Anda di halaman 1dari 34

KONSEP GANGGUAN JIWA DALAM PPDGJ - III

KONSEP GANGGUAN JIWA DALAM PPDGJ - III

Istilah yang digunakan dalam PPDGJ adalah gangguan Jiwa atau gangguan
mental (mental disorder), tidak mengenal istilah penyakit Jiwa (mental
illness/mental desease)

PPDGJ-III mengelompokkan diagnosis gangguan jiwa ke dalam 100 katagori


diagnosis, mulai dari F 00 sampai dengan F 98.
F 99 – Gangguan Jiwa YTT (Yang Tidak Tergolongkan), yaitu untuk
mengelompokkan Gangguan Jiwa yang tidak khas.

Konsep Gangguan Jiwa dari PPDGJ II merujuk ke DSM-III, sedang PPDGJ-III


merujuk pada DSM-IV.

        Mental Disorder is conceptualized as clinically significant behavioural or


psychological syndrome or patern that occurs in an individual and that is
associated with present distress (eq., a painfull symptom) or disability (ie.,
impairment in one or more important areas of functioning) or with a significant
increased risk of suffering death, pain, disability, or an important loss of
freedom.

KONSEP DISABILITY
Konsep “ Disability” dari “ The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural
Disorder” :
          Gangguan kinerja (performance) dalam peran sosial dan pekerjaan, tidak
digunakan sebagai komponen esensial untuk diagnosis gangguan jiwa, oleh
karena itu hal ini berkaitan dengan variasi sosial-budaya yang sangat luas.
Yang dikatakan sebagai “disability” adalah keterbatasan/ kekurangan
kemampuan untuk melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari yang biasa dan
diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup (mandi, berpakaian,
makan, kebersihan diri, buang air besar dan kecil).
Dari Konsep tersebut diatas, dapat dirumuskan bahwa didalam KONSEP
GANGGUAN JIWA, di dapatkan butir-butir :
1. Adanya Gejala Klinis yang bermakna, berupa :
    -  Sindrom atau Pola Perilaku
    -  Sindrom atau pola psikologik
2. Gejala klinis tersebut menimbulkan penderitaan (distress), a.l berupa rasa
nyeri,tidak nyaman, tidak tenteram, terganggu, disfungsi organ tubuh, dll.
3. Gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” dalam aktivitas kehidupan,
sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan 
hidup (mandi, berpakaian, malan, kebersihan diri, dll)                               
DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
Tujuan dari diagnosis Multiaksial :

1.   Mencakup informasi yang komprehensif (Gangguan Jiwa, kondisi fisik umum,
masalah Psikososial dan lingkungan, taraf fungsi secara global), sehingga
dapat membantu dalam :
·       Perencanaan terapi
·       Meramalkan “outcome” atau prognosis

2.Format yang “mudah” dan “sistematik”, sehingga dapat  membantu dalam :


    *  Menata dan mengkomunikasikan informasi klinis
    *  Menangkap kompleksitas situasi klinis
    * Menggambarkan heterogenitas individual dengan diagnosis klinis yang sama.

3. Memacu penggunaan “Model bio-psiko-sosial” dalam klinis, pendidikan dan


penelitian

DIAGNOSIS MULTIAKSIAL TERDIRI DARI 5 AKSIS :

Aksis I            :       * Gangguan klinis


                                * Kondisi lain yang menjadi Fokus
                                   Perhatian klinis

Aksis II           :       * Gangguan kepribadian


                                * Retardasi Mental

Aksis III         :       * Kondisi Medik Umum

Aksis IV          :       * Masalah Psikososial dan lingkungan

Aksis V           :       * Penilaian fungsi secara global

 Catatan  :
Ø    Antara Aksis I, II, III tidak selalu harus ada hubungan etiologik atau patogenese

Ø    Hubungan antara “Aksis I-II-III” dan “Aksis IV” dapat timbal balik saling
mempengaruhi
AKSIS I
F00 – F09       Gangguan Mental Organik & Simtomatik
F19       Gangguan Mental & perilaku akibat zat psikoaktif
F29       Skizofrenia, Gangguan skizotipal & gangguan waham
F39       Gangguan suasana perasaan (afektif/mood)
F49       Gangguan neurotik, gangguan somatoform & gangguan terkait stress
F59       Sindrom perilaku karena gangguan fisiologis/ fisik
F68       Perubahan Kepribadian karena non organic, gangguan impuls, gangguan seks
F89       Gangguan Perkembangan Psikologis
F98       Gangguan perilaku & emotional onset kanak –remaja
              Gangguan Jiwa YTT  

AKSIS II

F60                  Gangguan Kepribadian khas


F60.0               Gangguan Kepribadian Paranoid
F60.1               Gangguan Kepribadian schizoid
F60.2               Gangguan Kepribadian dissosial
F60.3               Gangguan Kepribadian emosional tak stabil
F60.4               Gangguan Kepribadian histrionik
F60.5               Gangguan Kepribadian anankastik
F60.6               Gangguan Kepribadian cemas(menghindar)
F60.7               Gangguan Kepribadian dependen
F60.8               Gangguan Kepribadian khas lainnya
F60.9               Gangguan Kepribadian YTT
              Gangguan Kepribadian Campuran dan lainnya
              Gangguan Kepribadian Campuran
              Perubahan Kepribadian yang bermasalah
              Gambaran Kepribadian Maladaptif
              Mekanisme Defensi Maladaptif
F79        Retardasi Mental

AKSIS  III

I             A00 – B99         Penyakit infeksi dan  parasit  tertentu


II           C00 –D48 Neoplasma
IV          E00 – G90 Penyakit endokrin, Nutrisi, & metabolik
VI          G00 – G99        Penyakit susunan syaraf
VII        H00 – H59        Penyakit Mata & adneksa
VIII       H60 – H95        Penyakit telinga & Prosesus Mastoid
IX          I00 – I99   Penyakit sistem sirkulasi
X            J00 – J99  Penyakit sistem Pernafasan
XI          K00 – K93        Penyakit sistem Pencernakan
XII         L00 – L99 Penyakit kulit & jaringan subkutan
XIII       M00 – M99      Penyakit sistem musculoskeletal &
                                        Jaringan ikat
XIV       N00 – N99 Penyakit sistem genito-urinaria
XV         O00 – O99        Kehamilan, kelahiran anak & masa Nifas
XVII      Q00 – Q99        Malformasi congenital, deformasi, Kel.
XVIII    R00 – R99 Gejala, tanda & temuan klinis-lab.
XIX       S00 – T98 Cedera, keracunan & akibat kausa ekst
XX         V01 – V98 Kausa eksternal dari Morb. & mort.
XXI       Z00 – Z99 Faktor status kes. & Pelayanan kes
                 
                                     

AKSIS IV

Masalah dengan “Primary support group” (keluarga)


Masalah berkaitan dengan lingkungan sosial
Masalah Pendidikan
Masalah Pekerjaan
Masalah Perumahan
Masalah Ekonomi
Masalah Akses ke pelayanan Kesehatan
Masalah Berkaitan interaksi dengan hukum/kriminal
Masalah Psikososial & Lingkungan lain

AKSIS V

GLOBAL ASSESSMENT OF FUNCTIONING (GAF) SCALE


100 – 91    Gejala tidak ada, berfungsi maksimal, tidak ada masalah yang tak tertanggulangi.
90 – 81      Gejala minimal, berfungsi baik, cukup puas, tidak lebih dari masalah harian yang
biasa.
80 – 71      Gejala sementara & dapat diatasi, disabilitas ringan dalam sosial, pekerjaan,
sekolah dll.
70 – 61      Beberapa gejala ringan & menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara
umum masih baik.
60 – 51      Gejala sedang (moderate), disabilitas sedang.
50 – 41      Gejala berat (serious), disabilitas berat.
40 – 31      Beberapa disabilitas dalam hubungan dengan realita & komunikasi, disabilitas
berat dalam beberapa fungsi.
30 – 21      Disabilitas berat dalam komunikasi & daya nilai, tidak mampu berfungsi hampir
semua bidang.
20 – 11      Bahaya mencederai diri/orang lain, disabilitas sangat berat dalam komunikasi &
mengurus diri.
10 – 01      Seperti diatas => persisten & lebih serius.
          0       Informasi tidak adekuat.    

Klasifikasi dan Urutan Hierarki Blok Diagnosis gangguan Jiwa berdasarkan


PPDGJ-III

F.0.   Gangguan mental organik termasuk gangguan mental simtomatik


          F.00. –F. 03.                  Demensia
          F.04- F.07, F. 09           Sindrom Amnestik & Gangguan Mental Organik

F.1.   Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan alkhohol dan zat psikoaktif
lainnya.
          F.10.                                        Gangguan mental dan perilaku akibat 
                                                   Penggunaan alkhohol
          F.11, F.12, F.14.           Gangguan mental & perilaku akibat
                                                Penggunaan Opioida /kanabinoida/kokain
16.           Gangguan mental & perilaku akibat penggunaan
                                                Sedativa atau Hipnotika/stimulansia lain/
                                                Hallusinogenika
          F.17, F.18, F.19.           Gangguan Mental & perilaku akibat penggunaan
                                                Tembakau/pelarut yang mudah menguap/ zat
                                                Multiple & Zat psikoaktif lainnya  

           

F.2.   Skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham.


          F. 20, F.21, F.23.          Skizofrenia, Gangguan skizitipal, Psikotik                                                 
akut dan sementara
          F.22, F. 24                     Gangguan waham menetap, gangguan
                                                Waham terinduksi
          F. 25.                                       Gangguan Skizoafektif
          F. 28, F. 29                    Gangguan Psikoaktif non-organik lainnya
                                                Atau YTT

F.3.  Gangguan suasana perasaan (mood / afektif)


          F.30, F.31.                     Episode manik, Gangguan afektif bipolar
          F. 32-F.39.                    Episode depressif, Gangguan depressi
                                                Berulang, Gangguan suasana Perasaan
                                                (Mood/afektif) menetap/lainnya/YTT.

F. 4. Gangguan Neurotik, Gangguan somatoform, dan  gangguan terkait  stress


          F. 40, F.41.                  Gangguan anxietas, Fobik atau lainnya
          F. 42.                                       Gangguan Obsesif- kompulsif
          F. 43, F.45, F.48           Reaksi terhadap stres berat, & gangguan
penyesuaian, gangguan somatoform,
                                                Gangguan neurotik lainnya.
          F. 44.                                       Gangguan dissosiatif (konversi)
F. 5. Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor
fisik
          F.50- F.55, F.59            Gangguan makan, gangguan tidur, Disfungsi
                                                Seksual, atau gangguan perilaku lainnya

F. 6.     Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa


                 Gangguan kepribadian, gangguan kebiasaan danImpuls, gangguan identitas &
preferensi seksual

F. 7.   Retardasi Mental


          F. 70 –F.79.                            Retardasi Mental         

F. 8.   Gangguan Perkembangan Psikologis

          F.80- F.89                     Gangguan Perkembangan Psikologis

F. 9.  Gangguan Perilaku dan emosional dengan onset biasanya pada masa  anak dan
remaja
98                Gangguan Hiperkinetik, Gangguan tingkah laku, Gangguan emosional atau
gangguan fungsi sosial Khas, gangguan “tic”, atau gangguan perilaku &
Emosional lainnya.

OSTIK DARI PPDGJ – III

1.     Pedoman diagnostik disusun berdasarkan atas jumlah dan keseimbangan


gejala-gejala, yang biasanya ditemukan pada kebanyakan kasus untuk dapat
menegakkan suatu diagnosis pasti.

2.     Apabila syarat-syarat yang tercantum didalam pedoman diagnostik dapat


dipenuhi, maka diagnosis dapat dianggap pasti. Namun apabila hanya
sebagian saja terpenuhi, maka diagnosis masih bermanfaat direkam  untuk
berbagai tujuan. Keadaan ini sangat tergantung kepada pembuat diagnosis
dan para pemakai lainnya untuk menetapkan apakah akan merekam suatu
diagnosis pasti atau diagnosis dengan tingkat kepastian yang rendah.

3.     Deskripsi klinis dari pedoman diagnostik ini tidak mengandung implikasi
teoritis, dan bukan merupakan pernyataan yang komprehensif mengenai
tingkat pengetahuan yang mutahir dari gangguan tersebut. Pedoman ini hanya
merupakan suatu kumpulan gejala dan konsep yang telah disetujui oleh
sejumlah besar pakar dan konsultan dari berbagai negara, untuk dijadikan
dasar yang rasional dalam memberikan batasan terhadap kategori-kategori
diagnosis dan diagnosis gangguan jiwa.

4.     Disarankan agar para klinisi mengikuti anjuran umum untuk mencatat
sebanyak mungkin diagnosis yang mencakup seluruh gambaran klinis.
Bila mencantumkan lebih dari satu diagnosis, diagnosis utama diletakkan
paling atas dan selanjutnya diagnosis lain sebagai tambahan. Diagnosis utama
dikaitkan dengan kebutuhan tindakan segera atau tuntutan pelayanan
terhadap kondisi pasien saat ini atau tujuan lainnya. Bila terdapat keraguan
mengenai urutan untuk merekam beberapa diagnosis, atau pembuat diagnosis
tidak yakin tentang tujuan untuk apa informasi itu akan digunakan, agar
mencatat diagnosis menurut urutan numerik dalam klasifikasi.
    

         

         
GANGGUAN JIWA

          Gangguan jiwa merupakan kondisi terganggunya kejiwaan manusia


sedemikian rupa sehingga mengganggu kemampuan individu itu untuk
berfungsi secara normal didalam masyarakat maupun dalam menunaikan
kewajibannya sebagai insan dalam masyarakat itu.
(Dep Kes RI, 1997)
        Gangguan jiwa adalah perubahan perilaku yang terjadi tanpa alasan yang
masuk akal, berlebihan, berlangsung lama dan menyebabkan kendala
terhadap individu tersebut atau orang lain . ( Suliswati, 2005)

FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN JIWA

Gangguan jiwa  dipengaruhi oleh banyak faktor. Dalam diktat kuliah psikiatri,
Dr. dr. Luh Ketut Suryani mengungkapkan bahwa gangguan jiwa dapat terjadi
karena tiga faktor yang bekerja sama yaitu faktor biologik, psikologik, dan
sosiobudaya.

FAKTOR BIOLOGIK
Untuk membuktikan bahwa gangguan jiwa adalah suatu penyakit seperti
kriteria penyakit dalam ilmu kedokteran, para psikiater mengadakan banyak
penelitian di antaranya mengenai kelainan-kelainan neurotransmitter, biokimia,
anatomi otak, dan faktor genetik yang ada hubungannya dengan gangguan
jiwa.
Gangguan mental sebagian besar dihubungkan dengan keadaan
neurotransmitter di otak, misalnya seperti pendapat Brown et al, 1983, yaitu
fungsi sosial yang kompleks seperti agresi dan perilaku seksual sangat
dipengaruhi oleh impuls serotonergik ke dalam hipokampus.
Demikian juga dengan pendapat Mackay, 1983, yang mengatakan noradrenalin
yang ke hipotalamus bagian dorsal melayani sistem monoamine di
limbokortikal berfungsi sebagai pemacu proses belajar, proses memusatkan
perhatian pada rangsangan yang datangnya relevan dan reaksi terhadap stres.
Pembuktian lainnya yang menyatakan bahwa gangguan jiwa merupakan suatu
penyakit adalah di dalam studi keluarga.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa keluarga penderita gangguan afektif,
lebih banyak menderita gangguan afektif daripada skizofrenia (Kendell dan
Brockington, 1980),   skizofrenia erat hubungannya dengan faktor genetik
(Kendler, 1983). Tetapi psikosis paranoid tidak ada hubungannya dengan
faktor genetik, demikian pendapat Kender, 1981).

Walaupun beberapa peneliti tidak dapat membuktikan hubungan darah


mendukung etiologi genetik, akan tetapi hal ini merupakan langkah pertama
yang perlu dalam membangun kemungkinan keterangan genetik. Bila salah
satu orangtua mengalami skizofrenia kemungkinan 15 persen anaknya
mengalami skizofrenia.
Sementara bila kedua orangtua menderita, maka 35-68 persen anaknya
menderita skizofrenia, kemungkinan skizofrenia meningkat apabila orangtua,
anak dan saudara kandung menderita skizofrenia (Benyamin, 1976). Pendapat
ini didukung Slater, 1966, yang menyatakan angka prevalensi skizofrenia lebih
tinggi pada anggota keluarga yang individunya sakit dibandingkan dengan
angka prevalensi penduduk umumnya.

FAKTOR PSIKOLOGIK

Hubungan antara peristiwa hidup yang mengancam dan gangguan mental


sangat kompleks tergantung dari situasi, individu dan konstitusi orang itu. Hal
ini sangat tergantung pada bantuan teman, dan tetangga selama periode stres.
Struktur sosial, perubahan sosial dan tigkat sosial yang dicapai sangat
bermakna dalam pengalaman hidup seseorang.
Kepribadian merupakan bentuk ketahanan relatif dari situasi interpersonal
yang berulang-ulang yang khas untuk kehidupan manusia. Perilaku yang
sekarang bukan merupakan ulangan impulsif dari riwayat waktu kecil, tetapi
merupakan retensi pengumpulan dan pengambilan kembali.
Setiap penderita yang mengalami gangguan jiwa fungsional memperlihatkan
kegagalan yang mencolok dalam satu atau beberapa fase perkembangan
akibat tidak kuatnya hubungan personal dengan keluarga, lingkungan sekolah
atau dengan masyarakat sekitarnya. Gejala yang diperlihatkan oleh seseorang
merupakan perwujudan dari pengalaman yang lampau yaitu pengalaman masa
bayi sampai dewasa.

FAKTOR SOSIOBUDAYA
Gangguan jiwa yang terjadi di berbagai negara mempunyai perbedaan
terutama mengenai pola perilakunya. Karakteristik suatu psikosis dalam suatu
sosiobudaya tertentu berbeda dengan budaya lainnya. Adanya perbedaan satu
budaya dengan budaya yang lainnya, menurut Zubin, 1969, merupakan salah
satu faktor terjadinya perbedaan distribusi dan tipe gangguan jiwa.
Begitu pula Maretzki dan Nelson, 1969, mengatakan bahwa alkulturasi dapat
menyebabkan pola kepribadian berubah dan terlihat pada psikopatologinya.
Pendapat ini didukung pernyataan Favazza

(1980) yang menyatakan perubahan budaya yang cepat seperti identifikasi,


kompetisi, alkulturasi dan penyesuaian dapat menimbulkan gangguan jiwa.
Selain itu, status sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap terjadinya
gangguan jiwa Goodman (1983) yang meneliti status ekonomi menyatakan
bahwa penderita yang dengan status ekonomi rendah erat hubungannya
dengan prevalensi gangguan afaktif dan alkoholisma. (litbang)
http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2005/8/3/k4.htm

Konsep penyebab gangguan jiwa yang popular adalah kombinasi bio-psiko-


sosial. Gangguan jiwa disebabkan karena gangguan fungsi komunikasi sel-sel
saraf di otak, dapat berupa kekurangan maupun kelebihan neurotransmitter
atau substansi tertentu. Pada sebagian kasus gangguan jiwa terdapat
kerusakan organik yang nyata padas struktur otak misalnya pada demensia.
Jadi tidak benar bila dikatakan semua orang yang menderita gangguan jiwa
berarti ada sesuatu yang rusak di otaknya. Pada kebanyakan kasus malah
faktor perkembangan psikologis dan sosial memegang peranan yang lebih
krusial. Misalnya mereka yang gemar melakukan tindak kriminal dan
membunuh ternyata setelah diselidiki disebabkan karena masa perkembangan
mereka sejak kecil sudah dihiasi kekerasan dalam

rumah tangga yang ditunjukkan oleh bapaknya yang berprofesi dalam militer.
Jadi ilmu jiwa justru merupakan satu-satunya ilmu yang mengenali penyakit
medis secara komplet, yaitu dari segi fisik, pola hidup dan juga riwayat
perkembangan psikologis atau kejiawaan seseorang. Oleh karena itu
pengobatan ilmu kejiwaan juga bersifat menyeluruh, tidak sekedar obat minum
saja, tetapi meliputi terapi psikologis, terapi perilaku dan terapi
kognitif/konsep berpikir.
Setiap individu hendaknya mengetahui konsep-konsep tentang gangguan jiwa
dan pencegahannya. Mungkin saat ini cukup banyak masyarakat awam yang
rajin membaca rubrik kesehatan baik lewat tabloid maupun internet, tapi
sayangnya permasalahan gangguan jiwa kurang popular jika dibandingkan
masalah osteoporosis, hipertensi, penyakit jantung, stroke, makanan sehat
maupun kesehatan kulit. Padahal yang perlu diketahui, gangguan jiwa dapat
mengenai siapa saja. Apalagi di tengah kehidupan yang semakin dipenuhi
stressor seperti sekarang ini. Tahukah Anda bahwa profesi yang paling
banyak melakukan bunuh diri di USA itu justru dokter spesialis kejiwaan?

Oleh karena itu mempelajari ilmu kejiwaan adalah penting dan lebih penting
lagi untuk dapat mempraktekkan kiat-kita untuk mendapatkan jiwa yang sehat. 

Konsep yang perlu Anda pahami adalah ada 3 mekanisme pertahanan utama
jiwa kita untuk menolak terjadinya gangguan jiwa di tengah terpaan badai
kehidupan sebagaimanapun. Ketiga benteng jiwa yang sehat itu adalah
personality yang tangguh, persepsi yang positif (positif thinking) dan
kemampuan adaptasi. Kepribadian yang tangguh adalah hasil pembelajaran
selama proses perkembangan sejak kecil, dan tentunya hal ini didapatkan
dengan banyaknya asupan nilai-nilai yang ditanamkan di keluarga dan
disekolah serta didapatkan dari banyaknya pengalaman langsung. Nilai-nilai
hanya dapat berfungsi jika diterapkan langsung dalam keadaan nyata yaitu
dengan banyak bergaul baik dengan lingkungan benar maupun salah. Apabila
kita berani SAY YES di lingkungan yang benar dan SAY NO saat di lingkungan
salah, lama kelamaan kepribadian kita akan tangguh. Mengurung anak dengan
tujuan menghindarinya dari perkenalan dengan narkoba tidak menjamin
bahwa kemudian ia tidak terjebak narkoba, yang benar adalah menanamkan
nilai-nilai yang tangguh kepada si anak serta membiarkannya mengenal
narkoba. Kepribadiannya yang tangguh itu sendiri yang akan membuatnya
berani menolak narkoba seumur hidupnya.
Persepsi juga perlu sebagai benteng kejiwaan. Seseorang yang selalu
memandang peristiwa yang menimpanya dengan positif dan memandang hari
depannya dengan optimis maka ia memiliki jiwa

yang sehat. Persepsi positif diperlukan terutama menghadapi kegagalan-demi


kegagalan dalam hidup sehingga tidak membuat diri menjadi frustasi berlebih
maupun menyalahi diri sendiri bahkan bunuh diri.
Dan yang tidak kalah penting adalah kemampuan adaptasi karena segala
sesuatu dalam hidup ini potensial untuk berubah. Hari ini bisa hidup mapan,
tapi hari esok siapa tahu. Hari ini bisa bertemu kelompok orang yang asyik,
hari esok siapa yang dapat menjanjikan. Adaptasi akan membuat jiwa kita
meliuk-liuk dalam kehidupan seperti air yang mengalir. Dengan demikian kita
dapat selalu menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Setiap
menghadapi bencana maka kita dapat mengubah pemikiran dari “mengapa
semua ini harus kualami” menjadi “ setelah semua ini menimpaku, aku harus
melakukan apa?”. Dengan demikian kita akan dapat bangkit dan semakin maju
setiap kali terjatuh. Lain padang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya.
Artinya, jadilah seseorang yang flexible dengan keadaan yang ada, NOW and
HERE.

Leonardo Paskah Suciadi


http://www.wikimu.com/News/2008.
NEUROSA  dan PSIKOSA
Angka kejadian/ Insidensi
*GANGGUAN JIWA RINGAN( NON-PSIKOTIK)
 20 – 60 PERMIL
*GANGGUAN JIWA BERAT (PSIKOTIK)
 1– 3 PERMIL

A. NEUROSA (PSIKONEUROSA)
Neurosa adalah kesalahan penyesuaian diri secara emosional karena tidak
dapat diselesaikannya suatu konflik tidak sadar, kecemasan yang timbul
dirasakan secara langsung atau diubaholeh berbagai mekanisme pembelaan
psikologik =>dan muncullah gejala-gejala subyektif yang mengganggu.

Neurosa  merupakan istilah yang dipakai dalam sejarah penemuan gangguan


ini, dan secara diskriptif digunakan untuk menerangkan gangguan cemas,
histeria, dan obsesi tanpa kelainan fisik penderita.

Neurosa mengandung unsur etiologik dengan hakekat adanya konflik, dan


penderita bereaksi secara menyimpang terhadap beban kehidupan.
Gangguan yang timbul :
Ketegangan yang terjadi dari hubungan antar manusia yang mengecewakan
sejak kecil, sehingga mengganggu penyesuaiannya (adaptasi)
    Reaksi itu dapat berupa :
Ø   Gangguan lihat
Ø   Kelumpuhan
Ø   Tremor
Ø   Rasa takut
Ø   Cemas
Tanpa ada kerusakan organis.

Neurosa merupakan istilah yang menerangkan sekelompok gangguan jiwa


yang disebabkan oleh faktor psikologik tanpa dasar fisik atau organik yang
ditandai dengan kecemasan sebagai gejala utama serta diikuti oleh tingkah
laku yang tidak wajar.

PATOGENESE DAN DINAMIKA NEUROSA

Semua bentuk sumber kecemasan

Menimbulkan kecemasan

Berakar dalam kepribadian


dianggap sebagai sifat konstitusional

MASALAH YANG TIMBUL PADA GANGGUAN NEUROTIK

                Kecemasan yang mengambang bebas, biasanya serangannya mendadak


                  Menyerupai gangguan fisik, mencakup gejala sensorik, motorik atau penyakit
somatik
                 Amnesia, fuque, kepribadian ganda, somnambulisme
                Ketakutan irrasional yang disadari oleh klien
pulsif       Impuls atau pikiran irasional yang muncul yang disadari oleh klien
                 Perasaan kesal, putus asa, celaan yang berlebihan terhadap diri sendiri
                Perasaan lemah, lelah, kurang minat, keluhan badaniah
sasi            Perasaan asing dan tidak wajar terhadap dirinya sendiri, tubuh dan
lingkungannya yang biasanya disadari oleh klien.
k               Perasaan cemas tentang adanya penyakit pada berbagai organ tubuhnya.
                 
B.  PSIKOSA
Menurut PPDGJ I Th. 1973
Adalah suatu gangguan fungsi kepribadian (mental) seseorang sampai suatu
taraf tertentu, sehingga tidak memungkinkannya lagi melakukan beberapa
tugas secara memuaskan seperti :
·                                           Daya kemampuan menilai realitas
· Daya kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan dunia luar
·                                           Daya kemampuan tanggapan Pancaindera
· Daya kemampuan tanggapan perasaan (afektif)

Menurut PPDGJ II Th. 1983


Adalah suatu gangguan jiwa dengan kehilangan rasa kenyataan (sense of
reality.)
Hal ini dapat diketahui dengan terdapatnya
*Gangguan pada hidup perasaan (afek dan emosi)
*Gangguan pada proses berfikir
*Gangguan pada psikomotorik dan kemauan,  sehingga  :
Semuanya tidak sesuai lagi dengan kenyataan, pasien tidak dapat
“dimengerti” atau “dirasai”  lagi oleh orang normal.
Orang awam sering menyebut  “GILA”, tetapi pasien sendiri merasa tidak
sakit.

Menurut PPDGJ III Th. 1993


Istilah “Psikotik” dipertahankan sebagai suatu istilah diskriptif, khususnya
dalam F.23. Gangguan psikotik akut dan sementara. Penggunaannya tidak
melibatkan asumsi mekanisme psikodinamik, dan hanya menunjukkan adanya
hallusinasi, waham, atasu sejumlah kelainan perilaku tertentu, seperti eksitasi
(kegairahan), dan overactivity (aktivitas yang berlebih), retardasi psikomotor
yang berat dan perilaku katatonik.

Konsep gangguan jiwa menurut  PPDGJ-III yang merujuk pada SDM IV adalah :
“ Mental disorder is conceptualized as clinically significant behavioral or
psychological syndrome or pattera that occurs in an individual and that is
associated with present distress (eg. A painfull symtom) or disability (ic,
impairment in one or more important areas of functioning) or with a significant
increased ask of suffering death pain, disability, or an important loss of
freedom (Maskun Rusdi, 1998)

Evaluasi klien psikiatrik terdiri atas dua bagian : informasi subyektif yang
dikaitkan oleh pasien, dan informasi obyektif yang didapat melalui observasi.
Hal ini merupakan dasar dari suatu penilaian psikiatrik. Ini berlaku untuk
individu pasien anak, dewasa, pasangan dan keluarga (Dep Kes RI, 1997).

Pengertian Psikosa
Adalah suatu gangguan jiwa dengan kehilangan rasa kenyataan (“sense
of reality”) Hal ini diketahui dengan terdapatnya gangguan pada hidup
perasaan (afek dan emosi), proses berfikir, psikomotorik kemauan, sedemikian
rupa sehingga semua ini tidak sesuai dengan kenyataan lagi.
Penderita tidak dapat “dimengerti” dan tidak dapat “dirasai” lagi oleh orang
normal, karena itu seorang awampun dapat menyatakan bahwa orang itu
“gila”, bila psikosa itu sudah jelas. Penderita sendiri juga tidak memahami
penyakitnya, ia tidak merasa sakit
( WF Maramis, 2004).
          Adalah suatu gangguan jiwa yang serius, yang timbul  karena penyebab
organik ataupun emosional (fungsional) dan yang menunjukkan gangguan
kemampuan berfikir, bereaksi secara emosional, mengingat, berkomunikasi,
menafsirkan kenyataan dan bertindak sesuai dengan kenyataan itu,
sedemikian rupa sehingga kemampuan untuk memenuhi tuntutan hidup
sehari-hari sangat terganggu (WF Maramis,2004).
Psikosa ditandai dengan perilaku yang regrasif, hidup perasaan yang tidak
sesuai, berkurangnya pengawasan terhadap impuls-impuls serta waham dan
hallusinasi. Istilah psikosa dapat dipakai untuk keadaan seperti yang
disebutkan diatas dengan variasi yang luas mengenai

berat dan lamanya. Menninger menyebutkan lima sindroma klasik yang


menyertai sebagian besar pola psikotik, yaitu :
1. Perasaan sedih, rasa bersalah dan rasa tidak mampu yang mendalam
2. Keadaan rangsang yang tidak menentu dan tidak terorganisasi, disertai
pembicaraan     dan motorik yang berlebihan
3. Regresi ke otisme (“ Autism”), Manerisme pembicaraan dan perilaku, isi
pikiran yang  berwaham, acuh tak acuh terhadap harapan sosial
4. Pre okupasi yang berwaham, disertai kecurigaan, kecenderungan membela
diri atau rasa kebesaran
5. Keadaan bingung dan delirium dengan disorientasi dan hallusinasi
(WF Maramis, 2004)

Dapat digambarkan secara umum bahwa Psikosa adalah suatu gangguan jiwa
yang serius yang timbul karena penyebab organik ataupun fungsional
(emosional /psikogenik) dan menunjukkan gangguan kemampuan :
·       Berfikir
·       Bereaksi secara emosional
·       Mengingat
·       Berkomunikasi

·       Menafsirkan kenyataan dan bertindak sesuai dengan kenyataan itu.


Sehingga tuntutan pemenuhan hidup sehari-hari sangat terganggu, ditandai
dengan adanya :
Ø    Perilaku yang regressif
Ø    Alam perasaan yang tidak sesuai
Ø    Berkurangnya pengawasan terhadap impuls-impuls
Ø    Adanya waham dan hallusinasi

Pada umumnya keluhan atau gejala  pasien secara garis besar sbb:
a.    Adanya gejala psikotik
b.    Kecemasan yang tidak rasional dan perilaku menghindar
c.     Gangguan afek
d.    Perilaku antisosial
e.     Keluhan fisik dan kecemasan yang tidak rasional tentang penyakit fisik
f.      Kesulitan belajar dan konsentrasi

Masalah klasik yang timbul sehubungan dengan psikotik berkisar pada hal –
hal berikut :
1.    Gangguan pada alam perasaan, sedih, rasa bersalah dan perasaan tidak
mampu yang mendalam
2.    Irritabilitas yang tidak menentu dan tidak terorganisasi, pembicaraan dan
motorik yang berlebihan
3.    Gangguan komunikasi, regressi ke otisme, manerism pembicaraan dan
perilaku
4.    Gangguan isi pikiran yang berwaham
5.    Acuh tak acuh terhadap masa depan
6.    Gangguan curiga, kecenderungan membela diri atau rasa kebesaran
7.  Gangguan bingung dan delirium dengan gangguan orientasi dan hallusinasi.

Skizofrenia (Psikosa Fungsional)

Pengertian  :
Skizofrenia  adalah Demensia prekoks, dalam perjalanan penyakitnya
memperlihatkan adanya deteriorasi. Digolongkan katatonik, hebrefrenik dan
keadaan paranoid, dasar gangguan ini adalah terpecahnya fungsi-fungsi
psikologik. Ia memberi nama baru dengan istilah “Skizofrenia”, deteriorasi
tidak selalu harus ada, isi dan arti dari gejala-gejala psikotik lebih diutamakan
(WF Maramis, 2004)

 Psikopatologi

Penyebab gangguan skizofrenia belum diketahui dengan pasti. Ada beberapa


teori penyebab :
1.  Teori Somatogenik

          (1) Keturunan                       :diturunkan melalui gen yang resesif


               :sering timbulnya skizofrenia pada waktu pubertas,  Kehamilan dan puerperium
              : Mungkin disebabkan oleh kesalahan metabolisme   (inborn error of metabolism)
pusat      : Diduga ada kelainan susunan saraf pusat yang dapat  menyebabkan gangguan
neurotransmitter
2.  Teori Psikogenik

          (1) Adolf Meyer          : suatu kondisi mal-adaptasi


          (2) Sigmund Freud               : adanya kelemahan ego
                  (3) Eugen Bleuler            : adanya jiwa yang terpecah belah atau disharmoni
         

(4) Stres psikologik     : adanya persaingan antara saudara kandung,


hubungan            yang kurang baik dalam keluarga, pekerjaan dan   Masyarakat
3.  Teori Sosiogenik

          (1) Keadaan sosial ekonomi


          (2) Pengaruh keagamaan
          (3) Nilai-nilai moral dan lain-lain
4.Akhirnya muncul teori yang menganggap bahwa skizofrenia dapat  disebabkan
oleh bermacam-macam sebab, meliputi ketiga teori diatas ( Pandangan
holistik)

(Pedoman Diagnosis dan terapi lab/UPF Ilmu Kedokteran Jiwa, 1997).

Gejala-gejala skizofrenia  dibagi menjadi 2(dua) kelompok :

          1.  Gejala-gejala primer

                   (1) Gangguan proses pikiran


                   (2) Gangguan emosi
                   (3) Gangguan kemauan
                   (4) Gangguan otisme

          2.  Gejala-gejala sekunder

                   (1) Waham


                   (2) Hallusinasi
                   (3) Gejala katatonik atau gangguan psikomotorik yang lain

                   (WF Maramis, 2004)


Skizofrenia dapat dibedakan menjadi beberapa tipe menurut  PPDGJ III  tahun 

1993, yaitu :

          F 20. 0     Skizofrenia paranoid


          F 20. 1     Skizofrenia hebefrenik
          F 20. 2     Skizofrenia katatonik
          F 20. 3     Skizofrenia tak terinci (undifferentiated)
          F 20. 4     Skizofrenia pasca-skizofrenia
          F 20. 5     Skizofrenia residual
          F 20. 6     Skizofrenia simpleks
          F 20. 7     Skizofrenia lainnya
          F 20. 8     Skizofrenia YTT

           
          DIAGNOSA DAN DIAGNOSA BANDING
Menurut Eugen Bleuler  diagnosa skizofrenia sudah boleh dibuat bila terdapat 
gejala-gejala primer dan disharmoni (keretakan, perpecahan atau ketidak
seimbangan) pada unsur-unsur kepribadian (proses pikir, afek/emosi,
kemauan dan psikomotorik), diperkuat dengan adanya gejala-gejala sekunder.
Kurt Schneider (1939) menyusun gejala rangking pertama (“first rank
symtoms) dan berpendapat bahwa diagnosa skizofrenia sudah boleh dibuat
bila terdapat satu gejala dari kelompok A dan satu gejala dari kelompok B,
dengan syarat bahwa kesadaran penderita tidak menurun.  (WF Maramis,
2004).

Gejala-gejala rangking pertama menurut Schneider ialah 

          1.   Hallusinasi pendengaran


                   (1) Pikirannya dapat didengar sendiri
                   (2) Suara-suara yang sedang bertengkar
                   (3) Suara-suara yang mengkomentari perilaku penderita

          2.      Gangguan batas ego


(1)Tubuh dan gerakan-gerakan penderita dipengaruhi oleh suatu kekuatan dari
luar

(2) Pikirannya diambil atau disedot keluar


(3) Pikirannya dipengaruhi oleh orang lain atau pikirannya dimasukkan kedalam
pikiran orang lain
(4) Pikirannya diketahui orang lain atau pikirannya disiarkan keluar secara umum
(5) Perasaannya dibuat oleh orang lain
(6) Kemauannya atau tindakannya dipengaruhi oleh orang lain
(7) Dorongannya dikuasai orang lain
(8) Persepsi yang dipengaruhi oleh waham

Menurut Prof. Kusumanto Setyonegoro (1967) membuat diagnosa skizofrenia


dengan memperlihatkan gejala-gejala pada tiga buah koordinat, yaitu :
(1) Koordinat pertama (intinya organobiologik)
Yaitu  :Otisme, gangguan afek dan emosi, gangguan assosiasi(proses berfikir),
ambivalensi (gangguan kemauan), gangguan aktivitas (abulia atau kemauan
yang menurun) dan gangguan konsentrasi.

(2) Koordinat kedua (intinya psikologik)

Yaitu   :gangguan pada cara berfikir yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan
kepribadian dengan memperhatikan perkembangan ego, sistematik motivasi
dan psikodinamika dalam interaksi dengan lingkungan
              (WF Maramis, 2004)

       PROGNOSA
     Dahulu bila diagnosa skizofrenia dibuat, maka ini berarti bahwa sudah tidak ada
harapan lagi bagi orang yang bersangkutan, bahwa kepribadiannya selalu
akan menuju kemunduran mental (deteriorasi mental).
       Dan bila seorang dengan skizofrenia kemudian menjadi sembuh, maka
diagnosanya harus diragukan.      
       Sekarang dengan pengobatan modern, ternyata bahwa bila penderita itu datang
berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama, maka kira-kira
sepertiga dari mereka akan sembuh sama sekali (“ Full remission atau
recovery), sepertiga yang lain dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun
masih harus sering diperiksa dan diobati selanjutnya (“Social recovery”),
sepertiga sisanya biasanya mempunyai prognosa yang jelek, mereka tidak
dapat berfungsi didalam masyarakat dan menuju

kekemunduran mental, sehingga mungkin menjadi penghuni tetap di Rumah


Sakit Jiwa.

Untuk menetapkan prognosa, kita harus mempertimbangkan semua faktor


dibawah ini :
1.    Kepribadian Pre-psikotik  : bila skizoid dan hubungan antar manusia
memang     kurang memuaskan, maka prognosanya lebih jelek. Bila skizofrenia
timbul secara akut, maka prognosa lebih baik dari pada bila penyakit itu mulai
secara pelan-pelan.
2.    Jenis skizofrenia                     : jenis katatonik memiliki prognosa paling baik
dari pada semua jenis. Jenis hebefrenia dan simpleks memiliki prognosa yang
sama jelek.
3.    Umur                                         : Semakin muda umur permulaannya, semakin
jelek prognosanya
4.    Pengobatan                             : Semakin lekas mendapat pengobatan, semakin
baik prognosanya
5.    Faktor keturunan                    : prognosa menjadi lebih berat bila didalam
keluarga terdapat seorang atau lebih yang juga menderita skizofrenia.
      
(WF Maramis, 2004)

PENGOBATAN
       Pengobatan harus secepat mungkin diberikan, karena keadaan psikotik yang
lama menimbulkan kemungkinan yang lebih besar bahwa penderita menuju
kekemunduran mental.
       Terapis jangan melihat kepada penderita skizofrenia sebagai penderita yang
tidak dapat disembuhkan lagi atau sebagai suatu makhluk yang aneh dan
inferior. Keluarga atau orang lain dilingkungan penderita diberi penerangan
(manipulasi lingkungan) agar mereka lebih sabar menghadapinya.

Macam-macam pengobatan
1.    Farmako terapi
2.    Terapi elektro- konvulsi (TEK)
3.    Terapi koma insulin
4.    Psikoterapi dan rehabilitasi
5.    Lobotomi Prefrontal

       (WF Maramis,  1998)

Farmakoterapi
                    Dari sudut organobiologi sudah diketahui bahwa pada skizofrenia (dan
juga gangguan jiwa lainnya) terdapat gangguan pada fungsi neurotransmitter
sel-sel susunab saraf pusat (otak) yaitu pelepasan zat dopamin dan serotonin
yang mengakibatkan gangguan proses  pikiran, alam perasaan dan perilaku
sebagaimana yang telah diuraikan pada bab III : gejala klinis skizofrenia. Oleh
karena itu obat psikofarmaka yang akan diberikan ditujukan pada gangguan
fungsi neurotransmitter tadi, sehingga gejala-gejala klinis tadi dapat
dihilangkan atau dengan kata lain penderita skizofrenia dapat diobati
(Dadang Hawari, 2001)

       (1) Pemberian Anti psikosis


          1). Neuroleptika dosis efektif tinggi (diberikan) dalam dosis terbagi 2 – 3   kali/
sehari
          - Khlorpromazin  :          75 – 500 mg (per-os)
                                                     Injeksi 25 – 50 mg/kali (im)
          - Perazin                :          50 – 60 mg (per-os)
          -Thioridazin          :          75 – 500 mg (per-os)
          Diutamakan untuk skizofrenia yang disertai penyakit organik, misalnya
skizofrenia dengan gangguan hepar

  (2). Neuroleptika dengan dosis rendah (diberikan dalam dosis terbagi )   1-2 kali
/ sehari
- Flupenazin HCL      : 5 – 10 mg (per-os)
- Flupenazin depo       : 25 mg /4 minggu (intra musculer)
- Trifluoperazin          : 3 – 20 mg (per-os)
- Haloperidol               : 5 – 15 mg(per-os)
- Pimozid                      : 2 – 8 mg (per-os)
  (Pedoman Diagnosis dan terapi lab/UPF Ilmu Kedokteran Jiwa, 1994)
(3).  Terapi elektro-konvulsi (TEK)
              Tidak lebih unggul dibandingkan dengan obat-obatan, tetapi bila diberikan
bersama-sama akan lebih mempercepat proses penyembuhan.
              (Maramis, 2004)
(4). Terapi Koma insulin    
              Meskipun pengobatan ini tidak khusus, bila diberikan pada permulaan
penyakit,  hasilnya memuaskan. Prosentase kesembuhan lebih besar bila
dimulai dalam waktu 6 (enam) bulan sesudah penderita jatuh sakit. Terapi
koma insulin memberi hasil yang baik pada katatonia dan skizofrenia
paranoid.
(WF Maramis, 2004)

(5).  Psikoterapi dan Rehabilitasi  


              Bertujuan untuk memperkuat fungsi ego dengan cara psikoterapi agar pasien
bisa bersosialisasi. Manipulasi lingkungan agar lingkungan dapat memahami
dan menerima keadaan pasien, membimbing dalam kehidupan sehari-hari,
memberi kesibukan atau pekerjaan untuk pasien. Mengawasi minum obat
secara teratur dalam jangka waktu lama dan membawa pasien untuk
pemeriksaan ulang.
              (Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/UPF Ilmu Kedokteran Jiwa,1994)
(6).    Lobotomi Prefrontal
              Dapat dilakukan bila terapi lain secara intensif tidak berhasil dan bila penderita
sangat mengganggu lingkungannya.
              (WF Maramis, 2004)

       PERAWATAN KLIEN GANGGUAN JIWA


Menurut Carpenito (1989), pemberian asuhan keperawatan merupakan proses
terapeutik yang melibatkan hubungan kerjasama antara perawat dengan klien,
keluarga atau masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal
(Kelliat, 1991). Perawat memerlukan metode ilmiah dalam melakukan proses
terapeutik tersebut yaitu : Proses keperawatan. Penggunaan proses
keperawatan membantu perawat dalam melakukan praktek keperawatan,
menyelesaikan masalah keperawatan klien dan atau memenuhi kebutuhan
klien secara ilmiah, logis, sistematis dan terorganisasi.
       Pada dasarnya proses keperawatan merupakan salah satu teknik
penyelesaikan masalah (problem solving). Proses keperawatan bertujuan
untuk memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan dan
masalah klien dapat diidentifikasi dan diprioritaskan untuk dipenuhi dan
diselesaikan.
       Dengan menggunakan proses keperawatan, perawat dapat terhindar dari
tindakan keperawatan yang bersifat rutin, intuisi, tidak untuk bagi individu
klien. Proses keperawatan mempunyai ciri dinamis, siklik, saling bergantung,
luwes dan terbuka. Setiap tahap dapat diperbaharui jika keadaan klien
berubah. Tahap demi tahap merupakan siklus dan saling bergantung.
Diagnosa keperawatan tidak mungkin dapat dirumuskan jika data pengkajian
belum ada.
       Proses keperawatan merupakan sarana/wahana kerjasama perawat dan klien
yang umumnya pada tahap awal peran perawat lebih besar dari peran klien,
namun pada proses sampai akhir diharapkan peran klien lebih besar dari
peran perawat sehingga kemandirian klien dapat tercapai. Kemandirian klien
merawat
diri dapat pula digunakan sebagai kriteria kebutuhan terpenuhi dan atau
masalah teratasi.

KEKAMBUHAN KLIEN GANGGUAN JIWA


Kekambuhan adalah suatu keadaan dimana penyakit dapat hilang timbul
sewaktu-waktu dengan kondisi yang sama ataupun berbeda (  Sullinger, 1988).
Penderita gangguan jiwa diperkirakan akan kambuh 50 % pada tahun pertama
dan sekitar 70 % pada tahun kedua dan 100 % pada tahun kelima setelah
pulang dari Rumah Sakit (Carson & Ross, 1997)
       Menurut Sullinger penyebab kekambuhan dapat diidentifikasi menjadi 4 antara
lain :

      Klien (Penderita)


      Diketahui bahwa klien yang gagal minum obat dengan teratur mempunyai
kecenderungan untuk kambuh. Menurut hasil penelitian menunjukkan 25 %
sampai 50 % klien dari  RS Jiwa tidak memakan obat dengan teratur (Appleton,
1982 yang dikuti Sullinger, 1988). Klien kronis sulit memakan obat karena
adanya gangguan realitas dan ketidakmampuan mengambil keputusan.
Dokter sebagai pemberi resep
      Memakan obat dengan teratur dapat menekan terjadinya kekambuhan. Namun
pemakaian neuroleptika yang lama dapat menyebabkan efek samping Tardive
diskenia yang bisa mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak
terkontrol.
Perawat sebagai penanggung jawab kasus atau case manager
      Setelah klien pulang dari perawatan di Rumah Sakit, maka yang bertanggung
jawab atas program adaptasi klien di rumah adalah perawat Puskesmas.
Penanggung jawab klien mempunyai banyak waktu untuk bertemu klien,
sehingga dapat mengidentifikasi gejala dini dan segera mengambil tindakan
       Keluarga
      Dalam penelitian Snyder (1981) dan Vaugh (1976), memperlihatkan bahwa
keluarga dengan ekspresi emosi “Para penderita gangguan jiwa di negara kita
masih menjadi golongan yang tersisih. Kondisi ini disebabkan tingkat
kesadaran masyarakat masih rendah, adanya stigma negatif terhadap para
penderita, ketertutupan pihak keluarga terdekat akibat perasaan malu memiliki
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa

hingga fasilitas pengobatan dan rehabilitasi yang masih kurang. Ini yang harus
kita perbaiki,” jelasnya.
Perawatan psikososial yang tinggi diperkirakan terjadi kekambuhan dalam
waktu 9 bulan. Hasilnya 57 % dirawat oleh keluarga dengan ekspresi emosi
yang tinggi dan 17 % dengan keluarga yang mempunyai ekspresi emosi
rendah. Dengan terapi keluarga diharapakan dapat menurunkan ekspresi
emosi yang tinggi.   ( Budi Anna Kelliat, 1997).
Untuk itu, dr Widya menjelaskan perlu dilakukan perawatan intensif dengan
pendekatan kekeluargaan (psikososial). Terapi jenis itu, lanjutnya,
menekankan peran aktif anggota keluarga dan Iingkungan sekitar dalam
interaksi dengan pasien. Namun untuk mencapai kondisi ini, pasien harus
terlebih dulu menjalani terapi lain, seperti pemberian obat yang teratur hingga
terapi kejang listrik (ECT).
Dokter Widya meminta agar tidak membiarkan pasien berada sendirian atau
diganggu oleh ejekan lingkungannya. Pasien sebaiknya dilibatkan dalam
pembicaraan yang menarik minatnya, atau berikan keleluasaan untuk
menyalurkan bakat dan hobinya.
“Hal terpenting adalah jangan biarkan faktor penyebab stres menimpa mereka.
Kita harus memasukkan perawatan dan rehabilitasi penyakit jiwa ini ke dalam
program prioritas kesehatan masyarakat. Harus juga diupayakan supaya
program jaminan sosial kesehatan masyarakat miskin (askeskin) mencakup
pelayanan untuk para penderita gangguan jiwa. Hal ini harus kita lakukan
sebagai bagian dan upaya mencapai derajat kesehatan komprehensif secara
fisil, mental, dan sosial,” tambah Fachmi. (*/S-4)

Sumber : Media Indonesia , Rabu, 31 Oktober 2007


http://www.idijakbar.com/?show=detailnews&kode=19&tbl=terkini

GANGGUAN PSIKOTIK

- Hendaya berat dalam daya nilai realitas

                                               (+)
- Dasar organik            
                                               (-)

GANGGUAN NEUROTIK

- Daya nilai realitas tak terganggu

- Dasar Organik (-)

- Kepribadian tetap utuh

- Perilaku kadang - kadang terganggu tapi dalam batas norma-norma sosial

  PERBANDINGAN ANTARA PSIKONEUROSA DAN PSIKOSA


FAKTOR NEUROSA PSIKOSA

Perilaku Umum Dekompensasi kepribadian ringan, kontak Dekompensasi kepribadian h


dengan realita dan fungsi social terganggu realita sangat terganggu, tidak d
Gejala – gejala Gejala psikologik dan somatik bervariasi Gejala bervariasi luas dengan w
luas, tetapi tidak terdapat hallusinasi atau kedangkalan emosi dan perilaku
gangguan proses berfikir, emosi dan
tindakan yang ekstrim
Orientasi Penderita jarang kehilangan orientasi Penderita sering kehilangan
terhadap lingkungan lingkungan
Pemahaman (Insight) Penderita sering masih memahami bahwa Penderita jarang sekali memaha
ia terganggu
Aspek Sosial Perilaku penderita jarang membahayakan Perilaku penderita sering berba
diri sendiri atau masyarakat dan atau masyarakat
Perawatan dan Jarang diperlukan perawatan di Rumah Biasanya diperlukan perawatan
pengobatan Sakit
Gejala gejala Klasik Mengeluh, tetapi orang lain menganggap Tidak merasa sakit, perilaku t
tidak apa-apa terganggu.
DAFTAR PUSTAKA

 Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1983), Pedoman Penggolongan


Diagnosis Gangguan Jiwa, Direktorat Kesehatan Jiwa, Jakarta

 Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1993), Pedoman Penggolongan


Diagnosis Gangguan Jiwa, Direktorat Kesehatan Jiwa ,Jakarta

Hawari Dadang, dr (2001), Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia,


Fakultas Kedokteran, Jakarta.

Hurlock, Elisabeth, (1998), Psikologi Perkembangan, Jakarta, Erlangga

Kelliat Budi Anna, Dr, (1998), Peranan Keluarga dalam Perawatan Klien
Gangguan Jiwa, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Leonardo Paskah Suciadi  http://www.wikimu.com/News/2008


Morgan HG, et al, (1995), Segi Praktis Psikiatri, Bina Rupa Aksara, Jakarta

Maramis, WF,Dr,(2004), Ilmu Kedokteran Jiwa, Airlangga University, Surabaya

http://masarie.wordpress.com/tag/gangguan-jiwa/2008

http://www.pontianakpost.com/2008

http://www.idijakbar.com/?show=detailnews&kode=18&tbl=terkini

http://masarie.wordpress.com/tag/gangguan-jiwa/2008

http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2005/8/3/k4.htm

http://www.idijakbar.com/?show=detailnews&kode=19&tbl=terkini

Ingram, Im, et al,(1995), Catatan Kuliah Psikiatri, EGC, Jakarta

Soal  : Essay
1. Apa yang dimaksud dengan “ Disability” dalam konsep gangguan jiwa

menurut PPDGJ- III ? berikan penjelasan dengan contoh ?

2. Jelaskan untuk kepentingan apa, seorang perawat harus memahami

tentang PPDGJ ? berikan contoh ?

3. Jelaskan  tentang faktor penyebab gangguan Jiwa ?

4. Buatlah matrik perbandingan antara psikosa dan psikoneurosa?

5. Psikopathologi Skizofrenia ada 4 pandangan ? sebut dan jelaskan

masing-masing pandangan tersebut ?

Soal  : Multiple Choice

1. Menurut konsep Gangguan Jiwa terdapat butir –butir :

1. Adanya Gejala Klinis yang bermakna, berupa   Sindrom atau Pola Perilaku
2. Adanya Gejala Klinis yang bermakna, berupa Sindrom atau pola psikologik
3.Gejala klinis tersebut menimbulkan penderitaan (distress),disfungsi organ tubuh
4. No 1 dan 2 saja yang benar

2. Gangguan akibat alkhohol dan obat/zat, termasuk dalam klasifikasi :

      a. Gangguan Mental organik


      b. Gangguan Mental Psikotik
      c. Gangguan Neurotik dan gangguan Kepribadian
      d. Gangguan masa kanak, remaja, dan perkembangan
      e. Semua diatas benar

3. Istilah  tepat tentang “Gangguan Jiwa” yang digunakan dalam PPDGJ – III
adalah

      a. Mental Illness


      b. Mental Desease
      c. Mental Disorder
      d. Mental Organik
      e. Mental Disstress

4. Menurut Hierarki Blok Diagnosis gangguan Jiwa berdasarkan PPDGJ- III, bahwa
Skizofrenia, memiliki dan termasuk pada  kode diagnosis :
      a. F 20 – F 29
      b. F 30 – F 39
      c. F 40 – F 49
d. F 50 – F 59
e. F 60 – F 69

5. Didalam Pengelompokan diagnosis Multiaksial diperlukan untuk tujuan :


     
      1. Perencanaan terapi
      2. Meramalkan outcome (prognosis)
      3. Menata dan mengkomunikasikan informasi klinis
      4. Menangkap kompleksitas situasi klinis

6. Angka kejadian pada gangguan psikotik jauh lebih rendah dari gangguan Non-
psikotik yaitu :
     
      a. 1 – 3 prosen
      b. 1 – 3 permil
      c. 1- 30 pernil
      d. 2 – 6 permil
      e. 2 – 6 prosen

7. Salah satu pernyataan pada prognosa skizofrenia dibawah ini salah yaitu :
a. Kepribadian Prepsikotik : bila skizoid dan hubungan antar manusia memang    
kurang memuaskan, maka prognosanya lebih jelek. Bila skizofrenia timbul secara
akut, maka prognosa lebih baik dari pada bila penyakit itu mulai secara pelan-pelan.
b.Jenis Skizofrenia                       : jenis katatonik memiliki prognosa paling baik dari
pada semua jenis. Jenis hebefrenia dan simpleks memiliki prognosa yang sama
jelek.
c.Umur                             : Semakin muda umur permulaannya, semakin baik
prognosanya.
d.Pengobatan                  : Semakin lekas mendapat pengobatan, semakin baik
prognosanya
e. Faktor Keturunan                    : prognosa menjadi lebih berat bila didalam keluarga
terdapat seorang atau lebih yang juga menderita skizofrenia.
8. Bermacam –macam jenis Neurosa diantaranya adalah Neurosa Obsesif –
kompulsif yaitu ditandai dengan :
ng mengambang bebas, biasanya serangannya mendadak
ngguan fisik, mencakup gejala sensorik, motorik atau peny. Fisik.
e, kepribadian ganda, somnambulisme
sional yang disadari oleh klien
kiran irasional yang muncul yang disadari oleh klien

9.Menurut Sullinger penyebab kekambuhan dapat diidentifikasi menjadi 4 antara


lain :

 1. Klien (Penderita) sendiri


 2. Dokter sebagai pemberi resep   
 3. Perawat sebagai penanggung jawab kasus atau case manager
 4. Tetangga

10. Jenis terapi yang bertujuan untuk memperkuat ego klien  adalah .
      a. Farmakoterapi
      b. Elektro konvulsi terapi
      c. Psikoterapi Terapi dan rehabilitasi
      d. Lobotomi Prefrontal
      e. Insulin syok terapi

                                               

Anda mungkin juga menyukai