Anda di halaman 1dari 181

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Magang adalah kegiatan mahasiswa yang dilaksanakan di luar kampus guna
mendapatkan pengalaman kerja praktis yang sesuai dengan bidang peminatan
mahasiswa serta diharapkan dapat menerapkan teori yang telah didapatkan di
lingkungan kampus dalam lingkungan kerja melalui observasi dan partisipasi. Kegiatan
mahasiswa magang dilaksanakan sesuai formasi struktural dan fungsional pada instansi
tempat magang baik lembaga pemerintah, swasta, maupun lembaga swadaya
masyarakat/lembaga non pemerintah (FKM UNAIR, 2014).
Kesehatan lingkungan merupakan ilmu yang mempelajari tentang adanya hubungan
timbal bailk antara faktor kesehatan dan lingkungan, kesehatan yang dimaksud memiliki
arti yang luas yang menyangkut semua segi kehidupan yang lingkup jangkauannya
cukup luas. Salah satu parameter dalam menentukan status kesehatan suatu daerah yaitu
dengan melihat angka kesakitan yang menunjukkan ratio penyakit di masyarakat
(Mukono, 2006).
Kegiatan magang dilaksanakan di instansi sesuai dengan peminatan di Fakultas
Kesehatan Masyarakat. Salah satu instansi yang dipilih oleh mahasiswa peminatan
kesehatan lingkungan yaitu BBTKLPP Surabaya.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
2349/MENKES/PER/XI/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis
(UPT) di Bidang Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit merupakan
Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Kementrian Kesehatan di bawah dan bertanggung
jawab kepada Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
yang memiliki tugas untuk melaksanakan surveilans epidemiologi, kajian, dan
penapisan teknologi, laboratorium rujukan, uji kendali mutu, kalibrasi, pendidikan dan
pelatihan, pengembangan model dan teknologi tepat guna, kewaspadaan dini dan
penganggulangan KLB di bidang pengendalian penyakit dan kesehatan lingkungan.
Berdasarkan peminatan mahasiswa magang yaitu kesehatan lingkungan Fakultas
Kesehatan masyarakat, oleh karena itu memilih bidang Analisis Dampak Kesehatan
Lingkungan (ADKL) dan Surveilans Epidemiologi (SE). Hal ini disebabkan karena
program yang dilaksanakan oleh bidang ADKL serta kajian yang dilakukan sesuai

1
2

dengan peminatan kesehatan lingkungan seperti melakukan kajian ARKL, kajian badan
air dengan metode storet, serta analisis higiene sanitasi makanan, sedangkan mahasiswa
juga memilih bidang SE dikarenakan adanya program surveilans bencana dan KLB
serta kewaspadaan dini yang dilakukan tidak dapat dipisahkan dengan faktor
lingkungan.
Pada bidang ADKL kami melakukan analisis terhadap hasil pengujian kualitas
lingkungan yang ada di rumah sakit di Jawa Timur pada tahun 2015. Kualitas
lingkungan yang dimaksud yaitu meliputi kualitas biologi air, makanan, dan udara,
kimia air dan udara, serta fisik udara di rumah sakit. Begitupula di bidang SE kami juga
melakukan beberapa analisis menggunakan data hasil laporan terjadinya bencana dan
KLB pada tahun 2015 dan 2014 yaitu tentang analisis faktor risiko bencana dan KLB di
Jawa Timur, Bali, NTT, dan NTB, serta risiko penyakit PES di Nongkojajar.
1.2 Tujuan Magang
1.2.1 Tujuan umum
Mempelajari gambaran umum Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian penyakit (BBTKLPP) Suarabaya, mampu beradaptasi, memperoleh
pengalaman dan keterampilan, penyesuaian sikap, dan pengetahuan di dunia kerja
dalam rangka memperkaya pengetahuan di bidang Kesehatan Lingkungan, serta melatih
kemampuan bekerja sama dengan orang lain dalam satu tim sehingga diperoleh manfaat
bersama, baik di kampus maupun di BBTKLPP Surabaya.
1.2.2 Tujuan khusus
Tujuan dari pelaksanaan Magang di BBTKLPP adalah sebagai berikut:
1. Untuk mempelajari gambaran umum bidang ADKL, tugas pokok bidang ADKL,
fungsi bidang ADKL
2. Untuk mempelajari kegiatan bidang ADKL(uji kualitas lingkungan Rumah Sakit di
Jawa Timur)
3. Untuk mempelajari gambaran umum bidang SE, tugas pokok bidang SE, fungsi
bidang SE dan kegiatan bidang SE
4. Untuk mempelajari rencana kontingensi bencana gunung meletusdi Jawa Timur,
Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat
5. Untuk mempelajari rencana kontingensi bencana banjirdi Jawa Timur
6. Untuk mempelajari rencana kontingensi bencana tanah longsordi Jawa Timur
3

7. Untuk mempelajari rencana kontingensi bencana kekeringan di Jawa Timur


8. Untuk mempelajari penilaian risiko KLB keracunan makanan di Jawa Timur
9. Untuk mempelajari penilaian risiko KLB DBD di Jawa Timur
10. Untuk mempelajari penilaian risiko KLB Leptospirosis di Jawa Timur
11. Untuk mempelajari pengendalian Pes di Nongkojajar
1.3 Manfaat Magang
1.3.1 Manfaat bagi mahasiswa
1. Mendapatkan kesempatan untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama
perkuliahan khususnya yang berkaitan dengan kesehatan lingkungan;
2. Mendapatkan gambaran tentang kondisi dunia kerja sesungguhnya dan memiliki
pengalaman dalam aktivitas di BBTKLPP serta mendapatkan kesempatan untuk
mengaplikasikan berdasarkan kondisi di lapangan;
3. Mengembangkan wawasan berpikir, bernalar, menganalisa, dan mengantisipasi
suatu permasalahan dengan mengacu pada materi teoritis dari disiplin ilmu yang
ditempuh dan mengaitkannya dengan kondisi sesungguhnya;
4. Melatihkemampuandalamhalbekerjasamadengan orang lain terutama bekerja
dalam tim (teamwork).
1.3.2 Manfaat bagi BBTKLPP Surabaya
1. Dapat memperoleh masukan mengenai kondisi dan permasalahan yang dihadapi
BBTKLPP;
2 Adanya kritikan yang membangun dari mahasiswa-mahasiswa yang melakukan
magang;
3 Mendapatkan feedback positif dari interaksi yang terjadi antara mahasiswa dan
BBTKLPP.
1.3.3Manfaat bagi perguruan tinggi
1. Sebagai tambahan referensi khususnya mengenai Kesehatan Lingkungan dan
dapat digunakan oleh pihak yang memerlukan sehingga dapat menjadikan
Universitas Airlangga sebagai perguruan tinggi yang unggul dalam praktik di
dunia kerja
2. Terjalinnya kerjasama “bilateral” antara Universitas dengan BBTKLPP
3. Universitas akan dapat meningkatkan kualitas lulusannya melalui pengalaman
kerja magang.
BAB II
METODE KEGIATAN MAGANG
2.1 Lokasi
Pelaksanaan magang berlokasi di Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit (BBTKL-PP) Surabaya yang berada di Jalan Sidoluhur No. 12
Surabaya dan Laboratorium Zoonosis Nongkojajar Desa Wonosari Kecamatan Tutur
Kabupaten Pasuruan.

2.2 Waktu
Tabel 2.1 Jadwal Kegiatan Magang Mahasiswa FKM UNAIR di BBTKL dan PP
Surabaya
Tahun 2015 Tahun 2016
M
a
No Kegiatan November Desember Januari Februari r
e
t
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1
1. Penyusunan
Proposal
2. Pengurusan Izin ke
Instansi
3. Persiapan dan
Pembekalan
Magang
4. Pelaksanaan
Magang I
Z
1. Orientasi
I
BBTKL
N
2. Pelaksanaan
Kegiatan Lapangan
5. Penyusunan
Laporan Magang
6. Seminar Magang

2.3 Metode pelaksanaan


Metode magang yang dilaksanakan di BBTKL PP Surabaya adalah sebagai berikut:
1. Mendengarkan arahan lisan berupa ceramah dan disertai dengan tanya jawab
dari pembimbing/pendamping pada instalasi/lapangan/bidang serta pejabar
instansi magang.

4
5

2. Melakukan observasi yaitu pengamatan tentang pelaksanaan kegiatan di


bidang/lapangan.
3. Partisipasi aktif yaitu dengan ikut serta dalam suatu pelaksanaan kegiatan di
instalasi/lapangan/bidang.

2.4 Teknik pengumpulan data


Data yang digunakan merupakan data sekunder, yaitu diambil dari data hasl
pengujian di laboratorium BBTKL-PP Surabaya, data rekapan kegiatan tahun
sebelumnya, dan data hasil pemantauan yang dilakukan oleh tim BBTKL PP Surabaya.
Data sekunder diolah dan ditambah referensi dari berbagai sumber serta disajikan dalam
bentuk deskriptif dan analitik.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Bidang Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan (ADKL)
3.1.1 Gambaran umum bidang ADKL
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
2349/MENKES/PER/XI/2011 pasal 21 menyatakan bahwa bidang Analisis Dampak
Kesehatan Lingkungan mempunyai tugas melaksanakan perencanaan dan evaluasi
pelaksanaan analisis dampak kesehatan lingkungan fisik dan kimia, serta dampak
lingkungan biologi, dan pendidikan dan pelatihan di bidang pengendalian penyakit,
kesehatan lingkungan, dan kesehatan matra.
Menurut Kepmenkes RI No. 876/Menkes/SK/VIII/2001 Analisis Dampak
Kesehatan Lingkungan (ADKL) merupakan mutu pendekatan untuk mencermati
masalah kesehatan masyarakat denngan menggunakan rencana pembangunan sebagai
titik awal dalam melihat dampak kesehatan yang berhubungan.
3.1.2 Tugas pokok bidang ADKL
1. Menyiapkan bahan kajian analisis media lingkungan dan biomarker
2. Menyiapkan bahan kajian analisis dampak kesehatan perubahan iklim
3. Menyiapkan bahan pengumpulan data aspek fisik, kimia, biologi, dan
radioaktivitas media lingkungan dan biomarker
4. Menyiapkan bahan laporan tahunan situasi dan kecenderungan kualitas media
lingkungan, biomarker, dan potensi risiko kesehatan
5. Menyiapkan bahan/ materi pelatihan teknis ADKL
6. Melakukan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh atasan dalam rangka
kelancaran pelaksanaan tugas
3.1.3 Fungsi bidang ADKL
1. Analisis dampak lingkungan fisik dan kimia
2. Analisis dampak biologi
3. Pelaksanaan jejaring kerja dan kemitraan di bidang analisis dampak kesehatan
lingkungan
4. Pendidikan dan pelatihan di bidang analisis dampak kesehatan lingkungan.

6
7

3.1.4 Kegiatan bidang ADKL: Uji kualitas udara ruang RS Jawa Timur
1. Jumlah rumah sakit yang melakukan uji kualitas fisik, kimia dan biologi di
BBTKL PP Surabaya
Ga 42
m
b
ar

10 9

3 3 3 3 2 3 3 3 2 2 4
1 2 2 1 2 1 1 2 1 2 1 1 2 2 2 2
jon ar

om k

Ka ediri

Mo ng

n
Kab diun

jo
Ko ang
Ka Gresi

Pro ruan

Tu baya
Kab erto
Kab acita
t

Kab oro
Kab gi

g
Kab inggo
Bli

Ko idoar
Kab Mala

un
an

b
K
a
eg

jok

Ko Pasu

Kab Sura
bM

gag
uw

P
ta

l
S
bo
bJ
ny

lun
Bo

ta
Ba

Kab
Kab

ta

3.1 Distribusi Rumah Sakit yang Melakukan Pengujian Sampel di BTKLPP Surabaya
Tahun 2015
Berdasarkan grafik di atas, selama tahun 2015 terdapat total 117 rumah
sakit yang tersebar di 30 kabupaten/kota di Jawa Timur yang melakukan
pengujian sampel di BTKLPP Surabaya. Tiga kabupaten/kota memiliki jumlah
rumah sakit terbanyak yang melakukan pengujian sampel di BTKLPP Surabaya
yaitu Kota Surabaya (35,9%), Kabupaten Malang (8,5%) dan Kabupaten
Sidoarjo (7,7%).
8

2. Kualitas Kimia Fisika Limbah Cair Rumah sakit

Jumlah Sampel Pengujian di Laboratorium Kimia Limbah BBTKL


PP Surabaya Tahun 2015

13% 14%

Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat
Tidak Dapat Disimpulkan

73%

Gambar3.2 Jumlah sampel Pengujian di Laboratorium Kimia Fisika Limbah Cair


Jumlah sampel yang diuji oleh Laboratorium Limbah Kimia pada tahun 2015
sebanyak 501 sampel. Jumlah sampel yang memenuhi batas syarat sesuai
PERGUB JATIM No. 72 Tahun 2013 Tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi
Industri dan/atau Kegiatan Usaha Lainnya adalah sebanyak 14% memenuhi
syarat, sebanyak 73% tidak memenuhi syarat(sebagian besar parameter BOD,
COD, TSS dan NH3bebas), sedangkan 13% tidak dapat disimpulkan karena
tidak tersedia data debit dan tempat tidur terhuni yang diperlukan dalam
perhitungan kadar sesuai yang dipersyaratkan.
9

3. Kualitas Biologi Lingkungan Rumah Sakit

100% 97% 99%


90% 93%
85%
79%
71%
59% 62%

41% 38%
29%
21%
15%
10% 7%
0% 3% 1%
AB

UR
AM

RS
b

ai

en
g
an
an

in
wa

nt

AL
Lin
ak
um

nd
La
lS

Di

ab
in

cta

ab
at
-M

Sw
ab
Sw
Re

Al
an

Sw
ab
an

MS TMS
Sw
ak
M

Gambar 3.3 Data sampel Rumah Sakit yang diujikan di Laboratorium Biologi

Jumlah sampel rumah sakit yang diujikan pada Laboratorium Biologi


BBTKL PP Surabaya pada tahun 2015 sebanyak 2543 sampel. Berdasarkan
Permenkes 416 tahun 1990 jumlah sampel Air Bersih (AB) tentang Syarat-
syarat dan Pengawasan Kualitas Air yang memenuhi syarat pada sampel air
bersih sebanyak 71%, sedang sampel yang tidak memenuhi syarat sebanyak
29%. Berdasarkan Permenkes 492 tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air
Minum, jumlah sampel Air Minum (AM) yang memenuhi syarat pada sampel
air minum sebanyak 85%, sedangkan yang tidak memenuhi syarat sebanyak
15%. Berdasarkan Permenkes RI No. 1096/Menkes/PER/VI/2011 tentang
Higiene Sanitasi Jasaboga, sampel makanan dan minuman yang memenuhi
syarat sebanyak 79% sedangkan yang tidak memenuhi syarat sebanyak 21%.
Berdasarkan Kepmenkes Nomor : 1204/ Menkes/SK/X/2004 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, sampel udara ruang yang
memenuhi persyaratan sebanyak 59% sedangkan yang tidak memenuhi syarat
sebanyak 41%. Berdasarkan Permenkes RI No. 1096/Menkes/PER/VI/2011
tentang Higiene Sanitasi Jasaboga , jumlah sampel rectal swab semuanya
memenuhi persyaratan atau 100% memenuhi syarat. Berdasarkan Permenkes RI
No. 1096/Menkes/PER/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga, sampel swab
alat makan yang memenuhi persyaratan sebanyak 90%, sedangkan yang tidak
memenuhi syarat sebanyak 10%. Berdasarkan Kepmenkes Nomor : 1204/
10

Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit,


sampel swab lantai yang memenuhi syarat sebanyak 97%, sedangkan yang tidak
memenuhi syarat sebanyak 3%. Berdasarkan Kepmenkes Nomor : 1204/
Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit,
jumlah sampel swab dinding yang memenuhi syarat sebanyak 99% sedangkan
sisanya sebanyak 1% tidak memenuhi syarat. Berdasarkan Kepmenkes Nomor :
1204/ Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah
Sakit, jumlah sampel swab linen yang memenuhi syarat sebanyak 97%,
sedangkan untuk 3% lainnya tidak memenuhi syarat. Berdasarkan Kepmenkes
Nomor : 1204/ Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit, jumlah sampel air limbah rumah sakit yang memenuhi syarat 62%
sedangkan tidak memenuhi syarat 38%.
a. Hasil Pengujian Swab Lantai di Rumah Sakit

MS TMS

99% 100% 100%


97% 94%
∑sampel 158

∑sampel 212 ∑sampel 13 ∑sampel 42


∑sampel 18

3% 6%
1% 0% 0%
Operasi Perawatan Isolasi UGD Tidak Dapat disimpulkan
Gambar 3.4 Data Sampel Swab Lantai RumahSakit di Laboratorium Biologi
Jumlah sampel swab lantai ruangan rumah sakit yang diuji pada
BBTKL PP Surabaya pada tahun 2015 sebanyak 443 sampel yang terbagi
menjadi 4 ruangan diantaranya ruang operasi 158 sampel, ruang perawatan
212 sampel, UGD 18 sampel, sedangkan ruang isolasi 13 sampel dan tidak
dapat disimpulkan 42 sampel. Menurut Kepmenkes Nomor : 1204/
Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit
terbagi menjadi 4 klasifikasi ruangan yaitu swab lantai ruang operasi dan
ruang isolasi dengan konsentrasi batas maksimal mikroorganisme 0-5
CFU/cm3, sedangkan untuk swab lantai ruang perawatan dan ruang UGD
11

dengan konsentrasi batas maksimal mikroorganisme 5-10 CFU/cm3.


Berdasarkan grafik diatas dapat disimpulkan bahwa sampel swab ruang
operasi yang memenuhi syarat mikrobiologi menurut Kepmenkes Nomor 1204
Tahun 2004 sebanyak 97% dari 158 sampel yaitu sebanyak 153 sampel
sedangkan yang tidak memenuhi memenuhi persyaratan swab lantai operasi
sebesar 3% atau sebanyak 5 sampel. Untuk sampel swab lantai ruang
perawatan rumah sakit yang memenuhi persyaratan sebesar 99% dari 75
sampel yaitu sebanyak 74 sampel, sedangkan yang tidak memenuhi baku mutu
sebesar 1% atau sebanyak 1 sampel. Untuk sampel swab lantai ruang isolasi
rumah sakit yang memenuhi persyaratan sebesar 100% yaitu sebanyak 13
sampel. Untuk sampel swab lantai ruang UGD rumah sakit yang memenuhi
persyaratan sebesar 94% dari 18 sampel yaitu sebanyak 17 sampel, sedangkan
yang tidak memenuhi baku mutu sebesar 6% atau sebanyak 1 sampel.
Sehingga dari keempat kriteria ruangan yang telah diklasifikasikan
Kepmenkes Nomor 1204 Tahun 2004 dapat dinyatakan bahwa sebagian besar
sampel swab lantai yang diujikan di laboratorium mikrobiologi BBTKLPP
Surabaya sudah memenuhi syarat. Namun, ada ruangan yang tidak dapat
dikategorikan dalam keempat kriteria tersebut, yaitu ruang laundry, dapur,
CSSD, laboratorium, radiasi, farmasi dan patologi anatomi, sehingga terdapat
42 sampel yang tidak dapat disimpulkan.
b. Hasil Pengujian Sampel Swab Dinding di Rumah Sakit

MS TMS

99% 100% 100%


96%
92%

∑sampel 73 ∑sampel 78 ∑sampel 13 ∑sampel 8 ∑sampel 12

8%
4%
1% 0% 0%
Operasi Perawatan Isolasi UGD Tidak Dapat Disimpulkan

Gambar 3.5 Data Sampel Swab Dinding Rumah Sakit Di Laboratorium Biologi
Jumlah sampel yang diujikan pada laboratoritum Biologi BBTKL
Surabaya sebanyak 184 sampel dengan masing-masing jumlah sampel ruang
operasi 73 sampel, perawatan 78 sampel, isolasi 13, UGD 8 dan tidak dapat
12

disimpulkan 12 sampel. Kriteria memenuhi serta tidak memenuhi syarat pada


grafik di atas menggunakan parameter Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor: 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Rumah Sakit. Sampel ruang operasi sebanyak 96% sampel
memenuhi syarat, sedangkan sisanya sebanyak 4% tidak memenuhi syarat.
Semua sampel pada ruang perawatan memenuhi persyaratan. Sampel pada
isolasi sebanyak 92% memenuhi syarat, sedangkan sebanyak 8% tidak
memenuhi persyaratan, sedangkan pada ruang UGD semua sampel memenuhi
syarat. Namun, ada ruangan yang tidak dapat dikategorikan dalam keempat
kriteria tersebut, yaitu ruang laundry, dapur, CSSD, laboratorium, radiasi,
farmasi dan patologi anatomi, sehingga terdapat 12 sampel yang tidak dapat
disimpulkan.
Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang Rumah Sakit

100.0%
100.0%
78.2% 85.6%
83.3% 92.3% 100.0%

61.1% 63.3%
78.3%
54.2%
60.9%
38.9% 45.8% 52.4%
36.7%
47.6% 52.4%
21.8% 47.6%
39.1%

14.4% 16.7%
0.0% 21.7%
0.0% 7.7%
OK

U
IC

yi

0.0%
Ba

ay

ur

an
ib

si
n

at

i
ra

giz
ta

at
as

at

i
wa

ist
aw

as
v

re

r/

ur

m
er

n
ilis
in

pu
p
ra

r iu
er

ar

ali

is
s

i
an
Ob

og
Pe

er
td
/p

ed
Da

rs
to
Ad

St
t

ol
Be
an

m
wa
wa

ra

di
ih

bo

an
Ga
ra

Ra
ul

ra
La
Pe

de
Pe

in

MS TMS
ng
Pe

Gambar 3.6 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang di Rumah Sakit di
Jawa Timur Tahun 2015
Pengujian angka kuman (CFU/m3) udara ruang dari 540 titik di RS di
Jawa Timur dikelompokkan berdasarkan fungsi ruang atau unit yang
tercantum dalam KEPMENKES RI No. 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang
13

Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Ruang yang diuji antara lain
ruang OK, ICU, perawatan bayi, Observasi Bayi, Perawatan Bayi Prematur,
Perawatan/pemulihan, Administrasi, Dapur/gizi, UGD, Sterilisasi,
Laboratorium, Bersalin, Penginderaan medis dan Radiologi.
1) Angka Kuman Udara Ruang OK

Hasil Angka Kuman Udara Ruang OK

21.80%
Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat

78.20%

Gambar 3.7 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang OK di Rumah Sakit
Tahun 2015
Batas maksimum indeks angka kuman udara ruang OK adalah 10
CFU/m3. Hasil dari pengujian angka kuman di udara ruang OK 179 titik
menunjukkan 39 titik (21,8%) memenuhi syarat, dan 140 titik (78,2%)
tidak memenuhi syarat.
2) Angka Kuman Udara Ruang ICU

Hasil Angka Kuman Udara Ruang ICU

Memenuhi Syarat
38.90%
Tidak Memenuhi Syarat

61.10%

Gambar 3.8 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang ICU di Rumah Sakit
Tahun 2015
Batas maksimum indeks angka kuman udara ruang ICU adalah
200 CFU/m3. Hasil dari pengujian angka kuman di 72 titik ruang ICU
menunjukkan 44 titik (61,1%) memenuhi syarat, dan 28 titik (38,9%)
tidak memenuhi syarat.
14

3) Angka Kuman Udara Ruang Perawatan Bayi

Angka Kuman Udara Ruang Perawatan Bayi

36.70% Memenuhi Syarat


Tidak Memenuhi Syarat

63.30%

Gambar 3.9 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang Perawatan Bayi di
Rumah Sakit Tahun 2015
Batas maksimum indeks angka kuman udara ruang perawatan
bayi adalah 200 CFU/m3. Hasil dari pengujian angka kuman di 30 titik
menunjukkan 19 titik (63,3%) memenuhi syarat, dan 11 titik (36,7%)
tidak memenuhi syarat.
4) Angka Kuman Udara Ruang Observasi Bayi

Angka Kuman Udara Ruang Observasi Bayi

Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat

Gambar 3.10 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang Observasi Bayi di
Rumah Sakit Tahun 2015
Batas maksimum indeks angka kuman udara ruang observasi bayi
adalah 200 CFU/m3. Hasil dari pengujian angka kuman di 1 titik
menunjukkan 1 titik (100%) memenuhi syarat.
5) Angka Kuman Udara Ruang Perawatan Bayi Prematur
15

Angka Kuman Udara Ruang Perawatan Bayi


Prematur

Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat
45.80%
54.20%

Gambar 3.11 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang Perawatan Bayi
Prematur di Rumah Sakit Tahun 2015
Batas maksimum indeks angka kuman udara ruang perawatan
bayi prematur adalah 200 CFU/m3. Hasil dari pengujian angka kuman di
24 titik menunjukkan 13 titik (54,2%) memenuhi syarat, dan 11 titik
(45,8%) tidak memenuhi syarat.
6) Angka Kuman Udara Ruang Perawatan/Pemulihan

Angka kuman udara ruang perawatan/


pemulihan

14.40%
Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat

85.60%

Gambar 3.12 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang Perawatan/Pemulihan di


Rumah Sakit Tahun 2015
Batas maksimum indeks angka kuman udara ruang
perawatan/pemulihan adalah 500 CFU/m3. Hasil dari pengujian angka
kuman di 97 titik menunjukkan 83 titik (85,6%) memenuhi syarat, dan
14 titik (14,4%) tidak memenuhi syarat.
7) Angka Kuman Udara Ruang Administrasi
16

Angka Kuman Udara Ruang Administrasi

16.70%
Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat

83.30%

Gambar 3.13 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang Administrasi di Rumah
Sakit Tahun 2015
Batas maksimum indeks angka kuman udara ruang administrasi
adalah 500 CFU/m3. Hasil dari pengujian angka kuman di 6 titik
menunjukkan 5 titik (83,3%) memenuhi syarat, dan 1 titik (16,7%) tidak
memenuhi syarat.
8) Angka Kuman Udara Ruang Dapur/Gizi
Angka Kuman Udara Ruang Dapur/Gizi

Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat

100%

Gambar 3.14 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang Dapur/Gizi di Rumah
Sakit Tahun 2015
Batas maksimum indeks angka kuman udara ruang dapur/gizi
adalah 500 CFU/m3. Hasil dari pengujian angka kuman di 16 titik
menunjukkan semua titik memenuhi syarat.
9) Angka Kuman Udara Ruang Gawat Darurat

Kuman Udara Ruang Gawat Darurat

Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat
47.60%
52.40%

Gambar 3.15 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang Gawat Darurat di
Rumah Sakit Tahun 2015
17

Batas maksimum indeks angka kuman udara ruang gawat darurat


adalah 200 CFU/m3. Hasil dari pengujian angka kuman di 21 titik
menunjukkan 10 titik (47,6%) memenuhi syarat, dan 11 titik (52,4%)
tidak memenuhi syarat.
10) Angka Kuman Udara Ruang Sterilisasi
Angka Kuman Udara Ruang Sterilisasi

Memenuhi Syarat
39.10% Tidak Memenuhi Syarat

60.90%

Gambar 3.16 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang Sterilisasi di


Rumah Sakit Tahun 2015
Batas maksimum indeks angka kuman udara ruang sterilisasi
adalah 200 CFU/m3. Hasil dari pengujian angka kuman di 23 titik
menunjukkan 9 titik (39,1%) memenuhi syarat, dan 14 titik (60,9%)
tidak memenuhi syarat.
11) Angka Kuman Udara Ruang Laboratorium

Angka Kuman Udara Ruang Laboratorium

7.70%

Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat

92.30%

Gambar 3.17 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang Laboratorium di


Rumah Sakit Tahun 2015
Batas maksimum indeks angka kuman udara ruang laboratorium
adalah 500 CFU/m3. Hasil dari pengujian angka kuman di 26 titik
menunjukkan 24 titik (92,3%) memenuhi syarat, dan 2 titik (7,7%) tidak
memenuhi syarat.
18

12) Angka Kuman Udara Ruang Bersalin

Angka Kuman Udara Ruang Bersalin

Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat
47.60%
52.40%

Gambar 3.18 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang Bersalin di Rumah Sakit
Tahun 2015
Batas maksimum indeks angka kuman udara ruang bersalin
adalah 200 CFU/m3. Hasil dari pengujian angka kuman di 21 titik
menunjukkan 11 titik (52,4%) memenuhi syarat, dan 10 titik (47,6%)
tidak memenuhi syarat.
13) Angka Kuman Udara Ruang Penginderaan Medis

Angka Kuman Udara Ruang Penginderaan


Medis

21.70% Memenuhi Syarat


Tidak Memenuhi Syarat

78.30%

Gambar 3.19 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang Penginderaan Medis di
Rumah Sakit Tahun 2015
Batas maksimum indeks angka kuman udara ruang penginderaan
medis adalah 200 CFU/m3. Hasil dari pengujian angka kuman di 23 titik
menunjukkan 18 titik (78,3%) memenuhi syarat, dan 5 titik (21,7%)
tidak memenuhi syarat.
19

14) Angka Kuman Udara Ruang Radiologi

Angka Kuman Udara Ruang Radiologi

Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat

Gambar 3.20 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang Radiologi di Rumah
Sakit Tahun 2015
Batas maksimum indeks angka kuman udara ruang radiologi
adalah 200 CFU/m3. Hasil dari pengujian angka kuman di udara ruang
radiologi 1 titik (100%) menunjukkan memenuhi syarat
4. Kualitas Kimia Air Bersih Rumah Sakit

18%

MS TMS

82% ∑sampel 497

Gambar 3.21 Kualitas Kimia Air Bersih di Rumah sakit


Berdasarkan diagram diatas dapat disimpulkan bahwa kualitas kimia
sampel air bersih yang diujikan di BBTKLPP Surabaya persentase yang
memenuhi syarat baku air bersih yang tercantum dalam Permenkes 416 tahun
1990 jumlah sampel Air Bersih (AB) tentang Syarat-syarat dan Pengawasan
Kualitas Air adalah 82% dari seluruh sampel air bersih sedangkan sampel air
20

bersih yang tidak memenuhi syarat baku mutu air bersih sebanyak 18% dari
jumlah sampel 497 tersebut.
5. Kualitas Kimia Air Minum Rumah Sakit

9%

MS TMS

91%

∑sampel 106
Gambar 3.22 Kualitas Kimia Air Minum di Rumah sakit
Berdasarkan diagram diatas dapat disimpulkan bahwa kualitas kimia
sampel air minum yang diujikan di BBTKLPP Surabaya persentase yang
memenuhi syarat baku mutu air minum yang tercantum dalam Peraturan
Menteri Kesehatan No. 492 Tahun 2010 sebanyak 91% dari seluruh sampel air
minum sedangkan sampel air minum yang tidak memenuhi syarat baku mutu
air minum sebanyak 9% dari jumlah sampel 106
6. Kualitas Fisik Udara Ruang Rumah Sakit
a. Suhu Ruang
100%

10%

1%
6%
94%35%
65%88%
12%64%
36%8%
92%42%
58%67%
33%27%
73%53%
47%100%100%93%
7% 8%92%75%
25%7%
93%4%
96%
in

Ne ry
CS . A igi

Au . O tus

Pe R. Jena i
R. rium
R. ,ICC Gizi

R. GD, i
n

UG adi n
ra U

n
R. Dap sasi

ra is
s

Be D
ra iha

R a

ali
ps ra

ng Pe za
bo IC
SD dm

D, olo
Pe ed
R. und
iG

VK IR
R. wat
a
to pe
La U,P

rs
R. erili

on

R. M
U ur

de mul
to
ol

La
P

an
St
R

I
i
R.

R
IC

in

R.
R.

R.

Memenuhi Syarat TMS


R.

Gambar 3.23 Grafik Pengujian Fisik suhu udara ruang di Rumah sakit
Dari pengujian parameter suhu di beberapa ruang di rumah sakit yang
dilakukan oleh BBTKL PP Surabaya menurut KEPMENKES RI No.
1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit, didapatkan hasil sebagai berikut. Sebanyak 94,1% suhu di ruang
21

poli gigi tidak memenuhi syarat dan hanya sekitar 6% yang memenuhi syarat,
65% suhu di ruang Administrasi tidak memenuhi syarat dan hanyasekitar 35%
suhu ruang administrasi yang memenuhi syarat, sebanyak 88% ruang CSSD
Sterilisasi sudah memenuhi syarat dan 12% tidak memenuhi syarat, suhu di
ruang dapur sebanyak 64% memenuhi syarat dan 36% tidak memenuhi syarat,
suhu di ruang ICU, ICCU,PICU sebanyak 8% memenuhi syarat dan 92% tidak
memenuhi syarat, suhu di ruang Laboratorium 42% memenuhi syarat dan
58%tidak memenuhi syarat, suhu di ruang laundry sebanyak 67% memenuhi
syarat dan 33% tidak memenuhi syarat, suhu di ruang neonatus sebanyak 27%
memenuhi syarat dan 73% tidak memenuhi syarat, suhu di ruang operasi
sebanyak 53% memenuhi syarat dan 47% tidak memenuhi syarat, suhu di
ruang aoutopsi jenazah 100% tidak memenuhi syarat kualitas udara, suhu di
ruang pemulihan juga 100% tidak memenuhi syarat, suhu di ruang medis
penginderaan sebanyak 7% memenuhi syarat dan 93% tidak memenuhi syarat,
suhu di ruang perawatan sebanyak 8 % memenuhi syarat dan 92% tidak
memenuhi syarat, suhu di ruang radiologi 75% memenuhi syarat dan 25%
tidak memenuhi syarat, di ruang UGD, IGD, IRD sebanyak 7% memenuhi
syarat suhu sedangkan 93% tidak memenuhi syarat, di ruang VK Bersalin
sebanyak 4% saja suhu yang memenuhi syarat dan 96% tidak memenuhi
syarat.
b. Kelembapan Ruang
90%
82%
80% 78%

70% 68% 67%


63%
61%
60% 56% 58% 60%
56%
60%
53%53% 52%
50% 47% 47% 48%
44% 42% 40% 44%
39% 40%
38%
40% 33%
32%
30%
22%
20% 18%

10%
is
ed
si

lin
n n

an
zi
sa

0%
G gi
IC

ry
St igi

R
si
u

aa a
u
,IC Gi

D olo

,I

sa
ili

ri

ra
,P

at
er ih
at
d
G

to

D
er

aw
r

d ul
e

er
n
SS oli

i
au

p
C

ra

eo

. U ad
gi em

B
ap

,I
.O

er
.C P

.L
o

.N

K
R .R
D

.D

ab

en P

.P
R R.

.V
R
R

G
n

R
R
C

.
R

.L

.P R

R
.I

R
R

Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat

Gambar 3.24 Grafik Pengujian Fisik kelembapan udara ruang di Rumah


sakit
Dari pengujian parameter kelembapan di beberapa ruang di rumah sakit
yang dilakukan oleh BBTKL PP Surabaya, KEPMENKES RI No.
1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
22

Rumah Sakit didapatkan hasil sebagai berikut. Sebanyak 47% kelembapan di


ruang poli gigi memenuhi syarat dan sekitar 53% yang tidak memenuhi syarat,
sebanyak 53% ruang CSSD Sterilisasi sudah memenuhi syarat dan 47% tidak
memenuhi syarat, kelembapan di ruang dapur sebanyak 18% memenuhi syarat
dan 82% tidak memenuhi syarat, kelembapan di ruang ICU, ICCU,PICU
sebanyak 44% memenuhi syarat dan 56% tidak memenuhi syarat, kelembapan
di ruang Laboratorium 68% memenuhi syarat dan 32%tidak memenuhi syarat,
suhu di ruang laundry sebanyak 33% memenuhi syarat dan 67% tidak
memenuhi syarat, kelembapan di ruang neonatus sebanyak 22% memenuhi
syarat dan 78% tidak memenuhi syarat, kelembapan di ruang operasi sebanyak
42% memenuhi syarat dan 58% tidak memenuhi syarat, kelembapan di ruang
pemulihan sebanyak 40% memenuhi syarat dan 58% tidak memenuhi syarat,
kelembapan di ruang penginderaan medis sebanyak 56% memenuhi syarat dan
44% tidak memenuhi syarat, kelembapan di ruang perawatan sebanyak 39%
memenuhi syarat dan 61% tidak memenuhi syarat, kelembapan di ruang
radiologi 63% memenuhi syarat dan 38% tidak memenuhi syarat, di ruang
UGD, IGD, IRD sebanyak 40% memenuhi syarat kelembapan sedangkan 60%
tidak memenuhi syarat, di ruang VK Bersalin sebanyak 48% kelembapan yang
memenuhi syarat dan 52% tidak memenuhi syarat.
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa ruangn dengan persen tertinggi
yang memenuhi syarat kelembapan adalah ruang laboratorium dengan 68%
yang memenuhi syarat, disusul ruang radiologi sebanyak 63% dan ruang
penginderaan medis sebanyak 56%. Sedangkan ruangan denagn persen
tertinggi yang tidak memenuhi syarat kelembapan adalah ruang dapur gizi
sebanyak 82%, ruang neonatus sebanyak 78% dan raung laundry sebanyak
67%.

c. Pencahayaan Ruang
23
100% 93%
90% 88%
82% 80%
80% 73%
72% 70%
70%65% 65% 67%
50%
60% 50% 56% 57% 57%
50% 50% 51%
49%
50% 44% 43% 43%
40% 35% 35% 33%
28% 27% 30%
30%
18% 20%
20%
12%
10% 7%
0%

is
IC pu si

in em ah
r a ICU
St um

in
Be D
an an
ed

UG ad n
U i

O . O us

R. GD gi
o y
CS in igi

Pe R i jen si
R. ,ICC Giz
R. Da lisa

R. R. R ata
riu

VK , IR
Ne r

az

al
,I o
a
R. R nat

M
d

ra lih
R. dm li G
SD um

bo ,P

D iol
ps er

rs
R. un
R. eri

to
r

w
de u
to p
A o

ra
La
R. R. P

Pe
R.

ng . P
U
La

R.
Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat
R.
Gambar 3.25 Grafik Pengujian Fisik kelembapan udara ruang di Rumah
sakit
Dari pengujian parameter pencahayaan di beberapa ruang di rumah
sakit yang dilakukan oleh BBTKL PP Surabaya KEPMENKES RI No.
1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit, didapatkan hasil sebagai berikut. Sebanyak 65% suhu di ruang
poli gigi memenuhi syarat dan sekitar 35% yang tidak memenuhi syarat, 72%
pencahayaan di ruang Administrasi memenuhi syarat dan sekitar 28%
pencahayaan ruang administrasi yang tidak memenuhi syarat, sebanyak 12%
ruang CSSD Sterilisasi sudah memenuhi syarat dan 88% nya tidak memenuhi
syarat, pencahayaan di ruang dapur sebanyak 27% memenuhi syarat dan73%
tidak memenuhi syarat, pencahayaan di ruang ICU, ICCU,PICU sebanyak
65% memenuhi syarat dan 35% yang tidak memenuhi syarat, pencahayaan di
ruang Laboratorium 82% memenuhi syarat dan 18%tidak memenuhi syarat,
pencahayaan di ruang laundry sebanyak 67% memenuhi syarat dan 33% tidak
memenuhi syarat, suhu di ruang neonatus sebanyak 93% sudah memenuhi
syarat dan hanya sekitar 7% yang tidak memenuhi syarat, pencahayaandi
ruang operasi sebanyak 70% memenuhi syarat dan 30% tidak memenuhi
syarat, pencahayaan di ruang aoutopsi jenazah 50% memenuhi syarat dan 50%
lagi tidak memenuhi, pencahayaandi ruang pemulihan sebanyak 20%
memenuhi dan 80% pencahayaan tidak memenuhi syarat, pencahayaan di
ruang medis penginderaan sebanyak 44% memenuhi syarat dan 56% tidak
memenuhi syarat, spencahayaan di ruang perawatan sebanyak 43% memenuhi
syarat dan 57% tidak memenuhi syarat, pengamatandi ruang radiologi 50%
24

memenuhi syarat dan 50% tidak memenuhi syarat, di ruang UGD, IGD, IRD
sebanyak 43% memenuhi syarat pencahayaan 57% tidak memenuhi,
sedangkan di ruang VK Bersalin sebanyak 49% saja pencahayaan yang
memenuhi syarat dan 95% tidak memenuhi syarat.
Dari beberapa hasil tersebut dapat dilihat bahwa hasil tertinggi ruang
yang memenuhi syarat pencahayaan adalah ruang neonatus sebanyak 93%
yang memenuhi syarat, disusul ruang laboratorium sebanyak 82% dan ruang
administrasi umum sebanyak 72% yang memenubhi syarat. Sedangkan ruang
paling tinggi tidak memenuhi syarat pencahayaan adalah ruang CSSD
sterilisasi sebanyak 88% tidak memenuhi syarat, dilanjutkanruang pemulihan
sebanyak 80% dan ruang dapur gizi sebanyak 73% yang tidak memenuhi
syarat.
d. Kebisingan Ruang
120%

100%100%100%100% 100% 100% 100% 100%


100%
100% 95%
87% 86%
82%
80% 77%
67%
60%

40% 33%
23%
20% 18%
13% 14%
5%
0% 0% 0% 0% 0% 0%0% 0% 0%
0%
CS n u i

R. jena i
Ne ry

O t Op s

R. GD, i
R. ,ICC Gizi

ra n

UG adi n
St u m

n
ra U
R. rium

m h
R. Dap sasi
R. dmi i Gig

as

Be D
R. R. atu

Pe h a

R a

ali
Pe za

D, olo
bo PIC

R. und

VK IR
R. wat
op er
SD m

rs
R. uli
R. erili

on
U ur
ol

La U,
to
La
R. R. P

I
si
IC
A

Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat


R.

Gambar 3.26 Grafik Pengujian Fisik kelembapan udara ruang di Rumah sakit
Dari pengujian parameter kebisingan di beberapa ruang di rumah sakit
yang dilakukan oleh BBTKL PP Surabaya KEPMENKES RI No.
1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit, didapatkan hasil sebagai berikut: terdapat delapan ruangan yang
telah dilakukan pengujian hasilnya 100% telah memenuhi syarat kebisingan,
yakni ruang poli gigi, ruang administrasi umum, ruang CSSD sterilisasi, ruang
dapur gizi, ruang laundry, ruang otopsi jenazah dan ruang UGD, IGD, IRD.
Sedangkan terdapat dua ruang yang 100% tidak memenuhi syarat kebisingan
25

yakni ruang pemulihan dan ruang radiologi, sedangkan ruangan lain seperti
ruang ICU, ICCU, PICU sebanyak 13% memenuhi syrat kebisingan dan 87%
nya tidak memenuhi syarat, ruang laboratorium sebanayk 5% memenuhi syarat
kebisingan dan 95% nya tidak memenuhi, ruang neonatus sebanyak 18%
memenuhi syarat kebisingan dan 82% tidak memenuhi syarat, ruang operasi
hanya 23% yang memenuhi syarat kebisingan dan 77% tidak memenuhi
syarat, , ruang perawatan 14% memenuhi syarat dan 86% tidak memenuhi
syarat, ruang VK bersalin sebanyak 33% memenuhi syarat dan 67% tidak
memenuhi syarat kebisingan.

3.2 Surveillans Epidemiologi


Bidang Surveilans Epidemiologi mempunyai tugas menyusun perencanaan
program, melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program di bidang surveilans
epidemiologi, advokasi, dan fasilitasi kesiapsiagaan dan penanggulangan KLB, kajian
dan diseminasi informasi kesehatan lingkungan, kesehatan matra, kemitraan dan
jejaring kerja serta pendidikan dan pelatihan bidang surveilans epidemiologi.
Bidang SE menyelenggarakan fungsi :
1. Pelaksanaan survei epidemiologi penyakit menular dan tidak menular.
2. Pelaksanaan advokasi dan fasilitasi kejadian luar biasa, wabah dan bencana.
3. Pelaksanaan kajian dan diseminasi informasi kesehatan lingkungan, kesehaan matra
dan pengendalian penyakit
4. Pelaksanaan kemitraan dan jejaring kerja bidang surveilans epidemiologi.
5. Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan bidang surveilans epidemiologi.
Bidang Surveilans Epidemiologi terdiri dari :
1. Seksi Advokasi Kejadian Luar Biasa : Mempunyai tugas melakukan penyiapan
bahan perencanaan, monitoring & evaluasi, koordinasi pelaksanaan advokasi dan
fasilitasi kejadian luar biasa, serta wabah dan bencana.
2. Seksi Pengkajian dan Diseminasi : Mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan
perencanaan, monitoring & evaluasi, koordinasi kajian, pengembangan dan
diseminasi, serta pendidikan dan pelatihan bidang surveilans epidemiologi.
26

3.3 Bencana Gunung Meletus


3.3.1 Gambaran umum
Menurut PVBMG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi), dari 127
gunung berapi aktif di Indonesia, 8 diantaranya berada di Jawa Timur yang hingga saat
ini berstatus aktif dan masih terus dipantau oleh PVBMG melalui pos pantau terdekat.
Delapan gunung aktif tersebut antara lain adalah Gunung Semeru (3.676 mdpl), Gunung
Raung (3.344 mdpl), Gunung Bromo (2.329 mdpl), Gunung Lamongan (1.671 mdpl),
Gunung Welirang (3.156 mdpl), Gunung Arjuno (3.339 mdpl), Gunung Ijen (2.443
mdpl) dan Gunung Kelud (1.731 mdpl). Keberadaan gunung yang berstatus aktif di
Jawa Timur merupakan ancaman yang perlu diwaspadai oleh pemerintah dan
masyarakat, sebab erupsi merupakan salah satu aktivitas pelepasan energi oleh gunung
yang bersifat alami sehingga tidak dapat dicegah. Oleh karena itu perlu dilakukan
perencanaan untuk menghindari bahaya dan mengurangi dampak kerusakan yang
ditimbulkan oleh gunung meletus.

Gambar 3.27 Peta Daerah Rawan Gunung Meletus Jawa Timur

Berdasarkan pemetaan indeks risiko yang dilakukan oleh BNPB tahun 2010
menunjukkan bahwa 15 kabupaten berisiko tinggi terkena dampak erupsi gunung berapi
yang ditandai warna merah pada peta meliputi: Kab Mojokerto, Kab Pasuruan, Kab.
Probolinggo, Kab. Bondowoso, Kab. Banyuwangi, Kab. Jember, Kab. Lumajang, Kab.
Malang, Kab. Blitar, Kab. Kediri, Kab. Ponorogo, Kab. Madiun, Kab Nganjuk dan Kab.
Magetan, 3 kabupaten berisiko sedang dan 13 kabupaten berisiko rendah.
27

3.3.2 Penilaian risiko gunung meletus


1. Gunung Kelud
Gunung Kelud merupakan salah satu gunung berapi aktif di Jawa Timur yang
terletak di sebagian wilayah 3 kabupaten, yaitu Kab. Kediri, Kab. Blitar dan Kab.
Malang. Karakteristik erupsi Gunung Kelud bersifat eksplosif namun tidak berlangsung
lama, hal ini disebabkan kantong magma Gunung Kelud berukuran kecil (Reksowirogo,
1979). Erupsi Gunung Kelud tercatat pertama kali pada 1000 Masehi. Erupsi besar pada
tahun 1586 menyebabkan 10.000 korban jiwa meninggal akibat lahar erupsi. Lahar
erupsi kelud ditimbulkan oleh tercampurnya material vulkanik dengan air danau kawah.
Pada tahun 2007, erupsi yang terjadi di Gunung Kelud melenyapkan danau kawah dan
berubah menjadi anak Gunung Kelud.
28

Tabel 3.1 Data Riwayat Letusan Gunung Kelud yang Tercatat dan Dampak yang
Ditimbulkan
Tahun Dampak
1586 Mengakibatkan 10.000 korban jiwa
1864 Tidak diketahui secara pasti
Banjir bandang akibat runtuhnya dinding kawah ke dalam
1875 danau kawah. Tumpahan kawah mengalir sejauh 37,5 km ke
daerah lereng dan menyapu 3 desa dari 34 desa.
Menumpahkan 38 juta m3 air danau kawah dan material
22-23 Mei
vulkanik yang menimbulkan korban jiwa. Jumlah korban
1901
tidak diketaui secara pasti.
Tercatat sebagai erupsi yang cukup besar di abad ke 20 yang
1919 mengakibatkan 5.190 korban jiwa, 9.000 rumah hancur,
5.050 Ha kebun hancur
Merupakan erupsi yang terjadi setelah dibangunnya
terowongan pada 1920 untuk mengurangi volume air kawah.
1951
Menimbulkan 7 korban jiwa, 157 penduduk luka-luka, 320
Ha kebun kopi rusak parah.
1966 Menimbulkan 210 korban jiwa akibat tersapu lahar.
Menimbulkan 32 korban jiwa, 500 rumah rusak parah, 50
1990
sekolah rusak.
Tidak menimbulkan erupsi eksplosif dan menghasilkan
2007
kubah lava yang membuat air kawah habis.
Erupsi dengan luncuran awan panas sejauh 6 km dengan
2014
korban jiwa 17 orang
29

a. Penilaian bahaya

Gambar 3.28 Peta Daerah Penilaian Bahaya Gunung Kelud (Sumber: BNPB, 2014)
Berdasarkan riwayat erupsi Gunung Kelud di masa lalu, maka dapat
diidentifikasi bahaya primer dan sekunder dari erupsi Gunung Kelud berdasarkan
klasifikasi kawasan rawan bencana menurut PVBMG.
Tabel 3.2 Identifikasi Bahaya Erupsi Gunung Kelud
Kawasan Rawan Kawasan Rawan Kawasan Rawan
Bencana I Bencana II Bencana III
Bahaya
(radius 10 km dari (radius 5 km dari (radius 2 km dari
pusat erupsi) pusat erupsi) pusat erupsi
Primer Hujan lahar Awan panas, aliran Awan panas, gas
lava pijar, aliran beracun, aliran lava
lahar, potensi hujan pijar, lahar letusan,
lahar dan abu lebat. lontaran batu pijar
dan hujan abu lebat
Sekunder Aliran lahar dingin Aliran lahar dingin Aliran lahar dingin
Sumber: Badan Informasi Geospasial
30

b. Kerentanan
1) Kerentanan fisik
Merupakan kerentanan yang menggambarkan perkiraan ringkat
kerusakan terhadap infrastruktur apabila terdapat faktor bahaya tertentu
meliputi:
a) Kepadatan bangunan
Dua kabupaten terdekat dengan lereng Kelud yaitu Kabupaten Kediri dan
Kabupaten Blitar. Kabupaten Blitar terdiri dari 6 kecamatan dengan
jumlah total 396.701 jiwa, sedangkan di Kabupaten Kediri terdapat 3
kecamatan yang terdiri dari 19 desa dan 34 dusun dengan jumlah
penduduk 31.001 jiwa. Dengan jumlah penduduk yang padat, maka
kawasan rawan bencana di lereng Kelud tergolong padat bangunan
b) Lahan pertanian
Sebagian besar areal lereng Kelud yang merupakan kawasan rawan
bencana merupakan lahan pertanian. Menurut data Badan Pusat Statistik
Kabupaten Kediri (2015), lahan pertanian di Kabupaten Kediri terdiri dari
ladang dengan luas 25.883 hektar, perkebunan dengan luas 8.533 hektar,
dan lahan persawahan seluas 45.509 hektar. Sedangkan luas hutan di
Kabupaten Kediri adalah 22.095,5 hektar yang meliputi kawasan hutan
lindung, hutan produksi dan hutan suaka alam.
Kabupaten Blitar memiliki luas total 158.879 hektar. Pada sektor
pertanian 19,95% merupakan lahan persawahan, 80,05% merupakan lahan
bukan sawah yang meliputi perkebunan, ladang, dan hutan rakyat.
c) Jaringan listrik
Jumlah pelanggan listrik di Kabupaten Kediri adalah sejumlah 246.031
pelanggan (BPS Kab Kediri, 2015). Erupsi Gunung Kelud dapat merusak
pembangkit yang juga dapat menyebabkan terputusnya aliran listrik
kepada masyarakat.
d) Jaringan PDAM / air bersih
Produksi air bersih yang diproduksi oleh PDAM Kabupaten Kediri
menurut BPS Kab Kediri 2015 adalah 2.729 m3. Dengan pelanggan
terbesar ada di tingkat rumah tinggi yaitu 138.709 m3. Erupsi gunung
berapi dapat menghambat distribusi air bersih kepada penduduk.
31

2) Kerentanan biologis
Kondisi kawasan rawan bencana yang tidak memungkinkan
mengharuskan dilakukannya evakuasi penduduk. Penduduk ditempatkan di
lokasi pengungsian dengan kepadatan tinggi dan dengan fasilitas sanitasi yang
terbatas, sehingga memungkinkan terjadinya penularan penyakit dan
kontaminasi mikroba pada air bersih dan makanan.
Hasil pemantauan kualitas makanan dan minuman yang dilakukan
BBTKLPP tahun 2014 di salah satu dapur umum pengungsian menunjukkan
adanya E.coli pada sampel makanan.
3) Kerentanan sosial
Menunjukkan tingkat kerentanan terhadap keselamatan jiwa penduduk
jika ada bahaya. Meliputi presentase penduduk usia tua-balita dan penduduk
wanita. Populasi yang rentan untuk terkena dampak dari letusan gunung kelud
dapat ditinjau menurut lokasi, yaitu KRB (Kawasan Rawan Bencana).
Berdasarkan data yang dihimpun oleh BNPB, diperoleh data populasi berisiko
sebagai berikut
a) Kawasan rawan bencana III
Tabel 3.3 Kawasan Rawan Bencana III Gunung Kelud
Penduduk Usia Rentan (laki- Penduduk Usia Rentan
No. Kabupaten laki) (perempuan)
<5th >60th total <5th >60th Total
1. Blitar 1.124 1.860 2.984 1.265 1.603 2.868
2. Kediri 262 441 703 264 346 610
3. Malang 189 290 479 219 240 459
Total 1.575 2.591 4.166 1.748 2.189 3.937

b) Kawasan rawan bencana II


Tabel 3.4 Kawasan Rawan Bencana II Gunung Kelud
Penduduk Usia Rentan (laki- Penduduk Usia Rentan
No. Kabupaten laki) (perempuan)
<5th >60th total <5th >60th Total
1. Blitar 2.262 4.019 6.281 2.474 3.316 5790
2. Kediri 1.358 2.300 3.658 1.417 1.928 3.345
3. Malang 678 1.210 1.888 752 1.003 1.755
Total 4.298 7.529 11.827 4.643 6.247 10.890

c) Kawasan rawan bencana I Gunung Kelud


32

Tabel 3.5 Kawasan Rawan Bencana I


Penduduk Usia Rentan Penduduk Usia Rentan
No. Kabupaten (laki-laki) (perempuan)
<5th >60th total <5th >60th Total
1. Blitar 19.356 32.761 52.117 20.701 28.255 240.526
2. Kediri 27.644 41.700 69.344 28.924 34.667 335.083
3. Jombang 3.159 4.962 8.121 3.287 3.756 39.574
4. Malang 1.039 1.481 2.520 1.067 1.301 12.722
5. Nganjuk 384 499 883 392 412 4.293
6. Tulungagung 1.042 1.834 2.876 1.087 1.611 13.599
Total 52.624 83.237 135.861 70.002 125.465 645.797
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa populasi berisiko berdasarkan
usia dari kedua jenis kelamin adalah usia balita dan lansia, serta wanita hamil,
sebab kelompok tersebut memiliki kebutuhan khusus dari segi nutrisi dan aspek
lainnya. Selain itu, kelompok rentan seperti lansia dan balita memiliki kekebalan
tubuh yang cenderung rendah sehingga rentan terhadap gangguan. menurut
laporan konsolidasi Gunung Kelud BBTKLPP adalah sebagai berikut:
a. ISPA
b. Iritasi mata
c. Diare
d. Cacar air
4) Kerentanan ekonomi
Menggambarkan besarnya kerugian atau rusaknya kegiatan ekonomi apabila
terjadi bahaya. Indikatornya meliputi:
a) Jumlah rumah tangga yang bekerja di sektor rentan
Penggunaan lahan di lereng Gunung Kelud yang digunakan sebagai lahan
pertanian menunjukkan sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani.
BPS Kab Kediri mencatat terdapat 153.451 penduduk yang berprofesi
sebagai petani.
b) Kerusakan lahan pertanian
Erupsi dapat menyebabkan gagal panen akibat kerusakan lahan pertanian
oleh abu vulkanik.
c) Presentase rumah tangga miskin
Menurut BPS Kab Kediri tahun 2015 menunjukkan 47.861 penduduk
tergolong dalam keluarga miskin.
33

5) Kerentanan lingkungan
Menggambarkan kondisi suatu wilayah yang rawan bencana. Indikatornya
meliputi:
a) Kondisi geografis dan geologis wilayah
Pada daerah lereng terdapat beberapa sungai yang berpotensi membawa
lahar dingin, antara lain: Kali Bladak, Kali Puncu, Kali Konto, Kali Lekso,
Kali Putih yang merupakan sungai besar dengan arah aliran ke berbagai
arah. Aliran yang besar membuat sungai ini dapat membawa material
vulkanik yang dibawa lahar hujan dan menghancurkan segala sesuatu yang
dilewatinya (Kementerian ESDM, 2014).
b) Pencemaran udara
Aktivitas erupsi memungkinkan tercemarnya udara oleh gas-gas beracun
hasil erupsi seperti CO2, H2S, SO2 dan NO2 serta PM10. Dari hasil
pemantauan kualitas udara yang dilakukan BBTKLPP di area bencana
erupsi Gunung Kelud di Pare, Kabupaten Kediri tahun 2014 menunjukkan
bahwa parameter debu TSP dan debu PM 10 melebihi baku mutu yang
ditetapkan.
c) Arah dan kecepatan angin
Arah dan kecepatan angin berkontribusi dalam penyebaran material abu
vulkanik ke area yang lebih jauh, sehingga dapat memperluas dampak
erupsi.
c. Kemampuan
1) Pemerintah
a) Pengetahuan
Adanya tenaga ahli dari pihak PVBMG dan BNPB sehingga didapatkan
informasi terkait karakteristik Gunung Kelud
b) Sikap
Dukungan terhadap lintas sektor berupa alokasi dana untuk perencanaan
program penanggulangan bencana
c) Perilaku
Koordinasi dengan lintas sektor yang dilibatkan dalam upaya manajemen
bencana erupsi Gunung Kelud

2) Masyarakat
a) Pengetahuan
34

Pada umumnya masyarakat yang tinggal berdekatan dengan Gunung Kelud


telah mengetahui tentang gejala perubahan aktivitas Gunung Kelud dan
upaya penyelamatan diri. Hal ini diperoleh melalui pertukaran informasi
oleh lintas generasi yang telah memiliki pengalaman dengan erupsi Gunung
Kelud sebelumnya. Selain itu, akses informasi yang lebih cepat
memungkinkan masyarakat memahami kondisi bencana yang sedang
dihadapi
b) Sikap
Bersikap kooperatif saat dilakukan sosialisasi terkait penanggulangan
bencana Gunung Kelud.
c) Perilaku
Adanya partisipasi masyarakat dalam upaya mitigasi bencana yang
diselenggarakan oleh pemerintah setempat
3) Alat
a) Fasilitas pos pantau
Di Desa Margomulyo, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri, terdapat
fasilitas pos pantau yang dilengkapi dengan seismograf dan peralatan
canggih lainnya dan dilengkapi dengan kamera CCTV sehingga aktivitas
Gunung Kelud dapat dipantau secara intensif.
b) Sistem informasi dan komunikasi
Kemajuan teknologi memberi akses kepada lintas sektor serta masyarakat
terhadap persebaran informasi yang lebih cepat dari pada masa lampau,
sehingga melalui persebaran informasi yang cepat juga dilakukan tindakan
yang cepat dan tepat dalam merespons perkembangan aktivitas Gunung
Kelud.
2. Gunung Raung
Gunung Raung terletak di ujung timur Provinsi Jawa Timur. Secara
administratif, Gunung Raung termasuk dalam wilayah 3 kabupaten yaitu Kab.
Banyuwangi, Kab. Bondowoso, dan Kab. Jember. Letusan Gunung Raung bertipe
letusan strombolian, yaitu berupa letusan kecil namun intensitasnya sering dan disertai
dengan pijar. Gunung Raung memiliki kawah yang terbuka, sehingga lava pijar yang
dihasilkan kembali ke dalam kawah.

Tabel 3.6Sejarah Letusan Gunung Raung


Tahun Dampak
35

Ribuan jiwa meninggal, tidak ada catatan pasti jumlah


1586
korban
1593-1903 Letusan skala rendah hingga besar
1913 Tidak ada catatan pasti tentang korban jiwa
1915-1924 Tidak ada catatan pasti tentang korban jiwa
1927-1928 Tidak ada catatan pasti tentang korban jiwa
Letusan 1956 memiliki tiang asap 12 km. Suara dentuman
1928-1999 berlangsung 4 jam. Hujan abu menyelimuti Bali dan
Surabaya
Semburan material tidak keluar dari kawah, menyebabkan 5
Juli 2015
bandara harus ditutup dan dibatalkannya penerbangan
a. Penilaian bahaya

Gambar 3.29 Penilaian Bahaya Gunung Raung

Tabel 3.7 Identifikasi Bahaya Kawasan Bencana Gunung Raung


Kawasan Rawan Kawasan Rawan Kawasan Rawan
Bencana I Bencana II Bencana III
Bahaya
(radius 8 km dari (radius 3-8 km (radius 0-3 km
pusat erupsi) dari pusat erupsi) dari pusat erupsi
Primer Perluasan awan Awan panas, aliran Awan panas, aliran
panas, lontaran batu lava pijar, lontaran lava pijar, material
batu, hujan abu lontaran batu pijar,
basah dan kering bom gunungapi dan
hujan abu lebat
Sekunder Lahar dingin dan Lahar dingin dan Lahar dingin dan
banjir banjir banjir
b. Kerentanan
1) Kerentanan fisik
a) Kepadatan bangunan
Kepadatan penduduk dari 3 kabupaten di daerah rawan bencana
menunjukkan kepadatan bangunan penduduk yang memiliki potensi
kerusakan akibat erupsi Gunung Raung

b) Lahan pertanian
36

Lahan pertanian di Kabupaten Bondowoso dengan luas lahan sekitar 3.500


hektar rentan mengalami kerusakan akibat abu vulkanik Gunung Raung.
c) Jaringan listrik
d) Jaringan PDAM / air bersih
2) Kerentanan biologis
Kondisi kawasan rawan bencana yang tidak memungkinkan mengharuskan
dilakukannya evakuasi penduduk. Penduduk ditempatkan di lokasi pengungsian
dengan kepadatan tinggi dan dengan fasilitas sanitasi yang terbatas, sehingga
memungkinkan terjadinya penularan penyakit dan kontaminasi mikroba pada
air bersih dan makanan.
Hasil pemantauan kualitas air bersih PDAM yang dilakukan BBTKLPP tahun
2015 di salah satu puskesmas di Kab Bondowoso pengungsian menunjukkan
tidak memenuhi baku mutu secara mikrobiologi.
3) Kerentanan sosial
Terdapat 3 kabupaten yang terancam oleh letusan Gunung Raung, yaitu
Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Bondowoso, dan Kabupaten Jember.
Jumlah penduduk terancam di Kabupaten Banyuwangi adala 115.878 jiwa, di
Kabupaten Bondowoso sebanyak 1.836 jiwa dan di Kab. Jember tersebar di 14
desa dengan jumlah penduduk 117.163 jiwa dengan rincian 59.235 laki-laki,
57.928 perempuan, 8.088 anak-anak dan 9.058 lansia.
Tabel 3.8 Kawasan rawan bencana di Kabupaten Bondowoso
No. Kecamatan/Desa Luas Jumlah Jumlah
Wilayah penduduk total
I Tlogosari
1. Desa Gonosari 1.832 jiwa
91,31 ha 5058 jiwa
2. Desa Kembangsari 2.297 jiwa
3. Desa Jebung Kidul 929 jiwa
II Sumber Wringin
1. Desa Rejo Agung
246 jiwa
2. Desa Sumber 138,61 ha 2391 jiwa
1533 jiwa
Wringin
612 jiwa
3. Desa Tegal Jati
III Sempol
1. Desa Sempol 1692 jiwa
2. Desa Kalianyar 3248 jiwa 11058
208,2 ha
3. Desa Kalisat 1890 jiwa jiwa
4. Desa Jampit 1387 jiwa

Kondisi penduduk yag dalam kondisi rentan menyebabkan mudah


terserang penyakit. Berdasarkan data dari posko kesehatan di Kab Bondowoso,
diperoleh 10 besar penyakit sebagai berikut:
37

a) Myalgia
b) ISPA
c) Gastritis
d) Diare
e) Penyakit kulit
f) Cephalgia
g) Common cold
h) Asma
i) Hipertensi
j) Karies gigi
4) Kerentanan ekonomi
Mayoritas penduduk di kawasan rawan bencana berprofesi sebagai petani,
sebagian lainnya berburu burung di sekitar Gunung Raung. Dengan adanya
erupsi maka lahan pertanian berpotensi mengalami gagal panen. Selain sebagai
petani, masyarakat setempat bekerja sebagai penambang pasir di kawasan
rawan bencana.
5) Kerentanan lingkungan
Gunung Raung memiliki kaldera dengan kedalaman 500 m yang selalu berasap
dan sering menyemburkan api. Selain kaldera, Gunung Raung memiliki
beberapa aliran sungai dengan pola aliran dendritik. Sungai yang memiliki hulu
di puncak adalah Kali Stail, Kali Mangarang. Sedangkan sungai yang memiliki
hulu di lereng adalah Kali Hajar, Kali Gladagkudung, Kali Telepon, Kali
Kohor dan Kali Caken.
Pemantauan kualitas udara oleh BBTKLPP Surabaya menunjukkan bahwa di
salah satu desa di Kabupaten Bondowoso yang lokasinya berdekatan dengan
gunung Raung kadar TSP melebihi baku mutu.
Kondisi hujan dapat membawa logam berat dari material vulkanik dan meresap
ke tanah sehingga terjadi peningkatan kadar logam berat tertentu di air tanah.
Menurut pemantauan BBTKLPP Surabaya, sampel air bersih yang diuji
mengandung Ferro.

c. Kemampuan
1) Pemerintah
a) Pengetahuan
38

Adanya tenaga ahli dari pihak PVBMG dan BNPB sehingga didapatkan
informasi terkait karakteristik Gunung Raung
d) Sikap
Dukungan terhadap lintas sektor berupa alokasi dana untuk perencanaan
program penanggulangan bencana
e) Perilaku
Koordinasi dengan lintas sektor yang dilibatkan dalam upaya manajemen
bencana erupsi Gunung Raung
2) Masyarakat
a) Pengetahuan
Pada umumnya masyarakat yang tinggal berdekatan dengan Gunung Raung
telah mengetahui tentang gejala perubahan aktivitas Gunung Raung dan
upaya penyelamatan diri. Hal ini diperoleh melalui pertukaran informasi
oleh lintas generasi yang telah memiliki pengalaman dengan erupsi Gunung
Raung sebelumnya. Selain itu, akses informasi yang lebih cepat
memungkinkan masyarakat memahami kondisi bencana yang sedang
dihadapi
b) Sikap
Bersikap kooperatif saat dilakukan sosialisasi terkait penanggulangan
bencana Gunung Raung.
c) Perilaku
Adanya partisipasi masyarakat dalam upaya mitigasi bencana yang
diselenggarakan oleh pemerintah setempat
3) Alat
a) Fasilitas pos pantau
Di Dususn Mangaran, Desa Sumber Arum, Kecamatan Sanggon, Kabupaten
Banyuwangi, terdapat fasilitas pos pantau yang dilengkapi dengan
seismograf dan peralatan canggih lainnya ehingga aktivitas Gunung Raung
dapat dipantau secara intensif.
b) Sistem informasi dan komunikasi
Kemajuan teknologi memberi akses kepada lintas sektor serta masyarakat
terhadap persebaran informasi yang lebih cepat dari pada masa lampau,
sehingga melalui persebaran informasi yang cepat juga dilakukan tindakan
yang cepat dan tepat dalam merespons perkembangan aktivitas Gunung
Raung.
39

3. Gunung Bromo
Gunung Bromo secara administratif terletak di 4 wilayah kabupaten yaitu
Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang dan
Kabupaten Malang. Gunung Bromo merupakan kawasan wisata yang sering
dikunjungi wisatawan domestik maupun mancanegara. Letusan Bromo bertipe
strombolian dengan ledakan yang melontarkan bom gunungapi, lapili, pasir dan
abu, namun tidak mengalirkan lava. Letusan Gunung Bromo tercatat pertama kali
pada tahun1775 dan letusan terakhir terjadi di akhir 2015.
a. Penilaian bahaya

Gambar 3.30 Penilaian Bahaya Derah Sekitar Gunung Bromo

Tabel 3.9 Identifikasi Bahaya Kawasan Bencana Gunung Bromo


Kawasan Rawan Bencana II
Kawasan Rawan Bencana I
Bahaya (radius 3 km dari pusat
(radius 5 km dari pusat erupsi)
erupsi)
Primer Hujan abu lebat, lontaran batu Lontaran batu pijar, aliran lava
pijar dan gas beracun
b. Kerentanan
1) Kerentana fisik
a) Kerusakan lahan pertanian
Dengan kondisi lahan yang subur, sebagian besar lahan di kawasan Gunung
Bromo digunakan sebagai lahan pertanian. Menurut Dinas Pertanian
Probolinggo, lahan pertanian dengan tanaman kentang di Kecamatan
Sukapura adalah sekitar 456,6 hektar,lahan tanaman kubis 150 hektar. Serta
di Kecamatan Sumber dengan luas lahan pertanian sekitar 750 hektar.
b) Kerusakan fasilitas pariwisata
Gunung Bromo sebagai destinasi wisata menyediakan fasilitas berupa jalan
menuju penanjakan, transportasi roda 4, penginapan, restoran, bumi
40

perkemahan dan fasilitas rekreasi lainnya. Fasilitas-fasilitas ini rentan


tertutup abu vulkanik yang dikeluarkan oleh erupsi Gunung Bromo.
c) Sarana air bersih
Bak penampungan sumber air rentan terkena debu vulkanik dari erupsi
Gunung Bromo.
2) Kerentanan biologis
Perubahan lingkungan akibat aktivitas vulkanik Gunung Bromo memungkinkan
adanya goncangan struktur tanah yang berpotensi mencemari air perpipaan
yang digunakan oleh penduduk. Pengujian kualitas mikrobiologi air bersih di
kawasan Gunung Bromo menunjukkan adanya coliform dan E. coli pada
sampel air perpipaan.
3) Kerentanan sosial
Kerentanan dari aspek kependudukan ditinjau berdasarkan tempat tinggal
penduduk dalam kawasan rawan bencana Gunung Bromo:
a) Kawasan Rawan Bencana II
41

Tabel 3.10 Kawasan Rawan Bencana II Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo


Jumlah
Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
No. Desa Ibu
Penduduk KK balita lansia
hamil
1. Sukapura 3779 1032 57 253 423
2. Sapikerep 2782 760 30 134 294
3. Ngadirejo 1512 352 16 64 175
4. Wonokerto 1308 413 15 56 130
5. Ngadas 720 190 10 27 84
6. Jetak 629 161 4 18 58
7. Wonotoro 803 203 10 41 125
8. Ngadisari 1573 432 19 59 185
9. Sariwani 1638 426 17 69 155
10. Pakel 1742 485 38 166 169
11. Kedasih 1850 478 30 130 195
12 Ngepung 2062 5466 276 1146 2181
Total 20398 5466 276 1146 2181
Kawasan rawan bencana II meliputi 12 desa yang terletak di Kecamatan
Sukapura, Kabupaten Probolinggo. Dari data di atas dapat diketahui bahwa
terdapat kelompok penduduk yang rentan di lokasi waran bencana, yaitu ibu
hamil, balita dan lansia.
Selain penduduk lokal, para wisatawan yang mengunjungi Gunung Bromo
juga rentan terkena dampak dari erupsi Gunung Bromo. Taman Nasional
Bromo Tengger Semeru mencatat pada tahun 2014 jumlah wisatawan adalah
570.145 wisatawan.
b) Kawasan rawan bencana I
Tabel 3.11 Kawasan Rawan Bencana II Kecamatan Ponco Kusumo Kabupaten Malang
Jumlah
Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
No. Desa Ibu
Penduduk KK balita lansia
hamil
1. Ponco 95.552 1032 1625 253 423
Kusumo
2. Ngadas 1879 413 123 134 294
Kawasan rawan bencana I terletak di Kabupaten Malang dan penduduk
yang rentan terkonsentrasi pada Desa Ponco Kusumo dan Desa Ngadas.
Sedangan kelompok rentan di Kecamatan Ponco Kusumo berpotensi terkena
penyakit:
a. Diare
b. Penyakit mata
c. Dengue
42

d. Pneumonia
e. ISPA
f. Penyakit kulit
g. Typoid
h. Canpak
i. Penyakit paru
4) Kerentanan ekonomi
a) Sektor pariwisata
Gunung Bromo merupakan salah satu tempat wisata yang diminati
masyarakat. Erupsi Gunung Bromo menyebabkan rusaknya lingkungan
yang menjadi daya tarik wisatawan.
b) Sektor pertanian
Kerusakan lahan pertanian di area Kecamatan Sukapura yang merupakan
KRB II dan di Kecamatan Sukapura dan Ponco Kusuma dapat memicu
gagal panen.
5) Kerentanan lingkungan
a) Kualitas udara
Aktivitas vulkanik menimbulkan perubahan kualitas udara. Berdasarkan
pemantauan kualitas udara yang dilakukan oleh BBTKLPP di salah satu
kawasan Gunung Bromo, diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 3.12 Pemantauan Kualitas Lingkungan Gunung Bromo
No. Kelembapan Suhu Kecepatan Arah angin Kadar TSP
angin PM10
1. 89.3%Rh 15,2°C 1,1-2,3 ms Barat daya 99 μm3 0.395
mg/m3
Pemantauan kualitas lingkungan di atas menunjukkan bahwa kadar TSP
melebihi baku mutu yang ditetapkan PerGub Jarim No. 10 tahun 2009
sehingga berpotensi menimbulkan gangguan pernapasan pada penduduk
c. Kemampuan
1) Pemerintah
a) Pengetahuan
Adanya tenaga ahli dari pihak PVBMG dan BNPB sehingga didapatkan
informasi terkait karakteristik Gunung Bromo
b) Sikap
Dukungan terhadap lintas sektor berupa alokasi dana untuk perencanaan
program penanggulangan bencana
43

c) Perilaku
Koordinasi dengan lintas sektor yang dilibatkan dalam upaya manajemen
bencana erupsi Gunung Bromo
2) Masyarakat
a) Pengetahuan
Pada umumnya masyarakat yang tinggal berdekatan dengan Gunung Raung
telah mengetahui tentang gejala perubahan aktivitas Gunung Raung dan
upaya penyelamatan dan pengamanan diri, contoh pemakaian masker. Hal
ini diperoleh melalui pertukaran informasi oleh lintas generasi yang telah
memiliki pengalaman dengan erupsi Gunung Bromo sebelumnya. Selain itu,
akses informasi yang lebih cepat memungkinkan masyarakat memahami
kondisi bencana yang sedang dihadapi
d) Sikap
Bersikap kooperatif saat dilakukan sosialisasi terkait penanggulangan
bencana Gunung Bromo
e) Perilaku
Adanya partisipasi masyarakat dalam upaya mitigasi bencana yang
diselenggarakan oleh pemerintah setempat
4) Alat
a) Fasilitas pos pantau

Gambar 3.31 Pos Pantau Gunung Bromo


44

Terdapat beberapa alat seismograf yang diletakkan di lokasi Gunung


Bromo. Selain itu, pos pantau juga ditempatkan untuk memantau status
gunung Bromo.
b) Sistem informasi dan komunikasi
Kemajuan teknologi memberi akses kepada lintas sektor serta masyarakat
terhadap persebaran informasi yang lebih cepat dari pada masa lampau,
sehingga melalui persebaran informasi yang cepat juga dilakukan tindakan
yang cepat dan tepat dalam merespons perkembangan aktivitas Gunung
Bromo.
c) Adanya 3 jalur evakuasi
Sebagai destinasi wisata, Gunung Bromo memiliki tiga jalur penyelamatan
diri untuk menjauhi lautan pasir yang merupakan daerah berbahaya saat
erupsi, jalur tersebut adalah:
a. Jalur Cemorolawang-Ngadisari-Sukapura
b. Jalur Penanjakan-Wonokitri-Tosari
c. Jalur Rujak-Njemplang-Ranu Pani

4. Gunung Rokatenda
Merupakan gunung berapi dengan ketinggian 875 mdpl terletak di Pulau Paloe,
Kabupaten Sikka di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Karakteristik letusan Gunung
Rokatenda adalah efusif dan eksplosif.
Tabel 3.13 Sejarah Letusan Gunung Rokatenda
Tahun Dampak
Pra 1928 Terjadi letusan hebat
Letusan mengakibatkan kerusakan tanah, korban jiwa
1928
sebanyak 266 jiwa yang diakibatkan gelombang pasang laut
1929-1963 1 korban meninggal, 3 orang luka-luka
1966 Tidak ada catatan pasti tentang korban jiwa
1972 Tidak ada catatan pasti tentang korban jiwa
1973 Tidak ada catatan pasti tentang korban jiwa
2009 Peningkatan kegembaan
2013 6 korban jiwa tersapu awan panas
45

a. Pengenalan bahaya

Gambar 3.32 Penilaian Bahaya Daerah Sekitar Gunung Rokatenda

Tabel 3.14 Identifikasi Bahaya Gunung Rokatenda


Kawasan Rawan Kawasan Rawan Kawasan Rawan
Bencana I Bencana II Bencana III
Bahaya
(radius 7 km dari (radius 3 km dari (radius 2 km dari
pusat erupsi) pusat erupsi) pusat erupsi)
Primer Hujan abu lebat, Awan panas, hujan abu Awan panas, aliran
lontaran batu pijar lebat, lontar batu pijar dan guguran lava,

b. Kerentanan
1) Kerentanan fisik
a) Lahan pertanian dan peternakan
Lereng Gunung Rokatenda berupa pesisir dimanfaatkan oleh penduduk
sebagai lahan peternakan dan pertanian.
b) Sarana air bersih
Kondisi pulau yang tidak begitu besar dan berdekatan dengan pantai
membuat akses dan ketersediaan air bersih sebelum dan sesudah letusan
menjadi sulit.
2) Kerentanan biologis
Selama terjadinya erupsi, rentan untuk terjadi kontaminasi pada air bersih.
Menurut hasil pengujian sampel air bersih menunjukkan ketiga sampel
ditemukan coliform dan E.coli
46

3) Kerentanan sosial
a) Kawasan rawan bencana II
Tabel 3.15 Kawasan Rawan Bencana II Gunung Rokatenda
Jumlah penduduk
No. Desa
Laki-laki Perempuan Total
1. Rokirole 491 6985 1176
2. Tuanggeo 393 558 951
3. Ladolaka 513 669 1182
4. Kesokoja 573 715 1288
5. Nitunglea 554 866 1420
6. Lidi 602 754 1356
b) Kawasan rawan bencana I
Tabel 3.16 Kawasan Rawan Bencana IIGunung Rokatenda
Jumlah penduduk
No. Desa
Laki-laki Perempuan Total
1. Maluriwu 452 642 1094
2. Reruwairere 497 589 1086
Data distribusi penduduk yang diperoleh dari pihak BNPB hanya
menunjukkan jenis kelamin. Meskipun demikian, seluruh penduduk desa
yang tinggal di KRB II dan KRB I merupakan kelompok rentan yang
berpotensi terkena penyakit berikut yang merupakan 10 penyakit terbesar
selama erupsi Gunung Rokatenda:
a. ISPA
b. Penyakit kulit infeksi
c. Mialgia
d. Gastritis
e. Reumatik
f. Diare
g. Penyakit kulit karena jamur
h. Anemia
i. Asma
j. Prostat
c) Karakteristik masyarakat Paloe masih mempercayai roh leluhur. Masyarakat
meyakini bahwa erupsi Rokatenda merupakan akibat dari kemarahan
leluhur, sehingga dilakukan upacara penyembelihan 3 ekor kerbau di
puncak gunung
47

4) Kerentanan ekonomi
Penduduk Pulau Paloe sebagian besar bekerja sebagai petani dan nelayan.
5) Kerentanan lingkungan
a) Kualitas udara
Debu vulkanik yang dilepaskan oleh Gunung Rokatenda, menurut hasil uji
BBTKLPP Surabaya menunjukkan adanya kandungan logam berat namun
dalam jumlah kecil. Meskipun demikan, apabila terbawa air hujan maka
logam berat dapat diserap oleh air tanah.
b) Lokasi berdekatan dengan pantai
Gunung Rokatenda terletak di sebuah pulau dan dikelilingi oleh wilayah
pesisir. Kondisi ini membahayakan jika terjadi letusan besar maka akan
timbul gelombang tinggi atau bahkan timbul tsunami.
b. Kemampuan
1) Pemerintah
a) Pengetahuan
Adanya tenaga ahli dari pihak PVBMG dan BNPB sehingga didapatkan
informasi terkait karakteristik Gunung Rokatenda. Beberapa ahli menilai
bahwa Pulau Paloe tidak layak huni, sebab sangat membahayakan
penduduk yang tinggal di pulau tersebut
b) Sikap
Dukungan terhadap lintas sektor berupa alokasi dana untuk perencanaan
program penanggulangan bencana dan mengupayakan relokasi penduduk
dari Pulau Paloe
c) Perilaku
Koordinasi dengan lintas sektor yang dilibatkan dalam upaya manajemen
bencana erupsi Gunung Rokatenda. Serta penyusunan peraturan khusus
yang berkekuatan hukum sebagai upaya untuk merelokasi masyarakat
2) Masyarakat
a) Pengetahuan
Masyarakat cukup memahami kondisi dan karakteristik pulau yang mereka
tinggali.
b) Sikap
Penduduk masih meyakini berbagai ritual adat dan kepercayaan tentang roh dan
leluhur
48

c) Perilaku
Sebagian warga bersedia untuk direlokasi ke luar Pulau Paloe.

5. Gunung Barujari
Gunung Barujari merupakan anak Gunung Rinjani yang terletak di Desa
Sembalum Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Gunung Barujari
terletak di sisi timur kaldera Gunung Rinjani yang memiliki kawah berukuran 170 m x
200m dengan ketinggian 2.296-2.376 mdpl. Jenis letusan Gunung Barujari bersifat
eksplosif dalam skala kecil. PVBMG sendiri menetapkan bahwa nama Gunung Barujari
merupakan bagian dari Gunung Rinjani itu sendiri, hal ini disesuaikan dengan
nomenklatur dari 127 gunung berapi di Indonesia.
Tabel 3.17 Sejarah Letusan Gunung Barujari
Tahun Dampak
1944 Letusan yang membentuk Gunung Barujari
1966 Tidak ada catatan
Tidak menimbulkan korban jiwa, namun menimbulkan gagal
1994
panen bawang karena hujan abu
2004 Tidak ada catatan korban jiwa
2009 Timbul banjir bandang yang menewaskan 31 korban jiwa.
Erupsi menimbulkan hujan abu ke arah barat daya hingga barat
2015
laut
a. Pengenalan bahaya

Gn. Barujari

Gambar 3.33Penilaian Bahaya Derah Sekitar Gunung Baru Jari


49

Sedangkan berikut adalah identifikasi bahaya Gunung Barujari.

Tabel 3.18 Identifikasi Bahaya Gunung Barujari


Kawasan Rawan
Kawasan Rawan Kawasan Rawan
Bencana III
Bencana I Bencana II
Bahaya (radius 3 km
(radius 8 km dari (radius 5 km dari
dari pusat
pusat erupsi) pusat erupsi)
erupsi)
Primer Lahar, hujan abu, Awan panas, aliran Awan panas,
lontaran batu lava, lontaran batu, lontaran batu,
hujan abu lebat, hujan hujan abu lebat,
lumpur panas, gas gas beracun
beracun.
Sekunder Banjir lahar Banjir lahar Banjir lahar
Sumber: Kementerian ESDM
b. Kerentanan
1) Kerentanan fisik
Terdapat 3 kabupaten yang berada pada kawasan rawan bencana Gunung
Barujari. Hal ini menunnjukkan adanya kerentanan kerusakan bangunan
pemukiman penduduk yang tinggal di 3 kabupaten. Selain bangunan rumah,
lahan pertanian dan sumber air bersih berupa mata air di sekitar kaki Gunung
Rinjani juga rentan rusak akibat abu vulkanik.
2) Kerentanan biologis
Kondisi yang terjadi saat erupsi memungkinkan adanya kontaminasi, terutama
pada sumber air pad Air Badan Air (ABA) dan sumur penduduk. Berdasarkan
pengujian kualitas air di sekitar kawasan rawan bencana Gunung Barujari yang
dilakukan oleh BBTKLPP saat terjadi erupsi pada gunung tersebut
menunjukkan bahwa dari 2 sampel air bersih dan 4 sampel Air Badan Air
menunjukkan tidak memenuhi persyaratan kualitas bakteriologisnya.
3) Kerentanan sosial
Penduduk yang rentan terkena dampak erupsi Gunung Barujari tersebar di 3
kabupaten, yaitu Kab. Lombok Utara, Lombok Timur dan Lombok Tengah
50

Tabel 3.19 Jumlah Penduduk Terdampak Gunung Barujari


No. Kabupaten/Kecamatan Jumlah penduduk Total
1 Lombok Utara
- Santong 6.436 jiwa
- Senaru 9.750 jiwa
24.611 jiwa
- Gangga 1.800 jiwa
- Bayan 1.800 jiwa

2 Lombok Timur
- Sembalum 19.375 jiwa
- Suela 39.264 jiwa 131.682 jiwa
- Pringgasela 52.652 jiwa
- Sambelia 20.041 jiwa
3 Lombok Tengah
- Kopang 45.976 jiwa 95.231 jiwa
- Teratak 49.255 jiwa
Total 151.525 jiwa
Selain penduduk lokal, kelompok yang rentan terdampak erupsi Gunung
Barujari adalah para pendaki Gunung Rinjani, mengingat kawasan ini
merupakan destinasi yang menarik bagi pendaki dan wisatawan.
Menurut kajian yang dilakukan BBTKLPP berdasarkan hasil
pemantauan lingkungan, penyakit yanng berpotensi timbul antara lain: diare,
ISPA, dan water borne diseases seperti gatal dan penyakit kulit.
4) Kerentanan ekonomi
Masyarakat di sekitar Gunung Barujari berprofesi sebagai petani. Secara
ekonomi, kerugian yang akan timbul jika terjadi erupsi adalah kegagalan panen
akibat rusaknya lahan pertanian.
c. Kemampuan
1) Pemerintah
a) Pengetahuan
Adanya tenaga ahli dari pihak PVBMG dan BNPB sehingga didapatkan
informasi terkait karakteristik Gunung Rinjani,dalam hal ini Gunung
Barujari
b) Sikap
Dukungan terhadap lintas sektor berupa alokasi dana untuk perencanaan
program penanggulangan bencana
c) Perilaku
Koordinasi dengan lintas sektor yang dilibatkan dalam upaya manajemen
bencana erupsi Gunung Barujari.
51

2) Masyarakat
a) Pengetahuan
Pada umumnya masyarakat yang tinggal berdekatan dengan Gunung Rinjani
telah mengetahui tentang gejala perubahan aktivitas Gunung Rinjani dan
upaya penyelamatan diri. Hal ini diperoleh melalui pertukaran informasi
oleh lintas generasi yang telah memiliki pengalaman dengan erupsi Gunung
Rinjani sebelumnya. Selain itu, akses informasi yang lebih cepat
memungkinkan masyarakat memahami kondisi bencana yang sedang
dihadapi.
b) Sikap
Bersikap kooperatif saat dilakukan sosialisasi terkait penanggulangan
bencana Gunung Barujari.
c) Perilaku
Adanya partisipasi masyarakat dalam upaya mitigasi bencana yang
diselenggarakan oleh pemerintah setempat
3) Alat
a) Fasilitas pos pantau
Terdapat fasilitas pos pantau di Sembalun yang dilengkapi dengan
seismograf dan peralatan canggih lainnya ehingga aktivitas Gunung Raung
dapat dipantau secara intensif.
b) Sistem informasi dan komunikasi
Kemajuan teknologi memberi akses kepada lintas sektor serta masyarakat
terhadap persebaran informasi yang lebih cepat dari pada masa lampau,
sehingga melalui persebaran informasi yang cepat juga dilakukan tindakan
yang cepat dan tepat dalam merespons perkembangan aktivitas Gunung
Rinjani, dalam hal ini Gunung Barujari.
52

3.3.3 Pilihan tindakan dan pembagian tugas


1. Pra bencana
a. Mitigasi
Tabel 3.20 Tugas Setiap Instansi Saat Mitigasi
No. Pelaksana Peran
1. PVBMG a. Melakukan pemantauan status gunung dan
melaporkan status gunung jika mengalami
peningkatan aktivitas
b. Melakukan penyelidikan geologi, geofisika dan
geokimia gunung
2. BNPB a. Membuat peta kawasan rawan bencana
b. Sosialisasi tanggap darurat bencana
c. Pembuatan tanda jalur evakuasi
3. Dinas a. Melakukan sosialisasi penggunaan APD saat
Kesehatan erupsi terjadi
b. Sosialisasi upaya PHBS dalam situasi bencana
dan pencegahan penyakit menular
b. Kesiapsiagaan
Tabel 3.21 Tugas Setiap Instansi Saat Kesiapsiagaan
No. Pelaksana Peran
1. PVBMG a. Aktivasi sistem peringatan dini
2. BNPB a. Sosialisasi tentang sistem peringatan dini dan
jalur evakuasi
b. Penyiapan sistem informasi & komunikasi saat
bencana
c. Penentuan lokasi pos siaga bencana
d. Penentuan lokasi-lokasi pengungsian
e. Simulasi dan pelatihan evakuasi saat terjadi
bencana
f. Penentuan waktu untuk mengevakuasi penduduk
3. Dinas a. Pemetaan sumber air bersih dan sarana sanitasi di
Kesehatan lokasi yang akan dijadikan sebagai tempat
pengungsian
b. Pembentukan tim RHA
c. Persiapan logistik seperti APD
4. PMI a. Persiapan distribusi logistik yang dibutuhkan
b. Mobilisasi relawan terlatih yang turun ke
lapangan
c. Membantu proses evakuasi penduduk
d. Persiapan penyelenggaraan dapur umum
5. TNI dan a. Koordinasi terkait keamaanan lokasi bencana
POLRI b. Membantu proses evakuasi penduduk
c. Persiapan penyelenggaraan dapur umum
53

2. Saat bencana
Tabel 3.22 Tugas Setiap Instansi Saat Bencana
No. Pelaksana Peran
1. Dinas a. Mengirimkan tim RHA, mengkaji: lokasi, tingkat
Kesehatan kerusakan dan kerugian
b. Melaporkan ke gubernur dan menginformasikan
ke pusat penanggulangan krisis
c. Koordinasi dengan RS jika dibutuhkan tenaga
ahli di pengungsian
d. Mobilisasi tenaga kesehatan ke tempat
pengungsian
e. Pemenuhan pelayanan kesehatan, baik kesehatan
anak, kesehatan ibu, kesehatan reproduksi, dan
kesehatan jiwa
2 Dinas Sosial a. Melakukan pendataan pengungs
. b. Distribusi bantuan
3. SAR a. Melaksanakan fungsi search and rescue jika ada
penduduk yang terpisah dari anggota keluarganya
4. PMI a. Penyelenggaraan dapur umum dan distribusi
b. Pemeriksaan kesehatan
c. Pelaksanaan psycho-social support bagi
pengungsi
d. Distribusi bantuan bagi pengungsi
5. PVBMG a. Pemantauan status gunung
6. BBTKLPP a. Pemantauan kualitas udara, kualitas air bersih dan
Surabaya makanan di sekitar area erupsi
b. Melakukan surveilans penyakit dan keracunan
makanan
c. Pengerahan bantuan logistik berupa masker dan
hygiene kit
d. Pemetaan ketersediaan sarana sanitasi di pos
pengungsian
e. Melakukan koordinasi dengan Dinas PU Jatim
untuk penambahan sarana sanitasi berupa jamban
f. Imunisasi campak untuk mencegah KLB campak
7. Dinas PU a. Distribusi air bersih
8. Rumah Sakit a. Menerima rujukan kasus yang perlu penanganan
khusus
b. Mengerahkan SDM tambahan di pos pengungsian
54

3. Pasca bencana
a. Rehabilitasi
Tabel 3.23 Tugas Setiap Instansi Saat Rehabilitasi
No. Pelaksana Peran
1. Pemerintah a. Sosialisasi program reabilitasi kepada penduduk
kabupaten/kota yang terdampak
2 BPBD a. Identifikasi tingkat kerusakan dan kerugian yang
dialami masyarakat akibat gunung meletus
b. Melakukan koordinasi dalam verifikasi usulan
permintaan bantuan
c. Menentukan prioritas untuk dilakukan rehabilitasi
d. Pelaksanakegiatan rehabilitas
e. Pemantauan dan evaluasi dari hasil kegiatan
rehabilitas
2. Dinas PU a. Mobilisasi sumberdaya tenaga dan material yang
digunakan untuk melakukan rehabilitasi
3. BLH a. Melakukan perbaikan lingkungan daerah
bencana, terutama terkait kerusakan hutan,
pencemaran sumber air
4. Dinas Sosial a. Pemulihan sosial psikologis masyarakat sehingga
dapat kembali beraktivitas
5. Dinas a. Pemantauan status kesehatan pasca terjadinya
Kesehatan bencana secara berkala
b. Pemulihan sarana pelayanan kesehatan

b. Rekonstruksi
Tabel 3.24 Tugas Setiap Instansi Saat Rekonstruksi
No. Pelaksana Peran
1. Pemerintah a. Rekonstruksi sarana prasaran pendidikan, sosial,
Kabupaten/kota pemerintahan dan ekonomi yang terdampak
2 Ormas/LSM a. Berpartisipasi dalam kegiatan rekonstruksi
2. Dinas Sosial Pemulihan kondisi sosial dan budaya masyarakat
melalui kegiatan bersama

3.4 Rencana Kontingensi Penanggulangan Bencana Banjir di Jawa Timur


Jawa Timur merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki ancaman
bencana yang beragam, salah satunya adalah bencana yang disebabkan oleh
hidrometeorologi. Kondisi geografis berupa daerah aliran sungai (DAS), dataran rendah
maupun lembah dan lereng berpotensi mengalami bencana banjir.
Banjir didefinisikan sebagai peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu
daerah atau daratan karena volume air yang meningkat. Banjir bandang merupakan
banjir yang datang secara tiba-tiba dengan debit air yang besar yang disebabkan
terbendungnya aliran sungai pada alur sungai (BNPB, 2007).
55

Langkah pertama dalam rencana kontingensi bencana banjir adalah dengan


melakukan tindakan penilaian resiko. Penilaian resiko pertama adalah menganalisis
ancaman serta kerentanan.

3.4.1 Penilaian risiko banjir


a. Ancaman
Ancaman atau potensi bahaya dalam bencana merupakan unsur yang dapat
mengubah suatu bencana menjadi lebih kompleks. Banjir bukan hanya menyebabkan
sawah tergenang sehingga tidak dapat dipanen dan meluluhlantakkan perumahan dan
permukiman, tetapi juga merusak fasilitas pelayanan sosial ekonomi masyarakat dan
prasarana publik, bahkan menelan korban jiwa. Kerugian semakin besar jika kegiatan
ekonomi dan pemerintahan terganggunya, bahkan terhentinya. Meskipun partisipasi
masyarakat dalam rangka penanggulangan banjir sangat nyata. terutama pada aktivitas
tanggap darurat, namun banjir menyebabkan tambahan beban keuangan negara,
terutama untuk merehabilitasi dan memulihkan fungsi parasana publik yang rusak.
b. Kerentanan
1) Kerentanan fisik
Kerentanan banjir di Jawa Timur terkait dengan kondisi ketahanan
tubuh masyarakat yang berbeda-beda. Kerentanan tersebut mengakibatkan jika
terjadi banjir masyarakat bisa terkena berbagai macam gangguan penyakit yang
bervariasi. Gangguan tersebut bisa berupa gangguan penyakit kulit, penyakit
saluran pernapasan dan pencernaan, maupun penyakit yang disebabkan oleh
vector saat banjir. Sehingga perlu langkah untuk mengatasi permasalahan fisik
manusia ini.
2) Kerentanan ekonomi
Tingkat ekonomi yang rendah mengakibatkan masyarakat tinggal di
sekitar daerah aliran sungai (DAS) dan berpotensi menimbulkan pencemaran
ke sungai sehingga banjir dapat terjadi. Kegiatan perekonomian masyarakat
yang mengakibatkan penebangan pohon di hutan ataupun alih fungsi lahan
penyerapan air hujan menjadi lahan untuk kegiatan produksi dan perumahan
menyebabkan wilayah resapan berkurang dan rentan terjadi banjir.
3) Kerentanan sosial
Budaya serta kesadaran masyarakat dalam menjaga sungai yang rendah.
Perilaku membuang sampah sembarangan ke sungai masih dilakukan sehingga
aliran air terhambat dan memungkinkan terjadi banjir.
56

4) Kerentanan lingkungan
Kerentanan ini merupakan kerentanan yang dimiliki oleh lingkungan
sehingga menjadi potensi terjadinya banjir. Kerentanan tersebut antara lain
sebagai berikut:
a) Wilayah dataran rendah, lembah dari bukit serta pegunungan rawan terjadi
bencana banjir. Selain itu daerah aliran sungai (DAS), serta daerah hulu
sungai rawan terjadi bencana banjir.
b) Terbatasnya daerah resapan air hujan terutama di daerah perkotaan
c) Penebangan pohon di hutan tanpa disertai dengan upaya reboisasi
menyebabkan resapan air hujan berkurang, sehingga berpotensi
menyebabkan banjir bandang di wilayah pegununga dan perbukitan.
d) Alih fungsi DAS menjadi lahan pemukiman.
Alih fungsi lahan menjadi pemukiman menjadi salah satu faktor risiko
frekuensi banjir semakin meningkat dikarenakan lahan resapan berkurang.
Berikut sajian data banjir Jawa Timur dari tahun 1908-2012 (Rosa, et al.,
2013)

Gambar 3.34 Data Banjir Jawa Timur Tahun 1908-2012

Adapun berdasarkan data dari RTRW Jawa Timur, daerah yang rentan
terkena banjir adalah sebagai berikut:
57

Tabel 3.25 Wilayah Jawa Timur Rentan Banjir

3.4.2 Analisis Kemungkinan Dampak Bencana


Dampak bencana banjir di Jawa Timur pada rentang tahun 1908-2012 adalah
sebagai berikut.
Tabel 3.26 Dampak Bencana Banjir Jawa Timur pada Rentang Tahun 1908-2012
Kabupaten/ Meninggal Luka-Luka Kerusakan Kerusakan
Kota Rumah Fasilitas
Umum dan
Infrastruktur
Bangkalan 0 0 0 0
Banyuwangi 0 0 0 0
Blitar 23 0 0 0
Bojonegoro 31 90 1374 84
Bondowoso 2 76 0 0
Gresik 3 834 5924 0
Jember 0 0 32 0
Jombang 0 0 0 0
Kediri 28 0 18 0
Kota Malang 0 24 92 0
Kota Pasuruan 0 24 92 0
Tabel 3.26 Dampak Bencana Banjir Jawa Timur pada Rentang Tahun
58

1908-2012
Kabupaten/ Meninggal Luka-Luka Kerusakan Kerusakan
Kota Rumah Fasilitas
Umum dan
Infrastruktur
Kota Surabaya 0 0 50 0
Lamongan 7 0 10 70
Lumajang 405 41 34 0
Madiun 3 0 0 8
Magetan 0 0 0 0
Malang 25 34 2698 4
Mojokerto 3 0 43 0
Nganjuk 3 34 6 0
Ngawi 33 0 0 0
Pacitan 2 0 44 0
Pamekasan 0 2 0 0
Pasuruan 41 3712 8798 0
Ponorog0 4 0 50 0
Probolinggo 2 0 264 0
Sampang 22 2 6850 8
Sidoarjo 0 0 0 0
Situbondo 67 47946 6394 4
Sumenep 0 0 0 0
Trenggalek 16 0 112 2
Tuban 30 218 2 0
Tulungagung 14 0 104 0
Total 764 53024 32948 180
Sumber: DIBI (2012) dalam (Rosa, et al., 2013)
Hasil dari analisis kemungkinan dampak bencana ini ialah peta ancaman risiko
yang tinggi, sedang maupun rendah. Yang dihitung dalam menganalisa kemungkinan
dampak bencana adalah probabilitas kejadian bencana dan perkiraan dampak yang
terjadi. Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan indek risiko sedang bencana
Banjir. Dalam hal ini dapat dilihat pada gambar berikut.
1 2 3 4 5

4
Banjir 3
2
1
59

Probabilitas
Dampak
Gambar 3.35 Indeks Risiko Banjir Jawa Timur
Hasil sebaran dampak bencana banjir di wilayah Jawa Timur dapat
menimbulkan dampak yang lebih luas pada aspek seperti kesehatan, sosal-ekonomi, dan
lingkungan. Hal ini sejalan dengan penelitian Kodoatie (2002) bahwa banjir dapat
mengakibatkan kerugian atau dampak pada manusia meliputi dampak sosial, ekonomi,
dan budaya.
Dampak sosial-ekonomi dirasakan masyarakat terkait dengan ketahanan pangan.
Hal ini sejalan dengan penelitian Suprapto (2011) banjir yang terjadi di suatu daerah
akan menimbulkan dampak terhadap ketahanan pangan nasional Ketahanan pangan
negara menjadi goyah akibat terjadi kegagalan panen di wilayah tersebut dan prediksi
pola tanam petani banyak yang tidak tepat. Hal ini dapat menjadi ancaman pada
hilangnya mata pencaharian penduduk dimana sebagian besar penduduk Pulau Jawa
bermata pencaharian sebagai petani. Selain itu, kejadian banjir di Kabupaten Sampang
menyebabkan terganggunya aktivitas masyarakat. Banjir mengakibatkan aktivitas
belajarmengajar menjadi terganggu akibat sekolah tergenang banjir.
Kegiatan perkantoran menjadi terhambat karena banyak pegawai yang rumahnya
terendam banjir dan harus mengevakuasi harta benda dan dirinya sehingga tidak bisa
beraktivitas di kantor. Banjir juga menyebabkan terganggunya arus transportasi antar
kecamatan bahkan memutus arus antar kabupaten. kerusakan rumah serta fasilitas
umum dan infrastruktur mempengaruhi perekonomian negara karena pengeluaran
terhadap biaya rehabilitasi dan rekonstruksi.

3.4.3 Tindakan dan mekanisme penanggulangan bencana


1. Pra-bencana
a. Pencegahan (prevention)
1) Membuat saluran air yang baik
2) Membuang sampah pada tempatnya
3) Membersihkan saluran air
4) Mendirikan bangunan/konstruksi pencegah banjir
5) Menanam pohon atau tanaman di area sekitar rumah
6) Melestarikan hutan
7) Membuat lubang biopori
8) Membuat sumur serapan
60

9) Proyek pendalaman sungai


10) Penggunaan paving stone untuk jalan

b. Mitigasi
Upaya dalam rangka pencegahan dan mitigasi yang dilakukan bertujuan
untuk menghindari terjadinya banjir serta mengurangi risiko yang ditimbulkan
oleh banjir. Pada tahap pra bencana dilakukan tindakan pencegahan yang
tergolong dalam mitigasi pasif antara lain adalah:
1) Penyusunan peraturan perundang-undangan.
Berikut beberapa peraturan perundangan terkait yang dapat digunakan
sebagai pedoman dalam menyusun kebijakan penanggulanagan banjir dan
menertibkan daerah bantaran sungai adalah Undang-Undang Nomor 24 tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana., Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan
dan Pengelolaan Bantuan Bencana, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
2011 tentang Sungai.
2) Pembuan peta rawan bencana
Peta potensi banjir Jawa Timur pada Februari 2016 adalah sebagai berikut.
61

Gambar 3.36 Peta Prakiraan Daerah Potensi Banjir Jawa Timur 2016

3) Pembuatan pedoman/standar/prosedur dan sosialisasi prosedur


penanggulangan banjir.
Penyusunan Standart Operasional Prosedur (SOP) Pengendalian
Banjir dan Tanah Longsor yang diformulasikan kedalam bentuk model
sistem informasi manajemen DAS (SIMDAS). Sebagai penekanan utama
setelah diidentifikasi tipologi DAS adalah mengetahui wilayah DAS atau
bagian DAS mana yang telah teridentifikasi rawan/sangat rawan atau
kritis /sangat kritis tersebut yang perlu dilakukan untuk menjadi prioritas
dalam upaya pengendalian. Untuk mendukung langkah-langkah kegiatan
Penyusunan SOP Pengendalian Banjir disusun model Sistem Informasi
Manajemen DAS (SIMDAS) menggunakan model basis data untuk
memudahkan dalam sistem pengoperasian perangkat lunak sistem informasi
geografis (SIG/GIS).
2) Penelitian / pengkajian karakteristik dan analisis risiko bencana
3) Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana
4) Penguatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum tanggap darurat
bencana dari kalangan mahasiswa (Mahasiswa Tanggap Bencana), Palang
Merah Indonesia, dan lain sebagainya.
Selain itu perlu dilakukan pembagian tugas yang jelas dalam pembuatan rencana
penanggulangan bencana banjir ini. Pembagian tugas tersebut disusun oleh Pelaksana
Harian Bakornas PB(Pelaksana Harian BAKORNAS PB, 2007), adapun pembagian
tersebut yaitu:
1) Tingkat Pusat
a) BAKORNAS PB, bertugas memobilisasi sumber daya nasional untuk
penangulangan bencana/kedaruratan sejak kesiapsiagaan hingga
penanganan darurat selesai.
b) Departemen PU, bertugas menyediakan peta lokasi rawan banjir
bekerjasama dengan
c) BAKOSURTANAL, bertugas menyediakan sarana dan prasarana pada
tahap kesiapsiagaan dan penanganan bencana/kedaruratan hingga
pemulihan darurat.
62

d) Departemen Perhubungan, bertugas emantau jalur-jalur transportasi yang


terhambat akibat banjir dan melaksanakan upaya-upaya alternative
transportasi, melaporkan dan memberikan informasi kondisi cuaca secara
berkala/terus-menerus, menyediakan sarana perhubungan guna
membantu upaya penanganan bencana/kedaruratan.
e) Departemen Kesehatan, bertugas memberikan supervisi, bantuan teknis
dan administrasi tentang penanganan kesehatan di lokasi bencana,
mencatat jumlah masyarakat/korban meninggal, luka-luka dan korban
terserang penyakit akibat bencana, melakukan upaya penanganan krisis
kesehatan yang meliputi : pelayanan kesehatan di Pos Kesehatan,
Puskesmas, Pustu, RS rujukan. dll.
f) Departemen Sosial, bertugas menyiapkan bahan kebutuhan pokok sejak
tahapkesiapsiagaan hingga tanggap darurat selesai, mendistribusikan
bahan kebutuhan pokok bagi korban bencana/pengungsi sampai dengan
tanggap darurat selesai, mengupayakan tersedianya bahan kebutuhan
pokok dari berbagai sumber.
g) Departemen Dalam Negeri, bertugas mengkoordinasikan Pemerintah
Daerah untuk upaya pengendalian bencana banjir sejak kesiapsiagaan
sampai dengan tanggap darurat selesai, menjembatani tugas Instansi
teknis Pusat, Instansi teknis Pusat yang ada di Daerah dan Instansi
Daerah.
h) Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), bertugas menyediakan
informasi dan prakiraan cuaca dan iklim yang berkaitan dengan banjir .
i) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), bertugas
mengembangkan teknologi Peringatan Dini.
j) Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL),
bertugas menyediakan peta-peta daerah rawan bencana banjir.
k) Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), bertugas
melakukan kajian dari citra satelit dan analisis tentang prediksi kondisi
cuaca berdasarkan data dari citra satelit.
l) Tentara Nasional Indonesia, bertugas mengerahkan potensi sumberdaya
(peralatan dan personil) TNI untuk melakukan penanganan bencana
banjir, termasuk kemungkinan penggunaan helicopter untuk evakuasi dan
distribusi bantuan, jika diperlukan.
63

m) Kepolisian Negara Republik Indonesia, bertugas mengendalikan situasi


keamanan sejak kesiapsiagaan hingga tanggap darurat selesai.
n) Badan SAR Nasional (BASARNAS), bertugas melakukan kegiatan
pencarian dan penyelamatan/evakuasi korban bencana.
2) Tingkat Provinsi
a) Gubernur selaku Ketua Satkorlak PB menunjuk Komandan Penanganan
Darurat (Incident Commander) untuk mengendalikan operasi lintas
Kabupaten/Kota.
b) Komandan Penanganan Darurat bertugas mengendalikan pelaksanaan
kegiatan pengendalian bencana banjir, menyusun perencanaan dan
kesiapsiagaan daerah berdasarkan tingkat kerawanan bencana, membuka
POSKO di lapangan dan mengaktifkan Ruang POSKO Crisis Centre,
memberlakukan Rencana Operasi sebagai Perintah Operasi Tanggap
Darurat dalam rangka penanggulangan bencana, melaporkan tindakan
yang telah diambil serta saran-saran kepada Gubernur serta Ketua
BAKORNAS PB Cq Kalakhar BAKORNAS PB melalui POSKO Crisis
Centre.
c) Unsur Teknis dari Dinas atau Badan terkait, dalam pelaksanaan tugas
SATKORLAK PB didukung oleh instansi Teknis/Dinas/lembaga tingkat
Provinsi antara lai Dinas Kesehata, Dinas Sosial, Dinas P, Dinas
Perhubunga, Dinas Kebersihan, Badan Kesbang Linmas / lembaga
terkait.
d) Instansi Teknis Pusat yang berada di Provinsi, pelaksanaan tugas
Satkorlak PB berserta unsur teknis dalam penanganan bencana banjir
juga didukung oleh Instansi
e) Teknis Pusat yaitu BMG, TNI (Kodam / Korem), Kepolisian (POLDA),
BASARNAS (SAR)
f) Unsur Masyarakat, unsur masyarakat yang dapat berperan-serta dalam
upaya penanggulangan bencana banjir sejak kesiapsiagaan sampai
dengan tanggap darurat selesai, antara lain Palang Merah Indonesia,
Pramuk, Lembaga Swadaya Masyaraka, maupun unsur-unsur lain.
3) Tingkat Kabupaten/Kota
a) Bupati/Walikota selaku Ketua SATLAK PB menunjuk Komandan
Penanganan Darurat (Incident Commander) untuk mengendalikan
operasi.
64

b) Komandan Penanganan Darurat mempunyai tugas Mengendalikan


pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana banjir, Menyusun
perencanaan dan kesiapsiagaan daerah berdasarkan tingkat kerawanan
bencana, Membuka POSKO di lapangan dan mengaktifkan Ruang Posko
Crisis Centre, Memberlakukan Rencana Operasi menjadi Perintah
Operasi Tanggap Darurat., Melaporkan tindakan yang telah diambil dan
upaya serta saran-saran kepada Ketua SATLAK PB yang tembusannya
disampaikan kepada Ketua SATKORLAK PB dan Ketua BAKORNAS
PB Cq Kalakhar BAKORNAS PB melalui Posko Crisis Centre.
c) Unsur Teknis dari Dinas atau Badan terkait, dalam pelaksanaan tugas
Satlak PB didukung oleh instansi Teknis/Dinas/lembaga tingkat
Kabupaten/ Kota antara lain Dinas Kesehata, Dinas PU, Dinas Sosial,
Dinas Kebersihan, Badan Kesbang Linmas/lembaga terkait.
d) Instansi Teknis Pusat di Kabupaten/ Kota, pelaksanaan tugas SATLAK
PB berserta unsur teknis dalam penanggulangan banjir juga didukung
oleh Instansi Teknis Pusat antara lain BMG, TNI (KODIM), Kepolisian
(POLRES), BASARNAS (SAR).
4) Unsur Masyarakat, unsur masyarakat yang dapat berperan serta dalam upaya
penggulangan banjir sejak kesiapsiagaan sampai tanggap darurat selesai,
antara lain PM, Pramuka, Lembaga Swadaya Masyarakat, RAPI, ORARI,
Organisasi/pihak-pihak lain.
c. Kesiapan
Kesiapsiagaan dilakukan oleh Pemerintah Daerah bekerja sama dengan
SATLAK PB dan SATKORLAK PB. Sedangkan Pemerintah pusat yang
dikoordinasikan BAKORNAS PB sebagai unsur pendukung.Adapun Kegiatan
yang dilakukan antara lain:
1. Pemantauan cuaca
2. Pemantauan debit air sungai
3. Pengamatan peringatan dini
4. Penyebaran informasi
5. Inventarisasi kesiapsiagaan
6. Penyiapan peta rawan banjir
7. Penyiapan sumberdaya untuk tanggap darurat
8. Penyiapan alat-alat berat dan bahan banjiran
9. Penyiapan pompa air, mobil tangki air dan mobil tinja.
65

10. Penyiapan tenaga medis dan para-medis dan ambulance


11. Penyiapan jalur evakuasi dan lokasi penampungan sementara
12. Penyiapan keamanan
d. Peringatan Dini
Berikut adalah peringatan dini pada bencana banjir bandang:
1. Memasang alat penakar curah hujan, alat pengukur keretakan tanah, dan
pengukur level ketinggian air pada wilayah yang berpotensi/beresiko terhadap
bencana banjir bandang;
2. Mengumpulkan data sebanyak mungkin agar mendapatkan hasil prakiraan
yang bagus.
3. Menentukan besar curah hujan standar pada wilayah yang rentan terhadap
bencana dan wilayah di sekitarnya. Dalam hal ini curah hujan dianggap
sebagai salah satu pemicu terjadinya banjir bandang sehingga digunakan
sebagai patokan dalam penentuan standar peringatan. Penentuan curah hujan
standar menggunakan metode A, B, atau Komite
4. Melakukan konfirmasi hasil perkiraan curah hujan dengan lembaga penelitian
pemerintahan yang khusus menangani bidang tersebut seperti
BMKG/BPPT/LAPAN atau instansi terkait lainnya dan pilih nilai standar
curah hujan yang paling mendekati atau nilai standar dari metode yang lebih
sesuai dengan kondisi iklim serta alam wilayah tersebut;
5. Menentukan besar nilai standar untuk level ketinggian air dan keretakan tanah
berdasarkan analisa dari data historis kejadian banjir bandang dilengkapi
dengan data hasil pengamatan. Nilai standar ini digunakan sebagai nilai
pendukung dalam penentuan tingkat peringatan bencana.
Pemantauan bahaya dan layanan peringatan dini dapat dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil analisa tingkat kerentanan, susun suatu strategi untuk
pelaksanaan sistem peringatan dini;
2. Pantau hasil prakiraan dan informasikan perubahan/perkembangan kondisi;
3.Lakukan patroli di area tertentu yang rawan dan paling mudah untuk mendeteksi
gejala-gejala awal bencana sekaligus mengawasi aktivitas masyarakat di sekitar
area tersebut (seperti pinggiran sungai atau wilayah tebing);
4.Adakan diskusi antar masyarakat dan aparat pemerintah secara rutin untuk
membahas perkembangan gejala-gejala bencana hasil pengawasan.
66

Pada tahap ini dilakukan komunikasi informasi bahaya (tingkat peringatan) dan
peringatan dini hasil prakiraan dan pantauan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
1.Menyusun dan mengembangkan suatu jaringan komunikasi yang memadai untuk
menyampaikan informasi bahaya bencana serta kondisi darurat menjelang bencana
terjadi. Perhatikan jangka waktu penyampaian dan penyebarluasan informasi
mengingat bencana bisa datang dalam waktu yang singkat, paling lambat sekitar 1-
2 jam setelah terdeteksi oleh tim prakiraan. Oleh sebab itu peringatan harap
disampaikan secepat mungkin;
2.Menyiapkan media-media untuk sarana informasi baik antar tim maupun ke
masyarakat seperti telepon genggam, telepon rumah, handy talkie, pengeras suara,
radio, TV, dan lain-lain;
3. Siapkan perangkat penyampai sinyal peringatan bahaya.
4. Sampaikan berbagai jenis informasi peringatan bahaya bencana kepada
masyarakat. Menggunakan peralatan/media yang telah dipersiapkan.
b. Saat tanggap darurat
Tahap Tanggap Darurat merupakan tahap penindakan atau pengerahan
pertolongan untuk membantu masyarakat yang tertimpa banjir, guna menghindari
bertambahnya korban jiwa.
1. Penilaian secara cepat dan tepat menggunakan rapid health assesment olehTim
Reaksi Cepat (TRC) yang ditugaskan baik oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Jawa Timur)
2. Penentuan status keadaan darurat bencana;
3. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
Menerjunkan tim untuk penyelamatan warga yang terjebak dalam bangunan
menggunakan perahu karet. Proses evakuasi mendahulukan kelompok rentan seperti
wanita dan anak-anak yang kemudian di bawa ke tempat pengungsian.
4. Pemenuhan kebutuhan dasar;
a) Penyediaan air bersih dan sanitasi
Air bersih disediakan oleh dinas PU, dan pihak lain yang telah berkoordinasi
dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jawa Timur. Bantuan air bersih
berupa teknologi penyaringan air banjir dengan output air bersih sesuai standar
yang diproduksi dalam waktu cepat.
Berikut kebutuhan kuantitas air
1) Minimal 15 l/org/hr
67

2) Aliran air tiap sumber sedikitnya 0,125 liter/dtk.


3) Jarak pemukiman terjauh dari sumber air tidak lebih dari 500 m
4) 1 (satu) kran air untuk 80-100 org
Pengadaan air minum, dalam masa darurat cukup dengan penyediaan air
minum galonan.
Penyiapan sanitasi dasar dan personal hygienesebagai berikut:
1) Fasilitas cuci tangan
2) Fasilitas mencuci pakaian dan peralatan dan mandi
3) Kecukupan air bersih
4) Menghindari overcrowding di kamp pengungsian
5) Kampanye promkes untuk personal hygiene, pemeliharaan sarana sanitasi
dasar, dan pengelolaan sampah.
Fasilitas pembuangan kotoran manusia:
1) Tiap 20 orang disediakan satu pintu jamban
2) Dibedakan jamban laki-laki dan perempuan
3) Jarak jamban tidak lebih dari 50 m dari shelter/ 1 menit ditempuh dg jalan
kaki
4) Pisahkan penangan black water dan grey water
5) Pembuangan limbah cair dari jamban tidak merembes ke sumber air
manapun, baik sumur maupun mata air, sungai, dan sebagainya.
6) Air bersih yg cukup dan selalu ada untuk penyiraman
b) Penyediaan pangan dalam beberapa fase berikut:
1) Fase I: Tanggap Darurat Awal
Pada umumnya fase ini akan terjadi selama 3 hari kegiatan yang
dilakukan adalah:Memberikan makanan yang bertujuan agar pengungsi tidak
lapar dan dapat mempertahankan status gizinya.Mengawasi pendistribusian
bantuan bahan makanan.Menganalisis hasil Rapid Health Assessment (RHA),
pada fase ini penyelenggaraan makanan bagi korban bencana menyesuaikan
kebutuhan gizi dengan jumlah pengungsi dan karateristik pengungsi (bumil,
bayi)
2) Fase II: Transisi Darurat
Transisi darurat adalah suatu keadaan sebelum dilakukan rehabilitasidan
rekonstruksi. Kegiatan penanganan gizi pada situasi transisidarurat disesusaikan
dengan situasi dan dan kondisi yang ada, penyediaan pangan harus memenuhi
kadar gizi yang benar.
68

c) Penyediaan hunian sementara korban


Kamp pengungsian banjir (shelter) bisa menggunakan bangunan tertutup
atau lapangan luas yang terhindar dari banjir. Terdapat aliran udara optimal dan
melinduni penghuninya dari terik matahari secara langsung. Shelter harus dapat
melindungi dari cuaca, memberikan ruang yg cukup utk tinggal sementara dan
menyimpan barang, privacy dan keamanan emosional. Bangunan atau tenda pos
komando tanggap darurat bencana menempati lokasi yang strategis dengan
kriteria:
1) Mudah diakses oleh berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan tanggap
darurat bencana.
2) Aman dan terbebas dari ancaman bencana.
3) Memiliki lahan parkir yang memadai.
4) Luas lahan sekurang-kurangnya 500 m
d) Pelayanan kesehatan
Menyediakan posko kesehatan yang dekat dengan posko komando dan
pengungsian. Terdiri dari dokter, perawat dan apoteker, relawan dan tenaga
kesehatan masyarakat juga diperlukan dalam posko ini namun keberadaannya
tidak didalam posko kesehatan agar posko kesehatan tetap khusus digunakan
sebagai area pemeriksaan dan perawatan.
e) Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Perlu dilakukan pembenahan terharap beberapa sarana vital untuk memperlancar
komunikasi dengan daerah non bencana, mengingat distribusi bantuan akan
susah mengakses daerah bencana jalur darat terganggu (tidak selalu kegiatan
mampu diakses via jalur udara). Berikut beberapa sarana yang harus segera
dibenahi seperti:
1) Jalan dan jembatan yang terputus
2) Menyingkirkan tanah longsor yang menutup jalan dan jembatan
3) Tanggul yang jebol
4) Sarana komunikasi
a. Pasca bencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana meliputi:
1. Rehabilitasi
Distribusi desinfeksi yang digunakan untuk membersihkan dinding
rumah dan lantai dari sisa air genangan banjir. Memastikan kecukupan jumlah
air minum, fasilitas sanitasi, pembuangan kotoran manusia, pembuangan air
69

limbah dan sampah dan camp pengungsian yang memadai, Pemastikan


keamanan pangan, pengendalian vektor dan melakukan promosi kebersihan
diri (personal hygiene).

2. Rekonstruksi
Pembangunan kembali prasarana dan sarana tempat umum termasuk
kantor pemerintahan dengan menerapkan bangunan tahan bencana,
Peningkatan fungsi pelayanan publik dengan cara perbaikan sistem peringatan
dini banjir.

3.4.4 Mekanisme penanggulanganbencana

Gambar 3.37 Kerangka Penanganan Kegiatan Manajemen Darurat Banjir Jangka


Pendek (Short term Flood Emergency Management)
Berawal dari kasus banjir, selain mengambil langkah penanggulangan dan
tindakan terhadap masyarakat yang terkena banjir, pemerintah perlu melakukan review
kasus untuk mengidentifikasikan penyebab, penentuan daerah banjir, jumlah kerugian,
dan korban. Berdasarkan dua kegiatan tersebut, pemerintah membuat rencana
penanggulangan bencana banjir jangka panjang dan rencana manajemen darurat banjir
untuk persiapan menghadapi banjir, yang meliputi:
1. pemetaan daerah banjir;
2. stockpiling material;
3. identifikasi lokasi dan penggunaan perlengkapan flood-fighting;
70

4. pemeriksaan fasilitas pengendalian banjir; dan


5. persiapan penampungan pengungsi korban banjir. Hal ini dapat digunakan untuk
menghadapi banjir berikutnya serta guna mengurangi jumlah korban dan
kerugian.

3.4.5 Alokasi tugas dan sumberdaya


Pelaku Kegiatan (Peraturan Kepala BNPB No.4 Thn 2008 Tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana). Peran dan fungsi Instansi Pemerintah
Terkait Dalam melaksanakan penanggulangan bencana di daerah akan memerlukan
koordinasi dengan sektor. Secara garis besar dapat diuraikan peran lintas sektor sebagai
berikut :
1. Sektor Pemerintah
Pemerintah memegang peranan yang cukup penting dalam penanggulangan
bencana banjir di Simeulue yaitu sebagai pemegang kendali dalam kegiatan
pembinaan pembangunan daerah.
2. Sektor Kesehatan
Memiliki fungsi dalam perencanaan pelayanan kesehatan,memberikan pertolongan
pertama jika terdapat korban, penyediaan obat-obatan serta menyiapkan tenaga ahli
kesehatan yaitu kesehatan masyarakat, perawat dan dokter untuk menangani korban
akibat bencana banjir.
3. Sektor Sosial
Sektor sosial berperan dalam rehabilitasi kesejahteraan sosial, bantuan soaial dan
perlindungan sosial serta pengembangan dan pemberdayaan sosial. Jadi dalam
penaggulangan becana banjir sektor sosial memiliki fungsi untuk merencanakan
kebutuhan baik pangan, sandang dan kebutuhan dasar lainnya untuk para
pengungsi.
4. Sektor Pekerjaan Umum
Memiliki peran dalam merencanakan tata ruang daerah, menyiapkan lokasi dan
jalur evakuasi dan kebutuhan pemulihan sarana dan prasarana.
5. Sektor Perhubungan
Sektor perhubungan sangat berperan dalam melakukan deteksi dini dan informasi
cuaca/ meteorologi dan merencanakan kebutuhan transportasi dan komunikasi.
6. Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral
Merencanakan dan mengendalikan upaya mitigatif di bidang bencana geologi dan
bencana akibat ulah manusia yang terkait dengan bencana geologi sebelumnya.
71

7. Sektor Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Berperan dalam perencanaan pengerahan dan pemindahan korban bencana banjir
dari daerah rawan ke daerah yang aman terhadap bencana.

8. Sektor Keuangan
Sektor keuangan samgat penting dalam menyiapkan anggaran biaya kegiatan
penyelenggaraan penanggulangan bencana baik pada masa pra bencana, saat
bencana dan pasca bencana.
9. Sektor Kehutanan
Berperan dalam kegiatan preventif yaitu dengan memantau dan melakukan
pengawasan serta memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku yang yang tidak
bertanggung jawab terhadap hutan agar tidak terjadi kebakaran yang nantinya akan
menyebabkan bencana banjir. Selain itu sektor kehutanan juga berperan melakukan
kegiatan mitigasi khsusnya jika terjadi kebakaran hutan/ lahan.
10. Sektor Lingkungan Hidup
Berperan dalam melakukan perencanaan dan pengendalian yang bersifat preventif,
advokasi, dan deteksi dini dalam pencegahan bencana terutama banjir.
11. Sektor Kelautan
Merencanakan dan mengendalikan upaya mitigatif di bidang bencana tsunami dan
abrasi pantai.
12. Sektor Lembaga Penelitian dan Pendidikan Tinggi
Melakukan kajian dan penelitian sebagai bahan untuk merencanakan
penyelenggaan penanggulangan bencana pada masa pra bencana, tanggap darurat,
rehabilitasi, dan rekontruksi.
13. TNI/ POLRI
Membantu dalam kegiatan SAR dan pengamanan pada saat darurat termasuk
mengamankan lokasi yang ditinggalkan karena penghuninya mengungsi.
14. Peran dan Potensi Masyarakat
a. Masyarakat
Masyarakat sebagai pelaku awal penanggulangan bencana sekaligus korban
bencana. Peran masyarakat dalam kejadian bencana banjir ikut dalam proses
evakuasi para korban yang masih membutuhkan bantuan.
b. Swasta
72

Peran pihak swasta dalam penganan benjana banjir yaitu memberikan bantuan
darurat. Peran pihak swasta masih belum optimal diberdayakan.
c. Lembaga Non-Pemerintah
d. Perguruan Tinggi/ lembaga penelitian
Penanggulangan bencana dapat efektif dan efisien jika dilakukan berdasarkan
penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tepat. Oleh karena itu
diperlukan kontribusi pemikiran dari para ahli dari lembaga-lembaga pendidikan
dan penelitian. Salah satu contoh peran perguruan tinggi dalam penanggulangan
banjir adalah melakukan penelitian terhadap karakterisrik bencana banjir agar
dapat menghasilkan sebuah teknologi yang dapat mendeteksi jika akan terjadi
banjir untuk meminimalisir jumlah korban serta mengurangi kerugian yang
ditimbulkan .
e. Media
Media memiliki kemampuan besar untuk membentuk opini publik. Oleh karena
itu peran media sangat penting dalam hal membangun ketahanan masyarakat
menghadapi bencana melalui kecepatan dan ketepatan memberikan informasi
tentang bencana berupa peringatan dini, kejadian bencana serta upaya
penanggulangannya, serta pendidikan kepada masyarakat untuk tidak
sembarangan dalam mengelola lingkungannya.
f. Lembaga Internasional
Lembaga internasional memiliki peran dalam memberikan bantuan baik pada
saat pra bencana, tanggap daruat maupun pasca bencana. Namun pemerintah
harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam menerima
segala bantuan dari lembaga internasional.
3.4.6 Pilihan tindakan dan sumberdana
Tabel 3.28 Pilihan Tindakan dan Sumber Dana Bencana Banjir dan Tanah Longsor
Pilihan Sumber
No. Kegiatan Pelaku
Tindakan Dana
1. Pra bencana saat 1. Penyusunan peraturan Pemerintah, DPRD,
tidak terjadi perundang-undangan Gubernur
bencana 2. Membuat peta rawan Menteri PU BPBD
Pra bencana saat bencana
tidak terjadi 3. Penyusunan SOP BPBD, Menteri PU
bencana pengendalian banjir
diformulasikan pada
SIMDAS adalah
mengetahui wilayah
DAS atau bagian DAS
73

mana yang telah


teridentifikasi
rawan/sangat rawan
atau kritis
4. Menyediakan informasi BMKG BPBD
iklim dan cuaca serta
mensosialisasikan
kepada masyarakt dan
instansi terkait
Lanjutan Tabel 3.28 Pilihan Tindakan dan Sumber Dana Bencana Banjir dan Tanah
No Pilihan Tindakan Kegiatan Pelaku Sumber
Dana
5. Memperkuat forum BPBD
tanggap darurat
bencana.
6. Membangun, BLH, BPBD, BPBD
meningkatkan, MASYARAKAT,
memperbaiki atau
normalisasi
&memelihara sungai
7. Menyusun peraturan Gubernur/Bupati/ BPBD
dan menertibkan Walikota
daerah bantaran sungai
8. Membuat peta daerah BMKG BPBD
genangan banjir
9. Sosialisai dan pelatihan LSM, BLH, PKK, BPBD
prosedur tetang Dinkes
penanggulangan banjir
10. Menegakkan hukum BLH, BPBD
terhadap pelanggaran Gubernur/Bupati/W
pengelolaan daerah alikota
aliran sungai
11. Menyediakan cadangan MEN.SOS, LSM, BPBD
pangan dan sandang
serta peralatan darurat
banjir lainnya
12. Membuat sumur MASYARAKAT, BPBD
resapan BLH, DINKES
KOTA,
13. Pemantapan satkorlak BNPB BPBD
PBP
14. Merivisi tata ruang DEP.PU, BPBD
propinsi maupun kota
secara terkoordinasi
dan terintergrasi
15. Mengendalikan BLH, BPBD
perkembangan
lingkungan dan
perkembangan daerah
hulu
16. Menerapkan MASYARAKAT, BPBD
74

pengelolaan sampah DINKES


terpadu berdasarkan
satuan wilayah sungai
(SWS) dan
memperdayakan
kelembagaan
pengelolaan SWS

Lanjutan Tabel 3.28 Pilihan Tindakan dan Sumber Dana Bencana Banjir dan Tanah
Pilihan Sumber
No. Kegiatan Pelaku
Tindakan Dana
17. Membangun fasilitas DEP.PU BPBD
pengolah sampah dan
limbah
18. Mereboisasi kota dan KEMEN.KEHUTA BPBD
daerah hulu NAN
19. Merencanakan daerah Dep.Perhubungan,
penampungan Dep. Transmigrasi
sementara dan jalur
evakuasi jika terjadi
bencana

1. Melakukan rapid health BPBD Jawa Timur


assesment
2. Penentuan status Pemerintah -
keadaan darurat Kabupaten Simeule
3. Pemberitahuan kepada BMKG, BPBD
masyarakat tentang
kondisi cuaca
4. Menempatkan tugas BPBD BPBD
pada pos-pos
pengamatan
5. Menyipakan sarana DEP.PU BPBD
penanggulangan,
termasuk bahan banjir
Pada tahap 6. Mengevakuasi dan Tentara Nasional BPBD
2. mengungsikan Indonesia,
terjadi bencana
penduduk ke daerah Kepolisian RI, Tim
aman SAR
7. Menyebarluaskan Men.Komunikasi BPBD
informasi terkait dan Informatika
dengan bencana banjir
8. Memberikan bantuan DEP.SOS, LSM BPBD
makanan, pakaian,
peralatan kebutuhan
lainnya
9. Memberikan pelayanan DEP.KES BPBD
kesehatan kepada
korban bencana banjir
10. Pemenuhan kebutuhan Dep.PU, BPBA BPBD
75

dasar (air bersih,


sanitasi dasar dan
personal hygiene,
pembuangan kotoran
manusia)

LanjutanTabel 3.28 Pilihan Tindakan dan Sumber Dana Bencana Banjir dan Tanah
Longsor
Pilihan Sumber
No. Kegiatan Pelaku
Tindakan Dana
1. Pendataan kerusakan DEP.PU, BPBD
bangunan dan fasilitas Gubernur/Bupati/W
publik alikota
2. Memperbaiki prasarana Men.PU BPBD
publik yang rusak
3. Pembersihan Masyarakat, Dinas BPBD
lingkungan Kebersihan dan
Lingkungan
4. Pengajuan usulan Gubernur/ Bupati/ BPBD
program pembangunan Walikota
Pasca Banjir,
fasilitas
3. tahap setelah
penanggulangan banjir
banjir
5. Melakukan upaya Men. Sosial BPBD
pemulihan ekonomi
akibat banjir
6. Memulihkan Men.Pertanian BPBD
keberlanjutan usaha
pertanian akibat dari
bencana banjir
7. Memulihkan Men.Kelautan dan BPBD
keberlanjutan budidaya Perikanan
perikanan akibat banjir

3.5 Rencana Kontingensi Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Jawa Timur


3.5.1 Penilaian risiko bencana tanah longsor
1. Pengenalan Bahaya
Bahaya atau ancaman (hazard) merupakan suatu keadaan yang diakibatkan
oleh fenomena alam yang luar biasa ataupun manusia yang berpotensi merusak atau
mengancam kehidupan manusia, menyebabkan kehilangan harta benda, mata
pencaharian, dan kerusakan lingkungan. Bahaya termasuk kondisi tersembunyi
yang dapat menjadi ancaman di masa depan dan mempunyai sumber yang berbeda
seperti dari alam ataupun yang disebabkan oleh manusia.
Salah satu bahaya (hazard) adalah tanah longsor, tanah longsormerupakan
salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun percampuran keduanya,
76

menuruni atau keluar lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan
penyusun lereng. Pemicu dari terjadinya gerakan tanah ini adalah curah hujan yang
tinggi, gempa bumi diserta longsor atau kelerengan tebing yang curam
(bnpb.go.id/2016).
Menurut data BNPB, ada 41 juta jiwa yang tinggal di daerah rawan (sedang-
tinggi) longsor di 274 kabupaten/kota yang tersebar di seluruh Indonesia
(bnpb.go.id/2016). Terjadinya bencana tanah longsor memiliki dampak yang sangat
besar terhadap kehidupan khususnya manusia. Apabila tanah longsor itu terjadi
pada wilayah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi maka korban jiwa
yang ditimbulkan akan sangat besar, terutama bencana tanah longsor yang terjadi
secara tiba-tiba tanpa diawali adanya tanda-tanda akan terjadinya tanah longsor.
Adapun dampak yang ditimbulkan dengan terjadinya tanah longsor terhadap
kehidupan yaitu dapat menelan korban jiwa yang besar, terjadinya kerusakan
infrastruktur publik, kerusakan bangunan seperti gedung kantor dan perumahan
penduduk, menghambat proses aktivitas manusia dan merugikan masyarakat
maupun pemerintah.
Perhitungan matematis berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010 dan
peta bahaya menghasilkan 40 juta penduduk Indonesia terpapar tanah longsor.
Sedangkan selama Juni 2015 saja sudah sekitar 270 warga mengungsi dan 4 rumah
rusak akibat longsor (BNPB, Juni 2015).

Sumber: http://dibi.bnpb.go.id/
Gambar 3.38 Kejadian Bencana Alam 2008-2012
77

Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa tanah longsor merupakan kejadian
bencana alam ketiga yang sering terjadi di Indonesia pada rentang waktu antar
tahun 2008-2012, yaitu sebanyak 135 kejadian dibawah kejadian banjir dan angin
puting beliung.

2. Kerentanan (vulnerability)
Kerentanan (vulnerability) adalah keadaan atau sifat/perilaku manusia atau
masyarakat yang menyebabkan ketidak mampuan menghadapi bahaya atau
ancaman.
Kerentanan lingkungan tanah longsor dapat berupa bangunan yang berada
dibawah lereng terjal, curah hujan yang tinggi dan mengikis tanah di lereng. Tidak
adanya pepohonan atau tanaman sebagai penguat tanah, jenis tata lahan dan jenis
tanah kurang padat dan tebal menjadi faktor kerentanan terjadinya longsor.

Sumber: geospasial.bnpb.go.id/2016
Gambar 3.39 Peta Rawan Longsor Jawa Timur

Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa dari 38 kabupaten/kota di Jawa


Timur, sekitar ada 12 kab/kota yang memiliki risiko tinggi terkena bencana tanah
longsor yakni kabupaten Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Bangkalan, Sampang,
Pamekasan, Probolinggo, Bondowoso, kota Madiun, kota Mojokerto, kota Blitar,
dan kota Pasuruan. Sedangkan sekitar ada 4 kab/kota yang memiliki risiko rendah
untuk terkena bencana erosi/tanah longsor yaitu Kota Surabaya, kota Kediri,
78

kabupaten Ngawi, dan Kabupaten Sidoarjo. Sedangkan kab/kota lainnya di Jawa


Timur memiliki risiko sedang.
3. Analisis kemungkinan dampak bencana
Analisis kemungkinan dampak bencana merupakan gabungan antara ancaman
dan kerentanan yang ada.
1. Pengenalan bahaya/ancaman di daerah yang bersangkutan.
Semua bahaya/ancaman tersebut diinventarisasi, kemudian di perkirakan
kemungkinan terjadinya (probabilitasnya) dengan rincian :
a. 5 Pasti (hampir dipastikan 80-99%)
b. 4 Kemungkinan besar (60-80% terjadi tahun depan, atau
sekali dalam 10 tahun mendatang)
c. 3 Kemungkinan terjadi (40-60% terjadi tahun depan,
atau sekali dalam 100 tahun)
d. 2 Kemungkinan kecil (20-40% dalam 100 tahun)
e. 1 Kemungkinan sangat kecil (hingga 20%)
Ancanam tanah longsor di Jawa Timur, memiliki prosentase 60-80%
untuk terjadi tahun depan, mengingat setiap tahun kejadian tanah longsor
selalu terjadi baik dalam skala kecil maupun besar, hal ini banyak
diakibatkan curah hujan yang cukup tinggi terjadi setiap tahun di daerah
Jawa Timur, kontur tanah mudah longsor dan banyak daerah di Jawa Timur
yang berupa lereng.
Seperti yang telah terjadi di Kabupaten Pacitan sepanjang tahun 2014
terjadi longsor di 45 desa di 13 kecamatan. Sedangkan untuk kejadian
longsor terbesar terjadi di Jombang yang terjadi pada akhir Januari 2014
yang mengakibatkan belasan orang tewas akibat terkubur longsor.
2. Perkirakan dampak
Jika probabilitas di atas dilengkapi dengan perkiraan dampaknya apabila
bencana itu memang terjadi dengan pertimbangan faktor dampak antara lain:
a. Jumlah korban;
b. Kerugian harta benda;
c. Kerusakan prasarana dan sarana;
d. Cakupan luas wilayah yang terkena bencana
e. Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan,
Maka, jika dampak inipun diberi bobot sebagai berikut:
79

a. 5 Sangat Parah (80-99% wilayah hancur dan


lumpuh total)
b. 4 Parah (60-80% wilayah hancur)
c. 3 Sedang (40-60% wilayah terkena rusak)
d. 2 Ringan (20-40% wilayah yang rusak)
e. 1 Sangat Ringan (kurang dari 20% wilayah rusak)
Berdasarkan data-data tentang ancaman bahaya dan kerentanan yang
terdapat di provinsi Jawa Timur, maka kemungkinan dampak bencana yang
terjadi, yaitu:
a. Rusaknya lahan produkif karena tertimbun material longsor seperti lahan
persawahan. Rusakya lahan ini akan mengakibatkan terganggunya mata
pencarian sebagian warga mengingat
b. Kemungkinan terjadinya korban jiwa. mengingat kejadian tanah longsor
yang sewaktu-waktu tidak dapat di perkirakan;
c. Rusaknya tempat tinggal warga. Banyaknya warga yang membangun rumah
di daerah rawan bencana yang mengakibatakan tanah semakin labil dan
apabila terjadi hujan lebat dan dalam jangka waktu yang lama tanah akan
mudah beregerak dan terjadi longsor;
d. Terjadinya kerusakan pada jalan maupun jembatan yang akan
mengakibatkan susahnya akses kendaraan masuk untuk melakukan
pertologan jika terjadi keadaan kedaruratan.
Tabel 3.29Kejadian Longsor di Jawa Timur Periode Januari-Mei 2015

No Tanggal Lokasi Korban Kerugian


1. 2015-05- Dsn. Dondong Nihil -
04 Ds. Gemaharjo
Kec. Tegalombo
Kab. Pacitan
Prov. Jawa
Timur
2 2015-04- Jl. Raya - - 2 mobil tertimpa
21 Ponorogo - material longsoran
Pacitan Ds. -Akses jalan tertutup
Gemaharjo Kec. material longsoran
Tegalombo Kab. dengan tinggi 15
Pacitan Prov. Meter, Lebar 5 Meter
Jawa Timu dan panjang 20 Meter.
3 2015-03- Dsn. Semburan 1 orang Separuh jalan tertutup
03 Ds. Plengkung meninggal
Ds. Ploso Kec. an. Kabul/
80

Tegalombo Kab. 50 th
Ponorogo Prov.
Jawa Timur
4. 2015-02- Ds. Ngebel Ds. - Kantor Koramil
19 Ngrugong Ds. Ngebel tertimpa
Gondowido Ds. material pasir dan batu
Pupus Kec. setinggi 1 M, Tempat
Ngebel Kab. bermain anak

Lanjutan Tabel 3.29Kejadian Longsor di Jawa Timur Periode Januari-Mei


2015

No Tanggal Lokasi Korban Kerugian

Ponorogo Prov. anak dan Toilet Umum


Jawa Timur serta Rumah Dinas
Camat ngebel tertimpa
Material Pasir dan
Batu Setinggi 0,3 M
dan 1 Unit Pipa Air
minum (RB)
5. 2015-03- Dsn. Nggaloh 1 orang -
02 DS. Meninggal
Kedungjambe Dunia
Kec. Singgahan tertimbun
Kab. Tuban bebatuan
Prov. Jawa dari
Timur tambang

6. 1/3/2015 Prov. Jawa - 1 Unit rumah RB


Timur Kab.
Tuban Kec.
Kenduruan Ds.
Njlodro Dsn.
Ngasem
7. 2015-03- Dsn. Nggaloh - Menutup jalan dari
01 Ds. Kab. Magetan ke Kab.
Kedungjambe Wonogiri
Kec. Poncol
Kab. Magetan
Prov. Jawa
Timur
8. 2015-02- Ds. Cemeng - 25 unit rumah (RR)
20 Kec. Sidoarjo
Kab. Sidoarjo
Prov. Jawa
Timur
9. 2015-02- Ds. Nyawangan - 1 unit rumah
04 Kec. Sendang
81

Kab.
Tulungagung
Prov. Jawa
Timur

LanjutanTabel 3.29Kejadian Longsor di Jawa Timur Periode Januari-Mei


2015

No Tanggal Lokasi Korban Kerugian

10 2015-02- Dsn. Bringin Ds. - 1 unit rumah


01 Mulyosari Kec.
Pagerwojo Kab.
Tulungagung
Prov. Jawa
Timur
11 2015-02- Ds. Mulyosari - 11 unit rumah
01 Kec. Pagerwojo
Kab.
Tulungangung
Prov. Jawa
Timur
12 2015-01- Ds. Sukuwiyono - -
31 Kec. Karangrejo
Kab.
Tulungangung
Prov. Jawa
Timur
13 2015-01- Kec. Karangrejo - -
31 Kab.
Tulungagung
Ds. Sukowiyon
Prov. Jawa
Timur
14 2015-01- Ds. Ledoksari - -
31 Ds. Wonokitri
Ds. Sedeang Ds.
Podokoyo Kec.
Tosari Kab.
Pasuruan Prov.
Jawa Timur
15 2015-01- Ds. Wonokerto - 1 jembatan
30 Kec. Pagelaran
Kab. Malang
Prov. Jawa
Timur
82

16 2015-01- Ds. Suci Kec. - 6 ha daerah


04 Panti Kab. perkebunan tertutup
Jember Prov. material longsor
Jawa Timur
17 1/1/2015 Ds. Kemuning - n antar desa terputus
Kec. Arjasa Kab. dan 1 unit tiang listrik
Jember. roboh
Sumber: BNPB
Tabel 3.30Penduduk Berisiko Terkena Dampak Bencana Longsor periode
No Kab/Kota, Kecamatan, Desa JumlahPenduduk Berisiko
1. Dsn. Dondong Ds. Gemaharjo 53.527  jiwa diwilayah Kec.
Kec. Tegalombo Kab. Pacitan Tegalombo
Prov. Jawa Timur 154 913.00 jiwa di wilayah Kab.
Pacitan
2. Dsn. Semburan Ds. Plengkung 40.057 Jiwa diwilayah Kec.
Ds. Ploso Ds. Tegalombo Kec. Kauman
Kauman Kab. Ponorogo Prov. 245 373.00 Jiwa diwilayah Kab
Jawa Timur Ponorogo
3 Ds. Ngebel Ds. Ngrugong Ds. 19.102 jiwa diwilayah Kec.
Gondowido Ds. Pupus Kec. Ngebel
Ngebel Kab. Ponorogo Prov.
Jawa Timur
4 Dsn. Nggaloh DS. 313 132.00 jiwa di wilayah Kab.
Kedungjambe Kec. Singgahan Tuban
Kab. Tuban Prov. Jawa Timur
5 Prov. Jawa Timur Kab. Tuban 26.344 jiwa diwilayah Kec
Kec. Kenduruan Ds. Njlodro Kenduruan
Dsn. Ngasem
6 Dsn. Nggaloh Ds. 175 312.00 jiwa di wilayah Kab
Kedungjambe Kec. Poncol Kab. Magetan
Magetan Prov. Jawa Timur
7 Ds. Cemeng Kec. Sidoarjo Kab. 563068 jiwa di wilayah Kab.
Sidoarjo Prov. Jawa Timur Sidoarjo
8 Ds. Nyawangan Kec. Sendang 4500 jiwa di wilayah Kec
Kab. Tulungagung Prov. Jawa Sendang
Timur 288 013.00 jiwa di wilayah Kab
83

Tulungagung
9 Dsn. Bringin Ds. Mulyosari 30,747 jiwa di wilayah Kec.
Kec. Pagerwojo Kab. Pager wojo
Tulungagung Prov. Jawa Timur
10 Ds. Mulyosari Kec. Pagerwojo 30,747 jiwa di wilayah Kec.
Kab. Tulungangung Pager wojo
Lanjutan Tabel 3.30 Penduduk Berisiko Terkena Dampak Bencana
Longsor periode
No Kab/Kota, Kecamatan, Desa JumlahPenduduk Berisiko
11 Ds. Sukuwiyono Kec. 288 013.00 jiw di wilayah
Karangrejo Kab. Tulungangung Kab.Tulungagung
Prov. Jawa Timur
12 Kec. Karangrejo Kab. 288 013.00 jiwa di wilayah
Tulungagung Ds. Sukowiyon Kab.Tulungagung
Prov. Jawa Timur
13 Ds. Ledoksari Ds. Wonokitri 432 155.00 jiwa di wilayah Kab.
Ds. Sedeang Ds. Podokoyo Pasuruan
Kec. Tosari Kab. Pasuruan
Prov. Jawa Timur
14 Ds. Wonokerto Kec. Pagelaran 693 060.00 jiwa diwilayah Kab.
Kab. Malang Prov. Jawa Timur Malang
15 Ds. Suci Kec. Panti Kab. 689 153.00 jiwa di wilayah Kab.
Jember Prov. Jawa Timur Jember
16 Ds. Kemuning Kec. Arjasa Kab. 689 153.00 jiwa di wilayah Kab.
Jember Prov. Jawa Timur Jember
Sumber: http://jatim.bps.go.id 2015 dan https://id.wikipedia.org

3.5.2 Tindakan dan mekanisme penanggulangan bencana


1. Pra bencana
a. Pencegahan dan mitigasi
Tindakan mitigasi bencana tanah longsor yang bisa dilakukan di Jawa Timur
yaitu:
1) Pemetaan (dilakukan oleh BNPB)
84

Pemetaan dilakukan untuk mengetahui daerah mana saja yang berpotensi


untuk terjadi longsor di Jawa Timur, berdasarkan keterangan ketua BPBD
jatim pada Desember 2015 telah ditetapkan 22 daerah rawan bencana
longsor, diantaranya Kabupaten Magetan, Ngawi, Nganjuk, Tuban,
Bojonegoro, Jombang, Mojokerto, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo,
Bondowoso, Banyuwangi, Jember, Lumajang, Malang, Blitar, Tulungagung,
Trenggalek, Pacitan, Ponorogo, Madiun dan Pamekasan.
Berdasarkan kejadian yang sudah terjadi, yang termasuk kategori tinggi
terjadi longsor adalah Pacitan sebesar 32%, Kabupaten Blitar sebesar 13% ,
Trenggalek, Ponorogo, Batu, Lumajang, Jombang, Kabupaten Malang, dan
Kabupaten Probolinggo masing-masing 5% (Anwar Mujib, 2015).
2) Koordinasi
Koordinasi lintas sektor dapat dilakukan oleh pemerintah setempat, BPBD
daerah/privinsi, Dinas kesehatan, BBTKLPP dan lembaga terkait lain untuk
mencetuskan dan pembagian tugas ketika nanti suatu sat terjadi bencana.
3) Sosialisai
Sosialisasi dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada pemerintah
provinsi/kabupaten/kota atau masyarakat umum tentang bencna alam tanah
longsor dan akibat yang ditimbulkannya.

b. Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan
terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta
benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Upaya kesiapsiagaan
dilakukan pada saat bencana tanah longsor mulai teridentifikasi akan terjadi,
kegiatan yang dilakukan antara lain:
1) Pengaktifan pos-pos siaga bencana tanah longsor dan unsur pendukungnya.
2) Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/logistik.
3) Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna
mendukung tugas kebencanaan.
4) Penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini (early
warning)
5) Mobilisasi sumber daya (personil dan prasarana / sarana peralatan).
2. Saat Tanggap Darurat
85

Tahap Tanggap Darurat merupakan tahap penindakan atau pengerahan


pertolongan untuk membantu masyarakat yang tertimpa bencana, guna
menghindari bertambahnya korban jiwa. Penyelenggaraan penanggulangan
bencana pada saat tanggap darurat bencana tanah longsor meliputi:
a. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian, dan
sumber daya.
Penentuan lokasi evakuasi yang aman saat bencana terjadi.
Sedangkan kerusakan dan kerugian dapat dinilai dengan melakukan Rapid
Health Assessment (RHA).
RHA bisa dilakukan oleh BPBD, BBTKLPP, Dinas kesehatan
daerah atau provinsi untuk menilai kerusakan, kerugian, penangan atau
kemungkinan risiko yang akan terjadi.
b. Penentuan status keadaan darurat bencana
Status keadaan darurat bencana adalah suatu keadaan yang
ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini BNPB, untuk jangka waktu
tertentu atas rekomendasi badan yang diberi tugas untuk menanggulangi
bencana termasuk dalam hal ini Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG).
Hasil kajian BMG tentang cuaca ekstrim dapat dipakai untuk memberi
informasi tentang adanya ancaman bencana diseluruh Indonesia. Status
keadaan darurat bencana tanah longsor diambil jika terjadi gerakan tanah
didaerah tersebut.
c. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena becana.
Penyelamatan korban meliputi pencarian, pertolongan dan evakuasi
korban bencana tanah longsor.
d. Pendirian posko bencana (dilakukan oleh BPBD)
Dalam posko bencana, emenuhan kebutuhan dasar harus terpenuhi,
meliputi penyediaan air bersih, dan sanitasi yang baik, pemenuhan pangan
dan sandang para korban bencana, memperhatikan penampungan dan hunian
korban bencana, menyediakan pelayanan kesehatan dan perlindungaan
terhadap kelompok rentan. Dibutuhkan aparat TNI/Polri guna membantu
tenaga sumber daya dan untuk memnatu kemanan pengungisan.
e. Pendirian pos kesehatan
Dapat dilakukan oleh pemerintah melalui dinas kesehatan dan tenaga
kesehatan yang terkait, BBTKLPP untuk melihat risiko kesehatan ditempat
pengungsian
86

f. Penyelidikan dan pemeriksaan


Penyelidikan pada saat dan setelah terjadi bencana, sehingga dapat
diketahui penyebab dan cara penanggulangannya. Pemeriksaan bencana
longsor bertujuan untuk mempelajari penyebab, proses terjadinya, kondisi
bencana dan tata cara penanggulangan bencana disuatu daerah yang terlanda
longsor Berdasarkan laporan BPBD Jatim, kejadian longsor di Jatim paling
banyak disebabkan oleh intensitas hujan yang tinggi dan lama, yang banyak
terjadi di daerah rawan yaitu daerah dengan kontur lereng dan berjenis tanah
gembur.
3. Pasca Bencana
a. Rehabilitasi
Upaya yang dilakukan pada tahap rehabilitasi adalah untuk
mengembalikankondisi daerah yang terkena bencana yang serba tidak menentu
ke kondisi normal yang lebih baik, agar kehidupan dan penghidupan masyarakat
dapat berjalan kembali. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi:
1) Perbaikan lingkungan dan sarana prasrana umum.
Perbaikan lingkungan fisik meliputi kegiatan : perbaikan lingkungan
fisik untuk kawasan pemukiman, kawasan industri, kawasan usaha dan
kawasan gedung. Prasarana dan sarana umum adalah jaringan infrastruktur
dan fasilitas fisik yang menunjang kegiatan kehidupan sosial dan
perekonomian masyarakat. Pemulihan lingkungan dan saran prasarana
dilakukan oleh pemerintah daerah melibatkan dinas terkait dibawah
kewenangannya.
2) Pemulihan sosial psikologis
Kegiatan psikososial adalah kegiatan mengaktifkan elemen-elemen
masyarakat agar dapat kembali menjalankan fungsi sosial secara normal.
Pemulihan sosial psikologis bertujuan agar masyarakat mampu melakukan
tugas sosial seperti sebelum terjadi bencana, serta tercegah dari mengalami
dampak psikologis lebih lanjut yang mengarah pada gangguan kesehatan
mental.
Pemulihan sosial psikologis dapat dilakukan oleh tenaga keseahatan
dibawah dinas kesehatan, psikolog, atau siapa saja yang sudah terlatih.
3) Pelayanan kesehatan
Pemulihan pelayanan kesehatan adalah aktivitas memulihkan kembali
segala bentuk pelayanan kesehatan sehingga minimal tercapai kondisi
87

seperti sebelum terjadi bencana. Pelayanan kesehatan dilakukan oleh para


tenaga keeahtan dibawah naungan dinas kesehatan.
b. Rekonstruksi
Tahap rekonstruksi merupakan tahap untuk membangun kembali sarana
dan rasarana yang rusak akibat bencana secara lebih baik dan sempurna. Oleh
sebab itu pembangunannya harus dilakukan melalui suatu perencanaan yang
didahului oleh pengkajian dari berbagai ahli dan sektor terkait. Kegiatan
rekonstruksi bencana tanah longsor meliputi:
1) Penguatan bangunan-bangunan infrastruktur di daerah rawan longsor.
2) Pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat.
3) Pembangunan kembali sarana sosial masyarakat yang rusak akibat tanah
longsor.

Tuban:
Magetan: 2 Sidoarjo:
1 Kejadian I
Kejadian Kejadian Pasuruan:
1
Kejadian

Pacitan:
2 Tulungagung: Malang:
Kejadian 5 Kejadian 1 Kejadian Jember:
Ponorogo:
2 Kejadiaan
2 Kejadian
Gambar 3.40 Peta Kejadian bencana tanah longsor di Jawa Timur periode
Januari-Mei 2015

3.6 Bencana Kekeringan


3.6.1 Penilaian risiko bencana kekeringan
1. Ancaman
Ancaman atau potensi bahaya dalam bencana merupakan unsur yang dapat
mengubah suatu bencana menjadi lebih kompleks. Di Indonesia terdapat banyak
potensi bencana yang terjadi salah satunya adalah kekeringan. Potensi bencana ini
dikelompokkan menjadi dua kelompok utama yakni potensi bahaya utama (main
hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard) (BNPB,2008). Potensi bahaya
utama adalah potensi bencana yang rawan terjadi di derah tersebut.
88

Potensi bahaya pada bencana kekeringan itu sendiri merupakan gagal panen,
kekurangan air untuk irigasi sawah, kekurangan air bersih, kekeuranga bahan
makanan sehinga dapat menimbulkan gizi kurang sampai kematian (BNPB, 2008).

Tabel 3.31 Kejadian kekeringan 2014 dan 2015 menurut BMKG


Tahun Kejadian Keterangan
2014 Sebanyak 185 kecamatan, 624 desa di Peringatan Dini dan penentuan
22 kabupaten, berpotensi mengalami status darurat kekeringan
bencana kekeringan di Jawa Timur.
Bondowoso menetapkan status
darurat kekeringan.
2015 Daerah tidak hujan berturut-turut > 60 Peringatan Dini dan penentuan
hari yang berpotensi kekeringan status darurat kekeringan
ekstrim terjadi di Bangkalan
( Modung ) dan Banyuwangi
( Wongsorejo dan Giri )
Gubernur telah menetapkan darurat
kekeringan untuk provinsi Jawa
Timur (hingga 1 Desember), terjadi di
66 Desa
2016 Prediksi NASA El Nino Godzilla Berdasarkan prediksi bulan
akan terjadi hingga 2016 yang Januari (TribunNews
menyebabkan musim tidak beraturan Bogor,2016)
yang akan meningkatkan risiko
terjadinya kekeringan dan banjir.

Menurut BMKG, kekeringan dapat ditandai ketika suatu daerah tidak hujan
berturut-turut > 60 hari yang berpotensi terjadi kekeringan ekstrim. Menurut hasil
pemetaan BMKG berdasarkan monitoring hari tanpa hujan, dapat diketahui prediksi
kekeringan suatu daerah, dalam hal ini Jawa Timur. Hari tanpa hujan berturut-turut
dihitung dari hari terakhir pengamatan, jika hari terakhir tidak hujan, maka dihitung
sesuai dengan Kriteria. Sedangkan jika hari terakhir pengamatan ada hujan
(>=1mm) langsung dikategorikan Hari Hujan (HH).
89

Gambar 3.41Hari Tanpa Hujan Pulau Jawa Tahun 2015 (sumber: BMKG)

Tabel 3.32Daerah Hari Tanpa Hujan (Menengah Hingga Sangat Ekstrim) Pulau Jawa
Tahun 2015
No. Daerah Klasifikasi Keterangan
Curah Hujan
1 Tinap Kekeringan Ekstrim >60 hari
2 Lembeyan Kekeringan Ekstrim
3 Pacitan Kekeringan Ekstrim
4 Bagong Kekeringan Ekstrim
5 Widoro Kekeringan Ekstrim
6 Besuki Kekeringan Ekstrim
7 Kencong Kekeringan Ekstrim
8 Lodoyo Kekeringan Ekstrim
9 Bantur Kekeringan Ekstrim
10 Birowo Kekeringan Ekstrim
11 Kesamben Kekeringan Ekstrim
12 Pondok Kekeringan Ekstrim
13 Karangsuko Kekeringan Ekstrim
14 Caruban Kekeringan Ekstrim
15 Jologan Kekeringan Ekstrim
16 Bluri Kekeringan Ekstrim
17 Donomulyo Kekeringan Ekstrim
18 Janjing Kekeringan Ekstrim
19 Pacet Kekeringan Ekstrim
20 Pager Kekeringan Ekstrim
21 Jabung Kekeringan Ekstrim
22 Bonokusumo Kekeringan Ekstrim
23 Meleman Kekeringan Ekstrim
Sumber: BMKG
90

Tabel 3.32 Daerah Hari Tanpa Hujan (Menengah Hingga Sangat Ekstrim) Pulau Jawa
Tahun 2015
No. Daerah Klasifikasi
24 Banyuanyar Kekeringan Ekstrim
25 Sukodono Kekeringan Ekstrim
26 Buduan Kekeringan Ekstrim
27 Pinang Kekeringan Ekstrim
28 Tempuneje Kekeringan Ekstrim
29 Sumberjambe Kekeringan Ekstrim
30 Grajagan Kekeringan Ekstrim
31 Pasewaran Kekeringan Ekstrim
32 Songgon Kekeringan Ekstrim
33 Buduan Kekeringan Ekstrim
34 Arosbaya Kekeringan Ekstrim
35 Samiran Kekeringan Ekstrim
36 Proppo Kekeringan Ekstrim
37 Gending Kekeringan Ekstrim
38 Gaus Kekeringan Ekstrim
39 Dam Japun Kekeringan Ekstrim
40 Pujon Sangat Panjang
41 Besuki Panjang
42 Lojejer Panjang 31-60 hari
43 Papar Menengah 21-30 hari
44 Sampang Menengah
11-20 hari

Sumber: BMKG

Sumber: BMKG
Gambar 3.42 Hari Tanpa Hujan Pulau Jawa Tahun 2015
91

Tabel 3.33Daerah Hari Tanpa Hujan (Pendek Hingga Panjang) Pulau Jawa Tahun 2015
No Daerah Klasifikasi Keterangan
Curah Hujan
1 Madiun Panjang 21-30 Hari
2 Kedungsumu Panjang
3 Supiturang Menengah 11-20 Hari
4 Dam Jeru Menengah
5 Kalisepanjang Menengah
6 Blakon Menengah
7 Pagotan Pendek 6-10 hari
8 Rongkop Pendek
9 Tulakan Pendek
10 Kampak Pendek
11 Blurit Pendek
12 Widoro Pendek
13 Paingan Pendek
14 Sengat Pendek
15 Kencong Pendek
16 Mojowarno Pendek
17 Papar Pendek
18 Pacet Pendek
19 Surabaya Pendek
20 Telebuk Pendek
21 Senduro Pendek
22 Pasuruan Pendek
23 Supiturang Pendek
24 Meleman Pendek
25 Pasinan Pendek
26 Krasak Pendek
27 Krucil Pendek
28 Massum Pendek
29 Sukasada Pendek
Sumber: BMKG
92

Gambar 3.43 Peta Titik Kebakaran Indonesia Tahun 2015 (Lapan, 2015)
Berdasarkan data diatas (tahun 2014 dan 2015) menunjukkan, bahwa Jawa Timur merupakan provinsi yang meiliki riisko tertinggi dibandingan
provinsi lain di pulau Jawa. Sehingga, pada tahun 2016 harus diwaspadai adanya ancaman kekeringan dan kebakaran.
93

Kekeringan juga dapat mengancam kondisi kesehatan masyarakat, diantaranya


(Sukandarrumidi,2010):
1. Penyakita diare akibat kekurangan air bersih, makanan yang terkena debu
dan lingkungan yang kurang sehat
2. Penyakit ISPA karena lingkungan yang berdebu
3. Penyakit TCD akibat mengonsumsi makanan yang tidak higienis atau
makanan yang terkontaminasi bakteri atau virus
4. Penyakit kulit gatal-gatal karena keterbatasan air bersih untuk mandi
5. Keracunan makanan akibat mengonsumsi makanan yang sudah basi atau
makanan yang sudah basi atau makanan yang terkena bakteri dan berjamur
Selain dampak kesehatan, kekeringan juga memacu tingkat kebakaran di hutan
tropis yan lembab (Barlow dan Peres (2004) dalam Locatelli, dkk(2007)).
Berikut merupakan kajian dampak kekeringan menurut Dinas Pekerjaan
Umum (2003).

Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Air, 2003


Gambar 3.44 Analisis Dampak Kekeringan
94

Tabel 3.34 Kemungkinan dampak dari segi Ekonomi, Sosial dan Lingkungan
No. Segi Dampak Dampak
1 Ekonomi Kehilangan dari produksi panen
2 Kehilangan dari produksi susu dan ternak
3 Kehilangan produksi kayu
4 Produktifitas perikanan menurun
5 Pengaruh langsung terhadap penurunan
pendapatan petani atau kehilangan mata
pencahrian
6 Penurunan petani karena kebangkrutan
7 Penurunan dari orang tidak bekerja karena
kekeringan terhadap produksi
8 Penurunan pendapatan rekreasi dan turis
9 Penurunan dari pembuatan dan penjualan alat
rekreasi
10 Kenaikan energy demand dan penurunan suplai
karena kekeringan dengan pemangkasan tenaga
11 Penaikan energy dan pengguna karena
penggantian minyak untuk listrik tenaga air
12 Penurunan industry yang tergantung pada
produksi pertanian
13 Gangguan terhadap pensuplaian air
14 Penurunan pendapatan pemerintah pusat, daerah
dan swasta
15 Penurunan dari dapat dilayaninya aliran, sungai
dan saluran
16 Biaya dari perjalanan atau pemindahan air
17 Biaya pengembangan sumber air tambahan atau
baru
18 Biaya kenaikan pemompaan air tanah,
penutunan tanah
19 Penurunan pemngembangan ekonomi
20 Penurunan harga lahan
1 Lingkungan Kerusakan spesies binatang
2 Peningkatan jumlah dan parahnya kebakaran
3 Penurunan areal rawa
4 Terjadinya pengaruh di muara (perubahan level
salinitas)
5 Peningkatan pencemaran air tanah, penurunan
tanah
6 Penurunan keanekaragaman biologi
7 Erosi angin dan air terhadap tanah
8 Waduk, situ termasuk embung pertanian
mengalami penurunan muka iar yang cukup
drastis
95
Lanjutan Tabel 3.34 kemungkinan dampak dari segi Ekonomi, Sosial dan
Lingkungan (sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Air, 2003)

No Dampak Segi Dampak


9 Penurunan aliran dari sumber air
10 Efek kualitas iar (konsentrasi garam, kenaikan
temperatur air, pH, DO)
11 Efek kualitas udara (debu, polusi)
12 Kualitas pemandangan dan pegunungan (debu,
tertutup tanaman)
1 Kesehatan menurun dan masyarakat menjadi
resah
2 Sosial Kesehatan dalam hubungannya dengan amasalah
aliran rendah (konsentrasi air limbah)
3 Penurunan nutrisi
4 Peningkatan angka kematian
5 Keamanan masyarakat dari hutan dan kebakaran
6 Peningkatan penyakit pernapasan
7 Peningkatan penyakit karena terkonsentrasinya
binatang buas
8 Peningkatan konflik

Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Air, 2003


2. Kerentanan
Kerentanan merupakan unsur ketidakmampuan masyarakat dalam
menghadapi potensi bahaya atau ancaman. Sehingga dalam hal ini potensi
bahaya dan kerentanan saling mendukung satu sama lain dalam memperburuk
akibat dari suatu bencana itu sendiri, oleh karenanya harus dikendalikan.
Kerentanan menurut BNPB (2008) terdiri dari 4 macam yakni:
a. Kerentanan fisik
Kerentanan yang dimiliki masyarakat dalam menghadapi bahaya tertentu
berbentuk fisik seperti kekuatan bangunan rumah. Khusus untuk bencana
kekeringan kerentanan fisik yang dialami masyarakat adalah tidak memiliki
tandon air atau sumber air seperti sumur, maka ketika bencana kekeringan
melanda masyarakat yang memiliki kerentanan ini akan sangat kesulitan
atau sangat rentan terkena penyakit. Menurt UNESCO (2002), kebutuhan
air setiap orang adalah 60 lt/hari. Sehingga dapat digunakan prediksi
kebutuhan air bersih untuk penduduk Jawa Timur yaitu sebanyak,
2.301.792.000 lt/hari.
b. Kerentanan ekonomi
96

Kemampuan ekonomi suatu masyarakat sangat menentukan tingkat


kerentanan terhadap ancaman bahaya. Biasanya semakin rendah ekonomi
yang dimiliki masyarakat, maka semakin rentan kelompok masyarakat
tersebut dalam mengadapi suatu bahaya karena tidak adanya kemampuan
untuk melakukan upaya pencegahan dan mitigasi. Begitu pula untuk
bencana kekeringan, masyarakat yang rentan secara ekonomi adalah
masyarakat yang tidak mampu. Maksudnya tidak mampu melakukan
tindakan pencegahan seperti mempunyai uang lebih bisa untuk membeli
makanan, membuat sumber air seperti sumur dan membuat tandon baik
penadah air dari sumber apapun sehingga dapat mengurangi risiko dampak
bencana kekeringan. Kerentanan ekonomi masyarakat Jawa Timur
ditunjukkan dengan data sebagai berikut ini:

Gambar 3.45 Distribusi Pendapatan Jawa Timur 2014


97

Gambar 3.46 Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan


Sebagian masyarakat memiliki riwayat pendidikan SD ke-bawah. Dalam
hal ini sangat berpengaruh terhadap akses air bersih melalui sistem bayar
dan juga berkaitan erat dengan ketersediaan sarana prasarana penyediaan
air, seperti tendon.
c. Kerentanan sosial;
Sama halnya dengan ekonomi, kondisi sosial juga mempengaruhi
kerentanan dalam menghadapi bencana misalnya dari segi pendidikan,
umumnya semakin rendah pendidikan maka akan berpengaruh mengenai
tindakan yang akan dilakukan. Kerentanan sosial ini selain pendidikan yang
paling penting juga adalah kesehatan.
d. Kerentanan lingkungan.
Lingkungan dapat mempengaruhi apa saja terutama kerentanan terkena
bencana contohnya masyarakat yang secara alami tinggal di daerah yang
98

sulit serta rendahnya curah hujan akan menambah kerentanan masyarakat


terhadap bahaya bencana kekeringan.

Sumber: BNPB, 2016


Gambar 3.47 Peta Kekeringan Jawa Timur
3. Analisis kemungkinan dampak bencana
Hasil dari analisis kemungkinan dampak bencana ini ialah peta
ancaman risiko yang tinggi, sedang maupun rendah. Yang dihitung dalam
menganalisa kemungkinan dampak bencana adalah probabilitas kejadian
bencana dan perkiraan dampak yang terjadi.
Kekeringan yang dikaji dalam Indeks Risiko Bencana Indonesia 2013
merupakan kekeringan meteorologi yang didasarkan pada Standardized
Precipitation Index (SPI) (BNPB< 2013). Provinsi Jawa Timur merupakan
provinsi dengan indek risiko tinggi bencana kekeringan. Dalam hal ini dapat
dilihat pada gambar di bawah ini:
99

Jawa Timur

Gambar 3.48 Kemungkinan Dampak Risiko Bencana

Menurut BNPB (2013) kelas risiko bencana kekeringan setiap daerah


di Jawa Timur sebagai berikut:
Tabel 3.35 Kelas Risiko Bencana Kekeringan di Daerah Jawa Timur
No. Nama Daerah Skor Kelas Risiko
1 Pacitan 36 Tinggi
2 Malang 24 Tinggi
3 Jember 24 Tinggi
4 Kediri 24 Tinggi
5 Pasuruan 24 Tinggi
6 Bojonegoro 24 Tinggi
7 Jombang 24 Tinggi
8 Lamongan 24 Tinggi
9 Blitar 24 Tinggi
10 Gresik 24 Tinggi
11 Probolinggo 24 Tinggi
12 Mojokerto 24 Tinggi
13 Nganjuk 24 Tinggi
14 Tuban 24 Tinggi
15 Lumajang 24 Tinggi
16 Tulungagung 24 Tinggi
17 Ponorogo 24 Tinggi
18 Bangkalan 24 Tinggi
19 Ngawi 24 Tinggi
20 Sumenep 24 Tinggi
21 Pamekasan 24 Tinggi
22 Madiun 24 Tinggi
23 Magetan 24 Tinggi
24 Kota Kediri 24 Tinggi
25 Kota Batu 24 Tinggi
26 Sampang 24 Tinggi
27 Kota Surabaya 22 Tinggi
100

Lanjutan Tabel 3.35 Kelas Risiko Bencana Kekeringan di Daerah Jawa Timur
No. Nama Daerah Skor Kelas Risiko
28 Sidoarjo 22 Tinggi
29 Kota Pasuruan 22 Tinggi
30 Kota Madiun 22 Tinggi
31 Kota Blitar 22 Tinggi
32 Kota Mojokerto 22 Tinggi
33 Bondowoso 12 Sedang
34 Situbondo 12 Sedang
35 Kota Probolinggo 11 Sedang

3.6.2 Pilihan Tindakan Dan Mekanisme Penanggulangan


BencanaKekeringan
1. Pra-bencana
PRA-BENCANA

Pencegahan Mitigasi Persiapan Kesiapsiagaan Peringatan Dini

Gambar3.49 Tahap pra-bencana


Mekanisme pra-bencana dimulai dengan pencegahan, mitigasi,
persiapan, kesiapsiagaan dan peringatan dini. Mekanisme tersebut
merupakan tindakan yang berurutan, berkesinambungan dan saling
mempengaruhi. Sehingga dalam setiap tahap harus direncanakan dan
dilakukan secara cermat dan tepat, baik tepat waktu, perencanaan maupun
tindakan.
101

Pencegahan

Pemerintah Provinsi Jatim

Optimalisasi waduk

Masyarakat Pemanfaatan daerah


aliran sungai

BNPB (Badan
Penilaian Penanaman pohon Nasional
Risiko di daerah resapan Penanggulangan
air rendah Bencana)

Pemanfaatan teknologi
pengolahan air (tawar
Anggaran dan asin)
Dana
Pembangunan
sumur bor
Pihak Swasta
Gambar 3.50 Tahap pencegahan Kekeringan
Pembangunan sumur Provinsi Jawa Timur
resapanan secara komunal

Pembangunan
fasilitas perpipaan air

BMKG (Badan
Meteorologi,
Klimatologi dan
Geofisika)
102

Tabel 3.36 Upaya Setiap Instansi dalam Pencegahan Kekeringan di Jawa Timur
Upaya Instansi Tugas
Optimalisasi Pemerintah Merencanakan tindak lanjut program
waduk Kabupaten/Kota optimalisasi waduk, seperti peningkatan
daya tampung waduk dan pembangunan
aliran air dari waduk untuk irigasi, serta
pengolahan air waduk menjadi air bersih
BBTKLPP Sebagai instansi yang menyediakan unit
pengolahan air bersih
Dinas Pengairan Kab/Kota Mencanangkan program pengembangan
pengairan untuk daerah pertanian
Pemanfaatan Dinas Pengairan Kab/Kota Mencanangkan program pengembangan
Daerah Aliran pengairan untuk daerah pertanian
Sungai
Penanaman BLH Kab/Kota Mengadakan pemantauan dan penentuan
pohon di daerha kurang resapan air dan
daerah resapan mengadakan program penanaman pohon
air rendah Pemerintah Sebagai pemelopor gerakan penanaman
Kab/Kota/Bupati/Walikota pohon
BBTKLPP Surabaya Mengadakan pemicuan penanaman
pohon yang bekerjasama dengan BLH
Kab/Kota
Pemanfaatan Pemerintah Sebagai instansi yang memutuskan untuk
teknologi Kab/Kota/Bupati/Walikota kerjasama dengan BBTKLPP
pengolahan air BBTKLPP Sebagai instansi yang menyediakan unit
(tawar dan pengolahan air bersih
asin)
Pembangunan Kepala Desa Sebagai penentu apakah di daerah
sumur bor etrsebut diperlukan pembangunan sumur
atau tidak
Pemerintah Sebagai unit yang dapat mendukung
Kab/Kota/Bupati/Walikota intervensi tersebut secara finansial
Pembangunan BLH Kab/Kota Mengadakan sosialisasi cara pembuatan
sumur sumur komunal kepada masyarakat dan
resapanan mengidentifikasi daerah yang
secara kemungkinan dapat dibangun sumur
komunal komunal
Kepala Desa Sebagai pelopor pembangunan sumur
komunal dalam lingkung Desa
Pembangunan PDAM Setempat Merupakan unit yang bertugas untuk
fasilitas mengidentifikais daerah yang belum
perpipaan air terjamah oleh sistem distribusi air PDAM
Kepala Desa Sebagai penentu keputusan untuk
pembangunan perpipaan diwilayah Desa,
jika tidak terjangkau PDAM
103

Tabel 3.37 Wilayah Sungai Jawa Timur (Pemerintah Provinsi Jawa Timur, 2013)

Air yang tersedia dari air sungai dan waduk tersebut dapat diolah melalui metode
berikut:

Penyaringan dan Penjernihan Pasir Silika Antrasit Karbon


Sedimentasi Aktif

Penyinaran UV Membran Reverse


Osmosis

Sumber: BBTKL (Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan Surabaya)


Gambar 3.51 Teknologi Pengolahan Air Minum
104

1. Penyaringan dan Sedimentasi


Air yang berasal dari sungai dipompa ke tangki pertama, yaitu
penyaringan dan sedimentasi. Penyaringan berfungsi untuk menyaring
benda-benda makro yang ikut tersedot pompa, sehingga air yang masuk
kedalam tangki tidak terkontaminasi oleh benda asing yang berukuran
makro. Sedangkan, sedimentasi berfungsi untuk melakukan
pengendapan pasir atau lumpur atau benda yang memilki massa jenis
lebih besar dari air. Dalam hal ini memanfaatkan sedimentasi gravitasi
atau pengendapan oleh adanya gaya gravitasi bumi.
2. Penjernihan
Penjernihan dilakukan setelah proses penyaringan dan sedimentasi
dengan menggunakan tawas. Serbuk tawas dengan dosis tertentu
(sesuai) dimasukkan kedalam tangki kemudian dilakukan pengadukan
dan ditunggu beberapa saat hingga kotoran mengendap dibawah.
3. Pasir Silika
Pasir silika merupakan salah satu proses filtrasi dimana dapat
menyaring benda asing pada air dengan ukuran tertentu.
4. Antrasit
Setelah melalui penyaringan pasir silika, dilanjutkan dengan
penyaringan antrasit. Penyaringan antrasit menindak lanjuti
penyaringan sebelumnya. Benda asing yang tidak tersaring oleh pasir
silika maka beberapa benda asing akan tersaring oleh saringan antrasit.
5. Karbon Aktif
Merupakan salah satu cara untuk mengabsorbsi benda asing, misalnya
logam berat. Sehingga logam berat tidak akan mengkontaminasi pada
tangki pengolahan berikutnya.
6. Membran Reverse Osmosis
Membran reverse osmosis merupakan membrane penyaring benda asing
termasuk mikroorganisme. Sehingga, mikro organisme dengan ukuran
yang lebih besar dari lubang membran akan tersaring pada membrane
dan menjadikan air semakin bersih. Pada langkah ini, penyaringan air
105

dilakukan secara fisika dan biologi, fisika meliputi benda asing, biologi
meliputi mikrorganisme.
7. Penyinaran Ultra Violet (UV)
Merupakan sistem pengolahan air minum paling akhir yang berfungsi
untuk mematikan bakteri atau mikroorganisme yang lolos pada
penyaringan secara reverse osmosis. Sehingga pada proses penyinaran
UV terjadi pengolahan air secara biologi yaitu dengan mematikan
mikroorganisme dalam air.
Pada teknologi yang telah dirancang oleh BBTKL untuk memenuhi
penyediaan air minum dalam kondisi darurat, telah dilakukan uji
laboratorium secara fisika, kimia dan biologi, dimana hasil pengolahan
telah sesuai dengan baku mutu yang ada. Selain itu, untuk hiegen dari
peralatan pengolahan, maka untuk beberapa kali penggunaan, akan
dilakukan pencucian peralatan dengan metode back wash, yaitu dengan
membalik alur pengolahan air minum.
Pembangunan sumur resapan yang secara komunal berfungsi
menunjang kebutuhan air sehari-hari. Sumur resapan dapat berupa sumur
resapan dalam dan sumur resapan dangkal, berikut merupakan gambaran
dari sumur resapan tersebut.

Gambar 3.52 Sumur Resapan Dalam


106

Gambar 3.53 Sumur Resapan Dangkal

Inti dari keduanya ialah menampung air hujan, sehingga air dapat
digunakan untuk keperluan sehari-hari. Sumur resapan tidak dibuat secara
individu melainkan komunal (kolektif beberapa rumah), hal ini ditujukan
untuk efisiensi biaya. Kedalaman sumur dapat menyesuaikan sesuai
kebutuhan.
Sedangkan untuk pengolahan gray water dan black water dapat
digunakan sistem WWG (Waste Water Garden) . Gray water dan black
water mengalami penyaringan oleh tanah dan tanaman, sehingga
kandungan biologi berkurang dan kandungan kimia dapat terdegradasi
kedalam tanah.
107

Sumber: Paper for International Conference on Decentralised Water and


Wastewater Systems, Environmental Technology Centre, Murdoch
University, Fremantle, W.A. 10-12 July 2006)
Gambar 3.54 Skema Wastewater Gardens

Semua upaya pencegahan tersebut tidak akan berjalan tanpa adanya kerjasama
dari semua pihak, yaitu pemerintah, BNPB, BMKG, masyarakat serta pihak
swasta yang turut berpartisipasi dalam kegiatan. Pihak swasta meliputi perusahaan
material, kontraktor maupun lembaga non-profit yang sukarela turut
berpartisipasi.
108

Mitigasi

Mitigasi

Struktur

Pemetaan daerah rawan kekeringan dan sumber air

Pembangunan sarana dan prasarana pengolahan air

Penyuluhan penggunaan air dan kesiapsiagaan bencana

Prioritas pemanfaatan sumber air


Anggaran dana

Penciptaan alat sanitasi hemat air

Kerjasama Monitoring iklim dan ketersediaan air

Penyebaran informasi bencana kekeringan melalui media

Pembuatan pedoman umum, petunjuk pelaksanaan dan


prosedur tetap penanganan bencana kekeringan

Pelatihan dan pendidikan siaga bencana desa siaga

Pengenalan pola tanam dan penanaman jenis tanaman


yang bervariasi

Non Struktur

Penataan ruang Provinsi Jawa Timur

Gambar 3.55 Mitigasi Kekeringan Provinsi Jawa Timur


Ketersediaan pemetaaan daerah kekeringan BNPB (Badan Nasional
Penanggulang Bencana) telah tersedia, namun harus terjaga keakuratan data
dan seharusnya diimbangi dengan akses sumber air terdekat dan monitoring
iklim secara berkala oleh BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika).
Penyuluhan penggunaan air dan kesiapsiagaan bencana dilakukan
oleh BNPB dan pemerintah Provinsi Jawa Timur. Penggunaan air secara
efisien dan kesiapsiagaan meliputi kesiapan masyarakat akan terjadinya
bencana. Masyarakat mengetahui apa saja tindakan yang harus dilakukan
109

ketika bencana terjadi secara mandiri. Kesiapsiagaan akan bencana dapat


membentuk suatu desa siaga dengan konsep pemberdayaan masyarakat.
Pengenalan pola tanam dan jenis tanaman dilakukan oleh dinas pertanian
setempat, sehingga dapat mengurangi risiko masyarakat untuk gagal panen.
Prioritas penggunaan air sangat perlu dilakukan, diprioritaskan untuk
kebutuhan primer (minum, memasak, mandi, cuci, kakus dan lahan
pertanian). Selain itu, penataan ruang Provisi Jawa Timur juga harus
dilakukan, untuk menghindari kekeringan, dimana alokasi tempat
pemukiman penduduk dan akses masyarakat terhadap air juga harus
diperhatikan. Penataan ruang merupakan investasi jangka panjang yang
nantinya akan berdampak ke lingkungan dan masyarakat sekitar. Berikut
merupakan instansi terkait dalam pelaksanaan mitigasi kekeringan.
Tabel 3.38 Tugas Instansi Terkait dalam Pelaksanaan Mitigasi Kekeringan
Upaya Instansi Tugas
Pemetaan BPBD Melakukan identifikasi daerah rawan
daerah rawan bencana dan penentuan sumber air terdekat
kekeringan yang dapat digunakan
dan sumber air

Pembangunan BBTKLPP Mengadakan pemicuan suatu daerah untuk


sarana dan membangun instanlasi pengolahan air
prasarana
pengolahan air
Penyuluhan BLH Mengadakan sosialisasi terkait penggunaan
penggunaan air
air dan
kesiapsiagaan
bencana
BPBD Mencanangkan program untuk penguatan
penanggulangan bencana kekeringan
(kesiapsiagaan menghadapi bencana)
Prioritas PDAM Sebagai unit yang memanfaatkan badan
pemanfaatan airuntuk produksi air bersih, harus
sumber air memastikan badan air yang memiliki risiko
kecil terjadi kekeringan
Dinas Pengairan Membantu masyarakat untuk menentukan
penggunaan sumber air
Kepala Desa Mengkoordinasikan informasi dari Dinas
Pengairan yangmana intervensi akan
diaplikasikan kepada masyarakat
Penciptaan alat LIPI Mengembangkan teknologi yang berbasis
sanitasi hemat hemat air
110

Upaya Instansi Tugas


air
Lembaga Riset Publik Mengembangkan teknologi yang berbasis
hemat air
Organisasi Riset Mengembangkan teknologi yang berbasis
Mahasiswa atau hemat air
akademisi
Monitoring BMKG Sebagai badan yang melakukan monitoring
iklim dan cuaca dan iklim
ketersediaan
air
LAPAN Sebagai unit yang dapat memutuskan early
warning system disaster
(dought/kekeringan)
Penyebaran Pihak media atau pers Menyempaikan berita kekeringan kepada
informasi masyarakat dan sebagai alarm bagi
bencana pemerintah Kab/Kota
kekeringan
melalui media
Pembuatan BPBD Membuat prosedur dan tupoksi setiap
pedoman intervensi yang akan dilakukan ketika
umum, pra,saat dan pasca bencana dengan
petunjuk persetujuan kepala daerah Kab/Kota
pelaksanaan
dan prosedur
tetap
penanganan
bencana
kekeringan

Dinas Kesehatan Melakukan rencana atau prosedur kerja dan


Kab/Kota tupoksi dalam bidang kesehatan
Pelatihan dan Dinas Kesehatan Mencanangkan program Desa Siaga
pendidikan Kab/Kota Bencana untuk daerah rawan bencana yang
siaga bencana disesuaikan dengan bencana yang
 desa siaga kemungkinan akan terjadi
Puskesmas Melaksanakan program yang dicanangkan
Dinas Kesehatan Kab/Kota
BPBD Sebagai instansi yang mengarahkan alur
penanggulangan bencana dan emmebentuk
alur koordinasi anatar unit dengan
masyarakat
Pengenalan Dinas Pertanian Mengadakan sosialisasi pengenalan pola
pola tanam dan Kab/Kota tanam berdasarkan musim kepada
penanaman masyarakat berisiko untuk menghindari
jenis tanaman terjadinya gagal panen
yang
bervariasi
111

Upaya Instansi Tugas


Dinas Pengairan Menentukan sumber air yang dapat
digunakan masyarakat ketika musim
kemarau tiba untuk mengairi lahan pertanian
Masyarakat
Penataan Badan Perencanaan Menentukan penataan ruang wilayah
ruang Provinsi Pembangunan sehingga kekeringan dapat dicegah dengan
Jawa Timur Kab/Kota menghindari daerah sulit akses air bersih

Persiapan

Persiapan

Simulasi tanggap Petunjuk Tersedianya Tersedianya sarana Kapasitas SDM


darurat bencana teknis alur anggaran dan prasarana (Sumber Daya
oleh masyarakat informasi dana yang tanggap darurat Manusia) yang
dan pihak bencana transparan bencana, seperti memadai
terkait, baik kekeringan dan teralokasi tandon,transportasi
pemerintah pengangkut
maupun swasta air,prasarana
pengolahan air,
pompa air serta
sarana distribusi air

Gambar 3.56 Persiapan Bencana Kekeringan Provinsi Jawa Timur


Persiapan akan bencana kekeringan meliputi unsur-unsur diatas, dimana
semuanya harus terpenuhi karena saling berhubungan dan mempengaruhi satu
sama lain.
112

Tabel 3.39 Tugas Instansi Terkait dalam Pelaksanaan Persiapan Kekeringan


Upaya Instansi Tugas
Simulasi tanggap BPBD Melakukan koordinasi dengan semua
darurat bencana pihak etrkait simulasi bencana
oleh masyarakat
dan pihak terkait,
baik pemerintah
maupun swasta
Pemerintah Kab/Kota Menginteruksikan diadakannya simulasi
tanggap darurat bencana
Petunjuk teknis BPBD Dibuat oleh BPBD yangmana akan
alur informasi disimulasikan oleh masyarakat
bencana
kekeringan
Dinas Kesehatan Memastikan alur informasi mengenai
risiko kesehatan jelas dan terkoordinir
dengan baik
Tersedianya Pemerintah Kab/Kota Mengeluarkan anggaran untuk
anggaran dana pennaggulangan bencana, dengan APBD
yang transparan dan APBN
dan teralokasi

Tersedianya Dinas Pekerjaan Menyiapkan peralatan yang kemungkinan


sarana dan Umum dibutuhkan saat bencana kekeringan
prasarana tanggap terjadi
darurat bencana,
seperti
tandon,transportas
i pengangkut
air,prasarana
pengolahan air,
pompa air serta
sarana distribusi
air
BBTKLPP Menyediakan instalasi (bergerak)
pengolahan air didaerah kekeringan
Kapasitas SDM BPBD Mengadakan sosialisasi dan simulasi
(Sumber Daya tanggap darurat bencana kekeringan
Manusia) yang
memadai

Dinas Kesehatan Menlatih instansi atau pihak terkait RHA


Kab/Kota (Rapid Health Assessment)
113

Kesiapsiagaan

Pemerintah
Provinsi Jatim

Masyarakat

Badan
Kesiapsiagaan Penanggulangan
Bencana Daerah
(BPBD)

Pihak lain / swasta

BMKG (Badan
Meteorologi,
Klimatologi dan
Geofisika)

Gambar3.57 Kesiapsiagaan Bencana Kekeringan Provinsi Jawa Timur


Kesiapsiagaan meliputi pihak-pihak terkait, terutama masyarakat. Pemerintah,
BMKG dan BPBD.
114

Tabel 3.40 Unit Terkait Saat Kesiapsiagaan


No. Unit Pihak yang Terlibat
1. Pemerintah Kab/Kota Dinas Kesehatan, Badan
Lingkungan Hidup,
Puskesmas, Dinas
Pertanian, Dinas
Pekerjaan Umum, Dinas
Pengairan, Badan
Perencanaan
Pembangunan Kota
2. Pelayanan Kesehatan Rumah sakit, Puskesmas,
Dokter umum
3. BMKG Provinsi -
4. BPBD Provinsi dan
Kabupaten/Kota
5. Pihak lain/Swasta Donatur, akademisi, LSM
dalam bidang sosial, PMI,
BASARNAS, Karang
Taruna, TNI, Polisi

Peringatan Dini

Peringatan Dini

BMKG (Badan Meteorologi, BPBD (Badan Penanggulangan


Klimatologi dan Geofisika) Bencana Daerah)

Pemerintah Provinsi Jatim


Pemerintah Kabupaten

Masyarakat

Gambar 3.58 Peringatan Dini Bencana Kekeringan


BMKG memberikan himbauan akan kondisi kekeringan yang
terjadi dan ditetapkan statusnya oleh pemerintah Provinsi (Gubernur),
Kab/Kota (Bupati/Walikota). Informasi yang didapat harus segera
dikoordinasikan untuk melakukan tindakan yang telah direncanakan pada
tahap mitigasi. Semua pihak harus bekerjasama dan berkoordinasi dengan
baik, cepat dan tepat.
115

2. Saat bencana
a. Saat Tanggap Darurat

Tanggap Darurat

SAR (Search Bantuan Pengungsian


and Resque) Darurat

Assessment Pasokan air bersih (truk tangki)


kebutuhan dan
kesehatan Penggunaan sarana pengolahan air

Membuat sumur bor

Menyediakan pompa

Penyemaian hujan buatan

Manajemen irigasi persawahan

Bantuan Pangan
Gambar 3.59 Tanggap Darurat Bencana Kekeringan Jawa Timur
Sebelum tanggap darurat, semua persiapan harus telah terpenuhi.
Sehingga pada pelaksanaan tanggap darurat hanya menjalankan secara
operasional. Sebelum melaksanakan tindakan tanggap darurat diatas, harus
dilakukan penilaian ulang, apa saja yang kemungkinan dibutuhkan
masyarakat dan kondisi demografi yang terjadi pada waktu tersebut.
116

Tabel 3.41 Instansi Terkait Saat Tanggap Darurat Kekeringan


Upaya Instansi Tugas
Pasokan air bersih PDAM PDAM memasok air bersih ke daerah
(truk tangki) (Perusahaan kekeringan untuk mencukupi
Daerah Air kebutuhan air bersih masyarakat
Minum)
Dinas Pekerjaan Menyediakan tendon air dititik rawan
Umum atau berisiko tinggi kekeringan ketika
pasokan air berlangsung
Penggunaan sarana BBTKLPP Mengunakan instalasi pengolahan air
pengolahan air untuk memenuhi kebutuhan air, dapat
berasala dari badan air setempat.
Membuat sumur bor Dians Pekerjaan Mengkoordinasi pembangunan sumur
dan menyediakan Umum bor daerah kekeringan
pompa
Kepala Desa Sebagai coordinator berjalannya
pembangunan di desa kekeringan
Pemerintah Mendukung dan membantu untuk
Kab/Kota alokasi financial pembangunan
Penyemaian hujan BMKG Memperkirakan kondisi cuaca yang
buatan tepat
UPT Hujan Sebagai pelaksana teknis penyemaian
Buatan BPPT hujan buatan, dimana didasarkan atas
perintah Gubernur/Bupati/Walikota
jika dirasa sangat darurat karena biaya
intervensi sangat mahal
Manajemen irigasi Dinas Pengairan Mengadakan sosialisasi dan
persawahan mengarahkan serta mendampingi
masyarakat untuk melakukan aktifitas
pertanian ketika musim kemarau tiba
Bantuan pangan Bulog Sebagai gudang logistik yangmana
akan mensuplai logistic suatu daerah
saat kekeringan
PMI (Palang Sebagai unit bantuan dalam bidang
Merah Indonesia) sosial termasuk logistik dan
pertolongan pertama saat terjadi
bencana
Rapid Health Dokter Umum Mengidentifikasi kesakitan
Assesment (RHA) masyarakat termasuk penyakit yang
diderita
Ahli epidemiologi Mengidentifikasi faktor risiko
penyebab terjadinya kesakitan
Sanitarian Mengidentifikasi faktor risiko
lingkungan yang dapat menurunkan
derajat kesehatan amsyarakat
117

3. Pasca bencana
Pasca Bencana

Rehabilitasi Rekonstruksi

Perbaikan sarana prasarana Pelaksanaan konservasi air dan


penyedia air sumber air di daerah tangkapan
hujan
Bantuan sarana produksi
pertanian Pembangunan prasarana
penampung air, seperti waduk.
Bantuan modal kerja
Penciptaan alat sanitasi hemat
Bantuan pangan dan pelayanan
air
medis

Penertiban penggunaan air


secara efisien

Gambar 3.60 Tindakan Pasca Bencana Kekeringan Jawa Timur


Tindakan pasca bencana meliputi tindakan rehabilitasi dan
rekonstruksi. Rehabilitasi merupakan tindakan jangka pendek pasca bencana
dan rekonstruksi merupakan tindakan jangka panjang pasca bencana.
Rehabilitasi bersifat segera sedangkan rekonstruksi lebih mengarah pada
tindakan pencegahan karena memiliki asumsi waktu yang lebih panjang.
Rekonstruksi berkaitan dengan kebijakan pemerintah untuk beberapa tahun
mendatang, sehingga tindakan harus teralokasi dan terkoordinir dengan baik.
Tabel 3.42 Tugas Instansi Terkait dalam Pelaksanaan Tindakan Pasca Kekeringan
Tahap Upaya Instansi Tugas
Rehabilitasi Perbaikan sarana Dinas Pekerjaan Memonitoring dan
prasarana Umum mengalokasikan
penyedia air atau melaksanakan
perbaikan terhadap
sarana prasarana
penyedia air
Bantuan sarana Dinas Pertanian Mendukung
produksi pertanian masyarakat untuk
memulihkan
kondisi pertanian
dengan
mengadakan
sosialisasi
pemulihan keadaan
pertanian serta
118

Tahap Upaya Instansi Tugas


melakukan
penyaluran
bantuan benih atau
sarana pertanian
yang lainnya
Bantuan modal Pemerintah Diadakan jika
kerja Kab/Kota dan keadaan memang
Pemerintah Pusat darurat dan
pemulihan tidak
dapat dilakukan
secara mandiri
oleh masyarakat
akibat kekeringan
yang parah.
Pemerintah
mengalokasikan
dana bantuan
terkait modal kerja.
Bantuan pangan Dinas Kesehatan Sebagai
dan pelayanan koordinator
medis bantuan pelayanan
medis
Puskesmas Sebagai unit
pelaksana
pelayanan medis
Dokter umum Sebagai unit
pelaksana
pelayanan medis
Penertiban Dinas Pekerjaan Melakukan
penggunaan air Umum penertiban saat
secara efisien pemasokan atau
distribusi air
sehingga akses air
secara merata dan
adil
Kepala Desa Sebagai unit
terendah yang
mengkoordinir
msyarakat secara
langsung
Rekontruksi Pelaksanaan BLH Sebagai unit
konservasi air dan pelaksana yang
sumber air di akan berkoordinasi
daerah tangkapan dengan BBTKLPP
hujan dan Dinas
Lingkungan Hidup
BBTKPP Sebagai unit
119

Tahap Upaya Instansi Tugas


pemicu
kemandirian
masyarakat dalam
upaya tersebut
serta menyediakan
teknologi tepat
guna
Dinas Lingkungan Mencanangkan
Hidup program
konservasi air dan
sumber air di
daerah tangkapan
hujan dan
mengintervensi
Pembangunan Pemerintah Hal ini jika
prasarana Kab/Kota atau diperlukan dan
penampung air, Provinsi dirasa unit
seperti waduk penampung air
kurang, pemerintah
menentukan
apakah
pembangunan
perlu atau tidak
untuk dilakukan
dan sebagai
pencanang
kebijakan dan
mendukung
financial
pembangunan
Penciptaan alat LIPI, Lembaga Membuat sanitasi
sanitasi hemat air Riset Publik, hemat air dalam
Lembaga Riset hal alat rumah
Mahasiswa, tangga
BBTKLPP
120

3.7 Penilaian Risiko KLB Keracunan Makanan Jawa Timur


3.7.1 Gambaran Umum KLB Keracunan Makanan Di Jawa Timur
Berdasarkan data yang berasal dari profil kesehatan provinsi Jawa Timur
tahun 2012, menunjukkan bahwa angka keracunan makanan masih sangat tinggi
di Jawa Timur dari tahun ke tahun. Pada tahun 2012, angka kejadian KLB
mencapai 1.066 kejadian dengan 2.587 kasus. Di Jwa Timur jumlah kasus
keracunan mencapai 60 kejadian (5,63%) dengan jumlah kasus 1.106 dan 3
diantaranya meninggal, sehingga CFR keracunan makanan di Jawa Timur pada
tahun 2012 dapat dihitung yaitu mencapai 0,27%. Berikut grafik perubahan kasus
keracunan makanan yang cenderung meningkat sejak tahun 2009, hanya satu kali
mengalami penurunan yaitu ketika tahun 2010.

Angka kejadian keracunan makanan tahun


2009-2012
70

60

50

40

30

20

10

0
2009 2010 2011 2012

Jumlah kejadian
Gambar 3.61 Angka Kejadian Keracunan Makanan Tahun 2009-2012
121

1*
5*
3* 3*

4* 4* 3* 6*
4* 3* 4*

4*
4* 3*
4*

9* 5*

Sumber: BBKLPP Surabaya


Gambar 3.62 Peta Risiko Keracunan Makanan (faktor risiko biologi) Provinsi Jawa Timur Tahun 2014
Keterangan:
* Jumlah sampel
Risiko swab alat makan
Risiko swab tangan
122

1*
3*
33* 8*

7* 3*

8* 10*
10*

11*

Sumber: BBKLPP Surabaya


Gambar 3.63 Peta Risiko Keracunan Makanan (faktor risiko biologi) Provinsi Jawa Timur Tahun 2015

Keterangan:
* Jumlah sampel
Risiko swab alat makan
Risiko swab tangan
123

2*

3*

1*

Sumber: BBKLPP Surabaya


Gambar 3.64 Peta Risiko Keracunan Makanan (faktor risiko kimia) Provinsi Jawa Timur Tahun 2014
Keterangan:
* Jumlah sampel
Risiko swab alat makan
Risiko swab tangan
124

2*

3*

1*

Sumber: BBKLPP Surabaya


Gambar 3.65 Peta Risiko Keracunan Makanan (faktor risiko kimia) Provinsi Jawa Timur Tahun 2015
Keterangan:
* Jumlah sampel
Risiko swab alat makan
Risiko swab tangan
125

Tabel 3.43 Risiko Keracunan Makanan pada Tahun 2014 dan 2015 Berdasarkan Data BBKLPP Surabaya
Th Parame Swap Lamong Bangkal Probolin Sidoar Suraba Madi Banyuwa Nga Bat Jomba Tuba
n ter an an ggo jo ya un ngi wi u ng n
201 Paramet Tang 0 3 3 3 4 4 5 5
4 er an
Biologi Recta - - - - - - - - - - -
l
Alat 5 6 4 4 4 2 9 4 - - -
Maka
n
Paramet 2 0 0 - 3 0 0 0 - - -
er Kimia

201 Paramet Tang - - 10 0 8 - - - 0 0 1


5 er an
Biologi Recta - - 0 - 0 - - - 0 0 -
l
Alat - - - 3 33 - 11 - 8 9 3
maka
n
Paramet - - 0 - 0 - - - - - -
er Kimia
126

3.7.2 Rencana Kontingensi KLB Keracunan Makanan


1. Penilaian Risiko KLB Keracunan Makanan
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana
pada suatu kawasan dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian,
luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau
kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.
a. Ancaman
Ancaman dari KLB keracunan makanan di suatu daerah dapat dilihat
dari beberapa aspek kesehatan masyarakat yaitu:
1) Case Fatality Rate
Berdasarkan data yang diperoleh dari profil kesehatan jawa timur
pada tahun 2012 didapatkan CFR kejadian keracunan makanan yaitu
sekitar 0,27% dengan angka kejadian sebanyak 60 jiwa (5,63%) dan
kasus meninggal sebanyak 3 jiwa dari 1106 kasus.
2) Perkembangbiakan bakteri pathogen penyebab keracunan makanan
yang cukup tinggi
Menurut data yang diperoleh dari BPOM tahun 2011 menyatakan
bahwa penyebab KLB keracunan paling tinggi adalah mikroba
suspect yang meliputi Bacillus cereus, C. perfringens, E. Coli
pathogen, Sthaphylococcus aureus, S. epidermis, Salmonella, dan
Vibrio cholera.
Berdasarkan data dari WHO terkait foodborne disease menyatakan
bahwa bakteri penyebab keracunan makanan hampir selalu ditemukan
di setiap makanan, bakteri dapat berkembang menjadi lebih dari 2 juta
bakteri hanya dalam kurun waktu 7 jam. Bakteri berkembang biak
dengan sangat cepat pada makanan yang mengandung protein atau
karbohidrat pada saat mengonsumsi makanan tersebut apda suhu 50-
60 oC.
3) Keracunan makanan merupakan beban yang cukup besar bagi
negara (kajian menggunakan perhitungan DALY)
Menurut WHO tahun 2015, diperkirakan dari 600 juta penduduk, 1
dari 10 orang di dunia jatuh sakit setelah mengonsumsi makanan yang
127

terkontaminasi dan sekitar 420.000 penduduk mati setiap tahunnya.


Apabila dilihat jumlah kematian akibat keracunan makanan yang
dapat menyebabkan DALYs per tahunnya semakin tinggi.
4) Bahaya dampak keracunan makanan
Menurut WHO, gejala yang timbul setelah terjadi keracunan
makanan oleh bakteri pathogen hampir smeuanya menunjukkan gejala
klinis diare baik Salmonella, E.coli, Shigella, Camphylobacter,
maupun jenis bakteri lainnya. Menurut WHO tentang persebaran
foodborne disease, diare seringkali erat kaitannya dengan penyebab
kematian hampir 2 juta orang per tahunnya yang kebanyakan anak –
anak. Diare salah satu penyebabnya yaitu terjadinya keracunan
makanan maupun konsumsi minuman yang terkontaminasi.
Menurut laporan BBTKLPP pada tahun 2015 tentang keracunan
makanan di Tulungagung menyatakan bahwa kontaminasi bakteri
Staphylococcus aureus pada makanan dapat menimbulkan keracunan
dengan gejala mual, muntah, diare, dan dehidrasi. Gejala biasanya
berkembang dalam waktu satu sampai enam jam setelah makan
makanan yang terkontaminasi. Penyakit ini biasanya berlangsung
selama satu sampai tiga hari.
b. Kerentanan
Kerentanan adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat
yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi
ancaman bencana. Pemahaman tentang kerentanan masyarakat
1) Kerentanan fisik
Kerentanan fisik yang dapat menyebabkan terjadinya keracunan
makanan diantaranya Berikut merupakan risiko keracunan makanan
menurut WHO (2016):
a) Tidak memasak makanan hingga matang (khususnya daging
dan olahan daging lainnya);
b) Tidak menyimpan bahan pangan yang perlu disimpan pada
suhu di bawah 5 °Celsius dengan benar;
128

c) Membiarkan makanan matang pada suhu ruang selama lebih


dari 1 jam;
d) Kondisi bahan baku yang digunakan kurang optimal terkadang
bisa tercemar;
e) Tempat atau alat yang digunakan untuk mengolah makanan
dalam keadaan kurang baik;
f) Penjamah makanan tidak menggunakan Alat Pelindung Diri;
g) Cara pengolahan makanan yang tidak mengikuti kaidah atau
prinsip higiene dan sanitasi makanan; dan
h) Kontaminasi silang, seperti meletakkan makanan matang di
wadah yang sama dengan daging mentah.
Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan BBTKLPP
Surabaya dapat ditentukan beberapa kerentanan fisik yang meliputi:
a) Perilaku penjamah yang tidak higienis (ditemukan dari
penelitian swab tangan yang dilakukan oleh BBTKL di
Banyuwangi pada tahun 2015);
b) Proses pencucian peralatan yang tidak bersih (ditemukan E.coli
pada sampel alat makan di Tulungagung pada tahun 2015);
c) Kondisi kesehatan para pengolah dan penjamah makanan yang
memungkinkan terjadinya kontaminasi (ditemukannya angka
kuman yang cukup tinggi pada sampel tangan penjamah di kota
Madiun dan kota Probolinggo pada tahun 2014 yang cukup
tinggi);
d) Penggunaan air yang terkontaminasi bakteri coliform
(ditemukan E.coli dari penelitian sampel minuman di Tuban
tahun 2015);
e) Terjadi kontaminasi dari peralatan dapur seperti alat pemotong,
papan pemotong, dan alat saji (ditemukannya angka kuman
yang cukup tinggi pada sampel tangan penjamah di kota
Madiun dan kota Probolinggo pada tahun 2014 yang cukup
tinggi).
129

Menurut SindoNews kasus keracunan makanan di Indonesia dari


tahun 2015 hingga 2016 sebanyak 50 kasus, dimana kebanyakan kasus
terjadi pada pengolahan makanan masal seperti, pondok pesantren,
panti asuhan, perusahaan maupun makanan yang terjual bebas. Dimana
salah satu penyabab keracunan makanan tersebut adalah terkait
hygiene sanitasi.
2) Kerentanan ekonomi
Kemampuan ekonomi suatu individu atau masyarakat sangat
menentukan tingkat kerentanan terhadap ancaman terjadinya
keracunan makanan, kondisi ekonomi menengah kebawah memiliki
kaitan yang cukup erat dengan terjadinya keracunan makanan.
Beberapa kondisi ekonomi menengah kebawah memiliki
kecenderungan tidak memperhatikan kondisi terkait pronsip higiene
dan sanitasi makanan minuman yang dikonsumsi. Dari kasus
keracunan makanan yang terjadi selama periode 2015-2016 ditemukan
pada kelompok masyarakat umum dengan akses makanan dengan
harga terjangkau, misalnya jajanan anak sekolah.
3) Kerentanan lingkungan
Kondisi lingkungan sekitar juga dapat menyebabkan timbulnya
kontaminasi.
130

Sumber: BPOM, 2014


Gambar 3.66 Data Keracunan Makanan pada Tahun 2014 Berdasarkan Penyebab
Berdasarkan data diatas, makanan merupakan penyebab terbanyak
kedua terjadinya kasus keracunan. Berdasarkan BPOM RI (2014) salah
satu risiko terjadinya keracunan makanan adalah adanya pencemaran
lingkungan.
Berikut kerentanan lingkungan yang dapat mendukung terjadinya
risiko keracunan makanan berdasarkan penelitian BBTKLPP pada
tahun 2014 dan 2015:
a) Kontaminasi dari vektor lalat karena minimnya tempat sampah
(ditemukan di Banyuwangi pada tahun 2015, 50% TPM masih
ditemukan lalat);
b) Penempatan sampah dalam wadah yang tidak tertutup (ditemukan
E.coli di TPM Kab. Tulungagung pada tahun 2015);
c) Kondisi dapur yang kurang baik misalnya ketersediaan
pencahayaan dan ventilasi yang kurang dapat menjadi sarang
binatang pengganggu seperti tikus, kecoa, dan semut
(ditemukannya vektor lalat di TPM Kota probolinggo tahun 2014
serta di kab. Tulungagung dan Banyuwangi pada tahun 2015);
d) Faktor kimia yang berasal dari pengawetan beberapa bahan
makann yang berasal dari daging yang dapat mengontaminasi
131

makanan maupun minuman (ditemukannya sampel makanan yang


mengandung nitrit di probolinggo dan surabaya pada tahun 2015)
c. Kemampuan
Kemampuan adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau
masyarakat yang menyebabkan masyarakat atau komunitas tersebut
mampu untuk mencegah, menanggulangi, atau mengurangi terjadinya
risiko penularan suatu penyakit maupun mengurangi dampak dari suatu
bencana yang berpotensi terjadi di komunitas tersebut.
Terdapat beberapa kemampuan dari komunitas atau masyarakat yang
dapat mencegah, menanggulangi, atau mengurangi terjadinya risiko
keracunan makanan yaitu:

1) Masyarakat
Hal yang dapat dilakukan masyarakat guna meningkatkan
kemampuan diri terhadap timbulnya risiko keracunan makanan yaitu
dengan cara menjaga status imunit dengan menjaga pola makan yang
dikonsumsi, menerapkan perilaku cuci tangan sebelum makan, dan
juga kemampuan individu dalam menerapkan prinsip higiene dan
sanitasi dalam melakukan pengelolaan makanan.
2) Tenaga kesehatan
Hal yang dapat dilakukan tenaga kesehatan guna meningkatkan
kemampuan diri terhadap adanya risiko keracunan makanan yaitu
dengan cara melakukan inspeksi sanitasi warung makan, inspeksi
lingkungan sekitar yang dapat menjadi faktor risiko timbulnya
keracunan makanan, melakukan pemicuan pada warga sekitar agar
dapat menerapkan sanitasi lingkungan dengan baik.
3) Sarana kesehatan
Hal yang dapat dilakukan oleh sarana kesehatan yaitu mendukung
kinerja yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan juga masyarakat
dalam hal menjaga sanitasi lingkungan agar tetap baik, misalnya
132

dengan menyediakan laboratorium pemeriksaan untuk melakukan


inspeksi sanitasi.
a) Analisis Kemungkinan Dampak Bencana
Pertemuan dari faktor-faktor ancaman bencana/bahaya dan
kerentananmasyarakat akan dapat memposisikan masyarakat dan
daerah yangbersangkutan pada tingkatan risiko yang
berbeda.Semakin tinggi ancaman bahaya di suatu daerah, maka
semakin tinggirisiko daerah tersebut terkena bencana. Demikian
pula semakin tinggitingkat kerentanan masayarakat atau penduduk,
maka semakin tinggi pulatingkat risikonya. Tetapi sebaliknya,
semakin tinggi tingkat kemampuanmasyarakat, maka semakin
kecil risiko yang dihadapinya.
Semua bahaya/ancaman dapat di perkirakan kemungkinan
terjadinya (probabilitasnya) dengan rincian:
5 = Pasti (hampir dipastikan 80 - 99%).
4 = Kemungkinan besar (60 – 80% terjadi tahun depan, atau sekali
dalam 10 tahun mendatang)
3 = Kemungkinan terjadi (40-60% terjadi tahun depan, atau sekali
dalam 100 tahun)
2 = Kemungkinan kecil (20 – 40% dalam 100 tahun)
1 = Kemungkian sangat kecil (hingga 20%)
Jika dampak inipun diberi bobot sebagai berikut:
5 Sangat parah (80% - 99% wilayah hancur dan lumpuh total)
4 Parah (60 – 80% wilayah hancur)
3 Sedang (40 - 60 % wilayah terkena berusak)
2 Ringan (20 – 40% wilayah yang rusak)
1 Sangat ringan (kurang dari 20% wilayah rusak)
Maka akan di dapat tabel sebagaimana contoh di bawah ini:
Tabel 3.44 Potensi Ancaman Bahaya
No. Jenis Ancaman Bahaya Probabilitas Dampak
1. Keracunan Makanan 3 3
133

Gambaran potensi ancaman di atas dapat ditampilkan dengan model


lain dengan tiga warna berbeda yang sekaligus dapat menggambarkan
prioritas seperti berikut:
1 2 3 4 5

5
Probabilitas

Keracunan
3
Makanan

Dampak
Gambar 3.67 Matriks Potensi Ancaman Bahaya
Berdasarkan matriks diatas kita dapat memprioritaskan jenis ancaman
bahaya yang perlu ditangani. Ancaman dinilai tingkat bahayanya dengan
skala (3-3) yaitu bahaya/ancaman tinggi nilai 3, bahaya/ancaman sedang
dengan nilai 3 dimana pertemuan antara kedua skala berada di kolom
kuning. Maka dapat disimpulkan bahwa kemungkinan dampak bencana
KLB keracunan makanan di beberapa wilayah yang dilakukan penelitian
oleh BBTKLPP Surabaya di jawa timur yang memiliki nilai sedang.
2. Tindakan Penanggulangan KLB Keracunan Makanan
a. Mitigasi
Mitigasi adalah upaya atau kegiatan dalam rangka pencegahan
terhadap terjadinya suatu bencana ketika sebelum terjadi, bertujuan untuk
menghindari terjadinya KLB serta mengurangi risiko yang ditimbulkan
oleh KLB. Adapun kegiatan mitigasi diantaranya:
1) Melakukan pembinaan tentang cara penatalaksanaan makanan,
pengolahan makanan dan higiene dan sanitasi makanan yang baik;
Pihak yang terlibat:
a) Dinas Kesehatan Kabupaten
134

Merupakan koordinator program kesehatan, termasuk dalam


upaya preventif yang akan merekomendasikan intervensi ke
Puskesmas
b) Puskesmas
Sebagai unit pelaksana intervensi, dimana Puskesmas
melakukan penyuluhan dengan tema tersebut kepada
masyarakat yang berisiko tinggi, yang nantinya kader
kesehatan sebagai penerima penyuluhan dari Puskesmas yang
mana bertugas untuk mensosialisasikan kepada keluarga
masing-masing dan menenerapkannya
2) Memberikan Pemahaman dan penerapan mencuci tangan dengan
sabun;
a) Dinas Kesehatan Kabupaten
Merupakan koordinator program kesehatan, termasuk dalam
upaya preventif yang akan merekomendasikan intervensi ke
Puskesmas.
b) Puskesmas
Sebagai unit pelaksana intervensi, dimana Puskesmas
melakukan penyuluhan dengan tema tersebut kepada
masyarakat yang berisiko tinggi yang mana kader kesehatan,
TK, dan SD sebagai target sasarannya.
3) Peduli dengan label makanan;
a) BPOM daerah
Uji laboratorium sampel makanan yang diduga memiliki risiko
sumber keracunan makanan
b) Dinas kesehatan kab/kota
Merencanakan program dan mengkoordinasikan semua sektor
sesuai tupoksi yang telah ditetapkan
c) Puskesmas
Unit yang bertugas untuk mengkoordinasikan berjalannya
intervensi ke masyarakat dan adapat diterima. Dengan target
sasaran siswa SD dan kader kesehatan.
135

4) Menentukan faktor risiko pangan. BBTKL bertugas untuk


melakukan monitoring terhadap faktor risiko pangan melalui
pengujian secara laboratorium
5) Tidak membiarkan makanan di tempat terbuka terlebih ketika
musim lalat;
6) Tidak mengolah dan mengonsumsi jamur liar, terlebih ketika
musim hujan. Dalam hal ini pengkonsumsi makanan secara
langsung maupun tidak langsung (penjamah makanan) yang
melakukan intervensi tersebut.
7) Membersihkan dan mencuci buah maupun sayuran sebelum
digunakan terlebih untuk yang jenis nonorganik karena ditakutkan
terkontaminasi oleh pestisida. Dalam hal ini pengkonsumsi
makanan secara langsung maupun tidak langsung (penjamah
makanan) yang melakukan intervensi tersebut.
b. Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan
terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta
benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Upaya kesiapsiagaan
dilakukan pada saat bencana mulai teridentifikasi akan terjadi atau ketika
suatu wilayah berpotensi untuk terjadi bencana, kegiatan yang dilakukan
antara lain.
136

1) Membentuk tim koordinasi penanggulangan keracunan makanan


Tabel 3.45 Tim Koordinasi Kesiapsiagaan Keracunan Makanan
No. Tenaga Tugas
1. Rumah sakit Berperan sebagai fasilitas pemberi
pelayanan kesehatan rujukan dari faskes
tingkat pertama
2. Dokter Umum Berperan sebagai tenaga medis dalam
melakukan diagnosis dan pengobatan pada
korban keracunan makanan.
4. Dinas Kesehatan a. Melakukan manajemen terpadu
penanganan KLB pangan serta
mengidentifikasi faktor risiko penyakit
akibat pangan yang meliputi
bimbingan, pengawasan, dan
perencanaan penanggulangan
keracunan pangan, pendidikan dan
latihan, sistem informasi kajian/survei
khusus, serta menjadi laboratorium
rujukan;
b. Melakukan penyelidikan KLB;
c. Pihak yang berwenang menetapkan
adanya KLB keracunan makanan di
wilayah kerjanya.
6. Puskesmas a. Fasilitas primer pusat informasi
konfirmasi keracunan makanan;
b. Penyelidikan awal;
c. Penanggulangan korban;
d. Pengamanan sampel pangan.
7. BPOM a. Menjadi sentra rujukan laboratorium
pangan untuk menentukan penyebab
keracunan;
b. Melakukan pembinaan dan bantuan
teknis yang berhubungan dengan
program keamanan pangan.
8. BBTKLPP a. Menjadi laboratorium pangan untuk
menentukan faktor risiko terjadinya
keracunan makanan;
b. Melakukan pendekatan analisis risiko
untuk mengetahui faktor risiko dan
rekomendasi manajemen risiko;
c. Melakukan penyelidikan KLB.
9 Kantor Kesehatan a. Menerima laporan terkait kejadian KLB
Pelabuhan keracunan makanan di wilayah sekitar;
b. Melakukan penyelidikan KLB;
c. Pihak yang berwenang menetapkan
adanya KLB keracunan makanan di
wilayah tapal batas
137

2) Simulasi segala sektor sesuai tupoksi apabila sewaktu – waktu


terjaid KLB keracunan makanan;
3) Surveilans rutin oleh dinas kesehatan yang dibantu oleh
BBTKLPP.
c. Saat tanggap darurat
Tahap tanggap darurat merupakan tahap penindakan atau pengerahan
pertolongan untuk membantu masyarakat yang tertimpa bencana, guna
menghindari bertambahnya korban jiwa. Penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi:
1) Melakukan pendekatan analisis risiko
Pihak pihak yang bertanggung jawab dalam kegiatan ini
adalahBBTKLPP yang memiliki tugas untuk melakukan kajian
terkait faktor risiko yang dapat menimbulkan keracunan makanan
dari segi lingkungan yang meliputi faktor kimia
2) Melaksanakan penyelidikan KLB keracunan makanan
a) Dinas kesehatan kab/kota memiliki tugas untuk
mengidentifikasi terjadinya KLB keracunan makanan di suatu
kab/kota;
b) BPOM dan BBTKLPP memiliki tugas untuk melakukan
pengujian terhadap makanan minuman yang diduga sebagai
sumber penyebab KLB keracunan makanan;
c) Puskesmas, rumah sakit terdekat, maupun klinik memiliki tugas
sebagai pihak yang memverifikasi diagnosis (pusing, sakit
perut, mual, muntah, diare, pingsan, dan gejala lain yang
mengikuti);
d) Dinas kesehatan kab/kota, kantor kesehatan pelabuhan,
epidemiologist memiliki tugas untuk melakukan penyelidikan
epidemiologi yang dapat dilakukan terhadap korban maupun
seluruh aspek terkait higiene sanitasi pangan
3) Mengkoordinasi tindakan penanggulangan yang akan dilakukan
dengan berbasis data di lapangan
138

a) Dinas kesehatan kab/kota sebagai penentu KLB keracunan


makanan dan penyusun langkah penanggulangan;
b) Pemerintah kab/kota sebagai pelaksana upaya penanggulangan
yang telah dibuat.
4) Penemuan kasus keracunan makanan
a) Tenaga medis sebagai pihak yang melakukan verifikasi dan
juga diagnosis adanya fakta keracunan makanan;
b) Memberikan pertolongan pada korban
5) Dokter umum, bidan, perawat sebagai tenaga medis yang
memberikan pertolongan bagi korban keracunan makanan
a) Melaksanakan Rapid Health Assessment
6) Dilakukan oleh dinas kesehatan bidang epidemiologist yang
dibantu oleh BBTKLPP guna mengetahui agen penyebab
keracunan makanan dan penanggulangan yang bersifat sementara
ketika terjaid KLB;
7) BPOM dan BBTKLPP sebagai laboratorium pengujian sampel dan
spesimen.
d. Pasca bencana (pemulihan)
Tahap pemulihan meliputi tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Upaya
yang dilakukan pada tahap rehabilitasi adalah untuk mengembalikan
kondisi daerah yang terkena bencana yang serba tidak menentu kekondisi
normal yang lebih baik, agar kehidupan dan penghidupan masyarakat
dapat berjalan kembali.
1) Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek
pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada
wilayah pasca bencana sehingga dapat membuat keadaan lingkungan
menjadi seperti biasa atau normal secara wajar yang meliputi semua
aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca
bencana. Untuk rehabilitasi pasca KLB keracunan makanan dapat
dilakukan dengan pengoptimalan manajemen risiko sehingga tidak
menyebabkan semakin tinggi angka keracunan yang terjadi.
139

a) Dinas Kesehatan
Merupakan instansi yang berkewajiban mengadakan surveilans
terhadap kasus kesehatan. Dinas kesehatan juga berwenang
membuat program kegiatan pasca KLB, yang nantinya puskesmas
dan juga kader kesehatan sebagai target utama yang diharapkan
kedua pihak dapat melanjutkan hasil kegiatan ke masyarakat
2) Rekonstruksi
Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua sarana dan
prasarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat
pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya
hukum, dan bangkitnya semangat masyarakat pada daerah pasca
bencana. Dalam hal rekonstruksi pasca KLB keracunan makanan dapat
dilakukan dengan cara pengoptimalan pelaksanaan higiene dan sanitasi
pengelolaan makanan oleh pengelola makanan.
a) BPOM
Memastikan dan menguatkan program yang dibuat efektif dan
telah sampai kepada masyarakat.
b) BBTKL
Melakukan analisis risiko melalui surveilans terhadap tempat
yang belum terjadi kasus
c) Dinas Kesehatan
Melakukan kajian mengenai penanganan KLB keracunan
makanan dan bekerjasama dengan Puskesmas setempat untuk
meningkatkan hyegen sanitasi makanan masyarakat
d) Puskesmas
Menguatkan pemahaman dan pelaksanaan hyegen sanitasi
makanan masyarakat baik
e) Kader Kesehatan
Dibawah koordinasi Puskesmas, memastikan masyarakat
paham dan melaksanakan hyegen sanitasi makanan dengan baikdan
sanitasi pengelolaan makanan oleh pengelola makanan.
140

3.8 Penilaian Risiko KLB DBD Jawa Timur


3.8.1 Gambaran serotype DBD di Jawa Timur

Jumlah kejadian > 20


Jumlah kejadian > 5
Hijau Jumlah kejadian 0 -< 20
Sumber: Data penelitian DBD oleh BBTKLPP Surabaya tahun 2015 dan Profil Kesehatan
Jawa Timur tahun 2012
Gambar 3.68 Peta serotype DBD di Jawa Timur tahun 2012 dan 2015
141

3.8.2 Gambaran klb dbd di Jawa Timur tahun 2011

Sumber: Profil kesehatan tahun 2011


Gambar 3.69 Peta KLB DBD di Jawa Timur Tahun 2011

Tabel 3.46 Kejadian DBD pada tahun 2014-2015


No Tahun 2015

Kab/Kota Kasus
1 Kab. Sumenep 286
2 Kab. Jember 199
3 Kab. Jombang 110
4 Kab. Bondowoso 100
5 Kab. Banyuwangi 96
6 Kab. Probolinggo 90
7 Kab. Kediri 87
8 Kab. Tulungagung 86
9 Kab. Trenggalek 85
10 Kab. Mojokerto 83
11 Bangkalan 277
Sumber: Media online greeners tahun 2016 dan data BBTKLPP tahun 2015
3.8.3 Rencana kontingensi DBD Jawa Timur
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada
suatu kawasan dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit,
jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta,
dan gangguan kegiatan masyarakat.
142

1. Penilaian risiko KLB DBD di Jawa Timur


a. Ancaman
Ancaman dari KLB DBD di suatu daerah dapat dilihat dari beberapa
aspek kesehatan masyarakat yaitu:
1) Case Fatality Rate
Berdasarkan data yang diperoleh melalui profil kesehatan tahun
2013, terdapat kasus yang dilaporkan sebanyak 112.511 kasus, dengan
jumlah kematian 871 orang. Sehingga didapatkan angka kematian per
penduduk yang memiliki penyakit tersebut (CFR) cukup tinggi yaitu
0,77%. Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan BBTKL
terhadap KLB DBD di Mojokerto menemukan CFR DBD di
Kabupaten Mojokerto pada tahun 2013 sebanyak 8% dengan 5
kematian dari 62 kasus, 2014 DBD memiliki CFR 1,15% dengan 107
kematian dari 9.273 kasus, dan sepanjang bulan Januari 2015 DBD
sudah menimbulkan kasus sebnayak 83 dengan 3 kematian (CFR
3,6%).

Sumber: Profil kesehatan Jwa Timur tahun 2014


Gambar 3.70 Data CFR DBD di Jawa Timur tahun 2014
2) Angka keparahan/Case Severity Rate (CSR) tinggi
Menurut penelitian yang dilakukan BBTKLLPP Surabaya pada
saat KLB DBD, terdapat kasus DBD yang mengalami
kegawatan/severity (DBD grade 3, syok, kematian) sehingga sebanyak
7 orang dengan CSR 25% dapat diselamatkan.
143

3) Persebaran virus dengue


Berdasarkan Buletin WHO, DBD di Indnesia akan menjadi
masalah kesehatan masyrakat selma 41 tahun terakhir. Sejak tahun
1968 terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan
kabupatn/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi
32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten kota/provinsi pada tahun 2009.
4) Terinfeksi jenis virus dengue yang berbeda (Den-1, Den-2,Den-
3,Den-4) menyebabkan perbedaan kefatalan yang diderita meskipun
keempatnya satu genetik. Di Indonesia serotype Den-2 dan Den-3
menjadi dominan. Seseorang yang terinfeksi Den-2 dan Den-3 dapat
berisiko terkena DBD berat (Frans, 2016). Apabila terinfeksi salah satu
virus dapat mengakibatkan seseorang protektif dari infeksi virus
tersebut tetapi tidak menyababkan dia protektif dari 3 jenis virus yang
lain (Soegijanto, 2006)
5) Incidence rate (Angka kesakitan)
DBD merupakan jenis penyakit yang mudah menyebar karea selain
jarak terbang nyamuk Aedes juga dipengaruhi oleh pengaruh internal
dan eksternal individu. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan
jumlah kasus dari tahun 2012 yang sebesar 90.245 kasus dengan IR
37,27, yang juga meningkat pada tahun 2013 yaitu terdapat 112.511
kasus dengan IR 45,85 (Dinkes Provinsi Jawa Timur, 2013).

Gambar 3.71 Data IR Demam Berdarah Dengue


144

b. Kerentanan
Kerentanan adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat
yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi
ancaman bencana. Pemahaman tentang kerentanan masyarakat
1) Kerentanan fisik
Kerentanan fisik yang dapat menyebabkan terjadinya demam
berdarah dengue yaitu:
a) Kepadatan penduduk, yaitu jarak antar rumah yang < 5 meter
berisiko memiliki penyebaran nyamuk Aedes cukup tinggi
(Roose, 2008);
b) Densitas larva erat kaitannya dengan penyebaran nyamuk
Aedes (Berdasarkan jurnal, wilayah endemis memiliki HI yang
tinggi yaitu sebanyak 54%; memiliki CI yag tinggi yaitu
sebanyak 35,3%; memiliki BI yang tinggi yaitu sebanyak
137%);
c) Warna konteiner yang gelap karena jentik Ae.aegypti bersifat
fototaksis negatif yaitu mendekati cahaya dan paling menyukai
warna gelap.
2) Kerentanan ekonomi
Kemampuan ekonomi suatu individu atau masyarakat sangat
menentukan tingkat kerentanan terhadap ancaman terjadinya penyakit
Demam Berdarah Dengue. Pada umumnya masyarakat atau daerah
yang miskin atau kurang mampu lebih rentan terhadap bahaya, karena
tidak mempunyai kemampuan finansial yang memadai untuk
melakukan upaya pencegahan ataupun secara tidak langsung
mempengaruhi status gizi dan imunitas masyarakat.
3) Kerentanan sosial
Kerentanan sosial yang dapat menyebabkan terjadinya Demam
Berdarah Dengue yaitu, perpindahan manusia dari satu kota ke kota
lain dapat mempengaruhi penyebaran penyakit DBD (Berdasarkan
jurnal didapatkan bahwa wilayah yang endemis, mobilitas penduduk
50% sedangkan yang tidak endemis hanya terdapat mobilitas 31,3%)
145

4) Kerentanan lingkungan
Kebiasaan masyarakat yang merugikan kesehatan dan kurang
memperhatikan kebersihan lingkungan seperti :
a) Kebiasaan menggantung baju > 2 hari (Praditya, 2011);
b) Gerakan PSN dengan 3M+ belum terlaksana dengan optimal
(Menurut penelitian BBTKLPP terkait DBD di Mojokerto
tahun 2015);
c) ABJ lebih dari yang telah ditetapkan yaitu < 95% (Menurut
penelitian yang dilakukan BBTKLPP terkait KLB DBD di
Mojokerto tahun 2015);
d) Terdapat potensi terjadinya resistensi insektisida (Menurut
penelitian BBTKLPP terkait DBD di Mojokerto tahun 2015)
e) Menurut penelitian yang dilakukan BBTKLPP terkait KLB
DBD di Mojokerto tahun 2015, kurangnya peran serta
masyarakat dalam kegiatan PSN (ada kegiatan mekanik, kimia,
biologi).
c. Kemampuan
Kemampuan adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau
masyarakat yang menyebabkan masyarakat atau komunitas tersebut
mampu untuk mencegah, menanggulangi, atau mengurangi terjadinya
risiko penularan suatu penyakit maupun mengurangi dampak dari suatu
bencana yang berpotensi terjadi di komunitas tersebut.
Terdapat beberapa kemampuan dari komunitas atau masyarakat yang
dapat mencegah, menanggulangi, atau mengurangi terjadinya risiko
keracunan makanan yaitu:
1) Masyarakat
Hal yang dapat dilakukan masyarakat guna meningkatkan
kemampuan diri terhadap timbulnya risiko terkena DBD yaitu dengan
cara menjaga status imun dengan menjaga pola makan yang
dikonsumsi (Wati, 2009), menerapkan lingkungan bebas breeding
place nyamuk Aedes, serta melakukan perencanaan pembangunan
rumah dengan baik.
146

2) Tenaga kesehatan
Hal yang dapat dilakukan tenaga kesehatan guna meningkatkan
kemampuan diri terhadap adanya risiko terkena DBD yaitu dengan
cara melakukan inspeksi kebersihan lingkungan secara rutin,
optimalisasi kinerja jumantik, serta ketersediaan larvasida yang
mencukupi di setiap fasilitas kesehatan.
3) Sarana kesehatan
Hal yang dapat dilakukan oleh sarana kesehatan yaitu mendukung
kinerja yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan juga masyarakat
dalam hal menjaga sanitasi lingkungan agar tetap baik, misalnya
dengan menyediakan laboratorium pemeriksaan jentik nyamuk dan
serotype yang menyerang masyarakat.
d. Analisis Kemungkinan Dampak Bencana
Pertemuan dari faktor-faktor ancaman bencana/bahaya dan
kerentananmasyarakat akan dapat memposisikan masyarakat dan daerah
yangbersangkutan pada tingkatan risiko yang berbeda.Semakin tinggi
ancaman bahaya di suatu daerah, maka semakin tinggirisiko daerah
tersebut terkena bencana. Demikian pula semakin tinggitingkat kerentanan
masayarakat atau penduduk, maka semakin tinggi pulatingkat risikonya.
Tetapi sebaliknya, semakin tinggi tingkat kemampuanmasyarakat, maka
semakin kecil risiko yang dihadapinya.
Semua bahaya/ancaman dapat di perkirakan kemungkinan terjadinya
(probabilitasnya) dengan rincian:
5 = Pasti (hampir dipastikan 80 - 99%).
4 = Kemungkinan besar (60 – 80% terjadi tahun depan, atau sekali dalam
10 tahun mendatang)
3 = Kemungkinan terjadi (40-60% terjadi tahun depan, atau sekali dalam
100 tahun)
2 = Kemungkinan kecil (20 – 40% dalam 100 tahun)
1 = Kemungkian sangat kecil (hingga 20%)
Jika dampak inipun diberi bobot sebagai berikut:
5 Sangat parah (80% - 99% wilayah hancur dan lumpuh total)
147

4 Parah (60 – 80% wilayah hancur)


3 Sedang (40 - 60 % wilayah terkena berusak)
2 Ringan (20 – 40% wilayah yang rusak)
1 Sangat ringan (kurang dari 20% wilayah rusak)
Tabel 3.47 Potensi Ancaman Bahaya
No Jenis Ancaman Bahaya Probabilitas Dampak
.
1. Demam Berdarah Dengue 4 3
Gambaran potensi ancaman di atas dapat ditampilkan dengan model
lain dengan tiga warna berbeda yang sekaligus dapat menggambarkan
prioritas seperti berikut:
1 2 3 4 5

5
Probabilitas

Demam
3
Berdarah

Dampak

Gambar 3.72 Matriks Potensi Ancaman Bahaya


Berdasarkan matriks diatas kita dapat memprioritaskan jenis ancaman
bahaya yang perlu ditangani. Ancaman dinilai tingkat bahayanya dengan
skala (4-3) yaitu bahaya/ancaman tinggi nilai 4, bahaya/ancaman sedang
nilai 3 dimana pertemuan antara skala 4-3 terletak pada kolom yang
berwarna kuning. Maka dapat disimpulkan bahwa kemungkinan dampak
bencana KLB DBD di beberapa wilayah bernilai sedang.
1) Tindakan Penanggulangan DBD
a. Mitigasi
Mitigasi adalah upaya atau kegiatan dalam rangka pencegahanterhadap
terjadinya suatu bencana ketika sebelum terjadi, bertujuan untuk
148

menghindari terjadinya bencana serta mengurangi risiko yang ditimbulkan


oleh bencana. Adapun kegiatan mitigasi diantaranya:
1) Penyuluhan tentang bagaimana cara pencegahan, gejala,
penanggulangan, dan apa yang harus dilakukan ketika terjadinya
DBD. Kegiatan ini dilakukan oleh beberapa pihak, diantaranya:
a) Dinas kesehatan sebagai stakeholder yang menyusun program
atau kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat terkait
pencegahan DBD;
b) Puskesmas, kader, dan masyarakat sebagai target pelaksana
kegiatan yang telah disusun oleh dinas kesehatan;
c) Mahasiswa sebagai pihak yang dapat memberikan materi
tentang pencegahan maupun gejala terjadi DBD pada siswa
sekolah dasar.
2) Pembentukan kader Jumantik yang berasal dari warga desa yang
berpotensi DBD dibawah bimbingan pokja dan LKMD dan
dilakukan pemeriksaan jentik secara berkala. Pihak yang terlibat
dalam kegiatan ini yaitu:
a) Puskesmas sebagai pengatur koordinasi dengan ketua RT,
ketua RW, kepala desa, dan kader jumantik dalam pencatatan
ABJ juga sebagai pemberi materi terkait cara pemeriksaan
jentik pada kader;
b) Kepala desa sebagai pemegang koordinasi antar kader jumantik
dalam 1 desa;
c) Pokja dan LKMD sebagai orgtanisasi yang menaungi jumantik;
3) Membuat data tentang Angka Bebas Jentik berkala di setiap dusun
yang dilakukan oleh kader jumantik di bawah pengawasan ketua
RT dan puskesmas;
a) Puskesmas sebagai pihak yang melakukan pengumpulan data
ABJ dari wilayah kerjanya;
b) Kader jumantik sebagai pelaksana pemeriksa jentik di wilayah
kerja yang telah ditetapkan dan memberikan materi penyuluhan
149

kepada masyarakat agar masyarakat mandiri dalam melakukan


pemeriksaan;
c) Ketua RT sebagai koordinator jumantik;
d) Masyarakat sebagai pelaksana pemeriksa jentik.
4) Melakukan pemeriksaan jentik rutin terhadap konteiner;
a) Masyarakat sebagai pemilik konteiner melakukan pemeriksaan
secara mandiri;
b) Ketua RT sebagai pihak yang seharusnya mendapat laporan
apabila terdapat jentik di konteiner;
c) Puskesmas sebagai pihak yang dapat menyediakan bubuk
larvasida yang dapat digunakan oleh warga.
5) Melakukan pemeriksaan larva Aedes apabila ditemukan. Kegiatan
ini dilakukan oleh:
a) Dinas kesehatan yang dibantu BBTKLPP sebagai laboratorium
yang melakukan pengujian larva Aedes;
b) Melakukan kerjabakti dalam membersihkan lingkungan
terutama TPA yang ada di sekitar rumah;
c) Ketua RT penggerak kegiatan kerjabakti;
d) Masyarakat sebagai pelaksana kegiatan.
b. Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan
terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta
benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Upaya kesiapsiagaan
dilakukan pada saat bencana mulai teridentifikasi akan terjadi atau ketika
suatu wilayah berpotensi untuk terjadi bencana, kegiatan yang dilakukan
antara lain:
1) Pemberantasan vektor dengan menggunakan cara berikut:
a) Mengambil manfaat dari perubahan musim kehidupan nyamuk
dengan melakukan pmberantasan nyamuk ketika kasus DBD
masih rendah sehingga ketika musim DBD tinggi/vektor tinggi
tidak terjadi KLB di tempat tersebut;
150

b) Mengusahakan pemberantasan vektor di semua daerah yang


berpotensi terjadi penularan DBD, yaitu di wilayah yang
berkepadatan penduduk tinggi dan kepadatan nyamuk yang
cukup tinggi;
c) Melakukan pemberantasan nyamuk di pusat penyebaran seperti
sekolah, rumah sakit, dan lainnya.
Kegiatan ini dilakukan oleh beberapa pihak yaitu:
1. Dinas kesehatan sebagai penyusun program
pemberantasan vektor;
2. Puskesmas sebagai pihak yang memfasilitasi adanya
kegiatan fogging apabila dibutuhkan;
3. Ketua RT sebagai pihak yang mengkoordinasi warga.
2) Kewaspadaan dini terhadap kejadian KLB DBD melalui penentuan
kriteria DBD yaitu:
a) Kriteria klinis
1. Demam tinggi mendadak selama 2-7 hari
2. Pendarahan
3. Petekiae (bercak2 merah)
4. Epistaksis
5. Hematemesis
6. Hepatomegali
7. Syok
8. Tekanan nadi < 20 mmHg
9. Hipotensi
b) Kriteria laboratorium
1. Trombosit ≤ 100.000 /mikroliter
2. Hemokonsentrasi (kadar hematokrit ≥ 20% dari normal)
3) Melakukan analisis risiko suatu wilayah yang dapat menimbulkan
KLB DBD. Dalam kegiatan ini pihak yang terlibat yaitu,
BBTKLPP sebagai pihak yang akan melakukan analisis risiko
KLB DBD di daerah yang memiliki potensi terjangkit KLB DBD;
4) Menyusun tim gerak cepat dengan tim sebagai berikut:
151

Tabel 3.48 Tim Gerak Cepat


No. Tenaga Tugas
1. Epidemiologist Melakukan penyelidikan epidemiologi yang
meliputi:
a. Mengidentifikasipenyebab timbulnya wabah;
b. Mengetahui kelompok masyarakat yang berisiko
terkena wabah;
c. Menentukan solusi penanggulangan sesuai
penyebab.
2. Dokter Umum Berperan sebagai tenaga medis dalam melakukan
diagnosis dan pengobatan pada penderita DBD.

4. Sanitarian d. Identifikasi sarang nyamuk;


e. Pelaksanaan Rapid Health Assessment.

6. S.KM Memberikan penyuluhan tentang pencegahan DBD,


gejala dan tindakan yang harus dilakukan saat
terkena DBD.

7. Kader Jumantik Memantau keberadaan dan menghambat


perkembangan awal vektor penular DBD.

8. Pemerintah d) Pemberi keputusan;


e) Pembuatan regulasi.
9. LKMD (Lembaga Untuk bekerjasama dengan Pokja untuk membentuk
Ketahanan kader jumantik dan melakukan koordinasi dengan
Masyarakat Desa) puskesmas, ketua RT, dan RW.

10. Pokja (Kelompok Suatu kelompok yang bekerjasama dengan LKMD


kerja) membentuk kader jumantik yang merupakan bagian
dari keduanya.

11. Puskesmas a. Sebagai sarana tempat diagnosis awal DBD;


b. Membuat data tentang penderita DBD;
c. Menyusun rekap data tentang ABJ.

12. Dinas Kesehatan a. Memberikan materi penyuluhan;


b. Melakukan survey penyelidikan KLB DBD;
c. Melakukan koordinasi dengan puskesmas
terkait;
d. Memberikan abate.

13. BBTKLPP a. Berperan dalam menentukan faktor risiko yang


dapat menimbulkan terjadinya KLB DBD;
b. Melakukan pengujian terhadap keadaan
lingkungan lokasi KLB.
152

5) Melakukan simulasi kegiatan penanggulangan KLB DBD oleh


sektor yang tergabung dalam tim gerak cepat sesuai tupoksi;
6) Surveilans rutin yang dilakukan oleh Dinas kesehatan dan dibantu
oleh BBTKLPP.
c. Saat tanggap darurat
Tahap tanggap darurat merupakan tahap penindakan atau pengerahan
pertolongan untuk membantu masyarakat yang tertimpa bencana, guna
menghindari bertambahnya korban jiwa. Penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi:
1) Penyelidikan epidemiologi yang meliputi:
Memantau situasi penyakit DBD secara teratur sehingga kejadian
KLB dapat diketahui secara dini;
2) Menentukan adanya desa rawan terjadi KLB DBD, dalam kegiatan
ini akan terlibat beberap pihak diantaranya:
a) Dinas kesehatan kab/kota memiliki tugas untuk
mengidentifikasi terjadinya KLB DBD di suatu kab/kota;
b) BBTKLPP memiliki tugas untuk melakukan pengujian
terhadap IgG dan IgM dan serotype dengue;
c) Puskesmas, rumah sakit terdekat, maupun klinik memiliki
tugas sebagai pihak yang memverifikasi DBD melalui kriteria
klinis maupun laboratoris;
d) Dinas kesehatan kab/kota dan epidemiologist memiliki tugas
untuk melakukan penyelidikan epidemiologi yang dapat
dilakukan terhadap penderita DBD maupun seluruh aspek
lingkungan.
3) Penemuan kasus DBD. Tenaga medis sebagai pihak yang
melakukan verifikasi dan juga diagnosis adanya kasus DBD.
4) Memberikan pertolongan pada korban oleh dokter umum, bidan,
perawat sebagai tenaga medis yang memberikan pertolongan bagi
korban.
5) Pelaksanaan Rapid Health Assessment, kegiatan ini dilakukan oleh
beberapa instansi terkait yaitu:
153

a) Dilakukan oleh dinas kesehatan bidang epidemiologist yang


dibantu oleh BBTKLPP guna mengetahui sumber penularan
DBD dan penanggulangan yang bersifat sementara ketika
terjaid KLB;
b) Puskesmas sebagai pihak yang berkaitan dengan apabila
dibutuhkannya tindakan fogging;
c) BBTKLPP sebagai laboratorium pengujian IgG dan IgM serta
serotype dengue.
6) Mengkoordinasi tindakan penanggulangan yang akan dilakukan
dengan berbasis data di lapangan dengan kepala daerah sebagai
penentu KLB DBD dan pelaksana rekomendasi atau program
pengendalian yang telah disusun oleh Dinas Kesehatan terkait yang
dibantu oleh BBTKLPP.
d. Pasca bencana (pemulihan)
Tahap pemulihan meliputi tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Upaya
yang dilakukan pada tahap rehabilitasi adalah untuk mengembalikan
kondisi daerah yang terkena bencana yang serba tidak menentu kekondisi
normal yang lebih baik, agar kehidupan dan penghidupan masyarakat
dapat berjalan kembali.
1) Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek
pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada
wilayah pasca bencana sehingga dapat membuat keadaan lingkungan
menjadi seperti biasa atau normal secara wajar yang meliputi semua
aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca
bencana. Seperti pemberian abate di setiap rumah sesuai dengan
jumlah container dan pemulihan pelayanan pasien. Dalam kegiatan ini
ada beberapa pihak yang akan terlibat yaitu:
a) Dinas Kesehatan
Merupakan instansi yang berkewajiban mengadakan surveilans
terhadap kasus kesehatan. Dinas kesehatan juga berwenang
membuat program kegiatan pasca KLB, yang nantinya puskesmas
154

dan juga kader kesehatan sebagai target utama yang diharapkan


kedua pihak dapat melanjutkan hasil kegiatan ke masyarakat.
b) Puskesmas merupakan pihak yang menyediakan bubuk abate
2) Rekonstruksi
Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua sarana dan
prasarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat
pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya
hukum, dan bangkitnya semangat masyarakat pada daerah pasca
bencana. Sepertipelaksanaan sanitasi lingkungan sekitar yang baikdan
pengaktifan kembali program kerja jumantik. Dalam kegiatan ini akan
terlibat beberapa pihak terkait diantaranya yaitu:
a) Puskesmas sebagai kendali kader jumantik di wilayah kerjanya;
b) Ketua RT sebagai pihak yang dapat melakukan koordinasi
dengan jumatik di wilayahnya;
c) Kader jumantik sebagai pelaksana kegiatan untuk melakukan
pemeriksaan jentik di konteiner yang telah ditentukan.
155

3.9 Penilaian Risiko KLB Leptospirosis Jawa Timur


3.9.1 Rencana kontingensi KLB leptospirosis
1. Pengenalan Bahaya
Penyakit yang muncul di daerah tropis dan sub tropis yang memiliki curah
hujan tinggi sangat banyak sekali, salah satunya adalah leptospirosis.
Leptospirosis adalah salah satu the emerging infectious diseases yang disebabkan
oleh bakteri leptospira dan ditularkan dari hewan kepada manusia (zoonosis).
Penularan dapat terjadi secara langsung akibat terjadi kontak langsung antara
manusia (sebagai host) dengan urin atau jaringan binatang yang terinfeksi, dan
secara tidak langsung akibat terjadi kontak antara manusia dengan air, tanah atau
makanan yang terkontaminasi urin dari binatang terinfeksi leptospira.
Jalan masuk pada manusia adalah melalui kulit yang terluka, terutama
sekitar kaki, dan atau selaput mukosa di kelopak mata, hidung, dan selaput
lendir mulut. Dari banyak kasus yang terjadi menunjukkan bahwa tikus
merupakan sumber utama penularan leptospirosis. Seperti yang terjadi di
kabupaten Sampang pada Mei 2013, dilakukan pemeriksaan ginjal tikus
dengan metode PCR, dan ditemukan 5 tikus positif mengandung bakteri
leptospira. Selain itu di kabupaten Ponorogo pada Juni 2015, dilakukan
pemeriksaan PCR sebanyak 17 ginjal tikus dan ditemukan 6 positif
mengandung bakteri leptospira (Laporan Kajian Surveilans BBTKLPP
Surabaya, 2014).
Penyebaran dapat meluas ke wilayah lain akibat adanya banjir yang
terkontaminasi urin tikus yang mengandung kuman leptospira. Seperti
yang terjadi dikabupaten Sampang, setelah terjadi banjir besar dengan
ketinggian 1-3 meter yang menenggelamkan 10 desa dan 6 kelurahan.
Kasus leptospirosis kembali ditemukan pada tanggal 12 Desember 2013
setelah terjadi peningkatan intensitas hujan di Kabupaten Sampang.
Jumlah penemuan kasus semakin meningkat setelah terjadi banjir besar
pada tanggal 17 – 19 Desember 2013. Hal ini perlu diwaspadai karena
Jawa Timur merupakan daerah dimana bencana banjir merupakan bencana
yang paling sering terjadi (BNPB, 2012)
156

Selain itu urin hewan ternak juga dapat menjadi tempat perkembang
biakan bakteri leptospira dan dapat menularkan ke manusia seperti yang
terjadi di kabupaten Ponorogo pada Juni 2015, setelah diuji sampel urin
hewan ternak di kawasan tempat tinggal terjangkit leptospira ditemukan 1
sampel urin kambing positif. Bakteri juga ditemukan di air bersih milik
salah satu penderita setelah dilakukan pengujian.
Data profil kesehatan Jawa Timur (2012) menunjukkan terdapat 6
kejadian leptospirosis, dan 10 kasus dengan 2 kematian CFR 20% yang
mencakup 2 kab/kota dan 5 kecamatan. Kejadian KLB Leptospirosis
pernah terjadi pada tahun2010-2011 di Malang, Gresik, dan Surabaya.
Sedangkan dalam kurun waktu 2013-2014 KLB leptospirosis terjadi di
Tulungagung, Ponorogo dan Sampang, bahkan di Sampang pada
Desember 2013-Januari 2014 data di RSUD Sampang menunjukan
sebanyak 33 orang dan hasil pemeriksaan RDT menunjukkan 17 orang
(51,5%) positif leptospirosis (Laporan Kajian Surveilans BBTKLPP
Surabaya, 2014).
2. Kerentanan
Kerentanan (vulnerability) adalah keadaan atau sifat/perilaku manusia
atau masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya
atau ancaman. Kerentanan ini dapat berupa:
a. Kerentanan Ekonomi
Bakteri Leptospira dapat menginfeksi binatang peliharaan maupun
binatang ternak, sedangkan banyak dari masyarakat kita memiliki
pekerjaan sebagai peternak yang rentan untuk tertular leptospirosis dari
hewan pembawa, karena setiap hari mereka bersinggungan langsung
dengan hewan –hewan tersebut.
Menurut data PDRB 2012, penduduk Jawa Timur sebesar 85,74%
memiliki mata pencaharian di bidang pertanian, peternakan, kehutanan,
dan perikanan. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk Jawa Timur yang
bekerja di bidang peternakan salah satunya sangat besar sekali, secara
tidak langsung penduduk tersebut banyak yang bersinggungan dengan
hewan.
157

b. Kerentanan Sosial
Kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat kerentanan
terhadap ancaman bahaya. Dari segi pendidikan, kekurangan pengetahuan
tentang risiko bahaya dan bencana akan mempertinggi tingkat kerentanan.
Masyarakat banyak yang belum sadar dan belum tahu tentang sangat
pentingnya higiene personal perseorangan.
Selain itu sudah menjadi kebiasaan dari masyarakat kita yang sulit
dirubah yakni tidak biasa menggunakan alas kaki ketika bekerja atau
dalam melakukan kegiatan, hal ini berpotensi tertular leptospira jika di
kaki mereka terdapat luka ataau lesi yang menjadi pintu masuknya bakteri
leptospira dalam tubuh manusia. sesuai data penelitian BBTKLPP di
Sampang, Ponorogo dan Tulungagung pada tahun 2013-2014
menunjukkan kebiasaan pasien atau warga yang bertempat tinggal
didaerah KLB (sampang, ponorogo Tulungagung) memiliki kebiasaan
tidak menggunakan alas kaki.
c. Kerentanan Lingkungan
Kerentanan lingkungan dalam hal ini salah satunya adalah jarak
rumah dengan tempat pengumpulan sampah yang sangat dekat, seperti
kasus leptospoira yang terjadi di Sampang, teridentifikasi bahwa rumah
responden yang terjangkit leptospira memiliki jarak yang dekat degan
tempat sampah.
Daerah sering banjir juga sangat berpotensi terjangkit leptospira,
kebiasaan masyarakat yang menyimpan hasil panen di dalam rumah,
seperti kasus yang terjadi di KLB leptospira Ponorogo, teridentifikasi
bahwa 3 responden yang terjangkit bakteri leptospira memiliki kebiasaan
menyimpan hasil panen didalamrumah, hal ini dapat mengundang
kedatangan rodent seperti tikus untuk masuk di dalam rumah.
Sanitasi lingkungan masyarakat yang kurang seperti lantai rumah
masih tanah, langit-langit rumah tidak ada, dinding rumah dari kayu/batu
bata yang tidak diplester. Kebiasaan masyarakat menyimpan tempat
sampah dalam rumah dan tidak membuangnya setiap hari, hal ini dapat
158

menarik keberadaan tikus untuk masuk ke dalam rumah dan bisa


menularkan penyakit leptospirosis.
Profil Jatim 2012 menunjukkan hanya 48.80% masyarakat Jatim
memiliki tempat pembuangan sampah, 46,11% Rumah Tangga Jatim yang
berperilaku PHBS, Sekitar 56,14% presentase rumah tangga Jatim yang
memilliki akses terhadap sanitasi layak
3. Analisis Kemungkinan Dampak KLB
Analisis kemungkinan dampak KLB merupakan gabungan antara
ancaman dan kerentanan yang ada.

a. Pengenalan bahaya/ancaman di daerah yang bersangkutan.


Semua bahaya/ancaman tersebut diinventarisasi, kemudian di
perkirakan kemungkinan terjadinya (probabilitasnya) dengan rincian :
1) Pasti (hampir dipastikan 80-99%)
2) Kemungkinan besar (60-80% terjadi tahun depan, atau sekali
dalam 10 tahun mendatang)
3) Kemungkinan terjadi (40-60% terjadi tahun depan, atau
sekali dalam 100 tahun)
4) Kemungkinan kecil (20-40% dalam 100 tahun)
5) Kemungkinan sangat kecil (hingga 20%)

Tabel 3.49 Kejadian Leptospira di Kabupaten Gresik


No Waktu Kejadian Daerah Kejadian
1. Th 2009 Kab.Gresik terjadi kasus leptospira 32
kasus dengan CFR 31%
2. Th 2010 Kab. Gresik terjadi 29 kasus dengan CFR
51 %
3. Th 2011 Kab Gresik Terjadi 21 kasus dengan CFR
43%
Sumber: Laporan kajian surveilans BBTKLPP Surabaya 2014
159

CFR % Kasus

51

43

32
31
29

21

tahun 2009 tahun 2010 tahun 2011

Sumber: Laporan kajian surveilans BBTKLPP Surabaya 2014


Gambar 3.73 Grafik Kasus dan besar CFR Leptospirosis di kabupaten Gresik

Tabel 3.50 Kejadian Leptospirosis di Kab. Ponorogo


No Waktu Kejadian Daerah Kejadian
1. Th 2011 Kab.Ponorogo Dilaporkan 6 kasus leptospirosis
2. Th 2012 Kab. Ponorogo terdapat 24 kasus dengan 1
korban meninggal
3. Th 2013 Kab. Ponorogo Terjadi 15 kasus
4. Th 2014 Kab. Ponorogo Tidak ada laporan kasus
5. Th 2015 Kab. Ponorogo Dilaporkan 3 kasus
Sumber: Laporan kajian surveilans BBTKLPP Surabaya 2015

Laporan Kejadian Lep-


tospira
30

25
24

20

15 15

10

6
5
3
0 0
Th 2011 Th 2012 Th 2013 Th 2014 Juni Th 2015

Sumber: Laporan kajian surveilans BBTKLPP Surabaya 2015


160

Gambar 3.74 Grafik Laporan Kejadian Leptospirosis di Kab. Ponorogo


periode 2011-Juni 2015
b. Perkirakan dampak
Perkiraan presentase besar dampak KLB leptospirosis dengan
mempertimbangan hal-hal sebagai berikut:
1. Jumlah korban
2. Kerugian harta benda
3. Kerusakan prasarana dan sarana
4. Cakupan luas wilayah yang terkena bencana
5. Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan

Tabel 3.51 Kejadian dan penduduk yang berisiko terjangkit bakteri leptospira
Waktu Penduduk
No Daerah Kejadian
Kejadian Berisiko
1 Th 2011 Kab. Gresik terjadi 21 318 766.00 jiwa
kasus dengan diwilayah Kab
CFR 43 % Gresik
2. September Kab.Tulungagung 1 terdiagnosa 55.228 Jiwa
Th 2014 Ds. Bono Kec. Pakel dan meninggal diwilayah kec.
Pakel

3. 12 Kab. Sampang 33 pasien 231 364.00 jiwa


Desember 9 kelurahan (Lepele, dengan gejala di wilayah kab
2013- pengelen, gunung klinis Sampang
Januari sekar, karang dalem, leptospirosis
2014 dai penang, rong sebanyak 17
tengah, banyu anyar, orang (51,5%)
pologan, anggersek) positif
4. Th 2015 Kab. Ponorogo Dilaporkan 3 55.510 jiwa di
3 Desa (Ds.Baosan, kasus wilayah kec
Ds. Gedangan, Ds. ngrayun
Ngrayun)
Kec. Ngrayun
Sumber: Laporan kajian surveilans BBTKLPP Surabaya 2014

3.9.2 Tindakan dan mekanisme penanggulangan KLB


1. Pra KLB
161

Tabel 3.52Tindakan Dan Mekanisme Penanggulangan KLB


No. Pelaksana Tugas
1 BBTKLPP - Koordinasi dengan dinas kesehatan provinsi
Surabaya dan kab/kota
- Surveilans faktor risiko
- Memberikan rekomendasi kepada dinas
kesehatan dalam penanggulangan
2 Dinas Kesehatan - Penyelidikan epidemiologi KLB
- Pemetaan wilayah yang rawan leptospirosis
- Penanggulangan KLB
3 Puskesmas/pustu/ - Monitoring kualitas lingkungan
polindes - Monitoring spesimen rodent secara berkala
- Sosialisasi faktor risiko leptospirosis kepada
masyarakat
- Perbaikan gizi masyarakat
4 Dinas PU - Perbaikan jalan untuk minimalisir adanya
lubang yang tergenang air
5 LSM/NGO - Pemberdayaan masyarakat dengan basis
lingkungan (seperti Pemanfaatan sampah,
edukasi pengelolaan sampa, dst)

2. Saat Terjadi KLB


Tahap Tanggap Darurat merupakan tahap penindakan atau pengerahan
pertolongan untuk membantu masyarakat yang tertimpa bencana/terjadi
KLB, guna menghindari bertambahnya korban jiwa. Penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi:
a. Penyelidikan Epidemiologi untuk konfirmasi dan pengumpulan data faktor
resiko guna mencari dugaan sumber penularan, dilakukan oleh BBTKLPP.
b. Koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/kota dan Dinas Kesehatan
Propinsi Jawa Timur untuk kegiatan tangkap tikus diwilayah sekitar rumah
penderita dan pengambilan spesimen ginjal tikus selanjutnya diperiksa
dengan metode PCR di laboratorium BBTKLPP Surabaya.
c. Wawancara kepada warga/kontak di sekitar rumah pasien serta pengambilan
spesimen darah untuk selanjutnya diperiksa RDT, dilakukanoleh BBTKLPP
d. Penyuluhan kesehatan kepada keluarga dan masyarakat sekitar, dilakukan
oleh dinas kesehatan
e. Bupati/Wali Kota bertugas menyatakan daerahnya KLB atau tidak, selain itu
bupati/wali kota melalui dinkes membentuk tim gerak cepat (TGC).
162

f. kelembagaan pengendalian zoonosis sebagai wadah koordinasi baik di tingkat


pusat aupun daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden.

3. Pasca KLB
Upaya yang dilakukan pada tahap rehabilitasi adalah untuk
mengembalikan kondisi daerah yang terkena bencana yang serba tidak
menentu ke kondisi normal yang lebih baik, agar kehidupan dan
penghidupan masyarakat dapat berjalan kembali. Kegiatan-kegiatan yang
dilakukan meliputi:
a. Perbaikan higiene sanitasi tempat tinggal yang dilakukan dinas kesehatan
b. Meningkatkan upaya promotif dan pencegahan dengan kegiatan penyuluhan,
dilakukan dinas kesehatan
c. Peningkatan Pelayanan kesehatan yang dilakukan dinaskesehatan
d. Melakukan peningkatan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) dengan kegiatan
surveilans faktor risiko tetap dilakukan oleh BBTKLPP
e. Peningkatan partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi
kemasyarakatan, dan masyarakat yang sebelumnya sudah dibekali
pengetahuan mengenai leptospirosis.

Kab.Sampang:
96 kasus dg jumlah kematian 9 orang

Kab.Ponorogo:
24 kasus dg jumlah kematian 1 orang

Kab.Tulungagung:
24 kasus dengan korban 1 meninggal

Sumber: Pribadi
Gambar 3.75 Peta Persebaran Kejadian Luar Biasa Leptospira Tahun
2013-2014 (Sumber: Laporan kajian surveilans
BBTKLPP Surabaya 2014)
163

3.10 Pengendalian Pes di Nongkojajar


3.10.1 Sejarah pes di Nongkojajar
Nongkojajar adalah salah satu daerah yang berada di Kabupaten Pasuruan,
Jawa Timur yang merupakan wilayah endemis pes. Sebagain besar daerah
Nongkojajar merupakan perkebunan apel dan sayuran, dan sebagian lainnya
masih berupa hutan. Status sebagai wilayah endemis pes ini diperoleh karena
tercatat adanya kejadian wabah pes di wilayah Nongkojajar. Wabah pes di
Nongkojajar terjadi pada akhir tahun 1986 di Dusun Surorowo, Desa Kayukebek,
Kecamatan Tutur. Kejadian wabah tersebut menewaskan 21 orang. Masyarakat
sekitar yang masih menganut dinamisme menduga bahwa kematian mendadak
tersebut merupakan balasan akibat perusakan hutan di sekitar dusun terseut.
Akibat wabah tersebut, Dusun Surorowo hingga saat ini ditetapkan sebagai
wilayah fokus khusus pes. Pasca kejadian wabah tersebut dilakukan program
pengendalian pes dan zoonosis yang rutin dilakukan hingga saat ini. Satu
dasawarsa berikutnya, yaitu tahun 1997 terjadi kembali kasus serupa namun
dengan jumlah korban yang lebih sedikit. Pada tahun 2007, terdapat suspect yang
dicurigai menderita pes. Terdapat dugaan bahwa penyakit pes di wilayah ini
memiliki siklus 10 tahun sekali.
Penyelenggaraan program pengendalian penyakit pes dilakukan secara
terintegrasi oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan, Dinas Kesehatan Jawa
Timur, BBLK Surabaya dan BBTKLPP Surabaya. Untuk memaksimalkan
kegiatan surveilans pes di wilayah Nongkojajar, maka didirikan Laboratorium Pes
dan Zoonosis Nongkojajar didirikan pada tahun 2014.

3.10.2 Intervensi yang harus dilakukan dalam pengendalian pes


Menururt Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2011
tentang Pengendalian Zoonosis, strategi pengendalian zoonosis dilakukan dengan:
1. Mengutamakan prinsip pencegahan penularan kepada manusia dengan
meningkatkan upaya pengendalian zoonosis pada sumber
penularan.Prinsip pencegahan dalam pengendalian pes dapat dilakukan
dengan pengamatan pada manusia baik secara aktif maupun pasif, yang
dilakukan di daerah fokus dan terancam. Pengamatan secara aktif
164

diakukan dengan kunjungan dusun atau rumah sesuai jadwal.


Pengamatan manusia secara pasif dapat dilakukan dengan pengamatan
terhadap setiap pengunjung puskesmas/pustu/ polindes dengan gejala
tersangka pes. Pencegahan dapat dilakukan juga dengan skrining saat
terjadi indikasi KLB.
2. Penguatan koordinasi lintas sektor dalam rangka membangun sistem
pengendalian zoonosis, sinkronisasi, pembinaan, pengawasan,
pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, strategi dan
program.Dalam pengendalian pes, penguatan koordinasi lintas sektor
dapat dilakukan dengan jejaring kerja dengan Dinas Kesehatan
Kabupaten setempat, atau dengan Dinas Kesehatan Provinsi.
Kegiatannya dapat berupa melakukan pws, pengamatan faktor risiko,
penemuan kasus baru penyakit pes, pengendalian dengan dusting
(Dustlon), diklat petugas kesehatan (rodent dan human), pengadaan
logistic pengamatan dan pengendalian pes, dan dukungan laboratorium
dalam rangka investigasi pes
3. Perencanaan terpadu dan percepatan pengendalian melalui surveilans,
pengidentifikasian, pencegahan, tata laksana kasus dan pembatasan
penularan, penanggulangan Kejadian Luar Biasa/wabah dan pandemi
serta pemusnahan sumber zoonosis pada hewan apabila
diperlukan.Surveilans pes, baik surveilans yang dilakukan terhadap
rodent maupun surveilans terhadap manusia atau faktor risiko.
Surveilans terhadap rodent dapat dilakukan dengan kegiatan traping
tikus yang dilakukan di rumah, kebun atau hutan. Untuk surveilans
terhadap manusia dapat dilihat lingkungan rumah dan lingkungan sekitar
tempat tinggalnya
4. Penguatan perlindungan wilayah yang masih bebas terhadap penularan
zoonosis baru.Dilakukan dengan cara pemetaan antara daerah khusus,
daerah fokus dan daerah terancam dengan membedakan intensitas
tindakan terhadap rodent dan pinjal.
5. Peningkatan upaya perlindungan masyarakat dari ancaman penularan
zoonosis.Penguatan upaya perlindungan masyarakat dari ancaman pes
165

dapat dilakukan dengan pemberian informasi atau penyuluhan,


pengendalian dengan dusting (Dustlon), pengadaan logistic pengamatan
dan pengendalian pes.
6. Penguatan kapasitas sumber daya yang meliputi sumber daya manusia,
logistik, pedoman pelaksanaan, prosedur teknis pengendalian,
kelembagaan dan anggaran pengendalian zoonosis.
7. Penguatan penelitian dan pengembangan zoonosis.Untuk penyakit pes,
penguatan penelitian dan pengembangan zoonosis dapat dilakukan
dengan pembuatan laboratorium pes dan zoonosis lainnya.
8. Pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan dunia usaha, perguruan
tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi profesi, serta pihak-
pihak lain.
166

3.10.3 Intervensi yang sudah dilakukan dalam pengendalian pes di


Nongkojajar
1. Melakukan PWS (Pengamatan Wilayah Suspek) , pengamatan faktor risiko
a. Surveilans rodent
PERSIAPAN
TRAP

PEMASANGAN
TRAP

HUTAN KEBUN RUMAH

PENGANTONGAN TIKUS PNDRITA/SUSPEK

PENGELUARAN PELEMASAN
TIKUS

PENGAMBILAN DARAH
DARAH PEMISAHAN
SERUM

PENYISIRAN
TIKUS PINJAL
PINJAL

IDENTIFIKASI UJI SEROLOGIGI


IDENTIFIKASI
SPESIES PINJAL

SPESIES TIKUS
POOL POOL POOL
PINJAL PINJAL PINJAL ANALISIS / INTERPRETASI DATA
PINJAL

INOKULASI HEWAN COBA

Gambar 3.76 Tahap Surveilans Roden(sumber: BBTKL-PP Surabaya Lab


Zoonosis)
167

Trapping dilakukan di 3 tempat yaitu hutan, kebun dan rumah


penduduk. Pemasangan traping menggunakan umpan kelapa goreng dan
kemudian hasil tangkapan (tikus) dibawa ke laboratorium zoonosis
Nongkojajar untuk diperiksa serum darah tikus dan pinjal.

FLOWCHART KEGIATAN SURVEILANS VEKTOR PES


PENGAMATAN

DAERAH FOKUS DAERAH TERANCAM BEKAS DAERAH FOKUS

Trapping : Trapping : Trapping : 1 atau 2 tahunsekali dg sport surva


4 kali/thnselama 5 hariberturut-turut.
1 kali/bln selama 5 hari berturut-turut. Indikasi adanya rat fall
2 Minggu sekali
2 Minggu sekali bila ada kasus/Transmisi bila ada2kasus/Transmisi
Pes sampai Pes sampai
periode berikutnya 2 periode
berturut-turut berikutny
negatif

F1 Umum > 1
F1 Khusus >1
Ditemukan Y. pestis
Rat Fall
Pengambilan
PemeriksaanBacteriologis PengumpulanPinjal Daerah FokusPes
Serum Rodent positif

Pooling pinjal
Positif(+)
PeningkatanSurvaelans rodent (ekstra trapping)
Yersinia pestis Yersinia pestis

DUSTING
Dusting/Dustpring/Dustlon Monitoring kerentana

Gambar 3.77 Kegiatan Surveilans Vektor Pes


b. Surveilans Manusia
SURVEILANS
HUMAN & FR

RUMAH LINGKUNGAN
NN
PNDRITA/SUSPEK FR PERILAKU FR LINGKUNGAN

ANALISIS / INTERPRETASI DATA

Sumber: BBTKL-PP Surabaya Lab Zoonosis


Gambar 3.78 Tahap Survelans Manusia
168

Penderita suspek diketahui berdasarkan laporan dari Puskesmas


atau tenaga kesehatan setempat dan dilakukan pemeriksaan serum darah
untuk penegakan diagnosis di laboratorium zoonosis Nongkojajar
(BBTKL-PP Surabaya). Selain itu juga dilakukan penilaian faktor perilaku
masyarakat dengan pengisian kuesioner dan sosialisasi mengenai APD
(Alat Pelindung Diri) saat berkebun. Selain itu dilakukan pengkaderan
untuk intervensi traping tikus di setiap daerah.
2. Penemuan kasus baru penyakit pes
3. Pengendalian dengan dusting (dustlon)
Dustlon terbuat dari paralon yang didalamnya terpasang umpan
(kelapa goring) dan bubuk insektisida. Bubuk insektisida terbuat dari
campuran bubuk kalium 11 kg dan insektisida 5 bungkus. Dustlon diletak
di 2 tempat pada setiap rumah yaitu, di bagian atas rumah seperti plafon
dan dibawah di tepat yang sekiranya sering dilewati tikus. Pemasangan
dustlon memepertimbangkan intensitas pencahayaan ruangan dan kriteria
tempat yang disukai tikus.

Gambar 3.79 Kemungkinan Tempat Tikus Tinggal di Dalam Rumah


4. Diklat petugas kesehatan (rodent+human)
5. Pengadaan logistik pengamatan dan pengendalian pes
6. Dukungan laboratorium dalam rangka investigasi pes
169

3.10.4 Intervensi terhadap pes yang belum dilakukan di Nongkojajar


1. Pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan dunia usaha, perguruan tinggi,
lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi profesi, serta pihak-pihak lain
Salah satu bentuk pengendalian tikus dalam upaya pemberantasan penyakit
pes adalah dengan melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan
melibatkan berbagai lintas sektor. Pengendalian tikus yang dilakukan oleh
BBTKL PP di Nongkojajar masih kurang menggaet kerjasama lintas sektor ini.
Salah satu tindakan yang dapat dilakukan semisal membersihkan
tempat perindukan tikus secara gotong royong kepada warga, selain itu
perlu penanaman kebiasaan menjaga kebersihan rumah kepada warga.
Hal lain yang diperlukan yakni pemberian informasi hasil surveillans
tikus yang dilakukan kepada masyarakat agar mayarakat dapat siap siaga
menghadapi kemungkinan dampak dari tikus yang berada di sekitar
mereka. Perlu dilakukan kerjasama dengan pihak dunia usaha maupun
pihak lainnya agar pemberantasan tikus lebih efektif.
2. Penggolongan pinjal dari tikus berdasarkan lokasi dan jenis pada saat pooling
Pada saat pooling (pengambilan pinjal) belum dilakukan
pengelompokan pinjal berdasarkan lokasi maupun jenisnya, sehingga
informasi terkait bakteri pes yang ada dalam pinjal bisa bias dan tidak
terdeteksi lokasi asalnya.
3. Pemberlakukan sistem tanam yang dijauhi tikus
Nongkojajar merupakan daerah peternakan serta budidaya tanaman sayuran.
Sawah dan kebun merupakan salah satu habitat yang disukai oleh tikus. Sehingga
diperlukan upaya memodifikasi lahan di sawah agar tidak menjadi persaranagan
tikus. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pembuatan petak
sawah atau kebun yang agak terbuka dan bersih dari rumput. Selain itu perlu
dilakukan penyiangan terhadap lahan yang tidak dipakai atau terbengkalai agar
tidak menjadi persarangan tikus. Hal ini perlu dilakukan karena tikus tidak suka
daerah yang terbuka dan memungkinkan predator untuk memangsanya lebih
mudah.
4. Fumigasi di tempat perindukan tikus
170

Fumigasi merupakan salah satu tindakan yang dapat digunakan untuk


mengendalikan tikus. Fumigasi dapat dilakukan dengan menyemprotkan
gas racun tikus pada lubang yang disinyalir sebagai persarangan tikus serta
menutup lubang tersebut dengan tanah agar tikus tidak kabur. Hal ini
belum diintervensikan di kawasan Nongkojajar.
5. Pengambilan tikus pada saat matahari belum muncul
Kegiatan surveillans tikus yang dilakukan masih mengambil pinjal
pada saat matahari nampak. Hal ini dapat menyebabkan pinjal yang berada
di tikus kabur sebelum diambil. Oleh karenanya perlu dilakukan kajian
kembali agar pengambilan tikus dapat dilakukan saat matahari belum
tampak.
6. Pemanfaatan kearifan lokal untuk memberantas tikus
Salah satu bentuk kearifan lokal yang dapat dilakukan adalah dengan
memanfaatkan tanaman yang dapat digunakan untuk mengusir tikus.
Penanaman yang pernah dilakukan adalah dengan menanam tanaman akar
wangi. Namun efektivitas dari akar wangi ini belum pernah diteliti
sehingga perlu dilakukan penelitian agar pengendalian tikus dapat
dilakukan lebih baik lagi. Selain itu dapat dimanfaatkan tanaman bintaro
yang belum pernah dimanfaatkan sebagai langkah pengendalian tikus di
daerah ini. Efektivitas bintaro sudah teruji dan dapat digunakan secara
sederhana, yakni dengan menaruh buahnya di tempat yang sering dilalui
oleh tikus. Bau dari kulit buah bintaro terbukti mampu menghalau tikus,
karena mengandung senyawa yang tidak disukai tikus dan menimbulkan
keracunan bagi tikus. Sehingga bintaro berpotensi dikembangkan di
daerah ini agar dapat menjadi salah satu intervensi pengendalian tikus
berbasis kearifan lokal dan bersifat alami.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
2349/MENKES/PER/XI/2011 pasal 21 menyatakan bahwa bidang Analisis
Dampak Kesehatan Lingkungan mempunyai tugas melaksanakan
perencanaan dan evaluasi pelaksanaan analisis dampak kesehatan lingkungan
fisik dan kimia, serta dampak lingkungan biologi, dan pendidikan dan
pelatihan di bidang pengendalian penyakit, kesehatan lingkungan, dan
kesehatan matra. Tugas pokok bidang ADKL adalah menyiapkan bahan
analisis media lingkungan dan biomarker, menyiapkan bahan kajian dan
pelaksanaan teknis analisis dampak kesehatan perubahan iklim, serta
menyiapkan bahan pengumpulan data aspek fisik, kimia, biologi,
radioaktivitas media lingkungan dan biomarker serta pelaporannya.
2. Pada kegiatan uji kualitas lingkungan rumah sakit tahun 2015 terdapat total
117 rumah sakit yang tersebar di 34 kabupaten di Jawa Timur yang
melakukan uji di BBTKLPP Surabaya. Sampel yang diuji meliputi air bersih,
air minum, makanan-minuman, udara ruang, rectal swab, swab alat makan,
swab lantai, swab dinding, swab linen, dan air limbah RS. Hasil pengujian
menunjukkan 71% sampel air bersih memenuhi syarat, 85% sampel air
minum memenuhi syarat, 79% sampel makanan dan minuman memenuhi
syarat, 59% udara ruang memenuhi syarat, 100% hasil rectal swab memenuhi
syarat, 90% swab alat makan memenuhi syarat, 97% swab lantai memenuhi
syarat, 99% swab dinding memenuhi syarat, 93% linen memenuhi syarat, dan
62% air limbah RS memenuhi syarat. Bidang Surveilans Epidemiologi
mempunyai tugas menyusun perencanaan program, melakukan monitoring
dan evaluasi pelaksanaan program di bidang surveilans epidemiologi,
advokasi, dan fasilitasi kesiapsiagaan dan penanggulangan KLB, kajian dan
diseminasi informasi kesehatan lingkungan, kesehatan matra, kemitraan dan
jejaring kerja serta pendidikan dan pelatihan bidang surveilans epidemiologi.

170
171

3. Wilayah yang dilakukan penilaian risiko bencana meliputi Provinsi Jawa


Timur, Bali, NTB dan NTT. Risiko yang dapat mengancam masyarakat di 4
daerah tersebut diantaranya: bencana gunung meletus yang disebabkan oleh
Gunung Kelud, Gunung Raung, Gunung Bromo yang berada di Jawa Timur,
serta Gunung Rokatenda di Nusa Tenggara Timur dan Gunung Barujari di
Provinsi Nusa Tenggara Barat. Risiko bencana lain yang dapat timbul adalah
banjir, tanah longsor. Dalam penilaian risiko juga dilakukan penilaian bahaya,
kerentanan, kemampuan dan alokasi sumberdaya saat bencana. Penilaian
risiko bencana juga dilakukan pada kejadian luar biasa (KLB) penyakit,
seperti keracunan makanan, DBD, leptospirosis.
4. Beberapa wilayah di Jawa Timur merupakan daerah aliran sungai (DAS)
yang rentan terjadi bencana banjir yang dapat menimbulkan kerugian material
maupun fisik bagi masyarakat. Berdasarkan hasil analisis kemungkinan
dampak bencana banjir, Jawa Timur tergolong provinsi dengan indeks risiko
sedang. Rencana kontigensi untuk bencana banjir di Jawa Timur meliputi
skenario tindakan mulai pra bencana, saat bencana hingga pasca bencana.
Pelaksanaan rencana kontingensi melibatkan peran serta pemerintah, sektor
terkait meliputi sektor kesehatan, sektor sosial, pekerjaan umum, sektor
perhubungan, sektor energi dan sumber daya mineral, sektor tenaga kerja dan
transmigrasi, TNI dan POLRI serta masyarakat.
5. Menurut peta rawan bencana BNPB, dua belas kabupaten di Jawa Timur
merupakan kabupaten/kota yang memiliki risiko tinggi terkena bencana tanah
longsor. Dua belas kabupaten tersebut antara lain: Pacitan, Ponorogo,
Trenggalek, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Probolinggo, Bondowoso,
Madiun, Mojokerto dan Blitar. Rencana kontigensi untuk bencana tanah
longsor di Jawa Timur meliputi skenario tindakan mulai pra bencana, saat
bencana hingga pasca bencana. Pelaksanaan rencana kontingensi melibatkan
peran serta pemerintah, sektor terkait meliputi sektor kesehatan, sektor sosial,
pekerjaan umum, sektor perhubungan, sektor energi dan sumber daya
mineral, sektor tenaga kerja dan transmigrasi, TNI dan POLRI serta
masyarakat.
172

6. Bencana kekeringan ditandai ketika suatu daerah tidak hujan selama lebih
dari 60 hari berturut-turut sehingga berpotensi mengalami kekeringan
ekstrim. Berdasarkan peta titik kebakaran LAPAN, Provinsi Jawa Timur
merupakan provinsi yang paling berisiko terhadap ancaman kekeringan dan
kebakaran dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa. Kekeringan
dapat menimbulkan berbagai dampak kesehatan, antara lain penyakit diare
karena kekurangan air bersih, penyakit ISPA, penyakit kulit serta keracunan
makanan. Rencana kontigensi untuk bencana kekeringan di Jawa Timur
meliputi skenario tindakan mulai pra bencana, saat bencana hingga pasca
bencana. Pelaksanaan rencana kontingensi melibatkan peran serta pemerintah,
sektor terkait meliputi sektor kesehatan, sektor sosial, pekerjaan umum,
sektor perhubungan, sektor energi dan sumber daya mineral, sektor tenaga
kerja dan transmigrasi, TNI dan POLRI serta masyarakat.
7. Kejadian keracunan makanan di Jawa Timur tergolong tinggi, pada tahun
2012 tercatat terdapat 1.106 kasus dengan 3 korban meninggal. Berdasarkan
perhitungan dengan menggunakan rumus DALY (Disability-Adjusted Life
Year) keracunan makanan merupakan beban yang cukup tinggi bagi suatu
negara, menurut WHO pada tahun 2015, diperkirakan dari 600 juta penduduk,
10 orang di dunia mengalami keracunan makanan. Risiko keracunan makanan
ditimbulkan oleh proses memasak yang tidak benar, penyimpanan makanan
yang kurang optimal, kontaminasi oleh vektor dan penjamah makanan, serta
kontaminasi silang. Berdasarkan perhitungan potensi ancaman bahaya kasus
keracunan makanan di Jawa Timur menunjukkan bahwa potensi bahaya yang
ditimbulkan oleh keracunan makanan tergolong sedang. Rencana kontigensi
untuk KLB keracunan makanan di Jawa Timur meliputi skenario tindakan
mulai pra KLB, saat KLB hingga pasca KLB. Pelaksanaan rencana
kontingensi melibatkan peran serta pemerintah, sektor terkait serta
masyarakat.
8. Demam berdarah masih menjadi masalah yang dihadapi Provinsi Jawa Timur
setiap tahun. Case Fatality Rate (CFR) DBD di Jawa Timur pada 2014
adalah 1,15% dengan jumlah kasus 9.273 kasus. Berdasarkan matriks potensi
ancaman bahaya, KLB DBD di Provinsi Jawa Timur adalah tergolong
173

sedang. Rencana kontigensi untuk KLB DBD di Jawa Timur meliputi


skenario tindakan mulai pra KLB, saat KLB hingga pasca KLB. Pelaksanaan
rencana kontingensi melibatkan peran serta pemerintah, sektor terkait serta
masyarakat.
9. Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri leptospira
yang ditularkan dari hewan ke manusia. Hewan yang dapat menularkan
penyakit leptospirosis adalah tikus, yaitu melalui kontak antara manusia
dengan urin atau jaringan hewan yang terinfeksi bakteri leptospira. Bencana
banjir merupakan salah satu faktor risiko yang dapat meningkatkan
penyebaran penyakir leptospirosis, karena urin hewan terinfeksi dapat
terbawa oleh air banjir. Beberapa wilayah di Jawa Timur yang pernah
mengalami KLB leptospirosis adalah Malang, Gresik, Tulungagung,
Sampang, dan Ponorogo. Rencana kontigensi untuk KLB Leptospirosis di
Jawa Timur meliputi skenario tindakan mulai pra KLB, saat KLB hingga
pasca KLB. Pelaksanaan rencana kontingensi melibatkan peran serta
pemerintah, sektor terkait serta masyarakat.
10. Nongkojajar adalah salah satu daerah yang berada di Kabupaten Pasuruan,
Jawa Timur yang merupakan wilayah endemis pes. Status sebagai wilayah
endemis pes ini diperoleh karena tercatat adanya kejadian wabah pes di
wilayah Nongkojajar. Wabah pes di Nongkojajar terjadi pada akhir tahun
1986 di Dusun Surorowo, Desa Kayukebek, Kecamatan Tutur. Kejadian
wabah tersebut menewaskan 21 orang. Penyelenggaraan program
pengendalian penyakit pes dilakukan secara terintegrasi oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten Pasuruan, Dinas Kesehatan Jawa Timur, BBLK Surabaya dan
BBTKLPP Surabaya. Untuk memaksimalkan kegiatan surveilans pes di
wilayah Nongkojajar, maka didirikan Laboratorium Pes dan Zoonosis
Nongkojajar didirikan pada tahun 2014.

4.2 Saran
1. Dilakukan sosialisasi lebih lanjut mengenai pentingnya pengujian kualitas
lingkungan rumah sakit baik fisika, kimia, maupun biologi terutama di
daerah yang jauh dari pusat kota;
174

2. Dilakukan sosialisasi kepada pihak rumah sakit yang beberapa sampel


pengujiannya tidak memenuhi syarat baik fisik, kimia, maupun biologi
untuk memperbaiki kualitasnya.
3. Pendisiplinan dalam penggunaan APD (Alat Pelindung Diri) dalam semua
jenis kegiatan yang memiliki risiko bahaya, baik fisik, kimia maupun
biologis.
4. Penyeragaman format penulisan arsip hasil uji laboratorium yang diuji di
BBTKLPP Surabaya untuk memudahkan analisis data lebih mendalam.
175

Lampiran
Dokumentasi Kegiatan

Kegiatan Jejaring di Hotel Sun City Sidoarjo

Presentasi Rencana Kontijensi Bencana dan KLB di Jawa Timur


176

Laboratorium Zoonosis Nongkojajar Orientasi awal di Lab Zoonosis


Nongkojajar

Orientasi awal di Lab Zoonosis Mempelajari berbagai jenis tikus di


Nongkojajar Lab Zoonosis Nongkojajar

Pengambilan tikus hasil penagkapan Pemindahan tikus


di rumah-rumah warga

Penyisiran pinjal tikus


Pengambilan sampel darah tikus
177

Identifikasi tikus Tikus yang sudah diambil darah,


disisir dan di identifkasi

Pemisahan serum darah tikus Uji Serologi

Pencampuran bahan insektisida


untuk Dusting Persiapan Dusting

Pengisian Duslon dengan pestisida Pengambilan tikus hasil penagkapan


di rumah warga
178

Pemeriksaan dan pengambilan darah Suspect

Foto Bersama Petugas dan Karyawan lab Zoonosis Nongkojajar


179

Lampiran
Lembar Catatan Kegiatan dan Absensi Magang
180

Lampiran
SURAT PERMOHONAN IZIN MAGANG

Anda mungkin juga menyukai