OLEH :
Kelompok 1
1. Lestari M. Hasan
2. Ais Hasan
3. Rizki Dairi Putra Padang
4. Irfhan
i
KATA PENGANTAR
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................. i
KATA PENGANTAR........................................................................... ii
DAFTAR ISI.......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
1.1. Latar Belakang................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah............................................................................ 2
1.3. Tujuan Penulisan.............................................................................. 3
BAB II TINJAUAN TEORI................................................................. 4
2.1 Definisi ASD..................................................................................... 4
2.2 Klasifikasi ASD................................................................................. 5
2.3 Etiologi dan Epidemiologi ASD....................................................... 6
2.4 Patofisiologi ASD............................................................................. 7
2.5 Manifestasi Klinis ASD.................................................................... 8
2.6 Pemeriksaan Penunjang..................................................................... 9
2.7 Komplikasi ASD............................................................................... 11
2.8 Prognosis ASD.................................................................................. 13
2.9 Penatalaksanaan ASD....................................................................... 13
2.10 Asuhan Keperawatan ASD.............................................................. 18
BAB III PENUTUP............................................................................... 41
3.1 Kesimpulan........................................................................................ 41
3.2 Saran.................................................................................................. 42
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
aliran darah dan ada tidaknya gagal jantung kongestif, peningkatan tekanan
pembuluh darah paru (hipertensi pulmonal) serta penyulit lain.
Sampai 5 tahun yang lalu, semua ASD hanya dapat ditangani dengan
operasi bedah jantung terbuka. Operasi penutupan ASD baik dengan jahitan
langsung ataupun menggunakan patch sudah dilakukan lebih dari 40 tahun.
Tindakan operasi ini sendiri, bila dilakukan pada saat yang tepat (tidak
terlambat) memberikan hasil yang memuaskan, dengan risiko minimal (angka
kematian operasi 0-1%, angka kesakitan rendah). Pada penderita yang
menjalani operasi di usia kurang dari 11 tahun menunjukkan ketahanan hidup
pasca operasi mencapai 98%. Semakin tua usia saat dioperasi maka ketahanan
hidup akan semakin menurun, berkaitan dengan sudah terjadinya komplikasi
seperti peningkatan tekanan pada pembuluh darah paru. Namun demikian,
tindakan operasi tetap memerlukan masa pemulihan dan perawatan di rumah
sakit yang cukup lama, dengan trauma bedah (luka operasi) dan trauma psikis
serta relatif kurang nyaman bagi penderita maupun keluarganya. Hal ini
memacu para ilmuwan untuk menemukan alternatif baru penutupan ASD
dengan tindakan intervensi non bedah (tanpa bedah jantung terbuka), yaitu
dengan pemasangan alat Amplatzer Septal Occluder (ASO).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari ASD ?
2. Apa saja klasifikasi dari ASD ?
3. Bagaimana etiologi dan epidemiologi dari ASD ?
4. Bagaimana patofisiologi dari ASD ?
5. Apa saja manifestasi klinis dari ASD?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang dari ASD ?
7. Apa saja komplikasi dari ASD ?
8. Bagaimana prognosis dari ASD ?
9. Apa saja penatalaksanaan dari ASD ?
10. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada pasien ASD ?
2
1.1 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi dari ASD.
2. Untuk mengetahui apa saja klasifikasi dari ASD.
3. Untuk mengetahui bagaimana etiologi dan epidemiologi dari ASD.
4. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dari ASD.
5. Untuk mengetahui apa saja manifestasi klinis dari ASD.
6. Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang dari ASD.
7. Untuk mengetahui apa saja komplikasi dari ASD.
8. Untuk megetahui bagaimana prognosis dari ASD.
9. Untuk mengetahui apa saja penatalaksanaan dari ASD.
10. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan pada pasien ASD.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
cara bergabung dengan septum atrial. PFO terjadi apabila didapat kegagalan
penutupan atau penggabungan dengan septum atrial.
2.2 KLASIFIKASI
Ostium secundum ASD: Defek ini terletak ditengah sekat atrium. Defek
ini juga terletak foramen ovale, defek ini juga dikenal dengan ASD II. Jenis
ASD ini dihasilkan dari adhesi yang tidak sempurna antara katup flap yang
terkait dengan foramen ovale dan septum secundum setelah kelahiran. Paten
foramen ovale biasanya diakibatkan oleh resorpsi septum primum yang tidak
normal selama pembentukan foramen secundum. Resorpsi di lokasi abnormal
menyebabkan fumestrasi atau netlike septum primum. Resortpsium primum
yang berlebihan menghasilkan primum septum pendek yang tidak menutup
foramen ovale. Foramen ovale yang tidak normal dapat terjadi sebagai akibat
dari kerusakan septum secundum yang rusak. Normal septum primum tidak
menutup jenis foramen ovale abnormal saat lahir. Kombinasi resorpsi
berlebihan dari septum primum dan foramen ovale besar menghasilkan
ostium secundum ASD besar.
Ostium primum ASD: Defek ini terletak dibawah sekat rimum,
dibagian bawah hanya dibatasi oleh sekat ventrikel, dan terjadi karena gagal
petumbuhan sekat primum. Defek ini dikenal dengan ASD I. Cacat ini
disebabkan oleh peleburan septum primum yang tidak lengkap dengan
bantalan endokard. Cacatnya terletak berdekatan dengan katup
atrioventrikular (AV),yang salah satunya mungkin cacat dan tidak kompeten.
Dalam kebanyakan kasus, hanya selebaran anterior atau septal katup mitral
yang mengungsi, dan biasanya terbelah. Katup trikuspid biasanya tidak
dilibatkan.
Sinus venosus ASD : Defek ini terletak dibagian superior dan posterior
sekat, selain sangat dekat dengan vena kava superior, juga dekat dengan salah
satu muara vena pulmonalis. Defek ini dikenal dengan ASD II. Fusi abnormal
antara sinus venosus embriologis dan atrium menyebabkan cacat ini. Dalam
kebanyakan kasus, cacat terletak superior di septum atrium di dekat
5
masuknya vena kava superior. Seringkali ada drainase anomali yang
berhubungan dengan vena pulmoner superior yang tepat. Tipe inferior yang
relatif jarang dikaitkan dengan drainase anomali sebagian dari vena pulmoner
inferior kanan. Drainase anomali bisa masuk ke atrium kanan, vena kava
superior, atau vena cavainferior.
Sinus koroner ASD : Cacat sinus koroner ditandai dengan sinus
koronerun roof dan vena kava superior kiri yang persisten yang mengalir ke
atrium kiri. Sinus koroner yang melebar sering menunjukkan cacat ini. Hal ini
dapat mengakibatkan desaturasi karena shunt kanan-ke-kiri ke atrium kiri.
Diagnosis dapat dilakukan dengan cara menyuntikkan zat kontras ke
ekstremitas atas kiri ; Koreksi sinus koroner mendahului penguraian atrium
kanan.
2.3 ETIOLOGI DAN EPIDEMIOLOGI
A. Etiologi
Penyebab dari penyakit jantung kongentinal ASD ini belum dapat
dipastikan banyak kasus mungkin terjadi akibat aksi trotogen yang tidak
diketahui dalam trisemester pertama kehamilan saat terjadi perkembangan
jantung janin. Sebagian besar cacat jantung ini tidak diwariskan, kita kenal
degan embriologi jantung bahwa cidera atau zat yang menimbulkan cacat
melakukan kerusakan dalam waktu 5-8 minggu. Pertama kehidupan status,
saat struktur kardiovaskuler terbentuk kecuali duktus arteriosis paten yaitu
saluran normal untuk status yang harus menutup pada hari pertama. ASD
merupakan penyakit jantung bawaan. Dalam keadaan normal, pada peredaran
darah janin terdapat suatu lubang diantara atriun kiri dan kanan sehingga
darah tidak perlu melewati paru-paru. Pada saat bayi lahir, lubang ini
biasanya menutup. Jika lubang ini tetap terbuka, darah terus mengalir dari
atrium kiri ke atrium kanan (shurt). Penyebab dari tidak menutupnya lubang
ini tidak diketahui.
Beberapa kondisi yang Anda alami atau yang terjadi selama kehamilan
dapat meningkatkan risiko bayi menderita cacat jantung, termasuk:
6
a) Rubella infeksi. Menjadi terinfeksi rubella (campak Jerman) selama
beberapa bulan pertama kehamilan Anda dapat meningkatkan risiko
cacat jantung janin.
b) Penggunaan narkoba, tembakau atau alkohol, atau terpapar zat
tertentu.Penggunaan obat-obatan tertentu, tembakau, alkohol atau obat-
obatan terlarang, seperti kokain, selama kehamilan dapat
membahayakan janin yang sedang berkembang.
c) Diabetes atau lupus. Jika Anda menderita diabetes atau lupus, Anda
mungkin lebih cenderung memiliki bayi dengan cacat jantung.
d) Kegemukan. Menjadi sangat kelebihan berat badan (obesitas) mungkin
berperan dalam meningkatkan risiko melahirkan bayi dengan cacat
lahir.
e) Fenilketonuria (PKU). Jika Anda memiliki PKU dan tidak mengikuti
rencana makan PKU Anda, Anda mungkin cenderung memiliki bayi
dengan cacat jantung.
f) Anak yang lahir sebelumnya menderita Penyakit Jantung Bawaan.
g) Ayah atau ibu menderita Penyakit Jantung Bawaan.
h) Kelainan kromosom misalnya Sindroma Down.
i) Lahir dengan kelainan bawaan lain.
B. Epidemiologi
Atrial Septal Defect (ASD) terjadi pad 4 dari 100.000 orang. Sedangkan
pada anak terjadi 1 anak per 1500 kelahiran. ASD yang tidak terdiagnosa
adalah 30-40% dari kelainan jantung kongenital yang terlihat pada orang
dewasa. Kebanyakan terjadi pada anak wanita dari pada laki-laki dengan
perbandingan 2:1
2.4 PATOFISIOLOGI
Aliran pirau kiri ke kanan melewati defect septum atrium mengakibatkan
kelebihan beban volume pada atrium kanan, ventrikel kanan dan sirkulasi
pulmonal. Volume pirau dapat dihitung dari curah jantung dan jumlah
peningkatan saturasi oksigen (O2) atriun kanan dan stadium awal tekanan
dalam sisi kanan tidak meningkatkan dengan berlalunya waktu dapat terjadi
7
perubahan vascular pulmonal. Arah aliran yang melewati pirau dapat terjadi
pada hipertensi pulmonal berat.
Darah aternal dari atrium kiri dapat masuk ke atrium kanan melalui
defeksekat ini. Aliran ini tidak deras karena perbedaan tekanan pada atrium kiri
dan kanan tidak begitu besar (tekanan pada atrium kiri 6 mmHg sedangkan
atrium kanan 5 mmHg). Adanya aliran darah menyebabkan penambahan beban
pada ventrikel kanan, arteri pulmonalis, kapiler paru-paru dan atrium kiri. Bila
shunt besar, maka volume darah yang melalui arteri pulmonalis 3-5 kali dari
darah yang melalui aorta.
Dengan bertambahnya aliran darah pada ventrikel kanan dan
arteri pulmonalis, maka tekanan pada alat−alat tersebut naik dan dengan
kenaikan tekanan, maka tahanan katup arteri pulmonalis naik, sehingga
adanya perbedaan tekanan sekita 15-25 mmHg. Akibat adanya perbedaan
tekanan ini,timbul suatu bising sistolik (jadi bising sistolik pada ASD
merupakan bisingdari stenosis relatif katup pulmonal).
Begitu pula pada valvula trikuspidalis terdapat perbedaan tekanan
sehinga disini juga terjadi stenosis relatif katup trikuspidalis sehingga terdengar
bising diastolik. Karena adanya penambahan beban yang terus menerus pada
arteri pulmonalis, maka lama kelamaan akan terjadi kenaikan tekanan ventrikel
kanan yang permanen. Tapi kejadian ini pada ASD terjadi sangat lambat ASD I
sebagian sama dengan ASD I. Hanya bila ada defek pada katup mitral atau
katup trikuspidalis, sehingga darah dari ventrikel kiri atau ventrikel kanan
mengalir kembali ke atrium kiri dan atrium kanan pada waktu sistol. Keadaan
ini tidak pernah terjadi pada ASD II.
2.5 MANIFESTASI KLINIS
Beberapa bayi tidak memiliki keluhan klinis atau disebut dengan
asimtomatik pada ASD. Kelainan ASD umumnya diketahui melalui
pemeriksaan rutin dimana didapatkan adanya murmur (kelainan bunyi
jantung). Apabila didapatkan adanya gejala dan keluhan, umumnya didapatkan
adanya sesak saat beraktivitas, dispneu (kesulitan dalam bernafas), mudah lelah
dan infeksi saluran pernafasan yang berulang. Keluhan yang paling sering
8
terjadi pada orang dewasa adalah penurunan stamina dan palpitasi (dada
berdebar-debar) akibat dari pembesaran atrium dan ventrikel kanan, diastolik
meningkat, sistolik rendah. Pada kelainan yang sifatnya ringan sampai sedang
mungkin sama sekali tidak ditemukan gejala atau gejalanya baru timbul pada
usia pertengahan.
Dianosa ditegakan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik :
a. Denyut arteri pulmonalis dapat diraba di dada
b. Pemeriksaan dengan stetoskop menunjukan bunyi jantung yang
abnormal. Bisa terdengar murmur akibat peningkatan aliran darah
yang melalui katup pulmonalis.
c. Tanda-tanda gagal jantung.
d. Jika shuntnya besar, maka murmur bisa terdengar akibat peningkatan
aliran darah yang mengalir melalui katup trikuspidalis.
9
jantung sambil mendengarkan jantung menggunakan stetoskop. Atau defek
septum atrium dapat ditemukan saat pemeriksaan ultrasonografi jantung
(ekokardiogram) dilakukan untuk alasan lain.
2. Echocardiogram.
Echocardiogram merupakan tes yang paling umum digunakan untuk
mendiagnosis defek septum atrium. Beberapa cacat septum atrium ditemukan
selama ekokardiogram dilakukan. Echocardiogram memperlihatkan dilatasi
ventrikel kanan dan septum interventrikular yang bergerak paradoks.
Echocardiografi dua dimensi dapat memperlihatkan lokasi dan besarnya
defek interatrial pandangan subsifoid yang paling terpercaya prolaps katub
netral dan regurgitasi sering tampak pada defek septum atrial yang besar..
Dalam ekokardiografi, gelombang suara digunakan untuk menghasilkan citra
video jantung. Hal ini memungkinkan dokter untuk melihat kamar jantung
dan mengukur kekuatan pemompaan. Tes ini juga memeriksa katup jantung
dan mencari tanda-tanda kerusakan jantung. Dokter dapat menggunakan tes
ini untuk mengevaluasi kondisi dan menentukan rencana perawatan.
3. Rontgen dada.
Gambar sinar-X membantu dokter untuk melihat kondisi jantung dan
paru-paru. Sinar-X dapat mengidentifikasi kondisi selain cacat jantung yang
bisa menjelaskan tanda atau gejala. Pada defek kecil gambaran foto dada
masih dalam batas normal. Bila defek bermakna mungkin tampak
kardiomegali akibat pembesaran jantung kanan. Pembesaran pada ventrikel
ini lebih nyata terlihat pada foto lateral.
4. Elektrokardiogram (EKG)
Tes Elektrokardiografi ini membantu untuk mencatat aktivitas listrik
jantung dan membantu mengidentifikasi masalah irama jantung. Pada ASDI,
gambaran EKG sangat karakteristik dan patognomis, yaitu sumbu jantung
frontal selalu ke kiri. Sedangkan pada ASD II jarang sekali dengan sumbu
frontal ke kiri.
5. Kateterisasi jantung
10
Dalam kateterisasi jantung ini, tabung tipis dan fleksibel (kateter)
dimasukkan ke dalam pembuluh darah di selangkangan atau lengan dan
dipandu ke jantung. Melalui kateterisasi, dokter dapat mendiagnosa cacat
jantung bawaan, menguji seberapa baik jantung memompa dan memeriksa
fungsi katup jantung. Dengan menggunakan kateterisasi, tekanan darah di
paru-paru juga bisa diukur. Katerisasi jantung dilakukan apabila defek intra
pada ekodiograf tidak terlihat atau bila terdapat hipertensi pulmonal. Pada
katerisasi jantung terdapat peningkatan saturasi oksigen di atrium kanan dan
dengan peningkatan ringan tekanan ventrikel kanan dan kiri. Bila terjadi
penyakit vaskuler paru tekanan arteri pulmonalis, sangat meningkat sehingga
pelu dilakukan test dengan pemberian oksigen 100% untuk menilai
resensibilitas vaskuler paru pada sindrom ersen menger saturasi oksigen di
atrium kiri menurun. Namun, tes ini biasanya tidak diperlukan untuk
mendiagnosis defek septum atrium. Dokter juga dapat menggunakan teknik
kateterisasi untuk memperbaiki kerusakan jantung.
6. Magnetic Resonance Imaging (MRI).
MRI adalah teknik yang menggunakan medan magnet dan gelombang
radio untuk membuat gambar 3-D dari jantung dan organ dan jaringan lain di
dalam tubuh. Dokter mungkin meminta MRI jika ekokardiografi tidak dapat
secara pasti mendiagnosis defek septum atrium.
7. Scan komputer terkomputerisasi (CT)
CT scan menggunakan serangkaian sinar-X untuk membuat gambar
detil jantung. CT scan dapat digunakan untuk mendiagnosis defek
septumatrium jika ekokardiografi belum secara pasti mendiagnosis defek
septumatrium.
8. Radiologi
Tanda-tanda penting pada foto radiologi toraks ialah:
a) Corak pembuluh darah bertambah
b) Ventrikel kanan dan atrium kanan membesar
c) Batang arteri pulmonalis membesar sehingga pada hilus tampak
denyutan (pada fluroskopi) dan disebut sebagai hilam dance.
11
2.7 KOMPLIKASI
a. Hipertensi pulmonal.
Jika defek septum atrium besar tidak diobati, peningkatan aliran
darah ke paru-paru Anda meningkatkan tekanan darah di arteri paru-paru
(pulmonary hypertension).
b. Sindrom Eisen menger
Dalam kasus yang jarang terjadi, hipertensi pulmonal dapat
menyebabkan kerusakan paru permanen. Komplikasi ini, yang disebut
sindrom Eisenmenger, biasanya berkembang selama bertahun-tahun
danhanya terjadi pada sebagian kecil orang dengan defek septum atrium
besar.
c. Gagal jantung
gagal jantung terjadi akibat adanya kelainan jantung yang
menyebabkan ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang
adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi.
Biasanya jenis gagal jantung ini adalah gagal jantung kanan. ASD
menyebabkan sisi kanan jantung bekerja lebih keras karena harus
memompa darah ekstra ke paru-paru. Seiring waktu, jantung bisa menjadi
lelah dari pekerjaan ekstra ini dan tidak memompa dengan baik.
d. Aritmia (ah-RITH-me-ahs).
Darah ekstra yang mengalir ke atrium kanan melalui ASD dapat
menyebabkan atrium membentang dan membesar. Seiring waktu, hal ini
dapat menyebabkan detak jantung tidak teratur yang disebut aritmia.
Gejalanya bisa berupa palpitasi atau detak jantung yang cepat.
e. Stroke.
Biasanya, paru-paru menyaring penggumpalan darah kecil yang
bisa terbentuk di sisi kanan jantung. Terkadang, gumpalan darah bisa
mengalir dari atrium kanan ke atrium kiri melalui ASD dan dipompa
keluar ke tubuh. Bekuan darah bisa berjalan ke arteri di otak, menghalangi
aliran darah dan menyebabkan stroke.
12
Komplikasi lainnya yaitu sebagai berikut :
13
2.9 PENATALAKSANAAN
A. Penatalaksanaan Medis
1. Pembedahan
Pembedahan dilakukan apabila:
a. Jantung sangat membesar
Pembesaran jantung pada foto thoraks, dilatasi ventrikel, kanan,
kenaikan arteri pulmonal 50 % atau kurang dari tekanan aorta,
tanpamempertimbangkan keluhan. Prognosis penutupan ASD lebih
baik dibandingkan dengan pengobatan medika mentosa. Pada
kelompok umur 40 tahunan ke atas harus mempertimbangkan
kemungkinan terjadinya aritmia atrial, terutama memang sebelumnya
sudah pernah terjadi gangguan irama. Pada kelompok ini diperlukan
ablasi perkutan atau ablasi operatif pada saaat penutupan ASD.
b. Dyspnoe d’effort yang berat atau sering ada serangan bronchitis
c. Kenaikan tekanan pada arteri pulmonalis.
d. Adanya riwayat iskemik transcient atau stroke pada DSA atau
foramenovale persisten.
Untuk tujuan praktis, penderita dengan defek sekat atrium dirujuk
ke ahli bedah untuk penutupan bila diagnosis pasti. Pembedahan jantung
yang didasarkan pada ukuran shunt menempatkan lebih pada kepercayaan
terhadap data dari pada alasan yang diberikan. Dengan terbuktinya defek
sekat atrium dengan shunt dari kiri ke kanan pada anak yang umurnya
lebih dari 3 tahun, penutupan adalah beralasan. Agar terdeteksi, shunt dari
kiri ke kanan harus memungkinkan rasio QP/QS sekurang-kurangnya 1,5 :
1 ; karenanya mencatat adanya shunt merupakan bukti cukup untuk maju
terus.
Dalam tahun pertama atau kedua, ada beberapa manfaat menunda
sampai pasti bahwa defek tidak akan menutup secara spontan. Tindakan
operasi juga merupakan kontra indikasi jika terjadi kenaikan resistensi
vaskular paru 7-8 unit atau ukuran defek kurang dari 8 mm tanpa keluhan
dan pembesaran jantung kanan. Tindakan penutupan dapat dilakukan
14
dengan operasi terutama untuk defek yang sangat besar lebih dari 40 mm
atautipe ASD selain tipe secundum. Untuk ASD secundum dengan ukuran
defek lebih kecil dari 40 mm harus dipertimbangkan penutupan dengan
kateter menggunakan Amplatzer Septal Occluder (ASO). Masih
dibutuhkan evaluasi jangka panjang untuk menentukan kejadian aritmia
dan komplikasi tromboemboli. Kriteria pasien ASD yang akan dilakukan
pemasangan Amplatzer Septal Occluder (ASO) antara lain :
a. Atrial Septal Defect (ASD) secundum
b. Diameter kurang atau sama dengan 34 mm
c. Flow Ratio lebih atau sama dengan 1,5 atau terdapat tanda-tanda
beban volume pada ventrikel kanan
d. Mempunyai rim posterior minimal 5 mm dari vena pulmonalis kanan.
e. Defek tunggal tanpa kelainan jantung yang membutuhkan intervensi
bedah.
f. Muara vena pulmonalis normal ke atrium kiri
g. Hipertensi pulmonal dengan resistensi vaskuler paru kurang dari 7-8
woodunit (n: 0,25- 2,6 mmHg.min/Ih.
h. Jika ada gagal jantung, fungsi ventrikel (ejection fraction) harus lebih
dari30%.
Bila pada anak masih dapat dikelola dengan digitalis biasanya
oprasi ditunggusampai anak mencapi usia 3 tahun.
a. Opersi pada ASD I tanpa masalah katup mitral atau trikuspidal
mortalitasnya rendah, operasi dilakukan pada masa bayi.
b. ASD I disertai celah katup mitral dan trikuspidal operasi paling
baikdilakukan umur antara 3-4 tahun.
c. Apabila ditemukan tanda-tanda hipertensi pulmonal, operasi dapat
dilakukan pada masa bayi untuk mencegah terjadinya penyakit
vaskuler pulmonal.
d. Terapi dengan digoksin, furosemid dengan atau tanpa sipironolakton
dengan pemantauan elektrolit berkala masih merupakan terapi standar
gagal jantung pada bayi dan anak.
15
Indikasi utama penutupan defek sekat atrium adalah mencegah
penyakitvascular pulmonal abstruktif. Pencegahan masalah irama di
kemudian hari danterjadinya gagal jantung kongesif nantinya mungkin
jadi dipertimbangkan,tetapi sebenarnya defek dapat ditutup kemudian
jika masalah ini terjadi.Sekarang resiko pembedahan jantung untuk
defek sekat atrium varietas sekundum benar-benar nol.
Dari 430 penderita yang dioperasi di Rumah Sakit Anak Boston,
tidak ada mortalitas kecuali untuk satu bayi kecil yang amat sakit yang
mengalami pengikatan duktus arteriosus paten. Kemungkinan
penutupan tidak sempurna pada pembedahan jarang. Komplikasi
kemudian sesudah pembedahan jarang dan terutama adalah masalah
dengan irama atrium. Berlawanan dengan pengalaman ini adalah
masalah obstruksi vaskular pulmonal yang sangatmenghancurkan
pada 5-10 persen penderita, yang menderita penyakit ini. Penyakit
vaskular pulmonal obstruktif hampir selalu mematikan dalam
beberapa tahun dan dengan sendirinya cukup alasan untuk
mempertimbangkan perbaikan bedah semua defek sekat atrium.
2. Penutupan Defek Sekat Atrium dengan Kateter.
Alat payung ganda yang dimasukan dengan kateter jantung
sekarang digunakan untuk menutup banyak defek sekat atrium. Defek
yang lebih kecil dan terletak lebih sentral terutama cocok untuk
pendekatan ini. Kesukaran yang nyata yaitu dekatnya katup
atrioventrikular dan bangunan lain, seperti orifisium vena kava, adalah
nyata dan hingga sekarang, sistem untuk memasukkan alat cukup besar
menutup defek yang besar tidak tersedia. Keinginan untuk menghindari
pemotongan intratorak dan membuka jantung jelas.Langkah yang paling
penting pada penutupan defek sekat atriumtranskateter adalah penilaian
yang tepat mengenai jumlah, ukuran dan lokasi defek. Defek yang lebih
besar dari pada diameter 25 mm, defek multipeltermasuk defek di luar fosa
ovalis, defek sinus venosus yang meluas ke dalam vena kava, dan defek
16
dengan tepi jaringan kurang dari 3-6 mm dari katuptrikuspidal atau vena
pulmonalis kanan dihindari.
Untuk penderita dengan defek yang letaknya sesuai, ukuran
ditentukan dengan menggembungkan balon dan mengukur diameter yang
direntangkan. Payung dipilih yang 80% lebih besar daripada diameter
terentang dari defek. Lengan distal payung dibuka pada atrium kiri dan
ditarik perlahan-lahan tetapidengan kuat melengkungkan sekat ke arah
kanan. Kemudian, lengan sisi kanan dibuka dan payung didorong ke posisi
netral. Lokasi yang tepat dikonfirmasikan dan payung dilepaskan.
Penderita dimonitor semalam, besoknya pulang dan dirumat dengan
profilaksi antibiotik selama 6-9 bulan. Seluruh penderita dengan ASD
harus menjalani tindakan penutupan pada defek tersebut, karena ASD
tidak dapat menutup secara spontan, dan bila tidak ditutup akan
menimbulkan berbagai penyulit di masa dewasa. Namun kapan terapi dan
tindakan perlu dilakukan sangat tergantung pada besar kecilnya aliran
darah (pirau) dan ada tidaknya gagal jantung kongestif, peningkatan
tekanan pembuluh darah paru (hipertensi pulmonal) serta penyulit lain.
Sampai 5 tahun yang lalu, semua ASD hanya dapat ditangani dengan
operasi bedah jantung terbuka.
Operasi penutupan ASD baik dengan jahitan langsung ataupun
menggunakan patch sudah dilakukan lebih dari 40 tahun, pertama kali
dilakukan tahun 1953 oleh dr. Gibbson di Amerika Serikat, menyusul
ditemukannya mesin bantu pompa jantung-paru (cardio-pulmonary
bypass) setahun sebelumnya.
Tindakan operasi ini sendiri, bila dilakukan pada saat yang tepat
(tidak terlambat) memberikan hasil yang memuaskan, dengan risiko
minimal (angka kematian operasi 0-1%, angka kesakitan rendah). Murphy
JG, et.al melaporkan survival (ketahanan hidup) paska opearsi mencapai
98% dalam 27 tahun setelah tindakan bedah, pada penderita yang
menjalani operasi di usia kurangdari 11 tahun.
3. Terapi intervensi non bedah
17
Amplatzer Septal Occluder (ASO) adalah alat khusus yang dibuat
untuk menutup ASD tipe sekundum secara non bedah yang dipasang
melalui kateter secara perkutaneus lewat pembuluh darah di lipat paha
(arterifemoralis). Alat ini terdiri dari 2 buah cakram yang dihubungkan
dengan pinggang pendek dan terbuat dari anyaman kawat nitinol yang
dapat teregang menyesuaikan diri dengan ukuran ASD. Di dalamnya ada
patch dan benang polyester yang dapat merangsang trombosis sehingga
lubang/komunikasi antara atrium kiri dan kanan akan tertutup sempurna.
Beberapa alat yang digunakan pada intervensi non bedah:
a. Amplatzer septal occluder
b. Atrial septal defect occlusion (ASDOS)
c. Button deviced.
d. Guardian angel/angel wingse.
e. Helex septal occluderf.
f. Starflex/bard clamshell/cardiosealg.
g. Transcatherther patch closureh.
h. Antibiotik Profilaksis
1. Pengkajian
A. Keluhan Utama
Keluhan orang tua pada waktu membawa anaknya ke dokter tergantung
dari jenis defek yang terjadi baik pada ventrikel maupun atrium, tapi
biasanya terjadi sesak, pembengkakan pada tungkai dan berkeringat
banyak.
B. Riwayat Kesehatan
a) Riwayat Kesehatan Sekarang
Anak mengalami sesak nafas berkeringat banyak dan pembengkakan
pada tungkai tapi biasanya tergantung pada derajat dari defek yang
terjadi.
b) Riwayat Kesehatan Lalu
18
1) Prenatal History
Diperkirakan adanya keabnormalan pada kehamilan ibu (infeksi
virus Rubella), mungkin ada riwayat pengguanaan alkohol dan
obat-obatan serta penyakit DM pada ibu.
2) Riwayat Intra Natal
Riwayat kehamilan biasanya normal dan diinduksi.
3) Riwayat Neonatus
Gangguan respirasi biasanya sesak, takipnea
Anak rewel dan kesakitan
Tumbuh kembang anak terhambat
Terdapat edema pada tungkai dan hepatomegali
Sosial ekonomi keluarga yang rendah.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Adanya keluarga apakah itu satu atau dua orang yang
mengalami kelainan defek jantung
Penyakit keturunan atau diwariskan
Penyakit congenital atau bawaan
c) System yang dikaji
1) Pola Aktivitas dan Latihan
Keletihan/kelelahan
Dispnea
Perubahan tanda vital
Perubahan status mental
Takipnea
Kehilangan tonus otot
2) Pola Presepsi dan Pemeriksaan Kesehatan
Riwayat hipertensi
Endokarditis
Penyakit katup jantung.
3) Pola Mekanisme Koping dan Toleransi Terhadap Stress
19
Ansietas, khwatir, takut
Stress yang berhubungan dengan penyakit
4) Pola Nutrusi dan Metabolic
Anoreksia
Pembengkakan Ekstremitas bawah/edema
5) Pola Presepsi dan Konsep Diri
Kelemahan
Penig
6) Pola Peran dan Hubungan dengan sesame
Penurunan peran dalam aktivitas sosial dan keluarga
20
21
2. Diagnosa Keperawatan
a) Penurunan curah jantung b.d perubahan kontraktilitas d.d perubahan
irama jantung
b) Gangguan Pertukaran Gas b.d perubahan membrane alveolus-kapiler d.d
takikardi, sianosis, pola napas abnormal, dan penurunan kesadaran
c) Intoleransi Aktivias b.d ketidakseimbangan kebutuhan suplai oksigen d.d
dipsnea saat beraktivitas
d) Resiko Infeksi b.d factor resiko ketidakadekuatan pertahanan tubuh
sekunder
e) Gangguan Tumbuh Kembang b.d efek ketidakmampuan fisik d.d
pertumbuhan fisik terganggu
f) Gangguan Proses Keluarga b.d perubahan status kesehatan anggota
keluarga d.d keluarga tidak mampu beradaptasi terhadap situasi
3. Intervensi Keperawatan
22
Edema, distensi vena CRT membaik peningkatan BB,
jugularis, central Suara jantung S3 distensi vena
venous pressure (CVP) S4 membaik jugularis, palpitasi
meningkat/,menurun, Bradikardia ronkhi basah,
tekanan darah menurun oliguria,, batuk,
meningkat/menurun kulit pucat)
nadi perifer teraba 3. Monitor tekanan
lemah darah
23
Terapeutik
1. Posisikan pasien
semi fowler atau
fowler dengan kaki
kebawah atau posisi
nyaman
2. Berikan diet
jantung yang sesuai
(mis. batasi asupan
kafein, natrium,
kolesterol dan
makanan tinggi
lemak)
3. Fasilitasi pasien
dan keluarga untuk
modifikasi gaya
hidup sehat
4. Berikan terapi
relaksasi untuk
mengurangi stress
5. Berikan dukungan
emosional dan
spiritual.
6. Berikan oksigen
untuk
mempertahankan
saturasi oksigen
>94%
Edukasi
1. Anjurkan
beraktivitas fisik
24
sesuai toleransi
2. Anjurkan
beraktivitas fisik
secara bertahap
3. Anjurkan berhenti
merokok
4. Anjurkan pasien
dan keluarga
mengukur berat
badan harian
5. Ajarkan pasien dan
keluarga mengukur
intake dan output
cairan harian.
Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemberian
antiaritmia
2. Rujuk ke program
rehabilitasi jantung
jika perlu
2. Kode : (D.0003) Kode (L.01003) Kode : (I.01014)
Gangguan pertukaran Setelah dilakukan Pemantauan
gas tindakan keperawatan Respirasi
Definisi: diharapkan Observasi
Kelebihan atau kekurangan pertukaran gas 1. Monitor frekuensi,
oksigenasi dan atau meningkat dengan irama, kedalaman
eleminasi karbondioksida Kriteria hasil : dan upaya nafas
pada membrane Dispnue menurun 2. Monitor pola nafas
alveoluskapiler Bunyi nafas (seperti bradipnue,
tambahan takipnue,
25
Tanda dan gejala mayor menurun hiperventilasi)
Subjektif: Gelisah menurun 3. Monitor
dispnea Nafas cuping kemampuan batuk
Objektif: hidung menurun efektif
PCO2 meningkat/ PCO2 dan PO2 4. Monitor adanya
menurun membaik produksi sputum
PO2 menurun Takikardia 5. Monitor adanya
26
pemantauan, jika
perlu
Kode : (I.01026)
Terapi Oksigen
Observasi
1. Monitor kecepatan
aliran oksigen
2. Monitor posisi alat
terapi oksigen
3. Monitor aliran
oksigen secara
periodeik dan
pastikan fraksi yang
diberikan cukup
4. Monitor efektifitas
terapi oksigen (mis.
oksimetri, AGD)
5. Monitor
kemampuan
melepaskan
oksigen saat makan
6. Monitor tanda-
tanda hipoventilasi
7. Monitor tanda dan
gejala toksikasi
oksigen dan
atelectasis
8. Monitor tingkat
kecemasan akibat
terapi oksigen
27
9. Monitor integritas
mukosa hidung
akibat pemasangan
oksigen
Terapeutik
1. Bersihkan secret
pada mulut, hidung
dan trakea
2. Pertahankan
kepatenan jalan
nafas
3. Siapkan dan atur
peralatan
pemberian oksigen
4. Berikan oksigen
tambahan. Jika
perlu
5. Tetap berikan
oksigen saat pasien
ditransportasi
6. Gunakan perangkat
oksigen yang sesuai
dengan tingkat
mobilitas pasien
Edukasi
1. Ajarkan pasien dan
keluarga cara
menggunakan
oksigen drumah
Kolaborasi
1. Kolaborasi
28
penentuan dosis
oksigen
2. Kolaborasi
penggunaan
oksigen saat
aktivitas dan/atau
tidur
3. Kode : (D.0056) Kode : (L.05047) Kode : (I.05178)
Intoleran Aktivitas Setelah dilakukan Manajemen Energi
Definisi : tindakan keperawatan Observasi
Ketidakcukupan energy diharapkan toleransi 1. Identifikasi
untuk melakukan aktivitas aktifitas meningkat. gangguan fungsi
sehari-hari Dengan Kriteria tubuh yang
Hasil : mengakibatkan
Gejala dan Tanda Mayor Frekensi nadi kelelahan
Subjektif : meningkat 2. Monitor kelelahan
Mengeluh lelah Saturasi oksigen fisik dan emosional
Objektif : meningkat 3. Monitor pola dan
frekuensi jantung Jarak berjalan jam tidur
meningkat >20% dari meningkat 4. Monitor lokasi dan
kondisi sehat Keluhan Lelah ketidaknyamanan
Gejala dan Tanda Minor menurun selama melakukan
Subjektif : Dispnue saat aktivitas
Dispnea saat/setelah aktivitas menurun Terapeutik
aktivitas Dispnue setelah 1. Sediakan
Merasa tidak nyaman aktivitas menurun lingkungan nyaman
setelah beraktivitas dan rendah stimulus
Perasaan lemah
Merasa lemah (mis, cahaya, suara,
menurun
Objektif kunjungan)
Aritmia
Tekanan darah berubah 2. Berikan aktivitas
saat/setelah
>20% dari kondisi distraksi yang
aktivitas
29
istirahat berkurang menenangkan
Gambaran EKG Sianosis menurun 3. Fasilitasi duduk
menunjukan aritmia Tekanan darah disisi tempat tidur
saat/setelah aktivitas membaik jika tidak dapat
Gambaran EKG Frekuensi nafas berpindah atau
menunjukan iskemia membaik berjalan
Sianosis EKG iskemia Edukasi
30
peningkatan terserang Resiko Meningkat. penggunaan obat
organisme patogenik Dengan Kriteria sesuai resep
Hasil: 2. Identifikasi masa
Factor risiko: Kemampuan kadaluarsa obat
Penyakit kronis mencari informasi 3. Identifikasi
Efek prosedur invasi tentang faktor pengetahuan dan
Malnutrisi resiko kemampuan
Peningkatan paparan Kemampuan menjalanai program
orgnisme pathogen mengidentifikasi pengobatan
lingkungan faktor resiko 4. Monitor keefektifan
31
3) Leukopenia berpartisipasi melakukan
4) Supresi respon dalam skrining penyesuaian pola
inflamasi resiko hidup akibat
5) Vaksinasi tidak Penggunaan program
adekuat fasilitas kesehatan pengobatan
Penggunaan Edukasi
sistem pendukung 1. Ajarkan pasien dan
Pemantauan keluarga cara
perubahan status mengelola obat
kesehatan (dosis,
32
Gejala dan Tanda Mayor meningkat (5) fisiologis yang
Subjektif Panjang/tinggi ditunjukan bayi
(tidak tersedia) badan sesuai usia (mis.lapar, tidak
Objektif meningkat (5) nyaman)
Tidak mampu Terapeutik
melakukan 1. Pertahankan
keterampilan atau sentuhan seminimal
perilaku khas sesuai mungkin pada bayi
usia (fisik, bahasa, prematur.
motorik, psikososial) 2. Berikan sentuhan
Pertumbuhan fisik yang bersifat gentle
terganggu dan tidak ragu-
Gejala dan Tanda Minor ragu.
Subjektif 3. Minimalkan nyeri
(tidak tersedia) 4. Minimalkan
Objektif kebisingan suara
Tidak mampu 5. Pertahankan
melakuakan perawatan lingkungan yang
diri sesuai usia mendukung
33
bergantian/bergilir
9. Dukung anak
mengekspresikan
diri melalui
penghargaan positif
atau umpan balik
atas usahanya.
10. Pertahankan
kenyamanan anak.
11. Fasilitasi anak
melatih
keterampilan
pemenuhan
kebutuhan secara
mandiri
(mis.makan, sikat
gigi, cuci tangan,
memakai baju)
12. Bernyanyi bersama
anak lagu-lagu
yang disukai
13. Bacakan cerita atau
dongeng
14. Dukung partisipasi
anak di sekolah,
ekstrakulikuler dan
aktivitas komunitas.
Edukasi
1. Jelaskan orangtua
dan/atau pengasuh
tentang milestone
34
perkembangan anak
dan perilaku anak
2. Anjurkan orangtua
menyentuh dan
menggendong
bayinya
3. Anjurkan orangtua
berinteraksi dengan
anaknya
4. Anjurkan anak
keterampilan
berinteraksi
5. Ajarkan anak
teknik asertif
Kolaborasi
1. Rujuk untuk
konseling, jika
perlu.
35
keluarga tidak mampu berkomunikasi keputusan
beradaptasi terhadap secara terbuka perawatan setelah
situasi diantara anggota pulang
Tidak mampu keluarga 4. Identifikasi
berkomunikasi secara meningkat (5) kesesuaian antara
terbuka diantara harapan pasien,
anggota keluarga keluarga, dan
Gejala dan Tanda Minor tenaga kesehatan
Subjektif Terapeutik
keluarga tidak mampu 1. Dengarkan
mengungkapkan masalah, perasaan,
persaan secara leluasa dan pertanyaan
Objektif keluarga
36
panjang, jika perlu
6. Fasilitasi anggota
keluarga dalam
mengidentifikasi
dan menyelesaikan
konflik nilai
7. Fasilitasi
pemenuhan
kebutuhan dasar
keluarga
(mis.tempat tinggal,
makanan dan
pakaian)
8. Fasilitasi anggota
keluarga melalui
proses kematian
dan berduka, jika
perlu
9. Fasilitasi
memperoleh
pengetahuan,
keterampilan, dan
peralatan yang
diperlukan untuk
mempertahankan
keputusan
perawatan pasien
10. Bersikap sebagai
pengganti keluarga
untuk
menenangkan
37
pasien dan/atau jika
keluarga tidak
dapat memberikan
perawatan
11. Hargai dan dukung
mekanisme koping
adaptif yang
digunakan
12. Berikan
kesempatan
berkunjung bagi
anggota keluarga
Edukasi
1. Informasikan
kemajuan pasien
secara berkala
2. Informasikan
fasilitas perawatan
kesehatan yang
bersedia
Kolaborasi
1. Rujuk untuk terapi
keluarga, jika perlu
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan yang
dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan. Implementasi
keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk
membantu pasien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus
38
kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan.
Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada kebutuhan pasien,
faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi
implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi.
Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah pelaksanaan pelaksanaan
Tindakan yang telah ditentukan, dengan maksud agar kebutuhan pasien
terpenuhi secara optimal. Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah
implementasi keperawatan terhadap pasien secara urut sesuai prioritas
masalah yang sudah dibuat dalam rencana tindakan asuhan keperawatan.
(Burhanudin, dkk. 2020).
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yaitu untuk
mengetahui sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai. Evaluasi
ini menilai respon pasien yang meliputi subyek, obyek, pengkajian kembali
(assessment), rencana tindakan (planning). Dalam evaluasi perawat
menentukan respon pasien terhadap intervensi keperawatan dan mengetahui
sejauh mana tujuan telah tercapai. Jika hasil tidak terpenuhi, revisi mungkin
diperlukan dalam pengkajian (pengumpulan data), diagnosis keperawatan,
perencanaan, atau implementasi.
Evaluasi juga merupakan penilaian ulang dan menginterpretasikan data
baru yang berkelanjutan untuk menentukan apakah tujuan tercapai
sepenuhnya, sebagian atau tidak sama sekali. Evaluasi memastikan bahwa
klien menerima perawatan yang tepat dan kebutuhannya terpenuhi.
(Burhanudin, dkk. 2020) Terdapat 2 jenis evaluasi :
39
meliputi 4 komponen yang dikenal dengan istilah SOPA, yakni subjektif
(data keluhan pasien), objektif (data hasil pemeriksaan), analisis data
(perbandingan data dengan teori), dan perencanaan.
b. Evaluasi sumatif (hasil)
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua
aktifitas proses keperawatan selesai dilakukan. Evaluasi sumatif ini
bertujuan menilai dan memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah
diberikan. Metode yang dapat digunakan pada evaluasi jenis ini adalah
melakukan wawancara pada akhir pelayanan, menanyakan respon pasien
dan keluarga terkai pelayanan keperawatan, mengadakan pertemuan pada
akhir layanan. Ada tiga kemungkinan hasil evaluasi dalam pencapaian
tujuan keperawatan, yaitu :
1) Tujuan tercapai/masalah teratasi
2) Tujuan tercapai sebagian/masalah teratasi sebagian
3) Tujuan tidak tercapai/masalah belum teratasi
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Defek Septum Atrium (ASD, Atrial Septal Defect) adalah suatu lubang
pada dinding (septum) yang memisahkan jantung bagian atas (atrium kiri
40
danatrium kanan). Kelainan jantung ini mirip seperti VSD, tetapi letak
kebocorandi septum antara serambi kiri dan kanan. Kelainan ini menimbulkan
keluhanyang lebih ringan dibanding VSD. Atrial Septal Defect juga memiliki
beberapa jenis berdasarkan lokasinya seperti Ostium secundum ASD, Ostium
primum ASD, Sinus venosus ASD, dan Sinus koroner ASD. Penyebab dari
penyakit Atrial Septal Defect belum dapat dipastikan banyak kasus mungkin
terjadi akibat aksi trotogen yang tidak diketahui dalam trisemester pertama
kehamilan atau zat yang menimbulkan cacat melakukan kerusakan dalam waktu
5-8 minggu. Atrial Septal Defect (ASD) terjadi pad 4 dari 100.000
orang.Sedangkan pada anak terjadi 1 anak per 1500 kelahitan. Kebanyakan terjadi
pada anak wanita dari pada laki-laki dengan perbandingan 2:1.
Patofisiologi dari ASD yaitu Aliran pirau kiri ke kanan melewati
defectseptum atrium mengakibatkan kelebihan beban volume pada atrium
kanan,ventrikel kanan dan sirkulasi pulmonal. Dengan berlalunya waktu dapat
terjadi perubahan vascular pulmonal. Arah aliran yang melewati pirau dapat
terjadi pada hipertensi pulmonal berat. Pada beberapa bayi tidak memiliki
keluhanklinis atau disebut dengan asimtomatik pada ASD. Kelainan ASD
umumnya diketahui melalui pemeriksaan rutin dimana didapatkan adanya
murmur(kelainan bunyi jantung). Apabila didapatkan adanya gejala dan
keluhan,umumnya didapatkan adanya dispneu, mudah, lelah, infeksi saluran
pernafasanyang berulang, penurunan stamina, palpitasi (dada berdebar-debar),
diastolik meningkat, sistolik rendah. Penderita ASD juga dapat di ketahui melalui
pemeriksaan penunjang seperti tes dan diagnosis, echocardiogram, rontgen dada,
elektrokardiogram (EKG), kateterisasi jantung, Magnetic Resonance Imaging
(MRI), Scankomputer terkomputerisasi (CT) dan radiologi.
Seluruh penderita dengan ASD harus menjalani tindakan penutupan pada
defek tersebut, karena ASD tidak dapat menutup secara spontan, dan bila tidak
ditutup akan menimbulkan berbagai penyulit di masa dewasa. Selain itu juga
dapat menyebabkan berbagai komplikasi seperti Hipertensi pulmonal, Sindrom
Eisenmenger, Gagal jantung, Hepatomegali, Aritmia dan sebagainya. Namun
kapan terapi dan tindakan perlu dilakukan sangat tergantung pada besar kecilnya
41
aliran darah dan ada tidaknya gagal jantung kongestif, peningkatan tekanan
pembuluh darah paru (hipertensi pulmonal) serta penyulit lain.
Maka dari itu sangat diperlukan adanya penatalaksanaan seperti
Penatalaksanaan Medis yang meliputi pembedahan, penutupan Defek Sekat
Atrium dengan Kateter dan terapi intervensi non bedah.
3.2 Saran
Bagi pembaca di sarankan untuk memahami hal-hal yang berkaitan
dengan pentakit jantung Atrial Septun Defect (ASD). Sehingga dapat dilakukan
upaya-upaya yang bermanfaat untuk menanganinya secara efektif danefisien.
Mahasiswa kesehatan sebaiknya memahami dan mnegetahui konsep. Atrium
septum defek dan askep nya guna unttuk mengaplikasikan dalam memberikan
pelayanan kepada pasien. Perawat memiliki pengetahuan tentang ASD/ VSD
untuk dapat mempengaruhi orang tua dalam menjalani pengobatan untuk sehingga
penyakit lebih berat dapat dihindari. Pelayanan keperawatan dapat memberikan
anjuran kepada orang tua untuk melalukan terapi agar AtrialSeptun Defect (ASD)
dapat teratasi dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
42
hool; Cardiologist,CardiovascularAssociates,Lid.
https://emedicine.medscape.com/article/162914overview#showall
Mayo Clinic Staff. 2017. ‘’Artial Septal Defect (ASD)’’.
https://www.mayoclinic.org/diseasesconditions/atrialseptaldefect/basics/
prevention/con-20027034
Safwati, Yulia., 2013. ‘’Artial Septal Defect (ASD)’’.
https://plus.google.com/102066861780123258739/posts/5sSo12PLaCq
Kasron, S. Kep,Ns. 2016. “ Buku Ajar Keperawatan Sistem Kardiovaskuler”. Balai
penerbit Trans Info Media. Jakarta
43