Anda di halaman 1dari 12

PEMODELAN REGRESI PROBIT SPASIAL PADA PREVALENSI STUNTING

DI PULAU SULAWESI

Melinda Sari, Junaidi2, Mohammad Fajri 3


1
Mahasiswa Program Studi Statistika Universitas Tadulako
2,3
Dosen Program Studi Statistika Universitas Tadulako

ABSTRACT

Stunting is a chronic nutritional problem that arises as a result of malnutrition that lasts
quite a long time. The percentage of stunting prevalence at four provinces in Sulawesi
Island is the highest prevalence rate in Indonesia along with six other provinces. In this
study, stunting prevalence at Sulawesi Island was categorized into two categories based on
the average value of stunting prevalence child under five years at Sulawesi Island.
Statistical analysis that used for categorical data of response variable was probit model. The
probit regression model used in this study that considers spatial effect is called spatial
probit regression model with the Expectation-Maximization (EM) Algorithm method. The
results obtained using the spatial probit regression model is given as follows:

(∑ )
81
¿ ¿
^y =−1,9419+0,1023
i wij y i +0,0883 X 6 i+ ε i
i =1 , j ≠i

Predictor variables that is significant in forming spatial probit regression model against
stunting prevalence is prevalence of under-five malnutrition. The accuracy rate is 74,07%.

Keywords: EM, Accuracy, Spatial Probit Regression, Stunting


1. PENDAHULUAN
Permasalahan gizi di Indonesia berdampak serius terhadap kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM). Masalah gizi yang menjadi perhatian utama adalah masih tingginya
prevalensi anak balita pendek atau kerdil (stunting). Stunting pada balita dapat
menyebabkan menurunnya produktivitas dan kualitas sumber daya manusia Indonesia di
masa mendatang. Stunting merupakan masalah kurang gizi kronis yang disebabkan asupan
gizi yang kurang dalam waktu cukup lama sebagai akibat dari pemberian makanan yang
tidak sesuai dengan kebutuhan gizi yang diperlukan (Awaludin, 2019). Hasil Riset
Kesehatan Dasar tahun 2010 menunjukkan stunting mencapai 35,6% dan tahun 2013
mencapai 37,2 %. Pada Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2015 sebesar 29% dan tahun
2017 sebesar 29,6 %, menunjukan prevalensi stunting masih tinggi dan tidak menurun
mencapai batas ambang WHO (World Health Organization) (Awaludin, 2019). Provinsi
dengan angka prevalensi stunting tertinggi di Indonesia, yakni Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Aceh, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah (BPMI, 2020).
Presentase prevalensi stunting di empat Provinsi di Pulau Sulawesi menjadi angka
prevalensi tertinggi di Indonesia bersama enam Provinsi lainnya. Sehingga dilakukan
penelitian mengenai prevalensi stunting di Pulau Sulawesi yang dikategorikan menjadi dua
kategori berdasarkan nilai rata-rata prevalensi stunting balita di Pulau Sulawesi.
Analisis statistik yang dapat menjelaskan hubungan antara variabel respon dan
variabel bebas dimana variabel respon berupa data kualitatif atau kategori yaitu model
probit (Gujarati, 2004). Penerapan model probit dengan pengaruh wilayah disebut spasial
yang dimana pada data spasial ada kecenderungan untuk terjadinya ketergantungan antar
daerah yang berdekatan. Salah satu metode estimasi parameter yang digunakan untuk
mendapatkan penaksir parameter pada model regresi probit spasial adalah Maximum
Likelihood Estimator (MLE). Bentuk dari fungsi ln likelihood yang didapatkan diselesaikan
menggunakan Algoritma Ekspektasi-Maksimalisasi (EM). Algoritma EM terdiri dari dua
tahap yaitu tahap ekspektasi dan tahap maksimalisasi (McMillen, 1992).
Penelitian sebelumnya yang menggunakan regresi probit spasial dilakukan oleh
Fahmi tahun 2016. Penelitian tersebut berkaitan dengan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) di Jawa Timur. Diperoleh kesimpulan bahwa berdasarkan model regresi probit
spasial didapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi IPM di Jawa Timur adalah persentase
penduduk miskin, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan laju pertumbuhan PDRB atas harga
konstan. Penelitian mengenai risiko kejadian stunting pada balita 12-59 bulan di Kota Palu
telah dilakukan sebelumnya oleh Agustia pada tahun 2018 yang menyimpulkan bahwa
pemberian ASI eksklusif, riwayat penyakit infeksi dan status imunisasi tidak lengkap
merupakan faktor risiko kejadian stunting. Pada penelitian ini, akan dilakukan penerapan
metode Regresi Probit Spasial pada prevalensi stunting di Pulau Sulawesi tahun 2018.

2. METODE
2.1 Lokasi Penelitian
Lokasi dan tempat penelitian di Laboratorium Statistika Terapan Program Studi
Statistika Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Tadulako.

2.2 Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari
Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) tahun 2018 dengan variabel respon
terbagi menjadi 2 kategori, yaitu sebagai berikut:
0 = Rendah, jika prevalensi stunting ≤ 32,68
1 = Tinggi, jika prevalensi stunting >32,68
2.3 Metode Analisis
1. Melakukan analisis deskriptif masing-masing variabel sebagai gambaran awal
prevalensi stunting di Pulau Sulawesi.
2. Pemenuhan uji asumsi normalitas menggunakan uji Shapiro-Wilk dan uji
multikolinearitas dengan melihat kriteria VIF, apabila melanggar akan dilakukan
transformasi.
3. Membuat matriks pembobot antar lokasi dengan menggunakan queen contiguity
untuk model probit spasial.
4. Menguji efek spasial yaitu uji dependensi spasial dengan uji Lagrange Multiplier dan
uji heterogenitas spasial dengan uji Breusch-Pagan.
5. Pembentukan model probit spasial dengan melakukan estimasi parameter dan
pengujian hipotesis parsial kemudian hasil diinterpretasi.
6. Menghitung ketepatan klasifikasi antara data observasi dan data prediksi.
7. Membuat kesimpulan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Statistika Deskriptif
Pulau Sulawesi terdiri dari enam Provinsi dengan 81 kabupaten/kota. Dalam
penelitian ini prevalensi stunting dikategorikan berdasarkan rata-rata jumlah kasus
penderita menjadi 2 kategori, yaitu tinggi dan rendah. Dari kedua kategori tersebut,
terdapat 39 kabupaten/kota yang tergolong ke kategori rendah dan 42 kabupaten/kota
yang tergolong ke kategori tinggi, atau secara presentase dapat dilihat bahwa 48,15%
berkategori rendah dan 51,85% berkategori tinggi. Persebaran prevalensi stunting di
Pulau Sulawesi menurut kabupaten/kota pada tahun 2018 disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Peta Persebaran Prevalensi Stunting Menurut Kabupaten/Kota di Pulau


Sulawesi Tahun 2018
3.2 Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah nilai residual berdistribusi normal.
Hipotesis pada uji normalitas sebagai berikut:
H 0 : data sisaan berdistribusi normal
H 1 : data sisaan tidak berdistribusi normal

Uji normalitas menggunakan uji Shapiro-Wilk dengan hasil uji sebagai berikut.

Tabel 1 Hasil Uji Normalitas


Shapiro-Wilk p-value
0,99195 0,8993

Berdasarkan Tabel 1 diperoleh bahwa nilai p-value ¿ 0,05(α ) yang berarti terima H 0
atau data sisaan berdistribusi normal.

3.3 Uji Multikolinearitas


Uji multikolinieritas dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya korelasi yang tinggi
antara imunisasi dasar lengkap (X1), proporsi desa yang mempunyai kecukupan
posyandu (X2), balita memperoleh PMT (X3), prevalensi diare balita (X4), prevalensi
ISPA balita (X5) dan prevalensi gizi buruk balita (X6). Hipotesis pada uji
Multikolinearitas sebagai berikut:

Tidak terjadi multikolinearitas, jika nilai VIF < 10


Terjadi multikolinearitas, jika nilai VIF ≥ 10

Uji multikolinieritas menunjukkan nilai Variance Inflation Factor (VIF) dengan hasil
uji sebagai berikut.

Tabel 2 Hasil Uji Multikolinearitas


Variabel X1 X2 X3 X4 X5 X6
Nilai VIF 1,061 1,043 1,089 1,098 1,022 1,114

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa variabel X1, X2, X3, X4, X5 dan X6 memiliki
nilai VIF < 10, sehingga dapat dikatakan tidak terjadi masalah multikoliniearitas pada
variabel bebas.
3.4 Penentuan Matriks Bobot Spasial
Penggunaan bobot queen contiguity didasarkan pada wilayah kabupaten/kota di Pulau
Sulawesi yang tidak simetris, sehingga pengamatan pada setiap wilayah yang
bersisian atau bagian sudutnya bertemu dengan wilayah lain maka bobot akan bernilai
satu dan wilayah lain diberi nilai nol. Penentuan matriks pembobot queen contiguity
sesuai Gambar 2 berikut.

Gambar 2 Penentuan Pembobot Queen Contiguity

Berdasarkan Gambar 2 wilayah berwarna Hijau Tua merupakan kabupaten Mamuju


sedangkan yang berwarna putih merupakan tetangga yang bersinggungan baik sisi
dan sudutnya yaitu wilayah kabupaten Mamuju Tengah, kabupaten Luwu Utara,
kabupaten Toraja Utara, kabupaten Tana Toraja, kabupaten Mamasa dan kabupaten
Majene. Selanjutnya enam kabupaten yang merupakan tetangga diberi nilai satu dan
untuk kabupaten lainnya diberi nilai nol. Dari penjelasan tersebut diperoleh susunan
matriks pembobot spasial queen contiguity dengan 81 kabupaten/kota yang disajikan
pada Lampiran 8, sebagai berikut:

1 2 3 4 5 ⋯ 79 80 81
[ ]
1 0 0 0 0 1 ⋯ 0 0 0
2 0 0 0 0 1 ⋯ 0 0 0
3 0 0 0 0 0 ⋯ 0 0 0
4 0 0 0 0 0 ⋯ 0 0 0
5 1 1 0 0 0 ⋯ 0 0 0
⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋱ ⋮ ⋮ ⋮
79 0 0 0 0 0 ⋯ 0 0 1
80 0 0 0 0 0 ⋯ 0 0 1
81 0 0 0 0 0 ⋯ 1 1 0

3.5 Uji Efek Spasial


3.5.1 Dependensi Spasial
Statistik uji Lagrange digunakan untuk menentukan bentuk dari model regresi
spasial. Untuk melihat ada atau tidaknya efek korelasi Spatial Lag, digunakan
hipotesis:
H 0 : ρ=0 (tidak ada dependensi spasial lag)
H 1 : ρ≠ 0 (ada dependensi spasial lag)

Untuk melihat ada atau tidaknya efek korelasi Spatial Error, digunakan hipotesis:
H 0 : λ=0 (tidak ada dependensi spasial error)
H 1 : λ ≠ 0 (ada dependensi spasial error)

Uji dependensi spasial menggunakan uji Lagrange Multiplier atau LM-lag Test
dengan hasil pengujian dependensi spasial sebagai berikut.

Tabel 3 Hasil Uji Dependensi Spasial


Uji Dependensi Spasial Lagrange Multiplier (Value) p-value
LMlag 7,8843 0,0049
LMerr 7,7947 0,0052
RLMlag 4,3706 0,0365
RLMerr 4,2811 0,0385

Berdasarkan Tabel 3 diperoleh nilai p-value LM lebih kecil dari α (0,05), sehingga
disimpulkan tolak H 0. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat dependensi spasial lag
dan dependensi spasial error. Namun, nilai RLMlag lebih besar dibandingkan dengan
nilai RLMerr, maka akan dilakukan analisis probit spasial dengan bentuk model
Spatial Autoregressive (SAR) probit.
3.5.2 Uji Heterogenitas Spasial
Efek heterogenitas spasial disebabkan karena efek random wilayah akibat dari
perbedaan karakteristik antara wilayah satu dengan wilayah lain yang menjadi
wilayah pengamatan. Untuk melihat adanya keragaman dalam varians error,
dilakukan pengujian heterogenitas menggunakan uji Breusch-Pagan (BP) dengan
hipotesis sebagai berikut:
2 2 2 2 2 2 2
H 0 : σ 1=σ 2=σ 3=σ 4=σ 5=σ 6=σ (homoskedastisitas)
H 1 : minimal ada satu σ 2i ≠ σ 2, dengan i=1,2,3,4,5,6 (heterokedastisitas)
Uji heterogenitas spasial menggunakan uji Breusch Pagan dengan hasil uji sebagai
berikut.

Tabel 4 Hasil Uji Heterogenitas Spasial


Uji Heterogenitas Spasial Nilai BP p-value
Uji Breusch Pagan 4,6676 0,5871

Berdasarkan Tabel 4 diperoleh nilai p-value sebesar 0,5871 lebih besar dari α (0,05),
sehingga dapat disimpulkan terima H 0 yang artinya tidak ada gejala
heterokedastisitas dalam model (homoskedastisitas).

3.6 Pengujian Parameter Parsial


Pengujian parameter model regresi probit spasial dilakukan secara parsial untuk
menentukan layak atau tidaknya suatu variabel prediktor dimasukkan ke dalam
model, digunakan statistik uji Wald dengan hipotesis sebagai berikut:
H 0 : β k =0
H 1 : βk ≠ 0, untuk k =1,2,3,4,5,6.

Pengujian parameter spasial menggunakan uji Wald menunjukkan hasil sebagai


berikut.

Tabel 5 Uji Parsial Regresi Probit Spasial


Variabel Koefisien Std. Error Wald p-value
Konstanta -1,9419 0,8907 -2,1801 0,0293
X1 -0,0090 0,0105 -0,8597 0,3900
X2 0,0090 0,0047 1,9026 0,0571
X3 0,0073 0,0105 0,6950 0,4870
X4 0,0017 0,0414 0,0417 0,9668
X5 -0,0019 0,0521 -0,0369 0,9706
X6 0,0883 0,0258 3,4177 0,0006

Berdasarkan Tabel 5, bahwa nilai mutlak statistik uji W pada variabel X6 (prevalensi
gizi buruk balita) lebih besar dari nilai tabel |Z 0,05/ 2|=1,96 atau dapat dilihat dari nilai
p-value pada masing-masing variabel bebas yang nilainya kurang dari α ( 0,05 ) ,
sehingga keputusan yang diambil adalah tolak H 0. Dengan demikian variabel yang
signifikan terhadap prevalensi stunting adalah X6 (prevalensi gizi buruk balita).
3.7 Model Regresi Probit Spasial
Berdasarkan pengujian signifikansi parameter secara parsial pada Tabel 5, maka
dibentuk model regresi probit spasial dengan menggunakan nilai koefisien regresi
yang signifikan sebagai berikut:

( )
81
^y ¿i =−1,9419+0,1023 ∑ wij y ¿i +0,0883 X 6 i+ ε i
i =1 , j ≠i

Model SAR probit yang dimiliki oleh masing-masing kabupaten/kota di Pulau


Sulawesi berbeda-beda. Sebagai contoh Kota Palu yang berbatasan dengan
Kabupaten Donggala, Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi mempunyai
model SAR probit sebagai berikut:
¿ ¿ ¿ ¿
^y Palu=−1,9419+0,1023 ( y Donggala + y Parigi Moutong + y Sigi )
+0,0883 X 6 Palu
Dari model diatas dapat dihitung nilai prediksi probabilitas dengan prediksi
probabilitas untuk pengamatan y i=1 pada model prevalensi stunting untuk wilayah
kabupaten/kota di Pulau Sulawesi adalah sebagai berikut:

( )
−1
( I −0,1023W ) Xβ
P ( y i=1| X ,W ij y ) =Φ
¿
i
¿
Ωii

jika dicari nilai prediksi probabilitas Kota Palu, dimana Kota Palu berada pada i=28 .
Maka probabilitas y i=1 pada model prevalensi stunting untuk wilayah Kota Palu
adalah sebagai berikut:

P ( y Palu =1| X ¿i , W ij y ¿ ) =Φ
( ( I −0,1023 W )−1 Xβ
Ω28,28 )
¿ 0,6618
Nilai prediksi probabilitas Kota Palu sebesar 0,6618 menyatakan bahwa peluang Kota
Palu untuk tergolong menjadi kategori prevalensi stunting tinggi adalah sebesar
66,18%, sedangkan peluang Kota Palu untuk tergolong menjadi kategori prevalensi
stunting rendah adalah sebesar 33,82%. Berdasarkan perhitungan nilai probabilitas
Kota Palu tersebut, menunjukkan bahwa besarnya nilai prevalensi stunting juga
dipengaruhi oleh kabupaten/kota yang berada disekitar Kota Palu, antara lain
Kabupaten Donggala, Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi, dimana
wilayah tersebut sama-sama memiliki kategori prevalensi stunting tinggi menurut
prediksi probabilitasnya.

Berdasarkan hasil dari model SAR probit, kabupaten/kota yang tergolong dalam
kategori tinggi sebesar 43 kabupaten/kota, sedangkan untuk kategori rendah sebesar
38 kabupaten/kota. Berikut peta hasil prediksi klasifikasi prevalensi stunting yang
dihasilkan berdasarkan model SAR probit dari variabel bebas yang signifikan
menurut kabupaten/kota di Pulau Sulawesi tahun 2018.

Gambar 3 Peta Hasil Prediksi Prevalensi Stunting Menurut Kabupaten/Kota di Pulau


Sulawesi Tahun 2018

3.8 Ketepatan Klasifikasi


Tabel ketepatan klasifikasi atau confusion matrix digunakan untuk menggambarkan
ukuran ketepatan antara aktual dan prediksi. Melalui tabel ketepatan klasifikasi dapat
dihasilkan 3 ukuran umum yang digunakan untuk menilai kebaikan model dalam
melakukan pengklasifikasian, yaitu akurasi, sensitivitas dan spesifisitas. Tabel 6
merupakan confusion matrix yang digunakan pada penelitian ini.

Tabel 6 Tabel Confusion Matrix pada Prevalensi Stunting di Pulau Sulawesi Tahun
2018

Hasil Prediksi
Hasil Observasi
0 1
0 28 (TP) 11 (FN)
1 10 (FP) 32 (TN)

Berdasarkan Tabel 4.7 dapat dihitung nilai akurasi sesuai dengan Persamaan 2.31,
nilai sensitivitas sesuai dengan Persamaan 2.32 dan spesifisitasnya sesuai dengan
Persamaan 2.33 sebagai berikut:

TP+TN
Akurasi= × 100
TP+ TN+ FP+ FN
28+32
¿ ×100 %=74,07 %
28+32+10+111
TP
Sensitivitas= ×100 %
TP+ FN
28
¿ ×100 %=71,79 %
28+11
TN
Spesifisitas= ×100 %
TN + FP
32
¿ ×100 %=76,19 %
32+10

Dari hasil tersebut didapatkan nilai akurasi pada model adalah sebesar 74,07%, yang
berarti kemampuan model untuk mendeteksi secara benar seluruh objek yang diuji
adalah 74,07%. Nilai sensitivitas yang dihasilkan dari model adalah sebesar 71,79%,
yang berarti proporsi prevalensi stunting yang benar-benar berkategori rendah yang
juga diidentifikasi oleh model sebagai objek yang memiliki prevalensi stunting
berkategori rendah sebesar 71,79%. Sedangkan nilai spesifisitas yang dihasilkan dari
model adalah sebesar 79,19%, yang berarti proporsi prevalensi stunting yang benar-
benar berkategori tinggi yang juga diidentifikasi oleh model sebagai objek yang
memiliki prevalensi stunting berkategori tinggi sebesar 79,19%.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya maka diperoleh
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Model yang dihasilkan dengan menggunakan regresi probit spasial adalah sebagai
berikut:

(∑ )
81
¿ ¿
^y i =−1,9419+0,1023 wij y i +0,0883 X 6 i+ ε i
i =1 , j ≠i

Hasil prediksi klasifikasi prevalensi stunting dari model SAR probit diperoleh
kabupaten/kota yang tergolong dalam kategori tinggi sebesar 43 kabupaten/kota,
sedangkan untuk kategori rendah sebesar 38 kabupaten/kota dengan ketepatan
klasifikasi model adalah sebesar 74,07%.
2. Pemodelan regresi probit spasial pada penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi
gizi buruk balita (X6) secara signifikan mempengaruhi prevalensi stunting di Pulau
Sulawesi pada tahun 2018, sedangkan variabel lainnya yaitu imunisasi dasar lengkap
(X1), proporsi desa yang mempunyai kecukupan posyandu (X 2), balita memperoleh
PMT (Pemberian Makanan Tambahan) (X3), prevalensi diare balita (X4) dan
prevalensi ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) balita (X5) tidak berpengaruh
secara signifikan pada prevalensi stunting di Pulau Sulawesi pada tahun 2018.

DAFTAR PUSTAKA
Agustia, R., Rahman, N., & Hermiyanty, H. (2018). Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada
Balita Usia 12-59 Bulan Di Wilayah Tambang Poboya, Kota Palu. Ghidza: Jurnal
Gizi Dan Kesehatan, 2(2), 59–62.
Awaludin. (2019). Analisis Bagaimana Mengatasi Permasalahan Stunting Di Indonesia.
Jurnal Kedokteran, 35(4), 60.
[BPMI], Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden. (2020). Fokus Penurunan
Stunting di Sepuluh Provinsi. Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden.
Fahmi, E. F. F. El. (2016). Model Regresi Probit Spasial pada Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) di Jawa Timur. Doctoral Dissertation, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember.
Gujarati, D. N. (2004). Basic Econometrics 4th Edition. In Tata McGraw-Hill.
McMillen, D. P. (1992). Probit With Spatial Autocorrelation. Journal of Regional Science.

Anda mungkin juga menyukai