Pertama, menurut Fact About Abortion, aborsi didefenisikan sebagai penghentian kehamilan setelah
tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi dalam rahim (uterus), sebelum usia janin (fetus) mencapai usia
20 minggu. Kedua, terjadinya keguguran janin; melakukan abortus sebagai melakukan pengguguran (dengan
sengaja karena tidak menginginkan bakal bayi yang dikandung itu).
Secara umum istilah aborsi diartikan sebagai pengguguran kandungan, yaitu dikeluarkannya janin
sebelum waktunya, baik itu secara sengaja ataupun tidak. Biasanya dilakukan saat janin masih berusia muda
(sebelum bulan keempat masa kehamilan).
Sedangkan di dalam hukum pidana Islam, aborsi yang dikenal sebagai tindak pidana atas janin atau
pengguguran kandungan terjadi apabila terdapat suatu perbuatan maksiat yang mengakibatkan terpisahnya
janin dari ibunya.
Di kalangan ahli kedokteran dikenal dua macam abortus (keguguran kandungan) yakni abortus
spontan dan abortus buatan. Abortus spontan adalah merupakan mekanisme alamiah yang menyebabkan
terhentinya proses kehamilan sebelum berumur 28 minggu. Penyebabnya dapat oleh karena penyakit yang
diderita si ibu ataupun sebab-sebab lain yang pada umumnya gerhubungan dengan kelainan pada sistem
reproduksi. Lain halnya dengan abortus buatan, abortus dengan jenis ini merupakan suatu upaya yang
disengaja untuk menghentikan proses kehamilan sebelum berumur 28 minggu, dimana janin (hasil konsepsi)
yang dikeluarkan tidak bisa bertahan hidup di dunia luar.
Abortus buatan, jika ditinjau dari aspek hukum dapat digolongkan ke dalam dua golongan yakni :
1. Abortus buatan legal Yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan menurut syarat dan cara-cara yang
dibenarkan oleh undang-undang. Populer juga disebut dengan abortus provocatus therapcutius, karena
alasan yang sangat mendasar untuk melakukannya adalah untuk menyelamatkan nyawa/menyembuhkan si
ibu.
2. Abortus buatan illegal Yaitu pengguguran kandungan yang tujuannya selain dari pada untuk
menyelamatkan/ menyembuhkan si ibu, dilakukan oleh tenaga yang tidak kompeten serta tidak memenuhi
syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang.
Abortus golongan ini sering juga disebut dengan abortus provocatus criminalis, karena di dalamnya
mengandung unsur kriminal atau kejahatan.
Beberapa tipikal abortus dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Abortus spontanea, merupakan abortus yang berlangsung tanpa tindakan, dalam hal ini dibedakan
sebagai berikut:
a. Abortus imminens
b. Abortus insipiens
c. Abortus inkompletus
d. Abortus kompletus
2. Abortus provokatus, merupakan jenis abortus yang sengaja dibuat/dilakukan, yaitu dengan cara
menghentikan kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar tubuh ibu.
Pengelompokan Abortus provokatus secara lebih spesifik:
a. Abortus Provokatus Medisinalis/Artificialis/Therapeuticus, abortus yang dilakukan dengan
disertai indikasi medik. Di Indonesia yang dimaksud dengan indikasi medik adalah demi
menyelamatkan nyawa ibu.
b. Abortus Provokatus Kriminalis, aborsi yang sengaja dilakukan tanpa adanya indikasi medik
(ilegal). Biasanya pengguguran dilakukan dengan menggunakan alat-alat atau obat-obat
tertentu.
Aborsi dalam pandangan agama hindu sangat dilarang untuk dilakukan karena tergolong pada
perbuatan yang disebut “Himsa karma” yakni salah satu perbuatan dosa yang disejajarkan dengan
membunuh, menyakiti, dan menyiksa. Membunuh dalam pengertian yang lebih dalam sebagai
“menghilangkan nyawa” mendasari falsafah “atma” atau roh yang sudah berada dan melekat pada jabang bayi
sekalipun masih berbentuk gumpalan yang belum sempurna seperti tubuh manusia. Perbuatan aborsi
disetarakan dengan menghilangkan nyawa. Ajaran dalam kitab suci Hindu tentang hal ini antara lain :
Pembuahan sel telur dari hasil hubungan sex lebih jauh ditinjau dalam falsafah Hindu sebagai sesuatu
yang harusnya disakralkan dan direncanakan. Perkawinan menurut Hindu adalah “Dharmasampati” artinya
perkawinan adalah sakral dan suci karena bertujuan memperoleh putra yang tiada lain adalah re-inkarnasi
dari roh-roh para leluhur yang harus lahir kembali menjalani kehidupan sebagai manusia karena belum cukup
suci untuk bersatu dengan Tuhan atau dalam istilah Theology Hindu disebut sebagai “Amoring Acintya”.
Perkawinan (pawiwahan) adalah untuk syahnya suatu hubungan sex yang bertujuan memperoleh anak.
Gambaran ini dapat ditelusuri lebih jauh sebagai tidak adanya keinginan melakukan hubungan sex hanya
untuk kesenangan belaka.
Perilaku manusia menurut Veda adalah yang penuh dengan pengendalian diri, termasuk pula
pengendalian diri dalam bentuk pengekangan hawa nafsu. Pasangan suami-istri yang mempunyai banyak
anak dapat dinilai sebagai kurang berhasilnya melakukan pengendalian nafsu sex, apalagi bila kemudian
ternyata bahwa kelahiran anak-anak tidak dalam batas perencanaan yang baik. Sakralnya hubungan sex
dalam Hindu banyak dijumpai dalam Kamasutra. Antara lain disebutkan bahwa hubungan sex hendaknya
direncanakan dan dipersiapkan dengan baik. Hubungan sex juga harus dilakukan dalam suasana yang
tentram, damai dan penuh kasih sayang. Hubungan sex yang dilakukan dalam keadaan sedang marah, sedih,
mabuk atau tidak sadar, akan mempengaruhi prilaku anak yang lahir kemudian. Jadi aborsi dalam agama
Hindu tidak dikenal dan tidak dibenarkan.
Transplantasi adalah pencangkokan suatu jaringan atau organ manusia tertentu dari suatu tempat ketempat
lain pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain dengan persyaratan dan kondisi tertentu. Transplantasi ini
ditujukan untuk menggantikan organ yang rusak atau tak berfungsi pada penerima dengan orang lain yang
masih berfungsi sebagai donor. Donor organ dapat merupakan orang yang masih hidup ataupun telah
meninggal.
1. Autotransplantasi yaitu pencangkokan suatu jaringan atau organ ke tempat lain dalam tubuh orang itu
sendiri.
2. Homotransplantasi yaitu pencangkokan suatu jaringan atau organ dari tubuh seseorang ke tubuh
orang lain.
3. Heterotransplantasi yaitu pencangkokan suatu jaringan atau organ dari suatu spesies ke tubuh spesies
lainnya.
Sejarah dan perkembangan transplantasi pada tahun 600 SM di India, Susruta telah melakuakan
transpalantasi kulit. Sementara zaman Renaissance, seorang ahli bedah dari Itali bernama Gaspare
Tagliacozzi juga telah melakukan hal yang sama. Diduga John Hunter ( 1728 – 1793 ) adalah pioneer bedah
eksperimental, termasuk bedah transplantasi. Dia mampu membuat kriteria teknik bedah untuk menghasilkan
suatu jaringan trnsplantasi yang tumbuh di tempat baru. Akan tetapi sistim golongan darah dan sistim
histokompatibilitas yang erat hubungannya dengan reaksi terhadap transplantasi belum ditemukan. Pada
abad ke – 20, Wiener dan Landsteiner menyokong perkembangan transplantasi dengan menemukan
golongan darah system ABO dan system Rhesus. Saat ini perkembangan ilmu kekebalan tubuh makin
berperan dalam keberhasilan tindakan transplantasi.
Perkembangan teknologi kedokteran terus meningkat searah dengan perkembangan teknik transplantasi.
Kalangan ulama memperdebatkan masalah transplantasi dalam pandangan agama islam, tetapi
kalangan ulama juga berpendapat untuk tidak membolehkan transplantasi organ tubuh manusia yang dalam
keadaan koma atau hampir meninggal sekalipun harapan hidup bagi orang tersebut sangat kecil, ia harus
dihormati sebagai manusia sempurna. Dalam kaitan dengan ini, Ibnu Nujaim ( 970 H/1563 M) dan Ibnu Abidin
(1198 H/1784 M-1252 H/1836 M), dua tokoh fikih Mazhab Hanafi, menyatakan bahwa organ tubuh manusia
yang masih hidup tidak boleh dimanfaatkan untuk pengobatan manusia lainnya, karena kaidah fikih
menyatakan : “suatu mudarat tidak bisa dihilangkan dengan mudarat lainnya”.
Akan tetapi, para ulama fikih berbeda pendapat mengenai pengambilan organ tubuh untuk pengobatan
dari orang yang telah dijatuhi hukuman mati, seperti orang yang dirajam karena berbuat zina, atau murtad.
Ulama Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, dan Mazhab az-Zahiri, berpendapat bahwa sekalipun orang tersebut
telah dijatuhi hukuman mati, bagian tubuhnya tidak boleh dimanfaatkan untuk pengobatan, walaupun dalam
keadaan darurat. Sebaliknya, para ulama fikih berpendirian bahwa dalam keadaan darurat organ tubuh orang
yang telah dijatuhi hukuman mati boleh dimanfaatkan untuk penyembuhan orang lain, dengan syarat bahwa
pengambilan organ tersebut dilakukan setelah ia wafat. Dalam kaitan dengan ini, tidak ada salahnya apabila
dokter melakukan pemeriksaan organ tubuh terpidana, apakah bisa ditransplantasi atau tidak, sehingga
pengambilan organ tersebut tidak sia-sia. Di samping itu, pengambilan organ tubuh tersebut harus diawasi
oleh hakim dan dilakukan di bawah koordinasi dokter-dokter spesialis.
Akhirnya setelah perdebatan yang panjang, transplantasi menurut pandangan agama Islam percaya
prinsip menyelamatkan nyawa manusia dengan transplantasi organ sebagai suatu kebutuhan untuk
mendapatkan akhir yang mulia. "Transplantasi sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran agama, jadi
transplantasi dilarang keras untuk dilakukan kecuali 1 hal boleh dilakukan jika seseorang itu dalam kondisi
dimana nyawa seseorang benar-benar terancam dan tak ada jalan lain sama sekali kalau ia masih mau
dipertahankan tetap hidup). Satu contoh dari hal yang spesifik itu adalah adanya fatwa yang menyatakan
bahwa pencangkokan organ hanya boleh diambil dari donor hidup, dan tak boleh membahayakan nyawa.
“Seseorang yang semasa hidupnya berwasiat akan menghibahkan tubuhnya sesudah wafat dengan
diketahui dan disetujui dan disaksikan oleh warisnya, wasiat itu dapat dilaksanakan dan harus
dilakukan oleh ahli bedah”.
Persoalan lain yang menyangkut transplantasi organ tubuh adalah jual-beli atau sumbang organ tubuh
kepada orang yang memerlukannya. Pandangan islam menurut para ulama fikih tidak membolehkan sese-
orang memperjualbelikan organ tubuhnya karena hal itu bisa mencelakakan dirinya sendiri. Sikap
mencelakakan diri sendiri dikecam oleh Allah SWT melalui firman-Nya dalam surah al-baqarah ayat 195.
Menurut Jamaluddin Abu Muhammad, salah satu tokoh fikih menyatakan bahwa sepakat untuk tidak
memperjualbelikan organ tubuh manusia. Organ tubuh manusia, menurut mereka, merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari manusia itu sendiri, karena masing-masing organ tubuh mempunyai fungsi yang
melekat dengan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, memperjualbelikan bagiannya sama dengan
memperjualbelikan manusia itu sendiri. Memperjualbelikan manusia diharamkan. Benar bahwa Allah SWT
telah menyebutkan bahwa, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran :
Banyak orang Kristen mungkin gagal untuk menyumbangkan organ. Dalam berdebat untuk
diperbolehkannya donor organ tubuh, Simcox mencakup ajaran-ajaran Paulus tentang tubuh dibangkitkan.
Sebuah pemahaman yang benar 1 Korintus 15:35-49 mengajarkan perbedaan yang besar antara tubuh fisik
pada saat kematian, yang mungkin terkubur atau dibuang dengan beragai cara dan tubuh rohani kebangkitan.
Pandangan Katolik transplantasi sebagai tindakan amal dan cinta. Transplantasi secara moral dan etika dapat
diterima. Paulus XVI menyatakan "Untuk menjadi donor organ berarti untuk melaksanakan suatu tindakan
cinta kepada seseorang yang membutuhkan, ke arah seorang saudara dalam kesulitan. Ini adalah tindakan
bebas cinta yang setiap orang yang berkehendak baik dapat melakukannya setiap saat untuk memberikan
organ kepada siapa saja mungkin membutuhkan. Alkitab tidak melarang memperpanjang hidup melalui
prosedur medis transplantasi organ. Dalam pandangan agama Katolik, transplantasi ditegaskan Paus
Yohanes Paulus I pada September 1978:
“Mendonorkan anggota tubuh setelah meninggal adalah sumbangan kemanusiaan yang mulia dalam
rangka memperbaiki dan memperpanjang hidup sesamanyaâ”
Jadi, menurut pandangan agama kristen katolik sendiri transplantasi itu diperbolehkan.
“Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan segenap akal budimu. Kasihilah sesama manusia
seperti dirimu sendiri.”
Budha percaya bahwa donasi organ dan jaringan adalah masalah hati nurani individu dan
menempatkan nilai tinggi pada tindakan-tindakan belas kasih. Pendeta Gyomay Masao, dan pendiri Candi
Budha Chicago mengatakan, "Kita menghormati orang-orang yang menyumbangkan organ tubuh mereka dan
untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan medis untuk menyelamatkan nyawa. Dalam agama Buddha, berdana
berupa transplantasi merupakan Dana Paramita, yang dapat meningkatkan nilai kehidupan manusia di dalam
kehidupan yang akan datang.
Hindu tidak dilarang oleh hukum agama untuk menyumbangkan organ mereka. Tindakan ini
merupakan keputusan individu. Kitab dalam ajaran hindu tidak melarang tentang bagian-bagian tubuh
manusia yang digunakan untuk kepentingan manusia lain dan masyarakat. Dalam agama hindu menunjukkan
bahwa bagian-bagian dari manusia baik hidup ataupun mati , dapat digunakan untuk meringankan
penderitaan manusia lain. Dalam ajaran Hindu, tertulis dalam kitab Dharma Sastra Sarasamuccaya, antara
lain Saras III : 39 :
“Sudah menjadi hukum keluarga bahwa saat kematian telah tiba tinggallah jasmani yang tidak berguna
dan pasti dibuang. Maka itu, berusahalah berbuat berdasarkan darma sebagai sahabatmu untuk
mengantarkan engkau ke dunia bahagia kekal.”
Inseminasi disebut juga inseminasi buatan. Inseminasi buatan merupakan terjemahan dari “artificial
insemination”. “Artificial” artinya buatan atau tiruan, sedangkan “insemination “berasal dari kata latin
pemasukan atau penyampaian. Artificial insemination adalah penghamilan atau pembuahan buatan. Dengan
kata lain, inseminasi buatan adalah penghamilan buatan yang dilakukan terhadap wanita dengan cara
memasukan sperma laki-laki ke dalam rahim wanita tersebut dengan pertolongan dokter, istilah lain yang
semakna adalah kawin suntik, penghamilan buatan atau permainan buatan.
Ada beberapa teknik inseminasi buatan yang telah dikembangkan dalam dunia kedokteran, antara lain
adalah :
1. Fertilazation in vitro (FIV) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri kemudian di
proses di tabung dan setelah terjadi pembuahan lalu di transfer di rahim istri.
2. Gamet intra Felopian Tuba (GIFT) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri dan setelah
dicampur terjadi pembuahan maka segera ditanam di saluran telur (tuba palopi). Tekhnik ke dua ini
terlihat lebih alamiah, sebab sperma hanya bisa membuahi ovum di tuba palopi setelah terjadi
ejakulasi (pancaran mani) melalui hubungan seksual.
Masalah inseminasi telah banyak dibicarakan dikalangan islam dan diluar kalangan islam, baik ditingkat
nasional maupun di tingkat internasional, misalnya lembaga fiqih islam OKI (Organisasi Konferensi Islam)
mengadakan sidang di Amman pada tahun 1996 untuk membahas inseminasi. Inseminasi apabila dilakukan
dengan sel sperma /ovum suami istri sendiri dan tidak ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain
termasuk istrinya sendiri yang lain (bagi suami yang berpoligami), maka islam membenarkan baik dengan
cara mengambil sperma suami kemudian di suntikkan ke dalam vagina atau uterus istrinya, maupun dengan
cara pembuahan yang dilakukan di luar rahim, kemudian buahnya di tanam di dalam rahim istrinya, asal
keadaan kondisi suami istri yang bersangkutan benar benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk
memperoleh anak, karena dengan cara pembuahan alami, suami istri tidak berhasil memperoleh anak.
Hal ini sesuai dengan fiqih islam yaitu :
“ hajat (kebutuhan yang sangat penting itu) di perlakukan seperti dalam keadaan terpaksa (emergency).
Padahal keadaan darurat / terpaksa itu membolehkan melakukan hal-hal yang terlarang.”
Sebaliknya jika inseminasi itu dilakukan dengan bantuan donor sperma atau donor ovum maka
diharamkan dan hukumnya zina (prostitusi), dan sebagai akibatnya anak hasil inseminasi tersebut tidak sah
dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya. Dalil dalil syar’i yang dapat dijadikan
landasan menetapkan hukum haram inseminasi buatan dengan donor adalah :
1. Firman allah dalam surat Al-Isra ayat 70
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di
lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
2. Firman allah dalam surat Al-Tin ayat 4
“ Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
3. Hadis nabi :
“ Tidak halal bagi seseorang yang beriman pada Allah dan hari akhir menyiramkan air (sperma) pada
tanaman orang lain (vagina istri orang lain). Hadis riwayat abu daud, Al- Tirmidzi dan hadis ini
dipandang sahih oleh Ibnu Hibban.
Kedua ayat dan hadis tersebut menunjukan bahwa manusia diciptakan oleh tuhan sebagai makhluk
yang mempunyai kelebihan sehingga melebihi makhluk tuhan lainnya. Tuhan sendiri berkenan memuliakan
manusia, maka sudah seharusnyalah manusia bisa menghormati martabatnya sendiri dan juga menghormati
martabat sesama manusia. Sebaliknya inseminasi justru merendahkan harkat manusia karena sejajar dengan
hewan yang di inseminasi.
Adapun tentang inseminasi buatan dengan bukan sperma suami atau sperma donor para ulama
mengharamkannya seperti pendapat Yusuf Al-Qardlawi yang menyatakan bahwa islam juga mengharamkan
pencangkokan sperma (bayi tabung). Apabila itu bukan dari sperma suami. Mereka juga mengatakan bahwa
penghamilan buatan adalah pelanggaran yang tercela dan dosa besar, setara dengan zina, karena
memasukan mani’ orang lain ke dalam rahim perempuan tanpa ada hubungan nikah secara sah yang
dilindungi hukum. Sedangkan pada inseminasi buatan dengan sperma suami sendiri tidak menimbulkan
masalah pada semua aspeknya.
Agama budha memperbolehkan proses inseminasi karena pada dasarnya agama budha hanya
memandang suatu hal sebagai benar atau salah dan baik atau buruk. Selain dari segi agama, inseminasi juga
menjadi perdebatan dalam masalah etika dan moral. Inseminasi dianggap menyalahi kodrat karena bermain
sebagai Tuhan dengan menciptakan dan mematikan manusia secara disengaja. Selain itu di masyarakat juga
belum dapat diterima sehingga dapat memunculkan fitnah. Akan tetapi kita juga harus melihat dari segi Hak
Asasi Manusia bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk memperoleh keturunan. Jadi pada hakekatnya
inseminasi dengan cara buatan ini boleh dilakukan jika benihnya dari suami istri yang sah.
Inseminasi dilarang keras oleh agama hindu karena menurut pandangan agama hindu sangat
bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama hindu karena berkaitan denga kesejahteraan hidup seseorang.
Inseminasi atau pembuahan secara suntik bagi umat Hindu dipandang tidak sesuai dengan tata kehidupan
agama Hindu, karena tidak melalui samskara dan menyulitkan dalam hukum kemasyarakatan.
Bayi tabung adalah sel telur dan sel sperma yang diambil dari indung telur wanita kemudian diletakkan
disebuah mangkuk kecil dari kaca kemudian hasil pembuahan tersebut dimasukkan lagi kedalam rahim ibu
untuk menumbuhkan kehamilan.
Fatwa MUI :
1. Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh),
sebab hak ini termasuk ikhtiar berdasarkan kaidah-kaidah agama.
2. Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua
dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini
akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara
anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian
melahirkannya, dan sebaliknya).
3. Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram
berdasarkan kaidah Sadd a z-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam
kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
4. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami isteri yang sah hukumnya
haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang
sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan
zina sesungguhnya.
1. Umumnya bayi tabung melibatkan aborsi, karena embryo yang tidak berguna dihancurkan/ dibuang.
2. Pengambilan sperma dilakukan dengan masturbasi. Masturbasi selalu dianggap sebagai perbuatan
dosa, dan tidak pernah dibenarkan. “Masturbasi adalah rangsangan alat-alat kelamin yang disengaja
dengan tujuan membangkitkan kenikmatan seksual
3. Kitab ajaran agama kristen katolik sendiri menyebutkan. “Kenyataan ialah untuk mencapai masturbasi
sebagai satu tindakan yang sangat bertentangan dengan ketertiban”, karena penggunaan kekuatan
seksual dengan sengaja, dengan motif apa pun itu dilakukan, di luar hubungan suami isteri yang
normal, bertentangan dengan hakikat tujuannya”.
4. Bayi tabung merupakan persatuan sel telur dan sperma dilakukan di luar hubungan suami istri yang
normal. Hal ini jelas menurut pandangan agama katolik meniadakan aspek ‘persatuan/ union’ antara
suami dengan istri. Jadi, aspek hubungan suami istri tidak dipenuhi secara normal.
5. Bayi tabung menghilangkan hak sang anak untuk dikandung dengan normal, melalui hubungan
perkawinan suami istri. Jika melibatkan ‘ibu angkat’, ini juga berarti menghilangkan haknya untuk
dikandung oleh ibunya yang asli.
Yang paling jelas adalah ajaran Paus Yohanes Paulus II dalam kitabnya yang mengatakan demikian:
“teknik reproduksi buatan seperti bayi tabung yang kelihatannya seolah mendukung kehidupan,
dan yang sering dilakukan untuk maksud demikian, padahal sesungguhnya membuka pintu
ancaman terhadap kehidupan. Terpisah dari kenyataan bahwa hal tersebut tidak dapat diterima
secara moral, karena hal itu memisahkan hubungan suani istri dalam konteks hubungan
seksual, teknik-teknik yang demikian mempunyai tingkat kegagalan yang cukup tinggi tidak
hanya dalam hal pembuahan (fertilisasi) tetapi juga dari segi perkembangan embryo, yang
mempunyai tingkat resiko kematian yang tinggi, umumnya di dalam jangka waktu yang pendek.
Lagipula, jumlah embryo yang dihasilkan sering lebih banyak daripada yang dibutuhkan untuk
implantasi ke dalam rahim wanita itu, dan embryo cadangan ini lalu dihancurkan atau
digunakan untuk penelitian yang dengan dalih ilmu pengetahuan atau kemajuan ilmu
kedokteran. Pada dasarnya hal ini menurut ajaran ini merendahkan kehidupan manusia pada
tingkat “materi biologis” semata yang dapat dibuang begitu saja.“
Sebaiknya tidak dilakukan tetapi jika diperlukan dan sangat mendesak diperbolehkan.
"Dengarkan, kaum Kalama, janganlah hanyut terbawa oleh ucapan seseorang atau tradisi atau desas-desus,
atau karena tertulis dikitab suci, atau oleh pertimbangan, Tetapi, kaum Kalama, apabila kalian mengetahui
sendiri bahwa hal-hal itu dicela oleh para bijaksana. bila dilakukan akan berakibat kerugian dan penderitaan,
maka tolaklah hal itu. Sebaliknya, apabila kalian mengetahui sendiri bahwa hal-hal ini tidak tercela dan patut
dipuji oleh para bijaksana, dan apabila dilakukan akan menghasilkan kesejahteraan dan kebahagiaan, maka
lakukanlah dan binalah hal-hal itu (Kalama Sutta, Anguttara Nikaya,I)
A. Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja
(al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap
haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik
pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah
(tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
(QS An-Nisaa` : 29).
B. Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan
pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan
tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter
menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari
tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-
tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada
perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak
wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan
Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini
berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan
di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag
tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka
berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat.
GEJALA-GEJALA AIDS
• flu terus-terusan
• bintik-bintik merah di sekujur tubuh
• badan makin kurus kering
• lidah berjamur
• Gemeteran
• diare terus-terusan
• Demam
• berkeringat di waktu malam
• kelelahan di sekujur tubuh
• sulit menelan dan bicara
• napas tersengal-sengal
2. Menolak Kondomisasi
Salah satu upaya yang digalakkan oleh sejumlah pihak untuk menghentikan penyebaran virus AIDS
adalah penggunaan kondom dalam berhubungan seks. Bahkan sekarang ini untuk mendapatkannya tidaklah
terlalu sulit, di sejumlah kota terdapat ATM Kondom. Penempatan ATM kondom di sejumlah tempat tentu
bukan tidak ada maksud, kampanye kondom melalui ATM ini diharapkan dapat menurunkan penularan infeksi
HIV.
Terlepas apakah langkah ini berhasil atau tidak, yang jelas Islam menolak langkah ini. Karena
memberikan ruang yang bebas bagi penggunaan kondom tidak ada bedanya dengan melegalkan perzinaan
dan menyuburkan prostitusi, padahal itu hukumnya haram dalam agama.