Anda di halaman 1dari 5

Ahmad Hassan (1887-

1958)
AGENDA MUSLIM - TOKOH

Tolak Asas Kebangsaan dan Demokrasi!

Khilafah Islamiyah tidak tiba-tiba runtuh  pada 1924, tetapi diawali dulu
dengan kemerosotan berpikir dan menjamurnya bid’ah di tengah umat. Meski
demikian, perlu waktu sekitar 200 tahun bagi kaum kafir penjajah untuk
mengubah pemahaman kaum Muslim—dari keyakinan bahwa asas perjuangan
dan asas pemerintahan dan negara itu hanya berdasarkan akidah Islam
bergeser menjadi asas kebangsaan.

Meski secara militer penjajah telah hengkang, kaum Muslim terpecah lebih
dari 50 negara bangsa, alih-alih kembali bersatu dalam naungan Khilafah
Islamiyah seperti yang telah dirintis Nabi Muhammad SAW.

Tentu saja tidak semua kaum Muslim teracuni dan terjebak pemikiran kufur
nasionalisme itu. Goeroe Oetama Persatoean Islam (Persis) Toean Ahmad
Hassan, misalnya. Ia malah berteriak lantang menentang asas kebangsaan.
Mengajak debat siapa saja yang menyimpang dari asas Islam.

“Boekan dari golongan kita orang yang menyeroe kepada kebangsaan. Dan
boekan dari golongan kita orang yang berperang atas dasar kebangsaan. Dan
boekan dari golongan kita orang yang yang mati atas dasar kebangsaan!”
pekiknya membacakan terjemah sabda Nabi Muhammad SAW yang
diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud itu.

Tidak cukup secara lisan, pada 1941 penolakan terhadap asas kebangsaan itu
ia sebarkan secara tertulis dalam buku yang berjudul Islam dan Kebangsaan.

Ia menolak asas gerakan kebangsaan atau nasionalisme yang diperjuangkan


Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Islam Indonesia (PII) atau pun
Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).

Menurut Ahmad Mansur Suryanegara (2009) dalam buku Api Sejarah, A Hassan
membenarkan Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam
Indonesia (PII) dengan pengertian Indonesia dari PSII dan PII hanya sebagai
tempat berjuangnya, bukan asas perjuangan kebangsaannya.

Ketegasannya dalam memperjuangkan syariah Islam agar menjadi pondasi


pemerintahan juga tampak dalam pergulatan ide dengan Soekarno, pendiri
PNI. Seperti yang diungkap Abu Adz Dzahabi (2003), dalam buku Debat A
Hassan vs Soekarno, Seputar Negara, Hukum dan Sekularisme, Soekarno
menghendaki pemisahan agama dari struktur pemerintahan serta bercermin
pada undang-undang Swiss dan sekulerisme Turki.

Namun, pandangan ini ditolak sejumlah tokoh Islam, termasuk A Hassan yang
tidak menghendaki adanya upaya memisahkan agama dari urusan
pemerintahan. Sebab, menurutnya, Islam memiliki nilai universal yang
sempurna yang tidak dimiliki agama lain.

Tolak Demokrasi

Pada 1945, Soekarno memproklamirkan kemerdekaan negeri ini. Namun


ternyata bukannya Islam yang menjadi asas negara tetapi nasionalisme
dengan menjadikan sistem demokrasi sebagai metode melegislasikan hukum
buatan manusia menggantikan penerapan syariah Islam.

Tentu saja, A Hassan secara tegas menolak itu. Dalam berbagai kesempatan
ia menjelaskan perbedaan antara pemerintahan Islam dan pemerintahan
demokrasi. Pada suatu saat pernah ditanyakan kepadanya lebih baik mana
pemerintahan Islam atau pemerintahan demokrasi?

Ia menjawab pemerintahan secara demokrasi atau kedaulatan rakyat


semata-mata berdasarkan kemauan rakyat. Kalau rakyat mau halalkan zina,
mengizinkan produksi minuman beralkohol, dan seterusnya, niscaya boleh.
Sedangkan menurut Islam, yang haram tetaplah haram; yang makruh
tetaplah makruh; dan yang sunnah tetaplah sunnah. Kedaulatan rakyat
berlaku di urusan-urusan luar dari yang tersebut.

“Dalam pemerintahan dengan cara Islam, maksiat tidak dapat menjadi


perkara biasa, sedangkan dalam sistem pemerintahan demokrasi tulen, yang
haram bisa jadi halal, yang wajib bisa jadi haram, asal dikehendaki oleh
rakyat. Dari sini, tuan bisa tahu mana yang lebih baik,” jawabnya retorik.

Rujukan Umat

Hassan, itulah nama aslinya. Kadang pula ia dipanggil Hassan Bandung.


Karena tinggal lama di Bandung, bahkan menjadi Goeroe Oetama Persis yang
berdiri dan berkembang pesat di ibukota Jawa Barat itu.

Ia pun disebut sebagai Hassan Bangil lantaran mendirikan pesantren di


Bangil. Tapi ia lebih suka dipanggil A Hassan. Dalam puluhan buku karyanya,
ia mencantumkan nama A Hassan. A itu singkatan dari Ahmad. Ahmad adalah
nama ayahnya. Memang sudah menjadi kebiasaan orang India, nama ayah
disebut di depan nama diri.

Ya, Hassan memang keturunan India. Ia lahir di Singapura pada tahun 1887 di
masa penjajahan negara-negara kafir Barat. Saat itu India dan Singapura
sedang dijajah  Keradjaan Protestan Inggris, sedangkan Indonesia diduduki
Keradjaan Protestan Belanda.

Kedua orang tuanya aslinya dari India. Ayahnya bernama Pandit Ahmad Sinna
Vappu Maricar dari suku Tamil. Dalam masyarakat India Pandit adalah gelar
bagi seseorang ulama.

Ibunya, Muznah, dari Suku Madras dan lahir di Surabaya, Jawa Timur.
Keduanya menikah di Surabaya, kemudian pindah ke Singapura. Ahmad Sinna
Vappu Maricar adalah seorang ulama, pedagang, pengarang dan wartawan
terkenal di Singapura.

Suatu keistimewaan yang dianugerahkan Allah SWT kepada A Hassan, dalam


usia 7 tahun, ia sudah mempelajari Alquran dan dasar-dasar pengetahuan
agama. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, kedua pelajaran ini dapat
diselesaikannya dalam tempo dua tahun.

Lalu ia masuk sekolah Melayu selama empat tahun dan mempelajari bahasa
Arab, bahasa Melayu, bahasa Tamil dan bahasa Inggris. Meskipun tidak
sempat menamatkan sekolah dasar formalnya itu namun ia tetap gigih
menuntut ilmu dan berdakwah

Ia mempelajari ilmu nahwu dan sharaf pada Muhammad Thaib, seorang guru
terkemuka  di Minto Road dan Kampung Rokoh. Kemudian ia pun
memperdalam bahasa Arab kepada Said Abdullah Al-Munawi Al-Manusili
selama beberapa tahun.

Di samping itu, Hassan juga memperdalam agama dengan Abdul Lathif (guru
yang terkenal di Melaka dan Singapura), Haji Hassan (Syeikh dari Malabar)
dan Syeikh Ibrahim Al Hind.

Semua proses belajar informal tersebut ditekuninya dengan penuh dedikasi


hingga tahun 1910 ketika Hassan berusia 23 tahun. Keahliannya dalam bidang
hadits, tafsir, fiqih, ushul fiqih, ilmu kalam dan mantiq, menjadikannya
sebagai rujukan para penanya dan pemerhati kajian Islam dalam berbagai
masalah.

Kemudian A Hassan pindah ke Surabaya pada 1921. Semula ia hanya ingin


menjadi pengusaha tekstil. Kelanjutannya, sambil berdagang ia bergabung
dengan Persatoen Islam (Persis) di Bandung pada 1926. Tiga tahun setelah
Persis berdiri.

Anti Bid’ah

Pada 1940, ia pindah ke Bangil, Jawa Timur. Ia mendirikan Pesantren


Persatuan Islam Bangil. Ia pun mengajar dan menulis di majalah Himayat al-
Islam yang diterbitkannya hingga wafat pada 10 Nopember 1958. Ia
dimakamkan di Pekuburan Segok, Bangil.

Semasa hidupnya, A Hassan melalui Persis melakukan dakwah secara frontal.


Ia menganggap bahwa umat sudah menjadi jumud (beku) bahkan mundur
karena telah menyimpang dari ajaran Alquran dan Hadits.

Ia memegang prinsip, bid'ah dalam agama bukan suatu perbedaan yang boleh
dibiarkan. Bid'ah adalah penyimpangan dari Alquran dan Sunah. Membiarkan
bid'ah artinya memupuk perbuatan yang salah dan kemunafikan.

Maka, ia melakukan perdebatan dengan orang-orang yang tidak menyetujui


cara pandangnya terhadap agama, perdebatan panjang telah ia lalui, mulai
dengan pihak Kristen, kaum tua, kaum kebangsaan, Ahmadiyah sampai pada
komunis ateis.

Ia tahu benar bahwa pendiriannya yang kukuh dalam beragama menimbulkan


banyak orang benci dan memusuhinya. Tetapi disayang atau dibenci buatnya
adalah urusan orang lain. Dia tidak mempedulikan masalah itu. Baginya
musuh itu dalam tulisan maupun pemikirannya tetapi tidak dengan orangnya.

Buktinya meskipun A Hassan dan Persis bermusuhan secara ideologis dengan


Soekarno dan PNI  tetapi ketika Soekarno dipenjara di Banceuy, Bandung,
para anggota Persis menjadi orang pertama yang membesuknya.

joko prasetyo | mediaumat.com

Anda mungkin juga menyukai