PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Magang adalah kegiatan mahasiswa yang dilaksanakan di luar kampus guna
mendapatkan pengalaman kerja praktis yang sesuai dengan bidang peminatan
mahasiswa serta diharapkan dapat menerapkan teori yang telah didapatkan di
lingkungan kampus dalam lingkungan kerja melalui observasi dan partisipasi. Kegiatan
mahasiswa magang dilaksanakan sesuai formasi struktural dan fungsional pada instansi
tempat magang baik lembaga pemerintah, swasta, maupun lembaga swadaya
masyarakat/lembaga non pemerintah (FKM UNAIR, 2014).
Kesehatan lingkungan merupakan ilmu yang mempelajari tentang adanya hubungan
timbal bailk antara faktor kesehatan dan lingkungan, kesehatan yang dimaksud memiliki
arti yang luas yang menyangkut semua segi kehidupan yang lingkup jangkauannya
cukup luas. Salah satu parameter dalam menentukan status kesehatan suatu daerah yaitu
dengan melihat angka kesakitan yang menunjukkan ratio penyakit di masyarakat
(Mukono, 2006).
Kegiatan magang dilaksanakan di instansi sesuai dengan peminatan di Fakultas
Kesehatan Masyarakat. Salah satu instansi yang dipilih oleh mahasiswa peminatan
kesehatan lingkungan yaitu BBTKLPP Surabaya.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
2349/MENKES/PER/XI/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis
(UPT) di Bidang Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit merupakan
Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Kementrian Kesehatan di bawah dan bertanggung
jawab kepada Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
yang memiliki tugas untuk melaksanakan surveilans epidemiologi, kajian, dan
penapisan teknologi, laboratorium rujukan, uji kendali mutu, kalibrasi, pendidikan dan
pelatihan, pengembangan model dan teknologi tepat guna, kewaspadaan dini dan
penganggulangan KLB di bidang pengendalian penyakit dan kesehatan lingkungan.
Berdasarkan peminatan mahasiswa magang yaitu kesehatan lingkungan Fakultas
Kesehatan masyarakat, oleh karena itu memilih bidang Analisis Dampak Kesehatan
Lingkungan (ADKL) dan Surveilans Epidemiologi (SE). Hal ini disebabkan karena
program yang dilaksanakan oleh bidang ADKL serta kajian yang dilakukan sesuai
1
2
dengan peminatan kesehatan lingkungan seperti melakukan kajian ARKL, kajian badan
air dengan metode storet, serta analisis higiene sanitasi makanan, sedangkan mahasiswa
juga memilih bidang SE dikarenakan adanya program surveilans bencana dan KLB
serta kewaspadaan dini yang dilakukan tidak dapat dipisahkan dengan faktor
lingkungan.
Pada bidang ADKL kami melakukan analisis terhadap hasil pengujian kualitas
lingkungan yang ada di rumah sakit di Jawa Timur pada tahun 2015. Kualitas
lingkungan yang dimaksud yaitu meliputi kualitas biologi air, makanan, dan udara,
kimia air dan udara, serta fisik udara di rumah sakit. Begitupula di bidang SE kami juga
melakukan beberapa analisis menggunakan data hasil laporan terjadinya bencana dan
KLB pada tahun 2015 dan 2014 yaitu tentang analisis faktor risiko bencana dan KLB di
Jawa Timur, Bali, NTT, dan NTB, serta risiko penyakit PES di Nongkojajar.
1.2 Tujuan Magang
1.2.1 Tujuan umum
Mempelajari gambaran umum Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian penyakit (BBTKLPP) Suarabaya, mampu beradaptasi, memperoleh
pengalaman dan keterampilan, penyesuaian sikap, dan pengetahuan di dunia kerja
dalam rangka memperkaya pengetahuan di bidang Kesehatan Lingkungan, serta melatih
kemampuan bekerja sama dengan orang lain dalam satu tim sehingga diperoleh manfaat
bersama, baik di kampus maupun di BBTKLPP Surabaya.
1.2.2 Tujuan khusus
Tujuan dari pelaksanaan Magang di BBTKLPP adalah sebagai berikut:
1. Untuk mempelajari gambaran umum bidang ADKL, tugas pokok bidang ADKL,
fungsi bidang ADKL
2. Untuk mempelajari kegiatan bidang ADKL(uji kualitas lingkungan Rumah Sakit di
Jawa Timur)
3. Untuk mempelajari gambaran umum bidang SE, tugas pokok bidang SE, fungsi
bidang SE dan kegiatan bidang SE
4. Untuk mempelajari rencana kontingensi bencana gunung meletusdi Jawa Timur,
Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat
5. Untuk mempelajari rencana kontingensi bencana banjirdi Jawa Timur
6. Untuk mempelajari rencana kontingensi bencana tanah longsordi Jawa Timur
3
2.2 Waktu
Tabel 2.1 Jadwal Kegiatan Magang Mahasiswa FKM UNAIR di BBTKL dan PP
Surabaya
Tahun 2015 Tahun 2016
M
a
No Kegiatan November Desember Januari Februari r
e
t
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1
1. Penyusunan
Proposal
2. Pengurusan Izin ke
Instansi
3. Persiapan dan
Pembekalan
Magang
4. Pelaksanaan
Magang I
Z
1. Orientasi
I
BBTKL
N
2. Pelaksanaan
Kegiatan Lapangan
5. Penyusunan
Laporan Magang
6. Seminar Magang
4
5
6
7
3.1.4 Kegiatan bidang ADKL: Uji kualitas udara ruang RS Jawa Timur
1. Jumlah rumah sakit yang melakukan uji kualitas fisik, kimia dan biologi di
BBTKL PP Surabaya
Ga 42
m
b
ar
10 9
3 3 3 3 2 3 3 3 2 2 4
1 2 2 1 2 1 1 2 1 2 1 1 2 2 2 2
jon ar
om k
Ka ediri
Mo ng
n
Kab diun
jo
Ko ang
Ka Gresi
Pro ruan
Tu baya
Kab erto
Kab acita
t
Kab oro
Kab gi
g
Kab inggo
Bli
Ko idoar
Kab Mala
un
an
b
K
a
eg
jok
Ko Pasu
Kab Sura
bM
gag
uw
P
ta
l
S
bo
bJ
ny
lun
Bo
ta
Ba
Kab
Kab
ta
3.1 Distribusi Rumah Sakit yang Melakukan Pengujian Sampel di BTKLPP Surabaya
Tahun 2015
Berdasarkan grafik di atas, selama tahun 2015 terdapat total 117 rumah
sakit yang tersebar di 30 kabupaten/kota di Jawa Timur yang melakukan
pengujian sampel di BTKLPP Surabaya. Tiga kabupaten/kota memiliki jumlah
rumah sakit terbanyak yang melakukan pengujian sampel di BTKLPP Surabaya
yaitu Kota Surabaya (35,9%), Kabupaten Malang (8,5%) dan Kabupaten
Sidoarjo (7,7%).
8
13% 14%
Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat
Tidak Dapat Disimpulkan
73%
41% 38%
29%
21%
15%
10% 7%
0% 3% 1%
AB
UR
AM
RS
b
ai
en
g
an
an
in
wa
nt
AL
Lin
ak
um
nd
La
lS
Di
ab
in
cta
ab
at
-M
Sw
ab
Sw
Re
Al
an
Sw
ab
an
MS TMS
Sw
ak
M
Gambar 3.3 Data sampel Rumah Sakit yang diujikan di Laboratorium Biologi
MS TMS
3% 6%
1% 0% 0%
Operasi Perawatan Isolasi UGD Tidak Dapat disimpulkan
Gambar 3.4 Data Sampel Swab Lantai RumahSakit di Laboratorium Biologi
Jumlah sampel swab lantai ruangan rumah sakit yang diuji pada
BBTKL PP Surabaya pada tahun 2015 sebanyak 443 sampel yang terbagi
menjadi 4 ruangan diantaranya ruang operasi 158 sampel, ruang perawatan
212 sampel, UGD 18 sampel, sedangkan ruang isolasi 13 sampel dan tidak
dapat disimpulkan 42 sampel. Menurut Kepmenkes Nomor : 1204/
Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit
terbagi menjadi 4 klasifikasi ruangan yaitu swab lantai ruang operasi dan
ruang isolasi dengan konsentrasi batas maksimal mikroorganisme 0-5
CFU/cm3, sedangkan untuk swab lantai ruang perawatan dan ruang UGD
11
MS TMS
8%
4%
1% 0% 0%
Operasi Perawatan Isolasi UGD Tidak Dapat Disimpulkan
Gambar 3.5 Data Sampel Swab Dinding Rumah Sakit Di Laboratorium Biologi
Jumlah sampel yang diujikan pada laboratoritum Biologi BBTKL
Surabaya sebanyak 184 sampel dengan masing-masing jumlah sampel ruang
operasi 73 sampel, perawatan 78 sampel, isolasi 13, UGD 8 dan tidak dapat
12
100.0%
100.0%
78.2% 85.6%
83.3% 92.3% 100.0%
61.1% 63.3%
78.3%
54.2%
60.9%
38.9% 45.8% 52.4%
36.7%
47.6% 52.4%
21.8% 47.6%
39.1%
14.4% 16.7%
0.0% 21.7%
0.0% 7.7%
OK
U
IC
yi
0.0%
Ba
ay
ur
an
ib
si
n
at
i
ra
giz
ta
at
as
at
i
wa
ist
aw
as
v
re
r/
ur
m
er
n
ilis
in
pu
p
ra
r iu
er
ar
ali
is
s
i
an
Ob
og
Pe
er
td
/p
ed
Da
rs
to
Ad
St
t
ol
Be
an
m
wa
wa
ra
di
ih
bo
an
Ga
ra
Ra
ul
ra
La
Pe
de
Pe
in
MS TMS
ng
Pe
Gambar 3.6 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang di Rumah Sakit di
Jawa Timur Tahun 2015
Pengujian angka kuman (CFU/m3) udara ruang dari 540 titik di RS di
Jawa Timur dikelompokkan berdasarkan fungsi ruang atau unit yang
tercantum dalam KEPMENKES RI No. 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang
13
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Ruang yang diuji antara lain
ruang OK, ICU, perawatan bayi, Observasi Bayi, Perawatan Bayi Prematur,
Perawatan/pemulihan, Administrasi, Dapur/gizi, UGD, Sterilisasi,
Laboratorium, Bersalin, Penginderaan medis dan Radiologi.
1) Angka Kuman Udara Ruang OK
21.80%
Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat
78.20%
Gambar 3.7 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang OK di Rumah Sakit
Tahun 2015
Batas maksimum indeks angka kuman udara ruang OK adalah 10
CFU/m3. Hasil dari pengujian angka kuman di udara ruang OK 179 titik
menunjukkan 39 titik (21,8%) memenuhi syarat, dan 140 titik (78,2%)
tidak memenuhi syarat.
2) Angka Kuman Udara Ruang ICU
Memenuhi Syarat
38.90%
Tidak Memenuhi Syarat
61.10%
Gambar 3.8 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang ICU di Rumah Sakit
Tahun 2015
Batas maksimum indeks angka kuman udara ruang ICU adalah
200 CFU/m3. Hasil dari pengujian angka kuman di 72 titik ruang ICU
menunjukkan 44 titik (61,1%) memenuhi syarat, dan 28 titik (38,9%)
tidak memenuhi syarat.
14
63.30%
Gambar 3.9 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang Perawatan Bayi di
Rumah Sakit Tahun 2015
Batas maksimum indeks angka kuman udara ruang perawatan
bayi adalah 200 CFU/m3. Hasil dari pengujian angka kuman di 30 titik
menunjukkan 19 titik (63,3%) memenuhi syarat, dan 11 titik (36,7%)
tidak memenuhi syarat.
4) Angka Kuman Udara Ruang Observasi Bayi
Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat
Gambar 3.10 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang Observasi Bayi di
Rumah Sakit Tahun 2015
Batas maksimum indeks angka kuman udara ruang observasi bayi
adalah 200 CFU/m3. Hasil dari pengujian angka kuman di 1 titik
menunjukkan 1 titik (100%) memenuhi syarat.
5) Angka Kuman Udara Ruang Perawatan Bayi Prematur
15
Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat
45.80%
54.20%
Gambar 3.11 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang Perawatan Bayi
Prematur di Rumah Sakit Tahun 2015
Batas maksimum indeks angka kuman udara ruang perawatan
bayi prematur adalah 200 CFU/m3. Hasil dari pengujian angka kuman di
24 titik menunjukkan 13 titik (54,2%) memenuhi syarat, dan 11 titik
(45,8%) tidak memenuhi syarat.
6) Angka Kuman Udara Ruang Perawatan/Pemulihan
14.40%
Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat
85.60%
16.70%
Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat
83.30%
Gambar 3.13 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang Administrasi di Rumah
Sakit Tahun 2015
Batas maksimum indeks angka kuman udara ruang administrasi
adalah 500 CFU/m3. Hasil dari pengujian angka kuman di 6 titik
menunjukkan 5 titik (83,3%) memenuhi syarat, dan 1 titik (16,7%) tidak
memenuhi syarat.
8) Angka Kuman Udara Ruang Dapur/Gizi
Angka Kuman Udara Ruang Dapur/Gizi
Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat
100%
Gambar 3.14 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang Dapur/Gizi di Rumah
Sakit Tahun 2015
Batas maksimum indeks angka kuman udara ruang dapur/gizi
adalah 500 CFU/m3. Hasil dari pengujian angka kuman di 16 titik
menunjukkan semua titik memenuhi syarat.
9) Angka Kuman Udara Ruang Gawat Darurat
Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat
47.60%
52.40%
Gambar 3.15 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang Gawat Darurat di
Rumah Sakit Tahun 2015
17
Memenuhi Syarat
39.10% Tidak Memenuhi Syarat
60.90%
7.70%
Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat
92.30%
Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat
47.60%
52.40%
Gambar 3.18 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang Bersalin di Rumah Sakit
Tahun 2015
Batas maksimum indeks angka kuman udara ruang bersalin
adalah 200 CFU/m3. Hasil dari pengujian angka kuman di 21 titik
menunjukkan 11 titik (52,4%) memenuhi syarat, dan 10 titik (47,6%)
tidak memenuhi syarat.
13) Angka Kuman Udara Ruang Penginderaan Medis
78.30%
Gambar 3.19 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang Penginderaan Medis di
Rumah Sakit Tahun 2015
Batas maksimum indeks angka kuman udara ruang penginderaan
medis adalah 200 CFU/m3. Hasil dari pengujian angka kuman di 23 titik
menunjukkan 18 titik (78,3%) memenuhi syarat, dan 5 titik (21,7%)
tidak memenuhi syarat.
19
Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat
Gambar 3.20 Hasil Pengujian Angka Kuman Udara Ruang Radiologi di Rumah
Sakit Tahun 2015
Batas maksimum indeks angka kuman udara ruang radiologi
adalah 200 CFU/m3. Hasil dari pengujian angka kuman di udara ruang
radiologi 1 titik (100%) menunjukkan memenuhi syarat
4. Kualitas Kimia Air Bersih Rumah Sakit
18%
MS TMS
bersih yang tidak memenuhi syarat baku mutu air bersih sebanyak 18% dari
jumlah sampel 497 tersebut.
5. Kualitas Kimia Air Minum Rumah Sakit
9%
MS TMS
91%
∑sampel 106
Gambar 3.22 Kualitas Kimia Air Minum di Rumah sakit
Berdasarkan diagram diatas dapat disimpulkan bahwa kualitas kimia
sampel air minum yang diujikan di BBTKLPP Surabaya persentase yang
memenuhi syarat baku mutu air minum yang tercantum dalam Peraturan
Menteri Kesehatan No. 492 Tahun 2010 sebanyak 91% dari seluruh sampel air
minum sedangkan sampel air minum yang tidak memenuhi syarat baku mutu
air minum sebanyak 9% dari jumlah sampel 106
6. Kualitas Fisik Udara Ruang Rumah Sakit
a. Suhu Ruang
100%
10%
1%
6%
94%35%
65%88%
12%64%
36%8%
92%42%
58%67%
33%27%
73%53%
47%100%100%93%
7% 8%92%75%
25%7%
93%4%
96%
in
Ne ry
CS . A igi
Au . O tus
Pe R. Jena i
R. rium
R. ,ICC Gizi
R. GD, i
n
UG adi n
ra U
n
R. Dap sasi
ra is
s
Be D
ra iha
R a
ali
ps ra
ng Pe za
bo IC
SD dm
D, olo
Pe ed
R. und
iG
VK IR
R. wat
a
to pe
La U,P
rs
R. erili
on
R. M
U ur
de mul
to
ol
La
P
an
St
R
I
i
R.
R
IC
in
R.
R.
R.
Gambar 3.23 Grafik Pengujian Fisik suhu udara ruang di Rumah sakit
Dari pengujian parameter suhu di beberapa ruang di rumah sakit yang
dilakukan oleh BBTKL PP Surabaya menurut KEPMENKES RI No.
1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit, didapatkan hasil sebagai berikut. Sebanyak 94,1% suhu di ruang
21
poli gigi tidak memenuhi syarat dan hanya sekitar 6% yang memenuhi syarat,
65% suhu di ruang Administrasi tidak memenuhi syarat dan hanyasekitar 35%
suhu ruang administrasi yang memenuhi syarat, sebanyak 88% ruang CSSD
Sterilisasi sudah memenuhi syarat dan 12% tidak memenuhi syarat, suhu di
ruang dapur sebanyak 64% memenuhi syarat dan 36% tidak memenuhi syarat,
suhu di ruang ICU, ICCU,PICU sebanyak 8% memenuhi syarat dan 92% tidak
memenuhi syarat, suhu di ruang Laboratorium 42% memenuhi syarat dan
58%tidak memenuhi syarat, suhu di ruang laundry sebanyak 67% memenuhi
syarat dan 33% tidak memenuhi syarat, suhu di ruang neonatus sebanyak 27%
memenuhi syarat dan 73% tidak memenuhi syarat, suhu di ruang operasi
sebanyak 53% memenuhi syarat dan 47% tidak memenuhi syarat, suhu di
ruang aoutopsi jenazah 100% tidak memenuhi syarat kualitas udara, suhu di
ruang pemulihan juga 100% tidak memenuhi syarat, suhu di ruang medis
penginderaan sebanyak 7% memenuhi syarat dan 93% tidak memenuhi syarat,
suhu di ruang perawatan sebanyak 8 % memenuhi syarat dan 92% tidak
memenuhi syarat, suhu di ruang radiologi 75% memenuhi syarat dan 25%
tidak memenuhi syarat, di ruang UGD, IGD, IRD sebanyak 7% memenuhi
syarat suhu sedangkan 93% tidak memenuhi syarat, di ruang VK Bersalin
sebanyak 4% saja suhu yang memenuhi syarat dan 96% tidak memenuhi
syarat.
b. Kelembapan Ruang
90%
82%
80% 78%
10%
is
ed
si
lin
n n
an
zi
sa
0%
G gi
IC
ry
St igi
R
si
u
aa a
u
,IC Gi
D olo
,I
sa
ili
ri
ra
,P
at
er ih
at
d
G
to
D
er
aw
r
d ul
e
er
n
SS oli
i
au
p
C
ra
eo
. U ad
gi em
B
ap
,I
.O
er
.C P
.L
o
.N
K
R .R
D
.D
ab
en P
.P
R R.
.V
R
R
G
n
R
R
C
.
R
.L
.P R
R
.I
R
R
c. Pencahayaan Ruang
23
100% 93%
90% 88%
82% 80%
80% 73%
72% 70%
70%65% 65% 67%
50%
60% 50% 56% 57% 57%
50% 50% 51%
49%
50% 44% 43% 43%
40% 35% 35% 33%
28% 27% 30%
30%
18% 20%
20%
12%
10% 7%
0%
is
IC pu si
in em ah
r a ICU
St um
in
Be D
an an
ed
UG ad n
U i
O . O us
R. GD gi
o y
CS in igi
Pe R i jen si
R. ,ICC Giz
R. Da lisa
R. R. R ata
riu
VK , IR
Ne r
az
al
,I o
a
R. R nat
M
d
ra lih
R. dm li G
SD um
bo ,P
D iol
ps er
rs
R. un
R. eri
to
r
w
de u
to p
A o
ra
La
R. R. P
Pe
R.
ng . P
U
La
R.
Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat
R.
Gambar 3.25 Grafik Pengujian Fisik kelembapan udara ruang di Rumah
sakit
Dari pengujian parameter pencahayaan di beberapa ruang di rumah
sakit yang dilakukan oleh BBTKL PP Surabaya KEPMENKES RI No.
1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit, didapatkan hasil sebagai berikut. Sebanyak 65% suhu di ruang
poli gigi memenuhi syarat dan sekitar 35% yang tidak memenuhi syarat, 72%
pencahayaan di ruang Administrasi memenuhi syarat dan sekitar 28%
pencahayaan ruang administrasi yang tidak memenuhi syarat, sebanyak 12%
ruang CSSD Sterilisasi sudah memenuhi syarat dan 88% nya tidak memenuhi
syarat, pencahayaan di ruang dapur sebanyak 27% memenuhi syarat dan73%
tidak memenuhi syarat, pencahayaan di ruang ICU, ICCU,PICU sebanyak
65% memenuhi syarat dan 35% yang tidak memenuhi syarat, pencahayaan di
ruang Laboratorium 82% memenuhi syarat dan 18%tidak memenuhi syarat,
pencahayaan di ruang laundry sebanyak 67% memenuhi syarat dan 33% tidak
memenuhi syarat, suhu di ruang neonatus sebanyak 93% sudah memenuhi
syarat dan hanya sekitar 7% yang tidak memenuhi syarat, pencahayaandi
ruang operasi sebanyak 70% memenuhi syarat dan 30% tidak memenuhi
syarat, pencahayaan di ruang aoutopsi jenazah 50% memenuhi syarat dan 50%
lagi tidak memenuhi, pencahayaandi ruang pemulihan sebanyak 20%
memenuhi dan 80% pencahayaan tidak memenuhi syarat, pencahayaan di
ruang medis penginderaan sebanyak 44% memenuhi syarat dan 56% tidak
memenuhi syarat, spencahayaan di ruang perawatan sebanyak 43% memenuhi
syarat dan 57% tidak memenuhi syarat, pengamatandi ruang radiologi 50%
24
memenuhi syarat dan 50% tidak memenuhi syarat, di ruang UGD, IGD, IRD
sebanyak 43% memenuhi syarat pencahayaan 57% tidak memenuhi,
sedangkan di ruang VK Bersalin sebanyak 49% saja pencahayaan yang
memenuhi syarat dan 95% tidak memenuhi syarat.
Dari beberapa hasil tersebut dapat dilihat bahwa hasil tertinggi ruang
yang memenuhi syarat pencahayaan adalah ruang neonatus sebanyak 93%
yang memenuhi syarat, disusul ruang laboratorium sebanyak 82% dan ruang
administrasi umum sebanyak 72% yang memenubhi syarat. Sedangkan ruang
paling tinggi tidak memenuhi syarat pencahayaan adalah ruang CSSD
sterilisasi sebanyak 88% tidak memenuhi syarat, dilanjutkanruang pemulihan
sebanyak 80% dan ruang dapur gizi sebanyak 73% yang tidak memenuhi
syarat.
d. Kebisingan Ruang
120%
40% 33%
23%
20% 18%
13% 14%
5%
0% 0% 0% 0% 0% 0%0% 0% 0%
0%
CS n u i
R. jena i
Ne ry
O t Op s
R. GD, i
R. ,ICC Gizi
ra n
UG adi n
St u m
n
ra U
R. rium
m h
R. Dap sasi
R. dmi i Gig
as
Be D
R. R. atu
Pe h a
R a
ali
Pe za
D, olo
bo PIC
R. und
VK IR
R. wat
op er
SD m
rs
R. uli
R. erili
on
U ur
ol
La U,
to
La
R. R. P
I
si
IC
A
Gambar 3.26 Grafik Pengujian Fisik kelembapan udara ruang di Rumah sakit
Dari pengujian parameter kebisingan di beberapa ruang di rumah sakit
yang dilakukan oleh BBTKL PP Surabaya KEPMENKES RI No.
1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit, didapatkan hasil sebagai berikut: terdapat delapan ruangan yang
telah dilakukan pengujian hasilnya 100% telah memenuhi syarat kebisingan,
yakni ruang poli gigi, ruang administrasi umum, ruang CSSD sterilisasi, ruang
dapur gizi, ruang laundry, ruang otopsi jenazah dan ruang UGD, IGD, IRD.
Sedangkan terdapat dua ruang yang 100% tidak memenuhi syarat kebisingan
25
yakni ruang pemulihan dan ruang radiologi, sedangkan ruangan lain seperti
ruang ICU, ICCU, PICU sebanyak 13% memenuhi syrat kebisingan dan 87%
nya tidak memenuhi syarat, ruang laboratorium sebanayk 5% memenuhi syarat
kebisingan dan 95% nya tidak memenuhi, ruang neonatus sebanyak 18%
memenuhi syarat kebisingan dan 82% tidak memenuhi syarat, ruang operasi
hanya 23% yang memenuhi syarat kebisingan dan 77% tidak memenuhi
syarat, , ruang perawatan 14% memenuhi syarat dan 86% tidak memenuhi
syarat, ruang VK bersalin sebanyak 33% memenuhi syarat dan 67% tidak
memenuhi syarat kebisingan.
Berdasarkan pemetaan indeks risiko yang dilakukan oleh BNPB tahun 2010
menunjukkan bahwa 15 kabupaten berisiko tinggi terkena dampak erupsi gunung berapi
yang ditandai warna merah pada peta meliputi: Kab Mojokerto, Kab Pasuruan, Kab.
Probolinggo, Kab. Bondowoso, Kab. Banyuwangi, Kab. Jember, Kab. Lumajang, Kab.
Malang, Kab. Blitar, Kab. Kediri, Kab. Ponorogo, Kab. Madiun, Kab Nganjuk dan Kab.
Magetan, 3 kabupaten berisiko sedang dan 13 kabupaten berisiko rendah.
27
Tabel 3.1 Data Riwayat Letusan Gunung Kelud yang Tercatat dan Dampak yang
Ditimbulkan
Tahun Dampak
1586 Mengakibatkan 10.000 korban jiwa
1864 Tidak diketahui secara pasti
Banjir bandang akibat runtuhnya dinding kawah ke dalam
1875 danau kawah. Tumpahan kawah mengalir sejauh 37,5 km ke
daerah lereng dan menyapu 3 desa dari 34 desa.
Menumpahkan 38 juta m3 air danau kawah dan material
22-23 Mei
vulkanik yang menimbulkan korban jiwa. Jumlah korban
1901
tidak diketaui secara pasti.
Tercatat sebagai erupsi yang cukup besar di abad ke 20 yang
1919 mengakibatkan 5.190 korban jiwa, 9.000 rumah hancur,
5.050 Ha kebun hancur
Merupakan erupsi yang terjadi setelah dibangunnya
terowongan pada 1920 untuk mengurangi volume air kawah.
1951
Menimbulkan 7 korban jiwa, 157 penduduk luka-luka, 320
Ha kebun kopi rusak parah.
1966 Menimbulkan 210 korban jiwa akibat tersapu lahar.
Menimbulkan 32 korban jiwa, 500 rumah rusak parah, 50
1990
sekolah rusak.
Tidak menimbulkan erupsi eksplosif dan menghasilkan
2007
kubah lava yang membuat air kawah habis.
Erupsi dengan luncuran awan panas sejauh 6 km dengan
2014
korban jiwa 17 orang
29
a. Penilaian bahaya
Gambar 3.28 Peta Daerah Penilaian Bahaya Gunung Kelud (Sumber: BNPB, 2014)
Berdasarkan riwayat erupsi Gunung Kelud di masa lalu, maka dapat
diidentifikasi bahaya primer dan sekunder dari erupsi Gunung Kelud berdasarkan
klasifikasi kawasan rawan bencana menurut PVBMG.
Tabel 3.2 Identifikasi Bahaya Erupsi Gunung Kelud
Kawasan Rawan Kawasan Rawan Kawasan Rawan
Bencana I Bencana II Bencana III
Bahaya
(radius 10 km dari (radius 5 km dari (radius 2 km dari
pusat erupsi) pusat erupsi) pusat erupsi
Primer Hujan lahar Awan panas, aliran Awan panas, gas
lava pijar, aliran beracun, aliran lava
lahar, potensi hujan pijar, lahar letusan,
lahar dan abu lebat. lontaran batu pijar
dan hujan abu lebat
Sekunder Aliran lahar dingin Aliran lahar dingin Aliran lahar dingin
Sumber: Badan Informasi Geospasial
30
b. Kerentanan
1) Kerentanan fisik
Merupakan kerentanan yang menggambarkan perkiraan ringkat
kerusakan terhadap infrastruktur apabila terdapat faktor bahaya tertentu
meliputi:
a) Kepadatan bangunan
Dua kabupaten terdekat dengan lereng Kelud yaitu Kabupaten Kediri dan
Kabupaten Blitar. Kabupaten Blitar terdiri dari 6 kecamatan dengan
jumlah total 396.701 jiwa, sedangkan di Kabupaten Kediri terdapat 3
kecamatan yang terdiri dari 19 desa dan 34 dusun dengan jumlah
penduduk 31.001 jiwa. Dengan jumlah penduduk yang padat, maka
kawasan rawan bencana di lereng Kelud tergolong padat bangunan
b) Lahan pertanian
Sebagian besar areal lereng Kelud yang merupakan kawasan rawan
bencana merupakan lahan pertanian. Menurut data Badan Pusat Statistik
Kabupaten Kediri (2015), lahan pertanian di Kabupaten Kediri terdiri dari
ladang dengan luas 25.883 hektar, perkebunan dengan luas 8.533 hektar,
dan lahan persawahan seluas 45.509 hektar. Sedangkan luas hutan di
Kabupaten Kediri adalah 22.095,5 hektar yang meliputi kawasan hutan
lindung, hutan produksi dan hutan suaka alam.
Kabupaten Blitar memiliki luas total 158.879 hektar. Pada sektor
pertanian 19,95% merupakan lahan persawahan, 80,05% merupakan lahan
bukan sawah yang meliputi perkebunan, ladang, dan hutan rakyat.
c) Jaringan listrik
Jumlah pelanggan listrik di Kabupaten Kediri adalah sejumlah 246.031
pelanggan (BPS Kab Kediri, 2015). Erupsi Gunung Kelud dapat merusak
pembangkit yang juga dapat menyebabkan terputusnya aliran listrik
kepada masyarakat.
d) Jaringan PDAM / air bersih
Produksi air bersih yang diproduksi oleh PDAM Kabupaten Kediri
menurut BPS Kab Kediri 2015 adalah 2.729 m3. Dengan pelanggan
terbesar ada di tingkat rumah tinggi yaitu 138.709 m3. Erupsi gunung
berapi dapat menghambat distribusi air bersih kepada penduduk.
31
2) Kerentanan biologis
Kondisi kawasan rawan bencana yang tidak memungkinkan
mengharuskan dilakukannya evakuasi penduduk. Penduduk ditempatkan di
lokasi pengungsian dengan kepadatan tinggi dan dengan fasilitas sanitasi yang
terbatas, sehingga memungkinkan terjadinya penularan penyakit dan
kontaminasi mikroba pada air bersih dan makanan.
Hasil pemantauan kualitas makanan dan minuman yang dilakukan
BBTKLPP tahun 2014 di salah satu dapur umum pengungsian menunjukkan
adanya E.coli pada sampel makanan.
3) Kerentanan sosial
Menunjukkan tingkat kerentanan terhadap keselamatan jiwa penduduk
jika ada bahaya. Meliputi presentase penduduk usia tua-balita dan penduduk
wanita. Populasi yang rentan untuk terkena dampak dari letusan gunung kelud
dapat ditinjau menurut lokasi, yaitu KRB (Kawasan Rawan Bencana).
Berdasarkan data yang dihimpun oleh BNPB, diperoleh data populasi berisiko
sebagai berikut
a) Kawasan rawan bencana III
Tabel 3.3 Kawasan Rawan Bencana III Gunung Kelud
Penduduk Usia Rentan (laki- Penduduk Usia Rentan
No. Kabupaten laki) (perempuan)
<5th >60th total <5th >60th Total
1. Blitar 1.124 1.860 2.984 1.265 1.603 2.868
2. Kediri 262 441 703 264 346 610
3. Malang 189 290 479 219 240 459
Total 1.575 2.591 4.166 1.748 2.189 3.937
5) Kerentanan lingkungan
Menggambarkan kondisi suatu wilayah yang rawan bencana. Indikatornya
meliputi:
a) Kondisi geografis dan geologis wilayah
Pada daerah lereng terdapat beberapa sungai yang berpotensi membawa
lahar dingin, antara lain: Kali Bladak, Kali Puncu, Kali Konto, Kali Lekso,
Kali Putih yang merupakan sungai besar dengan arah aliran ke berbagai
arah. Aliran yang besar membuat sungai ini dapat membawa material
vulkanik yang dibawa lahar hujan dan menghancurkan segala sesuatu yang
dilewatinya (Kementerian ESDM, 2014).
b) Pencemaran udara
Aktivitas erupsi memungkinkan tercemarnya udara oleh gas-gas beracun
hasil erupsi seperti CO2, H2S, SO2 dan NO2 serta PM10. Dari hasil
pemantauan kualitas udara yang dilakukan BBTKLPP di area bencana
erupsi Gunung Kelud di Pare, Kabupaten Kediri tahun 2014 menunjukkan
bahwa parameter debu TSP dan debu PM 10 melebihi baku mutu yang
ditetapkan.
c) Arah dan kecepatan angin
Arah dan kecepatan angin berkontribusi dalam penyebaran material abu
vulkanik ke area yang lebih jauh, sehingga dapat memperluas dampak
erupsi.
c. Kemampuan
1) Pemerintah
a) Pengetahuan
Adanya tenaga ahli dari pihak PVBMG dan BNPB sehingga didapatkan
informasi terkait karakteristik Gunung Kelud
b) Sikap
Dukungan terhadap lintas sektor berupa alokasi dana untuk perencanaan
program penanggulangan bencana
c) Perilaku
Koordinasi dengan lintas sektor yang dilibatkan dalam upaya manajemen
bencana erupsi Gunung Kelud
2) Masyarakat
a) Pengetahuan
34
b) Lahan pertanian
36
a) Myalgia
b) ISPA
c) Gastritis
d) Diare
e) Penyakit kulit
f) Cephalgia
g) Common cold
h) Asma
i) Hipertensi
j) Karies gigi
4) Kerentanan ekonomi
Mayoritas penduduk di kawasan rawan bencana berprofesi sebagai petani,
sebagian lainnya berburu burung di sekitar Gunung Raung. Dengan adanya
erupsi maka lahan pertanian berpotensi mengalami gagal panen. Selain sebagai
petani, masyarakat setempat bekerja sebagai penambang pasir di kawasan
rawan bencana.
5) Kerentanan lingkungan
Gunung Raung memiliki kaldera dengan kedalaman 500 m yang selalu berasap
dan sering menyemburkan api. Selain kaldera, Gunung Raung memiliki
beberapa aliran sungai dengan pola aliran dendritik. Sungai yang memiliki hulu
di puncak adalah Kali Stail, Kali Mangarang. Sedangkan sungai yang memiliki
hulu di lereng adalah Kali Hajar, Kali Gladagkudung, Kali Telepon, Kali
Kohor dan Kali Caken.
Pemantauan kualitas udara oleh BBTKLPP Surabaya menunjukkan bahwa di
salah satu desa di Kabupaten Bondowoso yang lokasinya berdekatan dengan
gunung Raung kadar TSP melebihi baku mutu.
Kondisi hujan dapat membawa logam berat dari material vulkanik dan meresap
ke tanah sehingga terjadi peningkatan kadar logam berat tertentu di air tanah.
Menurut pemantauan BBTKLPP Surabaya, sampel air bersih yang diuji
mengandung Ferro.
c. Kemampuan
1) Pemerintah
a) Pengetahuan
38
Adanya tenaga ahli dari pihak PVBMG dan BNPB sehingga didapatkan
informasi terkait karakteristik Gunung Raung
d) Sikap
Dukungan terhadap lintas sektor berupa alokasi dana untuk perencanaan
program penanggulangan bencana
e) Perilaku
Koordinasi dengan lintas sektor yang dilibatkan dalam upaya manajemen
bencana erupsi Gunung Raung
2) Masyarakat
a) Pengetahuan
Pada umumnya masyarakat yang tinggal berdekatan dengan Gunung Raung
telah mengetahui tentang gejala perubahan aktivitas Gunung Raung dan
upaya penyelamatan diri. Hal ini diperoleh melalui pertukaran informasi
oleh lintas generasi yang telah memiliki pengalaman dengan erupsi Gunung
Raung sebelumnya. Selain itu, akses informasi yang lebih cepat
memungkinkan masyarakat memahami kondisi bencana yang sedang
dihadapi
b) Sikap
Bersikap kooperatif saat dilakukan sosialisasi terkait penanggulangan
bencana Gunung Raung.
c) Perilaku
Adanya partisipasi masyarakat dalam upaya mitigasi bencana yang
diselenggarakan oleh pemerintah setempat
3) Alat
a) Fasilitas pos pantau
Di Dususn Mangaran, Desa Sumber Arum, Kecamatan Sanggon, Kabupaten
Banyuwangi, terdapat fasilitas pos pantau yang dilengkapi dengan
seismograf dan peralatan canggih lainnya ehingga aktivitas Gunung Raung
dapat dipantau secara intensif.
b) Sistem informasi dan komunikasi
Kemajuan teknologi memberi akses kepada lintas sektor serta masyarakat
terhadap persebaran informasi yang lebih cepat dari pada masa lampau,
sehingga melalui persebaran informasi yang cepat juga dilakukan tindakan
yang cepat dan tepat dalam merespons perkembangan aktivitas Gunung
Raung.
39
3. Gunung Bromo
Gunung Bromo secara administratif terletak di 4 wilayah kabupaten yaitu
Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang dan
Kabupaten Malang. Gunung Bromo merupakan kawasan wisata yang sering
dikunjungi wisatawan domestik maupun mancanegara. Letusan Bromo bertipe
strombolian dengan ledakan yang melontarkan bom gunungapi, lapili, pasir dan
abu, namun tidak mengalirkan lava. Letusan Gunung Bromo tercatat pertama kali
pada tahun1775 dan letusan terakhir terjadi di akhir 2015.
a. Penilaian bahaya
d. Pneumonia
e. ISPA
f. Penyakit kulit
g. Typoid
h. Canpak
i. Penyakit paru
4) Kerentanan ekonomi
a) Sektor pariwisata
Gunung Bromo merupakan salah satu tempat wisata yang diminati
masyarakat. Erupsi Gunung Bromo menyebabkan rusaknya lingkungan
yang menjadi daya tarik wisatawan.
b) Sektor pertanian
Kerusakan lahan pertanian di area Kecamatan Sukapura yang merupakan
KRB II dan di Kecamatan Sukapura dan Ponco Kusuma dapat memicu
gagal panen.
5) Kerentanan lingkungan
a) Kualitas udara
Aktivitas vulkanik menimbulkan perubahan kualitas udara. Berdasarkan
pemantauan kualitas udara yang dilakukan oleh BBTKLPP di salah satu
kawasan Gunung Bromo, diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 3.12 Pemantauan Kualitas Lingkungan Gunung Bromo
No. Kelembapan Suhu Kecepatan Arah angin Kadar TSP
angin PM10
1. 89.3%Rh 15,2°C 1,1-2,3 ms Barat daya 99 μm3 0.395
mg/m3
Pemantauan kualitas lingkungan di atas menunjukkan bahwa kadar TSP
melebihi baku mutu yang ditetapkan PerGub Jarim No. 10 tahun 2009
sehingga berpotensi menimbulkan gangguan pernapasan pada penduduk
c. Kemampuan
1) Pemerintah
a) Pengetahuan
Adanya tenaga ahli dari pihak PVBMG dan BNPB sehingga didapatkan
informasi terkait karakteristik Gunung Bromo
b) Sikap
Dukungan terhadap lintas sektor berupa alokasi dana untuk perencanaan
program penanggulangan bencana
43
c) Perilaku
Koordinasi dengan lintas sektor yang dilibatkan dalam upaya manajemen
bencana erupsi Gunung Bromo
2) Masyarakat
a) Pengetahuan
Pada umumnya masyarakat yang tinggal berdekatan dengan Gunung Raung
telah mengetahui tentang gejala perubahan aktivitas Gunung Raung dan
upaya penyelamatan dan pengamanan diri, contoh pemakaian masker. Hal
ini diperoleh melalui pertukaran informasi oleh lintas generasi yang telah
memiliki pengalaman dengan erupsi Gunung Bromo sebelumnya. Selain itu,
akses informasi yang lebih cepat memungkinkan masyarakat memahami
kondisi bencana yang sedang dihadapi
d) Sikap
Bersikap kooperatif saat dilakukan sosialisasi terkait penanggulangan
bencana Gunung Bromo
e) Perilaku
Adanya partisipasi masyarakat dalam upaya mitigasi bencana yang
diselenggarakan oleh pemerintah setempat
4) Alat
a) Fasilitas pos pantau
4. Gunung Rokatenda
Merupakan gunung berapi dengan ketinggian 875 mdpl terletak di Pulau Paloe,
Kabupaten Sikka di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Karakteristik letusan Gunung
Rokatenda adalah efusif dan eksplosif.
Tabel 3.13 Sejarah Letusan Gunung Rokatenda
Tahun Dampak
Pra 1928 Terjadi letusan hebat
Letusan mengakibatkan kerusakan tanah, korban jiwa
1928
sebanyak 266 jiwa yang diakibatkan gelombang pasang laut
1929-1963 1 korban meninggal, 3 orang luka-luka
1966 Tidak ada catatan pasti tentang korban jiwa
1972 Tidak ada catatan pasti tentang korban jiwa
1973 Tidak ada catatan pasti tentang korban jiwa
2009 Peningkatan kegembaan
2013 6 korban jiwa tersapu awan panas
45
a. Pengenalan bahaya
b. Kerentanan
1) Kerentanan fisik
a) Lahan pertanian dan peternakan
Lereng Gunung Rokatenda berupa pesisir dimanfaatkan oleh penduduk
sebagai lahan peternakan dan pertanian.
b) Sarana air bersih
Kondisi pulau yang tidak begitu besar dan berdekatan dengan pantai
membuat akses dan ketersediaan air bersih sebelum dan sesudah letusan
menjadi sulit.
2) Kerentanan biologis
Selama terjadinya erupsi, rentan untuk terjadi kontaminasi pada air bersih.
Menurut hasil pengujian sampel air bersih menunjukkan ketiga sampel
ditemukan coliform dan E.coli
46
3) Kerentanan sosial
a) Kawasan rawan bencana II
Tabel 3.15 Kawasan Rawan Bencana II Gunung Rokatenda
Jumlah penduduk
No. Desa
Laki-laki Perempuan Total
1. Rokirole 491 6985 1176
2. Tuanggeo 393 558 951
3. Ladolaka 513 669 1182
4. Kesokoja 573 715 1288
5. Nitunglea 554 866 1420
6. Lidi 602 754 1356
b) Kawasan rawan bencana I
Tabel 3.16 Kawasan Rawan Bencana IIGunung Rokatenda
Jumlah penduduk
No. Desa
Laki-laki Perempuan Total
1. Maluriwu 452 642 1094
2. Reruwairere 497 589 1086
Data distribusi penduduk yang diperoleh dari pihak BNPB hanya
menunjukkan jenis kelamin. Meskipun demikian, seluruh penduduk desa
yang tinggal di KRB II dan KRB I merupakan kelompok rentan yang
berpotensi terkena penyakit berikut yang merupakan 10 penyakit terbesar
selama erupsi Gunung Rokatenda:
a. ISPA
b. Penyakit kulit infeksi
c. Mialgia
d. Gastritis
e. Reumatik
f. Diare
g. Penyakit kulit karena jamur
h. Anemia
i. Asma
j. Prostat
c) Karakteristik masyarakat Paloe masih mempercayai roh leluhur. Masyarakat
meyakini bahwa erupsi Rokatenda merupakan akibat dari kemarahan
leluhur, sehingga dilakukan upacara penyembelihan 3 ekor kerbau di
puncak gunung
47
4) Kerentanan ekonomi
Penduduk Pulau Paloe sebagian besar bekerja sebagai petani dan nelayan.
5) Kerentanan lingkungan
a) Kualitas udara
Debu vulkanik yang dilepaskan oleh Gunung Rokatenda, menurut hasil uji
BBTKLPP Surabaya menunjukkan adanya kandungan logam berat namun
dalam jumlah kecil. Meskipun demikan, apabila terbawa air hujan maka
logam berat dapat diserap oleh air tanah.
b) Lokasi berdekatan dengan pantai
Gunung Rokatenda terletak di sebuah pulau dan dikelilingi oleh wilayah
pesisir. Kondisi ini membahayakan jika terjadi letusan besar maka akan
timbul gelombang tinggi atau bahkan timbul tsunami.
b. Kemampuan
1) Pemerintah
a) Pengetahuan
Adanya tenaga ahli dari pihak PVBMG dan BNPB sehingga didapatkan
informasi terkait karakteristik Gunung Rokatenda. Beberapa ahli menilai
bahwa Pulau Paloe tidak layak huni, sebab sangat membahayakan
penduduk yang tinggal di pulau tersebut
b) Sikap
Dukungan terhadap lintas sektor berupa alokasi dana untuk perencanaan
program penanggulangan bencana dan mengupayakan relokasi penduduk
dari Pulau Paloe
c) Perilaku
Koordinasi dengan lintas sektor yang dilibatkan dalam upaya manajemen
bencana erupsi Gunung Rokatenda. Serta penyusunan peraturan khusus
yang berkekuatan hukum sebagai upaya untuk merelokasi masyarakat
2) Masyarakat
a) Pengetahuan
Masyarakat cukup memahami kondisi dan karakteristik pulau yang mereka
tinggali.
b) Sikap
Penduduk masih meyakini berbagai ritual adat dan kepercayaan tentang roh dan
leluhur
48
c) Perilaku
Sebagian warga bersedia untuk direlokasi ke luar Pulau Paloe.
5. Gunung Barujari
Gunung Barujari merupakan anak Gunung Rinjani yang terletak di Desa
Sembalum Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Gunung Barujari
terletak di sisi timur kaldera Gunung Rinjani yang memiliki kawah berukuran 170 m x
200m dengan ketinggian 2.296-2.376 mdpl. Jenis letusan Gunung Barujari bersifat
eksplosif dalam skala kecil. PVBMG sendiri menetapkan bahwa nama Gunung Barujari
merupakan bagian dari Gunung Rinjani itu sendiri, hal ini disesuaikan dengan
nomenklatur dari 127 gunung berapi di Indonesia.
Tabel 3.17 Sejarah Letusan Gunung Barujari
Tahun Dampak
1944 Letusan yang membentuk Gunung Barujari
1966 Tidak ada catatan
Tidak menimbulkan korban jiwa, namun menimbulkan gagal
1994
panen bawang karena hujan abu
2004 Tidak ada catatan korban jiwa
2009 Timbul banjir bandang yang menewaskan 31 korban jiwa.
Erupsi menimbulkan hujan abu ke arah barat daya hingga barat
2015
laut
a. Pengenalan bahaya
Gn. Barujari
2 Lombok Timur
- Sembalum 19.375 jiwa
- Suela 39.264 jiwa 131.682 jiwa
- Pringgasela 52.652 jiwa
- Sambelia 20.041 jiwa
3 Lombok Tengah
- Kopang 45.976 jiwa 95.231 jiwa
- Teratak 49.255 jiwa
Total 151.525 jiwa
Selain penduduk lokal, kelompok yang rentan terdampak erupsi Gunung
Barujari adalah para pendaki Gunung Rinjani, mengingat kawasan ini
merupakan destinasi yang menarik bagi pendaki dan wisatawan.
Menurut kajian yang dilakukan BBTKLPP berdasarkan hasil
pemantauan lingkungan, penyakit yanng berpotensi timbul antara lain: diare,
ISPA, dan water borne diseases seperti gatal dan penyakit kulit.
4) Kerentanan ekonomi
Masyarakat di sekitar Gunung Barujari berprofesi sebagai petani. Secara
ekonomi, kerugian yang akan timbul jika terjadi erupsi adalah kegagalan panen
akibat rusaknya lahan pertanian.
c. Kemampuan
1) Pemerintah
a) Pengetahuan
Adanya tenaga ahli dari pihak PVBMG dan BNPB sehingga didapatkan
informasi terkait karakteristik Gunung Rinjani,dalam hal ini Gunung
Barujari
b) Sikap
Dukungan terhadap lintas sektor berupa alokasi dana untuk perencanaan
program penanggulangan bencana
c) Perilaku
Koordinasi dengan lintas sektor yang dilibatkan dalam upaya manajemen
bencana erupsi Gunung Barujari.
51
2) Masyarakat
a) Pengetahuan
Pada umumnya masyarakat yang tinggal berdekatan dengan Gunung Rinjani
telah mengetahui tentang gejala perubahan aktivitas Gunung Rinjani dan
upaya penyelamatan diri. Hal ini diperoleh melalui pertukaran informasi
oleh lintas generasi yang telah memiliki pengalaman dengan erupsi Gunung
Rinjani sebelumnya. Selain itu, akses informasi yang lebih cepat
memungkinkan masyarakat memahami kondisi bencana yang sedang
dihadapi.
b) Sikap
Bersikap kooperatif saat dilakukan sosialisasi terkait penanggulangan
bencana Gunung Barujari.
c) Perilaku
Adanya partisipasi masyarakat dalam upaya mitigasi bencana yang
diselenggarakan oleh pemerintah setempat
3) Alat
a) Fasilitas pos pantau
Terdapat fasilitas pos pantau di Sembalun yang dilengkapi dengan
seismograf dan peralatan canggih lainnya ehingga aktivitas Gunung Raung
dapat dipantau secara intensif.
b) Sistem informasi dan komunikasi
Kemajuan teknologi memberi akses kepada lintas sektor serta masyarakat
terhadap persebaran informasi yang lebih cepat dari pada masa lampau,
sehingga melalui persebaran informasi yang cepat juga dilakukan tindakan
yang cepat dan tepat dalam merespons perkembangan aktivitas Gunung
Rinjani, dalam hal ini Gunung Barujari.
52
2. Saat bencana
Tabel 3.22 Tugas Setiap Instansi Saat Bencana
No. Pelaksana Peran
1. Dinas a. Mengirimkan tim RHA, mengkaji: lokasi, tingkat
Kesehatan kerusakan dan kerugian
b. Melaporkan ke gubernur dan menginformasikan
ke pusat penanggulangan krisis
c. Koordinasi dengan RS jika dibutuhkan tenaga
ahli di pengungsian
d. Mobilisasi tenaga kesehatan ke tempat
pengungsian
e. Pemenuhan pelayanan kesehatan, baik kesehatan
anak, kesehatan ibu, kesehatan reproduksi, dan
kesehatan jiwa
2 Dinas Sosial a. Melakukan pendataan pengungs
. b. Distribusi bantuan
3. SAR a. Melaksanakan fungsi search and rescue jika ada
penduduk yang terpisah dari anggota keluarganya
4. PMI a. Penyelenggaraan dapur umum dan distribusi
b. Pemeriksaan kesehatan
c. Pelaksanaan psycho-social support bagi
pengungsi
d. Distribusi bantuan bagi pengungsi
5. PVBMG a. Pemantauan status gunung
6. BBTKLPP a. Pemantauan kualitas udara, kualitas air bersih dan
Surabaya makanan di sekitar area erupsi
b. Melakukan surveilans penyakit dan keracunan
makanan
c. Pengerahan bantuan logistik berupa masker dan
hygiene kit
d. Pemetaan ketersediaan sarana sanitasi di pos
pengungsian
e. Melakukan koordinasi dengan Dinas PU Jatim
untuk penambahan sarana sanitasi berupa jamban
f. Imunisasi campak untuk mencegah KLB campak
7. Dinas PU a. Distribusi air bersih
8. Rumah Sakit a. Menerima rujukan kasus yang perlu penanganan
khusus
b. Mengerahkan SDM tambahan di pos pengungsian
54
3. Pasca bencana
a. Rehabilitasi
Tabel 3.23 Tugas Setiap Instansi Saat Rehabilitasi
No. Pelaksana Peran
1. Pemerintah a. Sosialisasi program reabilitasi kepada penduduk
kabupaten/kota yang terdampak
2 BPBD a. Identifikasi tingkat kerusakan dan kerugian yang
dialami masyarakat akibat gunung meletus
b. Melakukan koordinasi dalam verifikasi usulan
permintaan bantuan
c. Menentukan prioritas untuk dilakukan rehabilitasi
d. Pelaksanakegiatan rehabilitas
e. Pemantauan dan evaluasi dari hasil kegiatan
rehabilitas
2. Dinas PU a. Mobilisasi sumberdaya tenaga dan material yang
digunakan untuk melakukan rehabilitasi
3. BLH a. Melakukan perbaikan lingkungan daerah
bencana, terutama terkait kerusakan hutan,
pencemaran sumber air
4. Dinas Sosial a. Pemulihan sosial psikologis masyarakat sehingga
dapat kembali beraktivitas
5. Dinas a. Pemantauan status kesehatan pasca terjadinya
Kesehatan bencana secara berkala
b. Pemulihan sarana pelayanan kesehatan
b. Rekonstruksi
Tabel 3.24 Tugas Setiap Instansi Saat Rekonstruksi
No. Pelaksana Peran
1. Pemerintah a. Rekonstruksi sarana prasaran pendidikan, sosial,
Kabupaten/kota pemerintahan dan ekonomi yang terdampak
2 Ormas/LSM a. Berpartisipasi dalam kegiatan rekonstruksi
2. Dinas Sosial Pemulihan kondisi sosial dan budaya masyarakat
melalui kegiatan bersama
4) Kerentanan lingkungan
Kerentanan ini merupakan kerentanan yang dimiliki oleh lingkungan
sehingga menjadi potensi terjadinya banjir. Kerentanan tersebut antara lain
sebagai berikut:
a) Wilayah dataran rendah, lembah dari bukit serta pegunungan rawan terjadi
bencana banjir. Selain itu daerah aliran sungai (DAS), serta daerah hulu
sungai rawan terjadi bencana banjir.
b) Terbatasnya daerah resapan air hujan terutama di daerah perkotaan
c) Penebangan pohon di hutan tanpa disertai dengan upaya reboisasi
menyebabkan resapan air hujan berkurang, sehingga berpotensi
menyebabkan banjir bandang di wilayah pegununga dan perbukitan.
d) Alih fungsi DAS menjadi lahan pemukiman.
Alih fungsi lahan menjadi pemukiman menjadi salah satu faktor risiko
frekuensi banjir semakin meningkat dikarenakan lahan resapan berkurang.
Berikut sajian data banjir Jawa Timur dari tahun 1908-2012 (Rosa, et al.,
2013)
Adapun berdasarkan data dari RTRW Jawa Timur, daerah yang rentan
terkena banjir adalah sebagai berikut:
57
1908-2012
Kabupaten/ Meninggal Luka-Luka Kerusakan Kerusakan
Kota Rumah Fasilitas
Umum dan
Infrastruktur
Kota Surabaya 0 0 50 0
Lamongan 7 0 10 70
Lumajang 405 41 34 0
Madiun 3 0 0 8
Magetan 0 0 0 0
Malang 25 34 2698 4
Mojokerto 3 0 43 0
Nganjuk 3 34 6 0
Ngawi 33 0 0 0
Pacitan 2 0 44 0
Pamekasan 0 2 0 0
Pasuruan 41 3712 8798 0
Ponorog0 4 0 50 0
Probolinggo 2 0 264 0
Sampang 22 2 6850 8
Sidoarjo 0 0 0 0
Situbondo 67 47946 6394 4
Sumenep 0 0 0 0
Trenggalek 16 0 112 2
Tuban 30 218 2 0
Tulungagung 14 0 104 0
Total 764 53024 32948 180
Sumber: DIBI (2012) dalam (Rosa, et al., 2013)
Hasil dari analisis kemungkinan dampak bencana ini ialah peta ancaman risiko
yang tinggi, sedang maupun rendah. Yang dihitung dalam menganalisa kemungkinan
dampak bencana adalah probabilitas kejadian bencana dan perkiraan dampak yang
terjadi. Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan indek risiko sedang bencana
Banjir. Dalam hal ini dapat dilihat pada gambar berikut.
1 2 3 4 5
4
Banjir 3
2
1
59
Probabilitas
Dampak
Gambar 3.35 Indeks Risiko Banjir Jawa Timur
Hasil sebaran dampak bencana banjir di wilayah Jawa Timur dapat
menimbulkan dampak yang lebih luas pada aspek seperti kesehatan, sosal-ekonomi, dan
lingkungan. Hal ini sejalan dengan penelitian Kodoatie (2002) bahwa banjir dapat
mengakibatkan kerugian atau dampak pada manusia meliputi dampak sosial, ekonomi,
dan budaya.
Dampak sosial-ekonomi dirasakan masyarakat terkait dengan ketahanan pangan.
Hal ini sejalan dengan penelitian Suprapto (2011) banjir yang terjadi di suatu daerah
akan menimbulkan dampak terhadap ketahanan pangan nasional Ketahanan pangan
negara menjadi goyah akibat terjadi kegagalan panen di wilayah tersebut dan prediksi
pola tanam petani banyak yang tidak tepat. Hal ini dapat menjadi ancaman pada
hilangnya mata pencaharian penduduk dimana sebagian besar penduduk Pulau Jawa
bermata pencaharian sebagai petani. Selain itu, kejadian banjir di Kabupaten Sampang
menyebabkan terganggunya aktivitas masyarakat. Banjir mengakibatkan aktivitas
belajarmengajar menjadi terganggu akibat sekolah tergenang banjir.
Kegiatan perkantoran menjadi terhambat karena banyak pegawai yang rumahnya
terendam banjir dan harus mengevakuasi harta benda dan dirinya sehingga tidak bisa
beraktivitas di kantor. Banjir juga menyebabkan terganggunya arus transportasi antar
kecamatan bahkan memutus arus antar kabupaten. kerusakan rumah serta fasilitas
umum dan infrastruktur mempengaruhi perekonomian negara karena pengeluaran
terhadap biaya rehabilitasi dan rekonstruksi.
b. Mitigasi
Upaya dalam rangka pencegahan dan mitigasi yang dilakukan bertujuan
untuk menghindari terjadinya banjir serta mengurangi risiko yang ditimbulkan
oleh banjir. Pada tahap pra bencana dilakukan tindakan pencegahan yang
tergolong dalam mitigasi pasif antara lain adalah:
1) Penyusunan peraturan perundang-undangan.
Berikut beberapa peraturan perundangan terkait yang dapat digunakan
sebagai pedoman dalam menyusun kebijakan penanggulanagan banjir dan
menertibkan daerah bantaran sungai adalah Undang-Undang Nomor 24 tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana., Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan
dan Pengelolaan Bantuan Bencana, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
2011 tentang Sungai.
2) Pembuan peta rawan bencana
Peta potensi banjir Jawa Timur pada Februari 2016 adalah sebagai berikut.
61
Gambar 3.36 Peta Prakiraan Daerah Potensi Banjir Jawa Timur 2016
Pada tahap ini dilakukan komunikasi informasi bahaya (tingkat peringatan) dan
peringatan dini hasil prakiraan dan pantauan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
1.Menyusun dan mengembangkan suatu jaringan komunikasi yang memadai untuk
menyampaikan informasi bahaya bencana serta kondisi darurat menjelang bencana
terjadi. Perhatikan jangka waktu penyampaian dan penyebarluasan informasi
mengingat bencana bisa datang dalam waktu yang singkat, paling lambat sekitar 1-
2 jam setelah terdeteksi oleh tim prakiraan. Oleh sebab itu peringatan harap
disampaikan secepat mungkin;
2.Menyiapkan media-media untuk sarana informasi baik antar tim maupun ke
masyarakat seperti telepon genggam, telepon rumah, handy talkie, pengeras suara,
radio, TV, dan lain-lain;
3. Siapkan perangkat penyampai sinyal peringatan bahaya.
4. Sampaikan berbagai jenis informasi peringatan bahaya bencana kepada
masyarakat. Menggunakan peralatan/media yang telah dipersiapkan.
b. Saat tanggap darurat
Tahap Tanggap Darurat merupakan tahap penindakan atau pengerahan
pertolongan untuk membantu masyarakat yang tertimpa banjir, guna menghindari
bertambahnya korban jiwa.
1. Penilaian secara cepat dan tepat menggunakan rapid health assesment olehTim
Reaksi Cepat (TRC) yang ditugaskan baik oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Jawa Timur)
2. Penentuan status keadaan darurat bencana;
3. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
Menerjunkan tim untuk penyelamatan warga yang terjebak dalam bangunan
menggunakan perahu karet. Proses evakuasi mendahulukan kelompok rentan seperti
wanita dan anak-anak yang kemudian di bawa ke tempat pengungsian.
4. Pemenuhan kebutuhan dasar;
a) Penyediaan air bersih dan sanitasi
Air bersih disediakan oleh dinas PU, dan pihak lain yang telah berkoordinasi
dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jawa Timur. Bantuan air bersih
berupa teknologi penyaringan air banjir dengan output air bersih sesuai standar
yang diproduksi dalam waktu cepat.
Berikut kebutuhan kuantitas air
1) Minimal 15 l/org/hr
67
2. Rekonstruksi
Pembangunan kembali prasarana dan sarana tempat umum termasuk
kantor pemerintahan dengan menerapkan bangunan tahan bencana,
Peningkatan fungsi pelayanan publik dengan cara perbaikan sistem peringatan
dini banjir.
8. Sektor Keuangan
Sektor keuangan samgat penting dalam menyiapkan anggaran biaya kegiatan
penyelenggaraan penanggulangan bencana baik pada masa pra bencana, saat
bencana dan pasca bencana.
9. Sektor Kehutanan
Berperan dalam kegiatan preventif yaitu dengan memantau dan melakukan
pengawasan serta memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku yang yang tidak
bertanggung jawab terhadap hutan agar tidak terjadi kebakaran yang nantinya akan
menyebabkan bencana banjir. Selain itu sektor kehutanan juga berperan melakukan
kegiatan mitigasi khsusnya jika terjadi kebakaran hutan/ lahan.
10. Sektor Lingkungan Hidup
Berperan dalam melakukan perencanaan dan pengendalian yang bersifat preventif,
advokasi, dan deteksi dini dalam pencegahan bencana terutama banjir.
11. Sektor Kelautan
Merencanakan dan mengendalikan upaya mitigatif di bidang bencana tsunami dan
abrasi pantai.
12. Sektor Lembaga Penelitian dan Pendidikan Tinggi
Melakukan kajian dan penelitian sebagai bahan untuk merencanakan
penyelenggaan penanggulangan bencana pada masa pra bencana, tanggap darurat,
rehabilitasi, dan rekontruksi.
13. TNI/ POLRI
Membantu dalam kegiatan SAR dan pengamanan pada saat darurat termasuk
mengamankan lokasi yang ditinggalkan karena penghuninya mengungsi.
14. Peran dan Potensi Masyarakat
a. Masyarakat
Masyarakat sebagai pelaku awal penanggulangan bencana sekaligus korban
bencana. Peran masyarakat dalam kejadian bencana banjir ikut dalam proses
evakuasi para korban yang masih membutuhkan bantuan.
b. Swasta
72
Peran pihak swasta dalam penganan benjana banjir yaitu memberikan bantuan
darurat. Peran pihak swasta masih belum optimal diberdayakan.
c. Lembaga Non-Pemerintah
d. Perguruan Tinggi/ lembaga penelitian
Penanggulangan bencana dapat efektif dan efisien jika dilakukan berdasarkan
penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tepat. Oleh karena itu
diperlukan kontribusi pemikiran dari para ahli dari lembaga-lembaga pendidikan
dan penelitian. Salah satu contoh peran perguruan tinggi dalam penanggulangan
banjir adalah melakukan penelitian terhadap karakterisrik bencana banjir agar
dapat menghasilkan sebuah teknologi yang dapat mendeteksi jika akan terjadi
banjir untuk meminimalisir jumlah korban serta mengurangi kerugian yang
ditimbulkan .
e. Media
Media memiliki kemampuan besar untuk membentuk opini publik. Oleh karena
itu peran media sangat penting dalam hal membangun ketahanan masyarakat
menghadapi bencana melalui kecepatan dan ketepatan memberikan informasi
tentang bencana berupa peringatan dini, kejadian bencana serta upaya
penanggulangannya, serta pendidikan kepada masyarakat untuk tidak
sembarangan dalam mengelola lingkungannya.
f. Lembaga Internasional
Lembaga internasional memiliki peran dalam memberikan bantuan baik pada
saat pra bencana, tanggap daruat maupun pasca bencana. Namun pemerintah
harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam menerima
segala bantuan dari lembaga internasional.
3.4.6 Pilihan tindakan dan sumberdana
Tabel 3.28 Pilihan Tindakan dan Sumber Dana Bencana Banjir dan Tanah Longsor
Pilihan Sumber
No. Kegiatan Pelaku
Tindakan Dana
1. Pra bencana saat 1. Penyusunan peraturan Pemerintah, DPRD,
tidak terjadi perundang-undangan Gubernur
bencana 2. Membuat peta rawan Menteri PU BPBD
Pra bencana saat bencana
tidak terjadi 3. Penyusunan SOP BPBD, Menteri PU
bencana pengendalian banjir
diformulasikan pada
SIMDAS adalah
mengetahui wilayah
DAS atau bagian DAS
73
Lanjutan Tabel 3.28 Pilihan Tindakan dan Sumber Dana Bencana Banjir dan Tanah
Pilihan Sumber
No. Kegiatan Pelaku
Tindakan Dana
17. Membangun fasilitas DEP.PU BPBD
pengolah sampah dan
limbah
18. Mereboisasi kota dan KEMEN.KEHUTA BPBD
daerah hulu NAN
19. Merencanakan daerah Dep.Perhubungan,
penampungan Dep. Transmigrasi
sementara dan jalur
evakuasi jika terjadi
bencana
LanjutanTabel 3.28 Pilihan Tindakan dan Sumber Dana Bencana Banjir dan Tanah
Longsor
Pilihan Sumber
No. Kegiatan Pelaku
Tindakan Dana
1. Pendataan kerusakan DEP.PU, BPBD
bangunan dan fasilitas Gubernur/Bupati/W
publik alikota
2. Memperbaiki prasarana Men.PU BPBD
publik yang rusak
3. Pembersihan Masyarakat, Dinas BPBD
lingkungan Kebersihan dan
Lingkungan
4. Pengajuan usulan Gubernur/ Bupati/ BPBD
program pembangunan Walikota
Pasca Banjir,
fasilitas
3. tahap setelah
penanggulangan banjir
banjir
5. Melakukan upaya Men. Sosial BPBD
pemulihan ekonomi
akibat banjir
6. Memulihkan Men.Pertanian BPBD
keberlanjutan usaha
pertanian akibat dari
bencana banjir
7. Memulihkan Men.Kelautan dan BPBD
keberlanjutan budidaya Perikanan
perikanan akibat banjir
menuruni atau keluar lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan
penyusun lereng. Pemicu dari terjadinya gerakan tanah ini adalah curah hujan yang
tinggi, gempa bumi diserta longsor atau kelerengan tebing yang curam
(bnpb.go.id/2016).
Menurut data BNPB, ada 41 juta jiwa yang tinggal di daerah rawan (sedang-
tinggi) longsor di 274 kabupaten/kota yang tersebar di seluruh Indonesia
(bnpb.go.id/2016). Terjadinya bencana tanah longsor memiliki dampak yang sangat
besar terhadap kehidupan khususnya manusia. Apabila tanah longsor itu terjadi
pada wilayah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi maka korban jiwa
yang ditimbulkan akan sangat besar, terutama bencana tanah longsor yang terjadi
secara tiba-tiba tanpa diawali adanya tanda-tanda akan terjadinya tanah longsor.
Adapun dampak yang ditimbulkan dengan terjadinya tanah longsor terhadap
kehidupan yaitu dapat menelan korban jiwa yang besar, terjadinya kerusakan
infrastruktur publik, kerusakan bangunan seperti gedung kantor dan perumahan
penduduk, menghambat proses aktivitas manusia dan merugikan masyarakat
maupun pemerintah.
Perhitungan matematis berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010 dan
peta bahaya menghasilkan 40 juta penduduk Indonesia terpapar tanah longsor.
Sedangkan selama Juni 2015 saja sudah sekitar 270 warga mengungsi dan 4 rumah
rusak akibat longsor (BNPB, Juni 2015).
Sumber: http://dibi.bnpb.go.id/
Gambar 3.38 Kejadian Bencana Alam 2008-2012
77
Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa tanah longsor merupakan kejadian
bencana alam ketiga yang sering terjadi di Indonesia pada rentang waktu antar
tahun 2008-2012, yaitu sebanyak 135 kejadian dibawah kejadian banjir dan angin
puting beliung.
2. Kerentanan (vulnerability)
Kerentanan (vulnerability) adalah keadaan atau sifat/perilaku manusia atau
masyarakat yang menyebabkan ketidak mampuan menghadapi bahaya atau
ancaman.
Kerentanan lingkungan tanah longsor dapat berupa bangunan yang berada
dibawah lereng terjal, curah hujan yang tinggi dan mengikis tanah di lereng. Tidak
adanya pepohonan atau tanaman sebagai penguat tanah, jenis tata lahan dan jenis
tanah kurang padat dan tebal menjadi faktor kerentanan terjadinya longsor.
Sumber: geospasial.bnpb.go.id/2016
Gambar 3.39 Peta Rawan Longsor Jawa Timur
Tegalombo Kab. 50 th
Ponorogo Prov.
Jawa Timur
4. 2015-02- Ds. Ngebel Ds. - Kantor Koramil
19 Ngrugong Ds. Ngebel tertimpa
Gondowido Ds. material pasir dan batu
Pupus Kec. setinggi 1 M, Tempat
Ngebel Kab. bermain anak
Kab.
Tulungagung
Prov. Jawa
Timur
Tulungagung
9 Dsn. Bringin Ds. Mulyosari 30,747 jiwa di wilayah Kec.
Kec. Pagerwojo Kab. Pager wojo
Tulungagung Prov. Jawa Timur
10 Ds. Mulyosari Kec. Pagerwojo 30,747 jiwa di wilayah Kec.
Kab. Tulungangung Pager wojo
Lanjutan Tabel 3.30 Penduduk Berisiko Terkena Dampak Bencana
Longsor periode
No Kab/Kota, Kecamatan, Desa JumlahPenduduk Berisiko
11 Ds. Sukuwiyono Kec. 288 013.00 jiw di wilayah
Karangrejo Kab. Tulungangung Kab.Tulungagung
Prov. Jawa Timur
12 Kec. Karangrejo Kab. 288 013.00 jiwa di wilayah
Tulungagung Ds. Sukowiyon Kab.Tulungagung
Prov. Jawa Timur
13 Ds. Ledoksari Ds. Wonokitri 432 155.00 jiwa di wilayah Kab.
Ds. Sedeang Ds. Podokoyo Pasuruan
Kec. Tosari Kab. Pasuruan
Prov. Jawa Timur
14 Ds. Wonokerto Kec. Pagelaran 693 060.00 jiwa diwilayah Kab.
Kab. Malang Prov. Jawa Timur Malang
15 Ds. Suci Kec. Panti Kab. 689 153.00 jiwa di wilayah Kab.
Jember Prov. Jawa Timur Jember
16 Ds. Kemuning Kec. Arjasa Kab. 689 153.00 jiwa di wilayah Kab.
Jember Prov. Jawa Timur Jember
Sumber: http://jatim.bps.go.id 2015 dan https://id.wikipedia.org
b. Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan
terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta
benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Upaya kesiapsiagaan
dilakukan pada saat bencana tanah longsor mulai teridentifikasi akan terjadi,
kegiatan yang dilakukan antara lain:
1) Pengaktifan pos-pos siaga bencana tanah longsor dan unsur pendukungnya.
2) Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/logistik.
3) Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna
mendukung tugas kebencanaan.
4) Penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini (early
warning)
5) Mobilisasi sumber daya (personil dan prasarana / sarana peralatan).
2. Saat Tanggap Darurat
85
Tuban:
Magetan: 2 Sidoarjo:
1 Kejadian I
Kejadian Kejadian Pasuruan:
1
Kejadian
Pacitan:
2 Tulungagung: Malang:
Kejadian 5 Kejadian 1 Kejadian Jember:
Ponorogo:
2 Kejadiaan
2 Kejadian
Gambar 3.40 Peta Kejadian bencana tanah longsor di Jawa Timur periode
Januari-Mei 2015
Potensi bahaya pada bencana kekeringan itu sendiri merupakan gagal panen,
kekurangan air untuk irigasi sawah, kekurangan air bersih, kekeuranga bahan
makanan sehinga dapat menimbulkan gizi kurang sampai kematian (BNPB, 2008).
Menurut BMKG, kekeringan dapat ditandai ketika suatu daerah tidak hujan
berturut-turut > 60 hari yang berpotensi terjadi kekeringan ekstrim. Menurut hasil
pemetaan BMKG berdasarkan monitoring hari tanpa hujan, dapat diketahui prediksi
kekeringan suatu daerah, dalam hal ini Jawa Timur. Hari tanpa hujan berturut-turut
dihitung dari hari terakhir pengamatan, jika hari terakhir tidak hujan, maka dihitung
sesuai dengan Kriteria. Sedangkan jika hari terakhir pengamatan ada hujan
(>=1mm) langsung dikategorikan Hari Hujan (HH).
89
Gambar 3.41Hari Tanpa Hujan Pulau Jawa Tahun 2015 (sumber: BMKG)
Tabel 3.32Daerah Hari Tanpa Hujan (Menengah Hingga Sangat Ekstrim) Pulau Jawa
Tahun 2015
No. Daerah Klasifikasi Keterangan
Curah Hujan
1 Tinap Kekeringan Ekstrim >60 hari
2 Lembeyan Kekeringan Ekstrim
3 Pacitan Kekeringan Ekstrim
4 Bagong Kekeringan Ekstrim
5 Widoro Kekeringan Ekstrim
6 Besuki Kekeringan Ekstrim
7 Kencong Kekeringan Ekstrim
8 Lodoyo Kekeringan Ekstrim
9 Bantur Kekeringan Ekstrim
10 Birowo Kekeringan Ekstrim
11 Kesamben Kekeringan Ekstrim
12 Pondok Kekeringan Ekstrim
13 Karangsuko Kekeringan Ekstrim
14 Caruban Kekeringan Ekstrim
15 Jologan Kekeringan Ekstrim
16 Bluri Kekeringan Ekstrim
17 Donomulyo Kekeringan Ekstrim
18 Janjing Kekeringan Ekstrim
19 Pacet Kekeringan Ekstrim
20 Pager Kekeringan Ekstrim
21 Jabung Kekeringan Ekstrim
22 Bonokusumo Kekeringan Ekstrim
23 Meleman Kekeringan Ekstrim
Sumber: BMKG
90
Tabel 3.32 Daerah Hari Tanpa Hujan (Menengah Hingga Sangat Ekstrim) Pulau Jawa
Tahun 2015
No. Daerah Klasifikasi
24 Banyuanyar Kekeringan Ekstrim
25 Sukodono Kekeringan Ekstrim
26 Buduan Kekeringan Ekstrim
27 Pinang Kekeringan Ekstrim
28 Tempuneje Kekeringan Ekstrim
29 Sumberjambe Kekeringan Ekstrim
30 Grajagan Kekeringan Ekstrim
31 Pasewaran Kekeringan Ekstrim
32 Songgon Kekeringan Ekstrim
33 Buduan Kekeringan Ekstrim
34 Arosbaya Kekeringan Ekstrim
35 Samiran Kekeringan Ekstrim
36 Proppo Kekeringan Ekstrim
37 Gending Kekeringan Ekstrim
38 Gaus Kekeringan Ekstrim
39 Dam Japun Kekeringan Ekstrim
40 Pujon Sangat Panjang
41 Besuki Panjang
42 Lojejer Panjang 31-60 hari
43 Papar Menengah 21-30 hari
44 Sampang Menengah
11-20 hari
Sumber: BMKG
Sumber: BMKG
Gambar 3.42 Hari Tanpa Hujan Pulau Jawa Tahun 2015
91
Tabel 3.33Daerah Hari Tanpa Hujan (Pendek Hingga Panjang) Pulau Jawa Tahun 2015
No Daerah Klasifikasi Keterangan
Curah Hujan
1 Madiun Panjang 21-30 Hari
2 Kedungsumu Panjang
3 Supiturang Menengah 11-20 Hari
4 Dam Jeru Menengah
5 Kalisepanjang Menengah
6 Blakon Menengah
7 Pagotan Pendek 6-10 hari
8 Rongkop Pendek
9 Tulakan Pendek
10 Kampak Pendek
11 Blurit Pendek
12 Widoro Pendek
13 Paingan Pendek
14 Sengat Pendek
15 Kencong Pendek
16 Mojowarno Pendek
17 Papar Pendek
18 Pacet Pendek
19 Surabaya Pendek
20 Telebuk Pendek
21 Senduro Pendek
22 Pasuruan Pendek
23 Supiturang Pendek
24 Meleman Pendek
25 Pasinan Pendek
26 Krasak Pendek
27 Krucil Pendek
28 Massum Pendek
29 Sukasada Pendek
Sumber: BMKG
92
Gambar 3.43 Peta Titik Kebakaran Indonesia Tahun 2015 (Lapan, 2015)
Berdasarkan data diatas (tahun 2014 dan 2015) menunjukkan, bahwa Jawa Timur merupakan provinsi yang meiliki riisko tertinggi dibandingan
provinsi lain di pulau Jawa. Sehingga, pada tahun 2016 harus diwaspadai adanya ancaman kekeringan dan kebakaran.
93
Tabel 3.34 Kemungkinan dampak dari segi Ekonomi, Sosial dan Lingkungan
No. Segi Dampak Dampak
1 Ekonomi Kehilangan dari produksi panen
2 Kehilangan dari produksi susu dan ternak
3 Kehilangan produksi kayu
4 Produktifitas perikanan menurun
5 Pengaruh langsung terhadap penurunan
pendapatan petani atau kehilangan mata
pencahrian
6 Penurunan petani karena kebangkrutan
7 Penurunan dari orang tidak bekerja karena
kekeringan terhadap produksi
8 Penurunan pendapatan rekreasi dan turis
9 Penurunan dari pembuatan dan penjualan alat
rekreasi
10 Kenaikan energy demand dan penurunan suplai
karena kekeringan dengan pemangkasan tenaga
11 Penaikan energy dan pengguna karena
penggantian minyak untuk listrik tenaga air
12 Penurunan industry yang tergantung pada
produksi pertanian
13 Gangguan terhadap pensuplaian air
14 Penurunan pendapatan pemerintah pusat, daerah
dan swasta
15 Penurunan dari dapat dilayaninya aliran, sungai
dan saluran
16 Biaya dari perjalanan atau pemindahan air
17 Biaya pengembangan sumber air tambahan atau
baru
18 Biaya kenaikan pemompaan air tanah,
penutunan tanah
19 Penurunan pemngembangan ekonomi
20 Penurunan harga lahan
1 Lingkungan Kerusakan spesies binatang
2 Peningkatan jumlah dan parahnya kebakaran
3 Penurunan areal rawa
4 Terjadinya pengaruh di muara (perubahan level
salinitas)
5 Peningkatan pencemaran air tanah, penurunan
tanah
6 Penurunan keanekaragaman biologi
7 Erosi angin dan air terhadap tanah
8 Waduk, situ termasuk embung pertanian
mengalami penurunan muka iar yang cukup
drastis
95
Lanjutan Tabel 3.34 kemungkinan dampak dari segi Ekonomi, Sosial dan
Lingkungan (sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Air, 2003)
Jawa Timur
Lanjutan Tabel 3.35 Kelas Risiko Bencana Kekeringan di Daerah Jawa Timur
No. Nama Daerah Skor Kelas Risiko
28 Sidoarjo 22 Tinggi
29 Kota Pasuruan 22 Tinggi
30 Kota Madiun 22 Tinggi
31 Kota Blitar 22 Tinggi
32 Kota Mojokerto 22 Tinggi
33 Bondowoso 12 Sedang
34 Situbondo 12 Sedang
35 Kota Probolinggo 11 Sedang
Pencegahan
Optimalisasi waduk
BNPB (Badan
Penilaian Penanaman pohon Nasional
Risiko di daerah resapan Penanggulangan
air rendah Bencana)
Pemanfaatan teknologi
pengolahan air (tawar
Anggaran dan asin)
Dana
Pembangunan
sumur bor
Pihak Swasta
Gambar 3.50 Tahap pencegahan Kekeringan
Pembangunan sumur Provinsi Jawa Timur
resapanan secara komunal
Pembangunan
fasilitas perpipaan air
BMKG (Badan
Meteorologi,
Klimatologi dan
Geofisika)
102
Tabel 3.36 Upaya Setiap Instansi dalam Pencegahan Kekeringan di Jawa Timur
Upaya Instansi Tugas
Optimalisasi Pemerintah Merencanakan tindak lanjut program
waduk Kabupaten/Kota optimalisasi waduk, seperti peningkatan
daya tampung waduk dan pembangunan
aliran air dari waduk untuk irigasi, serta
pengolahan air waduk menjadi air bersih
BBTKLPP Sebagai instansi yang menyediakan unit
pengolahan air bersih
Dinas Pengairan Kab/Kota Mencanangkan program pengembangan
pengairan untuk daerah pertanian
Pemanfaatan Dinas Pengairan Kab/Kota Mencanangkan program pengembangan
Daerah Aliran pengairan untuk daerah pertanian
Sungai
Penanaman BLH Kab/Kota Mengadakan pemantauan dan penentuan
pohon di daerha kurang resapan air dan
daerah resapan mengadakan program penanaman pohon
air rendah Pemerintah Sebagai pemelopor gerakan penanaman
Kab/Kota/Bupati/Walikota pohon
BBTKLPP Surabaya Mengadakan pemicuan penanaman
pohon yang bekerjasama dengan BLH
Kab/Kota
Pemanfaatan Pemerintah Sebagai instansi yang memutuskan untuk
teknologi Kab/Kota/Bupati/Walikota kerjasama dengan BBTKLPP
pengolahan air BBTKLPP Sebagai instansi yang menyediakan unit
(tawar dan pengolahan air bersih
asin)
Pembangunan Kepala Desa Sebagai penentu apakah di daerah
sumur bor etrsebut diperlukan pembangunan sumur
atau tidak
Pemerintah Sebagai unit yang dapat mendukung
Kab/Kota/Bupati/Walikota intervensi tersebut secara finansial
Pembangunan BLH Kab/Kota Mengadakan sosialisasi cara pembuatan
sumur sumur komunal kepada masyarakat dan
resapanan mengidentifikasi daerah yang
secara kemungkinan dapat dibangun sumur
komunal komunal
Kepala Desa Sebagai pelopor pembangunan sumur
komunal dalam lingkung Desa
Pembangunan PDAM Setempat Merupakan unit yang bertugas untuk
fasilitas mengidentifikais daerah yang belum
perpipaan air terjamah oleh sistem distribusi air PDAM
Kepala Desa Sebagai penentu keputusan untuk
pembangunan perpipaan diwilayah Desa,
jika tidak terjangkau PDAM
103
Tabel 3.37 Wilayah Sungai Jawa Timur (Pemerintah Provinsi Jawa Timur, 2013)
Air yang tersedia dari air sungai dan waduk tersebut dapat diolah melalui metode
berikut:
dilakukan secara fisika dan biologi, fisika meliputi benda asing, biologi
meliputi mikrorganisme.
7. Penyinaran Ultra Violet (UV)
Merupakan sistem pengolahan air minum paling akhir yang berfungsi
untuk mematikan bakteri atau mikroorganisme yang lolos pada
penyaringan secara reverse osmosis. Sehingga pada proses penyinaran
UV terjadi pengolahan air secara biologi yaitu dengan mematikan
mikroorganisme dalam air.
Pada teknologi yang telah dirancang oleh BBTKL untuk memenuhi
penyediaan air minum dalam kondisi darurat, telah dilakukan uji
laboratorium secara fisika, kimia dan biologi, dimana hasil pengolahan
telah sesuai dengan baku mutu yang ada. Selain itu, untuk hiegen dari
peralatan pengolahan, maka untuk beberapa kali penggunaan, akan
dilakukan pencucian peralatan dengan metode back wash, yaitu dengan
membalik alur pengolahan air minum.
Pembangunan sumur resapan yang secara komunal berfungsi
menunjang kebutuhan air sehari-hari. Sumur resapan dapat berupa sumur
resapan dalam dan sumur resapan dangkal, berikut merupakan gambaran
dari sumur resapan tersebut.
Inti dari keduanya ialah menampung air hujan, sehingga air dapat
digunakan untuk keperluan sehari-hari. Sumur resapan tidak dibuat secara
individu melainkan komunal (kolektif beberapa rumah), hal ini ditujukan
untuk efisiensi biaya. Kedalaman sumur dapat menyesuaikan sesuai
kebutuhan.
Sedangkan untuk pengolahan gray water dan black water dapat
digunakan sistem WWG (Waste Water Garden) . Gray water dan black
water mengalami penyaringan oleh tanah dan tanaman, sehingga
kandungan biologi berkurang dan kandungan kimia dapat terdegradasi
kedalam tanah.
107
Semua upaya pencegahan tersebut tidak akan berjalan tanpa adanya kerjasama
dari semua pihak, yaitu pemerintah, BNPB, BMKG, masyarakat serta pihak
swasta yang turut berpartisipasi dalam kegiatan. Pihak swasta meliputi perusahaan
material, kontraktor maupun lembaga non-profit yang sukarela turut
berpartisipasi.
108
Mitigasi
Mitigasi
Struktur
Non Struktur
Persiapan
Persiapan
Kesiapsiagaan
Pemerintah
Provinsi Jatim
Masyarakat
Badan
Kesiapsiagaan Penanggulangan
Bencana Daerah
(BPBD)
BMKG (Badan
Meteorologi,
Klimatologi dan
Geofisika)
Peringatan Dini
Peringatan Dini
Masyarakat
2. Saat bencana
a. Saat Tanggap Darurat
Tanggap Darurat
Menyediakan pompa
Bantuan Pangan
Gambar 3.59 Tanggap Darurat Bencana Kekeringan Jawa Timur
Sebelum tanggap darurat, semua persiapan harus telah terpenuhi.
Sehingga pada pelaksanaan tanggap darurat hanya menjalankan secara
operasional. Sebelum melaksanakan tindakan tanggap darurat diatas, harus
dilakukan penilaian ulang, apa saja yang kemungkinan dibutuhkan
masyarakat dan kondisi demografi yang terjadi pada waktu tersebut.
116
3. Pasca bencana
Pasca Bencana
Rehabilitasi Rekonstruksi
60
50
40
30
20
10
0
2009 2010 2011 2012
Jumlah kejadian
Gambar 3.61 Angka Kejadian Keracunan Makanan Tahun 2009-2012
121
1*
5*
3* 3*
4* 4* 3* 6*
4* 3* 4*
4*
4* 3*
4*
9* 5*
1*
3*
33* 8*
7* 3*
8* 10*
10*
11*
Keterangan:
* Jumlah sampel
Risiko swab alat makan
Risiko swab tangan
123
2*
3*
1*
2*
3*
1*
Tabel 3.43 Risiko Keracunan Makanan pada Tahun 2014 dan 2015 Berdasarkan Data BBKLPP Surabaya
Th Parame Swap Lamong Bangkal Probolin Sidoar Suraba Madi Banyuwa Nga Bat Jomba Tuba
n ter an an ggo jo ya un ngi wi u ng n
201 Paramet Tang 0 3 3 3 4 4 5 5
4 er an
Biologi Recta - - - - - - - - - - -
l
Alat 5 6 4 4 4 2 9 4 - - -
Maka
n
Paramet 2 0 0 - 3 0 0 0 - - -
er Kimia
1) Masyarakat
Hal yang dapat dilakukan masyarakat guna meningkatkan
kemampuan diri terhadap timbulnya risiko keracunan makanan yaitu
dengan cara menjaga status imunit dengan menjaga pola makan yang
dikonsumsi, menerapkan perilaku cuci tangan sebelum makan, dan
juga kemampuan individu dalam menerapkan prinsip higiene dan
sanitasi dalam melakukan pengelolaan makanan.
2) Tenaga kesehatan
Hal yang dapat dilakukan tenaga kesehatan guna meningkatkan
kemampuan diri terhadap adanya risiko keracunan makanan yaitu
dengan cara melakukan inspeksi sanitasi warung makan, inspeksi
lingkungan sekitar yang dapat menjadi faktor risiko timbulnya
keracunan makanan, melakukan pemicuan pada warga sekitar agar
dapat menerapkan sanitasi lingkungan dengan baik.
3) Sarana kesehatan
Hal yang dapat dilakukan oleh sarana kesehatan yaitu mendukung
kinerja yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan juga masyarakat
dalam hal menjaga sanitasi lingkungan agar tetap baik, misalnya
132
5
Probabilitas
Keracunan
3
Makanan
Dampak
Gambar 3.67 Matriks Potensi Ancaman Bahaya
Berdasarkan matriks diatas kita dapat memprioritaskan jenis ancaman
bahaya yang perlu ditangani. Ancaman dinilai tingkat bahayanya dengan
skala (3-3) yaitu bahaya/ancaman tinggi nilai 3, bahaya/ancaman sedang
dengan nilai 3 dimana pertemuan antara kedua skala berada di kolom
kuning. Maka dapat disimpulkan bahwa kemungkinan dampak bencana
KLB keracunan makanan di beberapa wilayah yang dilakukan penelitian
oleh BBTKLPP Surabaya di jawa timur yang memiliki nilai sedang.
2. Tindakan Penanggulangan KLB Keracunan Makanan
a. Mitigasi
Mitigasi adalah upaya atau kegiatan dalam rangka pencegahan
terhadap terjadinya suatu bencana ketika sebelum terjadi, bertujuan untuk
menghindari terjadinya KLB serta mengurangi risiko yang ditimbulkan
oleh KLB. Adapun kegiatan mitigasi diantaranya:
1) Melakukan pembinaan tentang cara penatalaksanaan makanan,
pengolahan makanan dan higiene dan sanitasi makanan yang baik;
Pihak yang terlibat:
a) Dinas Kesehatan Kabupaten
134
a) Dinas Kesehatan
Merupakan instansi yang berkewajiban mengadakan surveilans
terhadap kasus kesehatan. Dinas kesehatan juga berwenang
membuat program kegiatan pasca KLB, yang nantinya puskesmas
dan juga kader kesehatan sebagai target utama yang diharapkan
kedua pihak dapat melanjutkan hasil kegiatan ke masyarakat
2) Rekonstruksi
Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua sarana dan
prasarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat
pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya
hukum, dan bangkitnya semangat masyarakat pada daerah pasca
bencana. Dalam hal rekonstruksi pasca KLB keracunan makanan dapat
dilakukan dengan cara pengoptimalan pelaksanaan higiene dan sanitasi
pengelolaan makanan oleh pengelola makanan.
a) BPOM
Memastikan dan menguatkan program yang dibuat efektif dan
telah sampai kepada masyarakat.
b) BBTKL
Melakukan analisis risiko melalui surveilans terhadap tempat
yang belum terjadi kasus
c) Dinas Kesehatan
Melakukan kajian mengenai penanganan KLB keracunan
makanan dan bekerjasama dengan Puskesmas setempat untuk
meningkatkan hyegen sanitasi makanan masyarakat
d) Puskesmas
Menguatkan pemahaman dan pelaksanaan hyegen sanitasi
makanan masyarakat baik
e) Kader Kesehatan
Dibawah koordinasi Puskesmas, memastikan masyarakat
paham dan melaksanakan hyegen sanitasi makanan dengan baikdan
sanitasi pengelolaan makanan oleh pengelola makanan.
140
Kab/Kota Kasus
1 Kab. Sumenep 286
2 Kab. Jember 199
3 Kab. Jombang 110
4 Kab. Bondowoso 100
5 Kab. Banyuwangi 96
6 Kab. Probolinggo 90
7 Kab. Kediri 87
8 Kab. Tulungagung 86
9 Kab. Trenggalek 85
10 Kab. Mojokerto 83
11 Bangkalan 277
Sumber: Media online greeners tahun 2016 dan data BBTKLPP tahun 2015
3.8.3 Rencana kontingensi DBD Jawa Timur
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada
suatu kawasan dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit,
jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta,
dan gangguan kegiatan masyarakat.
142
b. Kerentanan
Kerentanan adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat
yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi
ancaman bencana. Pemahaman tentang kerentanan masyarakat
1) Kerentanan fisik
Kerentanan fisik yang dapat menyebabkan terjadinya demam
berdarah dengue yaitu:
a) Kepadatan penduduk, yaitu jarak antar rumah yang < 5 meter
berisiko memiliki penyebaran nyamuk Aedes cukup tinggi
(Roose, 2008);
b) Densitas larva erat kaitannya dengan penyebaran nyamuk
Aedes (Berdasarkan jurnal, wilayah endemis memiliki HI yang
tinggi yaitu sebanyak 54%; memiliki CI yag tinggi yaitu
sebanyak 35,3%; memiliki BI yang tinggi yaitu sebanyak
137%);
c) Warna konteiner yang gelap karena jentik Ae.aegypti bersifat
fototaksis negatif yaitu mendekati cahaya dan paling menyukai
warna gelap.
2) Kerentanan ekonomi
Kemampuan ekonomi suatu individu atau masyarakat sangat
menentukan tingkat kerentanan terhadap ancaman terjadinya penyakit
Demam Berdarah Dengue. Pada umumnya masyarakat atau daerah
yang miskin atau kurang mampu lebih rentan terhadap bahaya, karena
tidak mempunyai kemampuan finansial yang memadai untuk
melakukan upaya pencegahan ataupun secara tidak langsung
mempengaruhi status gizi dan imunitas masyarakat.
3) Kerentanan sosial
Kerentanan sosial yang dapat menyebabkan terjadinya Demam
Berdarah Dengue yaitu, perpindahan manusia dari satu kota ke kota
lain dapat mempengaruhi penyebaran penyakit DBD (Berdasarkan
jurnal didapatkan bahwa wilayah yang endemis, mobilitas penduduk
50% sedangkan yang tidak endemis hanya terdapat mobilitas 31,3%)
145
4) Kerentanan lingkungan
Kebiasaan masyarakat yang merugikan kesehatan dan kurang
memperhatikan kebersihan lingkungan seperti :
a) Kebiasaan menggantung baju > 2 hari (Praditya, 2011);
b) Gerakan PSN dengan 3M+ belum terlaksana dengan optimal
(Menurut penelitian BBTKLPP terkait DBD di Mojokerto
tahun 2015);
c) ABJ lebih dari yang telah ditetapkan yaitu < 95% (Menurut
penelitian yang dilakukan BBTKLPP terkait KLB DBD di
Mojokerto tahun 2015);
d) Terdapat potensi terjadinya resistensi insektisida (Menurut
penelitian BBTKLPP terkait DBD di Mojokerto tahun 2015)
e) Menurut penelitian yang dilakukan BBTKLPP terkait KLB
DBD di Mojokerto tahun 2015, kurangnya peran serta
masyarakat dalam kegiatan PSN (ada kegiatan mekanik, kimia,
biologi).
c. Kemampuan
Kemampuan adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau
masyarakat yang menyebabkan masyarakat atau komunitas tersebut
mampu untuk mencegah, menanggulangi, atau mengurangi terjadinya
risiko penularan suatu penyakit maupun mengurangi dampak dari suatu
bencana yang berpotensi terjadi di komunitas tersebut.
Terdapat beberapa kemampuan dari komunitas atau masyarakat yang
dapat mencegah, menanggulangi, atau mengurangi terjadinya risiko
keracunan makanan yaitu:
1) Masyarakat
Hal yang dapat dilakukan masyarakat guna meningkatkan
kemampuan diri terhadap timbulnya risiko terkena DBD yaitu dengan
cara menjaga status imun dengan menjaga pola makan yang
dikonsumsi (Wati, 2009), menerapkan lingkungan bebas breeding
place nyamuk Aedes, serta melakukan perencanaan pembangunan
rumah dengan baik.
146
2) Tenaga kesehatan
Hal yang dapat dilakukan tenaga kesehatan guna meningkatkan
kemampuan diri terhadap adanya risiko terkena DBD yaitu dengan
cara melakukan inspeksi kebersihan lingkungan secara rutin,
optimalisasi kinerja jumantik, serta ketersediaan larvasida yang
mencukupi di setiap fasilitas kesehatan.
3) Sarana kesehatan
Hal yang dapat dilakukan oleh sarana kesehatan yaitu mendukung
kinerja yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan juga masyarakat
dalam hal menjaga sanitasi lingkungan agar tetap baik, misalnya
dengan menyediakan laboratorium pemeriksaan jentik nyamuk dan
serotype yang menyerang masyarakat.
d. Analisis Kemungkinan Dampak Bencana
Pertemuan dari faktor-faktor ancaman bencana/bahaya dan
kerentananmasyarakat akan dapat memposisikan masyarakat dan daerah
yangbersangkutan pada tingkatan risiko yang berbeda.Semakin tinggi
ancaman bahaya di suatu daerah, maka semakin tinggirisiko daerah
tersebut terkena bencana. Demikian pula semakin tinggitingkat kerentanan
masayarakat atau penduduk, maka semakin tinggi pulatingkat risikonya.
Tetapi sebaliknya, semakin tinggi tingkat kemampuanmasyarakat, maka
semakin kecil risiko yang dihadapinya.
Semua bahaya/ancaman dapat di perkirakan kemungkinan terjadinya
(probabilitasnya) dengan rincian:
5 = Pasti (hampir dipastikan 80 - 99%).
4 = Kemungkinan besar (60 – 80% terjadi tahun depan, atau sekali dalam
10 tahun mendatang)
3 = Kemungkinan terjadi (40-60% terjadi tahun depan, atau sekali dalam
100 tahun)
2 = Kemungkinan kecil (20 – 40% dalam 100 tahun)
1 = Kemungkian sangat kecil (hingga 20%)
Jika dampak inipun diberi bobot sebagai berikut:
5 Sangat parah (80% - 99% wilayah hancur dan lumpuh total)
147
5
Probabilitas
Demam
3
Berdarah
Dampak
Selain itu urin hewan ternak juga dapat menjadi tempat perkembang
biakan bakteri leptospira dan dapat menularkan ke manusia seperti yang
terjadi di kabupaten Ponorogo pada Juni 2015, setelah diuji sampel urin
hewan ternak di kawasan tempat tinggal terjangkit leptospira ditemukan 1
sampel urin kambing positif. Bakteri juga ditemukan di air bersih milik
salah satu penderita setelah dilakukan pengujian.
Data profil kesehatan Jawa Timur (2012) menunjukkan terdapat 6
kejadian leptospirosis, dan 10 kasus dengan 2 kematian CFR 20% yang
mencakup 2 kab/kota dan 5 kecamatan. Kejadian KLB Leptospirosis
pernah terjadi pada tahun2010-2011 di Malang, Gresik, dan Surabaya.
Sedangkan dalam kurun waktu 2013-2014 KLB leptospirosis terjadi di
Tulungagung, Ponorogo dan Sampang, bahkan di Sampang pada
Desember 2013-Januari 2014 data di RSUD Sampang menunjukan
sebanyak 33 orang dan hasil pemeriksaan RDT menunjukkan 17 orang
(51,5%) positif leptospirosis (Laporan Kajian Surveilans BBTKLPP
Surabaya, 2014).
2. Kerentanan
Kerentanan (vulnerability) adalah keadaan atau sifat/perilaku manusia
atau masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya
atau ancaman. Kerentanan ini dapat berupa:
a. Kerentanan Ekonomi
Bakteri Leptospira dapat menginfeksi binatang peliharaan maupun
binatang ternak, sedangkan banyak dari masyarakat kita memiliki
pekerjaan sebagai peternak yang rentan untuk tertular leptospirosis dari
hewan pembawa, karena setiap hari mereka bersinggungan langsung
dengan hewan –hewan tersebut.
Menurut data PDRB 2012, penduduk Jawa Timur sebesar 85,74%
memiliki mata pencaharian di bidang pertanian, peternakan, kehutanan,
dan perikanan. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk Jawa Timur yang
bekerja di bidang peternakan salah satunya sangat besar sekali, secara
tidak langsung penduduk tersebut banyak yang bersinggungan dengan
hewan.
157
b. Kerentanan Sosial
Kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat kerentanan
terhadap ancaman bahaya. Dari segi pendidikan, kekurangan pengetahuan
tentang risiko bahaya dan bencana akan mempertinggi tingkat kerentanan.
Masyarakat banyak yang belum sadar dan belum tahu tentang sangat
pentingnya higiene personal perseorangan.
Selain itu sudah menjadi kebiasaan dari masyarakat kita yang sulit
dirubah yakni tidak biasa menggunakan alas kaki ketika bekerja atau
dalam melakukan kegiatan, hal ini berpotensi tertular leptospira jika di
kaki mereka terdapat luka ataau lesi yang menjadi pintu masuknya bakteri
leptospira dalam tubuh manusia. sesuai data penelitian BBTKLPP di
Sampang, Ponorogo dan Tulungagung pada tahun 2013-2014
menunjukkan kebiasaan pasien atau warga yang bertempat tinggal
didaerah KLB (sampang, ponorogo Tulungagung) memiliki kebiasaan
tidak menggunakan alas kaki.
c. Kerentanan Lingkungan
Kerentanan lingkungan dalam hal ini salah satunya adalah jarak
rumah dengan tempat pengumpulan sampah yang sangat dekat, seperti
kasus leptospoira yang terjadi di Sampang, teridentifikasi bahwa rumah
responden yang terjangkit leptospira memiliki jarak yang dekat degan
tempat sampah.
Daerah sering banjir juga sangat berpotensi terjangkit leptospira,
kebiasaan masyarakat yang menyimpan hasil panen di dalam rumah,
seperti kasus yang terjadi di KLB leptospira Ponorogo, teridentifikasi
bahwa 3 responden yang terjangkit bakteri leptospira memiliki kebiasaan
menyimpan hasil panen didalamrumah, hal ini dapat mengundang
kedatangan rodent seperti tikus untuk masuk di dalam rumah.
Sanitasi lingkungan masyarakat yang kurang seperti lantai rumah
masih tanah, langit-langit rumah tidak ada, dinding rumah dari kayu/batu
bata yang tidak diplester. Kebiasaan masyarakat menyimpan tempat
sampah dalam rumah dan tidak membuangnya setiap hari, hal ini dapat
158
CFR % Kasus
51
43
32
31
29
21
25
24
20
15 15
10
6
5
3
0 0
Th 2011 Th 2012 Th 2013 Th 2014 Juni Th 2015
Tabel 3.51 Kejadian dan penduduk yang berisiko terjangkit bakteri leptospira
Waktu Penduduk
No Daerah Kejadian
Kejadian Berisiko
1 Th 2011 Kab. Gresik terjadi 21 318 766.00 jiwa
kasus dengan diwilayah Kab
CFR 43 % Gresik
2. September Kab.Tulungagung 1 terdiagnosa 55.228 Jiwa
Th 2014 Ds. Bono Kec. Pakel dan meninggal diwilayah kec.
Pakel
3. Pasca KLB
Upaya yang dilakukan pada tahap rehabilitasi adalah untuk
mengembalikan kondisi daerah yang terkena bencana yang serba tidak
menentu ke kondisi normal yang lebih baik, agar kehidupan dan
penghidupan masyarakat dapat berjalan kembali. Kegiatan-kegiatan yang
dilakukan meliputi:
a. Perbaikan higiene sanitasi tempat tinggal yang dilakukan dinas kesehatan
b. Meningkatkan upaya promotif dan pencegahan dengan kegiatan penyuluhan,
dilakukan dinas kesehatan
c. Peningkatan Pelayanan kesehatan yang dilakukan dinaskesehatan
d. Melakukan peningkatan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) dengan kegiatan
surveilans faktor risiko tetap dilakukan oleh BBTKLPP
e. Peningkatan partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi
kemasyarakatan, dan masyarakat yang sebelumnya sudah dibekali
pengetahuan mengenai leptospirosis.
Kab.Sampang:
96 kasus dg jumlah kematian 9 orang
Kab.Ponorogo:
24 kasus dg jumlah kematian 1 orang
Kab.Tulungagung:
24 kasus dengan korban 1 meninggal
Sumber: Pribadi
Gambar 3.75 Peta Persebaran Kejadian Luar Biasa Leptospira Tahun
2013-2014 (Sumber: Laporan kajian surveilans
BBTKLPP Surabaya 2014)
163
PEMASANGAN
TRAP
PENGELUARAN PELEMASAN
TIKUS
PENGAMBILAN DARAH
DARAH PEMISAHAN
SERUM
PENYISIRAN
TIKUS PINJAL
PINJAL
SPESIES TIKUS
POOL POOL POOL
PINJAL PINJAL PINJAL ANALISIS / INTERPRETASI DATA
PINJAL
F1 Umum > 1
F1 Khusus >1
Ditemukan Y. pestis
Rat Fall
Pengambilan
PemeriksaanBacteriologis PengumpulanPinjal Daerah FokusPes
Serum Rodent positif
Pooling pinjal
Positif(+)
PeningkatanSurvaelans rodent (ekstra trapping)
Yersinia pestis Yersinia pestis
DUSTING
Dusting/Dustpring/Dustlon Monitoring kerentana
RUMAH LINGKUNGAN
NN
PNDRITA/SUSPEK FR PERILAKU FR LINGKUNGAN
4.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
2349/MENKES/PER/XI/2011 pasal 21 menyatakan bahwa bidang Analisis
Dampak Kesehatan Lingkungan mempunyai tugas melaksanakan
perencanaan dan evaluasi pelaksanaan analisis dampak kesehatan lingkungan
fisik dan kimia, serta dampak lingkungan biologi, dan pendidikan dan
pelatihan di bidang pengendalian penyakit, kesehatan lingkungan, dan
kesehatan matra. Tugas pokok bidang ADKL adalah menyiapkan bahan
analisis media lingkungan dan biomarker, menyiapkan bahan kajian dan
pelaksanaan teknis analisis dampak kesehatan perubahan iklim, serta
menyiapkan bahan pengumpulan data aspek fisik, kimia, biologi,
radioaktivitas media lingkungan dan biomarker serta pelaporannya.
2. Pada kegiatan uji kualitas lingkungan rumah sakit tahun 2015 terdapat total
117 rumah sakit yang tersebar di 34 kabupaten di Jawa Timur yang
melakukan uji di BBTKLPP Surabaya. Sampel yang diuji meliputi air bersih,
air minum, makanan-minuman, udara ruang, rectal swab, swab alat makan,
swab lantai, swab dinding, swab linen, dan air limbah RS. Hasil pengujian
menunjukkan 71% sampel air bersih memenuhi syarat, 85% sampel air
minum memenuhi syarat, 79% sampel makanan dan minuman memenuhi
syarat, 59% udara ruang memenuhi syarat, 100% hasil rectal swab memenuhi
syarat, 90% swab alat makan memenuhi syarat, 97% swab lantai memenuhi
syarat, 99% swab dinding memenuhi syarat, 93% linen memenuhi syarat, dan
62% air limbah RS memenuhi syarat. Bidang Surveilans Epidemiologi
mempunyai tugas menyusun perencanaan program, melakukan monitoring
dan evaluasi pelaksanaan program di bidang surveilans epidemiologi,
advokasi, dan fasilitasi kesiapsiagaan dan penanggulangan KLB, kajian dan
diseminasi informasi kesehatan lingkungan, kesehatan matra, kemitraan dan
jejaring kerja serta pendidikan dan pelatihan bidang surveilans epidemiologi.
170
171
6. Bencana kekeringan ditandai ketika suatu daerah tidak hujan selama lebih
dari 60 hari berturut-turut sehingga berpotensi mengalami kekeringan
ekstrim. Berdasarkan peta titik kebakaran LAPAN, Provinsi Jawa Timur
merupakan provinsi yang paling berisiko terhadap ancaman kekeringan dan
kebakaran dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa. Kekeringan
dapat menimbulkan berbagai dampak kesehatan, antara lain penyakit diare
karena kekurangan air bersih, penyakit ISPA, penyakit kulit serta keracunan
makanan. Rencana kontigensi untuk bencana kekeringan di Jawa Timur
meliputi skenario tindakan mulai pra bencana, saat bencana hingga pasca
bencana. Pelaksanaan rencana kontingensi melibatkan peran serta pemerintah,
sektor terkait meliputi sektor kesehatan, sektor sosial, pekerjaan umum,
sektor perhubungan, sektor energi dan sumber daya mineral, sektor tenaga
kerja dan transmigrasi, TNI dan POLRI serta masyarakat.
7. Kejadian keracunan makanan di Jawa Timur tergolong tinggi, pada tahun
2012 tercatat terdapat 1.106 kasus dengan 3 korban meninggal. Berdasarkan
perhitungan dengan menggunakan rumus DALY (Disability-Adjusted Life
Year) keracunan makanan merupakan beban yang cukup tinggi bagi suatu
negara, menurut WHO pada tahun 2015, diperkirakan dari 600 juta penduduk,
10 orang di dunia mengalami keracunan makanan. Risiko keracunan makanan
ditimbulkan oleh proses memasak yang tidak benar, penyimpanan makanan
yang kurang optimal, kontaminasi oleh vektor dan penjamah makanan, serta
kontaminasi silang. Berdasarkan perhitungan potensi ancaman bahaya kasus
keracunan makanan di Jawa Timur menunjukkan bahwa potensi bahaya yang
ditimbulkan oleh keracunan makanan tergolong sedang. Rencana kontigensi
untuk KLB keracunan makanan di Jawa Timur meliputi skenario tindakan
mulai pra KLB, saat KLB hingga pasca KLB. Pelaksanaan rencana
kontingensi melibatkan peran serta pemerintah, sektor terkait serta
masyarakat.
8. Demam berdarah masih menjadi masalah yang dihadapi Provinsi Jawa Timur
setiap tahun. Case Fatality Rate (CFR) DBD di Jawa Timur pada 2014
adalah 1,15% dengan jumlah kasus 9.273 kasus. Berdasarkan matriks potensi
ancaman bahaya, KLB DBD di Provinsi Jawa Timur adalah tergolong
173
4.2 Saran
1. Dilakukan sosialisasi lebih lanjut mengenai pentingnya pengujian kualitas
lingkungan rumah sakit baik fisika, kimia, maupun biologi terutama di
daerah yang jauh dari pusat kota;
174
Lampiran
Dokumentasi Kegiatan
Lampiran
Lembar Catatan Kegiatan dan Absensi Magang
180
Lampiran
SURAT PERMOHONAN IZIN MAGANG