SEMINAR NASIONAL
PENDIDIKAN OLAHRAGA
Peningkatan Mutu Guru Dan Pembelajaran
Pendidikan Jasmani Olahraga Kesehatan
Berbasis Penelitian Nilai-Nilai Kearifan Lokal
Guna Mendukung Prestasi Olahraga Nasional
Penyelenggara :
Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan 9
Prodi Pendidikan Olahraga Pascasarjana Universitas Negeri Medan
Prodi Ilmu Keolahragaan Pascasarjana Universitas Negeri Medan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Olahraga Tahun 2018
FIK Unimed, 8 September 2018:
Digital Library , Universitas Negeri Medan
Tema :
Narasumber :
i
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Olahraga Tahun 2018
FIK Unimed, 8 September 2018:
Digital Library , Universitas Negeri Medan
PROSIDING
SNPO 2018
Seminar Nasional Pendidikan Olahraga
Tema :
Steering Comitee
Dr. Budi Valianto, M.Pd.
Drs. Suharjo, M.Pd.
Dr. Albadi Sinulingga, M.Pd.
Dr. Syamsul Gultom, SKM., M.Kes.
Drs. Mesnan, M.Kes.
Akbar Khusyairi Rambe, S.Pd.
Nasiruddin Daulay, S.Pd.
Organizing Comitee
Abdul Harris Handoko, S.Pd., M.Pd
Togi Parulian Tambunan, S.Pd.
Akbar Zahriali, S.Pd.
Rian Handika, S.Pd.
Sri Astuti, S.Pd.
Alan Alfiansyah Putra Karo-karo, S.Pd.
Reviewer :
Dr.Sabaruddin Yunis Bangun,M.Pd. (Unimed)
Dr. Sukendo, M.Kes. (UNJA)
Dr. Syahruddin, M.Kes. (UNM)
Dr. Rahma Dewi, M.Pd. (Unimed)
Dr. Amir Supriadi, M.Pd. (Unimed)
Penerbit :
Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
Jl. Williem Iskandar Pasar V Medan Estate Medan
Telp:061-6625972
E-mail: fik@unimed.ac.id
Website:fik.unimed.ac.id
ISBN 978-602-53100-0-3
ii
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Olahraga Tahun 2018
FIK Unimed, 8 September 2018:
Digital Library , Universitas Negeri Medan
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan ke hadlirat Allah Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan hidayah yang telah diberikan kepada kita semua, sehingga buku
Prosiding hasil Seminar Nasional Pendidikan Olahraga Tahun 2018 pada hari
sabtu tanggal 08 September 2018 di Gedung Digital Library Universitas Negeri
Medan dapat terwujud.
Buku ini memuat artikel dan hasil penelitian Bapak/Ibu guru / dosen / Mahasiswa
Universitas Negeri Medan yang dikumpulkan dan ditata oleh tim dalam
kepanitiaan Seminar Nasional Pendidikan Olahraga Tahun 2018. Oleh karena
itu, dalam kesempatan ini perkenankan kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. Rektor Universitas Negeri Medan, Bapak Prof. Dr. Syawal Gultom, M. Pd.
yang telah memfasilitasi semua kegiatan Seminar Nasional Pendidikan
Olahraga ini.
2. Bapak/Ibu segenap panitia Seminar Nasional Pendidikan Olahraga, yang
telah meluangkan waktu, tenaga, dan pemikirannya demi suksesnya kegiatan
ini.
3. Bapak/Ibu guru, dosen dan mahasiswa penyumbang artikel dan hasil
penelitian dalam kegiatan ini.
Semoga buku ini dapat memberi kemanfaatan bagi kita semua, untuk
kepentingan peningkatan mutu guru dan pembelajaran pendidikan Jasmani
olahraga kesehatan berbasis penelitian nilai-nilai kearifan local guna mendukung
prestasi olahraga nasional
iii
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Olahraga Tahun 2018
FIK Unimed, 8 September 2018:
Digital Library , Universitas Negeri Medan
Evaluasi Program Pelatda Hockey Putri Sumut Menuju Pon Jabar Ke Xix Tahun 2016
Solehuddin Al Huda ........................................................................................................... 741
Kontribusi Latihan Horizontal Swing Dan Latihan Hexagon Drill Terhadap Kemampuan
Bermain Tenis Meja Pada Siswa Putra
Amal Syahril Sihombing ..................................................................................................... 748
Implementasi Manajemen Pusat Pendidikan Dan Latihan Olah Raga Pelajar Provinsi
Sumatera Utara
Johan Erik Purba ............................................................................................................... 754
Sitem kompetisi
Fil Erwin Lubis ................................................................................................................... 771
Pertandingan O2sn
Hardiansyah....................................................................................................................... 782
Etika Dan Moral Dalam Pendidikan Jasmani Dan Olahraga Menuju Olahraga Baik
Ilham Dwi Prananta, Roy Marwan ...................................................................................... 825
Perbedaan Pengaruh Latihan Verticle Hops Dan Latihan Split Squat Jump
Terhadap Peningkatan Power Otot Tungkai
Lufti Irfan…………………….. ............................................................................................. 828
xiv
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Olahraga Tahun 2018
FIK Unimed, 8 September 2018:
Digital Library , Universitas Negeri Medan
Abstrak. Pengetahuan, sikap dan tanggapan siswa/atlet pada awal sebelum di lakukannya
treatmen sosialisasi mengenai doping, skor yang didapat dari 5 orang sample tersebut sangat
rendah yaitu berkisar (45 – 60) sedangkan. Pengetahuan, sikap dan tanggapan siswa/atlet setelah
di lakukannya treatmen sosialisasi mengenai doping, skor yang didapat dari 5 orang sample
tersebut sangat drastis meningkat yaitu berkisar (95 – 125). Adanya pengaruh atau perubahan
yang berarti antara sebelum dan sesudah diberikannya treatmen melalui sosialisasi tersebut.
Secara garis besar siswa/atlet perlu diberikan pemahaman mengenai doping tersebut, namun
demikian akses untuk memperoleh pengetahuan tersebut dan pemahaman doping sangat terbatas
disekolah-sekolah. Begitu pentingnya bagi lembaga formal maupun non formal memberikan
pengetahuan dan pemahaman mengenai doping secara menyeluruh serta dampaknya bagi masa
depan siswa/atlet baik melalui materi pembelajaran, sosialisasi danseminar tentang doping
tersebut.
807
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Olahraga Tahun 2018
FIK Unimed, 8 September 2018:
Digital Library , Universitas Negeri Medan
PEMBAHASAN
Doping adalah pemberian/penggunaan oleh peserta lomba, berupa bahan yang asing bagi
organism melalui jalan apa saja atau bahan fisiologis dalam jumlah yang abnormal atau diberikan melalui
jalan yang abnormal, dengan tujuan meningkatkan prestasi. (Djoko Pekik: 2006: 115).
Dalam olahraga, istilah doping merujuk pada penggunaan obat peningkat performa oleh para atlet
agar dapat meningkatkan performa atlet tersebut. Akibatnya, doping dilarang oleh banyak organisasi
olahraga seluruh dunia.
Menurut IOC (Komite Olimpiade Internasional) pada tahun 1990, membuat definisi doping sebagai
bahan dan metode yang dilarang dalam olahraga dan tidak terkait dengan indikasi medis. Alasannya
terutama mengacu pada ancaman kesehatan atas obat peningkat performa, kesamaan kesempatan bagi
semua atlet dan efek olahraga “bersih” bebas doping yang patut dicontoh dalam kehidupan umum.
Bahan yang dilarang dikelompokkan dalam 6 kelas berdasarkan efeknya kedalam tubuh yaitu:
Stimulan, Narkotika, Analobik, Beta Bloker, Diuretik, dan Peptida Hormon. Sedangkan metode yang
dilarang adalah doping darah, manipulasi urin melalui farmakologi, kimia dan fisik. Selain itu terdapat pula
obat yang termasuk dalam restriks tertentu (Dangsina, 1995).
Menurut UU No. 3 tahun 2005 tetntang sistem keolahragaan nasional, Bab I ketentuan umum
pasal 1 ayat 22, doping adalah penggunaan zat atau metode terlarang untuk meningkatkan prestasi
olahraga.
Sedangkan dalam dunia olahraga doping didefinisikan sebagai pemakaian atau penggunaan obat
dari suatu bahan asing bagi tubuh, oleh seorang atlet dengan cara atau jalan apapun, dengan tujuan
utama meningkatkan kemampuan sebelum atau pada waktu pertandingan, secara artifisal dan tidak adil
(C.K GIAM dan K.C.The, 1992).
Berikut ini merupakan zat-zat doping atau zat-zat terlarang menurut LADI(2007: 61-65) yang
dikelompokkan dalam 6 golongan berdasarkan efeknya kedalam tubuh yaitu:
1. Stimulan
Stimulan adalah obat yang digunakan untuk meningkatkan aktivitas fisik dan kewaspadaan dengan
meningkatkan gerak jantung dan pernapasan serta meningkatkan fungsi otak. Dengan berkerja pada
sistem saraf pusat, stimulan bisa merangsang tubuh baik secara mental dan fisik. Contohnya adalah
amphetamine, caffeine, cocaine. Dilarang karena dapat merangsang pikiran atau tubuh, sehingga
meningkatkan kinerja dan memberi atlet keuntungan yang tidak adil. Atlet menggunakannya untuk
meningkatkan kemampuan mereka dalam latihan pada tingkat yang optimal, menekan kelelahan
tempur dan nafsu makan.
2. Narkotika
808
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Olahraga Tahun 2018
FIK Unimed, 8 September 2018:
Digital Library , Universitas Negeri Medan
809
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Olahraga Tahun 2018
FIK Unimed, 8 September 2018:
Digital Library , Universitas Negeri Medan
810
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Olahraga Tahun 2018
FIK Unimed, 8 September 2018:
Digital Library , Universitas Negeri Medan
METODE PENELITIAN
Dalam rangka melakukan penelitian tentang “Upaya pencegahan doping pada siswa/atlet SMK ”
maka metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kuantitatif melalui sosialisasi
ke sekolah. Metode tersebut dipilih karena dinilai mendukung peneliti dalam melakukan identifikasi
masalah, analisis masalah, serta menangkap realitas sosial yang terjadi hingga mampu melakukan
konstruksi situasi sosial pada obyek yang diteliti secara lebih mendalam, jelas dan bermakna dapat
tercapai sehingga rumusan masalah dapat terjawab secara utuh dan menyeluruh. Jenis data yang
digunakan penulis dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh melalui Dokumentasi dan Uji Angket,
yang berguna untuk menggali informasi mengenai sejauh mana pengetahuan, sikap dan perilaku
siswa/atlet terhadap upaya pencegahan doping tersebut. Penelitian dilakukan di halaman SMK Tekno
Nusantara Medan berlokasi di Komplek Karya Jaya Shafira No. 196, Jalan Karya Jaya, Kel. Sedung
Johor, Kec. Medan Johor, Kota Medan. Subjek Penilitian disini adalah siswa kelas XI RPL C SMK Tekno
Nusantara Medan dengan Populasi 24 orang, maka sample yang diambil 5 orang.
1 Muhammad Syarif 14 29 15 25 12 20
3 Nael V Sitanggang 10 27 18 25 16 20
811
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Olahraga Tahun 2018
FIK Unimed, 8 September 2018:
Digital Library , Universitas Negeri Medan
5 Nanda Pratama 6 23 5 25 4 20
Terdapat Peningkatan pada table diatas bahwasanya setelah ditotal keseluruhan aspek tampak
jelas antara sebelum dilakukannya treatment nilai skornya sangat rendah berkisar (45 – 60) sedangkan
setelah diberikannya treatment nilai skornya meningkat berkisar (95 – 125), maka treatment yang
dilakukan melalui sosialisasi/persentase kepada siswa berhasil diterima siswa tersebut dikarenakan
adanya peningkatan skor/ pola pikir yang signifikan berdasarkan aspek pengetahuan, sikap dan
tanggapan siswa.
812
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Olahraga Tahun 2018
FIK Unimed, 8 September 2018:
Digital Library , Universitas Negeri Medan
DAFTAR PUSTAKA
Bromilow D.B : Doping Classes and Method. Dalam : IIMS Annual 1997 (Evangelista., Eds). Philipines.
AMIMS Publication. 1997.
Harvey RA and Champe PC : CNS Stimulants. Dalam. Lippincott`s Illustrated Reviews Pharmacology.
Company Philadelphia – New York – London Hagerstown. 1992. Hal 101 – 108.
dr. Afriwardi, Sp.KO, Ilmu Kedokteran Olahraga; Penerbit Buku Kedokteran EGC 2009.
813
Diterbitkan Oleh:
Prodi Ilmu Keolahragaan
FIK-UNIMED ISSN 2580-5150
Doping Glukokortikoid
Oleh
Alin Anggreni Ginting1, Zulaini2, Zulfachri3
1
Universitas Negeri Medan
2
Universitas Negeri Medan
3
Universitas Negeri Medan
Email: alinginting@unimed.ac.id
Abstrak
Penggunaan doping dalam olahraga sudah menjadi hal yang umum dikarenakan
tingginya tingkat persaingan dan adakalanya dikarenakan kurangnya informasi
dan pengetahuan terkait doping itu sendiri. WADA sebagai organisasi anti doping
dunia melarang penggunaan glukokortikoid saat pertandingan tanpa adanya
pengawasan tim medis. Glukokortikoid merupakan steroid yang memiliki fungsi
utama gluconeogenesis.
Kata kunci: Glukokortikoid, doping, kortisol
A. PENDAHULUAN
Persaingan prestasi yang sangat ketat dan tuntutan prestasi pada seorang atlet
sering kali membuat atlet mencari jalan pintas untuk meningkatkan kemampuan
fisiknya. Hal ini tentu akan merusak hakekat dari olahraga itu sendiri yang
menunjunjung tinggi sportivitas. Penggunaan doping merupakan salah satu jalan pintas
yang sering dipergunakan oleh atlet. Meskipun pada beberapa kasus, seorang atlet tidak
mengetahui bahwa suplemen yang biasa mereka konsumsi mengandung zat yang masuk
dalam kategori doping seperti meldonium yang baru ditetapkan WADA sebagai doping
pada 1 Januari 2016.
Doping merupakan sebuah fenomena di dunia olahraga khususnya dikalangan
olahraga professional. Sebuah survei menemukan bahwa 98% atlet bersedia
menggunakan doping jika itu memastikan mereka menjadi juara Olimpiade meskipun
mereka tidak mengetahui apa efek sampingnya. Bahkan 50% atlet dari hasil survei
menyatakan bahwa mereka bersedia mengkonsumsi obat meskipun mereka meninggal
namun dengan jaminan mereka memenangkan kompetisi selama 5 tahun ke depan tanpa
ketahuan (Morente-Sánchez and Zabala, 2013).
Secara umum WADA membagi doping menjadi beberapa substansi dan metode,
yaitu substansi dan metode yang dilarang sepanjang waktu (sebelum, saat dan setelah
kompetisi), susbtansi dan metode yang dilarang saat pertandingan, dan substansi yang
dilarang pada olahraga tertentu. Substansi dan metode tersebut dikategorikan menjadi
B. DOPING
Doping bukanlah sesuatu yang baru di dalam dunia olahraga terutama olahraga
prestasi. Kata doping berasal dari kata dope (bahasa suku Kaffern di Afrika Selatan)
yang artinya minuman keras berkonsentrasi tinggi dari campuran akar tumbuhan yang
biasa digunakan suku setempat sebagai perangsang (stimulan) ada acara adat.
Sementara dalam bahasa Inggris, doping berarti zat campurang opium dan narkotika
untuk perangsang. Kata doping pertama kali dipergunakan di Inggris tahun 1869 untuk
balapan kuda, dimana kuda di doping agar menjadi juara. Menurut IOC (International
Olympic Committee) pada tahun 1990, doping adalah upaya meningkatkan prestasi
dengan menggunakan zat atau metode yang dilarang dalam olahraga dan tidak terkait
dengan indikasi medis.
C. GLUKOKORTIKOID
Korteks adrenal merupakan bagian dari kelenjar adrenal yang terdapat dilapisan
luar mengelilingi modula adrenal serta mengeluarkan sejumlah hormon adrenokorteks,
yang semuanya adalah steroid yang berasal dari molekul prekursor bersama, yaitu
kolesterol. Salah satu steroid adrenal yang dibedakan berdasarkan efek kerja primernya
adalah glukokortikoid. Glukokortikoid, terutama kortisol disintesis terbatas di dua
lapisan zona glomerolusa, dengan zona fasikulata adalah sumber utama glukokortikoid.
Kortisol terikat terutama ke protein plasma yang spesifik untuknya yang dinamai
corticosteroid-binding globulin (transkortin) (Sherwood, 2016).
Kortisol, glukokortikoid utama, berperan penting dalam metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein; memiliki efek permisif signifikan bagi aktivitas hormon lain, dan
membantu tubuh menahan stres.
1. Efek metabolik
a. Efek kortisol terhadap metabolisme karbohidrat
1) Perangsangan glukoneogenesis
Efek keseluruhan dari pengaruh kortisol pada metabolisme adalah peningkatan
konsentrasi glukosa darah dengan mengorbankan simpanan lemak dan protein
(Sherwood, 2014) oleh hati serta meningkatkan kecepatan glukoneogenesis
sebesar 6 sampai 10 kali lipat (Guyton and Hall, 2014). Hal ini disebabkan oleh
dua efek kortisol, yaitu:
Kortisol meningkatkan enzim-enzim yang dibutuhkan untuk mengubah asam-
asam amino menjadi glukosa dalam sel-sel hati. Hal ini dihasilkan dari efek
glukokortikoid untuk mengaktifkan transkripsi DNA di dalam inti sel hati
dengan cara yang sama seperti fungsi aldosteron di dalam sel-sel tubulus ginjal,
disertai dengan pembentukan RNA messenger yang selanjutnya dapat dipakai
untuk menyususn enim-enzim yang dibutuhkan dalam proses glukoneogenesis
(Guyton and Hall, 2014). Antara waktu makan atau selama puasa, ketika tidak
ada nutrien baru yang diserap ke dalam darah untuk digunakan dan disimpan,
glikogen (glukosa simpanan) di hati cenderung berkurang karena diuraikan
untuk membebaskan glukosa ke dalam darah. Glukoneogenesis adalah faktor
penting untuk mengganti simpanan glikogen hati dan karenanya
mempertahankan kadar glukosa darah tetap normal di antara waktu makan. Hal
ini penting karena otak hanya dapat menggunakan glukosa sebagai bahan bakar
metabolik, namun jaringan saraf sama sekali tidak dapat menyimpan glikogen.
Karena itu, konsentrasi glukosa dalam darah harus dipertahankan pada tingkat
yang sesuai agar otak yang bergantung pada glukosa mendapat nutrien yang
memadai (Sherwood, 2016).
Kortisol menyebabkan pengangkutan asam-asam amino dari jaringan
ekstrahepatik, terutama otot. Akibatnya, semakin banyak asam amino tersedia
dalam plasma untuk masuk dalam proses glukoneogenesis dan oleh karena itu
akan meningkatkan pembentukan glukosa (Guyton and Hall, 2014).
Salah satu efek peningkatan glukoneogenesis adalah sangat meningkatnya
jumlah penyimpanan glikogen dalam sel-sel hati. Pengaruh kortisol tersebut
membuat hormon glikolitik lain, seperti epinefrin dan glukagon memobilisasi
glukosa pada saat diperlukan nanti, seperti pada keadaan diantara makan(Guyton
and Hall, 2014).
2) Penurunan pemakaian glukosa oleh sel
Kortisol juga menyebabkan penurunan kecepatan pemakaian glukosa oleh
kebanyakan sel tubuh. Hal ini didasarkan pada pengamatan yang menunjukkan
bahwa glukokortikoid menekan proses oksidasi nikotinamid-adenin-dinukleotida
(NADH) untuk membentuk NAD+. Karena NADH harus dioksidasi agar
menimbulkan glikolisis, efek ini dapat berperan dalam mengurangi pemakaian
glukosa oleh sel (Guyton and Hall, 2014).
3) Peningkatan konsentrasi glukosa darah
Meningkatnya kecepatan glukoneogenesis dan berkurangnya kecepatan
pemakaian glukosa oleh sel-sel karena tingginya glukokortikoid dapat
meningkatkan konsentrasi glukosa darah yang merangsang sekresi insulin serta
berakibat juga pada penurunan sensitivitas banyak jaringan. Penurunan
sensitivitas ini terutama pada otot rangka dan jaringan lemak, terhadap efek
perangsangan insulin pada ambilan dan pemakaian insulin. Kadar asam lemak
yang tinggi, disebabkan pengaruh glukokortikoid memobilisasi lipid dari
simpanan lemak, dapat merusak kerja insulin pada jaringan (Guyton and Hall,
2014).
Menghambat penyerapan dan pemakaian glukosa oleh banyak jaringan, kecuali
otak sehingga glukosa tersedia bagi otak yang membutuhkan bahan ini secara
mutlak sebagai bahan bakar metabolik. Efek ini ikut berperan meningkatkan
konsentrasi glukosa darah yang ditimbulkan oleh glukoneogenesis (Sherwood,
2016).
b. Efek kortisol terhadap metabolisme protein
Pengurangan protein sel
Kortisol meningkatkan protein hati dan protein plasma.
Peningkatan asam amino darah, berkurangnya pengangkutan asam amino ke
sel-sel ekstrsehepatik, dan peningkatan pengangkutan asam amnino ke sel-sel
hati
c. Efek kortisol terhadap metabolisme lemak
Merangsang penguraian protein di banyak jaringan khususnya otot. Dengan
menguraikan sebagian dari protein otot menjadi konstituennya (asam
amino), kortisol meningkatkan konsentrasi asam amino darah. Asam-asam
amino yang dimobilisasi ini tersedia untuk glukoneogenesis atau dimanapun
mereka dibutuhkan, misalnya untuk memperbaiki jaringan yang rusak atau
sintesis struktur sel baru.
Mempermudah lipolisis, penguraian simpanan lemak (lipid) di jaringan
adiposa sehingga asam-asam lemak dibebaskan ke dalam darah. Asam –
asam lemak ang dimobilisasi ini tersedia sebagai bahan bakar metabolik
alternatif bagi jaringan yang dapat menggunakan sumber energi ini sebagai
pengganti glukosa sehingga glukosa dihemat untuk otak.
Efek Permisif
Kortisol sangat penting karena sifat permisifnya. Permisif yaitu satu hormon
harus ada dalam jumlah memadai agar hormon lain dapat berefek secara penuh.
Sebagai contoh, kortisol harus ada dalam jumlah yang memadai agar
katekolamin dapat menimbulkan vasokonstriksi. Orang yang kekurangan
kortisol, jika tidak diobati, dapat mengalami syok sirkulasi pada situasi penuh
stres yang membutuhkan vasokonstriksi luas dalam waktu yang cepat.
e. Peran dalam adaptasi terhadap stress
Kortisol berperan kunci dalam adaptasi terhadap stres. Segala jenis stres
merupakan rangsangan utama bagi peningkatan sekresi kortisol. Meskipun peran
persis kortisol dalam adaptasi terhadap stres belum diketahui namun penjelasan
yang spekulatif tetapi masuk akal adalah sebagai berikut. Manusia primitif atau
hewan yang terluka atau menghadapi situasi yang mengancam nyawa harus
bertahan tanpa makan. Pergeseran dari penyimpanan protein dan lemak ke
peningkatan penyimpanan karbohidrat dan ketersediaan glukosa darah yang
ditimbulkan oleh kortisol akan membantu melindungi otak dari malnutrisi
selama periode puasa terpaksa tersebut. Juga, asam-asam amino yang
dibebaskan oleh penguraian protein akan menjadi pasokan yang siap digunakan
untuk memperbaiki jaringan jika terjadi cedera fisik. Karena itu, terjadi
peningkatan cadangan glukosa, asam amino, dan asam lemak yang dapat
digunakan sesuai kebutuhan (Sherwood, 2016).
f. Efek antiinflamasi dan imunosupresif
Ketika kortisol atau senyawa sintetik mirip kortisol diberikan untuk
menghasilkan konsentrasi glkokortikoid yang lebih tinggi daripada normal (yaitu
kadar farmakologis) maka tidak saja semua efek metabolik menguat tetapi
beberapa efek baru yang tidak terlihat pada kadar fisiologik normal juga muncul.
Efek farmakologis glukokortikoid yang paling penting adalah efek inflamasi dan
imunosupresif (meskipun kedua efek ini secara tradisional dianggap terjadi
hanya pada kadar farmakologis namun studi-studi terakhir mengisyaratkan
bahwa kortisol dapat menimbulkan efek antiinflamasi bahkan pada kadar
fisiologik normal). Telah diciptaan berbagai glukokortikoid sintetik yang
memaksimalkan efek antiinflamasi dan imunosupresif steroid dan
meminimalkan efek metaboliknya.
Pemberian glukokortikoid dalam jumalh besar menghambat hampir semua tahap
respons peradangan, menyebabkan steroid menjadi obat yang efektif untk
mengatasi kondisi-kondisi dimana respons peradangan itu sendiri yang bersifat
merusak, misalnya artritis rematois. Glukokortikoid yang digunakan dengan
cara ini tidak mempengaruhi proses penyakit yang mendasari; obat ini hanya
menekan respons tubuh terhadap penyakit. Karena glukokortikoid juga memiliki
banyak efek pada proses imun secara keseluruhan, misalnya “mempensiunkan”
sel darah putih yang bertanggung jawab untuk produksi antibodi serta sel-sel
yang seara langung menhancurkan sel asing, maka obat ini juga terbukti
bermanfat dalam mengatasi berbagai penyakit alergik dan dalam mencegah
penolakan organ cangkokan.
Ketika digunakan sebagai terapi, steroid harus diberikan hanya sesuai indikasi
dan dalam jumlah terbatas, karena bebrapa alasan penting. Pertama, karena
glukokortikoid menekan respons peradangan dan imun normal yang menjadi
tulang punggung sistem pertahanan tubuh maka orang yang diterapi obat ini
mengalami keterbatasan kemampuan untuk menahan infeksi. Kedua, selain efek
antiinflamasi dan imunosupresi yang jelas terlihat pada kadar farmakologis, efek
lain yang kurang menguntungkan juga dapat ditemukan pada pemakaian jangka
panjang glukokortikoid dalam dosis yang lebih tinggi daripada normal. Efek-
efek ini mencakup timbulnya tukak lambung, tekanan darah tinggi,
aterosklerosis, ketidakteraturan haid, dan penipisan tulang. Ketiga,
glukokortikois eksogen dosis tinggi bekerja ecara umpan balik negatif untuk
menekan sumbu hipotalamus-hipofisis yang menjalankan sekresi normal
glukokortikoid dan mempertahankan integritas korteks adrenal. Penekanan
berkepanjangan sumbu ini dapat menyebabakan atrofi ireversibel sel-sel
penghasil kortisol elenjar adrenal sehingga tubuh dapat secara permanen tidak
mampu menghasilkan kortisolnya sendiri (Sherwood, 2016).
g. Sekresi kortisol
Sekresi kortisol oleh korteks adrenal diatur oleh sistem umpan balik negatif yang
melibatkan hipotalamus dan hipofisis anterior. ACTH dari hipofisis anterior
merangsang korteks adrenal untuk mengeluarkan kortisol. ACTH berasal dari
sebuah molekul prekursor besar, proopiomelanokortin, yang diproduksi didalam
retikulum endoplasma sel penghasil ACTH hipofisis anterior. Sebelum sekresi,
prekursor besar ini dipotong menjadi ACTH dan beberapa peptida lain yang
seara aktif secaa biologis, yaitu, melanocyte-stimulating hormone (MSH) dan
suatu bahan mirip morfin, β-endorfin.
Karena berdifat tropik bagi zona fasikulata dan zona retikularis maka ACTH
merangsang pertumbuhan dan sekresi kedua lapisan dalam korteks ini. Jika
ACTH tidak terdapat dalam jumlah memadai maka lapisan-lapisan ini menciut
dan sekresi kortisol merosot drastis. ACTH meningkatkan banyak langkah
dalam sintesis kortisol.
Sel penghasil ACTH, selanjutnya, hanya mengeluarkan produknya atas perintah
corticotropin-releasing hormone (CRH) dari hipotalamus. Lengkung kontrol
umpan balik menjadi lengkap oleh efek inhibisi kortisol pada sekresi CRH dan
ACTH masing-masing oleh hipotalamus dan hipofisis anterior.
Sistem umpan balik negatif untuk kortisol mempertahankan kadar sekresi
hormon ini relatif konstan disekitar titik patokan. Pada kontrol umpan balik
negetif dasar ini terdapat dua faktor tambahan yang mempengaruhi konsentrasi
kortisol plasma dengan mengubah titik patokan: irama diurnal dan stres,
dimana keduanya bekerja pada hipotalamus untuk mengubah tingkat sekresi
CRH
h. Pengaruh irama diurnal pada sekresi kortisol
Konsentrasi kortisol plasma memperlihatkan irama diurnal khas, dengan kadar
tertinggi pada pagi hari dan terendah pada malam hari. Irama diurnal ini, yang
intrinsik bagi sistem kontrol hipotalamus-hipofisis, berkaitan terutama dengan
siklus bangun-tidur. Kadar puncak dan kadar rendah berbalik pada orang yang
bekerja pada malam hari dan tidur siang hari. Variasi sekresi yang bergantung
waktu ini lebih dari sekedar kepentingan akademik, karena secara klinis ketika
membaca hasil suatu pemeriksaan penting diketahui kapan sampel darah
diambil.
i. Pengaruh stress pada sekresi kortisol
Faktor utama lain yang tidak bergantung pada, dan pada kenyataannya dapat
mengalahka kontrol umpan balik negatif adalah stres. Peningkatan drastis
sekresi kortisol, yang diperantarai oleh susunan saraf pusat melalui peningkatan
aktivitas sistem CRH-ACTH, terjadi sebagai respons terhadap segala jenis
situasi stres. Besar peningkatan konsentrasi kortisol plasma umumnya setara
dengan intensitas stimulasi stres; repons terhadap stres berat menyebabkan
peningkatan sekresi kortisol yang lebih besar daripada stres ringan.
Banyak obat yang dapat menekan proses peradangan; yang paling efektif adalah
obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) aspirin, ibuprofen, dan senyawa terkait) dan
glukokortikoid (obat yang serupa dengan hormon steroid kortiol, yang dikeluarkan oleh
korteks adrenal) (Sherwood, 2016).
Glukokortikois, yaitu obat antiinflamasi kuat, menekan hampir semua aspek
respons peradangan. Selain itu, obat golongan ini menghancurkan limfosit di dalam
jaringan limfoid dan mengurangi pembentukan antibodi. Obat golongan ini bermanfaat
untuk mengobati respons imunologik yang idak diinginkan, misalnya reaksi alergik
(sebagai contoh asma dan ruam akibat tanaman poison ivy) serta perangan yang
berkaitan dengan artritis. Namun, dengan menekan respon imun lainnya yang menahan
dan memusnahkan bakteri, pemberian obat golongan ini juga mengurangi kemampuan
tubuh menahan infeksi. Karena itu, glukokortikoid harus digunakan secara hati-hati
(Sherwood, 2016).
E. KESIMPULAN
Mengingat pengunaan doping dalam dunia olahraga maka atlet dan praktisi
olahraga sebaiknya secara berhati-hati dalam memilih makanan tambahan atau
suplemen untuk dikonsumsi atlet. Khususnya pada penggunaan gluokortikois baik
untuk tujuan doping atau tidak, atlet serta praktisi olahraga harus mengetahui bagaimana
cara kerjanya dan efek yang akan ditimbulkannya jika dikonsumsi tanpa adanya anjuran
tim kesehatan.
Daftar Pustaka
Guyton and Hall (2014) Guyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Elsevier,
Singapore. doi: 10.1016/B978-1-4160-5452-8.00020-2.
Morente-Sánchez, J. and Zabala, M. (2013) ‘Doping in Sport: A Review of Elite
Athletes’ Attitudes, Beliefs, and Knowledge’, Sports Medicine. doi:
10.1007/s40279-013-0037-x.
Sherwood, L. (2016) ‘Human physiology from cells to systems Ninth Edition’, Appetite.
doi: 10.1016/j.appet.2008.10.006.