Anda di halaman 1dari 5

PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL PADA KASUS BALITA

GIZI BURUK DI KOTA BANDUNG TAHUN 2018


Bela Gustinar1
Mahasiswa Program Studi Statistika FMIPA Universitas Padjadjaran1
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran
e-mail: bela18001@mail.unpad.ac.id1

Abstrak
Gizi buruk merupakan suatu kondisi kekurangan gizi pada tingkatan yang sudah berat, dimana status
gizinya berada jauh di bawah standar. Banyak hal yang melatarbelakangi kejadian gizi buruk, meliputi
kurangnya ketersediaan pangan dan penyakit infeksi, pola asuh yang tidak memadai serta masih
rendahnya akses pada kesehatan lingkungan dan perilaku hidup bersih dan pola asuh yang tidak
memadai serta masih rendahnya akses pada kesehatan lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat.
Tercatat sekitar sepertiga dari populasi balita yang ada di negara-negara berkembang mengalami
masalah gizi buruk. Berdasarkan hasil uji Indeks Moran menunjukkan adanya efek dependensi spasial.
Uji Lagrange Multiplier depedensi spasial terjadi pada LMSARMA sehingga Spatial Autoregressive
Moving Average (SARMA) adalah model yang paling cocok digunakan dalam pemodelan. Jumlah
Posyandu (X1) merupakan variabel yang berprengaruh secara signifikan terhadap angka kasus Balita
Gizi Buruk di Kota Bandung.

Pendahuluan mengkhawatirkan mengingat anak-anak ialah


generasi penerus bangsa.
Gizi buruk merupakan suatu kondisi
kekurangan gizi pada tingkatan yang sudah Banyak hal yang melatarbelakangi kejadian
berat, dimana status gizinya berada jauh di gizi buruk, meliputi kurangnya ketersediaan
bawah standar. Gizi buruk akan terjadi jika pangan dan penyakit infeksi, pola asuh yang
kebutuhan tubuh akan kalori, protein, atau tidak memadai serta masih rendahnya akses
bahkan keduanya tidak tercukupi. Gizi buruk pada kesehatan lingkungan dan perilaku hidup
berpeluang untuk menyerang siapa saja, bersih dan sehat. Masalah sosial-ekonomi juga
terutama bayi dan anak-anak yang tengah turut memberikan andil, di antaranya adalah
berada pada masa pertumbuhan. kemiskinan. Kemiskinan merupakan alasan
tidak tercukupinya asupan gizi serta
Gizi buruk merupakan masalah yang masih ketidakmampuan untuk mengakses fasilitas
menjadi perhatian utama hingga saat ini, kesehatan. Selain itu, faktor biologi dan
terutama di negara-negara berkembang. lingkungan juga ikut berpengaruh (Arisman,
Tercatat sekitar sepertiga dari populasi balita 2007)
yang ada di negara-negara berkembang
mengalami masalah gizi buruk. Jika dapat Sumber Data
bertahan hingga dewasa, mereka akan beresiko
Data yang digunakan dalam penelitian ini
mengalami perkembangan kognitif yang buruk
merupakan data sekunder yang diperoleh dari
dan produktivitas yang rendah (Smith dan
Portal Data Kota Bandung
Haddad, 2000). Yang lebih buruk, gizi buruk
(http://data.bandung.go.id/beta/index.php/porta
dapat menyebabkan kematian. Hal ini cukup
l/dataset) mengenai kasus Balita Gizi Buruk di
Kota Bandungm pada tahun 2018 dengan unit
observasi sebanyak 30 kecamatan di Bandung. Variabel Keterangan
Data yang digunakan dalam penelitian ini Y Balita Gizi Buruk
adalah data Balita Gizi Buruk sebagai variabel X1 Jumlah Posyandu
independen dan data Jumlah Posyandu, Bayi X2 Bayi Lahir dengan Berat
Lahir dengan Berat Badan Rendah dan Badan Rendah
Kepadatan Penduduk sebagai variabel X3 Kepadatan Penduduk
dependen.

Hasil dan Pembahasan


A. Statistika Deskriptif

Tabel 1. Statistika Deskriptif


Balita Gizi Jumlah Bayi Lahir dengan Berat Kepadatan Penduduk
Buruk Posyandu Badan Rendah (jiwa/ha)
Median 31 67.5 20.5 138
Minimum 6 26 1 39
Maksimum 326 110 154 392
Mean 43.2 66.1 29.63 154.6
Simpangan baku 61.32 22.3 32.3 76.03

Berdasarkan Tabel 1, Jumlah Balita Gizi Buruk terendah ada di lima kecamatan sebanyak 12
dan tertinggi di Cicwndo sebanyak 326 dengan rata-rata sebesar 43,2. Kemudian untuk jumlah
posyandu terendah di Bandung Wetan sebanyak 26 dan tertinggi di Batununggal sebanyak 110 dengan
rata-rata 66,1. Kemudian untuk Bayi Lahir dengan Berat Badan Rendah terendah di Gedebage sebesar
1 dan tertinggi di Buahbatu sebesar 154 dengan rata-rata 29,63. Kemudian untuk kepadatan
penduduk terendah di Gedebage sebesar 39 dan tertinggi di Bojongloa Kaler sebesar 392 dengan rata-
rata 154,5.

B. Peta Kota Bandung

Gambar 1. Peta Kota Bandung Menurut Kecamatan


Model Regresi Ordinary Least Square (OLS)
Tabel 2. Estimasi OLS
Estimate Std. Error t-value p-value
(Intercept) -11.5977 35.8691 -0.323 0.0749
X1 1.3645 0.6363 2.144 0.0415
X2 0.1443 0.3462 0.417 0.6802
X3 -0.2566 0.1880 -1.365 0.1840

Berdasarkan tabel 2, diperoleh regresi linear berganda melalui pendekatan OLS dan dengan
taraf signifikansi sebesar 10% terdapat satu variabel independen yang signifikan yaitu jumlah
posyandu (X1). Sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut:

𝒚 = −𝟏𝟏. 𝟓𝟗𝟕𝟕 + 𝟏. 𝟑𝟔𝟒𝟓𝑿𝟏


Uji Autokorelasi Spasial Secara Global
Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh spasial atau lokasi pada model, akan dilakukan uji korelasi
spasial. Salah satu cara untuk melakukan uji dependensi spasial adalah dengan menggunakan Indeks
Moran.
Tabel 3. Moran’s Index
Moran’s I Expectation p-value
0.13542330 -0.04348015 0.05053
Berdasarkan tabel 3, diperoleh nilai p-value sebesar 0.05053 < ∝= 0,1 maka H0 ditolak yang
artinya dengan taraf signifikan 10% angka kasus Balita Gizi Buruk di Kota Bandung Tahun 2018
terindikasi mengandung autokorelasi antara lokasi (spasial). Sehingga analisis spasial dapat dilakukan.

Uji Autokorelasi Spasial Secara Lokal

Gambar 2. Peta signifikansi LISA


Berdasarkan Gambar 2, menunjukan bahwa dengan taraf signifikansi 10% diperoleh Buah Batu,
Antapani, Arcamanik, dan Mandalajati terdapat autokorelasi spasial. Hal ini menggambarkan bahwa
angka kasus Balita Gizi Buruk di 4 kecamatan tersebut memiliki keterkaitan secara spasial (lokasi)
dengan angka kasus Balita Gizi Buruk di kecamatan sekitar yang letaknya berdekatan.

Tabel 4. Karakteristik Spatial Weight Matrix


Characteristics of weights list object:
Neighbour list object:
Number of regions: 30
Number of nonzero links: 140
Percentage nonzero weights: 15.55556
Average number of links: 4.666667
Berdasarkan tabel 4 menunjukan karakteristik Matriks bobot spasial menggunakan pendekatan
Queen dari 30 wilayah di Kota Bandung terdapat 140 hubungan (tidak nol)

Gambar 3. Peta Plot Residual


Model Regresi Spasial
Tabel 5. Uji LM Autokorelasi Spasial
Statistics p-value Keterangan
LM Error 1.3248 0.2497 H0 diterima
LM Lag 1.1757 0.2782 H0 diterima
Robust LM Error 0.16907 0.0609 H0 ditolak
Robust Lm Lag 0.019903 0.8878 H0 diterima
SARMA 1.3447 0.0510 H0 ditolak
Berdasarkan tabel 5, terlihat bahwa LMSARMA tolak H0 maka terdapat dependensi spasial lag dan
error sehingga data perlu dimodelkan dengan SARMA.

Tabel 6. Estimasi Spatial Autoregressive Moving Average (SARMA) Model


Estimate Std.Error z-value p-value
𝜌 0.20616 5.0861 0.040535 0.96767
𝜆 0.2115 5.0755 0.041671 0.96676
(Intercept) -10.48777 114.52194 -0.0916 0.92703
X1 1.34116 0.57752 2.3223 0.02022
Berdasarkan table 6, diperoleh estimasi parameter menggunakan SARMA dan didapatkan hanya
variable X1 yang berpengaruh signifikan terhadap model karena memiliki nilai p-value < ∝= 0,1.
Sehingga diperoleh persamaan model berikut.
𝑛 𝑛

𝑦̂𝑖 = 0,20616 ∑ 𝑤𝑖𝑗 𝑦𝑗 − 10,48777 + 1,34116𝑋3 + 0,2115 ∑ 𝑤𝑖𝑗 𝜀𝑗


𝑗=1 𝑗=1

Dengan 𝑤𝑖𝑗 adalah pembobot queen contiguity dan 𝜀𝑗 adalah galat spasial dari tetangga kecamatan
ke-i.
Kesimpulan
Dari hasil analisis yang diperoleh dapat disimpulkan dari data angka kasusu Balita Gizi Buruk di Kota
Bandung pada tahun 2018 hanya variable jumlah Posyandu yang berpengaruh signifikan terhadap
model. Kemudian terdapat keterkaitan spasial karakteristik antar wilayah sehingga model dengan
memasukkan efek spasial akan lebih baik sehingga digunakan pendekatan model regresi spasial.
Sehingga didapatkan bahwa Spatial Autoregressive Moving Average (SARMA) merupakan model yang
terbaik dan diperoleh model sebagai berikut:
𝑛 𝑛

𝑦̂𝑖 = 0,20616 ∑ 𝑤𝑖𝑗 𝑦𝑗 − 10,48777 + 1,34116𝑋3 + 0,2115 ∑ 𝑤𝑖𝑗 𝜀𝑗


𝑗=1 𝑗=1

Koefisien 𝜆 menunjukkan adanya hubungan Angka Kasus Balita Gizi Buruk pada suatu wilayah dengan
wilayah lainnya yang berdekatan. Jika variabel jumlah posyandu (𝑋1) bertambah satu satuan dengan
asumsi factor lain dianggap konstan, maka akan meningkatkan angka kasus Balita Gizi Buruk (𝑦̂𝑖 )
sebesar 1,34116.

DAFTAR PUSTAKA
jaya, I Gede Nyoman Mindra. dkk. (2019). Spatial Disease Modeling of Diarrhae in the City of Bandung,
Indonesia. Sumedang : Departemen Statistika Universitas Padjadjaran.

Revildy, Windy David. dkk. (2018). PEMODELAN SPATIAL ERROR MODEL (SEM) ANGKA PREVALENSI
BALITA PENDEK (STUNTING) DI INDONESIA TAHUN 2018: Departemen Statistika Universitas
Padjadjaran

Retno Ambarwati dkk.2017. Pemodelan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Balita Gizi Buruk di
Provinsi Jawa Barat Tahun 2017 dengan Pendekatan Spatial Autoregressive Model (SAR). Jakarta:
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Portal Data Kota Bandung. Tersedia di (http://data.bandung.go.id/beta/index.php/portal/dataset)


diakses 23 mei 2020.

Anda mungkin juga menyukai