Anda di halaman 1dari 19

Dalam mendefenisikan aborsi, terdapat sejumlah pendapat yang berbeda satu sama lain, diantaranya adalah:

Pertama, menurut Fact About Abortion, aborsi didefenisikan sebagai penghentian kehamilan setelah
tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi dalam rahim (uterus), sebelum usia janin (fetus) mencapai usia
20 minggu. Kedua, terjadinya keguguran janin; melakukan abortus sebagai melakukan pengguguran (dengan
sengaja karena tidak menginginkan bakal bayi yang dikandung itu).
Secara umum istilah aborsi diartikan sebagai pengguguran kandungan, yaitu dikeluarkannya janin
sebelum waktunya, baik itu secara sengaja ataupun tidak. Biasanya dilakukan saat janin masih berusia muda
(sebelum bulan keempat masa kehamilan).
Sedangkan di dalam hukum pidana Islam, aborsi yang dikenal sebagai tindak pidana atas janin atau
pengguguran kandungan terjadi apabila terdapat suatu perbuatan maksiat yang mengakibatkan terpisahnya
janin dari ibunya.
Di kalangan ahli kedokteran dikenal dua macam abortus (keguguran kandungan) yakni abortus
spontan dan abortus buatan. Abortus spontan adalah merupakan mekanisme alamiah yang menyebabkan
terhentinya proses kehamilan sebelum berumur 28 minggu. Penyebabnya dapat oleh karena penyakit yang
diderita si ibu ataupun sebab-sebab lain yang pada umumnya gerhubungan dengan kelainan pada sistem
reproduksi. Lain halnya dengan abortus buatan, abortus dengan jenis ini merupakan suatu upaya yang
disengaja untuk menghentikan proses kehamilan sebelum berumur 28 minggu, dimana janin (hasil konsepsi)
yang dikeluarkan tidak bisa bertahan hidup di dunia luar.
Abortus buatan, jika ditinjau dari aspek hukum dapat digolongkan ke dalam dua golongan yakni :
1. Abortus buatan legal Yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan menurut syarat dan cara-cara yang
dibenarkan oleh undang-undang. Populer juga disebut dengan abortus provocatus therapcutius, karena
alasan yang sangat mendasar untuk melakukannya adalah untuk menyelamatkan nyawa/menyembuhkan si
ibu.
2. Abortus buatan illegal Yaitu pengguguran kandungan yang tujuannya selain dari pada untuk
menyelamatkan/ menyembuhkan si ibu, dilakukan oleh tenaga yang tidak kompeten serta tidak memenuhi
syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang.
Abortus golongan ini sering juga disebut dengan abortus provocatus criminalis, karena di dalamnya
mengandung unsur kriminal atau kejahatan.
Beberapa tipikal abortus dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Abortus spontanea, merupakan abortus yang berlangsung tanpa tindakan, dalam hal ini dibedakan
sebagai berikut:
a. Abortus imminens
b. Abortus insipiens
c. Abortus inkompletus
d. Abortus kompletus
2. Abortus provokatus, merupakan jenis abortus yang sengaja dibuat/dilakukan, yaitu dengan cara
menghentikan kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar tubuh ibu.
Pengelompokan Abortus provokatus secara lebih spesifik:
a. Abortus Provokatus Medisinalis/Artificialis/Therapeuticus, abortus yang dilakukan dengan
disertai indikasi medik. Di Indonesia yang dimaksud dengan indikasi medik adalah demi
menyelamatkan nyawa ibu.
b. Abortus Provokatus Kriminalis, aborsi yang sengaja dilakukan tanpa adanya indikasi medik
(ilegal). Biasanya pengguguran dilakukan dengan menggunakan alat-alat atau obat-obat
tertentu.

Alasan untuk melakukan tindakan Abortus Provokatus


a) Abortus Provokatus Medisinalis
• Abortus yang mengancam (threatened abortion) disertai dengan perdarahan yang terus menerus,
atau jika janin telah meninggal (missed abortion).
• Penyakit keganasan pada saluran jalan lahir
• Telah berulang kali mengalami operasi caesar.
• Infeksi uterus akibat tindakan abortus kriminalis.
• Epilepsi
• Gangguan jiwa, disertai dengan kecenderungan untuk bunuh diri.
b) Abortus Provokatus Kriminalis
• Alasan kesehatan, di mana ibu tidak cukup sehat untuk hamil.
• Alasan psikososial, di mana ibu sendiri sudah enggan/tidak mau untuk punya anak lagi.
• Kehamilan di luar nikah.
• Masalah ekonomi
• Masalah sosial
• Kehamilan yang terjadi akibat perkosaan atau akibat incest (hubungan antar keluarga).
ABORSI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA
Dalam hukum positif di Indonesia, ketentuan yang mengatur masalah aborsi terdapat di dalam KUHP
dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Ketentuan di dalam KUHP yang mengatur
masalah tindak pidana aborsi terdapat di dalam KUHP Bab XIX Pasal 346 s/d 350 dinyatakan sebagai
berikut :
Pasal 346 : “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh
orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Pasal 347 : (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita
tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (2) Jika perbuatan itu
mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 348 : (1) Barang siapa dengan sengaja menggunakan atau mematikan kandungan seorang wanita
dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (2) Jika
perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
Pasal 349 : “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal
346, ataupun membantu melakukan salah satu kejahatan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang
ditentukan dalam pasal itu dapat dditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan
pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan”.

Dari rumusan pasal-pasal tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa :


1. Seorang wanita hamil yang sengaja melakukan abortus atau ia menyuruh orang lain, diancam
hukuman empat tahun penjara.
2. Seseorang yang sengaja melakukan abortus terhadap ibu hamil, dengan tanpa persetujuan ibu hamil
tersebut, diancam hukuman penjara 12 tahun, dan jika ibu hamil tersebut mati, diancam 15 tahun
penjara.
3. Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun penjara dan bila ibu hamilnya
mati diancam hukuman 7 tahun penjara.
4. Jika yang melakukan dan atau membantu melakukan abortus tersebut seorang dokter, bidan atau juru
obat (tenaga kesehatan) ancaman hukumannya ditambah sepertiganya dan hak untuk berpraktek
dapat dicabut. Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

Aborsi Menurut Analisa Fiqih Islam


Para fuqaha' sepakat atas haramnya pengguguran janin setelah berumur empat bulan di dalam perut
ibunya. Karena pada usia demekian ruh telah ditiupkan ke tubuh si janin. Majelis Ulama Indonesia telah
mengeluarkan fatwa, membolehkan praktik aborsi untuk korban pemerkosaan.
Tidak ada satupun ayat didalam Al-Quran yang menyatakan bahwa aborsi boleh dilakukan oleh umat
Islam. Sebaliknya, banyak sekali ayat-ayat yang menyatakan bahwa janin dalam kandungan sangat mulia.
Dan banyak ayat-ayat yang menyatakan bahwa hukuman bagi orang-orang yang membunuh sesama
manusia adalah sangat mengerikan.
Membunuh satu nyawa sama artinya dengan membunuh semua orang. Menyelamatkan satu
nyawa sama artinya dengan menyelamatkan semua orang.
Didalam agama Islam, setiap tingkah laku kita terhadap nyawa orang lain, memiliki dampak yang
sangat besar.
Firman Allah:
“Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena sebab-sebab yang mewajibkan
hukum qishash, atau bukan karena kerusuhan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh
manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara keselamatan nyawa seorang manusia, maka
seolah-olah dia telah memelihara keselamatan nyawa manusia semuanya.” (QS 5:32).
Selanjutnya Allah juga memperingatkan bahwa janganlah kamu membunuh anakmu karena takut akan
kemiskinan atau tidak mampu membesarkannya secara layak. Dalam studi hukum Islam, terdapat perbedaan
satu sama lain dari keempat mazhab Hukum Islam yang ada dalam memandang persoalan aborsi, yaitu:
1. Mazhab Hanafi merupakan paham yang paling fleksibel, dimana sebelum masa empat bulan kehamilan,
aborsi bisa dilakukan apabila mengancam kehidupan si perempuan (pengandung).
2. Mazhab Maliki melarang aborsi setelah terjadinya pembuahan.
3. Menurut mazhab Syafii, apabila setelah terjadi fertilisasi zygote tidak boleh diganggu, dan intervensi
terhadapnya adalah sebagai kejahatan.
4. Mazhab Hambali menetapkan bahwa dengan adanya pendarahan yang menyebabkan miskram
menunjukkan bahwa aborsi adalah suatu dosa.
Dengan melihat perbandingan keempat mazhab diatas, secara garis besar bahwa perbuatan aborsi
tanpa alasan yang jelas, dalam pandangan hukum Islam tidak diperbolehkan dan merupakan suatu dosa
besar karena dianggap telah membunuh nyawa manusia yang tidak bersalah dan terhadap pelakunya dapat
diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya tersebut. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, ketentuannya
lebih fleksibel yang mana aborsi hanya dapat dilakukan apabila kehamilan tersebut benar-benar mengancam
atau membahayakan nyawa si wanita hamil dan hal ini hanya dibenarkan untuk dilakukan terhadap kehamilan
yang belum berumur empat bulan. Karena pada usia demikian ruh telah ditiupkan ke tubuh si janin.
Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda:
"Kejadian seseorang itu dikumpulkan pada perut ibunya selama empat puluh hari. Setelah genap
empat puluh hari kedua, terbentuklah segumpal darah beku. Maka genaplah empat puluh hari ketiga,
berubahlah menjadi segumpal daging. Kemudian Allah Swt. mengutus seorang malaikat untuk meniupkan roh
serta memerintahkan supaya menulis empat perkara, yaitu ditentukan rizki, waktu kematian, amal serta
nasibnya, baik mendapat kecelakaan atau kebahagiaan.”
Jika telah ditiupkan roh kepada si janin, maka ia telah menjadi manusia yang berhak untuk hidup dan
tidak boleh dibunuh. Padahal tidak ada sebab syar’i yang memperbolehkan untuk membunuh janin sehingga
tidak ada pula sebab-sebab syar’i yang memperbolehkan pengguguran ketika telah sampai ke fase itu.
Dan menurut jumhur ulama membunuh karena terpaksa harus di-qisas (eksekusi). Mereka juga
sepakat bahwa tidak halal bagi seseorang demi menyelamatkan dirinya menghabisi nyawa orang lain.
Di Indonesia, baik menurut pandangan agama, undang-undang negara maupun kode etik kedokteran,
seorang dokter tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan pengguguran kandungan (abortus provokatus).
Bahkan sejak awal seseorang yang akan menjalani profesi sebagai dokter secara resmi telah disumpah yang
didasarkan atas Deklarasi Jenewa yang isinya menyempurnakan sumpah Hippokrates, dimana ia akan
menyatakan diri untuk menghormati setiap hidup insan mulai dari saat pembuahan sampai ia terlahir.

Aborsi Menurut Kristen Katolik


Gereja Katolik merupakan satu-satunya lembaga keagamaan yang dengan lantang menentang aborsi.
Untuk Gereja Katolik, aborsi adalah pembunuhan atas manusia tak berdosa dan yang dalam dirinya tak bisa
membela diri. Maka dalam hal ini secara tegas Alkitab tidak membenarkan Aborsi, alasannya :
• Hidup manusia semata-mata Karunia Allah
• Tuhan mempunyai rencana keselamatan bagi setiap insan yang lahir kedunia ini.
• Manusia tidak berhak untuk mencabut hak hidup dari pada fetus ataupun embrio, yang berhak
hanyalah Allah serta jangan kita merampas hak Allah.
• Jangan pernah berpikir bahwa janin dalam kandungan itu belum memiliki nyawa.
Gereja Katolik merupakan satu-satunya lembaga keagamaan yang dengan lantang menentang aborsi.
Untuk Gereja Katolik, aborsi adalah pembunuhan atas manusia tak berdosa dan yang dalam dirinya tak bisa
membela diri. Maka sangat jelas bahwa Gereja Katolik mengerti tindakan mengaborsi bukanlah hak azasi
melainkan sebaliknya adalah kejahatan azasi. Hak azasi dalam pengertian Gereja Katolik selalu mengarah
kepada kehidupan dan bukan kepada kematian.
Aborsi adalah suatu tindakan yang mengarah pada kematian dan hanya dilakukan oleh orang yang
mencintai kematian. Paus Benedictus XVI dalam kunjungannya ke Austria, dengan tegas mengumandangkan
kembali ajaran Gereja bahwa aborsi adalah dosa besar dan aborsi sama sekali bukan hak azasi. Pernyataan
Paus tersebut disambut gembira oleh pencinta kehidupan dan di lain pihak disambut dengan protes keras oleh
para pencinta kematian. Sebab memang kata-kata Johannes Paulus II, sangatlah benar, beliau mengatakan
bahwa zaman ini sangat diwarnai oleh “budaya kematian” (the culture of death). Manusia atas nama
kesenangan yang sifatnya sangat sementara dan sangat egois mengorbankan kehidupan.
Dalam Gereja Katolik, aborsi hanya layak dibenarkan dalam dua kasus dilematis berikut: kasus
dilematis pertama, yakni situasi dimana jelas bahwa janin akan mati bersama ibunya apabila tidak
dilaksanakan pengguguran. Dan kasus dilematis kedua, yakni situasi dimana ibu akan meninggal bila janin
tidak digugurkan. Bahkan dalam kasus kedua itu beberapa ahli moral masih meragukan apakah hidup ibu
selalu layak lebih diutamakan dibandingkan dengan hidup janin. Jikalau ada kelainan pada janin, Gereja tetap
tidak memperbolehkan adanya aborsi. Gereja hanya menerima kedua kasus dilematis yang tadi telah
dijelaskan.
Jikalau seseorang menjadi korban pemerkosaan, dan ia takut kalau anak yang dilahirkannya
dilecehkan oleh masyarakat, ia tetap tidak boleh melakukan tindakan aborsi. Tetapi Gereja akan membantu
menyiapkan proses kematangan jiwa sang ibu misalnya melalui pendampingan oleh para suster sehingga
sang ibu mau melahirkan anak dan membatalkan niat pengguguran. Gereja menyiapkan mental/kejiwaan si
korban perkosaan melalui pendampingan (konseling) yang bisa dilakukan oleh pastor dan suster. Aborsi
karena ingin menyembunyikan aib tidak dibenarkan Tuhan.
“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan
bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” (Roma
8:28)
Pandangan aborsi menurut agama Kristen Protestan
Menurut pandangan alkitab, alkitab memberi nilai yang tinggi pada kehidupan manusia. Dalam kitab
(Ulangan 5 : 117) tertulis "Jangan Membunuh" dipersoalkan tentang kasus pengguguran (Aborsi). Dalam hal
ini orang Yahudi sangat menghargai hidup, termasuk hidup binatang (Ulangan 22:6-7). Alkitab juga
memberitahukan kepada kita bahwa kehidupan sudah dimulai pada saat konsepsi, dalam Matius 1:20
dituliskan bahwa:“Yesus dikandung oleh Roh Kudus, dengan demikian Yesus sungguh-sungguh menjadi
manusia yang seutuhnya pada saat konsepsi.”
Maka dalam hal ini secara tegas Alkitab tidak membenarkan Aborsi, alasannya :
1. Hidup manusia semata-mata Karunia Allah.
2. Tuhan mempunyai rencana keselamatan bagi setiap insan yang lahir kedunia ini.
3. Manusia tidak berhak untuk mencabut hak hidup dari pada fetus ataupun embrio, yang berhak hanyalah
Allah serta jangan kita merampas hak Allah.
Dalam berbagai pertimbangan prakteknya, Aborsi hanya dapat dibenarkan dalam beberapa kasus,
misalnya:
1. Janinnya sudah meninggal, maka mau tidak mau harus dikeluarkan.
2. Apabila membahayakan nyawa si ibu

Pandangan aborsi menurut agama Budha


Dalam pandangan agama budha, aborsi adalah suatu tindakan pengguguran kandungan atau
membunuh makhluk hidup yang sudah ada dalam rahim seorang ibu. Agama budha menentang keras adanya
tindakan aborsi karena telah melanggar pancasila buddhis, menyangkut sila pertama yaitu panatipata. Suatu
pembunuhan terjadi karena 5 faktor yaitu :
a. Ada makhluk hidup (pano)
b. Mengetahui atau menyadari ada makhluk hidup (pannasanita)
c. Ada kehendak (cetana) untuk membunuh (vadhabacittam)
d. Melakukan pembunuhan (upakkamo)Makhluk itu mati karena tindakan pembunuhan (tena maranan)
Oleh karena itu sila pertama berhubungan erat dengan karma maka pembunuhan ini akan berakibat buruk
yang berat atau ringannya tergantung pada kekuatan yang mendorongnya dan sasaran pembunuhan itu.
Bukan hanya pelaku saja yang melakukan tindak pembunuhan, ibu sang bayi juga melakukan hal yang sama.
Dalam Majjhima Nikaya 135 Buddha bersabda :
“Seorang pria dan wanita yang membunuh makhluk hidup, kejam dan gemar memukul serta
membunuh tanpa belas kasihan kepada makhluk hidup, akibat perbuatan yang telah dilakukannya itu
ia umurnya tidaklah akan panjang”.
Hendaknya kasus aborsi yang sering terjadi menjadi pelajaran bagi semua pihak. Bagi para remaja
tidak menyalahartikan cinta sehingga tidak melakukan perbuatan salah yang melanggar sila. Bagi pasangan
yang sudah berumah tangga mengatur kelahiran dengan program yang ada dan bagi pihak-pihak lain yang
terkait tidak mencari penghidupan dengan cara yang salah sehingga melanggar hukum, norma dan ajaran
agama.

Pandangan Aborsi menurut agama Hindu

Aborsi dalam pandangan agama hindu sangat dilarang untuk dilakukan karena tergolong pada
perbuatan yang disebut “Himsa karma” yakni salah satu perbuatan dosa yang disejajarkan dengan
membunuh, menyakiti, dan menyiksa. Membunuh dalam pengertian yang lebih dalam sebagai
“menghilangkan nyawa” mendasari falsafah “atma” atau roh yang sudah berada dan melekat pada jabang bayi
sekalipun masih berbentuk gumpalan yang belum sempurna seperti tubuh manusia. Perbuatan aborsi
disetarakan dengan menghilangkan nyawa. Ajaran dalam kitab suci Hindu tentang hal ini antara lain :

1. Rgveda 1.114.7 menyatakan : “Ma no mahantam uta ma no arbhakam” artinya : Janganlah


mengganggu dan mencelakakan bayi,
2. Atharvaveda X.1.29 : “Anagohatya vai bhima” artinya : Jangan membunuh bayi yang tiada berdosa.
3. Atharvaveda X.1.29 : “Ma no gam asvam purusam vadhih” artinya : Jangan membunuh manusia dan
binatang.

Pembuahan sel telur dari hasil hubungan sex lebih jauh ditinjau dalam falsafah Hindu sebagai sesuatu
yang harusnya disakralkan dan direncanakan. Perkawinan menurut Hindu adalah “Dharmasampati” artinya
perkawinan adalah sakral dan suci karena bertujuan memperoleh putra yang tiada lain adalah re-inkarnasi
dari roh-roh para leluhur yang harus lahir kembali menjalani kehidupan sebagai manusia karena belum cukup
suci untuk bersatu dengan Tuhan atau dalam istilah Theology Hindu disebut sebagai “Amoring Acintya”.
Perkawinan (pawiwahan) adalah untuk syahnya suatu hubungan sex yang bertujuan memperoleh anak.
Gambaran ini dapat ditelusuri lebih jauh sebagai tidak adanya keinginan melakukan hubungan sex hanya
untuk kesenangan belaka.

Perilaku manusia menurut Veda adalah yang penuh dengan pengendalian diri, termasuk pula
pengendalian diri dalam bentuk pengekangan hawa nafsu. Pasangan suami-istri yang mempunyai banyak
anak dapat dinilai sebagai kurang berhasilnya melakukan pengendalian nafsu sex, apalagi bila kemudian
ternyata bahwa kelahiran anak-anak tidak dalam batas perencanaan yang baik. Sakralnya hubungan sex
dalam Hindu banyak dijumpai dalam Kamasutra. Antara lain disebutkan bahwa hubungan sex hendaknya
direncanakan dan dipersiapkan dengan baik. Hubungan sex juga harus dilakukan dalam suasana yang
tentram, damai dan penuh kasih sayang. Hubungan sex yang dilakukan dalam keadaan sedang marah, sedih,
mabuk atau tidak sadar, akan mempengaruhi prilaku anak yang lahir kemudian. Jadi aborsi dalam agama
Hindu tidak dikenal dan tidak dibenarkan.

Transplantasi adalah pencangkokan suatu jaringan atau organ manusia tertentu dari suatu tempat ketempat
lain pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain dengan persyaratan dan kondisi tertentu. Transplantasi ini
ditujukan untuk menggantikan organ yang rusak atau tak berfungsi pada penerima dengan orang lain yang
masih berfungsi sebagai donor. Donor organ dapat merupakan orang yang masih hidup ataupun telah
meninggal.

Transplantasi ditinjau dari sudut sipenerima dapat dibedakan menjadi :

1. Autotransplantasi yaitu pencangkokan suatu jaringan atau organ ke tempat lain dalam tubuh orang itu
sendiri.
2. Homotransplantasi yaitu pencangkokan suatu jaringan atau organ dari tubuh seseorang ke tubuh
orang lain.
3. Heterotransplantasi yaitu pencangkokan suatu jaringan atau organ dari suatu spesies ke tubuh spesies
lainnya.

Sejarah dan perkembangan transplantasi pada tahun 600 SM di India, Susruta telah melakuakan
transpalantasi kulit. Sementara zaman Renaissance, seorang ahli bedah dari Itali bernama Gaspare
Tagliacozzi juga telah melakukan hal yang sama. Diduga John Hunter ( 1728 – 1793 ) adalah pioneer bedah
eksperimental, termasuk bedah transplantasi. Dia mampu membuat kriteria teknik bedah untuk menghasilkan
suatu jaringan trnsplantasi yang tumbuh di tempat baru. Akan tetapi sistim golongan darah dan sistim
histokompatibilitas yang erat hubungannya dengan reaksi terhadap transplantasi belum ditemukan. Pada
abad ke – 20, Wiener dan Landsteiner menyokong perkembangan transplantasi dengan menemukan
golongan darah system ABO dan system Rhesus. Saat ini perkembangan ilmu kekebalan tubuh makin
berperan dalam keberhasilan tindakan transplantasi.
Perkembangan teknologi kedokteran terus meningkat searah dengan perkembangan teknik transplantasi.

A. PANDANGAN 5 AGAMA TENTANG TRANSPLANTASI


1.1 Transplantasi menurut pandangan agama Islam

Kalangan ulama memperdebatkan masalah transplantasi dalam pandangan agama islam, tetapi
kalangan ulama juga berpendapat untuk tidak membolehkan transplantasi organ tubuh manusia yang dalam
keadaan koma atau hampir meninggal sekalipun harapan hidup bagi orang tersebut sangat kecil, ia harus
dihormati sebagai manusia sempurna. Dalam kaitan dengan ini, Ibnu Nujaim ( 970 H/1563 M) dan Ibnu Abidin
(1198 H/1784 M-1252 H/1836 M), dua tokoh fikih Mazhab Hanafi, menyatakan bahwa organ tubuh manusia
yang masih hidup tidak boleh dimanfaatkan untuk pengobatan manusia lainnya, karena kaidah fikih
menyatakan : “suatu mudarat tidak bisa dihilangkan dengan mudarat lainnya”.  

Akan tetapi, para ulama fikih berbeda pendapat mengenai pengambilan organ tubuh untuk pengobatan
dari orang yang telah dijatuhi hukuman mati, seperti orang yang dirajam karena berbuat zina, atau murtad.
Ulama Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, dan Mazhab az-Zahiri, berpendapat bahwa sekalipun orang tersebut
telah dijatuhi hukuman mati, bagian tubuhnya tidak boleh dimanfaatkan untuk pengobatan, walaupun dalam
keadaan darurat. Sebaliknya, para ulama fikih berpendirian bahwa dalam keadaan darurat organ tubuh orang
yang telah dijatuhi hukuman mati boleh dimanfaatkan untuk penyembuhan orang lain, dengan syarat bahwa
pengambilan organ tersebut dilakukan setelah ia wafat. Dalam kaitan dengan ini, tidak ada salahnya apabila
dokter melakukan pemeriksaan organ tubuh terpidana, apakah bisa ditransplantasi atau tidak, sehingga
pengambilan organ tersebut tidak sia-sia. Di samping itu, pengambilan organ tubuh tersebut harus diawasi
oleh hakim dan dilakukan di bawah koordinasi dokter-dokter spesialis. 
Akhirnya setelah perdebatan yang panjang, transplantasi menurut pandangan agama Islam percaya
prinsip menyelamatkan nyawa manusia dengan transplantasi organ sebagai suatu kebutuhan untuk
mendapatkan akhir yang mulia. "Transplantasi sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran agama, jadi
transplantasi dilarang keras untuk dilakukan kecuali 1 hal boleh dilakukan jika seseorang itu dalam kondisi
dimana nyawa seseorang benar-benar terancam dan tak ada jalan lain sama sekali kalau ia masih mau
dipertahankan tetap hidup). Satu contoh dari hal yang spesifik itu adalah adanya fatwa yang menyatakan
bahwa pencangkokan organ hanya boleh diambil dari donor hidup, dan tak boleh membahayakan nyawa.

Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa pada tahun 1979:

“Seseorang yang semasa hidupnya berwasiat akan menghibahkan tubuhnya sesudah wafat dengan
diketahui dan disetujui dan disaksikan oleh warisnya, wasiat itu dapat dilaksanakan dan harus
dilakukan oleh ahli bedah”.

Persoalan lain yang menyangkut transplantasi organ tubuh adalah jual-beli atau sumbang organ tubuh
kepada orang yang memerlukannya. Pandangan islam menurut para ulama fikih tidak membolehkan sese-
orang memperjualbelikan organ tubuhnya karena hal itu bisa mencelakakan dirinya sendiri. Sikap
mencelakakan diri sendiri dikecam oleh Allah SWT melalui firman-Nya dalam surah al-baqarah ayat 195. 
Menurut Jamaluddin Abu Muhammad, salah satu tokoh fikih menyatakan bahwa sepakat untuk tidak
memperjualbelikan organ tubuh manusia. Organ tubuh manusia, menurut mereka, merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari manusia itu sendiri, karena masing-masing organ tubuh mempunyai fungsi yang
melekat dengan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, memperjualbelikan bagiannya sama dengan
memperjualbelikan manusia itu sendiri. Memperjualbelikan manusia diharamkan.  Benar bahwa Allah SWT
telah menyebutkan bahwa, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran :

"Sesungguhnya orang-orang yang memperjualbelikan manusia itu najis"


(QS. At-Taubah: 28)
Para ulama fiqih mengatakan bahwa 'najis' dalam ayat tersebut bukanlah dimaksudkan untuk najis
indrawi yang berhubungan Dengan badan, melainkan najis maknawi yang berhubungan dengan hati dan akal
(pikiran).
Pandangan yang menentang transplantasi diajukan atas dasar setidaknya tiga alasan:
1. Kesucian hidup/tubuh manusia : setiap bentuk perlakuan terhadap tubuh manusia dilarang, karena ada
beberapa perintah yang jelas mengenai ini dalam Al-Qur’an. Dalam kaitan ini ada satu hadis (ucapan)
Nabi Muhammad yang terkenal yang sering dikutip untuk menunjukkan dilarangnya manipulasi atas
tubuh manusia, meskipun sudah menjadi mayat :
“Mematahkan tulang mayat seseorang adalah sama berdosa dan melanggarnya dengan
mematahkan tulang orang itu ketika ia masih hidup.”
2.    Tubuh manusia adalah amanah : hidup, diri, dan tubuh manusia pada dasarnya adalah bukan miliknya
sendiri, tapi pinjaman dari Tuhan dengan syarat untuk dijaga, karena itu manusia tak memiliki hak
mendonorkannya pada orang lain.
3.    Tubuh tak boleh diperlakukan sebagai benda material semata: pencangkokan dilakukan dengan
mengerat organ tubuh seseorang untuk dicangkokkan pada tubuh orang lain; di sini tubuh dianggap
sebagai benda material semata yang bagian-bagiannya bisa dipindah-pindah tanpa mengurangi ke-
tubuh-an seseorang.

1.1 Transplantasi menurut pandangan agama Kristen Katolik

Banyak orang Kristen mungkin gagal untuk menyumbangkan organ. Dalam berdebat untuk
diperbolehkannya donor organ tubuh, Simcox mencakup ajaran-ajaran Paulus tentang tubuh dibangkitkan.
Sebuah pemahaman yang benar 1 Korintus 15:35-49 mengajarkan perbedaan yang besar antara tubuh fisik
pada saat kematian, yang mungkin terkubur atau dibuang dengan beragai cara dan tubuh rohani kebangkitan.
Pandangan Katolik transplantasi sebagai tindakan amal dan cinta. Transplantasi secara moral dan etika dapat
diterima. Paulus XVI menyatakan "Untuk menjadi donor organ berarti untuk melaksanakan suatu tindakan
cinta kepada seseorang yang membutuhkan, ke arah seorang saudara dalam kesulitan. Ini adalah tindakan
bebas cinta yang setiap orang yang berkehendak baik dapat melakukannya setiap saat untuk memberikan
organ kepada siapa saja mungkin membutuhkan. Alkitab tidak melarang memperpanjang hidup melalui
prosedur medis transplantasi organ. Dalam pandangan agama Katolik, transplantasi ditegaskan Paus
Yohanes Paulus I pada September 1978:
“Mendonorkan anggota tubuh setelah meninggal adalah sumbangan kemanusiaan yang mulia dalam
rangka memperbaiki dan memperpanjang hidup sesamanyaâ”

Jadi, menurut pandangan agama kristen katolik sendiri transplantasi itu diperbolehkan.

1.2 Transplantasi menurut pandangan agama Kristen Protestan

Transplantasi menurut pandangan protestan sendiri memperbolehkan transplantasi. Iman kristen


didasarkan dalam kehidupan Yesus Kristus. Sepanjang hidupnya, Yesus mengajar orang untuk mencintai satu
sama lain dan dia membuktikan cintanya kepada dunia atas salib. Hal ini karena hal ini bahwa orang Kristen
menganggap donor organ tubuh sebagai tindakan cinta sejati dan cara mengikuti teladan Yesus. Gereja
Kristen mendorong donasi organ dan jaringan, yang menyatakan bahwa kita diciptakan untuk kemuliaan Allah
dan untuk berbagi kasih Allah. Sebuah resolusi pada tahun 1985, yang diadopsi oleh Majelis Umum,
mendorong anggota Gereja Kristen (Murid-murid Kristus) untuk mendaftar sebagai donor organ dan dukungan
doa mereka yang telah menerima transplantasi organ "Gereja tidak menentang donor organ tubuh selama
organ-organ dan jaringan digunakan untuk kehidupan manusia yang lebih baik, yaitu, untuk transplantasi atau
untuk penelitian yang akan mengarah pada peningkatan dalam pengobatan dan pencegahan penyakit.
Sumbangan organ dan jaringan adalah tindakan yang tidak mementingkan diri sendiri. Dalam pandangan
agama Protestan, hal itu tertulis dalam Kitab Matius 22:38-39:

“Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan segenap akal budimu. Kasihilah sesama manusia
seperti dirimu sendiri.”

1.3 Transplantasi menurut pandangan agama Budha

Budha percaya bahwa donasi organ dan jaringan adalah masalah hati nurani individu dan
menempatkan nilai tinggi pada tindakan-tindakan belas kasih. Pendeta Gyomay Masao, dan pendiri Candi
Budha Chicago mengatakan, "Kita menghormati orang-orang yang menyumbangkan organ tubuh mereka dan
untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan medis untuk menyelamatkan nyawa. Dalam agama Buddha, berdana
berupa transplantasi merupakan Dana Paramita, yang dapat meningkatkan nilai kehidupan manusia di dalam
kehidupan yang akan datang.

1.4 Transplantasi menurut pandangan agama Hindu

Hindu tidak dilarang oleh hukum agama untuk menyumbangkan organ mereka. Tindakan ini
merupakan keputusan individu. Kitab dalam ajaran hindu tidak melarang tentang bagian-bagian tubuh
manusia yang digunakan untuk kepentingan manusia lain dan masyarakat. Dalam agama hindu menunjukkan
bahwa bagian-bagian dari manusia baik hidup ataupun mati , dapat digunakan untuk meringankan
penderitaan manusia lain. Dalam ajaran Hindu, tertulis dalam kitab Dharma Sastra Sarasamuccaya, antara
lain Saras III : 39 :

“Sudah menjadi hukum keluarga bahwa saat kematian telah tiba tinggallah jasmani yang tidak berguna
dan pasti dibuang. Maka itu, berusahalah berbuat berdasarkan darma sebagai sahabatmu untuk
mengantarkan engkau ke dunia bahagia kekal.”

Inseminasi disebut juga inseminasi buatan. Inseminasi buatan merupakan terjemahan dari “artificial
insemination”. “Artificial” artinya buatan atau tiruan, sedangkan “insemination “berasal dari kata latin
pemasukan atau penyampaian. Artificial insemination adalah penghamilan atau pembuahan buatan. Dengan
kata lain, inseminasi buatan adalah penghamilan buatan yang dilakukan terhadap wanita dengan cara
memasukan sperma laki-laki ke dalam rahim wanita tersebut dengan pertolongan dokter, istilah lain yang
semakna adalah kawin suntik, penghamilan buatan atau permainan buatan.
Ada beberapa teknik inseminasi buatan yang telah dikembangkan dalam dunia kedokteran, antara lain
adalah :
1. Fertilazation in vitro (FIV) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri kemudian di
proses di tabung dan setelah terjadi pembuahan lalu di transfer di rahim istri.
2. Gamet intra Felopian Tuba (GIFT) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri dan setelah
dicampur terjadi pembuahan maka segera ditanam di saluran telur (tuba palopi). Tekhnik ke dua ini
terlihat lebih alamiah, sebab sperma hanya bisa membuahi ovum di tuba palopi setelah terjadi
ejakulasi (pancaran mani) melalui hubungan seksual.

A. PANDANGAN 5 AGAMA TENTANG INSEMINASI


1.1 Inseminasi Menurut Pandangan Agama Islam

Masalah inseminasi telah banyak dibicarakan dikalangan islam dan diluar kalangan islam, baik ditingkat
nasional maupun di tingkat internasional, misalnya lembaga fiqih islam OKI (Organisasi Konferensi Islam)
mengadakan sidang di Amman pada tahun 1996 untuk membahas inseminasi. Inseminasi apabila dilakukan
dengan sel sperma /ovum suami istri sendiri dan tidak ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain
termasuk istrinya sendiri yang lain (bagi suami yang berpoligami), maka islam membenarkan baik dengan
cara mengambil sperma suami kemudian di suntikkan ke dalam vagina atau uterus istrinya, maupun dengan
cara pembuahan yang dilakukan di luar rahim, kemudian buahnya di tanam di dalam rahim istrinya, asal
keadaan kondisi suami istri yang bersangkutan benar benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk
memperoleh anak, karena dengan cara pembuahan alami, suami istri tidak berhasil memperoleh anak.
Hal ini sesuai dengan fiqih islam yaitu :
“ hajat (kebutuhan yang sangat penting itu) di perlakukan seperti dalam keadaan terpaksa (emergency).
Padahal keadaan darurat / terpaksa itu membolehkan melakukan hal-hal yang terlarang.”
Sebaliknya jika inseminasi itu dilakukan dengan bantuan donor sperma atau donor ovum maka
diharamkan dan hukumnya zina (prostitusi), dan sebagai akibatnya anak hasil inseminasi tersebut tidak sah
dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya. Dalil dalil syar’i yang dapat dijadikan
landasan menetapkan hukum haram inseminasi buatan dengan donor adalah :
1. Firman allah dalam surat Al-Isra ayat 70
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di
lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
2. Firman allah dalam surat Al-Tin ayat 4
“ Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
3. Hadis nabi :
“ Tidak halal bagi seseorang yang beriman pada Allah dan hari akhir menyiramkan air (sperma) pada
tanaman orang lain (vagina istri orang lain). Hadis riwayat abu daud, Al- Tirmidzi dan hadis ini
dipandang sahih oleh Ibnu Hibban.
Kedua ayat dan hadis tersebut menunjukan bahwa manusia diciptakan oleh tuhan sebagai makhluk
yang mempunyai kelebihan sehingga melebihi makhluk tuhan lainnya. Tuhan sendiri berkenan memuliakan
manusia, maka sudah seharusnyalah manusia bisa menghormati martabatnya sendiri dan juga menghormati
martabat sesama manusia. Sebaliknya inseminasi justru merendahkan harkat manusia karena sejajar dengan
hewan yang di inseminasi.
Adapun tentang inseminasi buatan dengan bukan sperma suami atau sperma donor para ulama
mengharamkannya seperti pendapat Yusuf Al-Qardlawi yang menyatakan bahwa islam juga mengharamkan
pencangkokan sperma (bayi tabung). Apabila itu bukan dari sperma suami. Mereka juga mengatakan bahwa
penghamilan buatan adalah pelanggaran yang tercela dan dosa besar, setara dengan zina, karena
memasukan mani’ orang lain ke dalam rahim perempuan tanpa ada hubungan nikah secara sah yang
dilindungi hukum. Sedangkan pada inseminasi buatan dengan sperma suami sendiri tidak menimbulkan
masalah pada semua aspeknya.

1.2 Inseminasi menurut pandangan agama kristen protestan


Dalam agama Kristen protestan mengharamkan proses inseminasi apapun bentuknya karena mereka
berpendapat bahwa manusia dilarang ikut campur urusan Tuhan. Selain itu dalam setiap inseminasi pasti
mengambil lebih dari satu sel telur sehingga sisa sel telur yang sudah dibuahi tetapi tidak ditanam di dalam
rahim kemungkinan dimusnahkan sehingga orang kristen protestan melarang karena itu sama dengan
membunuh.

1.3 Inseminasi menurut pandangan agama kristen katolik


Gereja Katolik menentang prosedur ini karena pandangan yang sangat spesifik pada konsep dan
hakikat kehidupan manusia. Gereja Katolik percaya bahwa hidup dimulai pada saat pembuahan. Namun,
gereja Katolik juga percaya seks, sebagai tindakan kasih antara suami dan istri, yang tak diragukan lagi
terhubung dengan pembuahan, dan hubungan antara tiga cara perkawinan, seks dan konsepsi anak harus
dijaga. Jadi, Gereja Katolik menentang inseminasi buatan karena justru prosedur ini mengganggu pembuahan
alami. Inseminasi buatan mengganggu jalannya pembuahan secara alami dan terpisah konsepsi dari
perkawinan, dan bahkan dari seks. Selain itu, Gereja Katolik percaya bahwa penggunaan donor sperma atau
donor ovum, seperti yang sering digunakan dalam inseminasi buatan dan akan membuat masalah bagi anak
setelah anak itu lahir. Pendeta katolik menyatakan bahwa prosedur semacam itu melanggar "anak berhak
lahir dari seorang ayah dan ibu diketahui dirinya dan terikat satu sama lain melalui perkawinan". Akhirnya,
Gereja Katolik menentang inseminasi buatan dan karena percaya bahwa potensi untuk hidup ada dalam
setiap tindakan seksual. Jadi, jika seorang pria berejakulasi di luar tindakan seksual dengan istrinya, potensi
untuk hidup adalah sia-sia dan, dalam arti, bahwa kehidupan potensi dirampok dari kesempatan untuk eksis.

1.4 Inseminasi menurut pandangan agama Budha

Agama budha memperbolehkan proses inseminasi karena pada dasarnya agama budha hanya
memandang suatu hal sebagai benar atau salah dan baik atau buruk. Selain dari segi agama, inseminasi juga
menjadi perdebatan dalam masalah etika dan moral. Inseminasi dianggap menyalahi kodrat karena bermain
sebagai Tuhan dengan menciptakan dan mematikan manusia secara disengaja. Selain itu di masyarakat juga
belum dapat diterima sehingga dapat memunculkan fitnah.  Akan tetapi kita juga harus melihat dari segi Hak
Asasi Manusia bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk memperoleh keturunan. Jadi pada hakekatnya
inseminasi dengan cara buatan ini boleh dilakukan jika benihnya dari suami istri yang sah.

1.5Inseminasi menurut pandangan agama Hindu

Inseminasi dilarang keras oleh agama hindu karena menurut pandangan agama hindu sangat
bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama hindu karena berkaitan denga kesejahteraan hidup seseorang.
Inseminasi atau pembuahan secara suntik bagi umat Hindu dipandang tidak sesuai dengan tata kehidupan
agama Hindu, karena tidak melalui samskara dan menyulitkan dalam hukum kemasyarakatan.
Bayi tabung adalah sel telur dan sel sperma yang diambil dari indung telur wanita kemudian diletakkan
disebuah mangkuk kecil dari kaca kemudian hasil pembuahan tersebut dimasukkan lagi kedalam rahim ibu
untuk menumbuhkan kehamilan.

II. PANDANGAN 5 AGAMA TENTANG BAYI TABUNG


1.1 Bayi Tabung Menurut Pandangan Agama Islam
Ajaran syariat Islam mengajarkan kita untuk tidak boleh berputus asa dan menganjurkan untuk
senantiasa berikhtiar (usaha) dalam menggapai karunia Allah SWT. Demikian halnya diantara tujuan filosofis
syariah Islam adalah memelihara fungsi dan kesucian reproduksi bagi kelangsungan dan kesinambungan
generasi umat manusia. Allah telah menjanjikan
“setiap kesulitan ada solusi (QS.Al-Insyirah:5-6)”
Termasuk kesulitan untuk mendapatkan anak dengan adanya kemajuan teknologi kedokteran dan ilmu
biologi modern yang Allah karuniakan kepada umat manusia agar mereka bersyukur dengan
menggunakannya sesuai kaidah ajarannya. Teknologi bayi tabung merupakan hasil terapan sains modern
yang pada prinsipnya bersifat netral sebagai bentuk kemajuan ilmu kedokteran dan biologi. Sehingga
meskipun memiliki daya guna tinggi, namun juga sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan
etika bila dilakukan oleh orang yang tidak beragama, beriman dan beretika sehingga sangat potensial
berdampak negatif dan fatal. Oleh karena itu kaidah dan ketentuan syariah merupakan pemandu etika dalam
penggunaan teknologi ini sebab penggunaan dan penerapan teknologi belum tentu sesuai menurut agama.
“Bayi tabung lahir tanpa melalui proses kasih sayang yang alami, terutama bagi bayi tabung lewat ibu
titipan yang menyerahkan bayinya kepada pasangan suami-isteri yang punya benihnya sesuai dengan
kontrak, tidak terjalin hubungan keibuan secara alami”
(QS. Luqman:14 dan Al-Ahqaf:14).

Fatwa MUI :

1. Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh),
sebab hak ini termasuk ikhtiar berdasarkan kaidah-kaidah agama.
2. Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua
dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini
akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara
anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian
melahirkannya, dan sebaliknya).
3. Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram
berdasarkan kaidah Sadd a z-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam
kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
4. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami isteri yang sah hukumnya
haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang
sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan
zina sesungguhnya.

1.2 Bayi Tabung menurut pandangan agama Kristen Katolik


Bayi tabung tidak diperbolehkan karena tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, karena beberapa
alasan:

1. Umumnya bayi tabung melibatkan aborsi, karena embryo yang tidak berguna dihancurkan/ dibuang.
2. Pengambilan sperma dilakukan dengan masturbasi. Masturbasi selalu dianggap sebagai perbuatan
dosa, dan tidak pernah dibenarkan. “Masturbasi adalah rangsangan alat-alat kelamin yang disengaja
dengan tujuan membangkitkan kenikmatan seksual
3. Kitab ajaran agama kristen katolik sendiri menyebutkan. “Kenyataan ialah untuk mencapai masturbasi
sebagai satu tindakan yang sangat bertentangan dengan ketertiban”, karena penggunaan kekuatan
seksual dengan sengaja, dengan motif apa pun itu dilakukan, di luar hubungan suami isteri yang
normal, bertentangan dengan hakikat tujuannya”.
4. Bayi tabung merupakan persatuan sel telur dan sperma dilakukan di luar hubungan suami istri yang
normal. Hal ini jelas menurut pandangan agama katolik meniadakan aspek ‘persatuan/ union’ antara
suami dengan istri. Jadi, aspek hubungan suami istri tidak dipenuhi secara normal.
5. Bayi tabung menghilangkan hak sang anak untuk dikandung dengan normal, melalui hubungan
perkawinan suami istri. Jika melibatkan ‘ibu angkat’, ini juga berarti menghilangkan haknya untuk
dikandung oleh ibunya yang asli.

Yang paling jelas adalah ajaran Paus Yohanes Paulus II dalam kitabnya yang mengatakan demikian:
“teknik reproduksi buatan seperti bayi tabung yang kelihatannya seolah mendukung kehidupan,
dan yang sering dilakukan untuk maksud demikian, padahal sesungguhnya membuka pintu
ancaman terhadap kehidupan. Terpisah dari kenyataan bahwa hal tersebut tidak dapat diterima
secara moral, karena hal itu memisahkan hubungan suani istri dalam konteks hubungan
seksual, teknik-teknik yang demikian mempunyai tingkat kegagalan yang cukup tinggi tidak
hanya dalam hal pembuahan (fertilisasi) tetapi juga dari segi perkembangan embryo, yang
mempunyai tingkat resiko kematian yang tinggi, umumnya di dalam jangka waktu yang pendek.
Lagipula, jumlah embryo yang dihasilkan sering lebih banyak daripada yang dibutuhkan untuk
implantasi ke dalam rahim wanita itu, dan embryo cadangan ini lalu dihancurkan atau
digunakan untuk penelitian yang dengan dalih ilmu pengetahuan atau kemajuan ilmu
kedokteran. Pada dasarnya hal ini menurut ajaran ini merendahkan kehidupan manusia pada
tingkat “materi biologis” semata yang dapat dibuang begitu saja.“

1.3 BAYI TABUNG MENURUT PANDANGAN AGAMA KRISTEN PROTESTAN


Jelas, fertilisasi in vitro menghapuskan tindakan kasih perkawinan sebagai sarana terjadinya kehamilan,
dan bukannya membantu tindakan kasih suami isteri itu mencapai tujuannya yang alami. Kehidupan baru
tidak dibuahkan melalui suatu tindakan kasih antara suami dan isteri, melainkan melalui suatu prosedur
laboratorium yang dilakukan oleh para dokter atau ahli medis. Suami dan isteri hanya sekedar sebagai
sumber “bahan baku” telur dan sperma, yang kemudian dimanipulasi oleh seorang ahli sehingga
menyebabkan sperma membuahi telur. Tak jarang pula dipergunakan telur atau sperma dari “donor”. Artinya,
ayah atau ibu genetik dari anak bisa saja seorang lain dari luar perkawinan. Hal ini dapat menimbulkan situasi
yang membingungkan bagi si anak kelak, apabila ia mengetahui bahwa salah satu dari orangtua yang
membesarkannya, bukanlah orangtua bilogisnya.

1.4  BAYI TABUNG MENURUT PANDANGAN AGAMA BUDHA

Sebaiknya tidak dilakukan tetapi jika diperlukan dan sangat mendesak diperbolehkan.
"Dengarkan, kaum Kalama, janganlah hanyut terbawa oleh ucapan seseorang atau tradisi atau desas-desus,
atau karena tertulis dikitab suci, atau oleh pertimbangan, Tetapi, kaum Kalama, apabila kalian mengetahui
sendiri bahwa hal-hal itu dicela oleh para bijaksana. bila dilakukan akan berakibat kerugian dan penderitaan,
maka tolaklah hal itu. Sebaliknya, apabila kalian mengetahui sendiri bahwa hal-hal ini tidak tercela dan patut
dipuji oleh para bijaksana, dan apabila dilakukan akan menghasilkan kesejahteraan dan kebahagiaan, maka
lakukanlah dan binalah hal-hal itu (Kalama Sutta, Anguttara Nikaya,I)

1.5 BAYI TABUNG MENURUT PANDANGAN AGAMA HINDU


Pernyataan dikemukakan oleh Ketut Wilamurti, S.Ag dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PDHI)
dan Bhikku Dhammasubho Mahathera dari Konferensi Sangha Agung Indonesia (KASI). "Embrio adalah
mahluk hidup.  Sejak bersatunya sel telur dan sperma, ruh Brahman sudah ada didalamnya, tanda-tanda
kehidupan ini jelas terlihat. Karena itu, menggunakan sel punca dari embrio sama dengan aborsi,
pembunuhan. Perbuatan menghilangkan kehidupan semacam itu, menurut dia, mengandung unsur
"himsakarma" yang bertentangan dengan ajaran "ahimsa.", ajaran Hindu masih memberikan celah melalui
"atmanastuti", hukum terendah dalam ajaran Hindu yang memungkinkan sesuatu bisa dilakukan apabila
menurut perhitungan mendesak dibutuhkan untuk menyelamatkan nyawa. Menurut pandangan agama Budha,
penggunaan sel punca embrionik yang diambil dari embrio pada fase blastosit (5-7 hari setelah pembuahan-
red)  melanggar sila, atau etika kemoralan karena terjadi unsur pembunuhan di dalamnya."Embrio sudah
mempunyai kesadaran atau gandhaba, sudah dianggap sebagai mahluk hidup yang akan berkembang
menjadi organisme.  Bila embrio diambil sebagai sumber sel punca, maka dia tidak akan lahir.  Jadi di sini
terjadi penggagalan terbentuknya organism.
KB dapat dipahami sebagai suatu program nasional yang dijalankan pemerintah untuk mengurangi
populasi penduduk, karena diasumsikan pertumbuhan populasi penduduk tidak seimbang dengan
ketersediaan barang dan jasa. Dalam pengertian ini, KB didasarkan pada teori populasi menurut Thomas
Robert Malthus. KB dapat dipahami sebagai aktivitas individual untuk mencegah kehamilan (man’u al-hamli)
dengan berbagai cara dan sarana (alat). Misalnya dengan kondom, IUD, pil KB, dan sebagainya.
I. PANDANGAN LIMA AGAMA TENTANG KELUARGA BERENCANA
I.1 KELUARGA BERENCANA DALAM PANDANGAN ISLAM
KB dalam arti sebuah program nasional untuk membatasi jumlah populasi penduduk (tahdid anl-nasl),
hukumnya haram. Tidak boleh ada sama sekali ada suatu undang-undang atau peraturan pemerintah yang
membatasi jumlah anak dalam sebuah keluarga. KB sebagai program nasional tidak dibenarkan secara syara’
karena bertentangan dengan Aqidah Islam, yakni ayat-ayat yang menjelaskan jaminan rezeqi dari Allah untuk
seluruh makhluknya. Allah SWT berfirman :
“Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya.” (QS Huud
[11] : 6)
Bahkan, terdapat banyak hadits yang mendorong umat Islam untuk memperbanyak anak. Misalnya:
Tidak bolehnya membunuh anak apalagi karena takut miskin (QS. al-Isra’: 31), perintah menikahi perempuan
yang subur dan banyak anak, penjelasan yang menyebutkan bahwa Rasulullah berbangga di Hari Kiamat
dengan banyaknya pengikut beliau (HR. Nasa’i, Abu Dawud, dan Ahmad), dan sebagainya.
KB dalam arti pengaturan kelahiran, yang dijalankan oleh individu (bukan dijalankan karena program
negara) untuk mencegah kelahiran (man’u al-hamli) dengan berbagai cara dan sarana, hukumnya mubah,
bagaimana pun juga motifnya.
Dalil kebolehannya antara lain hadits dari sahabat Jabir RA yang berkata,”Dahulu kami melakukan azl
[senggama terputus] pada masa Rasulullah SAW sedangkan al-Qur`an masih turun.” (HR Bukhari).
Namun kebolehannya disyaratkan tidak adanya bahaya (dharar). Kebolehan pengaturan kelahiran juga
terbatas pada pencegahan kehamilan yang temporal (sementara), misalnya dengan pil KB dan kondom.
Adapun pencegahan kehamilan yang permanen (sterilisasi), seperti vasektomi atau tubektomi, hukumnya
haram. Sebab Nabi SAW telah melarang pengebirian (al-ikhtisha`), sebagai teknik mencegah kehamilan
secara permanen yang ada saat itu.
Beberapa alasan yang membenarkan pengaturan kelahiran antara lain: pertama, kekhawatiran akan
kehidupan dan kesehatan ibu jika ia hamil atau melahirkan, berdasarkan pengalaman atau keterangan dari
dokter yang terpercaya. Firman Allah: “Dan janganlah kalian campakkan diri kalian dalam kebinasaan.” (QS.
al-Baqarah: 195).  
Kedua, khawatir akan kesulitan materi yang terkadang menyebabkan munculnya kesulitan dalam
beragama, lalu menerima saja sesuatu yang haram dan melakukan hal-hal yang dilarang demi anak-anaknya.
Allah berfirman: “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan.” (QS. al-
Baqarah: 185).
Ketiga, alasan kekhawatiran akan nasib anak-anaknya; kesehatannya buruk atau pendidikannya tidak
teratasi (Lihat: Halal dan Haram dalam Islam, Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Era Intermedia, hlm. 285-288). Alasan
lainnya adalah agar bayi memperoleh susuan dengan baik dan cukup, dan dikhawatirkan kehadiran anak
selanjutnya dalam waktu cepat membuat hak susuannya tidak terpenuhi.
Membatasi anak dengan alasan takut miskin atau tidak mampu memberikan nafkah bukanlah alasan
yang dibenarkan. Sebab, itu mencerminkan kedangkalan akidah, minimnya tawakal dan keyakinan bahwa
Allah Maha Memberi rezeki. Allah Swt. berfirman: “Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena
takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepada kalian.” (QS. al-Isra: 31).
KB menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), seperti dimuat Harian Republika, sbb:
1). KB adalah ikhtiar manusia untuk mengatur kehamilan dalam keluarga secara tidak melawan hukum
agama demi mendapat kesejahteraan keluarga dan bangsa.
2). Islam membenarkan KB untuk menjaga kesehatan ibu dan anak, menciptakan anak yang sehat,
cerdas, dan shaleh.
3). KB harus didasarkan atas kesadaran dan sukarela dengan mempertimbangkan faktor agama dan adat
istiadat.
4). Penggunaan kontrasepsi tidak dipaksakan dan tidak bertentangan dengan syariat Islam, serta harus
berdasar kesepakatan suami-istri.
5). Kontrasepsi dalam rahim dibenarkan jika pemasangan dilakukan oleh tenaga medis wanita. Jika
tenaga medisnya pria, harus didampingi sang suami.
6). Aborsi dengan cara apapun haram karena merupakan pembunuhan terselubung yang dilarang Islam,
kecuali untuk menyelamatkan jiwa ibu. Vasektomi dan tubektomi juga dilarang.

I.2 KELUARGA BERENCANA DALAM PANDANGAN KRISTEN


Manusia ditugaskan oleh Allah untuk “beranakcucu dan bertambah banyak” (Kejadian 1:28) dan
pernikahan ditetapkan Allah sebagai lingkungan yang stabil untuk memiliki dan membesarkan anak. Dalam
masyarakat kita anak-anak sering dipandang sebagai gangguan dan masalah. Mereka menghalangi karir,
pencapaian finansial dan mengganggu secara sosial. Seringkali kepentingan diri sendiri adalah akar dari
penggunaan kontraseptif.
Adalah penting untuk memandang anak-anak sebagaimana Allah memandang mereka, bukan
sebagaimana dunia mau kita pandang. Namun demikian, Alkitab tidak melarang kontrasepsi. Secara definisi,
kontrasepsi adalah lawan dari konsepsi. Bukan penggunaan kontrasepsi itu sendiri yang menentukan benar
atau salah. Jikalau seseorang menggunakan kontrasepsi karena mementingkan diri sendiri, maka itu adalah
salah. Jikalau orang menggunakan kontrasepsi untuk menunda kelahiran untuk sementara waktu sehingga
mereka bisa lebih dewasa dan lebih siap secara keuangan dan kerohanian, maka mungkin penggunaan
kontrasepsi untuk periode tsb dapat diterima. Kembali semuanya tergantung pada motivasi Anda.
Alkitab selalu memperlihatkan bahwa mempunyai anak adalah hal yang baik. Alkitab “mengharapkan”
suami dan isteri memiliki anak. Ketidakmampuan untuk memperoleh anak selalu diperlihatkan dalam Alkitab
sebagai hal yang buruk. Tidak ada seorangpun dalam Alkitab yang menyatakan keinginan untuk tidak memiliki
anak. Kami percaya bahwa setiap pasangan yang sudah menikah harus berusaha untuk punya anak. Pada
saat yang sama kami tidak percaya bahwa ada alasan dari Alkitab yang secara jelas mengatakan bahwa
penggunaan kontrasepsi untuk sementara waktu adalah salah. Setiap pasangan yang sudah menikah harus
mencari kehendak Tuhan sehubungan dengan kapan mereka akan berusaha untuk memiliki anak, dan berapa
banyak anak yang mereka akan miliki.
Manusia dalam perspektif agama Kristen mesti menjadi dasar, titik tolak dan acuan utama dalam
upaya umat Kristen membangun keluarga sejahtera. Karena keluarga sejahtera hanya bisa dibangun jika ada
penghargaan terhadap kedirian manusia sebagai manusia ciptaan Allah yang amat mulia. Karena itu,
pandangan tentang manusia menurut Kristen harus menjadi acuan utama dalam membangun keluarga
sejahtera. Langkah awal mewujudkan keluarga sejahtera menurut alkitabiah, tercermin dari perkawinan.
Perkawinan sebagai sebuah proses. Sebuah proses yang bertanggungjawab.
Dari perspektif Kristen, kesejahteraaan keluarga memiliki makna yang paralel dengan apa yang
disebut keluarga yang bertanggungjawab. Keparalelan tersebut terletak pada tanggung jawab membawa
bahtera rumah tangga dalam takut akan Allah.
Karena itu, Kristen mendukung program KB. Bagi agama Kristen, program KB dapat menunjang
terciptanya kebahagiaan keluarga, di mana hak dan peran anggotanya dapat diwujudkan secara memadai.
KB, yang intinya mengatur kelahiran, secara filosofis bertujuan untuk melindungi hidup. Kita perlu membatasi
hidup.

I.3 KELUARGA BERENCANA DALAM PANDANGAN BUDHA


Menurut agama Buddha, semua gerak kehidupan terjadi karena adanya hukum Sebab dan Akibat atau
hukum Karma. Hal ini berarti bahwa segala sesuatu yang terjadi dan tercipta dalam alam semesta ini,
disebabkan oleh karena adanya proses sebab dan akibat.
Sebab adanya Keluarga Berencana adalah karena adanya keluarga yang tidak sejahtera yang dikarenakan
karena adanya pertambahan jumlah kelahiran yang tidak terbatas, yang sama sekali tidak seimbang dengan
tambahan makanan dan sarana-sarana sosial dan pendidikan. Karena itu usaha Keluarga Berencana adalah
untuk mengendalikan, membatasi, menjarangkan kelahiran dengan cara-cara ilmiah yang dihalalkan oleh
agama.
Adapun pencegahan kehamilan secara ilmiah tersebut adalah :
1. menggunakan sifat-sifat ilmiah dari badan (sistim berkala)
2. menggunakan alat medis untuk wanita, yaitu dalam bentuk tablet dan alat-alat kedokteran seperti IUD
(Intra Uterine Device = alat-alat kandungan) atau spiral
3. untuk pria digunakan kondom (sarkom)
4. menggunakan cara operasi yang sifatnya tetap seperti :
1. Untuk Pria : Castrasi (kebiri) kedua buah zakar diambil serta Vasectomi pengikatan pembuluh
sperma
2. Untuk Wanita : Operasi Kaisar, pemotongan kandungan dan Cigasi, pengikatan saluran
kesuburan
Pandangan agama Buddha tentang pencegahan kelahiran yang dilakukan di dalam proses Keluarga
Berencana bukan merupakan pembunuhan tetapi untuk menahan proses kehidupan serta tidak bertentangan
dengan Pancasila Buddhis yang pertama "Kami berjanji untuk menghindari Pembunuhan / Panatipata
Veramani Sikkhapadang Samadiyami ", karena yang disebutkan adanya unsur pembunuhan adalah :
1. adanya makhluk hidup
2. mengetahui bahwa makhluk itu ada dan hidup.
3. adanya niat untuk membunuh makhluk tersebut
4. dilaksanakannya perbuatan membunuh itu
5. dan terbunuhnya makhluk tersebut akibat perbuatan membunuh itu
Dan kontrasepsi dilakukan atas dasar saling pengertian antara suami istri dengan maksud memberikan
kesempatan mendidik, merawat dan mempersiapkan diri untuk penghidupan anak-anak yang sudah ada yang
disesuaikan dengan kemampuan sosial ekonomi dari orang tuanya.
Serta tidak adanya unsur-unsur untuk melarikan diri dari rasa tanggung jawab teknis maupun biologis.
Dan harus ada dasar bimbingan dan pengawasan para ahli yang bersangkutan.
Hal ini sesuai dengan Buddha Dharma adalah untuk mencapai kebahagiaan hidup dalam keluarga
dengan terbentuknya Keluarga Sejahtera.

I.4 KELUARGA BERENCANA DALAM PANDANGAN HINDU


Agama Hindu bertujuan moksatham jagathita artinya menciptakan tercapainya kebahagian rohani dan
kesejahteraan hidup manusia, kebahagiaan hidup ini tercermin dalam bentuknya yaitu terpenuhinya secara
berimbang dan serasi antara 4 kebutuhan pokok yang dalam bahasa sangsekerta disebut dengan istilah :
Catur Purusa Artha (Empat manusia tujuan) meliputi :
Pertama, Dharma, Kesucian, Kemanusiaan dan segala kebijakan.
Kedua, Artha, terpenuhinya hasrat-hasrat sosial, ekonomi yang berupa kebutuhan primer.
Ketiga, Kama, terpenuhinya hasrat hidup yang dapat memberikan kenikmatan dan kesenangan seperti
seni, olahraga dan juga dorongan biologis.
Keempat, Moksa, tercapainya peningkatan rohani yaitu ketentraman bathin.
Sebagaimana diharapkan bahwa tujuan dari pada keluarga berencana kesejahteraan sosial pada tiap-
tiap keluarga khususnya dan seluruh rakyat indonesia pada umumnya usaha ini adalah sejalan dengan tujuan
Agama Hindu dan pada hakekatnya merupakan tuntunan dari setiap umat yang menganut agama.
Hanya cara untuk kesejahteraan sosial ini adalah norma-norma tertentu yang patut diperhatikan.
Kesejahteraan ini diperoleh dengan cara luhur dan benar menurut ajaran Agama Hindu adalah cara yang
didasarkan atas Dharma.
Dalam masa hidup berumah tangga ini adalah merupakan puncak dari pada derama kehidupan kita.
Disini akan teruji kemampuan kita baik fisik maupun mental sampai dimana kemampuan seseorang sebagai
pemimpin rumah tangga. Sukses atau gagalnya suatu pembinaan rumah tangga akan mempengaruhi pula
tahap hidup selanjutnya, bagi umat Hindu sadar akan merencanakan jumlah keluarga yang menjadi tanggung
jawabnya yang disesuaikan dengan kemampuannya.
Ciri-ciri yang menunjukkan adanya perencanaan keluarga ini terlihat dalam lingkungan kehidupan umat
Hindu Bali yaitu ditandai dengan urutan kelahiran Gede bagi anak yang lahir pertama, Made bagi anak kedua,
Nyoman bagi anak ketiga, Ketut bagi anak keempat.
Sebenarnya nama anak yang terakhir ini berasal dari kata ketut yang berarti tidak direncanakan jumlah
keluarga yang ideal adalah sebenarnya yaitu Bapak, Ibu dan tiga orang anak.
Disamping itu perlu bahwa keluarga berencana menurut pandangan Agama Hindu bukanlah berarti
mengurangi jumlah kelahiran semata-mata agar dengan demikian dapat meringankan beban orang tua
terhadap keluarga dibawah tanggung jawabnya tetapi untuk mempertinggi mutu keturunan yang akan menjadi
penerus keluarga yang bersangkutan.
Tujuan agama sejalan dengan tujuan KB adalah satu cara untuk membangun keluarga sejahtera lahir
dan bathin, agama mengajarkan umatnya agar dapat hidup sejahtera sekalipun dengan seorang putra
tentunya putri jadi KB dengan program NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera).
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang
berarti “kematian” (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-
maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami
seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam
kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya (Hasan, 1995:145).
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif.
Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke
dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau
sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh
atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan
hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah
parah (Utomo, 2003:176).
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar
biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal
dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat
menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).
Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita
sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini
berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan
ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan
fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa
digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut
penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah
ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat
tinggi (Utomo, 2003:176).
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam
keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang
terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi
demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya (Utomo,
2003:177).

Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin


Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
 Eutanasia diluar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan
si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
 Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan
perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila
seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya
statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi
sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan
bagi si pasien.
 Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih
merupakan hal kontroversial.

1. PANDANGAN 5 AGAMA DI INDONESIA TERHADAP EUTHANASIA


1.1 EUTHANASIA DALAM PANDANGAN ISLAM
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu
dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.

A. Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja
(al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap
haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik
pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah
(tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
(QS An-Nisaa` : 29).

B. Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan
pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan
tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter
menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari
tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-
tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada
perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak
wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan
Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini
berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan
di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag
tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka
berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat.

1.2 EUTHANASIA DALAM PANDANGAN KRISTEN KHATOLIK


Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas
mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan
dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya
menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi
atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas
masalah moral ini dan menetapkan pedoman.
Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi untuk ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang
eutanasia ("Declaratio de euthanasia") yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan
semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia
sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin
meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang
memperingatkan kita agar melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana
jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu."
Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa euthanasia merupakan tindakan belas kasihan yang
keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan
sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung".
Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang beriman sejak kelahiran
hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian dan alam baka dengan doa, upacara/ritual,
sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh kehidupan hingga kematian itu
sendiri adalah merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan gerejawi. Kematian itu adalah sesuatu yang
buruk sebagai suatu simbol pertentangan dengan kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki
pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan oleh karenanya menentang anjuran
eutanasia.

1.3 EUTHANASIA DALAM PANDANGAN KRISTEN PROTESTAN


Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-beda
dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan
pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu
awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri
kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan
suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.

1.4 EUTHANASIA DALAM PANDANGAN HINDU


Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa
dan ahimsa. Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud
perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai
akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah menjadi penghalang "moksa" yaitu suatu ialah
kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu. Ahimsa
adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang didalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa
perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena
menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat
berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak
akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana
tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya
umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah
rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih
berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan
"karma" nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.

1.5 EUTHANASIA DALAM PANDANGAN BUDHA


Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana penghindaran untuk
melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha.
Berdasarkan pada hal tersebut diatas maka nampak jelas bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang
tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha. Selain daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat
menekankan pada "welas asih" ("karuna")
Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap
perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang
terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah penyakit rontoknya kekebalan tubuh yang
disebabkan HIV (Human Immuno Deficiency Virus), yakni virus HTLV-III (Human T-Cell Lymphotropic Virus-III,
ditemukan tahun 1980), yang menyerang sel darah putih lymphocyte T-4. Setelah sel T-4 ini digempur HTLV-
III, organisme racun (toxoplasma) berkembang, menyusup ke dalam tubuh lewat peredaran darah, lantas
memproduksi bisul bernanah di otak, paru-paru, jantung, hati dan limpa. Selanjutnya, ini mengakibatkan
matinya jaringan sel, kista dan berbagai kerusakan sel-sel otak. Dengan rontoknya sistem kekebalan tubuh
itu, maka berbagai penyakit yang menyerbu tubuh penderita, pasti bakal susah untuk disembuhkan. Flu ringan
sekalipun akan sulit sembuh bagi penderita AIDS.

GEJALA-GEJALA AIDS
• flu terus-terusan
• bintik-bintik merah di sekujur tubuh
• badan makin kurus kering
• lidah berjamur
• Gemeteran
• diare terus-terusan
• Demam
• berkeringat di waktu malam
• kelelahan di sekujur tubuh
• sulit menelan dan bicara
• napas tersengal-sengal

MEDIA PENYEBARAN AIDS


• hubungan seks
• transfusi darah
• alat-alat kedokteran yang nggak steril
Peneliti dari Northwestern University yakin bahwa pandemi alias wabah asli AIDS berawal dari Afrika
bagian barat tengah sekitar tahun 1930-an. Sebuah simulasi komputer yang rumit mengenai evolusi HIV telah
memprediksi tahun 1930-an adalah tahun awal. Kemudian beberapa asumsi muncul kayak yang satu ini,
yakni tatkala pemerintahan kolonial Prancis di Afrika bagian barat melakukan kerja paksa untuk membangun
rel kereta api. Kemudian karena para pekerja paksa itu kekurangan makanan, diperkirakan mereka berburu
binatang liar di hutan, lalu tertular HIV dari hewan primata yang mereka makan.
Fungsi atau peranan pengamalan ajaran agama bagi kehidupan umat manusia, yaitu sebagai :
1) Faktor motivatif yang mendorong manusia untuk menentukan sikap memilih yang baik dan benar serta
menghindarkan yang buruk dan salah. Dengan motivasi untuk meningkatkan kualitas SDM, seseorang akan
terdorong oleh ajaran agama untuk berbuat baik dan benar.
2) Faktor kreatif dan innovatif, yang mendorong manusia untuk berkreasi dan mengadakan pembaharuan
pada diri dan lingkungannya.
3) Faktor integratif. Keyakinan yang utuh terhadap kebenaran ajaran agama yang tercermin dalam
pengamalan berupa tingkah laku yang baik dan benar.
4) Faktor transformatif dan sublimatif,yakni mampu mengubah sikap dan perilaku, perkataan dan perbuatan
sesuai dengan ajaran agama.
5) Faktor inspiratif dan edukatif. Sebagai faktor inspiratif, mengilhami seseorang bahwa berbuat baik
menghasilkan pahala kebaikan sedang sebagai faktor edukatif secara sadar mendorong untuk melakukan
proses pembelajaran dan pendidikan diri sendiri demi kebaikan serta kesejahtraan dan kebahagiaan hidup.
Para ahli HIV/AIDS sesunguhnya telah menyebut virus dan penyakit ini sebagai masalah kemanusiaan
yang besar. AIDS merupakan penyakit yang mematikan, yang belum ada obat penyembuh maupun vaksin
pencegah. Ia merupakan penyakit menular dan akan menjadi beban berat bagi pelayanan kesehatan, sistem
sosial, ekonomi, serta akan menimbulkan banyak masalah etik, legal, sosial yang menyangkut stigmatisasi,
diskriminasi dan hak asasi manusia.

1. PANDANGAN AGAMA DI INDONESIA TERHADAP EUTHANASIA


1.1 EUTHANASIA DALAM PANDANGAN ISLAM
Secara tersurat atau tersirat, Al-Qur'ân pernah menyebut beberapa jenis penyakit. Al-Qur'ân
menyebutnya secara tersirat jika Al-Qur'ân meminjam kata lain yang sepadan atau menyinggung sesuatu
yang berkonotasi penyakit. Al-Qur'ân misalnya menggunakan kata al-dhurr, al-nushb dan al-'adzâb untuk
menjelaskan penyakit yang menimpa Nabi Ayyub as. ( Q.S. al-'Anbiyâ' [21]:83 dan Shâd [38]:41). Semuanya
memberi penjelasan khusus dengan penggiringan makna ke suatu penyakit.
Nabi Muhammad saw. menegaskan bahwa kesembuhan dari penyakit se-cetek demam, merupakan
pengguguran dosa-dosa, melalui refleksi mendalam tentang nikmat kesehatan di masa sakit.
"Setiap musibah yang menimpa orang mukmin, akan mengangkat derajatnya di mata Allah dan
menghapuskan dosa-dosanya, termasuk duri yang mengenai tubuhnya".
Sekali lagi, tidak ada penyakit kutukan dari Tuhan. Dengan demikian, pengucilan terhadap anggota
masyarakat yang terkena penyakit tidak berasal dan tidak memiliki akar-akar geneologis dalam Al-Qur'ân.
Keluarga yang sakit justru harus diperhatikan, ditolong dan disembuhkan. Bukan dengan menjauhi,
meninggalkan dan mengucilkan mereka. Allah bahkan mengecam orang-orang yang meninggalkan anggota
keluarganya yang sakit, atau masyarakat yang mengucilkan anggotanya yang sakit.
Penularan tidak terjadi melalui udara, atau dengan melalui jabat tangan, makan bersama dan saling
berbicara
Oleh karena itu, pencegahan AIDS memang semestinya dilakukan secara komprehensif dan integral
dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat mulai dari unsur pemerintah, tenaga medis, ulama, tokoh
agama, kalangan pendidik, sampai pada struktur masyarakat terkecil yaitu peran serta keluarga. Peran
segenap komponen masyarakat sangat dibutuhkan untuk membantu mencegah meningkatnya jumlah
penderita AIDS melalui berbagai pendekatan, terutama pendekatan keagamaan. Dan pendekatan religi tidak
dapat diragukan lagi menjadi alternatif solusi yang efektif bagi pencegahan virus paling ditakuti umat manusia
saat ini.
Dalam pandangan Islam, langkah efektif mencegah meluasnya penyakit AIDS adalah melalui
pendekatan agama, disamping pendekatan lain, seperti pendekatan aspek medis dan pendidikan.
Pencegahan terhadap penularan penyakit AIDS yang benar menurut Islam adalah dengan merubah perilaku
seksual ke arah yang sehat, aman dan bertanggung jawab.
Secara ringkas dapat dikemukakan pandangan Islam dalam masalah pencegahan virus AIDS :
1. Safe sex is no sex
Untuk menyelamatkan jutaan umat manusia tertular virus AIDS, Islam memberikan solusi efektif
pencegahan yaitu tidak melakukan hubungan seks sebelum nikah dan hanya berhubungan seks dengan
pasangannya melalui jalur pernikahan.
Dalam Al-Quran, penyimpangan seksual sama artinya dengan pelanggaran terhadap nilai-nilai
seksualitas yang luhur. Adanya unsur keji dan buruk dalam suatu perbuatan telah menjadi alasan mengapa
perzinaan, pelacuran, homoseks dan lesbian termasuk penyimpangan seksual. Karena cara pandang Al-
Quran terhadap seksualitas memasukkan unsure moral dan tidak semata-mata bertumpu pada perasaan
individu yang bersangkutan, maka pezinaan, pelacuran, homoseks, dan lesbian yang dilakukan atas dasar
suka sama suka pun termasuk dalam kategori pelecehan seksual. Dengan kata lain, kalaulah perempuan atau
laki-laki yang melakukan zina tidak merasa dilecehkan atau melecehkan, maka Tuhan justru memandang hal
itu merupakan pelecehan terhadap anugerah-Nya yang indah kepada manusia, yakni kesucian seks dan
kesucian perkawinan.

2. Menolak Kondomisasi
Salah satu upaya yang digalakkan oleh sejumlah pihak untuk menghentikan penyebaran virus AIDS
adalah penggunaan kondom dalam berhubungan seks. Bahkan sekarang ini untuk mendapatkannya tidaklah
terlalu sulit, di sejumlah kota terdapat ATM Kondom. Penempatan ATM kondom di sejumlah tempat tentu
bukan tidak ada maksud, kampanye kondom melalui ATM ini diharapkan dapat menurunkan penularan infeksi
HIV.
Terlepas apakah langkah ini berhasil atau tidak, yang jelas Islam menolak langkah ini. Karena
memberikan ruang yang bebas bagi penggunaan kondom tidak ada bedanya dengan melegalkan perzinaan
dan menyuburkan prostitusi, padahal itu hukumnya haram dalam agama.

3. Kampanye Pendidikan Seks


Langkah efektif yang tak kalah pentingnya untuk mengantisipasi penularan HIV/AIDS adalah
kampanye pendidikan seks. Perlu disosialisasikan kepada orang tua pentingnya menyampaikan informasi
tentang seks kepada anak-anaknya. Demikian juga anak-anak, pelajar dan mahasiswa perlu dikenalkan
pendidikan seks.
Melalui Al-Quran, Sunnah, dan kitab-kitab fiqh, Islam begitu responsive menyentuh persoalan seks.
Yang menjadi masalah bagi pendidik khususnya adalah what, when, who, where, how, dan why. Topik-topik
apa tentang seks yang harus diajarkan, kapan waktunya yang tepat, siapa yang mengajarkannya, di mana
tempatnya, bagaimana menyampaikannya, dan apa dasar atau alasan aqli maupun naqli yang relevan
dengan itu.
Pendidikan seks sudah saatnya tidak lagi dianggap tabu dikenalkan kepada anak-anak. Tentu dengan
maksud agar anak-anak, pelajar, maupun mahasiswa mengerti dan memahami seks yang benar, sehat dan
bertanggung jawab.
Semasa Nabi hidup, muslim laki-laki dan perempuan tidak pernah merasa malu menanyakan segala
persoalan, termasuk persoalan pribadi seperti kehidupan seks; dari situ mereka mengetahui ajaran dan
ketentuan hokum agama. Siti Aisyah, istri Nabi, memberikan kesaksian:
”Keberhakan bagi perempuan Anshar (penduduk Madinah). Perasaan malu tidak menghalanginya
dalam usahanya mencari pengetahuan agama.”

1.2 EUTHANASIA DALAM PANDANGAN BUDHA


AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency Syndromes) merupakan penyakit
menular yang sangat berbahaya dalam sejarah manusia dan penyebarannya begitu cepat. Penyakit yang
menyerang sistem pertahanan tubuh manusia ini telah merenggut jutaan nyawa manusia. Pada saat ini belum
ada obat yang benar-benar mujarab untuk menyembuhkan seseorang dari penderita AIDS. Satu-satunya
langkah yang bisa kita ambil pada saat ini sambil menunggu para ahli kesehatan menemukan obatnya, adalah
menekan atau menghambat penyebaran penyakit ini. Untuk itu telah ditetapkan bahwa setiap tanggal 1
Desember diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia untuk mengingatkan dunia betapa pentingnya masalah HIV
sehingga dunia perlu selalu dalam keadaan waspada dan secara bersama-sama menanggulanginya.
Penyalahgunaan Narkoba suntik secara bersama-sama dan perilaku seks bebas adalah dua perilaku
buruk manusia yang mempercepat dan memperluas penyebaran penyakit ini. Menurut Buddha Dhamma, dua
perilaku buruk ini merupakan bentuk penyimpangan terhadap sila (kemoralan).
Secara umum ada lima aturan sila yang terdapat dalam Buddhisme bagi setiap orang, yang jika
dilaksanakan akan membawa pada perbaikan kualitas hidup manusia. Kelima aturan sila itu adalah
menghindari membunuh makhluk hidup, menghindari mencuri, menghindari perbuatan seksual yang tidak
benar (asusila), menghindari ucapan yang tidak benar, dan menghindari meminum minuman atau obat yang
menyebabkan lemahnya kesadaran. Seks bebas dan penyalahgunaan Narkoba suntik merupakan bentuk
peyimpangan dari sila ke-3 (perbuatan seksual yang tidak benar/asusila) dan ke-5 (meminum minuman atau
obat yang menyebabkan lemahnya kesadaran).
Dengan menyadari bahwa penyebaran AIDS terjadi karena adanya perilaku manusia yang
menyimpang dari sila, maka adalah hal yang urgent (mendesak) bagi umat manusia untuk kembali dalam
kekehidupan yang bermoral dengan menjaga dan melaksanakan sila khususnya sila ke-3 dan ke-5. Apabila
semua orang menyadari hal ini, maka akan menghambat penyebaran penyakit yang mematikan ini dan
mengurangi jumlah penderita AIDS.
Dari seluruh ODHA tidak semua menderita akibat kesengajaannya melakukan tindakan yang
menyimpang dari nilai-nilai moral dan yang jelas-jelas beresiko tertular HIV. Di antara mereka ada anak-anak
yang terinfeksi sejak ia berada dalam kandungan karena salah satu atau kedua orang tuanya mengidap HIV.
Selain itu ada juga isteri atau suami yang tertular karena pasangan hidupnya yang tidak setia dan suka
berganti-ganti pasangan.
Dengan demikian tidak ada alasan bagi kita untuk menolak, mengucilkan atau bahkan
mendiskriminasikan seorang penderita AIDS. Menolak, mengucilkan atau bahkan mendiskriminasikan ODHA
bukanlah suatu solusi tetapi justru membuat batin mereka sangat menderita yang mungkin akan
mempengaruhi tindakan dan kesehatan mereka. Yang sangat diperlukan sekarang adalah keperdulian dan
belas kasih dari seluruh lapisan masyarakat terhadap ODHA apapun latarbelakang dan bagaimana ia bisa
terkena penyakit tersebut. Mereka sudah cukup menderita baik secara fisik maupun batin.
Cinta kasih (metta) dan belas kasih (karuna) terhadap para ODHA dapat kita wujudkan dalam berbagai
hal seperti memberi dukungan, semangat bagi keluarga atau teman yang terinfeksi HIV, dan membantu
meningkatkan kesadaran ODHA untuk menjalani perawatan dan pengobatan ODHA baik dirumah sakit,
puskesmas maupun fasilitas berbasis masyarakat lainnya. Dengan cinta kasih dan belas kasih serta dengan
mempraktikan hidup sehat setidaknya dapat memperpanjang usia para ODHA.
Selain itu keperdulian kita untuk mengendalikan HIV/AIDS dapat kita lakukan dengan melakukan
pembicaraan dan penyadaran mengenai HIV/AIDS kepada keluarga dekat dan teman, mencegah penularan
AIDS pada masyarakat khususnya ibu dan bayi, dan yang terpenting adalah dimulai dari kesadaran diri sendiri
dengan tidak melakukan perbuatan yang beresiko menularkan penyakit tersebut.

1.3 EUTHANASIA DALAM PANDANGAN HINDU


Agama Hindu yang bersumber pada Veda, wahyu atau sabda Tuhan Yang Maha Esa sarat dengan
ajaran tentang pengendalian diri. Ajaran pengendalian diri merupakan bagian dari ajaran etika, yakni ajaran
tentang tingkah laku yang baik dan benar serta menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak baik dan salah.
Ajaran etika ini adalah perwujudan dari ajaran keimanan yang di dalam agama Hindu dikenal dengan Pañca
Úraddhà. Bila umat Hindu memiliki Úraddhà atau keimanan yang mantap, tentu mampu mengendalikan diri
untuk tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama termasuk pula dalam hubungan
pemenuhan dorongan seksual yang menyimpang atau melakukannya sebelum menikah.
Dengan pengendalian diri yang mantap, seperti seseorang yang tertib berlalu lintas, seseorang akan
berhasil dan selamat mencapai tujuan. Demikianlah seseorang yang memiliki keimanan yang kuat dan
mampu mengendalikan diri, akan selamat di dunia ini dan di akhirat nanti. Untuk itu agama hendaknya benar-
benar menjadi landasan dan pegangan setiap orang. Agama Hindu yang bersumber pada Veda, wahyu atau
sabda Tuhan Yang Maha Esa sarat dengan ajaran tentang pengendalian diri. Ajaran pengendalian diri
merupakan bagian dari ajaran etika, yakni ajaran tentang tingkah laku yang baik dan benar serta
menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak baik dan salah. Ajaran etika ini adalah perwujudan dari ajaran
keimanan yang di dalam agama Hindu dikenal dengan Pañca Úraddhà. Bila umat Hindu memiliki Úraddhà
atau keimanan yang mantap, tentu mampu mengendalikan diri untuk tidak berbuat sesuatu yang bertentangan
dengan ajaran agama termasuk pula dalam hubungan pemenuhan dorongan seksual yang menyimpang atau
melakukannya sebelum menikah.
Demikian pula bila kita melihat orang yang menderita HIV/AIDS baik karena hubungan seksual
(terutama mereka yang memiliki prilaku menyimpang seperti : homosex, lesbian dan yang sejenis dengan hal
itu), atau juga karena ketularan sejak bayi dalam kandungan, dan atau tanpa disadarai telah ditulari oleh
seseorang misalnya melalui transfusi darah, jarum suntik yang ketularan HIV dan sebagainya, semuanya itu
tidak terlepas dari Karma, baik yang merupakan pahala perbuatan di masa yang lalu yang mesti dinikmati
sekarang, perbuatan sekarang berakibat pula pada dewasa ini (di Bali disebut Karmaphala “cicih”), maupun
perbuatan nanti, pahalanya nanti baik pada saat penjelmaan ini atau setelahnya (Kriyamàna Karmaphala).
Peranan Úraddhà dalam upaya pengendalian diri untuk pencegahan penyalah-gunaan Narkoba dan
menghindarkan diri dari tertular virus HIV/AIDS ini perlu ditanamkan melalui proses pendidikan sejak dini baik
dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat, melalui bimbingan, penyuluhan atau penerangan dan
lain-lain, untuk ini diperlukan penciptaan suasana yang menunjang dengan berbagai sarana, antara lain
mencegah merebaknya pelacuran, mencegah hubungan seks pranikah, hubungan seksual yang menyimpang
dan penyalah gunaan Narkoba dan lain-iain.

Anda mungkin juga menyukai