Perusahaan asuransi pelaksana asuransi pertanian harus memiliki izin produk asuransi
pertanian yang disahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Asuransi Pertanian dilakukan untuk melindungi Petani dari kerugian gagal panen akibat:
a. Bencana Alam;
b. serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan;
c. wabah Penyakit Hewan Menular;
d. dampak perubahan iklim; dan/atau
e. jenis risiko-risiko lain.
a. Tim pusat
(1) Tim pusat terdiri atas pengarah, pelaksana, dan anggota.
(2) Tim Pusat dibentuk oleh Menteri Pertanian
(3) Tim bertugas:
a. menyusun bahan rumusan asuransi pertanian;
b. menetapkan calon penerima bantuan premi asuransi pertanian;
c. melaksanakan sosialisasi asuransi pertanian; dan
d. melakukan monitoring pelaksanaan asuransi pertanian.
b. Tim provinsi
(1) Tim provinsi atas pengarah, pelaksana, dan anggota.
(2) Keanggotaan tim provinsi berasal dari unsur antara lain Dinas provinsi, Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Badan Koordinasi
Penyuluhan.
(3) Tim provinsi dibentuk oleh gubernur; dan
(4) Tim ini bertugas:
a. inventarisasi, verifikasi dan mengusulkan calon peserta asuransi yang diusulkan
oleh kabupaten/kota;
b. melaksanakan sosialisasi asuransi pertanian; dan
c. melakukan monitoring pelaksanaan asuransi pertanian.
c. Tim kabupaten/kota
(1) Tim kabupaten/kota terdiri atas pengarah, pelaksana, dan anggota.
(2) Keanggotaan tim kabupaten/kota dari unsur antara lain Dinas kabupaten/kota,
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Badan Pelaksana
Penyuluhan.
(3) Tim kabupaten/kota dibentuk oleh bupati/walikota
(4) Tim ini bertugas:
a. inventarisasi, verifikasi dan mengusulkan calon penerima bantuan premi
asuransi pertanian kepada tim provinsi;
b. melaksanakan sosialisasi asuransi pertanian; dan
c. melakukan monitoring pelaksanaan asuransi pertanian.
Secara lebih rinci, program asuransi pertanian diatur melalui Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 40/Permentan/SR.230/7/2015 tentang Fasilitas Asuransi Pertanian
dimana peraturan tersebut membahas hal teknis program tersebut. Pemerintah telah
menjelaskan bahwa program tersebut akan memberikan penggantian sebesar Rp6 juta
per hektar dengan premi sebesar Rp. 180 ribu dimana pemerintah akan memberikan
subsidi sebesar 80% sehingga para peserta hanya perlu membayar sebesar Rp36. ribu.
Asuransi pertanian tersebut masih memiliki beberapa hal yang perlu untuk dievaluasi
kembali. Pertama dari segi ganti rugi, yang disebutkan sebesar Rp. 6 juta per hektar.
Jika dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan petani, maka angka tersebut kurang
mencukupi. Ongkos usaha tanaman tahun 2014 untuk padi sawah adalah sebesar Rp.
12,7 juta sedangkan untuk padi ladang adalah sebesar Rp. 7,8 juta. Padahal petani
juga bukan hanya perlu modal untuk bisa kembali bercocok tanam, tetapi juga
membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya sendiri serta rumah
tangganya sampai masa panen berikutnya.
Angka tersebut tentu saja akan berbeda di setiap daerah dan kemungkinan besar relatif
lebih mahal di luar Jawa yang notabene memiliki infrastruktur yang kurang memadai,
harga input yang tinggi dan pasokannya terbatas. Angka ganti rugi yang rendah akan
mengurangi minat para petani untuk berpartisipasi dalam program ini, kendati biaya
premi yang rendah karena disubsidi oleh pemerintah. Seandainya pemerintah berniat
menaikkan besaran ganti rugi pun, maka pemerintah masih perlu mengkaji ulang
apakah menutupinya dengan cara menaikkan premi yang tentu akan memberatkan
petani atau meningkatkan anggaran subsidi premi yang akan berdampak terhadap
APBN.
Moral hazard, dalam beberapa kasus seperti yang terjadi di India dapat berubah
menjadi fraud atau kecurangan dimana masyarakat secara sengaja menggagalkan
panennya untuk mendapatkan ganti rugi. Hal ini terjadi karena biaya pengawasan yang
tinggi bagi pihak asuransi untuk memastikan apakah kegagalan panen benar-benar
terjadi karena faktor yang sudah tertera dalam kontrak atau merupakan unsur kelalaian
atau bahkan kesengajaan dari pihak petani.
Beberapa hal bisa dilakukan pemerintah untuk lebih mengoptimalkan utilitas dari
asuransi pertanian. Pertama, asuransi pertanian sebaiknya menjadi sebuah program
wajib yang harus diikuti oleh semua petani. Hal ini tentu saja bukan hal yang mudah
terutama untuk meyakinkan mereka yang memiliki kepercayaan yang rendah terhadap
sistem asuransi dan petani yang sebenarnya memiliki risiko gagal panen yang rendah.
Namun, asuransi pertanian, selain untuk pengaman bagi petani apabila terjadi gagal
panen, asuransi pertanian juga sebagai pengenalan instrumen asuransi kepada petani.
Kebijakan untuk mewajibkan petani mengikuti asuransi pertanian sebaiknya diikuti
dengan sosialisasi yang intensif terhadap petani sehingga memahami pentingnya
asuransi dan mengerti teknis prosedurnya. Selain itu, perlu pertimbangan yang matang
terkait pengeluaran subsidi yang perlu dikeluarkan pemerintah untuk membiayai premi
asuransi petani tersebut.
Selain itu, pertanian di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Mulai dari
jenis sawah, pola waktu tanam, jenis tanaman, cuaca dan kondisi geografis, yang
menyebabkan satu daerah dengan yang lain memiliki risiko yang berbeda. Karena perlu
kajian lebih mendalam dari pemerintah mengenai risiko, premi dan ganti rugi yang perlu
dikenakan berdasarkan faktor-faktor tersebut yang seharusnya berbeda-beda. Akan
menjadi tidak adil apabila petani dengan risiko yang rendah perlu membayar premi
yang sama dengan petani berisiko tinggi padahal jumlah ganti rugi yang diberikan
sama. Begitu pula apabila ganti rugi yang diberikan sama padahal biaya yang
dikeluarkan petani berbeda karena perbedaan jenis tanaman.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa petani memiliki risiko lain terkait dengan
kepastian harga jual dan harga input serta ketersediannya di pasar. Ini dapat menjadi
pertimbangan bagi pemerintah untuk memasukkan kriteria ini ke dalam kontrak
asuransi atau menyusun program lain yang terintegrasi dengan asuransi pertanian.
Misalnya, pemerintah akan memberikan harga yang lebih murah serta akses ke faktor
input semisal pupuk yang lebih baik kepada petani yang memiliki asuransi pertanian.
Strategi seperti ini diharapkan lebih persuasif untuk mengajak masyarakat berasuransi
sekaligus memberikan kepastian keuntungan kepada petani yang berdampak terhadap
terwujudnya ketahanan pangan yang sustainable sekaligus meningkatkan
kesejahteraan petani.
Pertanian merupakan salah satu usaha yang rawan terhadap dampak negatif
perubahan iklim, seperti banjir dan kekeringan yang dapat menyebabkan gagal panen.
Jika tidak diantisipasi dengan tepat, hal ini berpotensi melemahkan motivasi petani
untuk mengembangkan usaha tani, bahkan dapat mengancam ketahanan pangan.
Kemampuan petani beradaptasi terhadap perubahan iklim terkendala oleh modal,
penguasaan teknologi, dan akses pasar. Pendekatan konvensional dengan
menerapkan salah satu atau kombinasi strategi produksi, pemasaran, finansial, dan
pemanfaatan kredit informal diperkirakan kurang efektif. Oleh karena itu diperlukan
sistem proteksi melalui pengembangan asuransi pertanian terutama untuk padi.
Pembahasan dan penyempurnaan Draft Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani antara lain menyebutkan untuk melindungi
petani dari gagal panen akibat kekeringan, banjir ataupun serangan organisme
pengganggu tanaman (OPT). Kementerian Pertanian menargetkan program asuransi
pertanian dapat dijalankan mulai tahun 2014. Secara sistem, Kementerian Pertanian
telah melakukan uji coba di tiga provinsi dengan menggandeng perusahaan asuransi
PT Jasindo (Jasa Indonesia). Kriteria yang ditetapkan untuk asuransi pertanian yaitu
petani maksimal lahannya seluas dua hektar dengan tingkat puso atau gagal panen
seluas 75 persen dengan target sebaran di 17 provinsi sentra produksi padi di
Indonesia. Kementerian Pertanian (Kementan) melakukan uji coba asuransi pertanian
sebagai upaya memberikan perlindungan jika petani mengalami gagal panen, dengan
memberikan ganti rugi keuangan sebagai modal kerja usaha tani untuk penanaman
berikutnya. Skala pilot project asuransi diujicobakan untuk tanaman padi seluas 3.000
hektar dengan lokasi Jawa barat, Jawa Timur, dan Sumatera Selatan. Uji coba ini
melibatkan partisipasi BUMN Pertanian. Dengan pola kemitraan, BUMN memfasilitasi
pembiayaan premi asuransi sebesar 80 persen, sedangkan 20 persen sisanya menjadi
tanggungan petani. Sebagai contoh awal, premi asuransi ditetapkan sebesar Rp
180.000 per hektar dimana sekitar Rp 144.000 ditanggung BUMN pupuk dan sisanya
sebesar Rp 36.000 menjadi tanggungan petani. Dengan premi sebesar itu apabila
petani gagal panen (puso), maka dia akan mendapatkan santunan sebesar Rp
6.000.000 per hektar. Keberhasilan proyek percontohan ini akan mampu menjelaskan
bahwa asuransi pertanian bisa diberlakukan dalam skala yang lebih luas dan pada
tahun-tahun berikutnya sehingga program asuransi pertanian yang menguntungkan
bagi petani dapat menyebabkan mereka bisa membayar premi sendiri tanpa subsidi