Anda di halaman 1dari 13

1

Keizhar Adzanya
6C
Kelas : 6C
Undang – undang ITE
2

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau


Undang Undang nomor 11 tahun 2008 atau UU ITE adalah UU
yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau
teknologi informasi secara umum. UU ini memiliki yurisdiksi yang
berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada
di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum
Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum
Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan
merugikan kepentingan Indonesia.
Asas
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik
dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat,
kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau
netral teknologi.
Tujuan
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik
dilaksanakan dengan tujuan untuk:

1. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari


masyarakat informasi dunia;
2. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
3. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
4. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang
untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang
penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi
seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan
5. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum
bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.
Istilah dalam Undang-Undang
3

Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,


tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat
elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau
perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahaminya.

 Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan


dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau
media elektronik lainnya.
 Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan,
menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan,
menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.
 Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang
dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam
bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau
sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar
melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto
atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau
perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahaminya.
 Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur
elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan,
mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan,
mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan
Informasi Elektronik.
 Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan
Sistem Elektronik oleh penyelenggara negara, Orang, Badan
Usaha, dan/atau masyarakat.
 Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem
Elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.
4

 Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik


yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu
Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang
diselenggarakan oleh Orang.
 Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik
yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang
menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi
Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik.
 Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum
yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang
memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik.
 Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen
yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan
diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan
mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi Elektronik.
 Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas
Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait
dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai
alat verifikasi dan autentikasi.
 Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan
atau terkait dengan Tanda Tangan Elektronik.
 Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik,
magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika,
aritmetika, dan penyimpanan.
 Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem
Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.
 Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau
kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk dapat
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik lainnya.
 Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat
melalui Sistem Elektronik.
 Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
5

 Penerima adalah subjek hukum yang menerima Informasi


Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dari Pengirim.
 Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara negara,
Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang dapat
digunakan dalam berkomunikasi melalui internet, yang berupa
kode atau susunan karakter yang bersifat unik untuk
menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.
 Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara
Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum.
 Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau
perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun
yang tidak berbadan hukum.
 Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk
oleh Presiden.

Konten
Secara umum, materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu
pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik dan
pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang. Pengaturan
mengenai informasi dan transaksi elektronik mengacu pada
beberapa instrumen internasional, seperti UNCITRAL Model Law
on eCommerce[1]dan UNCITRAL Model Law on eSignature[2].
Bagian ini dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan para
pelaku bisnis di internet dan masyarakat umumnya guna
mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi
elektronik.
Beberapa materi yang diatur, antara lain:

1. pengakuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti


hukum yang sah (Pasal 5 & Pasal 6 UU ITE);
2. tanda tangan elektronik (Pasal 11 & Pasal 12 UU ITE);
6

3. penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification authority,


Pasal 13 & Pasal 14 UU ITE); dan
4. penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 & Pasal 16 UU
ITE)
5. perbuatan yang dilarang (cybercrimes). Beberapa
cybercrimes yang diatur dalam UU ITE, antara lain:
1. konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan,
perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik,
pengancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28,
dan Pasal 29 UU ITE);
2. akses ilegal (Pasal 30);
3. intersepsi ilegal (Pasal 31);
4. gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32
UU ITE);
5. gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal
33 UU ITE);
6. penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device,
Pasal 34 UU ITE);
Penyusunan materi UU ITE tidak terlepas dari dua naskah
akademis yang disusun oleh dua institusi pendidikan
yakni Universitas Padjadjaran(Unpad) dan Universitas
Indonesia(UI). Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi
dan Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen Perindustrian
dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad
bekerjasama dengan para pakar di Institut Teknologi
Bandung yang kemudian menamai naskah akademisnya dengan
RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan
tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Informasi
Elektronik dan Transaksi Elektronik.
Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan
disesuaikan kembali oleh tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli
SH (atas nama pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono),
7

sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan


Transaksi Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR.
Peraturan Pelaksana
Sembilan pasal UU ITE mengamanatkan pembentukan Peraturan
Pemerintah:

1. Lembaga Sertifikasi Keandalan (Pasal 10 ayat 2);


2. Tanda Tangan Elektronik (Pasal 11 ayat 2);
3. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (Pasal 13 ayat 6);
4. Penyelenggara Sistem Elektronik (Pasal 16 ayat 2);
5. Penyelenggaraan Transaksi Elektronik (Pasal 17 ayat 3);
6. Penyelenggara Agen Elektronik (Pasal 22 ayat 2);
7. Pengelolaan Nama Domain (Pasal 24);
8. Tata Cara Intersepsi (Pasal 31 ayat 4);
9. Peran Pemerintah dalam Pemanfaaatan TIK (Pasal 40);
Penyelenggaran Sistem Transaksi Elektronik
Dalam perjalanannya, poin no. 1-7 dijadikan satu peraturan
pemerintah, dan juga sudah disahkan yaitu Peraturan
Pemerintah no. 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Sistem Transaksi Elektronik ('PP PSTE'). Peraturan Pemerintah
ini disusun sejak pertengahan tahun 2008 dan disampaikan ke
Kemkumham awal tahun 2010. Kemudian dilakukan harmonisasi
pertama, dan Menkumham menyerahkan hasilnya ke
Menkominfo pada 30 April 2012. Menkominfo menyerahkan
Naskah Akhir RPP ini ke Presiden pada 6 Juli 2012 dan
ditetapkan menjadi PP 82 tahun 2012 pada 15 Oktober 2012. PP
ini mengatur sistem elektronik untuk pelayanan publik dan
nonpelayanan publik, sanksi administratif, tanggungjawab pidana
serta perdata penyelenggara, sertifikasi, kontrak, dan tanda
tangan elektronis, serta penawaran produk melalui sistem
elektronik. (Aspek Hukum Penyelenggaraan Sistem dan
Transaksi Elektronik, Ronny, 2013)
8

Tata Cara Intersepsi[


Poin nomor 8 tadinya sempat direncakan menjadi Peraturan
Pemerintah tersendiri, akan tetapi koalisi masyarakat menggugat
pasal ini ke Mahkamah Konstitusi tahun 2011. Mahkamah
menyetujui serta mengharuskan Pasal ini dibuat Undang Undang
tersendiri bukannya Peraturan Pemerintah karena intersepsi atau
penyadapan membatasi sebagian hak asasi manusia yang
menurut pasal 28J UUD 1945, harus berbentuk Undang Undang.
Indonesia Corruption Watch mengungkapkan bahwa RPP
merupakan bentuk potensi intervensi Eksekutif terhadap lembaga
penegak hukum, khususnya KPK, mengingat Pusat Intersepsi
Nasional (PIN) dikelola dan dibentuk pemerintah, karena dibentuk
dengan Keputusan Presiden.[3]
Catatan kritis ICW terhadap RPP tentang Penyadapan per 3
Desember 2009:

1. Pasal 4 ayat (4) teknis operasional pelaksanaan intersepsi


dilaksanakan melalui Pusat Intersepsi Nasional.
2. Pasal 5 ayat (6) Hasil intersepsi rekaman informasi
disampaikan secara rahasia kepada aparat penegak hukum
melalui Pusat Intersepsi Nasional
3. Pasal 8 Sertifikasi alat dan perangkat diatur dalam Peraturan
Menteri
4. Pasal 11 ayat (2) Dewan Intersepsi Nasional
bertanggungjawab pada Presiden (tugas mengawasi
pelaksanaan intersepsi di Polisi, Jaksa dan KPK)
5. Pasal 21 ayat (2) Sebelum PIN dibentuk, Menteri dapat
membentuk tim audit independen
6. Pasal 21 ayat (6) Jika PIN sudah terbentuk, intersepsi yg
dilakukan penegak hukum harus melalui PIN
Presiden dan dan jajarannya di kabinet akan menjadi orang-orang
yang sulit atau mustahil disadap jika Rancangan Peraturan
Pemerintah tentang Tata Cara Intersepsi (Penyadapan) disahkan.
9

Presiden berperan membentuk Pusat Intersepsi Nasional dan


mengangkat Anggota Dewan Pengawas Intersepsi Nasional.
Selain itu ada enam instansi lain yang juga akan sulit disadap
karena punya peran dominan bagi terlaksana atau tidaknya
penyadapan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum,
termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Enam instansi
itu yaitu, Menkominfo, Jaksa Agung, Ketua PN Jakarta Pusat
sampai Mahkamah Agung, Anggota PIN, Kapolri, dan Dewan
Intersepsi Nasional. Kesulitan ini dapat berupa keputusan
berlarut-larut atau infonya bocor. [4]
Pasca pembatalan pasal tersebut oleh MK, per 2015 Kemkominfo
memprosesnya untuk membuat RUU TCI (Undang Undang Tata
Cara Intersepsi). Meskipun RUU TCI ini tidak masuk dalam daftar
longlist Program Legislasi Nasional 2015–2019, namun tidak
menutup kemungkinan akan masuk dalam daftar kumulatif
terbuka. Sehingga pilihan pertama usulan dimasukkan dalam
prakarsa DPR dengan dititipkan dalam pembahasan RUU
KUHAP inisiatif DPR. Alternatif kedua didasarkan pada usulan
pemerintah yang dilatari pertimbangan kondisi tertentu serta
harus mendapatkan izin prakarasa dari Presiden.[5]
Peran Pemerintah
Poin nomor 9 akan dijadikan Peraturan Pemerintah Peran
Pemerintah dalam Pemanfaatan TIK. Akan tetapi, per 2016 PP ini
tidak kunjung dibuat.
Perdagangan Elektronis
Terbaru, Pemerintah sedang menggodok dasar hukum untuk
perdagangan elektronis atau e-Commerce. Meskipun bukan
amanat UU ITE, tetapi ini merupakan amanat UU Perdagangan
(pasal 66 ayat 4) dan mengacu kepada UU ITE dan UU
Perlindungan Konsumen[6]. Selain itu memang perkembangan e-
Commerce yang tumbuh cepat membutuhkan dasar hukum dan
melindungi konsumen, produsen dan para pemain e-Commerce.
Pembuatan RPP tersebut diharmonisasi oleh kementerian terkait
10

seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian


Hukum dan HAM, Bank Indonesia serta Kementerian
Perdagangan. Akan tetapi, meskipun naskah akademik RPP
sudah beredar sejak tahun 2011[7], pengesahannya molor dan
tidak ada perkembangan hingga terdengar kembali pasca
boomingnya e-Commerce diawal tahun 2015 dimana Presiden
dan Menteri sudah berganti. Menteri Kominfo Rudiantara
menjanjikan Blueprint e-Commerce untuk meningkatkan
pertumbuhan e-Commerce dan akan bersama Menteri
Perdagangan untuk merumuskan aturan e-Commerce[8]
Pencemaran Nama Baik
Pasal Pencemaran nama baik paling sering digugat ke MK.
Terdapat dua kasus diawal UU ITE, yaitu PUTUSAN Nomor
50/PUU-VI/2008 dan Putusan Nomor 2/PUU-VII/2009. Dalam
putusan tersebut, MK menolak permohonan pemohon bahwa
Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa menurut Mahkamah,
penghinaan yang diatur dalam KUHP (penghinaan off line) tidak
dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran nama baik
yang dilakukan di dunia siber (penghinaan on line) karena ada
unsur “di muka umum”. Dapatkah perkataan unsur “diketahui
umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” dalam Pasal 310 ayat
(1) dan ayat (2) KUHP mencakup ekspresi dunia maya?
Memasukkan dunia maya ke dalam pengertian “diketahui umum”,
“di muka umum”, dan “disiarkan” sebagaimana dalam KUHP,
secara harfiah kurang memadai, sehingga diperlukan rumusan
khusus yang bersifat ekstensif yaitu kata “mendistribusikan”
dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diakses”.[9]
Penghinaan SARA
Mahkamah Konstitusi (MK) juga menolak permohonan Judicial
Review (uji materi) yang diajukan oleh pengacara Farhat Abbas.
Farhat melakukan permohonan uji materi terhadap UU No.
11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena
11

terkena Pasal 28 ayat (2) gara-gara membuat pernyataan di


media sosial twitter yang mengandung unsur penghinaan
terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) terhadap
Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Farhat dilaporkan ke Polda Metro tanggal 10 Januari 2013 oleh
Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. "MK menilai penyebaran
informasi yang dilakukan dengan maksud menimbulkan rasa
kebencian dan permusuhan bertentangan dengan jaminan
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
individu. Dan bertentangan pula dengan tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan dan
ketertiban umum," jelas Arief, Hakim Konstitusi. Polisi akhirnya
tidak meneruskan laporan kasus ini karena laporan telah dicabut
dan Farhat telah berdamai.[10]
Tata Cara Intersepsi
Terkait RPP Penyadapan, Meskipun Mahkamah Agung
menganggap hal itu sah karena tidak bertentangan dengan UU[11],
Mahkamah Kostitusi mengabulkan uji materi pasal 31 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE). Dengan begitu, Rancangan Peraturan
Pemerintah Penyadapan, yang mengacu pada pasal itu, tidak
bisa disahkan. "Mengabulkan permohonan untuk seluruhnya,"
kata Ketua Majelis Konstitusi Mahfud MD saat membacakan
putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis 24 Februari 2011.
Majelis menyatakan pasal itu tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat. Dalam pertimbangannya, majelis berpendapat,
penyadapan harus diatur oleh Undang-Undang.[12]
Bukti Elektronis
Terbaru, dalam skandal "Papa Minta Saham" tahun atau Kasus
PT Freeport Indonesia 2015 membuat Mantan Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat Setya Novanto mengajukan permohonan uji
materi atas Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE) serta Undang Undang KPK. “Pemohon merasa dirugikan
12

dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44
huruf b UU ITE,” ujar kuasa hukum Novanto, Syaefullah Hamid, di
Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, seperti dikutip dari Antara,
Kamis (25 Februari 2016). Adapun dua ketentuan tersebut
mengatur bahwa informasi atau dokumen elektronik merupakan
salah satu alat bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di pengadilan yang sah. Novanto juga merasa
dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 26A UU KPK
terkait alat bukti elektronik yang sah. Novanto menilai bahwa
ketentuan-ketentuan tersebut tidak mengatur secara tegas
mengatur tentang alat bukti yang sah, serta siapa yang memiliki
wewenang untuk melakukan perekaman.[13]"Perekaman yang
dilakukan secara tidak sah (ilegal) atau tanpa izin orang yang
berbicara dalam rekaman, atau dilakukan secara diam-diam
tanpa diketahui pihak yang terlibat dalam pembicaraan secara
jelas melanggar hak privasi dari orang yang pembicaraanya
direkam," kata dia. Sehingga, bukti rekaman itu tidak dapat
dijadikan sebagai alat bukti karena diperoleh secara ilegal.
Majelis hakim Ketua MK Arief Hidayat pun memberikan saran
perbaikan permohonan, sebab tidak ada kedudukan hukum
pemohon sebagai anggota DPR.[14]
Penegakan Hukum
Lembaga lembaga di Indonesia yang menegakkan UU ITE
diantaranya yaitu:

1. Kementerian Komunikasi dan Informatika, berperan sebagai


regulator, khususnya Direktorat Jenderal Aplikasi
Informatika yang memiliki 6 Direktorat, dan juga memiliki
Penyidik Pegawai Negeri Sipil untuk menangani kasus-
kasus pidana ITE.
2. Kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya Unit IV
Cybercrime, Direktorat Reserse Kriminal Khusus, Badan
Reserse Kriminal
13

3. ID-CERT - Indonesia Computer Emergency Response


Team. ID-CERT didirikan sebagai komunitas pertama yang
didirikan tahun 1998 untuk menangani insiden di internet.
Didirikan oleh Budi Raharjo (Pakar IT dari ITB)[15]
4. ID-SIRTII/CC - Indonesia Security Incident Response Team
on Internet Infrastructure/Coordination Center. Lembaga
yang dibangun beberapa komunitas TI Indonesia dan
institusi negara untuk menangani ancaman infrastruktur
internet. ID-SIRTII didirikan 2007 dibawah Ditjen Postel
(pada awalnya) dan mengoordinir para komunitas CERT
yang ada di Indonesia. ID-SIRTII memiliki wewenang
memonitor log traffic internet, dan mengasistensi lembaga
penegak hukum lainnya, penelitian pengembangan serta
pelatihan[16]
5. Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) -
Komunitas yang diberikan hak mengelola domain .id

https://id.wikipedia.org

Anda mungkin juga menyukai