Ahmad Hassan
Ahmad Hassan
1958)
AGENDA MUSLIM - TOKOH
Khilafah Islamiyah tidak tiba-tiba runtuh pada 1924, tetapi diawali dulu
dengan kemerosotan berpikir dan menjamurnya bid’ah di tengah umat. Meski
demikian, perlu waktu sekitar 200 tahun bagi kaum kafir penjajah untuk
mengubah pemahaman kaum Muslim—dari keyakinan bahwa asas perjuangan
dan asas pemerintahan dan negara itu hanya berdasarkan akidah Islam
bergeser menjadi asas kebangsaan.
Meski secara militer penjajah telah hengkang, kaum Muslim terpecah lebih
dari 50 negara bangsa, alih-alih kembali bersatu dalam naungan Khilafah
Islamiyah seperti yang telah dirintis Nabi Muhammad SAW.
Tentu saja tidak semua kaum Muslim teracuni dan terjebak pemikiran kufur
nasionalisme itu. Goeroe Oetama Persatoean Islam (Persis) Toean Ahmad
Hassan, misalnya. Ia malah berteriak lantang menentang asas kebangsaan.
Mengajak debat siapa saja yang menyimpang dari asas Islam.
“Boekan dari golongan kita orang yang menyeroe kepada kebangsaan. Dan
boekan dari golongan kita orang yang berperang atas dasar kebangsaan. Dan
boekan dari golongan kita orang yang yang mati atas dasar kebangsaan!”
pekiknya membacakan terjemah sabda Nabi Muhammad SAW yang
diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud itu.
Tidak cukup secara lisan, pada 1941 penolakan terhadap asas kebangsaan itu
ia sebarkan secara tertulis dalam buku yang berjudul Islam dan Kebangsaan.
Menurut Ahmad Mansur Suryanegara (2009) dalam buku Api Sejarah, A Hassan
membenarkan Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam
Indonesia (PII) dengan pengertian Indonesia dari PSII dan PII hanya sebagai
tempat berjuangnya, bukan asas perjuangan kebangsaannya.
Namun, pandangan ini ditolak sejumlah tokoh Islam, termasuk A Hassan yang
tidak menghendaki adanya upaya memisahkan agama dari urusan
pemerintahan. Sebab, menurutnya, Islam memiliki nilai universal yang
sempurna yang tidak dimiliki agama lain.
Tolak Demokrasi
Tentu saja, A Hassan secara tegas menolak itu. Dalam berbagai kesempatan
ia menjelaskan perbedaan antara pemerintahan Islam dan pemerintahan
demokrasi. Pada suatu saat pernah ditanyakan kepadanya lebih baik mana
pemerintahan Islam atau pemerintahan demokrasi?
Rujukan Umat
Ya, Hassan memang keturunan India. Ia lahir di Singapura pada tahun 1887 di
masa penjajahan negara-negara kafir Barat. Saat itu India dan Singapura
sedang dijajah Keradjaan Protestan Inggris, sedangkan Indonesia diduduki
Keradjaan Protestan Belanda.
Kedua orang tuanya aslinya dari India. Ayahnya bernama Pandit Ahmad Sinna
Vappu Maricar dari suku Tamil. Dalam masyarakat India Pandit adalah gelar
bagi seseorang ulama.
Ibunya, Muznah, dari Suku Madras dan lahir di Surabaya, Jawa Timur.
Keduanya menikah di Surabaya, kemudian pindah ke Singapura. Ahmad Sinna
Vappu Maricar adalah seorang ulama, pedagang, pengarang dan wartawan
terkenal di Singapura.
Lalu ia masuk sekolah Melayu selama empat tahun dan mempelajari bahasa
Arab, bahasa Melayu, bahasa Tamil dan bahasa Inggris. Meskipun tidak
sempat menamatkan sekolah dasar formalnya itu namun ia tetap gigih
menuntut ilmu dan berdakwah
Ia mempelajari ilmu nahwu dan sharaf pada Muhammad Thaib, seorang guru
terkemuka di Minto Road dan Kampung Rokoh. Kemudian ia pun
memperdalam bahasa Arab kepada Said Abdullah Al-Munawi Al-Manusili
selama beberapa tahun.
Di samping itu, Hassan juga memperdalam agama dengan Abdul Lathif (guru
yang terkenal di Melaka dan Singapura), Haji Hassan (Syeikh dari Malabar)
dan Syeikh Ibrahim Al Hind.
Anti Bid’ah
Ia memegang prinsip, bid'ah dalam agama bukan suatu perbedaan yang boleh
dibiarkan. Bid'ah adalah penyimpangan dari Alquran dan Sunah. Membiarkan
bid'ah artinya memupuk perbuatan yang salah dan kemunafikan.