Anda di halaman 1dari 352

i

PROSIDING
ISSN : 2549-0931

1000 HPK DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TIDAK MENULAR


MENUJU KELUARGA SEHAT

Disponsori Oleh :

Didukung Oleh :

Volume Nomor 1
Manado, 3 Desember 2016
ii

PROSIDING
SEMINAR NASIONAL TAHUN 2016

1000 HPK DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TIDAK


MENULAR MENUJU KELUARGA SEHAT

TIM PENYUNTING :

Semuel Layuk, SKM, M.Kes


Henry S. Imbar, SPd, M.Kes
Dr. Muksin Pasambuna, SPd, M.Si
Rudolf B. Purba, SKM, M.Kes
Phembriah S. Kereh, SPd, SST. M.Kes
Yohanis A. Tomastola, SST, MPH
Daniel Robert, SST, M.Kes

Diterbitkan Oleh :
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MANADO
iii

KATA PENGANTAR

Pujian syukur di kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hikmat
dan rahmatnya sehingga Politeknik Kesehatan Kemenkes Manado dapat
menyelenggarakan seminar Nasional tahun 2016, materi dari seminar nasional
tersebut dijadikan Prosiding yang didalamnya terdapat kumpulan abtrak dari
hasil-hasil penelitian.

Prosiding ini mengambil tema “ 1000 HPK dan pengendalian penyakit tidak
menular menuju keluarga sehat” dan dalannya disajikan materi dari para
nasasumber serta hasil penelitian yang berbentuk abtrak ya ng telah disajikan
dalam presentase oral dan poster dari para akademisi serta praktisi, dan instansi
pendidikan tetapi juga instansi pelayanan bidang kesehatan seluruh Indonesia.
Prosiding ini juga merupakan bentuk publikasi ilmiah sebagai bentuk
pertanggungjawaban hasil penelitian yang telah dilakukan untuk menjadi bahan
rujukan bagi perkembangan ilmu dibidang kesehatan.

Akhirnya kami megucapkan terima kasih kepada Direktur Politeknik Kesehatan


Kemenkes Manado Bapak Semuel Layuk, SKM, M.Kes dan jajarannya,
organisasi profesi, para perta seminar, para narasumber, para perserta seminar,
para peserta presentasi oral dan poster, serta sponsorship serta seluruh panitia yang
telah bekerja keras sehingga acara seminar ini dapat terlaksana dengan baik.

Panitia Seminar
iv

UCAPAN TERIMA KASIH

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia


2. Organisasi Profesi yang mensponsori kegiatan ini antara lain :
a. Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara
b. PERSAGI (persatuan Ahli Gizi Indonesia)
c. HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia)
d. PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia)
e. IBI (Ikatan Bidan Indonesia)
f. PAFI (Persatuan Ahli Farmasi Indonesia)
g. PPGI (Persatuan Perawat Gigi Indonesia)
3. Para Narasumber :
a. Gubernur Provinsi Sulawesi Utara, Olly Dondokambey, SE
b. Kepala Badan PPSDMK Kemenkes RI, drg. Usman Sumantri, M.Sc
c. Prof. dr. Siswanto Agus Wilopo, SU, M.Sc, Sc.D
d. Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS
4. Pakar dan reviewer
a. Prof. dr. Siswanto Agus Wilopo, SU, M.Sc, Sc.D
b. Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS
c. Prof. Dr. Ir. Herni Emma Inonta Simbala, M.Si
d. Prof. Dr. Ir. Feti Fatimah, M.Si
e. Dr. Muksin Pasambuna, SPd, M.Si
f. Dr. Risman Duka, SKM, M.Kes
g. Dr. Marjes N. Tumurang, SPd, M.Kes
h. Dr. Martha D. Korompis, SPd, S.SiT, M.Kes
i. Dr. Drs. Agus Rokot, SPd, M.Kes
j. Dr. Getruida B.H. Alow, SPd, M.Kes
k. Dr. Jean Henry Raule, SPd, M.Kes
5. Para stakeholder yang telah memfasilitasi kegiatan Seminar Nasional ini
6. Sponsorship : Ensefal Medika Prima, S.Co Herbal Pantilyner, Abbott A Promise
for Life, Diabetasol Solusi Diabetes No. 1
vi

DAFTAR ISI

Cover…………………………….………………………………………………..….i
Tim Penyunting…………………………….……………………………………..…ii
Kata Pengantar ………………………………………………………………….…..iii
Ucapan Terima Kasih…………………………………………………………….….iv
Susunan Kepanitiaan Seminar Nasional………………………………………..…... v
Daftar Isi……………………………………………………………………………..vi

MAKALAH UTAMA SEMINAR NASIONAL


1000 HPK Menuju SULUT Sehat dan Hebat
Olly Dondokambey, SE. Gubernur Povinsi Sulawesi Utara…….…………… .. ….. 1

Program Indonesia Sehat dengan pendekatan Keluarga


drg. Usman Sumantri, MSc. Kepala Badan PPSDMK Kemenkes RI…….………… 5

1000 HPK Sebagai Investasi Mewujudkan Kualitas Sumber Daya


Manusia dan Keluarga sehat
Prof. dr. Siswanto Agus Wilopo, SU, MSc, Sc.D. Guru Besar
FK. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta……………………….……… ………. 13

Kearifan Lokal Dalam Mendukung 1000 HPK dan pengendalian PenyakitTidak


Menular
Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS. Guru Besar FEMA IPB/Ketua Umum
PERGIZI PANGAN Indonesia .………………………………………………..... 33

PRESENTASE ORAL

1. Program dan Kebijakan Indonesia Sehat

Pengaruh Pendidikan Gizi 1000 HPK Terhadap Perilaku Gizi


Remaja di Sulawesi Tengah
Fahmi Hafid…………………………………………………………………... 47

Model Intervensi Komunikasi Perubahan Perilaku Program


Spesifik 1000 HPK Anak 6-23 Bulan di Sulawesi Tengah
Nasrul…………………………………………………………….………… .… 55

2. Gizi Pangan dan Kesehatan

Penyuluhan Buah dan Sayur Terhadap Perubahan Asupan Gizi Makro


Remaja Obesitas
Rudolf B. Purba, Irza N. Ranti………………….…………………….………… 65
vii

Pengaruh Modifikasi Makanan Lokal Terhadap Kadar Glukosa Darah, Hba1c,


Dan Profil Lipid Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2
Muksin Pasambuna, Dadang Sukandar, Yayuk F. Baliwati, Drajat
Martianto………………….………………………………………….………… 75

Efektifitas Penyuluhan Dan Pemberian Bahan Pengendali Peroksida (Nasi) Pada


Pedagang Makanan Gorengan Di Kota Manado Propinsi Sulawesi Utara
Agus Rokot, Agnes Watung, dan Anselmus Kabuhung …………….…………. 83

Hubungan Pola Konsumsi Serat Dengan Hiperkolesterolemia Pada Pasien


Hipertensi Di Puskesmas Rurukan
Meildy E. Pascoal, Ana B. Montol, dan Putri W. Sembiring ………………… 90

Pola Konsumsi, Status Gizi, Dan Ketajaman Penglihatan Sopir Minibus Trayek
Manado Gorontalo
Daniel Robert dan Vera T. Harikedua dan Mirna Kawulusan…….…………. . 99

3. Keperawatan Komunitas dan Gigi

Pengetahuan Makanan Bergizi Pada Narakontak Serumah Penderita Kusta


M. Zen Rahfiludin, dan Siti Fatimah………………………………. ………..…….. 108

Hubungan Perilaku dan Budaya Ibu Rumah Tangga Keluarga Miskin Terhadap
Status Kesehatan Gigi dan Mulut Anak Usia Sekolah Di Pesisir Pantai
Kecamatan Tuminting Kota Manado
Anneke A. Tahulending, Vega Rossa Fione, Jeane D’Arz Adam………..…… 114

Kesiap Siagaan Bencana Dengan Respon Bencana Komunitas SMKS Kristen


YPKM Manado
Jon Welliam Tangka, Ns. Nurseha Djaafar, Ns. Joice Laoh ……..……..…… 125

Terhadap Klien Obesitas Faktor Resiko Sindrom Metabolik Di Poltekkes


Kemenkes Manado
Kolompoy, J.A, Djaafar NS, Memah H.P, ………………………..……..…… 131

4. Analis Kesehatan dan Kefarmasian


Pengaruh Konsentrasi Garam Terhadap Keberadaan Mikroba dan
Nilai Organoleptik Ikan Layang Asin (Decapterus sp) Kabupaten Kepulauan
Sangihe
Jefri A. Mandeno, Muklis A. Kaim, Jaka F.P Palawae……………………….. 140

Jenis Plasmodium dan Densitas Parasit Pada Penderita Malaria di Puskesmas


Tambelang Kabupaten Minahasa Tenggara
Elne Vieke Rambi, I Made Sastra Adiwiguna……………………………....... 149

Analisis Pemeriksaan Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT)


Serum Gluamkic Pyruvic Transaminase (SGPT), Gamma Glutamic Transrerase
(GGT) pada Peminum Alkohol Di Kecamatan Amurang Kabupaten
Minahasa Selatan
Dyan R. Sukandar, Katrina Konoralma, Telly Mamuaya…………………….. 157
viii

Gambaran Kadar Enzyme Cholinesterase Dalam Darah Petani Sayur Di Desa


Makaaroyen Kecamatan Modoinding Kabupaten Minahasa Selatan
Henry S. Imbar, Muh. Ali Makaminang, dan Tikonuwu Fansi……………….. 165

Perbandingan Jumlah Rendemen Minyak Atsiri Daun Cengkeh (syzygium


aromaticum l. ) Segar Dan Kering
Jovie Mien Dumanauw, Jody A. Pojoh, dan Hari A. Ismail ……………171

Pembuatan Salep Dari Ekstrak Daun Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.)
Selfie P. J. Ulaen, Benedicta I. Rumagit, dan Elvie Rifke Rindengan …….. .176

5. Kesehatan Lingkungan
Hubungan Kondisi fisik Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) di
Wilayah Puskesmas Beo Kecamatan Beo Kabupaten Kepulauan Talaud
Marsell Lapasi, Yuzua T. Kawatu, Bongankaraeng……………………………181

Efektivitas Biofilter Anaerob Aerob Media Bata Styrofoam Sistem Aliran Ke


Atas Dalam Menurunkan Kadar BOD, COD dan Coliform Air Limbah
Rumah Sakit Tahun 2015
Arland Diadon, Tony K. Timpua, Robinson Pianaung, Jusran Mokoginta…….196

Uji Kerentanan Nyamuk Aedes aegypti Vektor Demam Berdarah Dengue


Terhadap Malation Dosis Operasional Di Kabupaten Minahasa Utara
Tahun 2015
Steven J. Soejono, Suwarja, Agnes T. Watung………………………….……...217

Rancangan Tempat Duduk Yang Ergonomis Bagi Penumpang Bantor Di


Kotamobagu
Bongakaraeng dan Semuel layuk………………………………………..……...224

6. Kesehatan Reroduksi
Analisis Determinan Yang Mempengaruhi Kinerja Bidan Terhadap
Pengetahuan Perdarahan Post Partum Di Puskesmas Rawat Inak
Kota Manado
Sesca D. Solang, Freike S.N. Lumy, Robin Dompas………………….……….232

Analisis Pengetahuan Remaja Tentang Pernikahan Dini di Kelurahan


Ranomuut Kecamatan Paal Dua Kota Manado
Ellen Pesak………………………………………………………………….…..245

Factors That Affect Women To Perform Early Detection Of Ca.Cervix


Conny J. Surudani dan Meistvin Welembuntu………………………………...254

Determinan Perilaku Pemanfaatan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang


(MKJP) Kabupaten Minahasa Utara
Iyam Manueke………………………………………………………………… 260
ix

PRESENTASE POSTER

1. Kelelahan Dan Kadar Hemoglobin Terhadap Resiko Kecelakaan


Pengendara Minibus antar Provinsi
Daniel Robert, Henry S. Imbar, Rea C.N. Pindongo …………………………..267

2. Efektivitas Berbagai Jenis Aktivator Dalam Pembuatan Kompos Dari


Limbah Kol (Brassica Oleracea)
Nelson Tanjung……….……………………………………………………….268

3. Pengalaman Ibu Hamil Primigravida Dalam Menghadapi Kehamilan


Trimester I
Yuyun Setyorini, Sationo ……………………………………………………..269

4. The Effect Of Smoking To Salivary Flow Rate In Active Cigarette Smokers


Vega Roosa Fione, dan Aprilia Lakapi……………………………………….270
1

1000 HPK MENUJU SULAWESI UTARA SEHAT DAN HEBAT

Olly Dondokambey, SE. Gubernur Povinsi Sulawesi Utara

Salah satu masalah gizi yang menjadi perhatian utama saat ini adalah masih
tingginya anak balita pendek (stunting) di negara kita. Dari 10 orang anak sekitar 3-4
orang anak balita mengalami stunting. Anak balita stunting tidak disebabkan oleh
keturunan, tetapi lebih banyak disebabkan oleh rendahnya asupan gizi dan penyakit
berulang yang didasari oleh lingkungan yang tidak sehat. Apabila janin dalam kandungan
mendapatkan gizi yang cukup, maka ketika lahir berat dan panjang badannya akan
normal. Keadaan ini akan berlanjut apabila bayi sampai dengan usia 6 bulan
mendapatkan ASI saja (ASI Eksklusif). Untuk mempertahankan hal tersebut, maka
pemberian MP-ASI sejak usia 6 bulan dan melanjutkan pemberian ASI sampai usia 2
tahun merupakan cara efektif untuk mencapai berat badan dan panjang badan yang
normal.
Anak balita stunting selain mengalami gangguan pertumbuhan, umumnya
memiliki kecerdasan yang lebih rendah dari anak balita normal. Selain itu, anak balita
stunting ketika dewasa lebih mudah menderita penyakit tidak menular dan produktifitas
kerja yang lebih rendah. Dengan demikian menanggulangi stunting pada anak balita
berarti meningkatkan sumber daya manusia. Periode yang paling kritis dalam
penanggulangan stunting dimulai sejak janin dalam kandungan sampai anak berusia 2
tahun yang disebut dengan periode emas (seribu hari pertama kehidupan). Oleh karena
itu perbaikan gizi diprioritaskan pada usia seribu hari pertama kehidupan yaitu 270 hari
selama kehamilannya dan 730 hari pada kehidupan pertama bayi yang dilahirkannya.
Secara langsung masalah gizi disebabkan oleh rendahnya asupan gizi dan
masalah kesehatan. Selain itu asupan gizi dan masalah kesehatan merupakan dua hal
yang saling mempengaruhi. Adapun pengaruh tidak langsung adalah ketersediaan
makanan, pola asuh dan ketersediaan air minum (bersih), sanitasi dan pelayanan
kesehatan. Seluruh faktor penyebab ini dipengaruhi oleh beberapa akar masalah yaitu
kelembagaan, politik dan ideologi, kebijakan ekonomi, dan sumberdaya, lingkungan,
teknologi, serta kependudukan.

Gambar 1. Kerangka Pikir Penyebab Masalah Gizi

Sumber: World Bank 2011, diadaptasi dari UNICEF 1990 & Ruel 2008

Berdasarkan faktor penyebab masalah gizi (gambar 1), maka perbaikan gizi
dilakukan dengan dua pendekatan yaitu secara langsung (kegiatan spesifik) dan secara
tidak langsung (kegiatan sensitif). Kegiatan spesifik umumnya dilakukan oleh sektor
kesehatan seperti PMT ibu hamil KEK, pemberian tablet tambah darah, pemeriksaan
kehamilan, imunisasi TT, pemberian vitamin A pada ibu nifas. Untuk bayi dan balita
dimulai dengan inisiasi menyusu dini (IMD), ASI eksklusif, pemberian vitamin A,
pemantauan pertumbuhan, imunisasi dasar, pemberian MP-ASI. Sedangkan kegiatan
2

yang sensitif melibatkan sektor terkait seperti penanggulangan kemiskinan, penyediaan


pangan, penyediaan lapangan kerja, perbaikan infrastruktur (perbaikan jalan, pasar), dll.

Kegiatan perbaikan gizi dimaksudkan untuk mencapai pertumbuhan yang


optimal. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Multicentre Growth Reference Study
(MGRS) Tahun 2005 yang kemudian menjadi dasar standar pertumbuhan internasional,
pertumbuhan anak sangat ditentukan oleh kondisi sosial ekonomi, riwayat kesehatan,
pemberian ASI dan MP-ASI. Untuk mencapai pertumbuhan optimal maka seorang anak
perlu mendapat asupan gizi yang baik dan diikuti oleh dukungan kesehatan lingkungan.

Penanggulangan stunting yang paling efektif dilakukan pada seribu hari pertama
kehidupan, meliputi :

1. Pada ibu hamil

 Memperbaiki gizi dan kesehatan Ibu hamil merupakan cara terbaik dalam
mengatasi stunting. Ibu hamil perlu mendapat makanan yang baik, sehingga
apabila ibu hamil dalam keadaan sangat kurus atau telah mengalami Kurang
Energi Kronis (KEK), maka perlu diberikan makanan tambahan kepada ibu
hamil tersebut.
 Setiap ibu hamil perlu mendapat tablet tambah darah, minimal 90 tablet selama
kehamilan.
 Kesehatan ibu harus tetap dijaga agar ibu tidak mengalami sakit

2. Pada saat bayi lahir

 Persalinan ditolong oleh bidan atau dokter terlatih dan begitu bayi lahir
melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
 Bayi sampai dengan usia 6 bulan diberi Air Susu Ibu (ASI) saja (ASI Eksklusif)

3. Bayi berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun


 Mulai usia 6 bulan, selain ASI bayi diberi Makanan Pendamping ASI (MP-ASI).
Pemberian ASI terus dilakukan sampai bayi berumur 2 tahun atau lebih.
 Bayi dan anak memperoleh kapsul vitamin A, taburia, imunisasi dasar lengkap.
4. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) harus diupayakan oleh setiap rumah tangga.

a. 1000 HPK Dan Penyakit Tidak Menular


Mengapa 1000 hari? Seribu hari disini adalah seribu hari pertama kehidupan,
yaitu 270 selama masa didalam kandungan dan 730 hari selama masa 2 tahun pertama
pasca lahir. Mengapa penting? Ini adalah masa pertumbuhan dan perkembangan seluruh
organ dan sistem tubuh. Pada saat dilahirkan, bayi mempunyai organ yang hampir
semuanya telah selesai dibentuk, diikuti dengan perkembangan pasca lahir.
Pertumbuhan dan perkembangan ini memerlukan asupan gizi dari ibu, baik yang
dikonsumsi ibu maupun yang berasal dari mobilisasi simpanan ibu. Bila pasokan gizi dari
ibu ke bayi kurang, bayi akan melakukan penyesuaian, karena bayi bersifat plastis
(mudah menhyesuaikan diri). Penyesuaian tersebut bisa melalui pengurangan jumlah sel
dan pengecilan ukuran organ dan tubuh yang lebih kecil, agar sesuai dengan terbatasnya
asupan gizi. Sayangnya sekali berubah, bersifat permanen, atinya bila perbaikan gizi
dilakukan setelah melewati kurun seribu pertama kehidupan, maka efek perbaikannya
kecil, sebaliknya bila dilakukan pada masa 1000 HPK, terutama didalam kandungan,
maka efek perbaikannya bermakna.
Perubahan permanen inilah yang menimbulkan masalah jangka panjang. Mereka yang
mengalami kekurangan gizi pada 1000 hari pertama kehidupan, mempunyai tiga resiko:
1) resiko terjadinya penyakit tidak menular/ khronis, tergantung organ yang terkena. Bila
ginjal, maka akan menderita hipertensi dan gangguan ginjal, bila pancreas maka akan
3

beresiko penyakit diabetes tipe 2, bila jantung akan beresiko menderita penyakit jantung,
dst; 2) bila otak yang terkena maka akan mengalami hambatan pertumbuhan kognitif,
sehingga kurang cerdas dan kompetitif; dan 3) gangguan pertumbuhan tinggi badan,
sehingga beresiko pendek/stunting.
Keadaan ini ternyata tidak hanya bersifat antar-generasi (dari ibu ke anak) tetapi bersifat
trans-generasi (dari nenek ke cucunya). Sehingga diperkirakan dampaknya mempunyai
kurun waktu 100 tahun, artinya resiko tersebut berasal dari masalah yang terjadi sekitar
100 tahun yang lalu, dan dampaknya akan berkelanjutan pada 100 tahun berikutnya.

b. Bagaimana keadaan di Indonesia?


Asesmen terkini, yang dilakukan pada tahun 2012 oleh OECD PISA (the
Organisation for Economic Co-operation and Development - Programme for
International Student Assessment), suatu organisasi global yang bergengsi, terhadap
kompetensi 510.000 pelajar usia 15 tahun di 65 negara, termasuk Indonesia, dalam
bidang membaca, matematika dan science. Posisi Singapura, Vietnam, Thailand dan
Malaysia berturut-turut adalah pada urutan ke 2, 17, 50 dan 52, sementara Indonesia
berada di urutan ke 64 dari 65 negara tersebut. Sngat memprihatinkan.
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian pertama di Indonesia,
sementara kelainan pembuluh darah, diabetes mellitus dan darah tinggi termasuk dalam
10 penyebab utama kematian. Hasil survei nasional Riskesdas tahun 2007, 2010 dan
2013 menunjukkan tingginya prevalensi berbagai penyakit khronis secara nasional.
Prevalensi tersebut cenderung meningkat dari tahun ketahun. Sebagai Contoh hampir
sepertiga penduduk dewasa Indonesia menderita Hipertensi, dan sekitar 7 %
menderita Penyakit Jantung.
Sepertiga anak Indonesia usia dibawah lima tahun mempunyai status gizi stunting
atau pendek, lebih dari seperlima anak sudah mengalami stunting pada usia 0-5 bulan,
mencapai puncaknya pada usia antara 2-3 tahun, yaitu lebih dari 40%.
Prevalensi stunting pada balita dari kelompok masyarakat termiskin lebih tinggi
dibandingkan kelompok masyarakat terkaya, tetapi prevalensi pada kelompok terkaya
juga sangat tinggi yaitu 30%. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar masyarakat
Indonesia pernah mengalami kekurangan gizi khronis dan berulang, dan mulai pada usia
sangat dini.

c. Gerakan global
Pada tahun 2010, telah diluncurkan kerangka kerja Scaling Up Nutrition,
didukung oleh Sekjen PBB, dengan dikeluarkannya Road Map Scaling Up
Nutrition yang pertama, pada bulan September, di Gedung PBB New York. Inisiatif ini
kemudian berkembang menjadi gerakan global, yang disebut Scaling Up Nutrition
movement atau SUN Movement. SUN movement merupakan dorongan global untuk
memperbaiki gizi bagi semua, terutama untuk perempuan dan anak-anak, yang
dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap situasi gizi di dunia yang masih diwarnai
oleh tingginya angka kurang gizi pada anak-anak, serta implikasinya terhadap kualitas
sumber daya manusia. Mengapa Gizi? Kurang gizi merupakan salah satu masalah paling
serius di dunia, tetapi paling sedikit mendapatkan perhatian, padahal, biaya kemanusiaan
dan ekonomi dari kurang gizi, luar biasa besarnya, karena kurang gizi, terutama menimpa
kelompok masyarakat termiskin, perempuan dan anak-anak. Mengapa Stunting?Karena
stunting merupakan indikasi dari kejadian yang lebih serius, yaitu kemampuan kognitif
dan resiko terjadinya penyakit tidak menular.

d. Apa yang sudah dilakukan di Indonesia?


Sebagian besar dari 13 intervensi yang sudah terbukti paling cost effective sudah
dilaksanakan di Indonesia tetapi tidak efektif. Hal ini terutama karena masalah gizi
sementara ini dianggap sebagai tanggung jawab sektor kesehatan semata. Sementara
hanya 30% masalah gizi yang bisa diselesaikan oleh sektor kesehatan sedangkan 70%
lainnya oleh sektor lainnya. Karena bersifat sangat multi-faktorial dan multi-sektoral,
maka diperlukan apa yang disebut "Three Ones", atau TIGA-SATU, yang disepakati
4

bersama: Satu Kerangka Kerja sebagai dasar untuk koordinasi kerja semua mitra; Satu
Otoritas Koordinasi tingkat Nasional; Satu Sistem Monitoring dan Evaluasi tingkat
Nasional.
Oleh karena itu diperlukan adanya gerakan yang kuat dengan arah yang sama dari
semua pihak, agar hasil yang dicapai dapat optimal. Melalui Peraturan Pemerintah No. 42
Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi, dan pada tanggal 30
Oktober 2013 telah diluncurkan "Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi
dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan" (Gerakan seribu hari pertama
kehidupan) oleh Bapak Presiden Republik Indonesia di Padang. Pemerintah juga telah
mengeluarkan buku Kerangka kebijakan dan Pedoman Perencanaan Program untuk
gerakan seribu hari pertama kehidupan.
5

MAKALAH UTAMA
SEMINAR NASIONAL
PROGRAM INDONESIA SEHAT
DENGAN PENDEKATAN KELUARGA

USMAN SUMANTRI
KEPALA BADAN PENGEMBANGAN DAN PERMBERDAYAAN
SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN

DISAMPAIKAN PADA :
SEMINAR NASIONAL “1000 HPK DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TIDAK MENULAR
MANADO, 3 DESEMBER 2016
PROGRAM
INDONESIA
SEHAT
KELUARGA SEHAT

3 BUKU
1. Agenda Pembangunan Nasional
2. Agenda Pembangunan Bidang
3. Pembangunan Berdimensi Kewilayahan
Sebaran Kasus & Biaya per jenis penyakit: RANAP
JUMLAH KASUS BIAYA KLAIM (RP MILYAR)
TRANSISI EPIDEMIOLOGI
• Kematian akibat penyakit tidak menular semakin meningkat
• Tren ini kemungkinan akan berlanjut seiring dengan perubahan perilaku hidup (pola makan
dengan gizi tidak seimbang, kurang aktifitas fisik, merokok, dll)

Penyebab Utama dari Beban Penyakit, 1990-2015

1990 2000 2010 2015


Cedera Cedera Cedera Cedera
8% 9% 13%
7%

Penyakit Penyakit
Menular Menular
Penyakit 33%
Penyakit Penyakit Menular 30%
Penyakit
Menular Tidak 43% Penyakit
Tidak Penyakit
56% Menular Tidak
Menular Tidak
37% Menular
49% Menular
58% 57%

Sumber : Double Burden of Diseases & WHO NCD Country Profiles (2014)

Keterangan: Pengukuran beban penyakit dengan Disability-adjusted Life Years (DALYs)  hilangnya hidup dalam tahun
akibat kesakitan dan kematian prematur
PERUBAHAN BEBAN PENYAKIT
• Tahun 1990: penyakit menular (ISPA, TB, Diare, dll) menjadi penyebab kematian dan kesakitan terbesar
• Sejak Tahun 2010: PTM menjadi penyebab terbesar kematian dan kecacatan (stroke, kecelakaan,
jantung, kanker, diabetes)
• Tanpa upaya kuat, tren peningkatan PTM ke depan masih terjadi

Peringkat Tahun 1990 Tahun 2010 Tahun 2015

1 ISPA 1 Stroke 1 Stroke

2 Tuberkulosis 2 Tuberkulosis 2 Kecelakaan Lalin

3 Diare 3 Kecelakaan Lalin 3 Jantung Iskemik

4 Stroke 4 Diare 4 Kanker

5 Kecelakaan Lalin 5 Jantung Iskemik 5 Diabetes Melitus

6 Komplikasi Kelahiran 6 Diabetes Melitus 6 Tuberkulosis

7 Anemia Gizi Besi 7 Low Back Pain 7 ISPA

8 Malaria 9 ISPA 8 Depresi

13 Jantung Iskemik 12 Komplikasi Kelahiran 9 Asfiksia dan Trauma Kelahiran

16 Diabetes Melitus 26 Malaria 10 Penyakit Paru Obstruksi Kronis


Sumber data: Global burden of diseases (2010) dan Health Sector Review (2014)
Arah Pembangunan Kesehatan
(TAHUN 2005-2024)
RPJMN I RPJMN II RPJMN III RPJMN IV
2005-2009 2010-2014
20102019 2015-2019 2020-2024

Universal
Coverage Masyarakat
Upaya Kuratif Sehat Yang
Mandiri Dan
Berkeadilan

Pendukung/penunjang
Beban Ganda Permasalahan Gizi: menyebabkan peningkatan PTM

37.2% (8,92 juta)


Balita Pendek Indonesia termasuk dalam 17
12.1 % Balita Kurus negara di dunia
11,9 % Kegemukan pada Balita dengan 3 masalah gizi
(Global Nutrition Report, 2014)

28,9% Kegemukan pada Penduduk


>18 th

Catatan:
• Pendek dan kurus pd Balita:
 menghambat kemampuan kognitif (inteligensia) & motorik anak
 meningkatkan risiko PTM pd masa dewasa,
• Kegemukan pd orang dewasa merupakan faktor risiko PTM
ARAH DAN
KEBIJAKAN
MENTERI KESEHATAN VISI DAN MISI PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PEMBANGUNAN

TRISAKTI:
MANUSIA,

Mandiri di bidang ekonomi; Berdaulat di bidang politik; Berkepribadian dlm budaya

NORMA PEMBANGUNAN KABINET KERJA


3 DIMENSI PEMBANGUNAN

9 AGENDA PRIORITAS (NAWA CITA)


Agenda ke 5: Meningkatkan kualitas Hidup Manusia Indonesia
UNGGULAN,
SEKTOR

PROGRAM INDONESIA PROGRAM PROGRAM INDONESIA PROGRAM INDONESIA


SEJAHTERA INDONESIA PINTAR SEHAT KERJA
PEMERATAAN DAN
KEWILAYAHAN

RENSTRA

PARADIGMA SEHAT PENGUATAN YANKES JKN

KELUARGA SEHAT
www.PusdiklatAparatur.kemkes.go.id
PROGRAM INDONESIA SEHAT
PARADIGMA SEHAT PENGUATAN YANKES JKN
RENSTRA
2015-2019
PROGRAM PROGRAM PROGRAM
• PENINGKATAN AKSES • BENEFIT
• PROMOTIF – • SISTEM PEMBIAYAAN:
TERUTAMA PADA FKTP
PREVENTIF SEBAGAI • OPTIMALISASI SISTEM ASURANSI – AZAS
LANDASAN GOTONG ROYONG
RUJUKAN • KENDALI MUTU & KENDALI
PEMBANGUNAN • PENINGKATAN MUTU BIAYA
KESEHATAN Penerapan • SASARAN: PBI & NON PBI
• PEMBERDAYAAN pendekatan
continuum pendekatan
Penerapan of care
MASYARAKAT Intervensi berbasis
• KETERLIBATAN LINTAS continuum of care
resiko kesehatan
SEKTOR (health risk) TANDA KEPESERTAAN
INTERVENSI BERBASIS RESIKO
KESEHATAN (HEALTH RISK) KIS

D
T
KELUARGA SEHAT P
K
PENTAHAPAN PROGRAM INDONESIA SEHAT
DENGAN PENDEKATAN KELUARGA
PENTAHAPAN PROGRAM INDONESIA SEHAT
DENGAN PENDEKATAN KELUARGA

9754
PUSKESMAS
TARGET 5085 34 Prov 513 Kab
PUSKESMAS,
9 Prov 203 Kab
2238
PUSKESMAS,
9 Prov 64 Kab 2019
470 2018
PUSKESMAS,
9 Prov 64 Kab 2017
2016
2015
Pilar 1. Paradigma Sehat

Program IMPLEMENTASI DI
• Promotif – preventif sebagai landasan pembangunan kesehatan PUSKESMAS:
• Pemberdayaan masyarakat • Gerakan Masyarkat Hidup
• Keterlibatan lintas sektor Sehat
• Pendekatan Keluarga

KELUARGA SEHAT

Keluarga Sehat merupakan wujud nyata dari meningkatnya derajat


kesehatan dan status gizi masyarakat melalui upaya kesehatan dan
pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan perlindungan finansial
dan pemeratan pelayanan kesehatan.
Indikator Keluarga Sehat
A Program Gizi, Kesehatan Ibu & Anak:
1 Keluarga mengikuti KB
2 Ibu bersalin di faskes
3 Bayi mendapat imunisasi dasar lengkap
4 Bayi diberi ASI eksklusif selama 6 bulan
5 Pertumbuhan balita dipantau tiap bulan
B Pengendalian Peny. Menular & Tidak Menular:
6 Penderita TB Paru berobat sesuai standar
7 Penderita hipertensi berobat teratur
8 Gangguan jiwa berat tidak ditelantarkan
C Perilaku dan kesehatan lingkungan:
9 Tidak ada anggota keluarga yang merokok
10 Keluarga memiliki/memakai air bersih
11 Keluarga memiliki/memkai jamban sehat
12 Sekeluarga menjadi anggota JKN/askes
KELUARGA SEHAT (KS)
Aplikasi Keluarga Sehat

Tenaga kesehatan melakukan


pendataan KS dengan
didampingi kader
GERAKAN MASYARAKAT SEHAT

BAPPENAS & Kemkeu : Perencanaan , Penganggaran, Monev

Kemenperin: Fortifikasi, Kemenkes:


GGL PKK, Pramuka: Kemendikbud Pola Gizi Seimbang 1000 HPK
Karang Kitri Kantin Sehat
BPOM: Jajanan Anak KemenUKM:
Sekolah Kementan: Minum Jamu
Meningkatnya
Buah & sayur murah KKP: KONSUMSI BUAH &
Kemenkes: Gemarikan SAYUR
1000 HPK Pendekatan Keluarga
Menpan: Kemenparekraf:
Pemda: Pariwisata
Edaran ttg Kemenpora: Meningkatnya
Taman untuk Olahraga
Gedung & Fasilitas AKTIFITAS FISIK
Olahraga di aktifitas fisik
Olahraga Hidup
Kantor/Institusi Car Free Day Pemda & Kem Pora
Kejuaraan OR Sehat
Kemenhub: Menurunnya
Mendikbud & Menag: Kemendes:
Jalur sepeda Olahraga & Aktifitas fisik MEROKOK
UKS, Kurikulum Lapangan desa
Pedestrian Masy, Poco-Poco
Prevalensi Penyakit
Pemda:
YANKESDAS menurun 50%
Kawasan
Tanpa Rokok Kemenhub:
Keamanan Kemenkes:
Kemenkes: Surveilans penyakit
Kemenkeu: Cukai Rokok Transportasi
Screening Kanker, LINGKUNGAN SEHAT
BPJS: Hipertensi, Kemkominfo:
Kemendag: Pencegahan PHBS Iklan layanan masyakat
Peredaran Sekunder
min. beralkohol “Sehat,Bugar,Produktif“
MENKO PMK, MENKO PEREKONOMIAN: Pengendalian Pelaksanaan
Gerakan Masyarakat Hidup Sehat
Menanggulangi Penyakit Tidak Menular & Deteksi Dini

Penduduk Kurang Aktivitas Fisik (26,1 %


penduduk)

Deteksi Dini Penyakit


Hipertensi
Diabetes
Kanker

Penduduk >10 th Kurang Konsumsi


Buah dan Sayur (93,5%)

Sumber Data Riskesdas 2013


PELATIHAN KELUARGA SEHAT
• Sudah dilatih TOT 153 orang dari 9 provinsi, 64 kab/kota
• Alumni TOT ditugaskan untuk melatih 5000 org pada 470
Puskesmas, 10 org/pusk (5 dari pusk sasaran, 5 dari pusk lain) di 64
kab/kota
- Pelatihan telah dilaksanakan di 9 Provinsi sasaran Sumsel, Jateng,
Lampung, Banten, Jatim, Sulsel, Sumatera Utara, DKI Jakarta, dan
Jabar

• Sumber dana : didekonkan di dinkes masing2 dan pelaksanaan di


Bapelkes, kec Provinsi Banten k/ tidak ada Bapelkes
PELATIHAN KELUARGA SEHAT (30 JPL)

MATERI DASAR 12 indikator KS


(2 JPL / T) MATERI PENUNJANG
(6 JPL / T)
MATERI INTI
Kebijakan Program Keluarga Sehat (22 JPL : 7T, 9P, 6PL)
:

1. Paradigma Sehat 1. Pelayanan gizi di keluarga KOMPETEN


2. Pelayanan KIA di Keluarga 1. BLC 7 KOMPETENSI
2. Pembangunan Kesehatan 2. Rencana Tindak
Periode 2015-1019 3. Pelayanan Penyakit menular (TB) di
3. Program Indonesia Sehat keluarga Lanjut
2015-2019 4. Pelayanan PTM di Keluarga 3. Anti korupsi
4. Prioritas Program Kesehatan 5. Sanitasi Lingkungan di Keluarga
5. Program Pendekatan 6. Komunikasi efektif
Keluarga 7. Survei keluarga sehat di wilayah kerja
puskesmas

TOT Teknik melatih 12 JPL


KERANGKA KONSEP
“INTEGRASI PIS-PK DI PUSKESMAS”
(Permenkes 75/2014)
FUNGSI OUTPUT
PUSKESMAS
KLASIFIKASI KEWENANGAN PUSKESMAS SESUAI FUNGSI
OUTCOME
IKS
1. UPAYA KESEHATAN
MASYARAKAT (UKM)
1. Mengikuti Keluarga Berencana

KOMPONEN INDIKATOR
a. UKM Esensial 2. Melaksanaan persalinan di Faskes
1. Pelayanan Promosi Kes 3. Memberikan ASI Ekslusif 6 bulan
4. Mengimunisasikan Bayi (dasar lengkap)
(Pasal 7)

2. Pelayanan Kes Lingkungan


3. Pelayanan KIA dan KB 5. Memantau Tumbuh Kembang balita
4. Pelayanan Gizi
5. Pelayanan Pencegahan & 6. Mengobatkan penderita TB sesuai standart
Pengendalian Penyakit 7. Mengobatkan penderita hipertensi secara
b. UKM Pengembangan teratur
8. Mengobatkan penderita Gangguan Jiwa

9. TIDAK merokok
10. Menyediakan air bersih
2. UPAYA KESEHATAN
PERORANGAN (UKP) 11. Menyediakan jamban keluarga
12. Menjadi peserta JKN
SUMBER PEMBIAYAAN PIS-PK

 APBN
 Permenkes no 82/2015 ttg Juknis DAK Non Fisik BOK
 Dana Dekonsentrasi program di Kemenkes di 34 provinsi
 Kantor Pusat Kemenkes
 APBD
 Pemanfaatan Dana Desa
 Permendes No 21/2015 ttg Penggunaan Prioritas Dana Desa Tahun 2016, seperti:
 Peningkatan kesehatan masyarakat desa dengan UKBM
 Pendampingan terhadap penyusunan prioritas pembangunan desa di bidang kesehatan
 Pembiayaan dari Program JKN
 Permenkes No 21/2016 ttg Penggunaan Dana Kapitasi JKN untuk Jasa Yankes dan
Dukungan Biaya Operasional pada FKTP milik Pemerintah Daerah
 CSR
 Permenkeu No. 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan
Penyetoran Pajak Rokok
 Sumber dana yang berasal dari masyarakat seperti donator, dll.
PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN

PENGUATAN
DUKUNGAN
PENINGKATAN PENINGKATAN REGIONALISASI DINKES
LINTAS
AKSES MUTU RUJUKAN KAB/KOTA
SEKTOR
PROVINSI

a) Pemenuhan a) Penyediaan a) Sistem a) Sosialisasi a) Dukungan


tenaga NSPK/SOP Rujukan Regulasi
b) Peningk sarana b) Peningkatan b) Advokasi
Regional dan b) Dukungan
pelayanan kemampuan Infrastruktur
Provinsi c)Capacity Building
primer nakes (transportasi,
c) Pemenuhan c) Program b) Sistem listrik, air,
prasarana Rujukan komunikasi)
Dokter
pendukung Nasional
Layanan c) Dukungan
d) Inovasi
Primer pendanaan
pelayanan di
terpencil & d) Program
sangat Akreditasi
Terpencil FKTP
Tantangan Pelayanan Kesehatan
 Pelayanan Multidisplin, Pendekatan Pelayanan
 Berpotensi terjadinya fragmented care
 Berpotensi terjadinya pelayanan tumpang tindih
 Konflik Interprofesional
 Distribusi Tenaga Kesehatan, Kompetensi
 Geografi dan demografi, Disparitas
 Pembiayaan Kesehatan

Potensi Kerawanan, pasien Safety, Mutu Pelayanan, Kepuasan Pasien

Perlu Keselarassan Langkah dalam Pelayanan Terintergrasi


PENGUATAN LAYANAN PRIMER
Masalah kesehatan triple burden. Lebih dari 80% masalah kes
dijumpai di tingkat primer
Dokter sebagai gate keeper perlu kemampuan melaksanakan upaya
promotif & preventif pada komunitas dan masyarakat, serta mampu
deteksi dini, menangani, merujuk dng tepat
mampu kendali mutu kendali biaya dan optimalisasi sistem rujukan.
Ilmu kedokteran/kedokteran gigi berkembang pesat termasuk ilmu
kedokteran di layanan primer

25
PERAN FASKES TINGKAT PERTAMA
MEWUJUDKAN PARADIGMA SEHAT
Sehat (70%*) Mengeluh Sakit (30%*)

KIE, Self care


Promosi Kesehatan
Yang Sehat Tetap Sehat
FKTP
Yang sehat Tidak Sakit 80 %

sehat /
UKBM( Posyandu, Posyandu Lansia, FKRTL rujuk balik
Posbindu PTM, Polindes, Poskesdes, 20%
Desa Siaga) sakit
SEHAT ADALAH HARTAKU
meninggal
YANG HARUS KUJAGA DAN
KUPELIHARA

*Sumber : Susenas 2010


FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN JKN

1. KETERSEDIAAN FASILITAS KESEHATAN TINGKAT


UKP PERTAMA BERMUTU DAN DOKTER LAYANAN PRIMER
Tersier (Sub-
Sp) YANG HANDAL DAN TERSEBAR MERATA DI SELURUH
Sekunder WILAYAH NKRI
(Pelayanan Spesialistis)
2. RAYONISASI/REGIONALISASI FASILITAS KESEHATAN
Primer SESUAI POLA RUJUKAN
(Pelayanan Dasar mencakup 90% kebutuhan
kesehatan individu & keluarga) 3. IURAN YANG MEMENUHI AZAZ KEEKONOMIAN
4. PERKUAT UPAYA KESEHATAN MASYARAKAT (UKM)
1 Dokter mengayomi +2.500
penduduk

Sumber : IDI, 2015


Interprofessional Education
Process & Outcomes

Health Professional Learner Competencies

KNOWLEDGE
• Roles

SKILLS/BEHAVIORS
• Communication
• Reflection

ATTITUDES
• Mutual Respect
• Open to trust
• Willing to collaborate

28
MODEL PRAKTIK KOLABORASI
Patient/Provider/
Organizational/System
Outcomes

PATIENT
* Clinical outcomes
* Quality of care
• Satisfaction

PROVIDER
* Satisfaction
• Well-being

ORGANIZATION
* Efficiency
• Innovation

SYSTEM
* Cost effectiveness
* Responsiveness
29
Manfaat Praktik Kolaborasi Interprofesional

• Meningkatkan patient safety


• Memberikan akses kepada pelayanan kesehatan yang terkoordinasi
dan terintegrasi
• Pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien baik dari segi pemberi
layanan kesehatan dan sarana prasarana
• Pasien dengan penyakit kronik dapat menjadi lebih tertangani
dengan baik Meningkatkan kepercayaan diri pemberi layanan dan
mengurangi kejenuhan dalam profesi kesehatan  saling
menghormati, berbagi ilmu dan ketrampilan, peran dan komunikasi

30
PERAN DAN TANGGUNG JAWAB
KEPALA DINAS KESEHATAN PROPINSI DAN KABUPATEN/KOTA
DALAM PROGRAM INDONESIA SEHAT DENGAN PENDEKATAN KELUARGA

1. MAMPU MENGGALANG LINTAS SEKTOR DI DAERAH


2. MEMANFAATKAN SUMBER DANA UNTUK MENDUKUNG KEGIATAN PROMOTIF-
PREVENTIF, YAKNI: KAPITASI PUSKESMAS, DAK BOK, DANA DESA, DBHCHT
3. LEBIH MENGUTAMAKAN KEGIATAN PROMOTIF-PREVENTIF DALAM MEKANISME
PEMBANGUNAN
4. MEMPERKUAT PUSKESMAS DALAM PENYIAPAN DATA BERBASIS KELUARGA
5. MEMBINA PUSKESMAS DALAM MEMBERIKAN TREATMENT SESUAI DENGAN
PERMASALAHAN KESEHATAN BERBASIS KELUARGA
6. MEMPERKUAT SISTEM AGAR AKSES DAN KUALITAS PELAYANAN DAPAT
MENDUKUNG PROGRAM PENDEKATAN KELUARGA
7. MEMPERKUAT REGULASI, STRUKTUR ORGANISASI, MANAJEMEN PROGRAM UNTUK
MENDUKUNG GERMAS & PENDEKATAN KELUARGA DI LINGKUP PROPINSI DAN
KABUPATEN/KOTA .
8. PENGEMBANGAN SUMBERDAYA YANG DIPERLUKAN UNTUK IMPLEMENTASI PIS-PK
9. KOORDINASI DAN BIMBINGAN
10. PEMANTAUAN DAN PENGENDALIAN.
TERIMAKASIH
13

―1000 Hari Pertama Kehidupan‖

Siswanto Agus Wilopo


Ketua Pusat Kesehatan Reproduksi
dan
Guru Besar Departemen Biostatistik, Epidemiologi
dan Kesehatan Populasi
Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta

Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “1000 HPK dan Pengendalian Penyakit
tidak Menular Menuju Keluarga Sehat di Manado, tanggal 3 Desember, 2016
14

Latar Belakang
Masalah gizi menjadi prioritas global sejak disepakatinya sasaran dan target
pembangunan milenium (Millenium Development Goals at disingkat MDG) sampai
tahun 2015. Kesepakatan tersebut telah diperpanjang dalam target Pembangunan
Berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau disingkat SDG) sampai dengan
tahun 2030 (Britto et al., 2016). Gerakan ―Scaling Up Nutrition (SUN Movement)‖
merupakan gerakan global di bawah koordinasi Sekretaris Jenderal PBB sejak
diterimanya kesepakatan MDG tersebut. Gerakan ini merupakan tanggapan negara-
negara di dunia anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada status pangan dan
gizi yang rendah. Di banyak negara sedang berkembang untuk mencapai sasaran
MDGs (Goal 1) tentang kecukupan pangan dan gizi memerlukan perhatian khusus
untuk ditangani secara nasional dan kerja-sama global (Republik Indonesia, 2012).
Tujuan Global SUN Movement adalah menurunkan masalah rendahnya status gizi
anak, dengan fokus pada 1000 hari pertama kehidupan atau disingkat 1000 HPK (270
hari selama kehamilan dan 730 hari dari kelahiran sampai usia 2 tahun), yaitu pada ibu
hamil, ibu menyusui dan anak usia 0-23 bulan. Prioritas ini didasarkan pentingnya
memfokuskan gizi pada periode tersebut yang akan menentukan masa depan bangsa.
Indikator Global SUN Movement adalah penurunan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR),
anak balita pendek (stunting), kurus (wasting), gizi kurang (underweight), dan gizi
lebih (overweight).
Masalah gizi pada 1000 HPK tersebut juga menjadi prioritas pembangunan dalam
RPJMN 2015-2019 (Republik Indonesia, 2015). Beberapa riset kesehatan dasar
(Riskesdas) menghasilkan berbagai peta masalah kesehatan dan kecenderungannya,
dari bayi lahir sampai dewasa (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Dalam laporan
tersebut digunakan beberapa istilah status gizi, yaitu: berat kurang, istilah untuk
gabungan gizi buruk dan gizi kurang (underweight); pendek, istilah untuk gabungan
sangat pendek dan pendek (stunting); dan kurus, yaitu istilah untuk gabungan sangat
kurus dan kurus (wasting)
Berdasarkan hasil survei-survei tersebut, prevalensi gizi kurang pada balita (BB/U<-
2SD) memberikan gambaran yang fluktuatif dari 18,4 persen (2007) menurun menjadi
17,9 persen (2010) kemudian meningkat lagi menjadi 19,6 persen (tahun 2013).
Beberapa provinsi, seperti Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah,
Sulawesi Tengah menunjukkan kecenderungan menurun. Dua provinsi yang
prevalensinya sangat tinggi (>30%) adalah NTT diikuti Papua Barat, dan dua provinsi
yang prevalensinya <15 persen terjadi di Bali, dan DKI Jakarta.
Masalah stunting/pendek pada balita masih cukup serius. Angka nasional ialah 37,2
persen. Angka ini bervariasi dari yang terendah di Kepulauan Riau, DI Yogyakarta,
DKI Jakarta, dan Kalimantan Timur (<30%). Angka tertinggi (>50%) ialah di Nusa
Tenggara Timur. Tidak berubahnya prevalensi status gizi, kemungkinan besar belum
15

meratanya pemantauan pertumbuhan anak-anak balita. Hal ini terlihat dari


kecenderungan proporsi balita yang tidak pernah ditimbang enam bulan terakhir, yaitu
semakin meningkat dari 25,5 persen (2007) menjadi 34,3 persen (2013).
Untuk bayi baru lahir, prevalensi bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR)
berkurang dari 11,1 persen tahun 2010 menjadi 10,2 persen tahun 2013. Namun
demikian, variasi antar provinsi masih sangat mencolok. Angka BBLR terendah di
Sumatera Utara (7,2%) sedangkan angka yang tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah
(16,9%). Untuk pertama kali tahun 2013 dilakukan juga pengumpulan data panjang
bayi lahir, dengan angka nasional bayi lahir pendek <48 cm adalah 20,2 persen.
Angka ini juga bervariasi dari yang tertinggi di Nusa Tenggara Timur (28,7%)
sedangkan angka terendah di Bali (9,6%).
Buruknya status gizi memiliki dampak negatif secara jangka pendek dan jangka
panjang (Black et al., 2016). Dampak negatif dalam jangka pendek adalah
terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan
gangguan metabolisme dalam tubuh (Richter et al., 2016). Sedangkan, dalam jangka
panjang dampak negatif yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan
kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan
risiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan
pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua (Rollins et al., 2016).
Dampak-dampak negatif tersebut pada akhirnya akan menurunkan kualitas sumber
daya manusia Indonesia ke depan karena menurunkan tingkat produktivitas dan daya
saing bangsa dibanding bangsa-bangsa lain.
Indonesia telah menjadi bagian dari Gerakan SUN Movement sejak bulan Desember
2011, melalui penyampaian surat keikutsertaan dari Menteri Kesehatan kepada Sekjen
PBB. Di Indonesia Gerakan SUN Movement disebut dengan Gerakan Nasional
Percepatan Perbaikan Gizi dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan disingkat
menjadi Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan atau ―Gerakan 1000 HPK‖. Untuk
merumuskan ―Gerakan 1000 HPK‖ telah dilakukan beberapa kegiatan melibatkan
pemangku kepentingan utama yang terdiri dari Kementerian dan Lembaga, dunia
usaha, mitra pembangunan internasional, lembaga sosial kemasyarakatan, dan
didukung oleh organisasi profesi, perguruan tinggi, serta media (Republik Indonesia,
2012).
Secara garis besar, ―Gerakan 1000 HPK‖ terdiri dari upaya intervensi gizi spesifik dan
intervensi gizi sensitif. Intervensi spesifik, adalah tindakan atau kegiatan yang dalam
perencanaannya ditujukan khusus untuk kelompok 1000 HPK. Kegiatan ini pada
umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan, seperti imunisasi, PMT ibu hamil dan
balita, pemantauan pertumbuhan anak balita di Posyandu, dan suplemen tablet jangka
pendek yang hasilnya dapat dicatat dalam waktu relatif pendek.
16

Sedang intervensi sensitif adalah berbagai kegiatan pembangunan yang tidak terbatas
pada sektor kesehatan. Sasarannya adalah semua anak dalam periode kehidupan yang
tidak hanya untuk 1000 HPK. Namun apabila upaya tersebut diintegrasikan, atau
terpadu dengan upaya-upaya spesifik, dampaknya sensitif terhadap keselamatan anak
dan proses pertumbuhan dan perkembangan 1000 HPK. Dampak khusus dan integrasi
dari kegiatan spesifik dan sensitif bersifat langgeng (―sustainable‖) dan berjalan
secara jangka panjang. Beberapa contoh intervensi sensitif tersebut adalah pendidikan
dan KIE Gizi, pendidikan dan KIE Kesehatan, kesetaraan gender, berbagai
penanggulangan kemiskinan, ketahanan pangan dan gizi, fortifikasi pangan,
penyediaan air bersih, sarana sanitasi, dan lain-lain.
Pemerintah telah menyusun pedoman tentang ―Gerakan Nasional Percepatan
Perbaikan Gizi dalam Rangka 1000 Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 Hari
Pertama Kehidupan dan disingkat Gerakan 1000 HPK)‖. Pedoman ini bertujuan untuk
menjadi acuan bagi berbagai pihak terkait dalam menyusun perencanaan dan
penganggaran serta pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan-kegiatan gizi yang
bersifat spesifik dan sensitif. Secara khusus bertujuan agar: a) tersedia pilihan
kegiatan gizi yang bersifat spesifik dan sensitif, sesuai dengan masalah gizi dan tugas
masing-masing pemangku kepentingan; b) teridentifikasinya kebutuhan sumber daya
pendukung; dan c) tersedianya bahan advokasi yang sederhana dan mudah dipahami
(Republik Indonesia, 2012).
Panduan tersebut tidak berisi substansi yang lebih mendalam tentang apa pentingnya
masing-masing komponen intervensi spesifik dan sensitif sehingga banyak sasaran
dari panduan tersebut mengalami kesulitan dalam menyampaikan pesan kepada
masyarakat secara umum.
Dengan demikian masalahnya ialah bahwa ―Gerakan 1000 HPK‖ kurang mendapat
perhatian secara luas dan menjadikan agar program dapat mendarat pada akar rumput,
atau di lapangan, seperti dalam program-program kesehatan masyarakat seperti
Posyandu. Makalah ini akan menguraikan beberapa pokok-pokok penjelasan masalah
dan pentingnya intervensi spesifik dan sensitif terkait dengan 1000 HPK sehingga
dapat bermanfaat bagi para pelaksana program secara luas.

Pentingnya 1000 HPK


Mengapa investasi pada nutrisi 1000 HPK?

Seribu hari sejak wanita hamil sampai dengan anak merayakan hari ulang tahun kedua
menjadi ―jendela peluang‖ masa depan anak yang sehat dan sejahtera. Nutrisi yang
tepat selama 1000 HPK tersebut berpengaruh besar pada kemampuan seorang anak
untuk tumbuh, berkembang, dan belajar untuk menyongsong masa depan (Black et al.,
2016). Oleh karena itu, perkembangan tersebut dalam jangka panjang akan
berpengaruh pada derajat kesehatan dan kesejahteraan suatu bangsa. Memberikan
17

perhatian khusus sejak terjadinya kehamilan sampai dengan usia 2 tahun adalah upaya
untuk menggiring perkembangan sumber-daya manusia pada generasi yang akan
datang.

Nutrisi selama kehamilan dan dalam tahun pertama kehidupan seorang anak menjadi
modal penting untuk perkembangan otak dan pertumbuhan badan yang sehat serta
pembentukan sistem kekebalan tubuh yang kuat. Telah banyak bukti ilmiah bahwa
periode 1000 HPK menjadi fondasi yang menentukan derajat kesehatan seseorang
selama hidupnya, termasuk risiko untuk menderita obesitas dan penyakit kronis
lainnya. Penyakit kronis tersebut misalnya penyakit kencing manis dan pembuluh
darah jantung dan otak. Oleh sebab itu amatlah penting agar wanita sejak hamil
sampai dengan anaknya berusia kurang dari 2 tahun untuk memperoleh nutrisi yang
tepat dengan gizi seimbang. Kegagalan dalam proses tersebut akibat kekurangan gizi
sejak kehamilan sampai dengan anak usia di bawah 5 tahun (Balita). Tantangan secara
global dan Indonesia tentang kekurangan gizi tersebut secara disajikan pada kotak
diatas.
Pengaruh nutrisi yang buruk pada awal kehidupan akan mempunyai efek jangka
panjang hingga dapat mempengaruhi generasi berikutnya. Malnutrisi pada fase awal
kehidupan dapat menyebabkan kerusakan permanen pada pertumbuhan otak anak dan
pertumbuhan fisik. Sebagai akibatnya akan dapat mengganggu kemampuan belajar
anak sehingga prestasi di sekolah buruk. Anak-anak dengan malnutrisi pada awal
kehidupan lebih rentan terhadap penyakit infeksi. Malnutrisi tersebut bahkan dapat
meningkatkan risiko untuk menderita penyakit jantung, diabetes, dan beberapa tipe
kanker pada saat dewasa atau tua nanti. Selain itu, wanita yang kurang gizi akan
melahirkan anak perempuan yang kurang gizi pula. Akibatnya anak perempuan
tersebut akan tumbuh menjadi ibu yang kurang gizi yang akan menurunkan anak
mereka dengan kurang gizi pula. Dengan demikian akan terjadi lingkaran setan pada
siklus kehidupan bagi generasi yang akan datang (Langer et al., 2015).
Kerusakan yang terjadi akibat malnutrisi dapat menjadi beban ekonomi bagi suatu
negara. Malnutrisi dapat menurunkan produktivitas dan meningkatkan biaya
perawatan kesehatan sehingga uang triliunan rupiah hilang percuma. Padahal
kehilangan tersebut sebenarnya dapat dicegah dengan jalan menjamin kecukupan
nutrisi selama 1000 HPK. Dengan demikian apabila setiap keluarga dapat
memfokuskan pada peningkatan nutrisi selama 1000 HPK yang kritis tersebut,
kerusakan dalam generasi ke generasi dan kerugian ekonomi suatu bangsa dapat
dihindari (Britto et al., 2016).
Upaya yang harus segera dilakukan adalah mengatasi malnutrisi yang dimulai dengan
berinvestasi pada 1000 HPK. Setiap keluarga harus menyadari bahwa tantangan yang
terjadi dengan masalah malnutrisi dapat diatasi dengan memfokuskan pada 1000
HPK. Malnutrisi membunuh jutaan anak setiap tahun dan merampas kesempatan
18

berjuta anak lain untuk meraih potensi terbaik. Krisis ini bersifat global dan
membutuhkan aksi semua keluarga agar dapat memberikan kesempatan untuk
memperhatikan gizi anaknya (WHO, 2010).
Pada tahun 2012, pemimpin dunia berkomitmen untuk meraih enam target nutrisi
global pada tahun 2025. Namun, meraih target ini pada dekade depan membutuhkan
peningkatan investasi. Pemimpin dunia harus memulai aksinya sekarang untuk
memenuhi janji mereka dan menyelamatkan jutaan nyawa anak-anak usia di bawah
lima tahun. Setiap keluarga harus ikut serta mewujudkan cita-cita para pemimpinnya
(Black et al., 2016).
Meningkatkan nutrisi untuk ibu dan anak selama periode 1000 HPK tersebut
membantu memastikan bahwa anak mendapatkan awal kehidupan yang terbaik dan
kesempatan untuk meraih potensi terbaik bagi anak-anak mereka. Berinvestasi pada
nutrisi yang lebih baik selama 1000 HPK juga dapat menyelamatkan nyawa dari
ancaman berbagai penyakit di awal kehidupan. Wanita yang memiliki nutrisi yang
baik sebelum dan selama kehamilan akan lebih sedikit kemungkinannya untuk
meninggal selama persalinan. Apalagi dengan memastikan bahwa ibu mampu
menyusui bayinya secara eksklusif selama enam bulan pertama kehidupannya, peran
keluarga dapat membantu menyelamatkan nyawa hampir 1 juta anak di dunia (Richter
et al., 2016).
Para peneliti, ekonom, dan ahli kesehatan setuju bahwa meningkatkan nutrisi selama
periode 1000 HPK yang penting tersebut merupakan investasi terbaik yang dapat
dilakukan oleh keluarga dan masyarakat secara luas. Bahkan, setiap sepuluh ribu
rupiah yang diinvestasikan untuk meningkatkan nutrisi pada periode 1000 HPK
tersebut dapat menghasilkan timbal balik 50 kali lipat, yaitu melalui kesehatan yang
lebih baik dan peningkatan produktivitas secara ekonomis. Sampai saat ini belum ada
investasi yang lebih baik untuk melindungi masa depan anak-anak, keluarga, dan
negara selain memprioritaskan pada 1000 HPK (Britto et al., 2016).

Box 1. Pentingnya 1000 HPK


Membentuk otak anak yang berisi dan menjadi “bahan bakar” pertumbuhan jiwa
dan raga mereka.
Meningkatkan kesiagaan untuk masuk sekolah dan mencapai prestasi
akademis anak di kemudian hari.
Mengurangi kesenjangan pada aspek kesehatan, pendidikan dan
produktivitas generasi yang akan datang. Menurunkan risiko seseorang
terjangkit penyakit kronis seperti diabetes dan penyakit jantung di kemudian
hari.
Menyelamatkan lebih dari satu juta nyawa per tahun secara global.
19

Masa Hamil
Fondasi kesehatan anak dimulai dari nutrisi ibu. Selama kehamilan, bayi sepenuhnya
tergantung pada ibu untuk suplai nutrisi yang mereka butuhkan untuk membantu
tubuh tumbuh dan berkembangnya organ secara baik. Sebagai contoh, selama
kehamilan nutrisi ibu menjadi bahan bakar perkembangan otak bayi yang pesat
sehingga pada saat bayi lahir otak mereka akan mengandung 100 milyar neuron!
Beberapa bukti ilmiah menemukan bagaimana kualitas diet ibu selama kehamilan
mempengaruhi metabolisme anak di masa depan dan risiko terkena kondisi tertentu
seperti obesitas, diabetes, dan penyakit jantung di kemudian hari. Diet yang sehat
selama kehamilan juga memastikan bahwa bayi lahir dengan berat yang sehat-tidak
terlalu besar maupun terlalu kecil-yang akan menurunkan risiko komplikasi selama
persalinan dan timbulnya masalah kesehatan di masa depan bayi. Diet ibu selama
kehamilan bahkan akan membentuk preferensi makan anak selama hidupnya. Hal
yang luar biasa adalah indra pembau dan perasa bayi mulai terbentuk selama trimester
pertama, yang berarti semua kegiatan ―mencicipi‖ yang dilakukan bayi pada awal
kehamilan dapat mempengaruhi jenis makanan yang akan disukai di kemudian hari.
Jadi kehamilan adalah saat terbaik untuk mulai melatih indra perasa tersebut.
Box 2. Masa Hamil
Selama kehamilan, bayi “memakan” apa yang dimakan ibunya. Semua
nutrisi yang didapatkan oleh bayi berasal dari ibu.
Ibu membutuhkan diet sehat dari makanan yang kaya akan asam folat, zat
besi, dan nutrisi lain untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan
bayi.
Kesehatan seumur hidup seorang anak – termasuk predisposisi terhadap
penyakit tertentu – dapat ditentukan oleh kualitas nutrisi ibu.
Diet prenatal ibu dapat mempengaruhi preferensi rasa bagi bayi.

Bayi berat lahir rendah (BBLR)


Masalah BBLR
Diperkirakan 15% sampai 20% dari semua bayi yang dilahirkan di dunia termasuk
pada kategori low birth weight, merepresentasikan lebih dari 20 juta kelahiran per
tahun. Didefinisikan oleh World Health Organization (WHO) sebagai berat lahir
kurang dari 2500 gram atau 5.5 pounds, berat lahir rendah adalah salah satu prediktor
utama kematian dan penyakit pada bayi. Setiap tahun, 1,1 juta bayi meninggal karena
komplikasi dari kelahiran prematur, termasuk berat lahir rendah. Berat lahir rendah
juga meningkatkan risiko penyakit tidak menular di kemudian hari, seperti diabetes
dan penyakit kardiovaskular. Mayoritas dari kelahiran dengan berat lahir rendah
terjadi pada negara dengan low income dan middle income, terutama di antara populasi
yang paling rentan. Namun, berat lahir rendah menjadi kekhawatiran global, dengan
negara seperti Spanyol, Inggris, dan Amerika Serikat menghadapi tingkat berat lahir
20

rendah yang tinggi. Di Indonesia, angka BBLR adalah 10,2% (Kementerian Kesehatan
RI, 2013). Pada tahun 2012, World Health Assembly mendukung target global berat
lahir rendah untuk menurunkan jumlah bayi yang lahir dengan berat lahir rendah ke
angka 30% pada tahun 2025.
Box 3. Bayi berat lahir rendah (BBLR)
Berat lahir rendah adalah suatu prediktor utama pada penyakit dan kematian bayi.
Berat lahir rendah meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti
diabetes dan penyakit jantung di kemudian hari.
Mayoritas kelahiran dengan berat lahir rendah terjadi di negara dengan
low income dan middle income.
Berat lahir rendah adalah suatu kekhawatiran global, beberapa negara
dengan high income juga menghadapi tingkat berat lahir rendah yang
cukup tinggi.

Anemia
Anemia masalah kronis untuk wanita
Anemia mempengaruhi setengah milyar wanita usia reproduktif di seluruh dunia,
mempengaruhi kesehatan, dan kesejahteraan wanita dan meningkatkan risiko
outcomes kesehatan maternal dan bayi yang buruk. Sebagai indikator nutrisi yang
buruk, anemia adalah sebuah kondisi di mana jumlah dan ukuran sel darah merah
sangat rendah, hal ini mengganggu kemampuan darah untuk menyuplai oksigen ke
seluruh tubuh. Hasilnya terjadi penurunan kesehatan secara menyeluruh, termasuk
kehabisan energi dan penurunan kapasitas fisik. Khususnya, anemia maternal yang
berhubungan dengan penyakit dan kematian ibu dan anak, termasuk peningkatan
risiko keguguran, kelahiran mati, kelahiran prematur dan berat lahir rendah.
Kegagalan menurunkan anemia di seluruh dunia menyebabkan wanita rentan terhadap
penurunan kesehatan, generasi anak-anak rentan terhadap gangguan perkembangan
dan belajar, serta komunitas dan negara rentan terhadap penurunan produktivitas
ekonomi dan perkembangan.
Walaupun prevalensi anemia telah menurun, namun kemajuan yang terjadi terkesan
lambat dan tidak rata. Sebagai contoh, pada tahun 2012, World Health Assembly
mendukung target global untuk menurunkan tingkat anemia pada wanita usia
produktif menuju tingkat 50% pada tahun 2025. Di Indonesia presentasi wanita hamil
dengan anemia ialah 37,1%, sedangkan balita 12-59 bulan 28,1% dan usia 1 lebih
tahun 21,7%.
21

Box 4. Anemia
Anemia meningkatkan risiko outcomes kesehatan ibu dan anak yang buruk.
Anemia menyebabkan kelesuan dan kelelahan, serta mengganggu kapasitas fisik dan
performa kerja.
Anemia menurunkan kesehatan dan kualitas hidup jutaan wanita, sekaligus
perkembangan dan potensi belajar anak mereka.
Penurunan anemia dapat membantu mendorong usaha mencapai target global
nutrisi yang lain.

Kebiasaan menyusui bayi

Pentingnya bayi untuk diberikan air susu ibu (ASI) di negara-negara berpenghasilan
rendah dan menegah tidak diragukan lagi, meskipun di negara maju masih belum ada
kesepakatan. Di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah angka menyusui
secara eksklusif hanya sekitar 37 persen. Dengan beberapa pengecualian bahwa lama
menyusui di negara maju lebih pendek dibanding negara-negara lain. Victora et al.
(2016) melakukan meta-analisis manfaat menyusui eksklusif bahwa ASI dapat
melindungi anak dari penyakit infeksi dan maloklusi, meningkatkan intelegensia,
kemungkinan menurunkan obesitas dan penyakit diabetes. Tidak ditemukan pengaruh
ASI pada kelainan alergi, seperti asma dan kelainan tekanan darah dan peningkatan
kadar kolesterol.

Menyusu yang terlalu lama berhubungan dengan karies gigi. Bagi ibu yang merawat
anaknya dengan memberikan ASI akan mendapatkan proteksi dari kanker payudara,
peningkatan jarak kelahiran, dan kemungkinan dapat mencegah kanker ovarium dan
diabetes tipe 2. Peningkatan pemberian ASI pada semua bayi akan dapat mencegah
kematian anak-anak balita di dunia sebanyak 823.000 per tahun dan 20.000 kanker
payu-dara per tahun. Penemuan secara epidemiologi dan biologi selama satu dekade
terakhir ini telah memperluas pengetahuan kita tentang manfaat pemberian ASI, baik
untuk mereka yang kaya atau miskin. (Victora et al., 2016).
ASI eksklusif
Menyusui secara eksklusif adalah landasan untuk menciptakan kelangsungan hidup
dan kesehatan anak selama usia di bawah lima tahun (balita). Menyusui secara
eksklusif dapat memberikan nutrisi yang penting dan tidak dapat tergantikan oleh
makanan atau minuman lainnya untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan
seorang anak. Meskipun demikian, di Indonesia hanya 30,2% bayi yang mendapatkan
ASI eksklusif pada enam bulan pertama kehidupannya sedangkan ibu inisiasi
menyusui dini 34,5% (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
22

Menyusui secara eksklusif ialah memberikan bayi air susu ibu (ASI) selama 6 bulan
pertama kehidupan tanpa memberikan makanan atau cairan lain sebagai tambahan.
Praktik ini memiliki peran paling besar untuk menjamin kelangsungan hidup anak
dibandingkan tindakan upaya-upaya pencegahan (preventif) lainnya. ASI eksklusif
dapat berperan sebagai imunisasi pertama anak, memberikan perlindungan dari infeksi
saluran pernafasan, mencegah penyakit diare, dan penyakit berbahaya lainnya.
Menyusui secara eksklusif juga dapat mempunyai efek protektif melawan obesitas dan
penyakit tidak menular lainya di kemudian hari. Namun demikian, masih banyak yang
harus dilakukan untuk menjadikan menyusui secara eksklusif selama 6 bulan pertama
kehidupan sebagai norma dalam memberi makan bayi.
Pada tahun 2012, World Health Assembly mendukung target menyusui global yaitu
untuk meningkatkan tingkat menyusui secara eksklusif pada 6 bulan pertama
kehidupan agar mencapai 50% pada tahun 2025. Menyusui secara tidak optimal,
termasuk menyusui yang tidak eksklusif, berkontribusi pada 11,6% kematian pada
anak-anak, setara dengan 800.000 kematian anak setiap tahun.

Box 5. Kebiasaan menyusui bayi


Bayi yang hanya diberikan ASI eksklusif dari lahir hingga enam bulan menjadi
awal jaminan terwujudnya derajat kesehatan terbaik pada kehidupannya
sampai usia dewasa dan orang tua.
Menyusui secara eksklusif memberikan bayi nutrisi yang sempurna dan
memenuhi semua kebutuhan untuk pertumbuhan yang sehat dan
perkembangan otak yang optimal.
Menyusui secara eksklusif melindungi bayi dari infeksi saluran pernafasan,
penyakit diare, dan penyakit berbahaya lain.
Menyusui secara eksklusif terbukti melindungi dari obesitas dan penyakit tidak
menular seperti diabetes.

Pendek atau “Stunting”


Pertumbuhan bayi yang pendek
Secara global, satu dari empat anak di bawah umur lima tahun menderita stunting.
Demikian juga di Indonesia. Nutrisi yang baik penting untuk mendukung
pertumbuhan yang pesat dan perkembangan bayi dan anak kecil selama 1000 hari
pertama kehidupannya. Tanpa nutrisi yang baik, seorang anak dapat mengalami
kerusakan yang serius dan sering terjadi gangguan permanen pada perkembangan otak
dan tubuh. Kita tidak dapat melihat secara langsung kerusakan ini namun kita dapat
menilainya dengan melihat sebaik apa pertumbuhan anak tersebut. Seorang anak yang
tidak tumbuh dengan baik dan terlalu pendek dibandingkan umurnya menderita suatu
kondisi yang disebut stunting.
23

Stunting mengindikasikan bahwa seorang anak gagal untuk berkembang. Hal ini tidak
dapat diperbaiki dan biasanya terjadi ketika pada anak terjadi malnutrisi kronis pada
awal kehidupan mereka. Malnutrisi jenis ini sering dimulai dalam kandungan, yaitu
pada ibu yang nutrisinya buruk pada waktu hamil. Akibatnya janin tidak mendapatkan
makanan bernutrisi yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan dan
perkembangan sejak dalam kandungan. Hal ini dapat berlanjut setelah persalinan,
sebagai akibat pola pemberian makan yang buruk dan sering kali karena terjadinya
infeksi dan diet yang buruk. Diet buruk tidak memberikan nutrisi yang dibutuhkan
oleh bayi dan anak untuk tumbuh dan berkembang secara normal.
Malnutrisi kronis sangat merusak bagi anak-anak karena perkembangan otak yang
terganggu, IQ lebih rendah, sistem imun yang menurun, dan risiko yang lebih besar
untuk menderita penyakit serius seperti diabetes dan kanker pada kehidupan
kemudian. Efek stunting akan berdampak seumur hidup dan dapat berlanjut dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Anak perempuan yang terlahir dengan nutrisi yang
buruk dan menjadi stunted saat anak-anak sering kali akan tumbuh menjadi ibu
dengan nutrisi yang buruk. Ibu ini kemudian akan melahirkan bayi dengan gizi buruk.
Peristiwa ini akan berulang dengan sendirinya sehingga menjadi lingkaran setan
pertumbuhan anak perempuan yang buruk. Selain berpengaruh pada individu, stunting
menjadi beban yang sangat besar terhadap produktivitas dan pertumbuhan ekonomi
suatu bangsa. Ahli ekonomi memperkirakan bahwa stunting dapat menurunkan
produk bruto suatu negara sebanyak 12% (Richter et al., 2016).
Walaupun stunting tidak dapat disembuhkan, tetapi stunting dapat dicegah. Pada
tahun 2012, World Health Assembly mendukung target global stunting untuk
menurunkan jumlah anak di bawah lima tahun yang dikategorikan stunted menuju
40% pada tahun 2025. Walaupun prevalensi stunting sudah menurun dari 255 juta ke
159 juta sejak tahun 1990, penurunan tersebut tidak cukup cepat. Masih jauh dari
target untuk memenuhi target stunting global.

Box 6. Pendek atau Stunting


Anak-anak yang masuk kategori stunted telah mengalami malnutrisi kronis
pada awal kehidupan mereka. Hal ini sebagai akibat dari infeksi berulang,
pemberian makan yang buruk, dan nutrisi yang tidak mencukupi. Sebagai
akibatnya akan menghambat bayi dan anak kecil untuk mendapatkan nutrisi
yang diperlukan untuk berkembang.
Diperkirakan 20% dari stunting dimulai sejak dalam kandungan. Hal ini terjadi
pada seorang ibu yang mempunyai nutrisi buruk. Akibatnya janin tidak
mendapatkan makanan bernutrisi yang dibutuhkan untuk mendukung
pertumbuhan dan perkembangan selama dalam kandungan.
Efek dari stunting akan bertahan seumur hidup: perkembangan otak yang
terganggu, IQ yang lebih rendah, sistem imun yang lemah, dan risiko yang
lebih tinggi untuk mengalami penyakit serius seperti diabetes dan kanker di
kemudian hari.
24

Stunting hampir selalu tidak dapat disembuhkan, namun stunting dapat dicegah
dengan meningkatkan nutrisi untuk wanita dan anak-anak pada 1000 HPK.

Obesitas
Obesitas meningkat di seluruh dunia
Jumlah anak dengan berat badan berlebih di seluruh dunia telah meningkat secara
drastis pada beberapa tahun terakhir. Hari ini diperkirakan 41 juta anak di bawah umur
lima tahun masuk dalam kategori berat badan berlebih, dan angka ini diperkirakan
akan meningkat dua kali lipat dalam satu dekade ke depan. Angka di Indonesia untuk
anak-anak obesitas diperkirakan 18,8 persen (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Anak-anak dengan berat badan berlebih atau obesitas mempunyai risiko lebih tinggi
untuk mengalami masalah kesehatan yang serius, antara lain: diabetes tipe 2, tekanan
darah tinggi, asma dan masalah pernafasan lain, gangguan tidur, dan penyakit hati.
Mereka kemungkinan juga akan mengalami efek psikologis, seperti kepercayaan diri
yang rendah, depresi, dan isolasi sosial. Berat badan berlebih pada anak juga
meningkatkan risiko obesitas, penyakit tidak menular, kematian prematur, dan
disabilitas pada saat mereka dewasa.
Beban ekonomi dari berat badan berlebih dan obesitas pada anak cukup besar, yaitu
dalam hal beban yang harus ditanggung oleh sistem kesehatan dan hilangnya
produktivitas ekonomi. Pada banyak negara, berat badan berlebih dan obesitas yang
menjadi epidemi muncul bersamaan dengan permasalahan kurang nutrisi dan
defisiensi mikronutrien, yang menimbulkan adanya beban ganda malnutrisi (double
burden). Seiring naiknya jumlah anak dengan berat badan berlebih di berbagai sisi
dunia, pada tahun 2012, World Health Assembly mendukung target global berat badan
berlebih pada anak-anak untuk menghambat peningkatan berat badan berlebih pada
anak di tahun 2025.
Box 7. Obesitas
Obesitas pada anak meningkat di seluruh bagian dunia, termasuk di Indonesia.
Anak-anak dengan berat badan berlebih atau obesitas mempunyai risiko yang
lebih tinggi untuk mengalami masalah kesehatan yang serius seperti diabetes
tipe 2 dan tekanan darah tinggi.
Anak-anak yang mengalami kelebihan berat badan atau obesitas mempunyai
risiko yang lebih tinggi mengalami obesitas, penyakit tidak menular, kematian
prematur, dan disabilitas di kemudian hari.
Pada banyak negara, termasuk Indonesia, obesitas pada anak muncul
bersamaan dengan kekurangan nutrisi sehingga menciptakan malnutrisi beban
ganda (double burden).
25

Bayi
Kehidupan tahun pertama
Dari hari kelahiran sampai ulang tahun pertama, menyusui memberikan awal terbaik
bagi kehidupan bayi. Dan manfaatnya akan terasa hingga jauh di masa depannya.
Air susu ibu (ASI) adalah nutrisi alami yang sempurna. Air susu ibu menyesuaikan
kebutuhan bayi dengan memenuhi semua vitamin, protein dan lemak yang dibutuhkan
hingga enam bulan awal kehidupan – tanpa perlu cairan atau makanan lain. ASI
bahkan memberikan antibodi kuat yang dapat melawan penyakit dan membangun
imunitas bayi selain itu juga probiotik yang membantu pencernaan bayi dan
membantu membangun saluran pencernaan yang sehat. Dan hebatnya, komposisi dari
ASI berubah dan beradaptasi seiring dengan pertumbuhan bayi (Victora et al., 2016).

Terdapat manfaat kesehatan yang besar dari menyusui bagi ibu maupun bayi. Studi
menunjukkan bahwa bayi yang disusui mengalami frekuensi diare, infeksi telinga, dan
eksim yang lebih rendah. Menyusui memberikan perlindungan melawan sudden infant
death syndrome (SIDS) dan dapat menurunkan risiko obesitas, diabetes, dan bahkan
leukimia pada anak. Ibu yang menyusui lebih jarang menderita diabetes tipe 2, kanker
payudara, dan kanker ovarium. Hampir semua ibu dapat menyusui, jika diberikan
dukungan, saran, dan pemberi semangat, selain itu juga bantuan yang terampil untuk
mengatasi masalah apapun.
Menyusui juga memberikan manfaat bagi perkembangan yang luar biasa untuk bayi.
Menyusui menciptakan hubungan khusus antara ibu dan anak yang membantu
membentuk perkembangan emosi bayi. Dan hebatnya, beberapa studi
menghubungkan menyusui dengan IQ yang lebih tinggi pada kehidupan anak
nantinya.
Untuk alasan berikut, baik American Academy of Pediatrics dan World Health
Organization menyarankan untuk menyusui bayi secara eksklusif (tanpa makanan,
formula, atau air lain) selama 6 bulan pertama dan kemudian memperkenalkan
makanan solid pada bulan keenam sambil meneruskan menyusui selama 1 tahun. Pada
umur 6 bulan, kebutuhan nutrisi seorang bayi meningkat untuk menunjang
pertumbuhan dan perkembangan pesat mereka. Untuk alasan ini, penting untuk
memastikan bayi mendapatkan makanan utuh yang kaya nutrisi sebagai pelengkap
ASI. Dari 6 bulan sampai 1 tahun, bayi seharusnya merasakan berbagai variasi rasa
dan makanan, terutama buah, sayur dan makanan hewani seperti daging sapi dan
daging ayam (WHO, 2009).

Box 9. Bayi
ASI mempunyai semua nutrisi yang dibutuhkan seorang bayi pada 6 bulan
pertama kehidupannya – tanpa perlu makanan atau cairan lainnya.
26

ASI mempunyai manfaat kesehatan jangka pendek dan jangka panjang yang
besar baik untuk ibu maupun bayi.
Muncul bukti baru yang menunjukkan bahwa menyusui – terutama dalam
durasi yang lama – dihubungkan dengan IQ yang lebih tinggi.
Bayi seharusnya memulai makanan solid pada saat 6 bulan. Sebaiknya mulai
memperkenalkan makanan satu persatu tetapi menyediakan berbagai variasi
terutama buah dan sayur.

Anak usia balita


Mengembangkan potensi anak Balita
Pada umur 2 tahun, anak-anak telah mencapai setengah dari tinggi mereka pada saat
dewasa dan otak mereka telah mencapai 80% otak dewasa. Selama transisi dari bayi
sampai balita, anak-anak mengalami perkembangan kognitif dan sosial yang sangat
hebat, selain itu juga lompatan besar dalam kemampuan bahasa dan motorik. Hal ini
menjelaskan mengapa anak kecil membutuhkan nutrisi yang besar untuk mendukung
pertumbuhan dan perkembangan yang luar biasa (WHO, 2009).
Kebiasaan makan dan preferensi rasa yang dimulai dari bagian awal perjalanan 1000
HPK akan terus terbentuk dari apa dan bagaimana anak kecil makan. Balita bangga
pada diri mereka yang dapat makan sendiri sehingga orang tua mempunyai peran
penting untuk mengajari kebiasaan dan perilaku makan yang sehat. Menggunakan
waktu makan yang rutin dan mempunyai waktu makan bersama dapat memberi
kesempatan untuk memperkenalkan dan mendorong konsumsi makanan bernutrisi.
Seharusnya balita makan tiga porsi per hari dengan satu atau dua kudapan sehat di
antaranya. Hal penting yang perlu diperhatikan bahwa diet balita seharusnya
mencakup berbagai variasi buah, biji-bijian, kacang-kacangan, dan protein. Selain itu
perlu diperhatikan apa yang tidak seharusnya ada pada diet balita: minuman dengan
pemanis buatan seperti soda dan minuman rasa buah, makanan bernutrisi buruk dan
kudapan yang mengandung gula, lemak, dan garam berlebih (Victora et al., 2016).
Kebiasaan makan yang tidak sehat berkontribusi pada kenaikan dramatis tingkat
obesitas pada balita dan anak kecil. Hal ini mengkhawatirkan. Anak kecil yang
mengalami berat badan berlebih atau obesitas akan memiliki kemungkinan lebih besar
untuk menjadi obesitas saat dewasa dan meningkatkan risiko permasalahan kesehatan
yang serius, seperti penyakit jantung, diabetes tipe 2, dan kanker.
Box 10. Anak usia balita
Diet bernutrisi penting untuk pertumbuhan dan perkembangan
yang sehat pada balita. Balita belajar dari kebiasaan dan
perilaku makan orang tua dan teman mereka.
Mengajarkan kebiasaan makan yang sehat akan memberikan manfaat yang besar
di masa depan.
27

Intervensi Spesifik Selama Kehamilan

WHO baru-baru ini menerbitkan pedoman perawatan antenatal (antenatal care atau
disingkat dengan ANC) untuk ―pengalaman kehamilan yang positif‖ untuk menjawab
permasalahan kesehatan maternal yang tidak kurun membaik di beberapa negara
sedang berkembang (WHO, 2016). "Sebuah pengalaman kehamilan yang positif‖
didefinisikan sebagai upaya mempertahankan normalitas fisik dan sosiokultural,
mempertahankan kehamilan yang sehat untuk ibu dan bayi (termasuk mencegah atau
menangani resiko, penyakit dan kematian), terjadi transisi yang efektif menuju
persalinan dan kelahiran yang positif, dan mencapai keibuan yang positif (termasuk
kepercayaan diri, kompeten dan otonomi maternal) (WHO, 2016). Rekomendasi ini
akan berimplikasi serius pada pelayanan ANC yang selama ini diragukan dampaknya
pada kelangsungan hidup ibu dan bayinya (Weeks & Temmerman, 2016).

Secara garis besar rekomendasi baru tentang ANC meliputi: a) intervensi gizi, b)
penilaian ibu dan bayi, c) tindakan pencegahan, d) intervensi gejala psikologis, dan e)
ntervensi sistem kesehatan untuk meningkatkan penggunaan dan kualitas pelayanan
antenatal. Intervensi diet mencakup beberapa rekomendasi tentang: --suplemen besi
dan asam folat, --suplemen kalsium, --suplemen vitamin A, --suplemen zink, --
suplemen mikronutrien multipel, -- suplemen piridoksin (vitamin B6), --suplemen
vitamin E dan C, --suplemen vitamin D, dan membatasi asupan kafein.

Penilaian ibu meliputi terjadinya anemia, bakteriuria asimtomatik, dan kekerasan oleh
pasangan intim. Rekomendasi-rekomendasi yang diintegrasikan dari panduan-panduan
WHO lain yang terkait dengan penilaian ibu ANC, misalnya diabetes melitus
gestasional, penggunaan tembakau, penggunaan zat-zat adiktif, terinfeksi dengan
human immunodeficiency virus (HIV) dan sipilis, dan menderita tuberkulosis (TB).
Penilaian bayi meliputi oenghitungan gerakan bayi harian, pengukuran tinggi fundus,
kardiotokografi antenatal, Scan Ultrasound dan ultrasound doppler untuk mengamati
pembuluh darah fetus.

Tindakan pencegahan meliputi antibiotik untuk bakteriuria asimptomatik, antibiotik


profilaksis untuk mencegah infeksi saluran kencing berulang, pemberian antenatal
anti-D immunoglobulin, pencegahan dengan memberikan obat cacing, dan vaksinasi
tetanus toxoid. Rekomendasi yang berasal dari guidelines WHO lain yang relevan
dengan pemeriksaan antenatal, misalnya pencegahan malaria dengan metode
intermittent preventive treatment in pregnancy (IPTp) dan pre-eksposur profilaksis
(PrEP) untuk pencegahan HIV.
Intervensi untuk gejala psikologis yang sering muncul dilakukan dengan untuk mual
dan muntah, nyeri ulu hati, kram di kaki, nyeri punggung bawah dan nyeri pelvis,
konstipasi, varicose vena dan edema.
28

Intervensi sistem kesehatan untuk meningkatkan penggunaan dan kualitas pelayanan


antenatal, meliputi: pemberian catatan kasus yang dibawa oleh wanita hamil,
keberlanjutan pelayanan yang dipimpin oleh bidan, pelayanan antenatal berkelompok,
intervensi berbasis komunitas untuk meningkatkan komunikasi dan dukungan kepada
ibu hamil, perubahan komponen penugasan dalam pemberian pelayanan antenatal.

Lampiran pada artikel beriku menjelaskan secara rinci berbagai rekomendasi tersebut
yang banyak berbeda dengan pedoman ANC sebelumnya.

Monitoring dan Evaluasi Gerakan 1000 HPK


Monitoring dan evaluasi secara berkala digunakan untuk melihat perkembangan
kemajuan Gerakan 1000 HPK dan masalah-masalah yang mungkin timbul dalam
pelaksanaannya. Dengan memahamis masalah yang timbul dapat dicarikan jalan
keluar untuk dipecahkan dengan cara saksama. Monitoring dan evaluasi terdiri dari
monitoring proses kegiatan, monitoring intervensi, dan monitoring hasil program 1000
HPK.
Berikut adalah penjelasan program 1000 HPK tersebut yang diambil dari buku
panduan 1000 HPK (Republik Indonesia, 2012).

Indikator Monitoring dan Evaluasi

Monitoring Kegiatan Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif


Indikator Spesifik Indikator spesifik untuk menilai pencapaian intervensi gizi
spesifik, diuraikan pada tabel berikut.

Tabel 1. Tabel Indikator Spesifik


Kegiatan Indikator
Ibu Hamil
Perlindungan terhadap
a. kekurangan zat % cakupan Suplementasi besi-folat
besi, asam folat dan kekurangan
energi dan % cakupan Supplemen ibu dengan zat gizi mikro
protein kronis % ibu hamil mengkonsumsi energi < 70% AKG)
% Ibu hamil terkespose asap rokok (perokok
pasif)
Jumlah inisiasi Menyusui Dini dan ASI
Ekslusif
termasuk konseling KB
b. Perlindungan terhadap
kekurangan Iodium % ibu mengkonsumsi garam beriodium
Perlindungan ibu hamil terhadap % cakupan ibu hamil mendapat pengobatan
c. malaria malaria
% Kelambu berinsektisida
Ibu Menyusui
% cakupan Promosi ASI perorangan dan
ASI Eksklusif kelompok
% cakupan sasaran ter-ekspos KIE Gizi
29

Anak Umur 0 23 bulan


Makanan Pendamping ASI
(MP-ASI), % Cakupan KIE Pemberian MP-ASI
% cakupan Pemberian MP-ASI anak usia > 6
imunisasi, zat gizi mikro bulan;
% anak memperoleh akses garam beriodium
% cakupan Management Zinc pada diare
% cakupan Penanganan gizi buruk akut pada
anak baduta
% cakupan Suplementasi Vitamin A
% cakupan baduta yang mengkonsumsi sprinkle;
% cakupan Pengobatan kecacingan;
% penurunan prevalensi kecacingan
% cakupan program PKH
% cakupan Pemberian kelambu berinsektisida
% Cakupan imunisasi dasar

Monitoring Hasil
Indikator hasil merupakan indikator yang digunakan untuk menilai dampak
pelaksanaan Gerakan 1000 HPK pada akhir tahun 2025. Indikator hasil tersebut
meliputi hal-hal sebagai berikut:
Tabel 3. Tabel Indikator Hasil

No Indikator
1 Menurunkan proporsi anak balita yang stunting sebesar 40%

2 Menurunkan proporsi anak balilta yang menderita kurus (wasting) kurang dari 5%.

3 Menurunkan anak yang lahir berat badan rendah sebesar 30%

4 Tidak ada kenaikan proporsi anak yang mengalami gizi lebih

5 Menurunkan proporsi ibu usia subur yang menderita anemia sebanyak 50%

Meningkatkan prosentase ibu yang memberikan ASI ekslusif selama 6 bulan


6 paling kurang 50%
30

Mekanisme Monitoring dan Evaluasi (Monev)

Cara Melaksanakan Monev


1. Monitoring dan Evaluasi Indikator Proses: Identifikasi hasil dari setiap
kegiatan yang dikumpulkan berdasarkan indikator proses yang ditetapkan.
2. Monitoring Indikator Intervensi: Dilakukan sesuai dengan mekanisme yang
ada dengan mengacu pada indikator kinerja kunci program Gerakan 1000 HPK
yang telah ditetapkan.
3. Monitoring Indikator Hasil: Dikumpulkan pengumpulan data melalui
supervisi, survey atau studi yang sudah ada atau dirancang khusus untuk
monitoring dan evaluasi pencapaian Gerakan 1000 HPK.

Pelaksana Monev
1. Tingkat Pusat: gugus tugas membentuk tim monev yang dikoordinasikan oleh
tim teknis yang diketuai oleh Bappenas.
2. Tingkat Daerah: Pelaksanaan monitoring dan evaluasi dikoordinasikan oleh
Bappeda

Kesimpulan

Keberhasilan program 1000 HPK sulit diukur secara langsung karena sebagian besar
dampak perbaikan 1000 HPK baru akan dirasakan pada beberapa tahun kemudian
(Daelmans et al., 2016). Namun demikian, berbagai hasil penelitian menunjukkan
bahwa program peningkatan gizi pada awal kehidupan akan berkontribusi pada
keberhasilan pembangunan berkelanjutan (Black et al., 2016). Secara garis besar
program-program untuk 1000 HPK dapat dikelompokkan sebagai program intervensi
gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Sasaran intervensi tersebut secara spesifik
ditujukan untuk: a) menurunkan proporsi anak balita yang stunting; b)menurunkan
proporsi anak balita yang menderita kurus (wasting); c) menurunkan anak yang lahir
berat badan rendah; d) mencegah kenaikan proporsi anak yang mengalami gizi lebih;
e) menurunkan proporsi ibu usia subur yang menderita anemia; dan
f) meningkatkan persentase ibu yang memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan.
Dengan sasaran tersebut, program-program 1000 HPK dapat difokuskan pada 3
periode kritis: 1) waktu hamil, 2) proses melahirkan, dan 3) anak setelah lahir sampai
dengan usia kurang dari 24 bulan. Fokus ini tidak berarti bahwa anak usia 2-5 tahun
tidak perlu memperoleh perhatian khusus, tetapi program-program yang tergolong
sensitif untuk 1000 HPK akan dapat melindungi anak pada usia tersebut.
31

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Program 1000 HPK memiliki dampak
jangka panjang yang dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing sumber daya
manusia ke depan. Dampak positif tersebut antara lain dengan mencegah timbulnya
penyakit-penyakit tidak menular di usia lanjut yang tidak mungkin dilakukan pada
saat seseorang sudah terlanjur dewasa. Penyakit tidak menular pada usia dewasa akan
membebani ekonomi secara nyata karena biaya perawatan yang relatif mahal
dibanding dengan penyakit-penyakit non-infeksi. Oleh karena itu, Program 1000 HPK
dapat mencegah uang yang hilang yang tidak diperlukan dengan mencegah seseorang
menderita penyakit-penyakit kronis tidak menular di usia dewasa.

Daftar Pustaka

1. Black, M. M., Walker, S. P., Fernald, L. C. H., Andersen, C. T., DiGirolamo,


A. M., Lu, C., .
a. . . Grantham-McGregor, S. (2016). Early childhood development coming of
age: science through the life course. The Lancet.
doi:http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(16)31389-7

2. Britto, P. R., Lye, S. J., Proulx, K., Yousafzai, A. K., Matthews, S. G.,
Vaivada, T., . . .
a. Bhutta, Z. A. (2016). Nurturing care: promoting early childhood development.
The Lancet. doi:http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(16)31390-3

3. Daelmans, B., Darmstadt, G. L., Lombardi, J., Black, M. M., Britto, P. R., Lye,
S., . . .
a. Richter, L. M. (2016). Early childhood development: the foundation of
sustainable development. The Lancet. doi:http://dx.doi.org/10.1016/S0140-
6736(16)31659-2

4. Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar: Riskesdas 2013.


Jakarta: Badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementerian
kesehatan.

5. Langer, A., Meleis, A., Knaul, F. M., Atun, R., Aran, M., Arreola-Ornelas, H.,
. . . Frenk, J. (2015). Women and Health: the key for sustainable development.
The Lancet, 386(9999), 1165-1210. doi:http://dx.doi.org/10.1016/S0140-
6736(15)60497-4

6. Republik Indonesia. (2012). Pedoman Perencanaan Program Gerakan


Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam rangka 1000 Hari Pertama
Kehidupan (Gerkan 1000 HPK). Jakarta: Kenterian Koordinator bidang
Kesejahteraan Rakyat.

7. Republik Indonesia. (2015). Rencana Pembangunan Jangka Menengah


Nasional 2015-2019. Jakarta: Bappenas.
32

8. Richter, L. M., Daelmans, B., Lombardi, J., Heymann, J., Boo, F. L., Behrman,
J. R., . . .

9. Darmstadt, G. L. (2016). Investing in the foundation of sustainable


development: pathways to scale up for early childhood development. The
Lancet. doi:http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(16)31698-1

10. Rollins, N. C., Bhandari, N., Hajeebhoy, N., Horton, S., Lutter, C. K.,
Martines, J. C., . . .

11. Victora, C. G. (2016). Why invest, and what it will take to improve
breastfeeding practices? The Lancet, 387(10017), 491-504.
doi:http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(15)01044-2

12. Victora, C. G., Bahl, R., Barros, A. J. D., França, G. V. A., Horton, S.,
Krasevec, J., . . .

13. Rollins, N. C. (2016). Breastfeeding in the 21st century: epidemiology,


mechanisms, and lifelong effect. The Lancet, 387(10017), 475-490.
doi:http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(15)01024-7

14. Weeks, A., & Temmerman, M. (2016). New WHO antenatal care model—
quality worth paying for? The Lancet, 388(10060), 2574-2575.
doi:http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(16)32233-4

15. WHO. (2009). Infant and young child feeding: Model Chapter for textbooks
for medical students and allied health professionals. Geneva: WHO.

16. WHO. (2010). Indicators for assessing infant and young child feeding
practices part 1: definition. Geneva: WHO: Dept. of Child and Adolescent
Health and Development.

17. WHO. (2016). WHO recommendations on antenatal care for a positive


pregnancy experience. Geneva: WHO.
33
SELAMAT JUMPA
Hardinsyah

08129192259

@Hardin_IPB

Hardin dan Hardin Ipb

Hardinsyah2010@gmail.com

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 1


Prof. Dr. Hardinsyah, MS
• Lahir di Pekanbaru Riau 7 Agustus, gelar S1 &S2 di IPB, Gelar PhD in
Nutrition & Food di University of Queensland – Brisbane Australia, visiting
scholar at Cornell University, USA
• Penghargaan: Peserta terbaik Pelatihan Kepemimpinan NasioanlPemuda, 1990.
Dosen Teladan Faperta dan Dosen Teladan IPB 1997.The Best participant on
International Training on Community Development 2005.
• Sebelumnya: Ketua Dep GMSK Faperta IPB, Direktur Pusat Studi Kebijakan
Pangan dan Gizi IPB, Direktur Kerjasama IPB, Dekan Fakultas Ekologi Manusia
(FEMA) IPB, Ketua Komisi Penghargaan & Tanda Kehormatan - Dewan Guru
Besar IPB, Wkl Ketua PERSAGI, Sekjen PERGIZI PANGAN Indonesia
• Saat ini: Guru Besar Dep Gizi Masyarakat FEMA IPB;. Ketua Umum PERGIZI
PANGAN Indonesia. Ketua Umum AIPGI (Assosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Gizi
Indonesia). Nara sumber, tenaga ahli paruh waktu & penulis.
• Email: hardinsyah2010@gmail.com HP 08129192259 @Hardin_IPB Hardin Ipb

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 2


KEARIFAN LOKAL MENDUKUNG
1000 HPK DAN PENCEGAHAN
PENYAKIT GENERATIF

Seminar Gizi Nasional


Di Poltekkes Menado, 3 Desember 2016

Prof. Dr. Hardinsyah, MS


Guru Besar Ilmu Gizi FEMA IPB

Ketua Umum PERGIZI PANGAN donesia


Ketua Umum AIPGI
2016
3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 4
KEARIFAN LOKAL MENDUKUNG
1000 HPK DAN PENCEGAHAN
PENYAKIT DEGENERATIF

1. Faktor Risiko Penyakit


Degeneratif
2. Dampak 1000 HPK pada Penyakit
Degeneratif
3. Kearifan Lokal Ala Sulut
4. Kesimpulan

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 4


1.
Faktor Risiko Penyakit Degeneratif

Beragam Penyakit Degeneratif (PD):


 Penyakit Jantung
 Stroke
 Diabetes
 Gangguan ginjal
 Osteoporosis
 Kanker
 Dll

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 5


Perubahan Pola Penyakit
Indonesia 1990-2015
Penyebab
1990 2010 kematian utama
Penyakit
Indonesia ( 2015)
Cedera Penyakit Cedera
7% menular menular

9% 1. Stroke
33 2. Kecelakaan LL
37 % 3. PJ Iskemik
% 56 4. Kanker
% 5. Diabetes
58
%
Penyakit tidak
menular Penyakit tidak
menular

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 6


Beragam Faktor Risiko PD:
 Diet
 Aktifitas fisik
 Obesitas
 Polusi/radikal bebas
 Istirahat/tidur
 Paparan matahari
 Gangguan hormonal
 Gizi dan penyakit usia dini
 Genetik
 Dll

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 7


2.
Dampak Kekurangan Gizi pada 1000 HPK

1000 HPK: Masa terjadinya pertumbuhan


dan perkembangan yang sangat cepat
dimulai sejak terbentuknya janin sampai
anak berusia 2 tahun

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 8


Berbagai Risiko Kurang Gizi

 Risiko Gangguan Pertumbuhan (Sel,


jaringan dan organ)
 Risiko Gangguan Perkembangan (Sel,
jaringan, organ – terutama Otak)
 Risiko Gangguan Hormonal
 Berisiko Penyakit

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 9


Dampak buruk kurang gizi pada 1000 HPK

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 10


Periode Kritis Awal Tumbuh Kembang
Otak & Jaringan Janin

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 11


 Sehat Bermula dari tumbuh kembang sel
dan jaringan Tubuh yang baik
 Cerdas bermula dari tumbuh kembang
otak dan syaraf yang baik

3/11/2016
Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 12
3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 13
% Bayi lahir yang Stunting (<48 cm) di Indonesia,
di Lampung Juga Tinggi (Riskesdas, 2013)

*) Berdasarkan 45% sampel balita yang punya catatan (Riskesdas 2013, n=82.661)
*) Studi kohort Bogor (2015) : 28,5% (n=220)
3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 14
Kepri 26.33
DIY 27.25
DKI 27.50
Kaltim
Babel
27.52
28.66 % Balita Pendek
Bali 32.53
Banten 32.99 (Riskesdas, 2013)
Sulut 34.83
Jabar 35.33
Jatim 35.81 Termasuk dalam
Sumsel 36.75
17 negara,
Jateng 36.76
Riau 36.76 diantara 117
Indonesia 37.21 negara, yg
Jambi 37.93
Kalbar 38.60
mempunyai
Gorontalo 38.92 ketiga masalah
Sumbar 39.24
Bengkulu 39.70
Stunting dan
Papua 40.08 Obesitas pada
Maluku 40.57 Balita
Sulsel 40.91
Maluku… 41.00
Sulteng 41.06
Kalteng 41.32
Aceh 41.50
Sumut 42.49
Sultra 42.60
Lampung 42.64
Kalsel 44.24
Papua… 44.64
NTB 45.26
Sulbar 48.02
NTT 51.73

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00


3/11/2016 15
Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado
Prevalensi Obesitas Laki-laki (IMT ≥25)
Penduduk Umur > 18 tahun 2007 & 2013

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 16


Prevalensi Obesitas Perempuan (IMT ≥25)
Penduduk Umur > 18 tahun 2007 & 2013

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 17


Prevalensi Obesitas Sentral (%)
Penduduk Umur .≥ 15 tahun 2007 & 2013

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 18


Prevalensi Stroke Permil
Penduduk Umur ≥ 15 tahun 2007 & 2013

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 19


3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 20
2
3.
Kearifan Lokal Ala Sulut
Kearifan lokal:
 Anggapan dan kebiasaan yang
berkembang dimasyarakat yg
baik secara normatif
 Dikembangkan dari pengalaman
bijak nenek moyang/pendahulu
 Bersifat lokal kemudian bisa
jadi berkembang ke daerah lain

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 21


3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 22
Kearifan lokal di Sulut

2. Non pangan:
 Menyanyi
 Menari & bernyani (Maengket)
 Musik kolintang, tiup bambu & bia/kerang)
 Suka bercanda (bakusedu)
 Berenang dan menyelam
 Menyajikan makanan (Binarundak & Natal)
 Mapalus (gotong royong, less stress)
 Rumah panggung - dulu (banyak gerak)
 Memindahkan rmh (merawate)
 Jago bagaya
3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 23
3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 24
3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 25
3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 26
3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 27
3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 28
2. Manfaat Kesehatan dari Ikan

 Menurunkan risiko obesitas


 Meningkatkan imunitas
 Menurunkan risiko imflamasi
 Menurunkan risiko astma
 Mengurangi risiko hipertensi
 Menurunkan risiko hiperkolesterol
 Menurunkan risiko hiperglikemia
 Menurunkan risiko penyakit jantung
 Menurunkan risiko stroke
 Mengurangi risiko depresi

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 29


Meta-analysis: (Manfaat terkini konsumsi
ikan, 26 studi, 150.278 subjek):

1. Konsumsi ikan menurunkan risiko


depresi.
2. Risiko Depresi 17% lebih rendah
3. Sama berlaku pada pria maupun
wanita
J Epidemiol Community Health, Sep 2015
Fish consumption and risk of depression:
a meta-analysis. Fang Li, Xiaoqin Liu, Dongfeng Zhang
The Medical College of Qingdao University, PRC

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 30


Manfaat Minyak Ikan (EFA terutama EPA+DHA)

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 31


3. Potensi Manfaat Kecantikan

 Menguatkan membran sel dan


elastisitas kulit (kolagen, niasin, dan
vit D)

 Pertumbuhan dan peremajaan sel


(folat, zink, vit D, kolagen, EFA)

 Kulit segar bercahaya (Niasin,


EPA/DHA)

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 32


4. Potensi Manfaat Aprodisiak

 Memicu produksi testosteron (Zink,


omega-3 dan asam amino

 Memicu pembentukan butir darah


merah untuk peningkatkan
katahanan fisik (zat besi, tembaga,
asam folat, riboflavin, vit A)

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 33


Potensi Manfaat Rumbput laut
(Seaweed)

 Mineral (zat besi dan kalsium,


magnesium, zink, yodium)
 Vitamin Vit B komplek
 Vitamin ADEK dan C
 Klorofil & Phytochemical
 Serat pangan

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 34


 Memperbaiki metabolisme
 Mengurangi risiko anemia
 Memperbaki konsentrasi
 Mengurangi risiko hipertensi
 Baik bagi pertumbuhan kuku
dan rambut
 Anti viral & Antibakteri
 Bersfat alkaline
 Detoks
 Kecantikan (lulur, sabun dll)

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 35


Defisiensi PUFA dan Asam Lemak Esensial

A majority of Indonesian children has intakes of PUFA


and specifically ALA that are lower than
recommended intake levels (68%)....

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 36


3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 37
3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 38
Source: Grantham-McGregor SM, Powell CA, Walker SP, Himes JH (1991) Nutritional supplementation,
psychosocial stimulation and mental development of stunted children: the Jamaican study. The Lancet 388: 1-5.

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 39


3.
Gizi pada 1000 HPK

Gizi Ibu Hamil:


 Makan pokok
 Lauk pauk
 Sayur
 Buah
 Minuman & Susu

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 40


3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 41
3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 42
Perilaku Sehat Selama Kehamilan:

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 43


3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 44
Gizi Ibu Menyusui: Bayi 0-6 Bln:
 Makan pokok  IMD dan ASI saja
 Lauk pauk (ASI ekslusif)
 Sayur
 Buah
 Minuman & Susu

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 45


Manfaat ASI Eksklusif:

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 46


3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 47
3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 48
3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 49
3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 50
 Berbagai pangan & kuliner lokal yg
mempunyai kearifan & keunggulan
kesehatan sebaiknya diolah dan
dikonsumsi dengan cara yg benar (aman,
cukup & beragam) dlm rangka perbaikan
gizi & pencegahan penyakit degeneratif

 Berbagai cara arif yang dilakukan


masyarakat terkait PHBS, sebaiknya
dipertahankan dan dikembangkan dlm
rangka perbaikan gizi & pencegahan
penyakit degeneratif

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 51


TERIMA KASIH

Hardinsyah
Hp 08129192259
@Hardin_IPB
hardinsyah2010@gmail.com

3/11/2016 Hardin Semnas Gizi Poltekkes Manado 52


47

PENGARUH PENDIDIKAN GIZI 1000 HPK TERHADAP PERILAKU GIZI


REMAJA DI SULAWESI TENGAH

Fahmi Hafid, S.Gz.,M.Kes


Politeknik Kesehatan Kemenkes Palu

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pendidikan gizi 1000 HPK
terhadap perilaku gizi Remaja di Sulawesi Tengah.
Jenis penelitian adalah quasi eksperimen pretest and post test with control design.
Populasi penelitian adalah remaja 15-18 tahun di Kabupaten Sigi dan Touna.
Sampel sebesar 137 orang. Pengambilan sampel menggunakan purposive sampling
dilakukan di wilayah Kabupaten Sigi dan Kabupaten Touna yang merupakan daerah
dengan prevalensi stunting tertinggi di Sulawesi Tengah, Instrumen yang
digunakan adalah Form Pre dan Post Test dan modul intervensi pendidikan gizi.
Penelitian efektif dilaksanakan selama 1 bulan mulai tanggal 23 Juli 2015. Analisis
data dengan Uji yang digunakan adalah Uji Paired t-test dan independent t-test.
Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan rerata skor pengetahuan gizi pada
kelompok intervensi sebesar 5,39±2,0 lebih tinggi dibanding kelompok kontrol
sebesar 0,49±0,6 (p-value=0,000). Peningkatan rerata skor sikap gizi pada
kelompok intervensi sebesar 3,23±1,6 lebih tinggi dibandingkan pada kelompok
kontrol yang juga meningkat 1,17±1,9 (p-value=0,069). Peningkatan rerata skor
praktik gizi pada kelompok intervensi sebesar 5,3±1,5 lebih tinggi dibandingkan
pada kelompok kontrol yaitu 1,23±1,8 (p-value=0,285).
Intervensi pendidikan gizi tentang 1000 HPK meningkatkan pengetahuan gizi,
namun belum pada sikap gizi dan praktik gizi remaja di Sulawesi Tengah.
Kata Kunci: Pendidikan Gizi, 1000 HPK, Remaja.

PENDAHULUAN
Periode 1000 HPK telah terbukti secara ilmiah merupakan periode yang
menentukan kualitas kehidupan yang sering disebut sebagai periode emas. Seribu
HPK merupakan periode sensitif karena dampak yang ditimbulkan akan bersifat
permanen dan tidak dapat dikoreksi. Dampak tersebut tidak hanya pada
pertumbuhan fisik, tetapi juga pada perkembangan mental dan kecerdasan. Pada
usia dewasa akan terlihat dari ukuran fisik yang tidak optimal serta kualitas kerja
yang tidak kompetitif berakibat pada rendahnya produktivitas dan ekonomi(1).
Masalah gizi yang terjadi pada kelompok 1000 HPK kini kian
memprihatinkan, baik masalah gizi pada ibu hamil maupun pada balita. Adapun
masalah gizi yang sering terjadi pada ibu hamil adalah Kurang Energi Kronis
(KEK) dan Anemia. Berdasarkan data Riskesdas (2013) Prevalensi ibu hamil KEK
usia 15-19 tahun adalah 38,5% dan prevalensi anemia pada ibu hamil yaitu 37,1%.
Di Indonesia remaja usia 16-18 tahun yang pendek sebesar 31,4% prevalensi di
Provinsi Sulawesi tengah lebih tinggi dari angka nasional yaitu sebesar 40,4% dan
kabupaten dengan prevalensi tertinggi adalah di Sulawesi Tengah sebesar 52,9%(2).
Gerakan 1000 HPK adalah suatu gerakan percepatan perbaikan gizi yang
ditetapkan oleh pemerintah Indonesia untuk menjawab permasalahan gizi.
Peraturan Presiden No. 42 tahun 2013 menyatakan bahwa Gerakan 1000 HPK
terdiri dari intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Intervensi spesifik,
adalah tindakan atau kegiatan yang dalam perencanaannya ditujukan khusus untuk
kelompok 1000 HPK. Sedangkan intervensi sensitif adalah berbagai kegiatan
pembangunan di luar sektor kesehatan. Sasarannya adalah masyarakat umum, tidak
48

khusus untuk 1000 HPK.Salah satu sasaran untuk intervensi gizi sensitif adalah
remaja (1).
Remaja merupakan kelompok yang perlu mendapat perhatian serius mengingat
masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke dewasa dan belum mencapai
tahap kematangan fisiologis dan psikososial. Remaja mempunyai sifat yang selalu
ingin tahu dan mempunyai kecenderungan untuk mencoba hal-hal baru. Sehingga,
apabila tidak dipersiapkan dengan baik remaja sangat beresiko terhadap kehidupan
seksual pranikah. Menurut data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas
Universitas Indonesia tahun 2015, angka pernikahan dini di Indonesia peringkat
kedua di kawasan Asia Tenggara. Ada sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia
di bawah umur 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah ini diperkirakan
akan meningkat menjadi 3 juta orang di tahun 2030(3).
Data Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa perkawinan pada usia remaja
(15-19 tahun) masih tinggi, yaitu 23,9%. Secara umum, sejak perempuan memasuki
masa pernikahan maka ia mulai memasuki periode untuk hamil dan melahirkan.
Oleh sebab itu, semakin cepat memasuki usia pernikahan, maka risiko untuk hamil
dan melahirkan juga semakin panjang. Pernikahan pada usia remaja memang tidak
disarankan dari sudut pandang kesehatan karena berkaitan dengan kesiapan organ
reproduksi seorang calon ibu. Hasil penelitian Latifah dan Anggraeni (2009)
menyatakan bahwa remaja yang hamil mempunyai peluang 3,88 kali lebih besar
untuk melahirkan bayi prematur dan memiliki peluang 7 kali lebih besar untuk
melahirkan bayi BBLR dibandingkan ibu yang bukan remaja. Hal ini dapat terjadi
karena ibu remaja masih membutuhkan zat gizi untuk perkembangan fisiknya,
sementara di saat bersamaan harus membagi zat gizi yang dikonsumsinya untuk
bayi yang dikandungnya.
Tidak hanya karena faktor gizi, faktor psikologis pada remaja hamil juga
menyumbang terjadinya masalah gizi. Hal ini karena remaja belum siap secara
mental untuk menjadi orang tua, dan tidak memiliki bekal pengetahuan yang
mencukupi dalam memenuhi kebutuhan gizi bagi diri sendiri, anak yang dilahirkan,
serta keluarganya. Menjadi orang tua di usia dini cenderung memiliki keterampilan
yang kurang dalam mengasuh anak, sehingga anak yang dilahirkan berisiko untuk
mengalami perlakuan yang salah dan penelantaran (4) 7 dari 10 orang ibu yang
menikah dini dan mempunyai anak 1-5 tahun tidak tahu cara memberikan pola asuh
yang baik dan benar kepada anaknya(5). Ketidaktahuan seperti ini tentu saja sangat
membahayakan kesehatan anak. Oleh sebab itu, pengetahuan gizi perlu ditanamkan
sejak dini khususnya pada remaja sebagai generasi penerus bangsa dan orangtua
masa depan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pendidikan gizi
1000 HPK terhadap perilaku gizi Remaja di Sulawesi Tengah.
BAHAN DAN CARA
Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimen pretest and post test with control
design. Tujuan jenis penelitian kuasi eksperimen adalah untuk mengetahui
pengaruh intervensi pendidikan gizi; membandingkan hasil dari (outcome) dari
intervensi dua kelompok atau lebih. Pada Penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua)
kelompok I yakni kelompok dengan intervensi pendidikan gizi, kelompok II
sebagai kelompok kontrol. Pemilihan kelompok tidak melalui proses pengacakan
tetapi berdasarkan pertimbangan karakteristik wilayah dan disesuaikan dengan
kebutuhan. Berikut adalah desain penelitian :
Kelompok Intervensi : O1 X1 O3
Kelompok Kontrol : O2 → O4
Keterangan :
O1 : Pengukuran awal dikelompok intervensi
49

O2 : Pengukuran awal dikelompok kontrol


O3 : Pengkuran setelah intervensi kelompok Intervensi
O4 : Pengukuran tanpa intervensi dikelompok kontrol
X1 : Intervensi pendidikan gizi.
Materi media Intervensi pendidikan gizi meliputi informasi tentang tahapan
1000 hari pertama kehidupan (HPK) fokus pada kelompok remaja. Intervensi
pendidikan gizi dilakukan di sekolah. Pada kelompok kontrol intervensi pendidikan
gizi akan diberikan setelah penelitian selesai.
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kabupaten Sigi di Sekolah SMU Negeri 1
Sigi dan Kabupaten Touna di SMU Negeri 1 Tojo. Pemilihan lokasi penelitian
didasarkan pada daerah dengan prevalensi stunting tertinggi di Sulawesi Tengah.
Penelitian dilakukan dalam 1 (satu) bulan, pengambilan data awal tanggal dan
intervensi pendidikan gizi 23 Juli 2016, pengukuran hasil intervensi pada tanggal 24
Agustus 2016. Jumlah sampel sebanyak 137 orang. Menggunakan alat ukur Form
Pre dan Post Test Pengetahuan, Sikap dan Praktik Gizi, Form FFQ (food frequency
questionnaire).
Administrasi penelitian; Permohonan izin penelitian dari Direktur Politeknik
Kesehatan Kemenkes Palu kepada Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan
Perizinan Terpadu Satu Pintu Daerah Sulawesi Tengah tanggal 09 Juni 2016 nomor
KP.01.01.1/1821/VI/2016. Izin penelitian telah diperoleh dari Badan Penanaman
Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Daerah Sulawesi Tengah pada
tanggal 13 Juni 2016 Nomor 070.075/REK-PL/BPMP2TSPD/2016. Untuk kegiatan
pengambilan data post intervensi dengan surat tugas direktur Politeknik Kesehatan
Kemenkes Palu dengan no surat TU. 01.01.1/2621/VIII/2016. Penelitian ini telah
memperoleh Layak Etik penelitian dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan
Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta pada tanggal 22 Juli 2016 dengan
nomor LB.01.01/KE/XLI/398/2016.
Data yang diperoleh melalui kuesioner; diediting secara manual, entry dan
cleaning dan analisis menggunakan SPSS 17,0. Uji yang digunakan adalah Uji
Paired t-test untuk melihat perbedaan rerata sebelum dan setelah, sedangkan
independent t-test untuk membandingkan rerata kedua kelompok.
HASIL DAN BAHASAN
Tabel 1 Karakteristik Responden Penelitian Pengaruh Pendidikan Gizi 1000 HPK
Terhadap Perilaku Gizi Remaja di Sulawesi Tengah
Kontrol (n=69) Intervensi (n=69)
Karakteristik Total
n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 21 30.4 18 26.1 39
Perempuan 48 69.6 51 73.9 99
Umur
15 Tahun 4 5.8 16 23.2 20
16 Tahun 45 65.2 29 42.0 74
17 tahun 18 26.1 19 27.5 37
18 Tahun 2 2.9 5 7.2 7
Status Gizi
<18,5 30 43.5 27 39.1 57
18,5-23,5 37 53.6 34 49.3 71
>23,5 2 2.9 8 11.6 10
Sumber : Data Primer.
50

Secara keseluruhan responden yang mengikuti penelitian ini lebih banyak berjenis
kelamin perempuan yaitu sebanyak 99 orang (71,7%) dibanding yang berjenis
kelamin laki-laki sebanyak 39 orang (28,3%). Kategori umur terbanyak berumur 16
tahun dengan status IMT terbanyak pada kategori IMT normal 18,5-23,5.
Pada kelompok kontrol, rata-rata umur responden 16,26±0,6 tahun berat
badan 45.2±6,1 kg, tinggi badan 154,2±7,2cm, indeks massa tubuh 19,01±2,2
sedangkan pada kelompok intervensi umur responden 16,19±0,8 tahun, berat badan
46.5±8,4 kg, tinggi badan 153,4±6,5 cm dan indeks massa tubuh 19,72±2,9.

Tabel 2 Rerata skor pengetahuan, sikap, dan praktik gizi responden sebelum
intervensi pendidikan gizi remaja tentang 1000 HPK di Sulawesi Tengah
Kontrol (n=69) Intervensi (n=69)
Variabel p-value
mean±SD mean±SD
Pengetahuan 10,83±1,9 10,19±1,8 0,338
Sikap 9,48±1,4 9,86±1,4 0,606
Praktik 7,99±1,0 8,06±1,0 0,602
Sumber : Data Primer.
Hasil pretest menunjukkan rerata skor pengetahuan gizi pada kelompok
kontrol sebesar 10,83±1,9 sedangkan pada kelompok intervensi sebesar 10,19±1,8.
Nilai p-value yang diperoleh sebesar 0,338 yang berarti bahwa tidak terdapat
perbedaan pengetahuan antara kelompok kontrol dengan kelompok intervensi. Pada
pengukuran sikap gizi, rerata skor sikap pada kelompok kontrol sebesar 9,48±1,4
sedangkan pada kelompok intervensi sebesar 9,86±1,4 nilai p-value yang diperoleh
sebesar 0,606 yang berarti tidak terdapat perbedaan sikap antara kelompok kontrol
dengan kelompok intervensi.
Pada pengukuran praktik gizi, hasil pretest menunjukkan rerata skor praktik
gizi pada kelompok kontrol sebesar 7,99±1,0 sedangkan pada kelompok intervensi
sebesar 8,06±1,0 nilai p-value sebesar 0,602 yang berarti tidak terdapat perbedaan
praktik antara kelompok kontrol dengan kelompok intervensi. Oleh karena hasil
pretest pengetahuan, sikap dan praktik gizi menunjukkan nilai p-value >0,05 maka
pengetahuan, sikap dan praktik gizi sama/tidak berbeda, maka selanjutnya dapat
dilakukan intervensi pendidikan gizi 1000 HPK terhadap perilaku Gizi remaja di
Sulawesi Tengah.
Grafik 1 Persentase Responden berdasarkan Saluran informasi gizi

lembar balik 28.3


leaflet 29
billboard/reklame 48.6
Radio 45.7
Televisi 80.4
Pengajian/Kegiatan Ibadah 16.7
Pesantren kilat 13
Pelajaran Tata Boga 35.5
Pramuka Saka Bakti Husada 32.6
Pelajaran Biologi 84.4
Pelajaran Pendidikan jasmani dan Kesehatan 83.3

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

Sumber : Data Primer. 2016


51

Tabel 3 Rerata peningkatan skor pengetahuan, sikap, dan praktik gizi setelah
intervensi pendidikan gizi remaja tentang 1000 HPK di Sulawesi Tengah
Kontrol (n=69) Intervensi (n=69)
Variabel p-value
mean±SD mean±SD
Pengetahuan 0,49±0,6 5,39±2,0 0,000
Sikap 1,17±1,9 3,23±1,6 0,069
Praktik Gizi 1,23±1,8 5,3±1,5 0,285
Sumber : Data Primer. 2016
Hasil intervensi menunjukkan terjadi peningkatan rerata skor pengetahuan
pada kelompok intervensi sebesar 5,39±2,0 lebih tinggi dibandingkan pada
kelompok kontrol yang hanya meningkat 0,49±0,6. nilai p-value yang diperoleh
sebesar 0,000 yang berarti terdapat peningkatan pengetahuan gizi yang signifikan
oleh karena pemberian intervensi pendidikan gizi remaja tentang 1000 HPK pada
kelompok intervensi. Terjadi peningkatan rerata skor sikap pada kelompok
intervensi sebesar 3,23±1,6 lebih tinggi dibandingkan pada kelompok kontrol yang
juga meningkat 1,17±1,9. Namun karena nilai p-value yang diperoleh sebesar 0,069
maka berarti peningkatan sikap gizi pada kelompok intervensi tidak signifikan
secara statatistik dibandingkan pada kelompok kontrol.
Terjadi peningkatan rerata skor praktik gizi pada kelompok intervensi sebesar
5,3±1,5 lebih tinggi dibandingkan pada kelompok kontrol yang hanya meningkat
1,23±1,8. Meskipun demikian dengan nilai p-value yang diperoleh sebesar 0,285
berarti, peningkatan skor praktik gizi pada kelompok intervensi secara statitik tidak
semata-mata oleh karena pemberian intervensi pendidikan gizi remaja tentang 1000
HPK di Sulawesi Tengah.
Sesuai dengan misi gerakan 1000 hari pertama kehidupan, pendidikan gizi
perlu dilakukan secara tepat dan benar untuk meningkatkan kualitas asuhan gizi ibu
dan anak. Status gizi remaja putri atau pranikah memiliki kontribusi besar pada
keselamatan kehamilan dan kelahiran kelak. Penelitian ini bertujuan menganalisis
pengaruh intervensi pendidikan gizi 1000 HPK terhadap perilaku gizi Remaja di
Sulawesi Tengah.
Intervensi diberikan dalam bentuk materi pendidikan gizi remaja fokus pada
1000 HPK pada kelompok intervensi sebanyak 69 orang remaja di Kabupaten
Touna pada SMU Negeri 1 Tojo dan di Kabupaten Sigi pada SMU Negeri 1 Sigi.
Kelompok kontrol sebanyak 69 juga berasal dari kedua sekolah tersebut.
Pengukuran post test dilakukan setelah 2 bulan pemberian materi pendidikan gizi
pada tanggal 15-25 Agustus 2016.
Intervensi pendidikan yang diberikan meliputi pengetahuan tentang makanan
sehat, contoh-contoh zat gizi, sumber-sumber zat gizi karbohidrat, contoh sumber
zat gizi protein, contoh sumber zat gizi lemak, contoh sumber zat gizi vitamin,
manfaat sayur dan buah, manfaat mengonsumsi ikan dan telur, efek negatif
softdrink dan minuman beralkohol, perlunya remaja putri mengonsumsi tablet Fe,
manfaat suplemen kalsium untuk remaja putra, DNA yang sehat pada laki-laki dan
perempuan berasal dari makanan sehat, Calon pengantin harus memiliki status gizi
yang sehat (IMT >18,5), Calon pengantin tidak boleh menderita kurang energi
kronis (LILA <23,5 cm).
Item pertanyaan sikap gizi meliputi, sikap terhadap makanan, manfaat
makanan, pantangan makanan, makanan favorit, makanan dan gaya, makanan dan
rasa lapar, makanan mahal dan makanan bergizi. Adapun untuk item pertanyaan
perilaku gizi meliputi; keragaman asupan buah, sayur, kacang-kacangan, ikan,
Pemanis, Snack, minuman Ringan/Softdrink, minuman beralkohol, asupan Tablet
tambah bagi remaja putri, asupan suplemen Kalsium bagi remaja putra, perilaku
mencuci tangan pakai sabun dengan air yang mengalir sebelum makan, rutinitas
52

berolahraga, aktifitas fisik minimal 30 menit perhari 4–6 kali/minggu, menimbang


berat badan secara teratur, berkonsultasi dengan dokter/professional gizi untuk
konsultasi diet.
Hasil penelitian menunjukkan sebelum intervensi pendidikan gizi, rerata skor
pengetahuan pada kelompok kontrol sebesar 10,83±1,9 sedangkan pada kelompok
intervensi sebesar 10,19±1,8 (p-value=0,338). Rerata skor sikap pada kelompok
kontrol sebesar 9,48±1,4 sedangkan pada kelompok intervensi sebesar 9,86±1,4 (p-
value=0,606). Rerata skor praktik gizi pada kelompok kontrol sebesar 7,99±1,0
sedangkan pada kelompok intervensi sebesar 8,06±1,0 (p-value=0,602). Oleh
karena hasil pretest pengetahuan gizi, sikap gizi dan praktik gizi menunjukkan nilai
p-value >0,05 maka selanjutnya dapat dilakukan intervensi pendidikan dengan
asumsi pengetahuan, sikap dan praktik gizi sama sebelum dilakukan intervensi.
Setelah intervensi, hasil penelitian menunjukkan rerata skor pengetahuan gizi
pada kelompok kontrol meningkat dari 11,32±2,1 menjadi 11,32±2,1 atau
meningkat sekitar 0,49±0,6 sedangkan pada kelompok intervensi meningkat dari
10,19±1,8 menjadi 15,58±1,8 atau meningkat sekitar 5,39±2,0 perbedaan
peningkatan antara kelompok kontrol dibandingkan kelompok intervensi signifikan
secara statistik (p-value=0,000). Rerata skor sikap pada kelompok kontrol
meningkat dari 9,48±1,4 menjadi 10,68±1,9 dengan peningkatan sekitar 1,17±1,9.
sedangkan pada kelompok intervensi skor sikap meningkat dari 9,86±1,4 menjadi
sebesar 13,09±1,4 dengan skor peningkatan sebesar 3,23±1,6. perbedaan
peningkatan sikap gizi antara kelompok kontrol dibandingkan kelompok intervensi
tidak signifikan secara statistik (p-value=0,069). Rerata skor praktik gizi pada
kelompok kontrol meningkat dari 7,99±1,0 menjadi 9,2±2,0 dengan skor
peningkatan 1,23±1,8 sedangkan pada kelompok intervensi sebesar meningkat dari
8,06±1,0 menjadi 13,46±1,3 dengan skor peningkatan praktik gizi sebesar 5,3±1,5.
Meskipun demikian ternyata perbedaan peningkatan praktik gizi antara kelompok
kontrol dibandingkan kelompok intervensi tidak signifikan secara statistik (p-
value=0,285).
Selama 8 minggu siswa diberi intervensi pendidikan gizi didapatkan hasil
bahwa pemberian pendidikan gizi mempunyai pengaruh yang positif terhadap
pengetauan, sikap dan perilaku gizi terkait 1000 HPK. Peningkatan pengetahuan
terutama yang berkaitan dengan informasi perlunya tablet Fe untuk mencegah
anemia/kurang darah pada remaja putri terutama pada saat haid. Pengetahuan
bahwa kualitas sperma pada laki-laki dan kualitas Ovum pada perempuan
tergantung dari kualitas makanan yang dikonsumsi. Pemahaman tentang status gizi
yang sehat pada calon pengantin harus dengan memiliki ukuran LILA < 23,5 cm,
IMT > 18,5.
Peningkatan sikap terutama yang berkaitan dengan sikap tentang kegunaan
zat gizi bagi pertumbuhan tinggi badan manusia, zat gizi mencegah penyakit seperti
anemia/kurang darah, Sayur dan Buah sangat bermanfaat untuk kesehatan tubuh.
Hasil ini sejalan dengan penelitian di schooling adolescents di Tanah Merah, suatu
pedesaaan di district Kelantan Malaysia yang menunjukkan bahwa terdapat
peningkatan sikap setelah intervensi pada kelompok penerima intervensi terkait
dengan asupan sumber zat besi. Paket pendidikan gizi digunakan dalam penelitian
telah efektif meningkatkan kesadaran di kalangan remaja anemia terhadap anemia
kekurangan zat besi dan peran praktek diet yang sehat sebagai tindakan pencegahan
(6)
.
Penelitian di Makassar menunjukkan bahwa penambahan materi edukasi gizi
dan kesehatan reproduksi dalam kursus calon pengantin dapat meningkatkan
pengetahuan wanita periode prakonsepsi sebesar 29,6% dari 70,4% menjadi 100%
setelah mengikuti suscatin dan tidak ada lagi responden yang berpengetahuan
kurang. Penambahan materi edukasi gizi dan kesehatan reproduksi dalam suscatin
53

(Kursus Calon Pengantin) dapat meningkatkan sikap wanita periode prakonsepsi


sebesar 81,5% dari 18,5% menjadi 100% setelah mengikuti suscatin dan tidak ada
lagi responden yang bersikap negatif (7).
Dalam penelitian ini, sebelum intervensi baik kelompok kontrol maupun
kelompok intervensi memiliki pengetahuan tentang manfaat sayur dan buah namun
belum di praktikkan. Hasil analisis food frequency juga menunjukkan masih
rendahnya frekuensi asupan sayur dan buah. Oleh karena itu menurut nuansa
sekolah dengan muatan gizi dapat memberi pengaruh positif pada perilaku gizi
remaja terutama pada asupan buah dan sayuran(8).
Dengan adanya pendidikan gizi ini diharapkan siswa dapat mempersiapkan
dirinya dengan gizi yang baik dan pengetahuan yang mumpuni sebagai persiapan
saat mereka menjadi orang tua kelak, agar dapat menerapkan pola asuh yang baik
terutama pada masa 1000 HPK yang sangat berperan dalam pembentukan kualitas
sumber daya manusia dimasa yang akan datang. pendidikan gizi lebih mungkin
untuk menjadi efektif bila berfokus pada perilaku/tindakan (bukan pengetahuan
saja) dan secara sistematis menghubungkan teori yang relevan, penelitian dan teori
praktik. Kebanyakan pendidik gizi yang akrab dengan model PSP, yang
menyatakan bahwa perubahan pengetahuan (P) menyebabkan perubahan sikap (S)
yang pada gilirannya menyebabkan perubahan perilaku (P) (9).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa informasi tentang gizi paling
banyak diperoleh melalui pelajaran Biologi sebesar 84,4% kemudian informasi dari
pelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan sebesar 83,3% dan dari
Televisi sebesar 80,4%. Ini menunjukkan bahwa sekolah dapat menjadi saluran
informasi terkait dengan pendidikan gizi khususnya tentang program 1000 HPK.
Namun demikian, ketika pendidikan gizi yang ditawarkan ke sekolah biasanya
hanya diintegrasikan ke dalam mata pelajaran inti. Sebagian besar sekolah hanya
fokus pada peningkatan pengetahuan tentang apa yang dimaksud dengan gizi yang
baik ketimbang mempengaruhi motivasi, sikap, dan perilaku makan siswa (10).
Sedangkan hasil penelitian di Cyprus menunjukkan bahwa dalam lingkup
sekolah, jika program gizi dimasukkan dalam kegiatan pendidikan, guru dapat
menjadi panutan dalam program gizi(11). Maka perlu dilakukan pelatihan guru-guru
sekolah untuk mengajarkan materi gizi kepada siswa, dan sekolah diharapkan agar
menjadi lingkungan yang mengembangkan kebijakan perilaku gizi yang sehat,
nuansa sekolah dengan muatan gizi diharapkan memberi pengaruh positif pada
perilaku gizi remaja terutama pada asupan buah dan sayuran(12).
Ada tiga komponen penting untuk pendidikan gizi; (1) Motivasi, dimana
tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran melalui strategi komunikasi yang
efektif. (2) Tindakan, dimana tujuannya adalah untuk memfasilitasi kemampuan
orang untuk mengambil tindakan melalui penetapan tujuan dan keterampilan
pengaturan kognitif. (3) Lingkungan, dimana pendidik gizi bekerja dengan pembuat
kebijakan dan lain-lain untuk mempromosikan dukungan lingkungan untuk
melakukan tindakan. Setiap komponen harus berdasarkan teori dan penelitian yang
sesuai(9).
Prosedur untuk mendesain program pendidikan gizi dapat menggunakan
model logika; Input adalah sumber daya yang dibutuhkan serta proses analisis
kebutuhan. Output adalah kegiatan dalam tiga komponen pendidikan gizi yang
dijelaskan di atas. Fokus perilaku yang dipilih dan teori dari penelitian digunakan
untuk merancang strategi pendidikan yang sesuai untuk mencapai perilaku yang
ditargetkan. Hasilnya dapat berupa dampak jangka pendek, menengah atau jangka
panjang atau sebuah program gizi.
Pendidikan gizi membantu orang mengambil sikap yang bijaksana terhadap
gizi dan kualitas hidup. Pendidikan gizi merupakan suatu metode dalam pendidikan
54

kesehatan yang dapat merubah pengetahuan seseorang menjadi lebih baik.Hal ini
terbukti dari pengetahuan responden setelah diberikan pendidikan gizi mengalami
perubahan yang berarti dari pengetahuan kurang baik menjadi baik. Penelitian ini
diharapkan dapat menjadi program pendidikan gizi remaja yang menghubungkan
antara penelitian, teori, dan praktek dalam program 1000 HPK yang efektif.
KESIMPULAN DAN SARAN
Intervensi pendidikan gizi tentang 1000 HPK di Sulawesi Tengah
meningkatkan pengetahuan baik gizi Remaja dari 36,2% menjadi 95,7%. Intervensi
pendidikan gizi tentang 1000 HPK di Sulawesi Tengah meningkatkan sikap baik
gizi Remaja dari 40,6% menjadi 92,8%. Intervensi pendidikan gizi tentang 1000
HPK di Sulawesi Tengah meningkatkan perilaku baik gizi Remaja dari 34,8%
menjadi 100%. Berdasarkan hasil penelitian peneliti menyarankan; Penyampaian
pesan gizi remaja dapat melalui mata pelajaran Biologi dan pelajaran pendidikan
jasmani, olahraga dan kesehatan. Penelitian ini dapat menjadi bahan advokasi bagi
pemerintah dan penentu kebijakan program gizi terkait efektifitas pendidikan gizi di
Sulawesi Tengah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bappenas, 2013. Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan
Gizi dalam Rangka 1000 Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK). Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia.
2. Kemenkes 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Jakarta
3. gizitinggi.org, 2016, Angka Pernikahan Dini di Indonesia Peringkat Kedua di
Asia Tenggara, http://gizitinggi.org/angka-pernikahan-dini-di-indonesia-
peringkat-kedua-di-asia-tenggara.html. diakses tanggal 28 Maret 2016
4. Fadlyana, E. & Larasati, S., 2009. Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya.
Seri Pediatri, Vol. 11, No. 2.
5. Anas, U.H., 2013. Pengaruh Karakteristik Keluarga dan Pola Asuh terhadap
Status Gizi Balita pada Ibu Menikah Dini di Wilayah Kerja Puskesmas Keude
Geureubak Kecamatan Banda Alam Kabupaten Aceh Timur. Tesis. Medan :
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
6. Yusoff.H , Wan Daud, Ahmad Z, Effectiveness of Nutrition Education vs Non
Nutrition Education Intervention in Improving Awareness Pertaining Iron
Deficiency among Anemic Adolescent, Iranian J Publ Health, Vol. 42, No.5,
May 2013, pp.467-471
7. Rahim. R, Thaha AR, Citrakesumasari, 2013, Pengetahuan Dan Sikap Wanita
Prakonsepsi Tentang Gizi Dan Kesehatan Reproduksi Sebelum Dan Setelah
Suscatin Di Kecamatan Ujung Tanah 2013. Program Studi Gizi Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin diunduh dari
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/6768 pada tanggal 21 agustus
2016.
8. Cvjetan B, Utter J, Robinson E, Denny S. The social environment of schools
and adolescent nutrition: associations between the school nutrition climate and
adolescents’ eating behaviors and body mass index. Journal of School Health.
2014; 84: 677-682.
9. Contento IR, 2008, Nutrition education: linking research, theory, and Practice,
Asia Pac J Clin Nutr 2008;17(1):176-179
10. Smith, Andrea S., and Scott Kahan. 2008. Nutrition Education. Encyclopedia of
Obesity. Ed. Kathleen Keller. Vol. 2. Thousand Oaks, CA: SAGE Publications,
519-521. Gale Virtual Reference Library. Web. 20 May 2016
11. Perikkou.A, Kokkinou. E, Panagiotakos.DB, and Yannakoulia.M, 2015,
Teachers’ Readiness to Implement Nutrition Education Programs: Beliefs,
Attitudes, and Barriers, Journal of Research in Childhood Education, 29: 202–
211.
55

12. Shariff, M., et all, 2008. Nutrition Education Intervention Improves Nutrition
Knowledge, Attidude dan Practices of Primary School Children: A Pilot
Study. International Electronic Journal of Health Education, 11:119-132.
55

MODEL INTERVENSI KOMUNIKASI PERUBAHAN PERILAKU


PROGRAM SPESIFIK 1000 HPK KELOMPOK ANAK 6-23 BULAN
DI SULAWESI TENGAH

Nasrul, SKM, M.Kes


Politeknik Kesehatan Kemenkes Palu

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menghasilkan model intervensi komunikasi perubahan
perilaku program spesifik 1000 hari pertama kehidupan di Sulawesi Tengah.
Desain penelitian quasi eksperimen pretest and post test with control design yang
terdiri dari kelompok flipchart, spanduk dan kontrol, Intervensi dilakukan di
Kabupaten Sigi, Kabupaten Touna dan Kabupaten Bangkep. Dilaksanakan pada
tanggal 15 Agustus hingga 28 Oktober 2016. Sampel sebanyak 95 orang. Instrumen
penelitian berupa Flipchart yang diproduksi oleh kementerian kesehatan Republik
Indonesia. Kuesioner dan Spanduk intervensi.
Hasil penelitian menunjukkan antara 3 (tiga) kelompok (flipchart, Spanduk dan
kontrol) tidak terdapat perbedaan status menyusu (p=0,924), pemberian MP-ASI
yang seimbang dan beragam (p=0,599) pemberian suplementasi vitamin A
(p=0,092) dan menimbang anak secara teratur (p=0,458) namun berbeda dalam hal
kelengkapan Imunisasi Dasar (p=0,020).
Baseline data rerata praktik kesehatan pada kelompok kontrol anak 6-23 bulan
sebesar 3,22±1,6 pada kelompok Flipchart 3,68±1,7 dan kelompok Spanduk
3,25±1,5. Setelah intervensi terjadi peningkatan sebesar 0,09±0,3 pada kelompok
kontrol 0,53±0,8 pada kelompok Flipchart dan 0,71±0,7 pada kelompok Spanduk.
Peningkatan rerata praktik kesehatan pada responden berbeda secara bermakna
antar kelompok (p=0,002).
Model intervensi komunikasi perubahan perilaku dengan menggunakan flipchart
dan spanduk meningkatkan praktik kesehatan pada Kelompok anak 6-23 bulan
dalam program spesifik 1000 HPK di Sulawesi Tengah. Penelitian ini menyarankan
agar program perubahan perilaku dengan pendekatan strategi komunikasi
dimasukkan ke dalam program puskesmas dan bidang Promosi Kesehatan dan hasil
penelitian ini dapat menjadi bahan advokasi bagi pemerintah dan penentu kebijakan
program gizi terkait dengan pencapaian program 1000 HPK di Sulawesi Tengah.

Kata Kunci: Komunikasi Perubahan Perilaku, 1000 HPK, Anak 6-23 Bulan

PENDAHULUAN
Komunikasi Perubahan Perilaku (KPP) adalah komunikasi yang
menggunakan berbagai media untuk memperbaiki perilaku khususnya perilaku
kesehatan masyarakat. KPP merupakan pengembangan dari komunikasi informasi
dan edukasi, namun lebih menekankan pada perubahan perilaku, sehingga tidak
hanya berhenti pada peningkatan pengetahuan dan sikap saja. Penerapan strategi
komunikasi berhubungan dengan kesehatan(1,2) dan perubahan perilaku seseorang
dapat dipengaruhi oleh komunikasi (3,4).
Strategi komunikasi perubahan perilaku adalah proses konsultatif berbasis
penelitian yang menangani pengetahuan, sikap dan praktik melalui identifikasi,
analisis dan segmentasi peserta dalam program dengan menyediakan informasi
relevan bagi mereka dan motivasi secara interpersonal, kelompok dan media massa
termasuk dengan metode partisipatif (5).
Gerakan Scalling Up Nutrition bertujuan menurunkan masalah gizi dengan
fokus pada 1000 hari pertama kehidupan (270 hari selama kehamilan dan 730 hari
dari kelahiran sampai usia 2 tahun) yaitu pada ibu hamil, ibu menyusui dan anak
usia 0-23 bulan (6). Masalah kesehatan di Sulawesi Tengah seperti risiko kekurangan
56

energi kronik ibu hamil sebesar 32,6 persen berada diatas rata-rata nasional
(24,2%). Risiko tertinggi berada pada kabupaten Banggai, Tojo Una-una, Sigi.
Demikian pula dengan balita pendek sebesar 41 persen, lebih tinggi dari rerata
nasional (37,2%). Pemantauan status gizi melaporkan stunting balita sebesar di
Sulawesi Tengah tahun 2015 sebesar 35,6%. Kabupaten dengan prevalensi tertinggi
berturut turut adalah Kabupaten Sigi (45,2%) Kabupaten Touna (42,3%) dan
Kabupaten Banggai (40%)(7).
Di Indonesia Scalling Up Nutrition disebut dengan Gerakan Nasional Sadar
Gizi dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan disingkat Gerakan 1000 HPK.
Untuk merumuskan Gerakan 1000 HPK di Indonesia telah dilakukan serangkaian
kegiatan melibatkan pemangku kepentingan utama yang terdiri dari Kementerian
dan Lembaga, dunia usaha, mitra pembangunan internasional, lembaga sosial
kemasyarakatan, dan didukung oleh organisasi profesi, perguruan tinggi, serta
media. Gerakan 1000 HPK terdiri dari intervensi spesifik dan intervensi gizi
sensitif. Intervensi spesifik adalah tindakan atau kegiatan yang dalam
perencanaannya ditujukan khusus untuk kelompok 1000 HPK. Kegiatan ini pada
umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan, seperti imunisasi, PMT Ibu Hamil dan
Balita, Monitoring pertumbuhan balita di Posyandu, Suplemen Tablet besi-Folat Ibu
hamil, Promosi ASI Eksklusif, MP ASI dan sebagainya. Intervensi spesifik bersifat
jangka pendek, hasilnya dapat dicatat dalam waktu relatif pendek Sedangkan
intervensi sensitif adalah berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan.
Sasarannya adalah masyarakat umum, tidak khusus untuk 1000 HPK (6).
Model komunikasi perubahan perilaku merupakan jembatan perubahan
perilaku keluarga ibu baduta yang mengarah pada peningkatan hasil kesehatan yang
dapat menjadi pilihan untuk meningkatkan efektifitas dari upaya program spesifik
1000 HPK. Penelitian ini bertujuan menghasilkan model intervensi komunikasi
perubahan perilaku program spesifik 1000 hari pertama kehidupan kelompok anak
6-23 bulan di Sulawesi Tengah.
BAHAN DAN CARA
Desain penelitian quasi eksperimen pretest and post test with control design.
Pada penelitian ini dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok. Kelompok I yakni kelompok
dengan intervensi komunikasi perubahan perilaku dengan Flipchart, kelompok II
yakni kelompok dengan intervensi komunikasi perubahan perilaku dengan spanduk.
kelompok III sebagai kelompok kontrol. Pemilihan kelompok tidak melalui proses
pengacakan tetapi berdasarkan pertimbangan karakteristik wilayah dan disesuaikan
dengan kebutuhan. Berikut adalah desain penelitian:
O1 X1 O2
O3 X2 O4
O5 X0 O6
Keterangan :
O1 : Pengukuran awal kelompok intervensi Flipchart
O2 : Pengukuran akhir kelompok intervensi Flipchart
O3 : Pengukuran awal kelompok intervensi Spanduk
O4 : Pengukuran akhir kelompok intervensi Spanduk
O5 : Pengukuran awal kelompok kontrol
O6 : Pengukuran akhir kelompok kontrol
X1 : Model Intervensi KPP dengan media Flipchart.
X2 : Model Intervensi KPP dengan spanduk.
X0 : Tanpa Intervensi/Kontrol.
57

Materi media Flipchart meliputi informasi detail tentang tahapan 1000 HPK
dan spanduk berisikan informasi pokok 1000 hari pertama kehidupan (HPK).
Intervensi KPP dilakukan pada kegiatan di posyandu.
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kerja Puskesmas Biromaru dan
Puskesmas Pandere Kabupaten Sigi, Wilayah Kerja Puskesmas Tombiano dan
Puskesmas Uekuli Kabupaten Touna dan Wilayah Kerja Puskesmas Salakan
Kabupaten Bangkep pada tanggal 15 Agustus hingga 28 Oktober 2016. Pemilihan
lokasi penelitian didasarkan pada daerah dengan prevalensi stunting tertinggi di
Sulawesi Tengah. Penelitian dilakukan dalam 2 (dua) bulan, pada bulan pertama
dilakukan pengambilan data awal dan intervensi KPP, dan bulan ke 2 (dua)
dilakukan pengambilan data akhir, selanjutnya analisis data serta penyusunan
laporan. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu anak 6-23 bulan di Kabupaten
Sigi, Touna dan Banggai Kepulauan. Sampel penelitian sebanyak 95 Orang.
Intervensi ini berdasar pada teori Precede/proceed Model(8) dengan konsep
intinya kepada upaya-upaya pragmatik mengubah perilaku kesehatan. Intervensi
dengan Model komunikasi perubahan perilaku dilakukan dengan pendekatan model
interaksional atau komunikasi 2 (dua) arah, interaksi antara pemberi informasi
(communicator) yakni instruktur dengan orang tua anak atau sebagai subjek
penerima informasi (communican) terjadi pada saat intervensi.
Pemberi informasi dilakukan instruktur. Berikut uraian kegiatan intervensi:
1. Tujuan : Meningkatkan perilaku kesehatan ibu anak 6-23 bulan
2. Sasaran : ibu anak 6-23 Bulan
3. Waktu : Setiap pemberian informasi dilakukan selama ± 45 menit
4. Materi : Program-program spesifik 1000 HPK pada anak 6-23 Bulan
5. Media : Flipchart dan spanduk
6. Frekuensi : Diberikan 1 kali dalam sebulan, dan dilakukan 2 kali dalam 2
bulan berturut-turut.
7. Peserta : Tergantung jumlah respoden disetiap posyandu (minimal 5
responden dan maksimal 20 responden)
8. Jarak media : Flipchart dengan responden maksimal 1 meter dan
: Spanduk dengan responden maksimal 5 meter.
9. Post-test : Pada bulan ke-1 dan ke 2 dilakukan pengumpulan data efek
intervensi dengan menggunakan kuesioner.
Tahapan penelitian; permohonan izin penelitian dari Direktur Politeknik
Kesehatan Kemenkes Palu kepada Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan
Perizinan Terpadu Satu Pintu Daerah Sulawesi Tengah tanggal 09 Juni 2016 nomor
KP.01.01.1/1821/VI/2016. Izin penelitian telah diperoleh dari Badan Penanaman
Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Daerah Sulawesi Tengah pada
tanggal 13 Juni 2016 Nomor 070.075/REK-PL/BPMP2TSPD/2016. Penelitian ini
telah memperoleh Layak Etik penelitian dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan
Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta pada tanggal 18 Juli 2016 dengan
nomor LB.01.01/KE/XXXIX/367/2016.
Pengolahan data dengan editing kuesioner; mengecek seluruh kelengkapan
pengisian kuesioner, entry data; memasukkan data dalam perangkat komputer dengan
menggunakan tenaga yang sudah terlatih, cleaning data; mendapatkan data yang valid
untuk dimasukkan dalam analisis dengan program SPSS versi 17,00. Uji yang
digunakan adalah uji chi-square, paired t test dan anova test.
Hasil dan Bahasan
Penelitian intervensi komunikasi perubahan perilaku program spesifik 1000
HPK di Sulawesi Tengah melibatkan 95 responden ibu 6-23 bulan di Sulawesi
tengah pada tanggal 15 Agustus hingga 28 Oktober 2016 menunjukkan bahwa:
58

Rata-rata ibu anak berumur 29,57 tahun dan ayah berumur 33,34 tahun.
pendidikan ayah 45,9% telah menamatkan pendidikan Atas, Dalam hal pekerjaan,
sekitar 55,5% ayah dan 8.5% ibu bekerja sebagai petani/nelayan. Jenis pekerjaan ini
lebih banyak dijumpai pada kelompok spanduk yakni 64.8% dibandingkan pada
kelompok Flipchart (50,9%). Jumlah anggota keluarga lebih dari 4 orang rata-rata
43.9%. Pada kelompok Flipchart lebih rendah yakni 39,2% dibandingkan dengan
kelompok spanduk yakni 46,3%.
Anak yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 57 orang (60%). Rerata berat
lahir 3139.0±417 gram dan panjang badan 48.7±1.2 cm. status gizi anak umur 6-23
bulan yang menjadi sampel dengan Rerata Z Score BB/TB -0.4±1.4. rerata Z Score
TB/U -1.6±1.6 rerata Z-Score BB/U -1.2±1.0.

Tabel 1 Distribusi Karakteristik Responden Kelompok ibu yang memiliki anak 6-


23 Bulan dalam program spesifik 1000 HPK di Sulawesi Tengah, Tahun
2016
Kelompok Kelompok Intervensi
Total
Variabel Kontrol Spanduk Flipchart
& (%)
(n=31) (n=32) (n=32)
Karakteristik RT
Status Kepemilikan Rumah 78.8 80.5 73.8 77,7
(pribadi) 48.8 36.5 48.8 44,7
Tipe lantai rumah (tanah) 36.9 46.2 36.9 40,0
Konstruksi rumah (kayu) 62.4 70.4 62.4 65,1
Tipe toilet (WC Tertutup) 75.8 75.6 78.8 76,7
Listrik (menyala selama 24
jam)
Karakteristik Orang tua
Umur Ibu, thn 28.06±7.2 30.34±7. 30.25±7.5 29.57±7,4
Umur Ayah,thn 32.23±9.1 5 32.94±7,6 33.34±9,5
Jumlah Anak 2.7±1.7 34.87±1 2.7±1.7 2,7±1,7
Pendidikan Ibu (≥ Tamat 44.5 1,4 44.5 41,4
SMA) 48.8 2.6±1.6 48.8 45,9
Pendidikan Ayah (≥Tamat 11.2 35.2 11.2 9,4
SMA) 50,9 40.1 50,9 55,5
Pekerjaan Ibu 46.3 5.9 46.3 43,9
(Petani/nelayan) 85.8 64.8 85.8 88,9
Pekerjaan 39.2
Ayah(Petani/Nelayan) 95.2
Jumlah anggota keluarga > 4
orang
Pengeluaran keluarga
(<1.670.000)
Karakteristik Anak
Jenis Kelamin (Laki-laki) 18 (31,6) 19 20 (35,1) 57
Beral Lahir (gr) 3125.0±39 (33,3) 3172.4±509 3139.0±41
Panjang Badan Lahir (cm) 5 3118.5± 49.2±1.3 7
Z Score BB/TB 48.4±0.9 336 -0.6±1.7 48.7±1.2
Z Score TB/U -0.01±1.0 48.6±1.3 -1.0±1.8 -0.4±1.4
Z-Score BB/U -2.2±1.2 -0.7±1.3 -1.0±1.4 -1.6±1.6
-1.2±0,7 -1.7±1,7 -1.2±1.0
-1.4±1,0
Sumber : Data Primer.
59

Tabel 2 Baseline Perilaku Kesehatan Kelompok ibu yang memiliki anak 6-23 Bulan
dalam program spesifik 1000 HPK di Sulawesi Tengah, Tahun 2016
Kelompok Kelompok Intervensi
Variabel Kontrol Flipchart Spanduk Total p-value
(n=31) (n=32) (n=32)
Tetap Menyusui 24 (77,4) 25 (78,1) 26 (81,3) 75 0,924
MP-ASI
Seimbang dan 21 (67,7) 22 (68,8) 25 (78,1) 68 0,599
Beragam
Suplementasi
22 (71,0) 26 (81,3) 18 (56,3) 66 0,092
Vitamin A
Imunisasi Dasar 12 (38,7) 22 (68,8) 22 (68,8) 56 0,020
Menimbang
21 (67,7) 23 (71,9) 26 (81,3) 70 0,458
Secara Teratur
Sumber : Data primer 1Chi Square test
Tabel 3 Distribusi perbedaan rerata praktik perilaku kesehatan Kelompok ibu yang
memiliki anak 6-23 Bulan sebelum dan setelah intervensi komunikasi
perubahan perilaku program spesifik 1000 HPK di Sulawesi Tengah, 2016

Praktik ibu Hamil


Kelompok Sebelum Setelah Mean diff. P1 P2
Mean ± SD Mean ± SD
Kontrol (n=31) 3.22±1.6 3.29±1.4 0.09±0,3 0,161
Flipchart (n=32) 3.68±1.7 4.21±1.2 0.53±0,8 0,002 0,002
Spanduk (n=33) 3.25±1,5 4.37±1,0 0.71±0,7 0,000
1 2
Sumber : Data primer Paired t test; Anova test
Komposit perilaku ibu dalam status tetap Menyusui, memberikan MP-ASI
seimbang dan beragam, Suplementasi Vitamin A, Imunisasi Dasar dan Menimbang
anak Secara Teratur diberi point 5 jika semua perilaku tersebut dilaksanakan dan
jika tidak dilaksanakan point 0. Hasil penelitian menunjukkan sebelum intervensi
rerata perilaku kesehatan tersebut pada kelompok kontrol 3.22±1.6 kelompok
Flipchart 3.68±1.7 dan kelompok spanduk 3.25±1,5. Tidak terdapat perbedaan
komposit perilaku yang bermakna antar kelompok sebelum dilakukan intervensi
(p>0,05).
Setelah intervensi ada peningkatan rerata komposit perilaku pada kelompok
Flipchart 0.53±0,8 dan Spanduk 0.71±0,7. Peningkatan rerata komposit perilaku
antar kelompok berbeda bermakna secara statistik (p=0,002). Perilaku yang
meningkat adalah perilaku menimbang anak 6-23 bulan secara teratur.
Strategi komunikasi berisi prinsip-prinsip dasar mengutamakan langkah-
Iangkah praktis dalam melaksanakan kegiatannya. Kegiatan ini dapat dilaksanakan
melalui berbagai media sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Kegiatan yang
efektif akan memberi hasil, yaitu penambahan pengetahuan dan perubahan perilaku
pada sasaran. Penggunaan media dapat meningkatkan atensi, meningkatkan daya
ingat/retensi terhadap suatu pesan/informasi dan untuk menjelaskan fakta-fakta,
prosedur dan tindakan/keterampilan. Retensi adalah proses mengingat dan lupa
terhadap sesuatu, untuk mencapai proporsi yang diingat agar cukup memadai, maka
materi tersebut dengan media Flipchart dan spanduk harus dibaca berulang-ulang
dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama.
Implementasi komunikasi perubahan perilaku memberi dampak peningkatan
pengetahuan, sebagian besar orang tua anak mempraktikkan hasil intervensi dan
60

menjadikan orang tua sebagai sebagai sumber informasi utama, untuk


merekomendasikan dan mempromosikan praktik pemberian makan pada bayi dan
anak(9). Selanjutnya dilaporkan bahwa komunikasi perubahan perilaku dapat
meningkatkan perilaku ibu dalam perawatan post natal dan menyusui dini serta
cakupan imunisasi (4).
Menurut UNICEF, komunikasi yang efektif tergantung pada penggunaan 3
(tiga) aspek secara sinergis yaitu intervensi advokasi yang bertujuan untuk
mempengaruhi kepemimpinan politik dan sosial untuk memastikan sumber daya
dan dukungan untuk keberhasilan pelaksanaan program kesehatan. Mobilisasi sosial
yang terlibat dan memotivasi berbagai mitra di tingkat nasional dan lokal untuk
meningkatkan kesadaran dan tujuan tertentu. Pengembangan Komunikasi perubahan
perilaku sebagai proses partisipatif yang didasarkan pada penelitian formatif. Proses
dimana peserta dengan informasi yang relevan dan motivasi melalui strategi
didefinisikan dengan baik, melibatkan pendekatan interpersonal, kelompok dan
saluran media dan metode partisipatif (5).
Dalam penelitian ini ditemukan 78.1% orang tua memberikan makanan
pendamping ASI seimbang dan beragam kepada anak pada usia yang disarankan,
yakni usia enam bulan. Hasil ini didukung dengan beberapa studi yakni studi pada
200 ibu-ibu di India selatan, ditemukan 77.5% dari orang tua anak usia dibawah dua
tahun telah memberikan makanan pendamping ASI sesuai waktu yang disarankan
(10,11)
melalui survei dengan menggunakan sampel multistage cluster dari 10.000
rumah tangga menemukan prevalensi pengenalan makanan pendamping ASI
sebanyak 92% pada usia 6-8 bulan. Namun demikian pemberian makanan
pendamping ASI yang seimbang dan beragam pada responden penelitian berada
dibawah 80%, hal ini menunjukkan kesadaran, pengetahuan masyarakat dilokasi
penelitian masih dalam kategori kurang baik. Hasil yang sama dengan pendekatan
cross sectional pada 1100 ibu dari anak usia 6 – 24 bulan(12), didapatkan lebih dari
setengah responden (56.81%) pemberian makanan pendamping ASI sudah tepat
pada waktu yang disarankan.
Tingginya tingkat inisiasi pemberian makanan pendamping ASI pada waktu
yang disarankan di usia 6 bulan dalam penelitian ini berhubungan dengan tingkat
kunjungan orang tua ke posyandu untuk menimbang yaitu 67,7-81,3%. Hal lain
yang mendukung hasil tersebut adalah mengingat penelitian ini berbasis masyarakat
sehingga segala kegiatan Puskesmas yang terkait dengan kesehatan anak banyak
dilakukan di Posyandu. Dalam penelitian ini 81.7% orang tua anak mendapat
penyuluhan tentang pemberian makanan bagi bayi dan anak. Setelah uji statistik
pemberian makanan pendamping ASI pertama kali dihubungkan dengan pernah
mendapat penyuluhan pemberian makanan pendamping pada bayi dan anak
didapatkan adanya hubungan bermakna yakni (p=0.0001).
Pada variabel jumlah anggota rumah tangga yang makan sedapur
dihubungkan dengan pemberian MP-ASI pertama kali pada penelitian ini
didapatkan adanya hubungan bermakna (p=0.005). Terdapat 43,9% keluarga dengan
jumlah anggota kurang dari empat orang yang makan sedapur memberikan makanan
pendamping ASI pada waktu yang disarankan yaitu enam bulan atau lebih.
Pekerjaan ibu pada penelitian ini tampak ada kecenderungan adanya hubungan
meskipun secara statistik tidak didapatkan hubungan, pekerjaan sebagai ibu rumah
tangga memberikan makanan pendamping ASI sesuai waktu yang disarankan
78,1%. Hasil ini sejalan dengan temuan oleh Chapagain, melaporkan bahwa
pekerjaan sebagai ibu rumah tangga berhubungan erat dengan praktik pemberian
makanan yang tepat (12). Hasil studi ini membuktikan bahwa intervensi komunikasi
perubahan perilaku program spesifik 1000 HPK dapat meningkatkan perilaku ibu
tentang makanan pendamping ASI tepat waktu yang seimbang dan beragam.
61

Tingkat pendidikan seseorang yang semakin tinggi akan berdampak pada


perkembangan ke arah yang lebih baik sehingga ibu akan berpengetahuan yang
baik, lebih objektif dan terbuka wawasanya dalam mengambil suatu keputusan atau
tindakan yang diaplikasikan dengan perbuatan atau perilaku yang positif, terutama
dalam hal memberikan makanan pendamping bagi anak. Pendidikan Ibu
memainkan peran penting dalam meningkatkan penerimaan pengetahuan dan
kesadaran yang berkaitan dengan kebutuhan gizi bayi dan anak.
Selain itu responden kelompok flipchart sebagian besar tinggal didaerah yang
relatif lebih maju dibandingkan dengan masyarakat kelompok spanduk. Kondisi
dimana akses informasi yang lebih mudah serta fasilitas berupa kendaraan umum
yang digunakan mudah didapatkan dibanding kelompok spanduk yang masih
sebagian besar responden dengan berjalan kaki menuju ke fasilitas kesehatan
dengan jaraknya lebih dari 5 kilometer. Hasil penelitian di Tanzania(11) menyatakan
pengetahuan dan praktik pemberian makanan tambahan yang tidak sesuai di
Tanzania pada anak usia 6-11 bulan disebabkan oleh tingkat yang lebih rendah dari
ayah/ pendidikan ibu, terbatasnya akses terhadap media dan status ekonomi yang
buruk.
Untuk mengurangi risiko kesakitan dan kematian pada baduta dengan
kekurangan vitamin A, Pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan, puskesmas dan
posyandu menyelenggarakan kegiatan pemberian vitamin A dalam bentuk
pemberian kapsul vitamin A biru 100.000 IU bagi bayi usia 6 sampai dengan 11
bulan, dan pemberian kapsul vitamin A merah 200.000 IU untuk anak baduta usia
12 sampai dengan 59 bulan (13).
Telah diketahui bahwa kekurangan vitamin A dapat menurunkan fungsi
kekebalan tubuh sehingga dapat meningkatkan terjadinya morbiditas dan mortalitas
dari beberapa penyakit infeksi seperti diare, infeksi saluran pernapasan bawah, dan
campak. Peranan vitamin A adalah membentuk respon imun melalui peningkatan
respon imun sel T dan retinol yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
diferensiasi limfosit B. Suplemen Vitamin A telah digunakan untuk mencegah atau
mengobati kekurangan vitamin A dan menurunkan mortalitas dan morbiditas pada
anak-anak (14).
Hasil penelitian menunjukkan perilaku pemberian suplementasi Vitamin A
tertinggi pada kelompok flipchart sebesar 81,3% kemudian kelompok kontrol
71,0% dan terakhir kelompok spanduk 56,3%. Sedangkan perilaku menimbang anak
secara teratur tertinggi pada kelompok spanduk 81,3% kemudian kelompok
flipchart 71,9% terendah kelompok kontrol 67,7%. Kegiatan pemberian vitamin A
dilaksanakan pada bulan februari dan agustus. Oleh karena penelitian hanya
dilaksanakan 2 bulan maka pemberian suplemen Vitamin A yang terekam oleh
kegiatan penelitian hanya pada bulan agustus saja dan tidak dapat mencatat perilaku
untuk bulan februari tahun 2017. Oleh karena itu salah satu kekurangan penelitian
ini adalah waktu yang singkat yang tidak dapat merekam perilaku yang hanya
diamati 6 bulan kemudian.
Imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan/ meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar
dengan penyakit tersebut tidak akan menderita penyakit tersebut. Imunisasi dasar
adalah pemberian imunisasi awal untuk mencapai kadar kekebalan di atas ambang
perlindungan. Imunisasi lanjutan adalah imunisasi ulangan untuk mempertahankan
tingkat kekebalan di atas ambang perlindungan atau untuk memperpanjang masa
perlindungan(15). Imunisasi hepatitis B-0 adalah imunisasi yang diberikan sesaat
setelah bayi lahir sampai bayi berusia 7 hari yang disuntikkan di paha bayi.
Imunisasi BCG adalah imunisasi yang mulai diberikan usia 1 hari dan disuntikkan
di lengan atas atau paha serta meninggalkan bekas/scar di bawah kulit. Imunisasi
DPT-HB Combo adalah imunisasi yang disuntikkan di paha dan biasanya mulai
diberikan pada saat anak berusia 2 bulan bersama dengan polio sebanyak tiga kali.
62

Imunisasi polio adalah imunisasi cairan merah muda atau putih yang biasanya mulai
diberikan pada usia 2 bulan sebanyak 4x dan diteteskan ke mulut. Imunisasi campak
adalah imunisasi yang biasanya mulai diberikan pada usia 9 bulan dan disuntikkan
di paha serta diberikan satu kali (16).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol perilaku
memberikan imunisasi dasar masih sangat rendah yaitu hanya 38,7%. Sedangkan
pada kelompok flipchart dan spanduk sudah cukup baik yaitu 68,8%. Namun
demikian hal tersebut masih dibawah cakupan yang diharapkan. Hasil analisis
Martianto dkk menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan disparitas
prevalensi stunting antara lain imunisasi yang tidak lengkap(17). Kejadian stunting
pada anak baduta dengan imunisasi dasar yang tidak lengkap (54,8%) lebih besar
dibanding kejadian stunting pada anak dengan imunisasi yang lengkap (38,9%).
Kejadian stunting pada usia 6-23 bulan memiliki hubungan yang signifikan dengan
kelengkapan imunsasi dasar (p<0.05) (18).
Perilaku menimbang anak yang diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa perilaku ini pada kelompok kontrol (67,7%) lebih rendah dibanding
kelompok flipchart (71,9%) dan kelompok spanduk (81,3%). Dan pada akhir post
intervensi perilaku ini yang nampak paling signifikan mengalami peningkatan.
Komunikasi perubahan perilaku bertujuan untuk mengubah pengetahuan,
mengubah sikap dan praktik serta menanamkan perilaku baru yang dilaksanakan
secara terencana dengan menggunakan media. Penelitian di Bangladesh(9)
menyatakan bahwa Intervensi komunikasi perubahan perilaku yang dilakukan
secara konsisten dapat meningkatkan pengetahuan yang baik tentang praktik
pemberian makanan pada bayi dan anak. Selain itu penelitian sama dari Haiti (19)
melaporkan bahwa komunikasi perubahan perilaku meningkatkan pengetahuan ibu
dan kader kesehatan tentang informasi gizi.
Strategi Komunikasi berisi prinsip-prinsip dasar mengutamakan langkah-
Iangkah praktis dalam melaksanakan kegiatanya. Kegiatan ini dapat dilaksanakan
melalui berbagai media sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Kegiatan yang
efektif akan memberi hasil, yaltu penambahan pengetahuan dan perubahan perilaku
pada sasaran. Beberapa hasil penelitian serupa yang mendukung hasil ini yakni
menggunakan media sepeti pelatihan lokakarya, klinik kesehatan, Flipchart dan
poster kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan penggunaan makanan lokal
untuk kesehatan (20). Sejalan dengan hal tersebut, Intervensi penyuluhan dengan
menggunakan Flipchart dan poster dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan
praktik ibu dalam pemberian makan pada anak balita (21). Pendidikan merupakan
salah satu strategi perubahan perilaku. Melalui upaya pendidikan dan penyuluhan
bertujuan agar pengetahuan dapat meningkat. Dengan pengetahuan yang
meningkat, diharapkan ibu dapat memahami pentingnya perilaku kesehatan terkait
dengan program spesifik 1000 HPK(2).
Praktik ibu dalam pemberian MP-ASI dan penimbangan teratur pada
penelitian ini secara keseluruhan menujukkan praktik yang positif pada kelompok
spanduk. Hasil ini terkait dengan tingginya tingkat kunjungan responden ke
posyandu untuk mendapatkan informasi tentang PMBA pada kelompok ini
responden mendapat informasi dari tenaga kesehatan dan kader di posyandu
sehingga dapat membentuk sikap yang baik pada responden. sikap dan perilaku
tokoh masyarakat dan petugas kesehatan serta keluarga merupakan faktor penguat
terjadinya perubahan perilaku seseorang (8).
Selain itu pemberian intervensi dilakukan tanpa dibarengi dengan kesiapan
petugas dan kondisi lingkungan yang mendukung, sehingga menyebabkan informasi
yang disampaikan petugas tidak dapat diterima dan dipahami dengan baik oleh
responden. Hal ini sejalan dengan hasil temuan Snyder yang melaporkan bahwa
63

kegiatan komunikasi gizi dengan memperhatikan tujuan intervensi, isi pesan, media,
dan teknik penyampaian adalah faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan
perubahan perilaku gizi (22). Hasil tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Kalita (2006) bahwa Komunikasi perubahan Perilaku dapat memahami situasi
masyarakat dengan menggunakan proses komunikasi dan media untuk
mempengaruhi orang lain untuk meningkatkan pengetahuan dan mengubah
perilaku dan praktik yang menempatkan mereka pada risiko (23).
Komunikasi Perubahan Perilaku merupakan proses penerapan strategi
komunikasi untuk kesejahteraan masyarakat individu untuk mengadopsi perilaku
positif yang sesuai dengan masalah lokal, norma dan aturan yang ada. Keberhasilan
pelaksanaan komunikasi perubahan perilaku program spesifik 1000 HPK pada
dasarnya membutuhkan penelitian dan perencanaan cermat berdasarkan tingkat
pengetahuan dan sikap dari populasi sasaran. Senada dengan tersebut diatas,
komunikasi perubahan perilaku program spesifik 1000 HPK merupakan bukti dan
proses berbasis penelitian menggunakan komunikasi untuk mempromosikan
perilaku yang mengarah pada peningkatan hasil kesehatan. Perubahan perilaku
seseorang dapat dipengaruhi oleh komunikasi, ditemukan hubungan yang signifikan
antara paparan pendekatan komunikasi perubahan perilaku program spesifik 1000
HPK (iklan TV, Poster, Flipchart dan stiker) dengan skor pengetahuan (p < 0.05)
(24)
, Komunikasi Kesehatan dapat menfasilitasi perubahan perilaku dibidang
kesehatan (1). Laporan hasil penelitian diatas senada dengan laporan dari Fabrizio
(2014) yang menegaskan bahwa komunikasi perubahan perilaku memiliki peran
penting dalam meningkatkan makan dan perawatan praktik, dan pada gilirannya,
meningkatkan pertumbuhan dan mencegah stunting (25).
KESIMPULAN DAN SARAN
Model intervensi komunikasi perubahan perilaku dengan menggunakan
flipchart dan spanduk meningkatkan perilaku kesehatan pada kelompok ibu anak 6-
23 Bulan dalam program spesifik 1000 HPK di Sulawesi Tengah. Berdasarkan hasil
penelitian peneliti menyarankan; pemerintah menetapkan kebijakan untuk
memasukkan program perubahan perilaku dengan pendekatan strategi komunikasi
ke dalam program puskesmas dan bidang Promosi Kesehatan,. Perlunya penelitian
lebih lanjut tentang penerapan strategi komunikasi dalam perubahan perilaku
dengan metode dan substansi yang bervariasi serta intrumen yang lebih sempurna
agar dapat menggali informasi lebih baik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi bahan advokasi bagi pemerintah dan penentu kebijakan program gizi terkait
dengan pencapaian program 1000 HPK di Sulawesi Tengah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Baquero, B., Ayala, G. X., Arredondo, et al. Secretos de la Buena Vida:
processes of dietary change via a tailored nutrition communication intervention
for Latinas. Health Educ Res 2009., 24, 855-66.
2. Thaha, R. Efek edukasi gizi terhadap pengetahuan, sikap serta perubahan
perilaku remaja obesitas di Kota Gorontalo, Bagian Promosi Kesehatan program
studi kesehatan Masyarakat, 2013. Universitas Hasanudin.
3. Cuziat, Maximising the Nutritional Impact of security and Livelihoods
Intervention A Manual for field workers AFC International. 2011.
4. Damstadt, G. L. & Kiran, T. U. Behavior change communication as an
intervention to improve family health outcomes. Journal of family welfare 2010.
56.
5. Suresh, Evidence Based Communication for health promotion Indian lessons of
last decade. Public Health India. 2014.
6. Bappenas, 2012.Kerangka Kebijakan Gerakan Sadar Gizi Dalam Rangka Seribu
Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Jakarta
64

7. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, Pemantauan Status Gizi di


Sulawesi Tengah. 2015
8. Green, L.W., Kreuter, M.W., Deeds, S.G., Partridge, K.B. Health Education
Planning: A Diagnostic Approach .1980. 1st edition. Mountain View,
California: Mayfield.
9. Avula, R., Menon, P., Saha, K. K., Bhuiyan, et al. A Program Impact Pathway
Analysis Identifies Critical Steps in the Implementation and Utilization of a
Behavior Change Communication Intervention Promoting Infant and Child
Feeding Practices in Bangladesh. The Journal of nutrition 2013., 143, 2029-
2037.
10. Rao, S., Swathi, P., Unnikrishnan, B. & Hegde, A. Study of complementary
feeding practices among mothers of children aged six months to two years-A
study from coastal south India. The Australasian medical journal 2011, 4, 252.
11. Victor, R., Baines, S. K., Agho, K. E. & Dibley, M. J. Factors associated with
inappropriate complementary feeding practices among children aged 6–23
months in Tanzania. Maternal & child nutrition 2012.
12. Chapagain, R. H. Factors affecting complementary feeding practices of Nepali
mothers for 6 months to 24 months children. J Nepal Health Res Counc 2013.,
11, 205-7.
13. Permenkes RI Nomor 21 Tahun 2015. Kementerian Kesehatan Jakarta.
14. Peniche MT, Issues and controversies with vitamin A in childhood, e t
Nutrition Institute Workshop Series [Nestle Nutr Inst Workshop Ser] 2012; Vol.
70, pp. 91-102
15. Kementerian Kesehatan, 2005, Kepmenkes RI No 1611/Menkes/SK/XI/2005
tentang pedoman penyelenggaraan imunisasi.
16. Nadiyah, Faktor Risiko Stunting Pada Anak Usia 0-23 Bulan Di Provinsi Bali,
Jawa Barat Dan Nusa Tenggara Timur, Tesis, Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor 2013, Bogor.
17. Martianto, Syarief, Heryatno, Tanziha Yuliana, Analisis Disparitas Prevalensi
Stunting Pada Balita Di Berbagai Wilayah Di Indonesia Serta Implikasinya
Terhadap Kebijakan, Prosiding Seminar Hasil-Hasil PPM IPB. 2013. Bogor.
18. Nasrul, Hafid, F, AR.Thaha, Dkk, Faktor Risiko Stunting Pada Anak Usia 6-23
Bulan Di Kecamatan Bontoramba Kabupaten Jeneponto, Media Kesehatan
Masyarakat Indonesia. Volume 11 No 3 September 2015 Hal 139-146
19. Mbuya, M. N., Menon, P., Habicht, J. P., Pelto, G. H. & Ruel, M. T. Maternal
knowledge after nutrition behavior change communication is conditional on
both health workers' knowledge and knowledge-sharing efficacy in rural Haiti. J
Nutr. 2013., 143, 2022-8.
20. Corsi, A., Eng L, Flores R, Lorens a, & Fitzgeral H, M. A Participatory
Assessment Of Dietary Patterns And Food Behaviour In Ponpei Federated
States Of Micronesia. Asia Pac J. Clin Nutr, 2008, 209.
21. Guldan, G. S., Fan, H.-C., Ma, X., Ni, Z.-Z., Xiang, X. & Tang, M.-Z.
Culturally appropriate nutrition education improves infant feeding and growth in
rural Sichuan, China. The Journal of nutrition 2000, 130, 1204-1211.
22. Snyder, L. B. Health communication campaigns and their impact on behavior.
Journal of Nutrition Education and Behavior, 2007, 39, S32-S40
23. Kalita, A. Maternal Behaviour Change for Child Health and Nutrition. Social
Initiatives Group 2006, ICIC Bank, Mumbai, India.
24. Sarker, B. K., Mridha, M. K., Dasgupta, S. K., Islam, N. & Reichenbach, L. The
effect of Behavior Change Communication (BCC) interventions on maternal
neonatal and child health (MNCH) knowledge in urban slums of Bangladesh
[working paper]. 2012. Manoshi Working Paper.
25. Fabrizio, C. S., Liere, M. & Pelto, G. Identifying determinants of effective
complementary feeding behaviour change interventions in developing countries.
Maternal & child nutrition 2014.
65

PENYULUHAN BUAH DAN SAYUR TERHADAP PERUBAHAN ASUPAN


ZAT GIZI MAKRO REMAJA OBESITAS

Rudolf Boyke Purba dan Irza Nanda Ranti


Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Manado
Email : giziboy@yahoo.co.id

ABSTRACT
Background.The prevalence of central obesity population aged > 15 years by 28 % in
North Sulawesi. Approximately 60 % of the population aged > 15 years consume less
fruit and vegetables and 24 % did not consume vegetables every day and fruit. One
effort to address the problem of obesity is through nutrition extension aimed at
changing people's behavior towards the consumption of healthy and nutritious food.
Objective.To impact the extension of the benefits of fruit and vegetable nutrient
intake obese teen student of senior high school students in Manado. Method. Research
type pretest - posttest non- randomized control group design. Data analysis using t-
test. Results. The frequency of consumption of fruit in the treatment group (4.39
times/week) was higher than the control group (3.30 times/week), and there is a highly
significant difference (p<0.05). Frequency of vegetable consumption was also higher
in the treatment group, and significant (p < 0.05). Energy intake, carbohydrate,
protein, fat was lower in the treatment group compared to the control group. Whereas
fiber intake was higher in the treatment group. Conclution. There is a significant
difference (p<0.05). on the nutrient intake of respondents. extension about the benefits
of fruits and vegetables have a positive impact on the frequency of consumption of
fruits and vegetables and nutrient intake. Weight loss was higher in the treatment
group (p < 0.05).
Keywords : extension, fruit and vegetable, frequency of consumption, nutrient intake,
obese adolescent

PENDAHULUAN
Badan kesehatan dunia mengemukakan bahwa diperkirakan saat ini sebanyak
lebih dari 100 juta penduduk dunia menderita obesitas1. Hasil Riskesdas 2007 di
Provinsi Sulawesi Utara prevalensi obesitas sentral (kegemukan pada bagian perut)
penduduk usia > 15 tahun sebesar 28%2. Penelitian di SMA 9 Manado mendapatkan
prevalensi obesitas (BMI > 27) siswa remaja sebesar 11,9%, sedangkan di SMA 2
Manado diperoleh prevalensi obesitas 28,5%3-4.
Di bidang gizi telah terjadi perubahan pola makan seperti rendahnya konsumsi
buah dan sayur, tingginya konsumsi lemak serta berkurangnya aktivitas olahraga pada
sebagian masyarakat perkotaan. Terdapat 60% penduduk umur > 15 tahun kurang
mengkonsumsi buah dan sayur yang menurut standar WHO yaitu minimal 5 porsi, dan
24% tidak tiap hari mengkonsumsi sayur dan buah3. Perubahan pola makan dan
aktivitas fisik berakibat semakin banyaknya penduduk golongan tertentu mengalami
masalah gizi lebih berupa obesitas.
Obesitas yang terjadi pada masa remaja ini perlu mendapatkan perhatian, sebab
obesitas yang timbul pada remaja dapat berlanjut hingga dewasa dan akan sulit diatasi
secara konvensional (diet dan olahraga). Selain itu obesitas pada remaja tidak hanya
menjadi masalah bagi kesehatan di kemudian hari, namun juga membawa masalah
bagi kehidupan sosial dan emosi yang cukup berarti bagi remaja. Remaja yang
obesitas akan menghadapi diskriminasi dalam banyak hal5.
Buah dan sayur adalah bahan makanan yang penting bagi tubuh manusia
karena mengandung vitamin dan mineral serta antioksidan yang dapat meningkatkan
imunitas pada tubuh, serta banyak mengandung serat. Serat dapat membantu
menurunkan berat badan karena mampu memberikan rasa kenyang yang lebih lama
sehingga dapat mengurangi konsumsi makanan lain6.
66

Melihat pentingnya peranan buah dan sayur bagi kesehatan, maka perlu
ditanamkan dan ditumbuhkan kesadaran akan pentingnya mengkonsumsi buah dan
sayur. Salah satu upaya untuk menanggulangi masalah gizi adalah menyelenggarakan
penyuluhan gizi yang bertujuan mengubah perilaku masyarakat (remaja) menuju
konsumsi pangan yang sehat dan bergizi7-8.
Obesitas (kegemukan) pada remaja tidak dapat dipandang sebelah mata.
Semakin banyaknya remaja yang mengalami obesitas saat ini menjadi indikasi
masalah gizi yang akan terus berkembang. Sebuah langkah penting untuk mengenal
obesitas pada remaja secara lebih dalam, mengingat obesitas sering menimbulkan
risiko kesehatan lainnya yang lebih serius. Fenomena masalah obesitas pada anak
remaja di kota Manado yang cukup tinggi prevalensinya perlu mendapat perhatian,
sehingga peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian dengan memberikan
penyuluhan gizi tentang manfaat buah dan sayur bagi kesehatan sehingga asupan zat
gizinya menjadi seimbang dan dapat menanggulangi masalah obesitas yang terjadi
pada remaja obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
penyuluhan manfaat buah dan sayur terhadap asupan zat gizi remaja obesitas
siswa/siswi SMA di Manado.
BAHAN DAN CARA
Desain Penelitian
Desain penelitian Randomized Pretest-Postest Control Group Design.
Sebelumnya dilakukan penelitian survey dengan melakukan screening untuk
mengetahui remaja obesitas siswa/siswi SMA di Manado. Penetapan obesitas apabila
hasil pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) > 27,0 kg/m2. Selanjutnya membuat
kelompok perlakuan yang diberikan penyuluhan manfaat buah dan sayur yaitu remaja
obesitas dan kelompok kontrol remaja obesitas yang tidak diberikan penyuluhan.
Model rancangan penelitian sebagai berikut :
O1 (X) O2 O3
O4 (- ) O5 O6
Instrumen yang dipergunakan dalam pengukuran pretest (O1, O4) adalah sama dengan
instrumen yang dipergunakan pada postest (O2, O3 dan O5, O6). Pengukuran postest
dilakukan dalam selang waktu 1 bulan selama 3 bulan. Pengukuran dilakukan oleh ahli
madya gizi dan mahasiswa jurusan gizi yang sudah dilatih. Waktu penelitian
dilaksanakan pada bulan Juli – Oktober 2011. Metode penyuluhan yang digunakan
adalah metode ceramah dan tanya jawab. Materi penyuluhan yang diberikan adalah
tentang manfaat buah dan sayur bagi kesehatan dan penurunan berat badan. Materi
disampaikan oleh peneliti selama satu setengah jam pada masing-masing sekolah
untuk kelompok perlakuan. Kelompok kontrol tidak diberikan materi penyuluhan.
Sampel
Sampel adalah anak remaja obesitas siswa/siswi SMA di Manado. SMA yang
terpilih adalah SMA yang termasuk favorit di Manado yaitu SMA 1, SMA 6, SMA 9,
dan SMA Eben Haezer. Kriteria inklusi (kelompok perlakuan dan kontrol) adalah
remaja obesitas (IMT > 27,0 kg/m2) yang berusia 13 – 18 tahun, berdomisili di
Manado, bersedia menjadi responden dan mengikuti penyuluhan manfaat buah dan
sayur sampai selesai penelitian. Kriteria eksklusi adalah sedang menjalankan program
penurunan berat badan. Teknik pengambilan sampel untuk kedua kelompok
(perlakuan dan kontrol) menggunakan teknik non random sampling yaitu purposif
sampling. Jumlah sampel disesuaikan dengan hasil survey pendahuluan (screening
obesitas) dan diperoleh sebanyak 49 orang pada masing-masing kelompok.
Variabel
Variabel penelitian (independent) adalah penyuluhan tentang manfaat sayur
dan buah. Variabel dependent adalah asupan zat gizi, frekuensi konsumsi sayur dan
67

buah, penurunan berat badan. Jenis data yang dikumpulkan adalah data karakteristik
responden (umur, jenis kelamin, pekerjaan orang tua (ayah dan ibu), pendidikan orang
tua (ayah dan ibu), dan data berat badan dan tinggi badan.
68

Sumber Data/Pengukuran
Data yang dikumpulkan diperoleh dari hasil wawancara terhadap responden
dengan bantuan kuesioner, serta pengukuran antropometri. Data frekuensi konsumsi
buah dan sayur, data asupan zat gizi pada pretest dan postest melalui wawancara
langsung kepada responden dengan bantuan formulir food frequensy (FFQ) yang semi
kualitatif. Estimasi bahan makanan dibantu dengan food model. Pengukuran berat
badan menggunakan timbangan injak (ketelitian 1 kg) dan tinggi badan menggunakan
microtoice (ketelitian 1 mm). Enumerator adalah ahli madya gizi dan mahasiswa gizi
yang sudah dilatih terlebih dahulu oleh peneliti.
Cara Analisis Data dan Metode Statistik
Data diolah secara deskriptif dan analitik. Data asupan zat gizi diolah dengan
menggunakan software Nutrisurvey. Menilai obesitas menggunakan Indeks Massa
Tubuh (IMT). Uji statistik diperlukan untuk mengetahui perbedaan konsumsi buah dan
sayur (frekuensi dan jumlah) sebelum dan sesudah mengikuti penyuluhan dianalisis
dengan uji t-test (paired). Sedangkan untuk menganalisis pengaruh (perbedaan)
penyuluhan dengan asupan zat gizi antara kelompok perlakuan dengan kelompok
kontrol menggunakan uji t. Analisis data menggunakan program komputer SPSS.
HASIL
Karakteristik Responden
Responden penelitian adalah siswa/siswi yang obesitas pada kelompok
perlakuan sebanyak 49 orang dan kelompok kontrol sebanyak 49 orang. Matching
(penyesuaian) dilakukan pada IMT, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan orang tua
(ayah dan ibu) dan jenis pekerjaan orang tua (ayah dan ibu). IMT pada kedua
kelompok tidak menunjukkan adanya perbedaan (p>0,05). Status obesitas pada kedua
kelompok tidak berbeda. Responden yang termuda pada kelompok perlakuan berumur
13 tahun sebanyak 2 orang (4,1%), sedangkan pada kelompok kontrol berumur 14
tahun sebanyak 7 orang (14,3%). Kelompok umur yang paling tua adalah berumur 18
tahun, yaitu 2 orang (4,1%) pada kelompok perlakuan dan 1 orang (2,0%) pada
kelompok kontrol. Pada kelompok perlakuan tingkat pendidikan ayah sebagian besar
(55,1%) adalah SMA, sedangkan pada kelompok kontrol sebagian besar (51,0%) juga
SMA. Tingkat pendidikan ibu responden juga hampir sama dengan tingkat pendidikan
ayah responden, yang sebagian besar (57,1%) adalah SMA dan pada kelompok kontrol
sebesar 53,1%. Distribusi karakteristik responden seperti terlihat pada Tabel 1.
Frekuensi Konsumsi Buah dan Sayur
Frekuensi konsumsi buah dan sayur yang dikonsumsi responden disajikan
dalam Tabel 2. Sebelum dilakukan penyuluhan tentang manfaat buah dan sayur pada
kedua kelompok, rerata frekuensi konsumsi buah dan sayur tidak jauh berbeda yaitu
sebanyak 2,3 kali/minggu (0,9 SD) pada kelompok perlakuan dan 2,4 kali/minggu (0,8
SD), pada kelompok kontrol juga demikian.
Asupan Zat Gizi
Asupan energi rata-rata pada kelompok perlakuan setelah diberikan
penyuluhan mengalami penurunan dari yang sebelum diberikan penyuluhan sebesar
2750,3 kkal (288,2 SD) menjadi 2153,7 kkal (464,0 SD). Demikian juga pada
kelompok kontrol mengalami penurunan rerata asupan energi dari 2634,5 (370,2 SD)
menjadi 2563,5 kkal (425,9 SD). Asupan karbohidrat (kelompok perlakuan) juga
mengalami penurunan dari 415,2 g (101,8 SD) menjadi 324,9 g (84,6 SD). Asupan
protein menurun dari 78,7 g (25,4 SD) menjadi 70,2 g (20,5 SD). Asupan lemak juga
menurun dari 95,2 g (20,9 SD) menjadi 72,6 g (46,3 SD). Pada asupan serat
mengalami peningkatan dari 16,5 g (4,1 SD) menjadi 21,2 g (5,9 SD), demikian juga
pada kelompok kontrol mengalami peningkatan dari 15,8 g (4,4 SD) menjadi 17,3 g
(5,2 SD). Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.
69

Tabel 1. Karakteristik Responden


Kelompok Responden
Variabel Perlakuan Kontrol Nilai Uji
(n= 49) (n = 49) dan Nilai p

1. Umur (tahun) 15,24 ± 1,109 15,49 ± t = -1,169


0,960
33 (67,3%) p = 0,245
2. Jenis kelamin 30 (61,2%)
- Laki-laki 16 (32,7%) Χ2 = 0,400
- Perempuan 19 (38,8%)
p = 0,257

3. Tingkat Pendidikan (Ayah) 25 (51,0%)


- ≤ SMA 27 (55,1%) 24 (49,0%) Χ2 = 0,656
- ≥ PT 22 (44,9%) p = 0,418
4. Tingkat Pendidikan (Ibu)
- ≤ SMA 26 (53,1%)
28 (57,1%) Χ2 = 0,165
- ≥ PT 23 (46,9%)
21 (42,9%) p = 0,685

5. Jenis Pekerjaan (Ayah) 13 (26,5%)


8 (16,3%) Χ2 = 7,766
- PNS 18 (36,7%)
22 (44,9%) p = 0,051
- Swasta 11 (22,4%)
- Wiraswasta 4 (8,2%) 7 (14,3%)
- Lain-lain 15 (30,6%)

6. Jenis Pekerjaan (Ibu)


- IRT 24 (49,0%) 21 (42,9%)
- PNS 11 (22,4%) 12 (24,5%) Χ2 = 0,910
- Wiraswasta 6 (12,2%) 9 (18,4%) p = 0,823
- Lain-lain 8 (16,3%) 7 (14,3%)

27,87 ± 0,763 28,03 ± 0,924


t = -1,009
7. IMT (kg/m2) p = 0,212
70

Tabel 2. Frekuensi Konsumsi Buah dan Sayur Sebelum dan Sesudah Penyuluhan
(satu bulan kemudian)

Frekuensi Konsumsi Kelompok Responden Nilai p


(kali/minggu) Perlakuan Kontrol
(n= 49) (n = 49)
1. Sebelum Penyuluhan
- Buah (kali/minggu) 2,3 ± 0,9 2,6 ± 1,1 p = 0,091
- Sayur (kali/minggu) 2,4 ± 0,8 2,4 ± 0,9 p = 0,912

2. Sesudah Penyuluhan 4,4 ± 1,4 3,3 ± 1,3 p = 0,000**


- Buah (kali/minggu) 4,5 ± 1,4 2,9 ± 1,3 p = 0,000**
- Sayur (kali/minggu)

**signifikan (p < 0,05)


Tabel 3. Asupan Zat Gizi Sebelum dan Sesudah Penyuluhan
(satu bulan kemudian)

Asupan Zat Gizi Kelompok Responden


(per hari) Perlakuan Kontrol Nilai p
(n= 49) (n = 49)
1. Sebelum Penyuluhan
- Energi (kkal) 2750,3 ± 288,2 2634,5 ± 370,2 0,087
- Karbohidrat (g) 415,2 ± 101,8 375,2 ± 71,5 0,026
- Protein (g) 78,7 ± 25,4 71,1 ± 23,8 0,127
- Lemak (g) 95,2 ± 20,9 94,4 ± 18,3 0,838
- Serat (g) 16,5 ± 4,1 15,8 ± 4,4 0,424

2. Sesudah Penyuluhan 2153,7 ± 464,0 2563,5 ± 425,9 0,000**


- Energi (kkal) 324,9 ± 84,6 353,9 ± 63,2 0,027*
- Karbohidrat (g) 70,2 ± 20,5 84,5 ± 31,3 0,009**
- Protein (g) 72,6 ± 46,3 88,4 ± 24,1 0,038*
- Lemak (g) 21,2 ± 5,9 17,3 ± 5,2 0,001**
- Serat (g)

*, **signifikan (p <0,05)
Perubahan Berat Badan
Pada kelompok perlakuan awalnya berat badan rata-rata sebesar 87,2 kg (11,8
SD), dan pada kelompok kontrol sebesar 83,7 kg (± 13,4) (Tabel 4). Setelah diberikan
penyuluhan manfaat buah dan sayur terjadi penurunan pada kelompok perlakuan
menjadi sebesar 84,8 kg (± 11,7). Pada kelompok kontrol mengalami peningkatan
berat badan menjadi 84,3 kg.
71

Tabel 4. Perubahan Rerata Berat Badan Responden


Sebelum dan Sesudah Penyuluhan

Berat Badan (kg) Kelompok Responden


dan IMT (kg/m2) Perlakuan (n=49) Kontrol (n=49)

- Sebelum penyuluhan (BB) 87,2 ± 11,8 83,7 ± 13,4


IMT 27,9 ± 0,8 28,0 ± 0,9
- Sesudah penyuluhan (BB) 84,8 ± 11,7 84,3 ± 13,8
IMT 26,3 ± 0,9 28,5 ± 1,1

Uji t- paired (BB) t = 8,370 t = -2,883


Nilai p p = 0,000** p = 0,006**
*, **signifikan (p <0,05)

Tabel 5. Perubahan Rerata Frekuensi Konsumsi Buah dan Sayur


Sebelum dan Sesudah Penyuluhan

Kelompok Responden Rerata Frekuensi Konsumsi (kali/minggu)


Buah Sayur

Perlakuan (n = 49)
- Sebelum penyuluhan 2,3 ± 0,9 2,6 ± 1,0
- Sesudah Penyuluhan 4,3 ± 1,6 4,4 ± 1,5

Uji t- paired t = -9,473 t = -6,834


Nilai p p = 0,000** p = 0,000**

Kontrol (n = 49)
- Sebelum penyuluhan 2,6 ± 1,1 2,4 ± 0,9
- Sesudah Penyuluhan 3,2 ± 1,3 2,9 ± 1,3

Uji t- paired t = -4,496 t = -3,562


Nilai p p = 0,000** p = 0,001**
**signifikan (p < 0,05)
Perubahan Frekuensi Konsumsi Buah dan Sayur
Perubahan rerata frekuensi konsumsi buah dan sayur sebelum diberikan penyuluhan
dan setelah diberikan penyuluhan, pada kelompok perlakuan lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Pada kelompok perlakuan rerata frekuensi konsumsi buah
72

dari 2,3 kali/minggu menjadi 4,3 kali/minggu. Demikian juga pada frekuensi konsumsi
sayur mengalami peningkatan dari 2,6 kali/minggu menjadi 4,4 kali/minggu. Hasil uji
t-paired menunjukkan bahwa rerata frekuensi konsumsi buah dan sayur sebelum
diberikan penyuluhan dan setelah diberikan penyuluhan pada kelompok perlakuan
terdapat perbedaan yang bermakna (p<0,05) (Tabel 5).
BAHASAN
Responden pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol mempunyai rerata
umur yang tidak jauh berbeda yaitu 15,2 tahun (± 1,1) dan 15,5 tahun (± 0,9).
Terdapatnya umur yang sangat muda (13 tahun) menunjukkan bahwa terdapat siswa
yang menjalani pendidikan khusus (kelas percepatan atau akselerasi pada saat masih
duduk di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama).
Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi intelektual yang dimiliki oleh seseorang (anggota keluarga) sebagai
dasar pengetahuan dalam upaya untuk menjaga tingkat kesehatan bagi keluarganya.
Tingkat pendidikan orang tua responden pada kedua kelompok, baik ayah maupun ibu
menunjukkan tingkat pendidikan yang tidak berbeda. Tingkat pendidikan ibu
responden juga hampir sama dengan tingkat pendidikan ayah responden, yang
sebagian besar (57,1%) adalah SMA dan pada kelompok kontrol sebesar 53,1%.
Orang tua responden (ayah dan ibu) yang berpendidikan tinggi (baik sarjana maupun
pasca sarjana) juga menunjukkan hal yang sama yaitu tidak berbeda (44,9% ayah dan
42,9% ibu pada kelompok perlakuan serta 49,0% ayah dan 46,9% ibu pada kelompok
kontrol). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan orang tua responden pada
kedua kelompok sudah cukup baik (diatas pendidikan dasar 9 tahun) bahkan sudah
banyak yang berpendidikan tinggi.
Pekerjaan orang tua merupakan salah satu faktor penentu pencapaian tingkat
pendapatan atau penghasilan dalam memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Jenis
pekerjaan orang tua responden pada kedua kelompok lebih banyak sebagai pekerjaan
dibidang swasta yaitu 22 orang (44,9%) pada kelompok perlakuan dan sebanyak 18
orang (36,7%) pada kelompok kontrol. Jenis pekerjaan ayah responden yang paling
sedikit pada kelompok perlakuan adalah wiraswasta sebanyak 4 orang (8,2%) sama
dengan jenis pekerjaan ibu responden sebanyak 6 orang (12,2%). Sedangkan pada
kelompok kontrol baik pada pekerjaan ayah maupun pekerjaan ibu responden adalah
sama yaitu pekerjaan lain-lain (14,3%) seperti TNI/Polri/Polwan, guru/dosen, pendeta,
dokter, dan pensiunan. Dari seluruh karakteristik responden pada kedua kelompok
tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik (p>
0,05).
Frekuensi konsumsi buah dan sayur yang dikonsumsi responden sebelum
dilakukan penyuluhan tentang manfaat buah dan sayur pada kedua kelompok rerata
frekuensi konsumsi buah dan sayur tidak jauh berbeda yaitu sebanyak 2,3 kali/minggu
(± 0,9) pada kelompok perlakuan dan 2,4 kali/minggu (± 0,8). Pada kelompok kontrol
juga demikian. Hasil uji t menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada
kedua kelompok (p>0,05).
Sesudah diberikan penyuluhan pada kelompok perlakuan, frekuensi konsumsi
buah menunjukkan adanya peningkatan menjadi 4,39 kali/minggu (± 1,455).
Demikian juga pada frekuensi konsumsi sayur meningkat menjadi 4,5 kali/minggu (±
1,4). Sedangkan pada kelompok kontrol juga mengalami peningkatan walaupun tidak
diberikan penyuluhan tapi masih lebih rendah peningkatannya jika dibandingkan
dengan kelompok perlakuan. Hasil uji t menunjukkan adanya perbedaan yang sangat
bermakna (p<0,05) pada kedua kelompok. Perubahan pola makan dapat dilakukan
melalui penyuluhan gizi di sekolah.
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian remaja obesitas di kota
Palembang yang melaporkan bahwa frekuensi makan sayur siswa SLTP remaja
73

obesitas masih lebih rendah yaitu 3,3 kali/minggu. Sama halnya dengan hasil
penelitian di Kabupaten Barru yang melaporkan bahwa pola makan sayur masih
sangat rendah yaitu hanya 1 – 2 kali/minggu. Hasil penelitian ini juga masih lebih
rendah jika dibandingkan dengan anjuran Pusat Promosi Depkes RI (2005) yang
menyatakan sebaiknya frekuensi konsumsi sayur sebanyak 5-6 kali/minggu9.
Perubahan rerata frekuensi konsumsi buah dan sayur sebelum diberikan
penyuluhan dan setelah diberikan penyuluhan, pada kelompok perlakuan lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada kelompok perlakuan rerata frekuensi
konsumsi buah dari 2,285 kali/minggu menjadi 4,306 kali/minggu. Demikian juga
pada frekuensi konsumsi sayur mengalami peningkatan dari 2,632 kali/minggu
menjadi 4,367 kali/minggu. Hasil uji t-paired menunjukkan bahwa rerata frekuensi
konsumsi buah dan sayur sebelum diberikan penyuluhan dan setelah diberikan
penyuluhan pada kelompok perlakuan terdapat perbedaan yang bermakna (p<0,05)
(Tabel 5). Pada kelompok kontrol juga mengalami peningkatan frekuensi konsumsi
buah dan sayur sebelum dan setelah diberikan penyuluhan. Hasil uji t-paired juga
menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p<0,05) (Tabel 5). Hasil penelitian
ini menggambarkan bahwa pemberian penyuluhan manfaat konsumsi buah dan sayur
memberikan manfaat yang positif terhadap peningkatan frekuensi konsumsi buah dan
sayur pada responden. Hasil penelitian ini juga tidak berbeda dengan penelitian di
Palembang, dan lebih mendukung hasil penelitian di Kabupaten Barru dengan adanya
peningkatan frekuensi konsumsi buah dan sayur dari 20% menjadi 85% setelah
diberikan penyuluhan tentang pentingnya makan buah dan sayur.
Asupan zat gizi (energi, protein, lemak dan serat) sebelum diberikan
penyuluhan manfaat buah dan sayur pada kedua kelompok menunjukkan tidak ada
perbedaan yang bermakna (p>0,05), kecuali pada asupan karbohidrat (Tabel 3).
Asupan zat gizi energi rata-rata pada kelompok perlakuan setelah diberikan
penyuluhan mengalami penurunan dari yang sebelum diberikan penyuluhan sebesar
2750,3 kkal (± 288,2) menjadi 2153,7 kkal (± 464,0). Demikian juga pada kelompok
kontrol mengalami penurunan rerata asupan energi dari sebelumnya 2634,5 (± 370,2)
menjadi 2563,5 kkal (± 425,9). Hasil uji t menunjukkan bahwa rerata asupan energi
pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol terdapat perbedaan yang bermakna
(p<0,05). Hasil ini juga menggambarkan bahwa penyuluhan manfaat buah dan sayur
dapat menurunkan asupan energi dari responden.
Penurunan asupan energi dapat menurunkan berat badan apabila terjadi
ketidakseimbangan antara energi yang masuk dan yang dikeluarkan. Apabila energi
yang masuk kedalam tubuh melalui makanan lebih rendah bila dibandingkan dengan
energi yang dikeluarkan, maka energi cadangan dalam tubuh akan dipergunakan
sebagai energi. Jika keadaan ini berlangsung dalam waktu yang relatif lama akan dapat
menghasilkan berat badan yang ideal atau normal10.
Asupan zat gizi makro (karbohidrat, protein, lemak dan serat) rata-rata pada
kelompok perlakuan setelah diberikan penyuluhan mengalami penurunan dari sebelum
diberikan penyuluhan. Jika dibandingkan dengan kedua kelompok, asupan energi,
karbohidrat, protein, dan lemak, lebih tinggi pada kelompok kontrol daripada
kelompok perlakuan. Asupan karbohidrat sebesar 324,9 g per hari (± 84,6) pada
kelompok perlakuan, sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 353,9 g per hari (±
63,2). Hasil uji t menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna antara asupan
karbohidrat responden kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol (p<0,05).
Asupan protein pada kelompok perlakuan setelah diberikan penyuluhan
mengalami penurunan, sedangkan pada kelompok kontrol megalami kenaikan. Hasil
uji statistik (uji t) menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p<0,05). Hal ini
menggambarkan bahwa ada efek penyuluhan terhadap asupan zat gizi protein.
Pemberian konseling gizi memberikan pengaruh yang bermakna terhadap asupan
protein.
Asupan lemak pada kelompok perlakuan setelah diberikan penyuluhan
mengalami penurunan, sama dengan kelompok kontrol. Hasil uji statistik (uji t)
74

menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p<0,05). Hal ini menggambarkan


bahwa ada perubahan terhadap asupan zat gizi lemak responden yang mengalami
penurunan. Jika dibandingkan dengan anjuran pada Pedoman Umum Gizi Seimbang
(PUGS) yang menyatakan bahwa konsumsi lemak dalam makanan sehari-hari setingi-
tingginya 25% dari total energi, maka pada kedua kelompok masih lebih tinggi sedikit
asupan lemaknya yaitu 30,34% pada kelompok perlakuan dan 31,03% pada kelompok
kontrol.
Asupan serat pada kelompok perlakuan mengalami kenaikan dari semula 16,5
g per hari (± 4,1) menjadi 21,2 g per hari (± 5,9). Demikian juga pada kelompok
kontrol mengalami kenaikan asupan serat. Konsumsi buah dan sayur yang banyak
mengandung serat dapat memperlambat waktu pencernaan, dan memberikan rasa
kenyang yang lama7. Konsumsi serat sangat penting bagi orang yang mempunyai
kelebihan berat badan untuk mengurangi risiko penyakit degeneratif (penyakit jantung
koroner, diabetes, kanker kolon).
Hasil penelitian di Jakarta, dilaporkan bahwa asupan serat pada remaja yang
lebih dari 20 g per hari ditemukan sebesar 49,9%, dan yang kurang dari 20 g per hari
sebesar 50,6%11. Walaupun konsumsi serat per hari pada kedua kelompok masih
kurang dari yang dianjurkan sebanyak 20-30 g per hari10, namun hasil uji statistik (uji
t) menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p<0,05) asupan serat pada
kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Hal ini menggambarkan adanya
manfaat pemberian penyuluhan buah dan sayur terhadap asupan serat pada responden.
Berat badan responden pada awal penelitian pada kedua kelompok tidak
berbeda secara statistik (p>0,05). Pada kelompok perlakuan awalnya berat badan rata-
rata sebesar 87,2 kg (± 11,8), dan pada kelompok kontrol sebesar 83,7 kg (± 13,4)
(Tabel 4). Setelah diberikan penyuluhan manfaat buah dan sayur terjadi penurunan
pada kelompok perlakuan menjadi sebesar 84,8 kg (± 11,7). Secara statistik (uji t-
paired) terdapat perbedaan yang bermakna berat badan responden pada awal penelitian
(sebelum penyuluhan) dengan sesudah diberikan penyuluhan (p<0,05). Sedangkan
pada kelompok kontrol yang terjadi adalah kenaikan berat badan, meskipun secara
statistik (uji t-paired) juga menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p<0,05).
Hasil penelitian di Palembang dilaporkan bahwa konseling gizi pada anak
remaja SLTP dapat menurunkan berat badan12. Meskipun konseling dengan
penyuluhan ada perbedaan teknis dalam penyampaian, namun hasil penelitian ini
dapat menunjukkan bahwa penyuluhan tentang manfaat buah dan sayur pada anak
remaja obesitas juga dapat menurunkan berat badan.
KESIMPULAN
Pemberian penyuluhan tentang manfaat buah pada remaja siswa/i obesitas
SMA dapat meningkatkan frekuensi konsumsi buah menjadi 4,4 kali/minggu dari
semula 2,3 kali/minggu. Demikian juga dengan penyuluhan manfaat sayur dapat
meningkatkan frekwensi konsumsi sayur dari semula 2,4 kali/minggu menjadi 4,5
kali/minggu. Asupan energi mengalami penurunan dari 2750 kkal menjadi 2153 kkal.
Demikian juga dengan asupan karbohidrat dari semula 415 g menjadi 324 g. Asupan
protein menurun dari 78,7 g menjadi 70,2 g. Asupan lemak menurun menjadi 72,6 g
dari 95,2 g. Asupan serat mengalami peningkatan dari 16,5 g menjadi 21,2 g. Asupan
zat gizi antara kelompok siswa obesitas yang diberikan penyuluhan manfaat buah dan
sayur dengan kelompok yang tidak diberikan penyuluhan (kontrol) terdapat perbedaan
yang bermakna.
SARAN
Perlu dilakukan penyuluhan yang berkesinambungan tentang manfaat buah dan
sayur pada siswa siswi obesitas untuk membentuk pola makan yang baik. Kepada
pihak institusi sekolah perlu memberikan motivasi kepada siswa siswi obesitas agar
dapat mengontrol berat badan secara teratur. Perlu penelitian lebih lanjut dengan
75

mempelajari jenis buah dan sayur, jumlah asupan buah dan sayur serta mempelajari
perubahan status gizi dari obesitas sampai menjadi normal.
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Kepala Sekolah SMA 1, SMA 6,
SMA 9 dan SMA Eben Haezer Manado yang memberikan izin penelitian pada siswa
yang obesitas, serta ucapan terima kasih kepada seluruh responden yang telah bersedia
menjadi subjek penelitian. Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada enumerator
dan secara khusus pada Direktur Poltekkes Kemenkes Manado yang membiayai dana
penelitian ini melalui DIPA.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hadi H, Beban ganda masalah gizi dan implikasinya terhadap kebijakan
pembangunan kesehatan nasional. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar.
Yogyakarta: FK UGM. 2005.
2. Indonesia, Departemen Kesehatan, Laporan hasil riset kesehatan dasar propinsi
Sulawesi Utara Tahun 2007. Jakarta: Badan Litbangkes Depkes RI, 2008.
3. Avrianda W. Hubungan asupan energi dengan kejadian obesitas pada siswa SMA
Negeri 9 Manado. Manado: KTIS. UNSRAT, Fak. Kedokteran, 2008.
4. Serang A. Hubungan asupan energi dengan kejadian obesitas pada anak remaja
di SMA 2 Manado. Manado: KTI, Jurusan Gizi Poltekkes, 2010.
5. Hidayah, Lestari D, Dewi E, Murtikarini, Suci, Salimo, et al. Kematangan sosial
pada anak dengan obestas di sekolah dasar Bromantakan Surakarta. Jakarta:
Majalah Cermin Dunia Kedokteran. 2007; 34(62): 159
6. Wirakusumah ES. Buah dan sayur untuk terapi. Depok: Penebar Swadaya, 2005.
7. Sayoga B, Kampanye cinta sayur bagi anak-anak dan remaja di Yogyakarta.
Artikel Rencana Kegiatan Program Komunikasi. Yogyakarta: 2004.
8. Hardiansyah, Tambunan T, Angka kecukupan energi, protein, lemak dan serat
makanan. Prosiding Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII, 17 – 19 Mei
2004. Jakarta: LIPI. 2004.
9. Indonesia, Departemen Kesehatan. Artikel 5 kali sehari dengan warna warni.
Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan, 2005.
10. Almatsier S, Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
11. Suryodibroto, W, Asupan serat makanan remaja di Jakarta. Jurnal Kedokteran
Indonesia, 2004; 54 (10): 397-401
12. Podojoyo, Susyani dan Nuryanto, Konseling gizi terhadap penurunan berat badan
remaja overweight dan obes di Kota Palembang, Jurnal Pembangunan Manusia.
2008; 25 (2): 75-81
75

PENGARUH MODIFIKASI MAKANAN LOKAL TERHADAP KADAR


GLUKOSA DARAH, HbA1c, DAN PROFIL LIPID PADA PENDERITA
DIABETES MELITUS TIPE 2

Muksin Pasambuna1*, Dadang Sukandar2, Yayuk F. Baliwati2, Drajat Martianto2


1
Politeknik Kesehatan Kemenkes Manado, Jl. R.W. Mongisidi Malalayang II
Manado, Sulawesi Utara 95115
2
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA),
Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680

*Korespondensi: Telp : 085240199303, email: mpasambuna@yahoo.com

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh modifikasi makanan lokal
terhadap kadar glukosa darah, kadar HbA1c, kadar total kolesterol dan kadar
trigliserida penderita DM Tipe 2 di Kota Kotamobagu Provinsi Sulawesi Utara.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan replikasi (r) dari masing-masing percobaan sebanyak 13 orang. Penelitian ini
menggunakan model regresi linier dengan uji ANCOVA (analysis of covariance)
untuk mengetahui pengaruh modifikasi makanan lokal, kemudian dilakukan uji beda
Duncan (Duncan test) untuk mengetahui perbedaan dari masing-masing unit
percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dengan modifikasi
makanan lokal terjadi penurunan kadar glukosa darah sebesar 93,3 mg/dL, kadar
HbA1c 17,0 mol/mmol dan 1,4%, kadar total kolesterol 2,1 mg/dL dan kadar
trigliserida 30,0 mg/dL. Uji Ancova menunjukkan bahwa modifikasi makanan lokal
berpengaruh nyata terhadap kadar
glukosa darah penderita DM Tipe 2 (p<0.05). Uji beda Duncan dengan modifikasi
makanan lokal terhadap kadar glukosa darah diperoleh perbedaan nyata (262.15
mg/dLa;169.38mg/dLb) Kesimpulan, modifikasi makanan lokal berpengaruh nyata
dan berbeda nyata terhadap kadar glukosa darah penderita DM Tipe 2, namun tidak
berpengaruh nyata terhadap kadar HbA1c, kadar total kolesterol dan kadar trigliserida
penderita DM Tipe 2.
Kata Kunci : indeks glikemik rendah, kadar glukosa darah, karbohidrat, modifikasi
makanan lokal, penderita diabetes melitus tipe 2.

PENDAHULUAN
Menurut Miller et al. (2003) pendekatan indeks glikemik (IG) tidak hanya
bermanfaat pada penanganan penderita diabetes tetapi dapat mencegah diabetes dan
komplikasi yang mungkin timbul akibat diabetes. Konsep IG mengatasi permasalahan
keragaman individu dalam respon glikemik dari makanan dan lebih menggambarkan
laju pencernaan dan penyerapan makanan kaya karbohidrat. Konsep IG sudah banyak
digunakan dalam penelitian epidemiologis dan klinik di negara-negara maju terutama
terkait dengan penyakit degeneratif. Sheard et al. (2004) merekomendasikan untuk
tidak hanya menggunakan pendekatan IG pada penanganan diet DM, tetapi juga
strategi lain, seperti kuantitas karbohidrat total, modifikasi asupan lemak, dan
pengaturan porsi diet.
Hasil beberapa penelitian prospektif pangan IG rendah menunjukkan bahwa
konsumsi makanan IG rendah berhubungan dengan resiko DM Tipe 2 yang rendah.
Diet IG rendah memperbaiki kontrol glukosa darah, konsentrasi glycated hemoglobin
(HbA1c) rendah dan memperbaiki toleransi glukosa (Isharwal et al. 2009). Menurut
Frost et al. (1999) pengaturan diet IG selama 4 minggu dapat menurunkan luas area
bawah kurva (area under curve) respons glukosa oral dan nyata menurunkan respon
insulin. Diet makanan IG rendah memperbaiki responsif adiposit (in vitro) dan
sensitifitas insulin (in vivo), serta menurunkan total kolesterol, LDL-C, dan tingkat
76

plasma triacylglycerol (TAG). Jenkins et al. (2002) menyatakan bahwa makanan IG


rendah dapat menurunkan risiko penyakit jantung, diabetes, obesitas, karena dapat
menurunkan kadar trigliserida dan meningkatkan high dencity lipoprotein (HDL).
Menurut Siagian (2006) meningkatkan frekuensi makan pada pagi hari dengan
kuantitas kalori total yang sama dengan kuantitas kalori pangan dengan sekali
konsumsi dapat memperbaiki respon glisemik dan/atau menurunkan kadar glukosa
darah pada siang atau sore hari. Mengonsumsi pangan yang memiliki IG rendah pada
pagi hari dapat menurunkan nafsu makan pada siang hari. Menurut Buyken et al.
(2010) strategi diet paling dasar untuk pencegahan DM Tipe 2 meliputi pendekatan
makanan sebagai alternatif mengurangi glycaemia postprandial dan insulinaemia
tanpa efek yang merugikan faktor risiko yang lainnya. Hasil penelitian Jarvi et al.
(1999) menunjukkan bahwa penggantian pangan IG tinggi dengan pangan IG rendah
akan memperbaiki pengendalian glikemik dan pada kelompok yang memperoleh
pengobatan dengan insulin akan menurunkan episode hipoglisemik. Pangan IG rendah
menurunkan respon glisemik postprandial. Tujuan umum penelitian ini adalah
menganalisis pengaruh modifikasi makanan lokal terhadap kadar glukosa darah, kadar
HbA1c, kadar total kolesterol dan kadar trigliserida penderita DM Tipe 2 di Kota
Kotamobagu Provinsi Sulawesi Utara.

BAHAN DAN CARA


Desain, tempat dan waktu
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan disain randomized
controlled trial (RCT). Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Gogagoman Kota
Kotamobagu Provinsi Sulawesi Utara. Waktu penelitian ini dilaksanakan selama 2
(bulan) pada bulan Juli-Agustus 2013.

Jenis dan cara pengumpulan data


Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer berupa data yang diperoleh
langsung dari penderita DM Tipe 2 dengan wawancara, pengamatan langsung dan
pengukuran, sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen yang ada pada instansi
yang terkait dengan penelitian. Selama penelitian ini penderita DM Tipe 2 yang
dijadikan sampel dilakukan pendampingan dari dua orang ahli gizi selama intervensi.
Unit percobaan penelitian ini adalah penderita DM Tipe 2 yang dibagi dalam dua unit
percobaan, yaitu penderita DM Tipe 2 sebagai kontrol (A) tanpa modifikasi makanan
lokal dan sebagai perlakuan (B) dengan modifikasi makanan lokal. Unit percobaan
yang digunakan adalah penderita DM Tipe 2 dengan kriteria inklusi bersedia
mengikuti penelitian dengan menandatangani informed concent, tidak sedang di rawat
di rumah sakit, tidak sedang sakit berat/koma, tidak mengalami riwayat perdarahan
dan menggunakan obat pengencer darah secara rutin, pria dan wanita yang berumur
45-65 tahun, kecuali wanita hamil (alasan etika), serta penderita DM Tipe 2 dengn
Non-insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM).
Data dikumpulkan dengan cara, yaitu: pertama, menetapkan IG salah satu
makanan lokal “yondog ginolagag” yang digunakan sebagai salah satu makanan
intervensi; kedua, melakukan modifikasi makanan lokal dengan merancang menu
sehari sesuai kriteria(IG<55, total energi 1500 kkal standar III diet DM dan total
karbohidrat dan penggunaan daftar bahan penukar); ketiga, pemberian makanan lokal
berdasarkan menu yang dibuat selama sebulan; keempat, pengukuran kadar glukosa
darah, kadar HbA1c, kadar total kolesterol, dan kadar trigliserida penderita DM tipe 2
melalui pengambilan darah vena penderita DM Tipe 2 baik sebagai kontrol dan
perlakuan di awal dan akhir percobaan penelitian yang dilakukan oleh petugas
kesehatan dari Laboratorium Prodia Cabang Kotamobagu.
Untuk menguji hipotesis penelitian digunakan uji ANCOVA (analysis of
covariance) dengan model (Ostle dan Mensing 1963). Hasil analisis model linier
diperoleh pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji beda (Duncan test) dengan
pendekatan selang kepercayaan 95%.
77

Hipotesis :

= 0– δ= 0– 80 mg/dL
Pengolahan dan analisis data
Proses pengolahan data meliputi editing, coding, entry, dan analisis data. Data
yang telah dikumpulkan kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara
deskriptif dan statistika. Analisis secara statistik menggunakan program Microsoft
excel dan the statistical analysis system (SAS) versi 9.1.3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik penderita DM Tipe 2


Umur penderita DM Tipe 2 saat dilakukan penelitian ini berkisar 45– 65 tahun.
Dari wawancara yang dilakukan pada umumnya keluhan penderita DM Tipe 2 saat
dilaksanakan penelitian ini, antara lain: kebiasaan sering buang air kecil, merasakan
lapar dan haus pada malam hari, berat badan yang obesitas, merasa takut
memeriksakan kadar glukosa darah, kadar HbA1c, kadar total kolesterol dan kadar
trigliserida. Selain itu, masih terdapat beberapa penderita DM Tipe 2 masih merasa
takut dengan jarum suntik saat dilakukan pengambilan sampel darah oleh petugas
kesehatan.
Riskesdas (2013) melaporkan bahwa proporsi DM di Indonesia pada
perempuan cenderung lebih tinggi, tetapi hampir sama antara proporsi di perkotaan
(6.8%) dan perdesaan (7.0%). Secara keseluruhan, lebih dari sepertiga penduduk
(36,6%) mengalami keadaan GDP terganggu dan laki-laki lebih banyak mengalami
keadaan tersebut dibandingkan perempuan dengan perbedaan sekitar 6%.

Kadar glukosa darah, HbA1c dan profil lipid penderita DM Tipe 2


Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit yang sangat kompleks, seringkali
sudah disertai dengan komplikasi mikrovaskuler maupun makrovaskular. Dalam
pengelolaan DM, kontrol gula darah secara intensif merupakan langkah fundamental.
Tabel 1 menunjukkan kadar glukosa darah puasa, HbA1c dan profil lipid penderita
DM Tipe 2 selama intervensi
Tanpa modifikasi Dengan modifikasi
Peubah respon makanan lokal makanan lokal Kadar normal
Awal Akhir Awal Akhir
Kadar glukosa darah puasa 264.5 262.1 218.9 169.4 < 126 mg/dL
(mg/dL) 100.9 96.4 84.7 79.4 < 53 mmol/mol
Kadar HbA1c-IFCC (mmol/mol) 11.0 10.8 10.0 9.4 7%
Kadar HbA1c-NGSP (%) 217.3 207.3 213.6 205.2 < 200 mg/dL
Kadar total kolesterol (mg/dL) 180.4 170.9 160.0 140.9 < 150 mg/dL
Kadar trigliserida (mg/dL)

Setelah sebulan intervensi diberikan pada penderita DM Tipe 2 kemudian


dilakukan pengukuran masing-masing peubah respon yang menunjukkan kadar
glukosa darah mengalami penurunan yang sangat besar, namun masih diatas kadar
normalnya. Kadar HbA1c hanya sedikit mengalami penurunan meskipun masih diatas
kadar normalnya. Kadar total kolesterol dan kadar trigliserida hanya sedikit
mengalami penurunan dengan kadar nornalnya.
American Dietetic Association (ADA) merekomendasikan nilai HbA1c < 7%
dalam pencapaian kontrol glikemik yang baik dan penurunan kadar HbA1c akan lebih
besar pengaruhnya terhadap resiko terjadinya komplikasi. Kadar HbA1c yang terukur
sekarang atau sewaktu mencerminkan KGD pada waktu 3 bulan yang lampau (sesuai
dengan umur sel darah merah manusia kira-kira 100-120 hari), sehingga hal ini dapat
memberikan informasi seberapa tinggi KGD pada waktu 3 bulan yang lalu.
78

Kolesterol disintesis di banyak jaringan dari asetil-KoA dan merupakan


prekursor utama semua steroid lain di dalam tubuh termasuk kortikosteroid, hormon
seks, asam empedu, dan vitamin D. Peran utama kolesterol dalam proses patologis
adalah sebagai faktor pembentukan aterosklerosis arteri-arteri vital, yang dapat
menimbulkan penyakit pembuluh darah perifer, koroner, dan serebrovaskuler.
Tabel 2 Nilai maksimum, minimum, rerata, SD, nilai kemaknaan kadar glukosa
darah, HbA1c dan profil lipid penderita DM Tipe 2
Variabel Maksimum Minimum Rerata SD Nilai p
Kadar glukosa darah puasa 269 176 169.4 52.4 0.0058**
(mg/dL)
HbA1c-IFCC (mol/mmol) 123 53 79.4 20.9 0.2627
HbA1c-NGSP (%) 13.4 6.8 9.4 1.6 0.1718
Total kolesterol (mg/dL) 330 134 205.2 50.0 0.9343
Trigliserida(mg/dL) 330 135 140.9 63.3 0.2927
p- = tingkat kemaknaan 0.05

Kadar glukosa darah puasa selama sebulan intervensi menunjukkan hanya


kadar glukosa darah penderita DM Tipe 2 berpengaruh sangat nyata, meskipun kadar
maksimum dan minimum yang masih diatas kadar normalnya. Rerata kadar HbA1c
maksimum masih tinggi dengan kadar normalnya (53 mol/mlmol;7%). Kadar profil
lipid (total kolesterol) masih tinggi dibandingkan dengan rerata kadar trigliserida lebih
rendah dari kadar normalnya.
Menurut Siagian (2006) pengaturan makan pada waktu (pagi, siang dan
malam) akan memberikan respon yang baik untuk kadar glukosa darah, kadar total
kolesterol dan kadar trigliserida penderita DM Tipe 2. Menurut Hidayati dan
Lindarto (2006) asupan karbohidrat yang tinggi (di atas 70% AKG energi), cenderung
5.43 kali lebih besar menyebabkan peningkatan kadar kolesterol total dibanding yang
asupan karbohidratnya normal, sedang asupan lemak tinggi mempunyai
kecenderungan 6.48 kali lebih besar menyebabkan peningkatan kadartotal kolesterol
dibanding yang asupan lemaknya normal.
Dalam penelitian ini dilakukan uji Ancova menganalisis pengaruh modifikasi
makanan lokal terhadap kadar glukosa darah, kadar HbA1c, kadar total kolesterol dan
kadar trigliserida pada penderita DM Tipe 2. Hal ini dilakukan untuk menguji
hipotesis penelitian dimana rataan pengukuran dengan modifikasi makanan lokal
adanya kecenderungan menurunkan kadar pada peubah respon yang diukur.
Diharapkan dengan modifikasi makanan lokal dapat digunakan sebagai salah satu
upaya dalam pencegahan dan pengendalian kadar glukosa darah, kadar HbA1c, kadar
total kolesterol dan kadar trigliserida penderita DM Tipe 2.
Untuk menguji hipotesis dari pengaruh modifikasi makanan lokal terhadap KGD,
kadar HbA1c, kadar total kolesterol, dan kadar trigliserida penderita DM Tipe 2
digunakan uji ANCOVA (analysis of covariance) dengan model regresi linier
(Walpole 1995).

Kadar glukosa darah


Kadar glukosa darah penderita DM Tipe 2 yang diukur meliputi kadar glukosa
darah puasa, yaitu dengan cara serum diambil ketika tidak ada asupan energi selama
paling sedikit 8 jam (puasa), sedangkan kadar glukosa darah 2 jam PP adalah serum
diambil 2 jam setelah makan. Hasil pengukuran kadar glukosa darah puasa dan kadar
glukosa darah 2 jam PP diperoleh setelah pengambilan darah sampel dan dianalisis
oleh petugas laboratorium Prodia Cabang Kotamobagu. Menurut pedoman American
diabetes association/ADA (2011) dan konsensus Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia/PERKENI (2011) pencegahan dan pengelolaan DM Tipe 2, kriteria
diagnostik DM dapat ditegakkan, jika 1) glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL dan
terdapat keluhan klasik DM penyerta, seperti banyak kencing (poliuria), banyak
minum (polidipsia), banyak makan (polifagia), dan penurunan berat badan yang tidak
79

dapat dijelaskan penyebabnya; 2) glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL dengan gejala
klasik penyerta; 3) glukosa 2 jam pasca pembebanan ≥200 mg/dL.
Dari hasil analisis model linier penderita DM Tipe 2 dengan modifikasi makanan
lokal diperoleh pengaruh sangat nyata (p<0.05), kemudian dilanjutkan dengan
melakukan uji beda Duncan diperoleh perbedaan pada masing-masing perlakukan
(262.15 mg/dLa) dan (169.38 mg/dLb).
Kadar glukosa darah pada kondisi ini normal oleh berbagai faktor yang turut
mempengaruhi sehingga diharapkan asupan zat gizi yang ada tetap dalam jumlah yang
diperlukan tubuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi meningkatnya kadar glukosa
darah adalah kandungan serat dalam makanan, proses pencernaan, cara
pemasakannya, ada atau tidaknya zat anti gizi, perbedaan interprandial,waktu makan
dengan lambat atau cepat, pengaruh intoleransi glukosa dan pekat tidaknya makanan
(Waspadji dkk. 2003).
Hasil penelitian Hosseinpour-Niazi et al. (2011) menunjukkan bahwa diet dengan
beban glikemik tinggi berhubungan positif dengan kadar glukosa darah (puasa dan 2
jam PP) setelah mengendalikan faktor penganggu. Menurut Oba et al.(2010) diet
dengan beban glikemik tinggi meningkatkan risiko DM Tipe 2 di kalangan wanita
Jepang termasuk asupan lemak total yang dimodifikasi dengan diet IG berhubungan
dengan risiko DM Tipe 2 antara laki-laki dan wanita.

Kadar HbA1c
Uji ANCOVA, menunjukkan bahwa perlakuan modifikasi makanan lokal tidak
berpengaruh nyata terhadap kadar HbA1c penderita DM Tipe 2. Pengaruh perlakuan
terhadap kadar HbA1c hanya dapat dilihat jika percobaan dilakukan dalam waktu 6-8
minggu, diduga hal ini yang menyebabkan hasil tidak menunjukkan pengaruh nyata
terhadap kadar HbA1c penderita DM Tipe 2. Namun ada kecenderungan penurunan
rataan kadar HbA1c pada kelompok tanpa modifikasi makanan lokal/kontrol (96.385
mmol/mola) dan dengan modifikasi makanan lokal/perlakuan (79.385 mmol/mola).
Menurut Shazwani et al. (2010), sebagian besar pasien memiliki kontrol glikemik
yang buruk berdasarkan HbA1c (70.7% ), Fasting blood sugar (FBS) (71.9% ). Diet
Mediterranean dengan karbohidrat rendah dapat meningkatkan kadar HDL-C dan
menurunkan kadar LDL, TG dan HbA1c dengan membandingkan dengan diet
American Dietetic Association (ADA) dan standar diet Mediterranean pada penderita
DM Tipe 2 dengan berat badan lebih (Elhayani 2010).
Menurut Kusniyah (2010) menunjukkan bahwa terdapat 90% hubungan yang
cukup berarti antara tingkat self care dengan tingkat HbA1c.Nilai koefisien korelasi
rank spearman rs = 0.601 (p < 0.001) dan berpola positif artinya semakin tinggi
tingkat self care maka semakin baik tingkat HbA1c. Menurut Loei et al. (2013)
menyatakan ada korelasi positif antara kadar HbA1c dengan kadar kolesterol total,
LDL, HDL dan trigliserida tetapi secara statistik tidak nyata. Penderita DM Tipe 2
harus dilakukan kontrol glikemiknya dengan baik agar komplikasi yang terjadi dapat
dicegah. Menurut Mascarenhas et al. (2014) menunjukkan bahwa konsentrasi saliva
glukosa yang meningkat pada penderita DM Tipe 2 berhubungan nyata, konsentrasi
saliva glukosa berhubungan dengan kadar glikemik/HbA1c, kekuatan korelasi
meningkat lebih tinggi dari kadar glikemia/HbA1c .

Kadar total kolesterol


Uji ANCOVA menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap
kadar total kolesterol penderita DM Tipe 2. Analisis model linier dapat dilihat
hubungan matematis antara modifikasi makanan lokal dengan kadar total kolesterol
akhir unit percobaan, kontribusi modifikasi makanan lokal terhadap kadar total
kolesterol akhir unit percobaan serta melalui analisis ini juga dapat dibandingkan
pengaruh dari setiap taraf modifikasi makanan lokal terhadap kadar total kolesterol di
akhir perlakuan. Penelitian percobaan ini dapat dijelaskan bahwa modifikasi makanan
lokal yang diberikan komposisi zat gizi lemak dari sumber hewani tidak mencukupi
kebutuhan penderita DM Tipe 2.
80

Kadar total kolesterol pada kondisi ini tidak normal oleh berbagai faktor yang turut
mempengaruhi sehingga diharapkan asupan zat gizi yang ada tetap dalam jumlah yang
diperlukan tubuh, hal ini bertujuan agar tubuh tidak mengalami kekurangan zat gizi.
Dengan modifikasi makanan lokal diduga tidak memberikan kontribusi zat gizi dan
antioksidan yang dapat membantu menurunkan kadar total kolesterol penderita DM
Tipe 2.

Kadar trigliserida
Uji ANCOVA menunjukkan bahwa kadar trigliserida tidak berpengaruh nyata
terhadap modifikasi makanan lokal.
Melalui analisis model linier akan dapat dilihat hubungan matematis antara modifikasi
makanan lokal dengan kadar trigliserida akhir unit percobaan, kontribusi modifikasi
makanan lokal terhadap kadar trigliserida akhir unit percobaan serta melalui analisis
ini juga dapat dibandingkan pengaruh dari setiap taraf modifikasi makanan lokal
terhadap kadar trigliserida di akhir percobaan.
Menurut Josten et al. (2005) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa frekuensi
dislipidemi rata-rata meningkat di kelompok usia tua, yaitu >59 tahun baik pria
maupun wanita pada penderita DM Tipe 2 yang memperlihatkan adanya hubungan
bermakna antara peningkatan TG (p = 0.03) dan penurunan HDL (p = 0.02) terhadap
usia di penderita DM Tipe 2. Demikian halnya resistensi insulin akan menyebabkan
penurunan aktivitas dari enzim lipoprotein lipase. Semakin rendah aktivitas enzim
lipoprotein lipase ini, akan meningkatkan kadar trigliserida dalam darah. Riskesdas
(2013) melaporkan bahwa menurut jenis kelamin, laki-laki yang memiliki kadar
trigliserida high borderline lebih banyak dari pada perempuan, demikian juga pada
kategori trigliserida tinggi dan sangat tinggi. Menurut Tsalissavrina et al. (2006)
menunjukkan bahwa kadar trigliserida darah tertinggi terdapat pada kelompok diet
tinggi lemak yaitu 169 mg/dL, diikuti diet tinggi karbohidrat sebesar 130.2 mg/dL dan
terendah adalah diet normal yaitu 81.2 mg/dL.
KESIMPULAN
Modifikasi makanan lokal berpengaruh nyata dan berbeda nyata terhadap kadar
glukosa darah penderita DM Tipe 2, namun tidak berpengaruh nyata dan tidak
berbeda nyata terhadap kadar HbA1c, kadar total kolesterol dan kadar trigliserida
penderita DM Tipe 2.

DAFTAR PUSTAKA
1. Alabdoulia K, Farajallahb M.M, Alaithanc M.S, AbuMuaileqd M, Jabree S.F,
Mathewf E, Muttappallymyalilg J, Esheiba EMh, Gopakumari A. 2014. Family
History of Non-communicable Disease and its Relationship in Acute Coronary
Syndrome with or without Diabetes Mellitus. International Journal of Sciences:
Basic and Applied Research (IJSBAR. 16 (2): 321-331.
2. American Diabetes Association. ADA Position Statement : Standard of Medical
Care in Diabetes. Diabetes Care 2004 ; 29 (suppl 1) : S4-S42.
3. Augustin LS, Franceschi S, Jenkins DJA, Kendall CWC, Vecchia C La. 2002.
Glycemic index in chronic disease: a review. Eur J Clin Nutr 56:1049-1071.
4. Brand J.C-Miller, 2003.Glycemic Load and Chronic Disease. Nutrition Reviews,
61(5).
5. Buse 2008. Effects of Intensive Glucose Lowering in Type 2 Diabetes. N Engl J
Med 2008; 358:2545-2559 June 12. 2008
6. Buyken AE, Mitchell P, Ceriello A, J. Brand-Miller. 2010. Optimal dietary
approaches for prevention of type 2 diabetes: a life-course perspective.
Diabetologia (2010) 53:406–418.
7. Chung J.C, Chiu S.L, Willet W.C,Wolever T.M.S, Brand J.C Miller, Barclay
A.W.2011. Informing food choices and health outcomes by use of thedietary
glycemic index. Nutrition Reviews. 69(4):231–242.
81

8. Collier GR, Greenberg GR, Wolever TM, Jenkins DJ. 1988. The acute effect of fat
on insulin secretion. J Clin Endocrinot 1988; 55: 323-6.
9. Departemen Kesehatan RI. 2008. Pedoman Teknis Penemuan dan Tata Laksana
Penyakit Diabetes Melitus. Cetakan II. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak
Menular. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
10. Effendi AT, Waspandji 2013. Non Insulin Diabetes Mellitus : Epidemiologi.
Spesialis Penyakit Dalam RSKB Bogor.
11. Fakultas Kedokteran UI. 2003. Indeks glikemik berbagai makanan Indonesia
(Hasil penelitian). Pusat Diabetes dan Lipid RSCM/FKUI dan Instalasi Gizi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta.
12. Frost P Sharp, Sleightholm M, Vanterpool G. Intensive blood-glucose control with
sulphonylureas or insulin compared with conventional treatment and risk of
complications in patients with type 2 diabetes. 1998. LANCET. 352 (9131) 837 -
853.
13. Ghattas. L.A, Hanna. M.L, Tapozada. S.T, El-Shebini. S.M. 2008. Some
complementary hypoglycemic supplement from grains and legumes for the
management of tipe 2 diabetes mellitus. J.Med. Sci, 8 (2) 102-110.
14. Goff L.M, Duncan A. Diet and lifestyle in the prevention of the rising diabetes
pandemic. 2010.Journal of Human Nutrition and Dietetics. 23 (4), 33–335.
15. Hill J.M, Radimer K.L. 1996. Health and Nutrition Messages in Food
Advertisements: a comparative content analysis of young and mature Australian
women’s magazines. JNE 28: 313-320.
16. Isharwal S, Misra A, Wasir J.S, Priyanka N. 2009. Diet & insulin resistance: A
review & Asian Indian perspective. Indian J Med Res 129, May 2009, pp 485-499.
17. Jenkins DJA, Kendall CWC, Augustin LSA, Franceshi S, Hamidi M, Marchie A,
Jenkins AL, Axelsen M. 2002. Glycemic index: overview of implications in health
and disease. Am J Clin Nutr 76(suppl):266S-273S.
18. Kusniyah Y, Nursiswati, Rahayu U. 2010. Hubungan Tingkat Self Care dengan
Tingkat HbA1c pada klien Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik Endokrin RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung.
19. Loei. GSC, Pandelaki, K dan Mandang V. 2013. Hubungan Kadar HbA1c dengan
Kadar Profil Lipid pada Pasien Diabets Melitus Tipe 2 di Poliklinik Endokrin dan
Metabolik RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado
20. Miller, BJC. 1997. Glycemic Load and Chronic Disease. Nutrition Reviews, 61(5).
21. Oba S, Nanri A, Kurotani K, Goto A, Kato M, Mizoue T, Noda M, Inoue M,
Tsugane S. 2010. Dietary glycemic index, glycemic load and incidence of type 2
diabetes in Japanese men and women: the Japan public health center-based
prospective study. Graduate School of Medicine, the University of Tokyo, Tokyo,
Japan
22. Ostle B, Mensing RW. 1963. Statistics in Research. Oxford and IBH Publishing
CO. Third Edition.
23. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia.
24. Reva S, Dewi NA. 2005. Hubungan antara HbA1c dan Kadar Lipid Serum dengan
Derajat Berat Retinopati Diabetika. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. XXI,
No.3, Desember 2005. Bagian/SMF Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya/RSU dr. Saiful Anwar Malang.
25. Rimbawan, Siagian A. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Cara Mudah Memilih
Pangan yang Menyehatkan. Jakarta: Penebar Swadaya.
26. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
27. Sheard NF, Clark NG, Brand-Miller JC, Franz MJ, Pi-Sunyer FX, Mayer-Davis E,
Kulkarni K, Geil P. 2004. Dietary carbohydrate (amount and type) in the
prevention and management of diabetes: a statement by the american diabetes
association. Diabetes Care. 2004 Sep;27(9):2266-71.
82

28. Sylvawani M, Lindarto D. 2008. Perbandingan Kadar C-Reaktif Protein pada


Keturunan Diabetes Melitus Tipe 2. Tesis. Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H. Adam Malik. Medan.
29. Tsalissavrina I, Wahono Dj, Handayani D. 2006. Pengaruh Pemberian Diet Tinggi
Karbohidrat Dibandingkan Diet Tinggi Lemak Terhadap Kadar Trigliserida Dan
HDL Darah pada Rattus novergicus galur wistar. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 22
(2).22-34.
30. Waspadji S, Suyono S, Sukardji K, Moenarko R. 2003. Indeks Glikemik berbagai
Makanan Indonesia. Balai Penerbitan FKUI. Jakarta.
83

EFEKTIFITAS PENYULUHAN DAN PEMBERIAN BAHAN PENGENDALI


PEROKSIDA (NASI) PADA PEDAGANG MAKANAN GORENGAN
DI KOTA MANADO PROPINSI SULAWESI UTARA

Agus Rokot, Agnes Watung, Anselmus Kabuhung


Jurusan Kesehaan Lingkungan Politeknik Kesehatan Kemenkes Manado

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas penyuluhan dan pemberian bahan
pengendali peroksida(Nasi) pada makanan gorengan yang dijual pedagang gorengan di
kota manado. Metode Penelitian yang digunakan adalah survey Analitik.
Pengumpulan data melalui pengambilan langsung dilapangan kemudian dilakukan
pemeriksaan di laboratorium untuk mendapatkan kadar peroksida pada minyak
gorengan. Analisisnya menggunakan Analisis Perbedaan dua rata-rata (uji t
test).Populasi terjangkau 192 pedagang gorengan, Pengambilan sampel awal 65
pedagang, penyuluhan, dan pengambilan akhir ada 65 pedagang gorengan. Hasil
penelitian menunjukkan: 1) Ada hubungan penggunaan minyak gorengan secara terus
menerus terhadap peningkatan kadar peroksida pada minyak gorengan, 2) Ada
hubungan tingkat efektifitas penyuluhan dan pemberian bahan pengendali peroksida
terhadap penurunan kadar peroksida pada minyak hasil gorengan.thit1,410 ˂ttab
1,671.3)Kadar kandungan peroksida sebelum diberikan penyuluhan rata-rata
0,376873meq/kg,sesudah penyuluhan dan pemberian pengendali peroksida(Nasi)
menjadi 0,298737 meq/kg, atau mengalami penurunan 0,078136meq/kg pada minyak
gorengan yang digunakan pedagang,4)Hasil pengukuran kadar peroksida pada minyak
hasil gorengan, dari 65 sampel awal yang melebihi ambang batas 2 mEq/kg yaitu 1
sampel no. sampel 47, sebesar 3,007520meq/kg. Implikasi Penyuluhan dan pemberian
bahan pengendali peroksida merupakan cara yang efektif untuk menurunkan kadar
peroksida yang ada dalam minyak gorengan yang harus diketahui oleh pedagang
gorengan dan masyarakat yang mengkonsumsi gorengan agar terhindar dari resiko
bagi kesehatan
Kata kunci: Penyuluhan bahan pengendali (Nasi), minyak gorengan, kadar peroksida

PENDAHULUAN
Makanan merupakan komponen penting dalam kehidupan manusia, diharapkan
boleh berlangsung sistem metabolisma yang tepat dan benar sehingga manusia tetap
sehat dan beraktifitas dengan baik.Upaya sehat selalu diusahakan oleh setiap insan
manusia,namun kadamgkalah kita semua tidak lepas dari situasi dan kondisi yang ada
sehingga sengaja atau tudak sengaja telah mengkonsumsi makanan yang dijajahkan
oleh para pedagang yang sifatnya siap saji, tanpak memikirkan efek pada kesehatan;
hal ini tergambar oleh peneliti untuk makanan siap saji dalam bentuk gorengan yang
ada di kota manado yang menggunakan minyak goreng secara berulang kali untuk
suatu penggorengan, mengingat minyak goreng akan mengalami kerusakan apabila
mengalami pemanasan berulang kali, kontak dengan air, udaradan logam. Kerusakan
minyak dalam penggorengan mengalami tahapan oksidasi, polimerasi dan hidrolisis
yang pada gilirannya minyak goreng yang rusak saat penggorengan akan membentuk
senyawa yang tidak diinginkan seperti senyawa polimer, asam lemak bebas, peroksida
dan kotoran lainnya yang tersuspensi dalam minyak (Wulyoadi dan kaseno,2004)
Minyak yang dipakai secara berulang-ulang pada proses
penggorengan,mungkin pengguna telah memahami atau tidak memahami akibat atau
efek pada kesehatan, ataukah mungkin pengaruh factor ekonomi berkaitan dengan
keuntungan yang ingin dirainya, sehingga nilai kesehatan, diabaikan ataukah
kurangnya pengawasan dari pemerintah terhadap pedagang yang menjajahkan
makanan kepada masyarakat, ataukah kurangnya pengetahuan penjual gorengan
84

memahami efek perubahan penggorengan seperti:perubahan kandungan senyawa


peroksida dan asam lemak bebas yang tinggi; hal ini juga dijelaskan dalam Standar
Nasional Indonesia(SNI)-3741-1995 memberikan batasan terhadap angka peroksida
yang berbahaya untuk konsumsi yaitu angka maksimal peroksida adalah 2mEq/kg,
pengunaan makanan gorengan yang tinggi kandungan peroksi dan asam lemak bebas
akan menyebabkan gangguan pada kesehatan pengkonsumsinya
Berdasarkan paparan diatas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
kandungan peroksida pada minyak goreng yang digunakan oleh pedagang
gorenganpada titik-titik penjualan yang berada di kecamatan Malalayang, Wanea,
Wenang, Tikala, paal ll, Singkil, Tuminting dan Mapanget kota Manado Propinsi
Sulawesi Utara dengan ciri – ciri umum minyak goreng,seperti ciri fisik: berupa
warna, bau, dan frekwensi penggorengan.Pembuktian adanya minyak yang telah
mengandung peroksida (H2O2)yang melebihi ambang batas yang masih diperbolehkan,
maka dilakukan langkah pemeriksaan terhadap minyak goreng yang sudah digunakan,
maka diambil sampel untuk pemeriksaan di laboratorium sehingga dapat diambil
suatu hasil pemeriksaan yang dapat memberikan kepastian jawaban apakah minyak
goreng yang digunakan pedagang gorengan telah melebihi batasan yang sudah
ditetapkan sehingga memberikan simpulan dan penjelasan tentang efek peroksida pada
makanan gorengan yang digoreng pada minyak yang mengandung peroksida yang
tinggi yang bisa memberikan dampak buruk bagi kesehatan masyarakat pengguna atau
yang mengkonsumsi makanan tersebut
Merujuk dari hasil uraian latar belakang masalah penelitian, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimanakah penggunaan minyak goreng
yang dapat meningkatkankadar peroksida,yang dapat membahayakan kesehatan bagi
masyarakat jika mengkonsumsi jajanan gorengan yang dijual pada titik-titik tertentu
dikota Manado Propinsi Sulawesi Utara tahun 2016, dengan hipotesis:
a. Ada Hubungan penggunaan minyak goreng secara terus-menerus dengan
perubahan warna minyak terhadap peningkatan peroksida pada makanan gorengan
b. Ada hubungan tingkat efektifitas penyuluhan dan pemberian bahan pengendali
peroksida (Nasi) terhadap kandungan peroksida (H2O2) pada minyak gorengan
Tujuan yang ingin dicapai melihat tingkat efektifitas penyuluhan dan
pemberian bahan pengendali peroksida (Nasi) dalam menurunkan kadar peroksida
pada minyak gorengan yang digunakan pedagang makanan dikota Manado Propinsi
Sulut

BAHAN DAN CARA

Penelitian dengan jenis survey analitik dengan pengambilan sampel awal


minyak goreng pada pedagang gorengan kemudian dilakukan pemeriksaan kadar
peroksida pada sampel awal, kemudian dilakukan penyuluhan dengan penambahan
bahan pengendali peroksida. Diberikan kesempatan 3 minggu kemudian dilakukan
pengambilan sampel tahap kedua kemudian diperiksa kadar peroksida untuk
dibandingkan dengan kadar peroksida awal

Populasi terjangkau yang dapat diamati pada titik-titik padat diseputaran


pedagang gorengan berjualan pada lokasi ramai berjumlah 192, sedangkan sampel 65
pedagang yang tersebar pada kecamatan Malalayang, Wanea, Wenang, Tikala, Paal
ll,Singkil, Tuminting, Mapanget yang secara umum berjualan pada sore dan malam
hari di kota manado propinsi Sulawesi Utara
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Analisis untuk karakteristik responden yang melakukan aktifitas jualan
gorengan di kota Manado yang tersebar di beberapa kecamatan: Malalayang,
85

Wanea,Wenang,Tikala, Paal ll,Singkil, Tuminting dan Mapanget Kota Manado


Propinsi Sulawesi Utara sebagai berikut:
Golongan Umur Responden
38.46 38.46
40 N = 65
Jumlah Responden

30 23.08 25 25

20 15
Umur Responden
10 Prosentase

0
15 - 20 Tahun 21 - 30 Tahun > 40 Tahun
Umur Responden

Gb. 1. Distribusi responden berdasarkan golongan umur yang berjualan


Gambar 1. menjelaskan bahwa distribusi responden berdasarkan umur yang
paling banyak berjualan adalah responden dengan umur yaitu 25s/d 30 tahun
sebanyak 25 responden (38,46%) dan golongan umur lebih dari 40 tahun yaitu 25
responden (38,46%) dan golongan umur yang sedikit adalah responden dengan umur
15s/d 20 tahun sebanyak 15 responden (23,07%)
2. Lamanya responden berjualan gorengan
Hasil analisis dan pengolahan data untuk distribusi responden yang berjualan
gorengan berdasarkan lamanya berjualan, dan yang paling banyak adalah responden
dengan lamanya kurang dari 1 tahun 3 orang (4,62%), 1 tahun sebanyak 17 orang
(26,15%), 2 tahun sebanyak 7 orang (10,76%), 3 tahun sebanyak 5 orang (7,69%), 4
tahun sebanyak 5 orang (7,69%),
Lamadan yang berjualan
Berjualan Gorengan5 tahun atau lebih sebanyak 28
orang (43,07%). Distribusi responden berdasarkan lamanya waktu dagangan gorengan
dapat dilihat
50 pada gambar 2 di bawah ini. 43.08
Jumlah Responden

40 N = 65
26.15 28
30
17
20 10.77 7.69 Responden
3 4.62
7 5 7.69 5
10
Prosentase
0
>1 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun
Tahun
Lama Berjualan

Gb.2, Lamanya pedagang berjualan gorengan

3. Lamanya pemakaian minyak dalam gorengan


Hasil pengolahan data untuk responden yang menggunakan minyak untuk
penggorengan dengan waktu terlama adalah responden dengan waktu 1s/d2 jam
sebanyak 35 orang (53,85%), dan responden dengan waktu 3s/d 4 jam sebanyak 25
orang (38,46%), dan responden dengan waktu lebih dari 4sebanyak 5 orang
86

(7,69%). Distribusi Responden berdasarkan lamanya menggunakan minyak


gorengan dalam penggorengan dapat dilihat pada gambar 3 di bawah ini:

Lamanya Minyak Goreng Dalam Pemanasan

53.85
Jumlah Responden

60
35 38.46 N = 65
40 25
Responden
20 5 7.69
Prosentase
0
1 - 2 Jam 3 - 4 Jam > 4 Jam
Lamanya Minyak Goreng Dlm Pemanasan

Gb.3. Lamanya Minyak Goreng dalam Pemanansan


4. Sumber Pemanas yang digunakan dalam penggorengan
Hasil analisis dan pengolahan data untuk distribusi responden berdasarkan sumber
pemanas yang digunakan saat penggorengan adalah responden dengan gunakan
kayu bakar sebanyak 1 orang (1,54%), gunakan minyak tanah sebanyak 1 orang
(1,54%),dan yang paling banyak menggunakan kompor gas sebanyak 63 orang
(96,92%). Distribusi responden berdasarkan sumber atau alat pemanas yang
digunakan saat penggorengan dapat dilihat pada gambar 4 di bawah ini:

Sumber Pemanasan Minyak Goreng


96.92
Jumlah Responden

100
50 1.54 1.54 N = 65
Responden
0
Kayu Bakar Minyak Gas Prosentase
Tanah
Sumber Panas

Gb.4. Sumber Pemanas Gorengan


5. Warna Minyak Dalam penggorengan
Warana minyak goreng ketika belum digunakan secara umum berwarna kuning
kejernihan sampai pada warna kuning muda, namun dalam pengambilan sampel
minyak goreng yang sudah digunakan pedagang gorengan dalam masa
penggorengan dengan sasaran gorengan pada pisang, tahu, tempe, malabar, ubi
dan lainnya yang bertalian dengan makanan yang dijajahkan pada masyarakat
dengan titik pengambilan sampel pada pedagamg yang berjualan di daerah
kecamatan Malalayang, Wanea, Wenang, Tikala, Paal ll,Singkil, Tuminting,
Mapanget dengan rincian warna pada sampel yang diambil yaitu: kuning muda 26
(40%) coklat muda 19(29,23%), coklat tua 17(26,15%),kehitaman 3(4,52%)
responden. Distribusi berdasarkan warna sampel awal saat diambil dapat dilihat
pada gambar 5 dibawah ini.
87

Warna Sampel Awal Saat Diambil


40.00
29.23 26.15

Jumlah Sampel
40 26
19 17
20 3 4.62
Sampel
0
Kuning Coklat Coklat Hitam Prosentase
Muda Muda Tua
Warna Sampel

Gb.5. Warna Sampel Awal Saat Diambil


6. Wilayah kecamatan pengambilan/cuplikan sampel
Hasil analisis hasil analisis dan pengolahan data secara univariat untuk distribusi
responden berdasarkan wialayah kecamatan tempat pedagang gorengan menjual
gorengan adalah di kecamatan: Malalayang sebanyak 12 orang (18,46%), wanea
sebanyak 7orang (10,77%), Wenang sebanyak 5 orang (7,69%), Tikalah sebanyak
4 orang (6,15%), Paal ll sebanyak 14 orang (21,54%), Singkil sebanyak 13 orang
(20,00%),Tuminting sebanyak 4 orang (6,15%), dan kecamatan Mapanget
sebanyak 6 orang (9,23%). Distribusi responden berdasarkan wialyah kecamatan
para pedagng berjualan gorengan dapat dilihat pada gambar 5 di bawah ini:

Wilayah Kecamatan Pengambilan Sampel


21.54 20.00
Jumlah Responden

25 18.46
20
15 10.77 9.23
7.69 6.15 6.15
10
5
0 Responden
Prosentase

Kecamatan

Gb.6. Wilayah Kecamatan Pengambilan Sampel


Hasil uji statistik
Hasil analisis uji statistic perbedaan dua rata-rata dengan sampel tak bebas, dengan
penjelasan sampel tak bebas menurut Kadir (2010:98) menyatakan bahwa: sampel tak
bebas adalah sampel yang keberadaannya saling mempengaruhi (berkorelasi)
distribusi kedua data sampel tidak dapat diyakini tidak independen tetapi secara
rasional atau teoritis berkorelasi. Esensi dari analisis perbedaan dua rata-rata sampel
tak bebas adalah adalah kedua data yang ingin diuji adalah perbedaannya adalah
berasal dari satu kelompok sampel (satu unut analisis) yang sama yang menghasilkan
dua distribusi data
PEMBAHASAN
1. Ada Hubungan, tingkat efektifitas penyuluhan pengendali peroksida terhadap
penurunan kandungan peroksida pada minyak goreng yang digunakan pedagang
gorengan dengan perbandingan angka (thit 1,410˂ t tab 1,671)
2. Hasil penelitian berdasarkan golongan umur dari responden merupakan umur
produktif dalam mencari dan menciptakan lapangan kerja, namun disatu sisi
pekerjaan penjualan yang bertalian dengan hasil gorengan perlu mendapat
perhatian dari pemerintah lebih khusus petugas kesehatan dan instansi terkait
88

untuk pantauan batas kandungan peroksida yang diijinkan dalam syarat kesehatan
sehingga masyarakat yang mengkonsumsinya terhindar dari resiko penyakit.
3. Lamanya responden melaksakan penjualan gorengan itu sudah hal yang positif
untuk membantu sediaan makanan yang dibutuhkan namun perlu diperhatikan
waktu dan lamanya menggunakan minyak gorengan tersebut karena dengan waktu
yang lama dalam gorengan,mutu dari minyak akan berubah bahkan dapat memicu
peningkatan kandungan peroksida di dalam penggorengan
4. Sumber pemanas yang digunakan dapat menntukan mutu dari minyak gorengan
tersebut karena secara umum pemanas yang digunakan adalah kompor gas, dalam
kompor gas tingkat panasnya cukup tinggi dibandingkan dengan pemanas kayu
bakar dan minyak tanah sehingga di dalamnya perlu memperhatikan panas yang
digunakan untuk menghindari gosongnya gorengan dan penuingkatan kandungan
peroksida di dalamnya
5. Wilayah kecamatan yang sudah merupakan bagian dari sampel penelitian secara
umum sudah pada posisi yang representative karena sebagian besar wilayah
kecamatan yang ada di kota menado telah dilakukan pengambilan sampel awal dan
penyuluhan penangkal peroksida oleh tenaga kesehatan (mahasiswa kesehatan
lingkungan kelas karyawan) yang sudah terlatih dilapangan dalam proses
pemantauan yang terpaut dengan kesehatan, bahkan dibantu oleh mahasiswa
jurusan kesehatan lingkungan lainnya yang sedang belajar khusus bertalian dengan
masalah di lingkungan
6. Hasil statistic uji sudah menjelaskan bahwa ada pengaruh atau efektifitas
penyuluhan dalam menurunkan kandungan peroksida pada minyak gorengan yang
digunakan pedagang gorengan, dengan adanya penyuluhan maka tingkat
kandungan penurunan sudah sangat signifikan yang di dalamnya mutu minyak
meningkat dan kandungan peroksida turun bahkan dapat menghindari masyarakat
terhadap penyakit saan mengkonsumsi makanan goregan.
KESIMPULAN
1. Responden yang berjualan dengan tingkat umur diatas 40 tahun menduduki posisi
tertinggi, didalamnya dapat memahami apa masukan cara penangkalan kandungan
peroksida dan mutu minyak gorengan supaya dapat meningkat hal ini dapat di
buktikan sesuai hasil perhitungan bahwa ada kecenderungan penurunan
kandungan peroksida
2. Dalam penelitian ini lamanya pedagang gorengan berjualan gorengan pada
dasarnya mereka juga belum banyak mendengar penyuluhan yang bertalian dengan
kandungan peroksida yang ada dalam gorengan lebih spesifik dari sudut kesehatan
yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat yang mengkonsumsinya
3. Lamanya minyak goreng dalam gorengan ada yang sampai 4 jam bahkan lebih hal
ini sudah dapat tergambar tingkat kerusakan minyak dan kandungan peroksida
yang ada dalam minyak tersebut
4. Dalam penelitian ini telah dilakukan pengamatan lebih dahulu bagi para pedagang
gorengan kemudian dialkukan pengambilan sampel awal oleh tenaga
kesehatankemudian dilakukan penyuluhan dan penjelasan tentang efek dari pada
meningkatnya peroksida dalam minyak gorengan, bahkan memberikan penyuluhan
solusi penangkalan kandungan peroksida pada minyak gorengan
5. Hasil uji menjelaskan ada pengaruh penurunan kandungan peroksida sesudah
penyuluhan dan sebelum penyuluhan dengan hasil yang didapat walaupun
dibandingkan dengan standart yang ditetapkan oleh pemerintah, dan berada di
bawah batas yang ditentukan 2mEq/kg
SARAN
1. Hindari lamanya pemanasan dalam waktu penggorengan karena dapat memacu
peningkatan kandungan peroksida pada minyak gorengan
89

2. Penggunaan pemanas dengan gas diharapkan pengapiannya diatur, karena gas


memiliki tingkat panas yang melebihi beberapa tingkatan panas kayu bakar dan
minyak tanah
3. Warna pada minyak gorengan sudah memberikan gambaran kadar peroksida
sesuai tingkatan monitoring awal yaitu dari yang tinggi sampai yang rendah yaitu:
warna minyak: Kehitam –hitaman, warna coklat tua, warna coklat muda, warna
kuning muda.
4. Perlu dilakukan penyuluhan oleh petugas kesehatan tentang efek dari pada masa
penggorengan yang lama karena dapat memicu peningkatan kandungan peroksida
yang beresiko bagi kesehatan pada masyarakat yang mengkonsumsinya
5. Para pengambil kebijakan dalam hal ini instansi yang terkait yaitu kesehatan untuk
pantauan batasan standart, pemerintah kota untuk ketertiban dan pendelegasian
ijin, serta teanaga keamanan untuk memaksimalkan konsekwensi apabila mereka
tidak mengikuti peraturan yang sudah di tetapkan dengan tujuan hidup sehat bagi
masyarakat kota manado
DAFTAR PUSTAKA
1. Achmad, Hiskia Lubna Baradja (2015) Demonstrasi Kimia. Nuansa Cendekia,
Bandung
2. Creswell, John W. (2010). Research Design Pendekatan kualitatif, kantitatif dan
Mixed.Pustaka, pelajar. Yogyakarta
3. Cahya dkk,2014.Sifat Fisik Kimia dan Organoleptik Pasta Santan – Jurnal Pangan
dan Agroindustri Vol. 2 No 4 p.249-258, Oktober 2014
4. Dwi, Puspitasari Indarini, Kimia Analitik Dasar dengan strategi problem solving
dan opend Experiment, Alfabeta, Bandung.
5. Hom, M. 2006 Membuat Reagen kimia , Bumi aksara. Jakarta
6. Kadir, 2010 Statistika untuk penerapan ilmu-ilmu social, Rosemata
sempurna.Jakarta
7. Lestari, F 2010. Bahaya Kimia EGC Jakarta
8. Mulasari, Utami, 2012. Kandungan peroksida pada minyak goreng di pedagang
makanan gorengan disepanjang jalan Prof. DR. Soepomo Umbulharjo.
Jogjakarta
9. Petrucci, Dkk. 2007. Kimia Dasar. Erlangga Jakarta
10. Riduwan, Sunarto H. (2009). Pengantar Statistika untuk penelitian social,
ekonomi, komunikasi dan bisnis. Alfabeta, Bandung
11. Sukardjo 1994. Kimia Anorganik, Bina Aksara, Jojakarta
12. Wulyoadi dan Kaseno Pemurnian minyak goreng bekas dengan menggunakan
filter membrane. Prosiding seminar nasional Rekayasa kimia dan proses 2004
ISSN: 1411-4216. Jurusan teknik Kimia fakultas teknik.Universitas Diponegoro
Semarang.
90

HUBUNGAN POLA KONSUMSI SERAT DENGAN


HIPERKOLESTEROLEMIA PADA PASIEN HIPERTENSI
DI PUSKESMAS RURUKAN

Meildy E. Pascoal, Ana B. Montol, dan Putri W. Sembiring


Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Manado

ABSTRAK
Hipertensi merupakan suatu masalah kesehatan yang umum terjadi di negara
berkembang dan negara maju. Hipertensi dan peningkatan kolesterol merupakan dua
keadaan yang tidak dapat dipisahkan, hal ini terjadi karena kadar kolesterol yang
tinggi dapat mengakibatkan terbentuknya akumulasi plak atherosklerosis pada
pembuluh darah. Hiperkolesterolemia dipengaruhi oleh asupan karbohidrat, protein,
lemak, serat dan kolesterol. Serat menjadi satu hal yang sering diacuhkan oleh
individu sehingga pemenuhan serat tidak tercukupi. jika seseorang kurang
mengonsumsi serat maka akan meningkatkan resiko terjadinya hiperkolesterolemia.
Penelitian ini bertujuan ini melihat hubungan konsumsi serat dengan
hiperkolesterolemia pada pasien hipertensi.
Jenis penelitian ini, yaitu analitik observasional dengan desain penelitian cross
sectional. Data dikumpulkan melalui pemeriksaan kadar kolesterol kemudian formulir
semi food frequency untuk mengetahui konsumsi serat.
Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji korelasi ρ = 0,027 < 0,05 maka H0 di
tolak, berarti ada hubungan konsumsi serat dengan hiperkolesterolemia pada pasien
hipertensi di puskesmas Rurukan Tomohon. Kekuatan hubungan antara kedua variabel
lemah, tetapi arah hubungan menunjukkan tanda negative yang berarti semakin tinggi
kadar kolesterol maka semakin rendah konsumsi serat dari responden.
Kesimpulan ada hubungan konsumsi serat dengan hiperkolesterolemia pada pasien
hipertensi di puskesmas Rurukan Tomohon.

Kata kunci : konsumsi serat, hiperkolesterolemia, hipertensi

PENDAHULUAN
Hipertensi merupakan suatu masalah kesehatan yang umum terjadi di negara
berkembang dan negara maju. Perubahan gaya hidup yang semakin modern seperti
sering mengonsumsi alkohol, merokok, pola makan yang tidak seimbang dan aktivitas
fisik yang kurang dapat memicu meningkatnya angka kejadian penyakit hipertensi.
Berdasarkan Riskesdas 2013, prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan hasil
pengukuran pada umur ≥ 18 tahun sebesar 25,8 % dan prevalensi di Sulawesi Utara
mencapai 27,1 %.
Hipertensi dan peningkatan kolesterol merupakan dua keadaan yang tidak
dapat dipisahkan, hal ini terjadi karena kadar kolesterol yang tinggi dapat
mengakibatkan terbentuknya akumulasi plak atherosklerosis pada pembuluh darah.
Plak ini mempunyai komposisi kolesterol, substansi lemak yang lain, jaringan fibrosa
dan kalsium. Aterosklerosis dapat menyebabkan pembuluh darah menjadi kaku dan
tidak elastis lagi. Aterosklerosis juga menyebabkan pembuluh darah menjadi sempit
sehingga jantung akan bekerja lebih keras untuk memompa darah agar bisa mencapai
ke seluruh tubuh. Ini menyebabkan tekanan darah menjadi meningkat. Pernyataan
tersebut didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Feryadi dkk, (2014)
tentang Hubungan Kadar Profil Lipid dengan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat
Etnik Minangkabau di Kota Padang yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara kadar kolesterol total dengan kejadian hipertensi. Berdasarkan nilai
OR, ditemukan kadar kolesterol total tidak normal merupakan faktor resiko terjadinya
hipertensi sebesar 2,09 kali dari kolesterol normal.
91

Hiperkolesterolemia dipengaruhi oleh asupan karbohidrat, protein, lemak, serat


dan kolesterol. Pola hidup yang semakin berubah pada zaman ini membuat orang-
orang semakin jarang mengonsumsi serat. Berdasarkan Riskesdas (2013) prevalensi
kurang makan sayur dan buah di Sulawesi Utara pada tahun 2007 91,2% meningkat
di tahun 2013 menjadi 94,4% yang melebihi angka Nasional. Artinya, kebiasaan
kurang mengonsumsi sayur dan buah di Sulawesi Utara semakin meningkat dari
tahun 2007 sampai tahun 2013.
Serat menjadi satu hal yang sering diacuhkan oleh individu sehingga
pemenuhan serat tidak tercukupi. Padahal asupan serat yang tinggi dapat menurunkan
kadar kolesterol dengan cara meningkatkan pengeluaran cairan empedu. Selain itu
bakteri didalam usus memfermentasi serat untuk memproduksi asam asetat propionate,
dan butirat yang berfungsi untuk menghambat sintesis kolesterol. Sehingga jika
seseorang kurang mengonsumsi serat maka akan meningkatkan resiko terjadinya
hiperkolesterolemia. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Kustiyah pada September
2013 didapatkan hasil bahwa Subjek yang memiliki kadar kolesterol LDL dan
kolesterol total tinggi cenderung memiliki asupan serat yang lebih rendah
dibandingkan dengan yang normal.
Jika satu individu mengadopsi pola makan yang tinggi serat maka akan
membantu menurunkan kadar kolesterol yang tinggi. Ini juga dapat berdampak pada
penurunan angka hipertensi yang menjadi masalah kesehatan di Indonesia.
Rurukan merupakan desa yang terletak di sebelah timur kota Tomohon,
dengan luas wilayah lebih dari 500 kilometer persegi, Rurukan terkenal dengan
perkebunan sayur mayurnya. Di desa ini juga terdapat tempat penyulingan alkohol,
selain itu orang Minahasa pada umumnya mempunyai kebiasaan mengonsumsi
makanan yang mengandung tinggi lemak. Data Puskesmas Rurukan menunjukkan
bahwa 3 bulan terakhir ada sekitar 467 kunjungan dengan keluhan hipertensi. Maka
dari itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan konsumsi serat
terhadap hiperkolesterolemia pada pasien hipertensi di Puskesmas Rurukan.
Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan pola konsumsi serat dengan
hiperkolesterolemia pada pasien hipertensi di Puskesmas Rurukan.

BAHAN DAN CARA


Penelitian ini menggunakan desain analitik observasional dengan jenis
penelitian cross sectional. Penelitian dilaksanakan bulan April-Mei 2016, dengan
jumlah sampel 40 sampel yang dihitung berdasarkan perhitungan besar sampel. Subjek
dalam penelitian ini adalah pasien hipertensi di Puskesmas Rurukan Kota Tomohon.
Pengambilan subjek dilakukan dengan mencari subjek yang memenuhi kriteria
a.inklusi : bersedia menjadi responden, tekanan darah ≥ 140 mmHg dan diastolik ≥ 90
mmHg, kadar kolesterol >200 mg/dl. B. ekslusi : mengonsumsi obat anti kolesterol.
Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer yang
dikumpulkan yaitu identitas responden, data pola konsumsi serat diperoleh dengan
menggunakan formulir Formulir Semi food frequency, dan data kadar kolesterol total
dari hasil pemeriksaan saat pengambilan data. Kadar kolesterol total diukur dengan
digital stik tes kolesterol. Data sekunder meliputi gambaran umum Puskesmas
Rurukan, dan data tekanan darah responden. Analisis yang digunakan dalam penelitian
ini adalah analisis univariat dan bivariat. Analisis univariat digunakan untuk
mendeskripsikan karakteristik subjek penelitian dan variabel penelitian antara lain
jenis kelamin, konsumsi serat yang dikategorikan menjadi cukup ≥25 gr/hari dan
kurang <25 g/hari kadar kolesterol dan tekanan darah. Analisis bivariat digunakan
untuk melihat adanya hubungan antara variabel independen/bebas dengan variabel
dependen yaitu data konsumsi serat yang diperoleh menggunakan Formulir Semi food
frequency dan variabel terikat yaitu data kadar kolesterol total yang diperoleh dari
hasil pemeriksaan kadar kolesterol total. Uji yang digunakan adalah uji correlation.
92

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Sampel
Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara pemeriksaan
kadar kolesterol sampel dan Formulir Semi food frequency untuk mendapatkan data
konsumsi serat dari sampel Adapun hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah
sebagai berikut

Tabel 1 Karakteristik Berdasarkan Umur

Umur Hipertensi dan %


Hiperkolesterolemia
(n)
27 - 35 tahun 2 5.0
36 - 44 tahun 4 10.0
45 - 53 tahun 6 15.0
54 - 62 tahun 6 15.0
63 - 71 tahun 12 30.0
72 - 80 tahun 8 20.0
> 80 tahun 2 5.0
Total 40 100.0

Berdasarkan tabel 1 diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar umur responden
yaitu 45 tahun ke atas dengan persentase 85%.

Tabel 2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Hipertensi dan %


Hiperkolesterolemia
(n)
Pria 10 25.0
Wanita 30 75.0
Total 40 100

Berdasarkan tabel 2 di atas, dapat dilihat bahwa responden dalam penelitian ini
lebih banyak berjenis kelamin wanita dengan jumlah 30 responden dengan persentase
75% dan pria berjumlah 10 responden dengan persentase 25%.

Tabel 3. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan

Pekerjaan Hipertensi dan %


Hiperkolesterolemia
(n)
Petani 28 70
IRT 4 10
Pensiunan 2 5.0
Wiraswasta 1 2.5
PNS 5 12.5
Total 40 100.0

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa dari 40 sampel terdapat 28


responden yang bekerja sebagai petani dengan persentase 70%, dan yang terendah
adalah wiraswasta dengan jumlah 1 responden (2.5%).
93

Tabel 4.. Distribusi Frequensi Responden Berdasarkan Klasifikasi Hipertensi

Klasifikasi Hipertensi n %
Hipertensi derajat 1 31 77.5
Hipertensi derajat 2 7 22.5
Hipertensi derajat 3 0 0
Total 40 100.0

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden


dalam penelitian ini merupakan pasien hipertensi derajat 1 dengan jumlah 31
responden (77,5%) dan derajat 2 terdapat 9 responden (22,5%).

Tabel 5. Karakteristik Responden Berdasarkan Kadar Kolesterol dan Tekanan


Darah

variabel Mean Minimum maximum


Kadar kolesterol 264 206 400
Tekanan darah 150 mm/Hg 140 mm/Hg 170 mm/Hg
sistolik
Tekanan darah 100 mm/Hg 90 mm/Hg 100 mm/Hg
diastolik

Seluruh responden dalam penelitian ini mengalami hiperkolesterolemia yang


berarti keadaan dimana kadar kolesterol total >200 mg/dl, dengan rata-rata kadar
kolesterol 264 mg/dl. Kadar kolesterol terendah dari responden adalah 206 mg/dl dan
kadar kolesterol minimum 400 mg/dl.
Berdasarkan tabel diatas juga diperoleh hasil rata-rata tekanan darah sistolik
150 mmHg dengan tekanan darah sistolik tertinggi 170 mm/Hg dan tekanan darah
sistolik terendah 140 mm/Hg. Sedangkan untuk tekanan darah diastolik diperoleh
rerata 100 mm/Hg, dengan tekanan darah diastolik tertinggi yaitu 100 mm/Hg dan
tekanan darah distolik terendah 90 mm/Hg.

Tabel 6. Karakteristik Responden Berdasarkan Konsumsi Serat


Konsumsi serat n %
<25 g/hari 40 100.0
≥25 g/hari 0 0
Total 40 0

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa seluruh responden dalam


penelitian ini memiliki konsumsi serat yang kurang dari anjuran yaitu 25 g/hari.
Responden sering mengonsumsi beras dan roti coklat. Sedangkan bahan makanan
sumber serat seperti makaroni dan roti putih kebanyakan tidak pernah dikonsumsi
responden.
Responden tidak pernah mengonsumsi bahan makanan sumber kacang-
kacangan. Hanya ada 4 responden yang mengonsumsi tempe >1x/minggu dan 3
responden yang mengonsumsi tahu >1x/minggu. Sedangkan bahan makanan sayur-
sayuran sumber serat yang sering dikonsumsi adalah wortel yaitu 24 responden dan
labu 16 responden. Sedangkan bahan makanan sayur-sayuran yang tidak pernah
dikonsumsi yaitu asparagus sebanyak 39 responden. Buah-buahan yang sering
dikonsumsi responden adalah pisang 17 responden dan pepaya 12 responden.
94

HASIL UJI STATISTIK


Tabel 7. Uji Korelasi Kadar Kolesterol dan Konsumsi Serat Responden
Variabel Coefisien corelasi P value

Konsumsi serat -0,246 0,027


Hiperkolesterolemia

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa responden dalam penelitian ini


merupakan pasien hipertensi yang memiliki kadar kolesterol tinggi >200 mg/dl, dan
konsumsi serat dari respoden kurang dari anjuran < 25 g/hari). Berdasarkan hasil uji
statistik dengan uji korelasi ρ = 0,027 < 0,05 maka H0 di tolak, berarti ada hubungan
konsumsi serat dengan hiperkolesterolemia pada pasien hipertensi di puskesmas
Rurukan Tomohon. Kekuatan hubungan antara kedua variabel lemah, tetapi arah
hubungan menunjukkan tanda negatife yang berarti semakin rendah konsumsi serat
maka semakin tinggi kadar kolesterolnya.

PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Berdasarkan tabel 1 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar umur responden
yaitu 45 tahun ke atas dengan persentase 85%. Umur mempengaruhi terjadinya
hipertensi, bertambahnya umur maka resiko terkena hipertensi menjadi lebih besar.
Peningkatan usia akan menyebabkan beberapa perubahan fisiologis pada usia lanjut,
setelah usia 45 tahun dinding arteri akan mengalami penebalan oleh karena adanya
penumpukan zat kolagen pada lapisan otot sehingga pembuluh darah sedikit demi
sedikit menyempit dan menjadi kaku. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya hipertensi
berkaitan dengan hilangnya kelenturan dari pembuluh darah pada usia lanjut. Hasil
penelitian dari Anggara dkk (2013), memperoleh hasil bahwa responden dengan usia
≥40 mempunyai kemungkinan mengalami hipertensi 11,71 kali lebih besar daripada
responden dengan usia kurang dari 40 tahun. Penelitian dari Kartikawati (2008),
prevalensi hipertensi berdasarkan umur adalah pada kelompok umur 60-64 tahun yaitu
38,9% sedangkan prevalensi terendah yaitu pada kelompok umur 25-39 tahun yaitu
sebesar 1,4%.
Sebagian besar dari responden dalam penelitian ini berkisar antara 45 tahun ke
atas, hal ini menandakan bahwa responden telah masuk pada usia yang mengalami
perubahan-perubahan fisiologis sehingga beresiko terkena hipertensi. Sama halnya
umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kadar kolesterol. umumnya
dengan bertambahnya umur orang dewasa, massa tubuh tanpa lemak menurun,
sedangkan jaringan lemak bertambah. Tingkat kolesterol serum total meningkat
dengan meningkatnya umur.
Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa 75% dari responden berjenis kelamin
wanita. Hal ini memang tidak sejalan dengan teori yang menyebutkan bahwa pria
lebih beresiko terkena hipertensi dari pada perempuan. Namun hasil penelitian
Eksanoto (2013), menyatakan bahwa sebagian besar responden yang menderita
hipertensi berjenis kelamin perempuan dengan jumlah 73 responden, dan 54
responden berjenis kelamin laki-laki, kemudian dianalisis untuk mengetahui ada
tidaknya hubungan antara jenis kelamin dengan hipertensi dan memperoleh hasil
terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian hipertensi di
wilayah kerja Puskesmas Pucangsawit Surakarta.
95

Seiring dengan pertambahan usia wanita memang beresiko memiliki kadar


kolesterol yang tinggi karena hormon esterogen pada wanita diketahui dapat
menurunkan kolesterol darah dan hormon andogen pada pria dapat meningkatkan
kadar kolesterol darah. Maka dari itu, kurangnya hormon estrogen akibat menopause
pada perempuan menyebabkan atropi jaringan, meningkatnya lemak perut,
meningkatnya kolesterol total. Penelitian Khairani (2005), memperoleh hasil yaitu
lansia wanita memiliki kadar kolesterol total > 240 mg/dl lebih besar dibandingkan
pria dan resiko terjadinya kadar kolesterol tinggi pada lansia wanita 4,29 kali lebih
besar dibandingkan lansia pria.
Berdasarkan tabel 3 disimpulkan bahwa 70% dari responden bekerja sebagai
petani, beberapa lainnya adalah seorang IRT, pensiunan, wiraswasta, dan PNS.
Penelitian dilakukan di daerah yang terkenal dengan perkebunan sayur-mayurnya
sehingga sebagian besar dari responden bekerja sebagai petani. Jika dikaitkan dengan
jenis aktivitas dari petani adalah termasuk pada kategori aktivitas berat. Hal ini
berbeda dengan teori yang mengatakan bahwa aktivitas fisik yang rutin dan teratur
minimal 30 menit setidaknya 5 hari perminggu bisa mengurangi resiko terkena
hipertensi dikarenakan aktivitas akan melebarkan diameter pembuluh darah dan
membakar lemak darah dalam pembuluh darah jantung sehingga aliran darah lancar.
Penelitian dari Pranama (2012) tentang hubungan aktivitas fisik dengan tekanan darah
pada lansia dengan hipertensi di Desa Pomahan Kecamatan Pulung Kabupaten
Ponorogo menemukan bahwa dari 30 lansia yang menjadi responden terdapat 13
responden yang memiliki aktivitas fisik berat dengan tingkat hipertensi ringan.
Beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi adalah pola makan, dan
faktor genetik. Penelitian dari Situmorang (2015), menemukan bahwa dari 71
responden yang memiliki faktor keturunan hipertensi ada sebanyak 48 0rang (67,6%)
dan responden yang tidak mempunyai faktor keturunan hipertensi ada 23 orang
(32,4%). Penelitian Stefhany (2012), menemukan bahwa 67.2% dari responden yang
terkena hipertensi memiliki kebiasaan sering konsumsi lemak.
Sama halnya dengan hipertensi, pada kasus hiperkolesterolemia aktivitas fisik
mempengaruhi kadar kolesterol seseorang. Aktivitas fisik dapat menurunkan kadar
kolesterol total meningkatkan kadar kolesterol HDL. Penelitian dari Kurniawati
(2015), memperoleh hasil subjek dengan aktivitas ringan sebanyak 63,2% memiliki
kadar kolesterol darah normal.
Berdasarkan tabel 4 responden dalam penelitian ini sebagian besar berada
dalam klasifikasi hipertensi derajat 1 dengan jumlah 31 responden yaitu tekanan darah
sistolik 140-149 mmHg dan tekanan darah diastolik 90-99 mmHg, kemudian untuk
hipertensi derajat 2 terdapat 9 responden. Klasifikasi hipertensi derajat 2 yaitu tekanan
darah sistolik 150-179 mmHg dan tekanan darah diastolik 100-109 mmHg.
Berdasarkan tabel 5 dapat dilihat bahwa seluruh responden dalam penelitian ini
mengalami hiperkolesterolemia yang berarti keadaan dimana kadar kolesterol total
>200 mg/dl. rata-rata kadar kolesterol 264 mg/dl. Kadar kolesterol terendah dari
responden adalah 206 mg/dl dan kadar kolesterol minimum 400 mg/dl. Ada beberapa
faktor yang berkaitan dengan hiperkolesterolemia diantaranya yaitu usia, faktor
keturunan, obesitas dan pola makan. 100 % responden dalam penelitian ini merupakan
suku Minahasa yang cenderung makan makanan yang tinggi lemak. Di daerah
penelitian ini juga sering diadakan acara-acara ibadah ataupun perkumpulan yang
cukup sering diadakan maksimal seminggu sekali sehingga warga didaerah tersebut
cenderung mengonsumsi makanan yang tinggi lemak dan juga makanan-makanan
ekstrem yang dapat meningkatkan kadar kolesterol dan tekanan darah. Penelitian
Tomasola dkk (2014), menyatakan bahwa subjek dalam penelitiannya yang dilakukan
di wilayah kerja Puskesmas Rurukan pada umumnya mengonsumsi daging babi,
daging anjing dan water (ulat sagu) lebih dari 2 kali sehari.
Berdasarkan tabel 5 juga dapat dilihat bahwa seluruh responden memiliki
tekanan darah tinggi yaitu tekanan sistolik ≥140 mm/Hg dan diastolik ≥100 mm/Hg.
Hipertensi telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang ada di
Indonesia dan beberapa Negara lain. Seseorang baru dapat mengetahui mengalami
96

hipertensi jika mengukur tekanan darah sistolik dan diastolik. Data dari Puskesmas
Rurukan juga menyatakan bahwa hipertensi adalah masalah kesehatan utama dalam
daerah Rurukan. Kecenderungan etnik Minahasa mengonsumsi makanan berlemak
dapat menjadi salah satu faktor terjadinya hipertensi. Penelitian dari Kandou (2009)
tentang makanan etnik Minahasa memperoleh hasil bahwa makanan etnik Minahasa
sebagian besar memiliki kandungan asam lemak jenuh yang tinggi (3,93 – 10,46%
food/100 g antara lain adalah, babi leylem dan sup kuah asam babi. Penelitian dari
Arif (2013) memperoleh hasil bahwa dari 19 reponden yang memiliki konsumsi lemak
sering terdapat 16 responden yang memiliki tekanan darah diatas normal (hipertensi).
Berdasarkan tabel 6 diperoleh hasil seluruh responden memiliki konsumsi
serat yang kurang (<25 g/hari). Data konsumsi serat diperoleh dengan menggunakan
semi food frequency dimana peneliti menanyakan bahan bahan makanan mengandung
serat yang dikonsumsi oleh responden. Sumber serat yang sangat mudah didapatkan
dalam bahan makanan adalah sayuran, buah-buahan dan kacang-kacangan. Manfaat
konsumsi serat diantaranya dapat mengontrol berat badan atau kegemukan,
penanggulangan penyakit diabetes, mencegah gangguan gastrointestinal, mencegah
kanker kolon, mengurangi tingkat kolesterol dan penyakit kardiovaskuler. Bahan
makanan yang sering dikonsumsi responden antara lain beras, roti coklat, wortel, labu,
pisang, dan pepaya. Menurut Almatsier (2001) dalam Devianty (2013) menuliskan
bahwa dikategorikan sering jika responden mengonsumsi ≥2x/minggu dan
dikategorikan jarang jika responden mengonsumsi ≤1x/minggu. Sebagian dari
responden dalam penelitian ini mempunyai komplikasi hiperurisemia sehingga sudah
membatasi porsi konsumsi bahan makanan seperti kacang-kacangan, dan sayuran
hijau. Penelitian Asfah (2010) tentang pengaruh pemberian teh rosella terhadap kadar
kolesterol total pada wanita post menopause, responden dalam penelitian tersebut
mengonsumsi teh rosella yang terbuat dari 5 buah kelopak bunga rosella yang
dilarutkan dalam 200 ml air dalam waktu 6 minggu. Kelopak bunga rosella merupakan
salah satu sumber serat, dan penelitian ini memperoleh hasil Kadar kolesterol total
darah responden turun secara signifikan yaitu 21,13 mg/dl setelah pemberian teh
rosella selama 6 minggu.
PEMBAHASAN HASIL UJI STATISTIK
Berdasarkan tabel 7 diketahui bahwa responden dalam penelitian ini
merupakan pasien hipertensi yang memiliki kadar kolesterol tinggi >200 mg/dl, dan
konsumsi serat dari respoden kurang dari anjuran < 25 g/hari). Berdasarkan hasil uji
statistik dengan uji korelasi ρ = 0,027 < 0,05 maka H0 di tolak, berarti ada hubungan
konsumsi serat dengan hiperkolesterolemia pada pasien hipertensi di puskesmas
Rurukan Tomohon. Kekuatan hubungan antara kedua variabel lemah, tetapi arah
hubungan menunjukkan tanda negative yang berarti semakin rendah konsumsi serat
maka semakin tinggi kadar kolesterol . Hal ini sejalan dengan teori yang menyatakan
bahwa asupan serat dapat menurunkan kolesterol, juga sejalan dengan penelitian dari
Putri dkk (2010), bahwa ada hubungan antara asupan serat dengan kadar kolesterol
total pada PJK rawat jalan di RSUD Tugurejo Semarang. Penelitian yang dilakukan
oleh Bintanah (2012), menyatakan banwa berdasarkan hasil uji korelasi pearson untuk
asupan serat diperoleh p =0,002 ( p < 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan antara asupan serat dengan kolesterol. Semakin rendah asupan serat
semakin tinggi kadar kolesterol total. Hasil penelitian Waloya (2013), juga
menyatakan bahwa asupan serat berpengaruh nyata terhadap kadar kolesterol
Rata-rata kadar kolesterol responden yaitu 263,52 mg/dL, dengan kadar
kolesterol minimum yaitu 206 mg/dL, dan kadar kolesterol maximum yaitu 400
mg/dL. Kolesterol pada dasarnya sangat dibutuhkan oleh tubuh kita, Kolesterol
dibutuhkan dalam berbagai metabolisme tubuh yaitu antara lain sebagai perkursor
untuk sintesis hormon steroid seperti testosteron, estrogen, progesteron, kortikosteroid,
dan asam empedu. Kolesterol juga berperan sebagai komponen struktur dari
membrane dan merupakan lapisan luar dari lipoprotein plasma. Sintesis vitamin D
97

juga memerlukan kolesterol yaitu dengan cara kolesterol akan dikonversikan menjadi
7-dehidrokolesterol yang merupakan pro vitamin D yang dengan bantuan sinar
matahari dikonversikan menjadi vitamin D yang berperan dalam metabolisme kalsium
sebagai pembentukan tulang. Dikatakan hiperkolesterolemia jika kadar kolesterol
>200 mg/dl, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kadar kolesterol
diantaranya adalah faktor genetik, dan pola makan yang tinggi lemak dan rendah serat.
Penelitian Wahjoeni (2016), menyatakan bahwa dari 25 responden yang vegetarian
hanya terdapat 2 responden yang memiliki kadar kolesterol diatas normal. Penelitian
Ramadhan (2015), memperoleh hasil dari 42 sampel terdapat 40 sampel yang
memiliki kolesterol di atas normal dengan asupan serat kurang (<25 g/hari).
Konsumsi serat dari responden masih tergolong rendah karena belum mencapai
25 g/hari. Rata-rata konsumsi serat responden adalah 9,78 gr/hari, nilai minimum yaitu
2 g/hari dan maximum 23 g/hari. Sebagian besar responden juga mempunyai
komplikasi dengan penyakit gout arthritis sehingga responden sudah membatasi
frekuensi dan porsi dari bahan makanan seperti kacang-kacangan dan juga sayur-
sayuran yang merupakan makanan tinggi serat.
Rendahnya konsumsi serat dalam penelitian ini sama halnya dengan penelitian
yang dilakukan oleh Nikmah (2014), dengan rata-rata konsumsi serat masih dibawah
anjuran atau kebutuhan yaitu 6,79 g/hari. Dalam penelitiannya Nikmah (2014), juga
mengemukakan bahwa serat dapat membantu menurunkan absorpsi lemak dan
kolesterol darah.
Dalam saluran pencernaan serat dapat mengikat garam empedu (produk akhir
kolesterol) kemudian dikeluarkan bersamaan dengan feses. Dengan demikian, serat
pangan mampu mengurangi kadar kolesterol dalam plasma darah. Ketika terjadi
peningkatan ekskresi kolesterol dalam feses, maka akan menurunkan jumlah kadar
kolesterol yang menuju ke hati. Penurunan jumlah kolesterol di hati akan
meningkatkan pengambilan kolesterol didarah yang akan disintesis untuk menjadi
asam empedu. Hal ini yang menjadi faktor semakin berkurangnya kadar kolesterol
dalam plasma darah.

KESIMPULAN
Ada hubungan konsumsi serat dengan hiperkolesterolemia pada pasien hipertensi di
puskesmas Rurukan Kota Tomohon. Dengan uji statistik uji korelasi ρ = 0,027 < 0,0.5.
Kekuatan hubungan antara kedua variabel lemah, tetapi arah hubungan menunjukkan
tanda negative yang berarti semakin rendah konsumsi serat semakin tinggi kadar
kolesterol responden.

SARAN
1. Bagi masyarakat, perlu menjaga pola makan terutama untuk penderita
hiperkolesterolemia sebaiknya banyak mengonsumsi buah dan sayur dan juga
makanan-makanan yang memiliki kandungan serat yang tinggi.
2. Bagi instansi terkait seperti dinas kesehatan lebih khususnya puskesmas dapat
meningkatkan upaya pencegahan maupun penanganan dan juga melakukan
pemeriksaan kadar kolesterol bagi masyarakat yang beresiko sehingga Puskesmas
bisa mendapatkan data-data mengenai pasien yang mengalami hiperkolesterolemia.
3. Diharapkan untuk penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan desain
eksperimen sehingga dapat melihat peranan serat dalam menurunkan kadar
kolesterol serta memperhatikan faktor-faktor lain yang dapat mengakibatkan
penyakit hiperkolesterolemia.

DAFTAR PUSTAKA
1. Feryadi R, Sulastri D, Kadri H (2012. Hubungan kadar Profil Lipid dengan
Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Etnik Minangkabau di Kota Padang Tahun
2012. Jurnal Kesehatan Andalas, Volume 3, Nomor 2, 2014
98

2. Balitbangkes, (2013). Pokok-pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia.


Jakarta.
3. Kustiyah L, Widhianti MU , Dewi M. (2013). Hubungan Asupan Serat dengan
Status Gizi dan Profil Lipid Darah pada Orang Dewasa Dislipidemia. Jurnal Gizi
dan Pangan, Volume 8, Nomor 3
4. Anggara FHD, Prayitno N. (2013). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Tekanan Darah di Puskesmas Telaga Murni Cikarang Barat Tahun 2012. Jurnal
Ilmiah Kesehatan, Volume 5, Nomor 1, Januari 2013.

5. Khairani R, Sumiera M. (2005). Profil Lipid pada Penduduk Lanjut Usia di Jakara.
Jurnal Universa Medicina, Volume 24, Nomor 4, Oktober-Desember 2005
6. Eksanoto D (2013). Hubungan Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin Dengan
Kejadian Hipertensi Di Kelurahan Jagalan Diwilayah Kerja Puskesmas
Pucangsawit Surakarta. STIKES Aisyiyah Surakarta. Jurnal Ilmu Keperawatan,
Volume 1, Nomor 1, Juli 2013
7. Pranama VF (2012). Hubungan Aktivitas Fisik dengan Tekanan Darah Pada
Lansia Hipertensi di Desa Pomahan Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo.
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo.
8. Situmorang PR, (2015). Faktor- Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Hipertensi pada Penderita Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan
Tahun 2014. Jurnal Ilmiah Keperawatan, Volume 1, Nomor 1, Februari 2015.
9. Stefhany E (2012). Hubungan Pola Makan, Gaya Hidup, Dan Indeks Massa Tubuh
Dengan Hipertensi Pada Pra Lansia Dan Lansia Di Posbindu Kelurahan Depok
Jaya Tahun 2012. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok.
Skripsi.
10. Kurniawati KF, (2015). Hubungan Konsumsi Lemak dan Aktivitas Fisik dengan
Kadar Kolesterol Darah dan Kadar Low Density Lipoprotein pada Pasien Penyakit
Jantung Koroner Rawat Jalan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi.
Fakultas ilmu kesehatan Universitas muhammadiyah Surakarta. Skripsi
11. Tomastola YA, Legi NN, Makarawung G, (2014). Hubungan Konsumsi Makanan
Ekstrim Dengan Kejadian Hipertensi di Wilayah Puskesmas Rurukan Kecamatan
Tomohon Timur Kota Tomohon. Jurnal GIZIDO, Volume 6, Nomor 1, Mei 2014.
12. Kandou GD. (2009). Makanan Etnik Minahasa dan Kejadian Penyakit Jantung
Koroner. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Volume 4, Nomor 1, Agustus
2009
13. Arif D, Rusnoto, Hartinah D. (2013). Faktor Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Hipertensi pada Lansia di Pusling Desa Klumpit UPT Puskesmas Gribig
Kabupaten Kudus. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 2, Juli 2013
14. Devianty C, Indriasari R, Salam A. (2013). Gambaran Pola Konsumsi dan Status
Asam Folat Pada Ibu Hamil di Kabupaten Gowa. Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Universitas Hasanuddin Makasar.
15. Putri DE, Mulyati T, Mufnaety. (2010). Hubungan Asupan Serat dan Asupan
Kolesterol Dengan Kadar Kolesterol Total Dan Kadar Trigliserida Penderita
Jantung Koroner Rawat Jalan Di RSUD Tugorejo Semarang. Fakultas ilmu
kesehatan universitas muhammadiyah semarang.
16. Bintanah S, Handarsari E. (2012). Asupan Serat dengan Kadar Gula Darah, Kadar
Kolesterol Total dan Status Gizi pada Pasien Diabetus Mellitus Tipe 2 di Rumah
Sakit Roemani Semarang. LPPM Unimus 2012
17. Waloya T, Rimbawan, Adarwulan N. (2013). Hubungan Antara Konsumsi Pangan
dan Aktivitas Fisik dengan Kadar Kolesterol Darah Pria dan Wanita Dewasa di
Bogor. Institut Pertanian Bogor. Waloya T, Rimbawan, Adarwulan N. (2013).
Hubungan Antara Konsumsi Pangan dan Aktivitas Fisik dengan Kadar Kolesterol
Darah Pria dan Wanita Dewasa di Bogor. Institut Pertanian Bogor.
99

18. Wahjoeni R, Yanti MM, Paruntu M. (2016). Gambaran Kadar Kolesterol Total
Darah Pada Mahasiswa Vegetarian Lacto-ovo. Fakultas Kedokteran Universitas
Sam Ratulangi Manado.
19. Ramadhan SH (2015). Hubungan Serat dan Asupan Lamak Jenuh Dengan Kadar
Kolesterol Darah Pada Lansia di Posyandu Aisyiyah Kota Surakarta. Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
20. Nikmah. (2014) Perbedaan Intake Serat, Natrium, dan Antioksidan Antara
Penderita Penyakit Jantung Koroner dan Penyakit Jantung Non Koroner Pasien
Rawat Jalan di RSUD Dr Moewardi Surakarta. Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
99

POLA KONSUMSI, STATUS GIZI, DAN KETAJAMAN PENGLIHATAN


SOPIR MINIBUS TRAYEK MANADO GORONTALO

Daniel Robert, Vera T. Harikedua, dan Mirna Kawulusan


Politeknik Kesehatan Manado Jurusan Gizi

ABSTRAK
Pola konsumsi yang tidak sehat menyebabkan berbagai timbulnya gangguan kesehatan
seperti berlebihan atau kekurangan status gizi dan penyakit degenerative. Status gizi
bukan hanya dapat dipengaruhi dari pola makan, tapi juga dapat dipengaruhi dari ilmu
pengetahuan, ekonomi, lingkungan, umur, jenis kelamin, pola hidup dan budaya.
Status gizi dibedakan dari status gizi kurang, status gizi baik, dan status gizi lebih.
Status gizi dapat diukur dengan menggunakan pengukuran antropometri. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pola makan, status gizi serta ketajaman penglihatan supir
bus.
Jenis penelitian ini deskriptif dengan rancangan cross sectional. Jumlah sampel 30
orang, yang ditentukan secara accidental sampling. Pengukuran antropometri
menggunakan timbangan injak dan mikrotois, sedangan menentukan pola konsumsi
menggunakan kuesioner food frekuensi dengan cara diwawancarai, Instrumen
penelitian yaitu snellen chart untuk mengetahui ketajaman mata. Pengolahan data
menggunakan program microsoft exell, nutrisurvey dan spss.
Hasil penelitian ini dilihat bahwa jenis makanan yang sering dikonsumsi oleh para
supir adalah nasi, ikan laut, tempe, sayur kangkung dan buah pisang. Jadwal makan
para supir yaitu makan pagi, makan siang dan makan malam dengan frekuensi makan
3 kali sehari. Status gizi para supir 76,7% normal. dan 23,3% gemuk.
Kesimpulan jenis bahan makanan yang dikonsumsi adalah jenis bahan makanan yang
mudah didapat dan terjangkau serta jadwal makan para supir bus teratur. Status gizi
supir bus sebagian besar normal. Pengemudi minibus sebagian besar memiliki
ketajaman penglihatan normal, tidakpernah mengalami kejadian kecelakaan adalah
sebagian besar tidak pernah kecelakaan, yang pernah kecelakaan sebagian besar
sebanyak >1x, mengalami bentuk kecelakaan secara tunggal, yang pernah mengalami
kecelakaan disebabkan oleh kesehatan serta tidak pernah mengalami pandangan kabur
saat berkendara.

Kata Kunci : Pola makan, Status gizi, Ketajaman Penglihatan

PENDAHULUAN
Di zaman yang semakin canggih dan modern ini perubahan gaya hidup
seseorang semakin terlihat dari segi pola makan. Pola makan itu sendiri sesuatu
gambaran yang dikonsumsi sehari-hari oleh seseorang. Karena sekarang banyak
berbagai makanan junk food dan makanan yang tidak sehat tersebar luas, sehingga
masyarakat pun tak melihat lagi kualitas makanan dari segi kesehatan dan zat gizinya.
Selain itu juga kurangnya ketersediaan pangan yang mengakibatkan
ketidakseimbangan dalam pola makan.
Pola Konsumsi yang tidak sehat menyebabkan berbagai timbulnya gangguan
kesehatan seperti berlebihan atau kekurangan status gizi dan penyakit degenerative.
Pola makan sangatlah mempengaruhi status gizi seseorang. Karena status gizi
merupakan keadaan yang ditentukan oleh kebutuhan fisik oleh energi dan zat-zat gizi
yang diperoleh dari asupan makan yang dampak fisiknya dapat diukur (Kusuma dkk,
2014).
Status gizi bukan hanya dapat dipengaruhi dari pola makan, tapi juga dapat
dipengaruhi dari ilmu pengetahuan, ekonomi, lingkungan, umur, jenis kelamin, pola
hidup dan budaya. Status gizi dibedakan dari status gizi kurang, status gizi baik dan
100

status gizi lebih. Status gizi dapat diukur dengan menggunakan pengukuran
antropometri (Zuhdy,2015).
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak telepas dari aktifitas berjalan,
duduk, tidur, makan dan lain sebagainya. Aktifitas tersebut langsung berhubungan
dengan alat atau produk yang menunjang aktifitas tersebut. Begitu pula dengan para
supir yang setiap harinya duduk berjam-jam didepan kemudi, sehingga sangat rentan
terhadap gangguan kesehatan.
Menurut Yoon dan Kim (1999), dalam hasil penelitian di daerah Masan
ditemukan 51% supir bus yang memliliki status gizi normal, 33% supir bus memiliki
kesehatan yang kurang baik dan 17% supir bus memiliki penyakit kronik. Karena
sebagian besar supir lebih banyak mengkonsumsi makanan yang berlemak, asin dan
jeroan. Sehingga supir bus harus rajin dalam berolahraga teratur, mengendalikan berat
badan dengan mengkonsumsi makanan yang beragam dan seimbang serta memantau
status gizi sepanjang mengemudi agar terhindar dari gangguan gizi dan gangguan
kesehatan lainya.
Hasil Riskesdas Nasional tahun 2013, prevalensi tertinggi untuk status gizi
obesitas adalah 24,0%. Penduduk Sulawesi Utara berjenis kelamin laki-laki >18 tahun
penyumbang obesitas tertinggi yaitu 34,7%. Proporsi status gizi dewasa >18 tahun
dengan kategori IMT di Sulawesi Utara, normal 53,9%, lebih 16,5% dan obesitas
24,1%. Proporsi status gizi dewasa >18 tahun dengan kategori berdasarkan
karakteristik jenis kelamin laki-laki yaitu kurus 12,1%, normal 68,2%, lebih 10,0%
dan obesitas 9,6%.
Dengan segala perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi, tentu muncul
beberapa masalah transportasi disini. Salah satu masalah yang paling disorot adalah
tentang masalah keselamatan lalu lintas. Kondisi pengemudi yang rawan kejadian
kecelakaan adalah pengemudi yang mengalami gangguan pada status gizinya, kondisi
kesehatannya dan perilaku mengemudi (Russeng, 2009).
Data dari World Health Organisation (WHO), saat ini kecelakaan transportasi
jalan di dunia telah mencapai 1,5 juta korban meninggal dan 35 juta korban luka-
luka/cacat akibat kecelakaan lalu lintas pertahun (2,739 jiwa dan luka-luka 63,013
jiwa per hari). Menurut International Labour Organization (ILO), rata-rata pertahun
terdapat 99.000 kasus kecelakaan kerja dan 70% diantaranya berakibat fatal, yaitu
kematian dan cacat seumur hidup. Rata-rata pertahun total kerugian mencapai Rp. 280
Triliun. Sebanyak 85% korban meninggal akibat kecelakaan, ini terjadi di negara-
negara berkembang. Tingkat kecelakaan transportasi jalan di kawasan Asia Pasifik
memberikan kontribusi sebesar 44% dari total kecelakaan di dunia dan Indonesia
termasuk di dalamnya.
Suatu kondisi tubuh yang buruk ditambah stamina yang kurang akan
membawa dampak yang serius bagi mereka yang bekerja dengan kejadian seperti
kecelakaan ini, sehingga kondisi fisik haruslah selalu dalam kondisi yang baik. Tidak
sedikit pengemudi atau pengguna jalan yang mengalami kesulitan mempertahankan
gaya hidup sehat termasuk diet bergizi dan olahraga teratur yang berakibat pada
kondisi status gizi dari pengemudi (Kristanto, 2012).
Kecelakaan lalu lintas adalah suatu hal yang tentunya ingin selalu dihindari
oleh setiap penggunan jalan, namun terkadang kecelakaan lalu lintas ini terjadi secara
tiba-tiba karena prasarana jalan yang buruk ataupun karena kelalaian dari pengguna
jalan itu sendiri (Putri, 2014).
Gangguan kesehatan dan penyakit akibat kerja pada sektor informal antara lain
kejadian anemia (7-86,8%), gizi kurang (1,9-18,2%), dan gangguan penglihatan mata
(14,9 - 28,6%). Kondisi kesehatan yang telah disebutkan diatas, bila dicermati
merupakan faktor kejadian terjadinya kecelakaan. Faktor-faktor ini ikut berperan
terjadinya kecelakaan secara tidak langsung (Russeng, 2009).
Sistem pencahayaan menunjang kinerja manusia dalam bekerja. Sehingga hal
ini menunjang bahwa pentingnya penerangan dalam setiap aktifitas untuk supaya tidak
mengurangi atau menurunkan fungsi dari organ lainnya bagi manusia itu sendiri.
101

Penurunan ketajaman penglihatan sering diikuti oleh penurunan kinerja manusia


dalam menangani tugas yang dibebankan dan meningkatkan kejadian terjadinya
kecelakaan kerja. Ketajaman penglihatan didefinisikan sebagai kemampuan mata
untuk dapat melihat suatu obyek secara jelas dan sangat tergantung pada kemampuan
akomodasi mata (Ulfah, dkk. 2013).
Dewasa ini masyarakat yang melakukan kegiatan dengan tujuan yang
berbeda-beda membutuhkan sarana penunjang pergerakan berupa angkutan pribadi
(mobil, motor) maupun kendaraan umum. Kendaraan umum merupakan suatu
kendaraan yang sering digunakan oleh masyarakat Indonesia yang tidak memiliki
kendaraan pribadi untuk pergi ke suatu tempat yang letaknya jauh dan tidak bisa
ditempuh dengan berjalan kaki (Amalia, 2014).
Semenjak tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 terjadi perubahan yang
signifikan dalam bidang transportasi khususnya transportasi darat, seperti yang terjadi
di provinsi Gorontalo. Menjamurnya kendaraan pribadi yang beroperasi menjadi
angkutan umum atau yang biasa disebut taxi gelap (Febriansyah, 2009). Disebut taxi
gelap karena mobil yang dijadikan sebagai angkutan umum ini adalah mobil pribadi
berplat hitam yang tidak diizinkan menjadi angkutan umum.
Sekarang ini, masyarakat dihadapkan dengan pilihan moda transportasi taxi
gelap yang lebih nyaman, lebih cepat waktu tunggunya, mudah didapatkan namun
berstatus ilegal sehingga keamanan juga tidak dijamin namun dengan tarif yang
hampir sama dengan moda transportasi lainnya (Palilingan, 2013). Hal ini membuat
banyak masyarakat lebih memilih untuk menggunakan angkutan ini dalam lingkup
antar kabupaten/kota dan propinsi.
Berdasarkan kajian dan fenomena diatas, peneliti melakukan penelitian pola
konsumsi, status gizi dan ketajaman penglihatan sopir minibus trayek Manado
Gorontalo.

BAHAN DAN CARA


Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Penelitian ini
mendeskripsikan mengenai pola konsumsi, status gizi, ketajaman penglihatan,
pengemudi minibus di jalan Trans Sulawesi. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal
2-5 Juni 2016 dan tempat penelitian dilakukan di jalan Trans Sulawesi.
Populasi alam penelitian ini adalah semua pengemudi minibus antar provinsi
yang singgah di jalan Trans Sulawesi. Sampel adalah seluruh pengemudi minibus
antar provinsi yang berada di rest area desa Busisingo kecamatan Sangkub
berdasarkan teknik Non probability sampling dengan menggunakan metode
Accidental Sampling yakni dengan cara mengambil sampel pengemudi yang kebetulan
berada di lokasi penelitian dan bersedia menjadi responden yang berjumlah 30
responden.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil
1. Gambaran Umum Responden
Subjek dalam penelitian ini adalah supir bus jurusan Manado – Gorontalo
yang singgah beristirahat di rest area. Subjek penelitian berjumlah 30 orang.
a. Umur
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Golongan Umur
Umur Responden Jumlah
(tahun) N %
19 – 29 3 10,0
30 – 49 19 63,3
50 – 64 8 26,7
Junlah 30 100
102

Pada tabel 1 Jumlah responden paling banyak berkisar antara 30-49


tahun yaitu 63,3%, sedangkan yang paling sedikit 19-29 tahun yaitu 10,0%.

b. Jenis kelamin
Distribusi responden menurut jenis kelamin, diketahui bahwa seluruh
responden berjenis kelamin laki-laki. Karena pengemudi atau supir dominan
adalah para kaum lelaki.

a. Pola konsumsi
Dalam penelitian ini, peneliti juga meneliti mengenai jenis sumber
makanan dan frekuensi makan responden.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pola Konsumsi Makanan Sumber


Karbohidrat

Sumber Sering Kadang Jarang


Karbohidrat n % n % n %
Nasi 30 100 0 0 0 0
Kentang 4 13,3 15 50,0 11 36,7
Jagung 1 3,3 13 43,3 16 53,3
Umbi-umbian 0 0 7 23,3 23 76,7

Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa pola konsumsi makanan dari sumber
karbohidrat yang sering dikonsumsi adalah nasi yaitu 100% dan yang jarang
dikonsumsi adalah umbi-umbian yaitu 76,7%.

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pola Konsumsi Makanan Sumber


Protein Hewani

Sumber Protein Sering Kadang Jarang


Hewani n % n % n %
Daging ayam 15 50,0 13 43,3 2 6,7
Daging sapi 0 0 4 13,3 26 86,7
Seafood 0 0 0 0 30 100
Ikan air tawar 2 6,7 22 73,3 6 20,0
Ikan asin 1 3,3 8 26,7 21 70,0
Ikan laut 30 100 0 0 0 0
Telur ayam 8 26,6 20 66,7 2 6,7
Telur bebek 2 6,7 3 10,0 25 83,3

Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa pola konsumsi makanan dari sumber
protein hewani yang sering dikonsumsi adalah ikan laut yaitu 100% dan yang
jarang dikonsumsi adalah daging ayam dan telur ayam yaitu 6,7%.
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pola Konsumsi Makanan Sumber
Protein Nabati

Sumber Protein Sering Kadang Jarang


Nabati n % n % n %
Tempe 13 43,3 12 40,0 5 16,7
Tahu 12 40,0 12 40,0 6 20,0
Kacang– kacangan 4 13,3 7 23,4 19 63,3
103

Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa pola konsumsi makanan dari sumber
protein nabati yang sering dikonsumsi adalah tempe yaitu 43,3% dan yang
jarang dikonsumsi adalah kacang-kacangan yaitu 63,3%.

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pola Konsumsi Makanan Jenis


Sayuran

Jenis Sayuran Sering Kadang Jarang


n % n % n %
Kangkung 23 76,7 6 20,0 1 3,3
Terong 14 46,7 12 40,0 4 13,3
Sawi 12 40,0 10 33,3 8 26,7
Daun singkong 3 10,0 13 43,3 14 46,7
Kacang panjang 8 26,7 14 46,6 8 26,7

Pada tabel 4 dapat dilihat bahwa pola konsumsi makanan dari jenis
sayuran yang sering dikonsumsi adalah kangkung yaitu 76,7% dan yang jarang
dikonsumsi adalah daun singkong yaitu 46,7%.
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pola Konsumsi Makanan Jenis
Buah

Jenis Buah Sering Kadang Jarang


n % n % n %
Pisang 23 76,7 6 20,0 1 3,3
Pepaya 16 53,4 13 43,3 1 3,3
Durian 0 0 0 0 30 100
Apel 0 0 0 0 30 100
Pear 0 0 0 0 30 100

Pada tabel 5 dapat dilihat bahwa pola konsumsi makanan dari sumber
buah yang sering dikonsumsi adalah pisang yaitu 76,7% dan yang jarang
dikonsumsi adalah durian, apel dan pear yaitu 100%.

2. Status Gizi
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Status Gizi Berdasarkan IMT

Status Gizi Jumlah


n %
Normal 23 76,7
Gemuk 7 23.3
Jumlah 30 100

Pada tabel 6 bahwa 76,7% responden berstatus gizi normal dan


23,3% responden berstatus gizi gemuk.

3. Ketajaman Penglihatan

Tabel 7. Distribusi Responden Berdasarkan Ketajaman Penglihatan


Jumlah
Ketajaman penglihatan
n %
Derajat 1 (Normal) 23 71.9
Derajat 2 (Hampir) 2 6.2
Derajat 3 (Sedang) 1 3.1
Derajat 4 (Berat) 6 18.8
104

Total 32 100

Dari data yang diperoleh dalam tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar
ketajaman penglihatan responden adalah Derajat 1 (Normal) sebanyak
23 responden (71.9 %) sedangkan yang paling sedikit adalah Derajat 3 (Sedang) yang
berjumlah 1 responden (3.1%).

B. PEMBAHASAN
1. Umur
Berdasarkan hasil pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner
yang telah diberi skor dan dianalisa secara kuantitatif dan yang bersifat deskriptif,
dapat dilihat bahwa umur responden bervariasi antara 19-64 tahun. Jumlah
respondent paling banyak berkisar antara umur 30-49 tahun yaitu 63,3%,
sedangkan yang paling sedikit 19-29 tahun yaitu 10,0%. Hal ini menunjukkan
bahwa supir bus masih berada pada usia produktif. Data Bappenas mengenai
tingkat pengangguran dipaparkan oleh Meneg PPN/Kepala Bappenas Paskah
Suzetta pada Agustus tahun 2007 tingkat pengangguran sebesar 9,1%, sedangkan
kemiskinan 16,58%. Pada Februari tahun 2008 tingkat pengangguran menjadi
8,46% dan tingkat kemiskinan 15,42%. Kondisi ini menyebabkan masyarakat
memilih menjadi supir karena tidak memiliki keahlian lain.

2. Jenis bahan makanan dan jadwal makan


Jenis bahan makanan yang bersumber dari karbohidrat diketahui dengan
menganalisis hasil dari kuesioner. penelitian ini menunjukan bahwa sumber
karbohidrat yang dikonsumsi harian responden adalah nasi dengan frekuensi
konsumsi terbanyak adalah lebih dari 3 kali per minggu dan umbi-umbian dengan
frekuensi terendah kurang dari 1 kali per minggu.
Konsumsi karbohidrat dapat mempengaruhi status gizi karena karbohidrat
berlebih akan disimpan dalam bentuk glikogen dijaringan oto dan juga dalam
bentuk lemak yang akan disimpan dalam jaringan-jaringan adipose seperti perut
dan bagian bahwa kulit. Hal ini menyebabkan adanya hubungan antara frekuensi
konsumsi nasi dengan status gizi responden (Dewi & Mahmudiono, 2013).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sumber protein hewani yang
dikonsumsi harian responden adalah ikan laut dengan frekuensi konsumsi
terbanyak adalah lebih dari 3 kali per minggu dan seafood dengan frekuensi
terendah kurang dari 1 kali per minggu. Karena letak rest area berada pada pesisir
pantai dan ikan adalah lauk hewani yang harganya juga cukup terjangkau.
Berdasarkan hasil penelitian (Dewi & Sri, 2006), sebagian besar
mengkonsumsi protein hewani dengan frekuensi harian dan jenis yang bervariasi.
Jenis protein hewani yang dikonsumsi secara mingguan adalah daging ayam, telur
ayam, daging sapi dan hati.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sumber protein nabati yang
dikonsumsi harian responden adalah tempe dengan frekuensi konsumsi terbanyak
adalah lebih dari 3 kali per minggu dan kacang-kacangan dengan frekuensi
terendah kurang dari 1 kali per minggu. Karena harga tempe terjangkau dan tempe
pun seringkali menjadi jajanan gorengan bagi para supir.
Berdasarkan hasil penelitian (Dewi & Sri 2006), sebagian besar
mengkonsumsi protein nabati secara harian yaitu tahu dan tempe. Makanan ini
sering dikonsumsi karena harga terjangkau, banyak disukai dan mudah didapat
setiap waktu.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis sayur dan buah yang
dikonsumsi harian responden adalah kangkung dan pisang dengan frekuensi
konsumsi terbanyak adalah lebih dari 3 kali per minggu dan daun singkong, durian
apel serta pear dengan frekuensi terendah kurang dari 1 kali per minggu. Karena
105

sayuran dan buah hanya dianggap sebagai makanan biasa, sama halnya dengan
makanan lain dan mengkonsumsinya hanya berdasarkan selera.
Sayur atau buah sebaiknya dijadikan makanan utama disamping makanan-
makanan penghasil energi atau protein. Banyak keuntungan yang dapat diperoleh
dengan membiasakan makan sayur dan buah tersebut, diantaranya : memenuhi
kebutuhan vitamin dan mineral yang penting bagi tubuh, sebagai sumber serat
kasar yang dapat membantu mengaktifkan fungsi usus dan melancarkan
pembuangan sisa-sisa pencernaan, mencegah kegemukan, mengurangi rasa lapar
dan menurunkan kelebihan lemak serta kolestrol, dan dapat digunakan untuk
sarana menambah selera makan bisa juga dijadikan makanan pendamping untuk
sayur dan penutup untuk buah (Bondika, 2011).

3. Status gizi
Status gizi dalam penelitian ini menggunakan Indeks Massa Tubuh sebagai
parameter status gizi. Masalah kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa
merupakan masalah penting, karena selain mempunyai risiko penyakit-penyakit
tertentu juga dapat mempengaruhi produktifitas kerja. Status gizi adalah ekspresi
dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari
nutrisi dalam bentuk variabel tertentu. Dari hasil penelitian sebagian besar sopir
memiliki status gizi normal yaitu sebesar 76,7%, sedangkan yang paling sedikit
berada pada status gizi gemuk yaitu sebesar 23,3%. Hal ini disebabkan karena
berat badan dan tinggi pekerja dalam keadaan normal serta diseimbangi dengan
asupan makan.
Status gizi baik terjadi apabila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang
digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik,
perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat
setinggi mungkin (Almatsier, 2009).

4. Ketajaman Penglihatan
Mata merupakan panca indera yang fungsinya untuk melihat dan juga
merupakan organ tubuh kita yang sangat penting serta sangat peka terhadap
pengaruh lingkungan sekitar. Ketajaman penglihatan didefinisikan sebagai
kemampuan mata untuk dapat melihat suatu objek secara jelas dan sangat
tergantung pada kemampuan akomodasi mata (Wibowo, dkk 2011). Ketajaman
penglihatan adalah kemampuan untuk membedakan dua titik yang terletak
berdekatan (Sherwood, 2001).
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa ketajaman penglihatan supir
minibus adalah Derajat 1 yakni Normal 200-15 sebanyak 71.9 % yaitu dapat
melihat dengan jarak 6 meter atau 20 kaki seluruh huruf yang ada di Snellen
Chart baik mata kanan atau kiri.
Pengemudi selalu memfokuskan matanya dan bekerja penuh konsentrasi
agar dapat mengemudi dengan lancar dan selamat. Tanggung jawab seorang
pengemudi sangatlah besar terhadap dirinya sendiri dan penumpang yang harus
dijamin keselamatannya sampai tempat tujuan. Oleh karena itu, kondisi kesehatan
fisik terutama penglihatan harus tetap dijaga.
Sikap pengemudi dalam berkendaraan juga dipengaruhi oleh kemampuan
observasi pengemudi terhadap kondisi lingkungan, jalan, dan kendaraan lain.
Observasi tersebut meliputi observasi penglihatan, observasi dengan perasaan,
observasi dengan pendengaran, dan observasi lain yang secara tidak langsung
berpangaruh terhadap sikap pengemudi dalam berkendara (Nainggolan, 2009).
Penglihatan adalah hal yang sangat penting bagi setiap untuk menunjang
aktifitasnya, usia yang bertambah akan meningkatkan resiko gangguan terhadap
penglihatannya namun dengan rata-rata usia yang masih produktif ini membuat
sebagian besar penglihatan para pengemudi masih normal sehingga keselamatan
dalam berkendarapun meningkat dari segi penglihatan. Karena dalam berkendara
106

penglihatan adalah modal utamanya dalam beraktifitas, jika penglihatan terganggu


pasti akan sangat menghambat pengemudi dalam bekerja.

KESIMPULAN
1. Jenis makanan yang paling sering dikonsumsi para supir bus yaitu nasi (100%)
pada jenis karbohidrat, ikan laut (100%) pada jenis protein hewani, tempe (43,3%)
pada jenis protein nabati, kangkung (76,7%) pada jenis sayuran dan pisang (76,7%)
pada jenis buah.
2. Jadwal makan para supir yaitu makan pagi, makan siang dan makan malam dengan
frekuensi 3 kali sehari serta susunan menu yaitu makanan pokok, lauk hewani, lauk
nabati, sayur dan buah yang mudah didapat.
3. Status gizi supir bus jurusan Manado-Gorontalo 76,7% responden berstatus gizi
normal dan 23,3% responden berstatus gizi gemuk.
4. Ketajaman penglihatan responden yaitu derajat 1 (normal) dengan sebanyak 71.9
%, derajat 4 (berat) 18.8 %, derajat 2 (hampir) 6.2 %, sedangkan derajat
3 (sedang) 3.1 %.

SARAN
1. Bagi para supir bus tetap mengontrol dan menjaga berat badan serta mengkonsumsi
makanan yang seimbang sesuai ukuran atau porsi yaitu makanan pokok seperti nasi,
roti, mie, jagung, kentang dan umbi-umbian. Lauk hewani seperti ikan, daging dan
seafood dan lauk nabati seperti tempe serta tahu. Berbagai macam sayuran dan
buah.
2. Bagi peneiti lain untuk dapat melakukan penelitian lanjutan dengan
memperpanjang hari penelitian dan memperbanyak sampel serta variabel
penelitian. Jangan melakukan penelitian di rest area karena waktu yang dimiliki
para supir bus sangat singkat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Almatsier S. (2009). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
2. Almatsier S. Soetardjo S. & Soekartini M. (2011). Gizi Seimbang Dalam Daur
Kehidupan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
3. Balitbangkes. (2008). Laporan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) Indonesia
Tahun 2007. http://www. litbang.depkes.go.id diakses pada tanggal 04 Desember
2015.
4. Bondika A. (2011). Faktor yang Berhubungan dengan Pemilihan Makanan
Jajanan Pada Anak Sekolah Dasar. Artike
5. Departement Gizi dan Kesehatan Masyarakat. (2014). Gizi dan Kesehatan
Masyrakat. Rajawali Pers. Jakarta.
6. Dewi A. &Sri S. (2006). Hubungan Konsumsi Protein Hewani dan Zat Besi
dengan Kadar Hemoglobin Pada Balita Usia 13-36 Bulan. The Indonesian Journal
of Public Health. Vol 3. No 1, Juli 2016.
7. Dewi C.N.A. & Mahmudiono T. (2013). Hubungan Pola Makan, Aktifitas Fisik,
Sikap dan Pengetahuan Tentang Obesitas dengan Status Gizi Pegawai Negeri
Sipil di Kantor Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Vol 9. No. 1 Januari-Juni
2013.
8. Hasdianah H.R, Siyoto S.H, Peristyowati Y. (2014). Gizi, Pemanfaatan Gizi, Diet
dan Obesitas. Nusa Medika. Yogyakarta.
9. Irianto K. & Waluyo K. (2010). Gizi dan Pola Hidup Sehat. Yrama Widya,
Jakarta.
10. Kartosapoetra & Marsetyo. (2005). Ilmu Gizi Korelasi Gizi, Kesehatan dan
Produktivitas Kerja. Rineke Cipta, Jakarta.
107

11. Kusuma I.A. Sirajuddin S. & Jafar N. 2014. Gambaran Pola Makan Dan Status
Gizi Mahasiswa. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin Makasar. http://www.repository.unhas.ac.id diakses pada
tanggal 10 Desember, 2015.
12. Notoatmojo S. (2001). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineke Cipta. Jakarta.
13. Paath E.F. Rumdasi Y. & Heryati. (2004). Gizi dalam Kesehatan Reproduksi.
Buku Kedokteran ECG, Jakarta.
14. Riset Kesehatan Dasar. (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan R.I.
15. Sediaoetama A. (2010). Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi jilid II. Dian
Rakyat, Jakarta.
16. Suhardjo. (2005). Perencanaan Pangan dan Gizi. PT. Bumi Aksara, Jakarta.
17. Sulistyoningsih H. (2011). Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Graha Ilmu.
Yogyakarta.
18. Supariasa I.D.N. (2002). Pendidikan dan Konsultasi Gizi. Buku Kedokteran ECG.
Jakarta.
19. Supariasa I.D.N. Bakri, B & Fajar, I. (2014). Penilaian Status Gizi. Buku
Kedokteran ECG. Jakarta.
20. Yoon H.S. & Kim G.R. (1999). Kesehatan dan Status Gizi Pada Supir Bus Di
Daerah Masan. Diakses http://www.digilib.esaunggul.ac.id pada tanggal 10
Desember 2015.
21. Zuhdy N. (2015). Hubungan Pola Aktivitas Fisik dan Pola Makan Dengan Status
Gizi Pelajar Putri SMA Kelas I Di Denpasar Utara. http://www.pps.unud.ac.id
diaksese pada tangal 10 Desember 2015.
108

PENGETAHUAN MAKANAN BERGIZI PADA NARAKONTAK


SERUMAH PENDERITA KUSTA

Dr. M. Zen Rahfiludin, SKM, M.Kes dan dr Siti Fatimah, M.Kes*


* Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat FKM Universitas Diponegoro

ABSTRACT
Leprosy is still one of the public health problems in Indonesia. The number of
leprosy patients in Indonesia ranks third in the world after India and Brazil. Brebes
is districts with the highest proportion of leprosy in Central Java, amounting to
14.8%. Leprosy is an infectious disease that correlated with immune response. The
immune response is affected by the intake of nutrients, both macro and micro. One
of the factors that influence consumption behavior nutritious food is knowledge.
Most people with leprosy came from middle-class and low knowledge. So we need
counseling to a high-risk group of contracting leprosy, that is, those who live at
home with lepers . The method used is a quasi-experimental design with pre-test
post-test without control. Counseling is done 1 time on July 19, 2016. The number
of participants at this event was 27 people, came from the village of Tengki and
Pasar Batang. Measurement of knowledge is done using a questionnaire with 20
items of questions. Data analysis using Wilcoxon test with a significance level of
95%. The subject is conveyed about leprosy and leprosy relationship with nutrition.
There are significant differences between the knowledge of the of participants
before and after counseling p-value of 0.000 (p <0.05). Amounting to 78.6% of
participants have Increased knowledge of scores between before and after
counseling. There is a significant increase is in knowledge about leprosy and
nutrition before and after counseling. Continuity counseling is necessary to Increase
knowledge of patient.

Keywords : Knowledge, Nutritious food, Household contact

PENDAHULUAN
Kusta adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh kuman kusta,
yaitu Mycobacterium leprae, yang terutama menyerang saraf tepi. Selanjutnya
dapat menyerang kulit dan jaringan tubuh lainnya, seperti mukosa mulut, saluran
nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis, kecuali
susunan saraf pusat. Penyakit ini merupakan penyakit infeksius dengan waktu
inkubasi yang panjang sampai bertahun-tahun.(1)
Penyakit kusta masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Hingga saat ini Indonesia merupakan salah satu negara dengan beban
penyakit kusta yang tinggi. Organisasi Kesehatan Dunia mencatat jumlah penderita
kusta di Indonesia menempati posisi ketiga di dunia setelah India dan Brasil,
dengan jumlah penderita sebanyak 17.025 kasus pada tahun 2014.(2)
Pada tahun 2014 dilaporkan 1.845 kasus baru kusta di Jawa Tengah, lebih
tinggi dibandingkan tahun 2013 yang sebesar 1.790 kasus. Sebesar 85,9% kasus di
antaranya merupakan tipe Multi Basiler. Kabupaten dengan proporsi kusta MB
tertinggi di Jawa Tengah adalah Kabupaten Brebes yaitu sebesar 14,8%. Prevalensi
kusta di Jawa Tengah tahun 2014 mencapai 0,63/10.000 penduduk atau 6,3/100.000
penduduk. Beban kerja tertinggi untuk program kusta terdapat di Kabupaten Brebes
dengan angka prevalensi 2,57/10.000.(3)
Penyakit kusta merupakan penyakit menular yang manifestasi klinisnya
berkoleralsi dengan jenis respon imun yang dipasang ke patogen, Mycobacterium
leprae.(4) Penyakit kusta dianggap sebagai penyakit imunologik karena peranan
imunitas seluler pada pasien sangat besar.(5) Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa respon imun dipengaruhi oleh asupan zat gizi, baik makro maupun mikro.
Penelitian epidemiologis dan klinis menunjukkan bahwa kekurangan gizi
menghambat respon imunitas dan meningkatkan risiko penyakit infeksi.(6) Penelitian
109

pada narakontak serumah penderita kusta di Kota Semarang menyatakan bahwa


ada hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi energi dan protein dengan
imunitas tubuh (kadar IgM anti PGL-1) pada narakontak serumah penderita kusta.(7)
Kabupaten Brebes merupakan Kabupaten dengan jumlah penduduk terbanyak
di Jawa Tengah, yaitu sebesar 1.781.379 jiwa. Sebagian besar penduduk Kabupaten
Brebes hanya mengenyam pendidikan dasar.(8) Pendidikan yang rendah ini akan
mempengaruhi pengetahuan penderita kusta. Pengetahuan merupakan faktor yang
sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang.(9) Salah satunya adalah
perilaku mengkonsumsi makanan bergizi. Pengetahuan gizi yang baik akan
meningkatkan konsumsi makanan bergizi seseorang.
Pengetahuan merupakan domain yang penting dalam membentuk perilaku
seseorang, termasuk perilaku mengkonsumsi makanan bergizi.(10) Pengetahuan juga
merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian kusta. (11) Oleh
karena itu perlu dilakukan penyuluhan makanan bergizi untuk meningkatkan
pengetahuan pada kelompok berisiko tinggi tertular kusta, yaitu narakontak
serumah penderita kusta. Individu yang tinggal serumah dengan penderita kusta
(narakontak kusta) mempunyai risiko tertular 5-8 kali dibanding individu yang tidak
tinggal serumah.(12) Pada prinsipnya ada hubungan yang sinergis antara status gizi
dengan kejadian infeksi penyakit.(13) Salah satu faktor yang mempengaruhi asupan
gizi adalah asupan makanan. Peningkatan pengetahuan diharapkan diiringi dengan
peningkatan perilaku konsumsi makanan bergizi penderita kusta.

BAHAN DAN CARA


Kegiatan penelitian ini dilaksanakan menggunakan metode quasi experiment
dengan rancangan pre-test post-test tanpa kontrol. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh narakontak serumah penderita kusta di Kabupaten Brebes.
Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah Narakontak serumah penderita kusta
di Desa Tengki dan Kelurahan Pasar Batang yang berjumlah 27 orang.
Prosedur penelitian yang dilakukan adalah melalui pendidikan gizi bagi
narakontak serumah penderita kusta dan evaluasi melalui pre test dan post test.
Instrumen penelitian yang digunakan berupa kuesioner pre-test post-test dan materi
penyuluhan. Kuesioner pre-tes post-test terdiri dari 20 item pertanyaan. Pertanyaan
yang diberikan meliputi cara penularan kusta, kelompok risiko tinggi terserang
kusta, gajala kusta, cara pencegahan, hubungan kusta dan gizi serta makanan-
makanan yang sebaiknya dikonsumsi penderita kusta. Pendidikan gizi diberikan
melalui penyuluhan. Materi penyuluhan yang diberikan meliputi penyakit kusta,
kaitan kusta dengan gizi serta contoh-contoh makanan yang dianjurkan dikonsumsi
penderita kusta.
Hasil pre-test dan post-test selanjutnya dianalisis menggunakan SPSS.
Analisis univariat digunakan untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi dan
persentase dari semua variabel penelitian. Analisis bivariat digunakan untuk
menggambarkan perbedaan skor pre-test dan post-test. Uji beda yang digunakan
adalah wilcoxon test dengan tingkat kemaknaan 95%.

HASIL DAN BAHASAN


Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Brebes, tepatnya di Desa Tengki
dan Kelurahan Pasar Batang. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 27 orang.
Sebagian besar responden berada di kelompok umur 41-50 tahun yaitu sebesar
40,7%. Sebesar 85,2% penderita berjenis kelamin perempuan. Tingkat pendidikan
sebagian besar responden yaitu tamat SD dan tamat SMA sebesar 33,3%. Pekerjaan
sebagian besar responden adalah ibu rumah tangga yaitu sebesar 66,7%.
Karakteristik responden selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Responden


Karakteristik Jumlah Persentase
1. Umur
≤ 20 tahun 1 3,7
110

21-30 tahun 5 18,5


31-40 tahun 10 37,0
41-50 tahun 11 40,7
2. Jenis Kelamin
Laki-laki 4 14,8
Perempuan 23 85,2
3. Pendidikan
Tidak Tamat Sekolah 3 11,1
Tamat SD 9 33,3
Tamat SMP 6 22,2
Tamat SMA 9 33,3
4. Pekerjaan
IRT 18 66,7
Petani 4 14,8
Wiraswasta 4 14,8
PNS 1 3,7
Total 27 100

Kuesioner pre-test dan post-test terdiri atas 20 item pertanyaan. Pertanyaan


yang diberikan meliputi cara penularan kusta, kelompok risiko tinggi terserang
kusta, gajala kusta, cara pencegahan, hubungan kusta dan gizi serta makanan-
makanan yang sebaiknya dikonsumsi penderita kusta. Jumlah jawaban benar
terbanyak pada pre-test ada pada pertanyaan nomor 3,10, 12 dan 20 dengan jumlah
jawaban benar sebanyak 27 (100%). Jawaban salah paling banyak pada pre-test ada
pada pertanyaan nomor 14 mengenai konsumsi makanan laut untuk penderita kusta,
yaitu sebesar 20 (74%). Sedangkan pada post-test jawaban benar paling banyak ada
pada pertanyaan nomor 2 dan 17, yaitu sebanyak 27 (100%). Jawaban salah
terbanyak ada pada pertanyaan nomor 6 mengenai gejala awal penyakit kusta, yaitu
sebesar 19 (70%). Distribusi frekuensi jawaban responden selangkapnya dapat
dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Jawaban Pre-Test dan Post-Test


Responden
Pre-test Post-tes
No Pertanyaan Benar Salah Benar Salah
f % f % f % f %
1 Penyakit kusta adalah penyakit 21 77,8 6 22,2 23 85,2 4 14,8
keturunan
2 Penyakit kusta disebabkan oleh 22 81,5 5 18,5 27 100 0 0
bakteri Mycobacterium leprae
3 Penyakit kusta dapat 27 100 0 0 26 96,3 1 3,7
menyerang kulit dan jaringan
tubuh lain
4 Kusta dapat menular melalui 14 51,9 13 48,8 25 92,6 2 7,4
pernapasan
5 Orang yang tinggal dengan 21 77,8 6 22,2 25 92,6 2 7,4
penderita kusta berisiko tinggi
untuk tertular
6 Gejala awal penyakit kusta 2 7,4 25 92,6 8 29,6 1 70,4
adalah timbulnya bercak putih 9
seperti panu dan terasa sakit
7 Pada gejala lanjut dan tidak 23 85,2 4 14,8 25 92,6 2 7,4
mendapat pengobatan yang
tepat kusta dapat
mengakibatkan kecacatan
8 Salah satu gejala kusta adalah 17 63,0 10 37,0 23 85,2 4 14,8
luka yang tidak kunjung
sembuh
9 Penderita kusta bisa bergaul 22 81,5 5 18,5 22 81,5 5 18,5
dengan masyarakat
10 Salah satu cara mencegah 27 100 0 0 25 92,6 2 7,4
111

penularan kusta adalah


menerapkan pola hidup bersih
dan sehat
11 Kurang gizi merupakan salah 15 55,6 12 44,4 22 81,5 5 18,5
satu penyebab kusta
12 Kekurangan zat gizi dapat 27 100 0 0 25 92,6 2 7,4
mempengaruhi imunitas
sehingga tubuh mudah
terserang penyakit
13 Penderita kusta tidak 15 55,6 12 44,4 13 48,1 1 51,9
dianjurkan mengkonsumsi 4
makanan dengan kandungan
vitamin C tinggi
14 Makanan laut seperti ikan dan 7 25,9 20 74,1 21 77,8 6 22,2
kerang baik untuk penerita
kusta
15 Mineral hanya bisa diperoleh 21 77,8 6 22,2 16 59,3 1 40,7
dari makanan laut 1
16 Asupan vitamin D hanya bisa 11 40,7 16 59,3 13 48,1 1 51,9
diproleh dari sinar matahari 4
17 Biji-bijian merupakan sumber 24 88,9 3 11,1 27 100 0 0
vitamin E yang baik
18 Pengobatan kusta gratis di 23 85,2 4 14,8 25 92,6 2 7,4
setiap puskesmas
19 Penderita kusta harus 26 96,3 1 3,7 25 92,6 2 7,4
memperhatikan asupan
makanan baik secara kualitas
maupun kuantitas
20 Kusta dapat disembuhkan 27 100 0 0 25 92,6 2 7,4

Berdasarkan hasil pre-test dan post-test dapat dilihat bahwa terjadi


peningkatan skor antara nilai pre test dan nilai post test. Rata-rata nilai pre-test
adalah 14,37 dan post-test adalah 16,44. Hasil pre test dan post test kemudian
dianalisis menggunakan wilcoxon test dan menghasilkan p-value 0,000 (p<0,05).
Hal tersebut berarti ada perbedaan yang signifikan antara pengetahuan penderita
kusta sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan. Hasil pre-test dan post-test
selengkapnya dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Hasil Skor Pre dan Post Test Peserta Kegiatan Penyuluhan
Nilai pre Frekuensi Persentase Nilai post Frekuensi Persentase
test test
10 3 11,1 10 1 3,7
12 1 3,7 11 1 3,7
13 3 11,1 14 1 3,7
14 3 11,1 15 5 18,5
15 11 40,7 16 5 18,5
16 3 11,1 17 5 18,5
17 2 7,4 18 3 11,1
18 1 3,7 19 5 18,5
20 1 3,7
Total 27 100 27 100

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu. Hal ini terjadi setelah dilakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan dilakukan melalui panca
indera manusia. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk perilaku seseorang.(10)
Pengetahuan dapat dipengaruhi oleh pendidikan, pekerjaan, umur, minat,
pengalaman, kebudayaan dan informasi.(14) Responden dalam penelitian ini
sebagian besar hanya menempuh pendidikan tingkat dasar, yakni SD dan SMP.
Bahkan terdapat pula responden yang tidak tamat sekolah. Tingkat pendidikan yang
rendah ini dapat mempengaruhi pengetahuan responden. Beberapa penelitian
112

menyatakan bahwa tingkat pendidikan berkorelasi dengan pengetahuan seseorang.


Penelitian mengenai pengetahuan kesehatan reproduksi pada ibu rumah tangga di
Banda Aceh menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat
pendidikan dengan pengetahuan kesehatan reproduksi ibu rumah tangga di Banda
Aceh.(15)
Pengetahuan dapat ditingkatkan melalui penyuluhan atau pemberian
informasi.(9) Penyuluhan merupakan salah satu cara efektif untuk meningkatkan
pengetahuan. Penelitian mengenai efektitas pelatihan perwatan diri penderita kusta
di Kabupaten Ngawi tahun 2011 menyatakan bahwa kegiatan perawatan diri efektif
untuk meningkatkan dukungan emosional dan dukungan instrumental keluarga
penderita kusta.(16)
Hasil penelitian ini juga menyatakan bahwa penyuluhan efektif untuk
meningkatkan pengetahuan penderita kusta. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan
skor pengetahuan responden antara sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan.
Responden yang mengalami peningkatan skor sejumlah 81,5%. Responden yang
skornya tetap sebesar 7,4% dan responden yang mengalami penurunan skor sebesar
11,1%. Setelah pengetahuan responden meningkat, diharapkan responden dapat
meningkatkan konsumsi makanan bergizi dan merubah perilakunya ke arah yang
lebih baik. Agar kekebalan tubuhnya terjaga dan dapat mencegah dari penularan
kusta.

KESIMPULAN DAN SARAN

Penyuluhan efektif untuk meningkatkan pengetahuan narakontak serumah


penderita kusta mengenai kusta dan makanan bergizi. Hal ini dapat dilihat dari hasil
uji beda menggunakan wilcoxon test yang menghasilkan p-value=0,000 (p<0,05).
Berarti ada perbedaan yang signifikan antara tingkat pengetahuan penderita
sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan.
Perlu kontinyuitas penyuluhan agar pengetahuan penderita meningkat.
Peningkatan pengetahuan ini diharapkan dapat meningkatkan perilaku konsumsi
makanan bergizi pada penderita kusta.

DAFTAR PUSTAKA

1. Brown RG. Catatan Kuliah Dermatologi. Jakarta: Erlangga; 2005.


2. World Health Organization. Global Leprosy Update. Weekly Epidemiol Rec
[Internet]. 2015;(36):461–76. Available from:
http://www.who.int/wer/2015/wer9036.pdf
3. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Profil Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah. Semarang; 2014.
4. Ocha MT, Teles R, Haas BE, Zaghi d, Li H, Sarno EN, et al. A role for
interleukin-5 in promoting increased immunoglobulin M at the site of disease
in leprosy. Imunnology. 2010;131:405–14.
5. Yawalkar SJ. Leprosy: for medical practitioners and paramedical workers.
7th editio. Novartis Foundation for Sustainable Development; 2002.
6. Chandra RK Nutrition and immune system: An introduction. Am J ClinNutr.
1997;66:460S – 463S.
7. Rahfiludin MZ, Kartini A, Philani D. Hubungan Tingkat Konsumsi Energi
dan Protein dengan Kadar IgM anti PGL-1 Narakontak Serumah Penderita
Kusta di Kota Semarang. J Kesehat Masy Indones. 2005;2:61–9.
8. Badan Pusat Statistik Kabupaten Brebes. Kabupaten Brebes dalam Angka
2016 [Internet]. Brebes; 2016. Available from:
https://brebeskab.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Kabupaten-Brebes-Dalam-
Angka-2016.pdf
9. Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka
Cipta; 2007.
10. Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Edisi Revi.
113

Jakarta: Rineka Cipta; 2012.


11. Yuniarasari Y. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Kusta.
Unnes J Public Heal. 2014;3(1):1–10.
12. Van Becrs SM, Hatta M KP. Patient contact is the major determinant insiden
leprosy : implication for future control. Int J Lepr. 1999;67.
13. Latham M. Human Nutrition in Developing Country. Rome: Food and
Agriculture Organization; 1997.
14. Mubarak WI. Promosi Kesehatan sebuah Proses Belajar Mengajar dalam
Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu; 2007.
15. Asiah M. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Pengetahuan Kesehatan
Reproduksi di Desa Rukoh Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh. J Biol
Edukasi. 2009;1(2).
16. Wulandari L, Suswardani DL FA. Efektivitas Pelatihan Perawatan Diri
terhadap Dukungan Emosional dan Instrumental keluarga Penderita Kusta. J
Keperawatan Soedirman. 2011;6(2):62–71.
114

HUBUNGAN PERILAKU DAN BUDAYA IBU RUMAH TANGGA


KELUARGA MISKIN (GAKIN) TERHADAP STATUS KESEHATAN GIGI
DAN MULUT ANAK USIA SEKOLAH DI PESISIR PANTAI KECAMATAN
TUMINTING KOTA MANADO

Anneke A. Tahulending, Vega Rossa Fione, Jeane D’Arz Adam


Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Kemenkes Manado
Email : anneke.tahulending@gmail.com

ABSTRACT
Increasing levels of dental caries have been found in some developing countries,
especially for those countries where preventive programmed have not been
established. In the People's Republic of China, public oral health services are
generally oriented towards treatment and mostly delivered from hospitals or health
care center. Since the late 1980s, the health authorities have given emphasis to
preventive oral care and oral health education in order to improve the oral health
behavior of the public. With respect to the child population, behavior modification
may be a family responsibility, but oral health education could also be given by school
teachers. This research aim is to analyze correlation between behaviour and culture
with dental caries in children in the Tuminting Manado.
This research is an observational study design with cross-sectional study. The sample
of this research is all poor family in the Tuminting and have school age children
amounting to 100 persons. Independent variables are knowledge, attitudes, action and
culuter. Dependent variable is dental caries. Data was obtained and analyzed using
correlation test.
Result of this research: 1) there are correlation between knowledge and dental caries
in children with p value 0,022 (p<0,05); 2) there are correlation between attitude and
dental caries in children with p value 0,004 (p<0,05); 3) there are correlation between
action and dental caries in children with p value 0,002 (p<0,05); and 4) there are
correlation between action and dental caries in children with p value 0,001 (p<0,05).
This means there is a significant correlation between knowledge, attitudes, actions and
culture with caries in children.
The conclusion of this study is knowledge, attitudes, action and culture with a caries
in school aged children has a significant correlation. Therefore, it is recommended to
provide continuous health education in order to improve the awareness of community
to seek the prevention about maintaining healthy teeth and mouth.

PENDAHULUAN
Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh
pemerintah dan/atau masyarakat (UU Kesehatan No 36 Tahun 2009).Mengukur
kebersihan gigi dan mulut merupakan upaya untuk menentukan keadaan kebersihan
gigi dan mulut seseorang. Pada umumnya untuk mengukur kebersihan gigi dan mulut
digunakan suatu indeks (Putri dkk, 2010).
Masalah kesehatan gigi dan mulut di Indonesia masih sangat perlu
diperhatikan. Penyakit gigi dan mulut merupakan penyakit terbanyak yang dikeluhkan
masyarakat Indonesia. Penyakit gigi dan mulut tersebut adalah karies gigi dan
penyakit periodontal, khususnya peradangan gusi atau gingivitis (Astoeti dkk, 2006).
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 menunjukan
bahwa tingkat prevalensi karies (gigi berlubang) mencapai 90,05 %. Data di
Departemen Kesehatan juga menunjukan angka keluhan sakit gigi cukup tinggi, yaitu
1,3 % atau 2.620 penduduk per bulan. Namun sebagian besar atau 87 % penduduk
yang mengeluh sakit gigi tidak berobat. Data dari Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi
115

Utara menunjukkan bahwa jumlah penderita penyakit karies dan jaringan periodontal
mencapai 58% (Anonim, 2005).
Status kesehatan seseorang termasuk kesehatan gigi dan mulut, dipengaruhi
oleh empat faktor penting, yaitu keturunan, lingkungan (fisik, biologis, sosial),
perilaku, dan pelayanan kesehatan. Faktor perilaku memegang peranan penting dalam
mempengaruhi status kesehatan gigi dan mulut (Astoeti dkk, 2006).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 prevalensi
penduduk Indonesia yang bermasalah dengan kesehatan gigi dan mulut mencapai 23,4
% dan terjadi peningkatan sebesar 2,5 % sehingga pada tahun 2013 mencapai 25,9 %
penduduk Indonesia yang bermasalah dengan kesehatan gigi dan mulut. Di Provinsi
Sulawesi Utara penduduk yang bermasalah dengan kesehatan gigi dan mulut pada
tahun 2007 hanya 29,8% sedangkan pada tahun 2013 mencapai 31,6% ini artinya
terjadi peningkatan sebesar 1,8%(RISKESDAS 2013).
Hasil penelitian Anitasari dan Rahayu (2005) tentang kebersihan gigi dan
mulut siswa sekolah dasar, dimana hasil penelitian ini menunjukan tingkat kebersihan
gigi dan mulut dengan menggunakan indeks OHI-S pada 1650 siswa Sekolah Dasar
Negeri kelas 1-6 didapatkan 6,73% siswa dengan keadaan kebersihan gigi dan mulut
baik, 59,03% sedang, dan 34,24% buruk. Oral hygiene index simplified (OHI-S) rata-
rata adalah 3 termasuk kebersihan gigi dan mulut sedang.
Hasil penelitian Oktavilia, Probosari dan Sulistiyani (2014) tentang perbedaan
OHI-S DMF-T dan def-t pada Siswa Sekolah Dasar berdasarkan letak geografis di
kabupaten Situbondo, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai OHI-S siswa
di wilayah pantai yaitu 49% lebih baik daripada dataran rendah dan perbukitan, rata-
rata DMF-T siswa di wilayah pantai 0,56, dataran rendah 0,97, dan perbukitan 1,20,
rata-rata def-t wilayah pantai 1,20, dataran rendah 1,61, dan perbukitan 1,32.
Mulut bukan hanya untuk pintu masuknya makanan dan minuman, tetapi fungsi
mulut lebih dari itu dan tidak banyak orang mengetahui. Mulut merupakan bagian
yang penting dari tubuh kita dan dapat dikatakan bahwa mulut adalah cermin dari
kesehatan gigi karena banyak penyakit umum mempunyai gejala-gejala yang dapat
dilihat dalam mulut. Pada umumnya keadaan kebersihan mulut anak lebih buruk dan
anak lebih banyak makan makanan dan minuman yang menyebabkan karies dibanding
orang dewasa. Anak-anak umumnya senang gula-gula, apabila anak terlalu banyak
makan gula-gula dan jarang membersihkannya, maka gigi-giginya banyak yang
mengalami karies (Machfoedz dan Zein, 2005).
Masalah utama dalam rongga mulut anak adalah karies gigi. Gigi berlubang
atau karies gigi adalah proses kerusakan gigi yang dimulai dari permukaan gigi atau
enamel menuju ke dalam gigi atau dentin. Proses tersebut terjadi karena sejumlah
factor di dalam mulut yang berinteraksi satu sama lain. Masyarakat umumnya
cenderung beranggapan bahwa gigi susu tidak perlu dirawat karena akan diganti
dengan gigi tetap. Sehingga, hal ini menyebabkan keadaan gigi susu saat diperiksakan
di klinik sudah parah dan anak berisiko menderita sakit gigi dengan segala macam
komplikasi yang akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Pada masa sekarang, kasus kerusakan gigi pada anak telah meningkat secara
dramatis di dunia. Diperkirakan bahwa 90% dari anak-anak usia sekolah di seluruh
dunia dan sebagian besar orang dewasa pernah menderita karies. Prevalensi karies
tertinggi terdapat di Asia dan Amerika Latin. Prevalensi terendah terdapat di Afrika.
Di Amerika Serikat, karies gigi merupakan penyakit kronis anak-anak yang sering
terjadi dan tingkatnya 5 kali lebih tinggi dari penyakit asma. Karies merupakan
penyebab patologi primer atas penanggalan gigi pada anak-anak dan sekitar 29%-59%
orang dewasa dengan usia lebih dari 50 tahun mengalami karies.
Berdasarkan survei awal yang dilakukan tanggal 18 Februari 2015 kepada 25
anak anak usia 6- 9 tahun di 7 kelurahan di dapatkan 13 anak dengan kriteria
kebebersihan gigi dan mulut buruk, 6 anak dengan criteria sedang dan 5 orang anak
dengan criteria baik, dengan rata–rata nilai atau kriteria DMF- T 4,2 dan OHIS 3,57.
Jika di bandingkan dengan nilai atau krtieria standar World Heath Organisasi (WHO)
yaitu ≤ 1,2 untuk OHIS dan ≤ 3 untuk DMF-T. Data ini sudah mengindikasikan bahwa
kondisi kesehatan gigi dan mulut anak usia sekolah keluarga miskin di Kecamatan
116

Tuminting masih jauh dari yang di harapkan atau bermasalah kesehatan dan sangat
perlu untuk di tingkatkan.
Mencermati fenomena data dan fakta yang di uraikan pada latar belakang
masalah, sebagai tenaga kesehatan gigi, kondisi ini sangat memotivasi peneliti untuk
mengeksplorasi lebih jauh lagi untuk mengetahui dan menemukan solusi yang tepat
mengatasi masalah kesehatan gigi dan mulut anak-anak usia sekolah yang berada di
Kecamatan Tuminting Kota Manado.
Tujuan penelitian ini adalah untuk Mengetahui Hubungan Perilaku dan Budaya
memelihara kesehatan gigi dan mulut ibu rumah tangga keluarga miskin (GAKIN) terhadap
Status kesehatan gigi dan mulut anak usia sekolah di pesisir pantai Kecamatan Tuminting
Kota Manado.

BAHAN DAN CARA


Jenis penelitian yang digunakan adalah Survey Analytic dengan
menggunakan pendekatan Cross Sectional. Rancangan Cross sectional merupakan
rancangan penelitian yang pengukuran atau pengamatannya dilakukan secara simultan
pada satu saat/ sekali waktu. Penelitian dilakukan dengan mengisi kuesioner oleh
ibu rumah tangga keluarga miskin serta pemeriksaan langsung dengan melihat dan
memeriksa kesehatan gigi dan mulut, anak usia sekolah .
Populasi adalah seluruh ibu rumah tangga yang memiliki kartu keluarga
miskin (Gakin) masyarakat pesisir pantai yang berada di 7 kelurahan di kecamatan
Tuminting kota Manado.Sampel penelitian ini dalam penelitian ini adalah anggota
populasi yang bersedia menjadi responden penelitian yaitu orang tua adalam hal ini
ibu rumah tangga yang memilki kartu keluarga miskin (GAKIN) yang yang berada di
7 kelurahan di Kecamatan Tuminting Kota Manado, ke 7 kelurahan ini di pilih
berdasarkan pertimbangan peneliti secara purporsive sampling area karena secara
geografis penelitian akan memilih responden yang berada di pesisir pantai.Teknik
Pengambilan Sampel
Teknik Pengambilan Sampel teknik Purposive Sampling (Hidayat, 2007).
Pengambilan sampel dilakukan pada ibu rumah tangga keluarga miskin di pesisir
pantai Kecamatan Tuminting dan yang mempunyai anak usia sekolah selanjutnya
dilakukan pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut pada anak usia sekolah. Instrumen
Penelitian Alat OD (masker, hand scone, kaca mulut, pinset, dan eksavator),
Disclosing, Sikat Gigi, Pasta Gigi, Kapas, Form penelitian (kuesioner, dan status
karies), alat tulis.
Jalan Penelitian; 1) Peneliti mencatat data ibu rumah tangga keluarga miskin
di Pesisir Pantai Kecamatan Tuminting Kota Manado. 2) Menjelaskan maksud dan
tujuan serta manfaat penelitian, membagikan pernyataan persetujuan menjadi
reponden, dan membagikan kuesioner, serta memeriksa status kebersihan gigi dan
status karies gigi anak usia sekolah. Hasil pemeriksaan status karies gigi anak dicatat
pada format pemeriksaan, dan kegiatan ini akan bekerja sama dengan perawat gigi
Puskesmas Tuminting. 3) Menyajikan hasil data tersebut dalam bentuk tabel
kemudian melakukan analisis data untuk mengetahui ada tidaknya hubungan
prilaku dan budaya ibu rumah tangga keluarga miskin terhadap status kesehatan
gigi dan mulut anak usia sekolah di pesisir pantai Kecamatan Tuminting Kota
Manado.
Analisis Data; Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan
antara dua variable yaitu variabel bebas dengan variabel terikat dengan
menggunakan uji Korelasi. Korelasi atau hubungan signifikan apabila nilai
probabilitasnya kurang dari taraf kesalahan (p ≤ 0,05) yang artinya Ho ditolak atau
menunjukkan hubungan yang signifikan (Notoatmodjo, 2005). Analisa multivariat
dalam penelitian ini dengan menggunakan uji regresi logistik Saryono, 2009).
117

HASIL DAN PEMBAHASAN


HASIL PENELITIAN

SD
4
27 SMP
33
SMA
PT
36

Gambar 1. Distribusi berdasarkan tingkat pendidikan ibu

7
8
PNS
SWASTA

85 IRT

Gambar 2. Distribusi berdasarkan pekerjaan ibu

40 36
33
30 27
7-8 tahun
20 9-10 tahun
10 11-12 tahun

Gambar 3. Distribusi berdasarkan umur anak


118

53
52
52
51
50 Laki-laki
49 Perempuan
48
48
47
46

Gambar 4. Distribusi berdasarkan jenis kelamin anak


Berdasarkan Gambar 1-4, terlihat bahwa sebagian besar ibu berpendidikan
SMP (36%), bekerja sebagai ibu rumah tangga (85%), anak berumur 11-12 tahun
(42%), dan sebagian besar anak berjenis kelamin laki-laki (52%). Selanjutnya,
dipaparkan distribusi variabel penelitian.

70 65
58 55 55
60
50 42 45 45
40 35
30
20
10
0
Pengetahuan Sikap Tindakan Budaya

Baik Kurang baik

Gambar 5. Distribusi responden berdasarkan kategori perilaku dan budaya


Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa sebagian besar responden memiliki
pengetahuan yang baik (65%), sikap baik (58%), tindakan baik (55%) dan budaya
yang termasuk kategori baik (55%).

80 73
60
40 27
20
0
Karies Gilut
Baik Tidak baik

Gambar 6. Kategori Kesehatan Gigi dan Mulut


Selain itu, sebagian besar indeks DMF-T anak termasuk dalam kategori baik
(73%). Selanjutnya dipaparkan hasil analisis hubungan antara pengetahuan, sikap,
tindakan dan budaya dengan indeks DMF-T anak.
Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa:
a). Berdasarkan hasil analisis hubungan antara pengetahuan ibu dengan karies gigi
anak diperoleh nilai p sebesar 0,022 (p < 0,05). Hal ini berarti ada hubungan yang
119

signifikan antara pengetahuan ibu dengan indeks DMF-T pada anak. Selain itu,
diperoleh nilai korelasi sebesar 0,229, hal ini berarti pengetahuan ibu dengan indeks
DMF-T pada anak memiliki hubungan yang lemah dengan arah korelasi positif
yaitu jika pengetahuan ibu meningkat maka indeks DMF-T pada anak semakin
baik.
b). Berdasarkan hasil analisis hubungan antara sikap ibu dengan karies gigi anak
diperoleh nilai p sebesar 0,004 (p < 0,05). Hal ini berarti ada hubungan yang
signifikan antara sikap ibu dengan indeks DMF-T pada anak. Selain itu, diperoleh
nilai korelasi sebesar 0,284, hal ini berarti sikap ibu dengan indeks DMF-T pada
anak memiliki hubungan yang lemah dengan arah korelasi positif yaitu jika sikap
ibu meningkat maka indeks DMF-T pada anak.
c). Berdasarkan hasil analisis hubungan antara tindakan ibu dengan karies gigi anak
diperoleh nilai p sebesar 0,002 (p < 0,05). Hal ini berarti ada hubungan yang
signifikan antara tindakan ibu dengan indeks DMF-T pada anak. Selain itu,
diperoleh nilai korelasi sebesar 0,302, hal ini berarti tindakan ibu dengan indeks
DMF-T pada anak memiliki hubungan yang lemah dengan arah korelasi positif
yaitu jika tindakan ibu meningkat maka indeks DMF-T pada anak semakin baik.
d). Berdasarkan hasil analisis hubungan antara budaya dengan karies gigi anak
diperoleh nilai p sebesar 0,001 (p < 0,05). Hal ini berarti ada hubungan yang
signifikan antara budaya dengan indeks DMF-T pada anak. Selain itu, diperoleh
nilai korelasi sebesar 0,302, hal ini berarti budaya dengan indeks DMF-T pada
anak memiliki hubungan yang lemah dengan arah korelasi positif yaitu jika
budaya meningkat maka indeks DMF-T pada anak semakin baik.

Tabel 3. Hasil Analisis hubungan antar variabel penelitian

Variabel Jenis nilai Nilai

Pengetahuan Nilai korelasi + 0.229

Nilai p 0,022

N 100

Sikap Nilai korelasi + 0.284

Nilai p 0,004

N 100

Tindakan Nilai korelasi + 0.302

Nilai p 0,002

N 100

Budaya Nilai korelasi + 0.350

Nilai p 0,001

N 100

PEMBAHASAN
Gigi merupakan satu kesatuan dengan anggota tubuh kita yang lain. Kerusakan
pada gigi dapat mempengaruhi kesehatan anggota tubuh lainnya, sehingga akan
mengganggu aktivitas sehari-hari. Salah satu faktor yang dapat merusak gigi adalah
makanan dan minuman, yang mana ada yang menyehatkan gigi dan ada pula yang
120

merusak gigi. Upaya kesehatan gigi perlu ditinjau dari aspek lingkungan,
pengetahuan, pendidikan, kesadaran masyarakat dan penanganan kesehatan gigi
termasuk pencegahan dan perawatan. Namun sebagian besar orang mengabaikan
kondisi kesehatan gigi secara keseluruhan. Perawatan gigi dianggap tidak terlalu
penting, padahal manfaatnya sangat vital dalam menunjang kesehatan dan
penampilan (Pratiwi, 2007).
Mulut bukan hanya untuk pintu masuknya makanan dan minuman, tetapi
fungsi mulut lebih dari itu dan tidak banyak orang mengetahui. Mulut merupakan
bagian yang penting dari tubuh kita dan dapat dikatakan bahwa mulut adalah cermin
dari kesehatan gigi karena banyak penyakit umum mempunyai gejala-gejala yang
dapat dilihat dalam mulut. Pada umumnya keadaan kebersihan mulut anak lebih
buruk dan anak lebih banyak makan makanan dan minuman yang menyebabkan karies
dibanding orang dewasa. Anak-anak umumnya senang gula-gula, apabila anak terlalu
banyak makan gula-gula dan jarang membersihkannya, maka gigi-giginya banyak
yang mengalami karies (Machfoedz dan Zein, 2005).
Masalah utama dalam rongga mulut anak adalah karies gigi. Gigi berlubang
atau karies gigi adalah proses kerusakan gigi yang dimulai dari permukaan gigi atau
enamel menuju ke dalam gigi atau dentin. Proses tersebut terjadi karena sejumlah
factor di dalam mulut yang berinteraksi satu sama lain. Masyarakat umumnya
cenderung beranggapan bahwa gigi susu tidak perlu dirawat karena akan diganti
dengan gigi tetap. Sehingga, hal ini menyebabkan keadaan gigi susu saat diperiksakan
di klinik sudah parah dan anak berisiko menderita sakit gigi dengan segala macam
komplikasi yang akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara pengetahuan dengan karies gigi.Orang tua dalam hal ini ibu sudah sangat
memhami akan penting menjaga kesehatan gigi dan mulut, sehingga dapat
mengarahkan anak-anak terutama menykat gigi. Pengetahuan tentang menjaga
kesehatan gigi dan mulut tidak sulit di dapat lewat media televisi (iklan-iklan pasta
gigi atau sikat gigi, radio, atau lewat media massa. Pengetahuan merupakan hasil dari
tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek
tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia
diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Nur (2004) tentang pengaruh
perilaku orang tua anak pra sekolah di Surakarta yang menunjukkan bahwa adanya
hubungan antara pengetahuan dengan karies gigi. Selanjutnya Kawuryan (2008) yang
melaksanakan penelitian tentang hubungan pengetahuan tentang kesehatan gigi dan
mulut dengan kejadian karies gigi anak di Sekolah Dasar Negeri Kleco II kelas V dan
VI kecamatan Laweyan Surakarta yang memperoleh hasil yaitu adanya hubungan
pengetahuan ibu dengan karies gigi anak.
Ambarwati (2010) yang melaksanakan penelitian tentang hubungan
pengetahuan dan sikap ibu pada anak usia sekolah dasar di Desa Grogol Sukoharjo
diperoleh hasil bahwa pengetahuan ibu memiliki hubungan dengan karies gigi pada
anak. Ariningrum dan Indriasih (2004) melakukan penelitian tentang hubungan
pengetahuan sikap dan perilaku terhadap karies gigi pada siswa sekolah dasar di
Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara memperoleh hasil bahwa pengetahuan
berhubungan dengan kejadian karies gigi pada anak siswa sekolah dasar.
Penelitian yang dilakukan oleh Masrif (1989) menunjukkan bahwa
pengetahuan berhubungan dengan kejadian karies gigi pada anak sekolah dasar di
Kecamatan Senen Jakarta Pusat. Penelitian Rumini (2006) diperoleh hasil bahwa
pengetahuan berhubungan dengan kejadian karies gigi pada anak sekolah dasar di
Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman Yogyakarta. Penelitian yang pernah dilakukan di
Manado tentang analisis perilaku siswa sekolah dasar memperoleh hasil bahwa
pengetahuan berhubungan dengan karies gigi (Nyolo-nyolo, 2008).
Diperolehnya hubungan antara pengetahuan dengan kejadian karies gigi
disebabkan adanya informasi kesehatan gigi dan mulut yang sudah banyak
121

dipublikasikan di berbagai media baik media cetak maupun elektronik, misalnya surat
kabar, majalah, buletin-buletin kesehatan, internet, televisi dan radio.
Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara sikap dengan karies gigi. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih
tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan
suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi suatu perilaku. Sikap
itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah
laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di
lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2003).
Hasil penelitian Maramis (2010), mengatakan ada hubungan yang signifikan
jenis makanan terhadap karies gigi, dimana ada perbedaan proporsi kejadian karies
gigi antara siswa yang tidak suka mengkonsumsi makanan manis dan siswa yang suka
makan makanan yang manis terhadap status kesehatan gigi (DMF-T). Siswa yang
sering jajanan menunjukkan adanya perbedaan antara siswa yang jarang
mengkonsumsi jajanan diwaktu senggang mempunyai (DMF-T) tinggi atau karies
gigi.
Ambarwati (2010) yang melaksanakan penelitian tentang hubungan
pengetahuan dan sikap ibu pada anak usia sekolah dasar di Desa Grogol Sukoharjo
diperoleh hasil bahwa sikap ibu memiliki hubungan dengan karies gigi pada anak.
Ariningrum dan Indriasih (2004) melakukan penelitian tentang hubungan pengetahuan
sikap dan perilaku terhadap karies gigi pada siswa sekolah dasar di Kecamatan
Penjaringan Jakarta Utara memperoleh hasil bahwa sikap berhubungan dengan
kejadian karies gigi pada anak siswa sekolah dasar.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Nur (2004) tentang pengaruh
perilaku orang tua anak pra sekolah di Surakarta yang menunjukkan bahwa adanya
hubungan antara sikap dengan karies gigi. Penelitian yang dilakukan oleh Masrif
(1989) menunjukkan bahwa sikap berhubungan dengan kejadian karies gigi pada anak
sekolah dasar di kecamatan Senen Jakarta Pusat. Penelitian Rumini (2006)
memperoleh hasil bahwa sikap berhubungan dengan kejadian karies gigi pada anak
sekolah dasar di kecamatan Mlati kabupaten Sleman Yogyakarta. Penelitian yang
pernah dilakukan di Manado tentang analisis perilaku siswa sekolah dasar
memperoleh hasil bahwa sikap berhubungan dengan karies gigi (Nyolo-nyolo, 2008).
Adanya hubungan antara sikap dengan kejadian karies gigi disebabkan karena
banyaknya informasi kesehatan gigi dan mulut yang di berbagai media baik media
cetak maupun elektronik, misalnya surat kabar, majalah, buletin-buletin kesehatan,
internet, televisi dan radio tentang cara pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut serta
penyakit yang bisa diderita jika kesehatan gigi dan mulut rendah (Sumarti, 2007).
Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara tindakan dengan karies gigi. Hal ini disebabkan karena anak-anak sering
mendengarkan penyuluhan dari tenaga kesehatan gigi yang selalu menjelaskan bahwa
sesudah makan harus menyikat gigi terutama malam sebelum tidur, dan siang setelah
habis makan kalau tidak sempat pada siang hari menyikat gigi harus berkumur-kumur,
kebiasaan ini sudah membudaya sejak didni pada anak-anak. Hasil penelitian ini
sesuai dengan penelitian Nur (2004) tentang pengaruh perilaku orang tua anak pra
sekolah di Surakarta yang menunjukkan bahwa adanya hubungan antara tindakan
dengan karies gigi. Penelitian Rumini (2006) memperoleh hasil bahwa pengetahuan
berhubungan dengan kejadian karies gigi pada anak sekolah dasar di kecamatan Mlati
kabupaten Sleman Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan oleh Masrif (1989)
menunjukkan bahwa tindakan berhubungan dengan kejadian karies gigi pada anak
sekolah dasar di Kecamatan Senen Jakarta Pusat. Penelitian yang pernah dilakukan di
Manado tentang analisis perilaku siswa sekolah dasar memperoleh hasil bahwa
tindakan berhubungan dengan karies gigi (Nyolo-nyolo, 2008). Ariningrum dan
Indriasih (2004) melakukan penelitian tentang hubungan pengetahuan sikap dan
perilaku terhadap karies gigi pada siswa sekolah dasar di Kecamatan Penjaringan
Jakarta Utara memperoleh hasil bahwa tindakan berhubungan dengan kejadian karies
gigi pada anak siswa sekolah dasar.
122

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk


mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau
suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Seorang ibu harus
ambil sikap dalam mengawasi seorang anak dalam beberapa hal seperti di yang
disampaikan oleh Maramis (2010), dimana untuk mencegah karies gigi seseorang
harus memperhatikan antara lain, memelihara kesehatan gigi dan mulut
(menghilangkan plak dan bakteri), memperkuat gigi dengan kalsium dan fluor
mengurangi konsumsi makanan manis dan melekat, sikat gigi sesudah makan dan
sebelum tidur malam, periksakan gigi 6 bulan sekali, dan apabila gigi sudah berlubang
datang ke petugas kesehatn gigi untuk melakukan perawatan.
Penelitian dari Prasetyo, dkk (2000) yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara status pengetahuan ibu, yaitu makin tinggi tingkat pengetahuan ibu
maka semakin tinggi pula status kebersihan gigi anak. Selanjutnya Mardiati (2006)
menyatakan bahwa pengetahuan yang baik dapat meningkatkan tingkat kesehatan gigi
dan mulut.
Penyebab timbulnya masalah kesehatan gigi dan mulut pada masyarakat salah
satunya yaitu faktor perilaku atau sikap mengabaikan kebersihan gigi dan mulut. Hal
tersebut dilandasi oleh kurangnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya
pemeliharaan gigi dan mulut. Anak masih sangat tergantung pada orang dewasa dalam
hal menjaga kebersihan gigi dan mulut sehingga banyak diantara mereka yang
mengalami kerusakan pada gigi (Natoadmotjo, 2003).
Pengetahuan ialah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh
seseorang. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan indera atau akal
budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau
dirasakan sebelumnya. Pengetahuan ibu tentang kesehatan gigi akan sangat
menentukan statu kesehatan gigi anaknya kelak (Anonim, 2011).
Budaya dengan indeks DMF-T dilihat dari nilai korelasi, memiliki hubungan
yang lemah dengan arah hubungan yang positif dengan indeks DMF-T, hal ini
disebabkan kalau budaya menjaga kesehatan gigi baik tentu diikuti dengan Indeks
DMF-T juga baik. Hasil jawaban dalam kuesioner menunjukkan bahwa sebagian besar
ibu-ibu kalau gigi anaknya ada keluhan sakit cara mengatasi pertama yaitu mengobati
sendiri, dengan membeli obat diwarung, nanti setelah tidak ada perubahan baru
mencari sarana kesehatan gigi. Pendapat sebagian ibu bahwa pengobatan gigi karies
adalah cabut gigi, pada hal pencabutan gigi itu adalah perawatan yang paling terakhir,
jika gigi itu sudah tidak bisa ditambal maka sebagai pengobatan terakhir harus
dicabut. Kecenderungan juga ibu-ibu suka makan gohu dan anak-anak juga sudah
dibiasakan makan gohu, sesudah makan gohu jarang berkumur-kumur atau menyikat
gigi.

KENDALA YANG DIHADAPI DAN SOLUSINYA.


1. Ibu dan anak yang dijadikan responden sering menjawab pertanyaan kurang sesuai
sehingga peneliti melakukan cross check agar data yang diperoleh valid.
2. Data pada kuesioner tidak lengkap sehingga peneliti harus kembali mendatangi
responden untuk melengkapi isian kuesioner tersebut. KESIMPULAN DAN
SARAN
KESIMPULAN
1. Terdapat hubungan antara pengetahuan ibu rumah tangga keluarga miskin
(GAKIN) terhadap status kesehatan gigi dan mulut anak usia sekolah di pesisir
pantai Kecamatan Tuminting Kota Manado.
2. Terdapat hubungan antara sikap ibu rumah tangga keluarga miskin (GAKIN)
terhadap status kesehatan gigi dan mulut anak usia sekolah di pesisir pantai
Kecamatan Tuminting Kota Manado.
3. Terdapat hubungan antara tindakan ibu rumah tangga keluarga miskin (GAKIN)
terhadap status kesehatan gigi dan mulut anak usia sekolah di pesisir pantai
Kecamatan Tuminting Kota Manado.
123

4. Terdapat hubungan antara budaya ibu rumah tangga keluarga miskin (GAKIN)
terhadap status kesehatan gigi dan mulut anak usia sekolah di pesisir pantai
Kecamatan Tuminting Kota Manado

SARAN

1. Teoritis
Bagi peneliti selanjutnya agar dapat meneliti variabel yang lain yang belum diteliti
selain perilaku yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan gigi seperti determinan
sosial ekonomi keluarga.
2. Praktis
a. Bagi ibu agar lebih memperhatikan kesehatan gigi anak dalam hal ini
pertumbuhan gigi tetap yang mulai tumbuh pada usia 6 tahun, agar
mengingatkan untuk menjaga kesehatan gigi dengan menyikat gigi yang baik
setiap hari sesudah makan dan sebelum tidur malam serta memperhatikan
makanan yang dikonsumsi anak baik di rumah maupun disekolah,
memeriksakan gigi anak ke petugas kesehatan gigi 3 – 6 bln sekali agar tidak
terjadi karies gigi (gigi lubang) tersebut.
b. Bagi anak-anak disarankan mengurangi mengkonsumsi makanan yang manis
dan melekat dan rajin menyikat gigi agar tidak terjadi karies gigi tersebut.
3. Kebijakan
Disarankan pada para petugas kesehatan untuk melakukan pendidikan kesehatan
gigi (penyuluhan kesehatan gigi) pada ibu-ibu rumah tangga tentang pertumbuhan
gigi, karies gigi dan pemeriksaan gigi kepada anak usia 6 – 12 thn. Melakukan
perawatan dini seperti fissure sealant bahkan perawatan lanjut untuk mempertahankan
fungsi dari gigi yang merupakan benteng utama dalam rahang anak.

DAFTAR PUSTAKA
1. Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka
Cipta. Jakarta
2. Astoeti. T. E,. Budiharto., A. Bachtiar. 2006. Efektifitas Pengeloloaan
Pendidikan Kesehatan Gigi Dengan Pendekatan Toytal Quality Management
Pada Anak Sekolah. Indonesia Journal Of Dentistry. Vol 13(3) hal 150 -151.
3. Azwar Saififfin, (2012), Reliabilitas dan Validitas edisi 4, Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
4. Cockerham, W. C., (1989). Medical Sociology. Printed in the United States of
America
5. Dignan, M. B., (1986). Measurement and Evaluation of Health Education.
Printed in the United States of America
6. Dignan, M. B., Carr, P. A., (1992). Program Planning for Health Education.
Printed in the United of America
7. Ecklein, J. L., Lauffer, A. A., (1972). Community Organizers and Planners.
Printed in the United States of America
8. Green, L. W., (1991). Health Promotion Planning An Educational and
Environmental Approach. Manufactured in the United Statesof America
9. Green, L. W., Kreuter, M. W., , S. G., Partiedge, K. B., (1986). Health
Education Planning A Diagnostic Approacheds. Mayfield Publishing Company
10. Herijulianti, E., T.S. Indriani, dan S.Artini. 2001. Pendidikan Kesehatan Gigi.
Penerbit EGC.Jakarata.
11. Lewis, L. W. G. F. M., (1986). Measurement and Evaluation In Health
Education and Health Promotion. Mayfield Publishing Company
12. M, Kadir. (2010). Statistika Untuk Penelitian Ilmu-ilmu Sosial. Rosemata
Sampurna. Jakarta
124

13. Notoatmodjo, S. (2002). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta.


Jakarta
14. Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta.
Jakarta
15. Notoatmodjo, S. (2005). Promosi Kesehatan Teori Dan Aplikasi. PT Asdi
Mahasatya. Jakarta
16. Notoatmodjo, S. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. PT Rineka
Cipta. Jakarta
17. Nasir, ABD., Muhith, A., Ideputri, M.E., (2011). Buku AjarMetodologi
Penelitian Kesehatan. Nuha Medika. Yogyakarta
18. Najmah. (2011). Managemen & Analisa Data Kesehatan. Nuha Medika.
Yogyakarta
19. Purwanto, H. (1998) Pengantar Perilaku Manusia. EGC. Jakarta
20. Riduwan. (2009). Pengantar Statistika Sosial. Alfabeta. Bandung
21. Riwidikdo, H. (2008). Statistik Kesehatan. Mitra Cendikia Press. Jogjakarta
22. Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta.
Bandung
23. Susetyo, B. (2010). Statistika Untuk Untuk Analisis Data Penelitian. PT Refika
Aditama. Bandung
24. Sandjojo, N. (2011). Metode Analisis Jalur (Path Analysis) dan Aplikasinya.
Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
25. Sevila, C. G., Ochave, J. A., Punsalan, T. G.,Regala, B. P., Uriarte, G. G. (1993).
Pengantar Metode Penelitian. Universitas Indonesia. Jakarta
26. Sriyono, N.W. (2005). Pengantar Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan. Medika
Fakultas Kedokteran UGM. Jogjakarta.
27. Sunyoto, D. (2011). Analisis Penelitian Kesehatan. Nuha Medika. Yogyakarta
28. Wina, D.W,.N., Probosari., dan Sulistiyani (2014). Perbedaan OHI-S dan def-t
Pada Siswa Sekolah Dasar Berdasarkan Letak Geografis Di Kabupaten
Situbonda.e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol 2 No. 1 Januari 2014
125

KESIAP SIAGAAN BENCANA DENGAN RESPON BENCANA KOMUNITAS


SMKS KRISTEN YPKM MANADO

Jon Welliam Tangka, Ns. Nurseha Djaafar, Ns. Joice Laoh


Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Manado

ABSTRAK
Kota Manado tanggal 15 Januari 2014 pagi terjadi banjir bandang yang
membenamkan daerah aliran sungai yang berdampak pada 9 kecamatan, 12
Puskesmas, dan 42 kelurahan yang ada di Kota Manado. Dan dinyatakan kedaruratan
selama sebulan. Komunitas Sekolah termasuk pada komunitas khusus yang dapat
terabaikan pendidikannnya akibat bencana. Seberapa besar kesiapan dan respon
bencana komunitas siswa belum diketahui. Penelitian ini untuk mengetahui hubungan
kesiasiagaan bencana dan respon bencana Komunitas SMKS Kristen YPKM Manado.
Penelitian analitik kualitatif. Pada 140 responden siswa SMKS Kristen YPKM
Manado. Penelitian selama 3 bulan pengumpulan data dengan kuesioner Kesiapan
bencana dan respon bencana. Data dianalisis dengan univariat dan bivariat
menggunakan uji pearson. Hasil, usia responden rerata 15,49 tahun, laki-laki 55%
dengan kesiapan bencana paling banyak responden laki-laki 30,3% pada katagori
cukup siap, dan respon bencana paling banyak laki-laki 35% pada katagori respon
cukup siap. Uji person r=0,762, berarti hubungan kuat bersifat positif antara kesiapan
bencana dan respon bencana dan bermakna nilai p=0,000. Kesimpulan semakin siap
kesiagaan bencana komunitas SMKS Kristen YPKM Manado semakin tinggi respon
bencana pada kejadian bencana. Saran, perlu dibentuk satuan tugas untuk
pengembangan pemberdayaan komunitas sekolah dalam upaya peningkatan
pengetahuan dan ketrampilan manajemen bencana dan pembinaan secara kontinyu
oleh tim bencana Poltekkes secara terintegrasi dan masuk dalam pengembangan
pengabmas dan penelitian.
Kata Kunci: Kesiapan bencana, respon bencana, komunitas sekolah

PENDAHULUAN
Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis
yang membuatnya sangat mungkin untuk bencana terjadi, disebabkan baik oleh faktor
alam, faktor-faktor non-alami atau faktor manusia dan menyebabkan hilangnya
kehidupan manusia, kerusakan lingkungan, hilangnya properti, dan dampak
psikologis yang dalam kasus tertentu dapat menghalangi pembangunan nasional
(Sedyaningsih E.R, dkk 2011).
Setiap tahun terjadi lebih dari 400 bencana nasional yang berdapak pada 230
juta orang dan menyebabkan 75.000 orang meninggal per tahunnya (CRED, 2008
dalam Internasional Finace Corporation/ ICF).
Setiap tahun banjir terjadi secara reguler mencegah jutaan anak-anak untuk
hadir sepenuhnya dalam kelas per tahunnya. Pendidikan adalah hak setiap orang
secara universal untuk mendapatkannya. Pendidikan secara khusus sangat penting
pada anak-anak remaja maupun orang-orang cacat. Mereka mempunyai hak untuk
mendapatkan secara penuh latihan dan potensinya. Haknya tidaklah hilang ataupun
terputus hanya karena bencana dan kedaruratan. Ketika pendidikan terputus atau
terbatas, siswa akan putus sekolah, dengan dampak sosial siswa dan keluarga dan
komunitasnya terhadap ekonomi yang terpuruk akibat bencana.
Bencana alam adalah bagian dari perencanaan pendidikan. Apakah itu
bencana banjir tahunan, longsor, atau satu dalam lima generasi terjadi gempa bumi,
peningkatan bencana badai dan angin putar, peningkatan atau rendahnya tingkat air
laut, hal ini diketahui dan diduga akan adanya bencana hal ini dapat dimitigasi dengan
menetapkan penerapan pengetahuan, pendidikan, dan ingenuity.
126

Kita tidak dapat mencegah jatuhnya curahan air hujan, namun demikian kita
dapat mengkaji dan merencanakan, proteksi lingkungan secara fisik dan menyiapkan
kesiapsiagaan dan respon kesiapsiagaan dengan mencegah kejadian terhadap
bencana. Perlunya sekolah membagikan pengetahuan dan ketrampilan menjadi suatu
harapan diamana sekolah berperan utama dalam mencegah bencana. Keberhasilan
mitigasi bencana adalah salah satu maklumat suksesnya pendidikan yang disiapkan
pada generasi berikutnya.
Komunitas sekolah di tingkat Sekolah Menegah Atas/SMA atau sederajat
yang ada di DAS Kota Manado merupakan potensi untuk menjadi tulang punggung
harapan keluarga dan bangsa. Komunitas ini bila dibekali dengan pengetahuan dan
ketrampilan mitigasi sangat membantu anggota keluarganya terutama pada kelompok
khusus untuk memberikan bantuan dalam pemenuhan kebutuhan terlebih disaat
response bencana. Namun seberapa besar kesiapansiagaan dengan respons terhadap
bencana komunitas sekolah SMKS Kristen YPKM Manado belum diketahui sehingga
perlu dilakukan penelitian.

BAHAN DAN CARA


Penelitian ini menggunakan metoda deskriptif analitik dengan pendekatan
potong lintang/cross sectional untuk mendapatkan gambaran kesiapan bencana
dengan respon bencana komunitas SMKS Kristen YPKM Manado. Dimana
pengukuran atau pengamatannya dilakukan secara sumultan pada satu saat.

Kesiapsiagaan Bencana Respon Bencana


Komunitas SMKS
Kristen YPKM
Manado
Karakteristik: Usia, Jenis kelamin

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian


Kegiatan penelitian selama 12 minggu mulai pada periode Mei sampai dengan
September 2016. Populasi Siswa SMKS Kristen YPKM Manado, Sampel
Keseluruhan siswa yang ada saat pengumpulan data di SMKS Kristen YPKM
Manado yang bersedia menjadi subjek dalam penelitian ini. Instrumen penelitian,
Alat ukur yang digunakan yaitu Kuesioner Kesiapan Bencana Komunitas yang di
ambil dari nursing outcomes classification (NOC, 2013), sejumlah 35 nomor
pernyataan dengan 5 option jawaban secara likers dengan skor sebagai berikut
menjawab tidak siap=1, sedikit siap=2, cukup siap=3, siap=4, sangat siap=5. Alat
ukur yang digunakan yaitu Kuesioner Respon Bencana Komunitas yang di ambil dari
nursing outcomes classification (NOC, 2013), sejumlah 38 nomor pernyataan dengan
5 option jawaban secara likers dengan skor sebagai berikut menjawab respon tidak
siap=1, respon sedikit siap=2, respon cukup siap=3, respon siap=4, respon sangat
siap=5.
Prosedur Penelitian, setelah mendapatkan surat pengantar ke tempat
penelitian, surat diantar ke lokasi penelitian dan diatur pertemuan untuk dilaksanakan
presentasi ke Kepala SMKS Kristen YPKM Manado/ personalia terkait dengan
maksud dan tujuan penelitian hal ini untuk mendapatkan persetujuan penelitian.
Selanjutnya diberikan penjelasan kepada subjek penelitian terkait dengan tujuan
penelitian, dan kebermanfaatan subjek dalam penelitian ini. Inform consent
ditandatangani setelah Subjek yang setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
Kusioner diisi oleh responden kemudian dikumpulkan, diperiksa kelengkapan, dan
diklarifikasi isiannya, diedit kemudian di koding dan ditabulasi agar lebih mudah
dalam penyajian datanya yang disajikan dalam bentuk tabel. Data dianalisis
menggunakan statistik parametrik yaitu dengan uji spearman yaitu untuk mengetahui
127

seberapa besar hubungan antara variabel X dengan Y dengan skala data setingkat
ordinal. Perhitungan antara koefisien antara kesiapan bencana dengan respons
bencana komunitas SMKS Kristen YPKM Manado diolah dengan program komputer.
Korelasi dikatakan bermakna apabila didapatkan  ≤ 0,05 dengan tingkat
kepercayaan 95% atau tingkat kesalahan 5%. Dengan tingkat hubungan sangat kuat
bila nilai r mendekati 1 seperti paDa tabel kekuatan korelasi
Tabel 1. Kekuatan Korelasi r
Nilai Interpretasi
0,000-0,199 Sangat lemah
0,200-0,399 Lemah
0,400-0,599 Sedang
0,600-0,799 Kuat
0,800-1,000 Sangat Kuat
Sumber: Martono, Nanang (2010).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisa
Hasil Analisa Univariat
Karakteristik Umur

Tabel 2 Karakteristik Umur Responden (n140)


Mean Median Modus
Umur 15,49 15 15

Tabel 2. terlihat rerata usia responden 15,49 tahun, median 15 tahun dan modus 15
tahun.
Karakteristik jenis k elamin, katagori kesiapan bencana, dan respon bencana

Tabel 3. Karakteristik Jenis Kelamin, Katagori Kesiapan Bencana, dan


Respon bencana (n140)
Jenis Freku Kesiapan Bencana Respon Bencana
Kelamin nsi 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Laki-laki 77 2 20 43 11 1 2 14 49 11 1
Persen (%) 55 1,4 14,3 30,7 7,9 0,7 1,4 10 35 7,9 0,7
Perempuan 63 0 6 37 20 0 0 5 40 16 2
Persen (%) 45 0 4,3 26,4 14,3 0 0 3,6 28,6 11,4 1,4
Jumlah 140 2 26 80 31 1 2 19 89 27 3
Persen (%) 100 1,4 18,57 57,14 22,14 0,7 1,4 13, 63,57 19,2 2,14
57 8
Keterangan: Kesiapan bencana; tidak siap=1, sedikit siap=2, cukup siap=3,
siap=4, dan sangat siap=5. Respon bencana: respon tidak siap=1, respon sedikit
siap=2, respon cukup siap=3, respon siap=4, dan respon sangat siap=5

Tabel 3, menggambarkan karakteristik jenis kelamin paling banyak yaitu laki-


laki 77 responden (55%) sementara perempuan 63 (45%) dan jenis kelamin laki-laki
paling banyak pada variabel kesiapan bencana dengan katagori cukup siap yaitu 43
responden (30,7%) dibanding perempuan 37 responden (26,4%). Pada variabel
respon bencana jenis kelamin paling banyak yaitu laki-laki dengan katagori 49
responden (35%) sementara wanita 40 responden (28,6%).
128

Secara keseluruhan dari variabel kesiapan bencana paling banyak pada responden
dengan katagori cukup siap yaitu 80 responden (57,14%), diiukuti responden dengan
katagori siap yaitu 31 responden (22,14%), sementara hanya 1 orang yang sangat
siap. Sebaliknya yang tidak siap 2 responden.
Tabel 3, menggambarkan respon bencana paling banyak pada responden
dengan katagori respon cukup siap yaitu 89 responden (64,28%). Diikuti dengan
katagori siap yaitu sejumlah 27 responden (19,28%) sementara yang sangat siap
hanya 3 responden (2,14%) dan yang tidak siap ada 2 orang (1,4%).
Analisis Bivariat
Hasil analisis dapat dilihat pada tabel korelasi Pearson

Tabel 4. Hasil Analisis Korelasi Pearson

Coefficientsa
Standardize
Unstandardized d
Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) ,661 ,177 3,743 ,000
Kesiapan ,780 ,057 ,762 13,81 ,000
Bencana 3
a. Dependent Variable: Respon Bencan

Tabel 4, terlihat hasil uji pearson r = 0,762, yang bearti hubungan kuat dan
bersifat positif antara kesiapsiagaan bencana siswa dengan reapon bencana dimana
semakin siap kesiapan bencana maka semakin tinggi kesiapan terhadap respon
bencana bagi siswa SMKS Kristen YPKM dan mempunyai hubungan yang
bermakna, yakni nilai p= 0,000.

PEMBAHASAN
Penelitaian ini memperlihatkan rerata usia yaitu 15,49 tahun, dengan modus
dan median 15 tahun. Pada usia ini masuk pada batasan usia remaja terjadi perubahan
yang pesat baik aspek perkembangan kognetif, fisik, sosial, emosi, kepribadian, dan
moral. Umumnya ada dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
dinilai baik oleh orang lain, berpikir logis, menyimak informasi. Sehingga pada usia
ini baik untuk diberikan pendidikan dan latihan terkait dengan kewaspadaan seperti
kesiagaan terhadap bencana.
Komunitas sekolah yang lebih giat ke hal-hal yang menantang dan yang lebih
mengandalkan fisik adalah siswa dengan jenis kelamin laki-laki. Pada penelitian
didominasi laki-laki yaitu 55% dan perempuan 45%. Pada kesiapan bencana paling
banyak pada responden laki-laki 30,7% pada katagori cukup siap, diikuti responden
perempuan 26,4%. Kemudian respon bencana paling banyak pada responden laki-laki
35% pada katagori respon cukup siap, diikuti responden perempuan 28,6%.
Sementara persentase kedua pada kesiapan bencana yaitu masing-masing 14,3 baik
responden laki-laki maupun perempuan, untuk laki-laki pada katagori sedikit siap
sementara perempuan pada katagori siap. Untuk presentase kedua dalam respon
bencana lebih tinggi perempuan yaitu 11,4% pada katagori respon siap sementara
laki-laki 10% pada katagori respon sedikit siap. Pada persentasi kedua perempuan
cenderung ke katagori siap baik pada kesiapan maupun respon bencana.
Secara umum penelitian ini mengambarkan sebagain besar atau 57,14
responden di SMKS Kristen St.Ignatius Manado memiliki tingkat kesiapan bencana
(Banjir/longsor, gempa bumi, tsunami, dan abu gunung meletus) pada katagori cukup
129

siap. Diikuti 22,71% pada katagori siap dan sangat siap. Hal ini searah dengan
gambaran penelitian dari Hamdani dan Prihatiningsih (2015), yang menjelaskan
bahwa ada 47,8% responden di SMP Negeri 1 Imogiri Bantul Yogyakarta yang
memiliki kesiapsiagaan bencana gempa bumi yang sedang dan hanya 22,2%
responden saja yang memiliki kesiapsiagaan gempa bumi yang tinggi. Berbeda
halnya bila dibandingkan pada sekolah yang sudah ditetapkan menjadi sekolah siaga
bencana tingkat kesiapsiagaan dalam katagori tinggi yaitu 55,92% seperti di SMP N 2
Imogiri Bantul dan sebagian besar sekolah siaga bencana dalam katagori siap 64%
(Septikasari, 2014 dalam Hamdani & Prihatiningsih, 2015).
Respon terhadap bencana sangat dipengaruhi oleh banyak faktor baik faktor
internal maupun faktor ekstermnal. Faktor internal antara lain tingkat pendidikan,
pengalaman, dan usia, serta faktor eksternal dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah
terhadap penanggulangan bencana, juga kesiapan tenaga kesehatan dan masyarakat
dalam merespon keadaan bencana. Pada penelitian ini respon bencana paling banyak
63,57% pada katagori respon cukup siap, diikuti 19,28% pada katagori respon siap
dan sangat siap 21,42%. Analisis lebih lanjut dengan uji pearson terbukti ada
hubungan yang kuat, bersifat positif dan bermakna antara kesiapan bencana dan
respon bencana dimana semakin siap komunitas SMAK Kristen YPKM Manado
dalam kesiapsiagaan bencana maka semakin tinggi respon komunitas sekolah
terhadap bencana.
Hasil penelitian ini menggambarkan setiap siswa memiliki keinginan untuk
tanggap terhadap bencana. Beberapa penelitian menunjukan Sekolah mempunyai
peran nyata dalam membangun ketahanan masyarakat (BNPB, 2008). Komunitas
sekolah diperlukan adanya sikap dan tindakan, kebijakan sekolah, perencanaan
kesiapsiagaan dan mobilisasi sumberdaya sebagai perangkat pengukuran
kesiapsiagaan bencana di sekolah (konsorsium pendidikan bencana Indonesia, 2008).
Hal ini dapat terwujud dengan adanya pengaruh eksternal sekolah, selain BPBD
Poltekkes Kemekes Manado sebagai salah satu Perguruan Tinggi Negeri dibawah
Kementerian Kesehatan berkewajiban menyelenggarakan penelitian dan pengabdian
masyarakat sebagaimana diamanahkan oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2007
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sejalan dengan kewajiban tersebut, Undang-
undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 47 menegaskan
bahwa pengabdian kepada masyarakat merupakan kegiatan civitas akademika. Hal ini
sangat mendukung adanya kegiatan pendidikan dan pelatihan tanggap bencana bagi
komunitas sekolah sehingga diharapkan komunitas sekolah disiapsiagakan menjadi
komunitas sekolah siaga bencana. Adanya siswa yang memahami dan terampil dalam
menolong korban untuk memberikan bantuan hidup dasar bagi korban bencana, dan
pengaturan bencana sangat membantu mengurangi korban masal, kecacatan, dan
kematian akibat bencana. Keadaan ini perlu digalakkan dan dibentuk dalam suatu
wadah satuan tugas tanggap kedaruratan dan bencana yang selanjutnya keberadaan
dan kebermanfaatannya akan dikoordinasi oleh BPBD dan organisasi profesi yang
terkait.

KESIMPULAN
1. Lebih dari separuh responden pada katagori cukup siap dalam kesiapan bencana
2. Lebih banyak responden pada katagori respon cukup siap terhadap bencana
3. Adanya hubungan kuat dimana semakin meningkat kesiapan bencana komunitas
sekolah semakin siap berespon terhadap bencana
SARAN
Perlu dibentuk satuan tugas untuk pengembangan pemberdayaan komunitas sekolah
dalam upaya peningkatan pengetahuan dan ketrampilan manajemen bencana
Perlunya pembinaan secara kontinyu oleh tim bencana Poltekkes secara terintegrasi
dan masuk dalam pengembangan pengabmas dan penelitian.
130

DAFTAR PUSTAKA
1. Andi Purwanto (2015). Dalam http://bpbd.rejanglebongkab.go.id/kesiapsiagaan-
bencana/. Diakses 20 Mei 2016.
2. Caroline M, Manalip H, & Sangkertadi (2014). Upaya adaptasi elemen bangunan
untuk mitigasi bencana banjir bandang: suatu study kasus di Manado Sulawesi
Utara. Media Matrasain: Volume 11, No.2, Agustus 2014.
3. Departemen Pendidikan Nasional (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia: edisi
ke tiga.- Jakarta: Balai Pustaka,
4. Internasional Finance Corporation/ IFC , tanpa tahun Disaster and Emergency
Preparedness: Guidance for Schools
5. Martono, Nanang. (2010). Metoda Penelitian Kuantitatif, Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada.
6. Amir Rachmad (2012). Dalam
http://repository.unhas.ac.id:4001/digilib/files/disk1/104/--muhamirach-5155-1-
12-muh.-d.pdf. Diakses 22 Mei 2016.
7. NOC (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC): measurment of Health
Outcomes. 5th ed: ed Sue Moorhead, Marion Johnson, Merdean L.Maas, and
Elizabeth Swanson.- St Louis, Missouri: Elsevier.
8. Sedyaningsih E.R, dkk (2011). Technical Guidelines For Health Crisis Response
On Disaster in Indonesia. Jakarta.
9. Hamdani A.A.,& Prihatiningsih, D. (2015) Kesispsiagaan terhadap bencana
gempa bumi berdasarkan status kesiagaan sekolah di SMP N 1 dan SMP N2
Imogiri Bantul Yogyakarta.
131

PENGARUH INTERVENSI BUBUK KAYU MANIS (CINNAMON)


TERHADAP KLIEN OBESITAS FAKTOR RESIKO SINDROM
METABOLIK DI POLTEKKES KEMENKES MANADO

Kolompoy, J.A, Djaafar N.S, Memah H.P


Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Manado
Email : janiko.mvr@gmail.com

ABSTRACK
The Third National Health and Nutrition Examination Survey (1988 sampai 1994)
Prevalensi sindrom metabolik dengan menggunakan kriteria NCEP-ATP –III
bervariasi dari 16 % pada laki-laki kulit hitam sampai 37 % pada wanita Hispanik.
Prevalensi sindrom metabolik meningkat dengan bertambahnya usia dan berat
badan. (Ford ES, et all, 2002) Prevalensi sindroma metabolik ditandai
obesitassentral pada penduduk dewasa ≥15 tahun di Provinsi Sulawesi Utarasebesar
28%, melebihi angka prevalensi nasional 18,8%. (Riskesdas, 2010) Penelitian di
Minahasa dilaporkan bahwa ada 63,4 % hiperleptinemia dari populasi obesitas.
(Sugondo S, dkk, 2006). Obesitas sentral meningkatkan resiko penyakit sindrom
metabolik. Obesitas sentral sangat berkorelasi dengan timbulnya diabetes,
hipertensi dan penyakit kardiovaskuler (Sugondo.S,dkk 2006). Tujuan Umum
penelitian ini untuk mengetahui pengaruh intervensi kayu manis atau
cinnamonterhadap klien obesitas sebagai faktor resiko sindrom metabolik.
Jenis penelitian ini adalah Quasi Experiment dengan rancangan penelitian Pretes
and postes With One Group Design.Populasi dan sampel berjumlah 49 orang. Cara
pengambilan sampel dengan metode purposive non random sampling. Sampel yang
memenuhi kriteria inklusi yaitu :responden yang berumur 45-64 tahun, memiliki
berat badan lebih dari batas normal dan telah dilakukan pemeriksaan awal kadar
gula darah. Kriteria eksklusi : responden yang sedang mengkonsumsi obat
menurunkan berat badan. Analisis data menggunakan uji statisticttest,Paired
samples Statistics dan tingkat kemaknaan p<0,05.Tingkat kepercayaan 95 %.
Hasil penelitian menunjukan ada pengaruh konsumsi Cinnamon terhadap
penurunan Berat badan ᾱ = 0,000, penurunan lingkar perut atau obesitas centralᾱ =
0,000 , ada pengaruh yang signifikant ᾱ = 0,003 penurunan gula darah puasa,
Saran Kaju manis (cinnamon) perlu di promosikan pada masyarakat karena sangat
bermanfaat untuk mencegah obesitas, menurunkan lingkar perut dan menstabilkan
gula darah, menurunkan kadar asam urat dalam darah serta membantu mengurangi
resiko sindrom metabolik.

Keyword : Kayu manis (cinnamon), obesitas, sindrom metabolik

PENDAHULUAN
Sindrom metabolik merupakan kumpulan kelainan metabolik maupun non
lipid yang merupakan faktor resiko penyakit Diabetes millitus, yang terdiri dari
obesitas sentral, glukosa, asam urat, kolesterol LHL rendah, trigliserida tinggi. Studi
prevalensi sindrom metabolik pada populasi penduduk bali dengan subjek 1840
didapatkan prevalensi sindrom metabolik 18,2 %, obesitas sentral 35 %, Lingkar
pinggang sebagai dasar obesitas sentral yang berperan dalam terjadinya sindrom
metabolik. (Dwipayana M.P, dkk). Penelitian di Makassar yang melibatkan 330
orang umur 30-65 tahun dengan menggunakan kriteria NCEP ATP III prevalensi
sindrom metabolik sebesar 33,9 % ( Herman A, dkk, 2003).
Obesitas merupakan suatu penyakityang multifaktorial, yang terjadi akibat
akumulasi jaringan lemak berlebihan sehingga dapat menggangu kesehatan.
132

Obesitas terjadi bila besar dan jumlah sel lemak bertambah pada tubuh seseorang.
Bila seseorang bertambah berat badannya maka ukuran sel lemak akan bertambah
besar dan jumlah.Jaringan lemak merupakan tempat penyimpanan energi yang
paling besar dalam bentuk trigliserida. (Sugondo.S, 2006).
Jaringan adiposa yang terlalu sedikit ataupun terlalu banyak menyebabkan
gangguan metabolik seperti resistensi insulin.Obesitas sentral meningkatkan resiko
penyakit sindrom metabolik yang terdiri dari hiperinsulinemia, intoleransi glukosa,
dll. Obesitas sentral sangat berkorelasi dengan timbulnya diabetes, hipertensi dan
penyakit kardiovaskuler. (Sugondo.S, 2006) Berat badan yang berlebihan
dipengaruhi oleh lingkungan, kebiasan makan, kurang aktifitas fisik, status sosial
ekonomi, genetik. Obesitas abdominal berhubungan dengan gangguan metabolisme
dan penyakit dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi antara lain resistensi
insulin, Diabetes Millitus, hipertensi, hiperlipidemi, ateroskerosis, penyakit
kandung empedu, kanker.
Prevalensi obesitas berhubungan dengan urbanisasi dan mudahnya
mendapatkan makanan serta banyaknya makanan yang tersedia, perubahan status
sosial ekonomi dan gaya hidup sesorang serta ditunjang pula dengan ketersediaan
fasilitas restoran yang menyajikan berbagai menu makan yang menarik minat
sehingga ada kecenderungan orang mengonsumsi makanan yang berlebihan.
Kemajuan tekonologi yang mudah diakses dan memberikan informasi dengan cepat
pada masyarakat berkaitan dengan sajian menu makanan yang mengikuti gaya
orang barat seperti kue-kue gaya barat, burger, kentaki, dll. Makanan yang
dikonsumsi umumnya mengandung karbohidrat yang tinggi dan lemak jenuh tetapi
kurang mengandung serat.
Prevalensi obesitas di Jakarta Pusat, tahun 2013, prevalensi obesitas pada
laki-laki 30 % dan perempuan 40 %. Penelitian di Minahasa dilaporkan bahwa ada
63,4 % hiperleptinemia dari populasi obesitas. (Riskesdas, 2013)Prevalensi sindrom
metabolik cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya prevalensi obesitas
maupun obesitas sentral.Hampir sepertiga (32,9%) orang dewasa di Sulawesi Utara
termasuk dalamkategori berat badan lebih (overweight) danobese. Angka ini lebih
dari tiga kali angka nasional 10,3%. Prevalensi orang dewasa dengan berat badan
lebih dan obese tertinggi ditemukan di perkotaan Tomohon dan Manado, masing-
masing 40%. (Riskesdas, 2010).
Prevalensi sindroma metabolik ditandai obesitassentral pada penduduk
dewasa ≥15 tahun di Provinsi Sulawesi Utarasebesar 28%, melebihi angka
prevalensi nasional 18,8%, terendah di KabupatenBolaang Mongondow 16,6% dan
tertinggi diKota Tomohon 36,2% disusul Kota Bitungdengan prevalensi 35,5% dan
Kota Manado33,2%. Dengan kata lain obesitas sentral diProvinsi Sulawesi Utara
sudah mencapaisekitar satu diantara lebih dari tiga pendudukdewasa umur ≥15
tahun. (Riskesdas 2010).
Berkaitan dengan tren kehidupan orang yang tinggal di kota dimana lebih
cenderung mengkonsumsi makan yang beresiko berat badan lebih dan kurang
melakukan aktifitas sehingga terjadi obesitas dan sangat beresiko menderita
penyakit Diabetes Millitus Tipe II perlu mencari pendekatan untuk mengurangi
angka kejadian penyakit tersebut dengan kontrol kadar gula darah sehingga dapat
mengendalikan peningkatan penyakit Diabetes Millitus dengan mengkonsumsi
Cinnamom. (Anderson R, dkk, 2003). Pemeriksaan gula darah untuk mengukur
kadar gula darah dianjurkan dilakukan setiap tahun bagi mereka yang berusia 45
tahun keatas, terutama bagi wanita obesitas termasuk faktor resiko terjadi sindrom
metabolik.
Jurnal Diabetes Care, dalam penelitiannya mengatakan bahwa penelitian
pada 60 partisipan Diabetes Millitus Tipe 2 diberikan 1,3 atau 6 gram Cinnamom
pil setiap hari yang sama dengan setengah sampai satu sendok teh makan
cinnamom, selama 40 hari menunjukan ada penurunan gula darah pada 18-29 %,
trigliserida 23-30%, LDL kolesterol 7-27 %, dan total kolesterol 12-26 %.
(Anderson R, dkk, 2003).
133

Menurut penelitian Anderson R, dkk, 2003 mengatakan hampir 80 %


mereka yang menderita Diabetes Millitus Tipe II memiliki Berat badan lebih atau
obesitas, dengan menurunkan Berat badan secara sehat hingga Berat Badan ideal
dapat menurunkan 16 – 60 % mengurangi resiko Diabetes Millitus Tipe II. Umur
merupakan salah satu faktor yang berperan penting timbulnya gangguan
homeostatis glukosa darah, toleransi glukosa terganggu merupakan salah satu
bentuk kemunduran kemampuan tubuh untuk meregulasi maskan glukosa, keadaan
ini sering ditemukan pada usia lanjut.
Menurut WHO klasifikasi umur 45-59 tahun termasuk kelompok prelansia
dan lansia umur 60 tahun keatas, pada kelompok usia tersebut seseorang mulai ada
kecenderungan memiliki penurun fungsi fisik, psikologis dan sosial. Seorang yang
telah berumur lebih dari 45 tahun akan memiliki resiko menderita penyakit
Diabettes Millitus bila orang tua atau ayah memiliki riwayat Diabetes Millitus tipe
II maka anak memiliki resiko 6 kali lebih besar terserang Diabetes Millitus Tipe II
terserang Diabetes lebih fatal dari pada ayahnya. (Motta M, dkk, 2006).
Penelitian dari American Agricultural mengatakan cinnamom merangsang
insulin reseptor dan inhibitor enzim sehingga dapat mengendalikan kerja gukosa,
dapat meningkatkan respon insulin dan menurunkan kadar gula darah 20 %, atau
pada batas normal.Cinnamon mereproduksi aktifitas biologis dalam tubuh sehingga
meningkatkan tingkat metabolisme gula, sehingga mencegah penyimpanan lemak
yang berdampak pada penurunan berat badan, dan memberi efek mengurangi
tingkat gula darah.(Khan A, dkk 2003).
Kaju manis ( Cinnamon) tanaman yang mudah tumbuh dan banyak terdapat
di Indonesia termasuk Sulawesi Utara. Bubuk kaju manis (Cinnamon) mudah
didapat di supermarket, toko, warung, kaju manis dalam bentuk batang dapat diolah
sendiri menjadi bubuk. Kaju manis Cinnamon termasuk bahan alami yang mudah
didapat oleh masyarakat dan ada penelitian yang mengatakan dapat menurunkan
berat badan dan mengurangi kadar gula darah.
Berdasarkan hasil survey penelitian pada 112 responden di Poltekkes
kemenkes Manado yang obesitas 80,3 % hanya 10,7 % yang Berat badan
normal.Berdasarkan data ternyata angka prevalensi obesitas di Sulawesi Utara
tertinggi di Indonesia termasuk Poltekes Manado, sehingga perlu strategi Program
promosi kesehatan tentang bahan alami yang mudah didapat di masyarakat yaitu
Cinnamon sangat bermanfaat untuk menurunkan prevalensi obesitas sebagai faktor
resiko sindrom metabolik.
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah,maka permasalahan dalam
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :Pengaruh intervensi kayu manis atau
cinnamonterhadap klien Obesitas resiko sindrom metabolik.Tujuan Penelitian
mengukur intervensi kayu manis atau cinnamonterhadap klien Obesitas resiko
sindrom metabolik. Manfaat Penelitian memberi Promosi kesehatan, penyuluhan
kesehatan pada klien manfaat kayu manis untuk mencegah terjadi berbagai
penyakit degeneratif termasuk resiko sindrom metabolik dengan melakukan
penanaman sejuta pohon kaju manis atau cinnamom karena pohon kaju manis
mudah ditanam dan mudah tumbuh terutama di daerah sulawesi utara.

BAHAN DAN CARA


Jenis penelitian ini adalah Quasi Experiment dengan rancangan penelitian
Pretes - Postes With One Group Design. Mengetahui pengaruh intervensi Kayu
manis (Cinnamon) terhadap klien obesitas. Populasi dan Sampel penelitian
sejumlah 49 responden yang memenuhi kriteri inklusi, pengambilan sampel
dengan metode purposive non random sampling. Kriteri inklusi : responden yang
berumur 45-64 tahun, memiliki berat badan lebih dari batas normal dan telah
dilakukan pemeriksaan awal kadar gula darah. Kriteri eksklusi : responden yang
sedang mengkonsumsi obat menurunkan berat badan. Obesitas adalah seseorang
134

yang memiliki berat badan melebihi berat badan normal Kriteria objektif PreObes
IMT 25 - 29,9 kg/m2, Obes Tkt I : IMT 30 - 34,9 kg/m2,. Obes Tkt II : IMT 35
-39,9 kg/m2,Obes Tkt III : IMT > 40 kg/m2. Lingkar perut normal atau ideal wanita
≤ .. Bila kadar gula darah saat puasa bukan DM : < 90
mg/dl darah kapiler ,Belum pasti DM : 90-109 mg/dl darah kapiler. Diagnose DM
≥ 110 mg/dl darah kapiler. Cinnamon adalah bubuk kayu manis yang diberikan
pada responden dengan takaran ½ - 1 sendok teh (1 gr).
Instrumen dan cara pengumpulan data, Pemberian kayu manis (Cinnamon)
pada responden obesitas, sebanyak ½ - 1 sendok teh atau 1 gram cinnamon,
dicampur dengan air hangat sebanyak 200-250 cc atau 1 gelas air minum diberikan
setiap hari sekali selama 8 minggu. Pengukuran gula darah, asam urat, tekanan
darah, penimbangan berat badan dan tinggi badan dilakukan sebelum dan sesudah
perlakuan. Pengukuran gula darah puasa dan asam urat dilakukan 1 hari sebelum
perlakuan dan 1 hari setelah perlakukan. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
dan lingkar perut setiap minggu ke 4 dan pada minggu ke 8 setelah perlakuan.
Untuk melihat perbedaan berat badan dan lingkar perutpada akhir pemberian
cinnamon.Analisa Data menggunakan program SPSS versi 20, Setelah dilakukan
intervensi cinnamon terhadap responden Obesitasdilakukan analisis menggunakan
uji statistik t test, Paired samples Statistics dan tingkat kemaknaan p<0,05.Tingkat
kepercayaan 95 %. (Abramson J., 1997).

HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN


1. Deskripsi Indek tubuh atau BMI
Hasil penelitian pada responden di Politeknik Kesehatan Manado jumlah
responden 49 orang terdiri dari Obes II, Obes I, Pre Obes Over weight dan normal,
klasifikasi BMI pegawai Poltekkes Manado yang tertinggi Pre obesitas 15 orang
(30,6,1%), diikuti terbanyak kedua over weigth 14 orang (28,6%), terbanyak ketiga
Obesitas I sebanyak 9 orang (24,1) dan terendah Obesitas tkt II 4 orang (8,2 %)
dapat dilihat pada histogram dibawah ini

Klasifikasi IMT
Frekwensi Prosentase

100

49

28.6 30.6
14.3 15 18.4
14
7 9 8.2
4

Normal Over W Pre Obes Obes I Obes II Total

Berdasarkan hasil pengkategorian indeks masa tubuh pada 49 pegawai


Poltekkes Kemenkes manado diatas ternyata yang dikategorikan tidak obesitas 7
orang (14,3%) sedangkan obesitas berjumlah 42 orang (85,7%) hal ini
menunjukan hampir semua pegawai di Poltekkes kemenkes Manado tergolong
kategori obesitas. Gambaran data indek massa tubuh pegawai Poltekkes kemenkes
menunjukan tingkat obesitas sangat tinggi dan berpeluang terjadi penyakit
135

degeneratif termasuk penyakit DM tipe 2 terlebih umumnya responden sudah


termasuk prelansia dan lansia.
2. Deskripsi Lingkar perut dan Jenis kelamin
Berdasarkan data deskriptif pada tabel analisis di atas ternyata dari 49
responden yang memiliki jenis kelamin laki-laki 22 orang (44,9%) dan jenis
kelamin Perempuan 27 Orang (55,1%) responden yang terbanyak jenis kelamin
perempuan. Jenis kelamin perempuan ada 51% memiliki berat badan melebihi
normal atau Obesitas sentral pada posisi warna merah yang menandakan sangat
beresiko sindrom metabolik sedangkan laki-laki 34,7 %
2. Deskripsi Sindrom Metabolik berdasarkan gejala dan pemeriksaan penunjang

100
100

80

60
42.5 40
40 30
25
17
12 10
20
1 2.5
0
RINGAN SEDANG BERAT SANGAT TOTAL
BERAT

FREK PROSENTASE

Berdasarkan diagram diatas ternyata kategori sindrom metabolik tertinggi


pada tingkat sedang 17 (42,5 %) terendah tingkat ringan 1 (2,% %) responden
mengalami sindrom metabolik, sesuai kriteria sindrom metabolik 3 tanda seperti
lingkar perut diatas normal, IMT, Glukosa puasa diatas normal, asam urat, tekanan
darah.
3. Pengaruh Cinnamon terhadap penurunan berat badan
Penelitian yang dilakukan pada pegawai Poltekkes Kemenkes Manado yang
berjumlah 49 orang dilakukan perlakuan dengan memberikan Cinnamon 1 gr atau 1
sendok teh selama 4 minggu dan dilakukan monitoring bertahap. Tahapan pertama
di evaluasi hasil perlakukan selama 2 minggu dan dilakukan analisis menggunakan
uji t untuk melihat pengaruh Cinnamon terhadap penurunan berat badan, hasilnya ᾱ
:0,000 hal ini menunjukan ada pengaruh yang signifikan Cinnamon terhadap
penurunan berat badan. Tahap berikutnya diberikan kembali Cinnamaon 1 gr atau 1
sendok teh selama 2 minggu responden mengkonsumsi selanjutnya di evaluasi hasil
perlakuan meskipun jumlah responden yang mengkonsumsi dan dimonitor tinggal
40 responden, jadi 9 responden tidak melanjutkan treatment. Selanjutnya dilakukan
uji pada minggu ke-4 setelah treatment, hasil uji statistik menggunakan paired
sampel t test menunjukan hasil ᾱ : 0,003 hal ini menunjukan ada pengaruh
signifikan Cinnnamon terhadap penurunan BB.
Hal ini sesuai dengan penelitian menurut Menurut Khan A, dkk,2003
mengatakan Cinnamon dapat mengatur gula darah dengan meningkatkan
sensitifitas insulin yang mengandung polypenol. Menurut Jurnal Diabetes
mengatakan Cinnamon dapat mencegah lemak berakumulasi dalam tubuh walaupun
makan, makanan yang berkalori tinggi. Menurut Metin Basaranoglu, dkk, 2013
mengatakan mengkonsumsi tinggi fructosa diubah menjadi lemak menyebabkan
136

obesitas sehingga terjadi resistensi insulin. Obesitas mengakibatkan insulin


resistensi dan sindrome metabolik.

4. Pengaruh Cinnamon terhadap Lingkar perut


3. Gambaran Lingkar perut dan Jenis kelamin responden sebelum perlakuan

30
25
20
LAKI-LAKI
15
PEREMPUAN
10
5
0
KUNING MERAH JUMLAH

Berdasarkan hasil penelitian lingkar perut warna kuning Jenis kelamin laki-
laki 21 responden (38,9%) dan jenis kelamin perempuan tidak ada pada warna
kuning, sedangkan Lingkar perut warna merah jenis kelamin laki-laki 4 responden
dan perempuan 29 responden. Lingkar perut warna merah 61,1 % Hal ini
menunjukan sebagian besar reponden pada kategori obesitas tingkat overweight.
5. Gambaran Lingkar perut dan jenis kelamin setelah perlakukan

60

40 Laki-laki
Perempuan
20
Jumlah
0
Hijau Kuning Merah Jumlah

Lingkar perut sebelum treatmen pada jenis kelamin laki-laki berjumlah 21


orang (38,9%) warna kuning setelah treatmen berubah menjadi kategori sehat atau
warna hijau berjumlah 6 orang (11,1%), dan warna kuning berjumlah 17 orang
(33,3 %), responden pada kategory merah berjumlah 4 orang sebelum treatmen
menjadi 2 orang setelah treatmen.
Lingkar perut sebelum treatmen pada jenis kelamin perempuan kategori
warna hijau dan kuning tidak ada, hanya pada kategory merah berjumlah 29 orang
(53,7%), setelah diberikan treatmen warna kuning ada 1 orang dan warna merah 28
orang. Berdasarkan penelitian ini ternyata jenis kelamin laki-laki sangat signifikan
perubahan penurunan lingkar perut di bandingkan perempuan. Bila di observasi
aktifitas hari-hari umumnya jenis kelamin perempuan senang berkelompok untuk
makan bersama makan gorengan dan makanan yang tinggi karbohidrat kurang
makan makanan yang berserat seperti buah, meskipun sering makan makanan
berjenis tinutuan yang mengandung sayur tapi komposisi yang terbanyak
mengandung karbohidrat seperti jagung, beras, ubi, sambiki. Serta berdasarkan
wawancara perempuan jarang melakukan aktifitas dalam bentuk olah raga
sementara sebagian laki-laki berolah raga secara rutin. Pengaruh cinnamon terhadap
lingkar perut secara deskriptif dan analisis sangat berpengaruh meskipun
137

penurunannya tidak cukup berarti bagi jenis kelamin perempuan karena dalam
penelitian ini konsumsi makan tidak dikontrol.
Penelitian yang dilakukan pada pegawai Poltekkes Kemenkes Manado yang
berjumlah 49 orang dilakukan perlakuan dengan memberikan Cinnamon 1 gr atau 1
sendok teh selama 4 minggu dan dilakukan monitoring bertahap. Tahapan pertama
di evaluasi hasil perlakukan selama 2 minggu dan dilakukan analisis menggunakan
uji t untuk melihat pengaruh Cinnamon terhadap penurunan Lingkar perut, hasilnya
ᾱ :0,000 hal ini menunjukan ada pengaruh yang signifikan Cinnamon terhadap
pengurangan lingkar perut. Tahap berikutnya diberikan lagi cinnamon untuk 2
minggu lagi selanjutnya dan di evaluasi hasil perlakuan meskipun jumlah
responden yang mengkonsumsi dan dimonitor tinggal 40 responden dilakukan uji
statistik menggunakan pair t test menunjukan hasil ᾱ : 0,000 hal ini menunjukan ada
pengaruh signifikan Cinnnamon terhadap pengurangan lingkar perut.
Hal ini sesuai dengan penelitian Anderson R, dkk, 2003 mengatakan ada
pengaruh Cinnamon terhadap obesitas central, cinnamon mengandung vitamin C
merupakan senyawa yang dapat mengubah lemak menjadi bahan bakar atau energi
untuk pembakaran lemak perut. Penimbunan lemak diperut terjadi akibat tingkat
kortisol tinggi, kortisol memecahkan otot dan masuk kedalam penyimpanan lemak
di perut. Stress dapat membakar lemak diperut tinggi sekresi kortisol namun stress
yang berkepanjangan dapat mengakibatkan metabolisme melambat.
5. Pengaruh Cinnamon terhadap Glukosa darah
Penelitian yang dilakukan pada pegawai Poltekkes Kemenkes Manado yang
berjumlah 40 orang dilakukan perlakuan dengan memberikan Cinnamon 1 gr atau 1
sendok teh selama 4 minggu dan dilakukan monitoring hasil perlakuan. Setelah di
evaluasi responden yang patuh mengkonsumsi dan dilakukan pemeriksaan
laboratorium setelah perlakuan selama 4 minggu, hanya 40 responden yang
dilakukan uji statistik menggunakan pair t test hasil analisis menunjukan hasil ᾱ
:0,003 hal ini menunjukan bahwa ada pengaruh yang signifikan Cinnamon
terhadap penurunan gula darah puasa.
Hal ini sesuai dengan penelitian Bakar. WL, dkk, 2008, mengatakan efek
cinnamon dapat mengontrol kadar gula darah. Cinnamon dapat mencegah pre diabet
dan Diabetes serta dapat mengontrol gula darah pasien DM Tipe 2 setelah
pemberian Cinnamon 1-6 gram diberikan selama 16 minggu. Menurut David PA,
Yokohama W, 2011 mengatakan konsumsi cinnamon dapat menurunkan kadar gula
darah puasa. Qin B, dkk, 2004, mengatakan Cinnamon ekstrak dapat mencegah
resistensi insulin meskipun mengkonsumsi tinggi fruktosa.
Kadar gula darah merupakan faktor penting untuk kelancaran kerja tubuh
karena pengaruh berbagai faktor dan hormon insulin yang menghasilkan kelenjar
pankreas sehingga hati dapat mengatur kadar gula dalam darah. Bila kadar gula
darah meningkat sebagai akibat naiknya proses pencernaan dan penyerapan
karbohidrat, maka oleh ensim-ensim tertentu glukosa dirubah menjadi glikogen.
Proses ini terjadi dalam hati dan di kenal sebagai glikogenesis, sebaliknya bila
kadar glukosa menurun glikogen diuraikan menjadi glukosa. Kadar glukosa yang
tinggi merangsang pembentukan glikogen dari glukosa, sintesis asam lemak dan
kolesterol dari glukosa. Kadar glukosa darah yang tinggi dapat mempercepat
pembentukan trigliserida dalam hati.
Peningkatan kadar gula darah dalam darah sebagai akibat adanya gangguan
sistem metabolik dalam tubuh, dimana organ pankreas tidak mampu memproduksi
hormon insulin sesuai kebutuhan tubuh.

KESIMPULAN
138

1. Lingkar perut sebelum treatmen tidak ada responden perempuan pada kategori
hijau atau healthy setelah treatmen sudah ada 6 responden laki- laki pada
kategori tersebut.
2. Ada pengaruh yang signifikan pemberian cinnamon terhadap penurunan Berat
badan, lingkar perut dan gula darah puasa sebagai faktor resiko sindrom
metabolik

SARAN
Kaju manis (cinnamon) perlu di promosikan pada masyarakat karena sangat
bermanfaat untuk mencegah obesitas, menurunkan lingkar perut dan menstabilkan
gula darah, menurunkan kadar asam urat dalam darah serta membantu mengurangi
resiko sindrom metabolik
DAFTAR PUSTAKA
1. Anderson R, Broadhurst C, Polansky M, Schmidt W, Khan A, Flanagan V,
Schoene N, Graves D, 2003, Isolation and characterizatio of polyphenol type
A polymers from Cinnamon with insulin like biological activity, Diabetes Res
Clin Pract, Des; 62(3);139 – 48

2. ADA (American Diabetes Associatation), 2012, Diagnosis and Clasification


of Diabetes Millitus, Diabetes Care, 35(1):64-71
3. Abramson J., 1997, Metode Survey dalam Kedokteran Komunitas, Gajah
Mada University Press, Yogyakarta
4. Ambarwati W.N, 2012, Konseling Pencegahan dan Penetalaksanaan Penderita
Diabetes Millitus,
5. Bate, K.L, Jerums, G, 2003, Preventing Complications of Diabetes, MJA, 179
: 498-503
6. Dwipayana MP, dkk, Prevalensi Sindrom metabolik pada penduduk Bali,
Indonesia, artikel
7. Firdaus. E.M, 2014, Efek ekxtrak Kayu manis (Cinnamomum cassia) terhadap
kadar glukosa darah, berat badan dan trigliserida pada tikus jantan strain
sparague dawley yang di induksi aloksan, Program Studi Pendidikan
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Hidayahtulah, Jakarta
8. Ford ES, Giles WH, Dietz WH, Prevalence of the Metabolic Syndrome
Umong U.S Aduls : findings from the Third national Health and nutrition
Examination survey. JAMA 2002; 287: 356-9
9. Haris S, Tambunan T, 2009, Hipertensi pada Sindrom Metabolik Vol 11,
No4, Sari Pediatri Jakarta
10. Khan A, Safdar M, Ali Khan M, Khattak K, Anderson R, 2003,Cinnamon
improves glukosa and lipids of people with type 2 diabetes, Diabetes Care,
Des; 26(12): 3215-8
11. PERKENI, 2011, Konsensus, Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Millitus
Tipe 2 di Indonesia Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
12. Motta M, Benanti E., 2006, Diabetes Millitus in The Elderly Diagnostic
Feacture, Archives of Gerontology and Geriatrics 42 p. 101-106
13. Pandelaki K, Sumual R.A, Datau E, Langi Y, 2012, Exploring Endocrinology
Update Inspirasi to make a Difference, Perkeni Cabang Manado, Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Unsrat Manado
14. Qin B, Nagasaki M, Ren M, Bajotto G, Oshida Y, Sato Y, 2004, Cinnamon
extract prevents the insulin resistance induced by a high-fructose diet.
Department of Sports Medicine, Graduate School of Medicine, Nagoya
University, Furo-cho, Chikusa-ku, Nagoya 464-8601, Japan
15. Trihono, 2010, Riset Kesehatan Dasar, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan RI
16. Trihono, 2013, Riset Kesehatan Dasar, Badan Penelitian dan Pengembangan
139

Kesehatan Kementerian Kesehatan RI


17. Tao L, Kendal K, 2014, Sinopsis Organ System Endokrinologi, Karisma
Publishing Group, Tangerang Jakarta.
18. Sugondo. S, Obesitas, dalam Buku Ajar Penayakit dalam, jilid III edisi IV,
Departemen Ilmu Penyakit dalam Fakultas Kedokteran UI, Jakarta
19. Warsilah R, 2006, Dabetes Millitus pada lanjut usia, Buku ajar Penyakit
Dalam, jilid III Edisi IV,. Fakultas kedokteran UI, Jakarta
20. Wilding JPH, 2003 Obesity and Nutritional factors in the Pathogenesis of type
2 Diabetes Mellitus Textbook ofDiabetes. Pickup JC, Williams G (eds.), 3rd
ed., Blackwell Science, Oxford: 1-20.
21. Yaturu. S, 2011, Obesity and type II Diabetes, Journal of Diabetes Millitus,
Vol.1, no4,
22. Zolandz P, Raudenbush B, Lilley S, 2004 Cinnamon perks performance.
Paper presented at the annual meeting of the association for chemoreception
sciences, held in Sarasota F, April 21-25.
140

PENGARUH KONSENTRASI GARAM TERHADAP KEBERADAAN


MIKROBA DAN NILAI ORGANOLEPTIK IKAN LAYANG ASIN (Decapterus
sp) KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE

Jefri A. Mandeno S.Pi,M.Si, Mukhlis A. Kaim, S.Pi,M.Si, Jaka F.P.Palawe, STP,M.Si

Jurusan Perikanan dan Kebaharian, Politeknik Negeri Nusa Utara


Kampus POLNUSTAR Tahuna, Telp. 0432 – 24745, Fax 0432-24744
*Korespondensi : jakksfree@gmail.com

ABSTRAK
Nowdays, Salted fish product from Sangihe Islands only have purpose to increase the
shelf life and do not consider food safety. The presence of bacteria and mold in salted
fish is very dangerous to human healthy cause can make e very seriously disease for
example diarhea, cholera and tubercolosis. The end product of traditional salted fish
have a various diffirent quality depend of the process and raw material, So is difficult
to conduct quality evaluation in order to get license either in the household scale
industries (Industri Rumah Tangga) IRT by health authorities as well as a large
industrial scale by BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). This study aims to
determine the effect of salt concentration on the existence of microbial and
organoleptic value of salted fish. Total bacteria test results show the value
corresponding to the SNI (Standar Nasional Indonesia), Mold organoleptic test by SNI
results revealed no mold by 22 panelists while Mold microbiological pour plate
method test showed the presence of fungal growth. Total Test Results Indicate
Escherichia coli contamination in treatment A (5% salt), B (10% salt) and C (15%
salt) while on treatment D (20% salt) in accordance with the SNI is <3 CFU / g.
Organoleptic testing results show the value of Appearance in accordance with SNI and
organoleptic value hedonic method showed a good value that is between neutral and
really like.

Key word : Salted Fish, Total Bacteria, Total Mold, Organoleptic

PENDAHULUAN
Sektor perikanan Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dari segi
ekonomi maupun sosial budaya, karena itu pengembangan dibidang perikanan saat ini
banyak di programkan oleh pemerintah. Salah satu subsektor yang memiliki potensi
besar dan belum di kembangkan secara optimal yaitu subsektor pengolahan hasil
perikanan, dimana dari subsektor ini diisi oleh banyak usaha kecil menengah (UKM)
yang sebagian besar belum memiliki izin dari BPOM sehingga karakteristik mutu dari
segi kuantitas, kualitas maupun dari segi keamanan masih belum terjamin dan masih
sangat beragam, sehingga sulit dalam proses evaluasi dalam rangka perbaikan dan
pengembangan.
Kabupaten Kepulauan Sangihe memiliki potensi keunggulan daerah yaitu dari
sektor sumber daya kelautan, dimana 93.8% luas daerah adalah laut dan potensi
sumber daya kelautan dan perikanan sebesar 34.000 ton/tahun dan yang baru
dimanfaatkan baru berkisar 14.4% (1). Didalam rangka meningkatkan perekonomian
rakyat Kabupaten Kepulauan Sangihe maka dilakukan pengembangan dari sektor
kelautan perikanan sebagai tujuan utama, dengan salah satu sasaran yaitu terwujudnya
kapasitas perikanan pasca tangkap, pengolahan dan industri.
Salah satu produk olahan ikan yang ada di Kabupaten Kepulauan Sangihe
adalah produk olahan ikan asin yang yang dibuat dari ikan layang dengan nama latin
Decapterus sp yang bertujuan memperpanjang daya simpan, meningkatkan nilai
ekonomis dan memenuhi pola konsumsi masyarakat yang cenderung mengkonsusmsi
produk siap pakai. Menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan
141

Sangihe tahun 2010 hasil tangkap untuk ikan layang menempati nilai tertinggi yaitu
1719 ton, sehingga memiliki potensi yang tinggi untuk penelitian dan
pengembangannya.
Produk olahan ikan asin di Kabupaten Kepulauan Sangihe saat sekarang ini
masih bertujuan untuk meningkatkan masa simpan dan belum mempertimbangkan
karakteristik mutu lain misalnya dari dari segi fisik, kimia dan mikrobiologis, sehingga
produk akhir dari produksi ikan asin di Kabupaten Kepulauan Sangihe masih sangat
beragam. Produk akhir yang sangat beragam ini mengakibatkan sulitnya melakukan
proses evaluasi dalam rangka meningkatkan mutu produk maupun dalam pengajuan
izin baik dalam skala industri rumah tangga (IRT) maupun skala industri besar.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi garam terhadap mutu
mikrobiologis dan organoleptik ikan layang asin.
BAHAN DAN CARA
Bahan
Bahan baku utama yang akan dijadikan sampel untuk penelitian ini yaitu ikan
layang, Media EMBA (Euosin Methylen Blue Agar), Media NA (Nutrient Agar),
Media PDA (Potatto Destrose Agar), Media (LB) Lactose Broth, Alkohol, NaCL 09%.
Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu inkubator, Laminar Air Flow,
Cawan petri, Pipet, Gelas Ukur, termometer, oven, lampu spritus, tabung Huss,
Erlenmeyer, timbangan, pinset, cutter, blender, pipet Mikro, batang penyebar
(Condrad’s rod), autoklav, inkubator, jarum Ose, talam pewarnaan, kaca preparat,
pipet tetes, kertas tissue, tabung Durham, pH meter, mikroskop, dll

Cara
Sampel ikan layang asin yang diambil dikemas dalam kertas steril/HVS dan di
lakukan pengemasan lagi dengan box kertas. Mencegah agar sampel tidak
terkontaminasi selama transportasi ke laboratorium, maka sampel akan ditempatkan
dalam wadah tertutup (box) tanpa perlakuan lain. Pengamatan dan pengujian terhadap
sampel ikan asin kering hanya akan dilakukan terhadap daging.
Penelitian dilakukan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan
3 kali ulangan, dengan variabel pengamatan sebagai berikut :
A : Konsentrasi garam 5%
B : Konsentrasi garam 10%
C : Konsentrasi garam 15%
D : Konsentrasi garam 20%
Setelah itu dilakukan dengan uji perbedaan menggunakan analisis BNT (Beda Nyata
Terkecil)
Parameter yang yang akan diuji meliputi :
Uji organoleptik (metode hedonik) dan SNI, Total Plate Count , Escherichia coli
dan Total Jamur

HASIL DAN BAHASAN


Analisis Organoleptik
Analisis organoleptik yang telah dilakukan menggunakan dua metode
pengambilan kesimpulan, yang pertama yaitu analisis organoleptik metode hedonik
(tingkat kesukaan) untuk melihat tingkat penerimaan konsumen dan analisis
oranoleptik sesuai SNI untuk melihat tingkat kelayakan dari produk. Adapun panelis
yang digunakan dalam pengujian ini adalah berjumlah 20 orang. Parameter yang
diamati yaitu Kenampakan, bau, rasa, tekstur dan jamur. Hasil analisis uji organoleptik
menurut SNI memperoleh hasil yang baik dan sesuai SNI dengan nilai rata-rata tiap
orang diatas 7 (Gambar 2), sedangkan untuk uji organoleptik metode hedonik adalah
dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 1.
142

Tabel 1.Hasil Analisis Organoleptik Metode Hedonik


Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata
Perlakuan
Kenampakan** Bau Rasa** Tekstur*
A 3.70ab 3.94 3.56ab 3.62ab
B 3.62a 4.02 3.95d 3.77c
C 3.95c 3.76 3.53a 3.80c
D 3.95c 4.11 3.61abc 3.61a
Ket : *Berbeda Nyata, **Berbeda Sangat Nyata, Huruf menunjukan tingkat perbedaan

4 A
B
3
C
2 D

1
tampak bau rasa tekstur
Parameter Hedonik

Gambar 1. Histogram Uji Hedonik Ikan Layang Asin

10
9 9 9 9
9
8 8.13
Nilai Sensorik

8 8 7.87 8
7.83 kenampakan
8 7.48 7.57 7.52 7.52
7.13 7.26 7.17
7.13 Bau
7
7
Rasa
6 Tekstur
Jamur
5
A (5%) B (10%) C (15%) D (20%)
Konsentrasi Garam

Gambar 7. Hasil Uji Organoleptik Menurut SNI 01-2346-2006

Hasil analisis uji organoleptik menurut SNI (Gambar 2) memperoleh hasil yaitu :
uji kenampakan menunjukan nilai rata-rata diatas tujuh, dimana nilai tujuh memiliki
klasifikasi “Utuh bersih dan agak kusam”. Uji bau menunjukan nilai rata-rata diatas
tujuh dengan spesifikasi “hampir netral, sedikit bau tambahan”. Uji rasa menunjukan
nilai rata-rata diatas tujuh dengan spesifikasi “sangat enak, spesifik jenis dan tanpa
rasa tambahan”. Uji tekstur menunjukan nilai diatas tujuh dengan spesifikasi “terlalu
keras, tidak rapuh” dan uji jamur menunjukan nilai rata-rata sembilan yaitu dengan
spesifikasi “tidak ada jamur”. Hasil ini menunjukan bahwa ikan layang asin yang diuji
organoleptik menurut SNI 01-2346-2006 memiliki nilai kelayakan karena sesuai
dengan SNI, yaitu memiliki nilai rata-rata diatas tujuh. sedangkan untuk uji
organoleptik metode hedonik adalah sebagai berikut :
143

Kenampakan
Hasil analisis kenampakan ikan layang asin menunjukan nilai rata-rata ikan
asin tiap perlakuan diatas nilai 3 (netral), hal ini menunjukan bahwa ikan layang asin
yang dibuat memiliki nilai kenampakan yang baik dan dapat diterima konsumen.
Hasil Uji BNT menunjukan bahwa Perlakuan C (kadar garam 15%) dan Perlakuan D
(20%) tidak berbeda nyata dan memiliki skor yang lebih disukai dibandingkan dengan
Perlakuan A (kadar garam 5%) dan B (kadar garam 10%) sedangkan Hasil uji BNT
menunjukan Bahwa Perlakuan A sama dengan Perlakuan B.
Penggaraman akan menyebabkan ikan asin menjadi lebih putih karena adanya
143edonic garam (2). Penggaraman dapat mendenaturasi protein sehingga
mempengaruhi kekompakan daging dan mempengaruhi kenampakan ikan asin (3).
Oksidasi lemak, degradasi protein dan komponen-komponen lainnya dapat
menyebabkan kerusakan sel-sel daging sehingga kenampakan fisik ikan akan berubah
(4).

Bau
Hasil analisis bau ikan layang asin (Tabel 1) menunjukan nilai rata-rata ikan
asin tiap perlakuan diatas nilai 3 (netral), hal ini menunjukan bahwa ikan layang asin
yang dibuat memiliki nilai bau yang baik dan dapat diterima konsumen. Hasil analisis
varians pada uji organoleptik metode hedonic pada pada parameter bau tidak
menunjukan perbadaan nyata Histogram Hasil Uji Organoleptik bau dapat dilihat pada
Gambar 1. Hasil analisis statistik menunjukan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi
garam tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap bau dari ikan asin. Ikan
asin yang digunakan dalam pengujian ini merupakan ikan asin yang terbuat dari bahan
mentah ikan yang maih segar sehingga didapatkan bau yang masih disukai panelis.
Ikan asin yang baru diproduksi/diolah cenderung lebih disukai oleh konsumen, karena
belum adanya penyimpangan secara fisik seperti bau (2).

Rasa
Hasil analisis rasa ikan layang asin (Tabel 1) menunjukan nilai rata-rata ikan
asin tiap perlakuan diatas nilai 3 (netral), hal ini menunjukan bahwa ikan layang asin
yang dibuat memiliki nilai rasa yang baik dan dapat diterima konsumen. Hasil analisis
varians pada uji organoleptik metode hedonik pada pada parameter rasa menunjukan
perbadaan sangat nyata , sehingga dilakukan uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT)
dimana tingkat perbedaannya dapat dilihat Pada Tabel 1. Histogram Hasil Uji
Organoleptik rasa dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT)
menunjukan bahwa perlakuan yang paling banyak disukai panelis yaitu perlakuan B
(Kadar garam 10%) dan berbeda nyata dengan Perlakuan A (kadar garam 5%), C
(Kadar garam 15%) dan D (kadar garam 20%), sedangkan perlakuan A,C,D tidak
berbeda nyata atau sama. Tingkat kesukaan panelis terhadap ikan asin cenderung
semakin menurun dengan meningkatnya lama penggaraman, karena garam yang
meresap kedalam daging ikan semakin banyak sehingga menimbulkan rasa yang lebih
asin (5).

Tekstur
Hasil analisis tekstur ikan layang asin (Tabel 1) menunjukan nilai rata-rata
ikan asin tiap perlakuan diatas nilai 3 (netral), hal ini menunjukan bahwa ikan layang
asin yang dibuat memiliki nilai tekstur yang baik dan dapat diterima konsumen. Hasil
analisis varians pada uji organoleptik metode hedonik pada pada parameter tekstur
menunjukan perbadaan nyata, sehingga dilakukan uji lanjut Beda Nyata Terkecil
(BNT) dimana tingkat perbedaannya dapat dilihat Pada Tabel 1. Histogram Hasil Uji
Organoleptik tekstur dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil Uji BNT Tingkat kesukaan
144

terhadap tekstur menunjukan bahwa panelis lebih menyukai tekstur perlakuan B


(kadar garam 10%) dan perlakuan C (kadar garam 15%). Dimana teksturnya tidak
terlalu kompak/padat seperti perlakuan D (kadar garam 20%) dan kurang
kompak/padat pada perlakuan A (Kadar Air 5%), Penggunaan garam yang bersifat
higroskopis pada ikan asin menyebabkan tekstur ikan menjadi kompak dan padat (6).

Total Bakteri
Hasil analisis total bakteri ikan layang asin (Tabel 2) menunjukan nilai rata-rata
ikan asin tiap perlakuan memenuhi standar yang diberlakukan oleh SNI yaitu <1 x 105
koloni/g,

Tabel 2.Total Bakteri Ikan Layang Asin


Perlakuan Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Total Bakteri*
A 30750 71500 18053 4 x 104a
B 27000 45010 19100 3 x 104a
C 2600 1685 12150 5,5 x 103b
D 270 1440 455 7 x 102b

Ket :
- *Berbeda Nyata,
- Huruf menunjukan tingkat perbedaan
Hal ini menunjukan bahwa ikan layang asin yang dibuat memiliki nilai total
bakteri yang baik dan aman bagi konsumen. Hasil analisis varians pada parameter total
bakteri menunjukan perbadaan nyata, sehingga dilakukan uji lanjut Beda Nyata
Terkecil (BNT) dimana tingkat perbedaannya dapat dilihat Pada Tabel 2. Histogram
Hasil uji total bakteri dan pertumbuhan di media agar dapat dilihat pada Gambar 2 dan
3.

Gambar 3. Histogram Total Bakteri Ikan Asin

45000 40101
40000
Total Koloni/g

35000 30370
30000
25000
20000
15000
10000 5478
5000 722
0
A B C D

PERLAKUAN
145

Gambar 4. Pertumbuhan Bakteri Pada Media Nutrient Agar

Gambar 6. Pertumbuhan Jamur Media Potatto Destrose Agar

Dalam kaitannya dengan penggaraman, penggaraman yang dilakukan sesuai


dengan prinsip yang berlaku akan mempunyai daya simpan tinggi karena garam dapat
berfungsi menghambat atau menghentikan rekasi autolisis dan membunuh bakteri
yang terdapat dalam tubuh ikan (7). Garam mengandung banyak ion klorida yang
bersifat racun untuk beberapa mikroorganisme (8). Karena itu penggaraman banyak
digunakan sebagai teknik untuk mengawetkan ikan dari pembusukan karena
perusakan jaringan daging ikan/autolisis oleh pengaruh mikroba (9).

Total Jamur
Hasil analisis total jamur ikan layang asin (Tabel 3) menunjukan bahwa ikan
layang asin yang dibuat terkontaminasi jamur dengan nilai maksimal pada Perlakuan
C yaitu 1,1 x 103. Hasil analisis varians pada parameter total jamur menunjukan tidak
ada perbadaan nyata Histogram Hasil uji total jamur dan pertumbuhan di media agar
dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5

Tabel 3. Total Jamur Ikan Layang Asin


Perlakuan Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Total Jamur
A 895 850 160 6,3 x 102
B 985 900 1015 1 x 103
C 1330 1690 190 1,1 x 103
D 180 1150 1505 9 x 102

Selama masa pengeringan banyak terjadi kontaminasi dari berbagai jenis bakteri dan
jamur yang dapat bertumbuh dan memproduksi racun, dan racun tersebut dapat
bertahan bahkan sesudah pengeringan sampai masa penyimpanan (10). Racun yang
dihasilkan tersebut dapat berbahaya bagi kesehatan (11).
146

1200
1070
967 945
1000
Total Koloni/g

800
635
600

400

200

0
A B C D

PERLAKUAN

Gambar.5. Histogram Total Jamur

Keberadaan bakteri dan jamur pada produk perikanan diebabkan oleh lokasi
penangkapan yang kotor, kondisi sanitasi yang tidak baik, dan masih minimnya
pengetahuan tentang proses penanganan dan pengolahan yang baik untuk produk
maupun peralatan yang digunakan (12)

Total Escherichia coli


Hasil analisis total Escherichia coli ikan layang asin (Tabel 4) menunjukan bahwa
ikan layang asin yang dibuat terkontaminasi Escherichia coli dengan nilai maksimal
pada Perlakuan A yaitu 12 MPN/g. Perlakuan A, B, C menunjukan nilai yang tidak
sesuai dengan SNI yaitu diatas 3 MPN/g, sedangkan yang memenuhi SNI yaitu pada
perlakuan D (Pemberian Garam 20%) dimana total Escherichia colinya <3. Histogram
Hasil uji total Escherichia coli dan pertumbuhan di media agar dapat dilihat pada
Gambar 6 dan 7.

Tabel 4. Total Echerichia coli Ikan Layang Asin


Total E coli
Perlakuan Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
MPN/g
A 23.1 9.2 3.6 12.0
B 3.6 3.6 3.6 3.6
C 3.6 3.6 >3 3.6
D >3 >3 >3 >3
Total Escherichia coli CFU/g

14
12
12
10
8
6
3.6
4 2.4
2
0
0
A B C D
PERLAKUAN
Gambar 7. Histogram Total Escherichia coli Ikan Layang Asin
147

Meskipun keberadaan E. coli dapat ditemukan di perairan tropis yang tidak tercemar
(13), Tapi tetap digunakan sebagai indikator kontaminasi tinja dan penanganan yang
buruk dari makanan hasil laut.

Gambar 8. Pertumbuhan Koloni E coli (Hijau) Pada Media Euosin Methylene Blue
Agar
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukan nilai Organoleptik sesuai dengan SNI dan nilai
organoleptik metode hedonik menunjukan nilai yang baik yaitu berada diantara netral
dan sangat suka, hasil uji Total bakteri menunjukan nilai yang sesuai dengan SNI,
hasil Uji Jamur secara organoleptik dinyatakan tidak ada jamur oleh 22 orang panelis
sedangkan uji jamur secara mikrobiologi menunjukan adanya pertumbuhan jamur.
Hasil Uji Total Escherichia coli Menunjukan terjadi kontaminasi pada perlakuan A
(5% garam), B (10% garam) dan C (15 % garam) sedangkan pada perlakuan D (20 %
garam) sesuai dengan SNI yaitu <3 CFU/g.

SARAN
Hasil dari penelitian ini disarankan untuk dapat dipublikasikan ke masyarakat,
khususnya masyarakat yang merupakan produsen ikan asin sehingga bermanfaat
dalam upaya peningkatan mutu hasil produksi ikan asin.

DAFTAR PUSTAKA
1. Laporan Keterangan Pertangungjawaban Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe,
2012. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe.Tahuna
2. Rinto, Arafah, E., Utama, B. Susila. 2009. Kajian Keamanan Pangan (Formalin,
Garam Dan Mikrobia) Pada Ikan Sepat Asin Produksi Indralaya. Jurnal
Pembangunan Manusia. Volume 8 Nomor 2 Tahun 2009.
3. Reo A. R, 2013. Mutu Ikan Kakap Merah Yang Diolah Dengan Menggunakan
Perbedaan Konsentrasi Larutan Garam dan Lama Pengeringan. Jurnal Perikanan
dan Kelautan Tropis Vol. 11 -1 April . Universitas Sam Ratulangi Manado.
Sulawesi Utara.
4. Hadiwiyoto, S. 2012. Hubungan Keadaan Kimiawi dan Mikrobiologik Ikan
Pindang Naya Pada Penyimpanan Suhu Kamar Dengan Sifat Organoleptiknya.
Agritech Volume 15 Nomor 1, 2, 3. dari http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/
15123951923.pdf. Diakses tanggal 11 Desember 2012.
5. Rahmani, Yunianta, Martati, E. 2007. Pengaruh Metode Penggaraman Basah
Terhadap Karakteristik Ikan Asin Gabus (Ophiocephalus Striatus). Jurnal
Teknologi Pertanian. Volume 8 Nomor 3 (Desember 2007).
http://jtp.ub.ac.id/index.php /jtp/article/download/243/634. Diakses tanggal 17
Desember 2012.
6. Sofiyanto. 2001. Penggunaan Berbagai Jenis Bahan Kemasan Dalam
Mempertahankan Mutu Ikan Asin Patin (Pangasius Hypophthalmus) Selama
148

Penyimpanan. Diakses dari http://repository.


ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/16757/ C01SOF.pdf?sequence=1.
7. Dini Febriyanti, Rahayu Sri Pujiati, Khoiron. 2015. Total Plate Count dan
Staphylococcus aureus pada Ikan Asin Manyung (Arius thallasinus) di TPI Puger
Kabupaten Jember Bagian Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Keselamatan
Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Jember
8. Leroi F, Joffraud JJ, Chevalier F .2000. Effect of salt and smoke on the
microbiological quality of cold-smoked salmon during storage at 5˚C as estimated
by the factorial design method. J. Food Prot. 63(4):502-508
9. Chaijan M .2011. Physicochemical changes of tilapia (Oreochromis niloticus)
muscle during salting. Food Chem. 129:1201-1210.
10. M. S. Youssef, N. F. Abo-Dahab and R. M. Farghaly, 2003. Studies on
Mycological Status of Salted Fish “Moloha” in Upper Egypt. The Korean Society
of Mycology Mycobiology 31(3): 166-172 (2003)
11. Swaminathan, B. and Sparling, P. H. 1998. The bacteriology of food excluding
dairy products. In Toply and Wilson. Collier, L., Balows, A. and Sussman, M.,
Microbiology and microbial infection. 9th Ed., Vol. 2 Edward Arnold Publishers
Ltd. London, pp. 407-408.
12. Food and Drug Administration.2001. Processing Parameters Needed to Control
Pathogens in Cold Smoked Fish, FDA Publications ,US. Washington, District of
Columbia,USA. P 979.
13. N. Kasozi1*, V. T. Namulawa2, G. I. Degu1, C. D. Kato3 and J. Mukalazi1.2016.
Bacteriological and physicochemical qualities of traditionally dry-salted Pebbly
fish (Alestes baremoze) sold in different markets of West Nile Region, Uganda .
http://www.academicjournals.org/AJMR. Vol. 10(27), pp. 1024-1030, 21
149

JENIS PLASMODIUM DAN DENSITAS PARASIT PADA PENDERITA


MALARIA DI PUSKESMAS TAMBELANG KABUPATEN
MINAHASA TENGGARA

Elne Vieke Rambi, S.Pd., M.Si, dan I Made Sastra Adiwiguna


viekerambi@gmail.com, sastraadhy@gmail.com

ABSTRAK
Malaria masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Puskesmas Tambelang adalah puskesmas yang memiliki wilayah kerja dengan angka
kesakitan malaria tertinggi dari 12 puskesmas di Kabupaten Minahasa Tenggara,
dengan angka API 31,02 per 1.000 penduduk pada tahun 2015. Malaria adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium. Terdapat 5 jenis Plasmodium
yang dapat menginfeksi manusia. Malaria dapat menyebabkan kematian terutama
pada kelompok risiko tinggi dan secara langsung menyebabkan anemia sehingga
dapat menurunkan produktivitas kerja. Densitas parasit malaria yang tinggi akan
meningkatkan risiko anemia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menggambarkan jenis Plasmodium dan densitas parasit pada penderita malaria di
Puskesmas Tambelang, Kabupaten Minahasa Tenggara.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Teknik pengambilan sampel yaitu
accidental sampling. Pasien yang datang ke Puskesmas Tambelang yang memenuhi
kriteria inklusi penelitian diambil darah kapilernya untuk dibuat sediaan darah tebal
dan tipis dan dilakukan pewarnaan Giemsa kemudian diperiksa secara mikroskopis.
Ditemukan 141 responden dengan gejala klinis malaria selama penelitian, setelah
dilakukan pemeriksaan malaria secara mikroskopis didapatkan hasil 25 sampel
positif malaria dan 116 sampel lainnya negatif malaria.
Hasil pemeriksaan jenis Plasmodium dari 25 sampel positif malaria, yaitu: 7 sampel
adalah Plasmodium falciparum (28,00%), 13 sampel adalah Plasmodium vivax
(52,00%) dan 5 sampel mixed infection antara Plasmodium falciparum dan
Plasmodium vivax (20,00%). Sedangkan Plasmodium malariae, Plasmodium ovale
dan Plasmodium knowlesi tidak ditemukan. Untuk densitas parasit didapatkan positif
1 (13,33%), positif 2 (33,33%), positif 3 (46,67%) dan positif 4 (6,67%).

Kata kunci: Malaria, Jenis Plasmodium, Densitas Parasit.


PENDAHULUAN
Malaria masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Malaria di dunia berdasarkan The World Malaria Report 2011 sebanyak
lebih dari 655 ribu orang meninggal pada tahun 2010 dimana 81% terjadi di Afrika
dan 6% nya terjadi di Asia. Secara keseluruhan terdapat 3,3 milyar penduduk dunia
tinggal di daerah berisiko (endemis) malaria yang terdapat di 106 negara (Dirjen PP
& PL, 2013). Di Asia Tenggara malaria merupakan masalah kesehatan yang penting.
Sepuluh dari 11 negara Asia Tenggara merupakan daerah endemis malaria. Di
daerah Asia Tenggara 70% dari jumlah penduduknya atau sekitar 1.216 juta jiwa,
150

bertempat tinggal di daerah endemis malaria. Sekitar 96% dari penduduk yang
berisiko tertular malaria di daerah Asia Tenggara tinggal di Bangladesh, India,
Indonesia, Myanmar dan Thailand dan menyebabkan 95% kasus-kasus malaria (baik
yang sakit maupun yang meninggal dunia) di daerah tersebut (Soedarto, 2011).
Indonesia merupakan salah satu negara yang masih terjadi transmisi malaria (berisiko
malaria atau risk malaria), dimana pada tahun 2014 terdapat 252.027 kasus positif
malaria (Kemenkes RI, 2015). Upaya penanggulangan penyakit malaria di Indonesia
sejak tahun 2007 dapat dipantau dengan menggunakan indikator Annual Parasite
Incidence (API). Hal ini berhubungan dengan kebijakan Kementerian Kesehatan
mengenai penggunaan satu indikator untuk mengukur angka kejadian malaria, yaitu
dengan API (Buletin Jendela Data & Informasi Kesehatan, 2011). API adalah angka
kesakitan malaria berdasarkan hasil positif pemeriksaan laboratorium per 1.000
penduduk dalam 1 tahun, API dapat dipakai untuk membagi endemisitas suatu daerah
terhadap penyakit malaria, yaitu: API > 5 per 1.000 penduduk merupakan daerah
endemis tinggi, API 1 sampai 5 per 1.000 penduduk merupakan daerah endemis
sedang, API < 1 per 1.000 penduduk merupakan daerah endemis rendah dan API = 0
adalah daerah yang tidak terdapat penularan malaria (non endemis) (Dirjen PP & PL,
2013).
Secara nasional angka kesakitan malaria (API) selama tahun 2012, 2013 dan
2014 cenderung menurun yaitu 1,69 pada tahun 2012, menjadi 1,38 tahun 2013 dan
pada tahun 2014 kembali menurun menjadi 0,99 per 1.000 penduduk (Kemenkes RI,
2015). Walaupun telah terjadi penurunan angka API secara nasional, di daerah
dengan kasus malaria tinggi angka API masih sangat tinggi dibandingkan angka
nasional, sedangkan pada daerah dengan kasus malaria yang rendah sering terjadi
kejadian luar biasa (KLB) sebagai akibat adanya kasus impor (Permenkes RI, 2013).
Bila dilihat per provinsi pada tahun 2014, provinsi dengan angka API tertinggi
adalah Papua, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur. Sementara Provinsi Sulawesi
Utara berada pada urutan kesembilan dari 34 provinsi di Indonesia dengan angka API
0,94 per 1.000 penduduk berisiko (Kemenkes RI, 2015).
Kabupaten Minahasa Tenggara merupakan salah satu kabupaten di Provinsi
Sulawesi Utara dengan tingkat endemisitas malaria yang tinggi, dimana pada tahun
2015 Kabupaten Minahasa Tenggara menempati urutan kedua angka API tertinggi
dari 15 kabupaten atau kota di Provinsi Sulawesi Utara setelah Kabupaten Kepulauan
Sangihe. Pada tahun 2015 jumlah kasus positif malaria di Kabupaten Minahasa
Tenggara adalah 447 kasus. Angka API di Kabupaten Minahasa Tenggara dalam
tahun 2013, 2014 dan 2015 cenderung menurun. Dimana pada tahun 2013 angka
API Kabupaten Minahasa Tenggara adalah 15,96, pada tahun 2014 menurun menjadi
10,91 dan kembali menurun pada tahun 2015 menjadi 4,29 per 1.000 penduduk
berisiko (Dinkes Sulut, 2015).
Puskesmas Tambelang adalah puskesmas yang memiliki wilayah kerja dengan angka
kesakitan malaria tertinggi dari 12 puskesmas di Kabupaten Minahasa Tenggara,
dengan angka Annual Parasite Incidence API 31,02 per 1.000 penduduk pada tahun
2015. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium. Terdapat
5 jenis Plasmodium yang dapat menginfeksi manusia. Malaria dapat menyebabkan
kematian terutama pada kelompok risiko tinggi dan secara langsung menyebabkan
anemia sehingga dapat menurunkan produktivitas kerja. Densitas parasit malaria
151

yang tinggi akan meningkatkan risiko anemia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menggambarkan jenis Plasmodium dan densitas parasit pada penderita malaria di
Puskesmas Tambelang, Kabupaten Minahasa Tenggara.
BAHAN DAN CARA
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini secara deskriptif, waktu
penelitian bulan Juli 2016 dan tempat penelitian dilaksakan di Puskesmas Tambelang
Minahasa Tenggara. Variabel dalam penelitian ini adalah jenis plasmodium dan
densitas parasit pada penderita malaria di Puskesmas Tambelang. Populasi adalah
seluruh penduduk yang beresiko terinfeksi penyakit malaria di wilayah kerja
Puskesmas Tambelang sedangkan pengambilan sampel dengan teknik accidental
sampling pasien yang datang berkunjung ke Puskesmas Tambelang yang memenuhi
kriteria inklusi yaitu mengalami gejala klinis malaria dan didiagnosa positif malaria
oleh dokter sebanyak 25 sampel.

HASIL
Tabel 1. Distribusi Penderita Malaria dengan Parasit Positif Menurut
Kelompok Umur di Puskesmas Tambelang,
Kabupaten Minahasa Tenggara

No Umur Jumlah (n) Persentase (%)


1 1 – 4 Tahun 3 12,00
2 5 – 9 Tahun 5 20,00
3 10 – 14 Tahun 9 36,00
4 ≥ 15 Tahun 8 32,00
Total 25 100,00

Tabel 1 menunjukkan kelompok umur 10 sampai 14 tahun adalah kelompok


umur yang paling banyak terinfeksi malaria yaitu berjumlah 9 orang dengan
persentase 36,00%.
Tabel 2. Distribusi Penderita Malaria dengan Parasit Positif Menurut Jenis
Kelamin di Puskesmas Tambelang, Kabupaten Minahasa Tenggara

No Jenis Kelamin Jumlah (n) Persentase (%)


1 Laki-laki 16 64,00
2 Perempuan 9 36,00
Total 25 100,00

Tabel 2 menunjukkan jenis kelamin laki-laki lebih banyak terinfeksi malaria


yaitu berjumlah 16 orang (64,00%) dibandingkan dengan perempuan yang
berjumlah 9 orang (36,00%).
152

Tabel 3. Distribusi Penderita Malaria dengan Parasit Positif Menurut


Pekerjaan di Puskesmas Tambelang, Kabupaten Minahasa Tenggara

No Pekerjaan Jumlah (n) Persentase (%)


1 Belum Bekerja 20 80,00
2 IRT 2 8,00
3 Buruh 1 4,00
4 Tani 1 4,00
5 Wiraswasta 1 4,00
Total 25 100,00

Tabel 3 menunjukkan paling banyak penderita malaria dengan parasit positif


pada penelitian ini adalah belum bekerja yaitu sebanyak 20 orang dengan
persentase 80,00%.

Tabel 4. Distribusi Penderita Malaria dengan Parasit Positif Menurut Riwayat


Infeksi Malaria di Puskesmas Tambelang, Kabupaten Minahasa Tenggara

No Riwayat Infeksi Malaria Jumlah (n) Persentase (%)


1 Pernah Terinfeksi 17 68,00
2 Belum Pernah Terinfeksi 8 32,00
Total 25 100,00

Tabel 4 menunjukkan lebih banyak penderita malaria dengan parasit positif yang
sebelumnya pernah terinfeksi malaria yaitu berjumlah 17 orang (68,00%) daripada
penderita malaria yang belum pernah terinfeksi yaitu berjumlah 8 orang (32,00%).

Tabel 5. Distribusi Penderita Malaria dengan Parasit Positif Menurut Frekuensi


Terinfeksi Malaria di Puskesmas Tambelang, Kabupaten Minahasa Tenggara

No Frekuensi Terinfeksi Malaria Jumlah (n) Persentase (%)


1 1 Kali 8 47,06
2 2 Kali 4 23,53
3 3 Kali 4 23,53
4 5 Kali 1 5,88
Total 17 100,00

Tabel 5 menunjukkan frekuensi terinfeksi malaria pada penderita malaria


dengan parasit positif paling banyak adalah 1 kali terinfeksi yaitu berjumlah 8 orang
dengan persentase 47,06%.
153

Tabel 6. Distribusi Penderita Malaria dengan Parasit Positif Menurut Gejala Klinis
Demam dan Tidak Demam di Puskesmas Tambelang,
Kabupaten Minahasa Tenggara

No Demam atau Tidak Jumlah (n) Persentase (%)


1 Demam 24 96,00
2 Tidak Demam 1 4,00
Total 25 100,00

Tabel 6 menunjukkan sebagian besar penderita malaria dengan parasit positif


mengalami demam yaitu sebanyak 24 orang (96,00%) dan terdapat 1 orang (4,00%)
yang tidak demam.

Tabel 7. Distribusi Penderita Malaria dengan Parasit Positif Menurut Lama Demam
di Puskesmas Tambelang, Kabupaten Minahasa Tenggara

No Lama Demam Jumlah (n) Persentase (%)


1 1 Hari 2 8,33
2 2 Hari 6 25,00
3 3 Hari 3 12,50
4 4 Hari 5 20,83
5 5 Hari 4 16,67
6 6 Hari 1 4,17
7 7 Hari 3 12,50
Total 24 100,00

Tabel 7 menunjukkan bahwa lama demam penderita malaria dengan parasit


positif yang paling banyak yaitu selama 2 hari dengan jumlah 6 orang dengan
persentase 25,00%.

Tabel 8. Distribusi Penderita Malaria dengan Parasit Positif Menurut Jenis


Plasmodium di Puskesmas Tambelang, Kabupaten Minahasa Tenggara

No Jenis Plasmodium Jumlah (n) Persentase (%)


1 Plasmodium falciparum 7 28,00
2 Plasmodium vivax 13 52,00
Mixed Infection (Plasmodium
3 5 20,00
falciparum dan Plasmodium vivax)
Total 25 100,00
154

Tabel 8 menunjukkan bahwa jenis Plasmodium yang paling banyak ditemukan


yaitu Plasmodium vivax berjumlah 13 sampel dengan persentase 52,00%.

Tabel 9. Distribusi Hasil Pemeriksaan Mikroskopis Malaria Menurut Stadium


Parasit pada Penderita Malaria di Puskesmas Tambelang, Kabupaten
Minahasa Tenggara

No Stadium Parasit Jumlah (n) Persentase (%)


1 Ring 21 47,72
2 Trofozoit 19 43,18
3 Gametosit 4 9,10

Tabel 9 menunjukkan bahwa stadium parasit yang paling banyak ditemukan di


bawah mikroskop yaitu ring berjumlah 21 sampel dengan persentase 47,72%.

Tabel 10. Distribusi Hasil Pemeriksaan Mikroskopis Malaria Menurut Densitas


Parasit pada Penderita Malaria di Puskesmas Tambelang, Kabupaten
Minahasa Tenggara

No Densitas Parasit Jumlah (n) Persentase (%) Keterangan


1 Positif 1 (+) 4 13,33 Infeksi Ringan
2 Positif 2 (++) 10 33,33 Infeksi Ringan
3 Positif 3 (+++) 14 46,67 Infeksi Sedang
4 Positif 4 (++++) 2 6,67 Infeksi Berat

Tabel 10 menunjukkan densitas parasit yang paling banyak ditemukan adalah


positif 3 (+++) yaitu sebanyak 14 sampel dengan persentase 46,67%.

PEMBAHASAN

Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi protozoa dari


genus Plasmodium (Rampengan, 2012). Diagnosis penyakit malaria ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium (Hakim, 2011).
Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis malaria dapat dilakukan melalui beberapa
metode antara lain secara mikroskopis, teknik quantitative buffy coat (QBC), rapid
diagnostic test (RDT), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan polymerase
chain reaction (PCR) (Sucipto, 2015). Dari beberapa jenis pemeriksaan laboratorium
tersebut, pemeriksaan laboratorium yang dijadikan standar emas (gold standard)
pemeriksaan laboratorium malaria adalah pemeriksaan secara mikroskopis (Sutanto
dkk, 2009; Permenkes RI, 2013; Hakim, 2011). Hal ini dikarenakan pemeriksaan
secara mikroskopis mempunyai kelebihan yaitu dapat melihat bentuk parasit yang
utuh dan morfologinya sempurna serta dapat menentukan jenis Plasmodium, stadium
Plasmodium dan densitas parasit. Hitung densitas parasit dapat membantu dalam
155

menentukan prognosis dan pemeriksaan berkelanjutan dapat membantu dalam


menentukan respon parasit terhadap terapi (Daysema dkk, 2016).
Hasil pemeriksaan plasmodium malaria pada 25 responden, 7 sampel
Plasmodium falcifarum, 13 sampel Plasmodium vivax dan 5 sampel terkonfirmasi
mixed infection (infeksi campuran). Densitas parasit menunjukkan tingkat keparahan
infeksi malaria. Tingkat infeksi malaria dapat dikelompokkan menjadi: Infeksi
ringan yaitu densitas parasit positif 1 sampai positif 2, infeksi sedang yaitu densitas
parasit positif 3 dan infeksi berat yaitu densitas parasit positif 4 (Dwitania dkk, 2013;
Firdaus dkk, 2014). Berdasarkan penelitian (tabel 15), densitas parasit yang
ditemukan dalam sediaan darah adalah positif 1 dengan persentase 13,33% dan
positif 2 dengan persentase 33,33% yang termasuk infeksi ringan, positif 3 dengan
persentase 46,67% termasuk infeksi sedang dan positif 4 dengan persentase 6,67%
termasuk dalam infeksi berat. Densitas parasit dipengaruhi oleh pembentukan
merozoit. Merozoit yang dibentuk oleh tiap spesies Plasmodium berbeda jumlahnya.
Plasmodium falciparum membentuk 40.000 merozoit hati, Plasmodium vivax
membentuk 10.000 merozoit hati, Plasmodium malariae dan Plasmoidum ovale
membentuk 15.000 merozoit hati. Lamanya demam dan waktu pengambilan sampel
juga dapat mempengaruhi densitas parasit. Densitas parasit mencapai maksimal
dalam waktu 7 sampai 14 hari dan mulai menurun setelah 14 hari (Susilawati dkk,
2013; Rahmad & Purnomo, 2011).

KESIMPULAN
1. Jenis Plasmodium yang ditemukan pada penderita malaria di Puskesmas
Tambelang, Kabupaten Minahasa Tenggara yaitu Plasmodium falciparum
(28,00%), Plasmodium vivax (52,00%) dan mixed infection antara Plasmodium
falciparum dan Plasmodium vivax (20,00%). Sedangkan Plasmodium malariae,
Plasmodium ovale dan Plasmodium knowlesi tidak ditemukan.
2. Densitas parasit yang ditemukan pada penderita malaria di Puskesmas
Tambelang, Kabupaten Minahasa Tenggara yaitu positif 1 (13,33%), positif 2
(33,33%), positif 3 (46,67%) dan positif 4 (6,67%).

SARAN
1. Kepada petugas kesehatan di Puskesmas Tambelang agar secara
berkesinambungan melakukan penanganan malaria mulai dari kegiatan promotif,
preventif, kuratif sampai rehabilitatif serta melakukan surveilans dan
pengendalian vektor malaria yang bekerjasama dengan dinas kesehatan,
pemerintah dan melibatkan masyarakat untuk memutus mata rantai penularan
malaria secara bertahap, bahkan dapat dieliminasi sesuai target Kemenkes RI,
yaitu eliminasi penyakit malaria di Pulau Sulawesi pada tahun 2020.
2. Pada masyarakat agar dapat meningkatkan kesadaran dalam pencegahan malaria,
memeriksakan diri ke puskesmas jika mengalami gejala penyakit malaria serta
melaksanakan pengobatan dengan teratur jika dinyatakan positif malaria untuk
mencegah resistensi obat antimalaria.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada hubungan
antara jenis Plasmodium dengan tingkat densitas parasit, terutama spesies
156

Plasmodium falciparum dibandingkan spesies Plasmodium lainnya apakah


densitas parasitnya lebih tinggi sehingga menyebabkan malaria berat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ariyanti, E., E, Riyanti, Prasetyorini, B., Aisyah, Khairiri, Harun, S., Handayani,
S. & Tjitra, E. (2012). Cek Silang Mikroskopis Sediaan Darah Malaria pada
Monitoring Pengobatan Dihidroartemisinin-piperakuin di Kalimantan dan
Sulawesi. Media Litbang Kesehatan, Vol. 22, No. 4: 167-172.
2. Daysema, S. D., Warouw, S. W. & Rompis, J. (2016). Gambaran Prevalensi
Malaria pada Anak SD Yapis 2 di Desa Maro Kecamatan Merauke Kabupaten
Merauke Papua. Jurnal e-Clinic, Vol. 4, No. 1: 41-45
3. Dinkes Mitra. (2015). Penemuan Penderita Malaria Tahun 2015. Dinas
Kesehatan Kabupaten Minahasa Tenggara.
4. Dinkes Sulut. (2015). Annual Parasite Incidence Tahun 2015. Dinas Kesehatan
Provinsi Sulawesi Utara.
5. Dwitania, M., Irawati, N. & Rasyid, R. (2013). Insiden Malaria di Puskesmas
Sungai Durian dan Puskesmas Talawi Kota Sawahlunto bulan Oktober 2011
samapi Februari 2012. Jurnal Kesehatan Andalas, Vol. 2, No. 2: 76-79.
6. Firdaus, A. S., Irawati, N. & Amir, A. (2014). Gambaran Slide Malaria
Berdasarkan Sediaan Darah dari Kepulauan Siberut Mentawai Periode Oktober
2011 sampai Januari 2012. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol. 3, No. 2: 94-97.
7. Kemenkes RI. (2011). Pedoman Teknis Pemeriksaan Parasit Malaria. Direktorat
jendral PP & PL.
8. Kemenkes RI. (2015). Profil Kesehatan Indonesia 2014.
9. Natadisastra, D. & Agoes R. (2009). Penyakit oleh Sporozoa Darah dan
Jaringan. dalam: Natadisastra, D. & Agoes R. Parasitologi Kedokteran Ditinjau
dari Organ Tubuh yang Diserang. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
10. Permenkes RI. (2013). Pedoman Tata Laksana Malaria.
11. Ramadhani, T. & Rahardjo, J. (2013). Gambaran Peningkatan Kejadian
Malaria di Desa Tetel Kecamatan Pangadegan Kabupaten Purbalingga.
BALABA, Vol. 9, No. 02: 63-69.
12. Susilawati, Sennang, N., Naid, T. & Attamimi, F. (2013). Kadar Hemoglobin
dan Densitas Parasit pada Penderita Malaria di Lombok Tengah. JST
Kesehatan, Vol. 3, No. 3: 298-304.
157

ANALISIS PEMERIKSAAN SERUM GLUTAMIC OXALOACETIC


TRANSMINASE (SGOT) SERUM GLUTAMIC PYRUMIC
TRANSMINASE (SGPT), GAMMA GLUTAMIC TRANSFERASE (GGT)
PADA PEMINUM ALKOHOL DI KECAMATAN AMURANG
MINAHASA

Dyan R. Sukandar¹, Ketrina Konoralma², dan Telly Mamuaya³


1,2,3 Prodi D-III Analis Kesehatan Poltekkes Manado

ABSTRACK
Alchohol using as drinking is current very increasing in peoples. Alchohol using
especially as chronic can able caused by tissues liver damaged through the fews
of mechanisme like as enzim and free radical induction. World Health
Organization (WHO) by the 2011 year reported that there were 2,5 millions
people was pass away every year caused by alchohol comsumption. Even
though, WHO reported that by 2014 year dye caused by alchohol consumption
to be 3,3 millions populations. Alchohol consumption can be increasing SGPT
(Serum Glutamic Piruvic Transsaminase), SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic
Transaminase), and GTT (Gama Glutamyl Transferase) level. Level of liver
damaged can be showed from there were ratio increasing SGPT/SGOT more
twice normal rate (Suaniti, 2012). Research type is using by the research is
laboratory observation with cross sectional approach that is to knowing
relationship between blood chemical examination with liver damaged of
alchohol consumption using one sample t-test. Analysist result of normally
test showing normal distribution data where pvalue=>0,05. Conclussion: There
were significantly relationship between ages, exoposed duration, frequency,
doses of drinking responden with SGOT, SGPT, and GTT level, where t-account
>t-table. By the research results hoping the peoples more choose healthy
lifestyle with not alchohol consumption is harmfull to the health.

Key Word: SGOT, SGPT,GTT Levels.

PENDAHULUAN
Alkohol adalah salah satu jenis alkohol alifatik yang larut air. Senyawa
ini sering juga disebut etil alkohol atau alkohol saja. Alkohol dibuat dari hasil
fermentasi, berupa cairan jernih tak berwarna dan rasanya pahit (Joewana, 1989).
Molekul alkohol sangat kecil dan dapat dengan mudah larut dalam lipid dan air.
Oleh karena sifat ini, alkohol memasuki aliran darah dengan mudah dan juga
dapat melewati sawar darah otak (blood brain barrier) dengan bebas (Trujillo,
158

1996). Alkohol sangat berpengaruh terhadap makhluk hidup, terutama karena


perannya sebagai pelarut lipida. Kemampuannya melarutkan lipida yang terdapat
dalam membrane sel memungkinkannya dengan cepat masuk kedalam sel-sel dan
menghancurkan struktur sel tersebut. Oleh karena itu, alkohol dianggap toksik
atau racun (Almatsier,2001). Penggunaan alkohol sebagai minuman saat ini
sangat meningkat di masyarakat. Pengunaan alkohol terutama secara kronis dapat
menimbulkan kerusakan jaringan hati melalui beberapa mekanisme seperti
melalui induksi enzim dan radikal bebas. World Health Organization pada tahun
2011 melaporkan bahwa terdapat 2,5 juta penduduk meninggal di dunia setiap
tahun akibat mengkonsumsi alkohol. Sedangkan pada laporan World Health
Organization tahun 2014 kematian akibat mengkonsumsi alkohol meningkat
sebanyak 3,3 juta penduduk.
Robins dan Cotran (2009) menyatakan, penyalahgunaan alkohol
merupakan salah satu faktor utama penyakit hati disebagian besar Negara Barat.
Lebih dari 10 juta orang Amerika terkena penyakit hati ini dengan 200.000
kematian pertahun yang berkaitan dengan penyalahgunaan alcohol. Penyakit hati
alkoholik (PHA) adalah gangguan fungsi hati yang diakibatkan oleh konsumsi
alkohol dalam waktu yang lama dengan jumlah tertentu. Ada tiga penyakit hati
terkait alkohol yang berbeda sekalipun saling tumpang tindih yang ditandai oleh
morfologinya, antara lain; Steatosis hepatik (perlemakan hati), hepatitis
alkoholik dan sirosis alkoholik. Perlemakan hati biasa ditemukan pada >90%
peminum alkohol berat. Sebagian dari peminum alkohol berat tersebut yaitu
sekitar 10-30% akan berkembang menjadi penderita hepatitis alkoholik, dan
akan terus berkembang menjadi sirosis hati bila tidak ditangani. (Conrenget al,
2014)
Konsumsi alkohol dapat meningkatkan kadar SGPT (Serum Glutamic
Piruvic Transaminase) /SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) dan
dapat meningkatkan kadar Gamma Glutamyl Transferase (GGT). Tingkat
kerusakan hati bisa dilihat dari adanya peningkatan rasio SGPT/SGOT lebih dari
dua kali angka normal (Suaniti, 2012). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan umur, lama,frekuensi an dosis minum alkohol dengan kadar
SGOT,SGPT,GGT pada peminum alkohol di Kecamatan Amurang Kabupaten
Minahasa Selatan.

BAHAN DAN CARA


Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah observasi
laboratorik dengan pendekatan cross sectional yaitu untuk mengetahui hubungan
pemeriksaan kimia darah dengan kerusakan hati peminum alkohol melalui uji
korelasi. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan JuliOktober 2015.
Pengumpulan data dan pengambilan sampel darah bertempat di Kelurahan
Kawangkoan Bawah Kecamatan Amurang Kabupaten Minahasa Selatan, dan
pemeriksaan sampel darah di Balai Penunjang Pelayanan Kesehatan Manado.
159

Populasi dalam penelitian ini adalah semua peminum alkohol berjenis


kelamin laki – laki yang berusia 18-65 tahun. Kelurahan Kawangkoan Bawah
Amurang diambil sebagai Desa tempat penelitian karena masyarakat banyak
mengkonsumsi alkohol yang tersedia di Warung-warung.
Sampel dalam penelitian ini adalah peminum alkohol yang memenuhi
kriteria inklusi dengan menggunakan teknik purposive sampling sebanyak 30
sampel yaitu : (1) Berjenis kelamin laki-laki, (2) Berusia 18 -65 tahun, (3) Lama
mengkonsumsi alkohol 7 tahun atau lebih, (4) Bersedia menjadi responden, (5)
Hadir saat pengambilan sampel. Variabel dalam penelitian ini meliputi variabel
bebas yaitu konsumsi alcohol dan variabel terikat yaitu fungsi hati SGPT,
SGOT, dan GTT). Analisis data menggunakan uji statistik ttest dengan uji
normalitas data menggunakan Uji Smirnov dan saphiro wilk. Untuk menganlisis
pengaruh konsumsi alkohol terhadap perubahan fungsi hati.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis data penelitian dapat disajikan sebagai berikut:


Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden Peminum
Alkohol di Kawangkoan Bawah Amurang
Tahun 2015
Variabel f 
Umur:
a. 18-30 tahun 3 10
b. 31-43 tahun 12 40
c. 44-56 tahun 10 33,3
d. > 56 tahun 5 16,7
Jenis Minuman:
a. Captikus 15 50
b. Saguer 8 26,7
c. Bir 2 6,7
d. Tikus dan Bir 5 16,6
Frekuensi Minum dalam
seminggu :
a. Satu kali 1 3,33
b. Dua kali 6 20
c. Tiga kali 8 26,67
d. > tiga kali 15 50
Dosis Minum:
a. Kurang satu botol
b. Satu botol 8 23,07
c. Lebih dari satu botol 13 53,84
9 23,07
160

Sumber Data : Primer, 2015


161

Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa responden yang terbanyak yaitu
responden dengan kelompok umur 31-45 tahun yaitu sebanyak 40% atau 12
responden, diikuti umur 46-60 tahun sebanyak 33,3% . Jenis minuman yang
terbanyak dikonsumsi oleh responden ialah jenis minuman Captikus sebanyak 15
responden (50%). Frekuensi minum yang terbanyak ialah lebih dari tiga kali dalam
seminggu sebanyak 15 responden (50%), dan dosis minum yang terbanyak ialah
satu botol dalam seminggu sebanyak 13 responden 53,84).

Tabel 2. Hasil Persentase Pemeriksaan SGOT, SGPT GGT Pada Peminum

Alkohol di Kawangkoan Bawah Amurang Tahun 2015

No Kriteria Hasil Pemeriksaan SGOT SGPT GGT

(%)

1 Normal 19 24 22

2 Diatas Normal 11 6 8

3 Di bawah Normal 0 0 0

Total 30 30 30

Sumber Data : Primer, 2015

Tabel 2 diatas menunjukkan hasil pemeriksaan SGOT diatas normal 11


responden 36,7 %, SGPT diatas normal 6 responden 20 % dan GGT diatas normal 8
responden 26,7 % yang terbanyak adalah > 3 kali yaitu sebesar 15 responden 50%
.
Berdasarkan hasil test normalitas data pada tabel 3 berdasarkan lama
terpapar dengan alkohol responden, menunjukkan distribusi data normal dimana
nilai p>0,05.
162

Tabel 3. Hasil Test Normality Data Kadar SGOT, SGPT, dan GTT Berdasarkan Lama
Terpapar Responden dengan Minuman Alkohol di Kawangkoan Bawah Amurang Tahun
2015

Kolmogorov-Smirnov Shapiro-WIlk
Lama Terpapar
Statistik df Sig Statistik df Sig
Kadar SGOT
7-14 tahun 0.253 5 0,200 0.925 5 0.560
15-29 tahun 0.216 12 0.126 0.845 12 0,32
30-44 tahun 0.169 8 0.200 0.945 8 0.656
45-60 tahun 0.441 4 0.630 4 0,001
Kadar SGPT
7-14 tahun 0.341 5 0.57 0.801 5 0.83
15-29 tahun 0.232 12 0.75 0.837 12 0.26
30-44 tahun 0.297 8 0.36 0.711 8 0.003
45-60 tahun 0.303 4 0.791 4 0.86
Kadar GTT
7-14tahun 0.313 5 0.124 0.720 3 0.015
15-29tahun 0.196 12 0.200 0.877 11 0.80
30-44tahun 0.254 8 0.138 0.854 12 0.105
45-60tahun 0.375 4 0.781 4 0.072

Tabel 4. Hasil Test Normality Data Kadar SGOT, SGPT, dan GTT
Responden Berdasarkan FrekuensiMinum Minuman Alkohol

Kolmogorov-Smirnov Shapiro-WIlk
FrekuensiMinum
Statistik df Sig Statistik df Sig
Kadar SGOT
1 kali per minggu
2 kali per minggu 0.283 6 0.144 0.800 6 0,59
3 kali per minggu 0.191 8 0.200 0.860 8 0.119
>3 kali 0.178 15 0.200 0.833 15 0.010
Kadar SGPT
1 kali per minggu 0.395 6 0.004 0.692 6 0.005
2 kali per minggu 0.143 8 0.200 0.918 8 0.416
3 kali per minggu 0.306 15 0.001 0.762 15 0.001
163

>3kali per minggu


Kadar GTT
1 kali per minggu 0.364 6 0.013 0.691 6 0.005
2 kali per minggu 0.223 8 0.200 0.901 8 0.298
3-4 kali per minggu 0.150 15 0.200 0.914 15 0.157
Setiap Hari

Berdasarkan hasil test normalitas data pada tabel 4 mengenai frekuensi


minum alkohol responden menunjukkandistribusi data normal dimana nilai p>0,05.

Tabel 5. Hasil Uji Analisis Kadar SGOT, Kadar SGPT, dan Kadar SGOT pada
Peminum Alkohol Berdasarkan Umur, Lama Terpapar, Frekuensi Minum,
dan Dosis Minuman Alkohol Pada Peminum Alkohol di Kelurahan
Kawangkoan Bawah Kecamatan Amurang Tahun 2015

No Variabel n Mean Std t.hitung pValue 95% C.I.


1. Umur Responden 30 2,57 0,858 16,378 0.000 2,25-2,89
2. Lama Terpapar 30 2,37 0,928 13,971 0.000 2,02-2,71
3. Frekuensi Minum 30 3,23 0,898 19,729 0.000 2,90-3,57
4. Dosis Minum 30 2,47 1,196 11,298 0.000 2,02-2,91
5. Kadar SGOT 30 38,17 12,117 17,252 0.000 33,64-42,69
6. Kadar SGPT 30 35,47 19,811 9,806 0.000 28,07-42,86
7. Kadar GTT 30 52,60 16,217 7,955 0.000 39,08-66,12

Berdasarkan data hasil analisis hubungan antara kadar SGOT, SGPT, dan
kadar GTT dengan umur responden ialah sebagai berikut: mean = 2,57 +Std. 0,858,
pValue = 0,000<α0,5 dengan (95% C.I. 2.25-2,28) pada t-Hitung 16,378>t-tabel.
Artinya, terdapat hubungan yang signifikan antara umur responden dengan kadar
SGOT, SGPT, dan kadar GTT.
Hasil analisis hubungan antara lama terpapar responden terhadap minuman
alcohol dengan kadar SGOT, SGPT, dan GTT menunjukkan bahwa mean =
2,37+Std.0,928, p<0,05 (95% C.I: 2,02-2,71) pada t-Hitung 13,378>t-tabel. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara lama terpapar
responden terhadap minuman alcohol dengan kadar SGOT, kadar SGPT, dan kadar
GTT.
Hasil analisis hubungan antara frekuensi responden terhadap minuman
alcohol dengan kadar SGOT, SGPT, dan GTT menunjukkan bahwa mean =
3,23+Std.0,898, p<0,05 (95% C.I: 2,90-3,57,71) pada t-Hitung 19,729>t-tabel. Hal
164

ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara frekuensi
minum responden terhadap minuman alcohol dengan kadar SGOT, kadar SGPT,
dan kadar GTT.
Hasil analisis hubungan antara dosin minum responden terhadap minuman
alcohol dengan kadar SGOT, SGPT, dan GTT menunjukkan bahwa mean =
2,47+Std.1,196, p<0,05 (95% C.I: 2,02-2,91) pada t-Hitung 11,298>t-tabel. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara dosis minum
responden terhadap minuman alcohol dengan kadar SGOT, kadar SGPT, dan kadar
GTT.
Hasil analisis hubungan antara kadar SGOT, kadar SGPT, dan GTT masing-
masing terhadap umur responden, lama terpapar, frekuensi minum dan dosis minum
alkohol sebagai berikut: kadar SGOT, mean = 38,17+Std.12,117,
pValue=0,000<p0,05, (95%CI=33,64-42,69). t-hitung=17,252>t-tabel. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara peningkatan
kadar SGOT dengan umur responden, lama terpapar, frekuensi minum dan dosis
minum alcohol responden peminum alcohol. Kadar SGPT,
mean=35,47+Std.19,811, pValue=0,000<p0,05 (95%CI: 28,07-42,86), t-hitung=
9,806>t-tabel. Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan
antara peningkatan kadar SGPT dengan umur responden, lama terpapar, frekuensi
minum dan dosis minum alcohol responden peminum alcohol. Kadar GTT,
mean=52,6+Std.16,217, pValue=0,000<p0,05, (95%CI=39,08-66,12), t-hitung =
7,955>t-tabel. Artinya, bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara
peningkatan kadar GTT dengan umur responden, lama terpapar, frekuensi minum
dan dosis minum alcohol responden peminum alcohol.

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian dan uji statistik antara pengaruh konsumsi
alcohol terhadap perubahan fungsi hati, menunjukkan bahwa ada pengaruh antara
umur, lama, frekreuensi, dosis minum alkohol dengan kadar SGOT,SGPT dan GGT
peminum alkohol. Karena itu diharapkan masyarakat lebih memilih cara hidup sehat
dengan tidak mengkonsumsi alkohol yang merugikan kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Almatsier, A 2001 Prinsip Dasar Ilmu Gizi Jakarta PT Gramedia Pustaka
2. Anonim, 2002 Pengaruh Alkohol Terhadap Metabolisme Diakses 11 Januari
2015
3. Baterson, 1991 Batu Empedu dan Penyakit Hati Jakarta
4. Conreng D Waleleng BJ Palar (2014) Hubungan Konsumsi Alkohol Dengan
Gangguan Fungsi Hati Pada Subjek Pria Dewasa Muda di Kelurahan Tateli
dan Teling Atas Manado
5. Corwin E.J 2009 Buku saku Patofisiologi Jakarta EGC
6. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik (2007) Pharmaceutical Care
untuk Penyakit Hati
165

7. Gandasoebroto R 2010 Penuntun Laboratorium Klinik Jakarta


8. Hidayat A ( 2013 ) Pengaruh Vitamin Terhadap Kadar SGOT,SGPT Serum
Darah Tikus Putih (Rattus Norvegicus ) Jantan Wistar Yang dipapar Timbal
Per Oral Universitas Negeri Semarang
9. Irianto K (2014) Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia Bandung
10. Joewana Satya, 2005. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat
Psikoaktif Edisi 2 Jakarta, EGC
11. Kumar S Ramzi Robbins 2007 Buku Ajar Patologi Jakrta EGC
12. Trujillo KA Chinn AB Ethanol California State University San Marcos, 1996
13. Zakhari Samir 2006 Overview How is Alcohol Metabolized by the body Alcohol
reserchy and health Vol 29 N04
14. Mahmound I, Marzouk M Moharram M, El-Gindi M, Hassan A, 2001 Acylated
Flavonol Glycosides From Eugenia Jambolana Leaves Phytochemistry 58. 1239
– 1244
15. Tan Hoan Tjay, 2008. Obat-obat Penting, Penting, Penerbit PT Alex Midia
Komputindo
16. H.M, Sjaifoellah Noer, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, Edisi Ketiga
Balai Penerbit FKUI, Tahun 1996
17. Rymond J Rumampuk, 2013. Suatu Flavonoid Glikosida Dari Daun Pakoba
Merah (Syzygium Sp) Seminar Nasional Kimia Terapan Indonesia.
18. Masykur, F 2012 Implementasi Sistem pakar Diagnosis Penyakit Diabetes
Mellitus Diakses di http://eprints.undip.ac.id/36016/1Fauzan Masykur.pdf
19. Mutscler R Dinamika Obat, Ed 5th, ITB, Bandung
20. Soegondo, Sidartawan. 2006. Jumlah Diabetes Mellitus. www.medicastore.com
21. Azis Sainuddin, 2011. Standarisasi Bahan Obat Alam, Jogjakarta
22. Syamsudin Darmono, 2011. Buku Ajar Farmakologi Eksperimental, Universitas
Indonesia Jakarta
23. Ridwan, E. 2013. Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian
Kesehatan, Indon Med Assoc, Volum : 63 Nomor 3.
24. Wagner, H. Badt. S. Zginski E.M. 1984 Plant Drug Analysis A Thin Layer
Chromatography Atlas, Tokyo
165

GAMBARAN KADAR ENZYME CHOLINESTERASE DALAM DARAH


PETANI SAYUR DI DESA MAKAAROYEN KECAMATAN MODOINDING
KABUPATEN MINAHASA SELATAN

Henry S. Imbar1, Ali Makaminan2


1. Jurusan Gizi Poltekkes Manado
2. Prodi D-III Analis Kesehatan Poltekkes Manado

ABSTRAK
Pestisida merupaka racun yang sengaja dibuat oleh manusia untuk membunuh
organisme pengganggu tanaman pangan dan insekta penyebar penyakit, yang bila
tidak dikelola dengan bijaksana dapat menimbulkan dampak negatif yang tidak
diinginkan. Dampak negatif tersebut akan menimbulkan berbagai masalah karena
mempengaruhi berbagai aspek kehidupan yang akhirnya secara langsung ataupun
tidak langsung berpengaruh terhadap kesehatan, lingkungan hidup dan kesejahteraan
manusia. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kadar enzyme cholinesterase dalam
darah terhadap keracunan pestisida petani sayur.
Penelitian ini bersifat deskriptif yang dilakukan dengan menggunakan teknik
Purposif Sampling yaitu peneliti dapat menentukan sampel berdasarkan tujuan
tertentu (25 orang). Dilakukan pemeriksaan cholinesterase dalam darah pada petani
yang menggunakan pestisida menggunakan Cholinesterase Test Kit.
Hasil penelitian yang dilakukan pada petani sayur di Desa Maaroyen Kecamatan
Modoinding Kabupaten Minahasa Selatan menunjukan 25 orang (100%) dalam
rentang normal, penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) lebih ditingkatkan oleh
petani sayur guna menjaga kesehatan serta dapat menggunakan pestisida untuk
pertanian sesuai standart pemakaiannya seperti yang dianjurkan oleh petugas
penyuluh pertanian.
Kata kunci: Enzyme Cholinesterase, Pestisida, Petani Sayur

PENDAHULUAN
Produk pertanian cukup melimpah melalui penggunaan pestisida
dibeberapa negara berkembang hingga saat ini ketergantungan petani akan pestisida
sintetis masih sangat tinggi. Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO (World Heatlh
Organization) dalam Raini (2007) memperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 25 juta
kasus keracunan pestisida atau sekitar 68.493 kasus setiap hari. Menurut Sri
Yuliastuti (2011), Pestisida yang sering digunakan di Indonesia adalah golongan
organoklorin yang merupakan racun kronis dan sangat berbahaya bagi lingkungan
karena daya tahannya yang lama dan sukar terurai. Pestisida adalah bahan argokimia
166

yang digunakan untuk mengendalikan hama pada tanaman. Pestisida memiliki


kelemahan yaitu dapat menyebabkan efek samping terhadap manusia dan hewan
ternak yang bukan targetnya (Indraningsih & Yulfian, 2004). Pestisida jenis
organofosfat dan karbamat merupakan jenis pestisida yang sering disebut dengan
insektisida antikolinesterase karena keduanya mempunyai efek yang sama dalam
sistem saraf (perifer dan pusat) (Soemirat, 2005). Pestisida dapat masuk kedalam
tubuh melalui kulit (dermal), pernafasan (inhalasi) atau mulut, Raini (2007). Efek
utama organophosphat adalah menghambat aktivitas enzim kholinesterase sehingga
menimbulkan gangguan transmisi syaraf (Waldron & Goleman, 1987).

Enzyme Cholinesterase
Cholinesterase atau kolinesterase adalah suatu enzim dari katalis biologic
didalam jaringan tubuh yang berperan untuk menjaga otot-otot, kelenjar-kelenjar dan
saraf bekerja secara terorganisir dan harmonis. Jika aktifitas kolinesterase jaringan
tubuh menurun secara tepat sampai pada tingkat rendah, akan berdampak pada
bergeraknya serat-serat otot secara sadar dengan gerakan halus maupun kasar, petani
dapat mengeluarkan air mata akibat mata teriritasi, serta gerakan otot akan lebih
lambat dan lemah ( Zuraida 2012).
Asetikholinesterase adalah suatu enzim dalam tubuh manusia, terdapat pada
banyak jaringan yang menghidrolisis asetilkholin menjadi kholin dan asam asetat. Sel
darah merah dapat mensintesis asetilkholin dan bahwa kholin asetilase dan
asetilkholinesterase keduanya terdapat dalam sel darah merah
Ketika pestisida organofosfat memasuki tubuh manusia atau hewan, pestisida
menempel pada enzim kholinesterase. Karena kholinesterase tidak memecahkan
asetilkholin, impuls syaraf mengalir terus (konstan) menyebabkan suatu twiching
yang cepat dari otot-otot dan akhirnya mengarah kepada kelumpuhan. Pada saat otot-
otot pada sistem pernafasan tidak berfungsi terjadilah kematian (Prijanto, 2009).
Insektisida golongan Organofosfat dan karbamat
Jenis insektisida golongan organofosfat dan karbamat ini sering disebut
sebagai insektisida antikolinesterase karena keduanya mempunyai efek yang sama
dalam system saraf (perifer dan pusat), walaupun masing-masing mempunyai ikatan
kimia struktur kimia yang berbeda. Organofosfat, insektisida ini merupakan ester
asam fosfat atau asam tiofosfat. Pestisida ini umumnya merupakan racun pembasmi
serangga yang paling toksik secara akut terhadap binatang bertulang belakang seperti
ikan, burung, cicak dan mamalia Pestisida khusunya insektisida merupakan
kelompuk pestisida yang terbesar dan terdiri atas beberapa sub kelompok kimia yang
berbeda. Karbamat merupakan ester asam N-metilkarbamat. Bekerja menghambat
asetilkolinesterase, tetapi pengaruhnya terhadap enzim tersebut tidak berlangsung
lama karena prosesnya cepat reversible.
167

Toksifikasi Pestisida
Kevin et al (2011), menyatakan bahwa aktifitas senyawa organophosphat dan
karbamat dapat menghambat aktifitas enzim asetilcholinesterase. Jenis insektisida
organofosfat dan karbamat sering disebut sebagai insektisida antikolinesterase karena
keduanya mempunyai efek yang sama dalam sistem saraf (perifer dan pusat),
walaupun masing-masing mempunyai ikatan struktur kimia yang berbeda. Pestisida
merupakan semua zat atau campuran zat yang digunakan untuk mengatur
pertumbuhan tanaman atau pengering tanaman ( Runia;Arneti,2008).
Keracunan kronis pestisida golongan organofosfat berpotensi karsinogenik.
Kelompok Karbamat Kalau timbul gejala, gejala itu tidak bertahan lama dan cepat
kembali normal. Pada umumnya, pestisida kelompok karbamat ini dapat bertahan
dalam tubuh antara 1 sampai 24 jam sehingga cepat diekskresikan. Keracunan Akut
(Racun Cepat), kebanyakan petani menggunakan racun cepat untuk mengendalikan
serangga. Kemampuan bahaya tergantung pada ukuran dosis dan potensi dari
racunnya. Racun cepat juga dapat menyebabkan perkembangan yang cepat kearah
dampak akhir, bila gejala pemaparan akut terlihat tanda kebiruan. Hal ini dapat
terjadi selama periode pemaparan yang berlanjut, dimana gejala pemaparan ringan
ditutupi oleh kurangnya pengaruh hebat, sampai saat tersebut, pemaparan sudah
cukup untuk pengaruh racun cepat menjadi tampak. Fenomena ini dikenal sebagai
keracunan akut yang tertunda ; keracunan Kronis (Racun Lambat), Karena
pemaparan yang terus menerus atau berulang-ulang dengan sedikit racun pestisida
selama satu periode tertentu. Dampak racun lambat tidak tergantung pada ukuran dan
kemampuan dosis seperti yang terjadi pada racun cepat. Keracunan lambat
menimbulkan banyak dampak pada kesehatan manusia, beberapa diantanya
diketahui, diduga dan beberapa tidak diketahui. (Short K, 1994)
Hasil penelitian pada 132 sampel darah petani penyemprot sayur di Kelurahan
Rurukan Kota Tomohon yang dengan uji kolinesterase didapat 71 orang (53,8%)
mengalami keracunan ringan, 32 orang (24,2%) mengalami keracunan sedang
(Soenjono, 2012).

BAHAN DAN CARA

Lokasi dan Rancangan Penelitian

Lokasi Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai Agustus 2016 di Desa
Makaaruyen Kecamatan Modoinding Kabupaten Minahasa Selatan dan Jenis
Penelitian ini yaitu analitik deskriptif pendekatan Crossectional study.
Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dari penelitian ini yaitu petani sayur di Desa Makaaruyen kecamatan
Modoinding Kabupaten Minahasa Selatan,berdasarkan kriteri inklusi didapatkan
168

sampel sebanyak 25 Sampel. Tehnik penarikan sampel pada penelitian dengan


menggunakan purposive sampling
Metode Pengumpulan Data
Data primer didapat langsung melalui wawancara terstruktur dan pemeriksaan
darah dengan metode Cholinesterase test . Data Sekunder dikumpulkan dari pihak
terkait, Penyuluh Pertanian Kecamatan Modoinding Kabupaten Minahasa Selatan
Pengolahan dan Analisa Data
Data yang didapat di analisa dengan menggunakan Descriptive Statistic, dan
disajikan dalam bentuk tabel kemudian dinarasikan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasakan hasil tabel 1 diatas menuujukan bahwa sebagian responden
menggunakan APD baik responden yang memakai Sepatu boot sebanyak 22 atau
(88%), memakai celana panjang sebayak 22 orang (88%), menggunakan sarung
tangan sebayak 19 responden atau 76% , yang memakai masker sebanyak 11
responden (44%), menggunakan penutup kepala sebanyak 19 responden atau 76%,
sedangkan penggunaan APD kaca mata sebagian responden tidak memakainya
sebanyak 21 responden atau 84%
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan Alat Pelindung Diri
Petani Sayur Di Desa Makaaroyen Kecamatan Modoinding Kabupaten Minahasa
Selatan Tahun 2016.

No. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) f %


1 Sepatu boot
ya 22 88
tidak 3 12
2 Celana Panjang
ya 22 88
tidak 3 12
3 Baju lengan panjang
ya 14 56
tidak 11 44
4 Sarungan Tangan
ya 19 76
tidak 6 24
5 Masker
ya 11 44
169

tidak 14 56
6 Kaca Mata
ya 4 16
tidak 21 84
7 Penutup Kepada
ya 19 76
tidak 6 24

Dari hasil uji Cholinesterase pada seluruh responden dalam batas normal
(75.1 – 100%). Hal ini menunjukan bahwa tidak mengalami keracunan, baik
keracunan ringan, sedang maupun keracunan berat.

Tabel 2, Hasil Uji Cholinesterase Pada Pemeriksaan Sampel Darah Petani Sayur
Di Desa Makaaroyen Kecamatan Modoinding Kabupaten Minahasa Selatan
Tahun 2016.
Presentase
No. Cholinesterase Test n
(%)
1. Normal (75.1-100%) 25 100
2. Keracunan Ringan (>50.1 - ≤ 75%) - -
3. Keracunan Sedang (>25.1 - ≤ 50%) - -
4. Keracunan Berat (0-25%) - -
Total 25 100

Hasil penelitian ini didapatkan petani sayur di Desa Makaaroyen Kecamatan


Modoinding Kabupaten Minahasa Selatan tingkat keracunan dalam rentang normal,
berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Soenjono (2012) dimana dari 132 orang
petani penyemprot sayur di Kelurahan Rurukan Kota Tomohon setelah dilakukan uji
cholinesterase didapatkan hasil bahwa 29 orang (22%) tidak mengalami keracunan
(kategori normal), 71 orang (53,8%) mengalami keracunan ringan, 32 orang (24,2%)
mengalami keracunan sedang dan tidak ada petani yang mengalami keracunan
kategori berat. Pada tabel 1 diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden
menyadari akan penting pengguanaan alat pelindung diri (APD), hal ini tentunya
dapat mengurangi resiko keracunan pestisida kepada petani.
170

KESIMPULAN DAN SARAN


Kadar enzyme cholinesterase pada petani sayur diDesa Makaaroyen
Kecamatan Modoinding Kabupaten Minahasa Selatan dalam rentang normal 100%.
Bagi petani sayur penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) lebih ditingkatkan guna
menjaga kesehatan serta penggunaan pestisida harus sesuai standart pemakaian
seperti yang dianjurkan oleh petugas penyuluh pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

1. Indraningsih & Yulvian S. 2004. Residu Pestisida pada Produk Ternak: Masalah
dan Alternatif Penanggulangannya. Wartazoa Vol . 14 No. 1 Th. 2004.
2. Kevin N. Laland,Kim Sterelny,John Odling-Smee,William Hoppitt,Tobias
Uller.2012.Cause and Effect in Biology Revisited: Is Mayr's Proximate-Ultimate
Dichotomy Still Useful 16 DECEMBER 2011 VOL 334 SCIENCE
www.sciencemag.org
3. Mahyuni, Eka L. (2015). Faktor Risiko Dalam Penggunaan Pestisida Terhadap
Keluhan Kesehatan Pada Petani Di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo 2014.
Jurnal Kesmas. Universitas Sumatra Utara. Vol: 9. No: 2. Hal : 79-89..
4. Novizan. (2002). Membuat Dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan.
Agromedia Pustaka. Depok.
5. Riani, M. (2007). Toksikologi Pestisida dan Penanganan Akibat Keracunan
Pestisida.
6. Jurnal Media Litbang Kesehatan. Vol: XVII. No. 3. Hal: 10-18
7. Runia, Y. Arneti. (2008). Tesis : Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Keracunan Pestisida Organofosfat, Karbamat Dan Kejadian Anemia Pada
Petani Hortikultura Di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak Kabupaten
Magelang, UNDIP. Semarang
8. Short, K. (1994). Racun Cepat Racun Lambat. Pesticide Action Network
Indonesia, Jakarta
9. Soenjono, S. J. (2012). Hubungan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
Dengan Keracunan Pestisida Pada Petani Sayur Di Kelurahan Rurukan. Jurnal
Kesehatan Lingkungan. Vol: 1. No. 2. Hal: 84-90. Poltekkes Kemenkes.
Manado.
10. Soemirat, J., Roosmini, D., Salami, I. R. S. & Oginawati, K. (2005). Toksikologi
Lingkungan. Edisi 2. Gadjah Mada University Press. Bandung.
11. Yuliastuti, Sri. 2011. Teknik Analisis Pestisida Organoklorin pada Tanaman
Kubis dengan Menggunakan Kromatografi Gas. Buletin Teknik Pertanian Vol.
16, No. 2, 2011: 74-76.
12. Waldron, A.C . and D.L . Goleman. 1987. Pesticide user’s guide. The Ohio State
University . Bulletin 745: 1-12 .
171

13. Zuraida, (2012). Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Keracunan


Pestisida Pada Petani Di Desa Srimahi Tambun Utara Bekasi. Skripsi
Dipublikasikan. Program Sarjana Kesehatan Masyarakat. Depok
171

PERBANDINGAN JUMLAH RENDEMEN MINYAK ATSIRI DAUN


CENGKEH (Syzygium aromaticum L. ) SEGAR DAN KERING

Jovie Mien Dumanauw, Jody Agas Pojoh, dan Hari Abdulfarits Ismail
Politeknik Kesehatan Kemenkes Manado
Email : jovidumanauw@gmail.com

ABSTRAK
Cengkeh (Syzygium aromaticum L.) merupakan salah satu tanaman yang mengandung
minyak atsiri. Selain dari bunganya, minyak cengkeh juga dapat diperoleh dari daun
cengkeh. Daun cengkeh mengandung minyak atsiri 1-4%. Setiap tahap pengolahan
simplisia dapat mempengaruhi rendemen minyak atsiri yang diperoleh, salah satunya
adalah tahap pengeringan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan
jumlah rendemen minyak atsiri dari daun cengkeh (Syzygium aromaticum L.) segar
dan kering.
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif yang dilaksanakan di
laboratorium. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah daun cengkeh jenis
Zanzibar yang telah tua dan diperoleh dari Kecamatan Ratahan, Kabupaten Minahasa
Tenggara dalam bentuk segar. Daun cengkeh dibagi bagi sesuai dengan perlakuan
yang akan diberika. Daun Segar (A), Daun dikeringkan dengan cara dijemur matahari
dengan ditutupi kain hitam (B), dikeringkan dengan cara diangin-anginkan (C), dan
dikeringkan dalam oven bersuhu 40°C (D). Isolasi minyak atsiri menggunakan
metode destilasi air dan uap air. Data yang diperoleh dianalisa secara deskriptif untuk
membandingkan hasil rendemen minyak atsiri yang diperoleh dari masing-masing
simplisia.
Hasil penelitian menunjukkan, terdapat perbedaan jumlah rendemen minyak atsiri
yang dihasilkan dari daun cengkeh segar dan kering. Jumlah rendemen minyak atsiri
secara berturut dikeringkan dengan cara dijemur matahari dengan ditutupi kain hitam
(B) 2,89%, segar (A) 1,63%, , diangin-anginkan (C) 0,95%, dan dalam oven bersuhu
40°C (D) 0,65%.

Kata Kunci : Daun Cengkeh Segar dan Kering, Minyak atsiri, Rendemen
Minyak Atsiri

PENDAHULUAN
Tanaman obat memiliki peranan yang penting untuk meningkatkan kualitas
kesehatan. Karena perannya yang penting itu, kualitas dari bahan baku tanaman obat
perlu dijaga atau ditingkatkan (Saifudin, dkk. 2011). Salah satu zat berkhasiat yang
dihasilkan oleh tanaman obat adalah minyak atsiri. Minyak atsiri telah digunakan
secara luas dalam bidang pembuatan obat-obatan, kosmetik, dan aromaterapi
(Koensoemardiyah, 2010). Minyak atsiri dari suatu tanaman dapat ditarik dengan
metode distilasi air dan uap air menggunakan alat distilator.
Untuk mendapatkan bahan baku obat herbal atau simplisia yang dapat
menghasilkan rendemen minyak atsiri sesuai dengan yang diharapkan, maka harus
memperhatikan setiap langkah pengolahan, mulai dari pertumbuhan bahan baku obat
herbal hingga pengontrolan akhir produk jadi. Rangkaian kegiatan, mulai dari waktu
pemanenan, perlakuan pasca panen dan perlakuan bahan baku hingga proses
penyulingan dapat berpengaruh terhadap jumlah rendemen minyak atsiri yang dapat
diperoleh (Yuhono & Suhirman, 2006). Heinrich dkk. (2010) juga menyebutkan
bahwa, faktor-faktor yang mempengaruhi mutu produk jadi adalah bahan botanis,
pemrosesan, termasuk pengeringan hingga penyimpanan bahan baku, teknik
ekstraksi, penyimpanan dan penggunaan.
172

Salah satu faktor terpenting dalam proses penyiapan bahan baku adalah tahap
pengeringan. Pengeringan dapat mempengaruhi kandungan minyak atsiri pada
simplisia. Setiap jenis tanaman memiliki respon yang berbeda terhadap metode
pengeringan, pemilihan metode pengeringan yang tepat dapat meningkatkan produksi
minyak atsiri. Secara umum metode pengeringan terdiri dari pengeringan alamiah dan
buatan. Pengeringan alamiah dapat dilakukan menggunakan cahaya matahari dan
diangin-anginkan, sedangkan pengeringan secara mekanik atau buatan dapat
dilakukan menggunakan alat pengering buatan (Depkes RI, 1985).
Cengkeh (Syzygium aromaticum L.) merupakan salah satu tanaman yang
mengandung minyak atsiri. Minyak cengkeh dapat diperoleh dari bunga dan daun
cengkeh. Daun cengkeh mengandung minyak atsiri 1-4% (Nurdjannah, 2004). Minyak
cengkeh banyak dimanfaatkan oleh dokter gigi sebagai penghilang rasa sakit, selain itu
minyak cengkeh juga memiliki khasiat untuk memperbaiki kondisi pernapasan,
mengurangi nyeri otot dan sendi, serta merawat kondisi kulit. Berdasarkan penelitian
Supriatna dkk. (2004), pengolahan daun cengkeh memiliki potensi yang besar untuk
dikembangkan. Minyak daun cengkeh yang bermutu dapat diperoleh dari daun yang
sudah tua atau daun yang telah rontok (Affifah dkk., 2016).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan jumlah rendemen
minyak atsiri dari daun cengkeh (Syzygium aromaticum L.) segar dan kering.
Diharapkan dari penelitian ini diperoleh data ilmiah dan menjadi acuan bagi
masyarakat untuk mengolah daun cengkeh yang sudah tua atau kering sebagai sumber
minyak cengkeh.

Gambar 1. Tanaman Cengkeh (Arsip Pribadi)

BAHAN DAN CARA

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang dilakukan di Laboratorium


Farmakognosi Jurusan Farmasi Politeknik Kesehatan Kemenkes Manado. Sampel
dalam penelitian ini adalah daun cengkeh jenis Zanzibar yang telah tua dari
Kecamatan Ratahan, Kabupaten Minahasa Tenggara.

Instrumen Penelitian
Alat dan bahan : Timbangan analitik, oven, kain hitam, distilator, pipet, flakon,
Erlenmeyer, aluminium foil dan vial, Natrium Klorida.

Prosedur Penelitian
Penyiapan sampel diawali dengan mengambil daun cengkeh segar kemudian
disortasi dan dibersihkan sampel segar (A) siap didestilasi sedangkan daun cengkeh
yang lain dikeringkan dengan cara cara diangin-anginkan tanpa terkena sinar matahari
173

secara langsung (B); dijemur di bawah sinar matahari dengan ditutupi kain hitam (C)
; dan dikeringkan dengan menggunakan oven bersuhu 40°C (D). Untuk sampel yang
dikeringkan kadar air mencapai 10-12 % yang ditandai daun jika diremas akan patah,
retak namun tidak hancur (Khasanah dkk, 2015).
Masing-masing sampel ditimbang lalu didestilasi dengan metode destilasi
uap-air selama 7 jam setelah tetesan destilat pertama. Destilat yang diperoleh dikocok
dengan penambahan natrium klorida untuk membantu pemisahan. minyak cengkeh
dari air. Pada minyak atsiri yang sudah dipisahkan dari air ditambahkan kembali
NaCl untuk menarik air yang masih tersisa. Minyak cengkeh yang diperoleh
ditimbang dihitung rendemennya.dengan rumus :
Rendemen (R) = x 100%
Dimana, R = Rendemen (%), Output = jumlah minyak atsiri yang dihasilkan (g),
Input = jumlah daun cengkeh yang didestilasi (g)
Data yang diperoleh disajikan ditabulasikan dan dibuatkan diagram. Analisa data
secara deskriptif untuk membandingkan hasil rendemen minyak atsiri yang diperoleh
dari masing-masing simplisia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil destilasi pada masing-masing minyak atsiri pada sampel secara


organoleptik memiliki kriteria yang sama yaitu warna kuning sampai cokelat tua dan
bau khas minyak cengkeh. Uji organoleptik dari minyak daun cengkeh yang diperoleh
disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil Uji Organoleptik Minyak Daun Cengkeh


No Uji Organoleptik Hasil
1 Bentuk Cairan Jernih
2 Warna Kuning Pucat
3 Bau Khas Cengkeh

Hasil rendemen yang diperoleh disajikan dalam bentuk diagram yang dapat
dilihat pada gambar 2.
Minyak cengkeh dapat diperoleh dari bunga dan daun cengkeh. penelitian ini
digunaan daun cengkeh tua yang tidak mengalami proses pengeringan, dan
dikeringkan. Pengeringan menggunakan metode pengeringan matahari dengan
ditutupi kain hitam, diangin-anginkan, dan dikeringkan menggunakan oven dengan
suhu 40°C. Penutupan dengan kain hitam bermaksud untuk menghindari pengeringan
yang terlalu cepat yang dapat mengurangi jumlah minyak atsiri, dan menghindari
paparan cahaya matahari langsung yang dapat menurunkan kualitas minyak atsiri.
Pengeringan dengan cara diangin-anginkan, dilakukan selama dua minggu dengan
meletakkan daun cengkeh pada wadah dari bambu di tempat yang tidak terkena hujan
dan sinar matahari langsung. Pengeringan dengan menggunakan oven dilakukan
selama dua minggu, dengan suhu 40°C.
174

3.50%
2.89%
3.00%
2.50%
2.00% 1.63%
1.50%
0.95% 0.65%
1.00%
0.50%
0.00%
Daun Segar Kering matahari Kering angin Kering Oven

Gambar 2. Diagram Rendemen Minyak Daun Cengkeh

Isolasi minyak atsiri pada daun cengkeh yang dilakukan dengan metode
distilasi air dan uap air. Metode ini dipilih karena beberapa keuntungan, yaitu uap air
selalu jenuh, basah dan tidak akan terjadi superheated. Selain itu, menurut Guenther
(2006) untuk penyulingan berskala kecil, penyulingan air dan uap air lebih
menguntungkan karena peralatannya yang lebih sederhana jika dibandingkan dengan
penyulingan uap langsung.
Distilat yang dihasilkan ditambahkan natrium klorida untuk mengikat air
sehingga memudahkan pemisahan air dari minyak atsiri. Minyak atsri daun cengkeh
yang diperoleh dari daun cengkeh segar dan kering memiliki ciri-ciri organoleptik
yang sama, yaitu cairan jernih berwarna kuning pucat dan memiliki bau khas
cengkeh, hal tersebut telah sesuai dengan standar mutu minyak daun cengkeh dalam
SNI 06-2387-2006, yaitu warna kuning sampai cokelat tua dan bau khas minyak
cengkeh tetapi rendemen yang dihasilkan berbeda-beda yaitu masing-masing sebesar
1,63% (A), 2,89% (B), 0,95% (C) dan 0,65% (D).
Sampel B yaitu daun yang dikeringkan dengan cara dijemur di bawah cahaya
matahari dengan ditutupi kain hitam (2,89%). Tingginya rendemen minyak atsiri
dengan pengeringan matahari dapat pula disebabkan karena penggunaan kain hitam
untuk menutupi simplisia dapat menahan udara, sehingga mengurangi kemungkinan
minyak atsiri untuk menguap. Pada simplisia daun segar (A), kadar air pada rongga
sel yang menutupi minyak atsiri masih tinggi sehingga mengakibatkan uap air lebih
sulit untuk berpenetrasi menembus sel. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hobir dkk.
(Sunardi dkk, 2008) bahwa penyulingan daun segar akan menghasilkan rendemen
yang rendah. Dengan dilakukan pengeringan terlebih dahulu akan menghasilkan
rendemen minyak yang lebih tinggi, karena sel-sel bagian dalam akan lebih mudah
ditembus uap ketika penyulingan.
Untuk sampel yang dikeringkan dengan cara diangin-anginkan (dua minggu)
dan menggunakan oven (satu minggu), jumlahnya minyak yang dihasilkan lebih
sedikit karena proses pengeringan yang lebih lama, penyimpanan simplisia selama
waktu pengeringan juga lebih lama, sehingga kemungkinan minyak atsiri yang
menguap semakin banyak. Menurut Katno (2008), bahwa untuk simplisia yang
mengandung senyawa aktif mudah menguap, penundaan pengeringan akan
menurunkan kadar senyawa aktifnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Boreel
(2006) yang menyatakan semakin lama penyimpanan, kadar minyak atsiri cenderung
lebih menurun.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang diperolehdiketahui bahwa terdapat


perbedaan jumlah rendemen minyak atsiri yang dihasilkan dari daun cengkeh segar
dan kering. Jumlah rendemen minyak atsiri yang diperoleh secara berturut sampel B
2,89% > A 1,63% > C 0,95% >0,65%.
175

SARAN

Dapat dilakukan penelitian tentang perbedaan metode distilasi terhadap rendemen


minyak daun cengkeh dan penggunaan sampel daun cengkeh yang telah gugur tetapi
belum kering.

DAFTAR PUSTAKA

1. Affifah, F. N., Lutfi, M., Kadarsiman, D. (2016). Studi Fasilitas Penyulingan


Minyak Daun Cengkeh (Syzygium aromaticum L) ; Studi Kasus UKM di
Malang. Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem Vol. 4 No. 1.
2. Boreel, A. (2006). Pengaruh Metode dan Lama Penyimpanan Daun Terhadap
Rendemen Volume Minyak Eukaliptus (Eucalypt Urophylla). Jurnal
Agroforensi Vol. 1 No. 3.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1985). Cara Pembuatan Simplisia.
Jakarta
4. Guenther, E. (2006). Minyak Atsiri. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
5. Heinrich, M., Barnes, J., Gibbons S., Williamson E. M. (2010). Farmakognosi
dan Fitoterapi. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
6. Katno (2008). Pengelolaan Pasca Panen Tanaman Obat. Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO-OT) Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI,
Tawangmangu.
7. Koensoermadiyah, S. (2010). A to Z Minyak Atsiri untuk Industri Makanan,
Kosmetik, dan Aromaterapi. C. V Andi, Yogyakarta.
8. Nurdjannah, N. (2004). Diversifikasi Penggunaan Cengkeh. Jurnal Perspektif
Vol. 3 No. 2.
9. Saifudin, A., Rahayu, V. dan Teruna, H. T. (2011). Standarisasi Bahan Obat
Alam. Graha Ilmu, Yogyakarta.
10. Sunardi, Fatriani dan Chotimah, H. (2008). Pengaruh Pola Pengeringan
Terhadap Rendemen dan Kualitas Minyak Atsiri Daun Nilam (Pogostemon
calbin Benth). Jurnal Hutan Tropis Borneo No.22.
11. Supriatna, A., Rambitan, U. N., Sumangat, D. dan Nurdjannah, N. (2004).
Analisis Sistem Perencanaan Model Pengembangan Agroindustri Minyak Daun
Cengkeh : Studi Kasus di Sulawesi Utara. Buletin TRO Vol. XV.
12. Yuhono, J. T. dan Suhirman, S. (2006). Status Pengusahaan Minyak Atsiri dan
Faktor–Faktor Teknologi Pasca Panen yang Menyebabkan Rendahnya
Rendemen Minyak. Buletin Littro Vol. XVII No. 2. Balai Penelitian Tanaman
Obat dan Aromatik.
176

PEMBUATAN SALEP DARI EKSTRAK DAUN


JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.)

Selfie P. J. Ulaen, Benedicta I. Rumagit, dan Elvie Rifke Rindengan

Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes Manado


Korespondensi : selfieellatikoaluulaen@gmail.com

ABSTRAK
Tanaman obat terbukti memiliki kandungan senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan
yang dapat ditarik dengan cara ekstraksi. Salah satu tanaman yang dapat
dimanfaatkan adalah Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) yang secara empiris, daunnya
digunakan oleh masyarakat untuk mengobati luka. Dari cara penggunaan secara
tradisional, tanaman ini dapat dikembangkan untuk diformulasikan menjadi sediaan
salep sebagai sediaan yang lebih mudah digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan sediaan salep yang memenuhi persyaratan pengujian.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang dilakukan di laboratorium. Sampel
yang digunakan yaitu daun jarak pagar yang diperoleh dari kecamatan Amurang
Sulawesi Utara. Proses pembuatan sediaan salep ini dibagi menjadi 2 tahap yaitu
pembuatan ekstrak dan pembuatan salep. Ekstraksi daun jarak pagar dilakukan
dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 70 %. Ekstrak yang didapat
dibuat sediaan salep dengan campuran malam kuning dan minyak wijen sebagai dasar
salep, dan nipasol sebagai pengawet. Sediaan yang dihasilkan dilakukan pengujian
sediaan salep yang terdiri dari uji organoleptik, uji homogenitas, uji pH, uji ukuran
partikel, uji daya lekat, daya serap dan daya sebar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sediaan salep yang dibuat berbentuk semi padat
dengan warna hijau tua hampir hitam dan berbau khas minyak wijen, salep yang
dibuat memiliki susunan yang homogen, pH 6,5, daya serap 120 %, daya sebar 5 cm,
daya lekat 4 detik, dan ukuran partikel yang lebih besar dari salep yang beredar di
pasaran. Berdasarkan hasil tersebut disimpulkan bahwa salep ekstrak daun jarak
pagar memenuhi persyaratan pengujian organoleptik, homogenitas, ukuran partikel,
daya serap, daya sebar, pengujian pH, dan daya lekat.

Kata kunci: salep, ekstrak, daun jarak pagar, pengujian salep

PENDAHULUAN

Tanaman obat menjadi salah satu alternatif obat yang dipilih oleh masyarakat.
Makin meluasnya informasi membuat tanaman obat makin terkenal dan masyarakat
luas makin tertarik untuk memanfaatkan tanaman obat (Raina, 2011). Tanaman obat
terbukti memiliki kandungan senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan setelah
ditelaah dan dipelajari secara ilmiah (Muhlisah, 2007).
Masyarakat Indonesia telah menggunakan berbagai macam tanaman berkhasiat
obat antara lain untuk pemakaian luar, meskipun dengan pengolahan yang masih
sederhana. Salah satu jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan adalah jarak pagar
(Jatropha curcas L.).
Menurut Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB & Gagas Ulung (2014), secara
tradisional, jarak pagar digunakan untuk mengobati pembengkakan dan
membersihkan luka. Secara empiris, masyarakat menggunakan 7 helai daun Jarak
pagar yang ditumbuk untuk mengobati bengkak akibat terpukul, terkilir, patah tulang,
dan luka berdarah (Hariana, 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Nuria, dkk (2009), menunjukkan ekstrak etanol
daun Jarak Pagar mengandung flavonoid, saponin dan tanin. Setelah diuji
mikrobiologi, ekstrak etanol daun Jarak Pagar dapat menghambat pertumbuhan
bakteri Staphylococcus aureus pada konsentrasi 20, 40, 60, 80, dan 100 %.
177

Berdasarkan khasiatnya, daun Jarak Pagar bisa dikembangkan dengan ditarik


kandungan zat berkhasiatnya dan diformulasikan menjadi bentuk sediaan farmasi
yang lebih mudah digunakan, salah satunya adalah sediaan salep. Salep adalah
sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar
(Depkes RI, 1979).

BAHAN DAN CARA

Sampel

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah daun Jarak Pagar yang
diperoleh dari Kecamatan Amurang, Kabupaten Minahasa Selatan Sulawesi Utara.

Perhitungan Penimbangan

Penimbangan untuk 8 wadah masing-masing 10 gram 8 x 10


gram = 80 gram salep

Ekstrak daun Jarak Pagar :32 gram ekstrak

Nipasol :0,08 gram = 80 mg

Dasar salep : 80 – (32 + 0,08) gram = 47,9 gram

: 47,9 + (20% x 47,9) gram = 57,5 gram

Malam Kuning : 17,25 gram

Minyak Wijen :40,25 gram

HASIL

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebanyak 4,2 kg daun Jarak Pagar segar
dikeringkan sehingga menghasilkan serbuk simplisia sebanyak 1146 g. serbuk
simplisia diambil sebanyak 730 g untuk diekstraksi dengan cara maserasi dengan
etanol 70 %. Dari proses ekstraksi didapatkan ekstrak sebanyak 37,4 g.

Rendemen = 100 % = 5,12 %

Ekstrak daun Jarak Pagar kemudian dibuat sediaan salep dengan zat tambahan
minyak wijen dan malam kuning sebagai dasar salep, serta penambahan nipasol
sebagai pengawet. Salep yang dibuat kemudian dilakukan pengujian sediaan salep
yang terdiri dari tujuh pengujian yaitu:

1. Uji Organoleptik
Dari pengujian yang dilakukan sediaan salep yang diperoleh berbentuk setengah
padat, berwarna hijau tua hampir hitam, dan berbau khas minyak wijen.
178

2. Uji Homogenitas
Dari pengujian yang dilakukan diperoleh hasil salep ekstrak daun Jarak
Pagar memiliki susunan yang homogen

Gambar 3. Hasil uji homogenitas salep bagian atas, tengah, dan bawah

3. Uji pH
Dari pengujian yang dilakukan diperoleh hasil salep ekstrak daun Jarak
Pagar memiliki pH 6,5.

Gambar 4. Hasil uji pH

4. Uji Ukuran Partikel


Pengujian ini dilakukan dengan cara diamati salep dengan mikroskop, lalu
dilakukan pengujian dengan salep pembanding Lanakeloid-E yang juga mengandung
zat aktif berupa ekstrak. Dari pengujian didapat hasil ukuran partikel salep ekstrak
daun Jarak Pagar memiliki ukuran partikel yang lebih besar dari salep pembanding.

Gambar 5. Hasil uji ukuran partikel salep ekstrak daun jarak pagar (kiri) dan salep pembanding (kanan)

5. Uji Daya Sebar


Dari pengujian didapat hasil sediaan salep memiliki daya sebar 5 cm.

Gambar 6. Hasil uji daya sebar

6. Uji Daya Serap


Dari pengujian didapat hasil sediaan salep dapat menyerap air sebanyak 1,2
179

ml atau hasil yang didapat:


Salep memiliki daya serap air sebanyak 120 %

Gambar 7. Hasil uji daya serap

7. Uji Daya Lekat


Dari pengujian salep ekstrak daun Jarak Pagar yang dilakukan didapat
hasil waktu daya lekat salep yaitu 4 detik.

PEMBAHASAN

Pembuatan sediaan salep dari ekstrak daun jarak pagar dimaksudkan untuk
mendapatkan suatu sediaan salep dari daun jarak pagar yang secara empiris oleh
masyarakat digunakan untuk mengobati luka sayat. Pada pembuatan sediaan salep ini
digunakan bahan-bahan tambahan seperti malam kuning, minyak wijen, dan nipasol.
Bahan-bahan yang ditambahkan dalam pembuatan sediaan salep ini memiliki
kegunaan masing-masing yaitu malam kuning dan minyak wijen digunakan sebagai
dasar salep. Selain itu, dalam sediaan ditambahkan nipasol sebagai pengawet agar
salep yang dihasilkan tidak mudah ditumbuhi bakteri selama penyimpanan.
Hasil pengamatan organoleptik sediaan salep menunjukkan salep ekstrak daun
jarak pagar berbentuk setengah padat, dengan warna hijau tua yang hampir hitam, dan
memiliki bau khas minyak wijen. Setelah dioleskan pada kaca objek dan diamati di
bawah mikroskop, salep menunjukkan susunan yang homogen.
Pengujian daya serap menunjukkan salep memiliki daya serap sebesar 120%,
dasar salep yang digunakan dalam sediaan merupakan dasar salep serap yang
memiliki kemampuan menyerap air yang baik. Daya serap salep memberi keuntungan
saat digunakan pada kulit yang mudah berkeringat ataupun pada kulit yang luka sehingga
dapat menyerap cairan dalam luka.
Pengujian daya sebar menunjukkan salep memiliki daya sebar 5 cm, sehingga
salep memenuhi syarat daya sebar sediaan topikal yang baik yaitu 5-7 cm. Daya sebar
salep yang luas menunjukkan kemudahan salep untuk dioleskan, serta menunjukkan
ketersediaan obat pada tempat yang diobati. Daya sebar salep yang luas menunjukkan
ketersediaan obat untuk diabsorbsi makin besar.
Pengujian ukuran partikel salep menggunakan salep pembanding Lanakeloid-E
menunjukkan salep ekstrak daun jarak pagar memiliki ukuran partikel yang lebih
besar daripada salep pembanding. Ukuran partikel mempengaruhi penyerapan obat,
semakin kecil ukuran partikel zat dalam salep, semakin baik pula penyerapan zat aktif
ke dalam kulit sehingga lebih cepat memberikan efek yang diinginkan.
Pengujian daya lekat menunjukkan waktu daya lekat salep yaitu 4 detik, salep
memenuhi syarat daya lekat yang baik yaitu tidak kurang dari 4 detik. Daya lekat
salep yang lama pada tempat yang diobati, misalnya kulit, menunjukkan efek yang
dihasilkan juga makin besar dan lama.
Pengujian selanjutnya yaitu uji pH sediaan menggunakan kertas indikator pH
universal. Hasil pengujian menunjukkan salep memiliki pH 6,5. Nilai pH sediaan
topikal yang baik adalah yang sesuai dengan pH kulit yaitu 4,5-6,5. pH yang terlalu
asam dapat mengiritasi kulit sedangkan pH yang terlalu basa dapat membuat kulit
bersisik.
180

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa salep ekstrak daun jarak pagar
memenuhi persyaratan pengujian organoleptik, homogenitas, ukuran partikel, daya
serap, daya sebar, pengujian pH, dan daya lekat. Sehingga dapat dibuat menjadi
sediaan salep.

SARAN

Penulis menyarankan agar dilakukan penelitian lanjutan untuk ekstrak daun


jarak pagar yaitu pembuatan sediaan salep dengan dasar salep yang berbeda, atau
pembuatan bentuk sediaan topikal yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ansel, H. C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi ke-4. UI-Press,


Jakarta.
2. Dalimartha, S. (2008). Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 5. Pustaka Bunda,
Jakarta.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi
Ketiga. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi
Keempat. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
5. Hariana, H. A. (2013). 262 Tanaman Obat dan Khasiatnya. Penebar Swadaya,
Jakarta.
6. Lachman, L., Lieberman, H. A., Kanig. J. L. (1994). Teori dan Praktek Farmasi
Industri. Edisi ketiga. UI-Press, Jakarta.
7. Maulidaniar, R., Rahima S. R., Rita, M., Hamidah, M., Yuda, A. W. (2011). Gel
Asam Salisilat. Universitas Lambung Mangkurat, Banjar Baru.
8. Muhlisah, F. (2007). Tanaman Obat Keluarga. Penebar Swadaya, Jakarta.
9. Naibaho, O. H., Yamlean P. V. Y., Wiyono W. (2013). Pengaruh Basis Salep
Terhadap Formulasi Sediaan Salep Ekstrak Daun Kemangi (Ocimum sanctum L.)
Pada Kulit Punggung Kelinci yang Dibuat Infeksi Staphylococcus aureus.
Universitas Sam Ratulangi, Manado.
10. Nuria, M. C., Faizatun, A., Sumantri. (2009). Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak
Etanol Daun Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Terhadap Bakteri Staphylococcus
aureus ATCC 25923, Escherichia coli ATCC 25922, dan Salmonella typhi ATCC
1408. UGM, Yogyakarta.
11. Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB dan Gagas Ulung. (2014). Sehat Alami
Dengan Herbal. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
12. Raina. (2011). Ensiklopedi Tanaman Obat Untuk Kesehatan. Absolut,
Yogyakarta.
13. Syamsuni, H. A. (2006). Ilmu Resep. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
14. Voight, R. (1994). Buku Ajar Teknologi Farmasi. UGM Press, Yogyakarta.
181

HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH PENDERITA DENGAN


KEJADIAN TB DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BEO KECAMATAN
BEO KABUPATEN KEPULAUAN TALAUD

1) 2) 3)
Marsella Lapasi Yozua T. Kawatu Bongakaraeng
Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Manado
1
)Alumni College environmental health Health Polytechnic D4 Kemenkes Manado
2) 3)
Lecturer Environmental health Health Polytechnic Kemenkes Manado
Email : yozua.kawatu@gmail.com

ABSTRAK
Penyakit TB merupakan masalah Kesehatan masyarakat terbanyak di Kabupaten
Kepulauan Talaud. Dari 19 Puskesmas yang ada di Kabupaten Kepulauan Talaud,
Puskesmas Beo adalah salah satu puskesmas yang tertinggi kasus TB yang ada di
talaud, di mana pada tahun 2014-2015 sebanyak 38 kasus TB paru dengan angka
kematian sebanyak 2 orang.
Tujuan Penelitian ini yaitu Untuk mengetahui hubungan kondisi fisik rumah dengan
Kejadian Penyakit Tuberkulosis di wilayah Puskesmas Beo Kecamatan Beo
Kabupaten Kepulauan Talaud. Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional
analitik dengan rancangan Case control , pengumpulan data dan pengukuran
dilakukan dengan cara observasi dan wawancara langsung dengan menggunakan
instrument berupa kuesioner dan hasil pengukuran ventilasi, kelembaban dan
pencahayaan. Sampel dalam penelitian ini adalah total populasi yaitu seluruh rumah
penderita yang positif TB terdiri dari 38 rumah responden dan 38 rumah kontrol
yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas Beo.
Hasil analisis secara bivariat dengan menggunakan uji Chi square di
dapatkan hasil yaitu ada hubungan yang bermakna antara jenis lantai dengan kejadian
Tb Paru (p-value 0,000), ada hubungan yang bermakna antara jenis dinding dengan
kejadian Tb Paru (p-value 0,022), ada hubungan yang bermakna antara luas ventilasi
dengan kejadian Tb Paru (p-value 0,003), tidak ada hubungan yang bermakna
antara kelembaban dengan kejadian Tb Paru (p-value 0,165), ada hubungan yang
bermakna antara pencahayaan dengan kejadian Tb Paru (p-value 0,00).Kesimpulan
penelitian ini yaitu ada hubungan yang bermakna antara kondisi fisik rumah
responden (Lantai, Dinding, Ventilasi, dan Pencahayaan).Dengan kejadian Tb Paru
yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas Beo Kecamatan Beo Kabupaten Kepulauan
Talaud. Saran bagi seluruh masyarakat yang sedang dalam proses membangun rumah
agar lebih memperhatikan aspek sanitasi rumah, seperti pencahayaan dan ventilasi,
membuka jendela untuk menghindari penularan penyakit Tb Paru

Kata Kunci : Kondisi Fisik Rumah, Kejadian Tuberkulosis Paru

PENDAHULUAN

Rumah pada dasarnya merupakan tempat hunian yang sangat penting bagi
kehidupan setiap orang. Rumah tidak sekedar sebagai tempat untuk melepas lelah
setelah bekerja seharian, namun di dalamnya terkandung arti yang penting sebagai
tempat untuk membangun kehidupan keluarga sehat dan sejahtera. Rumah yang sehat
dan layak di huni tidak harus berwujud rumah mewah dan besar namun rumah yang
sederhana dapat juga menjadi rumah yang sehat dan layak di huni, Rumah sehat
adalah kondisi fisik, kimia , biologi di dalam rumah dan perumahan sehingga
182

memungkinkan penghuni atau masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang


optimal (Kemenkes, 1999).
Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan yang sudah sangat tua,.
Gambaran adanya TB telah terekam sejak zaman dahulu, TB juga dapat ditelusuri
dari peninggalan Mesir kuno. Kemudian terbukti ditemukan kuman Mycobacterium
tuberculosis pada sebagian mummi Mesir. Ternyata sejarah kuman TB lebih tua dari
pada sejarah Mesir kuno.Pada penelitian artefak purba ditemukan jejak kuman TB.
Hingga saat ini TB masih tetap merupakan masalah kesehatan dan justru semakin
berbahaya, sehingga disebut sebagai the re-emerging disease. Sepanjang dasawarsa
terakhir pada abad ke-20, jumlah kasus baru TB meningkat diseluruh dunia, 95%
kasus terjadi di Negara berkembang. Di Indonesia, TB juga masih merupakan
masalah yang menonjol (Supriyatno, dkk. 2007).
Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fatimah (2008)
membuktikan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kondisi fisik rumah (luas
ventilasi, pencahayaan, kelembaban, dan jenis dinding) dengan kejadian TB di
Kabupaten Cilacap, nilai p<0,05. Penelitian lainnya yang di lakukan oleh Agustian
Deny (2014) membuktikan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kondisi fisik
rumah (luas ventilasi dan pencahayaan) dengan kejadian TB Paru, Putra (2011),
dimana ada hubungan yang bermakna antara kondisi sanitasi rumah (kondisi
ventilasi, dan pencahayaan) dengan kejadian TB dikota solok.
Prevalensi TB untuk penduduk Provinsi Sulawesi Utara berdasarkan hasil
data Rikesdas Tahun 2013 secara Nasional 0,3%. Provinsi Sulawesi Utara
merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang telah berhasil memenuhi pencapaian
target global dalam penemuan dan kesembuhan penderita TB, dan pada Tahun 2013
Sulawesi Utara mengalami peningkatan kasus TB khususnya Kabupaten Kepulauan
Talaud dengan angka kasus 2,6 % dan sudah melebihi jumlah yang dimiliki oleh
Sulawesi Utara yaitu 1,5% (Dinkes Prov. Sulut, 2013).
Berdasarkan data kasus TB yang ada di Dinas Kesehatan Kepulauan Talaud.
pada Tahun 2014 terdapat 148 kasus, kematian akibat TB hanya satu orang dengan
angka CDR (Case Detection Rate) melebihi Target Nasional yaitu 84 % dengan
jumlah penduduk Kabupaten. Kepulauan Talaud sebanyak 85. 171 Jiwa dari 19
Kecamatan yang ada di Kepulauan Talaud, Puskesmas yang paling tinggi kasus TB
adalah Puskesmas Beo, kemudian diikuti oleh Puskesmas Melonguane, Puskesmas
Lirung, Puskesmas Mangaran dan Puskemas Sambuara (Dinkes Kab. Kepulauan
.Talaud).
Berdasarkan data di Puskemas Beo, pada Tahun 2014 terdapat 22 kasus TB,
Tiga Desa yang tertinggi kasus TB, yaitu Desa Beo induk 12 kasus dan Desa Tarohan
9 kasus, Desa Beo Utara 1 kasus. Dan pada Tahun 2015 bertambah menjadi 16
kasus, terdiri dari beberapa Desa yang ada di Wilayah kerja Puskemas Beo, yaitu
Desa Beo induk 9 kasus, Desa Tarohan 1 kasus, dan Desa Beo Utara 6 kasus. Kasus
yang di dapatkan pada Tahun 2014 -2015 berjumlah 38 kasus TB. (Puskesmas Beo,
2014).
Sesuai dengan hasil survey pendahuluan pada rumah penderita TB dimana ada
beberapa rumah yang tidak mempunyai syarat kesehatan seperti rumah yang
mempunyai lantai tidak memenuhi syarat/ lantai rumah terbuat dari tanah, (lantai
rumah yang hanya di alas dengan karpet plastik/tanah) kamar tidur yang tidak
memiliki jendela (ventilasi) serta kurangnya pencahayaan alami yang masuk kedalam
rumah sehingga ruangan dalam rumah selalu gelap dan lembab. Tujuan umum
penelitian yaitu untuk mengetahui hubungan kondisi fisik rumah penderita dengan
kejadian TB di wilayah Puskesmas Beo Kecamatan Beo Kabupaten Kepulauan
Talaud. Sedangkan tujuan khusus penelitian adalah untuk mengetahui hubungan
jenis lantai rumah penderita dengan kejadian TB di wilayah Puskesmas Beo
183

Kecamatan Beo Kabupaten Kepulauan Talaud, mengetahui hubungan tempat sampah


dengan kondisi bakteriologis makanan pada tempat pengolahan makananan di
Rumah Makan Lamongan Kota Manado hubungan jenis dinding rumah penderita
dengan kejadian TB di wilayah Puskesmas Beo Kecamatan Beo Kabupaten
Kepulauan Talaud, mengetahui hubungan luas ventilasi rumah penderita dengan
kejadian TB di wilayah Puskesmas Beo Kecamatan Beo Kabupaten Kepulauan
Talaud, mengetahui hubungan kelembapan dalam rumah penderita dengan kejadian
TB di wilayah Puskesmas Beo Kecamatan Beo Kabupaten Kepulauan Talaud dan
untuk mengetahui hubungan pencahayaan dalam rumah penderita dengan kejadian
TB di wilayah Puskesmas Beo Kecamatan Beo Kabupaten Kepuluan Talaud.

TINJAUAN PUSTAKA

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi yang menular yang


disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, bakteri ini berbentuk batang
lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini
berukuran lebar 0,3-0,6 mm dan panjang 1-4 mm. dinding M-Tuberculosis sangat
kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%) penyusun utama dinding sel
Patogenesis M-Tuberculosis ialah asam mikolat, lilin komplek , trehalosa dimikolat,
mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Unsur lain yang terdapat
pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan
arabinomanan. Struktur dinding sel yang tersebut menyebabkan bakteri
M,tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan
terhadap upaya penghilang zat warna tersebut larut dalam asam-alkohol (Depkes RI,
2011).
Tinjauan Tentang Kondisi Fisik Rumah ;
1. Lantai Rumah
Lantai yang kedap air dan tidak lembab. Jenis lantai tanah memiliki peran
terhadap proses kejadian Tuberkulosis, dimana penyebaran terjadi melalui
kelembapan dalam ruangan. Tinggi lantai minimum 10 cm dari pekarangan dan
dan 25 cm dari badan jalan. Lantai yang terbuat dari tanah cenderung
menimbulkan kelembaban, dan pada musim panas akan kering sehingga dapat
membahayakan penghuninya (Kepmenkes RI, 1999).
2. Dinding Rumah
Dinding rumah yang berfungsi untuk mendukung atau menyangga atap, menahan
angin dan air hujan, melindungi dari panas dan debu dari luar serta menjaga
kerahasiaan (privacy) penghuninya. Beberapa bahan pembuat dinding adalah dari
kayu, bambu, pasangan batu bata atau batu dan sbagainya (Kemenkes, 1999).
3. Ventilasi
Ventilasi digunakan untuk pergantian udara.Udara perlu diganti agar mendapat
kesegaran badan.Selain itu agar kuman-kuman penyakit dalam udara, seperti
bakteri dan virus dapat keluar dari ruangan, sehingga tidak menjadi
penyakit.Orang-orang yang batuk bersin-bersin mengeluarkan udara yang penuh
dengan kuman penyakit yang dapat menginfeksi udara di sekelilingnya.
Tidak adanya ventilasi yang baik pada suatu ruangan makin membahayakan
kesehatan atau kehidupan, jika dalam ruangan tersebut terjadi pencemaran oleh
bakteri seperti pada penderita tuberkulosis atau berbagai zat kimia organik atau
anorganik
Ventilasi yang baik dalam ruangan harus mempunyai syarat lainnya,
diantaranya:
184

a. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan.


Sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimum
5%. Jumlah keduanya menjadi 10% dikali luas lantai ruangan. Ukuran luas ini
diatur sedemikian rupa sehingga udara yang masuk tidak terlalu deras dan
tidak terlalu sedikit.
b. Udara yang masuk harus udara bersih.
c. Aliran udara ventilasi silang dengan menempatkan lubang hawa berhadapan
antara 2 dinding ruangan. Aliran udara ini jangan sampai terhalang oleh
barang-barang besar misalnya almari, dinding sekat dan lain-lain (Kepmenkes
RI, 1999).
4. Kelembapan Rumah
Kelembapan mengacu pada jumlah partikel air (uap air) yang ada di udara. Udara
memiliki kapasitas tertentu untuk menahan partikel-partikel air yang sering
bervariasi dengan suhu sekitarnya.Secara umum penilaian kelembaban dalam
rumah dengan menggunakan hygrometer.
Kelembaban memenuhi syarat kesehatan dalam rumah 40-60% dan
kelembaban yang tidak memenuhi syarat adalah <40% atau > 60%.
a. Tingkat Kelembapan Tinggi
1) Jika tingkat kelembaban relative yang tinggi baik karena kondisi
eksternal, seperti suhu udara terbuka atau faktor manusia, udara akan
membawa lebih banyak uap airyang dapat mengakibatkan kondisi seperti
embun pada permukaan yang dingin, menyebabkan kelembaban di
sekitar kita.
2) Kelembaban juga dapat menyebabkan dinding kertas atau lukisan
menjadi lepek, atau bahkan menyebabkan dinding plester yang baru
dikerjakan mengalami retak.
b. Tingkat Kelembapan Rendah.
Ketika kelembapan turun di bawah tingkat kenyamanan, anda mungkin
akan mengalami udara kering dan mungkin juga merasakan dingin yang
tidak menyenangkan selama musim dingin (Permenkes RI, 2011).
5. Pencahayaan
Pencahayaan alami diperoleh dengan masuknya sinar matahari ke dalam
ruangan melalui jendela, celah-celah dan bagian-bagian bangunan yang
terbuka.Cahaya matahari berguna untuk penerangan dan juga dapat
mengurangi kelembaban ruangan, membunuh kuman penyakit tertentu seperti
penyakit TB.
Kebutuhan standar minimum cahaya alami yang memenuhi syarat
kesehatan untuk berbagai keperluan menurut WHO dimana salah satunya
untuk kamar keluarga adalah 60 Lux-120 Lux.

BAHAN DAN CARA

Jenis penelitian ini merupakan studi observasional analitik dengan rancangan


Case control, merupakan penelitian Epidemiologis analitik observasional yang
mempelajari hubungan antara efek tertentu dengan risiko tertentu. Desain penelitian
kasus kontrol dapat dipergunakan untuk menilai berapa besarkah peran faktor risiko
dalam kejadian suatu penyakit (cause, effect celationship) (Sastroasmoro dkk, 2008).

POPULASI DAN SAMPEL


185

1. Populasi
Populasi adalah seluruh rumah penderita yang positif TB paru (Tuberculosis) di
wilayah Kerja Puskesmas Beo, yang berjumlah 38 rumah.
2. Sampel
Perhitungan besar sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara Total
populasi, dimana seluruh populasi di jadikan sebagai sampel, yaitu 38 rumah
sebagai kasus, dan 38 rumah sebagai kontrol.Sampel diambil dengan
perbandingan 1:1 atau satu kasus TB dan satu sebagai kontrol.

INSTRUMENT PENELITIAN

Instrumen yang digunakan dalam penelitian yaitu lembar observasi, kuesioner,


meteran, hygrometer, lux meter

ANALISIS DATA
1. Analisis Univariat
Analisis deskriptif karakteristik responden, di lakukan dengan menyajikan
distribusi frekwensi dari variabel yang di teliti dan di sajikan dalam bentuk tabel dan
gambar, untuk mengetahui proporsi masing- masing variabel yang akan di
teliti.Analisis Bivariat

2. Analisis bivariat
Analisis bivariat di lakukan untuk mengetahui hubungan kondisi fisik rumah
sebagai faktor risiko kejadian TB dengan menggunakan menggunakan komputer
program Statistik Chi-square.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Keadaan Penduduk Desa Beo


Distribusi jumlah penduduk Desa Beo berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat
pada gambar 2 di bawah ini :

540
530
520
510 perempuan 498
500 laki-laki 527
490
480
Laki-Laki Perempuan

Gambar 2. Distribusi Jumlah Desa Beo sesuai dengan Jenis Kelamin pada Tahun
2016

2. Hasil analisis data secara Univariat


Hasil analisis data secara univariat untuk variabel penelitian tentang kondisi fisik
rumah di Desa Beo dengan Tb Paru adalah sebagai berikut :
a. Jenis Lantai Rumah
Lantai rumah yang terbanyak adalah lantai rumah yang tidak memenuhi
syarat sebanyak 42 rumah dan lantai yang memenuhi syarat sebanyak 34
186

rumah. Untuk lebih jelasnya distribusi lantai rumah responden berdasarkan


jenis lantai dapat dilihat pada gambar 3 di bawah ini :

Kasus Kontrol
31 81,6 71,1
40 27

18,4
7 29,9
20 11

0
jenis Lantai TMS 42 Jenis Lantai MS
34
Gambar 3. Distribusi kondisi Lantai Rumah Responden di Wilayah Kerja
Puskesmas Beo Kecamatan Beo Kabupaten Kepulauan talaud Tahun
2016 Menurut Jenis Lantai Rumah.
b. Jenis dinding rumah
Berdasarkan hasil pengolahan data untuk jenis dinding rumah dari responden,
dapat dilihat pada gambar 4 berikut ini :
Gambar di atas menjelaskan bahwa dinding rumah responden yang tidak
memenuhi syarat sebanyak 39 rumah dan dinding rumah yang memenuhi syarat
sebanyak 37 rumah .

c. Luas ventilasi rumah

Berdasarkan hasil pengolahan data untuk luas ventilasi rumah dari responden
dapat dilihat pada gambar 5 berikut :

Kasus Kontrol
65,8 63,2
40 25 34,2 36,8 24
13 14
20

0
dinding DInding dinding dinding MS
TMS MS TMS

Gambar 4. Distribusi Rumah Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Beo


Kecamatan Beo Kabupaten Kepulauan Talaud Menurut Jenis Dinding
Rumah.

Gambar di atas menjelaskan bahwa dinding rumah responden yang tidak


memenuhi syarat sebanyak 39 rumah dan dinding rumah yang memenuhi syarat
sebanyak 37 rumah .

d. Luas ventilasi rumah


Berdasarkan hasil pengolahan data untuk luas ventilasi rumah dari responden
dapat dilihat pada gambar 5 berikut :
187

a. Kelembaban ruangan dalam rumah


Sesuai dengan hasil pengolahan data untuk tingkat kelembaban
ruangan
dalam rumah dapat dilihat pada gambar 7 di bawah ini :

Kasus Kontrol
40 60,5 29 71,1
23 39,5
15 28,9
20 9

0
ventilasi ventilasi MS ventilasi ventilasi MS
TMS TMS
MS 10% Luas
TMS < 10% Luas lantai
lantai
Gambar 5. Distribusi Rumah Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Beo
Kecamatan Beo Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2016 Menurut Luas
Ventilasi Rumah

Kasus kontrol
65,8 52,6
50 39,2 47,7
25 20
13 18

0
Kelembaban Kelembaban Kelembaban Kelembaban
TMS MS TMS MS

TMS <40% dan >60% MS 40 % - 60 %

Gambar 6. Distribusi Rumah Responden Di Wilayah Kerja Puskesmas Beo


Kecamatan Beo Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2016 Menurut
Kelembaban dalam Rumah

Gambar di atas menjelaskan bahwa distribusi tingkat kelembaban


ruangan dalam rumah terbanyak adalah tingkat kelembaban yang tidak
memenuhi syarat sebanyak 43 rumah hasil pengukuran kelembaban ruangan
dalam rumah yaitu < 40 % dan > 60 %, sisanya adalah tingkat kelembaban
ruangan yang memenuhi syarat sebanyak 33 rumah dengan hasil pengukuran
tingkat kelembaban adalah 40% - 60 %.

b. Pencahayaan
Sesuai dengan hasil pengolahan data untuk keadaan Pencahayaan yang diukur
dalam rumah dapat dilihat pada gambar 7 di bawah ini :
188

kasus kontrol

50 38 38

0 0
0

TMS < 60 Lux

MS 60 lux dan 120 lux

Gambar 7. Distribusi Rumah Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Beo


Kecamatan Beo Kabupaten Beo Kepulauan Talaud Tahun 2016
Berdasarkan Pencahayaan dalam Rumah

Gambar di atas menjelaskan bahwa keadaan Pencahayaan dalam


rumah yang tidak memenuhi syarat adalah 76 rumah (100%) dengan hasil
pengukuran pencahayaan yaitu < 60 Lux.

e. Hasil analisis data secara Bivariat


a. Jenis Lantai Rumah dengan Kejadian TB

Tabel 1. Faktor Risiko Kondisi Lantai Rumah Penderita terhadap Kejadian TB di


Wilayah Kerja Puskesmas Beo Kecamatan Beo Kabupaten Kepulauan
Talaud Tahun 2016.

Kondisi Rumah Menderita TB


Kasus Kontrol
(Positif (Negatif
NO Jenis Lantai TB) TB) OR P value 95%CI
Rumah
N % N %
Tidak memenuhi
1 syarat 31 81,6 11 28,9 10,870 0,000 3,695-31,976
2 Memenuhi Syarat 7 18,4 27 71,1
Jumlah 38 100 38 100

Dari hasil uji statistik dengan menggunakan Chi square seperti yang
terlihat pada tabel 1 di atas, menunjukan p value 0,000 < dari 0,05 maka Ha di
terima artinya ada hubungan yang bermakna antara jenis Lantai Rumah dengan
Kejadian TB di Wilayah Kerja Puskesmas Beo Kabupaten Kepulauan Talaud
Tahun 2016, dengan nilai Odds Ratio = 10,870 hasil ini menunjukan bahwa
resonden yang memiliki rumah dengan kondisi lantai yang tidak memenuhi syarat
mempunyai faktor risiko 10,870 atau 11 kali terjangkit TB di bandingkan dengan
responden yang memiliki rumah dengan kondisi lantai yang memenuhi syarat.
189

b. Jenis dinding rumah dengan Kejadian TB


Tabel 2. Faktor Risiko Kondisi Dinding Rumah Penderita terhadap Kejadian TB di Wilayah
Kerja Puskesmas Beo Kecamatan Beo Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2016.
Kondisi Rumah Menderita TB
Kasus Kontrol
(Positif (Negatif
NO Jenis Dinding TB) TB) OR P value 95%CI
Rumah
N % N %
Tidak memenuhi
1 syarat 25 65,8 14 36,8 3,297 0,022 1,288-8,440
2 Memenuhi Syarat 13 34,2 24 63,2
Jumlah 38 100 38 100

Dari hasil uji statistik dengan menggunakan Chi square seperti yang
terlihat pada tabel 2 di atas, menunjukan p value 0,022 artinya < dari 0,05 maka
Ha di terima artinya ada hubungan yang bermakna antara jenis Dinding Rumah
dengan Kejadia TB di Wilayah Kerja Puskesmas Beo Kabupaten Kepulauan
Talaud Tahun 2016, dengan nilai Odds Ratio = 3,297 hasil ini menunjukkan
bahwa resonden yang memiliki rumah dengan kondisi dinding yang tidak
memenuhi syarat mempunyai risiko 3,297 atau 3 kali di bandingkan dengan
responden yang memiliki rumah dengan kondisi dinding yang memenuhi syarat.

c. Hubungan Luas Ventilasi dengan kejadian TB


Berdasarkan hasil pengolahan data untuk luas ventilasi rumah responden
dapat di lihat dari Tabel 3 berikut :

Tabel 3. Faktor Risiko Luas Ventilasi Rumah Penderita terhadap Kejadian TB di


Wilayah Kerja Puskesmas Beo Kecamatan Beo Kabupaten Kepulauan Talaud
Tahun 2016.

Kondisi Rumah Menderita TB


Kasus Kontrol
(Negatif
NO Ventilasi (Positif TB) TB) OR P value 95%CI
Rumah
N % N %
Tidak memenuhi
1 syarat 23 60,5 9 28,9 4,941 0,003 1,834-13,312
2 Memenuhi Syarat 15 39,5 29 71,1
Jumlah 38 100 38 100

Dari hasil uji statistik dengan menggunakan Chi square seperti yang terlihat
pada tabel 1 di atas, menunjukan p value 0,003 < dari 0,05 maka Ha di terima
artinya ada hubungan yang bermakna antara kondisi Luas Ventilasi Rumah
Kejadian TB di Wilayah Kerja Puskesmas Beo Kabupaten Kepulauan Talaud
Tahun 2016, dengan nilai Odds Ratio = 4,941 hasil ini menunjukan bahwa
resonden yang memiliki rumah dengan kondisi Ventilasi yang tidak memenuhi
syarat mempunyai risiko 4,941 atau 5 kali terjangkit TB bandingkan dengan
responden yang memiliki rumah dengan kondisi Ventilasi yang memenuhi syarat.
190

d. Hubungan Kelembaban dengan kejadian TB


Sesuai dengan hasil pengolahan data untuk tingkat kelembaban ruangan dalam
rumah dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini :
Tabel 4. Faktor Risiko Kelembaban dalam Rumah Penderita terhadap Kejadian TB di
Wilayah Kerja Puskesmas Beo Kecamatan Beo Kabupaten Kepulauan Talaud
Tahun 2016
Kondisi Rumah Menderita TB
Kasus Kontrol
(Positif (Negatif
NO Kelembaban TB) TB) OR P value 95%CI
Rumah
N % N %
Tidak memenuhi
1 syarat 25 65,8 18 47,7 2,137 0,165 0,848-5,386
2 Memenuhi Syarat 13 34,2 20 52,6
Jumlah 38 100 38 100

Dari hasil uji statistik dengan menggunakan Chi square seperti yang terlihat
pada tabel 2 di atas, menunjukan p value 0,165 artinya < dari 0,05 maka Ho di
terima artinya kondisi Kelembaban dalam Rumah tidak menjadi faktor risiko
terhadap Kejadian TB di Wilayah Kerja Puskesmas Beo Kabupaten Kepulauan
Talaud Tahun 2016, dengan nilai Odds Ratio = 2,137.

e. Hubungan Pencahayaan dalam rumah dengan kejadian Tb Paru


Sesuai dengan hasil pengolahan data untuk keadaan pencahayaan yang di ukur
dalam rumah dapat di lihat pada Tabel 5 di bawah ini :
Tabel 5. Faktor Risiko Pencahayaan dalam Rumah Penderita terhadap Kejadian TB di
Wilayah Kerja Puskesmas Beo Kecamatan Beo Kabupaten Kepulauan Talaud
Tahun 2016.
Kondisi Rumah Menderita TB
Kasus Kontrol
(Positif (Negatif
NO Pencahayaan TB) TB) OR P value 95%CI
Rumah
N % N %
Tidak memenuhi
1 syarat 38 100 38 100 0 - -
2 Memenuhi Syarat - - - -
Jumlah 38 100 38 100

Table 5 di atas menjelaskan bahwa distribusi tingkat Pencahayaan di dalam


rumah terbanyak adalah tingkat pencahayaan yang tidak memenuhi syarat yaitu
sebanyak 76 rumah .
Hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji Chy square terdapat
hubungan yang bermakna antara pencahayaan dengan kejadian TB , dengan hasil
pengukuran pencahayaan < 60 lux.

f. Rangkuman Hasil Analisis Bivariat untuk Hubungan Kondisi Fisik Rumah


Dengan Kejadian TB Di Wilayah Kerja Puskesmas Beo Kecamatan Beo.
Secara lengkap nilai analisis secara bivariat untuk hubungan kondisi fisik
rumah dengan kejadian TB di Puskesmas Beo Kecamatan Beo Kabupaten
Kepulauan Talaud dapat dilihat pada tabel 6 di bawah ini :
191

Tabel 6 . Rangkuman Hasil Analisis Bivariat untuk Hubungan Kondisi Fisik Rumah
Dengan Kejadian TB Di Puskesmas Beo Kecamatan Beo Kabupaten
Kepulauan Talaud Tahun 2016

No Kondisi Fisik Rumah p value OR 95% CI

1 Jenis Lantai Rumah 0,000 10,870 3,695-31,976

2 Jenis Dinding Rumah 0,022 3,297 1,288-8,440

3 Jenis Ventilasi Rumah 0,003 4,941 1,834-13,312

4 Jenis Kelembaban dalam Rumah 0,165 2,137 0,848-5,386

5 Pencahayaan dalam Rumah - 0 -

Tabel 6 menjelaskan bahwa hasil analisis bivariat varibel kondisi fisik


rumah yang mempunyai hubungan yang bermakna antara lain jenis lantai rumah,
jenis dinding rumah, dan pencahayaan dalam rumah terhadap kejadian TB di
Wilayah Kerja Puskesmas Beo Kecamatan Beo, Sedangkan yang tidak mempunyai
hubungan yang bermakna adalah kelembaban.

PEMBAHASAN

1. Hubungan Jenis Lantai Rumah dengan Kejadian TB


Komponen yang harus dipenuhi untuk rumah sehat harus memiliki lantai
kedap air dan tidak lembab. Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses
kejadian Tuberkulosis paru. Lantai tanah jika pada musim panas lantai menjadi
kering sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya
(Kepmenkes RI, 1999).
Berdasarkan hasil analisis data untuk lantai rumah yang terbanyak adalah
lantai rumah yang tidak memenuhi syarat sebanyak 31 rumah (81,6%). Rumah
dengan kondisi lantai yang memenuhi syarat sebanyak 7 rumah (18,4%).Hasil
analisis bivariat dengan menggunakan uji chi square terdapat hubungan yang
bermakna antara jenis lantai rumah dengan kejadian TB dengan p value0,000, nilai
tersebut < dari 𝛼 0,05.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Danial (2014), yaitu ada
hubungan yang bermakna antara kondisi lantai yang tidak memenuhi syarat
dengan kejadian penyakit TB, dengan p value 0,031 dan Penelitian oleh dawile
Dkk, (2013) dengan p value 0,000 . Lantai rumah merupakan salah satu bagian
dari rumah yang berperan dalam penularan penyakit TB. Lantai yang terbuat dari
tanah cenderung menimbulkan kelembaban pada musim penghujan dan jika pada
musim panas lantai tanah sering menimbulkan debu, dengan demikian viabilitas
kuman TB di lingkungan juga sangat dipengaruhi (Kepmenkkes RI, 1999).
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada rumah responden
terdapat 31 rumah (81,6%) dengan kondisi lantai yang tidak memenuhi syarat,
diantaranya lantai yang terbuat dari tanah dan hanya dilapisi dengan karpet plastik,
lantai rumah yang disemen tanpa diplester sehingga menambah kelembaban dalam
rumah menjadi tidak memenuhi syarat .
192

2. Hubungan Dinding Rumah dengan Kejadian TB


Dinding berfungsi sebagai pelindung, juga berfungsi untuk menyangga
atap menahan angin dan air hujan, melindungi dari panas dan debu dari luar serta
menjaga kerahasiaan (privacy) penghuninya (Kepmenkes RI, 1999).
Berdasarkan hasil analisis data untuk dinding rumah responden yang
paling banyak adalah jenis dinding yang tidak memenuhi syarat sebanyak 25
rumah (65,8%) dan rumah dengan dinding yang memenuhi syarat sebanyak 13
rumah (34,2%).
Hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji chi square terdapat
hubungan yang bermakna antara dinding rumah yang tidak memenuhi syarat
dengan kejadian TB dengan p value 0,022 nilai tersebut < dari 𝛼 0,05. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Majuntu(2015) yaitu ada hubungan
yang bermakna antara kondisi dinding rumah yang tidak memenuhi syarat dengan
kejadian TB, hasil penelitian ini memperoleh p value= 0,007. Dan oleh
Danial,(2014) yaitu ada hubungan yang bermakna antara dinding rumah dengan
kejadian Tb dengan p value 0,033
Dinding rumah yang tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan
kelembaban yang memungkinkan berkembang biaknya kuman yang dapat
menyebabkan penyakit TB. Kondisi dinding rumah yang tidak memenuhi syarat
merupakan faktor risiko terhadap kejadian penyakit TB.Beberapa bahan pembuat
dinding adalah dari kayu, bambu, pasangan batu bata dan sebagainya. tetapi dari
beberapa bahan tersebut yang paling baik adalah pasangan batu bata atau tembok
(permanen) yang tidak mudah terbakar dan kedap air sehingga mudah dibersihkan
(Kepmenkes RI. 1999)
Berdasarkan hasil pengamatan pada rumah responden, untuk kondisi
dinding rumah yang tidak memenuhi syarat sebagian besar konstruksi dinding
rumah terbuat dari batu bata yang tidak diplester, dinding rumah yang terbuat dari
bambu belah dan dinding rumah yang terbuat dari triplex dan terbuat dari papan.
Rumah dengan konstruksi dinding rumah yang terbuat dari papan dan triplex pada
saat turun hujan (saat dilakukan penelitian), dapat dilihat bahwa air hujan dapat
masuk ke dalam rumah, masuknya air hujan kedalam rumah menambah atau
meningkatkan tingkat kelembaban dalam ruangan rumah.

3. Hubungan Luas Ventilasi dengan Kejadian TB


Ventilasi adalah digunakkan untuk pergantian udara.Udara perlu diganti
agar mendapat kesegaran badan. Selain itu agar kuman-kuman penyakit dalam
udara seperti bakteri dan virus dapat keluar dari ruangan sehingga tidak menahan
bakteri yang ada di dalam (Kemenkes RI. 1999 ). Udara yang bersih merupakan
komponen utama di dalam rumah dan sangat diperlukan oleh manusia untuk hidup
secara sehat, sirkulasi udara berkaitan dengan masalah ventilasi.
Berdasarkan hasil pengolahan data untuk ventilasi rumah yang dimiliki
oleh responden adalah luas ventilasi rumah yang memenuhi syarat (< 10% dari
luas lantai) sebanyak 23 rumah (60,5%) dan yang memenuhi syarat 15 rumah
(39,5%) hasil pengukuran luas ventilasi yaitu 10 % dari luas lantai.
Sesuai dengan hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji chi square
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara luas ventilasi rumah dengan
kejadian TB yang memperoleh nilai p 0,003 .Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian oleh Fatimah (2008), yang meneliti tentang faktor lingkungan rumah
yang berhubungan dengan kejadian TB Paru, khususnya untuk variabel ventilasi
dengan nilai p0,003. Penelitian yang sama juga di lakukan oleh Putra N.R(2011),
yang meneliti tentang hubungan perilaku dan Kondisi sanitasi rumah dengan
193

kejadian Tb Paru, dengan hasil penelitian yaitu ada hubungan yang bermakna
antara ventilasi yang tidak memenuhi syarat dengan kejadian TB, dengan p-value
= 0,006, dan penelitian yang di lakukan oleh Mudiyono dkk (2015) dengan p value
0,022 dan Oleh Grace Dkk (2015) dengan P value 0,002 Ventilasi yang ada di
rumah responden rata-rata memenuhi syarat, yang membuat ventilasi tidak
memenuhi syarat adalah kebanyakan ventilasi yang ada di rumah responden tidak
selalu di buka, atau hanya di biarkan tertutup, sehingga memungkinkan terjadinya
kelembaban yang tidak memenuhi syarat, karna kurang masuknya udara di dalam
rumah.

4. Hubungan Kelembapan dalam Rumah dengan Kejadian TB


Berdasarkan hasil pengamatan dan pengolahan data serta hasil pengukuran
tingkat kelembapan dalam rumah terbanyak adalah tingkat kelembapan yang tidak
memenuhi syarat sebanyak 25 rumah (65,8%) dengan hasil pengukuran
kelembapan ruangan dalam rumah yaitu < 40 % dan > 60 %, hasil pengukuran
kelembapan pada rumah dengan tingkat kelembapan yang memenuhi syarat
terdapat pada 13 rumah (34,2%) dengan hasil pengukuran kelembapan ruangan
dalam rumah adalah 40% - 60 %.
Berdasarkan hasil analisis data secara bivariat dengan menggunakan uji
chi square ,menunjukan kelembapan bukan merupakan faktor resiko terhadap
kejadian TB di Wilayah kerja Puskesmas beo kecamatan Beo Kabupaten
Kepulauan Talaud tahun 2016. Dengan p value = 0,165. hasil ini menunjukan
bahwa reponden yang memiliki rumah dengan kelembapan di dalam rumah tidak
mempunyai risiko menderita TB.

5. Hubungan Pencahayaan dalam Rumah Dengan Kejadian TB


Pencahayaan alami di peroleh dengan masukknya sinar matahari ke dalam
ruangan melalui jendela dan celah-celah ruangan, cahaya matahari berguna untuk
penerangan dan juga dapat mengurangi kelembapan ruangan, membunuh kuman
penyakit tertentu seperti kuman penyakit TB. Berdasarkan hasil pengamatan dan
pengolahan data serta hasil pengukuran tingkat Pencahayaan dalam rumah
terbanyak adalah tingkat Pencahayaan yang tidak memenuhi syarat sebanyak 38
rumah dengan hasil pengukuran Pencahayaan dalam rumah yaitu < 60 Lux .
Berdasarkan hasil analisis data secara bivariat dengan menggunakan uji
chi square terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat Pencahayaan dalam
rumah dengan kejadian TB.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Fatimah,(2008) yang meneliti
tentang faktor lingkungan rumah yang berhubungan dengan kejadian TB, yaitu ada
hubungan yang bermakna antara Pencahayaan dalam rumah yang tidak
memenuhi syarat dengan kejadian TB, yang memperoleh p value= 0,003
Kebutuhan cahaya alam yang memenuhi syarat kesehatan agar supaya tidak
terjadi tingkat kelembaban di dalam rumah dan kamar tidur, guna memperoleh
cahaya matahari pada pagi hari, sebaiknya jendela kamar tidur menghadap ketimur
agar supaya mendapat cahaya matahari pagi minimum 60 – 120 Lux.

KESIMPULAN

1. Ada hubungan yang bermakna antara jenis lantai dengan kejadian TB di


Puskesmas Beo Kecamatan Beo Kab. Kepulauan Talaud Tahun 2016
2. Ada hubungan yang bermakna antara jenis dinding dengan kejadian TB di
Puskesmas Beo Kecamatan Beo Kab. Kepulauan Talaud Tahun 2016.
194

3. Ada hubungan yang bermakna antara luas ventilasi dengan kejadian TB di


Puskesmas Beo Kec. Beo Kab. Kepulauan Talaud Tahun 2016.
4. Tidak ada hubungan yang bermakna antara kelembapan dengan kejadian TB di
Wilayah kerja Puskesmas Beo Kab. Kepulauan Talaud Tahun 2016.
5. Ada hubungan yang bermakna antara pencahayaan dalam rumah dengan kejadian
TB di wilayah Kerja Puskesmas Beo Kec. Beo Kab. Kepulauan Talaud Tahun
2016.

SARAN
1. Bagi petugas Puskesmas perlu melakukan sosialisasi dan penyuluhan tentang
rumah sehat sebagai upaya pencegahan penyakit TB di masyarakat
2. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Talaud, perlu melakukan upaya
peningkatan pengetahuan dan sikap masyarakat tentang upaya pencegahan dan
penanggulangan penyakit TB melalui penyuluhan dan simulasi dengan
memasukkan konsep pencegahan penyakit TB, pemutaran film yang bertajuk
pencegahan dan penanggulangan penyakit TB.
3. Bagi Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat agar membangun
perumahan rakyat yang sederhana dan memenuhi syarat kesehatan, untuk
mengurangi risiko penularan penyakit TB di masyarakat dan memperbaiki
perumahan rakyat yang tidak memenuhi syarat kesehatan seperti lantai dan
dinding rumah yang terbuat dari bahan kedap air, ventilasi rumah yang memenuhi
syarat serta rumah mempunyai langit-langit dan pencahayaan yang cukup
4. Bagi masyarakat yang sedang merenovasi rumah atau membangun rumah untuk
lebih memperhatikan aspek sanitasi rumah sehat seperti vantilasi, pencahayaan,
kebiasaan membuka jendela dan lebih meningkatkan perilaku hidup bersih dan
sehat untuk menghindari penularan penyakit

DAFTAR PUSTAKA

1. Achmad H, Bahrawi W, Prasenodahi, Daniati K,S, Henry D, Undang Zahar,


2010”Jurnal Tuberkulosis Indonesia” Diterbitkan Oleh PPTI, vol 7 oktober
2010.
2. Danial Sartin, 2014 .”Faktor Risiko Kondisi Lantai, Dinding,Kelembaban dan
Kepadatan Penghuni Rumah Penderita Dengan Kejadian TB Paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Likupang Kabupaten Minahasa Utara”.Skripsi Poltekkes
Manado
3. Deny Agustian., 2014.’’Hubungan Kondisi Fisik Lingkungan Rumah Dengan
Kejadian TUBERKULOSIS Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Perumnas I Dan
II Kecamatan Pontianak Barat.’’Skripsi
4. Depkes RI, 2011,Martin Susanto. Pedoman Nasional penanggulangan
Tuberkulosis. Jakarta
5. Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Talaud, 2014. Analisis data TB.
6. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara, 2013 .Hasil kegiatan Program
P2TB, Manado.
7. Didik Saruji, 2010”Buku kesehatan lingkungan” SK No: 754/LL/2010.penerbit
KARYA PUTRA DARWATI “ bandung.
8. Fatimah, Siti., 2008. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah Yang Berhubungan
Dengan Kejadian TB Paru Dikabupaten Cilacap Kecamatan Sidereja, Cipari,
195

kedungreja, Patimuan, Gandrungmangu, Bantasari,.Skripsi Universitas


Diponegoro, Semarang.
9. Grace D. kandau, Hamidah, jimi posangi 2015”Hubungan Kualitas Lingkungan
Fisik Rumah dengan Kejadian tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas
Perawatan Siko kecamatan Ternate Utara Kota ternate Provinsi Maluku Utara”
Jurnal e,Biomedik, Vol. 3 No 3 September-desember .
10. Greis Dawile, Ricky C Sondakh, Franckie R R.Maramis,”Hubungan Antara
Kondisi Fisik rumah dengan kejadiaan Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Tobelo Kabupaten Halmahera Utara”jurnal kesehatan Masyarakat,
Vol 6.
11. Kemenkes RI 2011, Strategi Nasional PengendalianTB Paru Di Indonesia
2010- 2014. Ditjen P2PL dan PPM. Jakarta.
12. Kemenkes RI, No, 829,. Persyaratan Kesehatan Rumah Tinggal. 829/
Menkes/ SK/VII/1999.
13. Majuntu Laurina,.2015 .Hubungan Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru di Wilayah Puskesmas Sambuara Kecamatan EssangSelatan
Kabupaten Kepulauan Talaud.Skripsi poltekkes Manado
14. Mudiyono, Nur Endah W,M. Sakundarn Adi 2015”hubungan Atara Perilaku
Ibu dan lingkungan Fisik Rumah Dengan kejadian Tuberkulosis Paru Anak Di
kota Pekalongan”Jurnal kesehatan lingkungan Indonesia Vol. 14 No.2/Oktober
2015.
15. Permenkes RI No, 1077, 2011. Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruangan
Rumah. No 1077/ MENKES/ Per/V/2011.
16. Prasenodahi, Achmad Hudoyo, Sumardi”Perkumpulan pemberantasan
Tuberkulosis Indonesia(PPTI). Jurnal Tuberkulosis Indonesia.ISSN 1829-5118
Vol. 8-Maret 2012
17. Profinsi SULUT” angka penemuan penderita TB(CDR) TRIW. I s/d TRiw. IV
Tahun 2014
18. Puskesmas Beo, 2015. Profil Puskesmas Beo 2014. Kab. Kepulauan Talaud
19. Putra N. R., 2011.Hubungan Perilaku dan Kondisi Sanitasi Rumah dengan
Kejadian TB Paru di kota Solok tahun 2011. Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas. Padang .
20. Sastroasmoro, S., Ismael, S., 2008, Dasar-dasar Metodologi Penelitian
SKliniks,CV. Sagung Seto, Jakarta.
21. Supriyatno, Setyanto, Setiawati, Kaswandani, dan Rahajoe, 2007.
Buku’Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak.UKK RESPIROLOGI PP Ikatan
Dokter Anak Indonesia, Jakarta
196

EFEKTIVITAS BIOFILTER ANAEROB AEROB MEDIA BATA STYROFOAM


SISTEM ALIRAN KE ATAS DALAM MENURUNKAN KADAR BOD, COD
DAN COLIFORM AIR LIMBAH RUMAH SAKIT TAHUN 2015

1)
Arland Diadon, 2)Tony K. Timpua, 3)Robinson Pianaung, 4)Jusran Mokoginta
1,2.3.4. Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Manado

Email : tonytimpua@gmail.com

ABSTRAK
Kendala yang paling banyak dijumpai oleh Rumah Sakit untuk membuat IPAL yakni
teknologi yang ada saat ini masih cukup mahal, sedangkan dana yang tersedia untuk
membangun unit alat pengolah air limbah tersebut masih terbatas karena itu perlu
dikembangkan teknologi pengolahan air limbah rumah sakit yang murah, mudah
operasinya, menggunakan sumber daya yang mudah di dapat serta harganya
terjangkau. Penelitian ini dilakukan membuat prototip alat biofilter anaerob aerob
media bata Styrofoam sistem aliran ke atas, mengatur debit, mengatur waktu tinggal,
mengambil sampel dan mengukur kadar BOD, COD dan Coliform.
Tujuan penelitian untuk mengetahui efektivitas biofilter anaerob aerob media bata
Styrofoam sistem aliran ke atas dalam menurunkan kadar BOD, COD, dan coliform
air limbah rumah sakit, untuk mengetahui hubungan debit dan waktu tinggal terhadap
efektivitas biofilter anaerob aerob media bata Styrofoam dalam menurunkan kadar
BOD, COD dan Coliform air limbah rumah sakit.
Jenis penelitian ini adalah eksperimen semu dengan menggunakan rancangan
rangkaian waktu seperti rancangan pre-test dan post-test. Sampel diambil sebelum
dan sesudah pengolahan sebanyak 30 sampel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa biofilter anaerob aerob media bata Styrofoam
mampu menurunkan BOD 85,25 % - 93,65%, COD 87,79% - 94,19% dan coliform
85% - 96,87%. Hasil uji statistik membuktikan ada perbedaan dan korelasi yang
signifikan debit dan waktu tinggal terhadap penurunan kadar BOD, COD dan
coliform air limbah rumah sakit sebelum dan sesudah pengolahan dengan biofilter
anaerob aerob media bata Styrofoam sistem aliran ke atas. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa biofilter anaerob aerob media bata Styrofoam sistem aliran keatas
efektif menurunkan kadar BOD, COD dan coliform dengan efisiensi rata-rata 90%.

PENDAHULUAN
Rumah sakit adalah bagian integral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan
dengan fungsi menyediakan pelayanan paripurna (komprehensif), penyembuhan
penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit (preventif) kepada masyarakat.
Tugas rumah sakit umumnya adalah melaksanakan upaya pelayanan
kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan
penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan
peningkatan dan pencegahan serta pelaksanaan upaya rujukan dimana untuk
menyelenggarakan fungsinya, maka Rumah Sakit menyelenggarakan kegiatan
pelayanan medis, pelayanan dan asuhan keperawatan, pelayanan penunjang medis
dan nonmedis, pelayanan kesehatan kemasyarakatan dan rujukan, pendidikan,
penelitian dan pengembangan, Administrasi umum dan keuangan (UU No. 44 tahun
2009).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Timpua (2005) menunjukan bahwa
Tricling Filter Up Flow dapat menurunkan kadar limbah cair dengan efisiensi
berturut-turut BOD antara 89.20% - 93.72%, COD antara 85.96% - 94.67% dan
E.Coli antara 62.94% - 90.66%
Biofilter Anaerob Aerob Media Bata Styrofoam Sistem Aliran Keatas terdiri dari
beberapa bagian yakni bak pengendapan awal, bak anaerob, bak aerob dan bak
pengendapan akhir bertujuan untuk menghilangkan bahan-bahan organik dan
menurunkan BOD, COD, dan Coliform dengan menggunakan bantuan
mikroorganisme seperti fungi, virus, bakteri yang ada dalam air limbah apabila
197

berlangsung baik pengolahan tersebut mampu menurunkan BOD, COD dan Coliform
sehingga air hasil olahan telah memenuhi persyaratan standar yang berlaku.
Tujuan Umum yaitu Untuk mengetahui Efektivitas Biofilter Anaerob Aerob
Media Bata Styrofoam Sistem Aliran Keatas dalam menurunkan kadar BOD, COD
dan Coliform air limbah rumah sakit Prof. Dr. V.L. Ratumbuysang Manado,
sedangkan tujuan khusus yaitu untuk mengetahui Efektivitas Biofilter Anaerob Aerob
Media Bata Styrofoam Sistem Aliran Keatas dalam menurunkan BOD, COD dan
Coliform air limbah rumah sakit Prof. Dr. V.L. Ratumbuysang Manado, untuk
mengetahui hubungan Debit air limbah terhadap Efektivitas Biofilter Anaerob Aerob
Media Bata Styrofoam Sistem Aliran Keatas dalam menurunkan kadar BOD, COD
dan Coliform air limbah rumah sakit Prof. Dr. V.L. Ratumbuysang Manado, untuk
mengetahui hubungan waktu tinggal air limbah terhadap Efektivitas Biofilter
Anaerob Aerob Media Bata Styrofoam Sistem Aliran Keatas dalam menurunkan
kadar BOD, COD dan Coliform air limbah rumah sakit Prof. Dr. V.L. Ratumbuysang
Manado, untuk mengetahui hubungan suhu terhadap Efektivitas Biofilter Anaerob
Aerob Media Bata Styrofoam Sistem Aliran Keatas dalam menurunkan kadar BOD,
COD dan Coliform air limbah rumah sakit Prof. Dr. V.L. Ratumbuysang Manado,
untuk mengetahui hubungan pH terhadap Efektivitas Biofilter Anaerob Aerob Media
Bata Styrofoam Sistem Aliran Keatas dalam menurunkan kadar BOD, COD dan
Coliform air limbah rumah sakit Prof. Dr. V.L. Ratumbuysang Manado.

TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi Air Limbah Rumah Sakit
Limbah cair adalah semua air buangan termasuk tinja yang berasal dari
kegiatan rumah sakit yang kemungkinan mengandung mikroorganisme, bahan
kimia beracun dan radioaktif yang berbahaya bagi kesehatan (Depkes, 2004).
2. Sumber Air Limbah rumah sakit
Air limbah rumah sakit adalah seluruh buangan cair yang berasal dari hasil
proses seluruh kegiatan rumah sakit yang meliputi :
a. Limbah domestik cair yakni buangan kamar mandi, dapur, air bekas pencucian
pakaian.
b. Limbah cair klinis yakni air limbah yang berasal dari kegiatan klinis rumah
sakit seperti air bekas cucian luka, cucian darah dan lain-lain
c. Limbah laboratorium
3. Dampak Air Limbah
a. Gangguan terhadap kesehatan
Secara langsung air limbah dapat menyebabkan sakit, karena mengandung
berbagai bibit penyakit seperti bakteri pathogen, virus, cacing, bahan kimia
beracun atau bersifat alergi. Secara langsung air limbah dapat menjadi tempat
perindukan atau berkembangbiaknya vektor penyakit seperti nyamuk, lalat,
kecoak dan tikus.
b. Gangguan terhadap kehidupan dalam air
Adanya bahan-bahan pencemar dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat air
misalnya, suhu, kekeruhan, nitrat, warna dan lainnya. Berubahnya sifat air
tersebut dapat mempengaruhi kehidupan organisme dalam air misalnya
Meningkatnya suhu air akan mengurangi kandungan oksigen dalam air
sehinggan mematikan organisme karena kekurangan oksigen, adanya bahan
kimia beracun dan logam berat seperti As, Hg, Zn akan membunuh organisme
yang hidup dalam air, Tingginya kandungan fosfor dapat menyebabkan
suburnya pertumbuhan enceng gondok, ganggang, algae serta tumbuhan air
lainnya sehingga menutupi permukaan perairan dan menyebabkannya
terhambatnya proses fotosintesis tumbuhan air, gerakan air, serta masuknya
oksigen dalam air.
c. Gangguan terhadap pengolahan air
Tercemarnya badan air oleh air limbah akan menurunkan kualitas air sehingga
menyulitkan pengolahan untuk penggunaan selanjutnya, misalnya adanya
kandungan deterjen, bahan organik, kesadahan, amoniak, bakteri pathogen
yang tinggi akan memerlukan biaya dan teknologi yang rumit mengolah air
limbah menjadi air minum atau air untuk keperluan lainnya.
198

d. Gangguan terhadap estetika


Zat organik yang jumlahnya cukup banyak didalam air limbah akan
didekomposisi oleh mikroorganisme yang ada dalam air limbah. Pada tahap
awal dekomposisi akan berlansung secara aerobik, kemudian jika kandungan
dalam air limbah habis, dekomposisi akan berlangsung secara anaerobik yang
menghasilkan CH4,NH3,H2S yang berbau busuk. Jika bau busuk ini terjadi
terus menerus dapat menggangu kenyamanan, kesegaran, dan kesehatan
mental.

B. Tinjauan Umum Tentang Pengolahan Limbah


Proses pengolahan air limbah pada dasarnya dikelompokkan menjadi 3 tahap
yaitu proses pengolahan primer, sekunder dan tersier (Sunu, 2001). Berdasarkan
karakteristiknya, proses pengolahan limbah cair dapat digolongkan menjadi 3
bagian, yaitu proses fisika, kimia dan biologis (Kristanto, 2002).
1. Pengolahan fisik
2. Pengolahan fisik (primer) bertujuan untuk menghilangkan bahan-bahan padat
dan lemak yang ada dalam air limbah. Pengolahan fisik dilakukan dengan cara
melakukan proses pengolahan secara mekanis dengan atau tanpa bahan kimia.
Apabila dapat berlangsung baik pada tahap ini mampu menurunkan BOD
antara 20%-30%, lemak 15%-20% dan bahan terlarut 65%. Dengan hilang atau
berkurangnya kandungan zat organik dalam air limbah tersebut akan
mengurangi oksigen untuk mendegradasi zat organik pada pengolahan tahap
selanjutnya.
3.
C. Tinjauan Tentang Pengolahan Air Limbah Rumah Sakit
Menurut Said (2010), pengolahan air limbah bertujuan untuk menghilangkan
parameter pencemar sampai batas yang diperbolehkan untuk dibuang ke badan air
sesuai dengan syarat baku mutu yang dizinkan. Proses pengolahan air limbah
rumah sakit secara umum dapat dilihat seperti pada gambar berikut :

Domestik
Limbah Cair Rumah Sakit

Proses Pengolahan
Klinis Bak Penampung
Biologis

Lain-Lain
Desinfeksi

Laboratorium
Dibuang Ke
Saluran Umum
Pengolahan Fisika - Kimia

Gambar 1 : Proses Pengolahan Air Limbah Rumah Sakit

Air limbah rumah sakit yang meliputi limbah domestik yakni buangan kamar
mandi, dapur, air bekas pencucian pakaian; limbah cair klinis yakni air limbah
yang berasal dari kegiatan klinis rumah sakit misalnya air bekas cucian luka,
cucian darah dan lain-lain; air limbah laboratorium dan lainnya. Air limbah rumah
sakit yang berasal dari buangan domestik maupun limbah cair klinis umumnya
mengandung senyawa polutan organik yang cukup tinggi dan dapat diolah secara
biologis, sedangkan untuk air limbah rumah sakit yang berasal dari laboratorium
biasanya banyak mengandung logam berat yang mana bila air limbah tersebut
dialirkan kedalam proses pengolahan secara biologis, logam berat tersebut dapat
mengganggu proses pengolahannya.
199

1. Debit Air Jumlah Kunjungan


Limbah Pasien Efektif
2. Waktu
tinggal

Biofilter Anaerob
Penurunan
Aerob Media Bata BOD,
BOD, COD dan Styrofoam Sistem
Coliform COD dan
Aliran Ke Atas Coliform

Tidak
Efektif
1. Suhu
2. pH - Lama Perawatan
- Penjaga Pasien

Gambar 1. Kerangka Konsep

Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian.
Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang
relevan.
H1 : Biofilter Anaerob Aerob Media Bata Styrofoam Sistem Aliran Ke Atas efektif
dalam menurunkan kadar BOD, COD dan Coliform Air Limbah Rumah Sakit.

BAHAN DAN CARA

Jenis penelitian ini adalah penelitan experiment. Penelitian eksperimen atau


percobaan (experimental research) adalah penelitian dengan melakukan kegiatan
percobaan (research) yang bertujuan untuk mengetahui gejala atau pengaruh yang
timbul sebagai akibat dari adanya perlakuan tertentu. Percobaan ini berupa perlakuan
atau intervensi terhadap suatu variabel. Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah
debit aliran, waktu tinggal, suhu dan pH, mempunyai keuntungan dengan melakukan
pengukuran yang berulang-ulang sebelum dan sesudah perlakuan yang dapat
digunakan sebagai berikut

0…………………………… X …………………………………01

Keterangan :

0 : Kadar BOD, COD, dan Coliform Air Limbah Rumah Sakit sebelum

pengolahan.

01 : Kadar BOD, COD dan Coliform air limbah Rumah Sakit sesudah pengolahan.

X : Pengolahan air limbah Rumah sakit dengan Biofilter Anaerob Aerob Media

Bata Styrofoam Sistem Aliran Ke Atas.

Variabel Penelitian
1. Variabel bebas yaitu kadar BOD, COD, dan Coliform sebelum pengolahan.
2. Variabel Terikat yaitu Biofilter Aerob Anaerob Media Bata Styrofoam Sistem
Aliran Keatas, Kadar BOD, COD dan Coliform sesudah pengolahan.
3. Variabel kontrol yaitu Debit Air Limbah, Waktu tinggal air limbah, Suhu dan pH.
200

Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh / hubungan antara variable X dan


variable Y maka dapat dijelaskan sebagai berikut :
X Y

Keterangan :
X : Kadar BOD, COD dan Coliform sebelum pengolahan (treatment)
Y : Efektivitas Biofilter Anaerob Aerob Media Bata Styrofoam Sistem Aliran Keatas
dengan indikator kadar BOD, COD dan Coliform sesudah pengolahan (treatment.
Definisi Operasional
1. Biofilter Anaerob Aerob Media Bata Styrofoam Sistem aliran keatas adalah
sistem pengolahan air limbah dengan menggunakan sarana pengolahan yang
berlangsung secara biologis, dialirkan dari bawah keatas yang terdiri dari bak
ekualisasi, bak anaerob, bak aerob dengan media yang terbuat dari bata
dicampur Styrofoam.
Kriteria objektif : dinyatakan efektif apabila hasil pengolahan mampu
menurunkan kadar BOD, COD dan E. Coli sesuai baku mutu limbah cair rumah
sakit.
2. BOD adalah banyaknya oksigen dalam ppm atau milligram /liter yang
diperlukan untuk menguraikan benda organik oleh bakteri.
Kriteria Objektif : dinyatakan memenuhi syarat apabila BOD hasil pengolahan ≤
30 mg/l
3. COD adalah banyak oksigen dalam ppm atau milligram /liter yang dibutuhkan
dalam kondisi khusus untuk menguraikan benda organik secara kimia
Kriteria objektif : dinyatakan memenuhi syarat apabila COD hasil pengolahan ≤
80 mg/l
4. Coliform adalah
Kriteria objektif : dinyatakan memenuhi syarat apabila MPN-Coliform hasil
pengolahan ≤ 10.000 / 100 ml
5. Debit air limbah adalah banyaknya air limbah yang dialirkan dari bak equalisasi
dalam satuan waktu tertentu (Liter/detik)
6. Waktu tinggal air limbah adalah lamanya air limbah berada dalam bak
pengolahan dari inlet sampai outlet (Jam)
7. Konsentrasi air limbah adalah tingkat kepekatan air limbah yang diolah dengan
menggunakan biofilter
8. Suhu atau temperatur adalah keadaan yang dibutuhkan oleh mikroorganisme
untuk hidup dan berkembang biak yang diukur dengan thermometer dalam
deraja Celsius (0C)
9. pH adalah derajat keasaman air limbah yang turut mempengaruhi kinerja bakteri
dalam pengolahan air limbah

POPULASI DAN SAMPEL


Populasi dalam penelitian ini adalah semua air limbah yang dihasilkan oleh
Rumah Sakit yang sudah dialirkan melalui instalasi pengolahan limbah Rumah Sakit
kemudian diambil untuk diolah dengan Biofilter Anaerob Aerob Media Bata
Styrofoam Sistem Aliran Keatas.
Sampel adalah sebagian dari limbah cair yang diambil dari bak equalisasi
sehingga diperoleh karakteritik limbah yang homogen. Penanganan sampel dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
Pengambilan di Rumah Sakit, wadah sampel berupa jergen plastik volume 25
liter dimasukan kedalam bak equalisasi melalui lubang kontrol, dan untuk
menghindari oksidasi, mulut jergen diletakkan di bawah permukaan air limbah
kemudian diisi hingga penuh guna menghindari terjadinya guncangan pada saat
pengangkutan. Volume air limbah yang diangkut setiap hari adalah 600 liter.,
Pengangkutan sampel : sampel diangkut dengan mobil tertutup pada waktu malam
hari untuk menghindari kontak dengan sinar matahari yang berlebihan karena hal ini
akan mempengaruhi suhu air limbah dalam wadah, Pengisian Biofilter : air limbah
Rumah Sakit di masukkan melalui bak equalisasi kemudian dialirkan secara terus
menerus pada biofilter dengan mengatur kapasitas aliran secara bervariasi yaitu : 0,3
l/menit, 0,5 l/menit, 0,7 l/menit, 0,9 l/menit dan 1 liter/menit, Pengambilan sampel
pada biofilter : metode sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel
201

sesaat (grap sample) yaitu sampel diambil langsung dari kran biofilter pada saat
tertentu. Sampel diambil setiap hari sebelum dan sesudah pengolahan. Sebelum
pengolahan, diambil pada bak aqualisasi melalui kran pengambil sampel selanjutnya
diberi kode A1, sedangkan sesudah pengolahan diambil pada pipa pengeluaran akhir
dan diberi kode B1.
Wadah sampel menggunakan botol winkler volume 250 ml untuk analisa
BOD dan COD sedangkan pengambilan sampel secara bakteriologi menggunakan
botol yang sudah disterilkan

INSTRUMEN PENELITIAN
1. Sebagai instrument dalam penelitian ini adalah :
a. Bofilter Anaerob Aerob Media Bata Styrofoam Sistem Aliran Keatas
b. Inkubator
c. Air limbah rumah sakit
d. Alat untuk mengukur atau menghitung jumlah bakteri dengan metode tabung
ganda.
e. Do meter
f. Thermometer
g. pH meter
h. Alat untuk mengukur debit menggunakan literan.

ANALISIS DATA
Data hasil penelitian ini di analisis dalam bentuk tabel, grafik dinarasikan
dalam statistik menggunakan uji-t dan regresi, pengolahan data dengan SPSS 20.

HASIL
1. Sejarah dan Letak Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang
Rumah sakit jiwa Prof. Dr. V. L Ratumbuysang Provinsi Sulawesi Utara
memiliki luas tanah ± 3,88 Ha berdiri diatas lahan seluas ± 4,3 Ha dengan luas
bangunan ± 8.283 m2 dan terletak di jalan Bethesda No. 77 Kelurahan Kleak
Kecamatan Malalayang Kota Manado.
Rumah Sakit ini awalnya sebuah Rumah Sakit Jiwa yang didirikan sekitar
tahun 1934 dengan nama Doorgangshuis Voor Krankzinningen berlokasi pada 2
tempat yang berbeda, yaitu untuk pasien laki-laki di Sario sedangkan untuk pasien
perempuan berlokasi di Wanea yang berjarak ± 2 km, dengan kapasitas
keseluruhan 46 tempat tidur yang oleh masyarakat setempat lebih dikenal dengan
nama “Rumah Putih” atau”Wiite Huis”.
Pada tahun 1951 atas prakarsa dan perjuangan Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang
sebagai psikiater pertama kemudian menggabungkan kedua lokasi menjadi satu di
jalan Bethesda Manado dengan kapasitas 100 tempaat tidur dan lokasi ini menjadi
tetap hingga saat ini. Pada era sentralisasi lembaga ini memakai nama resmi
Rumah Sakit Jiwa Pusat Manado Kelas A sebagai UPT (Unit Pelaksana Teknis)
milik Direktorat Jenderal Medik Departemen Kesehatan RI dengan kapasitas 250
tempat tidur.
Sistem pembuangan air limbah Rumah Sakit Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang
Kota Manado menggunakan sistem Biofilter Anaerob dan Aerob. Air limbah yang
berasal dari buangan domestik serta dari kegiatan klinis seperti ruang operasi,
poliklinik, ruang perawatan, poliklinik gigi, farmasi, ruang binatu, instalasi gizi,
ruang bersalin dan IGD dikumpulkan melalui saluran pipa pengumpul selanjutnya
dialirkan ke bak kontrol, fungsi bak yaitu untuk mencegah sampah padat
misalnya plastik, kayu agar tidak dapat masuk kedalam unit pengolahan limbah
serta dapat mencegah padatan yang tidak bisa terurai misalnya pasir, lumpur dan
lain-lain.
Selanjutnya dari bak kontrol, air limbah dialirkan ke bak pengurai anaerob,
pada bak anaerob dibagi menjadi dua buah ruangan yakni bak pengendapan atau
bak pengurai awal. Didalam bak pengurai awal ini terjadi pengendapan lumpur
sehingga mempengaruhi turunnya BOD dan COD. Selanjutnya air limpasan dari
bak pengurai anaerob kemudian dialirkan ke unit pengolahan lanjut. Unit
pengolahan lanjut tersebut terdiri dari beberapa ruangan yang berisi media dari
202

bahan PVC bentuk sarang tawon untuk perkembangbiakan mikroorganisme yang


akan mengurai senyawa polutan yang ada dalam air limbah.

HASIL PENELITIAN
Tujuan utama pengolahan air limbah adalah untuk menurunkan BOD, Partikel
terlarut, menghilangkan nutrisi, bahan beracun dan membunuh bakteri pathogen
untuk melindungi lingkungan perairan dan mencegah penyebaran penyakit melalui air
limbah.
Berdasarkan hasil uji laboratorium Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit Kelas I Manado bahwa hasil pengolahan biofilter dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Biological Oxygen Deman (BOD) Berdasarkan hasil pemeriksaan kadar BOD
dengan sampel 300 ml. Kapasitas aliran dan waktu detensi yang bervariasi
diketahui biofilter anaerob dan aerob media bata. Styrofoam menunjukkan
kemampuan (efisiensi) menurunkan kadar BOD air limbah rumah sakit antara
85.25% sampai 93,65%. Kadar BOD sebelum dan sesudah pengolahan dengan
biofilter anaerob dan aerob media bata styrofoam Aliran dari bawah ke atas dapat
dilihat pada tabel 1 berikut :

Tabel 1. Kadar BOD Sebelum dan Sesudah Pengolahan dengan Biofilter Anaerob
Aerob Media Bata Styrofoam Sistem Aliran Keatas

BOD (mg/l) Selisih


Debit Waktu Penurunan
Penurunan
(l/Jam) Tinggal (Jam) Sebelum Sesudah (%)
(mg)
18 18 164,32 10,43 153,89 93,65
30 11 172,47 12,83 159,64 92,56
42 8 183,61 12,33 171.28 93,28
54 6 188,52 26,03 162,49 86,19
60 5 186,73 27,53 159,2 85.25
Rata-rata 179,13 17,83 161,3 90.186

Berdasarkan tabel 1 dapat dijelaskan bahwa persentase penurunan kadar BOD


tertinggi terjadi pada debit aliran 18 l/jam dengan waktu tinggal 18 jam yaitu 93,65%
dan terendah pada debit aliran 60 l/jam dengan waktu tinggal 5 jam yaitu 84,37%.

2. Chemical Oxygen Demand (COD)


Berdasarkan hasil pemeriksaan kadar COD dengan sampel 300 ml. Kapasitas
aliran dan waktu detensi yang bervariasi diketahui biofilter anaerob dan aerob
media bata styrofoam menunjukkan kemampuan (efisiensi ) menurunkan kadar
COD air limbah rumah sakit antara 87.79% sampai 94.19%. Rerata kadar COD
sebelum dan sesudah pengolahan dengan Biofilter Anaerob Aerob Media Bata
Styrofoam Aliran keatas dapat dilihat pada tabel 2 berikut :

Tabel 2. Kadar COD Sebelum dan Sesudah Pengolahan dengan Biofilter Anaerob
Aerob Media Bata Styrofoam Sistem Alira Ke Atas

COD (mg/l) Selisih


Debit Waktu Tinggal Penurunan
Penurunan
(l/Jam) (Jam) Sebelum Sesudah (%)
(mg)
18 18 503.48 45 458.48 91,06
30 11 499.65 61 438.65 87.79
42 8 537.12 46 491.12 91.43
54 6 562 43 519 92,34
60 5 516.42 30 486.42 94.19
Rata-rata 523,734 45 478,734 91,362
203

Berdasarkan tabel 2 dapat dijelaskan bahwa persentase penurunan kadar COD


tertinggi terjadi pada debit 60 l/jam yaitu 94.19% dengan waktu tinggal 5 jam dan
terendah pada debit 30 l/jam dengan waktu tinggal 11 jam yaitu 87.79 %.

3. Coliform
Berdasarkan hasil pemeriksaan MPN-Coliform dengan sampel 300 ml. Kapasitas
aliran dan waktu detensi yang bervariasi diketahui Biofilter Anaerob dan Aerob
Media Bata Styrofoam menunjukkan kemampuan (efisiensi) menurunkan
Coliform air limbah rumah sakit antara 85 % sampai 96.87%. MPN-Coliform
sebelum dan sesudah pengolahan dengan Biofilter Anaerob Aerob Media Bata
Styrofoam Aliran dari bawah keatas dapat dilihat pada tabel 1 berikut :

Tabel 3. MPN Coliform sebelum dan sesudah Pengolahan dengan Biofilter


Anaerob Aerob Media Bata Styrofoam Aliran Ke Atas

MPN Coliform Selisih


Debit Waktu Penurunan
Penurunan
(l/Jam) Tinggal (Jam) Sebelum Sesudah (%)
(Koloni)
18 18 > 16000 500 15500 96.87
30 11 > 16000 900 15100 94.37
42 8 > 16000 1200 14800 92.5
54 6 > 16000 2400 13600 85
60 5 > 16000 2400 13600 85
Rata-rata > 16000 1480 14520 90,748

Berdasarkan tabel 3 dapat dijelaskan bahwa penurunan MPN Coliform tertinggi


terjadi pada debit aliran 18 l/jam dengan waktu tinggal 18 jam yaitu 96.87% dan
terendah pada debit aliran 60 l/jam dengan waktu tinggal 5 jam serta debit 54 l/jam
dengan waktu tinggal 6 jam yaitu 85%.

PEMBAHASAN

1. Biological Oxygen Demand (BOD)


Biological Oxygen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biologis adalah
jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan
untuk memecah bahan buangan organik yang ada didalam air lingkungan tersebut.
Jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk melakukan proses
dekomposisi aerobik terhadap bahan organik dari larutan dibawah kondisi tertentu
(umumnya 20oC) dan waktu tertentu (umumnya 5 hari). Analisis BOD diperlukan
untuk menentukan beban pencemaran dan untuk merancang sistem pengolahan air
limbah secara biologis. Analisa BOD didasarkan atas reaksi oksidasi atau proses
penggabungan suatu zat dengan oksigen bahan organik oleh bakteri aerob. Dalam
penguraiannya bakteri mampu menghabiskan oksigen terlarut sehingga
berdampak pada kematian mikroba dan menimbulkan bau (Sunu, 2001)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan kadar BOD
sebelum dan sesudah pengolahan ternyata kadar BOD pada debit 18 l/jam dengan
waktu tinggal 18 jam relatif lebih tinggi yaitu 93,28 %. Hal ini disebabkan karena
kadar BOD sebelum pengolahan relatif lebih tinggi dan waktu tinggal air limbah
yang lambat sehingga proses dekomposisi bahan organik lebih optimal karena
tersedia cukup nutrisi yang memungkinkan perkembangbiakan bakteri lebih
cepat. Pada debit 60 l/jam dengan waktu tinggal 5 jam penurunan BOD relatif
kecil yaitu 84,37 %, hal ini disebabkan karena kadar BOD sebelum pengolahan
cukup tinggi yang memungkinkan kebutuhan nutrisi oleh bakteri terpenuhi akan
tetapi waktu tinggal air limbah terlalu cepat sehingga proses dekomposisi bahan
organik tidak optimal, dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengolahan
dengan Biofiter Anaerob dan Aerob Media Bata Styrofoam Sistem Aliran Ke
Atas efektif menurunkan kadar BOD. Untuk memperjelas hubungan antara debit
aliran dan waktu tinggal terhadap efisiensi Biofilter Anaerob Aerob Media Bata
204

Styrofoam Sistem Aliran Ke Atas dalam menurunkan kadar BOD dapat dilihat
pada gambar 1 dibawah ini :
100% 100 94.15 92.08 92.3 85.06 84.37
90%
Efisiensi (%) 80%
70%
60%
50%
40% 6 5
60
8 54
30% 18 11 42
20% 30
10% 18
0% 0
1 2 3 4 5 6
Efisiensi 100 94.15 92.08 92.3 85.06 84.37
WT (Jam) 0 18 11 8 6 5
Debit (l/Jam) 0 18 30 42 54 60

Gambar 1. Hubungan Debit Aliran dan Waktu Tinggal dengan Efisiensi Biofilter.

Berdasarkan gambar 1, secara keseluruhan pengolahan dengan Biofilter Anaerob


Aerob Media Bata Styrofoam Sistem Aliran Ke Atas telah mampu menurunkan kadar
BOD lebih kecil dari baku mutu air limbah yaitu 30 mg/l (Kep-58/MENLH/12/1995
tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit). Untuk mengetahui
hubungan antara debit aliran dan waktu tinggal terhadap perbedaan kadar BOD
sebelum dan sesudah pengolahan dengan Biofilter Anaerob Aerob Media Bata
Styrofoam Sistem Aliran Ke Atas dapat dilihat pada gambar 2 dibawah ini :
100% 178.32 162.04 160.22 174.26
176.14
90%
80%
70%
Kadar BOD (mg/l)

60%
50%
40%
30% 26.03 27.53
12.83 12.33
8 6
54 5
60
20% 10.43 11 42
18 30
10% 18
0% 0
1 2 3 4 5 6
Sebelum Pengolahan 0 178.32 162.04 160.22 174.26 176.14
Sesudah Pengolahan 0 10.43 12.83 12.33 26.03 27.53
WT (Jam) 0 18 11 8 6 5
Debit (l/Jam) 0 18 30 42 54 60

Gambar 2. Hubungan Debit Aliran dan Waktu Tinggal dengan Perbedaan Kadar
BOD Air Limbah Rumah Sakit Sebelum dan Sesudah Pengolahan.

Proses penurun BOD pada Biofilter Anaerob Aerob Media Bata Styrofoam
Sistem Aliran Ke Atas tersebut sudah dimulai sejak air limbah berada dalam bak
equalisasi karena adanya pengendapan partikel-partikel zat organik tersuspensi tidak
stabil dan yang relatif besar secara grafitasi di dasar bak. Adanya pengendapan
partikel zat organik ini diketahui dengan adanya endapan lumpur didasar bak
equalisasi. Mengendapnya sebagian zat organik, menyebabkan kebutuhan oksigen
untuk mendegradasi zat organik secara biologis oleh mikrobia berkurang sehingga
kemampuan biodegradasi di dalam air limbah oleh mikrobia akan menurun.
Kematian mikroorganisme aerob maka proses penguraian diambil alih oleh
mikroorganisme anaerob. Degradasi zat organik secara anaerob oleh bakteri anaerob
menghasilkan NH3, CH4 dan H2S. Degradasi tersebut menyebabkan turunnya kadar
zat organik diikuti oleh penurunan kadar BOD. Pada biofilter anaerob air limbah akan
melewati media filter yang dilapisi oleh film yang merupakan koloni mikroba
anaerob, saat melewati media ini zat organik tertahan oleh filter dan akan didegradasi
oleh mikroba yang menempel pada filter tersebut, sehingga jumlahnya semakin
berkurang. Berkurangnya jumlah zat organik di dalam air limbah tersebut
mengakibatkan kadar BOD turun (Said, 2008).
205

Proses pengolahan secara anaerob terjadi disebabkan oleh adanya aktivitas


organisme pada saat tidak ada oksigen. Senyawa berbentuk anorganik atau organik
pekat yang umumnya sukar atau lambat sekali diolah secara aerobik, maka
pengolahan dilakukan secara anaerobik. Hasil akhir pengolahan secara anaerobik
adalah CO2 dan CH4. Tahapan yang terjadi dalam proses anaerobik adalah
fermentasi dalam stadia asam, regressi dalam stadia asam, fermentasi dalam stadia
basa.
Penurunan BOD selanjutnya terjadi pada biofilter aerob. Beban pengolahan
pada proses aerob lebih rendah sehingga prosesnya ditempatkan sesudah proses
anaerob. Sistem ini memiliki organisme yang menempel pada bata Styrofoam dan
mengolah air melalui kontak dengan air limbah yang biasanya sering disebut metode
biofilm. Mekanisme pembentukan biofilm dimulai ketika sel melekat pada
kepermukaan sel lainnya dan melakukan gerak acak untuk mencari penyesuaian
lingkungan dengan permukaan media dan selanjutnya melekat erat pada permukaan
media. Pada biofilter aerob ada penambahan oksigen sebagai aerasi dengan
menghembuskan udara kedalam biofilter aerob yang melewati media sehingga
mikroorganisme yang ada akan menguraikan zat organik yang ada dalam air limbah
serta tumbuh dan menempel pada permukaan media. Dengan demikian air limbah
akan kontak dengan mikroorganisme yang tersuspensi dalam air maupun yang
menempel pada permukaan media yang mana hal tersebut dapat meningkatkan
efisiensi penguraian zat organik, deterjen dan mempercepat proses nitrifikasi,
sehingga efisiensi penghilangan amoniak menjadi lebih besar. Proses biofilm ini
mempunyai karakteristik yaitu bahwa operasi ini relatif lebih sederhana dan mudah
karena tidak ada pembesaran lumpur dan jumlah kelebihan generasi lumpur relatif
kecil (Said, 2008)). Disamping itu lamanya waktu tinggal dan lambatnya aliran air
limbah didalam biofilter anaerob aerob media bata Styrofoam memberi kesempatan
partikel zat organik tersuspensi yang relatif besar mengendap, dengan pengendapan
tersebut kadar BOD turun karena jumlah zat organik yang harus didegradasi dan
mikroorganisme dalam air limbah berkurang.
Pengolahan dengan biofilter anaerob aerob media bata Styrofoam sistem aliran
keatas mampu menurunkan kadar BOD antara 84,37% - 93,65% yang berarti bahwa
kemampuan (efisiensi) biofilter anaerob aerob media bata Styrofoam dalam
menurunkan kadar BOD tergolong baik. Hasil temuan ini lebih tinggi dari temuan
Sigit (2002) dengan modifikasi septic tank dapat menurunkan BOD sebesar 235-775,
tetapi relatif lebih rendah dibandingkan dengan temuan Timpua (2005) yang
menggunakan Trickling Filter Up Flow mampu menurunkan BOD antara 89,20% -
93,72%.
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa dengan debit air limbah dan waktu
tinggal yang bervariasi, rata-rata persentase penurunan kadar BOD sebelum dan
sesudah pengolahan dengan biofilter anaerob aerob media bata Styrofoam sistem
aliran keatas mencapai 90% hal ini berarti bahwa biofilter anaerob aerob media bata
Styrofoam sistem aliran keatas efektif dalam menurunkan kadar BOD air limbah
rumah sakit. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan
kemampuan biofilter anaerob aerob media bata Styrofoam sistem aliran keatas
sebelum dan sesudah pengolahan maka dilakukan uji statistik sebagai berikut :

Tabel 4. Hasil Uji Statistik Pengaruh Perbedaan Debit dan Waktu Tinggal terhadap
Efisiensi biofilter

Jenis
No Tes Signifikansi Kesimpulan
Uji
1 Efektifitas Biofilter T-Test 0,000 Signifikan
Hubungan Debit dengan
2 Regresi
Efektifitas Biofilter 0,018 Signifikan
Hubungan Waktu Tinggal dengan
3 Regresi
Efektifitas Biofilter 0,059 Signifikan

Berdasarkan tabel 4 terlihat bahwa ada perbedaan penurunan kadar BOD


sebelum dan sesudah pengolahan dengan demikian biofilter anaerob aerob media
bata Styrofoam sistem aliran keatas efektif dalam menurunkan kadar BOD.
206

Sedangkan untuk mengetahui hubungan variabel debit dengan penurunan BOD


digunakan uji regresi. Hasil uji regresi diketahui korelasi debit (X1) dengan biofilter
anaerob aerob media bata Styrofoam sistem aliran keatas (Y) r = 0,902 artinya
terdapat hubungan yang positif antara variabel X1 dan Y dengan nilai signifikansi < α
(0,018<0,05). Koefisien korelasi waktu tinggal (X2) dan biofilter anaerob aerob
media bata Styrofoam sistem aliran keatas (Y) dengan nilai signifikansi < α
(0,059<0,05) yang berarti hubungan antara (X1), (X2) dan (Y) signifikan. Nilai
Koefisien korelasi R = 0,949 artinya besarnya hubungan antara debit (X1) dan waktu
tinggal (X2) dan penurunan kadar BOD (Y) sebesar 94,9% sedangkan nilai koefisien
determinasi R = 0,902, yang berarti besarnya hubungan antara variabel debit (X1),
waktu tinggal (X2) dan penurunan kadar BOD (Y) 90,2 % ditentukan oleh variabel
X1 dan X2 dan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain (eror).
2. Chemical Oxygen Demand (COD)
Chemical Oxygen Demand (COD) adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan
untuk mengoksidasi senyawa organik dalam air, sehingga parameter COD
mencerminkan banyaknya senyawa organik yang dioksidasi secara kimia. Beberapa
bahan organik tertentu yang terdapat pada air limbah, kebal terhadap degradasi
biologis dan ada beberapa diantaranya yang beracun meskipun pada konsentrasi yang
rendah. Bahan yang tidak dapat didegradasi secara biologis tersebut akan didegradasi
secara kimiawi melalui proses oksidasi, jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi tersebut dikenal dengan COD atau dapat dikatakan bahwa semakin
tinggi kadar COD dalam air limbah semakin rendah jumlah mikrobia aerob dan
fakultatif aerob yang berada dalam air limbah (Sunu, 2001)
Persentasi COD terendah pada debit 30 l/jam dan waktu tinggal 11 jam yaitu
87,79 % sedangkan penurunan tertinggi pada debit 60 l/jam dan waktu tinggal 5 jam
yaitu 94.19 %. Penurunan kadar COD rendah karena kadar BOD sebelum pengolahan
rendah sehingga mempengaruhi proses oksidasi zat organik tidak optimal. Secara
keseluruhan biofilter anaerob aerob media bata Styrofoam telah mampu menurunkan
kadar COD lebih kecil dari baku mutu air limbah rumah sakit yaitu 80 mg/l (KEP-
58/MENLH/12/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Rumah Sakit).
Dengan demikian biofilter anaerob aerob media bata Styrofoam sistem aliran keatas
efektif dalam menurunkan kadar COD. Untuk mengetahui hubungan debit dan waktu
tinggal terhadap efisiensi biofilter anaerob aerob media bata styrofoam sistem aliran
ke atas dalam menurunkan kadar COD dapat dilihat pada gambar 3 dibawah ini :

100% 100 91.06 87.79 91.43 92.34 94.19


90%
80%
70%
efisiensi (%)

60%
50%
40% 6 560
11 8 54
30% 18 42
20% 30
18
10%
0% 0
1 2 3 4 5 6
Efisiensi (%) 100 91.06 87.79 91.43 92.34 94.19
WT 0 18 11 8 6 5
Debit 0 18 30 42 54 60

Gambar 3. Hubungan Debit Aliran dan Waktu Tinggal dengan Efisiensi Biofilter

Pada tabel 2 dan gambar 3 dapat dilihat bahwa setelah air limbah dialirkan ke
dalam biofilter anaerob aerob media bata Styrofoam sistem aliran keatas mampu
menurunkan kadar COD berkisar antara 87,79% - 94,19%. Hal ini menunjukan
bahwa kadar COD mengalami penurunan. Penurunan kadar COD dalam air limbah
207

dimulai sejak air limbah dimasukkan ke bak equalisasi karena terjadi pengendapan
partikel-partikel zat organik tersuspensi. Hai ini dibuktikan dengan adanya endapan
lumpur di dasar bak. Dengan adanya pengendapan zat organik mengakibatkan
kebutuhan oksigen untuk mendegradasi zat organik secara kimia berkurang. Untuk
mengetahui hubungan antara debit dan waktu tinggal terhadap perbedaan kadar COD
sebelum dan sesudah pengolahan dengan biofilter anaerob aerob media bata
Styrofoam dapat dilihat pada gambar 4 dibawah ini :

100% 503.48 499.65 537.12 562 516.42


90%
80%
Kadar COD (mg/l)

70%
60%
50%
40%
30%
20% 61
45 46 43 30
10% 8 6
54 5
60
18 11
30 42
0% 0 18
1 2 3 4 5 6
Sebelum Pengolahan 0 503.48 499.65 537.12 562 516.42
Sesudah Pengolahan 0 45 61 46 43 30
WT 0 18 11 8 6 5
Debit 0 18 30 42 54 60

Gambar 4. Hubungan Debit dan Waktu Tinggal terhadap Perbedaan kadar COD.

Berdasarkan gambar 4 terlihat bahwa terdapat penurunan kadar COD. Proses


penurunan kadar COD mulai sejak air limbah berada dalam bak equalisasi karena
adanya pengendapan partikel-partikel zat organik tersuspensi, tidak stabil dan related
besar secara grafitasi di dasar bak. Adanya pengendapan tersebut mengakibatkan
kebutuhan oksigen untuk oksidasi zat organik berkurang.
Penurunan kadar COD selanjutnya terjadi pada biofilter anaerob dan biofilter
aerob. Hal ini disebabkan oleh proses oksidasi bahan organik terjadi dengan hadirnya
katalisator kalium bikromat menjadi gas CO2 dan H2O sehingga kadar zat organik
didalam air limbah mengalami penurunan. Untuk mengetahui apakah terdapat
perbedaan bermakna kemampuan biofilter anaerob aerob media bata styrofoam
sistem aliran keatas dalam menurunkan kadar COD, maka dilakukan uji statistik
sperti pada tabel dibawah ini :

Tabel 5. Hasil Uji Statistik Pengaruh Perbedaan Debit dan Waktu Tinggal terhadap
Efisiensi Biofilter Anaerob

Jenis
No Tes Signifikansi Kesimpulan
Uji
1 Efektifitas Biofilter T-Test 0,000 Signifikan
Hubungan Debit dengan Tidak
2 Regresi
Efektifitas Biofilter 0,122 Signifikan
Hubungan Waktu Tinggal dengan Tidak
3 Regresi
Efektifitas Biofilter 0,240 Signifikan

Berdasarkan tabel 5 dapat dijelaskan bahwa dengan menggunakan uji T-test ada
perbedaan penurunan kadar COD sebelum dan sesudah pengolahan. Untuk
mengetahui besarnya hubungan antara variabel debit (X1) dengan Penurunan COD
(Y) dilakukan uji regresi. Dari uji regresi diketahui korelasi X1-Y, r = -0,642 artinya
terdapat hubungan berlawanan antara variabel X1 dan Y dimana semakin cepat debit
208

aliran tidak diikuti dengan penurunan COD dengan nilai signifikansi > α
(0,122>0,05) artinya hubungan tersebut tidak signifikan. Koefisien korelasi X2 -Y =
0,421 yang berarti terdapat hubungan positif antara variabel X2 dan Y dengan nilai
signifikansi > α (0,240>0,05) artinya hubungan tersebut tidak signifikan. Nilai
koefisien korelasi R = 0,939 menunjukan bahwa besarnya hubungan antara debit (X1)
dan waktu tinggal (X2) dan penurunan kadar COD (Y) sebesar 93,9%. Sedangkan
nilai koefisien determinasi R = 0,882, yang berarti besarnya hubungan antara variabel
debit (X1) dan waktu tinggal (X2) dengan penurunan kadar COD (Y) 88,2%
ditentukan oleh variabel X1 dan X2 dan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain (eror).

3. MPN Coliform
Setiap badan air tidak terlepas dari adanya bakteri pathogen yang berasal dari
kotoran manusia maupun kotoran hewan dan dari tanah. MPN Coliform merupakan
ukuran banyaknya jumlah coliform total didalam air limbah. Jumlah organisme
coliform cukup banyak dalam usus manusia. Sekitar 200-400 miliar organisme ini
dikeluarkan melalui tinja setiap harinya. Karena jarang sekali ditemukan dalam air,
keberadaan bakteri ini dalam air memberi bukti kuat adanya kontaminasi tinja
manusia.
Hasil penelitian pada tabel 3 menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan antara
debit dan waktu tinggal terhadap persentase penurunan MPN coliform air limbah
rumah sakit sebelum dan sesudah pengolahan. Akan tetapi terdapat kecenderungan
bahwa semakin cepat debit aliran dan semakin cepat waktu tingga semakin kecil
persentase penurunan coliform sebaliknya semakin lambat debit aliran dan semakin
lama waktu tinggal semakin besar persentase penurunan coliform yang berarti bahwa
biofilter anaerob aerob media bata Styrofoam efektif menurunkan coliform pada debit
aliran yang lebih kecil dan waktu tinggal yang lebih lama. MPN coliform sesudah
pengolahan lebih kecil dari baku mutu air limbah rumah sakit yaitu 10.000/100 ml air
limbah (KEP-58/MENLH/12/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan
Rumah Sakit). Berdasarkan tabel 3 dapat digambarkan bahwa secara keseluruhan
pengolahan air limbah rumah sakit dengan menggunakan Biofilter Anaerob Aerob
Media Bata Styrofoam Sistem Aliran Ke Atas dapat menurunkan coliform. Untuk
memperjelas hubungan antara debit dan waktu tinggal terhadap efisiensi Biofilter
Anaerob Aerob Media Bata Styrofoam Sistem Aliran Ke Atas dapat dilihat pada
gambar 5 :

100% 100 96.87 94.37 92.5 85 85


90%
80%
70%
Efisiensi (%)

60%
50%
40% 6 5
60
8 54
30% 18 11 42
20% 30
10% 18
0% 0
1 2 3 4 5 6
Efisiensi (%) 100 96.87 94.37 92.5 85 85
WT 0 18 11 8 6 5
Debit 0 18 30 42 54 60

Gambar 5. Hubungan Debit dan Waktu Tinggal terhadap Efisiensi Biofilter


Anearob Aerob

Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa ada perbedaan jumlah coliform


sebelum dan sesudah pengolahan dengan biofilter anaerob aerob media bata styrofom
209

sistem aliran ke atas. Untuk mengetahui hubungan antara debit dan waktu tinggal
terhadap perbedaan coliform sebelum dan sesudah pengolahan dengan biofilter
anaerob aerob media bata styrofom sistem aliran ke atas dapat dilihat pada gambar 6
dibawah ini :
100% 16000 16000 16000 16000 16000 16000
90%
80%
Jumlah Coliform

70%
60%
50%
40%
30%
20%
10% 2400 2400
900 1200
0% 0 500
18 11 8 6 5
1 2 3 4 5 6
sebelum pengolahan 16000 16000 16000 16000 16000 16000
sesudah pengolahan 0 500 900 1200 2400 2400
WT 0 18 11 8 6 5
Debit 0 18 30 42 54 60

Gambar 6. Hubungan Debit dan Waktu Tinggal terhadap penurunan coliform


sebelum dan sesudah pengolahan.

Penurunan coliform air limbah rumah sakit disebabkan oleh pengendapan bakteri
coliform bersama partikel zat padat organik, tersuspensi, tidak stabil dan bersifat
relatif besar secara grafitasi kedasar bak karena lambatnya aliran dan lamanya waktu
tinggal, adanya kematian bakteri karena dimakan oleh mikroorganisme lain atau
kalah berkompetensi dalam air limbah dan kekurangan nutrisi.
Pada biofilter anaerob aerob media bata bakteri yang ada akan tertahan oleh
media filter dan langsung dimakan oleh bakteri yang melapisi media tersebut
sehingga mati. Dengan kematian tersebut jumlah bakteri coliform dalam air limbah
berkurang. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan
biofilter anaerob aerob media bata styrofoam sebelum dan sesudah pengolahan
dilakukan uji statistik seperti pada tabel berikut :

Tabel 6. Hasil Uji Statistik Pengaruh Perbedaan Debit dan Waktu Tinggal terhadap
Efisiensi Biofilter Anaerob Aerob

Jenis
No Tes Signifikansi Kesimpulan
Uji
1 Efektifitas Biofilter T-Test 0,000 Signifikan
Hubungan Debit dengan
2 Regresi
Efektifitas Biofilter 0,004 Signifikan
Hubungan Waktu Tinggal dengan
3 Regresi
Efektifitas Biofilter 0,024 Signifikan

Berdasarkan tabel 6 bahwa dengan menggunakan uji T-tes menunjukan bahwa


ada perbedaan penurunan MPN-Coliform sebelum dan sesudah pengolahan.
Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara debit alir dengan penurunan MPN
Coliform dilanjutkan dengan uji regresi. Dari hasil uji regresi diketahui korelasi debit
(X1) dengan penurunan MPN Coliform (Y), r = 0,965 artinya terdapat hubungan
positif antara X1 dan Y dimana semakin lambat debit diikuti penurunan MPN-
Coliform dengan nilai signifikansi < α (0,004 < 0,05) yang berarti hubungan antara
X1 dan Y signifikan. Hubungan antara variabel waktu tinggal (X2) dengan penurunan
MPN-Coliform (Y), r = -0,882 dengan nilai signifikansi < α (0,024 < 0,05) artinya
hubungan tersebut signifikan. Nilai koefisien korelasi R = 0,977 artinya besarnya
210

hubungan antara debit (X1) dan waktu tinggal (X2) terhadap penurunan MPN
Coliform sebesar 97,7%, sedangkan koefisien determinasi R2 = 0,955 yang berarti
besarnya hubungan antara variabel debit (X1), waktu tinggal (X2) dan penurunan
MPN Coliform 95,5% ditentukan oleh variabel X1 dan X2 dan sisanya dipengaruhi
oleh variabel lain.
Faktor – faktor lain yang turut mempengaruhi pengolahan Biofilter Anaerob
Aerob Media Bata Styrofoam Sistem Aliran Ke Atas dalam menurunkan kadar BOD,
COD dan Coliform antara lain :

1. Suhu
Suhu memberi pengaruh terhadap kebanyakan reaksi biokimia. Aktivitas
mikroorganisme akan meningkat pada suhu 60oC. Kondisi suhu sebelum dan
sesudah pengolahan seperti pada gambar 7 berikut :

27.4
27.2 27.2 27.2
27.1 27.1 27.1
27 27 27
26.8 26.8
26.6
Sesudah Pengolahan
26.4
Sebelum Pengolahan
26.2 26.2 26.17
26
25.8
25.6
1 2 3 4 5

Gambar 7. Kondisi Suhu Sebelum dan Sesudah Pengolahan dengan Biofilter


Anaerob Aerob Media Bata Styrofoam Sistem Aliran Ke Atas

Berdasarkan gambar 7 dapat dijelaskan bahwa suhu air limbah pada biofilter
anaerob aerob media bata styrofoam sebelum pengolahan senantiasa menunjukan
angka berkisar antara 26,2oC – 27,1oC dan sesudah pengolahan berkisar antara 26,8oC
– 27,2oC Dengan kondisi suhu seperti ini maka dapat dipastikan bahwa
mikroorganisme mesofilik yang mendominasi proses penguraian bahan organik pada
Biofilter Anaerob Aerob Media Bata Styrofoam Sistem Aliran Ke Atas.

2. pH
Untuk mengetahui perubahan pH, dilakukan pengukuran pH dengan
menggunakan pH meter pada biofilter sebelum dan sesudah pengolahan yang
menunjukan angka stabil seperti pada ggambar 8 dibawah ini :

18
16 8 7.8 7.9 7.7 7.9
14
12
10
Sebelum Pengolahan
8 7.6 7.9 7.8 8 7.7 Sesudah Pengolahan
6
4
2
0
1 2 3 4 5

Gambar 8. Nilai pH Sebelum dan Sesudah Pengolahan dengan Biofilter Anaerob


Aerob Media Bata Styrofoam Sistem Aliran Ke Atas.

Parameter pH lingkungan media sangat mempengaruhi proses pengolahan limbah


secara biologis. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai pH tidak pernah mengalami
penurunan pH yang signifikan baik sebelum maupun sesudah pengolahan dengan
211

kisaran sebelum pengolahan antara 7,7 – 8 dan sesudah pengolahan 7,6 – 8. Hal ini
menimbulkan suatu perbedaan sesuai yang dijelaskan oleh Said (2008) bahwa bakteri
acidogenik yang terdapat dalam biofilter menghasilkan asam organik yang cenderung
menurunkan pH, sedangkan nilai pH dalam penelitian ini cenderung mengalami
penurunan kemudian naik lagi pada biofilter. Hal ini mungkin dapat terjadi karena
penurunan pH ditahan oleh bikarbonat yang hasilkan oleh bakteri metanogen. Ada
beberapa bakteri yang dapat hidup dengan pH diatas 9,5 dan dibawah 4,0. Secara
umum pH optimum bagi pertumbuhan mikroorganisme adalah sekitar 6,5 – 7,5. Nilai
pH yang terlalu tinggi akan menghambat aktivitas mikroorganisme sedangkan nilai
pH dibawah 6,5 akan mengakibatkan pertumbuhan jamur dan terjadi persaingan
dengan bakteri dalam metabolisme materi organik.

3. Jumlah oksigen terlarut pada bak aerob


Menurut Said (2008), kebutuhan oksigen di dalam biofilter aerob sebanding
dengan jumlah BOD yang dihilangkan. Jika dihitung kebutuhan oksigen yang
seharusnya terdapat dalam biofilter aerob adalah sebagai berikut :
Diketahui :

Biofilter Anaerob :

Volume biofilter = 0,096 m3 x 2 bak = 0,192 m3

Volume media = 50 % volume reaktor (Said, 2008)

= 0.048 m3

BOD Inf = 179,13 mg/l

Efisiensi = 50 % ( Said, 2008)

BOD Inf = 179 mg/l – (0,5 x 179 mg/l)

BODEff = 89,565 mg/l

Standar beban BOD yang digunakan 1,0 kg/m3.hari (Said, 2008)

Maka beban BOD = Vmedia x 1,0 kg BOD/m3.hari

= 0,048 m3 x 1,0 kg

BOD/m3.hari = 0,048 kg = 48 gram/hari

Debit Air limbah yang masuk ke dalam biofilter :

Beban BOD dalam gram/hari


Q=
BOD masuk biofilter

48 gram/hari
Q=
179,13 gram/m3

Q = 0,2679 m3/hari
212

Biofilter Aerob :

Volume Biofilter = 0,096 m3 x 2 bak = 0,192 m3

BOD inf = 89,565 mg/l

Efisiensi 50 % (Said, 2008)

BOD eff = 44,78 mg/l

Standar beban BOD per volume media 0,4 – 4,7 kg BOD/m3.hari

Ditetapkan beban BOD yang digunakan = 1,0 kg BOD/m3.hari

Beban BOD dalam air limbah = Qanaerob x BODinf

= 0,2679 m3/hari x 88,565 gr/m3

= 23,72 gr/hari = 0,0237 kg/hari

Jumlah BOD yang dihilangkan = 0,5 x 0,0237 = 0,0118 kg/ hari

Kebutuhan oksigen didalam biofilter aerob = jumlah BOD yang dihilangkan.

Jadi : Kebutuhan oksigen teoritis = 0,0118 kg/hari

Faktor keamanan ditetapkan ± 1,4 (Said, 2008)

Kebutuhan oksigen teoritis = 1,4 x 0,0118 kg/hari = 0,0166 kg/hr

Temperatur udara rata-rata = 28oC

Berat udara pada suhu 28oC = 1,1725 kg/m3 (Said, 2008)

Diasumsikan jumlah oksigen dalam udara 23,2 %

Jadi :

0,0166 kg/hari
Jumlah Kebutuhan oksigen teoritis =
1,1725 kg/m3 x 1,4 grO2/gr Udara

Jumlah Kebutuhan oksigen teoritis = 0,01 m3/hari

Efisiensi diffuser = 2,5 % (Said, 2008)

Berdasarkan perhitungan tersebut diketahui bahwa kebutuhan udara aktual


sebanyak 0,4 m3/hari sedangkan dalam penelitian ini aerator yang digunakan adalah
air pump dengan debit udara yang dikeluarkan sebesar 20 l/menit, dengan demikian
debit udara yang masuk kedalam biofilter aerob sudah mencukupi kebutuhan oksigen
untuk menguraikan ikatan senyawa air limbah rumah sakit.

HASIL KONVERSI
Diketahui :

Jumlah Bed : 250 bed

Kebutuhan air bersih : 500 l/bed

: 500 L x 250 bed = 125.000 liter = 125 m3

Volume Limbah : 80 % Kebutuhan air bersih

: 80/100 x 125 m3 = 100 m3/hari = 4,2 m3/jam = 70 l/menit


213

a. Bak Pemisah lemak


Bak pemisah lemak atau grease removal yang direncanakan adalah tipe gravitasi
sederhana. Bak terdiri dari dua buah ruangan yang dilengkap dengan bar screen
pada bagian inletnya.
Kriteria perencanaan :
Kapasitas = 100 m3/hari = 4,2 m3/jam = 70 liter/menit

Waktu tinggal = 30 menit = 30 menit x 70 liter = 2100 liter

Dimensi Bak :

Panjang = 2,0 m

Lebar = 1,0 m

Tinggi = 1,2 m

Volume ruang bebas = 0,3 m

Volume efektif = 2,4 m

a. Bak Sedimentasi awal

BODinf = 358,26 mg/l

Efisiensi = 50 %

BODeff = 179.13 mg/l

Waktu tinggal = 4 jam = 4/24 x 100 m3 = 16,7 m3

Dimensi Bak :

Panjang = 3,5 m

Lebar = 3,5 m

Tinggi = 1,4 m

Volume ruang bebas = 0,45 m

Volume efektif = 17.15 m

a. Bak Equalisasi :

Kapasitas Pengolahan = 100 m3/hari = 4,2 m3/jam = 70 liter/menit

Waktu tinggal di bak equalisasi = 8 jam

Volume Bak Equalisasi = 8/24 x 100 m3/hari = 33,3 m3

Maka dimensi bak :

Panjang = 4,0 m

Lebar = 4,0 m

Tinggi = 2,1 m

Tinggi ruang bebas = 0,3 m

Volume efektif = 33,6 m

b. Bak Biofilter Anaerob :

Kapasitas Pengolahan = 100 m3/hari = 4,2 m3/jam = 70 liter/menit

BODinf = 179,13 mg/l

Efisiensi pengolahan = 50 %

BODeff = 89,565 mg/l

Waktu tinggal di bak biofilter anaerob aerob = 9 jam

Volume Bak Biofilter anaerob = 9/24 x 100 m3 = 37,5 m3

Volume Bak Biofilter Aerob = 9/24 x 100 m3 = 37,5 m3

Maka Dimensi masing-masing bak :

Panjang = 4,0 m

Lebar = 4,0 m

Tinggi = 2,4 m

Tinggi ruang bebas = 0,9 m


214

Untuk pengolahan air dengan proses biofilter standar beban BOD per volume
media 0,4 – 4,7 kg BOD/m3.hari.
Ditetapkan beban BOD yang digunakan = 1,0 BOD/m3.hari
Beban BOD di dalam air limbah = 100 m3 x 179,13 gr/m3 = 17913 g/hari= 17,9
kg/hari
17,9 kg/hari
Volume Media yang di butuhkan =
1,0 kg/m3.hari
= 17,9 m3

Kebutuhan Oksigen :

Kapasitas pengolahan = 100 m3

BODinf = 89,565 mg/l

Efisiensi = 50 %

BODeff = 44,8 mg/l

Untuk pengolahan air dengan proses biofilter standar beban BOD per volume

media 0,4 – 4,7 kg BOD/m3.hari.

Ditetapkan beban BOD yang digunakan = 1,0 BOD/m3.hari

Beban BOD di dalam air limbah = 100 m3 x 89,565 gr/m3 = 8956,5 g/hari

= 9 kg/hari

Jumlah BOD yang dihilangkan = 0,5 x 9 kg/hari

= 4,5 kg/hari

Kebutuhan oksigen di dalam reaktor = jumlah BOD yang dihilangkan

= 4,5 kg/hari

Faktor keamanan yang ditetapkan = ± 1,4 volume reaktor

Kebutuhan oksigen teoritis = 1,4 x 4,5 kg/hari = 6,3 kg/hari

Temperatur udara rata-rata = 28oC

Berat udara pada suhu 28oC = 1,1725 kg/m3

Diasumsikan jumlah oksigen didalam udara adalah 23,3 %

Jadi :

6,3 kg/hari
Jumlah Kebutuhan oksigen teoritis =
1,1725 kg/m3 x 1,4 grO2/gr Udara
Jumlah Kebutuhan oksigen teoritis = 3,8 m3
Efisiensi difuser = 2,5 %

3,8 m3/hari
Kebutuhan udara aktual =
0,025

Kebutuhan Udara aktual = 152 m3/hari = 0,11 m3/menit


a. Bak pengendapan akhir

Kapasitas Pengolahan = 100 m3/hari = 4,2 m3/jam = 70 liter/menit

BODinf = 44,8 mg/l

Efisiensi pengolahan = 5%

BODeff = 2,24 mg/l

Waktu tinggal = 2 jam = 2/24 x 100 = 8,3 m3

Dimensi :

Panjang = 3,0 m

Lebar = 2,0 m

Tinggi = 1,4 m

Tinggi ruang bebas = 0,1 m


215

Faktor keamanan yang ditetapkan = ± 1,4 volume reaktor

Kebutuhan oksigen teoritis = 1,4 x 4,5 kg/hari = 6,3 kg/hari

Temperatur udara rata-rata = 28oC

Berat udara pada suhu 28oC = 1,1725 kg/m3

Diasumsikan jumlah oksigen didalam udara adalah 23,3 %

Jadi :

6,3 kg/hari
Jumlah Kebutuhan oksigen teoritis =
1,1725 kg/m3 x 1,4 grO2/gr Udara
Jumlah Kebutuhan oksigen teoritis = 3,8 m3
Efisiensi difuser = 2,5 %

3,8 m3/hari
Kebutuhan udara aktual =
0,025

Kebutuhan Udara aktual = 152 m3/hari = 0,11 m3/menit


a. Bak pengendapan akhir

Kapasitas Pengolahan = 100 m3/hari = 4,2 m3/jam = 70 liter/menit

BODinf = 44,8 mg/l

Efisiensi pengolahan = 5%

BODeff = 2,24 mg/l

Waktu tinggal = 2 jam = 2/24 x 100 = 8,3 m3

Dimensi :

Panjang = 3,0 m

Lebar = 2,0 m

Tinggi = 1,4 m

Tinggi ruang bebas = 0,1 m

KESIMPULAN

1. Biofilter Anaerob Aerob Media Bata Styrofoam Sistem Aliran Ke Atas efektif
menurunkan kadar BOD, COD dan Coliform air limbah rumah sakit.
2. Ada hubungan antara debit (l/jam) dan waktu tinggal (jam) terhadap efektivitas
Biofilter Anaerob Aerob Media Bata Styrofoam Sistem Aliran Ke Atas dalam
menurunkan kadar BOD, COD dan
3. Coliform air limbah rumah sakit.
Ada hubungan antara suhu dan pH terhadap efektifitas Biofilter Anaerob
Aerob Media Bata Styrofoam Sistem Aliran Ke Atas dalam menurunkan kadar
BOD, COD dan Coliform air limbah rumah sakit.
4. Kebutuhan oksigen melebihi kapasitas volume air limbah rumah sakit

SARAN
1. Agar dapat diketahui Biofilter Anaerob Aerob Media Bata Styrofoam Sistem
Aliran Ke Atas dalam mengolah air limbah rumah sakit dengan lebih baik,
maka perlu ada penelitian lanjutan dengan parameter yang lain seperti TSS,
Phospat dan nitrit.
2. Dalam penerapan dilapangan hendaknya kebutuhan oksigen dihitung dengan
tepat kemudian dikonfirmasikan dengan kapasitas pompa yang akan
digunakan untuk aerasi agar proses dekomposisi oleh bakteri lebih optimal.
216

3. Metode pengolahan ini dapat digunakan untuk air limbah rumah sakit dengan
parameter BOD, COD dan coliform.
4. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi oleh peneliti lain
yang akan melanjutkan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

1. Keputusan Mentri Lingkungan Hidup RI No. 58 tahun 1995 tentang Baku Mutu
Air Limbah Rumah Sakit. Jakarta.
2. Kristanto Ph., 2002., Ekologi Industri., Andi., Yogyakarta
3. Politeknik Kesehatan Manado, (2011). Buku Pedoman Penulisan Karya Tulis
Ilmiah. Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Manado
4. Said, Nusa Idaman, 2008., Teknologi Pengolahan Air Minum Teori dan
Pengalaman Praktis., Pusat Teknologi Lingkungan. Jakarta.
5. …….., 2010., Kesehatan Masyarakat dan Teknologi Peningkatan Kualitas Air.,
Pusat Teknologi Lingkungan. Jakarta.
6. Sunu., 2001., Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001., Gramedia
Widasarana Indonesia., Jakarta.
7. Timpua T.K., (2005)., Efektivitas Trickling Filter Up Flow dalam Pengolahan
Limbah Cair Rumah Sakit. Tesis., Universitas Sam Ratulangi. Manado.
8. Undang-Undang No 44 : 2009 tentang Rumah Sakit. Jakarta
217

UJI KERENTANAN NYAMUK Aedes aegypti VEKTOR DEMAM


BERDARAH DENGUE TERHADAP MALATHION DOSIS OPERASIONAL
DI KABUPATEN MINAHASA UTARA TAHUN 2015

Steven J. Soenjono1), Suwarja2), Agnes T. Watung3)


1,2,3)
Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Manado
Email : steven_soenjono@yahoo.com

ABSTRACT.
Aedes aegypti is the main vector of dengue, has proven resistant to many
insecticides when contacted for a long time. This situation has caused a lot of
problems in vector control programs in many countries. The purpose of this study
was to determine the susceptibility of Ae. aegypti to malathion dose of operations in
North Minahasa Regency. This study was an observational descriptive study to get
an overview of the status of susceptibility of Aedes aegypti to malathion operational
dose. The study population was all the population of Aedes aegypti mosquitoes in
the village and the village Kolongan Watutumow Kalawat District of North
Minahasa regency. Samples for testing susceptibility to malathion is Aedes aegypti.
All the samples were mosquitoes second generation (F2) obtained through
colonization in the Department of Environmental Health Laboratory of the
Polytechnic Manado from survey Ae. aegypti in Watutumow and Kolongan. The
results showed that Aedes aegypti mosquitoes in the village Watutumou and
Kolongan still vulnerable to operational doses of malathion. Percentage of mosquito
eggs obtained in the village Watutumow, in the house 83.1%, outdoors 19,1%. In the
Village Kolongan, in the house 77.8%, outdoors 22,2%.

Key word : Susceptibility test, Aedes aegypti, Malathion.

PENDAHULUAN
Sebanyak 1,8 miliar (lebih dari 70%) dari penduduk beresiko demam berdarah
di seluruh dunia tinggal di negara kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat, yang
menanggung hampir 75% dari beban penyakit global saat ini karena demam berdarah.
Rencana strategis ini Dengue untuk kedua wilayah bertujuan untuk membantu
negara-negara untuk membalikkan tren kenaikan dengue dengan meningkatkan
kesiapan mereka untuk mendeteksi, karakterisasi dan menghentikan penyebaran ke
daerah-daerah baru1.
Sejak tahun 1968-2008 Incidence Rate (IR) di Indonesia cenderung naik
sampai pada tahun 2007, sebesar 71,78 per 100.000 penduduk, sementara pada tahun
2008 mengalami penurunan, sehingga Incidence Rate (IR) adalah 60,02 per 100.000
penduduk. Case Fatality Rate (CFR) pada periode tahun yang sama cenderung
mengalami penurunan, tahun 2007 CFR sebesar 1,01% dan tahun 2008 CFR adalah
0,86 %2.
Penyakit DBD tersebar luas di berbagai daerah di Indonesia, utamanya di
daerah perkotaan dengan vektor utamanya nyamuk Aedes aegypti. Terdapat 16
propinsi yang dilaporkan sering mengalami KLB. Propinsi yang kabupatennya paling
banyak mengalami KLB DBD adalah Jawa Barat. Propinsi lainnya yang juga sering
mengalami KLB meliputi: Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Bengkulu, Lampung,
DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bali, NTB, Maluku dan Irian3.
Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa Utara sampai
bulan Desember 2014 terdapat 173 kasus demam berdarah dengue. Dari beberapa
kecamatan di Kabupaten Minahasa Utara didapat bahwa Kecamatan Kalawat
218

merupakan kecamatan dengan kasus tertinggi. Laporan kasus Puskesmas Kolongan


Kecamatan Kalawat Kabupaten Minahasa Utara sampai akhir tahun 2014 mencapai
38 kasus bahkan meningkat pada bulan Januari sampai awal Februari tahun 2015
mencapai 85 kasus. Kasus tertinggi yaitu pada Kel Watutumou sebanyak 15 kasus
dan kasus terendah adalah kel Kolongan 2 kasus. Kasus DBD yang semakin
meningkat terus sehingga daerah ini ditetapkan sebagai salah satu daerah KLB DBD
di Kabupaten Minahasa Utara4.
Virus dengue berpindah ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes betina
yang infektif. Umumnya nyamuk mendapatkan virus ketika menghisap darah orang
yang terinfeksi. Setelah inkubasi virus selama 8–10 hari, seekor nyamuk yang infektif
telah mampu menginfeksi manusia sehat lain lewat perilaku menghisap darah.
Nyamuk betina yang infektif bisa menularkan virus kepada keturunannya dengan
penularan secara transovarial (melalui pembuahan telur)5.
Mengingat obat dan vaksin pencegah penyakit DBD hingga dewasa ini belum
ada, maka upaya pemberantasan penyakit DBD dititikberatkan pada pemberantasan
nyamuk disamping kewaspadaan dini terhadap kasus DBD. Pengendalian vektor
DBD yang selama ini telah dilakukan adalah pengendalian nyamuk dewasa melalui
fogging menggunakan malathion telah direkomendasikan penggunaannya oleh WHO
sejak tahun 1970. Malathion tergolong ke dalam insektisida organofosfat yang sering
digunakan oleh program nasional untuk membunuh nyamuk vektor DBD dengan cara
disemprotkan dalam bentuk kabut (asap) dengan menggunakan mesin khusus
(swingfog).
Aedes aegypti yang merupakan vektor utama demam berdarah, telah dibuktikan
kebal terhadap berbagai insektisida jika dikontakkan dalam waktu yang lama. Situasi
ini menyebabkan banyak masalah dalam program pengendalian vektor di banyak
negara. Studi kerentanan Ae.aegypti terhadap insektisida di belahan barat menemukan
adanya beberapa kasus resistensi organofosfat di Puerto Rico dan di beberapa negara
di Amerika6. Aplikasi insektisida secara terus menerus terhadap serangga khususnya
Ae. aegypti dapat menghasilkan individu-individu yang toleran bahkan kebal terhadap
insektisida tersebut. Penelitian yang dilakukan di Makassar memperlihatkan
kecenderungan penurunan kerentanan Ae. aegypti terhadap malation di daerah yang
sering diaplikasikan dengan malathion7. Penggunaan jenis insektisida ini telah cukup
lama diaplikasikan di Kabupaten Minahasa Utara, sehingga dapat diperkirakan telah
terjadi peningkatan daya tahan Ae. aegypti terhadap malathion.
Insektisida apabila digunakan dalam skala luas, dalam jangka waktu cukup
lama dan frekuensi tinggi dapat menimbulkan terjadinya penurunan kerentanan pada
nyamuk sasaran8. Munculnya sifat serangga resisten dipicu dengan adanya pajanan
yang berlangsung lama. Hal ini terjadi karena nyamuk Ae. aegypti mampu
mengembangkan sistim kekebalan terhadap insektisida yang sering dipakai9.
Keberhasilan dalam pengendalian vektor DBD tergantung status kerentanan vektor
terhadap insektisida yang digunakan. Pemantauan secara berkala status kerentanan
vektor terhadap insektisida yang digunakan tersebut sangat penting. Data tersebut
sebagai dasar dan bahan pertimbangan evaluasi penggunaan insektisida selanjutnya
serta mengetahui terjadinya resistensi sedini mungkin10.
Pengendalian vektor secara kimiawi, khususnya pemberantasan vektor yang
menggunakan insektisida, yang digunakan untuk pemberantasan nyamuk dewasa
akan merangsang terjadinya seleksi pada populasi serangga yang menjadi sasaran.
Nyamuk yang rentan terhadap insektisida akan mati, sedangkan yang kebal akan tetap
hidup. Jumlah yang hidup ini lama kelamaan akan bertambah banyak, sehingga
terjadilah perkembangan kekebalan nyamuk terhadap insektisida yang bersangkutan.
Peristiwa kekebalan ini merupakan salah satu penghambat utama pemberantasan
vektor secara kimiawi dengan insektisida. Hambatan ini dirasakan sangat
mengganggu keberhasilan usaha yang dilakukan, sehingga perlu dilakukan suatu uji
untuk mengetahui ada tidaknya kekebalan (resistensi) vektor terhadap insektisida
tertentu yang digunakan untuk pengendalian11. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui status kerentanan nyamuk Aedes aegypti vektor demam berdarah dengue
219

terhadap malation dosis operasional dan persentase ovitrap positif di dalam dan luar
rumah di kabupaten minahasa utara tahun 2015.

BAHAN DAN CARA


Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional. Popuasi dalam
penelitian ini adalah semua nyamuk Aedes aegypti di Desa Watutumou dan Desa
Kolongan Kabupaten Minahasa Utara. Semua sampel merupakan generasi kedua (F2)
hasil kolonisasi di laboratorium Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes
Manado yang diperoleh dari survei telur nyamuk Ae. aegypti. jumlah rumah < 60.000
menggunakan 100 ovitrap6, Penentuan sampel dengan purposive sampling dengan
mempertimbangkan adanya kasus DBD, ditentukan berdasarkan jumlah kasus
tertinggi dan jumlah kasus terendah di Kecamatan Kalawat. Survei telur nyamuk Ae.
aegypti menggunakan ovitrap yang diletakkan pada rumah kasus dan sekitar rumah
kasus DBD (dalam dan luar rumah), yang diambil setiap 3 hari selama dua minggu.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah formulir
pengamatan, ovitrap, swing fog, termometer, hygrometer, anemometer, kandang
nyamuk, aspirator dan mikroskop. Pengujian malathion dosis operasional dengan
fogging. Sebanyak 25 ekor nyamuk Aedes aegypti yang sehat dan kenyang darah dari
laboratorium dimasukkan ke dalam kurungan berukuran 12x12x12 cm. Kurungan
tersebut sebanyak delapan buah, dua diletakkan di dalam rumah dan dua buah
diletakan di luar rumah dengan cara digantung pada ketinggian 1,60 m dari atas
tanah/lantai. Kurungan diletakkan juga pada rumah kontrol (dua di dalam rumah, dua
di luar rumah) di lokasi yang berbeda (jauh dari efek fogging). Selanjutnya dilakukan
penyemprotan/fogging dengan malathion 20 EC (1:19 liter) di dalam dan sekitar
rumah. Lama pemaparan selama 1 jam. Setelah fogging diamkan kurungan yang
berisi nyamuk uji selama 1 jam setelah pengasapan. Kemudian diamati dan dihitung
jumlah nyamuk uji yang mati. Sedangkan nyamuk yang masih hidup dipindahkan ke
dalam cangkir kertas/kurungan nyamuk dan dipelihara selama 24 jam dengan diberi
makan air gula. Setelah 24 jam diamati dan dihitung kembali jumlah nyamuk uji yang
mati. Uji dilakukan dua kali dalam waktu berbeda.
Analisa mengenai kerentanan nyamuk terhadap malathion dilakukan dengan
menghitung jumlah nyamuk yang mati pada 24 jam sesudah pemaparan. Kematian
nyamuk >98% nyamuk masih rentan. Kematian 80%-98% kondisinya toleran,
kematian <80% nyamuk dinyatakan resisten.

HASIL
1. Telur Nyamuk Aedes aegypti yang tertangkap
Survei telur nyamuk Aedes aegypti dilaksanakan di dua kelurahan yaitu
kelurahan Watutumow dan kelurahan kolongan, yang dilaksanakan selama dua
minggu dengan meletakkan ovitrap pada rumah kasus dan rumah di sekitar rumah
kasus tersebut. Setiap tiga hari ovitrap diperiksa apakah terdapat telur nyamuk atau
tidak. Ovitrap yang sudah terdapat telur nyamuk kemudian diangkat, sementara
ovitrap yang belum terdapat telur nyamuk dibiarkan tetap terpasang sampai dua
minggu kemudian. Untuk lebih jelasnya hasil survei telur nyamuk Aedes aegypti
dengan menggunakan ovitrap dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 1. Hasil survei telur nyamuk Aedes aegypti menggunakan Ovitrap di


Kelurahan Watutumow dan Kolongan Kecamatan Kalawat
Kabupaten Minahasa Utara Tahun 2015.
Kelurahan Jumlah Rumah Jumlah Rumah
Diletakkan Ovitrap Positif
Watutumow 150 65 (43%)
Kolongan 20 9 (45%)
Total 170 74 (43,5%)
220

Hasil survei telur nyamuk seperti yang ditampilkan pada tabel 1 di atas
menunjukkan bahwa rumah yang positif telur nyamuk tidak sampai 50% dari
keseluruhan rumah yang diletakkan ovitrap, baik pada kelurahan Watutumow
maupun kelurahan Kolongan.
Berdasarkan lokasi peletakkan ovitrap, yaitu di dalam rumah (DL) dan di
luar rumah (LR) didapat yang didapati positif nyamuk Aedes aegypti dapat
dilihat pada tabel 2 di bawah ini :

Tabel 2. Hasil survei telur nyamuk Aedes aegypti menggunakan Ovitrap


Berdasarkan lokasi peletakkan (Dalam Rumah dan Luar Rumah)
di Kelurahan Watutumow dan Kolongan Kecamatan Kalawat
Kabupaten Minahasa Utara Tahun 2015.
Kelurahan Jumlah Rumah Ovitrap Positif (DR) Ovitrap Positif (LR)
Positif
Watutumow 65 54 (83,1%) 11 (16,9%)
Kolongan 9 7 (77,8%) 2 (22,2%)
Total 74 61 (82,4 %) 13 (27,6%)
Keterangan : DL = Dalam Rumah
LR = Luar Rumah

Tabel 2 menunjukkan bahwa ovitrap yang positif telur nyamuk yang diletakkan
di dalam rumah jauh lebih banyak (lebih dari 50%) dibandingkan dengan ovitrap
yang positif yang diletakkan di luar rumah.

2. Uji Kerentanan
Uji kerentanan dilakukan pada sampel nyamuk dewasa yang berasal dari dua
kelurahan yaitu kelurahan Watutumow dan kelurahan Kolongan. Penyemprotan di
lakukan pada jam 09.00 pagi di kompleks Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes
Kemenkes Manado. Empat kandang nyamuk diletakkan dua di luar dan dua di
dalam rumah di lokasi fogging tersebut. Sementara dua kandang lain diletakkan satu
di luar dan satu di dalam sebagai kontrol diletakkan di luar lokasi tersebut. Tiap
kandang berisi 25 ekor nyamuk Aedes aegypti. Penghitungan jumlah kematian
nyamuk duapuluh empat jam setelah fogging mendapatkan hasil seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Uji Kerentanan Ae. aegypti Stadium Dewasa Dari Kelurahan
Watutumow Dan Kelurahan Kolongan Terhadap Malation Dosis
Operasional Tahun 2015.
Rumah JumlahPengamatan Keterangan Suh Kelemba Kecepatan
Serangga
pingsan/mat Mortalitas u -ban Angin
o
i (%) ( C) (%) (m/det)
24 jam*
DR LR DR LR
Rumah DR=25 25 100 29 70
1 LR=25 25 100 31 65 2,6
Rumah DR=25 25 100 28 70
2 LR=25 25 100 31 65 2,8
Kontrol DR=25 0 0 28 75
LR=25 0 0 31 65 2,3
Keterangan : DR = Dalam Rumah
LR = Luar Rumah
* = Setelah Pengujian
Setelah pemaparan selama 1 jam pertama ditemukan bahwa 100% nyamuk uji
mengalami knock down/kondisi tidak bergerak dan hal tersebut berlanjut sampai pada
221

pengamatan pada 24 jam kemudian. Sehingga dapat disimpulkan bahwa nyamuk uji,
baik yang berasal dari Kelurahan Watutumow maupun Kelurahan Kolongan
mengalami kematian 100% pada pengamatan 24 jam.

BAHASAN
Meski angka kasus Kelurahan Watutumow jauh di atas angka kejadian kasus
di Kelurahan Kolongan, namun persentase rumah ditemukan larva/jentik pada dua
kelurahan tersebut tidak jauh berbeda, yakni 43% pada Kelurahan Watutumow dan
45% pada Kelurahan Kolongan. Ini menunjukkan keberadaan vektor Demam
Berdarah Dengue (DBD) di kedua wilayah tersebut relatif cukup tinggi. Mengingat
letak kedua kelurahan tidak begitu jauh, kemungkinan jangkauan transmisi DBD dari
kelurahan Watutumow dapat meluas hingga ke Kelurahan Kolongan (kasus terendah
di kecamatan Kalawat) bahkan tidak menutup kemungkinan meluas pada kelurahan-
kelurahan yang lain, sehingga bila tidak dilakukan antisipasi terhadap keberadaan
vektor maupun penemuan kasus DBD sedini mungkin, bisa terjadi peningkatan kasus
penyakit DBD.
Hasil penelitian kerentanan nyamuk Aedes aegypti stadium dewasa terhadap
malathion dosis operasional terlihat bahwa persentase kematian nyamuk adalah 100%
di semua kelompok uji. Sedangkan pada kelompok kontrol tidak terdapat nyamuk uji
yang mati. Hal ini menunjukkan bahwa nyamuk Aedes aegypti masih rentan terhadap
malathion 5% (1:19) yang digunakan pada fogging di kedua kelurahan tersebut,
meskipun malathion yang digunakan di dua kelurahan tersebut sudah lebih dari 20
tahun. Hasil uji ini sesuai dengan standar WHO bahwa populasi dikatakan masih
rentan bila tingkat kematian mencapai 98%-100%, toleran bila kematian berkisar
antara 80%-98%, dan resisten bila kematian berada di bawah kisaran 80%. Hasil
penelitian yang sama di Bandung, Surabaya, Palembang dan Palu, menunjukkan
bahwa efektifitas fogging dengan menggunakan malathion terhadap nyamuk Aedes
aegypti masih tetap efektif meski sudah digunakan lebih dari 32 tahun12. Penelitian
ini juga sejalan dengan yang dilakukan di wilayah Jakarta Utara pada tahun 2004
yang membandingkan beberapa jenis insektisida temasuk malathion dengan
persentase kematian 100% terjadi akibat malathion13.
Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa nyamuk Aedes aegypti di
kelurahan Watutumow dan kelurahan Kolongan masih rentan terhadap malathion
meskipun sudah digunakan dalam waktu yang lama, hal ini terjadi karena secara tidak
sengaja telah terjadi “rotasi” penggunaan insektisida atau dalam hal ini penggunaan
malathion (kelompok organofosfat) kadang-kadang diganti dengan insektisida jenis
lain seperti permetrin, sipermetrin (kelompok piretroid dan karbamat), dalam
wawancara langsung dengan masyarakat yang rumahya diletakkan ovitrap bahwa
mereka juga sering menggunakan insektisida rumah tangga dalam pengendalian
nyamuk Aedes aegypti. Faktor lain yang berhubungan dengan status kerentanan
nyamuk Aedes aegypti di dua kelurahan tersebut adalah faktor program dari Dinas
Kesehatan dalam hal ini adalah puskesmas Kolongan. Kegiatan fogging yang
dilaksanakan hanya pada saat terjadi kasus, memungkinkan nyamuk Aedes aegypti di
dua kelurahan tersebut terpapar dengan malathion dalam jangka waktu yang cukup
lama. Insektisida apabila digunakan dalam skala luas, dalam jangka waktu cukup
lama dan frekuensi tinggi dapat menimbulkan terjadinya penurunan kerentanan pada
nyamuk sasaran8.
Kondisi ini dibuktikan pada penelitian yang dilakukan di daerah buffer Bandar
Udara Sam Ratulangi Manado, vektor demam berdarah dengue sudah resisten
terhadap insektisida malathion dosis operasional14, kondisi nyamuk ini disebabkan
karena program Kantor Kesehatan Pelabuhan yang melakukan fogging vektor demam
berdarah dengue (Aedes aegypti) secara rutin, ada atau tidak ada kasus. Meskipun
kedua lokasi penelitian ini sudah lama menggunakan malathion dalam pengendalian
vektor demam berdarah tapi berbeda dalam frekuensi kegiatan, sehingga
menyebabkan perbedaan status kerentanan nyamuk vektor demam berdarah di daerah
buffer Bandara dan lokasi penelitian.
222

Hasil penelitian ini juga mendapatkan informasi bahwa persentase ovitrap


positif yang diletakkan di dalam rumah dan di luar rumah mendapatkan persentase >
75% ovitrap yang didapati positif telur nyamuk adalah yang dipasang di dalam
rumah, hal ini menunjukkan bahwa populasi yang lebih banyak diperoleh pada
penelitian ini adalah Ae. aegypti yang memiliki aktivitas di dalam rumah sementara
Ae.albopictus lebih banyak beraktivitas di luar rumah15. Di samping itu perbedaan
jumlah positif telur nyamuk yang cukup jauh antara yang dipasang di dalam rumah
dan luar rumah dimungkinkan karena pada saat penelitian (pengumpulan sampel)
pada musim panas yang panjang, sehinga nyamuk lebih banyak masuk ke dalam
rumah untuk mencari tempat-tempat penampungan air yang disediakan masyarakat di
dalam rumah, sementara di luar rumah karena musim panas yang panjang praktis
tempat-tempat atau kontainer di luar rumah menjadi kering yang memungkinkan
nyamuk Aedes tidak dapat bertelur dan berkembang biak16. Hal ini juga
mempengaruhi jumlah penangkapan telur yang didapat selama penelitian
berlangsung, sehingga telur nyamuk yang dikolonisasi yang laboratorium yang
awalnya akan menggunakan generasi pertama (F1) tapi harus menunggu generasi
nyamuk berikutnya untuk mendapatkan nyamuk yang cukup untuk melakukan uji
(F2).
Informasi ini memberikan peringatan bagi masyarakat bahwa setiap tempat-
tempat penampungan air yang ada di dalam rumah wajib dilengkapi dengan penutup
untuk menghindari nyamuk vektor demam berdarah dengue meletakkan telurnya, apa
lagi pada saat musim panas yang panjang.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian yang sudah dilakukan dapat ditarik kesimpulan
adalah sebagai berikut :
1. Nyamuk Aedes aegypti masih rentan terhadap malation dosis operasional di
Kabupaten Minahasa Utara tahun 2015
2. Telur nyamuk yang didapatkan di desa Watutumow, dalam rumah sebesar
83,1%, di luar rumah 16,9% dan di desa Kolongan, dalam rumah 77,8%, luar
rumah 22,2%.

SARAN
1. Walaupun belum terdeteksi sifat resistensi Aedes aegypti terhadap malathion
tapi kegiatan deteksi resistensi perlu dilakukan secara berkala agar antisipasi
adanya resistensi dapat segera diketahui.
2. Tetap meningkatkan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN)
dilingkungan rumah masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA
1. World Helath Organitation (WHO). 2009. Dengue Duidelines For Diagnosis,
Treament, Prevention and Control. New Edition. Geneva. Swiss.
2. Kusriastuti, R. 2009. National Policy for DF/DHF Control. Direktorat
Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Direktorat jenderal PP & PL
Departemen Kesehatan RI. Seminar Sehari Pilihan-Pilihan untuk Pemberantasan
DBD FK UGM Jogjakarta.
3. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2006. Laporan Kajian Kebijakan
Penanggulangan (Wabah) Penyakit Menular (Studi Kasus DBD). Direktorat
Kesehatan dan Gizi Masyarakat. Jakarta.
4. Puskesmas Kolongan. 2014. Data Penyakit Demam Berdarah Dengue.
5. Depkes RI. 1999. Petunjuk Teknis Pemberantasan Nyamuk Penular Penyakit
Demam Berdarah Dengue. Direkrorat Jenderal P2M & PLP. Jakarta.
6. Lima, J.B.P., Da-Cunha, M.P., Da Silva Júnior, R.C., Galardo, A.K.R., Da Silva,
S.S., Braga, I.A., Ramos, R.P., & Valle, D. 2003. Resistance of Ae.aegypti to
223

organophosphates in several Municipalities in the State of Rio de Janeiro and


Espírito Santo, Brazil. The American Society of Trop. Med. Hyg. 68(3):329-333.
7. Ishak, H., Mappau, Z., Wahid, I. 2005. Uji Kerentanan Aedes aegypti Terhadap
Malation dan Efektivitas Tiga Jenis Insektisida Propoksur Komersial di Kota
Makasar. J Med Nus.
8. Widiarti. 2000. Status Kerentanan Anopheles aconitus Terhadap Insektisida
Organophosfat (Fenitrothion) dan Karbamat (Bendiocarb) Di Kabupaten Jepara
Dengan Uji Biokemis. Tesis. Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta.
9. Nusa, R., Ipa, M., Delia, T., Marlia, S. 2008. Penentuan Status Resistensi
Ae.aegypti dari Endemis DBD Di Kota Depok Terhadap Malation. Buletin
Penelitian Kesehatan. Loka Litbang P2B2 Ciamis.
10. Widiarti., Boewono, D.T., Widyastuti, U., Mujiono. 2005. Uji Biokimia
Kerentanan Vektor Malaria Terhadap Insektisida Organofosfat dan Karbamat di
Propinsi Jawa Tengah dan Istimewa Yogyakarta. Buletin Penelitian Kesehatan.
Balitbangkes.
11. Depkes RI. 1994. Petunjuk Melakukan Macam-Macam Uji Entomologi Yang
Diperlukan Untuk Menunjang Operasional Program Pemberantasan Penyakit
Ditularkan Serangga. Cetakan Kedua. Dit.Jen. PPM & PL
12. Ahmad, I., Astari, S., Rahayu, R., Hariani, N. 2008. Status Kerentanan Ae.
aegypti (Diptera:Culicidae) pada Tahun 2006-2007 terhadap Malation di
Bandung, Jakarta, Surabaya, Palembang dan Palu. Sekolah Ilmu dan Teknologi
Hayati Institut Teknologi Bandung. Biosfera 26 (2):82-89.
13. Hadi Suwasono dan Mardjan Soekirno. Uji Coba Beberapa Insektisida Golongan
Pyrethroid Sintetik Terhadap Vektor Demam Berdarah Dengue Aedes aegypti Di
Wilayah Jakarta Utara. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 3 No 1, April 2004.
14. Soenjono, Steven. 2011. Status Kerentanan Nyamuk Aedes sp (Diptera :
Culicidae) Terhadap Malathion Dan Aktivitas Enzim Esterase Non Spesifik Di
Wilayah Kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan Bandar Udara Sam Ratulangi
Manado. Jurnal Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Manado. Vol.1 No.
1 Oktober 2011.
15. Hasyimi, M. 1993. Aedes aegypti Sebagai Vektor Demam Berdarah Dengue
Berdasarkan Pengamatan Di Alam. Media Litbangkes Vol. III No. 02/1993.
Jakarta.
16. Nugroho Farid Setya. 2009. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Keberadaan Jentik Aedes aegypti Di RW IV Desa Ketitang Kecamatan Nogosari
Kabupaten Boyolali. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
224

RANCANGAN TEMPAT DUDUK YANG ERGONOMIS


BAGI PENUMPANG BANTOR DI KOTAMOBAGU

Bongakaraeng dan Semuel layuk


Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Manado
Email: bongakaraeng68@gmail.com

LATAR BELAKANG
Perkembangan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik dan lebih maju
tidak terlepas dari perkembangan dan kemajuan sarana dan prasarana yang ikut
menopang mobilitas masyarakat. Peningkatan kebutuhan masyarakat menuntut
masyarkat untuk melakukan pergerakan yang semakin meningkat dalam durasi waktu
yang tetap. Keadaan ini membutuhkan sarana transportasi untuk membantu
masyarakat melakukan pergerakan/ mobolitas yang tinggi sehingga diperlukan sarana
tranportasi yang praktis dan nyaman untuk memenuhi tuntutan kebutuhan tersebut.
Industri sarana transportasi semakin hari semakin meningkat pesat baik dalam bentuk
roda empat maupun roda dua. Penggunaan sarana transportasi tradisional seperti
becak dan bendi dengan kapasitas angkutan yang lebih besar dibanding dengan roda
dua (motor) masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat, namun kalah dalam
persaingan karena pergerakannya yang lamban karena menggunakan tenaga manusia
ataupun tenaga kuda. Kondisi ini membuat masyarkat melakukan modifikasi motor
yang beroda dua menjadi motor dengan roda tiga yang dilengkapi dengan tambahan
tempat duduk untuk menambah muatan baik penumpang maupun bentuk barang yang
kemudian oleh masyarakat umum dikenal dengan nama bentor. Bentor adalah
singkatan dari becak bermesin motor yang merupakan kendaraan roda tiga hasil
perpaduan motor beroda dua dengan becak beroda tiga. Kendaraan ini adalah
kendaraan dengan ruang muatan seperti becak yang dirakit dengan menambahkan
kendaraan bermotor jenis sepeda motor di bagian belakangnya. Sistem perakitan dan
kondisi laik jalan kendaraan ini berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, tidak sesuai peruntukannya. Namun demikian, karena
masyarakat merasakan keuntungan akan model transportasi ini maka jumlah
kendaraan ini dari hari ke hari makin bertambah.
Alat transportasi bentor merupakan salah satu solusi bagi masyarakat baik
sebagai pengguna jasa maupun sebagai pemilik. Bagi pengguna kendaraan ini sangat
praktis terutama untuk memuat barang-barang melalui jalur sempit menuju rumah
tempat tinggal mereka. Bagi pemilik, merupakan alat transportasi yang lebih
gampang dan muda untuk dioperasikan dibandingkan dengan becak tradisional.
Selain menggunakan daya dorong mesin, jangkauannya juga lebih luas dengan waktu
tempu lebih cepat. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perkembangan bentor yang
sangat pesat karena merupakan alternatif yang lebih praktis dipilih oleh masyarakat
sebagai jenis pekerjaan yang menguntungkan. Pengemudi bentor berasal dari
pengemudi becak tradisional dan juga dari masyarakat lain yang sebelumnya kerja
serabutan ataupun tukang ojek.
Ditinjau dari aspek keselamatan bentor rawan terhadap kecelakaan. Sangat
berbahaya karena penumpang yang duduk dalam kabin sama sekali tidak terlindung
bila terjadi kecelakaan, penumpang akan terlempar keluar. Selain itu bentor tidak
dilengkapi dengan rem pada roda depan sehingga perlambatannya pada saat
mengerem sangat tidak memadai apalagi pada kecepatan tinggi.
Perancangan bentor di wilayah Kotamobagu dilakukan oleh beberapa bengkel yang
membuat rancangan berdasarkan pengalaman ataupun berdasarkan pesanan dari
225

pemilik bentor. Rancangan bentor tersebut tidak didasarkan pertimbangan ergonomi


baik bagi penumpang maupun bagi pengemudinya.
Untuk memperoleh kenyamanan dan keamanan bagi penumpang maupun
pengemudi bentor, maka diperlukan rancangan bentor dengan pertimbangan
ergonomi baik bagi pengemudi maupun bagi penumpang yang disesuaikan dengan
spesifikasi kendaraan roda dua yang digunakan. Penelitian ini dibatasi pada
rancangan temat duduk penumpang bentor yang ergonomis.
Ergonomi sediri adalah studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan
kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen
dan rancangan/perancangan (Nurmianto, 2003).
Iftikar Z. Sutalaksana, dkk, mengatakan bahwa:
ergonomi merupakan cabang ilmu yang sistematis untuk memanfaatkan
informasi–informasi mengenai sifat, kemampuan, keterbatasan manusia
dalam merancang suatusistem kerja sehingga orang dapat hidup dan bekerja
pada sistem itu dengan baik,yaitu mencapai tujuan yang diinginkan melalui
pekerjaan itu dengan efektif, amandan nyaman.
Meskipun istilah ergonomi di berbagai negara berbeda-beda tapi mempunyai
misi tujuan yang sama, yaitu: 1) Penyesuaian antara peralatan/sasiun kerja dengan
kondisi tenaga kerja atau orang yang menggunakannya. Kondisi tenaga kerja ini
bukan saja aspek fisiknya saja ( ukuran anggota tubuh : tangan, kaki, dan tinggi badan
) tapi juga kemampuan intelektual atau kemampuan berpikirnya. Cara meletakkan
dan penggunaan mesin otomatis dan komputerisasi di suatu pabrik misalnya, harus
disesuaikan dengan tenaga kerja yang akan mengoperasikan mesin tersebut baik dari
segi tinggi atau ukuran badan maupun dari segi keterampilan dan kemampuannya.
Dalam hal ini yang ingin dicapai oleh ergonomi adalah mencegah kelelahan kerja
yang menggunakan alat-alat tersebut; 2) Apabila peralatan kerja dan mausia atau
tenaga kerja tersebut sudah cocok, maka kelelahan dapat dicegah dan hasilnya lebih
efisien. Hasil suatu proses kerja yang efisien berarti memperoleh produktivitas kerja
yang tinggi (Notoatmodjo. 2003). Peran ergonomi adalah untuk memaksimalkan
keamanan, kenyamanan, dan efisiensi kerja (Setyawati 2000). Ergonomi berperan
dimana dan kapan saja ketika manusia melaksanakan suatu aktivitas atau pekerjaan
yang melibatkan peralatan kerja dan berada pasa suatu lingkungan kerja dengan
segala faktor yang ada didalamnya. Faktor ergonomi memiliki peran dalam program
kesehatan kerja (Notoatmodjo, 2003), antara lain: 1). Sikap tubuh dalam melakukan
pekerjaan sangat dipengaruhi oleh bentuk, susunan, ukuran dan penempatan mesin-
mesin, penempatan alat-alat petunjuk, cara-cara harus melayani mesin ( macam
gerak, arah, kekuatan, dan sebagainya); 2). Untuk normalisasi ukuran mesin atau
peralatan kerja harus diambil ukuran terbesar sebagai dasar, serta diatur dengan suatu
cara, sehingga ukuran tersebut dapat dikecilkan dan dapat dilayani oleh tenaga kerja
yang lebih kecil, misalnya : tempat duduk yang dapat dinaik turunkan, dan dimajukan
atau diundurkan; 3). Ukuran-ukuran anthropometri yang dapat dijadikan dasar untuk
penempatan alat kerja adalah: berdiri : tinggi badan, tinggi bahu, tinggi siku,
tinggi pinggul depan dan panjang tangan; duduk : tinggi duduk, panjang lengan atas,
panjang lengan bawah dan tangan jarak lekuk lutut.
Dari segi otot, sikap duduk yang paling baik adalah sedikit membungkuk,
sedangkan dari sudut tulang, dianjurkan duduk tegak, agar punggung tidak bungkuk
dan otot perut tidak lemas. Tempat duduk yang baik adalah: Tinggi dataran duduk
dapat diatur dengan papan kaki yang sesuai dengan tinggi lutut, sedangkan paha
dalam keadaan datar. Lebar papan duduk tidak kurang dari 35 cm. Papan tolak
punggung tingginya dapat diatur dan menekan pada punggung.
226

Menurut Sutajaya dalam Risyanto (2010), posisi duduk yang tidak alamiah atau
tidak ergonomis akan menimbulkan kontraksi otot secara isometris (melawan
tahanan) pada otot-otot utama yang terlibat dalam pekerjaan. Yudiantyo dkk, (2013)
yang melakukan penelitian tentang rancangan bentor dengan menggunakan Honda
Supra 125 di Kota Cirebon menunjukkan bahwa rancangan bentor yang ada belum
memenuhi kaidah-kaidah ergonomi. Demikian halnya dengan posisi duduk,
kenyamanan dan keselamatan penumpang untuk semua jenis alat transportasi
merupakan salah satu faktor yang harus menjadi perhatian dalam menrancangan
tempat duduk bagi penumpang. Rancangan yang indah dengan model yang menarik
tetapi tidak ergonomis justru dpat merugikan penumpang alat transportasi tersebut.
Surya dkk, (2013) yang melakukan penelitian tentang rancangan tempat duduk
penumpang pada Speed Board Rute Tembilahan - Kuala Enok di Riau menyimpulkan
bahwa keluhan-keluhan subjektif penumpang seperti badan terasa pegal, kram,
kesemutan, sakit pada leher, low back pain, sakit di persendian dan keluhan lainnya
disebabkan oleh tempat duduk penumpang dirancang belum mempertimbangkan
aspek ergonomi. Penelitian yang dilakukan oleh Bongakaraeng, dkk, (2011) pada
pekerja pengrajin gerabah di Desa Pulutan Kabupaten Minahasa menunjukkan bahwa
penggunaan kursi kerja ergonomis menurunkan kelelahan kerja dan meningkatkan
produktivitas kerja. Rancangan bentor di wilayah Sulawesi seperti di Makassar,
Gorontalo dan Manado khususnya di Kotamobagu pada prinsipnya seragam yaitu
pengemudi berada dibelakang penumpang. Posisi duduk penumpang yang tidak
ergonomis dapat menyebabkan pengerahan otot rangka tertentu ketika berkendara
terutama ketika berbelok ataupun pada saat melalui jalan yang berlubang sehingga
dapat menyebabkan gangguan otot tersebut. Selain itu posisi duduk yang tidak
nyaman pada kondisi yang bergerak dapat menyebabkan terjadinya dislokasi terutama
pada persendian tulang belakang. Selain beresiko lebih besar pada terjadinya
kecelakaan, dan gangguan kesehatan pada otot dan tulang, penumpang juga memiliki
paparan resiko lingkungan seperti debu jalanan, cemaran karbon dan timbal (Pb) dari
kendaraan lain. Secara antropometri, dimensi tubuh manusia dibagi menjadi
kelompok statistika dan ukuran persentil. Jika seratus orang berdiri berjajar dari yang
terkecil sampai terbesar dalam suatu urutan, hal ini akan dapat diklasifikasikan dari 1
persentil sampai 100 persentil. Data dimensi manusia ini sangat berguna dalam
perancangan produk dengan tujuan mencari keserasian produk dengan manusia yang
memakainya. Pemakaian data antropometri mengusahakan semua alat disesuaikan
dengan kemampuan manusia, bukan manusia disesuaikan dengan alat. Rancangan
yang mempunyai kompatibilitas tinggi dengan manusia yang memakainya sangat
penting untuk mengurangi timbulnya bahaya akibat terjadinya kesalahan kerja akibat
adanya kesalahan rancangan (design-induced error) (Wardaningsih. 2010).
Widayana dan Wiratmaja (2014), Anthropometri adalah pengetahuan yang
menyangkut pengukuran dimensi tubuh manusia dan karakteristik khusus lain dari
tubuh yang relevan dengan perancangan alat-alat/benda-benda yang digunakan
manusia.
Data antropometri untuk setiap negara ataupun suku bangsa berbeda beda.
Data antropometri untuk orang Eropa dan Amerika berbeda dengan data antropometri
Amerika Latin, atau orang Asia, meskipun saat ini terjadi pergeseran data
antropometri untuk orang-orang asia tertentu seperti Jepang dan China. Untuk data
antropometri masyarakat Indonesia disajikan dalam tabel berikut. Semua dimensi
dalam satuan mm, dimana: Gx = nilai rata-rata (mean), T = nilai standar deviasi (SD),
5% = nilai 5 persentil.
227

Tabel 1. Antropometri Masyarakat Indonesia

Dimensi Tubuh Pria Wanita

5% X 95% S.D 5% X 95% S.D


1. Tinggi tubuh posisi berdiri 1.532 1.632 1.732 61 1.464 1.563 1.662 60
tegak 1.425 1.520 1.615 58 1.350 1.446 1.542 58
2. Tinggi mata 1.247 1.338 1.429 55 1.184 1.272 1.361 54
3. Tinggi bahu 932 1.003 1.074 43 886 957 1.028 43
4. Tinggi siku 655 718 782 39 646 708 771 38
5. Tinggi genggaman tangan
pada posisi relaks kebawah 809 864 919 33 775 834 893 36
6. Tinggi badan pada posisi 694 749 804 33 666 721 776 33
duduk 532 572 621 30 501 550 559 30
7. Tinggi mata pada posisi 181 231 282 31 175 229 283 33
duduk 117 140 163 14 115 140 165 15
8. Tinggi bahu pada posisi 500 545 590 27 488 537 586 30
duduk 405 450 495 27 488 537 586 30
9. Tinggi siku pada posisi 448 496 544 29 428 472 516 27
duduk 361 403 445 26 337 382 428 28
10. Tebal paha 382 424 466 26 342 385 428 26
11. Jarak dari pantat kelutut 291 331 371 24 298 345 392 29
12. Jarak dari lipat lutut 174 212 250 23 178 228 278 30
kepantat 174 228 282 33 175 231 287 34
13. Tinggi lutut 405 439 473 21 374 409 287 34
14. Tinggi lipat lutut 140 150 160 6 135 146 157 7
15. Lebar bahu 161 176 191 9 153 168 183 9
16. Lebar pinggul 71 79 87 5 64 71 78 4
17. Tebal dada 1.520 1.663 1.806 87 1.400 1.532 1.646 75
18. Tebal perut
19. Jarak dari siku ke ujung jari 1.795 1.923 2.051 78 1.713 1.841 1.969 79
20. Lebar kepala
21. Panjang tangan
22. Lebar tangan 1.065 1.169 1.273 63 948 1.030 1.115 52
23. Jarak bentang dari ujung
jari tangan kanan ke kiri 649 708 767 37 610 661 712 31
24. Tinggi pegangan tangan
pada posisi tangan vertikal
ke atas & berdiri tegak
25. Tinggi pegangan tangan
pada posisi tangan vertikal
ke atas & duduk
26. Jarak genggaman tangan ke
punggung pada posisi
tangan ke depan

Sumber : Pheasant, 1989, Suma’mur, 1989 dan Nurmianto, 1991. dalam Nurmianto
(2003).

Kerangka Teori
Ergonomi memiliki peran penting dalam meningkatkan kenyamanan,
keselamatan dan kesehatan kerja. Penumpang bentor akan merasa tidak nyaman dan
terancam keselamatannya pada saat menggunakan bentor yang tidak memberikan
kenyamanan dan rasa aman atau tidak ergonomis. Oleh karena itu rancangan bentor
dengan pertimbangan ergonomi adalah suatu cara yang dapat dilakukan untuk
memberi kenyamanan bagi penumpang bentor.
228

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah dalam


penelitian ini adalah bagaimana rancangan tempat duduk bentor yang ergonomis bagi
penumpang.
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui rancangan bentor
yang ergonomis bagi penumpang. Secara khusus bertujuan untuk: mengetahui lebar
lantai pijakan kaki yang ergonomis bagi penumpang bentor; untuk mengetahui
rancangan tempat duduk yang ergonomis bagi penumpang bentor; untuk mengetahui
rancangan sandaran kursi yang ergonomis bagi penumpang bentor; untuk mengetahui
rancangan sandaran tangan yang ergonomis bagi penumpang bentor. Penelitian ini
diharapkan dapat menghasilkan rancangan tempat duduk bentor yang ergonomis bagi
penumpang bentor. Dengan adanya rancangan yang ergonomis maka rancangan
tersebut dapat menjadi acuan bagi pemerintah untuk membuat peraturan tentang
rancangan karoseri bentor yang ergonomis dalam rangka mendapatkan kenyamanan
bagi penumpang bentor.

BAHAN DAN CARA

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan pendekatan


cross sectional. Penelitian dilakukan langsung di lapangan dengan melakukan
pengamatan, pengukuran, serta wawancara terhadap pengemudi bentor yang terpilih
sebagai sampel penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh bentor di
Kotamobagu. Sampel penelitian adalah bentor yang ada di kota Kotamobagu yang
diambil dengan cara Purposif Cluster Random Sampling dimana wilayah
pengabmilan sampel ditentukan dari tiga wilayah operasi di Kota Kotamobagu yaitu
di Kompleks Pertokoan Paris, Kompleks RSUD Datoe Binangkang dan Kompleks
Pasar Gogagoman, kemudian dipilih secara acak 30 unit bentor dari tiap wilayah
tersebut, sehingga terpilih sampel penelitian berjumlah 90 bentor. Dari bentor yan
terpilih secara acak tersebut kemudian dilakukan pengukuran dimensi-dimensi yang
berpengaruh terhadap kenyamanan penumpang sesuai dengan variabel penelitian.

ANALISA DATA

Data hasil pengukuran dimensi pada bentor dianalisis secara deskriptif


dengan persentil 95, kemudian dibandingkan dengan data antropometri orang
Indonesia. Setelah diperoleh ukuran yang sesuai maka dilakukan perubahan ukuran
dimensi dengan mempertimbangkan kelonggaran ruang gerak (dynamic clearance)
pada dimensi tertentu untuk memperoleh rancangan tempat duduk bentor yang
ergonomis.

HASIL DAN PEMBAHASAN


HASIL
Rancangan suatu alat dan atau stasiun kerja harus selalu didasarkan pada dimensi
Tubuh Manusia sehingga manusia sebagai pengguna dapat menggunakan alat atau
stasiun kerja tersebut secara nyaman dan ergonomis. Dimensi tubuh orang Indonesia
yang menjadi dasar perancangan tempat duduk bentor yang ergonomis bagi
penumpangnya adalah sebagai berikut:
229

Tabel 2: Penggunaan Dimensi Tubuh Orang Indonesia dalam dimensi Ukuran Bentor

NO DIMENSI BENTOR DIMENSI TUBUH

1 Lebar lantai Simetris dengan Lebar Panggul


2 Kedalaman lantai Panjang telapak Kaki
3 Tinggi tempat duduk dari lantai tinggi lipatan lutut dari tumit
4 Lebar tempat duduk lebar panggul
5 Kedalaman tempat duduk jarak lipatan lutut ke pantat
6 Lebar sandaran punggung lebar bahu
7 Tinggi sandaran punggung tinggi punggung posisi duduk
8 Tinggi Sandaran Tangan tinggi siku

Tabel 3: Perbedaan Ukuran Bentor dengan Dimensi Tubuh Orang Indonesia


STDAR ORANG
BENTOR GAIN UKURAN
NO DIMENSI INDONESIA
SCORE DESAIN
95% 95%
1 Lebar lantai 90 37,1 (x2) 74,2 15,8 79,2
2 Kedalaman lantai 47,45 26,6 20,85 31,6
Tinggi tempat duduk dari
3 60,2 49 11,2 54,5
lantai
4 Lebar tempat duduk 81 37,1 (x2) 74,2 6,8 79,2
5 Kedalaman tempat duduk 49,45 49,5 -0,05 49,5
46,6 (x
6 Lebar sandaran punggung 83,9 93,2 -9,3 93,2
2)
7 Tinggi sandaran punggung 59,35 50 9,35 50
8 Tinggi Sandaran Tangan 23 28,2 -5,2 28,2

Pada standar orang Indonesia ada 3 dimensi dikali dua karena bentor
dirancang dengan penumpang dua orang. Perbedaan angka pada ukuran disain
dikarenakan adanya penambahan dynamic clearance bagi penumpang.

PEMBAHASAN

Hasil analisis dengan menggunakan angka persentil 95 menunjukkan bahwa


lebar lantai yang dimensinya diukur simetris dengan lebar panggul memiliki ukuran
90 cm dengan gain skor 15,8 cm dengan standar dimensi tubuh orang Indonesia
memiliki ukuran yang terlalu lebar. Kedalaman lantai dengan gain skor 20,85 cm
memiliki ukuran yang terlalu lebar. Ukuran yang lebar ini lebih banyak dikarenakan
pertimbangan beban tambahan yaitu barang milik penumpang. Dampak negatif dari
ukurran lantai yang terlalu lebar dan terlalu dalam adalah menambah beban bagian
depan kendaraan dan kendaraan kesulitan dalam berbelok arah karena bagian depan
terlalu lebar dan kendaraan terlalu panjang. Pembebanan tambahan dengan muatan
barang di lantai depan berpengaruh negatif terhadap keseimbangan beban kendaraan
sehingga mengganggu kenyamanan dari segi ergonomi serta berpotensi
mengakibatkan terjadinya kecelakaan.
Tinggi tempat duduk dari lantai dengan gain skor 11,2 cm, artinya ukuran
tinggi tempat duduk lebih tinggi 11,2 cm dari jarak lipatan lutu diukur dari tumit
untuk ukuran dimensi tubuh orang Indonesia. Kelebihan ukuran ini memberi dampak
negatif bagi penumpang yaitu kaki menggantung (pembuluh darah perifier pada
230

tungkai atas bagian bawah) terjepit, dan penambahan berat pada jarak yang lebih
tinggi dari tumpuan beban pada ban yang berpengaruh pada keseimbangan
kendaraan. Akibattnya kendaraan (bentor) akan mudah oleng ke samping pada saat
berbelok atau pada jalan yang tidak rata atau berlubang. Lebar tempat duduk dengan
gain skor 6,8 cm, secara antropometri tidak terlalu bermasalah karena setelah
penambahan angka kelonggaran (dynamic clearance) sebesar 5 cm, maka ukuran
tersebut dapat diterima karena hanya berbeda 2,2 cm.
Kedalaman tempat duduk memiliki pengaruh terhadap kenyamanan
penumpang pada saat duduk dan bersandar. Pada hasil pengukuran dimensi
kedalaman tempat duduk pada bentor ternyata memiliki ukuran yang hampir sama
dengan dimensi tubuh orang Indonesia yaitu jarak lipatan lutut ke bokong bagian
belakang dengan gain skor -0,05. Artinya bahwa ukuran ini sudah ergonomis bagi
penumpang. Ukuran sandaran punggung memiliki dimensi yang belum sesuai
dengan standar antropometri tubuh orang Indonesia baik lebar sandaran maupun
tinggi sandaran punggung. Pada ukuran lebar sandaran punggung ukuran pada bentor
lebih kecil 9 cm dari dimansi Tubuh orang Indonesia. Meskipun lebih kecil, secara
ergonomi tidak akan memberi dampak negatif karena pada bentor dilengkapi dengan
sandaran tangan dimana bagian atas sandaran tersebut memiliki ruang yang longgar
sehingga bahu bagian luar memiliki ruang yang lebih longgar selebar sandaran
tangan. Tinggi sandaran punggung dengan kelebihan 9,35 cm dari dimensi tubuh
secara antropometri melebihi ukuran tubuh sehingga tidak efektif. Diperlukan ukuran
yang lebih pendek sehingga sandaran punggung dapat secara maksimal menopang
punggung dari bagian punggung bawah sampai punggungg bagian atas.
Tinggi sandaran tangan dengan gain skor (-5,2)cm, artinya memiliki ukuran
lebih rendah dari standar dimensi tubuh orang Indonesia. Ukuran yang lebih pendek
ini memiliki beberapa dampak bagi penumpang, antara lain posisi duduk akan miring
ka arah luar kendaraan yang berpengaruh pada titik keseimbangan kendaraan, posisi
duduk dengan sandaran tangan yang rendah menyebabkan melengkungnya tulang
belakang ke arah samping. Kondisi ini dapat mengakibatkan dislokasi pada ruas
tulang belakang terutama pada saat kendaraan melaju di jalan yang berlubang atau
pada tikungan, dan pada kondisi demikian mengakibatkan pula pengerahan otot
rangka yang berlebihan untuk mempertahankan keseimbangan tubuh. Hasil
Penelitian oleh Suhardja C. Y. (2013) yang melakukan penelitian tenang model
Bentor yang nyaman bagi penumpang berdasarkan pendapat responden di Cirebon
menunjukkan bahwa model bentor alternatif 1 yang menyerupai bentor di Kota
Kotamobagu merupakan pilihan dengan skor tertinggi, namun pada penelitian ini
tidak melakukan perancangan berdasarkan kaidah ergonomi melainkan berdasarkan
pendapat responden. Dorado dkk. (2015) yang melakukan penelitian pada tiga bagian
ukuran dimensi becak motor di Philipina dengan mengambil 95 sampel data
antropometri. Hasil pengukuran pada lipatan lutus sampai ke tumit yang tidak
ergonomis menunjukkan ketidak nyamanan pada penumpang, dan ketidak nyamanan
tersebut akan meningkat pada saat masuk atau keluar dari kendaraan. Ketidak
nyamanan tersebut meningkat terutama kepada orang dengan postur yang lebih
tinggi. Hasil penelitian tersebut menguatkan hasil penelitian saat ini bahwa dimensi
antropometri tidak menjadi pertimbangan secara baik dalam menrancangan bentor
sehingga menyebabkan tetidak nyamanan bagi penggunanya.
Perbedaan dimensi bentor terhadap standar antropometri orang Indonesia seperti
diuraikan diatas memerlukan solusi berupa rancangan tempat duduk penumpang
bentor dengan berpatokan pada standar antropometri orang Indonesia.

KESIMPULAN
231

Rancangan bentor di Kota Kotamobagu belum ergonomis bagi penumpang.


Ukuran Lantai pijakan yang ergonomis adalah lebar 79,2 cm dengan kedalaman 31,6
cm; Ukuran Tempat duduk yang ergonomis yaitu 54,5 cm, lebar 79,2 cm dengan
kedalaman 49,5 cm; Ukuran sandaran kursi yang ergonomis adalah lebar 93,2 cm
dengan tinggi 50 cm; Ukuran tinggi sandaran tangan adalah 28,2 cm.

SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian lanjut untuk mengetahui ukuran dimensi lain dari
bentor untuk kenyamanan, keamanan dan keselamatan pengemudi dan
penumpang bentor.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjut untuk mengettahui tingkat kenyamanan
pengemudi yang menggunakan bentor dengan tempat duduk yang didisain
berdasarkan khaidah ergonomi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Bongakaraeng, Layuk S. 2011. Pengaruh Penggunaan Kursi Kerja Ergonomis
Terhadap Kelelahan Kerja dan Produktivitas Pengrajin Gerabah di Desa Pulutan
Kecamatan Remboken Kabupaten Minahasa. Jurnal Infokes Volume 5 No. 2
April 2011: 71-77.
2. Kementerian Perhubungan RI. 2009, UU no. 22 tahun 2009 tentang Lalulintas
dan Angkutan Jalan. https://www.google.co.id/webhp?sourceid=chrome-
instant&ion=1&espv=2&ie=UTF-8#q=uu+no+22+tahun+2009. Diakses
tanggal 8 April 2016.
3. Notoatmojo, Sukidjo, 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta :
Andi Offset.
4. Nurmianto E., 2003. Ergonomi, Konsep Daras dan Aplikasinya. Institut Sepuluh
November. Guna Widya.
5. Risyanto, 2010. Pengaruh Lamanya Posisi Kerja Terhadap Keluhan Subyektif
Low Back Pain Pada Pengemudi Bus Kota di Terminal Giwangan. Yogyakarta.
Sumber: http://www.journal .UII .ac.id, diakses pada tanggal 8 Mei 2016.
6. Suma’mur P.K. 1982. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Haji Mas
Agung. Jakarta.
7. Surya R. Z., Wardah S., Hasanah H., 2013. Penggunaan Data Antropometri
dalam Evaluasi Ergonomi Pada Tempat Duduk Penumpang Speed Boat Rute
Tembilahan - Kuala Enok Kab.Indragiri Hilir Riau. Malikussaleh Industrial
Engineering Journal Vol.2 No.1 (2013) 4-8
8. Sutalaksana, Iftikar Z., (2006), Teknik Perancangan Sistem Kerja, ITB,
Bandung.
9. Wardaningsih I., 2010. Pengaruh Sikap Kerja Duduk Pada Kursi Kerja Yang
Tidak Ergonomis Terhadap Keluhan Otot-Otot Skeletal Bagi Pekerja Wanita
Bagian Mesin Cucuk Di PT. Iskandar Indah Printing Textile Surakarta. Skripsi.
Program D.IV Kesehatan Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
10. Widayana dan Wiratmaja. 2014. Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Graha Ilmu
11. Yudiantyo W., Suhardja C. 2013. Perancangan Becak Motor Ditinjau dari Segi
Ergonomi Jurusan Teknik Industri, Universitas Kristen Maranatha. Jurnal
Integra Vol. 3, No. 2, (201) 139-155
232

ANALISIS DETERMINAN YANG MEMPENGARUHI KINERJA BIDAN


TERHADAP PENGETAHUAN PERDARAHAN POST PARTUM DI
PUSKESMAS RAWAT INAP KOTA MANADO

Sesca D. Solang, Freike S.N. Lumy, dan Robin Dompas


Politeknik Kesehatan Manado Jurusan Kebidanan

ABSTRAK
Terdapat 15 Kabupaten/Kota yang menjadi wilayah kerja Provinsi SULUT dan salah
satunya adalah Kota Manado yang memiliki 8 Pusat kesehatan masyarakat Rawat
Inap dengan jumlah bidan 79 orang dan dukun bayi yang memberikan kontribusi
terbanyak pada AKI di SULUT. Jumlah bidan terlatih Asuhan Persalinan Normal
(APN) dan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) di tingkat
Puskesmas belum terdistribusi ke semua Pusekesmas yang ada di Kota Manado.
Berdasarkan data AKI tahun 2013 sebesar 8/100.000 KH dan tahun 2014 meningkat
menjadi 11/100.000 KH dengan jumlah kematian ibu utama oleh karena perdarahan
36%, Hipertensi dalam kehamilan 24%, infeksi 3%, partus lama 2%, lain-lain 36%.
Wawancara kepada pengelola ibu Dinas Kesehatan Kota Manado bahwa 3 kasus
kematian yang terjadi tahun 2013 sampai dengan 2014 pada 2 puskesmas rawat inap
yaitu kematian ibu karena perdarahan 1 jam postpartum dan perdarahan karena
retensio plasenta yang ditolong oleh tenaga kesehatan dan kasus abortus kriminalis
yang di tangani oleh dukun bayi.
Tujuan Penelitian Menganalisis hubungan umur, pendidikan, masa kerja, pelatihan
perdarahan postpartum, pelatihan lainnya, peran stakeholder dalam meningkatkan
kinerja bidan terhadap pengetahuan perdarahan postpartum di puskesmas rawat inap
Kota Manado.
Metode Penelitian Penelitian ini bersifat analitik observasional dengan pendekatan
cross sectional, selanjutnya untuk memperoleh penjelasan tentang varibel yang
diteliti digunakan indepth interview. Penelitian dilaksanakan pada 8 puskesmas rawat
inap di Kota Manado yang memberikan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi
Dasar (PONED). Populasi adalah seluruh bidan yang bertugas di puskesmas rawat
inap Kota Manado yang berjumlah 79 orang. Keseluruhan populasi dijadikan sampel.
Teknik pengumpulan data yaitu melalui kuesioner dan indepth interview serta DKT
di 8 Puskesmas. Uji statistic chi square Analisis data menggunakan komputer metode
Statistic Program for Social Science (SPSS) 18.0.
Hasil penelitian Tidak ada hubungan antara umur, pendidikan, masa kerja, pelatihan
perdarahan postpartum, pelatihan lainnya dengan pengetahuan perdarahan post
partum (p-value > 0,05), indepth interview menunjukkan adanya peran stakeholder
dalam meningkatkan kinerja bidan terhadap pengetahuan perdarahan post partum.

Kata Kunci : Kinerja Bidan, Pengetahuan Perdarahan postpartum

PENDAHULUAN
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator penting dalam
menentukan derajat kesehatan masyarakat. AKI mengacu pada jumlah kematian ibu
yang terkait dengan masa kehamilan, melahirkan dan masa nifas. AKI di Indonesia
359/100.000 kelahiran hidup (KH) yang artinya dalam setiap 100.000 KH terdapat
359 ibu yang meninggal akibat kehamilan atau persalinan atau 2 ibu meninggal setiap
jam. Angka kematian ibu ini yang tertinggi diantara Negara tetangga. AKI di
Singapura 6/100.000 KH, Malaysia 22/100.000 KH, Brunei Darussalam 28/100.000
KH (Bidan a, 2014). Kehamilan dan persalinan merupakan proses reproduksi yang
alamiah namun mempunyai risiko kesakitan dan kematian ibu. Ada beberapa keadaan
yang menambah risiko kematian ibu, diantaranya ibu hamil terlalu muda, terlalu tua,
terlalu banyak melahirkan anak dan terlalu dekat jarak kelahiran anaknya (Bidan b,
2014). Penyebab utama kematian ibu di Indonesia menurut Topatimasang dkk (2005)
yaitu 46,7% adalah akibat komplikasi yang terjadi selama atau segera setelah
persalinan. Semua itu diakibatkan oleh banyaknya ibu hamil yang dirawat oleh dukun
yang tidak terlatih atau oleh anggota keluarga dan tidak mendapatkan pelayanan
233

kebidanan esensial yang dibutuhkan, akibatnya perdarahan pada masa nifas (34%)
menduduki posisi pertama dari semua tipe perdarahan penyebab kematian ibu.
Penurunan angka kematian yang lambat disebabkan antara lain kehamilan dini; akses
dan kualitas asuhan antenatal, persalinan dan nifas yang buruk juga status
sosioekonomi keluarga, pendidikan , budaya, akses terhadap fasilitas kesehatan serta
transportasi (Prawirohardjo S, 2009).
Proses persalinan dihadapkan pada kondisi kritis terhadap masalah
kegawatdaruratan persalinan, sehingga sangat diharapkan persalinan dilakukan di
fasilitas kesehatan. Hasil Riskesdas 2013, persalinan di fasilitas kesehatan adalah
70,4% dan masih terdapat 29,6 persen di rumah/lainnya. Penolong persalinan oleh
tenaga kesehatan yang kompeten (dokter spesialis, dokter umum dan bidan) mencapai
87,1 persen, namun masih bervariasi antar provinsi (Kemenkes RI, 2013). Setiap 15%
dari semua kehamilan akan membutuhkan pelayanan kebidanan akibat komplikasi
yang membahayakan jiwa ibu dan bayinya. Namun begitu pelayanan kebidanan
darurat yang komprehensif hanya ada di rumah sakit Kabupaten atau pusat pelayanan
rujukan. Puskesmas yang merupakan pusat pelayanan kesehatan dasar yang paling
dekat dengan masyarakat, terutama perempuan, sering kali tidak dilengkapi dengan
pelayanan kebidanan darurat yang komprehensif. Pengabaian fungsi puskesmas
sebagai pusat pelayanan kebidanan darurat yang komprehensif akan berdampak pada
upaya penurunan kematian ibu di Indonesia (Topatimasang dkk, 2005 ).
Kegiatan yang dilakukan dalam menurunkan AKI yaitu: Pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan, penyediaan pelayanan kegawatdaruratan yang
berkualitas dan sesuai standar, mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan
dan penanganan komplikasi keguguran, pemantapan kerjasama lintas program dan
sektor antara lain menjalin kemitraan dengan pemda, organisasi profesi (IDI, POGI.
IDAI, IBI, PPNI). Penyebab langsung kematian ibu secara global yaitu perdarahan,
sepsis, hipertensi dalam kehamilan, partus macet, komplikasi abortus yang tidak
aman dan sebab-sebab lain (Prawirohardjo, 2009).
Data dari inas Kesehatan Kota Manado tahun 2014, terdapat 15
Kabupaten/Kota yang menjadi wilayah kerja Provinsi SULUT dan salah satunya
adalah Kota Manado yang memiliki 8 Pusksesmas Rawat Inap dengan jumlah Bidan
70 orang dan dukun bayi yang memberikan kontribusi terbanyak pada AKI di
SULUT. Jumlah bidan terlatih Asuhan Persalinan Normal (APN) 1 orang dan bidan
terlatih Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) di tingkat
Puskesmas 3 orang dari Puskesmas rawat inap yaitu Puskesmas Bahu, Paniki dan
Tuminting. AKI tahun 2013 sebesar 8/100.000 KH dan tahun 2014 meningkat
menjadi 11/100.000 KH dengan jumlah kematian ibu utama oleh karena perdarahan
36%, Hipertensi dalam kehamilan 24%, infeksi 3%, partus lama 2%, lain-lain 36%.
Masa nifas dimulai 1 jam setelah plasenta lahir dan berakhir sampai alat-alat
kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil yang berlangsung selama kira-kira
42 hari. Masa nifas masih merupakan potensial bagi ibu dan bayi mengalami
komplikasi sehingga perlu mendapat perhatian dari tenaga kesehatan. Periode ini
apabila tidak dikelola dengan baik dapat menjadi masa kritis karena ibu dan bayi baru
saja mengalami perubahan fisik yang luar biasa dimana ibu melahirkan bayi dari
perutnya dan bayi sedang menyesuaikan diri dari dalam perut ibu ke dunia luar
(Prawirohardjo S.,2009). Perawatan masa nifas penting bagi ibu maupun bayinya
untuk mengatasi komplikasi yang timbul pasca persalinan dan memberikan informasi
kepada ibu tentang cara merawat diri dan bayinya (Saifuddin A.B, 2001).
Menurut PP-IBI tahun 2006, Standar Pelayanan Kebidanan (SPK)
merupakan acuan standar yang harus digunakan bagi Bidan dan petugas kesehatan
yang memberikan pelayanan obstetri dan neonatal dalam rangka peningkatan kualitas
pelayanan kebidanan. Bidan dituntut memberikan pelayanan sesuai dengan
profesionalismenya, harus mampu serta terampil dalam memberikan pelayanan
obstetri dan neonatal yang berkualitas sesuai standar yang ditetapkan.
Wawancara kepada pengelola ibu di Dinas Kesehatan Kota Manado bahwa
kasus yang terjadi tahun 2013 sd 2014 pada 2 puskesmas rawat inap yaitu kematian
ibu karena perdarahan 1 jam postpartum yang ditolong oleh tenaga kesehatan dan
perdarahan karena retensio plasenta dan abortus kriminalis yang ditolong oleh dukun
234

bayi. Beberapa Prioritas Masalah Kesehatan Ibu di Provinsi SULUT yaitu (1).
Kurangnya tenaga bidan terlatih di Kota Manado, (2). Kurangnya Jumlah Puskesmas
mampu tatalaksana ibu dengan komplikasi (Puskesmas PONED 65% di tahun 2009
menjadi 33% di tahun 2013), (3). Kurangnya peralatan untuk Puskesmas PONED,
Rumah Sakit PONEK, Bidan kit (Dinas Kesehatan Provinsi SULUT)
Menurut KepMenKes RI No 900/MenKes/SKA/II/2000 menyatakan bahwa
bidan mempunyai kewenangan untuk memberi pelayanan kesehatan, pelayanan
kebidanan dan pelayanan keluarga berencana. Pelayanan kebidanan meliputi asuhan
kehamilan, persalinan, nifas dan bayi baru lahir. Kelahiran bayi merupakan peristiwa
yang sangat penting. Bidan pun memiliki posisi yang sangat berperan untuk
meningkatkan kemampuan dan menemani ibu dalam proses kelahiran untuk
memberikan dukungan dan motivasi. Penting bagi seorang bidan untuk memberi
asuhan yang bersifat komprehensif pada ibu dan bayi, mulai dari masa kehamilan,
persalinan serta nifas sebagai upaya deteksi dini adanya komplikasi/penyulit yang
memerlukan tindakan segera serta perlunya rujukan sehingga dapat dicapai derajat
kesehatan yang tinggi pada ibu dan bayi serta berkontribusi menurunkan AKI dan
AKB (Yusuf, 2013).
Upaya terobosan dalam penurunan AKI dan AKB di Indonesia salah satunya
melalui Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) yang
menitikberatkan fokus totalitas monitoring yang menjadi salah satu upaya deteksi
dini, menghindari risiko kesehatan pada ibu hamil serta menyediakan akses
Pelayanan Obstetri dan Neonatal Dasar (PONED) di tingkat Puskesmas dan
Pelayanan Obstetri Neonatal Komprehensif (PONEK) di Rumah Sakit (Kemenkes,
2013). Untuk mencapai target MDG’s pada tahun 2015 dengan meningkatkan
kualitas pelayanan antenatal care (ANC) oleh tenaga kesehatan profesional, cakupan
persalinan ditolong tenaga kesehatan terlatih. Kebijakan pemerintah dalam
peningkatan pelayanan kesehatan ibu diantaranya pelayanan kesehatan dasar (primary
healt care), save motherhood initiative, bidan di desa, Gerakan Sayang Ibu (GSI),
gerakan pembangunan berwawasan kesehatan menuju Indonesia sehat
(Prawirohardjo, 2010).
Kinerja bidan dalam penatalaksanaan perdarahan post partum di Kota Manado
yang belum optimal kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :
pengetahuan dan kemampuan tentang standar penanganan perdarahan postpartum
diantara masing-masing bidan masih kurang; para bidan juga menunjukkan sikap
kurang dan motivasi rendah dalam melaksanakan penanganan perdarahan postpartum
sesuai standar; ketersediaan peralatan yang kurang untuk memberikan penanganan
perdarahan postpartum karena obat habis dan alatnya tidak tersedia atau sudah tidak
layak dipakai/ kondisi rusak dan merekapun harus membeli sendiri ; serta dinas
kesehatan kota, puskesmas maupun organisasi profesi IBI belum mengadakan lagi
pelatihan tentang standar penanganan perdarahan postpartum bagi bidan yang belum
ikut pelatihan. Penanganan perdarahan postpartum sesuai standar merupakan tindakan
yang membutuhkan perubahan perilaku Bidan dalam pemberian pelayanan pada ibu
nifas (PP-IBI, 2006).
Pelayanan kebidanan Semua tugas yang menjadi tanggung jawab praktik
profesi bidan dalam sistem pelayanan kesehatan yang bertujuan meningkatkan
kesehatan ibu, anak dan keluarga berencan dalam rangka mewujudkan kesehatan
keluarga dan masyarakat (Purwandari, 2008). Standar pelayanan kebidanan Ruang
lingkup pelayanan kebidanan meliputi 24 standar. Dalam standar ke 14 tentang
penanganan 2 jam pertama setelah persalinan bahwa “bidan melakukan pemantauan
ibu dan bayi terhadap terjadinya komplikasi dalam 2 jam setelah persalinan, serta
melakukan tindakan yang dilakukan. Bidan memberikan penjelasan tentang hal-hal
yang mempercepat pulihnya kesehatan ibu, dan membantu ibu untuk mulai
pemberian ASI (IBI, 2006). Tujuan Penelitian a. Menganalisis hubungan umur
dengan pengetahuan perdarahan post partum di puskesmas rawat inap Kota Manado.
b. Menganalisis hubungan pendidikan dengan perdarahan postpartum di puskesmas
rawat inap Kota Manado. c. Menganalisis hubungan masa kerja dengan perdarahan
postpartum di puskesmas rawat inap Kota Manado, d. Menganalisis hubungan
pelatihan perdarahan postpartum dengan pengetahuan perdarahan postpartum di
235

puskesmas rawat inap Kota Manado, e. Menganalisis hubungan pelatihan lainnya


perdarahan postpartum dengan pengetahuan perdarahan postpartum di puskesmas
rawat inap Kota Manado. f. Peran Stekholder dalam meningkatkan kinerja bidan
terhadap perdarahan postpartum di puskesmas rawat inap Kota Manado.

BAHAN DAN CARA


Penelitian ini bersifat kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif
menggunakan metode penelitian deskriptif analitik dengan rancangan cross sectional.
Penelitian kualitatif eksplorasi karena peneliti ingin mengetahui determinan yang
mempengaruhi kinerja bidan terhadap penatalaksanaan perdarahan post partum di
puskesmas rawat inap Kota Manado.
Kegiatan penelitian ini mulai bulan Agustus s.d Oktober tahun 2015, yang
dilaksanakan di 8 puskesmas rawat inap Kota Manado yang memberikan Pelayanan
Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) yaitu puskesmas Bahu, puskesmas
Paniki, puskesmas Tuminting, Puskesmas Kombos, Puskesmas Ranotana, Puskesmas
Wawonasa, Puskesmas Ranomut dan Puskesmas Bengkol.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh bidan yang bertugas di
puskesmas rawat inap Kota Manado yang bersedia menjadi responden yaitu di
puskesmas Bahu, puskesmas Paniki, puskesmas Tuminting, Puskesmas Kombos,
Puskesmas Ranotana, Puskesmas Wawonasa, Puskesmas Ranomut dan Puskesmas
Bengkol yang berjumlah 79 orang. Keseluruhan populasi dijadikan sampel dengan
jumlah 79 responden. Variabel Independen / Bebas : umur, pendidikan, masa kerja,
pelatihan, perdarahan post partum, pelatihan lainnya. Variabel Dependen / Terikat :
Pengetahuan Perdarahan Postpartum
Teknik pengumpulan data primer yaitu melalui kuesioner dan wawancara
mendalam kepada 2 bidan di puskesmas Paniki dan Bengkol dengan menggunakan
pedoman wawancara mendalam. Penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam
(indepth interview)
Diskusi Kelompok Terarah (DKT) terdiri dari 8 bidan di puskesmas Ranotana,
Tuminting, Kombos, Wawonasa, Ranomut dan Bahu dengan menggunakan pedoman
DKT yang berisi pertanyaan terbuka yang memuat pokok-pokok pertanyaan sesuai
dengan tujuan penelitian. Diskusi Kelompok Terarah (DKT) dengan alat bantu tape
recorder, kamera dan catatan lapangan. koding; axial coding.
Observasi dilakukan oleh peneliti di Puskesmas dengan menggunakan lembar
observasi tentang peralatan terhadap penatalaksanaan perdarahan post partum yang
ada di 8 puskesmas dengan jumlah 9 item.
Instrumen Penelitian : Kuesioner yang berisi pengetahuan di kamar bersalin
berjumlah 37, pengetahuan di ruang nifas berjumlah 37 nomor serta tentang
kemampuan sebanyak 39 nomor, Pedoman wawancara mendalam dan Pedoman DKT
Analisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan komputer metode
Statistic Program for Social Science (SPSS) 16.0. Analisis Univariat, dan Analisis
Bivariat,. Penelitian transkrip dilakukan oleh peneliti mengoreksi setiap tahapan dari
hasil analisis yang dilaksanakan oleh peneliti. Alat bantu peneliti berupa tape
recorder, kamera dan catatan lapangan.

HASIL PENELITIAN

1. Gambaran Umum Responden Tempat Kerja


Tabel 1. Frekuensi Responden Menurut Tempat Kerja Tahun 2015
No. Puskesmas Jumlah Persentase (%)
1 Puskesmas Bahu 8 10,1
2 Puskesmas Kombos 8 10,1
3 Puskesmas Ranotana 13 16,4
4 Puskesmas Ranomuut 9 13.4
5 Puskesmas Wonasa 13 16,4
6 Puskesmas Tuminting 9 11,3
7 Puskesmas Bengkol 5 6,3
236

8 Puskesmas Paniki 14 17,7


Jumlah 79 100
Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa jumlah terbanyak responden
menurut tempat kerja adalah dari Puskesmas Paniki yaitu sebanyak 17,7% dan yang
sedikit adalah Puskesmas Bengkol yaitu sebanyak 6,3%

1. Analisis Univariat Variabel Penelitian

Distribusi Frekuensi Responden Menurut Umur dapat diketahui bahwa jumlah


responden terbanyak menurut umur adalah kisaran umur 21 – 40 tahun yaitu sejak
81,0 % dan yang sedikit adalah kisaran umur ≤ 20 tahun yaitu 2,5%. Jumlah
responden terbanyak menurut tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan DIII
Kebidanan yaitu sebanyak 74,7% dan yang sedikit adalah tingkat pendidikan S1/S2
Kesehatan yaitu sebanyak 1,3%. Jumlah responden terbanyak menurut masa kerja
adalah lama bekerja 6 – 15 tahun yaitu sebanyak 43,0% dan yang sedikit adalah 16 –
30 tahun yaitu 22,8%. Jumlah responden terbanyak menurut pelatihan Penanganan
Post Partum adalah belum pernah mengikuti pelatihan yaitu sebanyak 81,9% dan
yang sedikit adalah pernah mengikuti pelatihan pelatihan yaitu sebanyak 18,9%.
Jumlah responden terbanyak menurut pelatihan lainnya adalah pernah mengikuti
pelatihan yaitu sebanyak 54,4% dan yang sedikit adalah belum pernah mengikuti
yaitu sebanyak 46%.

2. Analisis Bivariat Variabel Penelitian

Tabel 2. Hubungan Umur dengan Pengetahuan Perdarahan Post Partum


No Umur Pengetahuan Perdarahan Post Partum
Baik (%) Kurang (%) Total p

1 ≤ 20 Tahun 1 (2,2) 1 (2,9) 2 0,66


2 21 s.d. 40 Tahun 38 (84,4) 26 (76,5) 64
3 41 s.d. 56 Tahun 6 (13,3) 7(20,6) 13

Jumlah 45 (56%) 34 (43%) 79

Tabel 2 menunjukkan bahwa pengetahuan baik berada pada umur 21 sd 40


tahun lebih besar (84,4%) dibandingkan dengan umur 41 sd 56 tahun (13,3 %) dan
umur ≤ 20 tahun (2,2%). Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara
umur dengan pengetahuan Perdarahan Post Partum (p-value 0,66 > 0.05), ini berarti
Ho diterima dan Ha ditolak, artinya umur tidak ada perbedaan dengan pengetahuan
penanganan Perdarahan Post Partum dalam kinerja bidan.

Tabel 3. Hubungan Pendidikan dengan Pengetahuan Perdarahan Post


Partum
Pengetahuan Perdarahan Post
Pendidikan Partum Total p
Baik (%) Kurang (%)
PPB 5 (11,1,) 0 (0) 5 0,66
DIII Kebidanan 29 (64,4) 30 (88,2) 59
DIV Kebidanan 10 (22,2) 4 (11,8) 14
S1/S2 1 (2,2) 0 (0) 1
Jumlah 45 (56,9%) 34 (43%) 79

Tabel 3 menunjukkan bahwa pengetahuan kurang berada pada pendidikan DIII


Kebidanan lebih besar (88,2%) dibandingkan dengan pendidikan DIV Kebidann
(11,8 %). Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara pendidikan
dengan pengetahuan Perdarahan Post Partum (p-value 0,66 > 0.05), ini berarti Ho
237

diterima dan Ha ditolak, artinya pendidikan tidak ada perbedaan dengan pengetahuan
penanganan Perdarahan Post Partum dalam kinerja bidan.

Pelatihan Lainnya Pengetahuan Perdarahan Post Total p


Partum

Tabel 4 Hubungan Masa Kerja dengan Pengetahuan Perdarahan PostPartum


Pelatihan Perdarahan Pengetahuan Perdarahan Post
Post Partum Partum TotalP
Baik (%) Kurang (%)
P
Sudah 10 (22,2) 5 (14,7) 15 0,39
Belum 35 (77,8) 29 (85,3) 64

Jumlah 45 34 (40,5%) 79
(56,9%)

Tabel 4. menunjukkan bahwa pengetahuan kurang berada pada masa kerja 6 sd


15 tahun lebih besar (47,1%) dibandingkan dengan umur < 5 tahun (32,4 %) dan
umur 16 sd 30 tahun (20,6%). Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan
antara masa kerja dengan pengetahuan Perdarahan Post Partum (p-value 0,81 > 0.05),
ini berarti Ho diterima dan Ha ditolak, artinya masa kerja tidak ada perbedaan
dengan pengetahuan penanganan Perdarahan Post Partum dalam kinerja bidan

T
Pengetahuan Perdarahan Post
Masa Kerja abel
No Partum Total P 5
Baik (%) Kurang (%)
Hu
1 < 5 Tahun 16 (35,6) 11 (32,4) 27 0, 81 bun
2 6 s.d. 15 Tahun 18 (40,0) 16 (47,1) 34 gan
3 16 s.d. 30 Tahun 11 (24,4) 7 (20,6) 18 Pel
atih
Jumlah 45 (56,9%) 34 (43%) 79 an
Per
darahan Post Partum dengan Pengetahuan
Perdarahan Post Partum

Tabel 6 Hubungan Pelatihan Lainnya dengan Perdarahan Post Partum

Tabel 5. menunjukkan bahwa pengetahuan baik memiliki yang belum ikut


pelatihan Perdarahan Post Partum lebih besar (77,8%) dibandingkan dengan yang
sudah ikut pelatihan Perdarahan Post Partum (22,2 %). Hasil uji statistik
menunjukkan tidak ada hubungan antara Pelatihan Perdarahan Post Partum dengan
pengetahuan Perdarahan Post Partum (p-value 0,39 > 0.05), ini berarti Ho diterima
dan Ha ditolak, artinya pelatihan Perdarahan Post Partum ini tidak ada perbedaan
dengan pengetahuan penanganan Perdarahan Post Partum dalam kinerja bidan.
238

Baik (%) Kurang (%)


Sudah 28 (62,2) 15 (44,1) 43 0,11
Belum
17 (37,8) 19 (55,9) 36
Jumlah 45 (56,9%) 34 (43%) 79
Tabel 6. menunjukkan bahwa pengetahuan baik memiliki yang sudah ikut
pelatihan lainnya lebih besar (62,2%) dibandingkan dengan umur belum ikut
pelatihan lainnya (37,8 %). Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan
antara Pelatihan lainnya dengan pengetahuan Perdarahan Post Partum (p-value 0,11 >
0.05), ini berarti Ho diterima dan Ha ditolak, artinya lainnya ini tidak ada perbedaan
dengan pengetahuan penanganan Perdarahan Post Partum dalam kinerja bidan.

PEMBAHASAN

1. Hubungan umur dengan pengetahuan perdarahan post partum


Hasil penelitian diperoleh hasil distribusi frekuensi umur responden sebagian
besar berumur antara 21 – 40 tahun sebanyak 81%, umur 41-56 tahun sebanyak
16,5% dan umur < 21 tahun sebanyak 2,5%. Hal ini menunjukkan bahwa bidan di
Kota Manado sudah cukup matang dalam perkembangannya dan secara fisik cukup
optimal dalam melaksanakan tugasnya sebagai bidan. Hasil kemampuan seseorang
sering dihubungkan dengan umur sehingga semakin cukup umur seseorang maka
tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan
bekerja (Nursalam,2003) Semakin tua umur bidan, kemampuan dan pengalaman
mereka akan semakin bertambah sehingga diharapkan dapat meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan tentang perdarahan post partum

2. Hubungan pendidikan dengan pengetahuan perdarahan post partum


Hasil penelitian diperoleh hasil distribusi frekuensi tingkat pendidikan
responden diperoleh hasil bahwa sebagian besar responden memiliki pendidikan
Diploma III Kebidanan yaitu sebanyak 74,7%, pendidikan Diploma IV Kebidanan
sebanyak 17,7% , Program Pendidikan Bidan sebanyak 6,3% serta S1/S2 Kesehatan
sebanyak 1,3%. Kondisi ini menggambarkan bahwa secara keilmuan untuk menjadi
bidan seluruh responden telah memiliki pendidikan sesuai dengan pekerjaannya
namun masih ada juga responden yang belum memenuhi syarat standar kompetensi
bidan. Menurut Permenkes No.1464/Menkes/PER/X/2010 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktek Bidan bahwa untuk melaksanakan praktek sebagai bidan,
pendidikan minimal adalah D3 Kebidanan (Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia N0.1464 / MENKES / PER/ X / 2010).
Menurut peneliti tingkat pendidikan akan mempengaruhi sikap seseorang,
karena orang yang memiliki pendidikan yang tinggi diharapkan memiliki
pengetahuan yang baik, pengetahuan yang baik dari responden tentang Penanganan
Perdarahan Post Partum ini kemudian akan mempengaruhi sikap responden. (Azwar,
2013) menyebutkan bahwa lembaga pendidikan sebagai suatu sistem mempunyai
pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan lembaga pendidikan meletakkan
dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan
buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan salah
satunya diperoleh melalui lembaga pendidikan.
Tingkat pendidikan yang tinggi berpengaruh pada pengetahuan, semakin tinggi
pendidikan seseorang maka semakin cepat untuk menerima dan mudah memahami
sehingga semakin tinggi pula pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan adalah hasil
dari produk sistem pendidikan dan akan mendapatkan pengalaman yang nantinya
akan memberikan suatu tingkat pengetahuan dan kemampuan tertentu (Siagian,
2004). Bidan diakui sebagai tenaga profesional yang bertanggung-jawab dan
akuntabel yang bekerja sebagai mitra perempuan untuk memberikan dukungan,
asuhan serta nasehat selama masa persalinan dan memberikan asuhan kepada bayi.
Bidan berkewajiban memenuhi kebutuhan pasien dan memberikan asuhan sesuai
standar (Departemen Kesehatan RI, 2007).
239

3. Hubungan masa kerja dengan pengetahuan perdarahan post partum


Hasil penelitian diperoleh hasil distribusi frekuensi responden menurut lama
bekerja menunjukkan bahwa responden terbanyak memiliki masa kerja 6-15 tahun
sebanyak 43%, ≤ 5 tahun yaitu sebanyak 34,2% dan paling sedikit memiliki masa
kerja 6-30 tahun yaitu sebanyak 22,8%. Kondisi ini menunjukkan bahwa responden
telah cukup lama bekerja dan mempunyai pengalaman dalam menjalankan profesinya
sebagai bidan Semakin lama bidan bekerja semakin banyak kasus perdarahan post
partum yang pernah ditangani sehingga semakin meningkat pengalamannya
sebaliknya semakin pendek masa kerjanya semakin sedikit kasus yang pernah
ditangani sehingga masih kurang pengalamannya. Masa kerja yang cukup lama akan
semakin meningkatkan kemampuan Lama bekerja dalam kaitannya akan
mempengaruhi sikap karena seseorang yang sudah lama bekerja cenderung
mempunyai pengalaman pribadi yang lebih banyak dan wawasan yang lebih luas,
dimana hal ini memegang peranan penting dalam pembentukan sikap dan perilaku
seorang petugas kesehatan. Menurut Azwar (2013) sikap dipengaruhi oleh
pengalaman pribadi dari seseorang, apa yang telah dan sedang dialami akan ikut
membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimuls sosial dan
tanggapan yang akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Masa kerja
biasanya dikaitkan dengan waktu mulai bekerja dimana pengalaman kerja ikut
menentukan kinerja seseorang karena semakin lama bidan bekerja maka semakin
meningkat pengalaman dan kecakapan sebagai bidan. Masa kerja berkaitan erat
dengan pengalaman-pengalaman yang telah didapat selama menjalankan tugas.
Mereka yang berpengalaman dipandang lebih mampu dalam melaksanakan tugas.
Pengalaman seseorang melakukan tugas tertentu secara terus menerus untuk waktu
yang lama biasanya meningkatkan kedewasaan teknisnya . Makin lama masa kerja
seseorang, kecakapan mereka akan lebih baik karena sudah dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan pekerjaan (Siagian, 2004).
Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Sopiah bahwa belum ada bukti
yang menunjukkan bahwa semakin lama seseorang bekerja maka tingkat
produktivitasnya akan meningkat (Sopiah, 2008). Namun pernyataan tersebut
berbeda dengan teori Gibson bahwa variabel individu seperti kecakapan,
kepribadian, persepsi dan pengalaman/ masa kerja berpengaruh tidak hanya kepada
perilaku tetapi juga pada kinerja (id.shvoong.com, 2010 dan Umam, 2010).
Menurut peneliti masa kerja bagi bidan yang ≤ 5 tahun walaupun belum lama
bekerja namun pengalaman tentang penanganan perdarahan post partum cukup baik
oleh karena banyak bertanya kepada bidan-bidan yang lebih lama bekerja 6 sd 15
tahun atau 16 sd 30 tahun.yang ada di puskesmas. Hal ini seperti yang disampaikan
oleh stake holder :
IR : Ada yang so berpengalaman yang cakap ada yang mungkin tu baru2 masih ba
tako, Mar tu dorang bilang tu bidan2 yang lama lebih cepat, karna mungkin dorng
kan tetap ka nada PTT, pengalaman bidan2 di desa. Pengalaman biar dia so kelar,
mar dorang hafal tu teori nda pengalaman PTT. Biasanya yang cepat tu yg langsung
toh, begitu yang qt lia. Pengalaman mungkin dengan tu yang mo dia S1 dia kn nda
tlalu pengalaman mungkin dengan tu yang dia masih ba blajar dang, dengan dia tu
yang d3 d1, kn seharusnya knada yang lebih cekatan toh, mungkin juga tu karna
pelatihan, biar juga belum S1 mar kalo so pelatihan2 dengan kemudian so brapa
kali pindah tampa toh, yaaaaaaa, pengalaman katu no…
IR : So tua tua tu yang banyak, klo disana kn masih banyak yang muda, dengan beda
dpe pengalaman,
Mar ada tu baru yang biasa dia bgini dia tau, dia tau mar kurang kage dia telfon dpe
senior, mo ba batanya…

4. Hubungan pelatihan perdarahan postpartum dengan pengetahuan


perdarahan post partum
240

Hasil penelitian diperoleh frekuensi menurut pelatihan perdarahan post partum


terbanyak yang belum pernah mengikuti pelatihan sebanyak 81,9% dan yang sedikit
adalah pernah mengikuti pelatihan perdarahan post partum sebanyak 18,9%. Kondisi
ini menggambarkan bahwa banyaknya bidan yang belum mengikuti pelatihan
PONED berpengaruh langsung terhadap peningkatan pengetahuan perdarahan post
partum. Bidan diharapkan dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat pada saat
pelatihan dengan mewujudkan dalam bentuk kompetensi untuk melaksanakan standar
pelayanan bagi ibu pada persalinan. Kompetensi tersebut dapat diekspresikan dalam
keterampilan kerja dan kemampuan mengambil keputusan pada saat menangani
perdarahan post partum,
Pelatihan adalah suatu kegiatan peningkatan kemampuan karyawan atau
pegawai dalam suatu institusi (Notoatmodjo, 2009). Pelatihan merupakan usaha yang
direncanakan oleh organisasi untuk memfasilitasi kompetensi karyawan yang
berhubungan dengan pekerjaan. Kompetensi tersebut meliputi pengetahuan,
keterampilan dan perilaku yang dipandang penting atau berpengaruh langsung dengan
terhadap kinerja karyawan. Pelatihan terkait dengan upaya peningkatan pengetahuan,
skill dan perilaku karyawan yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan saat ini
dalam upaya perbaikan kinerja (Notoatmodjo, 2009).
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pendapat Raymond Noe bahwa
pelatihan merupakan usaha yang direncanakan oleh perusahaan / organisasi untuk
memfasilitasi kompetensi karyawan yang berhubungan dengan pekerjaan.
Kompetensi tersebut meliputi pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang
dipandang penting atau berpengaruh langsung dengan terhadap kinerja karyawan
(
Sudarmanto, 2009).

5. Hubungan pelatihan lainnya dengan pengetahuan perdarahan post


Partum

Hasil penelitian diperoleh hasil distribusi frekuensi menurut pelatihan lainnya


terbanyak yang pernah mengikuti sebanyak 54,4% dan yang belum pernah mengikuti
sebanyak 46%. Bidan-bidan di Kota Manado walaupun belum pernah mengikuti
pelatihan perdarahan post partum tapi dengan beberapa pelatihan yang pernah diikuti
dan seminar yang selalu diikuti setiap ada kesempatan dengan materi yang
berhubungan dengan kompetensi bidan didalamnya juga ada materi tentang
perdarahan post partum sehingga dapat mengerti tentang pengetahuan perdarahan
post partum dan penaganannya.

6. Peran stakeholder dalam meningkatkan kinerja bidan terhadap


pengetahuan perdarahan post partum

Hasil Diskusi Kelompok Terarah (DKT) terhadap 9 (sembilan) responden bidan


yang ada di Kota Manado bahwa kepala puskesmas selaku pimpinan selalu memberi
kesempatan untuk mengikuti pelatihan yang ada hubungannya dengan kompetensi
bidan dan tugas pokok bidan di puskesmas sesuai dengan surat permintaan dari Dinas
Kesehatan Kota Manado, apalagi sebagai bidan kordinator yang memegang program
kesehatan ibu dan anak, seperti yang disampaikan oleh bidan berikut ini :
SA :Saya kalau di puskesmas, selalu diberi kesempatan, kalo ada surat-surat
untuk pelatihan, selalu diberi kesempatan. baku-baku ganti... bikor tergantung depe
isi surat dang bu. Kalo ada pelatihan for anak, program anak yang iko, deng depe
anak buah.
Hasil wawancara mendalam juga pimpinan memberi dukungan terhadap
peningkatan pengetahuan bidan kordinator sebagai pengelola dan bidan yang lainnya
dalam mengikuti pelatihan secara bergantian, seperti yang disampaikan oleh
pimpinan puskesmas berikut ini :
IR : Haah, oh nda, ee memang sementara ini Bikor, karna dia blom iko, kan dia
juga baru ganti toh da yang tu lama, karna yang lama so pindah di Dinas da ta ganti,
dan tu yang pelatihan ini sementara iko sesuai dengan depe pemegangg program,
241

ada tu Bidan pemegang program anak, jadi yang lebe di utamakan dulu yang depe
pemegang program, belum samua. Karna disni termasuk bidan delima yaitu di
puskesmas sini jadi, masih, masih ba baku ganti, sebenernya 14 mar yang satu ada
tapindah di Winangun jadi kurang 13 bidan. Memang nda tau kiapa ta kumpul di
sini.
IR : Ooh itu no, torang selalu ikti pelatihan hah, ini sementara ada 4 yang
ikut jafung, jafung bidan, jaminan fungsional bidan, hu’uh jadi ini baru empat, tapi
juga qt nda langsung smua, langsung abis semua disni nda ada mo pelayanan disni,
jadi se baku2 ganti, jadi ini semntara ini bikor yang qt ada suru ikut dulu semntara,
yang , nanti kalo dia sudah, berikut lagi ada pelatihan baku ganti, masa bikor, kong
kurang bikor2 tu yang pelatihan2, jangan nanti, ha’ah karna memang uda tau tuh itu
persatuan kebidanan yang bikor2 itu biasanya dorang yang namanya bikor itu
dorang musti dengar dang, tu yang lalu2.
Hal ini sejalan dengan pendapat yang mengemukakan bahwa setiap pemimpin
juga harus mampu mengenali potensi yang dimiliki setiap bawahan serta
mengembangkan dan memanfaatkannya untuk pencapaian tujuan organisasi secara
optimal. Pemimpin perlu mendorong bawahan untuk terus mengembangkan diri dan
kariernya. Pemimpin harus dapat menunjukan keteladanan hidup dan disiplin kerja
untuk ditiru oleh bawahan. Peranan penting lain dari dukungan manajemen adalah
mengkoordinasikan semua kegiatan dari semua staf dan pekerja hal ini dapat
dilakukan dengan membagi tugas secara merata dan adil, serta dengan membangun
tim kerja sama.
Pelatihan terkait dengan upaya peningkatan pengetahuan, skill dan perilaku
karyawan yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan saat ini dalam upaya
perbaikan kinerja (Sudarmanto, 2009). Pelatihan dalam suatu organisasi sebagai
upaya untuk pengembangan SDM adalah suatu siklus yang harus terjadi terus-
menerus. Hal ini terjadi karena organisasi itu harus berkembang untuk mengantisipasi
perubahan-perubahan diluar organisasi tersebut , untuk itu kemampuan SDM atau
karyawan organisasi itu harus terus-menerus ditingkatkan seirama dengan kemajuan
dan perkembangan organisasi (Notoatmodjo, 2009).
Pengetahuan (knowledge) adalah informasi seseorang dalam bidang spesifik
tertentu. Pengetahuan dan keterampilan sifatnya dapat dilihat (visible) dan mudah
dikembangkan dalam program pelatihan dan pengembangan SDM (Sudarmanto,
2009). Responden yang memiliki pengetahuan yang kurang tentang perdarahan post
partum akan menghambat pelaksanaan pelayanan persalinan sesuai standar. Kondisi
pengetahuan yang kurang dapat diatasi dengan memberikan pelatihan dan seminar
juga pertemuan rutin Bidan tiap bulan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota
Manado bekerja sama dengan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) setiap bulan sebaiknya
dioptimalkan untuk mensosialisikan secara terus menerus tentang standar pelayanan
persalinan sehingga diharapkan pelayanan persalinan dapat dilaksanakan sesuai
standar.
Kemampuan bidan yang kurang tentang pengetahuan perdarahan post partum
akan menghambat pelaksanaan pelayanan persalinan sesuai standar. Bila dikaitkan
dengan pelatihan penanganan perdarahan post partum responden, mayoritas 81%
bidan belum mengikuti pelatihan. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelolah
ibu di Dinas Kesehatan Kota Manado pelatihan PONED kepada bidan dilaksanakan
secara bertahap untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang
menunjang pelaksanaan standar pelayanan persalinan. Bidan harus mempunyai
tanggung jawab terhadap pekerjaan yang dilaksanakannya. Bidan juga harus mampu
meningkatkan keterampilannya melalui pelatihan-pelatihan tentang standar pelayanan
persalinan sehingga jika menemukan komplikasi pada masa persalinan segera dapat
dideteksi dan dirujuk pada saat yang tepat. Bidan diharapkan lebih banyak mencari
pengalaman dalam menangani komplikasi masa persalinankarena tindakan atau
kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menjadi terbiasa sehingga bidan
menjadi lebih terampil.
Kemampuan seorang karyawan meliputi kemampuan intelektul dan
kemampuan fisik. Kemampuan intelektual diperlukan untuk melakukan atau
menjalankan kegiatan mental sedangkan kemampuan fisik untuk melakukan tugas-
242

tugas yang menuntut daya stamina, kecekatan dan keterampilan (Ardana, 2009).
Kinerja pegawai dapat ditingkatkan apabila terdapat kesesuaian yang signifikan
antara kemampuan dan jabatannya, sebaliknya apabila terdapat kesenjangan antara
keduanya maka kinerja akan rendah dan cenderung pegawai tersebut akan gagal
(Ardana, 2009).
Bidan harus mempunyai tanggung jawab terhadap pekerjaan yang
dilaksanakannya. Sedarmayanti mengatakan bahwa motivasi sebagai keseluruhan
proses pemberian motif kerja kepada para bawahan sedemikian rupa sehingga
mereka mau bekerja dengan ikhlas demi tercapainya tujuan organisasi dengan efektif
dan efisien (Riduwan, 2010). Kompetensi akan mendorong seseorang untuk memiliki
kinerja terbaik sehingga dapat sukses dalam organisasi. Kinerja atau kinerja
organisasi sangat bergantung pada kemampuan atau kompetensi para personel.
Kualitas SDM yang dapat membawa organisasi berhasil dan sukses ditentukan oleh
kompetensinya (Soft competence atau soft skill) merupakan karakteristik sikap dan
perilaku yang efektif yang akan menentukan kinerja unggul dalam pekerjaan
(Sudarmanto, 2009). Kompetensi pengetahuan , keterampilan dan sikap yang baik
harus dimiliki bidan dalam melaksanakan praktek kebidanan secara bertanggung
jawab pada tatanan pelayanan kesehatan (Umam, 2010).
Upaya meningkatkan pengetahuan dan keterampilan seseorang dapat melalui
pelatihan-pelatihan dalam hal ini pelatihan asuhan persalinan normal bagi bidan
khususnya dalam hal penanganan perdarahan post partum kepada ibu setelah
persalinan agar komplikasi pada masa persalinan segera dideteksi dan dirujuk pada
saat yang tepat (PP-IBI, 2006). Hal tersebut membuktikan bahwa dengan semakin
baik pengetahuan bidan maka semakin baik pula perilakunya dalam hal penanganan
perdarahan post partum.
Penelitian ini dikuatkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Ratifah (2006) bahwa secara umum pengetahuan dari responden dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain latar belakang pendidikan, umur, masa kerja dan pelatihan
yang pernah diikuti (Ratifah, 2006).
Hasil ini sesuai dengan teori Gibson bahwa ketersediaan sarana dan prasarana
berpengaruh terhadap kinerja individu. Ketersediaan sarana prasarana baik fasilitas,
alat dan bahan dalam tugas pelayanan merupakan salah satu faktor pendukung yang
tidak boleh dilupakan untuk mendukung pelaksanaan pekerjaan. Sarana prasarana
memiliki fungsi membangkitkan motivasi bekerja, mengaktifkan respon pegawai dan
dapat menarik perhatian pegawai (id.shvoong.com, 2010).
Faktor yang mempengaruhi kemampuan bidan adalah faktor pengetahuan dan
keterampilan. Bidan yang memiliki kemampuan diatas rata-rata dengan pendidikan
atau pengetahuan yang memadai untuk menjalankan pekerjaan yang terampil dalam
mengerjakan pekerjaan sehari-hari maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja
(prestasi) yang diharapkan dalam hal ini melaksanakan penanganan perdarahan post
partum dengan baik. Oleh karena itu, pegawai perlu ditempatkan pada pekerjaan
yang sesuai dengan keahliannya (Ardana, 2009).
Upaya meningkatkan motivasi kerja dapat melalui tindakan yaitu dengan
memperhatikan karakteristik individu, bila terpenuhi diharapkan bidan akan
termotivasi untuk bekerja keras sehingga kinerja akan baik. Memperhatikan
karakteristik pekerjaan meliputi jumlah tanggung jawab, tugas dan tingkat kepuasan
yang dapat diperoleh dari pekerjaan itu sendiri juga bisa dilakukan dengan pemberian
insentif yang sesuai, memberikan fasilitas yang dibutuhkan, promosi jabatan dan
penghargaan untuk bidan yang berprestasi. Semua itu diharapkan dapat meningkatkan
motivasi bidan untuk bekerja lebih baik sehingga kinerjanya juga akan baik.
Kompetensi akan mendorong seseorang untuk memiliki kinerja terbaik
sehingga dapat sukses dalam organisasi. Kinerja atau kinerja organisasi sangat
bergantung pada kemampuan atau kompetensi para personel. Kualitas SDM yang
dapat membawa organisasi berhasil dan sukses ditentukan oleh kompetensinya (Soft
competence atau soft skill) merupakan karakteristik sikap dan perilaku yang efektif
yang akan menentukan kinerja unggul dalam pekerjaan (Sudarmanto, 2009).
Kompetensi pengetahuan, keterampilan dan sikap yang baik harus dimiliki bidan
243

dalam melaksanakan praktek kebidanan secara bertanggung jawab pada tatanan


pelayanan kesehatan (Umam, 2010).

KESIMPULAN

1. Tidak ada hubungan antara umur dengan pengetahuan perdarahan post partum (p-
value 0,67 > 0,05), ini berarti Ho diterima dan Ha ditolak, artinya umur tidak ada
perbedaan dengan pengetahuan penanganan perdarahan post partum dalam kinerja
bidan
2. Tidak ada hubungan antara pendidikan dengan pengetahuan perdarahan post
partum (p-value 0,07 > 0.05), ini berarti Ho diterima dan Ha ditolak, artinya
pendidikan tidak ada perbedaan dengan pengetahuan penanganan perdarahan post
partum dalam kinerja bidan
3. Tidak ada hubungan antara masa kerja dengan pengetahuan perdarahan post
partum (p-value 0,81 > 0.05), ini berarti Ho diterima dan Ha ditolak, artinya masa
kerja tidak ada perbedaan dengan pengetahuan penanganan perdarahan post
partum dalam kinerja bidan
4. Tidak ada hubungan antara Pelatihan perdarahan post partum dengan pengetahuan
perdarahan post partum (p-value 0,39 > 0.05), ini berarti Ho diterima dan Ha
ditolak, artinya pelatihan perdarahan post partum ini tidak ada perbedaan dengan
pengetahuan penanganan perdarahan post partum da
5. Tidak ada hubungan antara Pelatihan lainnya dengan pengetahuan perdarahan post
partum (p-value 0,11 > 0.05), ini berarti Ho diterima dan Ha ditolak, artinya
lainnya ini tidak ada perbedaan dengan pengetahuan penanganan perdarahan post
6. Adanya peran stakeholder dalam meningkatkan kinerja bidan terhadap
pengetahuan perdarahan post partum dalam mengikut sertakan pelatihan PONED
dan pelatihan lainnya dalam meningkatkan pengetahuan bidan

SARAN

a. Perlunya mengadakan pelatihan PONED bagi bidan untuk meningkatkan


pengetahuan, dan kemampuan guna mendukung terselenggaranya pelayanan
persalinan
b. Perlunya sosialisasi tentang standar pelayanan kebidanan kepada seluruh bidan
secara rutin atau dibuatkan jadwal yang tetap agar sosialisasi tersebut dapat
diterima oleh seluruh bidan secara merata.
c. Perlunya mengalokasikan dana untuk pelatihan standar pelayanan persalinan bagi
bidan.
d. Memberikan rekomendasi kepada organisasi profesi (IBI) untuk memantau
kegiatan pelayanan persalinan
1. Bagi Puskesmas
a. Kepala Puskesmas melalui bidan koordinator perlu meningkatkan
motivasi bidan dalam meningkatkan pengetahuan perdarahan post
partum ditempat tugas.
b. Merekomendasikan bidan yang benar-benar belum pernah mengikuti
PONED yang diadakan oleh Dinas Kesehatan.
2. Bagi Organisasi Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Kota Manado
a. Perlu mengadakan pelatihan atau workshop tentang asuhan persalinan
normal bekerja sama dengan pihak terkait untuk penyegaran kembali
para anggotanya.
b. Hendaknya memberikan informasi / sosialisasi dan meningkatkan
motivasi pada anggotanya tentang peningkatan pengetahuan perdarahan
post partum melalui pertemuan rutin IBI setiap bulan.
3. Bagi Bidan
Perlunya memotivasi diri untuk meningkatkan pengetahuan,
meningkatkan kinerja dalam mencapai hasil yang diinginkan dan kualitas
pelayanan bidan.
244

DAFTAR PUSTAKA

1. Ardana K., Mujiati N.W., Sriathi A. Perilaku Keorganisasian. Edisi 2. Cetakan


I. Graha Ilmu, Yogyakarta. 2009.
2. Aswar S., Sikap manusia, Teori dan Pengukurannya, Edisi II, Pustaka Pelajar .
Yogyakarta. 2005.
3. Ahmadi, dan Uhbiyati, (2003). Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
4. Bidan a, (2014), Media Informasi Kesehatan Bidan Dan Keluarga Indonesia
Volume XVIII.No.03, Jakarta
5. Bidan b, 2014, Media Informasi Kesehatan Bidan Dan Keluarga Indonesia,
Volume XVIII No. 04, Jakarta
6. Bina Diknakes. 2002. Pendidikan Kesehatan Kini dan Masa Depan (Ed. No.
42). Jakarta
7. Dahlan M.S. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Deskriptif, Bivariat dan
Multivariat, dilengkapi Aplikasi Menggunakan SPSS. Edisi 4. Salemba Medika.
Jakarta. 2009.
8. Departemen Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
N0. 369 / MENKES / SK / 2007 tentang Standar Profesi Bidan. Depkes RI.
Jakarta. 2007.
9. Depkes RI. 2005. Kurikulum Program Studi Diploma IV Bidan Pendidik.
10. id.shvoong.com. Studi Tentang Peran Bidan Dalam Pelaksanaan Pelayanan
Nifas Paripurna. id.shvoong.com./medicineand health. 24 September 2010.
11. Ikatan Bidan Indonesia. 2011. Media Komunikasi Bidan dan Keluarga
Indonesia.
12. Hartanto, (2008), Pengertian Pendidikan, http://www.Fatamorgana.com,
Diakses 14 Februari 2014
13. Kemenkes RI, 2013, Riset Kesehatan Dasar, http://www.depkes.go.id/ . Diakses
tanggal 15 September 2015
14. Lukito, K. Supadis, W. 2000. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, FK
UGM
15. Moleong, L,J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. PT Remaja
Rosda Karya. Bandung
16. Notoatmodjo S. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Cetakan 4. Rineka
Cipta.Jakarta .2009.
17. Nursalam. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Surabaya, 2003
18. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia N0.1464 / MENKES / PER/ X
/ 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan. Menkes. Jakarta. 2010.
19. Purwandari A, (2008), Konsep Kebidanan, Sejarah dan Profesionalisme,EGC
Jakarta
20. Robbins S.P., Judge T.A. Perilaku Organisasi. Buku 1 Edisi 12. Salemba
Empat.2008
21. Siagian S, Teori Motivasi dan Aplikasinya Cetakan 3. Rineka Cipta, Jakarta.
2004
22. Simanjuntak, P. 2011. Manajemen dan Evaluasi Kinerja. Fakultas Ekonomi
Universitas Ekonomi, Jakarta.
23. Sopiah. Perilaku Organisasional. Edisi I. Penerbit Andi, Yogyakarta. 2008.
24. Sudarmanto. Kinerja dan Pengembangan Kompetensi SDM. Teori, Dimensi
Pengukuran dan Implementasi dalam Organisasi. Cetakan I. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta. 2009.
25. Umam K. Perilaku Organisasi. Pustaka Setia. Bandung. 2010.
26. Utarini, A. 2006. Modul Metode Penelitian Kualitatif. Magister perilaku dan
Promosi kesehatan, Program Studi Ilmu Kesehatan masyarakat, Program Pasca
Sarjana. UGM, Yogyakarta.
27. Winarno,B, Kebijakan Publik Teori Dan Praktek, Buku Kita, Jakarta, 2008.8.
28. Riduwan. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Cetakan 8. Alfabeta. Bandung.
2010.
245

29. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan


Republik
30. Indonesia N0. 369 / MENKES / SK / 2007 tentang Standar Profesi
Bidan.Depkes RI. Jakarta. 2007.
31. Prawirohardjo S., Saifuddin A.B. Ilmu Kebidanan. Edisi 4. Cetakan 1. PT.Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 2009.
32. Saifuddin A.B, Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Buku Acuan
Nasional. Edisi 1, Cet.5, YBP-SP. Jakarta. 2001.
33. Statis Akbid, (2010), Pendidikan Kebidanan, http://www.ukb.ac.id, Diakses 14
Februari 2014
34. PP-IBI. Standar Pelayanan Kebidanan, Cetakan VI. Jakarta. 2006
35. Nursalam. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Surabaya, 2003.
36. Ratifah. Analisis Faktor-faktor Yang Berhubungan dengan Pelaksanaan
Standar
37. Asuhan Persalinan Normal (APN) Oleh Bidan Puskesmas Rawat Inap Di
Kabupaten Banyumas. Tesis MIKM Undip Semarang. 2006.
38. Sofyan,M,dkk. (2006), 50 tahun IBI Menyongsong Masa Depan. Jakarta : IP
IBI
245

ANALISIS PENGETAHUAN REMAJA TENTANG PERNIKAHAN DINI DI


KELURAHAN RANOMUUT KECAMATAN PAAL DUA KOTA MANADO

Ellen Pesak, S.Kep, Ners, M.Kes


Politeknik Kesehatan Manado Jurusan Kebidanan

ABSTRAK
Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan pada usia remaja atau di bawah 16
tahun pada wanita dan dibawah 19 tahun pada pria. Perkawinan remaja selain
mencerminkan rendahnya status wanita, juga merupakan tradisi sosial yang
menopang tingginya tingkat kesuburan. Remaja mempunyai kebutuhan untuk
mengembangkan identitas mereka sendiri, sehingga fase remaja adalah masa
eksperimentasi dan masa untuk mencoba-coba mengambil resiko, masa remaja rasa
ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting dalam pembentukan hubungan
baru dengan lawan jenis. Tujuan penelitian mengetahui pengetahuan dan
pemahaman remaja tentang perkawinan dini di kelurahan ranomuut Kota Manado.
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif yang disajikan secara deskriptif
eksploratif, Informan utama adalah 4 orang remaja usia 13-19 tahun sedangkan
Informan Triangulasi ada 3 orang terdiri dari Camat,Lurah dan orangtua remaja.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam (Indepth Interview),
observasi menggunakan cheklist dan studi dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan remaja tentang perkawinan dini
semua remaja diKelurahan Ranomuut Kec Paal Dua Kota Manado berpengetahuan
cukup mereka mengetahui arti dari perkawinan dini, namun kerugiannya dan masalah
apa saja yang terjadi jika terjadi perkawinan dini belum mengetahuinya, dan untuk
pemahaman remaja tentang perkawinan dini semua remaja memahami jika terjadi
perkawinan dini akan tetapi hambatan dan masalah dalam pergaulan di masyarakat
belum begitu memahaminya mereka sudah mulai berpacaran dan belajar merokok.
Disaranakan pemerintah daerah dapat meningkatkan implementasi kinerja dalam
bidang Pendidikan dan Kesehatan terutama menginformasikan kepada masyarakat
khususnya orangtua yang mempunyai anak remaja agar dapat memperhatikan dan
memberikan bimbingan dalam pergaulan dikalangan remaja. Bagi BKKBN Kota
Manado dapat memberikan pelayanan terpadu dalam meningkatkan kerjasama lintas
sektoral khususnya monitoring dan evaluasi pelaksanaan PIK-R (Pusat Informasi
Konseling Remaja) di sekolah melalui bimbingan dan konseling remaja di sekolah.
Bagi BKKBN Propinsi Sulut dapat merencanakan dan memfasilitasi program kerja
terutama dalam meningkatkan pengetahuan remaja tentang perkawinan dini untuk
mencegah pergaulan bebas yang mengakibatkan terjadinya perkawinan diusia remaja.

Kata Kunci : Perkawinan Dini, Pengetahuan Remaja

LATAR BELAKANG
Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan pada usia remaja atau di
bawah 16 tahun pada wanita dan dibawah 19 tahun pada pria. Perkawinan remaja
selain mencerminkan rendahnya status wanita,juga merupakan tradisi sosial yang
menopang tingginya tingkat kesuburan. Hal ini menyebabkan periode melahirkan
yang di hadapi oleh pengantin remaja relatif lebih panjang, di samping resiko
persalinan yang semakin tinggi karena secara fisik mereka belum siap melahirkan
(Romauli, 2012).
Dewasa ini searah perkembangan zaman dan teknologi banyak sekali terjadi
penyalagunaan untuk hal-hal yang negatif khususnya masa remaja, anak selalu
mencari kesenangan semata tanpa memperdulikan akibat yang akan timbul dari
perbuatannya itu. Sebagian orang berpendapat bahwa masa muda sebagai saat yang
paling indah dan nikmat. Masa remaja adalah fase kehidupan yang menandai transisi
dari anak-anak ke dewasa. Seorang remaja di harapkan berubah dari ketergantungan
menjadi mandiri dan dewasa (Yuanita, 2011).
246

Remaja mempunyai kebutuhan untuk mengembangkan identitas mereka


sendiri, sehingga fase remaja adalah masa eksperimentasi dan masa untuk mencoba-
coba mengambil resiko (Wulandari, 2009). Pada masa remaja rasa ingin tahu
terhadap masalah seksual sangat penting dalam pembentukan hubungan baru dengan
lawan jenis. Pada hal pada masa remaja informasi tentang masalah seksual sudah
seharusnya diberikan, agar remaja tidak mencari informasi dari orang lain atau dari
sumber-sumber yang tidak jelas (Yuanita, 2011).
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Propinsi Sulawesi Utara (Sulut)
tahun 2011 jumlah remaja usia 10-24 tahun 566.867 orang, sedangkan data Badan
Pusat Statistik (BPS) Propinsi Sulawesi Utara menyebutkan jumlah populasi remaja
yang menikah pada umur kurang dari 20 tahun berjumlah 12.172 orang. Dari 12.172
remaja yang telah menikah di bawah usia 20 tahun, 60% diantaranya telah mengalami
kehamilan yang tidak diinginkan telah mengakhiri kehamilannya, baik aborsi
disengaja ataupun aborsi spontan, semantara itu 40% sisanya tetap meneruskan
kehamilannya.
Menurut Kumalasari (2012) Pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi
masih sangat rendah, hanya 17,1% wanita dan 10,4 % laki-laki yang mengetahui
secara benar tentang masa subur dan resiko kehamilan. Akses pada informasi yang
benar tentang kesehatan reproduksi sangat terbatas, baik dari orang tua, sekolah,
maupun media massa. Budaya “tabu” adalah salah satu kendala yang sangat kuat.
Berdasarkan studi pendahuluan yang di lakukan di Kelurahan Ranomuut
Kecamatan Paal Dua Kota Manado jumlah remaja tahun 2014 sekitar 1962 remaja.
Pada tahun 2015 ada sebanyak 23 remaja (1,2%) yang menikah pada usia di bawah
20 tahun sedangkan tahun 2016 sampai bulan april ini atau baru 4 (empat) bulan
berjalan ini ada sekitar 17 remaja (0,9%) yang sudah menikah di usia dini karena
hubungan sex bebas (Profil kelurahan Ranomuut).
Ditemukan ada beberapa kasus diantaranya kematian bayi akibat kurang
pengetahuan remaja dalam mengasuh anaknya sehingga bayi yang baru berusia 4
bulan meninggal akibat kurang gizi, dan ada juga infeksi usus karena sudah diberi
makan sebelum 6 bulan, selain itu juga terjadi pertikaian antara pasangan tersebut,
hal ini disebabkan karena kurang informasi atau kurangnya pengetahuan tentang
resiko tinggi perceraian, prilaku kekerasan pada anak jika terjadi perkawinan dini
dan selain itu ada juga kasus aborsi, tahun 2015 ada sekitar 5 remaja yang ada di
kelurahan Ranomuut lingkungan III telah mengakhiri kehamilannya akibat pergaulan
bebas (Profil Kelurahan Ranomuut).
Berdasarkan laporan dari Kepala Kecamatan Paal Dua Kota Manado bahwa
usia remaja yang ada di kecamatan Paal Dua Kota Manado pernah diberikan
bimbingan tentang resiko terjadi perkawinan dini baik di sekolah maupun di tempat-
tempat beribadah. Dari hasil wawancara dengan Kepala Kelurahan Ranomuut
Kecamatan Paal Dua Kota Manado diperoleh informasi bahwa remaja dibawah usia
16 tahun pada wanita dan remaja dibawah usia 19 tahun pada pria, yang rata-rata
duduk dibangku sekolah lanjutan tingkat pertama ada yang menunjukkan prilaku
yang mengerti tentang dampaknya jika terjadi sex bebas atau pernikahan dini, ada
juga sebagian remaja memiliki pengetahuan bahwa pernikahan dini adalah sesuatu
yang biasa terjadi dikalangan remaja dan ada juga yang mengatakan jika menikah
sejak usia remaja akan memberi keturunan yang banyak serta bebas dari aturan-
aturan orangtua, dan tidak perlu dijadikan masalah.
Dengan demikian pengetahuan remaja tentang perkawinan dini berbeda-beda
meskipun remaja sudah diberikan pembinaan di sekolah maupun dikalangan tempat
beribadah. Hasil Penelitian Nurjannah (2013) mengatakan bahwa di usia remaja
masih sangat perlu diberikan bimbingan dan perhatian yang tulus dari gurunya
terlebih orangtuanya agar terhindar dari perkawinan dini. Tujuan penelitian ini adalah
menganalisis Pengetahuan Remaja Tentang Perkawinan Dini di Kelurahan Ranomuut
Kecamatan Paal Dua Kota Manado.
BAHAN DAN CARA
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif yang disajikan
secara deskriptif eksploratif dengan melalui observasi dan wawancara mendalam
247

(Indepth Interview). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross
sectional yaitu penelitian yang pengukurannya dilakukan pada saat yang sama, untuk
semua variabel penelitian, pengumpulan data pada penelitian ini mulai bulan Juni s/d
Agustus 2016.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara : 1) Wawancara mendalam
dilakukan dengan remaja di kelurahan Ranomuut Kecamatan .Paal Dua Kota Manado
, yaitu memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab
sambil tatap muka antara pewancara dengan informan atau yang dimaksud adalah
orang yang diwawancarai, dengan memberikan pertanyaan terbuka dan ditulis dalam
bentuk transkrip, dilengkapi dengan tape recorder dan alat tulis menulis, yang
dimaksud dengan wawancara mendalam adalah dengan responden remaja usia
dibawah umur 16 tahun bagi wanita, dan remaja dibawah umur 19 tahun bagi pria
yang ada di kelurahan Ranomuut Kecamatan Paal Dua Kota Manado. 2) Observasi :
Teknik observasi dilakukan terhadap remaja yaitu dengan cara home to home melihat
langsung keberadaan sehari-hari dalam pergaulan dan situasi ditempat dimana remaja
berdomisili di kelurahan Ranomuut Kec Paal Dua Kota Manado, pengumpulan data
ini melalui teknik observasi dilakukan dalam bentuk cheklist. Populasi pada
penelitian ini adalah seluruh remaja yang berdomisili di Kelurahan Ranomuut
Kec.Paal Dua Kota Manado. Dalam penelitian ini subjek penelitian diambil secara
purposive untuk mendapatkan informasi sesuai tujuan penelitian yaitu informan yang
bisa memberi informasi tentang pengetahuan terhadap perkawinan dini di Kelurahan
Ranomuut Kec Paal Dua Kota Manado, informan utama atau responden dalam
penelitian ini adalah, 4 orang remaja yang terdiri dari masing-masing lingkungan
dimana remaja itu tinggal yaitu 1 oang yang tinggal di lingkungan 1, 1 orang yang
tinggal di lingkungan II, 1 orang yang tinggal di lingkungan III, 1 orang yang tinggal
di lingkungan IV, serta untuk informan triangulasi atau responden 3 orang yaitu,
terdiri dari 1 orang Kepala Kecamatan Paal Dua Kota Manado, 1 orang Kepala
Kelurahan Ranomuut , 1 orang orangtua dari remaja semuanya informan berjumlah 7
orang, sedangkan kriteria inklusinya adalah remaja rata-rata berusia 11-13 tahun yang
berjenis kelamin laki-laki dan perempuan dalam keadaan sehat jasmani dan bersedia
menjadi informan atau responden.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kelurahan Ranomuut termasuk Kecamatan Paal Dua di Kota Manado dari


Propinsi Sulawesi Utara, memiliki topografi tanah yang bervariasi untuk tiap-tiap
lingkungan, secara keseluruhan memiliki keadaan tanah yang rata dan terletak
sebelah timur Kota Manado.
Di Kelurahan Ranomuut terdapat 1 (satu) buah bangunan SLTP dan 1 (satu) buah
bangunan SLTA/SMU dan terdapat 1 (satu) puskesmas yang merupakan wilayah
kerja Dinas Kesehatan Kota Manado.
Penelitian ini dilakukan pada remaja yang berusia dibawah 16 tahun bagi wanita
dan dibawah 19 tahun bagi pria, sebanyak 4 (empat) orang yang terdiri dari di
lingkungan I yaitu 1 (satu) orang, lingkungan II yaitu 1 (satu) orang, lingkungan III
Yaitu 1 (satu) orang dan lingkungan IV yaitu 1 (satu) orang.

B. Karakteristik Informan
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan
dengan wawancara mendalam dan observasi terhadap penampilan diri remaja dalam
berperilaku sehari-hari dengan menggunakan cheklyst. Wawancara mendalam
dilakukan pada 4 (empat) orang informan utama dan 3 (tiga) orang informan
triangulasi. Informan utama terdiri dari 4 (empat) orang remaja dibawah umur 16
tahun bagi wanita dan dibawah umur 19 tahun bagi pria, sedangkan informan
triangulasi terdiri dari 3 (tiga) orang yaitu, 1 (satu) orang Kepala Kecamatan Paal
Dua, 1 (satu) orang Kepala Kelurahan Ranomuut dan 1 (satu) orang, orangtua dari
remaja. Karakteristik informan adalah sebagai berikut :
248

Tabel 1 Karakteristik Informan Utama dan Informan Triangulasi.

No Kode Umur Jenis Kelamin Pendidikan Status/Jabatan


Informan (tahun)
1. IU1 14 Laki-Laki SLTP Siswa
2. IU2 16 Perempuan SLTP Siswa
3. IU3 15 Laki-Laki SLTA Siswa
4. IU4 16 Perempuan SLTA Siswa
5. IT1 58 Laki-Laki S1 Fisip Camat
6. IT2 55 Laki-Laki S1 Fisip Lurah
7. IT3 46 Perempuan SLTA Orang tua

Dari tabel 1 diatas dapat dilihat bahwa informan utama dalam penelitian ini
berjumlah 4 (empat) orang terdiri dari 2 (dua) siswa perempuan dan 2 (dua) siswa
laki-laki, berusia antara 14 -16 tahun, berpendidikan semuanya SLTP, sedangkan
informan triangulasi berjumlah 3 (tiga) orang terdiri dari 1 (satu) orang Camat, 1
(satu) orang Lurah dan 1 (satu) orang, Orangtua dari remaja, berusia antara 46-58
tahun, jenis kelamin 1 (satu) orang perempuan, 2 (dua) orang laki-laki, berpendidikan
1 (satu),orang SLTA dan 2 (dua) orang Sarjana Ilmu Sosial dan Politik.

C. Analisis Variabel Penelitian.


1. Pengetahuan Remaja tentang Perkawinan Dini.
Informasi yang ingin didapat dari wawancara mendalam tentang pengetahuan
remaja adalah, bagaimana mengetahui tentang perkawinan dini, apa saja dampak,
akibat, serta resikonya terjadi perkawinan dini, kerugian apa saja jika terjadi
perkawinan dini dan hal apa saja yang kurang di mengerti tentang perkawinan dini
serta masalah apa saja yang terjadi dalam perkawinan dini, dapat dilihat pada hasil
wawancara mendalam dengan informan utama remaja antara usia 14 -16 tahun, dan
informan triangulasi yaitu camat Kecamatan Paal Dua, Lurah Kelurahan Ranomuut
dan orangtua remaja pada lampiran 8
Berdasarkan wawancara mendalam dengan informan utama yaitu remaja 14-16
tahun, semuanya mengetahui arti dari perkawinan dini. Pernyataan tersebut diatas
dapat dilihat pada kotak 1 dibawah ini :

Kotak 1
“…..Blum tau tapi so pernah dengar …..” (IU1)
“…..Rupa dang kalu misalnya torang masih skolah kong tasalah kan musti
kaweng eee bagitu noh …..(IU2)
“…..Tau le, blum tau mar kita so tau no itu kaweng nyanda restu depe
orangtua ….(IU3).
“…..So kaweng mar blum cukup umur, nimbole …..(IU4)
“….Kami semua sudah mengetahui tentang perkawinan dini,
(IU1,IU2,IU3,IU4)

Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa semua informan utama yaitu remaja
usia 14-16 tahun mengerti dan mengetahui tentang perkawinan dini. Pernyataan ini
disampaikan oleh remaja perempuan dan remaja laki-laki.
Pernyataan yang senada dari hasil wawancara mendalam dengan informan
triangulasi yaitu Camat, Lurah dan orangtua remaja bahwa perkawinan dini adalah
perkawinan dibawah umur. Hal ini dapat dilihat pada kotak 2 dibawah ini :

Kotak 2
“….. Perkawinan dini yaitu dorang jaga bilang kawin diusia muda “… (IT1)
“…..Ya kalo perkawinan dini depe arti bahwa anak remaja so kaweng pada
usia di bawah umur, putus sekolah “…..(IT2)
“…..Perkawinan dibawah umur “…..(IT3)
249

“…..Perkawinan dini adalah perkawinan dibawah umur (IT1,IT2,IT3)

Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa semua informan triangulasi Camat,
Lurah kelurahan ranomuut dan orangtua remaja menyampaikan bahwa perkawinan
dini merupakan perkawinan dibawah umur.
Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan tentang arti
dari perkawinan dini sudah di ketahui oleh remaja dikelurahan ranomuut dan
perangkat kelurahan ranomuut serta orangtua dari remaja tersebut.
Terkait dengan wawancara mendalam tentang dampak, akibat serta resiko terjadi
perkawinan dini, semuanya baik remaja berusia 14-16 tahun di kelurahan ranomuut
maupun Camat, Lurah serta orangtua remaja juga mengerti dampak,akibat serta
resiko terjadi perkawinan dini, Hal ini dapat dilihat pada kotak 3 dibawah ini :

Kotak 3
“…..Nyanda enak, putus sekolah manyasal rupa mo cilaka, nyanda mo dapa
pekerjaan….” (IU1,IU2,).
“….Malo no tetap, pasti manyasal kiapa dang so tasala bagini dang, so
nyanda ada masa depan ….” (IU3,IU4).
“….Malu deng tetangga, kalu anak sobagitu musti kase kaweng ….” (IT3).
“…..Anak akan putus sekolah, tidak ada harapan dari orangtua, semuanya
jadi berantakan ….” (IT1,IT2)
“…..Dampak serta akibat dan resiko terjadi perkawinan dini semuanya akan
terjadi kehancuran dalam masa depan anak…”
(IU1,IU2,IU3,IU4,IT1,IT2,IT3)

Dalam penelitian ini dapat dijelaskan secara keselurahan bahwa informan utama
remaja usia 14-16 tahun dan informan triangulasi Camat, Lurah dan orangtua remaja
dapat mengetahui dampak, akibat serta resiko jika terjadi perkawinan dini.
Perhatian yang tulus dari orangtua terhadap anaknya akan membawa kebahagiaan
kepada semua orang terlebih pada putra putri anak Indonesia sebagai generasi
penerus bangsa karena anak remaja merupakan aset negara jika anak remaja tidak
diberikan perhatian dari sejak kecil, maka anak remaja akan menjadi pemberontak
dikemudian hari (Soetjiningsih 2011).
Menurut Dewantara 2014 dalam penelitiannya tentang beberapa faktor yang
mempengaruhi psikologis remaja adalah perhatian yang dan cinta kasih yang tulus
dari orangtua, akan mempengaruhi pengetahuan remaja tentang arti dari perkawinan
dibawah usia 19 tahun.
Keterkaitannya dengan wawancara mendalam tentang kerugian dan masalah apa
saja yang yang terjadi jika terjadi perkawinan dini, semua informan utama remaja
usia 14-16 tahun mengatakan bahwa tidak mengetahui apa yang menjadi kerugian
dan masalah apa saja jika terjadi perkawinan dini, hal ini dapat dilihat pada kotak 4
dibawah ini :

Kotak 4
“….Nintau le bu…hamil diperkosa stou….” (IU1)
“….Ini no kita nyanda mangarti, hamil baru itu jo ….”(IU2)
“….Nda tau le bu….”(IU3)
“….Tau le mmm, bakalae karna salah stou kang bu….” (IU4)
“….Tidak mengerti dan kemungkinan terjadi kehamilan dan pemerkosaan
….“(IU1,IU2,IU3,IU4)

Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa semua informan utama remaja berusia
14-16 tahun tidak mengerti tentang kerugian dan masalah apa saja jika terjadi
perkawinan dini. Pernyataan ini disampaikan baik remaja perempuan maupun remaja
laki-laki.
Pernyataan yang berbeda dengan informan triangulasi Camat,Lurah dan
orangtua remaja mengatakan bahwa kerugian dan masalah apa saja jika terjadi
pekawinan dini, hai ini dapat dilihat pada kotak 5 dibawah ini :
250

Kotak 5
“….Anak remaja dorang akan nyanda dapa pekerjaan, nganggur karena
orangtua hanya kase biar nyanda jaga perhatikan ” (IT1)
“….Ya tentunya dorang rugi tidak ada harapan dan nyanda ada masa
depan, depe masalah karena orangtua terlalu sibuk dengan kesibukan
mereka ….” (IT2).
“….Masih sekolah so batunangan akhirnya putus sekolah ….”(IT3)
“….Mereka tidak dapat pekerjaan masa depan tidak ada karena kesibukan
dari orangtua akhirnya putus sekolah ” (IT1,IT2,IT3)

Dari uraian diatas dapat dijelaskan semua informan triangulasi mengatakan


bahwa sebagian besar mengetahui apa yang menjadi kerugian dan masalah apa saja
akan terjadi jika terjadi perkawinan dini.
Pernyataan diatas dapat disimpulkan secara keseluruhan bahwa semua remaja
14-16 tahun belum mengetahui kerugian dan masalah apa saja jika terjadi perkawinan
dini, sedangkan semua informan triangulasi Camat,Lurah dan orangtua remaja
mengetahui kerugian dan masalah jika terjadi perkawinan dini.
Pola pikir yang luas akan membawa kontribusi yang sangat bermakna bagi semua
orang yang membutuhkan pengetahuan yang banyak sehingga segala sesuatu yang
kurang dimengerti akan menjadi mengerti jika kita banyak memberikan informasi
(Notoatmodjo 2012).
Menurut Rekawati 2012 dalam penelitiannya tentang pengetahuan remaja
terhadap HIV AIDS menyimpulkan bahwa pentingnya sebuah informasi yang terkini,
akan menambah wawasan berpikir sehat dan menambah pengetahuan bagi remaja
yang masih dibawah usia 20 tahun.

2. Pemahaman Remaja tentang Perkawinan Dini.


Informasi yang ingin didapatkan dari wawancara mendalam tentang pemahaman
remaja terhadap perkawinan dini meliputi, hal-hal apa saja akan terjadi jika terjadi
perkawinan dini, dan bagaimana cara menghindari dari perkawinan dini, hambatan-
hambatan apa saja dalam kehidupan pergaulan di masyarakat.
Berdasarkan wawancara mendalam dengan informan utama remaja usia 14-16
tahun tentang hal-hal apa saja yang akan terjadi jika terjadi perkawinan dini dan
bagaimana cara menghindari dari perkawinan dini 1 (satu) orang remaja diantaranya
mengatakan belum memahami tentang perkawinan dini, 3 (tiga) orang remaja
memahami tentang perkawinan dini, pernyataan ini dapat dilihat pada kotak 6 di
bawah ini :
Kotak 6
“….Kita nyanda paham, kita cuma tau masih kacili so kaweng….” (IU1).
“….Menyesal, malo, rasa rugi, kalo menurut kita boleh pacaran asal jang
talebe jang bekeng hal yang nyanda-nyanda …” (IU2).

“….Depe kehidupan rumah tangga tidak berjalan baik, torang hindari dengan
tidak boleh bergaul bebas, dan tidak narkoba ….”(IU3).

“….Nyanda nyaman, cita-cita nyanda tercapai, cari tamang laeng ja pangge


pi mendaki gunung….(IU4)

“….Saya tidak memahami tentang perkawinan dini, saya hanya tahu masih
kecil sudah menikah….” (IU1).

“…..Rasa menyesal, rasa tidak beruntung, tidak nyaman dalam kehidupan di


dalam rumah dan cita-cita tidak tercapai, hindari narkoba, hindari
pergaulan bebas jangan melakukan hal-hal yang tidak baik dalam
251

pergaulan….” (IU2,IU3,IU4)

Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa informan utama remaja usia 14-16
tahun sebagian besar dapat memahami tentang perkawinan dini. Dalam kaitannya
dengan penampilan remaja di masyarakat, berdasarkan hasil observasi penampilan
remaja sehari-hari dengan informan utama remaja usia 14-16 tahun di kelurahan
ranomuut, dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2 Lembaran Observasi terhadap penampilan Remaja tentang Perkawinan Dini


di Kelurahan Ranomuut Kecamatan Paal Dua Kota Manado (CEKLIST).

No Jenis Kegiatan Baik Kurang Keterangan

1 Berpakaian 
2 Pergaulan dengan teman 
dirumah
3 Pergaulan dengan orang yang 
lebih tua.
4 Pergaulan dengan teman sekolah 
5 Aktif mengikuti kegiatan di 
masyarakat
6 Aktif mengikuti kegiatan 
keagamaan.
7 Aktif ke sekolah 
8 Hubungan dengan teman 
dekatnya yang berlawanan jenis
kelamin.
9 Bersosialisasi dengan tetangga 
10 Hubungan dengan 
orangtua/Keluarga.

Dari tabel ini dapat dijelaskan bahwa observasi terhadap penampilan remaja
sehari-hari di masyarakat semuanya berpenampilan baik dan dapat bersosialisasi
dengan masyarakat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar remaja 14-16 tahun di
kelurahan ranomuut dapat memahami hal-hal yang akan terjadi jika terjadi
perkawinan dini, dan dapat menghindari terjadinya perkawinan dini.
Perhatian yang tulus dari orangtua terhadap anaknya merupakan sesuatu yang
sangat berharga dan berbahagia untuk menjalin keluarga yang harmonis ( Kartono
2012).
Menurut Mulyono 2013 dalam penelitiannya tentang Analisis determinan prilaku
remaja terhadap Seksual Pranikah menyimpulkan bahwa sejak dalam kandungan anak
dibesarkan dalam cinta kasih dari orangtua, dampak besar menjadi remaja yang
berperilaku dan berkarakter baik.
Keterkaitan dengan pertanyaan hambatan apa saja dalam pergaulan dimasyarakat,
3 (tiga) orang informan Utama mengatakan tidak ada hambatan atau masalah dalam
pergaulan di masyarakat, 1 (satu) orang mengatakan ada teman yang sering merokok
dan menggoda untuk merokok, Hal ini dapat dilihat pada kotak 7, dibawah ini :
Kotak 7
“….Nyanda ada masalah, kita banyak tamang, kita so mangarti itu mimpi
basah…” (IU1)
“….Bae-bae nyanda ada hambatan deng tamang ….” (IU2)
“….Enak no nyanda ada masalah …..” (IU3)
“….Ya ba tamang kadang ada tu bae ajak ke geraja, ada juga yang bisae
dorang ajak pigi ba rokok diluar….” (IU4)
“…Tidak ada masalah dengan teman-teman…”
252

(IU1,IU2,IU3)
“….Kadang ada teman yang baik hati ajak pergi ke gereja, ada juga yang mau
ajak pergi merokok diluar ….” IU4)

Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa sebagian besar remaja 14-16 tahun
tidak mendapat hambatan/masalah dalam pergaulan di masyarakat.
Pernyataan yang berbeda yang disampaikan oleh Informan Triangulasi bahwa
remaja 14-16 tahun di kelurahan Ranomuut ada masalah atau hambatannya dalam
bersosialisasi dengan masyarakat banyak remaja sudah mulai belajar merokok, Hal
ini dapat dilihat pada kotak 8 di bawah ini :
Kotak 8
“…..Ya bu…. banyak remaja so mulai coba-coba dengan mengisap rokok,
jarang masuk sekolah dsb …..” (IT1).
“…..Klu remaja disini ada bu yang jaga ba rokok masih SMP, mar nyanda
semua tapi so ada yang jaga mulai ba rokok….” (IT2)
“….Masalahnya bu remaja so jaga mulai batunangan, kong ada juga no jaga
curi-curi ba rokok Cuma tako lama-lama somo belajar hubungan sex….”
(IT3).
“….Remaja sudah mulai belajar merokok, di sekolah dan juga sudah mulai
belajar pacaran…..” (IT1,IT2,IT3)

Dari uraian diatas dapat di jelaskan bahwa sebagian besar remaja 14-16 tahun
masalah dalam bersosialisasi mereka sudah mulai belajar merokok dan berpacaran di
sekolah.
Dengan demikian pernyataan diatas tentang pemahaman remaja 14-16 tahun
terhadap pernikahan dini secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa remaja 14-16
tahun di kelurahan ranomuut memahami tentang pernikahan dini, namun memiliki
masalah dalam bersosialisasi dengan masyarakat contohnya remaja 14-16 tahun mulai
belajar merokok dan mulai berpacaran.
Hasil tersebut diatas juga sesuai penelitian Yustina (2012) menegaskan bahwa
bersosialisasi dengan masyarakat merupakan sesuatu yang sangat penting dimana
kelompok orang berkumpul di masyarakat akan membawa kebahagiaan dan
kerukunan dalam berorganisasi, sehingga dapat dikatakan bahwa sosialisasikan
sesuatu yang baru ditemui hendaknya dapat diperkenalkan untuk mencapai tujuan
yang diharapkan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul Analisis Pengetahuan Remaja
tentang Pernikahan Dini di Kelurahan Ranomuut Kec Paal Dua Kota Manado dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Mengetahui Pengetahuan Remaja tentang Pernikahan Dini. Remaja 14-16 tahun
di kelurahan ranomuut secara keseluruhan sudah dapat mengetahui arti dari
pernikahan dini, namun kerugian dan masalah apa saja yang akan terjadi jika
terjadi perkawinan dini belum semua diketahui.
2. Mengetahui Pemahaman Remaja tentang Pernikahan Dini. Remaja 14-16 tahun
di kelurahan ranomuut sebagian besar dapat memahami hal-hal yang akan terjadi
jika terjadi perkawinan dini, akan tetapi hambatan dan masalah dalam pergaulan
di masyarakat belum memahami dengan jelas dalam pergaulan bersosialisasi,
mereka sudah mulai belajar merokok dan berpacaran di sekolah.
Saran
1. Bagi Pemerintah Daerah diharapkan dapat meningkatkan implementasi
Kinerja dalam bidang pendidikan dan kesehatan terutama menginformasikan
kepada masyarakat khususnya orangtua yang memiliki remaja agar dapat
memperhatikan dan memberikan bimbingan dalam pergaulan dikalangan remaja.
253

2. Bagi BKKBN Kota Manado dapat memberikan pelayanan terpadu dalam


meningkatkan kerjasama lintas sektoral khususnya monitoring dan evaluasi
pelaksanaan PIK-R (Pusat Informasi dan Konseling Remaja) di sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama melalui bimbingan dan konseling di sekolah.
3. Bagi BKKBN Propinsi Sulut dapat merencanakan dan memfasilitasi program
kerja terutama dalam meningkatkan pengetahuan remaja tentang perkawinan dini
untuk mencegah pergaulan bebas yang mengakibatkan terjadinya perkawinan dini
dalam usia remaja.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dewantara 2014. Penelitian tentang Beberapa Faktor yang mempengaruhi


Psikologis Remaja.Semarang
2. Kumalasari,I & Andhyantoro, I. 2012. Kesehatan Reproduksi Untuk
Mahasiswa Kebidanan Dan Keperawatan. Salemba madika. Jakarta
3. Kartono 2012. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Sekolah, EGC Jakarta.
4. Manuaba , A.C. 2011. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. EGC. Jakarta
5. Mulyono,2013. Penelitian tentang Analisis Determinan Prilaku Remaja
terhadap Seksual Pranikah. Bandung
6. Notoadmodjo, S. 2012. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineke Cipta.
Jakarta
7. Nurjannah 2013. Penelitian tentang Analisis Hubungan pengetahuan dan sikap
remaja terhadap perkawinan dini. Semarang
8. Rekawati 2012. Penelitian tentang Pengetahuan Remaja tentang HIV AIDS.
Yogyakarta
9. Romauli dan Vindari, V.A. 2012. Kesehatan Reproduksi.Nuha Media.
10. Rumini, S. dan Sundari, H.S. 2013. Perkembangan Anak Dan Remaja. Rineke
Cipta. Jakarta. Yogyakarta.

11. Simbolon, D.W.S. 2011. Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi Sulawesi


Utara. Manado
12. Sulistyaningssih. 2011. Metodelogi Penelitian Kebidanan Kuantitatif-Kuratif.
Graha ilmu. Yogyakarta
13. Soetjiningsih, 2011 Pertumbuhan dan Perkembangan Anak.EGC. Jakarta
14. Wulandari, D. 2011. Komonikasi Dan Konseling Dalam Praktik Kebidanan.
Nuha Medika. Jogjakarta.
15. Wulandari, J.R. 2011. Seks Cara Ternikmat Hidup Sehat. Dinamika Media.
Krapiak
16. Yustina 2012 Penelitian tentang Beberapa Faktor yang mempengaruhi
sosialisasi terhadap Lingkungan Masyarakat Pedesaan. Manado
17. Yuanita, S. 2011. Fenomena dan tantangan remaja menjelang dewasa. Brilliant
books. Yogyakarta.
254

FACTORS THAT AFFECT WOMEN TO PERFORM EARLY


DETECTION OF CA.CERVIX

Conny J. Surudani 1), Meistvin Welembuntu 2)


1
Jurusan Kesehatan, Politeknik Negeri Nusa Utara (penulis 1)
email: conny_surudani@yahoo.com
21
Jurusan Kesehatan, Politeknik Negeri Nusa Utara (penulis 2)
email: meistvin@yahoo.com

Abstract. As many as 80%-90% of cervical cancers tend to occur in women aged 30-
55 years. Most of cervical cancer are detected already in a late stage. Early detection
on Ca. Cervix is helpful to decreased morbidity and mortality rate. This study aimed
to determine factors that affect women to perform early detection of ca.cervix.
Method used in this study : quantitative method with cross-sectional research design
with fisher’s exact test. Total sampling in this research are 221 women. Data
collected thru valid and reliable questionnaire made by researchers. Result: There is
a significant relationship between geographic and early detection of ca.cervix, there
is no significant relationship between education and early detection of ca.cervix,
there is no significant relationship between risk factors and early detection of
ca.cervix, there is no significant relationship between economic status and early
detection of ca.cervix, and there is no significant relationship between knowledge and
early detection of ca.cervix. Conclusion: This study showed that geographic factor
influence to perform early detection of ca. cervix.
Keywords: Ca. Cervix, Early detection, Pap smear

PENDAHULUAN
Kanker serviks adalah suatu penyakit kanker terbanyak kedua di seluruh dunia
yang mencapai 15% dari seluruh kanker pada wanita. Di beberapa Negara menjadi
penyebab kanker terbanyak pada wanita dengan kontribusi 20-30%. Di Negara
berkembang keganasan pada serviks merupakan penyebab kematian nomor dua.
Setiap tahun di seluruh dunia terdapat 600.000 kanker serviks invasif baru dan
300.000 kematian (Sarwono, 2006).
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa penyakit kanker
merupakan masalah kesehatan di berbagai Negara termasuk Indonesia. WHO
mengestimasikan bahwa 84 juta orang meninggal akibat kanker dalam rentang waktu
2005-2015. Berdasarkan Profil Kesehatan Republik Indonesia tahun 2008, 10
peringkat utama penyakit neoplasma ganas atau kanker pasien rawat inap di rumah
sakit sejak tahun 2004-2008 tidak banyak berubah. Tiga peringkat utama adalah
neoplasma ganas payudara disusul neoplasma ganas serviks uterus dan neoplasma
ganas hati dan saluran intra hepatik. (dikutip dari Abdullah, Bawotong, Hammel,
2013).
Tingginya kejadia kanker serviks di Indonesia disebabkan karena penyakit
tersebut tidak menimbulkan gejala awal, sehingga mayoritas penderita datang berobat
saat penyakit tersebut telah mencapai stadium lanut. Pendeteksian sejak dini terhadap
abnormalitas sel dapat memperkecil bahkan menghambat pertumbuhan sel menjadi
kanker. Pemeriksaan (skrining) merupakan metode untuk menemukan infeksi HPV
atau lesi prakanker. Skrining dapat mendeteksi kanker yang terjadi pada fase awal
sebelum kanker tersebut memberikan gejala atau keluhan secara klinis.
Selain terlambat penanganan, beberapa faktor yang diduga meningkatkan
kejadian kanker servik yaitu meliputi usia (Dianida, 2007), status social ekonomi,
pengetahuan, pendidikan (Azis, 2006), sikap dan perilaku (Fauziah, dkk (2011).
Meningkatnya resiko kanker servik pada usia lanjut merupakan gabungan dari
255

meningkatnya dan bertambah lamanya waktu pemaparan terhadap karsinogen serta


makin melemahnya system kekebalan tubuh akibat usia(Dianada, 2007).
Pengetahuan dan pendidikan ibu tentang kanker servik akan membentuk sikap
positif terhadap rendahnya deteksi dini kanker servik. Hal ini juga merupakan factor
dominan dalam pemeriksaan deteksi dini kanker serviks. Pengetahuan dan pendidikan
yang dimiliki wanita usia subur tersebut akan menimbulkan kepercayaan ibu tentang
deteksi dini kanker serviks (Aziz, 2006). Selain faktor pengetahuan dan pendidikan
status ekonomi juga berpengaruh terhadap rendahnya deteksi dini kanker servik.
Penyebaran masalah kesehatan yang berbeda berdasarkan status ekonomi pada
umumnya dipengaruhi oleh adanya perbedaan kemampuan ekonomi dalam mencegah
penyakit dan adanya perbedaan sikap hidup dan prilaku yang dimiliki seseorang
(Noor, 2000).
Sehubungan dengan tidak optimalnya deteksi dini kanker servik sehingga
menyebabkan terus meningkatnya kejadian kanker servik dari tahun ke tahun oleh
karena itu peneliti tertarik untuk mengambil judul Faktor-faktor yang mempengaruhi
dalam pemeriksaan Pap Smear pada WUS di desa Kahakitang Kecamatan Tatoareng
dan Kota Tahuna Kabupaten Kepulauan Sangihe Provinsi Sulawesi Utara.
Rumusan masalah dalam penelitian ini ialah apakah faktor-faktor yang
mempengaruhi wanita usia subur melakukan pemeriksaan dini kanker serviks?
Tujuan umum penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi wanita usia subur melakukan pemeriksaan dini kanker serviks
KAJIAN LITERATUR DAN PEGEMBANGAN HIPOTESIS
Menurut Bobak (2005), Kanker serviks merupakan kasinoma ginekologi yang
terbanyak di dunia. Penyebab lansung karsinoma uterus belum diketahui. Faktor
ekstrinsik yang diduga berhubungan dengan insiden karsinoma seviks uteri adalah
smegma, virus Human Papilloma Virus (HPV), dan spermatozoa. Karsinoma serviks
uteri timbul disambungan skuamokolumner serviks. Faktor resiko yang berhubungan
dengan karsinoma serviks ialah perilaku seksual berupa mitra seks multiple, paritas,
nutrisi, rokok, dll. Karsinoma serviks tumbuh dapat tumbuh eksofitik, endofitik, atau
ulseratif.
Beberapa faktor yang diduga meningkatkan kejadian kanker serviksyaitu
meliputi usia, status sosial ekonomi, pengetahuan, dan pendidikan. Hal ini juga
merupakan factor dominan dalam pemeriksaan deteksi dini kanker serviks ( Dianada,
2007).
Tes ini merupakan penapisan untuk mendeteksi infeksi HPV dan prakanker
serviks. Ketetapan diagnostik sitologinya ± 90% pada displasia keras (karsinoma in
situ) dan 76 % pada displasia ringan/sedang. Didapatkan hasil negatif palsu 5-50%
sebagian besar disebabkan pengambilan sediaan yang tidak adekuat. Sedangkan hasil
positif palsu sebesar 3-15 %. Semua wanita berusia 18 tahun atau lebih dan telah
atau akhir-akhir ini secara harus melakukan.

BAHAN DAN CARA


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor yang
mempengaruhi Wanita Usia Subur untuk melakukan pemeriksaan dini kanker serviks.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan Metode penelitian yang
digunakan adalah cross sectional. Penelitian deskriptive digunakan untuk mengetahui
tingkat pengetahuan, pendidikan, letak geografis, status ekonomi, dan faktor resiko.
Penelitian korelational digunakan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan,
pendidikan, letak geografis, status ekonomi, dan faktor resiko terhadap deteksi dini
kanker serviks.
256

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian dilaksanakan di 2 lokasi yaitu daerah Urban dan Rural. Daerah


Urban yaitu kota Tahuna (Ibukota Kabupaten Sangihe) dan daerah rural yaitu pulau
Kahakitang yang merupakan pulau dan harus menempuh 3 jam perjalanan jika
menggunakan kapal laut. Jumlah sampel yaitu 221 orang responden yang telah
memenuhi kriteria inklusi. Adapun hasil yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu :
Tabel. 1 Distribusi Responden Penelitian
Kategori
Variabel Penelitian
Kota Desa
n % n %
Letak Geografis 85 38.5 136 61.5
Tinggi Rendah
n % n %
Pengetahuan 135 61.1 86 38.9
Resiko Tidak Beresiko
n % n %
Faktor Risiko 144 65.2 77 34.8
Cukup Kurang
N % n %
Penghasilan 21 9.5 200 90.5
Tinggi Menengah
N % n %
Pendidikan 22 10 199 90
Beresiko Tidak Beresiko
N % n %
Deteksi Dini 16 7.2 205 92.8

Tabel 1. Menyajikan jumlah respon 221 orang dimana sebanyak 61,5 %


tinggal di Desa, 61,1 % memiliki pengetahuan tinggi dan sebagian besar dari mereka
memiliki tingkat pendidikan menengah. Sementara terdapat 65,2 % memiliki risiko
terkena kanker mulut rahim dan 90,5 % berpenghasilan kurang dan dari total
responden tersebut hanya 7,2 % yang melakukan deteksi dini.
Tabel. 2 Hubungan Antara Letak Geografis Dengan Deteksi Dini Kanker Mulut
Rahim (n=221)
Deteksi dini
ya tidak Total p
n % n %
1
Kota 16.5 71 85 85
Letak geografis 4 0,000
Desa 2 1.5 134 98.5 136
Analitik statistik Chi-Square Test α = 0,05
Tabel. 2 menyajikan hubungan letak geografis dengan deteksi dini kanker
serviks, dimana terdapat 14 responden (16.5 %) yang berdomisili di kota melakukan
deteksi dini, sementara responden yang tinggal di desa hanya 2 responden (1.5%)
yang melakukan deteksi dini, hasil analisis uji Chi-Square Test diperoleh nilai p
value 0,000 (p <0,05) artinya terdapat hubungan yang signifikan antara letak
geografis responden dengan deteksi dini kanker serviks.
257

Tabel. 3 Hubungan Faktor Risiko Dengan Deteksi Dini (n=221)


Deteksi dini
Tota
Ya tidak p
l
N % N %

Faktor ya 11 7.6 133 92.4 144


0.968
risiko tidak 5 6.5 72 93.5 77
Analitik statistik Chi-Square Test α = 0,05

Tabel.3 menyajikan hubungan factor risiko dengan deteksi dini kanker


serviks, dimana terdapat 11 responden (7,6 %) yang memiliki factor risiko melakukan
deteksi dini, sementara 133 responden (92.4 %) lainnya yang memiliki factor risiko
tidak melakukan deteksi dini, hasil analisis uji Chi-Square Test diperoleh nilai p
value 1,00 (p > 0,05) artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara factor
risiko dengan deteksi dini kanker serviks.

Tabel. 4 Hubungan Status Ekonomi Dengan Deteksi Dini (n=221)


Deteksi dini

Ya tidak Total p

N % n %

Cukup 2 9.5 19 90.5 21


Status Ekonomi 0,654
Kurang 14 7.0 186 93.0 200

Analitik statistik fisher’s exact α = 0,05

Tabel.4 menyajikan hubungan antara Status Ekonomi dengan deteksi dini


kanker serviks, dimana terdapat 19 responden (90..5 %) yang memiliki status
ekonomi cukup tidak melakukan deteksi dini, sementara 186 responden (93 %)
dengan status ekonomi kurang tidak melakukan deteksi dini, hasil analisis uji fisher’s
diperoleh nilai p value 0,654 (p > 0,05) artinya tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara status ekonomi dengan deteksi dini kanker serviks
Tabel. 5 Hubungan Pendidikan Dengan Deteksi Dini (n=221)
Deteksi dini
Tota
Ya tidak p
l
n % n %
Tinggi 2 9.1 20 90.9 22
Pendidikan 0,665
Menengah 14 7.0 185 93.0 199

Analitik statistik fisher’s exact α = 0,05


Tabel.5 menyajikan hubungan antara tingkat pendidikan dengan deteksi dini
kanker serviks, dimana terdapat 2 responden (15,4 %) yang berpendidikan tinggi
melakukan deteksi dini, sementara 67 responden (93,1 %) pendidikan menengah
tidak melakukan deteksi dini, hasil analisis uji fisher’s diperoleh nilai p value 0,29 (p
> 0,05) artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan
deteksi dini kanker serviks
258

Tabel. 6 Hubungan Pengetahuan Dengan Deteksi Dini (n=221)


Tot
Deteksi dini P
al
Ya tidak
N % n %
Baik 7 5.2 128 94.8 135
Pengetahuan 0.226
Kurang 9 10.5 77 89.5 86

Analitik statistik Chi-Square Test α = 0,05


Tabel.6 menyajikan hubungan antara pengetahuan dengan deteksi dini kanker
serviks, dimana terdapat 7 responden (5.2 %) yang berpengetahuan baik melakukan
deteksi dini, sementara 77 responden (89.5 %) memiliki pengetahuan kurang tidak
melakukan deteksi dini, hasil analisis uji Chi-Square Test diperoleh nilai p value
1,00 (p > 0,05) artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan
dengan deteksi dini kanker serviks.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara Letak Geografis
dengan deteksi dini kanker serviks. Jarak yang cukup jauh antara Pulau Kahakitang
dan Ibukota Kabupaten maupun ibukota provinsi menyebabkan tidak adanya niat
masyarakat untuk melakukan deteksi dini. Disamping itu penelitian ini juga
menunjukkan responden yang tinggal di kota pun hanya 16.5 % responden yang
melakukan deteksi dini kanker serviks. Faktor yang menghalangi deteksi dini kanker
serviks menurut Akinyemiju, T.(2012) ialah akses ke fasilitas kesehatan dan petugas
kesehatan, juga kurangnya pendekatan yang komprehensif mengenai pencegahan
kanker, dan pemeriksaan pap smear.
Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara factor risiko
dengan deteksi dini kanker serviks., dan hanya 7,6 % yang memiliki factor risiko
melakukan deteksi dini, sementara 92.4 % lainnya yang memiliki factor risiko tidak
melakukan deteksi dini.
Kanker serviks disebut juga dengan kanker mulut rahim. disebabkan oleh
human papilloma virus (HPV) onkogenik, yang menyerang leher rahim. Menurut
Septadinata, dkk, Kelompok berisiko untuk terjadinya kanker serviks adalah wanita di
atas usia 30 tahun yang memiliki banyak anak dan dengan perilaku menjaga
kesehatan reproduksi yang masih kurang.. Di Indonesia hanya 5 persen yang
melakukan penapisan kanker leher rahim, sehingga 76,6 persen pasien ketika
terdeteksi sudah memasuki Stadium Lanjut (IIIB ke atas).
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara factor risiko dengan deteksi dini kanker serviks,dan walaupun
90,5% responden yang memiliki status ekonomi cukup tidak melakukan deteksi dini.
Fang et all (2016) dalam penelitiannya mengenai Pemanfaatan dan hambatan
pap smear pada perempuan tuna netra menunjukkan bahwa income atau pendapatan
tidak mempengaruhi responden melaksanakan pap smear, studi ini menyatakan
bahwa pemerintah yaitu Biro Promosi Kesehatan menyiapkan Pap Smear gratis bagi
para tunanetra.
Dalam penelitian ini terdapat 2 responden (15,4 %) yang berpendidikan tinggi
melakukan deteksi dini, sementara 67 responden (93,0 %) pendidikan menengah
tidak melakukan deteksi dini, dan juga penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara pendidikan dengan deteksi dini kanker serviks.
Hyacinth, dkk (2012) dalam penelitiannya mengenai Kanker servix dan
kesadaran melakukan pap smear pada Pegawai pemerintah di Nigeria menyatakan
bahwa para responden mengetahui mengenai kanker servix maupun pap smear lewat
259

media, dan sumber lainnya ialah rumah sakit.Penelitian ini juga menunjukkan para
responden melakukan pemeriksaan pap smear karena dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan, kesadaran dalam melakukan pemeriksaan pap smear, ancaman yang
ditimbulkan oleh kanker serviks dan pencegahan kanker serviks.
Penelitian ini menunjukkan bahwa 5,2 % responden yang berpengetahuan
baik melakukan deteksi dini, sementara 89,5 % responden memiliki pengetahuan
kurang tidak melakukan deteksi dini, sehingga tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara factor risiko dengan deteksi dini kanker serviks.
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ningrum &
Fajarsari (2012) mengenai Faktor-faktor mempengaruhi motivasi ibu mengikuti
deteksi dini kanker serviks melalui metode Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) di
Kabupaten Banyumas menyatakan bahwa factor-faktor yang mempengaruhi yaitu
Pengetahuan, Tingkat Pendidikan, dan Status Ekonomi
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa factor yang mempengaruhi deteksi dini
kanker serviks wanita usia subur ialah letak geografis. Penelitian ini juga
menunjukkan bahwa factor risiko, ekonomi, pendidikan, dan pengetahuan tidak
mempengaruhi wanita usia subur baik itu di daerah rural maupun urban untuk
melakukan deteksi dini kanker serviks.
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdullah, S., Bawotong, J., Hamel, R. (2013). Hubunga Pemeriksaan Kontrasepsi


hormonal dan non hormonal dengan kejadian kanker serviks di RSUP. Prof DR.
R.D.Kandou Manado. E-Jurnal Keperawatan (E-Kp) vol 1, No.1, Agustus 2013.
2. Akinyemiju, T.,F. (2012). Socio-Economicand Health Access Determinants of
Cervical Cancer Screening in Low-Income Analysis of the World Health Survey.
PLOS ONE:7:11. doi:10.1371/journal.pone.0048834
3. Bobak, I., Lowdermilk, D.,L., Jensen, M. D., dan Perry, S.,E. (2005). Buku Ajar
Keperawatan Maternitas. EGC: Jakarta.
4. Darnindo, N., dkk. (2007). Pengetahuan, sikap, perilaku perempuan yang sudah
menikah mengenai pap smear dan faktor-faktor yang berhubungan di Rumuah
Susun Klender Jakarta 2006. Maj. Kedok Indon, Volume:57,No.7, (220-226).
5. Fang, W., Yen,C., Hu, J., Lin, J., Loh,C. (2016). The Utilization and Barriers of
Pap Smear along Women with visual impairment. International Journal for
Equity in Health, 15:65. DOI 10.1186/s12939-016-0354-4
6. Fauziah, R., dkk. (2007). Deteksi dini kanker serviks pada pusat pelayanan primer
di Lima wilayah DKI Jakarta. J. Indon Med Assoc. Vol 4, No. 11, (447-452).
7. Hyacinth, H.,I., Adekeye, O.,A., Ibeh, J., N., & Oseoba., T. (2012). Cervical
CancerandPap Smear Awareness and Utilization of Pap Smear Test among
Federal Civil Servants in North Central Nigeria.
doi:10.1371/journal.pone.0046583
8. Ningrum, R., D., & Fajarsari, D.(2013). Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Motivasi Ibu Mengikuti Deteksi Dini Kanker Serviks Melalui Metode Inspeksi
Visual Asam Asetat (IVA) di Kabupaten Banyumas Tahun 2012. Jurnal Ilmiah
Kebidanan, 4:1.
9. Rositch, A.,F., Et all. (2012). Knowledge and Acceptability of PapSmear, Self
Sampling and HPV Vaccination among adult women in Kenya. PLOS ONE: 7:7.
doi:10.1371/journal.pone.0040766
10. Septadina, I.,S., Kesuma, H., Handayani, D., Suciati, T., Liana, P.Upaya
Pencegahan Kanker Serviks Melalui Peningkatan Pengetahuan Kesehatan
Reproduksi Wanita dan PemeriksaanMetode IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat)
di Wilayah Kerja Puskesmas Kenten Palembang. Jurnal Pengabdian Sriwijaya
260

DETERMINAN PERILAKU PEMANFAATAN METODE KONTRASEPSI


JANGKA PANJANG (MKJP) DI KABUPATEN MINAHASA UTARA

Iyam Manueke, M.Kes


Poltekkes Kemenkes Manado Jurusan Kebidanan

ABSTRAK
Masalah kependudukan di Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar dan
distribusi yang tidak merata. Program Keluarga Berencana (KB) berpotensi
meningkatkan status kesehatan wanita dan menyelamatkan kehidupannya. Salah satu
sasaran program KB dalam RKP adalah menargetkan cakupan pasien baru yang
menggunakan MKJP sebesar 28.8% dan pasien aktif yang menggunakan MKJP
sebesar 25%. Pada tahun 2016 di Sulawesi Utara peserta KB baru yang menggunakan
MKJP sampai dengan bulan Februari mencapai 14.04%. Kabupaten Minahasa Utara
hasil pelayanan peserta KB baru yang menggunakan MKJP hanya 10.55% (BKKBN,
2016). Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (Long term) untuk provinsi
Sulawesi Utara hanya 14%. Tujuan penelitian ini adalah Untuk memperoleh
informasi Determinan faktor perilaku pemanfaatan metode kontrasepsisi jangka
panjang (MKJP) di Kabupaten Minahasa Utara.
Metode penelitian; Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang
disajikan dalam bentuk deskriptif analitik. Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kasus-kontrol yaitu membandingkan subjek dengan MKJP
sebagai kasus dengan subjek tanpa MKJP sebagai control. Kemudian peneliti
menghitung porporsi kasus yang terpajan dan tidak terpajan, serta porporsi control
yang terpajan dan tidak terpajan. Populasi dalam penelitian ini adalah Pasangan Usia
Subur (PUS) di Kabupaten Minahasa Utara. Sampel dengan cara mendatangi 11
(sebelas) Puskesmas yang berada di wilayah Kabupaten Minahasa Utara sebanyak
110 responden. Analisis data menggunakan Analisis univariat; Distribusi frekuensi,
Analisis bivariat; chi-square, Analisis multivariat; regresi logistik Analisis bivariat
menggunakan iji chi square dan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik
dengan tingkat kemaknaan p<0.05.
Hasil penelitian; faktor umur, pendidikan, jumlah anak, fasilitas, dukungan
suami dan pengetahuan ibu mempunyai hubungan yang siqnifikan dengan perilaku
pemanfaataan MKJP. Saran: Perlu meningkatkan promosi kesehatan tentang
pemanfaatan Metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) yang tepat dan terbaik bagi
Pasangan usia subur menurut karakteristiknya, Perlu pemerataan distribusi tenaga
terlatih khususnya tentang MKJP, Perlu tambahan media informasi khususnya tentang
MKJP.
Kata kunci: Determinan, perilaku, pemanfaatan MKJP
PENDAHULUAN
Masalah kependudukan di Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar dan
distribusi yang tidak merata. Hal ini dibarengi dengan masalah lain yang lebih
spesifik, yaitu angka fertilitas dan angka mortalitas yang relatif tinggi. Kondisi ini
dianggap tidak menguntungkan dari sisi pembangunan ekonomi. Logika ini secara
umum digunakan sebagai sebagai landasan kebijakkan untuk mengendalikan laju
pertumbuhan penduduk dan secara khusus hal ini juga digunakan untuk memberikan
penekanan mengenai pentingnya suatu keluarga melakukan pengaturan pembatasan
jumlah anak (Tresnawati, 2012).
261

Program Keluarga Berencana (KB) berpotensi meningkatkan status kesehatan


wanita dan menyelamatkan kehidupannya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara
memungkinkan wanita untuk merencanakan kehamilan sedemikian rupa sebagai
kontribusi dari hak reproduksi sehingga dapat menghindari kehamilan pada umur atau
jumlah persalinan yang membawa bahaya tambahan dengan cara menurunkan
kesuburan (Manurung, 2012).
Sasaran program Keluarga Berencana (KB) adalah menurunkan rata-rata laju
pertumbuhan penduduk (LPP) secara nasional menjadi 1,14% per tahun dan
menurunkan angka kelahiraan total (Total Fertelity Rate) menjadi 2,2 per perempuan
(Arum & Sujiyatini, 2009).
Gerakan KB Nasional selama ini telah berhasil mendorong peningkatan peran
serta masyarakat dalam membangun keluarga kecil yang makin mandiri.
Keberhasilan ini mutlak harus diperhatikan bahkan terus ditingkatkan karena
pencapaian tersebut belum merata, Secara nasional jenis alat KB yang digunakan
didominasi dengan cara suntik 31%, pil 11,2% dan yang menggunakan AKDR 3,8%.
Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (Long term) untuk provinsi
Sulawesi Utara hanya 17% dan 45,3% menggunakan metode jangka pendek (Short
term), sisanya tradisional 0,2% dan tidak ber KB 37,6% (Kemenkes RI, 2012).
Salah satu sasaran program KB dalam RKP adalah menargetkan cakupan
pasien baru yang menggunakan MKJP sebesar 28.8% dan pasien aktif yang
menggunakan MKJP sebesar 25% (BKKBN, 2015). Pada tahun 2016 di Sulawesi
Utara peserta KB baru yang menggunakan MKJP sampai dengan bulan Februari
mencapai 14.04%. sementara di Kabupaten Minahasa Utara hasil pelayanan peserta
KB baru yang menggunakan MKJP hanya 10.55% (BKKBN, 2016). Hal ini
menujukkan bahwa di Kabupaten Minahasa Utara belum mencapai target pelayanan.
Tujuan penelitian yaitu memperoleh informasi Determinan faktor perilaku
pemanfaatan metode kontrasepsisi jangka panjang (MKJP) di Kabupaten Minahasa
Utara. Adapun manfaat sebagai bahan masukan dalam pengembangan institusi
khususnya dalam meningkatkan kompetensi lulusan bidan. Sebagai bahan masukan
untuk meningkatkan kinerja dalam pelayanan kesehatan khususnya metode
kontrasepsi jangka panjang (MKJP).

BAHAN DAN CARA


Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan rancangan
case control study yaitu membandingkan subjek dengan MKJP sebagai kasus dengan
subjek tanpa MKJP sebagai kontrol. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli –
November 2016, Penelitian akan dilaksanakan di Kabupaten Minahasa Utara.
Populasi adalah seluruh akseptor KB di Kabupaten Minahasa Utara sebanyak 58.587
akseptor Sampel penelitian diambil berdasarkan rumus Slovin:
n = N/ 1+N(e)2
n = sampel
N = Populasi
e = nilai presisi 90% atau siq. = 0.1
maka jumlah sampel yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:
n = 58.587 / 1 + 58.587(0.1)2
= 58.587 / 586.87
= 99.8 digenapkan 100
Tehnik pengambilan sampel adalah tehnik accidental sampling. Tehnik
accidental sampling yaitu cara pengambilan samel yang dilakukan dengan kebetulan
bertemu dan ditentukan oleh peneliti. Pengambilan sampel dilakukan di 11
262

puskesmas diwilayah Kabupaten Minahasa Utara masing-masing 10 responden terdiri


dari 5 responden yang MKJP dan Non MKJP.
Definisi Operasional Variabel Penelitian ; Umur Ibu : Usia Ibu pada saat
mengikuti metode kontrasepsi saat ini dihitung dalam tahun. Skor 0 jika umur < 35
tahun dan 1 jika umur ≥ 35 tahun. Jumlah Anak Hidup : Jumlah anak yang dilahirkan
oleh seseorang dan masih hidup sampai saat ini. Skor 0 jika 0-2 anak dan 1 jika ≥ 3
anak. Pendidikan Ibu : Jenjang sekolah formal tertinggi yang dicapai oleh ibu. Skor 0
jika SD dan SMP dan 1 jika SMU, PT. Status Pekerjaan Ibu : kegiatan ekonomi yang
dilakukan ibu dengan maksud memperoleh atau membantu pendapatan atau
keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus) skor 0 jika tidak bekerja dan 1 jika
bekerja. Pengetahuan Ibu : segala hal yang diketahui ibu tentang MKJP. skor 0 jika
Pengetahuan kurang dan 1 jika pengetahuan ibu baik. Penghasilan : Jumlah
penghasilan yang didapatkan keluarga selama 1 bulan. Skor 0 jika kurang dari UMR
(Rp. 2.400.000.-) dan 1 jika > UMR (Rp. 2.400.000.-). Biaya Penggunaan Alat
Kontrasepsi : Semua pengeluaran yang digunakan untuk memanfaatkan kontrasepsi
MKJP. Skor 0 jika ada biaya dan skor 1 jika tidak ada biaya. Jarak Ketempat
Pelayanan KB : Jarak yang ditempuh akseptor KB dari tempat tinggalnya kelokasi
pelayanan KB untuk mendapatkan pelayanan KB. Skor 0 jika > 2,5 km dan 1 jika ≤
2,5 km. Dukungan Suami : Persetujuan dan Anjuran dari suami kepada ibu untuk
memakai KB. Skor 0 jika tidak ada dukungan dan 1 jika ada dukungan. Fasilitas
Pelayanan KB : Kelengkapan pelayanan yang diberikan oleh petugas kesehatan
kepada peserta akseptor KB. Skor 0 jika tidak lengkap dan 1 jika lengkap.
Analisa data 1)Analisa univariat; digambarkan dalam bentuk distribusi
frekuensi, 2) Analisa bivariat; menggunakan uji hipotesis dua variabel kategorik yaitu
uji beda proporsi atau Chi-square batas kemaknaan sebesar 0,05 (5%). 3) Analisa
multivariat; Analisis yang digunakan adalah analisis regresi logistik.
HASIL PENELITIAN
a. Analisis Univariat

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Determinan Perilaku Pemanfaatan MKJP di


Kabupaten Minahasa Utara
MKJP NON MKJP TOTAL
VARIABEL
f % f % f %
UMUR
<35 Tahun 29 50 37 71.2 60 66
>= 35 Tahun 29 50 15 28.0 40 44
PENDIDIKAN
Tinggi 15 25.9 25 51.9 40 36.4
Rendah 43 74.1 27 48.1 70 63.6
PEKERJAAN
Bekerja 22 37.9 17 32.7 71 64.5
Tidak Bekerja 36 62.1 35 67.3 39 35.5
JUMLAH ANAK
0-2 Anak 15 25.9 32 61.5 47 42.7
>2 Anak 43 74.1 20 38.5 63 57.3
PENGHASILAN
>=UMR 42 72.4 39 75.0 81 73.6
<UMR 16 27.6 13 25.0 29 26.4
JARAK FASILITAS
<2.5 KM 36 62.1 39 75 35 31.8
>=2 KM 22 37.9 13 25 75 68.2
FASILITAS PELAYANAN
263

Lengkap 53 91.4 38 73.1 91 82.7


Tidak Lengkap 5 8.6 14 26.9 19 17.3
DUKUNGAN SUAMI
Ada 56 96.6 41 78.8 97 88.2
Tidak Ada 2 3.4 11 21.2 13 11.8
PENGETAHUAN IBU
Baik 46 79.3 32 61.5 78 70.9
Kurang 12 20.7 20 38.5 32 29.1

b. Analisis Bivariat
Tabel 2. Analisis Hubungan Determinan Perilaku Pemanfaatan MKJP di
Kabupaten Minahasa Utara
VARIABEL X² p OR IK 95%
UMUR
<35 Tahun 5.1 0.02 2.5 1.119-5.436
>= 35 Tahun
PENDIDIKAN
Tinggi 5.8 0.01 2.6 1.192-5.912
Rendah
PEKERJAAN
Bekerja 0.32 0.56 1.2 0.574-2.700
Tidak Bekerja
JUMLAH ANAK
>2 anak Anak 14.2 0.00 4.5 2.030-
10.320
<=2 Anak
PENGHASILAN
>=UMR 0.09 0.75 1.14 0.400-2.679
<UMR
JARAK FASILITAS
<2.5 KM 1.55 0.14 0.54 0.240-1.241
>=2 KM
FASILITAS PELAYANAN
Lengkap 6.42 0.01 3.56 1.296-
11.765
Tidak Lengkap
DUKUNGAN SUAMI
Ada 8.24 0.004 7.51 1.579-
35.734
Tidak Ada
PENGETAHUAN IBU
Baik 4.19 0.04 2.39 1.028-5.583
Kurang

Analisis Multivariat

Tabel 3. Hasil Analisis Multivariat Denga Menggunakan Pemodelan Regresi Logistik


Tentang Determinn Perilaku Pemanfaatan MKJP
VARIABEL p Exp.(B)
264

JUMLAH ANAK
>2 anak Anak 0.00 4.5
<=2 Anak
FASILITAS PELAYANAN KB
Lengkap 0.01 3.56
Tidak Lengkap
PENDIDIKAN
Tinggi 0.01 2.6
Rendah

PEMBAHASAN
Umur merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi perilaku
pemanfaatan kontrasepsi. Dalam Notoadmodjo (2003) mengatakan bahwa wanita
yang berumur muda memiliki peluang lebih besar menggunakan alat kontrasepsi
dibandingkan dengan wanita berumur tua. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil
penelitian yang dilakukan saat ini. Demikian pula hasil penelitian Yusuf (2002)
menyatakan terdapat hubungan yang bermakna antara umur responden dengan
pemakaian kontrasepsi jangka panjang. SDKI (2007) menyatakan bahwa wanita
muda cenderung menggunakan kontrasepsi non MKJP dibandingkan wanita tua.
Tingkat pendidikan responden sangat mempengaruhi seseorang dalam
berperilaku dalam menentukan penggunaan kontrasepsi (Fienalia, 2012). Menurut
Ekarini (2008) dalam Fienalia (2012) menyatakan pendidikan dapat mempengaruhi
pengetahuan dan sikap tentang metode kontrasepsi. Orang yang berpendidikan tinggi
memberikan respon yang rasional dan lebih kreatif serta lebih terbuka dalam
perubahan-perubahan sosial.
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang siknifikan antara
pekerjaan responden dengan pemanfaatan MKJP. Berbeda dengan hasil penelitian
Pranita (2002) terdapat hubungan yang bermakna antara status pekerjaan dengan
penggunaan MKJP.
Hasil penelitian Noor (2002) menyatakan ada hubungan yang bermakna
antara jumlah anak hidup dengan pemanfaatan kontrasepsi jangka panjang. Demikian
juga hasil penelitian Yusuf (2001). Responden yang memiliki anak jumlah anak >2
orang mempunyai kemungkinan lebih besar memanfaatkan MKJP.
Dalam penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang siknifikan antara
penghasilan dengan perilaku pemanfaatan MKJP. Berbeda Menurut BKKBN (1999)
dalam Ekarini (2008) mengemukakan bahwa pendapatan suatu keluarga sangat
berpengaruh terhadap keikut sertaan suami dalam menggunakan kontrasepsi.
Demikian juga yang dikemukakan oleh Bertrand (1984) dalam Fienalia, 2012).
Semakin tinggi status ekonomi seseorang maka semakin mudah memanfaatkan
kontrasepsi.
Hasil penelitian yang dilakukan tidak menemukan hubungan yang siknifikan
antara jarak pelayanan dengan pemanfaatan MKJP. Berbeda Menurut Depkes (2007)
dalam Fienalia (2012) mengemukakan bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan
berhubungan dengan akses geografi, lokasi pelayanan. Fasilitas-fasilitas pelayanan
yang ada belum digunakan dengan efisien oleh masyarakat karena lokasi pelayanan
lebih banyak berpusat di kota-kota yang sulit terjangkau.
Penelitian menunjukan terdapat hubungan yang siknifikan antara fasilitas
pelayanan yang lengkap dengan perilaku pemanfaatan MKJP. Fasilitas pelayanan
yang lengkap akan memberikan kepuasa pasien atau masyarakat (Imbalo, 2006).
Menurut Hartono yang dikutip oleh Purba (2009) seorang istri tidak dapat
menggunakan kontrasepsi tanpa persetujuan suami. Dalam penelitian ini terbukti ada
265

hubungan yang siknifikan antara dukungan suami dengan perilaku pemanfaatan


MKJP.
Menurut WHO dalam Kusumawati (2006) pengetahuan dapat berasal dari
pengalaman berbagai sumber yang dapat membentuk perilaku seseorang sesuai
dengan keyakinannya. Pengetahuan merupakan domain penting terbentuknya perilaku
seseorang. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil penelitian ini, dimana ada hubungan
yang siknifikan antara pengetahuan responden dengan perilaku pemanfaatan MKJP.
KESIMPULAN
a. Ada hubungan antara Umur Ibu dengan perilaku pemanfaatan MKJP
b. Ada hubungan antara Pendidikan Ibu dengan perilaku pemanfaatan MKJP
c. Tidak Ada hubungan antara Status Pekerjaan Ibu dengan perilaku pemanfaatan
MKJP
d. Ada hubungan antara Jumlah Anak Hidup dengan perilaku pemanfaatan MKJP
e. Tidak Ada hubungan antara Jumlah Penghasilan dengan perilaku pemanfaatan
MKJP
f. Tidak Ada hubungan antara Jarak Ketempat Pelayanan KB dengan perilaku
pemanfaatan MKJP
g. Ada hubungan antara Fasilitas Alat Kontrasepsi dengan perilaku pemanfaatan
MKJP
h. Ada hubungan antara Dukungan Suami dengan perilaku pemanfaatan MKJP
i. Ada hubungan antara Pengetahuan tentang MKJP dengan perilaku pemanfaatan
MKJP

SARAN
a. Perlu meningkatkan promosi kesehatan tentang pemanfaatan kontrasepsi yang
tepat dan terbaik bagi Pasangan usia subur menurut karakteristiknya
b. Perlu pemerataan distribusi tenaga terlatih khususnya tentang MKJP
c. Perlu tambahan media informasi khususnya tentang MKJP

DAFTAR PUSTAKA

1. Amiranty, Mira . (2003). Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan


Pemakaian Metode Kontrasepsi Jangka Pada Akseptor KB di Propinsi Maluku
dan Papua padaTahun 2001
2. Arum, D. N. S & Sujiyatini. (2009). Panduan Lengkap Pelayanan KB Terkini.
Cetakan Ketiga. Penerbit Nuha Medika. Jogjakarta.
3. BKKBN, BPS, Depkes ,& Marco Internasional. (2008). Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia 2007.Jakarta : BPS, BKKBN, Depkes, & Marco
Internasional
4. Depkes RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta :Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia
5. Ekarini,Sri. (2008). Analisis Faktor – Faktor yang Berpengaruh Terhadap
Partisipasi Pria Dalam Keluarga Berencana di Kecamatan Selo Kabupaten
Boyolali. Maret 28,2016. Program Pasca Sarjana FKM UNDIP
http://www.eprints.undip.ac.id/
6. Fienalia, R.A. (2012) Faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan
MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas Kota Depok tahun 2011.
FKM UI.
7. Hartanto, H. (2010). Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Cetakan Ketujuh.
Penerbit Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
8. Hartanto, Hanafi. (2002). Keluarga Berencanadan Kontrasepsi. Jakarta:
Pustaka Sinar
9. Hastono, Sutanto P. (2007). Analisis Data Kesehatan Depok: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
266

10. Kemenkes, RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta.
11. Kusumaningrum, R. 2009. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Jenis
Kontrasepsi Yang Digunakan Pada Pasangan Usia Subur. Karya Tulis Ilmiah.
FK. Universitas Diponegoro. Semarang.
12. Kusumaningrum, Radita. (2009). Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi
Pemilihan Jenis Kontrasepsi Yang Digunakan Pada Pasangan Usia Subur (
Karya Tulis Ilmiah). Februari 28,2016. Fakultas Kedokteran UNDIP.
13. Laksmi, Indira. (2009). Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Jenis
Kontrasepsi Yang Digunakan Pada Keluarga Miskin. April 2, 2016. Fakultas
Kedokteran UNDIP. http://www.eprints.undip.ac.id/
14. Manurung, PM. (2012). Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Akseptor KB
Dalam Memilih Alat Kontrasepsi IUD Di Desa Wonosari Kecamatan Tanjung
Morawa Kabupaten Deli Serdang. Skripsi. FKM Universitas Sumatera Utara.
Medan.
15. Murti, Bhisma. (2003). Prinsipdan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta:
Gadja Mada University Pres
16. Notoadmojo, Soekidjo. (2007). Promosi KesehatandanI lmu Perilaku. Jakarta
:Rineka Cipta
17. Purba, J . (2008). Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pemakaian Alat
Kontrasepsi Pada Istri PUS Di Kecamatan Rabar Samo Kabupaten Rokan Hulu
Tahun 2008. Medan :sekolah pascasarjana USU
18. Saifuddin. (2002). Buku Acuan Nasional. Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Penerbit Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirihardjo. Jakarta.
19. Saifuddin. (2003). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Penerbit
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirihardjo. Jakarta. Sarwono Praworiharjo.
20. Syafrudin & Hamida. (2009). Kebidanan Komunitas. Cetakan Pertama. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta
21. Syarief, Surigi. (2010). Kebijakan BKKBN Dalam Peningkatan Kesertaan
Masyarakat Ber-KB. Maret 25, 2016 http://pkim-
online.com/download/kebijakan_bkkbn.ppt
22. Wiknjosastro, Hanifa. (1999). Ilmu Kandungan. Jakarta :Yayasan Bina Pustaka
23. Yusuf, Alfiah. (2002). Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemakaian
Metode Kontrasepsi Jangka Panjang Di Tanjung Batu Kabupaten Ogan
Komering Ilir Sumatera Selatan Tahun 2000. Depok :Skripsi FKM UI
267

KELELAHAN DAN KADAR HEMOGLOBIN TERHADAP RESIKO


KECELAKAAN PENGENDARA MINIBUS ANTAR PROVINSI

Daniel Robert, Henry S. Imbar, dan Rea C.N. Pindongo


Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Manado

ABSTRAK
Kelelahan kerja dapat mengakibatkan penurunan kewaspadaan, konsentrasi
dan ketelitian sehingga menyebabkan terjadinya kecelakaan. Menurunnya
hemoglobin darah dapat menyebabkan menurunnya produktivitas kerja. Akibatnya,
metabolisme di dalam otot terganggu dan terjadi penumpukan asam laktat yang
menyebabkan rasa lelah. Faktor kondisi fisik tubuh merupakan faktor yang
mempengaruhi dalam potensi kecelakaan dimana pengemudi yang memiliki kondisi
fisik tubuh kurang baik mempunyai risiko kecelakaan lalulintas empat kali lebih
tinggi dibandingkan pengemudi yang kondisi fisik tubuhnya baik. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui hubungan kekelahan dan kadar hemoglobin terhadap
risiko kecelakaan pengendara minibus antar provinsi.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini deskriptif analitik dengan
menggunakan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini semua
pengendara minibus yang singgah di Rest Area Desa Busisingo Utara. Sampel dalam
penelitian ini pengendara minibus antar provinsi yang berada di Rest Area Desa
Busisingo Utara berdasarkan teknik Non probability sampling dengan menggunakan
metode Accidental sampling yang berjumlah 32 responden. Pengumpulan data
kelelahan dan risiko kecelakaan menggunakan kuesioner serta pengukuran kadar
hemoglobin menggunakan alat haemometer. Analisis data menggunakan softwer
statistik uji Fisher’s Exact Test.
Hasil penelitian diperoleh responden yang mengalami kelelahan rendah
berjumlah 12 orang (37.5%) dan mengalami kelelahan sedang berjumlah 19 orang
(59.4%). Responden yang memiliki kadar hemoglobin rendah yaitu berjumlah 29
orang (90.6%) dan responden yang memiliki kadar hemoglobin normal yaitu
berjumlah 3 orang (9.4%). Responden yang tidak beresiko kecelakaan yaitu
berjumlah 17 orang (53.1%) dan responden yang berisiko kecelakaan yaitu berjumlah
15 orang (46.9%). Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kelelahan dengan
risiko kecelakaan pada pengendara minibus antar provinsi dengan nilai p>0,05 yaitu P
value = 0,210 dan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar hemoglobin
dengan risiko kecelakaan pada pengendara minibus antar provinsi dengan nilai
p>0,05 yaitu P value = 1,000.

Kata kunci : Kelelahan, Kadar Hemoglobin dan Risiko Kecelakaan


268

EFEKTIVITAS BERBAGAI JENIS AKTIVATOR DALAM


PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH KOL (Brassicca Oleracea)

Nelson Tanjung
Poltekkes Kemenkes Medan

ABSTRAK
Limbah kol biasanya ditumpuk begitu saja pada tempat pembuangan sampah
dan tidak diangkut setiap hari. Penumpukan yang terlalu lama dapat mengakibatkan
pencemaran lingkungan yaitu munculnya gas asam sulfida dan gas amonia yang
menimbulkan bau yang tidak sedap dari limbah yang membusuk dan dapat menjadi
tempat berkembang biak bibit penyakit.
Tanah Karo terkenal sebagai salah satu penghasil kol terbesar di Sumatera Utara.
Maka perlu dilakukan beberapa cara penanganan dan pengolahan terhadap limbah kol
tersebut antara lain sebagai bahan pembuatan kompos yang tidak
berdampak negatif terhadap lingkungan. Salah satu proses yang dapat mempercepa
t dan tidak menimbulkan aroma tidak sedap adalah dengan mengunakan aktivator.
Pada penelitian ini akan digunakan berbagai jenis aktivator yaitu sebanyak tiga jenis
diantaranya EM4 (Effective Mikroorganisme), kotoran sapi dan larutan MOL.
Penelitian bertujuan menghasilkan kompos dari limbah sayuran kol denga
nmenggunakan aktivator. Rancangan penelitian adalah quasi eksperimen dengan data
perbandingan waktu yang dibutuhkan dalam pematangan kompos dinilai dari
parameter fisik (bau, warna dan tekstur) serta parameter lain seperti suhu,
kelembaban dan pH dimulai dari dilakukannya uji coba hingga menjadi kompos serta
dilakukan pemeriksaan kandungan Natrium, Phosfor dan Kalium.
Penelitian menunjukkan kematangan kompos dari aktivator kotoran sapi, EM4
dan mol menunjukkan secara fisik yaitu bau tanah (humus), warna coklat kehitaman
serta tekstur menyerupai tanah. Kualitas Kompos (Natrium, Posphor, Kalium) yang
dihasilkan sudah memenuhi standarisasi kompos SNI 19-7030-2004 yaitu 10-20%.
Pada ketiga aktivator didapatkan yaitu kotoran sapi kadar C/N ratio 11,4%, posphor
sebesar 0,65% dan kalium 0,20%. Untuk aktivator Mol C/N ratio 10,9%, phosphor
sebesar 0,57% dan kalium 0,87%. Sedangkan untuk aktivator EM4 C/N ratio 10,1%,
phosphor sebesar 0,57% dan kalium 0,67% Sedangkan waktu optimum untuk
pembuatan kompos adalah hari ke 30.

Kata Kunci : Limbah Kol,Aktivator, Kompos,


269

PENGALAMAN IBU HAMIL PRIMIGRAVIDA DALAM


MENGHADAPI KEHAMILAN TRIMESTER I

Yuyun Setyorini, Ns., M.Kep1, dan Satino, S.KM., M.ScN2


Politeknik Kesehatan Surakarta, Jurusan Keperawatan

ABSTRAK
Kehamilan trimester I merupakan masa terpenting dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan janin di dalam kandungan. Pada kehamilan trimester I (12 minggu
pertama) adalah periode yang rawan dimana mempunyai resiko tinggi untuk terjadi
ganguan kesehatan. Perubahan yang terjadi meliputi perubahan fisiologis maupun
psikologis pada proses kehamilan, sehingga seorang ibu hamil memerlukan adaptasi
dalam menghadapi kehamilannya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan tentang pengalaman ibu hamil primigravida dalam menghadapi
kehamilan trimester I. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian
kualitatif dengan desain fenomenologi diskriptif dengan filosofi Husserl. Data
dikumpulkan dengan metode interview semi terstruktur dan dianalisis dengan
menggunakan tehnik analisa data Colaizzi. Jumlah sampel sebanyak 8 (delapan)
partisipan dengan tehnik purposive sampling. Dari hasil penelitian teridentifikasi
dalam 5 (lima) klaster tema yaitu kehamilan merupakan anugerah, perasaan senang
dan tidak (ambivalen), perawatan ibu hamil, perlunya penjagaan dan kewaspadaan
dan perubahan emosi (emosi tidak stabil). Berdasarkan hasil penelitian ini
direkomendasikan kepada petugas kesehatan untuk memberikan informasi sedini
mungkin kepada pasangan muda tentang persiapan dan perawatan kehamilan, kepada
pasangan untuk memperhatikan dan merawat kehamilannya dan kepada peneliti
selanjutnya untuk meneliti tentang peran suami dalam menghadapi istri yang sedang
hamil.

Kata kunci: pengalaman, primigravida, kehamilan trimester I


270

THE EFFECT OF SMOKING TO SALIVARY FLOW RATE IN ACTIVE


CIGARETTE SMOKERS

Vega Roosa Fione 1, dan Aprilia Lakapi2


1
Departement of Dental Nursing, Health Polytechnic Of Manado
2
Undergraduate student, dept. Dental Nursing, Health Polytechnic Of Manado

ABSTRACT
Introduction : Smoking cause of many disease including effect to oral health, many
studies showed that effect of smoking to oral health such as dry mouth into mouth
cancer. Objective : Aim of this study is to find out the effect of smoking to salivary
flow rate. Methods : design of this study is cross sectional study and 35 smokers
males respondens were selected, cigarette smoking habits examined by questioner
form and salivary flow rate examined with Trafic Light Methods (TL-M) test. The
data presented with table distribution frequensi, cross tabulation and analysed by
Correlation Pearson Product Moment test. Result : 21 respondent (60%) criteria
heavy smokers (smoking more than 12 cigarettes a day) had salivary flow rate in
“poor” criteria and Correlation Pearson Product Moment showed a significant
relation between smoking and salivary flow rate (p<0.05) . Conclusion : the effect of
smoking on salivary flow rate, the more number of cigarettes smoked (smokers), the
flow rate of saliva decrease so the mouth becomes dry and thus increase the risk of
caries and periodontal disease.

Keywords : Smoking, salivary flow rate

Anda mungkin juga menyukai