertentangan dengan pokok ushul suluk yang terdapat dalam kitab Ihya’ dan Tamhid.
4. Suatu pandangan ganjil yang menyatakan : “ Kadi anggrupa’aken sifating pengeran, kadi akecap :
sekatahing dumadi iku sifating Allah, kadi ngana’aken ing nora, kadi ama’duamen ing Allah.Pandangan
ini adalah kufur.
5. Pandangan yang beranggapan bahwa dalam fana’ terjadi ittihad (perpaduan) antara kawula-Gusti
(hamba - Tuhan) sebagaimana berpadunya sungai di muara dengan air laut. Hal ini menurut beliau
merupakan penta’wilan yang menyeleweng dan sesat yang bertentangan dengan firman Allah
swt.: “Marajal Bahraini Yal Taqiyani bainahuma Barzahun La yabgiyani”.
6. Paham karamiyah, sebuah paham yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk, didirikan oleh
Abdullah Muhammad bin Karamiyah yang menandaskan bahwa Allah duduk di singgasana-Nya di arsy,
dimana ia menjisimkan dzat Allah.
7. Paham yang menyatakan bahwa “sifat iku ana ing dzat, asma itu ana ing deweke”, yaitu suatu
paham yang menyamaratakan antara sifat, dzat dan asma’ Allah.
8. Paham yang berpendapat bahwa “sifat sifat, dzat dzat” , yaitu menganggap bahwa keberadaan dzat
dan sifat sebagai dua keadaan yang masing-masing berdiri sendiri.
Dimana menurut Sunan Bonang, rumusan yang benar dari kedua paham tentang sifat dan dzat tersebut
semestinya adalah “paikan(ing) sasifatira tan liyaning ananira” atau sifat-sifat-Nya tak lain adalah
wujud-Nya.
9. paham mu’tazilah yang dianggap sebagai paham yang mengingkari sifat qudrat dan iradat Allah atas
diri manusia, “Allah Ta’ala ora amurba”.
10. Pandangan ibnu ‘Arabi, pengarang kitab Futuhatul Makkiyah yang terkenal dengan pahamnya
Wahdatul Wujud (Panteisme), yaitu paham yang menganut isme emanasi yang berpendapat
bahwa “Allah iku dzate qodim, sifat af’ale muhdats” (Dzat-Nya Allah itu dahulu, sifat dan perbuatan-
Nya baru).
11. Paham yang berpendirian bahwa :”Kang angilo iku nora ningali wewayangan”, yaitu suatu paham
yang mengingkari arti bercermin dari apa yang dapat digunakan sebagai wasilah untuk ma’rifat kepada
Allah.
12. Paham yang menyatakan bahwa Tuhan itu “ ma’dum min nafsihi”.
Kedua belas macam ajaran inilah yang dianggap ajaran berbahaya dan dapat menjadikan kafir orang
yang menganutnya.
Pada bagian yang kedua, Sunan Bonang telah merumuskan ajarannya tentang hubungan manusia dengan
Allah dari dua sisi keilmuan, yaitu menurut ilmu kalam dan ilmu Tasyawwuf. Dalam menetapkan
eksistensi dan hubungan antara manusia dengan Tuhan, ilmu Kalam menetapkan keduanya dengan
istilah makhluk dan Khaliq. Sedangkan ilmu Tasyawwuf memberi istilah antar keduanya sebagai Salik
atau asyiq dan ma’syuq yang akan saling bertemu dalam maqam fana’.
Selanjutnya Sunan Bonang juga mengetengahkan rumusannya tentang“padudoning Kawula-
Gusti” atau ke-bukan-an hamba-Tuhan yang merupakan antitesis daripada pandangan “Manunggaling
Kawula-Gusti” nya Syech Siti Jenar. Beliau menyatakan : “Padudoning Kawula-Gusti; Sifating pengeran
tan dadi sifating makhluk, sifating makhluk tan dadi sifating pengeran.” (sifat Tuhan [tetap] bukan
sifat makhluk, sifat makhluk [tetap] bukan sifat Tuhan.
Dengan konsep “padudoning Kawula-Gusti” ini, Sunan Bonang menegaskan bahwa Allah dan manusia
merupakan dua kenyataan atau wujud yang berbeda. Masing-masing berdiri sendiri sebagai pribadi yang
tak mungkin lebur menjadi satu sebagaimana leburnya setetes air dalam lautan yang maha luas, walau
bagaimanapun tingkat keakraban yang telah dicapai oleh keduanya, yakni taraf tertinggi dalam maqam
fana’. Selanjutnya dengan merujuk pada ayat “Marajal bahraini Yaltaqiyani bainahuma Barzahun La
Yabgiyani” Sunan Bonang lantas mengajarkan bagaimana cara memehami konsep fana’ yang
sebenarnya dan seharusnya. Pengertian Barzahun dalam ayat tersebut adalah sekat yang berlaku
sebagai rana atau dinding, sehingga menjadikan keduanya tidak bercampur. Dari ayat tersebut dapat
dipahami bahwa ungkapan “Gharaghtu fi Bahril ‘adam” adalah merupakan rumusan yang takkan pernah
terwujud dalam kenyataan dimana dua pribadi saling tenggelam dan merasuki. Karena bagaimanapun
juga mesti tetap disadari adanya perbedaan sebagaimana wejangan beliau “Mapan(ing) karone
langgeng apadudon tan panisih kang anjateni lan kang jinaten.”
Hal ini secara jelas menunjukkan bahwasanya walisongo, yang ajarannya terwakili dalam primbon
tersebut, telah berupaya keras dan bersungguh-sungguh dalam memelihara dua pilar utama akidah
Islam :
Pertama, Pengakuan akan Allah sebagai khaliq yang maha esa dan mandiri , sebagai dzat yang penuh
kebebasan dan memiliki kekuasaan penuh dalam segala hal (asas Tawhid).
Kedua, Pengakuan tentang adanya hak kemerdekaan bagi manusia sebagai oknum yang mendiri dan
sebagai pribadi yang utuh, yang disebut sebagai asas kemerdekaan pribadi manusia (al-Hurriyah al
Syahsyiyyah al Insaniyyah).
Sebagai penutup uraian bab ini, Sunan Bonang mengakhirinya dengan wejangan : “E, Mitraningsun !
Karana sira iki apapasihana sama-saminira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing
dalalah lan bid’ah”.
Ungkapan tersebut merupakan tanbih / peringatan agar sesama muslim hendaknya saling bantu
membantu dalam suasana kasih, dan agar mencegah diri dari kesesatan dan bid’ah.
Bagian ketiga, tentang Ru’yat Allah, Sunan Bonang mengawalinya dengan mengutip ucapan Syekh al-
Bari : “Ru’yat Allah iku arus tan arus (ru’yat Allah itu melihat tetapi tidak melihat) Selanjutnya beliau
memberikan pandangan sebagai berikut:“E, Rijal ! Tegese ru’yat Allah iku aningali ing pengeran ing
akhirat kalawan mata kapala ing dunya kalawan mata ati.” (Wahai Rijal…! Arti ru’yat itu melihat Allah
dengan mata kepala di akherat dan di dunia dengan mata hati).
Dengan demikian, menurut beliau, melihat Allah dengan mata kepala secara langsung baru dapat
dilakukan di akherat karena di akherat-lah dicapai kesempurnaan penglihatan. Selanjutnya menurut
primbon tersebut, kemampuan untuk melihat (ru’yat) Allah adalah sangat tergantung pada tingkat
kesempurnaan martabat yang telah dicapai oleh manusia dalam usahanya menempuh suluk atau
tarekat. Semakin tinggi derajat atau martabat yang dicapai, maka makin berkuranglah penghalang
(hijab)-nya sampai akhirnya Allah menyempurnakan penglihatannya. Maka pandangan dan
penglihatannya tidak ragu lagi akan dzat-sifat Allah, yang dilihat tampil tanpa kias perumpamaan, yang
melihatnya pun tanpa melalui perantaraan, sebagaimana ungkapan dalam primbon :”Tegese iku ta
kabehsening saya mundak martabate sinampurnakaken tingale dening pengeran dadi tan sak tingale
ing dzat-sifat-af’al ira; mapan kang tiningalan bila tasybih, kang aningali pon bila tasybih.”
Selanjutnya Sunan Bonang menandaskan bahwa kemampuan melihat (ru’yat) Allah merupakan suatu hal
yang relatif, dimana masing-masing individu tidaklah sama dalam hal kejelasan yang dicapai. Beliau
memberi tamsil dengan mengisyaratkan hubungan antara semakin meningginya bilangan hari bulan,
mulai dari penampakan bulan pada tanggal pertama hingga penampakannya pada bulan purnama penuh
sebagaimana diungkapkan : “…Kadi ta angganing sasi tanggal sapisan, ana kang kadi tanggal p(ing)
kalih, ana kang kadi tanggal p(ing) tiga –ing undake ta kadi purnamasada.”
Dasar yang dipakai Sunan Bonang dalam menguraikan masalah ru’yat tersebut adalah sabda
Nabi : “Innakum satarawna rabbakum yaumal qiyamati kama tarawnal qamara fi lailatil
badri.” ( “Sesungguhnya kamu sekalian akan melihat Tuhanmu pada hari kiamat seperti kalian melihat
rembulan pada malam bulan purnama…”), yang kemudian ditafsirkan lagi maksudnya dengan “Amma
dlamirul qamarillah munazzahun bila kaifiyyatin”. (“…adapun kata ganti perumpamaan “rembulan”
bagi Allah adalah hal yang bebas dari persifatan dengan tanpa perlu ditanyakan kenapa dan
bagaimana…)
Sebagai penutup isi primbon, Sunan Bonang mengakhirinya dengan sebuah tanbih (peringatan) :
“E, Mitraningsun ! Demi sami sira akecap becik-becik kalawan lampa nira dhahir batin anuta kang
sarengat, andi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, asih pramuleha sira ing Rasulullah ‘alaihis
salam marganira anampani sih nugraning Pangeran…//E, Mitraningsun! Iku tetinggalaningsun ing sira
kang awet poma anak putu nira sami wekasen, sami anuta wirasaning pituturinsung iku kabih, karana
manawa anut ing wuwus(ing) wong sasar …Anging sira den sama awedi ing Pengeran. Aja sira salah
simpang, sami sra amriha kasidan”.

Dengan primbon tersebut, Sunan Bonang memperingatkan agar kita selalu berbuat baik. Disamping itu
dalam melaksanakan segala amaliah lahir maupun batin hendaknya senantiasa berjalan diatas rel
syariat yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW. Selama hidup kita dipesankan untuk mencintai dan
meneladani kehidupan Rasulullah SAW sebagai jalan berterima kasih atas anugerah Allah SWT. Inilah
peninggalan beliau untuk diamalkan bersama dan hendaknya disampaikan kepada anak cucu agar
menuruti maksud nasehat tersebut, karena dikhawatirkan bila mereka salah jalan, maka akan
menjadikan mereka termasuk golongan orang yang sesat. Beliau juga berpesan, agar kita takut kepada
Allah. Jangan sampai salah jalan dan menyeleweng, agar tercapai, dan amal kitapun diterima oleh
Allah SWT.
Akhirnya, setelah kata-kata peringatan sebagai tanbih, maka ditutuplah primbon wejangan Sunan
Bonang ini dengan seuntai kata : “Tammat carita cinitra kang pakerti Pangeraning Bonang” yang
maksudnya adalah selesai sudah cerita yang diceritakan oleh Sunan Bonang.
Isi primbon II juga banyak mengambil rujukan dari kitab Tamhid dan Ihya’ ‘Ulumuddin, yang dalam
primbon tersebut dinyatakan dengan “Ahya Ngulumudin”. Demikian juga metode penyampaian yang
dikemas dalam primbon II ini agak berlainan dengan primbon I. Mungkin maksud penulisan primbon II ini
sengaja ditujukan bagi masyarakat awam karena ditilik dari cara penguraiannya yang populer, mudah
dan gampang dicerna apalagi masalah yang dibahas banyak berkenaaan dengan hal aktual keseharian
(ahwal-Al-Yaumiyyah), yang meliputi pelbagai segi kehidupan orang awam dan masyarakat pada
umumnya. Nampak jelas perbedaannya jika dibandingkan dengan isi primbon I yang cenderung lebih
filosofis dan mistis, yang hanya dapat ditangkap dan dipahami oleh orang-orang tertentu yang telah
memiliki pengetahuan dan pemahaman dasar tentang agama Islam yang memang telah dipersiapkan
untuk mempelajari ilmu keagamaan tingkat lanjut.
Secara global, primbon II merupakan bunga rampai yang menghimpun saripati dari pelbagai karya arab
dimana pembahasannya tidak diuraikan secara sistematis melalui bab dan pasal-pasal sehingga isinya
bukan secara khusus menangani satu bidang masalah. Primbon tersebut berisikan berbagai ilmu
keislaman dari fiqh, tawhid atau ilmu kalam, tasyawwuf serta akhlak. Pada bagian akhir, terdapat
uraian-uraian ajaib sebagai kutipan dari imu ta’bir dan ramalan membuka-buka rahasia. Pegangan
argumentasinya ialah hadits-hadits dari berbagai sumber, seperti kitab Ihya’ al-Ghozali, Talhisul Minhaj
karya Imam Nawawi, Tamhid-nya Abu Syakur as-Salimi, dan karya-karya ulama’ lainnya seperti Kasalbis
salji-nya al-Anthaki, kanzal Kafi atau Kanzal Latha’if dari Smarakandi.
01 Muharram 1422 H.

BIBLIOGRAFI

Saksono Wiji, Drs. , Mengislamkan Tanah Jawa : Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo.. Mizan,
Bandung, 1995.
Zoetmulder, P.J., Pantheisme en Monisme in de Javansche Soeloek-Literatur; Manunggaling Kawula-
Gusti, Panteisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, Penterjemah : Dick Hartoko. Grademia.
Jakarta:1991.
Yayasan penyelenggara penerjemah Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI,
Jakara, 1971.

Anda mungkin juga menyukai