Anda di halaman 1dari 17

ENGLISH FOR SPECIFIC PAPER

PENGEMBANGAN GREEN ECONOMY DAN DIGITAL DALAM MENGHADAPI


COVID-19

Oleh :

Nama : Luh Putu Listya Dewi Anindhita

NIM : 2017051067

Kelas : 4C

PRODI S1 AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

SINGARAJA

2022
ABSTRAK

Keadaan Indonesia saat ini sedang kesulitan karena pandemi Covid-19, dimana banyak
kegiatan atau tempat tempat wisata yang sangat terdampak pada banyak sektor kehidupan
masyarakat seperti kesehatan, sosial, pendidikan, ekonomi dan pariwisata. Sektor pariwisata
merupakan sektor yang sangat terpukul.. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengelolaan desa
wisata, dimana pengelolaannya yang berbasis masyarakat dan berkonsep green economy.
Kemudian akan melihat bagaimana pandemi Covid-19 yang berdampak pada pendapatan
masyarakat sebagai pengelola ataupun di sekitar desa wisata. Penelitian ini menggunakan jenis
penelitian Obervasional analitik dengan menggunakan rancangan penelitian case control atau
kasus kontrol. Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian yang menggunakan pendekatan
kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa seluruh desa wisata telah melakukan
pengelolaan dengan menerapkan kosep green economy dan pandemi covid-19 yang melanda
memberikan dampak yang signifikan pada pelaku usaha wisata, tak terkecuali pengelola desa
wisata.

Kata Kunci: Pengelolaan Desa Wisata, Konsep Green Economy, Pendapatan Ekonomi
Masyarakat Masa Pandemi Covid-19
PENDAHULUAN

Pandemi Covid-19 menciptakan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi
dunia. Krisis kesehatan sebagai episentrum awal secara cepat meluas menjadi krisis multidimensi
dan menimbulkan disrupsi sosial-ekonomi. Berbagai indikator ekonomi makro global pun telah
mencatatkan nilai ‘merah’ yang hingga kini tengah berusaha dilawan oleh pemerintah di
berbagai negara melalui stimulus fiskal senilai puluhan triliun dollar.

Meski demikian, di tengah upaya pemulihan ekonomi tersebut, dunia sejatinya masih
dihadapkan pada tantangan bencana (catastrophic) yang sama, yakni ancaman perubahan iklim
(climate change). Laporan World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa perubahan
iklim menimbulkan lebih dari 150.000 korban jiwa setiap tahunnya. Bahkan, penelitian terkini
membuktikan bahwa perubahan iklim memiliki korelasi dengan penyebaran pandemi Covid-19.

Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam ekonomi hijau (green economy).
Untuk itu, pemerintah perlu mulai menata ekonomi hijau tersebut karena di masa depan negara-
negara di dunia mulai meninggalkan barang-barang yang berasal dari energi fosil. Selain
ekonomi hijau, Presiden juga meminta agar ekosistem ekonomi digital disiapkan karena
Indonesia juga memiliki potensi besar dalam ekonomi digital. Selain memiliki pasar yang besar,
Indonesia hingga saat ini juga memiliki perusahaan rintisan atau start up sebanyak 2.229
perusahaan. Potensi ekonomi digital Indonesia hingga tahun 2025 diperkirakan mencapai lebih
kurang USD124 miliar.

Green economy sendiri oleh UNEP (United Nations Environment Programme)


didefinisikan sebagai suatu sistem yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan manusia dan
kesetaraan sosial, sementara secara signifikan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan
ekologis; rendah karbon, efisien sumber daya, dan inklusif secara sosial.

Indonesia sendiri telah menyiapkan green growth program sebagai komitmen mitigasi
perubahan iklim dengan berbagai bauran kebijakan, baik secara substansi, kelembagaan, maupun
pembiayaan. Dalam dokumen NDC (Nationally Determined Contribution), Indonesia
menargetkan penurunan emisi sebesar 29% dengan menggunakan upaya dan resources sendiri
atau penurunan 41% apabila mendapatkan dukungan internasional dari skenario business as
usual (BAU) pada tahun 2030.

Dua megtren tengah mengubah arah pembangunan ekonomi dunia dengan mekanisme
pasar baru dan model-model bisnis baru, yakni ekonomi digitas dan ekonomi hijau. Pandemic
telah meningkatkan urgensi dan memicu akselerasi keduanya. Jika diintegrasikan, dua megatrend
ini menjadi digital green economy, digitized economy, atau ekonomi hijau digitas (EHD). EHD
bisa dipandang sebagai kemunculan model bisnis dan solusi peluang bisnis yang berkaitan dngan
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Dalam perspektif new institution economics, transisi menuju ekonomi hijau menyangkut
perubahan institusional atau rules f the game, yakni perubahan aturan informal (seperti norma
dan tradisi) dan formal (seperti regulasi dan kebijakan) yang memfasilitasi interaksi sosial
ekonomi dan path of development. Dalam hal ini keberlanjutan menjadi norma baru disertai
serangkaian kebijakan dan regulasi terkait, termasuk dekarbonisasi.

Sebagaimana ekonomi digital, EHD ditopang oleh faktor enablernya, yakni teknologi
digital yang dapat berbentuk peralatan elektronik, sistem otomasi, peranti dan sumber daya
teknologi, yang dapat menciptakan, memproses, dan menyimpan informasi. Maka, EHD suka
tidak suka harus berkaitan dengan teknologi digital.

Di samping itu, Indonesia juga telah memasukkan aspek perubahan iklim dalam RPJMN
2020-2024 melalui tiga upaya, yaitu peningkatan kualitas lingkungan hidup; peningkatan
ketahanan bencana dan perubahan iklim; serta pembangunan rendah karbon. Untuk memenuhi
komitmen tersebut, kebutuhan pembiayaannya mencapai Rp3.779 triliun selama tahun 2020-
2030, atau sebesar Rp343,6 triliun per tahun.

Sejumlah pakar menulai pendekatan green economy dapat mendorong laju perekonomian
indoensia sekalisgus menjadi salah satu solusi untuk mendekati berbagai dampak ekonomi yang
disebabkan oleh pandemic covid-19. Green economy sendiri merupakan suatu gagasan isu
berkelanjutan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan da sekaligus mencegah meningkatnya
emisi gas rumah kasa dan mengatasi dampak perubahan iklim.
Isu green economy antara lain berkaitan dengan pemanasan global, emisi buang, spesi yang
musnah, degradasi kualitas tanah, hingga gurunisasi global. Bukan isu baru. Tapi pandemi telah
meningkatkan perhatian manusia ke arah itu menjadi makin intens.
Pada sisi lain, pandemi juga memacu percepatan perkembangan teknologi dan digitalisasi.
Moblilitas manusia menurun, mobilitas barang meningkat. Kita semakin nyaman dengan
belanja online, makin terbiasa bekerja dari rumah, pesatnya perkembangan infrastruktur digital,
dan lain-lain.

KAJIAN LITERATUR

Kerangka Pertumbuhan Ekonomi Hijau (Green Growth Framework-GGF) untuk Indonesia


yang dikembangkan oleh berbagai pemangku kepentingan pemerintah dan non-pemerintah 3
mengartikulasikan lima hasil yang diharapkan dari ekonomi dengan mengintegrasikan
pertumbuhan ekonomi hijau berkualitas tinggi di seluruh sektor produktif:

1. Pertumbuhan ekonomi yang terus berkembang menyoroti pentingnya pertumbuhan


ekonomi Indonesia yang cukup kuat dan beragam agar dapat mendukung pembangunan
berbasis masyarakat luas. Hal ini menekankan bahwa pembangunan ini harus diukur
dengan cara yang cukup luas untuk menangkap dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan
yang mempengaruhi kualitas hidup, dan pentingnya pembangunan untuk dapat
memberikan manfaat baik hari ini maupun jangka panjang. Dengan kebijakan dan kondisi
pemungkin yang tepat, pertumbuhan ekonomi dapat melampaui model pembangunan
ekonomi industri yang dipelopori oleh negara ekonomi maju yang berbasis sumberdaya
intensif dan tidak lestari
2. Pertumbuhan yang inklusif dan adil bagi kepentingan semua lapisan masyarakat semua
anak-anak, wanita, dan laki-laki, di seluruh wilayah nusantara, tidak hanya kelompok
kaya dan masyarakat perkotaan, tetapi juga kelompok miskin dan terpinggirkan.
Lembaga-lembaga yang memiliki tata kelola yang baik dan akuntabel serta kebijakan
yang berbasis masyarakat yang memberdayakan masyarakat sangat penting untuk
mencapai tujuan ini. Hasil ini berkorelasi dengan kualitas pertumbuhan ekonomi dan
lingkungan. Negara-negara dengan tingkat kemiskinan dan kerusakan lingkungan yang
lebih tinggi cenderung memiliki kesenjangan yang lebih besar; negara-negara ini
cenderung mendapatkan manfaat paling banyak dari intervensi pertumbuhan ekonomi
hijau karena pihak yang terkena dampak paling besar dari degradasi lingkungan adalah
masyarakat miskin.

Perkembangan pesat digitalisasi di Indonesia juga memberikan peluang untuk


mengakselerasi Sustainable Development Goals (SDGs) yang sudah menjadi komitmen global
melalui 3 enabler, yakni:

1. Akses informasi dan layanan yang tersedia bagi setiap individu, baik di desa maupun
perkotaan;
2. Konektivitas antar individu dan organisasi yang meningkat; dan
3. Efisiensi sumber daya dari peningkatan produktivitas.

Salah satu contoh implementasi transformasi untuk mendukung SDGs yang masuk ke dalam
RPJMN 2020-2024 adalah konsep Smart City, Green City, dan Sustainable City. Smart
City secara garis besar didefinisikan sebagai pengaturan atau tata kelola perkotaan yang
menerapkan teknologi untuk meningkatkan manfaat dan mengurangi dampak negatif urbanisasi
yang mungkin ditimbulkan. Implementasi Smart City diperlukan untuk mengatasi berbagai
persoalan, seperti kemacetan, penumpukan sampah, penurunan kualitas air dan udara, hingga
peningkatan angka kriminalitas.

Revolusi Industri 4.0 mendorong berbagai negara di dunia untuk terus berinovasi dalam
ranah perekonomian digital. Melakukan inovasi dan mengikuti perkembangan yang ada memang
tidak selalu mudah. Ada berbagai macam tantangan yang dihadapi melalui strategi-strategi yang
terencana. Untuk kasus di tanah air, ada lima tantangan dalam investasi digital ekonomi di
Indonesia saat ini. Berikut di antaranya yang perlu diketahui :

a. Cyber Security

Cyber security masih menjadi tantangan utama di berbagai negara dalam hal
perekonomian digital. Begitu pula dengan investasi digital ekonomi Indonesia. Sebagai
negara berkembang yang memiliki peluang besar, Indonesia memiliki arus
transaksi online yang semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini akan menjadi celah
baru bagi pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan penyerangan terhadap
dunia cyber. Bahkan negara kita pernah mendapat 1.225 miliar serangan cyber setiap
harinya. Salah satu bentuk serangan cyber ini adalah ransomware yang dapat
menyerang website yang bergerak di perekonomian digital. Kasus yang dapat dijadikan
pelajaran adalah bagaimana ransomware dapat membobol bank sentral Bangladesh dan
Malaysia. Akibatnya, kerugian yang cukup besar pun tak bisa dihindari. Oleh karenanya,
penting bagi pemerintah menciptakan sistem keamanan internet tingkat tinggi guna
menjaga transaksi dan investasi ekonomi digital.

b. Persaingan yang semakin ketat

Perekonomian digital juga membawa persaingan pasar semakin ketat. Berkembangnya e-


commerce seolah menjadi keran masuknya produk-produk dari negara lain ke Indonesia
dengan mudah. Akibatnya, produk-produk lokal pun jika tidak berkembang akan tergerus
oleh produk dari negara lain yang cenderung dijual dengan harga terjangkau. Diperlukan
adanya sinergi dari pihak pemerintah maupun swasta agar produk lokal ini dapat
bersaing. Baik melalui pembinaan hingga bantuan inovasi supaya di masa mendatang
produk lokal dapat menikmati keuntungan dari adanya investasi digital ekonomi
Indonesia.

c. Pembangunan sumber daya manusia

Tantangan selanjutnya dalam menghjadapi investasi digital ekonomi Indonesia ialah


mengenai sumber daya manusia. Hal ini tentu menjadi tugas bagi pemerintah di negara
berkembang seperti Asia Tenggara, termasuk pula di Indonesia. Seperti pekerjaan rumah
di negara-negara berkembang, tenaga kasar masih mendominasi sumber daya dalam hal
sistem perekonomian. Tantangan ini memang tidak bisa diselesaikan dalam waktu
singkat. Salah satu pemecahannya ialah pemerintah lagi-lagi harus bekerja sama dalam
mengedukasi masyarakat dan mempersiapkan sistem pendidikan yang sesuai dengan
perkembangan zaman jika ingin memiliki daya saing yang baik dalam menghadapi
ekonomi digital saat ini.

d. Ketersediaan akses internet yang mumpuni

Sama halnya dengan pembangunan sumber daya manusia, faktor lain yang tak kalah
pentingnya adalah mengenai infrastruktur. Dalam hal ini, yang menjadi poin penting
adalah ketersediaan akses internet mumpuni di hampir seluruh wilayah. Sebab, akses
internet inilah yang memengaruhi investasi digital ekonomi di Indonesia. Saat ini akses
internet masih terpusat di pulau-pulau terbesar saja seperti Jawa, Sumatera, Bali, dan
Nusa Tenggara. Sedangkan wilayah seperti Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua dinilai
masih minim. Data tersebut dilansir oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet di
Indonesia pada 2017 lalu. Diharapkan dengan adanya program pembangunan internet,
nantinya bisa mendorong peningkatan perekonomian.

e. Regulasi yang belum mengikuti perkembangan zaman

Tantangan lainnya ialah mengenai adanya regulasi dan dasar hukum yang perlu
dirancang untuk mengikuti perkembangan zaman. Hukum klasik yang menyebutkan
bahwa hukum selalu berjalan tertatih-tatih mengejar perkembangan zaman mungkin akan
berlaku jika aturan main mengenai digital ekonomi di Indonesia tidak ditangani dengan
optimal. Menanggapi hal ini, pemerintah pun dengan sigap membuat peraturan
perundang-undangan yang mengatur jalannya perekonomian digital nasional. Begitu pula
dengan lembaga-lembaga terkait. Ini semata-mata untuk melindungi hak-hak konsumen
dan pelaku ekonomi digital agar dapat berjalan dengan baik di masa mendatang.

Tantangan yang dihadapi tidak saja berkaitan dengan dampak yang dihasilkan oleh
pandemi. Dunia, termasuk Indonesia pada saat yang bersamaan menghadapi ancaman perubahan
iklim dan menurunnya kualitas dan daya dukung lingkungan. Ancaman-ancaman tersebut, jika
tidak diatasi, dapat menjadi penghambat tercapainya pembangunan yang berkeadilan dan
berkelanjutan dalam jangka panjang, serta dapat memperbesar risiko dan biaya yang harus
dikeluarkan dalam menghadapi krisis serupa dengan pandemi COVID-19, bahkan yang lebih
besar, di masa depan. Oleh karena itu otoritas kebijakan perlu mempertimbangkan pemanfaatan
sumber daya dan kapasitas fiskal secara optimal untuk menghadapi krisis dan tantangan
multidimensi dalam merumuskan strategi pemulihan ekonomi.

METODOLOGI

Penulisan ini berdasarkan penelitian dengan menggunakan metode eksporasi literature


yang dipadukan dengan metode eksplorasi persepsi para stakeholder di lingkungan Kementrian
Keuangan. Metode ekspolasi literature menyajikan suatu teori terkait dengan green economy dan
digital dalam menghadapi covid-19.

HASIL DAN PEMABAHASAN

Gree economy merupakan model ekonomi baru yang berkembang dengan sangat pesat,
yang bertolak belangakang dengan model ekonomi sekarang yang mengunakan fossil fuels.
Green economy didasarkan pada pengetahuan ecologicaleconomic yang membahas tentang
ketergantungan manusia secara

Wacana ekonomi hijau dalam konteks pembangunan berkelanjutan sebenarnya sudah


dipertimbangkan Indonesia sejak tahun 1972, oleh Profesor Otto Sumarwoto yang kemudian
dijabarkan secara komprehensif dalam Buku Overview of Indonesia’s Sustainable Development.
Namun, hingga hari ini implementasinya belum sesuai harapan.

Pandemi virus corona menciptakan krisis global yang belum pernah terjadi pada generasi
abad ini. Ketika tulisan ini dibuat, terdapat 3,308 juta orang yang terkena wabah ini, dengan
kematian mencapai 234 ribu lebih di seluruh dunia. Hingga akhir Maret lalu terdapat lebih dari
100 negara yang menerapkan lockdown atau partial lockdown, yang berdampak pada kehidupan
milyaran orang.
Aktivitas ekonomi di berbagai tingkatan lokal, nasional, global melambat drastic bahkan
terhenti. Disrupsi logistik terjadi di berbagai negara, jaringan rantai pasok terkoyak, aktivitas
produksi dan konsumsi mengalami stagnasi, permintaan energi anjlok, dan sebagai akibatnya
kesempatan kerja pun semakin pupus dan tingkat pengangguran meningkat, demikian juga
kemiskinan meningkat.

“The coronavirus lockdown is saving lives but destroying livelihoods,” kata Tim Harford,
dalam artikelnya di Financial Times, 2 April 2020. International Monetary Fund (IMF)
memperkirakan ekonomi global akan anjlok minus 3% tahun ini.

Indonesia juga terkena dampak sosial dan ekonomi dari wabah virus corona. Pemerintah
memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini akan jauh lebih rendah dari target yang
dicanangkan tahun lalu. Kementerian Keuangan memprediksi ekonomi kita menghadapi
ketidakpastian dan kemungkinan hanya tumbuh minus 0,4% – 2,3%. Sejumlah lembaga
internasional memprediksi ekonomi Indonesia bisa tumbuh 1%-2,5%, tetapi berbagai prediksi
tersebut tergantung pada faktor seberapa buruk dampak pandemi serta efektivitas respon
pemerintah mengatasi perlambatan ekonomi dan besaran stimulus yang dialokasikan untuk
memacu pemulihan ekonomi.

Sejauh ini pemerintah merespon pandemi virus corona dengan tiga strategi: pertama,
membatasi penyebaran virus corona lewat kebijakan PSBB; kedua, memperkuat fasilitas dan
pelayanan kesehatan untuk menghadapi pandemi; ketiga, meredam dampak ekonomi yang
diakibatkan karena aktivitas ekonomi yang melambat dengan memperkuat jaring pengaman sosial
dan dukungan fiskal terhadap dunia usaha dan UMKM yang terdampak. Ketiga strategi ini terlihat
dalam perubahan dan realokasi belanja dalam APBN 2020 yang mengalami penghematan
anggaran K/L, realokasi belanja, dan perluasan pemanfaatan dana desa, serta tambahan anggaran
untuk belanja penanganan COVID-19 yang diatur dalam Perpu No. 1/2020.

Jika diamati, respon pemerintah sejauh ini baru berorientasi pada penanganan krisis dan
dampak krisis saat ini. Sejauh ini belum terlihat adanya strategi untuk melakukan pemulihan
ekonomi pasca-COVID-19. Dampak dari Pandemi COVID-19 memberikan tantangan yang lebih
besar bagi pemerintah untuk mencapai target pembangunan nasional, antara lain: menciptakan
pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkualitas, menciptakan pemerataan ekonomi, mengurangi
kemiskinan, dan membangun infrastruktur secara merata di seluruh Indonesia.

Kapasitas fiskal untuk pemerintah juga berkurang dengan menurunnya sumber-sumber


penerimaan dari pajak dan pendapatan non-pajak. Pulihnya sumber penerimaan negara ditentukan
oleh pulihnya ekonomi dunia dan ekonomi Indonesia yang masih tidak menentu. Oleh karena itu
pilihan strategi pemulihan menjadi sangat instrumental dalam rangka optimalisasi sumber daya
dan dana yang terbatas untuk menghadapi krisis multi-dimensi tersebut, sekaligus berupaya
mencapai target-target pembangunan yang telah direncanakan.

Tantangan yang dihadapi tidak saja berkaitan dengan dampak yang dihasilkan oleh
pandemi. Dunia, termasuk Indonesia pada saat yang bersamaan menghadapi ancaman perubahan
iklim dan menurunnya kualitas dan daya dukung lingkungan. Ancaman-ancaman tersebut, jika
tidak diatasi, dapat menjadi penghambat tercapainya pembangunan yang berkeadilan dan
berkelanjutan dalam jangka panjang, serta dapat memperbesar risiko dan biaya yang harus
dikeluarkan dalam menghadapi krisis serupa dengan pandemi COVID-19, bahkan yang lebih
besar, di masa depan. Oleh karena itu otoritas kebijakan perlu mempertimbangkan pemanfaatan
sumber daya dan kapasitas fiskal secara optimal untuk menghadapi krisis dan tantangan
multidimensi dalam merumuskan strategi pemulihan ekonomi.

Di sisi lain pandemi COVID-19 menciptakan peluang bagi Indonesia masuk ke dalam jalur
pertumbuhan ekonomi rendah karbon (low carbon economy) yang dapat menghasilkan
pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi 5,6% sampai 2024 dan
selanjutnya rata-rata 6% sampai 2045. Jalur ini memberikan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi
dari pendekatan business as usual seperti saat ini. Walaupun demikian pertumbuhan tinggi dapat
terjadi dengan syarat jika aktivitas pembangunan mengintegrasikan mitigasi perubahan iklim
untuk mengurangi emisi gas rumah kaca 41% pada 2030, termasuk di dalamnya adalah
pemanfaatan energi terbarukan mencapai 23% bauran energi primer hingga 2030 (Bappenas,
2019).

Untuk itu dalam menyusun paket stimulus pemulihan ekonomi pasca-pandemi, Presiden
Joko Widodo harus mengintegrasikan transisi energi menuju sistem energi yang mengurangi
ketergantungan pada bahan bakar fosil, akselerasi pengembangan energi terbarukan, penciptaan
lapangan kerja dalam jangka pendek, dan penguatan industri energi terbarukan nasional, serta
penurunan emisi gas rumah kaca. Dengan pengintegrasian ini, diharapkan stimulus fiskal yang
disiapkan oleh pemerintah dapat menciptakan dampak pada ekonomi dalam waktu singkat dan
meletakan fondasi pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang berkelanjutan.

Strategi ini sejalan dengan rekomendasi Managing Director International Monetery


Fund (IMF), Kristalina Georgieva yang disampaikan di Petersberg Climate Dialogue, yang
menyatakan bahwa kebijakan fiskal yang dikeluarkan pemerintah untuk menghadapi virus corona
perlu diharmonisasikan dengan tindakan untuk mengatasi perubahan iklim dan memastikan
pemulihan (ekonomi) yang berkelanjutan secara lingkungan.
Untuk itu IESR mengusulkan kepada pemerintah untuk melakukan green economic
recovery pasca-COVID19 melalui Program Surya Nusantara. Ini adalah program untuk memasang
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap sebesar 1 GWp yang dilakukan di 500-600 ribu
rumah tangga miskin penerima subsidi listrik masing-masing sebesar 1,5 kWp – 2 kWp yang on
grid. Program dimulai persiapannya di 2020 dan dilaksanakan di 2021 dan dapat dilanjutkan
hingga 2025 untuk mendukung tercapainya target 6,5 GW dari energi surya sebagaimana target
Perpres No. 22/2017 tentang RUEN.

Program Surya Nusantara membutuhkan stimulus anggaran sebesar 15 triliun di tahun


pertama, dapat semakin berkurang dari tahun ke tahun seiring dengan penurunan harga modul
surya. Sumber anggarannya berasal dari APBN dan selanjutnya dapat diperluas ke APBD.
Sebagian besar dari dana ini akan dinikmati oleh industri dan pelaku usaha serta pekerja domestik,
yang akan berputar di dalam ekonomi Indonesia.

Program ini diperkirakan dapat menyerap 30 ribu pekerja secara langsung dan tidak
langsung selama setahun penuh. Untuk eksekusinya, diperlukan tenaga kerja terampil
sebagai installater dan untuk melakukan O&M. Penyiapan tenaga kerja terampil dapat dilakukan
dengan melakukan pelatihan yang tersertifikasi. Pelatihan ini dapat diintegrasikan dengan Program
Prakerja. Pelaksanaan pelatihan dilakukan melalui bekerja sama dengan Balai Latihan Kerja,
BUMN dan perusahaan EPC yang akan menampung tenaga kerja untuk melaksanakan program
ini.

Program Surya Nusantara dapat memberikan berbagai manfaat bagi ekonomi Indonesia,
antara lain: pertama, penyerapan tenaga kerja hingga 30 ribu yang akan mengurangi tekanan
pengangguran; kedua, penghematan subsidi listrik Rp. 1,3 triliun per tahun dan akan semakin
bertambah jika program ini diperluas dan dilakukan sampai 2025. Dengan penurunan subsidi dari
program tahun pertama, secara kasar investasi yang dikeluarkan pemerintah akan kembali dalam
waktu 10-12 tahun; ketiga, adanya potensi mitigasi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 1,05 juta
ton/tahun yang dapat berkontribusi pada target penurunan 29% emisi GRK dalam nationally
determined contribution (NDC); keempat, merangsang tumbuhnya industri photovoltaic nasional
dan terbukanya pasar dan investasi untuk industri pendukung PLTS; dan kelima, terbukanya pasar
PLTS Atap. IESR memperkirakan potensi PLTS Atap untuk rumah tangga di Jawa-Bali saja
mencapai 12 GW. Pemanfaatan PLTS Atap oleh rumah tangga. bangunan komersial dan industri
akan mengurangi tekanan terhadap PLN untuk berinvestasi menambah kapasitas pembangkit.

Program Surya Nusantara, jika dilakukan dapat menjadi contoh nyata green economic
recovery in action, yang menunjukan kepemimpinan Indonesia merespon krisis di kawasan Asia
Tenggara dan di tingkat dunia.

Ada beberapa perkembangan yang cukup baik dalam hal, misalnya, beberapa belanja
pemerintah itu sudah ada yang namanya climate budget tagging. Jadi, harus dipastikan alokasi
belanja itu mendukung green economy, itu sudah berjalan sekarang. Tapi enggak cukup. Ya tadi,
karena yang lebih besar berperan sebenarnya adalah sektor swasta,”

Kendala terbesar untuk membangun ekonomi hijau butuh pendanaan yang besar. Meski
sejauh ini sudah ada penekanan, misalnya mengeluarkan sukuk hijau atau green bond, di sektor
swasta terutama di sektor perbankan masih banyak yang belum mempraktikkan green
banking atau green financing. Bank itu sebagai urat nadinya likuiditas banyak masih
menyalurkan ke sektor ekstraktif atau sektor yang tidak in-line dengan ekonomi hijau.
Pertambangan, sektor perhutanan seperti kelapa sawit itu masih menjadi prioritas penyaluran
pinjaman dari perbankan.
` Selain itu, kesiapan konsumen juga menjadi kendala. Kalau insentifnya kurang nanti
harga energi yang diterima konsumen itu terlalu mahal. Misalkan, kenapa enggak pakai solar
panel? Karena mahal dibandingkan beli di PLN. Jadi nilai ekonomi bisa terjangkau oleh
konsumen kalau ada insentifnya, untuk mewujudkan ekonomi hijau yang berkelanjutan, Bhima
menyarankan agar pemerintah juga membuat APBN yang pro terhadap ekonomi hijau, yakni
memastikan belanja pemerintah pusat sampai dengan belanja pemerintah daerah sampai mata
anggaran paling kecil digunakan untuk belanja yang pro terhadap lingkungan hidup. Misalnya,
memberikan subsidi kepada UMKM, tapi UMKM yang bergerak di industri ramah lingkungan.

Selanjutnya, ekonomi hijau juga membutuhkan insentif fiskal yang lebih tepat sasaran
dan lebih sinkron antarkementerian/lembaga. Selain itu, pemerintah bisa melakukan dengan cara
mendorong sistem BUMN untuk mempraktikkan green banking secara komprehensif atau
kepada BUMN untuk mulai bergerak pengembangan EBT dan meninggalkan perlahan sektor-
sektor yang bertentangan dengan green economy.
KESIMPULAN DAN SARAN

Ekonomi hijau dalam konteks pembangunan berkelanjutan sebenarnya sudah


dipertimbangkan Indonesia sejak tahun 1972, yang kemudian dijabarkan secara komprehensif.
Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini akan jauh lebih rendah dari target
yang dicanangkan tahun lalu. Pertumbuhan perekonomian Indonesia tergantung pada faktor
seberapa buruk dampak pandemi serta efektivitas respon pemerintah mengatasi perlambatan
ekonomi dan besaran stimulus yang dialokasikan untuk memacu pemulihan ekonomi. Sejauh ini
pemerintah merespon pandemi virus corona dengan tiga strategi: pertama, membatasi
penyebaran virus corona lewat kebijakan PSBB; kedua, memperkuat fasilitas dan pelayanan
kesehatan untuk menghadapi pandemi; ketiga, meredam dampak ekonomi yang diakibatkan
karena aktivitas ekonomi yang melambat dengan memperkuat jaring pengaman sosial dan
dukungan fiskal terhadap dunia usaha dan UMKM yang terdampak. Dampak dari Pandemi
COVID-19 memberikan tantangan yang lebih besar bagi pemerintah untuk mencapai target
pembangunan nasional, antara lain: menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkualitas,
menciptakan pemerataan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan membangun infrastruktur secara
merata di seluruh Indonesia.

Oleh karena itu pilihan strategi pemulihan menjadi sangat instrumental dalam rangka
optimalisasi sumber daya dan dana yang terbatas untuk menghadapi krisis multi-dimensi
tersebut, sekaligus berupaya mencapai target-target pembangunan yang telah direncanakan.
Ancaman-ancaman tersebut, jika tidak diatasi, dapat menjadi penghambat tercapainya
pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan dalam jangka panjang, serta dapat
memperbesar risiko dan biaya yang harus dikeluarkan dalam menghadapi krisis serupa dengan
pandemi COVID-19, bahkan yang lebih besar, di masa depan. Oleh karena itu otoritas kebijakan
perlu mempertimbangkan pemanfaatan sumber daya dan kapasitas fiskal secara optimal untuk
menghadapi krisis dan tantangan multidimensi dalam merumuskan strategi pemulihan ekonomi.

Di sisi lain pandemi COVID-19 menciptakan peluang bagi Indonesia masuk ke dalam
jalur pertumbuhan ekonomi rendah karbon (low carbon economy) yang dapat menghasilkan
pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkelanjutan. Walaupun demikian pertumbuhan tinggi dapat
terjadi dengan syarat jika aktivitas pembangunan mengintegrasikan mitigasi perubahan iklim
untuk mengurangi emisi gas rumah kaca 41% pada 2030, termasuk di dalamnya adalah
pemanfaatan energi terbarukan (Bappenas, 2019). Untuk itu diperlukan penyusunan paket
stimulus pemulihan ekonomi pasca-pandemi, pemerintah harus mengintegrasikan transisi energi
menuju sistem energi yang mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, akselerasi
pengembangan energi terbarukan, penciptaan lapangan kerja dalam jangka pendek, dan
penguatan industri energi terbarukan nasional, serta penurunan emisi gas rumah kaca.

Dengan pengintegrasian ini, diharapkan stimulus fiskal yang disiapkan oleh pemerintah
dapat menciptakan dampak pada ekonomi dalam waktu singkat dan meletakan fondasi
pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang berkelanjutan. Strategi ini sejalan dengan
rekomendasi Managing Director International Monetery Fund (IMF), Kristalina Georgieva yang
disampaikan di Petersberg Climate Dialogue, yang menyatakan bahwa kebijakan fiskal yang
dikeluarkan pemerintah untuk menghadapi virus corona perlu diharmonisasikan dengan tindakan
untuk mengatasi perubahan iklim dan memastikan pemulihan (ekonomi) yang berkelanjutan
secara lingkungan. Untuk itu IESR mengusulkan kepada pemerintah untuk melakukan green
economic recovery pasca-COVID19 melalui Program Surya Nusantara. Ini adalah program
untuk memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap sebesar 1 GWp yang dilakukan
di 500-600 ribu rumah tangga miskin penerima subsidi listrik masing-masing sebesar 1,5 kWp –
2 kWp yang on grid.

Sebagian besar dari dana ini akan dinikmati oleh industri dan pelaku usaha serta pekerja
domestik, yang akan berputar di dalam ekonomi Indonesia. Program Surya Nusantara dapat
memberikan berbagai manfaat bagi ekonomi Indonesia, antara lain: pertama, penyerapan tenaga
kerja hingga 30 ribu yang akan mengurangi tekanan pengangguran; kedua, penghematan subsidi
listrik Rp. 1,3 triliun per tahun dan akan semakin bertambah jika program ini diperluas dan
dilakukan sampai 2025. Dengan penurunan subsidi dari program tahun pertama, secara kasar
investasi yang dikeluarkan pemerintah akan kembali dalam waktu 10-12 tahun; ketiga, adanya
potensi mitigasi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 1,05 juta ton/tahun yang dapat
berkontribusi pada target penurunan 29% emisi GRK dalam nationally determined contribution
(NDC); keempat, merangsang tumbuhnya industri photovoltaic nasional dan terbukanya pasar
dan investasi untuk industri pendukung PLTS; dan kelima, terbukanya pasar PLTS Atap.
Program Surya Nusantara, jika dilakukan dapat menjadi contoh nyata green economic recovery
in action, yang menunjukan kepemimpinan Indonesia merespon krisis di kawasan Asia Tenggara
dan di tingkat dunia. Selain itu, pemerintah bisa melakukan dengan cara mendorong sistem
BUMN untuk mempraktikkan green banking secara komprehensif atau kepada BUMN untuk
mulai bergerak pengembangan EBT dan meninggalkan perlahan sektor-sektor yang bertentangan
dengan green economy.
DAFTAR PUSTAKA

Andriani,Dewi. 2020. Pendekatan Green Economy Pacu Pertumbuhan saat Pandemi Covid-19.
https://ekonomi.bisnis.com/read/20200723/257/1269925/pendekatan-green-economy-
pacu-pertumbuhan-saat-pandemi-covid-19

Tumiwa,Fabby. 2020. Energi Terbarukan Sebagai Strategi Green Economic Recovery Pasca-
COVID19. https://iesr.or.id/akselerasi-pembangunan-energi-terbarukan-sebagai-strategi-
green-economic-recovery-pasca-covid19
Yulianto,Heru. 2021. Momentum Untuk Ekonomi Hijau. https://majalahpajak.net/momentum-
untuk-ekonomi-hijau/

Yusuf. 2021. Potesi Bwsar Indonesia Pada Ekonomi Hijau Dan Digital.
https://www.kominfo.go.id/content/detail/38192/potensi-besar-indonesia-pada-ekonomi-
hijau-dan-digital/0/berita

Kiranajaya,Wihana. 2020. Ekonomi Hijau Digital. https://www.kompas.id/baca/artikel-


opini/2022/04/27/ekonomi-hijau-digital

Zein,Hasan. 2021. Ekonomi Masa Depan : Digital Dan Green Ekonomi.


https://investor.id/investory/234223/ekonomi-masa-depan-digital-dan-green-economy

Anda mungkin juga menyukai