Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN ISOLASI SOSIAL

OLEH
FRETY SADIA WAIROY C017191031

CI LAHAN CI INTITUSI

(.....................) (.........................)

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2022
BAB I
KONSEP DASAR

A. DEFINISI
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu
mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Pasien mungkin merasa
ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina
hubungan yang berarti dengan orang lain (Purba, dkk. 2018).
Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang
merupakan mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam
dirinya dengan cara menghindari interaksi dengan orang lain dan
lingkungan (Dalami, dkk. 2019).
Isolasi sosial adalah pengalaman kesendirian seorang individu
yang diterima sebagai perlakuan dari orang lain serta sebagai
kondisi yang negatif atau mengancam (Wilkinson, 2017).
Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh
seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan
mengancam ( Twondsend, 2016). Atau suatu keadaan dimana
seseorang individu mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak
mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya, pasien
mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu
membina hubungan yang berarti dan tidak mampu membina
hubungan yang berarti dengan orang lain (Budi Anna Kelliat, 2017).
Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi
dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain
( Pawlin, 2013 dikutip Budi Kelliat, 2014). Faktor perkembangan
dan sosial budaya merupakan faktor predisposisi teijadinya perilaku
isolasi sosial. (Budi Anna Kelliat, 2011).

B. ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
a. Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus
dilalui individu dengan sukses, karena apabila tugas
perkembangan ini tidak dapat dipenuhi, akan menghambat masa
perkembangan selanjutnya. Keluarga adalah tempat pertama
yang memberikan pengalaman bagi individu dalam menjalin
hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih
sayang, perhatian dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi
bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat
menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa
ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah laku
curiga pada orang lain maupun lingkungan di kemudian hari.
Komunikasi yang hangat sangat penting dalam masa ini, agar
anak tidak mersaa diperlakukan sebagai objek.
Menurut Purba, dkk. (2018) tahap-tahap perkembangan
individu dalam berhubungan terdiri dari:
b. Masa Bayi
Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk
memenuhi kebutuhan biologis maupun psikologisnya.
Konsistensi hubungan antara ibu dan anak, akan menghasilkan
rasa aman dan rasa percaya yang mendasar. Hal ini sangat
penting karena akan mempengaruhi hubungannya dengan
lingkungan di kemudian hari. Bayi yang mengalami hambatan
dalam mengembangkan rasa percaya pada masa ini akan
mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain
pada masa berikutnya.
2. Masa Kanak-kanak
Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang
mandiri, mulai mengenal lingkungannya lebih luas, anak mulai
membina hubungan dengan teman- temannya. Konflik teij adi
apabila tingkah lakunya dibatasi atau terlalu dikontrol, hal ini dapat
membuat anak frustasi. Kasih sayang yang tulus, aturan yang
konsisten dan adanya komunikasi terbuka dalam keluarga dapat
menstimulus anak tumbuh menjadi individu yang interdependen,
Orang tua harus dapat memberikan pengarahan terhadap tingkah
laku yang diadopsi dari dirinya, maupun sistem nilai yang harus
diterapkan pada anak, karena pada saat ini anak mulai masuk
sekolah dimana ia harus belajar cara berhubungan, berkompetensi
dan berkompromi dengan orang lain.
3. Masa Praremaja dan Remaja
Pada praremaja individu mengembangkan hubungan yang intim
dengan teman sejenis, yang mana hubungan ini akan mempengaruhi
individu untuk mengenal dan mempelajari perbedaan nilai-nilai
yang ada di masyarakat. Selanjutnya hubungan intim dengan teman
sejenis akan berkembang menjadi hubungan intim dengan lawan
jenis. Pada masa ini hubungan individu dengan kelompok maupun
teman lebih berarti daripada hubungannya dengan orang tua.
Konflik akan teijadi apabila remaja tidak dapat mempertahankan
keseimbangan hubungan tersebut, yang seringkali menimbulkan
perasaan tertekan maupun tergantung pada remaja.
4. Masa Dewasa Muda
Individu meningkatkan kemandiriannya serta mempertahankan
hubungan interdependen antara teman sebaya maupun orang tua.
Kematangan ditandai dengan kemampuan mengekspresikan
perasaan pada orang lain dan menerima perasaan orang lain serta
peka terhadap kebutuhan orang lain. Individu siap untuk membentuk
suatu kehidupan baru dengan menikah dan mempunyai pekeijaan.
Karakteristik hubungan interpersonal pada dewasa muda adalah
saling memberi dan menerima (mutuality).
5. Masa Dewasa Tengah
Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya, ketergantungan
anak-anak terhadap dirinya menurun. Kesempatan ini dapat
digunakan individu untuk mengembangkan aktivitas baru yang
dapat meningkatkan pertumbuhan diri. Kebahagiaan akan dapat
diperoleh dengan tetap mempertahankan hubungan yang
interdependen antara orang tua dengan anak.
6. Masa Dewasa Akhir
Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik kehilangan
keadaan fisik, kehilangan orang tua, pasangan hidup, teman,
maupun pekeijaan atau peran. Dengan adanya kehilangan tersebut
ketergantungan pada orang lain akan meningkat, namun
kemandirian yang masih dimiliki harus dapat dipertahankan.
a. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi
untuk mengembangkan gangguan tingkah laku.
1. Sikap bermusuhan/hostilitas
2. Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak
3. Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan
untuk mengungkapkan pendapatnya.
4. Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada
pembicaananak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga,
kurang tegur sapa, komunikasi kurang terbuka, terutama dalam
pemecahan masalah tidak diselesaikan secara terbuka dengan
musyawarah.
5. Ekspresi emosi yang tinggi
6. Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat
bersamaan yang membuat bingung dan kecemasannya
meningkat)
b. Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan
faktor pendukung teijadinya gangguan berhubungan. Dapat juga
disebabkan oleh karena norma-norma yang salah yang dianut oleh
satu keluarga.seperti anggota tidak produktif diasingkan dari
lingkungan sosial.
c. Factor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa.
Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota
keluarga yang menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian
pada kembar monozigot apabila salah diantaranya menderita
skizofrenia adalah 58%, sedangkan bagi kembar dizigot
persentasenya 8%. Kelainan pada struktur otak seperti atropi,
pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta
perubahan struktur limbik, diduga dapat menyebabkan skizofrenia.
d. Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi teijadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh
faktor internal maupun eksternal, meliputi:
1. Stressor Sosial Budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam
berhubungan, teijadinya penurunan stabilitas keluarga seperti
perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kehilangan
pasangan pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dirawat
dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan
isolasi sosial.
2. Stressor Biokimia
a. Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan
mesolimbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi
teijadinya skizofrenia.
b. Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) di dalam darah
akan meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu
kegiatan MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan
dopamin, maka menurunnya MAO juga dapat merupakan
indikasi teijadinya skizofrenia.
c. Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan
pada pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami
penurunan karena dihambat oleh dopamin. Hypertiroidisme,
adanya peningkatan maupun penurunan hormon adrenocortical
seringkali dikaitkan dengan tingkah laku psikotik.
d. Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan
gejala-gejala psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat
merubah stuktur sel-sel otak.
3. Stressor Biologik dan Lingkungan Sosial
Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia
sering teijadi akibat interaksi antara individu, lingkungan
maupun biologis.
4. Stressor Psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya
kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain.
Intesitas kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai
terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah
akan menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan
pada tipe psikotik.
Menurut teori psikoanalisa; perilaku skizofrenia
disebabkan karena ego tidak dapat menahan tekanan yang
berasal dari id maupun realitas yang berasal dari luar. Ego
pada klien psikotik mempunyai kemampuan terbatas untuk
mengatasi stress. Hal ini berkaitan dengan adanya masalah
serius antara hubungan ibu dan anak pada fase simbiotik
sehingga perkembangan psikologis individu terhambat.
Menurut Purba, dkk. (2018) strategi koping digunakan pasien
sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan suatu
kesepian nyata yang mengancam dirinya. Strategi koping
yang sering digunakan pada masing-masing tingkah laku
adalah sebagai berikut:
a. Tingkah laku curiga: proyeksi
b. Dependency: reaksi formasi
c. Menarik diri: regrasi, depresi, dan isolasi
d. Curiga, waham, halusinasi: proyeksi, denial
e. Manipulatif: regrasi, represi, isolasi
f. Skizoprenia: displacement, projeksi, intrijeksi, kondensasi,
isolasi, represi dan regrasi.

C. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Deden & Rusdi, (2013) tanda dan gejala isolasi sosial yaitu :
 Gejala subjektif :
1. Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang
lain
2. Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain
3. Respon verbal kurang dan sangat singkat
4. Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang
Lain
5. Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
6. Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
7. Klien merasa tidak berguna
8. Klien tidak yakin dapat melangsungkan hidup
9. Klien merasa ditolak
 Gejala objektif :

 Klien banyak diam dan tidak mau bicara


 Tidak mengikuti kegiatan
 Banyak berdiam dikamar
 Klien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan
orang yang terdekat
 Klien tampak sedih, ekpresi datar dan dangkal
 Kontak mata kurang
 Kurang spontan
 Apatis
 Ekspresi wajah kurang berseri
 Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan
diri
 Mengisolasi diri
 Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya
 Masukkan makanan dan minuman terganggu
 Retensi urin dan feses
 Akktivitas menurun
 Kurang energy
 Rendah diri
 Postur tubuh berubah

D. KOMPLIKASI
Pasien dengan isolasi sosial semakin tenggelam dalam
perjalanan dan tingkah laku masa lalu primitif antara lain
pembicaraan yang autistic dan tingkah laku yang tidak sesuai
dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut menjadi risiko
gangguan sensori persepsi: halusinasi, menciderai diri sendiri,
orang lain serta lingkungan dan penurunan aktivitas sehingga
dapat menyebabkan defisit perawatan diri.
E. TANDA DAN GEJALA
Menurut Purba, dkk. (2018) tanda dan gejala isolasi sosial yang
dapat ditemukan dengan wawancara, adalah:
1. Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang
lain
2. Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain
3. Pasien mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan
orang lain
4. Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
5. Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
6. Pasien merasa tidak berguna
7. Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup

F. PROSES TERJADINYA MASALAH


Proses terjadinya isolasi sosial sebagai berikut :
 Pattern of Parenting (Pola asuh keluarga)
Misalnya pada anak yang kelahiran tidak dikehendaki,
contohnya akibat kegagalan KB, hamil diluar nika, jenis
kelamin yang tidak diinginkan, bentuk fisik kurang
meyakinkan menyebabkan keluarga mengeluarkan
komentar-komentar negative, merendahkan dan
menyalahkan anak.
 Infective Coping (Koping individu yang efektif)
Misalnya saat individu mengalami kegagalan menyalahkan
orang lain, ketidakberdayaan, menyangkal tidak mampu
menghadapi kenyataan dan menarik diri dari lingkungan,
terlalu tingginya self ideal dan tidak mampu menerima
realita dengan rasa syukur
 Lock Develipment Task (Gangguan tugas perkembangan)
Misalnya kegagalan menjalani hubungan intin dengan
sesamam jenis atau lawan jenis, tidak mampu mandiri dan
menyelesaikan tugas, bekerja, bergaul, sekolah,
menyebabkan ketergantungan pada orang tua, rendahnya
ketahanan terhadap berbagai kegagalan.
 Stessor Internal
Misalnya, stress terjadi akibat ansietas yang berkepanjangan
dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan kemampuan
individu untuk mengatasinya. Ansietas terjadi akibat
berpisah dengan orang terdekat, hilangnya pekerjaan atau
orang yang di cintai.

G. POHON MASALAH
Efek Resiko gangguan sensori presepsi:
Halusinasi

Core Problem Gangguan interaksi sosial: isolasi


Sosial
Etologi Gangguan konsep diri: harga diri rendah
1. Masalah keperawatan
a. Gangguan interaksi sosial : Isolasi sosial
b. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
c. Resiko gangguan sensori persepsi : Halusinasi
2. Data yang perlu dikaji
a. Isolasi sosial
 Data subjektif
Sukar di dapat jika klien menolak komunikasi.
Terkadang hanya berupa jawaban singkat ya
atau tidak.
 Data objektif
Klien terlihat apatis, ekspresi sedih , afek
umpul, menyendiri, berdiam diri di kamar dan
banyak diam.
b. Resiko gangguan sensori persepsi : halusinasi
 Data subjektif
Klien mengatakan mendengar bunyi yang
tidak berhungan dengan stimulus.
Klien mengatakan melihat gambaran tanpa
stimulus yang nyata.
Klien mengatakan mencium bau tanpa
stimulus.
Klien merasa makan sesuatu.
Klien merasa ada sesuatu pada kulitnya.
Klien takut pada suara/bunyi/gambar yang
dilihat dan didengar.
Klien ingin memukul atau melempar barang-
barang.
 Data objektif
Klien berbicara dan tertawa sendiri.
Klien bersikap seperti mendengar atau melihat
sesuatu.
Klien berhenti bicara di tengah kalimat untuk
mendengarkan sesuatu
Disorentasi.
c. Gangguan konsep diri
 Data sunjektif
Klien mengatakan : saya tidak mampu, saya
tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh,
mengkritik diri sendiri dan mengungkapkan
rasa malu terhadap diri sendiri.
 Data objektif
Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila
di suruh memilih alternatif tindakan, ingin
mencederai diri/ingin mengakhiri diri sendiri.
H. PENATALAKSANAAN KLINIS
1. Terapi Psikofarmaka
a. Chlorpromazine
Mengatasi sindrom psikis yaitu berdaya berat dalam
kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya
ingat norma sosial dan tilik diri terganggu, berdaya berat dalam
fungsi-fungsi mental: faham, halusinasi. Gangguan perasaan
dan perilaku yang aneh atau tidak terkendali, berdaya berat
dalam fungsi kehidupan sehari-hari, tidak mampu bekeija,
berhubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin. Mempunyai
efek samping gangguan otonomi (hypotensi)
antikolinergik/parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam
miksi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler
meninggi, gangguan irama jantung. Gangguan ekstra pyramidal
(distonia akut, akathsia sindrom parkinson). Gangguan
endoktrin (amenorhe). Metabolic (Soundiee). Hematologik,
agranulosis. Biasanya untuk pemakaian jangka panjang.
Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit darah, epilepsy,
kelainan jantung (Andrey, 2019).

b. Haloperidol (HLP)
Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi
mental serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari. Memiliki efek
samping seperti gangguan miksi dan parasimpatik, defeksi,
hidung tersumbat mata kabur , tekanan infra meninggi,
gangguan irama jantung. Kontraindikasi terhadap penyakit hati,
penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2019).
c. Trihexyphenidil (THP)
Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca ensepalitis
dan idiopatik, sindrom Parkinson akibat obat misalnya
reserpina dan fenotiazine. Memiliki efek samping di antaranya
mulut kering, penglihatan kabur, pusing, mual, muntah,
bingung, agitasi, konstipasi, takikardia, dilatasi, ginj al, retensi
urine. Kontraindikasi terhadap hypersensitive Trihexyphenidil
(THP), glaukoma sudut sempit, psikosis berat psikoneurosis
(Andrey, 2019).
2. Terapi Individu
Terapi individu pada pasien dengan masalah isolasi sosial dapat
diberikan strategi pertemuan (SP) yang terdiri dari tiga SP dengan
masing-masing strategi pertemuan yang berbeda-beda. Pada SP satu,
perawat mengidentifikasi penyebab isolasi social, berdiskusi dengan
pasien mengenai keuntungan dan kerugian apabila berinteraksi dan
tidak berinteraksi dengan orang lain, mengajarkan cara berkenalan,
dan memasukkan kegiatan latihan berbiincang-bincang dengan
orang lain ke dalam kegiatan harian. Pada SP dua, perawat
mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, memberi kesempatan
pada pasien mempraktekkan cara berkenalan dengan satu orang, dan
membantu pasien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan
orang lain sebagai salah satu kegiatan harian. Pada SP tiga, perawat
mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, memberi kesempatan
untuk berkenalan dengan dua orang atau lebih dan menganjurkan
pasien memasukkan ke dalam jadwal kegiatan hariannya (Purba,
dkk. 2018)
3. Terapi kelompok
Menurut (Purba, 2018), aktivitas pasien yang mengalami
ketidakmampuan bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan
menjadi tiga yaitu:
a. Activity Daily Living (ADL)
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan sehari-hari yang meliputi:
1. Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan pasien
sewaktu bangun tidur.
2. Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua
bentuk tingkah laku/perbuatan yang berhubungan dengan BAB
dan BAK.
3. Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam
kegiatan mandi dan sesudah mandi.
4. Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
keperluan berganti pakaian.
5. Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada
waktu, sedang dan setelah makan dan minum.
6. Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan
dengan kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan
dengan kebersihan pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-lain.
7. Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana pasien mengerti
dan dapat menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti, tidak
menggunakan/menaruh benda tajam
sembarangan, tidak merokok sambil tiduran, memanjat
ditempat yang berbahaya tanpa tujuan yang positif.
8. Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang pasien
untuk pergi tidur. Pada pasien gangguan jiwa tingkah laku
pergi tidur ini perlu diperhatikan karena sering merupakan
gejala primer yang muncul padagangguan jiwa. Dalam hal ini
yang dinilai bukan gejala insomnia (gangguan tidur) tetapi
bagaimana pasien mau mengawali tidurnya.
b. Tingkah laku sosial
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan
sosial pasien dalam kehidupan bermasyarakat yang meliputi:
1. Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku pasien
untuk melakukan hubungan sosial dengan sesama pasien,
misalnya menegur kawannya, berbicara dengan kawannya
dan sebagainya.
2. Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku pasien
untuk melakukan hubungan sosial dengan petugas seperti
tegur sapa, menjawab pertanyaan waktu ditanya, bertanya
jika ada kesulitan dan sebagainya.
3. Kontak mata waktu berbicara, yaitu sikap pasien sewaktu
berbicara dengan orang lain seperti memperhatikan dan saling
menatap sebagai tanda adanya kesungguhan dalam
berkomunikasi.
4. Bergaul, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
kemampuan bergaul dengan orang lain secara kelompok
(lebih dari dua orang).
5. Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan
dengan ketertiban yang harus dipatuhi dalam perawatan
rumah sakit.
6. Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
tata krama atau sopan santun terhadap kawannya dan petugas
maupun orang lain.
7. Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku pasien
yang bersifat mengendalikan diri untuk tidak mengotori
lingkungannya, seperti tidak meludah sembarangan, tidak
membuang puntung rokok sembarangan dan sebagainya.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa berupa
faktor presipitasi, penilaian stressor , suberkoping yang dimiliki
klien. Setiap melakukan pengajian ,tuli s tempat klien dirawat dan
tanggal dirawat isi pengkajian meliputi :
1. Identitas klien
Meliputi nama klien , umur , jenis kelamin , status perkawinan,
agama, tangggal MRS , informan, tangggal pengkajian, No
Rumah klien dan alamat klien.
2. Keluhan utama
Keluhan biasanya berupa menyediri (menghindar dari orang
lain) komunikasi kurang atau tidak ada , berdiam diri
dikamar ,menolak interaksi dengan orang lain ,tidak melakukan
kegiatan sehari - hari, dependen.
3. Factor predisposisi
kehilangan , perpisahan , penolakan orang tua ,harapan orang
tua yang tidak realistis ,kegagalan / frustasi berulang , tekanan
dari kelompok sebaya; perubahan struktur sosial.
Teijadi trauma yang tiba tiba misalnya harus dioperasi ,
kecelakaan dicerai suami , putus sekolah ,PHK, perasaan malu
karena sesuatu yang teijadi ( korban perkosaan , tituduh kkn,
dipenjara tiba - tiba) perlakuan orang lain yang tidak menghargai
klien/ perasaan negatif terhadap diri sendiri yang berlangsung
lama.
4. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tada vital (TD, Nadi, suhu, Pernapasan , TB,
BB) dan keluhafisik yang dialami oleh klien.
5. Aspek Psikososial
a. Genogram yang menggambarkan tiga generasi
b. Konsep diri
1. Citra tubuh
Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang
berubah atau tidak menerima perubahan tubuh yang telah
teijadi atau yang akan teijadi. Menolak penjelasan perubahan
tubuh , persepsi negatip tentang tubuh . Preokupasi dengan
bagi a tubuh yang hilang , mengungkapkan keputus asaan,
mengungkapkan ketakutan.
2. Identitas diri
Ketidak pastian memandang diri , sukar menetapkan
keinginan dan tidak mampu mengambil keputusan .
3. Peran
Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan
penyakit, proses menua , putus sekolah, PHK.
4. Ideal diri
Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya
mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi
5. Harga diri
Perasaan malu terhadap diri sendiri , rasa bersalah terhadap
diri sendiri , gangguan hubungan sosial , merendahkan
martabat, mencederai diri, dan kurang percaya diri.
a. Klien mempunyai gangguan / hambatan dalam melakukan
hubunga social dengan orang lain terdekat dalam
kehidupan, kelempok yang diikuti dalam masyarakat.
b. Keyakinan klien terhadap Tuhan dan kegiatan untuk
ibadah ( spritual)
6. Status mental
Kontak mata klien kurang /tidak dapat mepertahankan kontak
mata, kurang dapat memulai pembicaraan , klien suka
menyendiri dan kurang mampu berhubungan dengan orang
lain , Adanya perasaan keputusasaan dan kurang berharga
dalam hidup.
7. Kebutuhan persiapan pulang
a. Klien mampu menyiapkan dan membersihkan alat makan
b. Klien mampu BAB dan BAK, menggunakan dan
membersihkan wc,
membersikan dan merapikan pakaian.
c. Pada observasi mandi dan cara berpakaian klien terlihat rapi
d. Klien dapat melakukan istirahat dan tidur , dapat beraktivitas
didalam dan diluar rumah
e. Klien dapat menjalankan program pengobatan dengan benar.
8. Mekanisme koping
Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau
menceritakan nya pada orang orang lain( lebih sering
menggunakan koping menarik diri).
9. Aspek medik
Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi ECT,
Psikomotor, therapy okopasional, TAK , dan rehabilitas.

I. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang diangkat adalah :
1. Resiko perubahan sensori berhubungan dengan menarik
diri : Isolasi Sosial
2. Menarik deri berhubungan dengan harga diri rendah :
gangguan konsep diri
3. Harga diri rendah berhubungan dengan tidak efektifnya
koping individu : koping defensif
4. Hambatan komunikasi verbal
5. Defisit keperawatan diri

J. Intervensi
Perencanaan adalah menyusun dan menetapkan strategi
sertabalternatif untuk mencapai hasil yang diharapkan pasien.
Perencanaan dibuat berkolaborasi dengan pasien, keluarga, dan tim
medis lain (Stuart, 2016) Berikut perencanaan pada pasien isolasi
sosial:

K. Implementasi
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan.
Pelaksanaan tindakan keperawatan yang disesuaikan dengan
rencana tindakan keperawatan. Sebelum melaksanakan tindakan
keperawatan yang sudah di rencanakan, perawat perlu
memvalidasi apakah rencana tindakan keperawatan masih
dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi pasien saat ini.

L. Evaluasi
Proses evaluasi hasil adalah perubahan perilaku atau status
kesehatan pasien pada akhir tindakan keperawatan pasien. Tipe
evaluasi ini dilaksanakan pada akhir tindakan Evaluasi dapat
dilakukan dengan pendekatan SOAP, sebagai pola pikir.

S : Respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan


yang telah dilaksanakan.

O : Respon obyektif pasien terhadap tindakan keperawatan


yang telah dilaksanakan.

A : Analisa terhadap data sunjektif dan onbjektif untuk


menyimpulkan apakah masalah masih ada atau tidak telah
teratasi atau muncul masalah baru.

P : Perencanaan tindak lanjut berdasarkan hasil analisa


Respon

Anda mungkin juga menyukai