Anda di halaman 1dari 3

Penyebab HIV dan AIDS pada ibu hamil

HIV adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh human immunodeficiency


virus. Virus ini menyerang sel T (sel CD4) dalam sistem imun yang tugas
utamanya adalah melawan infeksi.

Virus penyebab HIV menyebar dari satu orang ke lainnya lewat pertukaran


cairan tubuh seperti darah, air mani, cairan pra-ejakulasi, dan cairan vagina yang
notabene sangat lumrah terjadi saat hubungan seksual.

Nah berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan tahun 2017, ada tren


kenaikan jumlah kasus HIV baru pada ibu rumah tangga. Seperti dikutip dari The
Jakarta Post, Emi Yuliana dari Komisi Pencegahan AIDS di Surabaya
mengatakan jumlah ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS lebih banyak
ketimbang kelompok wanita pekerja seks komersil.

Besarnya angka ini kemungkinan dipengaruhi oleh kerutinan berhubungan


seksual dengan suami yang positif HIV (baik terdiagnosis dan diketahui, maupun
tidak). Penetrasi penis ke vagina tanpa kondom merupakan jalur penularan HIV
yang paling umum di antara pasangan heteroseksual (lelaki yang berhubungan
seks dengan perempuan).

Setelah masuk dalam tubuh, virus dapat tetap aktif menginfeksi tapi tidak
menunjukkan gejala HIV/AIDS yang berarti selama setidaknya 10-15 tahun.
Selama masa jendela ini, seorang ibu rumah tangga bisa saja tidak pernah
mengetahui bahwa dirinya terjangkit HIV hingga pada akhirnya positif hamil.

Selain dari hubungan seks, seorang perempuan juga bisa terinfeksi HIV dari
penggunaan jarum suntik tidak steril sewaktu sebelum hamil.

Bahaya infeksi HIV pada ibu hamil dan bayi


Sistem imun yang lemah atau rusak akibat infeksi HIV kronis dapat membuat ibu
hamil sangat rentan terhadap infeksi oportunistik, seperti pneumonia,
toksoplasmosis, tuberkulosis (TBC), penyakit kelamin, hingga kanker.

Kumpulan penyakit ini menandakan bahwa HIV telah berkembang menjadi


penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Pengidap HIV yang
telah memiliki AIDS biasanya dapat bertahan hidup sekitar 3 tahun jika tidak
mendapatkan pengobatan.

Tanpa penanganan medis yang tepat, masing-masing dari infeksi tersebut juga
berisiko menyebabkan komplikasinya tersendiri pada kesehatan tubuh serta
kehamilan. Ambil contoh toksoplasmosis. Parasit penyebab penyakit ini dapat
menginfeksi bayi lewat plasenta sehingga menyebabkan keguguran, bayi lahir
mati (stillbirth), dan dampak buruk lainnya bagi ibu dan bayi.

Bahaya HIV pada ibu hamil dan bayinya tidak cuma itu. Ibu hamil yang
terdiagnosis positif HIV juga dapat menularkan infeksinya pada bayi di dalam
kandungan lewat plasenta. Tanpa pengobatan, seorang ibu hamil yang positif
HIV berisiko sekitar 25-30% untuk menularkan virus pada anaknya selama
kehamilan.

Penularan HIV dari ibu hamil pada anaknya juga dapat terjadi selama proses
persalinan normal, apabila bayi terpapar darah, cairan ketuban yang pecah,
cairan vagina, atau cairan tubuh ibu lainnya. Selain itu, penularan HIV dari ibu
kepada bayinya juga dapat berlangsung selama masa menyusui eksklusif
karena HIV dapat ditularkan melalui ASI.

HIV dari ibu juga dapat ditularkan pada bayinya melalui makanan yang terlebih
dulu dikunyahkan oleh ibu meski risikonya sangatlah rendah.

Tes HIV pada ibu hamil


Jika Anda terkena HIV saat hamil atau sudah mengidapnya sejak sebelum
kehamilan, konsultasi ke dokter. Dokter akan menganjurkan Anda untuk
secepatnya menjalani tes HIV; langsung pada jadwal cek kandungan pertama
jika memungkinkan. Tes HIV lanjutan juga akan direkomendasikan dokter di
trimester ketiga kehamilan dan setelah kelahiran bayi Anda.

Tes HIV pada ibu hamil yang paling umum adalah test antibodi HIV. Tes antibodi
HIV bertujuan mencari antibodi HIV pada sampel darah. Antibodi HIV merupakan
sejenis protein yang diproduksi tubuh untuk menanggapi infeksi virus.

HIV pada ibu hamil baru bisa benar-benar dipastikan ketika mendapat hasil
positif dari tes antibodi HIV. Tes kedua berupa tes konfirmasi HIV dilakukan
untuk memastikan bahwa orang tersebut memang benar terinfeksi oleh HIV. Jika
tes kedua juga positif, berarti Anda positif terinfeksi HIV selama kehamilan.

Pemeriksaan HIV pada ibu hamil juga bisa mengidentifikasi keberadaan penyakit
menular seksual lainnya, seperti hepatitis C dan sifilis. Selain itu, pasangan Anda
juga harus menjalani tes HIV.

Pengobatan HIV pada ibu hamil


Seorang ibu yang mengetahui ia terinfeksi HIV pada awal kehamilannya memiliki
waktu lebih untuk mulai merencanakan pengobatan demi melindungi kesehatan
dirinya, pasangannya, dan bayinya.

Pengobatan HIV secara umum dilakukan lewat terapi obat antiretroviral (ART).
Kombinasi obat ini dapat mengendalikan atau bahkan menurunkan jumlah viral
load HIV pada darah ibu hamil. Seiring waktu, kerutinan menjalani pengobatan
HIV dapat meningkatkan daya tahan tubuh untuk melawan infeksi.

Patuh terhadap terapi ART juga memungkinkan ibu hamil mencegah penularan
infeksi HIV pada bayi dan pasangannya. Beberapa obat anti-HIV telah dilaporkan
dapat tersalurkan dari ibu hamil ke bayi dalam kandungan melalui plasenta (juga
disebut ari-ari). Obat anti-HIV dalam tubuh bayi membantu melindunginya dari
infeksi HIV.

Mencegah penularan HIV dari ibu hamil ke anak


Untungnya, ibu hamil dapat menekan risiko penularan pada bayinya dengan
menerapkan langkah pencegahan HIV yang tepat. Dengan pengobatan dan
rencana yang tepat, risiko penularan HIV dari ibu hamil pada bayi bisa dikurangi
sebanyak 2 persen sepanjang masa kehamilan, persalinan, melahirkan, dan
menyusui.

Apabila hasil dari tes HIV Anda positif, ada beberapa hal yang dapat dilakukan
untuk mengurangi risiko penularan HIV ke bayi Anda.

1. Rutin minum obat


Jika Anda didiagnosis dengan HIV selama kehamilan Anda, direkomendasikan
untuk segera memulai perawatan dan terus melanjutkannya setiap hari.

Pengobatan HIV pada ibu hamil perlu dilakukan sesegera mungkin setelah ibu
hamil terdiagnosis mengidap HIV. Namun, obat antiretroviral tidak hanya
digunakan selama masa kehamilan saja. Untuk mengatasi gejala HIV sekaligus
munculnya penyakit komplikasi HIV, pengobatan HIV pada ibu hamil perlu
dijalani seumur hidup.

Pengobatan juga tidak hanya ditujukan pada ibu hamil saja. Setelah kelahiran,
bayinya juga akan diberikan obat HIV selama 4 hingga 6 minggu untuk
mengurangi risiko infeksi dari HIV yang mungkin masuk ke dalam tubuh bayi
selama proses kelahiran.

2. Melindungi bayi Anda selama persalinan


Jika Anda sudah mulai rutin jalani pengobatan sejak jauh sebelum kehamilan,
ada kemungkinan bahwa viral load sudah tidak terdeteksi dalam darah. Hal ini
artinya Anda dapat merencanakan persalinan normal melalui vagina karena
risiko penularan HIV kepada bayi selama persalinan akan sangat kecil.

Namun jika dokter melihat Anda masih berisiko menularkan virus pada bayi,
Anda akan disarankan untuk bersalin lewat operasi caesar. Prosedur ini memiliki
risiko yang lebih kecil terhadap penularan HIV pada bayi dibandingkan dengan
persalinan melalui vagina.

3. Melindungi bayi selama menyusui


ASI mengandung virus HIV.

Pada umumnya dokter akan menyarankan Anda untuk menyusui bayi dengan
susu formula. Namun jika Anda ingin menyusui ASI eksklusif, Anda harus selalu
ingat untuk terus rutin menggunakan pengobatan selama setidaknya 6 bulan.

Jika Anda tidak yakin apakah Anda harus menyusui atau tidak, bicarakan
dengan profesional medis untuk saran spesialis lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai