Anda di halaman 1dari 34

Bagian Ilmu Penyakit Dalam REFARAT

Fakultas Kedokteran
Universitas AlKhairaat
Palu

HIV AIDS

Disusun Oleh :

Irwan, S.Ked
(12 18 777 14 330)

PEMBIMBING :
dr. Arfan Sanusi, Sp.PD, FINASIM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik

Pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ALKHAIRAAT

PALU

2021
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Irwan, S.Ked

No. Stambuk : 12 18 777 14 330

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Pendidikan Dokter

Universitas : Alkhairaat

Judul : HIV AIDS

Bagian : Ilmu Penyakit Dalam

Bagian Ilmu Penyakit Dalam

RSU Anutapura Palu

Program Studi Pendidikan Dokter

Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat

Palu,

Pembimbing Dokter Muda

dr. Arfan Sanusi, Sp.PD , FINASIM


Irwan, S.Ked

2
BAB I
PENDAHULUAN
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) pertama kali diidentifikasi pada
tahun 1981 setelah muncul kasus-kasus pneumonia Pneumocystis carinii dan sarcoma
Kaposi pada laki-laki muda homoseks di berbagai wilayah Amerika Serikat. Sebelumnya
kasus tersebut sangat jarang terjadi, apabila terjadi biasanya disertai penurunan
kekebalan imunitas tubuh. Pada tahun 1983 Luc Montagnier mengidentifikasi virus
penyebab AIDS, yang telah diisolasi dari pasien dengan limfadenopati dan pada waktu
itu diberi nama LAV ( Lymphadenopathy virus ). Sedangkan Robet Gallo menemukan
virus penyebab AIDS pada tahun 1984 yang saat itu dinamakan HTLV-III.1,2
Kasus pertama di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan
pada tahun 1987, yaitu pada seorang warga Negara Belanda yang sedang berlibur ke Bali.
Sebenarnya sebelum itu, yaitu pada tahun 1985 telah ditemukan kasus yang gejalanya
sangat sesuai dengan HIV/AIDS dan hasil tes ELISA tiga kali diulang dinyatakan positif.
Tetapi tes Western Blot hasilnya negative, sehingga tidak dilaporkan. Kasus kedua
ditemukan pada bulan Maret 1986 di RS Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemofilia.10
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan
banyak Negara di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang terbebas
dari HIV.1,2
Menurut UNAIDS di tahun 2009 jumlah ODHA mencapai 33,3 juta, dengan
kasus baru sebanyak 2,6 juta,dan per hari lebih dari 7000 orang telah terinfeksi HIV, 97
% dari Negara berpenghasilan rendah dan menengah. Penderitanya sebagian besar adalah
wanita sekitar 51 %, usia produktif 41% ( 15-24 th) dan anak-anak. 9 HIV dan AIDS
menyebabkan krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis
pembangunan Negara, krisis ekonomi, pendidikan , dan juga krisis kemanusiaan.1
Di Indonesia sendiri, jumlah ODHA terus meningkat. Data terakhir pada tahun
2008 menunjukkan bahwa jumlah ODHA di Indonesia telah mencapai 22.664 orang. 8
Menurut UNAIDS, Indonesia merupakan Negara dengan pertunbuhan epidemic tercepat
di Asia. Pada tahun 2007 menempati urutan ke-99 di dunia, namun karena pemahaman
dari gejala penyakit dan stigmata social masyarakat, hanya 5-10 % yang terdiagnosa dan
dilakukan pengobatan.10
Pada era sebelumnya upaya penanggulangan HIV/AIDS diprioritaskan pada
upaya pencegahan. Dengan semakin meningkatnya pengidap HIV dan kasus AIDS yang
memerlukan terapi ARV, maka strstegi penanggulangan HIV/AIDS dilaksanakan dengan
memadukan upaya pencegahan dengan upaya perawatan, dukungan serta pengobatan.
Dalam memberikan kontribusi 3 by 5 initiative global yang direncanakan oleh WHO di
UNAIDS, Indonesis secara nasional telah memulai terapi antiretroviral (ART) pada tahun
2004. Hal ini dapat menurunkan risiko infeksi oportunistik (IO) yang apabila berat dapat
menimbulkan kematian pada ODHA. Pada akhirnya, diharapkan kualitas hidup ODHA
akan meningkat.10
BAB II

A. Definisi
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala atau
penyakit yang diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat adanya infeksi oleh
Human Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae. AIDS
merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.1,2

B. Epidemiologi
Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut lebih dari
25 juta jiwa sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun 2009, jumlah
ODHA diperkirakan mencapai 33,3 juta orang, dengan sebangian besar penderitanya
adalah usia produktif , 15,9 juta penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-
anak. Dengan jumlah kasus baru HIV sebanyak 2.6 juta jiwa. Dari jumlah kasus baru
tersebut, sekitar 370 ribu di antaranya terjadi pada anak-anak. Pada tahun yang sama,
lebih dari dua juta orang meninggal karena AIDS.9
Peningkatan jumlah orang hidup dengan HIV sungguh mengesankan. Pada tahun
1990, jumlah ODHA baru berkisar pada angka delapan juta sedangkan saat ini,
jumlahnya sudah mencapai 33,2 juta orang. Dari keseluruhan jumlah ini, 67%
diantaranya disumbangkan oleh ODHA di kawasan sub Sahara, Afrika.7
Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di Indonesia.
Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual. Kemudian jumlah
kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai
terlihat peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika
suntik. 1,2
Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.
Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko
tinggi (dengan prevalensi > 5%) seperti pengguna narkotika suntik (penasun), wanita
penjaja seks (WPS), dan waria. Di beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali,
Jabar dan Jawa Timur telah tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi
terkonsentrasi (concentrated level of epidemic). Sedang tanah Papua sudah memasuki
tingkat epidemi meluas (generalized epidemic).7
Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju peningkatan kasus baru
AIDS yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun terakhir dimana terjadi kenaikan tiga
kali lipat dibanding jumlah yang pernah dilaporkan pada 15 tahun pertama epidemi AIDS
di Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir terjadi laju peningkatan jumlah kumulatif kasus
AIDS dimana pada tahun 1999 terdapat 352 kasus dan data tahun 2008 jumlah tersebut
telah mencapai angka 16.110 kasus.7
Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada Desember 2008,
sekitar 74,9% adalah laki-laki dan 24,6% adalah perempuan. Berdasarkan cara penularan,
dilaporkan 48% pada heteroseksual; 42,3% pada pengguna narkotika suntik; 3,8% pada
homoseksual dan 2,2% pada transmisi perinatal. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran
dari dominasi kelompok homoseksual ke kelompok heteroseksual dan penasun. Jumlah
kasus pada kelompok penasun hingga akhir tahun 2008 mencapai 1.255 orang. Kumulatif
kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok usia 20–29 tahun (50,82%), disusul
kelompok usia 30–39 tahun.5
Dari 33 propinsi seluruh Indonesia yang melaporkan, peringkat pertama jumlah
kumulatif kasus AIDS berasal dari propinsi Jawa Barat sebesar 2.888 kasus, disusul DKI
Jakarta dengan 2.781 kasus, kemudian diikuti oleh Jawa Timur, Papua, dan Bali dengan
masing-masing jumlah kasus secara berurutan sebesar 2.591 kasus, 2.382 kasus, dan
1.177 kasus AIDS.5
Rate kumulatif nasional kasus AIDS per 100.000 penduduk hingga akhir
Desember 2008 adalah sebesar 7,12 per 100.000 penduduk (dengan jumlah penduduk
Indonesia 227.132.350 jiwa berdasarkan data BPS tahun 2005). Proporsi kasus yang
dilaporkan meninggal sebesar 20,89%. Lima infeksi oportunistik terbanyak yang
dilaporkan adalah TBC sebanyak 8.986 kasus, diare kronis 4.542 kasus, kandidiasis
orofaringeal 4.479 kasus, dermatitis generalisata 1.146 kasus, dan limfadenopati
generalisata sebanyak 603 kasus.5

C. Etiologi
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis
yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar 1). Strukturnya tersusun
atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120
yang melekat pada glikoprotein gp41. ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4
pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di
bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam
inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse
transcriptase enzyme).1
Gambar 1: struktur virus HIV-13

Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV global
terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya.
Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang
berhubungan erat dengan Afrika Barat.6

D. Mode Penularan
Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi melalui
mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah melalui jarum
suntik yang terkontaminasi atau melalui komponen darah yang terkontaminasi, dan
transmisi vertikal dari ibu ke janin. CDC pernah melaporkan adanya penularan HIV pada
petugas kesehatan.
Sebenarnya risiko penularan HIV melalui tusukan jarum maupun percikan cairan darah
sangat rendah. Risiko penularan melalui perlukaan kulit (misal akibat tusukan jarum atau
luka karena benda tajam yang tercemar HIV) hanya sekitar 0,3% sedangkan risiko
penularan akibat terpercik cairan tubuh yang tercemar HIV pada mukosa sebesar
0,09%.1,2

E. Patogenesis
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga bila terjadi
kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun yang progresif. 1,2
Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in vitro
dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik, folikular
dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikrogilia, astrosit, sel
trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal.6
Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama HIV
dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui kompleks
molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal sebagai dendritic-
cell specific intercellular adhesion molecule-grabbing nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-
akhir ini diketahui bahwa selain molekul CD4 dan ko-reseptor kemokin, terdapat integrin
sebagai reseptor penting lainnya untuk HIV. Antigen gp120 yang berada pada permukaan
HIV akan berikatan dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan
dengan mediasi antigen gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel
CD4, sampul HIV akan terbuka dan RNA yang muncul akan membuat salinan DNA
dengan bantuan enzim transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan
berintegrasi dengan DNA pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA virus yang
terintegrasi ini disebut sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus ini akan
melakukan transkripsi dengan bantuan enzim polimerasi sel host menjadi mRNA untuk
selanjutnya mengadakan transkripsi dengan protein-protein struktur sampai terbentuk
protein. mRNA akan memproduksi semua protein virus. Genomik RNA dan protein virus
ini akan membentuk partikel virus yang nantinya akan menempel pada bagian luar sel.
Melalui proses budding pada permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel
inang dalam keadaan matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah
bening, bukan di peredaran darah tepi.1,2
Siklus replikasi virus HIV digambarkan secara ringkas melalui gambar 2.
Gambar 2 : Visualisasi siklus HIV
Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat defisiensi
imun, akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio CD4-CD8 dan
hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus HIV dibentuk terhada
berbagai antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul virus (gp21, gp41). Antibodi
muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi. Secara umum dapat dideteksi
pertama kali sejak 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut
masa jendela. Antigen gp120 dan bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun
yang dapat membentuk antibodi netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi
antibodi tersebut tidak dapat mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang
pendek. Sedangkan respon imun selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T
sitolitik yang sebagian besar adalah sel T CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas sel T
CD8 ini tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan terus laju replikasi HIV.1
Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan
kerusakan progresif populasi sel T CD4. Hal ini meyebabkan terjadinya deplesi sel T
CD4. Selain itu, terjadi juga disregulasi repsons imun sel T CD4 dan proliferasi CD4
jarang terlihat pada pasien HIV yang tidak mendapat pengobatan antiretrovirus. 1,2

F. DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap ODHA saat
kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk
menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan
laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk
menentukan tata laksana selanjutnya.
Dari Anamnesis, perlu digali faktor resiko HIV AIDS, Berikut ini
mencantumkan, daftar tilik riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA
(table 3).

Tabel 3. Faktor risiko infeksi HIV.8


- Penjaja seks laki-laki atau perempuan

- Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)

- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender
(waria)

- Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial

- Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)

- Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah

- Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.


b. Pemeriksaan fisik

Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat
dilihat pada tabel 6

Tabel 6 : Daftar tilik pemeriksaan fisik.8


Gambaran klinis yang terjadi. umumnya akibat adanya infeksi oportunistik atau kanker
yang terkait dengan AIDS seperti sarkoma Kaposi, limfoma malignum dan karsinoma
serviks invasif. Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV
dapat dilihat pada tabel 6. Di RS Dr. Cipto Mangkusumo (RSCM) Jakarta, gejala klinis
yang sering ditemukan pada odha umumnya berupa demam lama, batuk, adanya
penurunan berat badan, sariawan, dan diare, seperti pada tabel 5 .
Tabel 5. Gejala AIDS di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo
Gejala Frekuensi
Demam lama 100 %
Batuk 90,3 %
Penurunan berat badan 80,7 %
Sariawan dan nyeri menelan 78,8 %
Diare 69,2 %
Sesak napas 40,4 %
Pembesaran kelenjar getah bening 28,8 %
Penurunan kesadaran 17,3 %
Gangguan penglihatan 15,3 %
Neuropati 3,8 %
Ensefalopati 4,5 %

c. Pemeriksaan penunjang
Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan
pemeriksaan laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain
dengan pemeriksaan antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus
HIV (umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan
PCR untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit Sedangkan
untuk kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi
oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 (Tabel 7) .8
Tabel 7. Anjuran pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada odha.10

Tes antibodi terhadap HIV (AI);


Tes Hitung jumlah sel T CD4 (AI);
HIV RNA plasma (viral load) (AI);
Pemeriksaan darah perifer lengkap, profil kimia, SGOT, SGPT, BUN dan kreatinin,
urinalisis, tes mantux, serologi hepatitis A, B, dan C, anti-Toxoplasma gondii IgG, dan
pemeriksaan Pap-smear pada perempuan (AIII);
Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan profil lipid pada pasien dengan risiko penyakit
kardiovaskular dan sebagai penilaian awal sebelum inisasi kombinasi terapi (AIII);

Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-tes dan biasanya
dilakukan jika ada riwayat perilaku risiko (terutama hubungan seks yang tidak aman atau
penggunaan narkotika suntikan). Tes HIV juga dapat ditawarkan pada mereka dengan
infeksi menular seksual, hamil, mengalami tuberkulosis aktif, serta gejala dan tanda yang
mengarah adanya infeksi HIV. Hasil pemeriksaan pada akhirnya akan diberitahukan,
untuk itu, konseling pasca tes juga diperlukan. Jadi, pemeriksaan HIV sebaiknya
dilakukan dengan memenuhi 3C yakni confidential (rahasia), disertai dengan counselling
(konseling), dan hanya dilakukan dengan informed consent.1,2
Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang memiliki
sensitivitas tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan hasil yang
reaktif, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk
memastikan adanya infeksi oleh HIV. Uji konfirmasi yang sering dilakukan saat ini
adalah dengan teknik Western Blot (WB). Hasil tes positif palsu dapat disebabkan adanya
otoantibodi, penerima vaksin HIV, dan kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil tes positif
pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif belum tentu berarti tertular mengingat adanya
IgG terhadap HIV yang berasal dari darah ibu. IgG ini dapat bertahan selama 18 bulan
sehingga pada kondisi ini, tes perlu diulang pada usia anak > 18 bulan. 6 Hasil tes
dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah dengan tes konfirmasi
dengan WB positif. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, pemeriksaan WB
masih relatif mahal sehingga tidak mungkin dilakukan secara rutin. WHO menganjurkan
strategi pemeriksaan dengan kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak
melibatkan pemeriksaan WB sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang
digunakan adalah tiga kali positif pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi
3. Bila hasil tes tidak sama missal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang
ketiga non-reaktif atau apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif,
maka keadaan ini disebut sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut memiliki
riwayat pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa riwayat
pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai
non-reaktif.1,2
Table 8 : Alogaritma pemeriksaan HIV8

G. Penilaian Klinis
Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan
meliputi penentuan stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang
berhubungan dengan HIV di masa lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait
dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan, mengidentifikasi kebutuhan
terapi ARV dan infeksi oportunistik, serta mengidentifikasi pengobatan lain yang
sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan terapi. 2
H. Stadium Klinis
WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I
(asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV (sakit
berat atau AIDS), lihat table 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4,
stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk memulai terapi profilaksis
infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah terapi ARV.
AIDS merupakan manifestasi lanjutan HIV. Selama stadium individu bisa saja
merasa sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit. Pada stadium lanjut,
system imun individu tidak mampu lagi menghadapi infeksi Opportunistik dan mereka
terus menerus menderita penyakit minor dan mayor Karen tubuhnya tidak mampu
memberikan pelayanan.
Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi, memang
tidak memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu kemudian orang tua
yang terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan diare.
Penderita AIDS dari luar tampak sehat. Pada tahun ke 3-4 penderita tidak
memperlihatkan gejala yang khas. Sesudah tahun ke 5-6 mulai timbul diare berulang,
penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut dan terjadi
pembengkakan didaerah kelenjar getah bening. Jika diuraikan tanpa penanganan medis,
gejala PMS akan berakibat fatal.
Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spectrum
yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatif) pada stadium awal sampai
dengan gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakit
lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi, bahkan
dapat lebih lama lagi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya HIV menjadi AIDS belum
diketahui jelas. Diperkirakan infeksi HIV yang berulang – ulang dan pemaparan terhadap
infeksi-infeksi lain mempengaruhi perkembangan kearah AIDS. Menurunnya hitungan
sel CDA di bawah 200/ml menunjukkan perkembangan yang semakin buruk. Keadaan
yang buruk juga ditunjukkan oleh peningkatan B2 mikro globulin dan juga peningkatan
I9A.
Perjalan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi yaitu :
a. Infeksi Akut : CD4 : 750 – 1000
Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3 bulan.
Gejala yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia,
malaise, gejala kulit (bercak-bercak merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada,
nyeri retrobulber, gangguan kognitif danapektif), gangguan gastrointestinal
(nausea, diare). Pada fase ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi
viremia. Gejala tersebut diatas merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya unis
yang berlangsung kira-kira 1-2 minggu.

b. Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/ml


Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian, umumnya
sekitar 5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun sebenarnya terjadi
replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Beberapa penderita mengalami
pembengkakan kelenjar lomfe menyeluruh, disebut limfa denopatio (LEP),
meskipun ini bukanlah hal yang bersifat prognostic dan tidak terpengaruh bagi
hidup penderita. Saat ini sudah mulai terjadi penurunan jumlah sel CD4 sebagai
petunjuk menurunnya kekebalan tubuh penderita, tetapi masih pada tingkat
500/ml.

c. Infeksi Kronis Simtomatik


Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai gejala
penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada tingkat
imunitas pemderita.

1) Penurunan Imunitas sedang : CD4 200 – 500


Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan misalnya
reaktivasi dari herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat sembuh total atau hanya
dengan pengobatan biasa. Keganasan juga dapat timbul pada fase yang lebih lanjut dari
sub-fase ini dan dapat berlanjut ke sub fase berikutnya, demikian juga yang disebut
AIDS-Related (ARC).
2) Penurunan Imunitas berat : CD4 < 200
Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam jiwa
penderita. Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering pada fase yang lebih
awal. Viremia terjadi untuk kedua kalinya dan telah dikatakan tubuh sudah dalam
kehilangan kekebalannya.
Sindrom klinis stadium simptomatik yang utama:
• Limfadenopati Generalisata yang menetap
• Gejala konstutional: Demam yang menetap > 1 bulan, penurunan BB involunter >
10% dari nilai basal, dan diare >1 bulan tanpa penyebab jelas.
• Kelainan neurologis: Ensefalopati HIV, limfoma SSP primer, meningitis aseptik,
mielopati, neuropati perifer, miopati.
• Penyakit infeksiosa sekunder: pneumonia, Candida albicans, M. Tuberculosis,
Cryptococcus neoformans, Toxxoplasma gondii, Virus Herpes simpleks
• Neoplasma Sekunder: Sarkoma Kaposi (kulit dan viseral), neoplasma limfoid
• Kelainan lain: Sindrom spesifik organ sebagai manifestasi prmer penderita TB
atau komplikasi
Untuk memastikan apakah seseorang kemasukan virus HIV, ia harus
memeriksakan darahnya dengan tes khusus dan berkonsultasi dengan dokter. Jika dia
positif mengidap AIDS, maka akan timbul gejala-gejala yang disebut degnan ARC
(AIDS Relative Complex) Adapun gejala-gejala yang biasa nampak pada penderita AIDS
adalah:
Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan satu
gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti kanker,malnutrisi
berat atau pemakaian kortikosteroid yang lama.
1. Gejala Mayor
- Penurunan berat badan lebih dari 10%
- Diare kronik lebih dari satu bulan
- Demam lebih dari satu bulan
2. Gejala Minor
- Batuk lebih dari satu bulan
- Dermatitis preuritik umum
- Herpes zoster recurrens
- Kandidias orofaring
- Limfadenopati generalisata
- Herpes simplek diseminata yang kronik progresif

- Penilaian Imunologi
Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam menilai
status imunitas odha dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan dalam
memberikan pengobatan ARV. Tes CD4 ini juga digunakan sebagai pemantau respon
terapi ARV. Namun yang penting diingat bahwa meski tes CD4 dianjurkan, bilamana
tidak tersedia, hal ini tidak boleh menjadi penghalang atau menunda pemberian terapi
ARV. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV. Pemeriksaan jumlah
limfosit total (Total Lymphocyte Count – TLC) dapat digunakan sebagai indikator fungsi
imunitas jika tes CD4 tidak tersedia namun TLC tidak dianjurkan untuk menilai respon
terapi ARV atau sebagai dasar menentukan kegagalan terapi ARV.8
Tabel 9. Stadium klinis HIV8
Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang
Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis
(<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas

I. Penatalaksanaan
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa
pegobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. 1
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral
(ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis,
toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih
baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan
dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan.
Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan,
harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.

J. Terapi Antiretroviral (ARV)


Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni:2
 Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti: zidovudin,
zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir
 Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti evafirens
dan nevirapin
 Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir,
amprenavir.
Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat
antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV meliputi
penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang
tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada
dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting
yang tidak boleh dilupakan ketika membuat keputusan untuk memulai terapi ARV.8
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus
memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara
seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau
manakala timbul gejala atau tanda klinis yang baru. Adapun terapi HIV-AIDS
berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10.8
Tabel 10. Terapi pada ODHA dewasa.8

Stadium Jika tidak tersedia


Bila tersedia pemeriksaan CD4
Klinis pemeriksaan CD4
1 Terapi ARV tidak diberikan
Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 <200 Bila jumlah total limfosit
2
<1200
Jumlah CD4 200 – 350/mm 3, pertimbangkan
terapi sebelum CD4 <200/mm3.
Pada kehamilan atau TB:
Terapi ARV dimulai tanpa
 Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil
3 memandang jumlah limfosit
dengan CD4 350
total
 Mulai terapi ARV pada semua ODHA
dengan CD4 <350 dengan TB paru atau
infeksi bakterial berat
Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah
4
CD4

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh,


TB paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang
menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam
berkepanjangan).
2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai belum
dapat ditentukan.
3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan
CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV
(Stadium II atau III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik.
Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh
diterapi karena pada saat ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan
sumber daya terbatas.
Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi
ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan
penyakit akan lebih cepat apabila terapi ARV dimulai pada saat CD4 < 200/mm3
dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia
sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3.
Waktu yang paling optimum untuk memulai terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200-
350/mm3 masih belum diketahui, dan pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu
pemantauan teratur secara klinis maupun imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada
pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu
hamil stadium klinis manapun dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk memulai
terapi ARV pada ODHA dewasa danremaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan
imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu
keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral load) tidak
dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi. 8

Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik
yang aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.
Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain
perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya diberikan
sesegera mungkin (AIII). Contohnya pada kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, demensia
terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada infeksi M.tuberculosis, penundaan pemberian
ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB dianjurkan untuk menghindari bias dalam
menilai efek samping obat dan juga untuk mencegah atau meminimalisir sindrom
restorasi imun atau IRIS. 8

K. Panduan Kombinasi Obat ARV


Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang
dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active Anti Retroviral Therapy atau
HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV. Semula, terapi
HIV menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun hanya
memberikan manfaat sementara yang akan segera diikuti oleh resistensi.4
WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa kombinasi
2 NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk NRTI adalah
AZT, lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan yang termasuk NNRTI adalah
nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFZ). ( Depkes RI, 2007) Adapun terapi kombinasi
untuk HIV/AIDS seperti pada tabel 11.
Tabel 11 : Terapi ARV.8

Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT +
3TC + NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat
menimbulkan anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan adalah
d4T + 3TC + NVP. Namun AZT lebih disukai daripada stavudin (d4T) oleh karena
adanya efek toksik d4T seperti lipodistrofi, asidosis laktat, dan neuropati perifer.
Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila NVP tidak dapat digunakan. Namun,
perlu kehati-hatian pada perempuan hamil karena EFZ tidak boleh diberikan (Depkes RI,
2007). Pemilihan ARV golongan NRTI tentunya dengan mempertimbangkan keuntungan
dan kekurangan masing-masing obat. Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak
dianjurkan seperti pada tabel 12.

Tabel 12. Pilihan obat ARV golongan NR.8


Tabel 13 mencoba menampilkan ringkasan mengenai keuntungan dan kerugian obat
ARV golongan ini.
Tabel 13 : Kombinasi ARV.8

PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa PI pada


awal terapi akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di Indoneesia di mana
sumber dayanya masih sangat terbatas. PI hanya dapat digunakan sebagai paduan lini
pertama (bersama kombinasi standar 2 NRTI) pada terapi infeksi HIV-2, pada perempuan
dengan CD4>250/ mm3 yang mendapat ART dan tidak bisa menerima EFV, atau pasien
dengan intoleransi NNRTI.
L. Sindrom Pemulihan Imunitas (immun reconstitution syndrome = IRIS)
Kumpulan tanda dan gejala akibat dari pulihnya system kekebalan tubuh selama
terapi ARV. Merupakan reaksi paradoksal dalam melawan antigen asing (hidup atau
mati) dari pasien yang baru memulai terapi ARV dan mengalami pemulihan respon imun
terhadap antigen tersebut. M. tuberkulosi merupakan sepertiga dari seluruh kasus IRIS.
Frekuensinya 10% dari seluruh pasien yang mulai terapi ARV dan 25% dari pasien yang
mulai terapi ARV dengan CD4 <50 / mm3. Berikut table pedoman tatalaksana IRIS di
Indonesia, seperti pada tabel 14.

Tabel 14: pedoman tatalaksana IRIS.8


M. Penatalaksanaan Infeksi Opurtunistik
Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan
tubuh. Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal dari
luar tubuh, maupun yang sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal
terkendali oleh kekebalan tubuh.4
Infeksi oportunistik dapat dihubungkan dengan tingkat kekebalan tubuh yang
ditandai dengan jumlah CD4 dan dapat terjadi pada jumlah CD4 < 200 sel/mm 3 ataupun
> 200 sel/mm3. Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati namun apabila
kekebalan tubuh tetap rendah maka infeksi oportunistik mudah kambuh kembali atau
juga dapat timbul oportunistik yang lain. Pada umumnya kematian pada odha disebabkan
oleh infeksi oportunistik sehingga infeksi ini perlu dikenal dan diobati. Dengan
penggunaan ARV peningkatan kekebalan tubuh ( CD4 ) dapat dicapai sehingga risiko
infeksi oportunistik dapat dikurangi. Terdapat banyak penyakit yang digolongkan infeksi
oportunistik seperti terlihat pada table 15.

Tabel 15. Infeksi Oportunistik/ Kondisi yang Sesuai dengan Kriteria Diagnosis AIDS.4
Cytomegalovirus (CMV) selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening
CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)
Ensefalopati HIV
Herpes simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronchitis, pneumonitis, atau
esofagitis
Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu
Isosporiasis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru
Kandidiasis esophagus
Kanker serviks invasif
Koksidioidomikosis, diseminata, atau ekstraparu
Kriptokokosis, ekstraparu
Kriptokosporidiosis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Leukoensefalopati multifocal progresif
Limfoma Burkitt
Limfoma imunoblastik
Limfoma primer pada otak
Mycobacterium avium complex atau M. kansasii, diseminata atau ekstraparu
Mycobacteriumi tuberculosis, di paru atau ekstraparu
Mycobacteriumi spesies lain atau tak teridentifikasi, di paru atau ekstraparu
Pneumonia Pneumocystis carinii
Pneumonia rekuren b
Sarkoma Kaposi
Septikemia Salmonella rekuren
Toksoplasmosis otak
Wasting syndrome c
a. Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang
mengganggu kerja atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan oleh
penyebab lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain
dilakukan pemeriksaan lumbal pungsi dan pemeriksaan pencitraan otak
(CT scan atau MRI)
b. Berulang lebih dari satu episode dalam 1 tahun
c. Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik
(minimal 2 kali selama > 30 hari), atau kelemahan kronik dan demam
lama (>30 hari, intermiten, atau konstan) tanpa dapat dijelaskan oleh
penyakit/ kondisi lain (missal kanker, tuberkulosis, enteritis spesifik)
selain HIV.

N. Pencegahan Infeksi Oportunistik


Pencegahan infeksi oportunistik atau profilaksis dapat dibagi dalam dua
kelompok besar yakni:2
1. Pencegahan primer, yakni upaya untuk mencegah infeksi sebelum infeksi terjadi.
Misalnya pemberian kotrimoksazol pada penderita yang CD4 < 200/mm 3 untuk
mencegah Pneumocystis carinii pneumonia (PCP). Pencegahan ini dapat mengurangi
risiko PCP.
2. Pencegahan sekunder, yaitu pemberian obat pencegahan setelah infeksi terjadi.
Contohnya setelah terapi PCP dengan kotrimoksazol diperlukan obat pencegahan
(dalam dosis yang lebih rendah) untuk mencegahan kekambuhan PCP yang telah
sembuh.
Jika kekebalan tubuh dengan indikator nilai CD4 meningkat maka risiko terkena infeksi
oportunistik berkurang sehingga obat pencegahan infeksi oportunistik dapat dihentikan.
Namun bila kekebalan menurun kembali obat infeksi oportunistik harus diberikan lagi.
Tabel berikut menampilkan secara ringkas pencegahan terhadap beberapa bentuk infeksi
oportunistik. Beberapa upaya profilaksis hanya dianjurkan bila penderita mampu seperti
vaksinasi pneumokok, hepatitis B dan hepatitis A.2
Tabel 18. Pencegahan infeksi oportunistik.1,2

Penyakit Mulai Obat yang digunakan


PCP 1o CD4 < 200, sariawan, TMP.SMX 1 DS/hari
pertimbangkan bila CD4 < 250 atau TMP.SMX 1 SS/ hari
CD4 % < 14

TB PPD > 5 ml INH 300mg/hari +


Kontak Positif Piridoksin

T. Gondii CD4 < 100


IGG Toksoplasma aviditas rendah TMP.SMX 1 DS/hari

S. pneumoniae CD4 > 200 Vaksinasi pneumovax

Hepatitis B Anti HBs (-) Vaksinasi Hepatitis B


HBs Ag(-)

Hepatitis A Anti HAV (-) Vaksinasi Hepatitis A


Risiko paparan tinggi (IDU, MSM, dll)

BAB III
KESIMPULAN
 AIDS adalah kumpulan gejala atau penyakit yang diakibatkan karena penurunan
kekebalan tubuh akibat adanya infeksi oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV)
yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.
 Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan
banyak Negara di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang
terbebas dari HIV.
 Pada tahun 2009, jumlah odha diperkirakan mencapai 33,3 juta orang, dengan
sebangian besar penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta penderita adalah
perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak. perkembangan epidemi HIV di
Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.
 Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi melalui
mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah
melalui jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui komponen darah yang
terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin.
 Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena
virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+
berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga
bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun
yang progresif.
 Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga
satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.
Sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50%
berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun
hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan
kemudian meninggal
 Diagnosis ditegakkan dengan Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan
HIV , pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu
dilakukan pada setiap odha saat kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal
ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai
pemeriksaan fisik dan laboratorium, memastikan pasien memahami tentang
infeksi HIV, dan untuk menentukan tata laksana selanjutnya.
 Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral
(ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis,
toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih
baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan
dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan.
 Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni: nucleoside
reverse transcriptase inhibitors (NRTI) , non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitors (NNRTI), dan protease inhibitors (PI).
 Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT +
3TC + NVP

DAFTAR PUSTAKA
1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

2. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar.


Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.

3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and related
disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL, Jameson
JL. editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. The United States
of America: McGraw-Hill

4. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z,


editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2005.

5. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2009 March 10]. Available
at url: http://www.aidsindonesia.or.id

6. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

7. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib AA,


Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV infection in
infants and children in Indonesia: current challenges in management. Jakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2009

8. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi


HIV pada orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan 2007
9. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010: executive
summary. Geneva. 2010.

10. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2009 April 8]; Available
from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040

Anda mungkin juga menyukai