Anda di halaman 1dari 20

MATERI I

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA.


BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke
dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat
tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya;
2. Pengendalian pencemaran udara adalah upaya pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran
udara serta pemulihan mutu udara;
3. Sumber pencemar adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke
udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya;
4. Udara ambien adalah udara bebas dipermukaan bumi pada lapisan troposfir yang berada di dalam
wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia,
makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya;
5. Mutu udara ambien adalah kadar zat, energi, dan/atau komponen lain yang ada di udara bebas;
179
6. Status mutu udara ambien adalah keadaan mutu udara di suatu tempat pada saat dilakukan
inventarisasi;
7. Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang ada
atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara
ambien;
8. Perlindungan mutu udara ambien adalah upaya yang dilakukan agar udara ambien dapat memenuhi
fungsi sebagaimana mestinya;
9. Emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk
dan/atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai
potensi sebagai unsur pencemar;
10. Mutu emisi adalah emisi yang boleh dibuang oleh suatu kegiatan ke udara ambien;
11. Sumber emisi adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dari sumber
bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak maupun sumber tidak bergerak spesifik;
12. Sumber bergerak adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang
berasal dari kendaraan bermotor;
13. Sumber bergerak spesifik adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat
yang berasal dari kereta api, pesawat terbang, kapal laut dan kendaraan berat lainnya;
14. Sumber tidak bergerak adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat;
15. Sumber tidak bergerak spesifik adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat yang berasal dari
kebakaran hutan dan pembakaran sampah;
16. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah batas kadar maksimum dan/atau beban emisi
maksimum yang diperbolehkan masuk atau dimasukkan ke dalam udara ambien;
17. Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor adalah batas maksimum zat atau bahan
pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor;
18. Sumber gangguan adalah sumber pencemar yang menggunakan media udara atau padat untuk
penyebarannya, yang berasal dari sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak
bergerak, atau sumber tidak bergerak spesifik;
19. Baku tingkat gangguan adalah batas kadar maksimum sumber gangguan yang diperbolehkan masuk
ke udara dan/atau zat padat;
20. Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor adalah batas maksimum energi suara yang boleh
dikeluarkan langsung dari mesin dan/atau transmisi kendaraaan bermotor;
21. Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada
kendaraan itu;
22. Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang menggunakan mesin dan/atau
transmisi tipe baru yang siap diproduksi dan dipasarkan, atau kendaraan yang sudah beroperasi
tetapi akan diproduksi ulang dengan perubahan desain mesin dan sistem transmisinya, atau
kendaraan bermotor yang diimpor tetapi belum beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia;
23. Kendaraan bermotor lama adalah kendaraan yang sudah diproduksi, dirakit atau diimpor dan sudah
beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia;
24. Uji tipe emisi adalah pengujian emisi terhadap kendaraan bermotor tipe baru;
25. Uji tipe kebisingan adalah pengujian tingkat kebisingan terhadap kendaraan bermotor tipe baru;
26. Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) adalah angka yang tidak mempunyai satuan yang
menggambarkan kondisi mutu udara ambien di lokasi tertentu, yang didasarkan kepada dampak
terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya;
27. Inventarisasi adalah kegiatan untuk mendapatkan data dan informasi yang berkaitan dengan mutu
udara;
28. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian
dampak lingkungan;
29. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
30. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.

MATERI II
Sanitasi Lingkungan

Kebijakan Pengelolaan Limbah Domestik dalam Konteks Sanitasi


Diposkan pada 27 November 2017

Salah satu tugas Dinas Lingkungan Hidup sebagai Koordinator Bidang Monitoring dan Evaluasi
dalam Kelompok Kerja (Pokja) Sanitasi adalah melakukan monitoring dan evaluasi terhadap
beban pencemaran dari subsektor air limbah domestik.

Monev subsektor air limbah dapat dilakukan antara lain dengan meninjau efektivitas penerapan
ketentuan baku mutu terkait, yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2016
tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu mulai
tanggal 2 September 2016.

Dalam peraturan itu, disebutkan bahwa baku mutu ini berlaku bagi instalasi pengolahan air
limbah domestik baik dalam lingkup tanggung jawab industri/pelaku usaha maupun pemerintah.
Peraturan Menteri ini bertujuan untuk memberikan acuan mengenai baku mutu air limbah
domestik kepada:

 Pemerintah Daerah provinsi dalam menetapkan baku mutu air limbah domestik yang
lebih ketat;
 Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota,
dalam menerbitkan izin lingkungan, SPPL dan/atau izin pembuangan air limbah;
 penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pengolahan air limbah domestik dalam
menyusun perencanaan pengolahan air limbah domestik, dan penyusunan dokumen
lingkungan hidup.

Ketentuan ini berlaku bagi aktivitas domestik di rumah susun, penginapan, asrama, pelayanan
kesehatan, lembaga pendidikan, perkantoran, perniagaan, pasar, rumah makan, balai pertemuan,
arena rekreasi, permukiman, industri, IPAL kawasan, IPAL permukiman, IPAL perkotaan,
pelabuhan, bandara, stasiun kereta api, terminal, dan lembaga pemasyarakatan.

Air limbah adalah air sisa dari suatu hasil usaha dan/atau kegiatan, sedangkan air limbah
domestik adalah air limbah yang berasal dari aktivitas hidup sehari-hari manusia yang
berhubungan dengan pemakaian air.

Air limbah domestik yang dihasilkan dari skala rumah tangga dan usaha dan/atau kegiatan
berpotensi mencemari lingkungan, sehingga perlu dilakukan pengolahan air limbah sebelum
dibuang ke media lingkungan. Menurut Pasal 3 Ayat (1) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Air Limbah
Domestik, setiap usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan air limbah domestik wajib
melakukan pengolahan air limbah domestik yang dihasilkannya.

Tahapan dalam melakukan pemantauan kualitas air limbah domestik dimulai dengan melakukan
inventarisasi dan identifikasi infastruktur air limbah. Tujuannya adalah untuk mengetahui data
sarana prasarana air limbah domestik yang dimiliki oleh suatu daerah, mencakup jumlah, lokasi,
kapasitas, pengelola, serta berfungsi atau tidaknya, untuk kemudian dilakukan evaluasi sebagai
dasar perencanaan pelaksanaan monitoring lingkungan yang akan dilakukan oleh pemerintah
daerah. Inventarisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota terdiri atas:

 inventarisasi jenis dan jumlah air limbah domestik di wilayah administrasinya;


 inventarisasi jenis dan jumlah air limbah domestik yang diproses di pengolahan air
limbah domestik;
 inventarisasi teknologi pengolahan air limbah domestik; dan
 pengawasan terhadap pemrosesan air limbah domestik, pengolahan air limbah domestik
dan pemenuhan baku mutu air limbah domestik.

Laporan hasil inventarisasi tersebut disampaikan kepada Pemerintah Daerah provinsi dengan
tembusan kepada Menteri setidaknya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

Pemantauan terhadap pengolahan air limbah domestik wajib dilakukan untuk mengetahui
pemenuhan ketentuan baku mutu air limbah. Pemantauan ini dilakukan untuk memenuhi
ketentuan persyaratan teknis antara lain:

 menjamin seluruh air limbah domestik yang dihasilkan masuk ke instalasi pengolahan air
limbah domestik;
 menggunakan instalasi pengolahan air limbah domestik dan saluran air limbah domestik
kedap air sehingga tidak terjadi perembesan air limbah domestik ke lingkungan;
 memisahkan saluran pengumpulan air limbah domestik dengan saluran air hujan;
 melakukan pengolahan air limbah domestik, sehingga mutu air limbah domestik yang
dibuang ke sumber air tidak melampaui baku mutu air limbah domestik;
 tidak melakukan pengenceran air limbah domestik ke dalam aliran buangan air limbah
domestik;
 menetapkan titik penaatan untuk pengambilan contoh uji air limbah domestik dan
koordinat titik penaatan; dan
 memasang alat ukur debit atau laju alir air limbah domestik di titik penaatan.

Adapun titik penaatan untuk pengambilan sampel uji kualitas air limbah adalah titik inlet dan
outlet. Pengujian ini harus dilakukan oleh laboratorium terakreditasi.

Hasil pemantauan tersebut kemudian disusun secara tertulis dalam laporan yang mencakup:

 catatan air limbah domestik yang diproses harian;


 catatan debit dan pH harian air limbah domestik; dan
 hasil analisis laboratorium terakreditasi sejumlah 8 parameter (pH, BOD, COD, TSS,
minyak & lemak, amoniak, total Coliform, debit) terhadap air limbah domestik yang
dilakukan paling sedikit satu kali dalam setiap bulannya.

Laporan tersebut dilaporkan secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan
kepada bupati/walikota dengan tembusan gubernur, Menteri, dan instansi terkait sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan-undangan.

Baku Mutu Air Limbah Domestik

Adapun sarana dan prasarana pengolahan air limbah domestik yang berasal dari skala rumah
tangga disediakan dan dikelola oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah. Penyediaan
dan pengelolaan ini dapat dilakukan melalui kerjasama dengan badan usaha dengan syarat
penanggung jawab sarana dan prasarana pengolahan air limbah domestik tersebut wajib
memenuhi ketentuan berikut:

 memiliki izin lingkungan atau SPPL;


 memiliki izin pembuangan air limbah; dan
 dapat memenuhi baku mutu air limbah domestik sesuai ketentuan.

Untuk IPAL domestik yang dibangun sebelum adanya Peraturan Menteri ini, maka dilakukan
evaluasi dengan membandingkan hasil uji kualitas air limbahnya terhadap baku mutu air limbah
domestik pada peraturan lama (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 112 Tahun
2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik; Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 05 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah, Lampiran XLIII Usaha dan/atau
kegiatan Perhotelan, Lampiran XLIV huruf A bagi Kegiatan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan
Lampiran XLVI tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan/atau Kegiatan Domestik).
Perbandingan hasil analisis dilakukan terhadap baku mutu pada peraturan lama dan baku mutu
pada peraturan ini, mana yang hasilnya sesuai dan dapat memenuhi ketentuan baku mutu terbaru,
selanjutnya dilakukan evaluasi untuk optimalisasi.

Kendala umum yang dihadapi saat ini dalam penerapan peraturan dan pengelolaan air limbah
domestik antara lain keterbatasan lahan untuk instalasi pengolahan air limbah serta keterbatasan
penyediaan pilihan teknologi pengolahan limbah skala individu yang terjangkau, tidak sulit
dalam mengoperasikan, serta mampu memenuhi baku mutu.

Dalam pelaksanaan program PPSP, SKPD lingkungan hidup memilki tugas melakukan
pemantauan lingkungan, akan tetapi pemantauan lingkungan infrastruktur sanitasi saat ini pada
umumnya tidak dilibatkan sejak dari tahap awal perencanaan pembangunan, sebagian besar baru
dilaksanakan setelah infrastruktur tersebut telah selesai dibangun, sehingga sulit untuk
melakukan perbandingan sebagai evaluasi kualitas lingkungan saat sebelum dan sesudah adanya
infrastruktur tersebut. Dengan demikian, diperlukan adanya koordinasi dengan instansi teknis
yang membangunnya, terutama mengenai data infrastruktur terbangun (lokasi, kapasitas,
pengelola, dsb). Sekretaris Daerah sebagai ketua Kelompok Kerja (Pokja) Sanitasi berperan
besar dalam menghimpun data sanitasi dan mengkoordinasikan antara anggota pokja sehingga
pemantauan air limbah domestik dapat terlaksana dengan baik.

Dinas Lingkungan Hidup kabupaten/kota juga perlu merencanakan perhitungan anggaran


pemantauan yang bekerja sama dengan kelompok masyarakat (KSM) atau perusahaan (CSR).

Perubahan perilaku dan pembinaan mutlak diperlukan terhadap penerapan ketentuan baku mutu
air limbah domestik sehingga diharapkan mampu menjadi upaya perbaikan kondisi sanitasi
lingkungan.

Materi III
TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR IMBAH
DOMESTIK
1 BAB TNJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Cair Rumah Tangga Limbahcair rumah tangga
adalah semua buangan dari hasil kegiatan rumah tangga mencakup mandi, mencuci dan buangan
kotoran manusia (urin, dan tinja), (Suharjo, 1988:34). Menurut Mahida (1984), limbah domestik
adalah limbah yang terdiri dari pembuangan air kotor dari kamar mandi, kakus dan dapur.
Kotoran itu merupakan campuran yang rumit dari zat-zat bahan mineral dan organik dalam
banyak bentuk, termasuk partikel-partikel besar dan kecil, benda padat, sisa-sisa bahan larutan
yang dalam keadaan terapung dan dalam bentuk koloid ataupun setengah koloid. Limbah cair
rumah tangga dari kota mempunyai potensi yang sangat besar untuk mencemari berbagai
lingkungan, sebab disamping jurnlahnya yang besar, susunan fisik, biologis maupun kimia
berpotensi untuk menjadi pencemaran (polutan). Untuk memperoleh gambaran, jumlah limbah
cair rumah tangga yang dihasilkan suatu kota tidak bisa terlepas dari kebutuhan air penduduk
kota tiap rumah ataupun orang (kapita), (Dradjat Suharjo, 1988). Kebutuhan air penduduk (air
domestik) adalah air yang digunakan individu, apartemen-apartemen, rumah-rumah dan
sebagainya, untuk 6

2 7 minum, mandi, masak, mencuci, menyiram tanaman dan kegunaan sanitasi. Menurut
Hardjoso (1972), air domestik mencakup keperluan yang lebih luas daripada air minum.
Pengembangan masalah sanitasi domestik imbah banyak yang tidak dipikirkan dan menjadi
masalah yang rumit dikemudian hari. Kendala yang sering terjadi adalah belum ada keterpaduan
para perencana dan masalah serius masalah pencemaran banyak disebabkan karena kurang
mempertimbangkan pengelolaan imbah (Steel, 1960). Kemudian Salvato (1972) mengungkapkan
bahwa, diperlukan standar dan pengaturan untuk suplai air, pembuangan limbah cair, saluran
penghubung antar rumah dan pengelolaan imbah padat. 2.2 Sistem Pengolahan Air Limbah
Sistem pengolahan limbah adalah tahapan-tahapan kegiatankegiatan yang dilakukan dalam
proses pengolahan air imbah, sehingga limbah cair yang telah melewati proses pada sistem
pengolahan limbah menjadi berkurang kadar polutannya dan aman dibuang ke badan umum air
terdekat. Selain itu, tujuan utama pengelohan limbah adalah untuk mengurangi Biochemical
Oxygen.Demand (BOD), partikel tercampur, serta membunuh organisme patogen. Untuk itu
diperlukan pengolahan secara bertahap agar kandungan polutannya dapat dikurangi, (Sugiharto,
1987).

3 8 Dradjat Suharjo (1988) mengatakan bahwa, dari komposisi fisik dan kimia endapan padat
juga dapat diketahui kualitas limbah cair rumah tangga. Dari debit yang dikelola dan jumlah
endapan padat yang dihasilkan juga dapat diperkirakan kemampuan pelayanan treatment
(pengelolaan) untuk mengelola jumlah kepala yang dilayani khususnya pengelolaan limbah
domestik yang dibuang dalam saluran air kotor (sewerage). Proses pengolahan air limbah (Agus
Muslim dan Antoni Hadi mron, 1999) yaitu: 1. Proses pengolahan primer Limbah kota dipompa
ke dalam bak pengendapan menggunakan pompa angkat jenis ulir untuk mengendapkan tanah
dan pasir serta menangkap sampah-sampah seperti kantong plastik, ranting kayu dan sampah
lainnya. 2. Proses pengolal"lan sekunder Pengolahan limbah dengan menggunakan bakteri
pengurai anaerobik dan menghasilkan lumpur yang mengendap. Sistem pengolahan menurut
CPU Kodya Surakarta ulltuk PAl MojosQngo (sektor utara) menggunakan sistem aerasi
fakultatif prosesnya meliputi: 1. Proses pengendapan awal Proses pengendapan lumpur serta
pengambilan sampah dan busa mengapung di dalam bak pengendapan awal..'''.

4 -l 9 2. Proses aerasi Proses aerasi ini terjadi dalam bak aerasi menggunakan lumpur aktif dan
penambahan oksigen. Proses ini menggunakan dua bak aerasi. 3. Proses sedilllentasi
Menggunakan pompa lumpur yang dialirkan ke dalam bak sedimentasi untuk diendapkan dan air
limbahnya siap dialirkan ke sungai, sedangkan lumpurnya dikeringkan dalam bak pengering
lumpur. Disain sistem pengolahan untuk PAL Semanggi (sektor selatan) menurut konsultan
perencana P.T. ndra Karya (Persero), menggunakan sistem Up Flow Anaerobic Sludge Bed
(UASB) & ntermintent Aeration, yaitu: 1. Proses pengendapan Proses pengendapan
menggunakan grit chamber yang sebelumnya terdapat bar screen yang berguna untuk menyaring
sampa~l-sampah. 2. Proses ekualisasi dan aerasi Proses untuk pengolahan secara biologis
menggunakan aerator yang dibenamkan didalam tangki ekualisasi dan aerasi yang nantinya
oksigen akan mengurangi tingkat BOD sampai 50%. Tangki ini rnerupakan tangki tertutup. 3.
Proses sedimentasi Proses ini sama saja dengan proses sedimentasi yang lainnya hanya saja
tangki sedimentasinya tertutup bukan berupa kolam.

5 Biaya Operasional dan Pemeliharaan (O&M) Biaya operasional dan pemeliharaan (O&M)
adalah pengeluaran yang diperlukan agar kegiatan operasi dan produksi berjalan lancar,
se~lingga dapat menghasilkan produk sesuai dengan perencanaan, (Suharto,1997: 398). Biaya
operasional dan pemeliharaan (O&M) PAL menurut DPU Tingkat Kodya Surakarta adalah: 1.
Biaya tenaga kerja dan penyelia. a. gaji tenaga operator dan penyelia. b. gaji lembur tenaga
oprator dan penyelia. c. tunjangan, jaminan, dan bonus. 2. Biaya pemeliharaan bangunan pipa., j
i 3. Biaya operasional alat pembersih (jet pipe cleaner). 4. Biaya pemeliharaan sarana
penggelontor. 5. Biaya perawatan dan perbaikan komponen-komponen dan alat-alat pada mesin.
Dengan mengalokasikan anggaran biaya operasional dan pemeliharaan (O&M) serealistis
mungkin untuk memaksimalkan umur pemakaian, memelihara aset dan fasilitas yang ada di
PAL, serta mamperbaiki atau meningkatkan kondisi stat kerja, yang semua ini secara langsung
ataupun tidak langsung akan mempengaruhi besarnya biaya operasional dan pemeliharaan
(O&M), (Agus Muslim dan Antoni Hadi mron, 1999).

6 Pendapatan (Revenue) Pendapatan adalah jumlah pembayaran yang diterima perusahaan dari
penjualan barang atau jasa, (Sul"larto, 1997:399). 2.5 Benefit Cost Ratio (BCR) Kriteria untuk
mengkaji kelayakan proyek disebut benefit-cost ratio. Penggunaannya ditekankan pada manfaat
(benefit) bagi kepentingan i umum dan bukan finansial perusahaan, (Suharto, 1997:433). 2.6
Titik mpas (Break Even Point) Titik impas adalah titik total biaya produksi sarna dengan
pendapatan. Titik impas memberikan petunjuk bahwa tingkat produksi telah menghasilkan
pendapatan yang sama dengan besarnya biaya produksi yang di keluarkan, (Suharto, 1997:401).
2.7 Pengendalian Mutu Program penjaminan mutu produksi disusun dengan kepentingan dari
masing-masing produksi. Program penjaminan mutu tersusun dalam hal-hal berikut ini: 1.
Perencanaan sistematis yang merinci dan menjabarkan pada setiap tahap produksi langkah-
angkah yang akan ditempuh untuk mencapai sasaran rnutu.
7 12 2. Penyusunan batasan dan kriteria spesifikasi dan standar mutu yang akan digunakan dalam
desain engineering, materiali fisik, dan material kimia. 3. Penyusunan organisasi dan pengisian
personil untuk melaksanakan kegiatan penjaminan mutu. 4. Pembuatan prosodur pelaksanaan
kegiatan pengendalian mutu yang meliputi pemantauan, pemeriksaan, pengujian, pengukuran,
dan pelaporan. 5. dentifikasi peralatan yang akan digunakan. 6. dentifikasi bagian kegiatan yang
memerlukan bantuan dari kegiatan pihak ketiga maupun peranan dan persetujuan dari
pemerintah. Peraturan Menteri Kesehatan R.. No. 173/Menkes.lPer.N1977.\ j tentang
pengawasan pencemaran air dari badan air untuk berbagai kegunaan yang berhubungan dengan
kesehatan. Ketentuan umum adalah sebagai berikut:, a. Badan air kelas A adalah badan air yang
airnya digunakan untuk air baku (air minum). ', b. Badan air kalas B adalah badan air yang
digunakan untuk pemandian alam dan pertanian yang hasilnya dimakan tanpa dimasak terlebih
dahulu. C. Badan air kelas C adalah badan air yang airnya digunakan untuk perikanan darat,
persiar, dan keindahan.

IV – v GIAT DLH  

Pengelolaan Limbah B3 merupakan salah satu rangkaian kegiatan yang mencakup


penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengangkutan, dan pengolahan limbah B3
termasuk penimbunan hasil pengolahan tersebut. Sehingga dapat disimpulkan pelaku
pengelolaan limbah B3 antara lain :
 Penghasil Limbah B3
 Pengumpul Limbah B3
 Pengangkut Limbah B3
 Pemanfaat Limbah B3
 Pengolah Limbah B3
 Penimbun Limbah B3
Mayoritas pabrik tidak menyadari, bahwa limbah yang dihasilkan termasuk dalam kategori
limbah B3, sehingga limbah dibuang begitu saja ke sistem perairan tanpa adanya proses
pengolahan. Pada dasarnya prinsip pengolahan limbah adalah upaya untuk memisahkan zat
pencemar dari cairan atau padatan. Walaupun volumenya kecil, konsentrasi zat pencemar
yang telah dipisahkan itu sangat tinggi. Selama ini, zat pencemar yang sudah dipisahkan
atau konsentrat belum tertangani dengan baik, sehingga terjadi akumulasi bahaya yang
setiap saat mengancam kesehatan manusia dan keselamatan lingkungan hidup. Untuk itu
limbah B3 perlu dikelola antara lain melalui pengolahan limbah B3.

Gambar Limbah B3
Upaya pengelolaan limbah B3 dapat dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
 Reduksi limbah dengan mengoptimalkan penyimpanan bahan baku dalam proses
kegiatan atau house keeping, substitusi bahan, modifikasi proses, maupun upaya reduksi
lainnya.
 Kegiatan pengemasan dilakukan dengan penyimbolan dan pelabelan yang menunjukkan
karakteristik dan jenis limbah B3 berdasarkan acuan Keputusan Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : Kep-05/Bapedal/09/1995.
Pengemasan limbah B3 dilakukan sesuai dengan karakteristik limbah yang bersangkutan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kemasan limbah B3 harus memiliki kondisi yang baik,
bebas dari karat dan kebocoran, serta harus dibuat dari bahan yang tidak bereaksi dengan
limbah yang disimpan di dalamnya. Untuk limbah yang mudah meledak, kemasan harus dibuat
rangkap di mana kemasan bagian dalam harus dapat menahan agar zat tidak bergerak dan
mampu menahan kenaikan tekanan dari dalam atau dari luar kemasan. Limbah yang
bersifat self-reactive dan peroksida organik juga memiliki persyaratan khusus dalam
pengemasannya. Pembantalan kemasan limbah jenis tersebut harus dibuat dari bahan yang
tidak mudah terbakar dan tidak mengalami penguraian atau dekomposisi saat berhubungan
dengan limbah. Jumlah yang dikemas pun terbatas sebesar maksimum 50 kg per kemasan
sedangkan limbah yang memiliki aktivitas rendah biasanya dapat dikemas hingga 400 kg per
kemasan.
 Penyimpanan dapat dilakukan di tempat yang sesuai dengan persyaratan yang berlaku
acuan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor:
Kep-01l/Bapedal/09/1995.
Limbah B3 yang diproduksi dari sebuah unit produksi dalam sebuah pabrik harus disimpan
dengan perlakuan khusus sebelum akhirnya diolah di unit pengolahan limbah. Penyimpanan
harus dilakukan dengan sistem blok dan tiap blok terdiri atas 2×2 kemasan. Limbah-limbah
harus diletakkan dan harus dihindari adanya kontak antara limbah yang tidak kompatibel.
Bangunan penyimpan limbah harus dibuat dengan lantai kedap air, tidak bergelombang, dan
melandai ke arah bak penampung dengan kemiringan maksimal 1%. Bangunan juga harus
memiliki ventilasi yang baik, terlindung dari masuknya air hujan, dibuat tanpa plafon, dan
dilengkapi dengan sistem penangkal petir. Limbah yang bersifat reaktif atau korosif
memerlukan bangunan penyimpan yang memiliki konstruksi dinding yang mudah dilepas untuk
memudahkan keadaan darurat dan dibuat dari bahan konstruksi yang tahan api dan korosi.
 Pengumpulan dapat dilakukan dengan memenuhi persyaratan pada ketentuan
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor: Kep--
01/Bapedal/09/1995 yang menitikberatkan pada ketentuan tentang karakteristik
limbah, fasilitas laboratorium, perlengkapan penanggulangan kecelakaan, maupun lokasi.
 Kegiatan pengangkutan perlu dilengkapi dengan dokumen pengangkutan dan
ketentuan teknis pengangkutan.
Mengenai pengangkutan limbah B3, Pemerintah Indonesia belum memiliki peraturan
pengangkutan limbah B3 hingga tahun 2002. Peraturan pengangkutan yang menjadi
acuan adalah peraturan pengangkutan di Amerika Serikat. Peraturan tersebut
terkait dengan hal pemberian label, analisa karakter limbah, pengemasan khusus,
dan sebagainya. Persyaratan yang harus dipenuhi kemasan di antaranya ialah apabila
terjadi kecelakaan dalam kondisi pengangkutan yang normal, tidak terjadi
kebocoran limbah ke lingkungan dalam jumlah yang berarti. Selain itu, kemasan
harus memiliki kualitas yang cukup agar efektifitas kemasan tidak berkurang selama
pengangkutan. Limbah gas yang mudah terbakar harus dilengkapi dengan head
shields pada kemasannya sebagai pelindung dan tambahan pelindung panas untuk
mencegah kenaikan suhu yang cepat. Di Amerika juga diperlakukan rute
pengangkutan khusus selain juga adanya kewajiban kelengkapan Material Safety
Data Sheets (MSDS) yang ada di setiap truk dan di dinas pemadam kebarakan.
 Upaya pemanfaatan dapat dilakukan melalui kegiatan daur ulang (recycle), perolehan
kembali (recovery) dan penggunaan kembali (reuse) limbah B3 yang dlihasilkan ataupun
bentuk pemanfaatan lainnya.
 Pengolahan limbah B3 dapat dilakukan dengan cara thermal, stabilisasi, solidifikasi
secara fisika, kimia, maupun biologi dengan cara teknologi bersih atau ramah
lingkungan.
 Kegiatan penimbunan limbah B3 wajib memenuhi persyaratan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999.
 
Beberapa metode penanganan limbah B3 yang umum diterapkan adalah sebagai berikut:
 Metode Pengolahan secara Kimia,
Pengolahan air buangan secara kimia biasanya dilakukan untuk menghilangkan partikel-
partikel yang tidak mudah mengendap (koloid), logam-logam berat, senyawa fosfor, dan zat
organik beracun; dengan membubuhkan bahan kimia tertentu yang diperlukan tergantung
jenis dan kadar limbahnya.
Proses pengolahan limbah B3 secara kimia yang umum dilakukan adalah stabilisasi/
solidifikasi. Stabilisasi/ solidifikasi adalah proses mengubah bentuk fisik dan/atau senyawa
kimia dengan menambahkan bahan pengikat atau zat pereaksi tertentu untuk
memperkecil/membatasi kelarutan, pergerakan, atau penyebaran daya racun limbah,
sebelum dibuang. Definisi stabilisasi adalah proses pencampuran limbah dengan bahan
tambahan dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah serta untuk
mengurangi toksisitas limbah tersebut. Solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan
suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait
sehingga sering dianggap mempunyai arti yang sama. Contoh bahan yang dapat digunakan
untuk proses stabilisasi/solidifikasi adalah semen, kapur, dan bahan termoplastik.
Teknologi solidikasi/stabilisasi umumnya menggunakan semen, kapur (CaOH2), dan bahan
termoplastik. Metoda yang diterapkan di lapangan ialah metoda in-drum mixing, in-situ
mixing, dan plant mixing. Peraturan mengenai solidifikasi/stabilitasi diatur oleh BAPEDAL
berdasarkan Kep-03/BAPEDAL/09/1995 dan Kep-04/BAPEDAL/09/1995.
Apabila konsentrasi logam berat di dalam air limbah cukup tinggi, maka logam dapat
dipisahkan dari limbah dengan jalan pengendapan menjadi bentuk hidroksidanya. Hal ini
dilakukan dengan larutan kapur (Ca(OH)2) atau natrium hidroksida (NaOH) dengan
memperhatikan kondisi pH akhir dari larutan. Pengendapan optimal akan terjadi pada
kondisi pH dimana hidroksida logam tersebut mempunyai nilai kelarutan minimum.
Pengendapan bahan tersuspensi yang tak mudah larut dilakukan dengan membubuhkan
elektrolit yang mempunyai muatan yang berlawanan dengan muatan koloidnya agar terjadi
netralisasi muatan koloid tersebut, sehingga akhirnya dapat diendapkan. Penyisihan logam
berat dan senyawa fosfor dilakukan dengan membubuhkan larutan alkali misalnya air kapur,
sehingga terbentuk endapan hidroksida logam-logam tersebut atau endapan hidroksiapatit. 
Endapan logam tersebut akan lebih stabil jika pH air > 10,5 dan untuk hidroksiapatit pada
pH > 9,5.  Khusus untuk krom heksavalen, sebelum diendapkan sebagai krom hidroksida
[Cr(OH)3], terlebih dahulu direduksi menjadi krom trivalent dengan membubuhkan
reduktor (FeSO4, SO2, atau Na2S2O5).
 
Presipitasi adalah pengurangan bahan-bahan terlarut dengan cara menambahkan senyawa
kimia tertentu yang larut dan dapat menyebabkan terbentuknya padatan. Dalam pengolahan
air limbah, presipitasi digunakan untuk menghilangkan logam berat, sufat, fluoride, dan
fosfat. Senyawa kimia yang biasa digunakan adalah lime, dikombinasikan dengan kalsium
klorida, magnesium klorida, alumunium klorida, dan garam – garam besi. Adanya complexing
agent, misalnya NTA (Nitrilo Triacetic Acid) atau EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic
Acid), menyebabkan presipitasi tidak dapat terjadi. Oleh karena itu, kedua senyawa
tersebut harus dihancurkan sebelum proses presipitasi akhir dari seluruh aliran, dengan
penambahan garam besi dan polimer khusus atau gugus sulfida yang memiliki karakteristik
pengendapan yang baik. Pengendapan fosfat, terutama pada limbah domestik, dilakukan
untuk mencegah eutrophicationdari permukaan. Presipitasi fosfat dari sewage dapat
dilakukan dengan beberapa metode, yaitu penambahan slaked lime, garam besi, atau garam
alumunium.
Koagulasi dan Flokulasi digunakan untuk memisahkan padatan tersuspensi dari cairan jika
kecepatan pengendapan secara alami padatan tersebut lambat atau tidak efisien. Proses
koagulasi dan flokulasi adalah konversi dari polutan-polutan yang tersuspensi koloid yang
sangat halus didalam air limbah, menjadi gumpalan-gumpalan yang dapat diendapkan,
disaring, atau diapungkan.
Beberapa kelebihan proses pengolahan kimia antara lain dapat menangani hampir seluruh
polutan anorganik, tidak terpengaruh oleh polutan yang beracun atau toksik, dan tidak
tergantung pada perubahan konsentrasi. Pengolahan kimia dapat meningkatkan jumlah
garam pada effluent, meningkatkan jumlah lumpur sehingga memerlukan bahan kimia
tambahan akibatnya biaya pengolahan menjadi mahal.
 
 Metode Pengolahan secara Fisik
Sebelum dilakukan pengolahan lanjutan terhadap air buangan, dilakukan penyisihan terhadap
bahan-bahan tersuspensi berukuran besar dan yang mudah mengendap atau bahan-bahan
yang terapung. Penyaringan atau screening merupakan cara yang efisien dan murah untuk
menyisihkan bahan tersuspensi yang berukuran besar. Bahan tersuspensi yang mudah
mengendap dapat disisihkan secara mudah dengan proses pengendapan.  Parameter desain
yang utama untuk proses pengendapan ini adalah kecepatan mengendap partikel dan waktu
detensi hidrolis di dalam bak pengendap.
Proses flotasi banyak digunakan untuk menyisihkan bahan-bahan yang mengapung seperti
minyak dan lemak agar tidak mengganggu proses pengolahan berikutnya. Flotasi juga dapat
digunakan sebagai cara penyisihan bahan-bahan tersuspensi (clarification) atau pemekatan
lumpur endapan (sludge thickening) dengan memberikan aliran udara ke atas (air flotation).
Proses filtrasi di dalam pengolahan air buangan, biasanya dilakukan untuk mendahului proses
adsorbsi atau proses reverse osmosis-nya, akan dilaksanakan untuk menyisihkan sebanyak
mungkin partikel tersuspensi dari dalam air agar tidak mengganggu proses adsorbsi atau
menyumbat membran yang dipergunakan dalam proses osmosa.
Proses adsorbsi, biasanya dengan karbon aktif, dilakukan untuk menyisihkan senyawa
aromatik misalnya fenol dan senyawa organik terlarut lainnya, terutama jika diinginkan
untuk menggunakan kembali air buangan tersebut.
Teknologi membran (reverse osmosis) biasanya diaplikasikan untuk unit-unit pengolahan
kecil, terutama jika pengolahan ditujukan untuk menggunakan kembali air yang diolah. Biaya
instalasi dan operasinya sangat mahal.
Evaporasi pada umumnya dilakukan untuk menguapkan pelarut yang tercampur dalam limbah,
sehingga pelarut terpisah dan dapat diisolasi kembali. Evaporasi didasarkan pada sifat
pelarut yang memiliki titik didih yang berbeda dengan senyawa lainnya.
Metode insinerasi atau pembakaran dapat diterapkan untuk memperkecil volume limbah B3.
Namun saat melakukan pembakaran perlu dilakukan pengendalian agar gas beracun hasil
pembakaran tidak mencemari udara. Pengolahan secara insinerasi bertujuan untuk
menghancurkan senyawa B3 yang terkandung di dalamnya menjadi senyawa yang tidak
mengandung B3. Insinerator adalah alat untuk membakar sampah padat, terutama untuk
mengolah limbah B3 yang perlu syarat teknis pengolahan dan hasil olahan yang sangat ketat.
Ukuran, desain dan spesifikasi insinerator yang digunakan disesuaikan dengan karakteristik
dan jumlah limbah yang akan diolah. Insinerator dilengkapi dengan alat pencegah pencemar
udara untuk memenuhi standar emisi.
Insinerasi mengurangi volume dan massa limbah hingga sekitar 90% (volume) dan 75%
(berat). Teknologi ini bukan solusi terakhir dari sistem pengolahan limbah padat karena
pada dasarnya hanya memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata ke bentuk gas
yang tidak kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas.
Kelebihan metode pembakaran adalah metode ini merupakan metode hemat uang di bidang
transportasi dan tidak menghasilkan jejak karbon yang dihasilkan transport seperti
pembuangan darat. Menghilangkan 10% dari jumlah limbah cukup banyak membantu
mengurangi beban tekanan pada tanah. Rencana pembakaran waste-to-energy (WTE) juga
memberikan keuntungan yang besar dimana limbah normal maupun limbah B3 yang dibakar
mampu menghasilkan listrik yang dapat berkontribusi pada penghematan ongkos.
Pembakaran 250 ton limbah per hari dapat memproduksi 6.5 megawatt listrik sehari
(berharga $3 juta per tahun).
Kerugian metode pembakaran adalah adanya biaya tambahan dalam pembangunan instalasi
pembakaran limbah. Selain itu pembakaran limbah juga menghasilkan emisi gas yang
memberikan efek rumah kaca.
Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi atau heating
value limbah. Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan berlangsungnya proses
pembakaran, heating value juga menentukan banyaknya energi yang dapat diperoleh dari
sistem insinerasi. Jenis insinerator yang paling umum diterapkan untuk membakar limbah
padat B3 ialah rotary kiln, multiple hearth, fluidized bed, open pit, single chamber, multiple
chamber, aqueous waste injection, dan starved air unit. Dari semua jenis insinerator
tersebut, rotary kiln mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat mengolah limbah
padat, cair, dan gas secara simultan.
 Metode Pengolahan secara Biologi
Proses pengolahan limbah B3 secara biologi yang berkembang dewasa saat ini dikenal
dengan istilah bioremediasi dan fitoremediasi. Bioremediasi adalah penggunaan bakteri dan
mikroorganisme lain untuk mendegradasi/ mengurai limbah B3. Sedangkan fitoremediasi
adalah penggunaan tumbuhan untuk mengabsorbsi dan mengakumulasi bahan-bahan beracun
dari tanah. Kedua proses ini sangat bermanfaat dalam mengatasi pencemaran oleh limbah
B3 dan biaya yang diperlukan lebih murah dibandingkan metode kimia atau fisik. Namun,
proses ini juga masih memiliki kelemahan. Proses bioremediasi dan fitoremediasi merupakan
proses alami sehingga membutuhkan waktu yang relatif lama untuk membersihkan limbah
B3, terutama dalam skala besar. Selain itu, karena menggunakan makhluk hidup, proses ini
dikhawatirkan dapat membawa senyawa-senyawa beracun ke dalam rantai makanan di dalam
ekosistem.
Metode Pembuangan Limbah B3
 Sumur dalam atau sumur injeksi (deep well injection)
Salah satu cara membuang limbah B3 agar tidak membahayakan manusia adalah dengan
memompakan limbah tersebut melalui pipa ke lapisan batuan yang dalam, di bawah lapisan-
lapisan air tanah dangkal maupun air tanah dalam. Secara teori, limbah B3 ini akan
terperangkap di lapisan itu sehingga tidak akan mencemari tanah maupun air.
Pembuangan limbah B3 melalui metode ini masih mejadi kontroversi dan masih diperlukan
pengkajian yang integral terhadap dampak yang mungkin ditimbulkan. Data menunjukkan
bahwa pembuatan sumur injeksi di Amerika Serikat paling banyak dilakukan antara tahun
1965-1974 dan hampir tidak ada sumur baru yang dibangun setelah tahun 1980.
Pembuangan limbah ke sumur dalam merupakan suatu usaha membuang limbah B3 ke dalam
formasi geologi yang berada jauh di bawah permukaan bumi yang memiliki kemampuan
mengikat limbah, sama halnya formasi tersebut memiliki kemampuan menyimpan cadangan
minyak dan gas bumi. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pemilihan tempat ialah
strktur dan kestabilan geologi serta hidrogeologi wilayah setempat.
 Kolam penyimpanan atau Surface Impoundments
Limbah B3 cair dapat ditampung pada kolam-kolam yang diperuntukkan khusus bagi limbah
B3. Kolam-kolam ini dilapisi lapisan pelindung yang dapat mencegah perembesan limbah.
Ketika air limbah menguap, senyawa B3 akan terkonsentrasi dan mengendap di dasar.
Kelemahan metode ini adalah memakan lahan karena limbah akan semakin tertimbun dalam
kolam, ada kemungkinan kebocoran lapisan pelindung, dan ikut menguapnya senyawa B3
bersama air limbah sehingga mencemari udara.
 Landfill untuk limbah B3 atau Secure Landfills
Limbah B3 dapat ditimbun pada landfill, namun harus dengan pengamanan tingkat tinggi.
Pada metode pembuangan secure landfill, limbah B3 dimasukkan kedalam drum atau tong-
tong, kemudian dikubur dalamlandfill yang didesain khusus untuk mencegah pencemaran
limbah B3. Landfill harus dilengkapi peralatan monitoring yang lengkap untuk mengontrol
kondisi limbah B3 dan harus selalu dipantau. Metode ini jika diterapkan dengan benar dapat
menjadi cara penanganan limbah B3 yang efektif. Metode secure landfillmerupakan metode
yang memiliki biaya operasi tinggi, masih ada kemungkinan terjadi kebocoran, dan tidak
memberikan solusi jangka panjang karena limbah akan semakin menumpuk.
Share Post :

VI
Pengelolaan Limbah Rumah Sakit
Posted on September 8, 2017 by Healthcare and Hospital Consultant (IKKESINDO Batch 4)

Pengertian

1. Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit dalam
bentuk padat, cair dan gas.
2. Limbah padat rumah sakit adalah semua limbah rumah sakit yang berbentuk padat sebagai
akibat kegiatan rumah sakit yang terdiri dari limbah medis padat dan non medis.

3. Limbah medis padat adalah limbah padat yang terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi,
limbah benda tajam, limbah farmasi, limbah Sitotoksis, limbah kimiawi, limbah radioaktif,
limbah kontainer bertekanan, dan limbah dengan kandungan logam berat yang tinggi.

4. Limbah padat non medis adalah limbah padat yang dihasilkan dari kegiatan di rumah sakit di
luar medis yang berasal dari dapur, perkantoran, taman dan halaman yang dapat dimanfaatkan
kembali apabila ada teknologinya.

5. Limbah cair adalah semua air buangan termasuk tinja yang berasal dari kegiatan rumah sakit
yang kemungkinan mengandung mikroorganisme, bahan kimia beracun dan radioaktif yang
berbahaya bagi kesehatan.
6. Limbah gas adalah semua limbah yang berbentuk gas yang berasal dari kegiatan pembakaran di
rumah sakit seperti insinerator, dapur, perlengkapan generator, anastesi dan pembuatan obat
citotoksik.

7. Limbah infeksius adalah limbah yang terkontaminasi organisme patogen yang tidak secara rutin
ada di lingkungan dan organisme tersebut dalam jumlah dan virulensi yang cukup untuk
menularkan penyakit pada manusia rentan.

8. Limbah sangat infeksius adalah limbah berasal dari pembiakan dan stock bahan sangat infeksius,
otopsi, organ binatang percobaan dan bahan lain yang telah diinokulasi, terinfeksi atau kontak
dengan bahan yang sangat infeksius.

9. Limbah sitotoksis adalah limbah dari bahan yang terkontaminasi dari persiapan dan pemberian
obat sitotoksik untuk kemoterapi kanker yang mempunyai kemampuan untuk membunuh atau
menghambat pertumbuhan sel hidup.

10. Minimisasi limbah adalah upaya yang dilakukan rumah sakit untuk mengurangi jumlah limbah
yang dihasilkan dengan cara mengurangi bahan (reduce), menggunakan kembali limbah (reuse)
dan daur ulang limbah (recycle).

Persyaratan

Limbah Medis Padat

Minimisasi Limbah

 Setiap rumah sakit harus melakukan reduksi limbah dimulai dari sumber.
 Setiap rumah sakit harus mengelola dan mengawasi penggunaan bahan kimia yang berbahaya
dan beracun.

 Setiap rumah sakit harus melakukan pengelolaan stok bahan kimia dan farmasi.

 Setiap peralatan yang digunakan dalam pengelolaan limbah medis mulai dari pengumpulan,
pengangkutan, dan pemusnahan harus melalui sertifikasi dari pihak yang berwenang.

Pemilahan, Pewadahan, Pemanfaatan Kembali dan Daur Ulang

 Pemilahan limbah harus dilakukan mulai dari sumber yang menghasilkan limbah.
 Limbah yang akan dimanfaatkan kembali harus dipisahkan dari limbah yang tidak dimanfaatkan
kembali.

 Limbah benda tajam harus dikumpulkan dalam satu wadah tanpa memperhatikan
terkontaminasi atau tidaknya. Wadah tersebut harus anti bocor, anti tusuk dan tidak mudah
untuk dibuka sehingga orang yang tidak berkepentingan tidak dapat membukanya.

 Jarum dan syringes harus dipisahkan sehingga tidak dapat digunakan kembali.

 Limbah medis padat yang akan dimanfaatkan kembali harus melalui proses sterilisasi sesuai
Tabel I.10 Untuk menguji efektifitas sterilisasi panas harus dilakukan tes Bacillus
stearothermophilus dan untuk sterilisasi kimia harus dilakukan tes Bacillus subtilis.

Tabel I.10

Metode Sterilisasi Untuk Limbah yang Dimanfaatkan Kembali

Metode Sterilisasi Suhu Waktu Kontak


·    Sterilisasi dengan panas    

-Sterilisasi kering dalam 160ºC 120 menit


oven “Poupinel”
170ºC 60 menit
-Sterilisasi basah dalam
otoklaf 121ºC 30 menit
 
 
 
·    Sterilisasi dengan
 
bahan kimia
 
 
–Ethylene oxide (gas)
 
3-8 jam
–Glutaraldehyde (cair)
50ºC-60ºC
30 menit

 Limbah jarum hipodermik tidak dianjurkan untuk dimanfaatkan kembali. Apabila rumah sakit
tidak mempunyai jarum yang sekali pakai (disposable), limbah jarum hipodermik dapat
dimanfaatkan kembali setelah melalui proses salah satu metode sterilisasi pada Tabel I.10.
 Pewadahan limbah medis padat harus memenuhi persyaratan dengan penggunaan wadah dan
label seperti pada Tabel I.10

 Daur ulang tidak bisa dilakukan oleh rumah sakit kecuali untuk pemulihan perak yang dihasilkan
dari proses film sinar X.

 Limbah sitotoksis dikumpulkan dalam wadah yang kuat, anti bocor, dan diberi label bertuliskan
“Limbah Sitotoksis”.

Pengumpulan, Pengangkutan, dan Penyimpanan Limbah Medis Padat di Lingkungan


Rumah Sakit

 Pengumpulan limbah medis padat dari setiap ruangan penghasil limbah menggunakan troli
khusus yang tertutup.
 Penyimpanan limbah medis padat harus sesuai iklim tropis yaitu pada musim hujan paling lama
48 jam dan musim kemarau paling lama 24 jam.

Pengumpulan, Pengemasan dan Pengangkutan ke Luar Rumah Sakit

 Pengelola harus mengumpulkan dan mengemas pada tempat yang kuat.


 Pengangkutan limbah ke luar rumah sakit menggunakan kendaraan khusus.

  Pengolahan dan Pemusnahan

 Limbah medis padat tidak diperbolehkan membuang langsung ke tempat pembuangan akhir
limbah domestik sebelum aman bagi kesehatan.
 Cara dan teknologi pengolahan atau pemusnahan limbah medis padat disesuaikan dengan
kemampuan rumah sakit dan jenis limbah medis padat yang ada, dengan pemanasan
menggunakan otokla f atau dengan pembakaran
menggunakan

Limbah Non Medis Padat

Pemilahan dan Pewadahan

 Pewadahan limbah padat non-medis harus dipisahkan dari limbah medis padat dan ditampung
dalam kantong plastik warna hitam.
 Tempat pewadahan

1. Setiap tempat pewadahan limbah padat harus dilapisi kantong plastik warna hitam
sebagai pembungkus limbah padat dengan lambang “domestik” warna putih.

2. Bila kepadatan lalat di sekitar tempat limbah padat melebihi 2 (dua) ekor per-block grill,
perlu dilakukan pengendalian lalat.

3. Pengumpulan, Penyimpanan, dan Pengangkutan

 Bila di tempat pengumpulan sementara tingkat kepadatan lalat lebih dari 20 ekor per-block grill
atau tikus terlihat pada siang hari, harus dilakukan pengendalian.

 Dalam keadaan normal harus dilakukan pengendalian serangga dan binatang pengganggu yang
lain minimal satu bulan sekali.

Pengolahan dan Pemusnahan

Pengolahan dan pemusnahan limbah padat non-medis harus dilakukan sesuai persyaratan
kesehatan.

Limbah Cair

Kualitas limbah (efluen) rumah sakit yang akan dibuang ke badan air atau lingkungan harus
memenuhi persyaratan baku mutu efluen sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor
Kep–58/MENLH/12/1995 atau peraturan daerah setempat.

Limbah Gas

Standar limbah gas (emisi) dari pengolahan pemusnah limbah medis padat dengan insinerator
mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor Kep-13/MenLH/3/1995 tentang
Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak.

Tata Laksana

Limbah Medis Padat

Minimisasi Limbah

 Menyeleksi bahan-bahan yang kurang menghasilkan limbah sebelum membelinya.


 Menggunakan sedikit mungkin bahan-bahan kimia.
 Mengutamakan metode pembersihan secara fisik daripada secara kimiawi.

 Mencegah bahan-bahan yang dapat menjadi limbah seperti dalam kegiatan perawatan dan
kebersihan.

 Memonitor alur penggunaan bahan kimia dari bahan baku sampai menjadi limbah bahan
berbahaya dan beracun.

 Memesan bahan-bahan sesuai kebutuhan.

 Menggunakan bahan-bahan yang diproduksi lebih awal untuk menghindari kadaluarsa.

 Menghabiskan bahan dari setiap kemasan.

 Mengecek tanggal kadaluarsa bahan-bahan pada saat diantar oleh distributor.

Pemilahan, Pewadahan, Pemanfaatan Kembali dan Daur Ulang

 Dilakukan pemilahan jenis limbah medis padat mulai dari sumber yang terdiri dari limbah
infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksis, limbah
kimiawi, limbah radioaktif, limbah kontainer bertekanan, dan limbah dengan kandungan logam
berat yang tinggi.
 Tempat pewadahan limbah medis padat :

o Terbuat dari bahan yang kuat, cukup ringan, tahan karat, kedap air, dan mempunyai
permukaan yang halus pada bagian dalamnya, misalnya fiberglass.

o Di setiap sumber penghasil limbah medis harus tersedia tempat pewadahan yang
terpisah dengan limbah padat non-medis.

o Kantong plastik diangkat setiap hari atau kurang sehari apabila 2/3 bagian telah terisi
limbah.

o Untuk benda-benda tajam hendaknya ditampung pada tempat khusus (safety box)
seperti botol atau karton yang aman.

o Tempat pewadahan limbah medis padat infeksius dan sitotoksik yang tidak langsung
kontak dengan limbah harus segera dibersihkan dengan larutan disinfektan apabila akan
dipergunakan kembali, sedangkan untuk kantong plastik yang telah dipakai dan kontak
langsung dengan limbah tersebut tidak boleh digunakan lagi.

 Bahan atau alat yang dapat dimanfaatkan kembali setelah melalui sterilisasi meliputi pisau
bedah (scalpel), jarum hipodermik, syringes, botol gelas, dan kontainer.

 Alat-alat lain yang dapat dimanfaatkan kembali setelah melalui sterilisasi adalah radionukleida
yang telah diatur tahan lama untuk radioterapi seperti pins, needles, atau seeds.

 Apabila sterilisasi yang dilakukan adalah sterilisasi dengan ethylene oxide, maka tanki reactor
harus dikeringkan sebelum dilakukan injeksi ethylene oxide. Oleh karena gas tersebut sangat
berbahaya maka sterilisasi harus dilakukan oleh petugas yang terlatih. Sedangkan sterilisasi
dengan glutaraldehyde lebih aman dalam pengoperasiannya tetapi kurang efektif secara
mikrobiologi.

 Upaya khusus harus dilakukan apabila terbukti ada kasus pencemaran spongiform
encephalopathies.

Tempat Penampungan Sementara

 Bagi rumah sakit yang mempunyai insinerator di lingkungannya harus membakar limbahnya
selambat-lambatnya 24 jam.
 Bagi rumah sakit yang tidak mempunyai insinerator, maka limbah medis padatnya harus
dimusnahkan melalui kerjasama dengan rumah sakit lain atau pihak lain yang mempunyai
insinerator untuk dilakukan pemusnahan selambat-lambatnya 24 jam apabila disimpan pada
suhu ruang.
Transportasi

 Kantong limbah medis padat sebelum dimasukkan ke kendaraan pengangkut harus diletakkan
dalam kontainer yang kuat dan tertutup.
 Kantong limbah medis padat harus aman dari jangkauan manusia maupun binatang.

 Petugas yang menangani limbah, harus menggunakan alat pelindung diri yang terdiri :

1. Topi/helm;

2. Masker;

3. Pelindung mata;

4. Pakaian panjang (coverall);

5. Apron untuk industri;

6. Pelindung kaki/sepatu boot; dan

7. Sarung tangan khusus (disposable gloves atau heavy duty gloves).

Pengolahan, Pemusnahan dan Pembuangan Akhir Limbah Padat

Limbah Infeksius dan Benda Tajam

1. Limbah yang sangat infeksius seperti biakan dan persediaan agen infeksius dari laboratorium
harus disterilisasi dengan pengolahan panas dan basah seperti dalam autoclave sedini mungkin.
Untuk limbah infeksius yang lain cukup dengan cara disinfeksi.
2. Benda tajam harus diolah dengan insinerator bila memungkinkan, dan dapat diolah bersama
dengan limbah infeksius lainnya. Kapsulisasi juga cocok untuk benda tajam.

3. Setelah insinerasi atau disinfeksi, residunya dapat dibuang ke tempat pembuangan B3 atau
dibuang ke landfill jika residunya sudah aman.

Limbah Farmasi

1. Limbah farmasi dalam jumlah kecil dapat diolah dengan insinerator pirolitik (pyrolytic
incinerator), rotary kiln, dikubur secara aman, sanitary landfill, dibuang ke sarana air limbah atau
inersisasi. Tetapi dalam jumlah besar harus menggunakan fasilitas pengolahan yang khusus
seperti rotary kiln, kapsulisasi dalam drum logam, dan inersisasi.
2. Limbah padat farmasi dalam jumlah besar harus dikembalikan kepada distributor, sedangkan
bila dalam jumlah sedikit dan tidak memungkinkan dikembalikan, supaya dimusnahkan melalui
insinerator pada suhu di atas 1.000 0

Limbah Sitotoksis

1. Limbah sitotoksis sangat berbahaya dan tidak boleh dibuang dengan penimbunan (landfill) atau
ke saluran limbah umum.
2. Pembuangan yang  dianjurkan  adalah dikembalikan ke perusahaan penghasil atau
distributornya, insinerasi pada suhu tinggi, dan degradasi kimia. Bahan yang belum dipakai dan
kemasannya masih utuh karena kadaluarsa harus dikembalikan ke distributor apabila tidak ada
insinerator dan diberi keterangan bahwa obat tersebut sudah kedaluarsa atau tidak lagi dipakai.

3. Insinerasi pada suhu tinggi sekitar 1.200ºC dibutuhkan untuk menghancurkan semua bahan
sitotoksik. Insinerasi pada suhu rendah dapat menghasilkan uap sitotoksik yang berbahaya ke
udara.

4. Insinerator pirolitik dengan 2 (dua) tungku pembakaran pada suhu 1.200ºC dengan minimum
waktu tinggal 2 detik atau suhu 1.000ºC dengan waktu tinggal 5 detik di tungku kedua sangat
cocok untuk bahan ini dan dilengkapi dengan penyaring debu.

5. Insinerator juga harus dilengkapi dengan peralatan pembersih gas. Insinerasi juga
memungkinkan dengan rotary kiln yang didesain untuk dekomposisi panas limbah kimiawi yang
beroperasi dengan baik pada suhu di atas 850ºC.
6. Insinerator dengan satu tungku atau pembakaran terbuka tidak tepat untuk pembuangan
limbah sitotoksis.

7. Metode degradasi kimia yang mengubah senyawa sitotoksik menjadi senyawa tidak beracun
dapat digunakan tidak hanya untuk residu obat tapi juga untuk pencucian tempat urin,
tumpahan dan pakaian pelindung.

8. Cara kimia relatif mudah dan aman meliputi oksidasi oleh kalium permanganat (KMnO 4) atau
asam sulfat (H2SO4), penghilangan nitrogen dengan asam bromida, atau reduksi dengan nikel
dan aluminium.

9. Insinerasi maupun degradasi kimia tidak merupakan solusi yang sempurna untuk pengolahan
limbah, tumpahan atau cairan biologis yang terkontaminasi agen antineoplastik. Oleh karena itu,
rumah sakit harus berhati-hati dalam menangani obat sitotoksik.

10. Apabila cara insinerasi maupun degradasi kimia tidak tersedia, kapsulisasi atau inersisasi dapat
dipertimbangkan sebagai cara yang dapat dipilih.

Limbah Bahan Kimiawi

Pembuangan Limbah Kimia Biasa

Limbah kimia biasa yang tidak bisa didaur ulang seperti gula, asam amino, dan garam tertentu
dapat dibuang ke saluran air kotor. Namun demikian, pembuangan tersebut harus memenuhi
persyaratan konsentrasi bahan pencemar yang ada seperti bahan melayang, suhu, dan pH.

Pembuangan Limbah Kimia Berbahaya Dalam Jumlah Kecil

Limbah bahan berbahaya dalam jumlah kecil seperti residu yang terdapat dalam kemasan
sebaiknya dibuang dengan insinerasi pirolitik, kapsulisasi, atau ditimbun (landfill).

Pembuangan limbah kimia berbahaya dalam jumlah besar

Tidak ada cara pembuangan yang aman dan sekaligus murah untuk limbah berbahaya.
Pembuangannya lebih ditentukan kepada sifat bahaya yang dikandung oleh limbah tersebut.
Limbah tertentu yang bisa dibakar seperti banyak bahan pelarut dapat diinsinerasi. Namun bahan
pelarut dalam jumlah besar seperti pelarut halogenida yang mengandung klorin atau florin tidak
boleh diinsinerasi kecuali insineratornya dilengkapi dengan alat pembersih gas.

1. Cara lain  adalah   dengan  mengembalikan   bahan   kimia berbahaya tersebut ke distributornya
yang akan menanganinya dengan aman, atau dikirim ke negara lain yang mempunyai peralatan
yang cocok untuk mengolahnya.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penanganan limbah kimia berbahaya:

 Limbah berbahaya yang komposisinya berbeda harus dipisahkan untuk menghindari reaksi kimia
yang tidak diinginkan.
 Limbah kimia berbahaya dalam jumlah besar tidak boleh ditimbun karena dapat mencemari air
tanah.

 Limbah kimia disinfektan dalam jumlah besar tidak boleh dikapsulisasi karena sifatnya yang
korosif dan mudah terbakar.

 Limbah padat bahan kimia berbahaya cara pembuangannya harus dikonsultasikan terlebih
dahulu kepada instansi yang berwenang.

 Limbah dengan Kandungan Logam Berat Tinggi

1. Limbah dengan kandungan mercuri atau kadmium tidak boleh dibakar atau diinsinerasi
karena berisiko mencemari udara dengan uap beracun dan tidak boleh dibuang ke
landfill karena dapat mencemari air tanah.

2. Cara yang disarankan adalah dikirim ke negara yang mempunyai fasilitas pengolah
limbah dengan kandungan logam berat tinggi. Bila tidak memungkinkan, limbah dibuang
ke tempat penyimpanan yang aman sebagai pembuangan akhir untuk limbah industri
yang berbahaya. Cara lain yang paling sederhana adalah dengan kapsulisasi kemudian
dilanjutkan dengan Bila hanya dalam jumlah kecil dapat dibuang dengan limbah biasa.

 Kontainer Bertekanan

1. Cara yang terbaik untuk menangani limbah kontainer bertekanan adalah dengan daur
ulang atau penggunaan kembali. Apabila masih dalam kondisi utuh dapat dikembalikan
ke distributor untuk pengisian ulang gas. Agen halogenida dalam bentuk cair dan
dikemas dalam botol harus diperlakukan sebagai limbah bahan kimia berbahaya untuk
pembuangannya.

2. Cara pembuangan yang tidak diperbolehkan adalah pembakaran atau insinerasi karena
dapat meledak.

 Kontainer yang masih utuh

Kontainer-kontainer yang harus dikembalikan ke penjualnya adalah:

 Tabung atau silinder nitrogen oksida yang biasanya disatukan dengan peralatan anestesi.
 Tabung atau silinder etilin oksida yang biasanya disatukan dengan peralatan sterilisasi

 Tabung bertekanan untuk gas lain seperti oksigen, nitrogen, karbon dioksida, udara bertekanan,
siklopropana, hidrogen, gas elpiji, dan asetilin.

 Kontainer yang sudah rusak

Kontainer yang rusak tidak dapat diisi ulang harus dihancurkan setelah dikosongkan kemudian
baru dibuang ke landfill.

 Kaleng aerosol

Kaleng aerosol kecil harus dikumpulkan dan dibuang bersama dengan limbah biasa dalam
kantong plastik hitam dan tidak untuk dibakar atau diinsinerasi. Limbah ini tidak boleh
dimasukkan ke dalam kantong kuning karena akan dikirim ke insinerator. Kaleng aerosol dalam
jumlah banyak sebaiknya dikembalikan ke penjualnya atau ke instalasi daur ulang bila ada.

 Limbah Radioaktif
1. Pengelolaan limbah radioaktif yang aman harus diatur dalam kebijakan dan strategi
nasional yang menyangkut peraturan, infrastruktur, organisasi pelaksana dan tenaga
yang terlatih.

2. Setiap rumah sakit yang menggunakan sumber radioaktif yang terbuka untuk keperluan
diagnosa, terapi atau penelitian harus menyiapkan tenaga khusus yang terlatih khusus di
bidang radiasi.

3. Tenaga tersebut bertanggung jawab dalam pemakaian bahan radioaktif yang aman dan
melakukan pencatatan.

4. Instrumen kalibrasi yang tepat harus tersedia untuk monitoring dosis dan kontaminasi.
Sistem pencatatan yang baik akan menjamin pelacakan limbah radioaktif dalam
pengiriman maupun pembuangannya dan selalu diperbarui datanya setiap waktu.

5. Limbah radioaktif harus dikategorikan dan dipilah berdasarkan ketersediaan pilihan cara
pengolahan, pengkondisian, penyimpanan, dan pembuangan. Kategori yang
memungkinkan adalah:

 Umur paruh (half-life) seperti umur pendek (short-lived), (misalnya umur paruh
<100 hari), cocok untuk penyimpanan pelapukan,

 Aktifitas dan kandungan radionuklida,

 Bentuk fisika dan kimia,

 Cair : berair dan organik,

 Tidak homogen (seperti mengandung lumpur atau padatan yang melayang),


 Padat : mudah terbakar/tidak mudah terbakar (bila ada) dan dapat
dipadatkan/tidak mudah dipadatkan (bila ada),

 Sumber tertutup atau terbuka seperti sumber tertutup yang dihabiskan,

 Kandungan limbah seperti limbah yang mengandung bahan berbahaya


(patogen, infeksius, beracun).

Setelah pemilahan, setiap kategori harus disimpan terpisah dalam kontainer,


dan kontainer limbah tersebut harus :

 Secara jelas diidentifikasi,


 Ada simbol radioaktif ketika sedang digunakan

 Sesuai dengan kandungan limbah,

 Dapat diisi dan dikosongkan dengan aman,

 Kuat dan saniter.

Informasi yang harus dicatat pada setiap kontainer limbah :

 Nomor identifikasi,
 Radionuklida,

 Aktifitas (jika diukur atau diperkirakan) dan tanggal pengukuran,

 Asal limbah (ruangan, laboratorium, atau tempat lain),

 Angka dosis permukaan dan tanggal pengukuran,

 Orang yang bertanggung jawab.

1. Kontainer untuk limbah padat harus dibungkus dengan kantong plastik transparan yang dapat
ditutup dengan isolasi plastik.

2. Limbah padat radioaktif dibuang sesuai dengan persyaratan teknis dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (PP Nomor 27 Tahun 2002) dan kemudian diserahkan kepada BATAN
untuk penanganan lebih lanjut atau dikembalikan kepada negara distributor. Semua jenis limbah
medis termasuk limbah radioaktif tidak boleh dibuang ke tempat pembuangan akhir sampah
domestik (landfill) sebelum dilakukan pengolahan terlebih dahulu sampai memenuhi
persyaratan.

Limbah Padat Non Medis

Pemilahan Limbah Padat Non Medis

 Dilakukan pemilahan limbah padat non medis antara limbah yang dapat dimanfaatkan dengan
limbah yang tidak dapat dimanfaatkan kembali
 Dilakukan pemilahan limbah padat non medis antara limbah basah dan limbah kering

Tempat Pewadahan Limbah Padat Non Medis

 Terbuat dari bahan yang kuat, cukup ringan, tahan karat, kedap air, dan mempunyai permukaan
yang mudah dibersihkan pada bagian dalamnya, misalnya fiberglass.
 Mempunyai tutup yang mudah dibuka dan ditutup tanpa mengotori tangan.

 Terdapat minimal 1 (satu) buah untuk setiap kamar atau sesuai dengan kebutuhan.

 Limbah tidak boleh dibiarkan dalam wadahnya melebihi 3 x 24 jam atau apabila 2/3 bagian
kantong sudah terisi oleh limbah, maka harus diangkut supaya tidak menjadi perindukan vektor
penyakit atau binatang penganggu.
Pengangkutan

Pengangkutan limbah padat domestik dari setiap ruangan ke tempat  penampungan sementara
menggunakan troli tertutup.

Tempat Penampungan Limbah Padat Non Medis Sementara

 Tersedia tempat penampungan limbah padat non medis sementara dipisahkan antara limbah
yang dapat dimanfaatkan dengan limbah yang tidak dapat dimanfaatkan kembali. Tempat
tersebut tidak merupakan sumber bau, dan lalat bagi lingkungan sekitarnya dilengkapi saluran
untuk cairan lindi.
 Tempat penampungan sementara limbah padat harus kedap air, bertutup dan selalu dalam
keadaan tertutup bila sedang tidak diisi serta mudah dibersihkan.

 Terletak pada lokasi yang mudah dijangkau kendaraan pengangkut limbah padat.

 Dikosongkan dan dibersihkan sekurang-kurangnya 1 x 24 jam.

Pengolahan Limbah Padat

Upaya untuk mengurangi volume, merubah bentuk atau memusnahkan limbah padat dilakukan
pada sumbernya. Limbah yang masih dapat dimanfaatkan hendaknya dimanfaatkan kembali
untuk limbah padat organik dapat diolah menjadi pupuk.

Lokasi Pembuangan Limbah Padat Akhir

Limbah padat umum (domestik) dibuang ke lokasi pembuangan akhir yang dikelola oleh
pemerintah daerah (Pemda), atau badan lain sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Limbah Cair

Limbah cair harus dikumpulkan dalam kontainer yang sesuai dengan karakteristik bahan kimia
dan radiologi, volume, dan prosedur penanganan dan penyimpanannya.

1. Saluran pembuangan limbah harus menggunakan sistem saluran tertutup, kedap air, dan limbah
harus mengalir dengan lancar, serta terpisah dengan saluran air hujan.
2. Rumah sakit harus memiliki instalasi pengolahan limbah cair sendiri atau bersama-sama secara
kolektif dengan bangunan di sekitarnya yang memenuhi persyaratan teknis, apabila belum ada
atau tidak terjangkau sistem pengolahan air limbah perkotaan.

3. Perlu dipasang alat pengukur debit limbah cair untuk mengetahui debit harian limbah yang
dihasilkan.

4. Air limbah dari dapur harus dilengkapi penangkap lemak dan saluran air limbah harus
dilengkapi/ditutup dengan grill.

5. Air limbah yang berasal dari laboratorium harus diolah di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL),
bila tidak mempunyai IPAL harus dikelola sesuai ketentuan yang berlaku melalui kerjasama
dengan pihak lain atau pihak yang berwenang.

6. Frekuensi pemeriksaan kualitas limbah cair terolah (effluent) dilakukan setiap bulan sekali untuk
swapantau dan minimal 3 bulan sekali uji petik sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

7. Rumah sakit yang menghasilkan limbah cair yang mengandung atau terkena zat radioaktif,
pengelolaannya dilakukan sesuai ketentuan BATAN.

8. Parameter radioaktif diberlakukan bagi rumah sakit sesuai dengan bahan radioaktif yang
dipergunakan oleh rumah sakit yang bersangkutan.

Limbah Gas

1. Monitoring limbah gas berupa NO2, SO2, logam berat, dan dioksin dilakukan minimal satu kali
setahun.
2. Suhu pembakaran minimum 1.000oC untuk pemusnahan bakteri patogen, virus, dioksin, dan
mengurangi jelaga.

3. Dilengkapi alat untuk mengurangi emisi gas dan debu.

4. Melakukan penghijauan dengan menanam pohon yang banyak memproduksi gas oksigen dan
dapat menyerap debu.Pengelolaan limbah medis rumah sakit secara rinci mengacu pada
pedoman pengelolaan limbah medis sarana pelayanan kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai