Anda di halaman 1dari 184

ANALISIS POTENSI LIMBAH TANAMAN PANGAN

SEBAGAI SUMBER PAKAN TERNAK RUMINANSIA


DI SULAWESI SELATAN

JASMAL AHMARI SYAMSU

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
----------------------------------------

---------------------
Kekal dalam ingatan
Abadi dalam kenangan
Kupatrikan selalu

Jasmal A.Syamsu
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Potensi Limbah Tanaman
Pangan sebagai Sumber Pakan Ternak Ruminansia di Sulawesi Selatan adalah
karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir disertasi ini.

Bogor, Pebruari 2006

Jasmal Ahmari Syamsu


NIM D016010031
ABSTRAK

JASMAL AHMARI SYAMSU. Analisis Potensi Limbah Tanaman Pangan


sebagai Sumber Pakan Ternak Ruminansia di Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh
LILY AMALIA SOFYAN, KOOSWARDHONO MUDIKDJO, E. GUMBIRA
SA’ID dan ERIKA BUDIARTI LACONI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik ternak ruminansia di
Sulawesi Selatan, menginventarisasi produksi limbah tanaman pangan
berdasarkan kuantitas dan kualitasnya, dan daya dukung sebagai sumber pakan di
Sulawesi Selatan, mengevaluasi pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai
sumber pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan, dan merumuskan strategi
pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan ternak ruminansia di
Sulawesi Selatan. Penelitian dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Selatan, yang
berlangsung dari bulan Nopember 2003 sampai dengan Juni 2005.
Penelitian dilaksanakan dalam empat tahapan penelitian. Tahap pertama
adalah analisis karakteristik ternak ruminansia di Sulawesi Selatan, dengan
sumber data penelitian adalah data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait
dan selanjutnya dilakukan analisis keragaan ternak ruminansia, jumlah dan
struktur populasi berdasarkan satuan ternak, tingkat kepadatan ternak, dan
keunggulan komparatif ternak ruminansia. Tahap kedua adalah inventarisasi
produksi dan daya dukung limbah tanaman pangan. Penentuan lokasi penelitian
berdasarkan pola iklim dan pola tanam tanaman pangan. Penelitian dilaksanakan
dengan metode survey dan data hasil survey produksi dan kualitas limbah
tanaman pangan dianalisis menggunakan statistik deskriptif. Selanjutnya
dilakukan estimasi produksi pakan limbah tanaman pangan, indeks daya dukung
pakan dan kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia. Penelitian ketiga
adalah evaluasi pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak
ruminansia, dilaksanakan dengan melakukan survey dan wawancara kepada
peternak responden. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan statistik
deskriptif. Penelitian keempat adalah perumusan strategi pemanfaatan limbah
tanaman pangan sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan
yang dilakukan berdasarkan analisis SWOT dan proses hirarki analitik (AHP).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah populasi ternak ruminansia di
Sulawesi Selatan dalam kurun waktu lima tahun terakhir (1999-2003) untuk sapi
potong, kerbau dan domba mengalami penurunan pertahun sebesar 0.24%, 4.22%,
dan 9.56.%, sementara jumlah populasi kambing mengalami peningkatan sebesar
4.66% pertahun. Tingkat pemotongan ternak sapi potong dan kambing dalam
kurun waktu yang sama mengalami peningkatan untuk sapi potong 4.15% dan
kambing sebesar 30.23% pertahun, dilain pihak kerbau menurun 5.66% pertahun.
Jumlah populasi ternak ruminansia di Sulawesi Selatan seluruhnya 727 774 ST,
dengan penyebaran untuk sapi potong 564 847 ST, kerbau 86 942 ST dan
kambing 75 335 ST.
Jumlah produksi limbah tanaman pangan berdasarkan bahan kering, total
digestible nutrient dan protein kasar masing-masing 6 874 105 ton, 3 128 339 ton
dan 372 261 ton dengan daya dukung sebagai sumber pakan masing-masing 3 014
958 ST, 1 992 573 ST dan 1 551 087 ST. Berdasarkan daya dukung bahan kering,
di Sulawesi Selatan dapat dilakukan penambahan populasi ternak ruminansia
sebesar 2 287 184 ST. Berdasarkan indeks daya dukung pakan limbah tanaman
pangan beberapa daerah menunjukkan daya dukung yang tinggi yaitu Soppeng,
Wajo, Sidrap dan Luwu.
Sistem pemeliharaan ternak 71.51% dengan cara tradisional, dengan
ternak dilepas sepanjang hari (38.63%), dan dilepas siang hari kemudian diikat
pada malam hari (32.58%). Jumlah peternak yang mengandangkan ternak
jumlahnya lebih rendah yaitu 28.79% (114 peternak), dengan cara dikandangkan
pada malam hari saja (semi intensif) sebanyak 66 peternak, dan ternak
dikandangkan sepanjang hari (intensif) sebanyak 48 peternak atau 12.12% dari
seluruh responden. Sebagian besar peternak (91.92%) melepas ternak untuk
memperoleh pakan di sawah, kebun dan pekarangan, sementara peternak melepas
ternak di pandang penggembalaan 8.08%.
Penggunaan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia di
tingkat peternak masih rendah, dengan jumlah peternak yang tidak menggunakan
limbah tanaman pangan sebagai pakan yaitu 62.12%. Sebanyak 54.80% peternak
mengetahui tentang teknologi pakan, seperti amoniasi, hay, silase dan teknologi
fermentasi lainnya. Tingkat penerapan teknologi masih sangat kurang, dengan
hanya 21.19% peternak yang menerapkan terknologi pakan.
Strategi pengembangan kawasan pola integrasi sapi potong dengan padi
dan jagung mendapat prioritas pertama atau strategi yang paling menarik di antara
alternatif strategi yang lain dengan nilai total daya tarik adalah 6.67, diikuti
dengan strategi sebagai prioritas kedua adalah optimalisasi penerapan teknologi
pakan limbah tanaman pangan melalui pemberdayaan masyarakat pola partisipatif
dengan nilai 6.19.
ABSTRACT

JASMAL AHMARI SYAMSU. The Study of Crop Residues Potency as Feed


Resources for Ruminant in South Sulawesi. Under the direction of LILY
AMALIA SOFYAN, KOOSWARDHONO MUDIKDJO, E. GUMBIRA SA’ID
and ERIKA BUDIARTI LACONI.
The objectives of this study were to analyze characteristics of ruminant in
South Sulawesi, to evaluate the potency of crop residues as feed resources and to
formulate the strategy of crop residues utilization. The research was conducted
from November, 2003 to June 2005 in South Sulawesi.
The data related to ruminant characteristics were collected and analyzed
including analysis of ruminant performances, animal unit-based population
number, animal population density, and comparative advantages of ruminant.
Moreover, production and quality of crop residues were analyzed using
descriptive statistics. Besides, the estimation of annual products and capacities of
crop residues, feed capacity index, and ruminant population growth index were
also analyzed. Whereas crop residues utilization as animal feed was conducted
using survey method and data collected were analyzes using descriptive statistics.
the formulation of strategy of crop residues utilization was conducted by applying
SWOT analysis and Analytical Hierarchy Process.
The growth rate of ruminant population in South Sulawesi between 1999-
2003 decreased for beef cattle 0.24%, buffalo 4.22%, and sheep 9.56%. But the
population of goat increased 4.66% annually. On the other hand, at the same time
the number of slaughtered animals increased for beef cattle (4.15%) and goat
(30.23%), but buffalo was decreased 5.66%. Population number of ruminant in
South Sulawesi was 727 774 AU, in which 564 847 AU beef cattle, 86 942 AU
buffalo and 75 335 AU goat were present.
The result showed that production of crop residues concerning to dry
matter, crude protein and total digestible nutrient were 6 874 105 tons, 372 261
tons, 3 128 339 tons, respectively. Dry matter-based products could provide feed
resources for ruminant as many as 3 014 958 animal unit (AU). While crude
protein and total digestible nutrient-based products, could provide feed resources
for ruminant as many as 1 551 087 AU and 1 992 573 AU, respectively. Based on
production and feed capacity of crop residues dry matter, it estimates that
ruminants population in South Sulawesi may be increased as many as 2 287 184
AU. Moreover, several regions (Sopppeng, Wajo, Sidrap and Luwu) showed high
feed capacity index.
Most of the farmer (71.51%) were kept their animals traditionally and
28.79% (114 respondents) were kept their animal intensively in which 48
respondents housed the animal all day and 66 respondents housed the animal
during dark. The utilization of crop residues as animal feed by farmer were still
low (37.88%), though 54.80% respondents are concedering of feed technology
such as amoniation. While only 21.19% respondents applied feed technology.
The application of crop-livestock integration system was the most priority
in development of livestock with total attractiveness score (TAS) of 6.67,
followed by the second priority, optimalization of technology of crop residues
utilization, with total attractiveness score of 6.19.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apa pun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm dan sebagainya
ANALISIS POTENSI LIMBAH TANAMAN PANGAN
SEBAGAI SUMBER PAKAN TERNAK RUMINANSIA
DI SULAWESI SELATAN

JASMAL AHMARI SYAMSU

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
Judul Disertasi : Analisis Potensi Limbah Tanaman Pangan sebagai Sumber
Pakan Ternak Ruminansia di Sulawesi Selatan
Nama : Jasmal Ahmari Syamsu
NIM : D016010031

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Lily Amalia Sofyan, M.Sc Prof.Dr.Ir.Kooswardhono Mudikdjo,M.Sc


Ketua (Alm) Anggota

Prof.Dr.Ir.E.Gumbira Sa’id,M.A.Dev Dr.Ir.Erika Budiarti Laconi,M.S


Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Ternak Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Prof.Dr.Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

Tanggal Ujian : 2 Pebruari 2006 Tanggal Lulus : 8 Pebruari 2006


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini
ditulis setelah melalui suatu rangkaian penelitian yang dilaksanakan di Sulawesi
Selatan, dengan judul Analisis Potensi Limbah Tanaman Pangan sebagai Sumber
Pakan Ternak Ruminansia di Sulawesi Selatan. Ruang lingkup disertasi ini
mencakup a) analisis karakteristik ternak ruminansia, b) inventarisasi produksi
dan daya dukung limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan ternak
ruminansia, c) evaluasi pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan
ternak ruminansia, dan d) perumusan strategi pemanfaatan limbah tanaman
pangan sebagai pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan.
Disertasi ini dapat diselesaikan atas bantuan dan dukungan dari beberapa
pihak. Untuk itu penulis ucapkan terima kasih kepada komisi pembimbing Prof.
Dr. Lily Amalia Sofyan, M.Sc sebagai ketua, dan masing-masing sebagai anggota
Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc, Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Sa’id,
M.A.Dev dan Dr. Ir. Erika Budiarti Laconi, MS, atas segala curahan ilmu,
bimbingan, arahan, dan semangat yang diberikan mulai persiapan penelitian
hingga selesainya penulisan disertasi ini. Terima kasih pula disampaikan kepada
Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr sebagai penguji luar komisi ujian tertutup, Dr.
Ir. Mohammad Jafar Hafsah dan Prof. Dr. Ir. Soedarmadi H, M.Sc sebagai penguji
luar komisi ujian terbuka yang telah memberikan saran dan masukan demi
penyempurnaan disertasi ini.
Kepada Pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Peternakan
IPB dan Ketua Program Studi Ilmu Ternak SPs IPB dan seluruh staf pengajar,
penulis ucapkan terima kasih atas ilmu, bantuan dan dukungan yang diberikan
selama menempuh program doktor. Ucapan terima kasih pula disampaikan kepada
Rektor Universitas Hasanuddin dan Dekan Fakultas Peternakan Universitas
Hasanuddin atas izin yang diberikan sehingga penulis dapat melanjutkan studi
program doktor. Khusus kepada Ketua dan Sekretaris Jurusan Nutrisi dan
Makanan Ternak Universitas Hasanuddin Prof. Dr .Ir. Ismartoyo, M.Agr dan Ir.
Syahriani Syahrir, M.Si, penulis ucapkan terima kasih atas dorongan, bantuan,
semangat, dukungan yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi
program doktor.
Penulis ucapkan terima kasih pula kepada H. Syahrul Yasin Limpo, SH,
M.Si, M.H Wakil Gubernur Sulawesi Selatan, Drs. H. Azikin Solthan, M.Si
Bupati Bantaeng, Ir. M. Arfandy Idris, SH Anggota DPRD Sulawesi Selatan, Ir.
Machmud Ahmad, MM, Ir. H. Rizwan Mufli, Dr. Syahruddin Said, Ir. Teddy
Candinegara atas bantuan yang diberikan selama melaksanakan penelitian dan
penulisan disertasi. Kepada Ir. Abd. Muas, M.Si, Hikmah M Ali, SPt, M.Si,
Haeruddin, SPt, M.Si, Afriadi SPt, Anwar M Arasy SPt, Fajar Cahyanto SPt,
Ibrahim Halim SPt, Alamsyah SPt, Arfan SPt, Afnanto, S.Pt terima kasih atas
bantuannya selama melakukan survei pengumpulan data di lapangan.
Penyelesaian disertasi ini dapat diselesaikan atas bantuan dan dukungan
dari teman-teman seperjuangan di Program Studi Ilmu Ternak. Terima kasih
diucapkan kepada Dr. Ir. Takdir Saili, M.Si, Ir. Ma’ruf Tafzin, M.Si, Ir. Ahmad
Jaelani, M.Si, Ir. H. Dedi Rahmat, M.Si, Dr. Ir. Indyah Wahyuni, M.Si, drh.
Herman Tabrany, MP, Ir. Sayuti Masud, M.Si, Meisi Liana Sari, SPt, M.Si,
Nur Sjafani, S.Pt, Yatno, S.Pt, M.Si dan kepada Dwi Kusuma Purnamasari, S.Pt,
M.Si terima kasih atas segala dukungan, semangat, dan diskusi selama
penyelesaian disertasi ini. Kepada Ir. Alfa Nelwan, M.Si, Ir. Muh. Hatta, M.Si,
Tenriware, S.Pi, M.Si, Bahar, S.Pi dan Drs. Husain Syam, M.Si terima kasih atas
bantuan dan dukungannya selama menempuh pendidikan doktor.
Kepada Ayahanda Sinar Syamsu (Alm), Ibunda Siti Jamiah dan Ayah dan
Ibu mertua Aziz Umar (Alm) dan Yuri Buata dan saudaraku Fiana N Sari, Jaslam
A Syamsu, Syahrul K Syamsu, Sakinah K Sari, serta seluruh keluarga di
Makassar, Sungguminasa, Watampone dan Gorontalo terima kasih atas segala
kasih sayang, semangat, dan dukungan kepada penulis untuk meraih dan
mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Akhirnya kepada isteriku tersayang
Olhan Aziz Umar dan anakku tercinta Muh. Kahfi Giffari dan Nurul Amaliah
penulis persembahkan disertasi ini sebagai buah dari pengorbanan yang diberikan
atas pengertian, serta semangat dan dukungan kepada penulis untuk meraih cita-
cita.
Akhirnya semoga disertasi ini dapat bermanfaat untuk pengembangan
peternakan khususnya di Sulawesi Selatan.

Bogor, Pebruari 2006

Jasmal Ahmari Syamsu


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Watampone (Sulawesi Selatan) tanggal 5 Nopember


1968, anak sulung dari lima bersaudara dari ayah Sinar Syamsu (alm) dan ibu Siti
Jamiah. Menikah dengan Olhan Aziz Umar pada tahun 1995 dan telah dikaruniai
dua orang anak yaitu Muh.Kahfi Giffari (lahir di Bogor 4 Nopember 1996) dan
Nurul Amaliah (lahir di Makassar 30 Oktober 1998).
Tahun 1986 diterima sebagai mahasiswa di Jurusan Nutrisi dan Makanan
Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Ujung Pandang melalui Jalur
Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK), dan sarjana peternakan diraih pada
tanggal 12 Januari 1991. Melalui Tunjangan Ikatan Dinas (TID) Depdikbud
sejak 1 Januari 1993 diangkat sebagai staf pengajar Jurusan Nutrisi dan Makanan
Ternak Fakultas Peternakan UNHAS, Makassar. Tahun 1995 penulis melanjutkan
studi program magister sains di Program Studi Ilmu Ternak Program Pascasarjana
IPB, dan lulus pada 10 Desember 1997. Kesempatan melanjutkan program doktor
pada program studi dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2001,
dengan beasiswa BPPS Ditjen Dikti Depdiknas RI.
Selama menempuh pendidikan doktor, penulis telah mempublikasikan dan
mempresentasikan karya ilmiah yang merupakan bagian dan berhubungan dengan
disertasi ini sebagai berikut.
(a) Analisis potensi limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan ternak
ruminansia di Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan, Vol.VIII
(4), 2005. Fakultas Peternakan Universitas Jambi (Akreditasi Dikti
No.34/Dikti/Kep/2003)
(b) Daya dukung limbah pertanian sebagai sumber pakan ternak ruminansia di
Indonesia. Wartazoa Buletin Ilmu Peternakan Indonesia, Vol.13(1): 30-37.
2003. Puslitbang Peternakan Badan Litbang Departemen Pertanian
(c) Potensi dan daya dukung limbah pertanian sebagai sumber pakan ruminansia
di Sulawesi Selatan. Jurnal Peternakan dan Lingkungan, Vol.8(3) : 61-67.
2002. Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang (Akreditasi Dikti No
134/Dikti/Kep/2001)
(d) Kajian potensi dan daya dukung limbah pertanian sebagai sumber pakan
ternak ruminansia di kabupaten Bulukumba. Seminar Nasional Teknologi
Pertanian. Makassar, 22-23 September 2004, BPTP Sulawesi Selatan
Berbagai pengalaman kegiatan yang telah diikuti antara lain Tim Aplikasi
dan Pengembangan Produksi Bibit Sapi Potong Unggul dengan Bioteknologi dan
Reproduksi di Sulawesi Tenggara (Puslit Bioteknologi LIPI 2003-2005), Senior
Expert Pendampingan (Community Development & Capacity Building) Proyek
Pengembangan Usahatani dan Ternak di Kawasan Timur Indonesia (PUTKATI)
Sulawesi Selatan (Ditjen Bina Produksi Peternakan-Bina Swadaya Konsultan
2003), Koordinator Pendampingan Program Pengembangan Kawasan Tertinggal
(PPKT) Kabupaten Luwu Sul Sel (PEMDA Sul-Sel 2000), Koordinator Lapangan
Program Peningkatan Penyuluhan Pertanian untuk Memberdayakan Masyarakat
Tani Kabupaten Bantaeng Sul Sel (IPB-Deptan-Dekop PKM 1999-2000), Tim
Tehnis Proyek Peningkatan Ketahanan Pangan Nasional Melalui Pemberdayaan
Masyarakat/Petani Kabupaten Polmas Sul Sel (Deptan 1998/1999), Tim
Ahli/Konsultan Proyek Pengembangan Usaha Tani dan Ternak di Kawasan Timur
Indonesia (PUTKATI) Kabupaten Luwu Sul-Sel (PT.Sangga Pillar Utama 1999),
serta Koordinator Lapangan Program Aksi Pemberdayaan Masyarakat Tani
Menuju Ketahanan Pangan Nasional Kabupaten Polmas dan Majene Sul Sel (IPB-
Deptan-Dekop PKM 1998/1999).
Beberapa pelatihan dan kegiatan lain yang telah diikuti diantaranya
Pelatihan Uji Cepat Mutu Pakan (Fapet IPB 2005), Pelatihan Penginderaan Jauh
dan Sistem Informasi Geografis untuk Pembangunan Daerah (LAPAN 2003),
Kursus Singkat Analisis Data Penelitian Bagi Dosen Bidang Ilmu-ilmu Pertanian
PTN/PTS se Kawasan Timur Indonesia (Ditjen Dikti 2003), RCA Regional
Training Workshop on in vitro techniques for feed evaluation (IAEA 2001),
Pelatihan Pembuatan Silase dan Probiotik (Puslit Bioteknologi LIPI 2001),
Workshop Strategi Pengembangan Industri Peternakan dalam Era Otonomi
Daerah (LIPI 2001), Workshop Peningkatan Mutu Data dan Informasi untuk
Perencanaan Pembangunan (FMIPA IPB 2001), Pelatihan Untuk Pelatih (TOT)
Program Aksi Pemberdayaan Masyarakat Tani Menuju Ketahanan Pangan
Nasional (IPB-Deptan-Dekop PKM 1998), Kursus Formulasi Ransum (Infovet
1997), serta Short Course on Research and Training in Agriculture-Ruminant
Nutrition (IAEA-UNHAS 1993).
Terlibat dalam berbagai organisasi antara lain Wakil Sekretaris Forum
Mahasiswa Pascasarjana IPB (2002-2003), Wakil Sekretaris Dewan Pimpinan
Daerah Assosiasi Pengusaha dan Pemerhati Flora Indonesia Sul-Sel (2000-2004),
Ketua Bidang Tani dan Nelayan Dewan Pengurus Daerah Ikatan Usaha Informal
Indonesia Sul Sel (1997-2000), Anggota Assosiasi Ilmu Nutrisi dan Makanan
Ternak Indonesia-AINI (1995-sekarang), Sekretaris Umum Dewan Pimpinan
Daerah GEMA KOSGORO Sul-Sel (1993-1997), Anggota Ikatan Sarjana
Peternakan Indonesia-ISPI (1991-sekarang), Sekretaris Senat Mahasiswa Fakultas
Peternakan UNHAS (1989-1990), Sekreraris Umum Himpunan Mahasiswa
Profesi Peternakan UNHAS (1988-1989), serta Anggota Badan Perwakilan
Mahasiswa (BPM) Fakultas Peternakan UNHAS (1986-1987).
DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR TABEL ...................................................................................... xvi


DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xviii
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... xx
PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
Latar Belakang..................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ................................................................................. 4
Manfaat Penelitian .............................................................................. 4
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 5
Kebijakan Pembangunan Peternakan.................................................... 5
Sumberdaya Pakan............................................................................... 7
Limbah Tanaman Pangan sebagai Pakan Ternak Ruminansia............... 12
Analisis Perumusan Strategi................................................................. 14
Proses Hirarki Analitik......................................................................... 19
METODE PENELITIAN............................................................................ 23
Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................. 23
Pelaksanaan Penelitian ......................................................................... 23
Penelitian 1 Analisis Karakteristik Ternak Ruminansia ................... 23
Penelitian 2 Inventarisasi Produksi dan Daya Dukung
Limbah Tanaman Pangan ............................................. 26
Penelitian 3 Evaluasi Pemanfaatan Limbah Tanaman Pangan
sebagai Pakan Ternak Ruminansia................................ 35
Penelitian 4 Strategi Pemanfaatan Limbah Tanaman Pangan
sebagai Pakan Ternak Ruminansia................................ 38
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 46
Gambaran Umum Provinsi Sulawesi Selatan........................................ 46
Letak Geografis dan Luas Wilayah ................................................. 46
Tanah dan Topografi ...................................................................... 46
Penggunaan Lahan ......................................................................... 48
Sumberdaya Insani ......................................................................... 49
Produk Domestik Regional Bruto ................................................... 51
Karakteristik Ternak Ruminansia ......................................................... 53
Keragaan Ternak Ruminansia ......................................................... 53
Jumlah Populasi dan Keunggulan Komparatif Ternak Ruminansia . 55
Kepadatan Ternak Ruminansia ....................................................... 59
Produksi dan Daya Dukung Limbah Tanaman Pangan sebagai
Sumber Pakan Ternak Ruminansia....................................................... 62
Produksi dan Kualitas Limbah Tanaman Pangan ............................ 62
Daya Dukung Limbah Tanaman Pangan sebagai Sumber Pakan ..... 80
Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia ...................... 84
Halaman

Pemanfaatan Limbah Tanaman Pangan sebagai Pakan Ternak


Ruminansia.......................................................................................... 87
Keadaan Umum Peternak ............................................................... 87
Pemeliharaan Ternak dan Pemberian Pakan .................................... 90
Penggunaan Limbah Tanaman Pangan sebagai Pakan ..................... 93
Strategi Pemanfaatan Limbah Tanaman Pangan sebagai Pakan Ternak
Ruminansia.......................................................................................... 99
Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal ....................................... 99
Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal ............................................ 104
Formulasi Strategi .......................................................................... 107
Pengambilan Keputusan ................................................................. 110
Implikasi Strategi Pemanfaatan Limbah Tanaman Pangan sebagai
Pakan Ternak Ruminansia .............................................................. 113

KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 120


Kesimpulan ................................................................................... 120
Saran .............................................................................................. 122
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 123
LAMPIRAN ............................................................................................... 131
DAFTAR TABEL
Halaman

1. Persepsi peneliti dan peternak tentang sumberdaya pakan ..................... 11


2. Skala banding secara berpasangan pada proses hirarki analitik. ............. 21
3. Struktur populasi ternak dan standar satuan ternak menurut umur
dan jenis ternak ..................................................................................... 24
4. Tipe iklim Sulawesi Selatan menurut Schmidt dan Fergusson. .............. 26
5. Kepadatan ternak wilayah ternak ruminansia di Sulawesi Selatan ......... 37
6. Contoh matriks evaluasi faktor eksternal. .............................................. 41
7. Contoh matriks evaluasi faktor internal . ............................................... 41
8. Contoh matriks perencanaan strategis kuantitatif................................... 44
9. Luas wilayah dan jumlah kecamatan, desa/kelurahan menurut kabupaten/
kota di Sulawesi Selatan........................................................................ 47
10. Luas lahan dan penggunaannya di Sulawesi Selatan. ............................. 49
11. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin, usia kerja dan lapangan
usaha di Sulawesi Selatan...................................................................... 50
12. Keragaan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan (1999-2003) .............. 54
13. Populasi ternak ruminansia di Sulawesi Selatan. ................................... 56
14. Kepadatan ekonomi ternak, kepadatan usahatani dan kepadatan
wilayah ternak ruminansia di Sulawesi Selatan...................................... 60
15. Rata-rata produksi segar, produksi kering dan produksi bahan kering
limbah tanaman pangan di Sulawesi Selatan.......................................... 62
16. Produksi bahan kering limbah tanaman pangan di Sulawesi Selatan. .... 65
17. Produksi total digestible nutrient limbah tanaman pangan
di Sulawesi Selatan. .............................................................................. 66

18. Produksi protein kasar limbah tanaman pangan di Sulawesi Selatan ...... 67
19. Laju pertumbuhan produksi bahan kering limbah tanaman pangan
di Sulawesi Selatan. .............................................................................. 79

20. Daya dukung limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan


di Sulawesi Selatan. .............................................................................. 81
Halaman

21. Kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia di Sulawesi Selatan.. 85


22. Keadaan umum peternak responden. ..................................................... 87
23. Cara pemeliharaan ternak dan pemberian pakan. ................................... 91
24. Matriks evaluasi faktor internal (IFE) pemanfaatan limbah tanaman
pangan sebagai pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan................ 105

25. Matriks evaluasi faktor ekternal (EFE) pemanfaatan limbah tanaman


pangan sebagai pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan................ 107

26. Matriks SWOT analisis pemanfaatan limbah tanaman pangan


sebagai pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan ........................... 109

27. Prioritas alternatif strategi pemanfaatan limbah tanaman pangan


sebagai pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan ........................... 111

28. Matriks implikasi strategi pemanfaatan limbah tanaman pangan


sebagai pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan ........................... 117
DAFTAR GAMBAR
Halaman

1. Sumberdaya pakan berdasarkan produk utama tanaman ....................... 8


2. Kerangka analisis perumusan strategi.................................................... 17
3. Formulasi matriks pendapat individu..................................................... 21
4. Peta propinsi Sulawesi Selatan dan kabupaten lokasi penelitian............. 28
5. Alur pelaksanaan perumusan strategi pemanfaatan limbah tanaman
pangan sebagai pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan ................ 39

6. Illustrasi skema matriks SWOT............................................................. 42


7. PDRB Sulawesi Selatan atas dasar harga berlaku tahun 2003. ............... 52
8. PDRB sektor pertanian Sulawesi Selatan atas harga berlaku
tahun 2003 ............................................................................................ 53
9. Peta keunggulan komparatif ternak ruminansia di Sulawesi Selatan. ..... 58
10. Peta indeks konsentrasi produksi pakan jerami padi
di Sulawesi Selatan ............................................................................... 69

11. Peta indeks konsentrasi produksi pakan jerami jagung


di Sulawesi Selatan ............................................................................... 70

12. Peta indeks konsentrasi produksi pakan jerami kedelai


di Sulawesi Selatan ............................................................................... 72

13. Peta indeks konsentrasi produksi pakan jerami kacang hijau


di Sulawesi Selatan ............................................................................... 73

14. Peta indeks konsentrasi produksi pakan jerami kacang tanah


di Sulawesi Selatan ............................................................................... 74

15. Peta indeks konsentrasi produksi pakan jerami ubi jalar


di Sulawesi Selatan ............................................................................... 75

16. Peta indeks konsentrasi produksi pakan pucuk ubi kayu


di Sulawesi Selatan ............................................................................... 77

17. Produksi limbah tanaman pangan berdasarkan bulan produksi dalam


setahun.................................................................................................. 78
Halaman

18. Peta indeks daya dukung limbah tanaman pangan di Sulawesi Selatan. 83
19. Jumlah peternak yang menggunakan limbah tanaman pangan
sebagai pakan........................................................................................ 93
20. Jumlah peternak yang menggunakan limbah tanaman pangan
sebagai pakan berdasarkan jenis limbah ................................................ 95
21. Jumlah peternak yang mengetahui teknologi pakan ............................... 96
22. Jenis teknologi pakan yang diketahui peternak ...................................... 97
23. Jumlah peternak yang menerapkan teknologi pakan .............................. 98
24. Elemen kunci pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai sumber
pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan......................................... 114

25. Keterkaitan strategi dalam pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai


sumber pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan ............................ 115
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

1. Kuisioner survei evaluasi potensi limbah tanaman pangan .................... 131


2. Kuisioner survei evaluasi pemanfaatan limbah tanaman pangan . .......... 132
3. Kuisioner identifikasi faktor ekternal dan internal . ............................... 135
4. Kuisioner penentuan bobot dan peringkat faktor eksternal dan
internal ................................................................................................. 137
5. Kuisioner penentuan nilai daya tarik alternatif strategi pemanfaatan
limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia ..................... 140
6. Populasi ternak ruminansia di Sulawesi Selatan ................................... 142
7. Nilai location quotient (LQ) ternak ruminansia di Sulawesi Selatan ..... 143
8. Analisis statistik deskriptif produksi limbah tanaman pangan ............... 144
9. Analisis statistik deskriptif kualitas limbah tanaman pangan ................. 147
10. Luas areal panen tanaman pangan ........................................................ 150
11. Produksi segar limbah tanaman pangan ................................................ 151
12. Produksi kering limbah tanaman pangan ............................................... 152
13. Indeks konsentrasi produksi pakan (IKPP) limbah tanaman pangan ...... 153
14. Daya dukung bahan kering limbah tanaman pangan ............................. 154
15. Daya dukung total digestible nutrient limbah tanaman pangan ............. 155
16. Daya dukung protein kasar limbah tanaman pangan ............................. 156
17. Indeks daya dukung pakan limbah tanaman pangan .............................. 157
18. Karakteristik peternak responden menurut lokasi penelitian .................. 158
19. Karakteristik pemeliharaan ternak menurut lokasi penelitian ................. 159
20. Karakteristik pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai
pakan menurut lokasi penelitian ............................................................ 161
21. Matriks perencanaan strategi kuantitatif (QSPM) strategi pemanfaatan
limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia
di Sulawesi Selatan ............................................................................... 163
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pembangunan peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan
sektor pertanian, sehingga kondisi dan tantangan bidang peternakan tidak terlepas
dari sub sektor lain yang erat kaitannya dengan sub sektor peternakan. Karena
peternakan merupakan bagian dari sektor pertanian dan sektor lainnya, maka
pertumbuhan dan perkembangan sub sektor peternakan juga sangat tergantung
dari pertumbuhan dan perkembangan sektor-sektor yang terkait dengan sub sektor
peternakan tersebut.
Sub sektor peternakan memiliki peran yang penting dalam penyediaan
protein hewani, lapangan kerja, pengentasan kemiskinan dan pengembangan
potensi wilayah. Permintaan akan produk peternakan meningkat dari tahun ke
tahun sejalan semakin meningkatnya pendapatan masyarakat dan semakin
membaiknya kesadaran gizi masyarakat. Pangan yang berupa produk peternakan
terutama adalah daging, susu dan telur, yang merupakan komoditas pangan
hewani yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas konsumsi pangan.
Tingkat konsumsi protein hewani di Indonesia tahun 2003 (Ditjen Bina
Produksi Peternakan 2004) adalah 4.93 g/kapita/hari dengan rincian sumbangan
daging 2.87 g/kapita/hari (58.22%), telur 1.42 g/kapita/hari (28.80%) dan susu
0.64 g/kapita/hari (12.98%). Dibandingkan dengan tingkat konsumsi negara-
negara lain di Asia Tenggara menunjukkan Indonesia masih lebih rendah,
misalnya Kamboja 9.4 g/kapita/hari, Laos 9.8 g/kapita/hari, Vietnam 17.5
g/kapita/hari dan Malaysia 52.7 g/kapita/hari (FAO 2004). Konsumsi pangan
hewani di Indonesia tidak sepenuhnya disediakan dari produk dalam negeri,
karena pada tahun yang sama dari jumlah konsumsi daging 1 947 200 ton,
disediakan dari impor besarnya 44 700 ton. Begitu pula untuk konsumsi susu
sebesar 1 350 500 ton, sebanyak 1 328 600 ton juga disediakan oleh impor (Ditjen
Bina Produksi Peternakan 2004). Hal ini menunjukkan bahwa industri peternakan
belum berorientasi ekspor, serta upaya-upaya yang dilakukan selama ini masih
dalam kerangka pemenuhan permintaan akan produk peternakan di dalam negeri.
Masih rendahnya produk ternak di Indonesia sangat dipengaruhi oleh
perkembangan produksi peternakan. Jumlah populasi sapi potong, kambing dan
domba dalam kurun waktu 1999-2003 mengalami peningkatan pertahun hanya
sebesar 0.005%, 0.009%, dan 0.49%, dan tingkat pemotongan ternak dalam kurun
waktu yang sama mengalami pula peningkatan untuk sapi potong 0.02%, kambing
0.09% dan domba 0.11% per tahun. Dilain pihak, populasi kerbau mengalami
penurunan 0.004% pertahun (Ditjen Bina Produksi Peternakan 2004). Dalam
kurun waktu yang sama, produksi daging ternak ruminansia mengalami
peningkatan sebesar 0.05% per tahun dengan struktur produksi daging yang
mengalami peningkatan adalah daging kambing sebesar 0.09%, daging domba
0.24%, dan sapi 0.02% per tahun. Di lain pihak, daging asal kerbau mengalami
penurunan 0.02% pertahun.
Ketidakmampuan produksi peternakan dalam negeri dalam memenuhi
kebutuhan domestik dipengaruhi oleh beberapa keterbatasan sebagai berikut.
(a) Penguasaan teknologi, baik di bidang produksi maupun penanganan pasca
panen, (b) Kemampuan permodalan peternakan, (c) Kualitas sumberdaya
manusia, dan (d) Ketersediaan pakan (Suryana 2000). Di lain pihak, Sutardi
(1997) mengemukakan bahwa faktor penentu keberhasilan usaha peternakan dapat
digolongkan ke dalam lima kelompok sebagai berikut. (a) Pemuliaan dan
reproduksi, (b) Pengolahan usaha dan pemeliharaan ternak, (c) Pencegahan
penyakit dan pengobatan, (d) Peralatan dan bangunan, dan (d) Penyediaan dan
pemberian pakan. Pakan merupakan faktor penting dalam berhasilnya usaha
pengembangan peternakan. Tanpa memperhatikan faktor tersebut, setiap usaha
pengembangan peternakan tidak akan memberikan hasil sebagaimana yang
diharapkan. Dalam usaha peternakan pakan merupakan faktor yang sangat
menentukan karena biaya pakan ternak pada umumnya mencapai 60 sampai 70%
dari seluruh beban biaya dalam proses produksi peternakan. Penyediaan pakan,
baik kuantitas, kualitas maupun kontinuitas sangat dibutuhkan untuk menunjang
keberhasilan usaha peternakan.
Ternak ruminansia sebagai penghasil daging dan susu dengan pakan
utamanya hijauan memiliki kendala dalam penyediaannya disebabkan oleh
semakin berkurangnya lahan/padang penggembalaan dan ketersediaan pakan
hijauan sangat dipengaruhi oleh musim. Musim kemarau jumlahnya kurang dan
sebaliknya pada musim hujan melimpah sehingga ketersediaan tidak kontinyu
sepanjang tahun. Kecukupan pakan bagi ternak yang dipelihara merupakan
tantangan yang cukup serius dalam pengembangan peternakan di Indonesia.
Indikasi kekurangan pasokan pakan dan nutrisi ialah masih rendahnya tingkat
produksi ternak yang dihasilkan.
Pengembangan peternakan sangat terkait dengan pengembangan suatu
wilayah. Sulawesi Selatan sebagai salah satu propinsi di Indonesia memiliki
potensi cukup besar dalam pengembangan peternakan. Sulawesi Selatan pernah
dikenal sebagai lumbung ternak, dengan kemampuan memasok ternak ke daerah
lain dalam rangka pengadaan ternak nasional. Sebagai illustrasi, pada tahun 1990
jumlah pengeluaran ternak sapi dan kerbau adalah 65 804 ekor dan 17 443 ekor
(Katoe 1991) dan angka tersebut masih jauh lebih tinggi dibanding jumlah
pengeluaraan ternak pada tahun 2003 yaitu sapi 6 449 ekor dan kerbau 143 ekor
(Dinas Peternakan Sulawesi Selatan, 2004). Saat ini permintaan ternak tidak
mampu terpenuhi yang kemungkinan disebabkan oleh a). rendahnya kemampuan
produksi ternak bibit, baik dari segi kualitas maupun kuantitas akibat terjadinya
perkawinan kedalam yang berlangsung cukup lama, b). semakin menurunnya
produktivitas ternak yang ditunjukkan dengan menurunnya berat karkas, dan c).
terbatasnya kuantitas dan kualitas pakan (Ella 2002).

Salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan peternakan di


Sulawesi Selatan adalah ketersediaan sumberdaya pakan untuk ternak. Namun
demikian, padang penggembalaan sebagai penyedia pakan hijauan cenderung
berkurang setiap tahun. Luas padang penggembalaan di Sulawesi Selatan tahun
2003 adalah 235 542 ha dan mengalami penurunan jika dibandingkan tahun 1999
seluas 290 184 ha (BPS 2004). Di lain pihak, telah terjadi perubahan fungsi lahan
yang sebelumnya sebagai penyedia sumber pakan menjadi lahan sawah/pertanian
untuk memenuhi tuntutan penyediaan pangan akibat semakin meningkatnya
jumlah penduduk. Disamping itu penyediaan pakan juga memiliki keterbatasan
akibat adanya persaingan kebutuhan penyediaan pangan untuk konsumsi manusia.
Peningkatan luas lahan pertanian memberikan implikasi terhadap
peningkatan luas areal panen tanaman pangan. Di Sulawesi Selatan pada tahun
2003, luas areal panen padi seluas 847 305 ha atau 6.85% dari luas areal panen di
Indonesia, dan luas areal panen jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu dan ubi
jalar masing-masing 6.91%, 3.97%, 6.13%, 3.53% dan 4.40% dari luas areal
panen nasional (BPS 2004). Meningkatnya intensifikasi tanaman pangan
mengakibatkan peningkatan produksi limbah tanaman pangan.
Berdasarkan uraian dan permasalahan yang telah dipaparkan di atas,
untuk memanfaatkan limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan ternak
ruminansia maka perlu dilakukan penelitian. Penelitian mencakup inventarisasi
potensi limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan ternak ruminansia dan
evaluasi pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan ternak
ruminansia, serta merumuskan strategi pemanfaatan limbah tanaman pangan
sebagai pakan di Sulawesi Selatan.

Tujuan Penelitian
(a) Mengkaji karakteristik ternak ruminansia di Sulawesi Selatan.
(b) Menginventarisasi produksi limbah tanaman pangan berdasarkan kuantitas
dan kualitasnya, dan daya dukung sebagai sumber pakan di Sulawesi Selatan.
(c) Mengevaluasi pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan
ternak ruminansia di Sulawesi Selatan.
(d) Merumuskan strategi pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai sumber
pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan.

Manfaat Penelitian
(a) Bahan pertimbangan dan menjadi acuan bagi pengambil keputusan atau
kebijakan, khususnya untuk pengembangan peternakan berdasarkan
sumberdaya pakan.
(b) Informasi ilmiah yang dapat dimanfaatkan oleh kalangan ilmuwan, dan
sebagai kajian, sumbangan data, informasi dan pemikiran untuk
pengembangan sumberdaya pakan.
TINJAUAN PUSTAKA

Kebijakan Pembangunan Peternakan


Paradigma pembangunan peternakan adalah terwujudnya masyarakat yang
sehat dan produktif serta kreatif melalui peternakan tangguh berbasis sumberdaya
lokal. Untuk mencapai paradigma tersebut dilakukan berbagai misi yaitu 1)
menyediakan pangan asal ternak, 2) memberdayakan sumberdaya manusia
peternakan, 3) meningkatkan pendapatan peternakan, 4) menciptakan lapangan
kerja peternakan, serta 5) melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya alam, yang
secara keseluruhannya selaras dengan program pembangunan pertanian yaitu
membangun ketahanan pangan dan mengembangkan sektor agribisnis pertanian
(Sudardjat 2000). Selanjutnya pengembangan dibidang peternakan dilakukan
melalui strategi pengembangan pilar peternakan utama yaitu 1) pengembangan
potensi ternak dan bibit ternak, 2) pengembangan pakan ternak, 3) pengembangan
teknologi budidaya. Ketiga pilar utama peternakan terkait oleh sanitasi dan
kesehatan ternak serta peningkatan industri dan pemasaran hasil peternakan,
pengembangan kelembagaan usaha dan keterampilan peternak serta kawasan
pengembangan peternakan.
Menurut Diwyanto et al. (2000) peternakan di Indonesia pada dasarnya
dapat dikelompokkan dalam empat kategori sebagai berikut.
1. Usaha peternakan bersifat pre industri dimana usaha bersifat subsisten, semua
aktivitas dilakukan oleh peternak, hampir tidak ada peran organisasi
pemerintah maupun swasta.
2. Usaha peternakan yang mulai timbul pertimbangan industri atau bisnis. Disini
peran pemerintah dalam banyak hal cukup dominan dan hampir tidak ada
industri swasta yang terlibat. Contoh usaha ini adalah peternakan kerbau, dan
ayam buras.
3. Usaha peternakan dalam tahap ekspansi, dimana peran pemerintah dan swasta
cukup besar. Pada tahap ini peran pemerintah dalam hal penelitian dan
pengembangan cukup dominan walaupun swasta sudah tertarik untuk
berusaha seperti contoh pada usaha sapi perah, domba, dan itik.
4. Usaha peternakan tahap industri yang matang, dimana peran swasta sangat
dominan serta telah mampu mengembangkan penelitian dan pengembangan
untuk mendukung usahanya.
Kebijaksanaan pengembangan pakan ternak diarahkan untuk
mengoptimalkan pemanfaatan bahan baku pakan lokal untuk mengurangi
ketergantungan terhadap impor bahan baku pakan. Kebijaksanaan pengembangan
pakan ternak meliputi : a) kebijakan pakan konsentrat, yaitu mengusahakan
tersedianya bahan baku pakan konsentrat dengan jumlah dan mutu yang terjamin,
mudah diperoleh disetiap waktu dan tempat serta harganya dapat dijangkau oleh
peternak, mengusahakan adanya berbagai pilihan produsen pengolah pakan mulai
dari pabrik besar sampai pada unit-unit pengolahan pakan skala kecil yang ada di
pedesaan, mengusahakan agar dapat dibangunnya silo-silo seperti silo jagung
pada sentra produksi jagung, serta mengkaji ulang standar mutu bahan baku pakan
dan pakan. b) pengembangan pakan hijauan, yaitu mengoptimalkan lahan-lahan
potensial untuk penyediaan bahan pakan hijauan dengan meningkatkan partisipasi
peternak, mengembangkan teknologi limbah pertanian dan industri pertanian
untuk pakan, mengembangkan jenis-jenis hijauan pakan sesuai dengan kondisi
agroklimat setempat, serta mengembangkan tanaman leguminosa lokal sebagai
upaya untuk meningkatkan kualitas pakan hijauan yang diberikan peternak
(Sudardjat 2000).
Secara umum untuk pengembangan pakan memiliki permasalahan-
permasalahan, antara lain : a) kebutuhan bahan baku pakan tidak seluruhnya
dipenuhi dari lokal sehingga masih mengandalkan impor, b) bahan baku pakan
lokal belum dimanfaatkan secara optimal, c) ketersediaan pakan lokal tidak
kontinyu dan kurang berkualitas, d) penggunaan tanaman legum sebagai sumber
pakan belum optimal, e) pemanfaatan lahan tidur dan lahan integrasi masih
rendah, f) penerapan teknologi hijauan pakan masih rendah, g) produksi pakan
nasional tidak pasti akibat akurasi data yang kurang tepat, serta h) penelitian dan
aplikasinya tidak sejalan (Budiman 2001).
Pengembangan peternakan di Sulawesi Selatan memiliki misi a)
menyediakan pangan asal ternak yang cukup, baik kuantitas maupun kualitas, b)
memberdayakan sumberdaya manusia peternakan agar menghasilkan produk yang
berdaya saing tinggi di pasar domestik maupun global, c) menciptakan peluang-
peluang usaha untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, d)
menciptakan lapangan kerja di bidang agribisnis dan agroindustri peternakan, dan
e) memanfaatkan dan melestarikan sumberdaya pendukung peternakan (Dinas
Peternakan Sulawesi Selatan 2001a).
Program strategis pembangunan peternakan di Sulawesi Selatan meliputi
tiga hal yaitu 1) peningkatan ketahanan pangan, diarahkan pada upaya-upaya
peningkatan dan pengembangan usaha-usaha peternakan skala kecil dalam
penyediaan sumber protein hewani dan menunjang ketahanan pangan, 2)
pengembangan agribisnis, diarahkan untuk pengembangan komoditas ungggulan
yang bersifat komersial, memiliki daya saing yang tinggi serta mendukung
ekonomi wilayah di pedesaan, dan 3) pengamanan penyakit hewan, upaya untuk
mencegah, membantu dan menanggulangi penyakit hewan yang ada baik penyakit
bersifat ekonomis maupun penyakit yang bersifat strategis (Dinas Peternakan
Sulawesi Selatan 2001b).
Berbagai permasalahan dalam pembangunan peternakan di Sulawesi
Selatan, adalah : 1) kecenderungan penurunan populasi khususnya sapi dan kerbau
karena makin tingginya pemotongan betina produktif serta faktor keamanan juga
sangat berpengaruh dimana minat sebagian peternak untuk memelihara ternak
menurun, 2) skala usaha kecil, umumnya skala usaha masih terbatas pada skala
usaha sambilan dan hanya sebagian kecil yang menjadikan usaha pokok dan
cabang usaha sehingga untuk bersaing dengan daerah lain yang menjadikan
komoditasnya sebagai usaha pokok kurang kompetitif, 3) kualitas produk
peternakan masih rendah, 4) terbatasnya permodalan, 5) lemahnya kelembagaan
terutama di tingkat kelompok tani dan peternak (Dinas Peternakan Sulawesi
Selatan 2001b).

Sumberdaya Pakan
Pakan atau makanan ternak adalah bahan yang dapat dimakan, dicerna dan
digunakan oleh ternak. Secara umum bahan makanan ternak adalah bahan yang
dapat dimakan, tetapi tidak semua komponen dalam bahan makanan ternak
tersebut dapat dicerna oleh ternak. Bahan makanan ternak mengandung zat
makanan dan merupakan istilah umum, sedangkan komponen dalam bahan
makanan ternak tersebut yang dapat digunakan oleh ternak disebut zat makanan
(Tillman et al. 1989).
Bahan makanan ternak terdiri dari tanaman, hasil tanaman dan juga yang
berasal dari ternak atau hewan (Tillman et al. 1989). Karena ternak umumnya
tergantung pada tanaman sebagai sumber makanannya, maka Parra dan Escobar
(1985) mengelompokkan pakan berdasarkan produk utamanya yaitu pakan yang
berasal dari produk tanaman untuk manusia dan tanaman untuk makanan ternak,
dengan klasifikasi seperti terlihat pada Gambar 1.

Produk Utama (Primary Production)

Tanaman untuk Makanan Tanaman untuk Makanan


Manusia Ternak

Limbah Industri Limbah Pertanian


Pertanian

Limbah Limbah Limbah


Industri Industri Pertanian Hijauan Hijauan Hijauan
Pertanian Pertanian Berserat Alami Budidaya Lainnya
Berserat Berserat
Rendah Tinggi

Produksi Ternak

Gambar 1 Sumberdaya pakan berdasarkan produk utama tanaman


(Parra dan Escobar 1985).

Menurut Jayasuriya (2002), sumberdaya pakan dapat dikategorikan dalam


empat kelompok sebagai berikut.
1. Pakan dengan serat tinggi dan protein rendah. Jenis pakan yang tergolong
dalam kelompok ini adalah limbah pertanian seperti jerami padi, jerami jagung
dengan karakteristik kandungan serat yang tinggi (>700 g dinding sel/kg
bahan kering) dan kandungan protein yang rendah (20-60 g protein kasar/kg
bahan kering).
2. Pakan dengan serat tinggi dan protein tinggi. Pakan yang termasuk kategori ini
adalah beberapa limbah industri pertanian (agroindustrial byproducts) seperti
dedak padi dan dedak jagung, termasuk pula limbah pertanian seperti limbah
kacang tanah dan pucuk ubi kayu. Karakteristiknya adalah kandungan
seratnya antara <400 - >700 g dinding sel/kg bahan kering dengan kandungan
protein >60 g protein kasar/kg bahan kering.
3. Pakan dengan serat rendah dan protein rendah. Pakan yang termasuk dalam
kategori ini adalah pakan dengan serat dan protein yang rendah, akan tetapi
memiliki kandungan energi yang cukup tinggi seperti molases serta limbah
industri pengolahan buah-buahan sehingga banyak digunakan sebagai sumber
energi.
4. Pakan dengan serat rendah dan protein tinggi. Pakan kategori ini biasa disebut
sebagai pakan konsentrat. Konsentrat dapat berasal dari bahan pangan atau
tanaman serealia (jagung, padi atau gandum), kacang-kacangan (kacang hijau,
kedelai), atau yang berasal dari hewan seperti tepung daging dan tepung ikan.
Dilain pihak, Simbaya (2002) membagi sumberdaya pakan ternak ke
dalam empat golongan, yaitu hijauan (forages), limbah pertanian (crop residues),
limbah industri pertanian (agroindustrial byproduct) dan pakan non konvensional
(non convensional feed). Forages adalah semua jenis hijauan pakan, baik yang
sengaja ditanam maupun yang tidak. Termasuk di dalamnya rumput dan
leguminosa, baik leguminosa menjalar, perdu maupun pohon. Hartadi et al.
(1993) mengemukakan bahwa forages atau hijauan pakan adalah bagian tanaman
terutama rumput dan leguminosa yang dipergunakan sebagai pakan ternak.
Biasanya hijauan mengandung serat kasar sekitar 18% dari bahan keringnya.
Hijauan makanan ternak bersumber dari padang rumput alam atau dengan
melakukan penanaman hijauan makanan ternak. Jenis dan kualitas hijauan
dipengaruhi oleh kondisi ekologi dan iklim di suatu wilayah (Simbaya 2002).
Ketersediaan hijauan pakan ternak di Indonesia tidak tersedia sepanjang tahun,
dan hal ini merupakan suatu kendala yang perlu dipecahkan. Musim penghujan
produksi hijauan berlimpah, dan sebaliknya pada musim kemarau mengalami
kekurangan. Hijauan pakan yang tersedia di pedesaan adalah rumput unggul,
rumput lapangan dan leguminosa (Diwyanto et al. 1996).
Pengembangan ternak khususnya ternak ruminansia masih tergantung pada
kecukupan tersedianya pakan hijauan baik jumlah, kualitas dan
kesinambungannya sepanjang tahun. Hijauan pakan yang digunakan untuk ternak
ruminansia sering mengalami kekurangan terutama di musim kering dengan mutu
yang rendah. Selain itu penggunaan lahan untuk tanaman pakan masih bersaing
dengan tanaman pangan karena tanaman pakan belum menjadi prioritas (Sajimin
et al. 2000).
Limbah pertanian adalah pakan yang bersumber dari limbah tanaman
pangan dan produksinya sangat tergantung pada jenis dan jumlah areal
penanaman atau pola tanam dari tanaman pangan di suatu wilayah (Makkar
2002). Produksi limbah pertanian dapat diestimasi berdasarkan asumsi dari
perbandingan antara produk utama dengan limbahnya. Estimasi produksi limbah
pertanian dapat menunjukkan perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan angka
konversi (rasio) yang digunakan. Untuk mengetahui produksi limbah pertanian di
suatu wilayah dapat diperkirakan berdasarkan luas areal panen dari tanaman
pangan tersebut (Jayasuriya 2002). Jenis limbah pertanian yang dapat digunakan
sebagai pakan seperti jerami padi, jerami jagung, jerami kacang kedelai, jerami
kacang tanah dan pucuk ubi kayu (Djajanegara 1999).
Menurut Djajanegara (1999), beberapa kendala pemanfaatan limbah
pertanian sebagai pakan adalah pada umumnya memiliki kualitas rendah dengan
kandungan serat yang tinggi dan protein dan kecernaan yang rendah, akibatnya
bila digunakan sebagai pakan basal dibutuhkan penambahan bahan pakan yang
memiliki kualitas yang baik (konsentrat) untuk memenuhi dan meningkatkan
produktivitas ternak. Kendala lainnya adalah produksi limbah pertanian bersifat
musiman yaitu melimpah saat panen dan jumlah limbah pertanian yang dapat
dikumpulkan oleh perternak terbatas karena tidak memiliki fasilitas untuk
penyimpanan.
Menurut Soetanto (2000), untuk mengatasi masalah pakan secara umum
dapat dilakukan tiga pendekatan. Pertama, memperluas keragaman sumber pakan
dengan melakukan upaya pemanfaatan lahan tidur untuk penanaman hijauan
makanan ternak, pemanfaatan limbah pertanian dan industri, dan menghidupkan
kembali tanah-tanah pangonan. Selain itu dengan melakukan sistem pertanian
lorong dan intensifikasi lahan pekarangan dengan memanfaatkan leguminosa
perdu. Kedua, meningkatkan kualitas pakan melalui peningkatan kualitas pakan
basal, peningkatan nilai nutrisi protein serealia dan upaya menghilangkan
senyawa antinutrisi dalam pakan. Ketiga, memperbaiki sistem pemberian pakan
dengan upaya yang dilakukan adalah perbaikan formulasi ransum ternak yang
sesuai dengan daerah tropis dan manajemen pemberian pakan untuk ternak.
Untuk memanfaatan limbah pertanian dan industri pertanian sebagai pakan
perlu diperhatikan beberapa hal yaitu : a) jumlah yang tersedia (kuantitas) untuk
dapat digunakan sebagai pakan, b) distribusi yaitu jarak antara lokasi produksi
limbah tersebut dengan tempat pemeliharaan ternak (pedesaan), c) infrastruktur
yang berhubungan dengan transportasi dan fasilitas penanganan dan
penyimpanan, d) kesinambungan produksi, dan e) teknologi yang tersedia dengan
mempertimbangkan aspek ekonomi dan efisiensinya (Preston 1986).
Tingkat adopsi suatu inovasi teknologi pakan dalam pengembangan pakan
sangat kompleks. Namun satu hal yang sering diabaikan adalah kurangnya
pemahaman terhadap persepsi peternak dibanding dengan para peneliti. Soetanto
(2001) mengidentifikasi beberapa penyebab kegagalan program-program di
bidang pengembangan pakan seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Persepsi peneliti dan peternak tentang sumberdaya pakan

Kriteria Peneliti Peternak


• Tidak memiliki lahan
khusus untuk penanaman
Mengurangi pakan
Padang rumput rumput
konsentrat
• Lahan prioritas untuk
tanaman pangan
• Jerami untuk ternak kerja
Dapat diberikan jika
Pakan jerami • Tidak punya jerami dan
kekurangan hijauan
sulit dikumpulkan
• Tidak ada waktu
• Memerlukan input dan
Jerami amoniasi Teknologi sederhana
peralatan dalam
pembuatannya
• Tidak punya cukup rumput
• Tidak ada waktu untuk
Silase Pakan untuk musim kemarau
membuat
• Menambah biaya
Sumber : Soetanto (2001)
Limbah Tanaman Pangan sebagai
Pakan Ternak Ruminansia

Limbah tanaman pangan memiliki potensi yang cukup besar untuk dapat
digunakan sebagai makanan ternak. Karakteristik limbah tanaman pangan secara
umum dengan kualitas nutrisi yang rendah sehingga memiliki keterbatasan dalam
penggunaannya sebagai pakan ternak (Shanahan et al. 2004). Jerami padi
merupakan salah satu limbah tanaman pangan yang terdapat dalam jumlah
melimpah dan mudah diperoleh untuk dimanfaatkan sebagai makanan ternak.
Karakteristik jerami padi ditandai dengan tingginya kandungan serat kasar dan
rendah kandungan nitrogen, kalsium serta fosfor. Hal ini mengakibatkan daya
cerna jerami padi rendah dan konsumsi menjadi terbatas, akan tetapi masih
potensial digunakan sebagai sumber energi (Leng 1980).
Upaya meningkatkan nilai manfaat jerami padi sebagai pakan telah
dilaporkan beberapa peneliti. Ternak sapi yang mendapat pakan dengan
perlakuan jerami padi ditambahkan urea 4% menunjukkan pertambahan berat
badan dan konversi ransum nyata lebih baik dibandingkan dengan pakan jerami
dengan penambahan kombinasi 2% urea dan 3% kapur (Xuan Trach et al. 2001).
Xuan Trach (2004) melaporkan bahwa teknologi peningkatan nilai nutrisi jerami
padi dengan perlakuan penambahan urea sebagai pakan ternak sapi pada kondisi
peternakan rakyat dapat meningkatkan produktivitas ternak dengan tingkat
konsumsi dan pertambahan berat badan yang lebih baik dibandingkan dengan
jerami padi tanpa penambahan urea. Tingkat adopsi peternak dan penerapan
teknologi tersebut dipengaruhi oleh aspek sosial ekonomi seperti pola pikir dan
perilaku peternak, serta pemahaman terhadap manfaat yang dapat diperoleh
dengan menerapkan teknologi tersebut.
Penelitian penggunaan jerami padi sebagai pakan ternak ruminansia
dilaporkan Bestari et al. (1999), bahwa pemberian pakan hijauan silase jerami
padi yang ditambahkan mikroba rumen kerbau pada sapi peranakan ongole jantan
yang sedang tumbuh dapat memberikan nilai gizi dan nilai manfaat ransum yang
lebih baik daripada jerami padi tanpa pengolahan, dan setara dengan pakan
hijauan rumput gajah. Pemberian pakan silase jerami padi yang ditambahkan
mikroba rumen kerbau pada sapi peranakan ongole jantan yang sedang tumbuh
memberikan pengaruh yang terbaik terhadap nilai kecernaan bahan kering, bahan
organik, protein kasar dan NDF bila dibandingkan dengan pakan hijauan rumput
gajah maupun jerami padi.
Pengolahan jerami padi yang difermentasi dengan starbio menunjukkan
komposisi nutrien jerami padi mengalami peningkatan kualitas dibanding jerami
padi yang tidak difermentasi. Dibanding dengan jerami padi tanpa fermentasi,
jerami padi yang difermentasi dengan probiotik starbio mengalami peningkatan
kandungan protein kasar. Komposisi serat jerami padi tanpa fermentasi nyata
lebih tinggi dibanding dengan jerami padi yang difermentasi dengan starbio
(Syamsu 2001a). Dalam aplikasi di lapangan pada peternakan rakyat
menunjukkan rata-rata konsumsi bahan kering pakan terdapat perbedaan nyata
antara jerami padi fermentasi (4.41 kg/ekor/hari) dengan jerami padi tanpa
fermentasi (3.35 kg/ekor/hari) pada ternak sapi Bali. Hal ini menunjukkan bahwa
jerami padi yang difermentasi dengan probiotik mempunyai palatabilitas yang
lebih tinggi dibanding dengan jerami padi tanpa fermentasi. Pertambahan berat
badan sapi dipengaruhi oleh faktor kualitas pakan, serta kemampuan ternak untuk
memanfaatkan pakan tersebut. Rataan pertambahan berat badan harian
menunjukkan bahwa sapi Bali yang diberi jerami padi fermentasi memberikan
respon pertambahan berat badan harian yang lebih tinggi (0.37 kg) dibanding
dengan jerami padi tanpa fermentasi (0.25 kg). Pertambahan berat badan yang
lebih tinggi pada jerami fermentasi dipengaruhi oleh konsumsi pakan yang juga
tinggi (Syamsu et al. 2003).
Teknologi fermentasi jerami padi dengan litter ayam dapat meningkatkan
kualitas protein kasar jerami padi, konsumsi bahan kering dan pertambahan berat
badan ternak sapi yang lebih tinggi dibandingkan dengan jerami padi yang
difermentasi dengan urea (Quoc Viet dan Duc Kien 2001). Dilain pihak, Syamsu
(2001b) menyatakan bahwa penambahan manure ayam memberikan pengaruh
yang nyata terhadap kadar protein kasar jerami padi. Kadar protein kasar antara
tanpa penambahan manure ayam dan 10% manure ayam tidak menunjukkan
perbedaan, tetapi kedua perlakuan tersebut lebih rendah dibanding dengan
penambahan manure ayam 20 dan 30 %. Protein kasar jerami padi dapat
meningkat dengan penambahan manure ayam sebagai starter (Suryani 1994).
Perlakuan biologis dapat menyebabkan ikatan lignoselulose dan
lignohemiselulose pada jerami padi merenggang dan akhirnya putus (Komar
1984) dan putusnya ikatan tersebut disebabkan oleh mikroorganisme yang
terdapat pada manure ayam (Laconi 1992).
Haryanto et al. (2004) menyatakan bahwa peningkatan nilai nutrisi jerami
padi dapat dilakukan melalui bioproses fermentasi menggunakan probiotik
sebagai pemacu pemecahan komponen lignosellulosa di dalam jerami padi
tersebut. Pemberian jerami padi fermentasi dengan probion sebagai pakan domba
dapat meningkatkan produktivitas domba dibandingkan dengan pemberian pakan
secara tradisional. Dilain pihak, Martawidjaja dan Budiarsana (2004) melaporkan
bahwa jerami padi yang difermentasi dengan probion dapat menggantikan rumput
raja sebagai pakan dasar untuk ternak kambing PE betina fase pertumbuhan.
Pemberian jerami padi fermentasi secara terpisah dari konsentrat menghasilkan
respon pertumbuhan dan konversi pakan yang lebih baik dibandingkan dengan
bentuk ransum komplit.
Peningkatan nilai nutrisi daun ubi kayu dengan teknologi silase dilaporkan
oleh Chhay Ty dan Rodríguez (2001), menunjukkan bahwa dengan penggunaan
aditif cairan limbah industri sirup dapat menurunkan pH silase dari awal
fermentasi (pH 6.10) dan setelah difermentasi selama 14 hari menjadi 3.73.
Dengan demikian silase daun ubi kayu dapat disimpan dalam beberapa waktu
untuk selanjutnya digunakan sebagai pakan ternak. Dilain pihak, penggunaan hay
daun ubi kayu dengan ransum basal jerami padi dapat meningkatkan konsumsi
dan kecernaan pakan pada ternak sapi (Vongsamphanh dan Wanapat 2004).

Analisis Perumusan Strategi


Strategi adalah alat untuk mencapai tujuan, dalam perkembangannya
konsep mengenai strategi terus berkembang (Rangkuti 2002). Karena strategi
adalah alat untuk mencapai tujuan, maka strategi harus memiliki sifat antara lain
menyatu (unified) yaitu menyatukan seluruh bagian, menyeluruh (comprehensive)
yaitu mencakup seluruh aspek, dan integral (integrated) yaitu seluruh strategi
akan cocok atau sesuai seluruh tingkatan (Wahyudi 1996).
Menurut Nickols (2000), strategi dapat diartikan dalam beberapa hal
seperti rencana, pola, posisi, serta pandangan. Sebagai rencana, strategi
berhubungan dengan bagaimana memfokuskan perhatian dalam mewujudkan
tujuan yang ingin dicapai. Sebagai pola, strategi berarti suatu ketetapan yang
berdasarkan alasan-alasan tertentu dalam menentukan keputusan akhir untuk
memadukan kenyataan yang dihadapi dengan tujuan yang ingin dicapai. Sebagai
posisi, strategi berarti sikap yang diambil untuk mencapai tujuan, dan sebagai
pandangan strategi berarti cara memandang bentuk dan acuan dalam mengambil
keputusan atau tindakan.
Strategi merupakan rencana yang disatukan, luas dan terintegrasi yang
menghubungkan keunggulan strategis dengan tantangan lingkungan dan dirancang
untuk memastikan bahwa tujuan utama dapat dicapai melalui pelaksanaan yang
tepat (Glueck dan Jauch 1994). Esensi strategi merupakan keterpaduan dinamis
faktor eksternal dan faktor internal yang berisikan strategi itu sendiri. Strategi
merupakan respon yang secara terus-menerus atau adaptif terhadap peluang dan
ancaman eksternal serta kekuatan dan kelemahan internal (Rangkuti 2002).
Manajemen strategi dapat didefinisikan sebagai seni dan pengetahuan
untuk merumuskan, mengimplementasikan dan mengevaluasi suatu keputusan
sehingga mampu mencapai tujuan obyektifnya. Proses manajemen strategi terdiri
atas tiga tahap yaitu perumusan strategi, implementasi strategi dan evaluasi
strategi. Perumusan strategi adalah mengenali peluang dan ancaman eksternal,
menetapkan kekuatan dan kelemahan internal dan memilih strategi tertentu untuk
dilaksanakan. Implementasi strategi sering disebut tahap tindakan manajemen
strategi dengan mengubah strategi yang telah dirumuskan menjadi suatu tindakan.
Evaluasi strategi adalah tahap akhir dari manajemen strategi dengan melakukan
tiga macam aktivitas mendasar untuk mengevaluasi strategi yaitu meninjau faktor-
faktor eksternal dan internal yang menjadi dasar strategi, mengukur prestasi dan
mengambil tindakan korektif (David 2001).
Menurut Wahyudi (1996) tahap perumusan atau pembuatan strategi
merupakan tahap yang paling menantang dan menarik dalam proses manajemen
strategi. Inti pokok dari tahapan ini adalah menghubungkan suatu organisasi
dengan lingkungannya dan menciptakan strategi-strategi yang cocok untuk
dilaksanakan. Proses pembuatan strategi terdiri dari empat elemen seperti
dipaparkan sebagai berikut.
a. Identifikasi masalah-masalah strategik yang dihadapi meliputi
lingkungan eksternal dan internal.
b. Pengembangan alternatif-alternatif strategi yang ada dengan
mempertimbangkan strategi yang lain.
c. Evaluasi tiap alternatif strategi.
d. Penentuan atau pemilihan strategi terbaik dari berbagai alternatif yang
tersedia.
Dalam melakukan perumusan strategi dapat digunakan alat formulasi yaitu
analisis SWOT (Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats). Analisis SWOT
adalah analisis identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan
strategi yang didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan
peluang, secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman (Hax
dan Majluf 1991). Proses penggunaan analisis SWOT menghendaki adanya suatu
survei internal tentang strengths (kekuatan) dan weaknesses (kelemahan), serta
survei eksternal atas opportunities (peluang/kesempatan) dan threats (ancaman)
(Subroto 2003).
Analisis SWOT secara sederhana dipahami sebagai pengujian terhadap
kekuatan dan kelemahan internal, serta kesempatan/peluang dan ancaman
lingkungan eksternal. SWOT adalah perangkat umum yang didesain dan
digunakan sebagai langkah awal dalam proses pembuatan keputusan dan sebagai
perencanaan strategis dalam berbagai terapan (Johnson et al. 1989). Dilain pihak,
Marimin (2004) menyatakan bahwa analisis SWOT adalah suatu cara untuk
mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis dalam rangka merumuskan
suatu strategi yang didasarkan pada logika.
Teknik perumusan strategi yang dikembangkan oleh David (2001),
dilakukan dengan tiga tahap pelaksanaan dan menggunakan matriks sebagai
model analisisnya. Tiga tahapan kerangka kerja dimaksud adalah tahap input (the
input stage), tahap pencocokan (the matching stage) dan tahap keputusan (the
decision stage). Uraian setiap tahapan tersebut menurut David (2001)
diperlihatkan pada Gambar 2.
Tahap 1. Tahap Input

Matriks Evaluasi Matriks Evaluasi


Faktor Eksternal Faktor Internal
(EFE) (EFI)

Tahap 2. Tahap Pencocokan

Matriks
Threats-Opportunities
Weaknesses-Strengths (TOWS)

Tahap 3. Tahap Keputusan


Matriks
Quantitative Strategic Planning
(QSPM)

Gambar 2 Kerangka analisis perumusan strategi (David 2001).

1. Tahap Input
Tahap input merupakan langkah pertama yang meringkas informasi
input dasar yang diperlukan untuk merumuskan strategi dengan menggunakan
matriks evaluasi faktor eksternal dan matriks evaluasi faktor internal. Matriks
evaluasi faktor eksternal digunakan untuk mengevaluasi faktor-faktor
eksternal berkaitan dengan peluang dan ancaman. Tujuan evaluasi eksternal
adalah untuk mengembangkan daftar terbatas peluang yang dapat
dimanfaatkan dan ancaman yang harus dihindari. Seperti yang tersirat dalam
istilah terbatas, audit eksternal tidak bertujuan mengembangkan daftar panjang
dan lengkap dari setiap faktor kemungkinan yang dapat mempengaruhi akan
tetapi mengenali variabel kunci yang menawarkan respon yang dapat
dilakukan. Dilain pihak, matriks evaluasi faktor internal digunakan untuk
mengetahui faktor-faktor internal berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan
yang dianggap penting.
2. Tahap Pencocokan
Tujuan tahap pencocokan adalah menghasilkan strategi alternatif yang
layak, bukan untuk memilih atau menetapkan strategi mana yang terbaik.
Tahap pencocokan dari kerangka kerja perumusan strategi digunakan matriks
TOWS atau lebih dikenal dengan matriks SWOT. Dalam penggunaan matriks
SWOT sangat ditentukan oleh informasi yang diperoleh dari tahap input
untuk mencocokkan peluang dan ancaman eksternal dengan kekuatan dan
kelemahan internal.
Mencocokkan faktor-faktor sukses kritis eksternal dan internal
merupakan kunci untuk secara efektif menghasilkan strategi alternatif yang
layak dan merupakan bagian sulit terbesar untuk mengembangkan matriks
SWOT karena memerlukan penilaian yang baik, dan tidak ada satu pun
kecocokan terbaik. Oleh karena itu tidak semua strategi yang dikembangkan
dalam matriks SWOT akan dipilih.
Matriks SWOT merupakan alat pencocokan yang dapat membantu
dalam mengembangkan empat tipe strategi yaitu strategi SO (Strengths-
Opportunities), strategi WO (Weaknesses-Opportunities), strategi ST
(Strengths-Threats) dan strategi WT (Weaknesses-Threats). Strategi SO atau
strategi kekuatan-peluang adalah menggunakan kekuatan internal untuk
memanfaatkan peluang eksternal, dan strategi WO atau strategi kelemahan-
peluang bertujuan untuk memperbaiki kelemahan internal dengan
memanfaatkan peluang eksternal. Strategi yang menggunakan kekuatan
internal untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman eksternal
adalah strategi ST atau strategi kekuatan-ancaman, dan strategi WT atau
strategi kelemahan-ancaman merupakan strategi yang diarahkan untuk
mengurangi kelemahan internal dan menghindari ancaman eksternal.
3. Tahap Keputusan
Teknik untuk mencocokkan yang dijelaskan di atas menghasilkan
strategi alternatif yang layak. Selanjutnya dilakukan tahapan keputusan
dengan menggunakan Quantitative Strategies Planning Matrix (QSPM) atau
Matriks Perencanaan Strategis Kuantitatif. Penggunaan matriks ini secara
sasaran menunjukkan strategi alternatif mana yang terbaik untuk dipilih
dengan menggunakan informasi dari tahap input dan tahap pencocokan.
QSPM adalah alat untuk melakukan evaluasi pilihan strategi alternatif
secara obyektif berdasarkan faktor internal dan eksternal yang telah
diidentifikasi sebelumnya. Secara konseptual tujuan QSPM adalah untuk
menetapkan daya tarik relatif (relative attractiveness) dari strategi-strategi
yang bervariasi yang telah dipilih, untuk menentukan strategi mana yang
dianggap paling baik untuk diimplementasikan dengan menggunakan
penilaian intuitif yang baik dalam menyeleksi strategi alternatif tersebut.

Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process)


Problem sistem tidak semuanya dapat dipecahkan hanya melalui
komponen-komponen yang terukur. Komponen yang tidak terukur sering
mempunyai peranan yang cukup besar. Untuk mengevaluasi nilai-nilai sosial
dalam masyarakat yang kompleks diperlukan suatu metode yang cocok yaitu
suatu pendekatan yang memungkinkan adanya interaksi antara judgment dengan
fenomena sosial itu. Proses hirarki analitik (PHA) dapat digunakan untuk
memecahkan problema-problema yang terukur maupun yang memerlukan suatu
judgement (Saaty 1993). Prinsip kerja PHA adalah membuat bagian-bagian yang
sederhana delam suatu hirarki persoalan yang tidak terstruktur, strategis dan
dinamik (Marimin 2004).
PHA merupakan salah satu teknik pengambilan keputusan yang dapat
digunakan dalam penentuan atau perencanaan suatu strategi. Alat ini
memasukkan pertimbangan-pertimbangan logis dari faktor-faktor yang
berpengaruh, berikut aktor dan tujuan masing-masing dari suatu permasalahan
yang kompleks yang dipetakan secara sederhana menjadi suatu hirarki. Tingkat
konsistensi adalah salah satu penentu utama yang merupakan pertimbangan pokok
keputusan strategis yang diambil. PHA merupakan model yang luwes yang
memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk membangun
gagasan dan mendefinisikan persoalan dengan cara membuat asumsi mereka
masing-masing dan memperoleh pemecahan yang diinginkan dari (Saaty 1993).
PHA memasukkan pertimbangan dan nilai-nilai pribadi secara logis.
Proses ini bergantung pada imajinasi, pengalaman dan pengetahuan untuk
menyusun hirarki suatu masalah dan pada logika, intuisi dan pengalaman untuk
memberikan pertimbangan. PHA menunjukkan bagaimana menghubungkan
elemen-elemen dari bagian lain untuk memperoleh hasil gabungan. Prosesnya
adalah mengidentifikasi, memahami, dan menilai interaksi suatu sistem sebagai
satu kesatuan. Tahapan terpenting dalam analisis pendapat adalah penilaian
dengan teknik komparasi berpasangan terhadap elemen-elemen keputusan pada
suatu tingkat hirarki keputusan (Saaty 1993).
Menurut Saaty (1993) penyelesaian persoalan dengan menggunakan PHA
dilakukan dengan beberapa prinsip dasar yaitu dekomposisi, menentukan prioritas
dan konsistensi logis, yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Dekomposisi adalah pemecahan persoalan yang menjadi unsur-unsurnya
setelah persoalan tersebut dirumuskan secara baik. Unsur-unsur persoalan
yang telah terpecahkan dapat dipecah lagi menjadi unsur yang lebih kecil,
sehingga diperoleh beberapa tingkatan persoalan yang akan ditelaah.
2. Penilaian perbandingan adalah kepentingan relatif dua elemen pada suatu
tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya. Penilaian ini
merupakan inti dari AHP karena akan berpengaruh terhadap penentuan
prioritas elemen-elemen. Hasil dari penilaian ini lebih mudah disajikan dalam
bentuk matriks pairwise comparison.
3. Menentukan prioritas adalah penentuan eigen vektor dari matriks untuk
menentukan prioritas lokal dari setiap pairwise comparison. Oleh karena
pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat maka untuk mendapatkan
prioritas global harus dilakukan sintesis di antara prioritas lokal. Prosedur
melakukan sintesis berbeda menurut bentuk hirarki. Pengaturan elemen-
elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesis disebut sebagai
priority setting.
4. Konsistensi logis adalah tindakan a) mengelompokkan obyek-obyek serupa
sesuai dengan keseragaman dan relevansinya, dan b) evaluasi intensitas relasi
antar gagasan atau antar obyek yang didasarkan pada suatu kriteria tertentu,
saling membenarkan secara logis.
Prinsip dasar PHA ke dalam langkah penyusunan matriks pendapat
meliputi analisis persoalan, penyusunan hirarki, komparasi berpasangan, sintesa
prioritas dan pemeriksaan konsistensi (Saaty 1993).
1. Komparasi berpasangan, dilakukan melalui pengisian kuisioner oleh
responden. Jika responden bukan seorang ahli, harus dipilih orang yang
mengenal dengan baik permasalahan. Kuantifikasi data yang bersifat kualitatif
menggunakan nilai skala komparasi 1 sampai 9 (Tabel 2).

Tabel 2 Skala banding secara berpasangan pada proses hirarki analitik

Intensitas
Definisi Penjelasan
Pentingnya
Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen menyumbangnya sama besar
1 pada sifat itu
Elemen yang satu sedikit lebih Pengalaman dan pertimbangan sedikit
penting ketimbang yang lainnya menyokong satu elemen atas yang
3
lainnya
Elemen yang satu esensial atau Pengalaman dan pertimbangan dengan
sangat penting ketimbang elemen kuat menyokong satu elemen atas elemen
5
yang lainnya yang lainnya
Satu elemen jelas lebih penting Satu elemen dengan kuat disokong, dan
7 dari elemen yang lainnya dominannya telah terlihat dalam praktek
Satu elemen mutlak lebih penting Bukti yang menyokong elemen yang satu
ketimbang elemen lainnya atas yang lain memiliki tingkat
9 penegasan tertinggi yang mungkin
menguatkan
Nilai-nilai antara di antara dua Kompromi diperlukan antara dua
2,4,6,8
pertimbangan yang berdekatan pertimbangan
Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan
Kebalikan
aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i
Sumber : Saaty (1993).

2. Matriks pendapat individu dengan simbol aij, merupakan pendapat dari hasil
komparasi berpasangan ke dalam formulasi pendapat individu membentuk
matriks n x n (Gambar 3).
C1 C2 • • Cn
C1 1 a12 • • a1n
C2 1/a12 1 • • •
• • • • • •
• • • • • •
Cn 1/a1n • • • 1

Gambar 3 Formulasi matriks pendapat individu (Saaty 1993).


3. Matriks gabungan dengan simbol Gij, merupakan matriks pendapat gabungan
dan merupakan matriks baru yang elemen-elemen matriksnya berasal dari
rata-rata geometrik elemen matriks pendapat individu dengan rasio
inkonsistensi memenuhi syarat yaitu lebih kecil atau sama dengan 10%.
Formulasi rata-rata geometrik adalah :

m m
Gij = Π (aij) k
k=1
Dimana :
Gij = variabel matriks pendapat gabungan baris ke-i dan kolom ke-j
(aij)k = variabel baris ke-i kolom ke-j dari matriks pendapat individu ke-i
k = indeks matriks pendapat individu ke-k yang memenuhi syarat
m = jumlah matriks pendapat individu yang memenuhi syarat

4. Mensintesis prioritas untuk melakukan pembobotan vektor-vektor prioritas.


Menggunakan komposisi secara hirarki untuk membobotkan vektor-vektor
prioritas itu dengan bobot-bobot kriteria, dan menjumlahkan semua nilai
prioritas terbobot yang bersangkutan dengan nilai prioritas dari tingkat bawah
berikutnya, dan seterusnya.
5. Mengevaluasi konsistensi untuk seluruh hirarki. Langkah ini dilakukan
dengan mengalikan setiap indeks konsistensi dengan prioritas kriteria yang
bersangkutan dan menjumlahkan hasilnya. Hasil ini dibagi dengan pernyataan
sejenis yang menggunakan indeks inkonsistensi acak, yang sesuai dengan
dimensi masing-masing matriks. Dengan cara yang sama, setiap indeks
inkonsistensi acak juga dibobot berdasarkan prioritas kriteria yang
bersangkutan dan hasilnya dijumlahkan. Rasio inkonsistensi ini harus bernilai
10% atau kurang.
METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Selatan, yang berlangsung
dari bulan Nopember 2003 sampai dengan Juni 2005.

Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan empat bagian penelitian. Penelitian
pertama adalah analisis karakteristik ternak ruminansia, penelitian kedua adalah
inventarisasi produksi dan daya dukung limbah tanaman pangan, penelitian ketiga
adalah evaluasi pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak
ruminansia, dan penelitian keempat adalah perumusan strategi pemanfaatan
limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan.
Metode pelaksanaan masing-masing penelitian tersebut dijelaskan berikut ini.

Penelitian 1. Analisis Karakteristik Ternak Ruminansia


di Sulawesi Selatan

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik ternak


ruminansia meliputi laju pertumbuhan populasi, pemotongan dan produksi daging
ternak ruminansia, serta karakteristik ternak ruminansia meliputi jumlah dan
struktur populasi berdasarkan satuan ternak, tingkat kepadatan ternak, dan
keunggulan komparatif ternak ruminansia.

Sumber Data
Sumber data penelitian adalah data sekunder yang diperoleh dari instansi
terkait yang meliputi data statistik tentang gambaran umum wilayah, sumberdaya
manusia (penduduk), potensi lahan dan penggunaannya, serta sumberdaya
tanaman pangan dan peternakan. Data pendukung lainnya berupa laporan studi
atau kajian dan berbagai sumber pustaka lainnya yang terkait dengan penelitian
ini.
Analisis Data

a. Keragaan Ternak Ruminansia


Untuk mengetahui peranan ternak ruminansia dalam pembangunan
peternakan di Sulawesi Selatan, dilakukan analisis keragaan ternak ruminansia
dalam lima tahun terakhir (1999-2003), dengan menghitung laju pertumbuhan
yaitu jumlah populasi ternak, jumlah pemotongan ternak, dan produksi ternak
(daging) masing-masing ternak ruminansia. Laju pertumbuhan dihitung menurut
rumus Riethmuller (1999), dengan rumus :
ln (y) = a + bt
Dimana :
y : keragaan ternak yaitu jumlah populasi ternak, jumlah
pemotongan ternak, dan produksi ternak (daging).
t : periode tahun (1999-2003).

b. Jumlah Populasi dan Satuan Ternak


Untuk perhitungan jumlah populasi ternak ruminansia berdasarkan umur
ternak digunakan nilai konversi (persentase) dari ternak anak, muda dan dewasa
terhadap populasi masing-masing ternak ruminansia yaitu sapi, kerbau, kambing
dan domba. Nilai persentase yang digunakan terlihat pada Tabel 3. Untuk
menghitung jumlah satuan ternak (ST) ruminansia untuk setiap jenis ternak,
dihitung populasi ternak berdasarkan struktur populasi (ekor) dikalikan dengan
nilai standar satuan ternak.

Tabel 3 Struktur populasi ternak dan standar satuan ternak menurut umur
dan jenis ternak

Persentase Ternak (%) Standar Satuan Ternak (ST)


Jenis Ternak
Anak Muda Dewasa Anak Muda Dewasa
Sapi 16.99 26.68 56.33 0.25 0.60 1.00
Sapi perah 14.12 26.92 58.96 0.25 0.60 1.00
Kerbau 11.14 25.15 63.71 0.29 0.69 1.15
Kambing 10.92 14.23 74.85 0.04 0.08 0.16
Domba 3.19 14.28 82.53 0.04 0.07 0.14
Sumber : Dinas Peternakan Sulawesi Selatan (2004).
c. Kepadatan Ternak
Kepadatan ternak dibedakan dalam tiga tipe kepadatan yaitu kepadatan
ekonomi, kepadatan usaha tani dan kepadatan wilayah (Ditjen Peternakan dan
Balitnak 1995).
1. Kepadatan ekonomi ternak diukur dari jumlah populasi (ST) dalam 1000
penduduk. Kriteria yang digunakan adalah untuk ruminansia dalam satuan
ternak yaitu sangat padat >300, padat >100-300, sedang 50-100, jarang <50.
2. Kepadatan usaha tani diukur dari jumlah populasi (ST) per hektar lahan usaha
tani (lahan sawah dan kebun). Kriteria yang digunakan yaitu untuk ternak
ruminansia untuk kategori sangat padat >2, padat >1-2, sedang 0.25-1.0 dan
jarang <0.25.
3. Kepadatan wilayah yaitu jumlah populasi (ST) per km2. Kriteria yang
digunakan adalah kategori sangat padat >50, padat >20-50, sedang 10-20 dan
jarang <10.

d. Keunggulan Komparatif Ternak Ruminansia


Untuk mengetahui perbandingan relatif antara kemampuan ternak
ruminansia di suatu kabupaten dengan kemampuan sektor yang sama pada tingkat
propinsi di gunakan analisis Location Quotient (LQ). Rumus menghitung LQ
menurut Ashari (2002) adalah :

Xi® / X®
LQ = ------------------
Xi(N) / X (N)

Dimana :
Xi® : populasi ternak ruminansia ke-i dalam kabupaten R
X® : populasi total ternak rumiansia dalam kabupaten R
Xi(N) : populasi ternak ruminansi ke-i dalam propinsi
X(N) : populasi total ternak ruminansi dalam propinsi

Keterangan
Nilai LQ > 1 : wilayah potensial sebagai pemasuk yang secara
komparatif memiliki keunggulan dibanding
wilayah lain (tinggi)
Penelitian 2. Inventarisasi Produksi dan Daya Dukung Limbah
Tanaman Pangan

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi potensi limbah tanaman
pangan ditinjau dari segi kuantitas dan kualitasnya, serta daya dukung limbah
tanaman pangan sebagai sumber pakan ternak ruminansia.

Lokasi Penelitian
Berdasarkan distribusi curah hujan, di Sulawesi Selatan terdapat beberapa
tipe iklim menurut klasifikasi Schmidt dan Fergusson, seperti terlihat pada Tabel
4. Sesuai tipe iklim tersebut di Sulawesi Selatan dikenal ada dua pola iklim yaitu
pola iklim Sektor Barat dan pola iklim Sektor Timur. Pola iklim Sektor Barat
curah hujan terbanyak pada bulan Oktober-Maret, dan pada waktu yang sama pola
iklim Sektor Timur yang meliputi daerah di pantai timur terjadi musim kemarau.
Dilain pihak, pola iklim Sektor Timur curah hujan terbanyak pada bulan April-
September dan pada saat yang sama daerah pola iklim pantai barat mengalami
musim kemarau (Balittan Maros 1992).

Tabel 4 Tipe iklim Sulawesi Selatan menurut Schmidt dan Fergusson

Tipe Iklim Bulan Kering Lokasi/Daerah


A 1½ bulan Mamuju, sebagian Polmas, Luwu, Majene,
Enrekang
B 1½ - 3 bulan Tator, Wajo, Bone, sebagian Majene, Polmas,
Enrekang, Luwu, Pinrang, Soppeng, Maros, Sinjai,
Gowa, Bantaeng, Bulukumba
C 3- 4½ bulan Sidrap, Barru, Pare-Pare, Pangkep, Selayar,
sebagian Majene, Polmas, Pinrang, Soppeng,
Maros, Sinjai, Gowa, Bantaeng, Bulukumba
D 4½ - 6 bulan Makassar, Takalar, sebagian Maros, Gowa,
Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba
E 6 bulan Sebagian Jeneponto, Bulukumba, Bantaeng
Sumber : Balittan Maros (1992).

Perbedaan pola iklim antara Sektor Barat dan Timur menjadikan Sulawesi
Selatan secara keseluruhan tidak mengalami masa paceklik karena musim tanam
khususnya tanaman pangan dapat dilakukan sepanjang tahun secara bergantian
pada Sektor Barat dan Timur. Daerah-daerah yang termasuk Sektor Barat adalah
Kabupaten Jeneponto, Takalar, Gowa, Makassar, Maros, Pangkep, Barru, Pare-
Pare, Enrekang, Polmas, Tator, Majene, Mamuju dan Majene. Kabupaten yang
termasuk Sektor Timur adalah Luwu, Bone, Soppeng, Wajo, Sinjai, Bulukumba,
Bantaeng, Sidrap, Pinrang dan Selayar (Balittan Maros 1992).
Perbedaan pola iklim Sektor Barat dan Timur mempengaruhi musim dan
pola tanam tanaman pangan, sehingga penentuan lokasi penelitian mengacu pada
pola iklim tersebut. Penentuan lokasi penelitian untuk wilayah kabupaten dan
kecamatan secara purposive sampling, serta penentuan dua desa masing-masing
kecamatan secara random sampling (Mantra dan Kasto 1995). Lokasi penelitian
yang dipilih sebagai berikut.
(a) Sektor Barat adalah kabupaten Polmas (Kecamatan Wonomulyo dan
Tinambung) dan kabupaten Barru (Kecamatan Tanete Riaja dan
Soppeng Riaja)
(b) Sektor Timur adalah kabupaten Wajo (Kecamatan Tanasitolo dan
Sabbangparu) dan Kabupaten Bantaeng (Kecamatan Pajukukang dan
Bissappu).
Peta wilayah Provinsi Sulawesi Selatan dan kabupaten lokasi penelitian
diperlihatkan pada Gambar 4.

Metode Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data sekunder
yang berhubungan dengan tujuan penelitian ini diperoleh dari instansi terkait yaitu
Dinas Peternakan, Dinas Tanaman Pangan, Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah, dan Badan Pusat Statistik. Data primer diperoleh dengan metode
pengumpulan data sebagai berikut.

a. Survei Produksi Limbah Tanaman Pangan


Untuk mengetahui produksi limbah tanaman pangan dilakukan survei
pada setiap lokasi (dua desa per kecamatan) dengan dua kali ulangan pada setiap
komoditi tanaman pangan. Produksi limbah tanaman pangan diketahui dengan
menggunakan cuplikan (ubinan) untuk setiap komoditi tanaman pangan yaitu
padi, jagung, kacang tanah, kacang kedelai, ubi jalar, ubi kayu, kacang hijau yang
sedang panen atau siap panen.

Gambar 4 Peta Provinsi Sulawesi Selatan dan kabupaten lokasi penelitian.


Menurut Chinh dan Viet Ly (2001), pengambilan cuplikan untuk
mengetahui produksi limbah tanaman pangan menggunakan cuplikan (ubinan)
dengan ukuran 5 x 5 meter (25m2) dengan dua ulangan. Setiap cuplikan
dilakukan pencatatan data seperti terlihat pada Lampiran 1.
Setiap komoditi tanaman pangan (padi, jagung, kacang tanah, kacang
kedelai, ubi jalar, ubi kayu, kacang hijau) yang dilakukan pengubinan, limbahnya
dikumpulkan dan ditimbang bobot segarnya sehingga diketahui produksi masing-
masing limbah tanaman pangan (kg/25m2). Selanjutnya diambil sampel dalam
keadaan segar dan dikeringkan dalam oven pada suhu 60oC, lalu ditimbang untuk
mengetahui bobot kering. Perbedaan bobot kering dan segar sampel sebagai
persentase bobot air. Sampel kering udara digiling untuk analisa kimia untuk
mengetahui kualitas limbah tanaman pangan.

b. Kualitas Limbah Tanaman Pangan


Untuk mengetahui kualitas masing-masing limbah tanaman pangan,
dilakukan analisis proksimat meliputi bahan kering, serat kasar, lemak kasar,
protein kasar, bahan ekstrak tanpa nitrogen dan abu. Analisis kimia dilakukan di
Laboratorium Kimia Makanan Ternak Fakultas Peternakan UNHAS, Makassar.
Prosedur analisis dilakukan berdasarkan AOAC (1990), seperti diuraikan berikut
ini.

Kadar Air
Untuk menentuan kadar air terlebih dahulu botol timbang dikeringkan
selama kira-kira satu jam dalam oven pada suhu 105oC, kemudian didinginkan
dalam eksikator/desikator selama 15 menit dan ditimbang (x). Sebanyak kurang
lebih 5 gram sampel (y) ditimbang dan dimasukkan dalam botol timbang,
selanjutnya dimasukkan dalam oven pada suhu 105oC selama 4-6 jam. Kemudian
didinginkan dalam eksikator selama 15 menit lalu ditimbang (z).
Penentuan kadar air dihitung dengan menggunakan rumus :

(x +y–z)
Kadar air (%) = --------------- x 100%
y
Bahan kering (%) = 100% - kadar air
Kadar Abu
Abu ditetapkan berdasarkan pembakaran contoh dalam tanur pada suhu
400-600 oC selama enam jam sehingga semua zat organik akan menguap.
Penetapan kadar abu dilakukan dengan prosedur terlebih dahulu cawan porselen
dicuci bersih dengan air dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama
satu jam, kemudian didinginkan dalam eksikator selama 15 menit dan ditimbang
(x).
Sejumlah sampel ditimbang dengan bobot kira-kira 5 gram (y) dan
dimasukkan ke dalam cawan porselen. Cawan beserta isinya diatas nyala
pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi. Kemudian dimasukkan dalam tanur
listrik untuk dibakar/diabukan pada suhu 400-600 oC. Setelah abu menjadi putih
seluruhnya didinginkan dalam eksikator. Setelah satu jam sampel ditimbang
kembali (z). Penentuan kadar abu dihitung dengan menggunakan rumus :

(z–x)
Kadar abu (%) = --------------- x 100%
y

Bahan organik (%) = (bahan kering – abu) %

Kadar Protein Kasar


Prosedur penentuan kadar protein kasar dilakukan dalam tiga tahapan.
Tahap destruksi ; kira-kira 0.2 gram sampel (x) ditimbang dan dimasukkan ke
dalam labu destruksi atau labu Kjeldahl dan ditambahkan katalis (3 sendok teh
campuran selen) dan 20 ml H2SO4 pekat teknis. Kemudian dicampur dengan cara
menggoyang-goyangkan labu tersebut. Campuran tersebut dipanaskan di atas
nyala api pembakar bunsen mulai dengan api kecil di dalam kamar asam (ruang
asam) sampai tidak berbuih dan nyala api bunsen dibesarkan. Sampel terus
dipanaskan (didestruksi) hingga larutan menjadi jernih dan berwarna hijau
kekuning-kuningan dan kemudian didinginkan.
Tahap destilasi ; setelah labu destruksi didinginkan, larutan dimasukkan ke
dalam labu penyuling/destilasi yang telah diisi dengan batu didih dan diencerkan
dengan aquades sebanyak 300 ml. Setelah dipasangkan pada rak destilasi
ditambahkan ± 90 ml NaOH 33 %, lalu labu dihubungkan dengan pipa destilasi.
Hasil destilasi berupa NH3 dan air, ditangkap dengan erlenmeyer yang telah diisi
dengan 10 ml H2SO4 0.3 N dan 2 tetes indikator campuran merah metil (MM)
dan biru metil (BM). Proses destilasi dilakukan hingga semua N yang ada dalam
labu telah tertangkap oleh H2SO4, dan proses destilasi berakhir setelah ada letupan
pada labu destilasi.
Tahap titrasi ; labu erlenmeyer yang berisi hasil sulingan diambil dan
kelebihan H2SO4 0.3 N dititar dengan larutan NaOH 0.3 N. Proses titrasi
dihentikan setelah terjadi perubahan warna dari biru kehijauan yang menandakan
titik akhir titrasi. Volume NaOH dicatat sebagai (z) ml. Kemudian dikerjakan
blanko dengan prosedur yang sama tetapi tanpa sampel (y) ml.
Penentuan kadar protein kasar dihitung dengan menggunakan rumus :
( y–z ) x titar NaOH x 0.014 x 6.25
Kadar protein kasar (%) = ----------------------------------------- x
100%
x

Keterangan :
y = ml NaOH untuk penitar blanko
z = ml NaOH untuk titar sampel
titar NaOH = konsentrasi NaOH
= normalitas NaOH
x = bobot sampel (gr)

Kadar Lemak Kasar


Labu penyari yang diisi beberapa butir batu didih dikeringkan dalam alat
pengering/oven pada suhu 100-105oC selama 1 jam. Didinginkan dalam eksikator
selama kurang lebih satu jam dan ditimbang (a gram). Sampel ditimbang kira-
kira 1-2 gram (x gram) dan dimasukkan dalam selongsong penyari yang terbuat
dari kertas saring ditutup dengan kapas bebas lemak. Selongsong penyari
dimasukkan ke dalam alat soxlet dan diekstraksi dengan 50 ml petrolium benzen
di atas penangas air pada water bath selama 24-48 jam sampai larutan petrolium
benzen di dalam soklet menjadi jernih.
Selanjutnya labu penyari disulingkan atau dikeringkan dan dibuka serta
ditiup kompresor. Labu penyari dalam alat pengering oven dengan suhu 105oC
selama satu jam lalu dikeringkan dalam eksikator selama satu jam dan ditimbang
(b gram).
Penentuan kadar lemak kasar dihitung dengan menggunakan rumus :
(b–a )
Kadar lemak kasar (%) = --------------- x 100%
x

Kadar Serat Kasar


Sebanyak kira-kira 0.5-1 gram sampel ditimbang (x gram), dimasukkan ke
dalam gelas piala 600 ml dan ditambahkan 50 ml H2SO4 0.3 N lalu dipanaskan di
atas pemanas listrik selama 30 menit. Selanjutnya ditambahkan 25 ml NaOH 1.5
N dan terus dimasak selama 30 menit. Cairan disaring melalui kertas saring yang
bobotnya telah diketahui (a gram) serta sudah dikeringkan dalam alat pengering
pada suhu 105-110oC selama satu jam, kemudian dimasukkan ke dalam corong
Buchner. Penyaringan dilakukan dalam labu penghisap yang dihubungkan dengan
pompa vakum.
Selama penyaringan endapan dicuci berturut-turut dengan aquades panas
secukupnya, 50 ml H2SO4 0.3 N, aquades panas secukupnya dan terakhir dengan
25 ml acetone. Kertas saring dan isinya dimasukkan ke dalam cawan porselen
dan dikeringkan selama satu jam dalam oven pada suhu 105oC, kemudian
didinginkan dalam eksikator dan ditimbang (b gram). Selanjutnya cawan porselen
serta isinya dibakar atau diabukan dalam tanur listrik pada suhu 400-600 oC
sampai abu menjadi putih seluruhnya, kemudian diangkat dan didinginkan dalam
eksikator dan ditimbang (c gram).
Penentuan kadar serat kasar dihitung dengan menggunakan rumus :

(b–c-a )
Kadar serat kasar (%) = ------------------- x 100%
x
Keterangan :
x = bobot contoh
a = bobot kertas saring
b = bobot kertas saring + sampel setelah dioven
c = bobot kertas saring + sampel setelah ditanur

Kadar Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN)


Penentuan kadar BETN dilakukan dengan cara pengurangan angka 100 %
dengan persen abu, protein kasar, lemak kasar dan serat kasar.
BETN (%) = 100 % - (abu + protein kasar + lemak kasar + serat kasar)
Analisis Data
Data hasil survei produksi limbah tanaman pangan dan analisis kualitas
limbah tanaman pangan dianalisis secara statistik deskriptif (Mattjik dan
Sumertajaya 2000) dengan tabulasi data, konversi data, rataan data dan diolah
dengan menggunakan bantuan SPSS versi 12.0.1.

a. Produksi Limbah Tanaman Pangan


Produksi limbah tanaman pangan dihitung berdasarkan produksi segar,
produksi kering, produksi bahan kering (BK), produksi protein kasar (PK), dan
produksi total digestible nutrient (TDN). TDN dihitung menggunakan persamaan
sumatif Harris et al. (1972) berdasarkan kandungan proksimat masing-masing
limbah tanaman pangan, dengan rumus sebagai berikut.

% TDN = 92.464-3.338(SK)-6.945(LK)-0.726(BETN)+1.115(PK)
+0.031(SK)2-0.133(LK)2+0.036(SK)(BETN)+0.207(LK)
(BETN)+0.100(LK)(PK)-0.022(LK)2(PK)

Keterangan :
SK (serat kasar), LK (lemak kasar), BETN (bahan ekstrak
tanpa nitrogen), PK (protein kasar)

Berdasarkan data luas areal panen (ha) di Sulawesi Selatan tahun 2003,
dilakukan perhitungan produksi masing-masing limbah tanaman pangan sebagai
berikut.
Total produksi segar = produksi segar (ton/ha) x luas areal
panen (ha)
Total produksi kering = produksi kering (ton/ha) x luas areal
panen (ha)
Total produksi BK = produksi bahan kering (ton/ha) x luas
areal panen(ha)
Total produksi PK = total produksi BK x kandungan PK (%)
Total produksi TDN = total produksi BK x kandungan TDN (%)

b. Indeks Konsentrasi Produksi Pakan (IKPP) Limbah Tanaman Pangan


Indeks konsentrasi produksi pakan limbah tanaman pangan memberikan
gambaran tentang konsentrasi produksi masing-masing limbah tanaman pangan
berdasarkan produksi bahan kering di setiap wilayah (kabupaten). IKPP dihitung
menggunakan rumus :

Produksi Limbah Tanaman Pangan Kabupaten


IKPP = ---------------------------------------------------------------------
Rata-rata Produksi Limbah Tanaman Pangan Propinsi

Wilayah kabupaten dengan IKPP ≥ 1.0 merupakan wilayah yang memiliki


keunggulan produksi dengan kategori produksi tinggi pada jenis limbah tanaman
tertentu dibanding wilayah lainnya. Wilayah kabupaten dengan IKPP 0.5 - <1,0
adalah produksi sedang dan wilayah kabupaten dengan IKPP < 0.5 adalah
kategori produksi rendah.

c. Daya Dukung Limbah Tanaman Pangan


Daya dukung limbah tanaman pangan adalah kemampuan suatu wilayah
menghasilkan pakan berupa limbah tanaman pangan tanpa melalui pengolahan,
dan dapat menyediakan pakan untuk menampung sejumlah populasi ternak
ruminansia. Dalam menghitung daya dukung limbah tanaman pangan digunakan
beberapa asumsi kebutuhan pakan ternak ruminansia. Asumsi yang digunakan
yaitu bahwa satu satuan ternak (1 ST) ternak ruminansia rata-rata membutuhkan
bahan kering (BK) adalah 6.25 kg/hari (NRC 1984), kebutuhan protein kasar
adalah 0.66 kg/hari dan kebutuhan total digestible nutrient (TDN) adalah 4.3
kg/hari (Ditjen Peternakan dan Fapet UGM 1982).
Daya dukung limbah tanaman pangan (DDLTP) dihitung dengan
menggunakan rumus berikut ini.
Produksi BK (ton/tahun)
DDLTP berdasar BK = -------------------------------------------------
Kebutuhan BK 1 ST (ton/tahun)

Produksi PK (ton/tahun)
DDLTP berdasar PK = -------------------------------------------------
Kebutuhan PK 1 ST (ton/tahun)

Produksi TDN (ton/tahun)


DDLTP berdasar TDN = -------------------------------------------------
Kebutuhan TDN 1 ST (ton/tahun)
d. Indeks Daya Dukung Pakan (IDDP) Limbah Tanaman Pangan
Indeks daya dukung pakan adalah nisbah antara jumlah pakan limbah
tanaman pangan yang tersedia (ST) dengan jumlah populasi ternak ruminasia (ST)
yang ada disuatu wilayah. Berdasarkan nilai rata-rata IDDP dan standar deviasi
(SD) maka wilayah dapat dikelompokkan berdasarkan tiga kategori indeks yaitu
kategori daya dukung rendah, sedang dan tinggi.
Dasar penentuan ketegori adalah sebagai berikut.
1) Kategori daya dukung rendah adalah kurang dari nilai rata-rata IDDP
minus standar deviasi ( < rata-rata – SD )
2) Kategori daya dukung sedang adalah nilai IDDP yang berada pada kisaran
antara nilai rata-rata IDDP minus standar deviasi sampai dengan nilai
rata-rata IDDP plus standar deviasi ( rata-rata – SD sampai rata-rata + SD)
3) Kategori daya dukung tinggi adalah lebih tinggi dari nilai rata-rata IDDP
plus standar deviasi ( > rata-rata + SD ).

e. Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR)


Nilai kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia di suatu
kabupaten dihitung sebagai selisih antara daya dukung pakan limbah tanaman
pangan dengan jumlah ternak ruminansia yang ada. Nilai persentase KPPTR
dihitung dengan rumus :

KPPTR (ST) masing-masing kabupaten


KPPTR (%) = -------------------------------------------------- x 100
KPPTR (ST) propinsi

Penelitian 3. Evaluasi Pemanfaatan Limbah Tanaman Pangan


Sebagai Pakan Ternak Ruminansia

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik
peternak, aspek manajemen pakan ternak dan mengevaluasi pemanfaatan limbah
tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia.
Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada lokasi yang sama dengan penelitian
sebelumnya (penelitian 2), dengan pertimbangan pemilihan lokasi berdasarkan
kepadatan ternak wilayah. Kepadatan ternak wilayah dihitung menurut Ditjen
Peternakan dan Balitnak (1995), dengan hasil perhitungan seperti terlihat pada
Tabel 5. Kabupaten sebagai lokasi terpilih adalah Kabupaten Bantaeng dan Barru
mewakili wilayah dengan kepadatan ternak ruminasia dalam kategori padat, dan
Kabupaten Wajo dan Polmas mewakili wilayah dengan kepadatan ternak
ruminansia dengan kategori sedang/jarang.

Metode Pengumpulan Data


Data diperoleh dengan metode survei dengan melakukan wawancara
kepada peternak (responden) menggunakan bantuan kuisioner terstruktur dengan
jawaban terbuka dan tertutup (Lampiran 2). Jumlah petani peternak yang terlibat
dalam penelitian sebagai responden adalah sebesar 10% dari total jumlah peternak
di setiap lokasi penelitian (desa) secara acak (random sampling) menurut Mantra
dan Kasto (1995). Jumlah peternak sebagai responden adalah 396 peternak, dan
untuk masing-masing lokasi penelitian adalah Kabupaten Bantaeng 95 responden,
Kabupaten Wajo 96 responden, Kabupaten Polmas 100 responden, dan Kabupaten
Barru 105 responden. Untuk menggali informasi lebih mendalam dilakukan focus
group discussion dengan peternak. Disamping itu dilakukan pula wawancara
secara mendalam (indepth study) kepada beberapa informan kunci.
Data primer yang digali dari peternak responden meliputi karakteristik
responden yaitu umur, pendidikan, pengalaman beternak; aspek manajemen pakan
yaitu sistem pemberian pakan, jenis pakan, penggunaan pakan tambahan,
penyediaan pakan ; dan pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan, serta
penggunaan terknologi pakan.

Analisis Data
Data hasil survei evaluasi pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai
pakan ternak ruminansia dianalisis secara statistik deskriptif (Mattjik dan
Sumertajaya 2000) dengan tabulasi data, konversi data, rataan data dan diolah
dengan menggunakan bantuan SPSS versi 12.0.1.
Tabel 5 Kepadatan ternak wilayah ternak ruminansia di Sulawesi Selatan

Luas Wilayah Populasi Ternak Ternak


Kabupaten
(km2) Ruminansia Ruminansia
(ST) (ST/km2)
Selayar 903.35 24 516 27.14
Bulukumba 1 154.67 56 375 48.82
Bantaeng 395.63 25 015 63.22
Jeneponto 737.64 27 085 36.71
Takalar 566.51 19 266 34.00
Gowa 1 883.32 66 350 35.23
Sinjai 819.96 29 685 36.20
Bone 4 559.00 101 199 22.20
Maros 1 619.12 41 347 25.54
Pangkep 1 112.29 31 934 28.71
Barru 1 174.71 26 128 22.24
Soppeng 1 359.44 14 492 10.66
Wajo 2 506.19 20 495 8.18
Sidrap 1 883.25 22 835 12.13
Pinrang 1 961 77 31 092 15.85
Enrekang 1 786.01 30 950 17.33
Luwu 2 731.49 12 425 4.55
Tator 3 205.77 25 940 8.09
Polmas 4 781.53 31 584 6.61
Majene 947.84 19 607 20.69
Mamuju 11 057.81 57 775 5.22
Makassar 175.77 2 223 12.65
Pare-Pare 99.33 2 323 23.38
Luwu Utara 14 963.74 18 660 1.24

Keterangan : Kategori Kepadatan ternak wilayah menurut Ditjen Peternakan dan


Balitnak (1995) untuk :ternak ruminansia (ST/km2) >20 padat,
<20 sedang/jarang
Penelitian 4. Strategi Pemanfaatan Limbah Tanaman Pangan
Sebagai Pakan Ternak Ruminansia

Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk merumuskan strategi pemanfaatan limbah
tanaman pangan sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan.

Jenis dan Sumber Data


Dalam penelitian ini digunakan data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dari hasil penelitian 1, 2 dan 3, serta wawancara dengan unsur
pelaku (stakeholder) bidang peternakan yang terkait dengan penelitian ini. Unsur
pelaku mewakili berbagai unsur yaitu birokrasi (BAPPEDA, Dinas Peternakan),
praktisi (peternak/pengusaha), dan akademisi atau peneliti (dosen perguruan tinggi
dan peneliti lembaga litbang). Data sekunder diperoleh dari instansi terkait dan
berbagai sumber kepustakaan yang relevan dengan penelitian ini.

Metode Pengolahan Data


Data yang diperoleh untuk perumusan strategi adalah data kualitatif dan
kuantitatif yang kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode
pengolahan data sebagai berikut.
1. Analisis SWOT digunakan untuk menganalisis strategi pemanfaatan limbah
tanaman pangan sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan,
dengan menggunakan matriks sebagai alat analisisnya.
2. Proses Hirarki Analitik (PHA) digunakan dalam mengidentifikasi dan
melakukan pembobotan terhadap faktor-faktor eksternal dan internal yang
terkait dengan pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan
ternak ruminansia. Penyelesaian PHA dilakukan dengan menggunakan
Criterium Decision Plus.
Metode Perumusan Strategi
Metode perumusan strategi pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai
sumber pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan, mengacu kepada tahapan-
tahapan teknik perumusan strategi (analisis SWOT) yang dikembangkan oleh
David (2001), dengan alur pelaksanaan seperti terlihat pada Gambar 5.
Mulai

Pendapat Pendapat
Pakar, Identifikasi Faktor Identifikasi Faktor Pakar,
Penelitian Internal (kekuatan Eksternal (peluang Penelitian
sebelumnya, dan kelemahan) dan ancaman) sebelumnya,
Studi literatur Studi literatur

Pendapat Nilai Kekuatan Nilai Peluang Pendapat


pakar dan dan Kelemahan dan Ancaman pakar dan
AHP AHP

Analisis Faktor
Matriks IFE Eksternal dan Internal Matriks EFE

Formulasi
Pendapat
Pakar Alternatif Strategi Matriks SWOT

Alternatif Strategi Pemanfaatan Limbah


Tanaman Pangan sebagai Sumber Pakan
Ternak Ruminansia di Sulawesi Selatan
2

Pendapat Pemilihan Alternatif Strategi Pemanfaatan


pakar Limbah Tanaman Pangan sebagai Sumber QSPM
Pakan Ternak Ruminansia di Sulawesi Selatan

Strategi Pemanfaatan Limbah Tanaman


3 Pangan sebagai Sumber Pakan Ternak
Ruminansia di Sulawesi Selatan

Selesai

Keterangan : 1 tahap input, 2 tahap pencocokan, 3 tahap keputusan

Gambar 5 Alur pelaksanaan perumusan strategi pemanfaatan limbah


tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia di Sulawesi
Selatan.
1. Tahap Input (The Input Stage)
Dalam tahap input digunakan matriks evaluasi faktor eksternal -EFE
(Tabel 6) dan matriks evaluasi faktor internal-IFE (Tabel 7). Matriks EFE dan IFE
diolah dengan menggunakan beberapa langkah analisis seperti dipaparkan di
bawah ini.
(a) Identifikasi Faktor-faktor Eksternal dan Internal
Langkah awal yang dilakukan adalah menjaring informasi dan
mengidentifikasi faktor-faktor eksternal (peluang dan ancaman) dan internal
(kekuatan dan kelemahan) yang berhubungan dengan pemanfaatan limbah
tanaman pangan sebagai sumber pakan ternak ruminansia dengan melakukan
diskusi dan wawancara menggunakan kuisioner kepada unsusr pelaku atau pakar
(Lampiran 3). Hasil identifikasi dan analisis kedua faktor-faktor di atas dan
menjadi faktor penentu eksternal dan internal yang selanjutnya diberikan bobot
dan peringkat (rating).
(b) Penentuan Bobot dan Peringkat
Penentuan bobot dan peringkat menggunakan kuisioner (Lampiran 4)
dengan jalan mengajukan identifikasi faktor eksternal dan internal (point (a) )
kepada pihak pakar. Metode yang digunakan dalam pembobotan adalah proses
hirarki analitik dengan melakukan penilaian perbandingan berpasangan terhadap
faktor eksternal dan internal sesuai dengan judgement menggunakan skala
banding secara berpasangan (Saaty 1993), untuk menghasilkan bobot setiap
faktor-faktor eksternal dan internal. Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian
diolah untuk menentukan bobot relatif dari seluruh faktor.
Untuk penentuan peringkat (rating) faktor eksternal digunakan skala nilai
peringkat yaitu : 1 = rendah (kurang), 2 = sedang (rata-rata), 3 = tinggi (diatas
rata-rata), 4 = sangat tinggi (superior). Pemberian nilai peringkat untuk peluang
adalah untuk peluang yang semakin besar diberi nilai 4, tetapi jika peluangnya
kecil diberi rating 1. Sebaliknya, jika ancamannya sangat besar diberi nilai 1, dan
jika ancamannya sedikit diberi nilai 4. Pemberian peringkat untuk faktor internal
digunakan skala nilai peringkat yaitu : 1 = sangat lemah, 2 = lemah, 3 = kuat, 4 =
sangat kuat. Nilai peringkat untuk kekuatan yang besar di beri nilai 4, sebaliknya
kelemahannya besar diberi nilai 1.
Tabel 6 Contoh matriks evaluasi faktor eksternal - EFE

Faktor-faktor Ekternal Bobot Peringkat Skor


(rating) (bobot x rating)
Peluang
1
2
3
ke-n
Ancaman
1
2
3
ke-n
Jumlah
Sumber : David (2001).

Tabel 7 Contoh matriks evaluasi faktor internal - IFE

Faktor-faktor Internal Bobot Peringkat Skor


(rating) (bobot x rating)
Kekuatan
1
2
3
ke-n
Kelemahan
1
2
3
ke-n
Jumlah
Sumber : David (2001).

(c) Nilai Bobot x Peringkat


Setelah diperoleh bobot dan peringkat masing-masing faktor eksternal dan
internal, selanjutnya nilai pembobotan dikalikan dengan peringkat sehingga
diperoleh skor setiap faktor. Semua skor dijumlahkan secara vertikal untuk
mendapatkan skor total yang berkisar 1 sampai 4. Total skor matriks EFE dan IFE
dikelompokkan dalam kuat (3.0-4.0) berarti respon kuat terhadap
peluang/kekuatan dan ancaman/kelemahan, rata-rata (2.0-2.99) dan lemah (1.0-
1.99).
2. Tahap Pencocokan (The Matching Stage)
Tahap pencocokan difokuskan pada menghasilkan alternatif strategi yang
layak dengan memadukan faktor eksternal dan internal hasil dari tahap input
(matriks EFE dan IFE). Alat analisis dalam tahapan ini digunakan Matriks
SWOT (Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats). Matriks ini memadukan
peluang dan ancaman yang dihadapi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki untuk menghasilkan alternatif strategi, yaitu strategi SO,
strategi WO, strategi WT dan strategi ST.
Skema matriks SWOT terdiri sembilan sel, terdapat empat sel faktor
utama (eksternal dan internal), empat sel strategi, dan satu sel yang selalu
dibiarkan kosong (Gambar 6). Langkah penyusunan matriks SWOT, seperti
dipaparkan di bawah ini.

KEKUATAN KELEMAHAN
(Strengths - S) (Weakness - W)
1. 1.
2. 2.
3. 3.
ke-n ke-n
(diperoleh dari matriks EFE) (diperoleh dari matriks EFE)

PELUANG STRATEGI - SO STRATEGI - WO


(Opportunities - O)
1. Ciptakan strategi yang Ciptakan strategi yang
2. menggunakan kekuatan meminimalkan kelemahan
3. untuk memanfaatkan untuk memanfaatkan
ke-n peluang peluang
(diperoleh dari matriks IFE)

ANCAMAN STRATEGI - ST STRATEGI - WT


(Threats - T)
1. Ciptakan strategi yang Ciptakan strategi yang
2. menggunakan kekuatan meminimalkan kelemahan
3. untuk mengatasi untuk mengatasi
ke-n ancaman ancaman
(diperoleh dari matriks IFE)

Sumber : David (2001)

Gambar 6 Illustrasi skema matriks SWOT.


(a) Masing-masing faktor eksternal (peluang dan ancaman) dan internal (kekuatan
dan kelemahan) dari matriks EFE dan IFE didaftar/dimasukkan dalam matriks
SWOT
(b) Dengan melakukan diskusi mendalam dengan pakar, dilakukan pencocokan
antara faktor eksternal dan internal untuk menghasilkan dan merumuskan
beberapa alternatif strategi pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai
sumber pakan di Sulawesi Selatan.
• pencocokan kekuatan internal dengan peluang eksternal (strategi SO)
• pencocokan kelemahan internal dengan peluang eksternal (strategi WO)
• pencocokan kekuatan internal dengan ancaman eksternal (strategi ST)
• pencocokan kelemahan internal dengan ancaman eksternal (strategi WT)

3. Tahap Keputusan (The Decision Stage)


Tahap keputusan adalah tahap untuk menentukan alternatif strategi mana
yang layak dan terbaik, dengan alat analisis Quantitative Strategies Planning
Matrix (QSPM) atau Matriks Perencanaan Strategis Kuantitatif. QSPM
menggunakan hasil analisis tahap input dan tahap pencocokan. Format dasar
QSPM diperlihatkan pada Tabel 8.
Komponen utama QSPM adalah a) faktor-faktor kunci, b) alternatif
strategi, c) bobot, d) nilai daya tarik (Attractiveness Score-AS), e) total nilai daya
tarik (Total Attractiveness Score-TAS), dan f) jumlah total nilai daya tarik (Sum
Total Attractiveness Score). Nilai daya tarik diperoleh dengan menentukan nilai
numerik yang menunjukkan daya tarik relatif dari setiap strategi dalam alternatif
set tertentu. Nilai daya tarik diberikan pada setiap strategi untuk menunjukkan
daya tarik relatif dari satu strategi atas strategi yang lain. Dilain pihak, total nilai
daya tarik adalah nilai yang menunjukkan daya tarik relatif dari setiap strategi
alternatif yang mempertimbangkan dampak dari faktor eksternal atau internal di
baris tersebut. Semakin tinggi total nilai daya tarik maka semakin menarik
alternatif strategi tersebut.
Langkah-langkah yang diperlukan dalam mengembangkan QSPM untuk
menghasilkan strategi pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan
ternak ruminansia. di Sulawesi Selatan seperti dipaparkan berikut ini.
Tabel 8 Contoh matriks perencanaan strategis kuantitatif (QSPM)

Alternatif Strategi
Faktor-faktor
Bobot Strategi ke-1 Strategi ke- 2 Strategi ke-n
Ekternal dan Internal
AS TAS AS TAS AS TAS
Peluang
1
2
3
ke-n
Ancaman
1
2
3
ke-n
Kekuatan
1
2
3
ke-n
1
2
3
ke-n
Total Nilai Daya Tarik
Keterangan : AS = Nilai daya tarik (Attractiveness Score)
TAS = Total nilai daya tarik (Total Attractiveness Score)
Sumber : David (2001).

Langkah 1. Mendaftar peluang/ancaman faktor eksternal dan


kekuatan/kelemahan faktor internal dalam QSPM. Informasi ini
diambil dari matriks EFE dan IFE.
Langkah 2. Memberikan bobot untuk setiap faktor eksternal dan internal.
Bobot ini identik dengan yang dipakai dalam matriks EFE dan
IFE.
Langkah 3. Memeriksa dan mengidentifikasi alternatif strategi yang akan
dianalisis berdasarkan hasil matriks SWOT, dan memasukkan
dalam QSPM.
Langkah 4. Menetapkan nilai daya tarik relatif (AS). Nilai daya tarik
ditetapkan dengan memeriksa setiap faktor eksternal dan internal
satu per satu, apakah faktor tersebut mempengaruhi alternatif
strategi pilihan yang akan dibuat. Penentuan nilai daya tarik
dilakukan oleh pakar dengan bantuan kuisioner (Lampiran 5).
Nilai daya tarik adalah : 1 = tidak menarik, 2 = agak menarik, 3 =
cukup menarik, dan 4 = sangat menarik.
Langkah 5. Menghitung total nilai daya tarik (TAS). TAS ditetapkan
sebagai hasil perkalian bobot (langkah 2) dengan nilai daya tarik
(langkah 4) dalam setiap baris.
Langkah 6. Menghitung jumlah total nilai daya tarik. Menjumlahkan total
nilai daya tarik (TAS) dalam setiap kolom alternatif strategi
QSPM. Dari beberapa nilai TAS yang didapat, nilai TAS dari
alternatif strategi yang tertinggi menjadi pilihan utama,
sebaliknya nilai TAS terkecil menunjukkan bahwa alternatif
strategi itu menjadi pilihan terakhir. Semakin tinggi nilai yang
diperoleh menunjukkan strategi itu semakin menarik dan menjadi
prioritas, dan telah mempertimbangkan semua faktor eksternal
dan internal yang dapat mempengaruhi keputusan strategi dalam
pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan
ternak ruminansia di Sulawesi Selatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Propinsi Sulawesi Selatan

Letak Geografis dan Luas Wilayah


Sulawesi Selatan mencakup jazirah selatan pulau Sulawesi dan pulau-
pulau sekitarnya, yang secara geografis terletak antara 0o.12’ - 8o lintang selatan,
serta antara 116o.48’ – 112o.36’ bujur timur. Batas-batas wilayah dengan sebelah
Utara dan Selatan yaitu Sulawesi Tengah dan Laut Flores, sebelah Barat adalah
Selat Makasar dan Sebelah Timur adalah Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara.
(BPS Sul Sel 2004).
Luas wilayah Sulawesi Selatan adalah 62 362.55 km2 atau sekitar 42%
dari luas pulau Sulawesi serta mencakup gugusan kepulauan di Laut Flores, Selat
Makassar dan Teluk Bone, terbagi menjadi 22 kabupaten dan dua kota dengan 268
kecamatan dan 3 084 desa dan kelurahan dengan rincian 2 154 desa dan 662
kelurahan. Kabupaten Luwu Utara dan Mamuju merupakan dua kabupaten terluas
dengan luas masing-masing 14 788.96 km2 dan 11 057.81 km2 atau luas dua
kabupaten tersebut merupakan 41.44% dari seluruh wilayah Sulawesi Selatan
(Tabel 9). Posisi Sulawesi Selatan sangat strategis karena terletak di pusat
kepulauan Indonesia yang secara ekonomi memiliki keunggulan komparatif,
karena Selat Makassar merupakan jalan utama pelayaran internasional.

Tanah dan Topografi


Keadaan topografi wilayah Sulawesi Selatan bervariasi dari dataran rendah
yang terdapat di sisi barat dan timur, dan dataran tinggi terdapat di bagian tengah
sekitar 59% dari wilayah Sulawesi Selatan (38 932 km2) dengan ketinggian
500-1 000 meter di atas permukaan laut dan sekitar 22% (14 000 km2) berada
pada ketinggian lebih dari 1 000 meter di atas permukaan laut (BPS Sul Sel 2004).
Berdasarkan persentase kemiringan lahan, daerah dengan lahan datar dan
landai masing-masing 43% dan 6% dari luas wilayah yang terdapat di bagian
selatan terutama di Kabupaten Wajo, Bone, Barru, Sidrap, Soppeng, Pangkep,
Bulukumba, Jeneponto dan Takalar, sedangkan daerah bergelombang, berbukit
sampai bergunung dengan kemiringan agak curam, curam dan sangat curam
masing-masing 17%, 16% dan 19%. Daerah seperti ini terdapat di Kabupaten
Majene, Polmas, Tana Toraja, Pinrang, bagian timur Mamuju, dan bagian utara
Luwu.

Tabel 9 Luas wilayah dan jumlah kecamatan, desa/kelurahan menurut


kabupaten/kota di Sulawesi Selatan

Luas Wilayah Jumlah Wilayah Administratif


Kabupaten Desa dan Kelurahan
(km2) % Kec
Desa Kel Jumlah
Selayar 903.35 1.45 9 65 7 81
Bulukumba 1 154.67 1.85 10 98 27 135
Bantaeng 395.83 0.63 6 45 21 72
Jeneponto 737.64 1.18 9 84 27 120
Takalar 566.51 0.91 7 55 18 80
Gowa 1 883.32 3.02 12 115 36 163
Sinjai 819.96 1.31 9 61 14 84
Maros 1 619.96 2.60 14 80 23 117
Pangkep 1 112.29 1.78 12 66 36 114
Barru 1 174.71 1.88 7 40 14 61
Bone 4 559.00 7.31 27 333 39 399
Soppeng 1 359.44 2.18 6 48 21 75
Wajo 2 506.20 4.02 14 128 48 190
Sidrap 1 883.25 3.02 11 66 38 115
Pinrang 1 961.77 3.15 12 68 36 116
Enrekang 1 766.01 2.83 9 96 12 117
Luwu 2 901.63 4.65 13 177 15 205
Tator 3 205.77 5.14 15 116 25 156
Polmas 4 781.53 7.67 15 111 19 145
Majene 947.84 1.52 4 21 14 39
Mamuju 11 057.81 17.73 19 110 8 137
Luwu Utara 14 788.96 23.71 11 171 0 182
Makassar 175.77 0.28 14 0 143 157
Parepare 99.33 0.16 3 0 21 24
Jumlah 62 362.55 268 2 154 662 3 084
Sumber : BPS Sul Sel (2004)
Tanah yang terdapat di Sulawesi Selatan terdiri atas empat jenis sebagai
berikut.
1. Tanah latosol, terdapat di daerah Bone, Soppeng, Maros, Takalar,
Jeneponto, Bantaeng, Barru, Pangkep, Bulukumba, Majene dan
Mamuju.
2. Tanah alluvial dan glay, terdapat di daerah Pangkep, Maros, Barru,
Pinrang, Sidrap, Wajo, Bone, Polmas, Luwu dan Gowa.
3. Tanah podsolik, terdapat di Tana Toraja, Enrekang, sebagian Luwu,
Wajo, Sidrap, Mamuju dan Polmas.
4. Tanah mediteran, terdapat di Gowa, Maros, Sinjai, Bulukumba, Bone
dan Luwu.
Keadaan topografi wilayah Sulawesi Selatan bervariasi dari dataran rendah
yang terdapat di sisi barat dan timur, dan dataran tinggi terdapat di bagian tengah.
Sekitar 59% dari wilayah Sulawesi Selatan (38 932 km2) dengan ketinggian
500 - 1 000 meter di atas permukaan laut dan sekitar 22% (14 000 km2) berada
pada ketinggian lebih dari 1 000 meter di atas permukaan laut.

Penggunaan Lahan
Berdasarkan penggunaan lahan diketahui bahwa dari total lahan 3 444 034
ha, sebanyak 2 759 489 atau 80.12% merupakan lahan kering dan sisanya 684 545
ha (19.88%) merupakan lahan sawah. Dari sejumlah lahan sawah tersebut, tingkat
penggunaannya dibedakan berdasarkan sawah irigasi (61.53%), tadah hujan
(38.37%) dan pasang surut (0.10%). Jumlah sawah irigasi teknis, irigasi setengah
teknis dan tadah hujan masing-sebanyak 28.71%, 7.80% dan 25.02% dari total
luas sawah (Tabel 10). Sebanyak 78.2% (153 639 ha) sawah irigasi teknis
terdapat di enam kabupaten yaitu Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang, Luwu
dan Luwu Utara dan daerah tersebut merupakan daerah sentra pengembangan
komoditi beras.
Untuk lahan kering terbagi atas beberapa penggunaan dengan luas
2 759 489 ha atau 80.12% dari total lahan (Tabel 10). Tingkat penggunaan
tertinggi lahan kering dimanfaatkan untuk perkebunan mencapai 22.69%, yang
sebagian besar terdapat di Kabupaten Luwu (11.38%) , Luwu Utara (14.35%),
Mamuju (14.85%) dan Polmas (10.05%). Selain itu lahan kering digunakan
sebagai kebun atau tegalan sebanyak 558 501 ha (20.24%), kemudian sebagai
hutan rakyat sebanyak 526 521 ha (19.08%).

Tabel 10 Luas lahan dan penggunaannya di Sulawesi Selatan

Luas Lahan Persentase


Jenis Penggunaan Lahan
(ha) (%)

Lahan Sawah 684 545 19.88


Irigasi teknis 196 539 28.71
Irigasi setengah teknis 53 361 7.80
Irigasi sederhana 171 285 25.02
Tadah hujan 262 670 38.37
Pasang surut 690 0.10

Lahan Kering 2 759 489 80.12


Pekarangan 201 813 7.31
Tegal/kebun 558 501 20.24
Ladang 153 971 5.58
Penggembalaan/padang rumput 288 302 10.45
Rawa-rawa 49 353 1.79
Tambak 129 880 4.71
Kolam/empang 34 610 1.25
Tidak diusahakan 190 494 6.90
Hutan rakyat 526 521 19.08
Perkebunan 626 044 22.69
Jumlah 3 444 034
Sumber : BPS Sul Sel (2004).

Padang penggembalaan/padang rumput yang merupakan potensi yang


dapat mendukung pengembangan ternak khususnya ternak ruminansia sebagai
basis penyedia hijauan makanan ternak, hanya memiliki luas sebanyak 288 302 ha
atau 10.45% dari total lahan kering. Kondisi ini menunjukkan ketersediaan
hijauan pakan terbatas sehingga perlu upaya pemanfaatan sumber pakan yang lain
seperti limbah tanaman pangan.

Sumberdaya Insani
Penduduk Sulawesi Selatan tahun 2003 berjumlah 8 213 864 jiwa yang
terdiri atas 4 038 155 jiwa laki-laki dan 4 175 709 jiwa perempuan, dengan
kepadatan penduduk 131.71 jiwa/km2. Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa
penduduk tersebar di berbagai kabupaten/kota dengan jumlah penduduk terbesar
yakni 1 145 406 jiwa atau 13.94 % mendiami Kota Makassar. Sebagian besar
kabupaten/kota menunjukkan jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan lebih
banyak dari penduduk yang berjenis kelamin laki-laki. Hanya di daerah
Kabupaten Gowa, Enrekang, Tana Toraja, Polmas, Mamuju, Luwu Utara, dan
Makassar yang menunjukkan penduduk yang berjenis kelamin laki-laki lebih
besar daripada perempuan.

Tabel 11 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin, usia kerja dan


lapangan usaha di Sulawesi Selatan

Jumlah
Uraian
Jiwa %
Penduduk berdasarkan jenis kelamin 8 213 864
Laki-laki 4 038 155 49.16
Perempuan 4 175 709 50.84
2
Rata-rata kepadatan penduduk (jiwa/ km ) 131.71
Penduduk usia kerja 6 252 108
Bukan angkatan kerja 2 972 276 47.54
Angkatan kerja 3 279 832 52.46
Bekerja 3 054 774 93.14
Mencari Pekerjaan 225 058 6.86
Penduduk berdasarkan lapangan usaha 3 054 774
Pertanian 1 825 445 59.76
Pertambangan/panggalian 16 753 0.55
Industri pengolahan 162 608 5.32
Listrik, gas dan air bersih 10 259 0.34
Bangunan 79 075 2.59
Angkutan dan komunikasi 165 492 5.42
Perdagangan,restoran dan hotel 445 330 14.58
Keuangan,asuransi dan persewaan 11 801 0.39
Jasa perusahaan 337 318 11.04
Lainnya 693 0.02
Sumber : BPS Sul Sel (2004).
Penduduk usia kerja yang didefinisikan sebagai penduduk yang berumur
10 tahun ke atas yang terdiri atas angkatan kerja dan bukan angkatan kerja (BPS
Sul Sel 2004). Penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah penduduk yang
bekerja atau sedang mencari pekerjaan, sedangkan bukan angkatan kerja adalah
penduduk yang bersekolah, mengurus rumah tangga atau melakukan kegiatan
lainnya. Tabel 11 menunjukkan bahwa penduduk usia kerja di daerah Sulawesi
Selatan berjumlah 6 252 108 jiwa. Jumlah penduduk usia kerja dalam kategori
angkatan kerja berjumlah 3 279 832 jiwa atau 52.46 % dari seluruh penduduk usia
kerja, dengan rincian 3 054 774 jiwa (93.14 %) yang bekerja dan 225 058 jiwa
yang mencari pekerjaan.
Berdasarkan lapangan usaha, jumlah penduduk yang bekerja pada sektor
pertanian adalah 1 825 445 jiwa (59.76 %) meliputi tanaman pangan, peternakan,
perkebunan, kehutanan, dan perikanan. Sektor perdagangan yang meliputi
perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel merupakan sektor terbesar
kedua yaitu 445 330 jiwa (14.58 %). Urutan terbesar ketiga adalah sektor jasa
sebanyak 337 318 jiwa (11.04 %), dan selebihnya bekerja pada lapangan usaha
industri pengolahan, pertambangan/galian, angkutan, keuangan, bangunan serta
listrik, gas dan air minum.

Produk Domestik Regional Bruto


Produk domestik regional bruto (PDRB) merupakan salah satu
pencerminan kemajuan ekonomi suatu daerah, yang didefinisikan sebagai
keseluruhan nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan dalam waktu satu tahun
di daerah tersebut. PDRB Sulawesi Selatan atas dasar harga berlaku pada tahun
2003 sebesar Rp. 40 094 869.58 juta dengan kontribusi terbesar diberikan sektor
pertanian yakni sebesar Rp. 14 360 752.85 juta atau 35.82 % dan disusul oleh
sektor perdagangan, restoran dan hotel dengan sumbangan sebesar 16.91 %.
Sektor industri pengolahan yang diharapkan mampu menunjang sektor pertanian
dengan berorientasi pada agroindustri pada tahun 2003 memberikan sumbangan
sebesar 11.46 % (Gambar 7).
Angkut an, Keuangan,Sewa,
Komunikasi Jasa perusahaan Jasa-jasa
(7.16%) (4.83%) (10.79%)

Perdagangan, Pert anian


Restoran,Hotel (35.82%)
(16.91%)

Bangunan
(4.16%)

T ambang,Galian
Listrik,Gas,Air Indust ri (7.67%)
(1.19%) pengolahan
(11.46%)

Gambar 7 PDRB Sulawesi Selatan atas dasar harga berlaku tahun 2003
(BPS Sul Sel 2004).

Dari jumlah PDRB sektor pertanian (Gambar 8), kontribusi subsektor


peternakan adalah 2.90 % atau Rp. 416 842.07 juta. Sub sektor yang memberi
sumbangan tertinggi terhadap sektor pertanian adalah tanaman pangan (bahan
makanan) sebesar 40.34 %, disusul perkebunan 34.19 %. Untuk subsektor
perikanan dan kehutanan masing-masing besarnya 21.99 % dan 0.58 %.
Laju pertumbuhan ekonomi sektor pertanian pada tahun 2003 adalah 4.79
% yang mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2002 yang sebesar 4.54 %.
Sub sektor peternakan tahun 2003 tumbuh sebesar 7.81 % yang mengalami
peningkatan jika dibanding tahun 2002 sebesar 4.92 %. Sub sektor tanaman
pangan dan kehutanan mengalami pertumbuhan ekonomi yang meningkat
masing-masing sebesar 5.46 % dan 7.63 % dibanding tahun 2002 masing-masing
2.98 % dan 3.84 %. Jika dibandingkan pada tahun 2002 laju pertumbuhan
ekonomi sub sektor perkebunan dan perikanan masing-masing sebesar 7.07 % dan
6.24 % mengalami penurunan pada tahun 2003 masing-masing menjadi 5.78 %
dan 1.67 % (BPS Sul Sel 2004).
45,00
40.34
40,00

(% PDRB terhadap PDRB pertanian)


34.19
35,00
30,00

25,00 21.99
20,00

15,00
10,00

5,00 2.90
0.58
0,00
T anaman Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan
pangan

Gambar 8 PDRB sektor pertanian Sulawesi Selatan atas dasar harga


berlaku tahun 2003 (BPS Sul Sel 2004).

Karakteristik Ternak Ruminansia

Keragaan Ternak Ruminansia


Untuk mengetahui peranan ternak ruminansia dalam pembangunan
peternakan di Sulawesi Selatan, berikut ini diuraikan keragaan ternak ruminansia
dalam kurun waktu 1999-2003 (Tabel 12). Jumlah populasi ternak ruminansia
dalam kurun waktu lima tahun terakhir (1999-2003) untuk sapi potong, kerbau
dan domba mengalami penurunan pertahun sebesar 0.24%, 4.22%, dan 9.56.%,
sementara jumlah populasi kambing mengalami peningkatan sebesar 4.66%
pertahun.
Dilain pihak tingkat pemotongan ternak sapi potong dalam kurun waktu
yang sama mengalami peningkatan 4.15% dan jumlah pemotongan kambing jauh
lebih tinggi dibanding peningkatan populasinya dengan peningkatan jumlah
pemotongan sebesar 30.23% pertahun. Untuk jumlah pemotongan ternak kerbau
dan domba mengalami penurunan masing-masing sebesar 5.66% dan 5.47%
pertahun. Fenomena terjadinya peningkatan jumlah pemotongan ternak
ruminansia khususnya sapi potong dan kambing yang tidak didukung oleh
peningkatan jumlah populasi, memberikan indikasi telah terjadi pemotongan
ternak yang tidak terkendali pada ternak muda tanpa memperhatikan struktur
populasi tetapi hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging.

Tabel 12 Keragaan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan (1999-2003)

Tahun
Uraian r (%)
1999 2000 2001 2002 2003
Populasi Ternak (ekor)
Sapi potong 749 327 718 164 722 452 724 044 737 538 -0.24
Sapi perah 602
Kerbau 211 375 196 327 178 119 186 564 175 617 -4.22
Kambing 461 115 478 594 524 072 524 972 555 925 4.66
Domba 1 867 1 995 1 334 1 377 1 393 -9.56
Pemotongan ternak (ekor)
Sapi potong 58 878 56 261 57 705 63 617 68 139 4.15
Kerbau 42 041 34 763 34 994 35 908 31 167 -5.66
Kambing 4 997 8 050 8 410 13 306 17 623 30.23
Domba 265 292 275 269 210 -5.47
Produksi daging (ton)
Sapi potong 9 208.80 8 799.22 9 025.06 9 949.70 10 997.30 4.77
Kerbau 6 726.56 5 562.08 5 599.04 5 745.28 5 812.26 -2.60
Kambing 49.97 80.50 84.10 99.98 141.77 23.02
Domba 2.65 2.92 2.75 2.69 3.55 5.03
Total 15 987.98 14 444.72 14 710.95 15 797.64 16 954.87 2.10
Sumber : Dinas Peternakan Sulawewsi Selatan (2004).

Hidajati et al. (2001) menyatakan bahwa pemenuhan akan permintaan


daging yang tinggi dan tidak diimbangi oleh perkembangan populasi,
mengakibatkan terjadinya pengurasan sumberdaya ternak yang juga menurunkan
mutu ternak di masyarakat, karena ternak yang berkualitas baik tidak tersisakan
untuk pembibitan. Indikasi lainnya adalah terjadi pemotongan betina produktif
sehingga mengakibatkan tingkat kelahiran ternak menurun yang akhirnya populasi
ternak mengalami penurunan. Menurut Suryana (2000), dari jumlah ternak yang
dipotong sekitar 40% adalah ternak betina, dan ternyata 70% dari ternak betina
yang dipotong tersebut masih produktif. Dampak dari hal ini akan membahayakan
keberlanjutan pengembangan peternakan ruminansia.
Produksi daging ternak ruminansia mengalami peningkatan sebesar 2.10%
pertahun dengan struktur produksi daging yang mengalami peningkatan terbesar
adalah daging kambing sebesar 23.02%, diikuti oleh daging domba 5.03%, dan
sapi potong 4.15% pertahun (Tabel 12). Jumlah pemotongan ternak yang
meningkat dan dilain pihak produksi daging yang mengalami penurunan
khususnya pada sapi potong, kemungkinan diakibatkan oleh produktivitas ternak
yaitu persentase karkas dan daging mengalami penurunan, ataupun ternak yang
dipotong adalah ternak yang masih berumur muda sehingga daging yang
dihasilkan lebih sedikit jumlahnya. Menurut Diwyanto et al. (2002), pasokan
daging dari dalam negeri semakin berkurang karena telah dan sedang terjadi
pengurasan sapi terutama semenjak impor sapi bakalan terhenti. Banyak sapi
betina produktif dan sapi yang ukurannya masih kecil dipotong, karena berbagai
alasan seperti harga yang menarik, keterbatasan modal, permintaan khusus dari
konsumen, desakan kebutuhan uang dari peternak, serta belum adanya hasil
konkrit dalam mengatasi hal ini (kecuali program inseminasi buatan di beberapa
wilayah).

Jumlah Populasi dan Keunggulan Komparatif Ternak Ruminansia


Berdasarkan jumlah populasi ternak ruminansia (ekor) pada Lampiran 6,
dilakukan perhitungan jumlah populasi ternak ruminansia dalam jumlah satuan
ternak (ST) yang dianalisis berdasarkan persentase ternak rumininasia menurut
umur (anak, muda, dan dewasa) dan angka konversi satuan ternak menurut Dinas
Peternakan Sulawesi Selatan (2004), terlihat pada Tabel 13. Jumlah populasi
ternak ruminansia di Sulawesi Selatan seluruhnya 727 774 ST, dengan penyebaran
untuk sapi potong 564 847 ST, kerbau 86 942 ST dan kambing 75 335 ST. Hal
ini menunjukkan bahwa sebagian besar ternak ruminansia yang ada adalah sapi
potong yaitu sebesar 77.62 % dari total populasi ternak ruminansia, sementara
kerbau dan kambing sebesar 11.95% dan 10.35%, selebihnya adalah sapi perah
dan domba.
Tabel 13 Populasi ternak ruminansia di Sulawesi Selatan tahun 2003

Populasi Ternak Ruminansia (ST)


Kabupaten Sapi Jumlah
Sapi Perah Kerbau Kambing Domba
Potong
Selayar 5 022 0 2 412 9 662 78 17 174
Bulukumba 50 420 0 2 719 3 795 0 56 935
Bantaeng 20 163 0 1 041 2 750 0 23 953
Jeneponto 13 352 0 5 687 8 482 92 27 612
Takalar 13 320 0 2 543 2 742 1 18 606
Gowa 54 048 0 11 173 2 415 0 67 636
Sinjai 29 384 57 3 055 2 888 0 35 385
Maros 31 008 0 5 181 2 370 0 38 559
Pangkep 21 129 0 4 641 772 0 26 542
Barru 25 619 0 1 068 1 248 0 27 934
Bone 80 182 0 2 849 1 176 0 84 206
Soppeng 9 159 0 39 1 110 0 10 308
Wajo 14 010 0 2 915 945 0 17 871
Sidrap 21 507 0 1 031 754 0 23 292
Pinrang 27 740 0 2 350 2 036 2 32 127
Enrekang 24 518 393 1 707 5 607 4 32.230
Luwu 9 405 0 2 800 941 0 13 145
Tator 4 747 0 23 185 1 635 0 29 568
Polmas 18 719 0 2 442 9 002 0 30 163
Majene 6 350 0 992 9 971 0 17 313
Mamuju 67 153 0 3 417 2 763 0 73 334
Luwu Utara 15 758 0 3 290 1 031 0 20 079
Makassar 1 012 23 329 563 0 1 927
Parepare 1 123 0 77 676 0 1 876

Jumlah 564 847 473 86 942 75 335 177 727 774

Beberapa kabupaten yang menunjukkan jumlah populasi ternak


ruminansia cukup tinggi, adalah Bone 84 206 ST, Gowa 67 636 ST, Mamuju
73 334 ST, dan Bulukumba 56 935 ST atau lebih dari 35% populasi ternak
ruminansia di Sulawesi Selatan terdapat di kabupaten tersebut. Dari jumlah
populasi ternak ruminansia tersebut sebagian besar adalah ternak sapi, misalnya
untuk Bone 14.20%, Mamuju 11.89%, Gowa 9.57% dan Bulukumba 8.93% dari
populasi ternak sapi di Sulawesi Selatan.
Untuk ternak kambing sebagian besar populasi terdapat di kabupaten
Majene, Selayar, Polmas dan Jeneponto masing-masing 13.24%, 12.83%, 11.95%
dan 11.26% dari total populasi kambing di Sulawesi Selatan atau sekitar 50%
ternak kambing berada di empat kabupaten tersebut. Kabupaten yang terbesar
untuk jumlah ternak kerbau yaitu Kabupaten Tator yang menunjukkan bahwa di
kabupaten ini sebagian besar populasi ternak ruminansia adalah kerbau (78.42%)
atau sekitar 26.67% dari populasi kerbau di Sulawesi Selatan. Untuk ternak sapi
perah dan domba belum begitu berkembang dan hanya berada pada kabupaten
tertentu. Untuk sapi perah hanya di kabupaten Sinjai dan Enrekang dengan
jumlah populasi masing-masing 57 ST dan 393 ST, dan domba di kabupaten
Selayar, Jeneponto, Takalar, Pinrang dan Enrekang dengan total populasi sebesar
177 ST.
Untuk mengetahui perbandingan relatif antara kemampuan produksi
peternakan di suatu kabupaten dengan kemampuan sektor produksi yang sama
pada tingkat propinsi digunakan analisis location quotient-LQ (LPM Unpad
2001). Dengan demikian dapat diketahui apakah daerah tersebut seimbang atau
belum dalam kegiatan produksi peternakan. Nilai LQ untuk masing-masing ternak
ruminansia pada masing-masing wilayah kabupaten (Lampiran 7), menunjukkan
bahwa sebuah wilayah kabupaten memiliki potensi sebagai wilayah pemasuk
yang secara komparatif memiliki keunggulan relatif dalam produksi/populasi dari
masing-masing ternak ruminansia dibanding wilayah lainnya.
Berdasarkan nilai LQ dilakukan pemetaan keunggulan komparatif ternak
ruminansia seperti terlihat pada Gambar 9. Gambar 9 tersebut menunjukkan
bahwa sebagian besar wilayah memiliki potensi sebagai wilayah penawaran
ternak sapi potong, kecuali kabupaten Selayar, Jeneponto, Takalar, Enrekang,
Luwu, Tator, Polmas, Majene, Makassar dan Parepare. Hal ini menunjukkan
bahwa di Sulawesi Selatan berdasarkan kondisi wilayah cocok untuk ternak sapi
potong. Beberapa wilayah disamping memiliki keunggulan pada ternak sapi juga
memiliki keunggulan pada ternak kambing yaitu Soppeng dan Bantaeng, dan
kerbau di Luwu Utara, Wajo, Pangkep, Maros dan Gowa.
Gambar 9 Peta keunggulan komparatif ternak ruminansia di Sulawesi Selatan.
Kabupaten Tator, Luwu, Takalar, Jeneponto dan Selayar adalah wilayah
yang berpotensi sebagai penyuplai ternak kerbau dan untuk kambing di kabupaten
Polmas, Majene, Enrekang, Takalar, Jeneponto, Selayar. Secara umum dapat
dikemukakan bahwa masing-masing wilayah memiliki keunggulan pada jenis
ternak ruminansia tertentu dan khusus ternak sapi potong pola penyebarannya
relatif merata diberbagai wilayah di Sulawesi Selatan.

Kepadatan Ternak Ruminansia


Kepadatan ternak dibedakan dalam tiga tipe kepadatan yaitu kepadatan
ekonomi, kepadatan usaha tani dan kepadatan wilayah (Ditjen Peternakan dan
Balitnak 1995). Ketiga jenis kepadatan ternak ruminansia tersebut dapat dilihat
pada Tabel 14. Berdasarkan kepadatan ekonomi ternak yaitu jumlah populasi
ternak ruminansia (ST) dalam 1 000 jiwa penduduk dengan kriteria sangat padat
>300, padat >100-300, sedang 50-100, dan jarang <50, maka belum ada wilayah
di Sulawesi Selatan yang menunjukkan kepadatan ekonomi ternak yang sangat
padat, dan Sulawesi Selatan masih dalam kategori kepadatan ekonomi ternak
sedang (88.60 ST/1 000 jiwa penduduk).
Tabel 14 menunjukkan beberapa kabupaten dalam kategori kepadatan
ekonomi ternak jarang yaitu Soppeng, Wajo, Luwu, dan Luwu Utara dengan
kepadatan jarang dari 50 ST/1 000 jiwa penduduk. Dilain pihak, kabupaten dalam
kategori padat yang tertinggi adalah Mamuju 219.00 ST/1000 jiwa penduduk,
disamping Selayar, Bulukumba, Bantaeng, Gowa, Sinjai, Maros, Barru, Bone,
Enrekang, dan Majene. Wilayah dengan kategori padat memberikan indikasi
kemungkinan dapat terjadi kompetisi antara ternak dengan penduduk dalam hal
penyediaan makanan dan jika hal ini terjadi maka dapat menyebabkan biaya
pakan untuk kebutuhan ternak akan tinggi atau mahal, sebaliknya wilayah dengan
kategori jarang hal ini tidak terjadi.
Kepadatan ekonomi ternak yang padat memberikan pula indikasi bahwa di
wilayah-wilayah tersebut jumlah kepemilikan ternak ruminansia oleh peternak
dalam jumlah yang tinggi dibanding wilayah-wilayah dalam kategori kepadatan
ekonomi ternak sedang dan dan jarang. Untuk wilayah-wilayah dalam kategori
sedang/jarang dapat dilakukan upaya untuk meningkatkan tingkat kepemilikan
ternak oleh peternak.
Tabel 14 Kepadatan ekonomi ternak, kepadatan usahatani dan kepadatan
wilayah ternak ruminansia di Sulawesi Selatan

Jenis Kepadatan Ternak


Ekonomi Ternak Usahatani Wilayah
Kabupaten/Kota
(ST/1000
Status (ST/ha) Status (ST/km2) Status
jiwa)
Selayar 156.96 +++ 1.40 +++ 19.01 ++
Bulukumba 153.28 +++ 0.96 ++ 49.31 +++
Bantaeng 145.31 +++ 0.89 ++ 60.51 ++++
Jeneponto 85.42 ++ 0.56 ++ 37.43 +++
Takalar 77.34 ++ 0.71 ++ 32.84 +++
Gowa 122.46 +++ 0.92 ++ 35.91 +++
Sinjai 163.37 +++ 0.99 ++ 43.15 +++
Maros 134.70 +++ 0.68 ++ 23.80 +++
Pangkep 96.46 ++ 1.06 +++ 23.86 +++
Barru 178.31 +++ 1.51 +++ 23.78 +++
Bone 123.85 +++ 0.50 ++ 18.47 ++
Soppeng 45.99 + 0.19 + 7.58 +
Wajo 49.27 + 0.15 + 7.13 +
Sidrap 94.58 ++ 0.27 ++ 12.37 ++
Pinrang 96.89 ++ 0.47 ++ 16.38 ++
Enrekang 183.16 +++ 0.86 ++ 18.25 ++
Luwu 30.87 + 0.22 + 4.53 +
Tator 70.97 ++ 0.68 ++ 9.22 +
Polmas 64.19 ++ 0.42 ++ 6.31 +
Majene 134.44 +++ 1.85 +++ 18.27 ++
Mamuju 219.00 +++ 1.35 +++ 6.63 +
Luwu Utara 43.42 + 0.27 ++ 1.36 +
Makassar 1.68 + 0.24 + 10.96 ++
Parepare 16.59 + 0.66 ++ 18.89 ++
Sulawesi Selatan 88.60 ++ 0.59 ++ 11.67 ++
Keterangan : + + + + sangat padat, + + + padat, ++ sedang, + jarang
Kepadatan usaha tani yang memperbandingkan antara jumlah populasi
ternak ruminansia dengan luas lahan usaha tani (lahan sawah dan kebun) dengan
kriteria yang digunakan yaitu kategori sangat padat >2, padat >1-2, sedang 0.25-
1.0 dan jarang <0.25. Terlihat pada Tabel 13 bahwa Sulawesi Selatan dalam hal
kepadatan usaha tani termasuk dalam kategori sedang yaitu 0.59 ST/ha lahan
usaha tani. Umumnya wilayah kabupaten di Sulawesi Selatan dalam kategori
sedang, sementara beberapa wilayah dalam kategori padat seperti Mamuju,
Majene, Barru, Pangkep, dan Selayar, dan wilayah dalam kategori kepadatan
jarang adalah Luwu, Wajo dan Soppeng.
Untuk kabupaten dengan kategori kepadatan usaha tani jarang dan sedang
menunjukkan bahwa lahan garapan usahatani yang dikelola oleh petani masih
mendukung pengembangan ternak ruminansia. Luas lahan garapan usahatani
disamping berpotensi sebagai sumber pakan baik berupa hijauan atau limbah
tanaman pangan, juga sebagai tempat penggembalaan/pemeliharaan ternak.
Berdasarkan kepadatan wilayah yaitu jumlah populasi ternak ruminansia
per luas wilayah (ST/km2) dengan kategori sangat padat >50, padat >20-50,
sedang 10-20 dan jarang <10, Sulawesi Selatan termasuk dalam kategori
kepadatan wilayah sedang yaitu 11.67 ST/km2 (Tabel 14). Hal ini menunjukkan
bahwa jumlah populasi ternak ruminansia masih dapat ditingkatkan jika ditinjau
dari luas wilayah yang ada atau populasi ternak ruminansia masih rendah
dibanding luas wilayah.
Kabupaten Bantaeng merupakan satu-satunya kabupaten dalam kategori
sangat padat yaitu 60.51 ST/km2 sehingga untuk pengembangan ternak
ruminansia di wilayah ini sebaiknya dilakukan pemeliharaan ternak secara intensif
dengan pengandangan ternak dengan memanfaatkan lahan yang sedikit.
Kabupaten yang dalam kategori jarang adalah Soppeng, Wajo, Luwu, Tator,
Polmas, Mamuju dan Luwu Utara. Kabupaten yang termasuk dalam kategori
jarang, masih memungkinkan dilakukan penambahan populasi ternak ruminansia
mengingat dukungan luas wilayah masih besar, dan memberikan indikasi bahwa
pada wilayah ini potensi padang rumput atau padang penggembalaan untuk
pemeliharaan ternak masih tersedia.
Produksi dan Daya Dukung Limbah Tanaman Pangan
sebagai Sumber Pakan Ternak Ruminansia

Produksi dan Kualitas Limbah Tanaman Pangan


Berdasarkan hasil survey produksi masing-masing limbah tanaman pangan
(Lampiran 8), diperoleh rata-rata produksi segar, produksi kering, dan produksi
bahan kering masing-masing limbah tanaman pangan seperti terlihat pada Tabel
15. Secara umum rata-rata produksi bahan kering yang diperoleh dalam penelitian
ini lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Muller (1974) yaitu jerami padi 2.5
ton/ha, jerami jagung 6.00 ton/ha, jerami kacang tanah 2.5 ton/ha, jerami kedelai
2.5 ton/ha, jerami ubi jalar 1.5 ton/ha dan pucuk ubi kayu 1.00 ton/ha.

Tabel 15 Rata-rata produksi segar, produksi kering, dan produksi bahan kering
limbah tanaman pangan

Keterangan : JP (jerami padi), JG (jerami jagung), JK (jerami kedelai), JH (jerami kacang hijau),
JT (jerami kacang tanah), JJ (jerami ubi jalar), PK (pucuk ubi kayu).
Rata-rata produksi bahan kering jerami padi 5.94 ton/ha, dengan kisaran
produksi terendah 3.58 ton/ha dan tertinggi 8.53 ton/ha. Adanya variasi produksi
bahan kering jerami padi disebabkan oleh adanya perbedaan cara panen padi,
yaitu padi yang dipanen dengan menggunakan mesin (alsintan) pemotongan
dilakukan pada bagian aerial sehingga jerami padi yang diperoleh lebih sedikit
dibanding padi yang dipanen menggunakan sabit dilakukan pemotongan sekitar
10 cm dari atas tanah sehingga diperoleh jerami padi yang lebih banyak.
Produksi bahan kering jerami jagung dalam kisaran 5.14 – 7.25 ton BK/ha
dengan rata-rata produksi adalah 6.00 ton BK/ha. Berbagai cara panen jagung
seperti jagung yang dipanen pada umur relatif muda, dan saat biji dan tanaman
telah kering mengakibatkan terjadinya variasi produksi bahan kering jerami
jagung. Hasil survei yang dilaporkan oleh Fakultas Peternakan UGM (1972),
diperoleh rata-rata produksi bahan kering jerami jagung sebesar 1.53 ton BK/ha.
Untuk jerami kacang kedelai, jerami kacang hijau, jerami kacang tanah, jerami ubi
jalar dan pucuk ubi kayu diperoleh rata-rata produksi bahan kering masing-masing
sebesar 2.79 ton BK/ha, 5.45 ton BK/ha, 4.49 ton BK/ha, 4.93 ton BK/ha dan 1.73
ton BK/ha (Tabel 15).
Berdasarkan analisa proksimat masing-masing limbah tanaman pangan
(Lampiran 9), maka diketahui rata-rata kualitas limbah tanaman pangan seperti
terlihat pada Tabel 15. Kandungan protein kasar jerami padi bervariasi dari
3.09 % hingga 6.07% dengan rata-rata sebesar 4.64%. Kandungan serat kasar,
lemak kasar, BETN dan abu masing-masing 33.79%, 2.74%, 41.40% dan 17.44%.
Angka analisis ini untuk protein kasar lebih tinggi dan serat kasar lebih rendah
dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Hartadi et al. (1980) yaitu kandungan
protein kasar 3.70%, serat kasar 35.90%, lemak kasar 1.70%, dan abu 21.20%.
Jerami jagung memiliki rata-rata kualitas untuk protein kasar 6.38% serat
kasar 30.19%, lemak kasar 2.81%, BETN 51.69% dan abu 8.94%. Rata-rata
kandungan protein kasar jerami kacang kedelai, jerami kacang hijau, jerami
kacang tanah, jerami ubi jalar dan pucuk ubi kayu masing-masing 9.05%, 5.64%,
12.00%, 11.05% dan 17.05%, serta rata-rata kandungan serat kasar adalah
35.02%, 33.26%, 30.27%, 26.98% dan 21.11% (Tabel 15). Kandungan total
digestible nutrient limbah tanaman pangan tertinggi adalah pucuk ubi kayu
sebanyak 61.29% dan terendah adalah jerami padi 42.65%.
Dari data luas areal panen masing-masing limbah tanaman pangan tahun
2003 (Lampiran 10), dilakukan perhitungan produksi segar limbah tanaman
pangan. Jumlah produksi segar limbah tanaman pangan di Sulawesi Selatan tahun
2003 sebesar 13 155 925 ton (Lampiran 11) dan produksi kering sebesar 7 809
506 ton (Lampiran 12). Jumlah produksi bahan kering limbah tanaman pangan di
Sulawesi Selatan adalah 6 874 105 ton bahan kering, dan produksi bahan kering
limbah tanaman pangan di masing-masing kabupaten seperti terlihat pada Tabel
16. Tabel 16 menunjukkan bahwa di Sulawesi Selatan persentase produksi bahan
kering limbah tanaman pangan terbesar adalah jerami padi sebesar 73.22% (5 032
998 ton) diikuti jerami jagung 18.66% (1 282 920 ton), jerami kacang tanah
3.12% (214 322 ton), jerami kacang hijau 2.63% (180 831 ton), pucuk ubi kayu
1.03% (70 596 ton), jerami kedelai 0.93% (64 100 ton), dan jerami ubi jalar
0.41% (70 596 ton).
Berdasarkan total digestible nutrient di Sulawesi Selatan jumlah produksi
limbah tanaman pangan adalah 3 128 339 ton (Tabel 17) dan jumlah produksi
limbah tanaman pangan berdasarkan protein kasar adalah 372 261 ton (Tabel 18).
Rendahnya produksi protein kasar limbah tanaman pangan disebabkan oleh
rendahnya kandungan protein kasar limbah tanaman pangan (Tabel 15). Dengan
demikian dalam pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan akan
mengalami kendala dalam hal ketersediaan protein kasar bagi ternak ruminansia.
Beberapa kabupaten memiliki produksi bahan kering limbah tanaman
pangan yang lebih tinggi dibanding daerah lainnya, seperti kabupaten Bone 1 303
085 (18.96%), Wajo 642 574 (9.35%), Sidrap 488 837 (7.11%), Pinrang 472 789
(6.88%), dan Bulukumba 439 364 (6.39%). Sekitar 50% produksi limbah tanaman
pangan di Sulawesi Selatan terdapat di lima kabupaten tersebut. Tingginya
produksi limbah tanaman pangan pada kabupaten tersebut dipengaruhi oleh luas
areal panen tanaman pangan yang tinggi khususnya luas areal panen padi sehingga
menghasilkan jerami padi yang lebih banyak, dan akhirnya berpengaruh kepada
tingginya total produksi bahan kering limbah tanaman pangan.
Tabel 16 Produksi bahan kering limbah tanaman pangan di Sulawesi Selatan

Kab/ Produksi Bahan Kering (ton BK) Limbah Tanaman Pangan


Jumlah
Kota JP JG JK JH JT JJ PU
Selayar 9 231 31 380 1 074 2 502 5 039 128 1 605 50 959

Bulukumba 235 111 166 362 497 6 257 21 805 3 979 5 354 439 364

Bantaeng 83 635 198 612 2 639 997 2 332 370 609 289 194

Jeneponto 111 921 236 988 12 309 39 327 3 670 488 20 267 424 972

Takalar 122 572 23 346 910 22 699 1 072 1 420 3 261 175 280

Gowa 280 730 97 914 346 29 572 4 080 2 426 10 598 425 666

Sinjai 113 181 44 358 47 11 21 647 1 223 697 181 164

Maros 184 277 13 050 2 664 845 10 527 1 001 5 636 218 000

Pangkep 106 849 1 404 1 303 7 096 6 244 892 249 124 037

Barru 90 983 3 132 142 687 14 341 735 898 110 917

Bone 828 285 326 748 19 201 24 601 96 948 2 958 4 344 1 303 085

Soppeng 220 677 30 696 1 760 2 899 4 821 64 61 260 979

Wajo 576 715 24 072 2 073 30 498 7 415 1 213 588 642 574

Sidrap 471 202 11 208 248 605 3 937 1 228 408 488 837

Pinrang 462 275 5 994 321 2 278 751 301 870 472 789

Enrekang 40 214 19 182 354 725 1 808 434 612 63 329

Luwu 290 525 2 766 896 354 899 833 379 296 652

Tator 169 813 13 644 377 38 3 206 4 112 3 010 194 199

Polmas 207 544 8 094 215 5 118 781 1 834 3 775 227 359

Majene 13 882 2 160 569 2 360 697 355 2 720 22 742

Mamuju 79 186 8 718 15 697 229 776 685 3 349 108 640

Luwu Utara 315 776 11 574 444 507 1 047 1 523 953 331 825

Makassar 13 038 174 14 501 20 138 294 14 180

Parepare 5 376 1 344 0 125 459 0 57 7 362

Jumlah 5 032 998 1 282 920 64 100 180 831 214 322 28 338 70 596 6 874 105
Keterangan : JP (jerami padi), JG (jerami jagung), JK (jerami kedelai), JH (jerami kacang hijau),
JT (jerami kacang tanah), JJ (jerami ubi jalar), PK (pucuk ubi kayu).
Tabel 17 Produksi total digestible nutrient limbah tanaman pangan
di Sulawesi Selatan

Produksi Total Digestible Nutrient (ton TDN)


Kab/
Limbah Tanaman Pangan Jumlah
Kota
JP JG JK JH JT JJ PU
Selayar 3 937 16 704 571 1 312 2 625 68 984 26 200

Bulukumba 100 275 88 554 264 3 282 11 358 2112 3 282 209 128

Bantaeng 35 670 105 721 1 402 523 1 215 196 373 145 101

Jeneponto 47 735 126 149 6 539 20 631 1 912 259 12 422 215 646

Takalar 52 277 12 427 483 11 908 558 754 1 999 80 406

Gowa 119 731 52 120 184 15 513 2 126 1 288 6 496 197 457

Sinjai 48 272 23 612 25 6 11 276 649 427 84 267

Maros 78 594 6 947 1 415 443 5 484 531 3 455 96 868

Pangkep 45 571 747 692 3 723 3 253 474 153 54 612

Barru 38 804 1 667 76 360 7 470 390 550 49 318

Bone 353 264 173 928 10 199 12 906 50 500 1 570 2 662 605 030

Soppeng 94 119 16 339 935 1 521 2 511 34 37 115 497

Wajo 245 969 12 814 1 101 15 999 3 862 644 361 280 750

Sidrap 200 968 5 966 132 317 2 051 652 250 210 336

Pinrang 197 160 3 191 170 1 195 391 160 533 202 800

Enrekang 17 151 10 211 188 380 942 230 375 29 478

Luwu 123 909 1 472 476 186 468 442 232 127 186

Tator 72 425 7 263 200 20 1 670 2 183 1 845 85 606

Polmas 88 517 4 308 114 2 685 407 974 2 314 99 318

Majene 5 921 1 150 302 1 238 363 188 1 667 10 829

Mamuju 33 773 4 641 8 338 120 404 364 2 053 49 692

Luwu Utara 134 679 6 161 236 266 546 809 584 143 280

Makassar 5 561 93 7 263 10 73 180 6 188

Parepare 2 293 715 0 66 239 0 35 3 348

Jumlah 2 146 573 682 898 34 050 94 864 111 640 15 044 43 268 3 128 339
Keterangan : JP (jerami padi), JG (jerami jagung), JK (jerami kedelai), JH (jerami kacang hijau),
JT (jerami kacang tanah), JJ (jerami ubi jalar), PK (pucuk ubi kayu).
Tabel 18 Produksi protein kasar limbah tanaman pangan di Sulawesi Selatan

Produksi Protein Kasar (ton PK)


Kab/
Limbah Tanaman Pangan Jumlah
Kota
JP JG JK JH JT JJ PU
Selayar 428 2 002 97 141 605 14 274 3 561

Bulukumba 10 909 10 614 45 353 2 617 440 912 25 889

Bantaeng 3 881 12 671 239 56 280 41 104 17 272

Jeneponto 5 193 15 120 1 114 2 218 440 54 3 453 27 593

Takalar 5 687 1 489 82 1 280 129 157 556 9 381

Gowa 13 026 6 247 31 1 668 490 268 1 806 23 536

Sinjai 5 252 2 830 4 1 2 598 135 119 10 938

Maros 8 550 833 241 48 1 263 111 960 12 006

Pangkep 4 958 90 118 400 749 99 42 6 456

Barru 4 222 200 13 39 1 721 81 153 6 428

Bone 38 432 20 847 1 738 1 388 11 634 327 740 75 105

Soppeng 10 239 1 958 159 164 579 7 10 13 117

Wajo 26 760 1 536 188 1 720 890 134 100 31 327

Sidrap 21 864 715 22 34 472 136 70 23 313

Pinrang 21 450 382 29 128 90 33 148 22 261

Enrekang 1 866 1 224 32 41 217 48 104 3 532

Luwu 13 480 176 81 20 108 92 65 14 022

Tator 7 879 870 34 2 385 454 513 10 138

Polmas 9 630 516 19 289 94 203 643 11 394

Majene 644 138 52 133 84 39 463 1 553

Mamuju 3 674 556 1 421 13 93 76 571 6 403

Luwu Utara 14 652 738 40 29 126 168 162 15 916

Makassar 605 11 1 28 2 15 50 713

Parepare 249 86 0 7 55 0 10 407

Jumlah 233 531 81 850 5 801 10 199 25 719 3 131 12 030 372 261
Keterangan : JP (jerami padi), JG (jerami jagung), JK (jerami kedelai), JH (jerami kacang hijau),
JT (jerami kacang tanah), JJ (jerami ubi jalar), PK (pucuk ubi kayu).
Hasil analisis indeks konsentrasi produksi pakan (IKPP) limbah tanaman
pangan berdasarkan produksi bahan kering (Lampiran 13), menunjukkan bahwa
masing-masing wilayah kabupaten memiliki potensi yang tinggi pada jenis limbah
tanaman pangan yang berbeda. Setiap wilayah kabupaten memiliki keunggulan
atau produksi yang tinggi pada jenis limbah tanaman tertentu, yang disebabkan
oleh jumlah areal panen tanaman pangan yang juga tinggi sehingga jumlah limbah
tanaman pangan yang dihasilkan juga tinggi.
Nilai IKPP di atas rata-rata (IKPP > 1.00) merupakan wilayah kabupaten
dengan produksi tinggi pada jenis limbah tanaman pangan tertentu. Produksi
jerami padi dalam kategori produksi tinggi di kabupaten Bone, Soppeng, Wajo,
Sidrap, Pinrang, Luwu, Luwu Utara, Bulukumba dan Gowa dan produksi jerami
padi tertinggi di kabupaten Bone sebesar 828 285 ton bahan kering. Kabupaten
lainnya dalam kategori produksi sedang dan kurang, seperti terlihat pada Gambar
10. Di Sulawesi Selatan tanaman padi sebagian besar dikembangkan di wilayah
kawasan BOSOWASIPILU (Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang dan Luwu)
dengan luas areal pengembangan padi sekitar ¾ dari luas penanaman padi di
Sulawesi Selatan dengan sarana irigasi teknis yang memadai (Balitbangda Sul Sel
2003).
Untuk jerami jagung yang merupakan jumlah produksi limbah tanaman
pangan tertinggi setelah jerami padi, dalam kategori produksi tinggi terdapat di
Kabupaten Bantaeng, Bulukumba, Jeneponto, Gowa dan Bone. Produksi tertinggi
di Kabupaten Bone sebesar 326 748 ton, selanjutnya kabupaten Jeneponto 236
988 ton, Bantaeng 198 612 ton, Bulukumba 166 362 ton, dan Gowa 97 914 ton.
Secara umum kabupaten lainnya dalam kategori produksi jerami jagung rendah,
kecuali kabupaten Soppeng, Sinjai dan Selayar dengan jumlah produksi jerami
jagung masing-masing 30 696 ton, 44 358 ton dan 31 380 ton dalam kategori
produksi sedang (Gambar 11). Tingginya produksi jerami jagung pada kabupaten
tersebut di atas disebabkan karena merupakan kawasan Karaeng Lompoa di
bagian selatan Sulawesi Selatan sebagai daerah pengembangan tanaman jagung
(Balitbangda Sul Sel 2003).
Gambar 10 Peta indeks konsentrasi produksi pakan jerami padi
di Sulawesi Selatan.
Gambar 11 Peta indeks konsentrasi produksi pakan jerami jagung
di Sulawesi Selatan.
Sekitar 80 % atau 49 871 ton bahan kering jerami kedelai dari total
produksi jerami kedelai di Sulawesi Selatan (64 100 ton bahan kering) dalam
kategori produksi tinggi terdapat di kabupaten Bone, Mamuju, Jeneponto dan
Maros dengan masing-masing jumlah produksi bahan kering jerami kedelai adalah
19 201 ton, 15 697 ton, 12 309 ton dan 2 664 ton (Tabel 16 dan Gambar 12). Hal
ini memberikan indikasi bahwa kabupaten tersebut merupakan wilayah sentra
pengembangan kedelai sehingga berimplikasi terhadap tingginya produksi limbah
jerami kedelai. Semakin tinggi luas penanaman kedelai mengakibatkan tingginya
produksi limbah jerami kedelai di suatu wilayah, sehingga pada wilayah ini
sebaiknya dilakukan pemanfaatan jerami kedelai sebagai sumber pakan ternak
ruminansia karena didukung oleh produksi yang tinggi.
Total produksi bahan kering limbah jerami kacang hijau di Sulawesi
Selatan adalah 180 831 ton bahan kering dengan jumlah produksi tertinggi di
kabupaten Jeneponto sebesar 39 327 ton, kemudian Wajo, Gowa, Takalar dan
Bone (Gambar 13). Dilain pihak, untuk produksi limbah tanaman pangan jerami
kacang tanah di kabupaen Bone merupakan produksi tertinggi dibanding
kabupaten lainnya yang mencapai 96 948 ton bahan kering atau sekitar 45% dari
total produksi jerami kacang tanah di Sulawesi Selatan (214 322 ton BK).
Kabupaten lainnya dalam kategori produksi tinggi adalah Barru, Maros, Sinjai,
dan Bulukumba, sementara kabupaten yang lain dalam kategori sedang dan
rendah (Gambar 14).
Jenis limbah tanaman pangan lainnya yaitu jerami ubi jalar dan pucuk ubi
kayu. Untuk jerami ubi jalar dengan total produksi di Sulawesi Selatan sebesar 28
338 ton BK dan dibandingkan dengan produksi limbah tanaman pangan yang lain,
produksi jerami ubi jalar merupakan produksi yang terendah hanya 0.14% dari
total produksi limbah tanaman pangan di Sulawesi Selatan. Namun demikian,
limbah jerami ubi jalar menunjukkan produksi yang tinggi di kabupaten yaitu
Luwu Utara, Tator, Polmas, Sidrap, Wajo, Bone, Sinjai, Gowa, Takalar dan
Bulukumba (Gambar 15). Kabupaten lainnya seperti Mamuju, Luwu, Barru,
Pangkep dan Maros dalam kategori produksi sedang, dan dalam kategori produksi
rendah adalah Majene, Enrekang, Pinrang, Soppeng, Jeneponto, Bantaeng dan
Selayar.
Gambar 12 Peta indeks konsentrasi produksi pakan jerami kedelai
di Sulawesi Selatan.
Gambar 13 Peta indeks konsentrasi produksi pakan jerami kacang hijau
di Sulawesi Selatan.
Gambar 14 Peta indeks konsentrasi produksi pakan jerami kacang tanah
di Sulawesi Selatan.
Gambar 15 Peta indeks konsentrasi produksi pakan jerami ubi jalar
di Sulawesi Selatan.
Sebanyak 28.7% produksi pucuk ubi kayu yang dapat dimanfaatkan
sebagai pakan ternak ruminansia terdapat di Kabupaten Jeneponto (20 267 ton
BK) dari total produksi pucuk ubi kayu di Sulawesi Selatan sebesar 70 596 ton
BK. Seperti halnya dengan limbah jerami ubi jalar, pucuk ubi kayu dalam
kategori produksi tinggi terdapat beberapa kabupaten yaitu Mamuju, Tator,
Polmas, Bone, Maros, Gowa, Takalar, dan Bulukumba (Gambar 16). Sementara
kabupaten Selayar dan Majene dalam kategori produksi rendah, dan kabupaten
lainnya kategori produksi sedang.
Produksi limbah tanaman pangan seperti telah dipaparkan di atas, sangat
terkait dengan musim panen dari masing-masing komoditi tanaman pangan.
Gambar 17 menunjukkan bahwa jerami padi, jerami ubi jalar dan pucuk ubi kayu
produksi tertinggi pada bulan Mei-Agustus, dilain pihak limbah tanaman pangan
jerami jagung, jerami kedelai, jerami kacang hijau dan jerami kacang tanah
produksi tertinggi dapat diperoleh pada bulan Januari-April. Dengan demikian,
ketersediaan limbah tanaman pangan musiman dan fluktuatif mengikuti pola
tanam dan musim panen.
Berdasarkan produksi limbah tanaman pangan seperti yang telah
dipaparkan di atas, dapat dikemukakan berbagai fakta sebagai berikut. a). Limbah
jerami padi lebih tersebar merata di seluruh kabupaten di Sulawesi Selatan dan
merupakan produksi yang paling besar dibanding jenis limbah yang lain. b).
Produksi limbah tanaman pangan sangat dipengaruhi oleh seberapa besar luas
areal tanam dari komoditi tanaman pangan di masing-masing wilayah kabupaten.
Semakin tinggi luas areal tanam suatu komoditi tanaman pangan, jumlah produksi
limbah tanaman pangan yang dihasilkan lebih banyak. c). Beberapa kabupaten
memiliki produksi tinggi pada jenis limbah tanaman pangan tertentu yang dapat
merupakan penciri kemampuan dan ketersedian potensi limbah tersebut di setiap
wilayah. d). Pengembangan peternakan khususnya ternak ruminansia dalam
memanfaatkan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia
sepatutnya memperhatikan ketersedian produksi limbah sesuai dengan spesifik
lokalita.
Gambar 16 Peta indeks konsentrasi produksi pakan pucuk ubi kayu
di Sulawesi Selatan.
Gambar 17 Produksi limbah tanaman pangan berdasarkan bulan produksi
dalam setahun.
Berdasarkan data luas areal penen komoditi tanaman pangan di Sulawesi
Selatan dalam kurun waktu lima tahun terakhir (1999-2003), dilakukan
perhitungan pertumbuhan produksi bahan kering masing-masing limbah tanaman
pangan, seperti diperlihatkan pada Tabel 19. Terlihat pada Tabel 19 bahwa
produksi jerami jagung, jerami padi dan jerami kacang tanah mengalami
peningkatan dalam lima tahun terakhir (1999-2003), dengan laju pertumbuhan
produksi masing-masing 26.27%, 21.62% dan 20.29% per tahun. Jenis limbah
tanaman pangan lainnya yang mengalami peningkatan di bawah 10% per tahun
adalah jerami kacang hijau 8.73% dan pucuk ubi kayu 2.23% pertahun. Dilain
pihak, jerami kedelai dan jerami ubi jalar mengalami penurunan produksi per
tahun masing-masing 10.99% dan 9.42%.

Tabel 19 Laju pertumbuhan produksi bahan kering limbah tanaman pangan


di Sulawesi Selatan (1999-2003)

Tahun
Jenis Limbah r (%)
1999 2000 2001 2002 2003
Jerami padi 5 191 643 516 978 4 766 622 4 777 082 5 032 998 21.62

Jerami jagung 1 275 726 135 258 1 659 252 1 850 874 1 282 920 26.27

Jerami kedelai 105 239 90 095 53 791 80 851 64 100 -10.99

Jerami kac. hijau 141 084 147 139 151 995 214 610 180 831 8.73

Jerami kac. tanah 96 842 127 042 149 069 197 465 214 322 20.29

Jerami ubi jalar 48 664 48 689 53 737 55 990 28 338 -9.42

Pucuk ubi kayu 69 024 71 335 74 560 85 222 70 596 2.23

Berdasarkan hal di atas, dapat dikemukakan bahwa limbah tanaman


pangan khususnya jerami padi dan jerami jagung memiliki potensi produksi yang
besar sebagai sumber pakan ternak ruminansia dengan produksi bahan kering
yang meningkat di atas 20% per tahun. Disamping itu jeramni padi dan jerami
jagung sebagian besar terdapat di wilayah kabupaten di Sulawesi Selatan sehingga
dalam pemanfaatannya sebagai pakan lebih tersedia dan diperoleh dibandingkan
dengan limbah tanaman pangan yang lain.
Daya Dukung Limbah Tanaman Pangan sebagai Sumber Pakan
Daya dukung limbah tanaman pangan merupakan kemampuan suatu
wilayah untuk menghasilkan atau menyediakan pakan berupa limbah tanaman
pangan yang dapat menampung kebutuhan sejumlah populasi ternak ruminansia
tanpa melalui pengolahan. Daya dukung limbah tanaman pangan sebagai sumber
pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan berdasarkan bahan kering, protein
kasar dan total digestible nutrient terlihat pada Tabel 20.
Dalam menghitung daya dukung limbah tanaman pangan digunakan
beberapa asumsi kebutuhan pakan ternak ruminansia. Asumsi yang digunakan
yaitu bahwa satu satuan ternak (1 ST) ternak ruminansia rata-rata membutuhkan
bahan kering (BK) adalah 6.25 kg/hari (NRC 1984), kebutuhan protein kasar
adalah 0.66 kg/hari dan kebutuhan total digestible nutrient (TDN) adalah 4.3
kg/hari (Ditjen Peternakan dan Fapet UGM 1982).
Tabel 20 menunjukkan bahwa limbah tanaman pangan mampu
menyediakan sumber pakan untuk ternak ruminansia di Sulawesi Selatan
berdasarkan daya dukung bahan kering sebesar 3 014 958 ST. Dilain pihak,
berdasarkan daya dukung total digestible nutrient dan protein kasar masing-
masing sebesar 1 992 573 ST dan 1 551 087 ST. Kabupaten Bone merupakan
wilayah yang memiliki daya dukung yang tertinggi dibanding wilayah lainnya
yaitu masing-masing berdasarkan bahan kering, total digestible nutrient dan
protein kasar sebesar 571 529 ST, 385 369 ST dan 312 397 ST. Kabupaten
lainnya yang memiliki daya dukung yang tinggi adalah Wajo, Sidrap dan Pinrang
dan wilayah yang memiliki daya dukung yang terendah adalah Kota Pare-pare
masing-masing berdasarkan bahan kering, total digestible nutrient dan protein
kasar sebesar 3 229 ST, 2 133 ST dan 1 696 ST.
Berdasarkan daya dukung bahan kering limbah tanaman pangan
(Lampiran 14), menunjukkan bahwa jerami padi merupakan limbah tanaman
pangan yang memiliki daya dukung yang tinggi (2 207 455 ST) dibanding limbah
tanaman pangan lainnya. Tingginya daya dukung dari jerami padi tersebut
disebabkan karena tingginya produksi jerami padi sehingga menyebabkan daya
dukung sebagai sumber pakan juga tinggi.
Tabel 20 Daya dukung limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan
di Sulawesi Selatan
Daya Dukung Limbah Tanaman Pangan (ST)
Kabupaten/Kota Total Digestible
Bahan Kering Protein Kasar
Nutrient
Selayar 22 350 16 688 14 838
Bulukumba 192 704 133 202 107 873
Bantaeng 126 840 92 421 71 965
Jeneponto 186 391 137 354 114 971
Takalar 76 877 51 214 39 086
Gowa 186 696 125 769 98 065
Sinjai 79 458 53 673 45 575
Maros 95 614 61 700 50 025
Pangkep 54 402 34 785 26 899
Barru 48 648 31 413 26 784
Bone 571 529 385 369 312 937
Soppeng 114 464 73 565 54 653
Wajo 281 831 178 821 130 530
Sidrap 214 402 133 972 97 138
Pinrang 207 364 129 172 92 755
Enrekang 27 776 18 776 14 716
Luwu 130 111 81 010 58 427
Tator 85 175 54 526 42 242
Polmas 99 719 63 260 47 475
Majene 9 974 6 897 6 470
Mamuju 47 649 31 651 26 681
Luwu Utara 145 537 91 261 66 315
Makassar 6 219 3 941 2 972
Parepare 3 229 2 133 1 696
Jumlah 3 014 958 1 992573 1 551 087

Daya dukung jerami jagung dapat menampung sejumlah 562 684 ST, dan
kabupaten Bone dan Jeneponto memiliki daya dukung tinggi yaitu sebesar 143
311 ST dan 103 942 ST atau 25.47% dan 18.47% dari total daya dukung jerami
jagung di Sulawesi Selatan. Jerami kacang tanah, jerami kacang hijau, dan pucuk
ubi kayu memiliki daya dukung sebagai sumber pakan sebesar 3.12%, 2.63% dan
0.93% dari total daya dukung limbah tanaman pangan. Jerami kedelai dan jerami
ubi jalar adalah limbah yang memiliki daya dukung yang rendah sebesar 28 114
ST dan 12 429 ST.

Berdasarkan daya dukung bahan kering dari limbah tanaman pangan yang
dapat menampung sebanyak 3 014 958 ST dan dengan jumlah populasi ternak
ruminansia sebanyak 727 774 ST, maka potensi limbah tanaman pangan sebagai
sumber pakan jauh lebih tinggi dibandingkan populasi ternak ruminansia yang
ada. Dengan demikian limbah tanaman pangan memiliki potensi yang tinggi
sebagai sumber pakan ternak ruminansia.
Daya dukung limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan selain
berdasarkan bahan kering, dapat pula dilihat berdasarkan total digestible nutrient
(Lampiran 15) dan protein kasar (Lampiran 16). Dengan produksi total digestible
nutrient dan protein kasar sebanyak 3 128 339 ton dan 372 261 ton, dapat
diestimasi bahwa produksi tersebut dapat menampung bagi sejumlah populasi
ternak ruminansia masing-masing berdasarkan total digestible nutrient sebanyak
1 992 573 ST dan berdasarkan protein kasar sebanyak 1 551 087 ST. Kabupaten
Bone adalah wilayah dengan daya dukung tertinggi berdasarkan total digestible
nutrient (385 369 ST) dan protein kasar (312 937 ST), dan sebaliknya kota
Parepare dengan daya dukung rendah sebesar 2 133 ST dan 1 696 ST.

Untuk mengetahui rasio antara daya dukung limbah tanaman pangan


dengan jumlah populasi ternak ruminansia di masing-masing kabupaten dilakukan
perhitungan indeks daya dukung pakan limbah tanaman pangan. Indeks daya
dukung pakan adalah nisbah antara jumlah pakan limbah tanaman pangan yang
tersedia (ST) dengan jumlah populasi ternak ruminasia (ST) yang ada di suatu
wilayah, dengan kategori indeks daya dukung tinggi, sedang dan rendah
(Lampiran 17). Gambar 18 menunjukkan bahwa berdasarkan bahan kering
diketahui beberapa kabupaten dalam kategori daya dukung tinggi adalah Soppeng,
Wajo, Sidrap dan Luwu. Wilayah tersebut adalah kabupaten yang dapat
menyediakan sumber pakan limbah tanaman pangan dibandingkan dengan jumlah
populasi ternak ruminansia yang ada. Masih terbuka peluang untuk lebih
memanfaatkan limbah tanaman pangan secara optimal sebagai sumber pakan.
Gambar 18 Indeks daya dukung pakan limbah tanaman pangan
di Sulawesi Selatan.
Dilain pihak, kabupaten Mamuju dan Majene menunjukkan ketegori daya
dukung rendah yang berarti bahwa ketersediaan limbah tanaman pangan sebagai
sumber pakan tidak mencukupi kebutuhan sejumlah populasi ternak ruminansia di
wilayah tersebut. Rendahnya daya dukung di wilayah tersebut diakibatkan oleh
kedua wilayah ini lebih banyak ke pengembangan tanaman perkebunan dibanding
tanaman pangan. Sulawesi Selatan masih tergolong kategori sedang, dan
umumnya wilayah-wilayah kabupaten juga masih tergolong dalam kategori daya
dukung sedang sehingga ketersediaan limbah tanaman pangan sebagai sumber
pakan masih mampu mencukupi kebutuhan populasi ternak ruminansia.

Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia


Nilai kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia (KPPTR) di suatu
kabupaten dihitung sebagai selisih antara daya dukung pakan limbah tanaman
pangan dengan jumlah ternak ruminansia yang ada. Kapasitas peningkatan
populasi ternak ruminansia merupakan jumlah ternak ruminansia yang dapat
ditambahkan di suatu wilayah berdasarkan ketersediaan limbah tanaman pangan
sebagai sumber pakan. Jumlah kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia
setiap kabupaten di Sulawesi Selatan berdasarkan bahan kering, total digestible
nutrient dan protein kasar seperti terlihat pada Tabel 21.
Dengan jumlah daya dukung pakan limbah tanaman pangan (Tabel 20),
dihubungkan dengan populasi ternak ruminansia sebanyak 727 774 ST (Tabel 13),
maka di Sulawesi Selatan berdasarkan bahan kering masih memungkinkan untuk
penambahan populasi ternak ruminansia atau kapasitas peningkatan populasi
ternak ruminansia sebanyak 2 287 184 ST. Dilain pihak, berdasarkan total
digestible nutrient dan protein kasar, kapasitas peningkatan populasi ternak
ruminansia masing-masing sebesar 1 264 779 ST dan 823 313 ST.
Namun demikian, beberapa kabupaten menunjukkan nilai kapasitas
peningkatan populasi ternak ruminansia yang negatif atau daya dukung pakan
limbah tanaman pangan tidak mencukupi kebutuhan bagi ternak ruminansia di
wilayah tersebut. Kabupaten yang menunjukkan KPPTR yang negatif
berdasarkan bahan kering, total digestible nutrient dan protein kasar adalah
Majene, Mamuju, dan Enrekang, sedangkan kabupaten Selayar memiliki nilai
KPPTR yang negatif ditinjau dari total digestible nutrient dan protein kasar,
sementara Barru dan Parepare berdasarkan protein kasar. Wilayah kabupaten
dalam kondisi KPPTR yang negatif, diupayakan memanfaatkan sumber pakan lain
selain limbah tanaman pangan untuk mencukupi kebutuhan ternak ruminansia di
wilayah tersebut.

Tabel 21 Kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia di Sulawesi Selatan

Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia


Kabupaten/
Bahan Kering TDN Protein Kasar
Kota
ST % ST % ST %
Selayar 5 176 0.23 (486) (0.04) (2.337) (0.28)
Bulukumba 135 769 5.94 76 268 6.03 50 938 6.19
Bantaeng 102 887 4.50 68 468 5.41 48 012 5.83
Jeneponto 158 779 6.94 109 742 8.68 87 358 10.61
Takalar 58 271 2.55 32 608 2.58 20 480 2.49
Gowa 119 060 5.21 58 133 4.60 30 429 3.70
Sinjai 44 073 1.93 18 288 1.45 10 191 1.24
Maros 57 055 2.49 23 141 1.83 11 466 1.39
Pangkep 27 860 1.22 8 243 0.65 357 0.04
Barru 20 714 0.91 3 478 0.28 (1 150) (0.14)
Bone 487 322 21.31 301 163 23.81 228 731 27.78
Soppeng 104 157 4.55 63 257 5.00 44 345 5.39
Wajo 263 960 11.54 160 951 12.73 112 659 13.68
Sidrap 191 111 8.36 110 680 8.75 73 847 8.97
Pinrang 175 237 7.66 97 045 7.67 60 627 7.36
Enrekang (4 454) (0.19) (13 454) (1.06) (17 514) (2.13)
Luwu 116 966 5.11 67 865 5.37 45 281 5.50
Tator 55 608 2.43 24 958 1.97 12 674 1.54
Polmas 69 556 3.04 33 097 2.62 17 312 2.10
Majene (7 339) (0.32) (10 416) (0.82) (10 844) (1.32)
Mamuju (25 685) (1.12) (41 682) (3.30) (46 653) (5.67)
Luwu Utara 125 458 5.49 71 182 5.63 46 236 5.62
Makassar 4 292 0.19 2 014 0.16 1 045 0.13
Parepare 1 353 0.06 257 0.02 (180) (0.02)
Jumlah 2 287 184 1 264 799 823 313
Keterangan : ST (satuan ternak), TDN (Total Digestible Nutrient).
Angka dalam kurung menunjukkan nilai negatif.
Kecuali kabupaten-kabupaten yang telah disebutkan di atas, secara umum
kabupaten lainnya menujukkan nilai kapasitas peningkatan populasi ternak
ruminansia yang positif yang berarti bahwa ketersediaan limbah tanaman pangan
sebagai sumber pakan ternak ruminansia masih mencukupi dan dapat dilakukan
penambahan sejumlah populasi ternak ruminansia. Berdasarkan bahan kering,
total digestible nutrient dan protein kasar, kapasitas peningkatan populasi ternak
ruminasia tertinggi di kabupaten Bone berturut-turut adalah 21.31%, 23.81% dan
27.78% atau di wilayah ini dapat dilakukan penambahan populasi ternak
ruminansia sebanyak 487 322 ST, 301 163 ST dan 228 731 ST. Berikutnya
berdasarkan bahan kering adalah kabupaten Wajo, (11.54%), Sidrap (8.36%),
Pinrang (7.66%), dan Jeneponto (6.94%), Dilain pihak, kabupaten lainnya dapat
ditingkatkan populasi ternaknya kurang dari 6% dari populasi yang ada.
Melihat potensi dan daya dukung limbah tanaman pangan sebagai pakan
nampaknya dapat memenuhi kebutuhan dalam penyediaan pakan untuk ternak
ruminansia. Namun disisi lain, penggunaan limbah tanaman pangan sebagai pakan
memiliki berbagai kendala yang disebabkan oleh nilai nutrisinya yang amat
beragam tergantung dari spesies, waktu panen serta adanya perlakuan pasca panen
(Soetanto 2001). Dengan nilai nutrisi yang rendah seperti kandungan protein
yang rendah dan serat kasar yang tinggi menyebabkan limbah pertanian terbatas
untuk digunakan sebagai pakan, disamping juga adanya antinutrisi dan racun yang
mungkin terkandung dalam limbah tersebut (Sofyan 1998).
Upaya untuk meningkatkan nilai gizi limbah pertanian dengan
menggunakan teknologi pakan telah diterapkan di masyarakat seperti perlakuan
fisik, kimiawi serta biologis. Ditingkat peternak penerapan teknologi peningkatan
kualitas limbah pertanian memiliki hambatan dengan berbagai alasan seperti
jumlah limbah yang dapat dikumpulkan oleh peternak relatif sedikit karena
kurangnya fasilitas untuk penyimpanan dan terjadinya penambahan beban biaya
dan tenaga kerja bagi peternak dengan melakukan teknologi tersebut (Djajanegara
1999). Untuk itu dibutuhkan teknologi pakan yang sederhana, murah dan mudah
diadopsi oleh peternak.
Pemanfaatan Limbah Tanaman Pangan
sebagai Pakan Ternak Ruminansia

Keadaan Umum Peternak


Berdasarkan survei terhadap 396 responden (Lampiran 18) di empat
kabupaten lokasi penelitian meliputi kabupaten Bantaeng (95 peternak), Wajo (96
peternak), Polmas (100 peternak), dan Barru (105 peternak) dapat diketahui
keadaan umum peternak responden yaitu umur peternak, tingkat pendidikan,
pekerjaan utama, dan pengalaman beternak, seperti disajikan pada Tabel 22.

Tabel 22 Keadaan umum peternak responden

Jumlah
Uraian Responden
%
(orang)
Tingkatan umur (tahun)
<20 0 0.00
21-30 17 4.29
31-40 113 28.54
41-50 183 46.21
>50 83 20.96
Tingkat pendidikan
Tidak tamat SD 88 22.22
Tamat SD 131 33.08
Tamat SLTP 110 27.78
Tamat SLTA 61 15.40
Tamat Perguruan tinggi 6 1.52

Pekerjaan utama
Petani 335 84.60
Pegawai 14 3.54
Pensiunan 7 1.77
Pedagang 31 7.83
Ibu rumah tangga 9 2.27

Pengalaman beternak (tahun)


<10 85 21.46
10-20 228 57.58
21-30 68 17.17
>30 15 3.79
Ditinjau dari karakteristik umur, peternak berada pada kisaran umur 21-65
tahun dengan rata-rata berumur 44.6 tahun. Tabel 22 menunjukkan bahwa
berdasarkan kelompok tingkatan umur peternak, sebanyak 46.21% atau 183
responden berumur antara 41-50 tahun, 28.54% berumur 31-40 tahun, 4.29%
berumur 4.29%, serta sebanyak 20.96% berumur diatas 50 tahun dan tidak ada
peternak yang berumur dibawah 20 tahun. Bila dikaji dari karakteristik umur di
atas, sebagian besar peternak dalam kategori usia yang produktif. Faktor umur
biasanya lebih diidentikkan dengan produktivitas kerja, dan jika seseorang masih
tergolong usia produktif ada kecenderungan produktivitasnya juga tinggi. Chamdi
(2003) mengemukakan, semakin muda usia peternak (usia produktif 20-45 tahun)
umumnya rasa keingintahuan terhadap sesuatu semakin tinggi dan minat untuk
mengadopsi terhadap introduksi teknologi semakin tinggi.
Sementara itu, ditinjau dari tingkat pendidikan formal terdapat variasi dari
yang terendah tidak tamat sekolah dasar dan tertinggi tamat perguruan tinggi.
Tingkat pendidikan peternak didominasi oleh tidak tamat dan tamat sekolah dasar
(55.30%), selebihnya tamat sekolah lanjutan pertama dan atas masing-masing
27.78% dan 15.40%, dan hanya 1.52% yang menyelesaikan pendidikan di
perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang ditempuh
peternak relatif masih rendah, sehingga dapat menyebabkan adopsi teknologi
peternakan yang dapat diserap oleh peternak tidak maksimal. Syafaat et al. (1995)
menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan peternak maka akan
semakin tinggi kualitas sumberdaya manusia, yang pada gilirannya akan semakin
tinggi pula produktivitas kerja yang dilakukannya. Oleh karena itu, dengan
semakin tingginya pendidikan peternak maka diharapkan kinerja usaha peternakan
akan semakin berkembang.
Hal yang cukup menarik untuk dikemukakan adalah masih tingginya
jumlah peternak yang tidak menyelesaikan pendidikan formal sekolah dasar yaitu
22.22% atau 88 responden. Dilain pihak, hanya 1.52% peternak yang
menyelesaikan pendidikan tinggi. Dengan tingkat pendidikan yang demikian
dapat diasumsikan bahwa kemampuan peternak untuk mengetahui dan
mengadopsi suatu keterampilan dalam rangka pengembangan usaha ternak akan
mengalami kendala dan kesulitan. Chamdi (2003) menyatakan bahwa dengan
tingkat pendidikan akan menambah pengetahuan dan keterampilan sehingga akan
meningkatkan produktivitas kerja dan akan menentukan keberhasilan usaha
ternak.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemeliharaan ternak masih menjadi usaha
sambilan bagi para peternak. Hal ini terbukti berdasarkan hasil survei
menunjukkan bahwa sebagian besar peternak mempunyai status pekerjaan tetap
sebagai petani (84.60%) yaitu sebanyak 335 responden, sedangkan selebihnya
berstatus non petani jumlahnya sebanyak 15.40% dengan status pekerjaan utama
sebagai pegawai, pensiunan, pedagang, dan ibu rumah tangga. Namun demikian,
berdasarkan hasil penelitian Munier (2003) menunjukkan, umumnya usaha utama
peternak adalah sebagai petani dengan bertanam padi, palawija, sayuran dan
lainnya, tetapi kenyataannya ditingkat peternak bahwa hasil penjualan ternak
cukup memberikan kontribusi terhadap pendapatan keluarganya terutama untuk
menyekolahkan anak. Soedjana (1993) menyatakan, umumnya penduduk
pedesaan mencurahkan perhatiannya pada usaha pokoknya yaitu sebagai petani
sehingga pemeliharaan ternaknya kurang diperhatikan. Hal ini disebabkan karena
sebagian usaha peternakan dilakukan sebagai usaha sambilan sehingga perhatian
peternak terhadap usaha peternakannya kurang baik. Dilain pihak, Priyanti et al.
(1989) menyatakan bahwa meskipun usaha ternak sebagai usaha penunjang tetapi
kenyataannya memberikan sumbangan yang besar bagi pendapatan peternak.
Hasil penjualan produk-produk pertanian hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari dan sebagian untuk kebutuhan konsumsi.
Berdasarkan tingkat pengalaman peternak, hasil penelitian menunjukkan
bahwa sebagian besar peternak memiliki pengalaman beternak 10-20 tahun
(57.58%) dari total responden, dengan rata-rata pengalaman beternak sekitar 14.5
tahun. Selain itu, sebanyak 21.46% yang berpengalaman dalam beternak kurang
dari 10 tahun, 17.17% berpengalaman beternak 21-30 tahun, dan yang
berpengalaman diatas 30 tahun hanya 3.79%. Umumnya pengalaman beternak
diperoleh dari orang tuanya secara turun-temurun. Dengan pengalaman beternak
yang cukup lama memberikan indikasi bahwa pengetahuan dan keterampilan
peternak terhadap manajemen pemeliharaan ternak mempunyai kemampuan yang
lebih baik.
Pemeliharaan Ternak dan Pemberian Pakan

Hasil penelitian mengenai pemeliharaan ternak (Tabel 23) menunjukkan


bahwa pemeliharaan ternak yang dilakukan oleh peternak sebagian besar
(71.21%) dengan cara tradisional. Cara pemeliharaan tradisional adalah ternak
dilepas sepanjang hari, dan dilepas siang hari kemudian diikat pada malam hari,
masing-masing proporsi peternak yang melakukan cara pemeliharaan demikian
masing-masing 38.63% dan 32.58%. Menurut Davendra dan Burns (1994), bahwa
sistem pemeliharaan ternak di pedesaan pada umumnya secara tradisional dan
belum menggunakan teknologi dalam manajemen pemeliharaannya.
Tingginya jumlah peternak melepas ternaknya sepanjang hari (38.63%)
dilakukan dengan beberapa alasan, seperti lahan masih tersedia untuk tempat
melepas ternak dan hijauan masih tersedia terutama dimusim penghujan, dan
keamanan ternak lebih terjamin jika dilepas (berpencar), termasuk di malam hari
daripada jika dikandangkan. Alasannya, jika pada malam hari ternak
dikandangkan pencurian ternak lebih mudah dan memungkinkan pencurian dalam
jumlah yang lebih banyak. Berbeda jika dilepas begitu saja, pencurian akan sulit
dilakukan karena membutuhkan waktu untuk mengumpulkan ternak. Sembiring et
al. (2002) memberikan solusi untuk mengatasi pencurian ternak adalah peternak
mengupayakan adanya kandang kelompok (kolektif), yaitu sistem pemeliharaan
dengan membuatkan kandang secara berkelompok dalam suatu areal. Dalam
penerapan sistem kandang kelompok, peternak tidak hanya memperoleh rasa
aman dalam beternak tetapi manajemen pemeliharaan ternak akan lebih mudah.
Jumlah peternak yang mengandangkan ternak jumlahnya lebih rendah
yaitu 28.79% (114 peternak), dengan cara dikandangkan pada malam hari saja
(semi intensif) sebanyak 66 peternak, dan ternak dikandangkan sepanjang hari
(intensif) sebanyak 48 peternak atau 12.12% dari seluruh responden. Namun ada
persepsi yang berbeda dengan peternak yang melepas ternaknya sepanjang hari.
Bagi peternak yang mengandangkan ternak sepanjang hari, dilakukan dengan
alasan bahwa dengan dikandangkan sepanjang hari akan mempermudah dalam
pemberian pakan dan perawatan ternak, sedangkan bagi peternak yang
mengkandangkan ternaknya hanya pada malam hari saja beralasan bahwa ternak
lebih aman dari pencurian karena akan lebih mudah dalam pengawasannya.
Pandangan peternak dalam melihat dan mengantisipasi resiko pencurian ternak
berbeda-beda, namun masing-masing peternak memiliki keyakinan dengan cara
pemeliharaan yang dilakukan.

Tabel 23 Cara pemeliharaan ternak dan pemberian pakan

Jumlah
Uraian Responden
%
(orang)
Cara pemeliharaan ternak
Dilepas sepanjang hari 153 38.63
Dilepas siang hari dan diikat malam hari 129 32.58
Dikandangkan sepanjang hari 48 12.12
Dikandangkan pada malam hari saja 66 16.67

Sistem pemberian pakan


Merumput di sawah, kebun, pekarangan 150 37.88
Merumput di padang penggembalaan 32 8.08
Merumput di sawah, kebun, pekarangan, diberi
rumput potongan 214 54.04

Jenis hijauan pakan yang diberikan


Hanya rumput 191 48.23
Rumput dan daun-daunan 55 13.89
Rumput dan limbah tanaman pangan 113 28.54
Rumput, daun-daunan, limbah tanaman pangan 37 9.34

Jenis pakan tambahan yang diberikan


Dedak 184 46.46
Garam 71 17.93
Dedak dan garam 69 17.42
Tidak menggunakan pakan tambahan 72 18.18

Ketersediaan hijauan pakan


Selalu tersedia 151 38.13
Fluktuasi atau musiman 245 61.87

Cara pemeliharaan ternak yang telah disebutkan di atas, sangat terkait


dengan sistem pemberian pakan. Sebagian besar peternak yaitu 91.92% atau 364
responden melepas ternak untuk memperoleh pakan di sawah, kebun dan
pekarangan. Peternak yang memberikan pakan bagi ternaknya dengan mengarit
rumput atau memberi rumput potongan adalah peternak yang melakukan
pengandangan ternak sebanyak 114 responden (28.79%). Hal di atas menunjukkan
bahwa lahan garapan yaitu sawah dan kebun menjadi basis ekologis bagi ternak
sebagai penyedia hijauan dan tempat pemeliharaan ternak, sementara lahan
padang penggembalaan terdapat indikasi berkurang ditunjukkan dengan
rendahnya peternak yang melepas ternaknya di pandang penggembalaan yaitu
hanya 8.08%. Terdapat kecenderungan ketersediaan hijauan pakan di padang
penggembaalan sangat terbatas dan keberadaannya di pedesaan jauh dari
pemukiman penduduk (Setiadi et al. 1995). Kristanto (1982) menyatakan bahwa
masalah utama pengembangan ternak khususnya sapi potong di Sulawesi Selatan
adalah semakin menyempitnya padang penggembalaan alam, sehingga sumber
hijauan umumnya diperoleh dari pinggir jalan, pinggir sungai, pematang sawah,
dan tanah kosong yang tidak digunakan untuk tanaman pangan.
Pola pemberian pakan oleh peternak memperlihatkan cukup bervariasi dan
Tabel 23 menunjukkan bahwa seluruh peternak memberikan hijauan pakan berupa
rumput. Dalam pemberian hijauan pakan, peternak yang memberikan hijauan
berupa rumput saja jumlahnya lebih tinggi yaitu 48.23%, dibandingkan dengan
peternak yang memberikan rumput dan limbah tanaman pangan (28.54%), rumput
dan daun-daunan (13.89%), hanya 9.34% responden yang memberikan rumput,
daun-daunan dan limbah tanaman pangan.
Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi ternak, peternak melakukan
upaya dengan memberikan pakan tambahan berupa dedak dan garam.
Penggunaan dedak paling banyak digunakan peternak sebagai pakan tambahan
yaitu 63.89% (253 responden), dimana dedak digunakan sebagai pakan tambahan
lebih banyak diberikan dengan mencampur dengan hijauan pakan seperti rumput.
Jumlah peternak yang menggunakan garam sebagai pakan tambahan sebanyak
140 responden, dan yang memberikan keduanya (dedak dan garam) hanya
17.42%. Dilain pihak, jumlah peternak yang tidak memberikan pakan tambahan
sebanyak 72 responden (18.18%), dengan alasan menambah biaya karena harga
dedak mahal dan ketersediaannya fluktuatif.
Ketersediaan hijauan pakan menurut peternak adalah tidak tetap atau
fluktuatif. Sebanyak 61.87% responden menyatakan ketersediaan pakan bersifat
musiman dan 28.38% responden menyatakan pakan tersedia sepanjang tahun.
Ketersediaan pakan sangat dipengaruhi oleh musim, dimana saat musim
penghujan atau panen komoditi tanaman pangan jumlahnya melimpah, sementara
saat musim kemarau/peceklik ketersediaannya berkurang.

Penggunaan Limbah Tanaman Pangan sebagai Pakan


Penggunaan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia di
tingkat peternak masih rendah. Hal ini terlihat masih banyaknya peternak yang
tidak menggunakan limbah tanaman pangan sebagai pakan yaitu 62.12% dari total
396 responden, dan sebanyak 37.88% responden menggunakan limbah tanaman
pangan sebagai pakan (Gambar 19).

350
300
62,12%
250
200
37,88%
150
246
100
150
50
0
Menggunakan Tidak Menggunakan

Gambar 19 Jumlah peternak yang menggunakan limbah tanaman pangan


sebagai pakan.

Beberapa faktor yang menyebabkan limbah tanaman pangan tidak


digunakan sebagai pakan oleh peternak seperti dikemukakan berikut ini.
a. Umumnya petani membakar limbah tanaman pangan terutama jerami padi
karena secepatnya akan dilakukan pengolahan tanah untuk penanaman
kembali khususnya pada lahan sawah beririgasi (intensif) dengan pola tanam
lebih dari sekali dalam setahun.
b. Limbah tanaman pangan bersifat kamba sehingga menyulitkan peternak untuk
mengangkut dalam jumlah banyak untuk diberikan kepada ternak, dan
umumnya lahan pertanian jauh dari pemukiman peternak sehingga
membutuhkan biaya dalam pengangkutan
c. Tidak tersedianya tempat penyimpanan limbah tanaman pangan, dan peternak
tidak bersedia menyimpan/menumpuk limbah di sekitar rumah/kolong rumah
karena takut akan bahaya kebakaran.
d. Peternak menganggap bahwa ketersediaan hijauan di lahan pekarangan,
kebun, sawah masih mencukupi sebagai pakan ternak.
Dilain pihak, dari sejumlah peternak yang menggunakan limbah tanaman
pangan sebagai pakan yaitu sebanyak 150 responden (37.88%), hanya 39
responden atau 9.85% dari seluruh responden yang menggunakannya setiap saat
dalam jumlah terbatas, selebihnya sebagian besar digunakan tidak setiap saat.
Beberapa hal berikut yang dapat dikemukakan berdasarkan hasil wawancara,
sehubungan dengan penggunaan limbah tanaman pangan sebagai pakan oleh
peternak.
a. Limbah tanaman pangan digunakan sebagai pakan saat panen dimana
ketersediaanya melimpah dan umumnya diberikan dalam bentuk segar.
b. Limbah tanaman pangan dapat digunakan sebagai stok pakan yang disimpan
dalam jumlah terbatas dalam karung atau diikat. Penggunaan sebagai pakan
dilakukan saat musim kemarau dimana terjadi kesulitan atau kekurangan
hijauan, atau saat aktivitas pengolahan tanah dan penanaman di lahan
pertanian (sawah) dimana ternak tidak dapat dilepas.
c. Penggunaan limbah sebagai pakan umumnya dilakukan oleh peternak yang
memiliki lahan dan mengusahakan (menanam) komoditi tanaman pangan.
Gambar 20 memperlihatkan bahwa dari sejumlah peternak yang
menggunakan limbah sebagai pakan, sebagian besar menggunakan jerami padi
dan jerami jagung sebagai pakan masing-masing sebanyak 124 dan 100 responden
atau 31.31% dan 25.25% dari seluruh responden. Tingginya jumlah peternak yang
menggunakan jerami padi dan jerami jagung sebagai pakan dibandingkan dengan
limbah yang lain disebabkan karena jumlah produksi dan luas areal penanaman
komoditi tersebut lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan komoditi yang
lain.
Disamping menggunakan jerami padi dan jagung, limbah yang lain juga
digunakan sebagai pakan. Jumlah responden yang menggunakan limbah jerami
kedelai, jerami kacang tanah, dan jerami kacang hijau masing-masing 15.91%,
12.12%, dan 4.55% dari total responden. Untuk jerami ubi jalar dan pucuk ubi
kayu, responden yang menggunakan sedikit jumlahnya hanya 3.03% dan 2.53%.
Rendahnya jumlah peternak yang menggunakan jerami ubi jalar dan pucuk ubi
kayu berhubungan dengan rendahnya jumlah areal penanaman komoditi tersebut
sehingga ketersediaan limbahnya kurang.

180
160 (31,31%)

140
(25,25%)
120
100
(15,91%)
80
124 (12,12%)
60
100
40
63 (4,55%)
20 48 (3,03%) (2,53%)
18 12 10
0
Jerami Padi Jerami Jerami Jerami Jerami Jerami Ubi Pucuk Ubi
Jagung Kedelai Kacang Kacang Jalar Kayu
Tanah Hijau
Keterangan : persentase terhadap jumlah seluruh responden
jumlah responden y ang menggunakan limbah

Gambar 20 Jumlah peternak yang menggunakan limbah tanaman pangan


sebagai pakan berdasarkan jenis limbah.

Dari paparan di atas, dapat dikemukan bahwa salah satu penyebab


peternak tidak menggunaan limbah sebagai pakan dengan optimal karena produksi
limbah yang hanya melimpah saat panen, sehingga tidak tersedia setiap saat.
Zulbardi et al. ( (2001) menyatakan, masalah utama yang ditemui pada usaha
peternakan khususnya ternak ruminansia adalah tidak tersedianya pakan yang
kontinyu dengan kualitas yang baik. Upaya yang dilakukan adalah melakukan
penyimpanan, pengawetan dan peningkatan kualitas nilai nutrisi melalui sentuhan
teknologi pakan. Aryogi et al. (2001) menyatakan, teknologi pakan untuk ternak
ruminansia mencakup dua hal, yaitu a) teknologi pengolahan bahan pakan untuk
meningkatkan kualitas zat-zat nutrisinya, dan b) teknologi penyiapan bahan pakan
untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan zat-zat nutrisinya.
Berhubungan dengan teknologi pakan, Gambar 21 menunjukan bahwa 217
responden atau 54.80% mengetahui tentang teknologi pakan, dan selebihnya tidak
mengetahui teknologi pakan. Para peternak mengetahui teknologi pakan melalui
berbagai sumber seperti penyuluhan, bimbingan, demonstrasi yang dilakukan
aparat dinas peternakan atau instansi lainnya, serta media cetak dan elektronik.

300 54,80%

250 45,20%

200

150

100 217
179

50

0
Mengetahui Tidak Mengetahui

Gambar 21 Jumlah peternak yang mengetahui teknologi pakan.

Dari sejumlah peternak yang mengetahui teknologi pakan (217


responden), terlihat pada Gambar 22 bahwa beberapa jenis teknologi pakan yang
diketahui seperti amoniasi/fermentasi lainnya seperti penggunaan mikroba, silase,
dan hay (pengeringan). Teknologi amoniasi/fermentasi lainnya adalah jenis
teknologi pakan yang lebih banyak peternak mengetahuinya sebanyak 131
responden. Jika dikelompokkan dalam beberapa kategori maka kategori peternak
yang mengetahui hanya satu jenis teknologi yaitu amoniasi, hay dan silase saja
menunjukkan persentase masing-masing 20.71%, 18.18% dan 18.18% dari total
responden.
Sementara kategori yang lain adalah mengetahui dua jenis teknologi,
dengan jumlah peternak dalam kategori ini yaitu amoniasi+silase 0.76%,
amoniasi+hay 5.30% dan silase+hay 1.01%, serta yang mengetahui ketiga jenis
teknologi tersebut 6.31%. Hal ini memberikan gambaran bahwa tingkat
pengetahuan peternak terhadap teknologi pakan cukup tinggi. Tingkat
pengetahuan terkait dengan seberapa jauh peternak mampu memahami secara
teroritis teknologi pakan dan memiliki keterampilan dalam menerapkan teknologi
pakan tersebut.

Amonisasi dan
Fermentasi lainnya
Silase
82 (20,71%)
10 (2,53%)

Hay (pengeringan)
Amoniasi,Silase, 72 (18,18%)
Hay Amoniasi,Silase
25 (6,31%) 3 (0,76%)
Amoniasi,Hay Silase,Hay
21(5,30%) 4 (1,01%)

Keterangan : persentase terhadap jumlah seluruh responden


jumlah responden yang mengetahui

Gambar 22 Jenis teknologi pakan yang diketahui peternak.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa walaupun jumlah peternak yang


mengetahui teknologi pakan cukup tinggi jumlahnya (54.80%), namun tingkat
penerapan teknologi pakan sangat rendah. Dari jumlah 217 responden yang
mengetahui teknologi pakan, hanya 46 responden (21.19%) yang menerapkan dan
melakukan teknologi tersebut atau 11.62% dari seluruh peternak (Gambar 23).
Kurangnya jumlah peternak yang melakukan teknologi pakan atau tingkat
penerapan rendah, disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut.
a) Teknologi pakan dianggap tidak efektif untuk dilaksanakan karena
membutuhkan curahan waktu (menghabiskan waktu), seperti dalam
mengumpulkan dan mengangkut limbah, serta dalam proses pembuatannya.
Sementara waktu lebih banyak tercurah pada usaha tani tanaman pangan. Hal
ini disebabkan karena usaha ternak masih dianggap sebagai usaha sambilan
sehingga perhatian dan curahan waktu kurang.
b) Teknologi pakan dalam penerapannya membutuhkan bahan dan alat, seperti
dalam amoniasi dan silase membutuhkan silo/tempat untuk penyimpanan, atau
bahan lain seperti penambahan urea sehingga memberi konsekuensi adanya
penambahan biaya. Sementara kebutuhan yang lain masih membutuhkan biaya
terutama kebutuhan sehari-hari rumah tangga.
c) Peternak kurang memahami bahwa teknologi pakan dapat meningkatkan
kualitas limbah sebagai pakan sehingga dapat meningkatkan produktivitas
ternak. Tanpa melakukan tenologi pakan pun, limbah masih dapat dikonsumsi
oleh ternak.

Menerapkan/
Melakukan
46 (11,62%)

Tidak Menerapkan/
Melakukan
171(43,18%)

Gambar 23 Jumlah peternak yang menerapkan teknologi pakan.

Dalam melihat keberadaan teknologi pakan, nampaknya peternak


memandang secara holistik dengan meninjau dari berbagai aspek, bukan hanya
secara teknis teknologi namun lebih jauh kepada aspek non teknis dari teknologi
tersebut terutama adanya pertimbangan dalam hal waktu yang dibutuhkan untuk
menerapkan teknologi itu disamping adanya biaya yang harus dikeluarkan dalam
melakukan teknologi pakan tersebut.
Pandangan tersebut di atas terjadi karena peternak belum mengetahui
dengan baik manfaat yang diperoleh dari teknologi pakan, seperti meningkatnya
kualitas nutrisi limbah sebagai pakan serta limbah yang telah diberi sentuhan
teknologi seperti amoniasi atau fermentasi lainnya, dapat disimpan dalam kurun
waktu yang cukup lama sebagai stok pakan saat kondisi pakan kesulitan/kurang
terutama di musim kemarau.
Strategi Pemanfaatan Limbah Tanaman Pangan
sebagai Pakan Ternak Ruminansia

Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal


Analisis lingkungan internal dan eksternal merupakan analisis terhadap
keadaan internal dan keadaan eksternal yang berpengaruh terhadap upaya
pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia di
Sulawesi Selatan. Faktor-faktor kritis dari analisis internal dan eksternal dapat
diidentifikasi dan dirumuskan yang berasal dari hasil penelitian sebelumnya
(penelitian tahap 1, 2 dan 3), wawancara dan kuisioner yang diisi oleh pakar, serta
studi pustaka. Identifikasi faktor internal meliputi faktor kekuatan (strengths) dan
kelemahan (weaknesses), dan faktor eksternal meliputi faktor peluang
(opportunities) dan ancaman (threats), seperti dipaparkan berikut ini.
Kekuatan (Strengths). Faktor-faktor internal yang diidentifikasi sebagai
kekuatan yang dimiliki dalam pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan
ruminansia di Sulawesi Selatan adalah sebagai berikut.
1. Sumberdaya pakan limbah tanaman pangan memiliki produksi yang cukup
besar. Jumlah produksi limbah tanaman pangan yang dapat dimanfaatkan
sebagai sumber pakan ternak ruminansia berdasarkan produksi bahan kering,
total digestible nutrient dan protein kasar masing-masing adalah 6 874 105 ton
BK, 3 128 339 ton TDN dan 372 261 ton PK. Berdasarkan produksi bahan
kering limbah tanaman pangan mampu menyediakan pakan sebanyak 3 014
958 ST, dan jumlah produksi tersebut masih jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan jumlah populasi ternak ruminansia (727 774 ST).
2. Produksi limbah tanaman pangan khususnya jerami padi dan jerami jagung
tersebar disebagian besar wilayah kabupaten di Sulawesi Selatan. Dengan
demikian, ketersediaan limbah jerami padi dan jerami jagung memiliki
potensi yang cukup besar sebagai sumber pakan ternak ruminansia. Hal ini
disebabkan oleh tanaman padi dan jagung memiliki luas areal panen yang
cukup tinggi dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya. Jumlah areal
panen padi dan jagung adalah 847 306 ha dan 213 820 ha (BPS Sul Sel 2004),
dan menghasilkan limbah berupa jerami masing-masing 5 702 369 ton BK dan
1 458 252 ton BK.
3. Penggunaan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia belum
optimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 62.12% peternak
tidak menggunakan limbah tanaman pangan sebagai pakan. Rendahnya
penggunaan limbah tanaman pangan sebagai pakan disebabkan limbah dibakar
setelah panen, sulitnya mengangkut limbah dari lokasi panen, serta tidak
tersedianya tempat penyimpanan.
4. Teknologi pakan limbah tanaman pangan tersedia dan diketahui oleh peternak.
Sebanyak 54.80% peternak mengetahui tentang teknologi pakan, dan
selebihnya tidak mengetahui teknologi pakan. Berbagai jenis teknologi
pengolahan pakan yang dapat diterapkan dan telah diketahui oleh peternak
seperti amoniasi, silase, hay, dan fermentasi.
5. Limbah tanaman pangan tidak dimanfaatkan untuk kebutuhan lain selain
sebagai pakan. Kondisi ini menguntungkan bagi pengembangan ternak
ruminansia dimana ketersediaan limbah tanaman pangan memilki potensi
yang cukup besar untuk dikembangkan dan semaksimal mungkin dapat
dimanfaatkan sebagai pakan.
Kelemahan (Weaknesses). Faktor-faktor internal yang diidentifikasi
sebagai kelemahan yang dimiliki dalam pemanfaatan limbah tanaman pangan
sebagai pakan ruminansia di Sulawesi Selatan adalah sebagai berikut.
1. Kebiasaan petani peternak membakar limbah tanaman pangan. Para petani
setelah panen memiliki kebiasaan membakar limbah tanaman pangan
khususnya jerami padi yang terjadi terutama pada pertanian pola intensif.
Dengan pola pertanian intensif, petani secepatnya melakukan pengolahan
tanah untuk penanaman kembali dengan pola tanam lebih dari sekali dalam
setahun.
2. Kualitas nutrisi limbah tanaman pangan rendah. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa secara umum kualitas nutrisi limbah tanaman pangan dengan
karakteristik kandungan serat kasar yang tinggi dan protein kasar yang rendah.
3. Sarana dan prasarana pengangkutan dan tempat penyimpanan limbah tanaman
pangan tidak tersedia. Diketahui bahwa dengan karekteristik limbah tanaman
pangan bersifat kamba, terdapat kesulitkan dalam mengangkut limbah dalam
jumlah banyak. Jika limbah tanaman pangan dapat diangkut, peternak tidak
memiliki tempat penyimpanan/gudang sehingga jumlah limbah yang dapat
diangkut lebih sedikit.
4. Tingkat penerapan teknologi pengolahan pakan limbah tanaman pangan
rendah. Rendahnya tingkat penerapan teknologi pakan bukan disebabkan oleh
tidak diketahuinya teknologi pakan tersebut. Namun beberapa hal yang
menjadi penyebab kurang diterapkannya teknologi pakan antara lain teknologi
pakan dianggap kurang efektif, membutuhkan tambahan biaya, dan kurangnya
pemahaman bahwa dengan sentuhan teknologi kualitas limbah akan lebih baik
yang pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas ternak jika digunakan
sebagai pakan.
5. Produksi limbah tanaman pangan bersifat musiman. Produksi limbah tanaman
pangan sangat terkait dengan musim dan pola tanam tanaman pangan di suatu
wilayah. Kondisi ini menyebabkan produksi limbah bersifat musiman, dimana
hanya pada saat panen produksi dan ketersediaan limbah melimpah.
Peluang (Opportunities). Faktor-faktor eksternal yang diidentifikasi
sebagai peluang yang dimiliki dalam pemanfaatan limbah tanaman pangan
sebagai pakan ruminansia di Sulawesi Selatan adalah sebagai berikut.
1. Jumlah populasi ternak ruminansia cukup tinggi. Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan jumlah populasi ternak ruminansia di Sulawesi Selatan adalah
727 774 ST, dan sapi potong adalah jenis ternak ruminansia yang populasinya
terbesar mencapai 77.62%. Disamping itu, sapi potong terdapat di seluruh
wilayah kabupaten di Sulawesi Selatan.
2. Dukungan kebijakan pembangunan peternakan Sulawesi Selatan. Visi
pembangunan peternakan Sulawesi Selatan adalah terwujudnya masyarakat
sehat, produktif dan kreatif melalui pembangunan peternakan tangguh berbasis
sumberdaya lokal (Dinas Peternakan Sulawesi Selatan 2001b). Dengan
demikian, dalam pembangunan peternakan diharapkan lebih mengutamakan
pemanfaatan sumberdaya lokal yang dimiliki tanpa bergantung pada
sumberdaya dari luar. Limbah tanaman pangan merupakan salah satu
sumberdaya pakan lokal yang dapat dikembangkan sebagai sumber pakan
ternak ruminansia.
3. Ternak ruminansia umumnya dipelihara oleh peternak. Ternak ruminansia
khususnya sapi potong secara umum dipelihara oleh peternak dengan skala
usaha dan tingkat kepemilikan ternak yang rendah dengan status milik sendiri
dan gaduhan. Unsur utama yang membedakan status kepemilikan tersebut
yaitu dengan milik sendiri, ternak yang dipelihara milik peternak dan cara
pemeliharaan ditentukan sepenuhnya oleh peternak. Ternak gaduhan adalah
ternak milik pihak lain yang pemeliharaannya dipercayakan kepada peternak
dengan sistem bagi hasil dengan segala keputusan penggunaan input produksi
menjadi tanggung jawab peternak.
4. Pola pemeliharaan ternak masih tradisional. Pola pemeliharaan ternak masih
berbasis pada pola usaha peternakan rakyat dengan sistem pemeliharaan
tradisional, yaitu masih bertumpu pada pola pemeliharaan dengan ternak
dilepas, atau lepas kandang sehingga kualitas pakan yang diperoleh ternak
tidak memungkinkan tercapainya pertambahan bobot badan maksimal.
5. Pertanian tanaman pangan semakin intensif. Dengan semakin meningkatnya
intensifikasi tanaman pangan berimplikasi pada meningkatnya jumlah
produksi limbah tanaman pangan. Sebagai illustrasi, luas areal panen padi di
Sulawesi Selatan tahun 2001 seluas 801 113 ha, dan mengalami peningkatan
pada tahun 2003 seluas 847 305 ha (BPS Sul Sel 2004).
Ancaman (Threats). Faktor-faktor eksternal yang diidentifikasi sebagai
ancaman yang dimiliki dalam pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan
ruminansia di Sulawesi Selatan adalah sebagai berikut.
1. Populasi ternak ruminansia cenderung menurun. Dalam kurun waktu lima
tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan untuk sapi potong, kerbau dan
domba mengalami penurunan pertahun sebesar 0.24%, 4.22%, dan 9.56.%,
sementara jumlah populasi kambing mengalami peningkatan sebesar 4.66%
pertahun. Penurunan populasi diakibatkan oleh meningkatnya jumlah
pemotongan ternak. Tingkat pemotongan ternak sapi potong dan domba dalam
kurun waktu yang sama masing-masing 4.15% dan 5.47% pertahun, serta
jumlah pemotongan kambing jauh lebih tinggi dibanding peningkatan
populasinya dengan peningkatan jumlah pemotongan sebesar 30.23%
pertahun. Fakultas Peternakan UNHAS (2001) melaporkan bahwa selain
populasi ternak ruminansia yang cenderung menurun, nampaknya
produktivitas ternak khususnya sapi dan kerbau juga cenderung menurun.
Penurunan produkstivitas antara lain berkaitan dengan inbreeding yang telah
lama berlangsung. Angka kelahiran ternak cenderung menurun karena
kekurangan pejantan untuk perkawinan alam, sementara tingkat keberhasilan
inseminasi buatan belum menggembirakan yaitu kurang dari 30%.
2. Impor ternak dan daging semakin meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan
daging pemerintah mengeluarkan kebijakan impor daging maupun sapi
bakalan. Kondisi ini menunjukkan adanya keterbatasan kemampuan pola
pengembangan ternak yang berbasis usaha peternakan rakyat dalam menjamin
ketersediaan daging untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
3. Usaha ternak ruminansia masih bersifat sambilan dan kurangnya permodalan.
Usaha peternakan masih dianggap sebagai usaha sambilan sehingga curahan
waktu peternak yang juga berprofesi sebagai petani tanaman pangan menjadi
berkurang. Disamping itu, untuk meningkatkan skala usaha dengan melakukan
penambahan jumlah kepemilikan ternak mengalami kendala dalam hal
permodalan untuk membeli ternak.
4. Terjadinya penyakit ternak dan pemotongan ternak betina produktif. Adanya
wabah penyakit, seperti anthrax dapat mengakibatkan populasi ternak menjadi
berkurang. Pemotongan hewan betina produktif masih menjadi permasalahan
yang belum terpecahkan dengan baik dalam pengembangan ternak ruminansia
khususnya sapi potong. Upaya yang dilakukan pemerintah Sulawesi Selatan
dengan kebijakan pembelian dan pengadaan ternak pengganti terhadap betina
produktif yang akan dipotong merupakan salah satu alternatif jalan keluar
yang dapat dilakukan. Namun demikian, belum adanya kebijakan yang efektif
disertai dengan sanksi yang ketat untuk mengatasi hal tersebut.
5. Keamanan berusaha ternak tidak terjamin. Terjadinya pencurian ternak
menyebabkan menurunnya animo masyarakat untuk memelihara ternak, dan
mendorong peternak untuk menjual ternaknya. Dampak lainnya adalah sistem
pemeliharaan ternak dengan melakukan perkandangan kurang berjalan dengan
baik, karena peternak menganggap dengan ternak dikandangkan akan lebih
mempermudah terjadinya pencurian ternak dibandingkan jika ternak dilepas
begitu saja.

Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal


Berdasarkan hasil identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal,
selanjutnya dilakukan evaluasi dari faktor tersebut menggunakan matriks evaluasi
faktor internal (IFE) dan matriks evaluasi faktor eksternal (EFE). Dalam
pelaksanaan evaluasi, dilakukan pembobotan dan penentuan peringkat (rating)
dari masing-masing faktor yang telah diidentifikasi.
Bobot faktor kritis internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor kritis
eksternal (peluang dan ancaman) diberikan oleh setiap pakar menggunakan
metode perbandingan berpasangan menggunakan analytical hierarchy process.
Demikian pula pakar juga memberikan penilaian dalam penentuan peringkat
setiap faktor internal dan eksternal.
Evaluasi Faktor Internal. Matrik evaluasi faktor internal digunakan
sebagai alat analisis terhadap kekuatan dan kelemahan yang dimiliki sehubungan
dengan pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia di
Sulawesi Selatan. Hasil pembobotan, peringkat dan skor setiap faktor internal
(kekuatan dan kelemahan) seperti diperlihatkan pada Tabel 24.
Kepentingan relatif setiap faktor dalam menunjang keberhasilan
pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia
ditunjukkan oleh bobot setiap faktor. Faktor sumberdaya pakan limbah tanaman
pangan memiliki produksi yang cukup besar, memberikan pengaruh yang terbesar
(bobot 0.238 dan skor 0.952) dalam menunjang pemanfaatan limbah tanaman
sebagai pakan ternak ruminansia. Di samping itu, faktor produksi limbah tanaman
pangan khususnya jerami padi dan jerami jagung tersebar disebagian besar
wilayah kabupaten di Sulawesi Selatan merupakan faktor kedua yang memiliki
bobot tertinggi sebesar 0.142 (skor 0.568). Dengan demikian, pemanfaatan limbah
tanaman pangan sebagai pakan lebih dititik beratkan untuk menggunakan jerami
padi dan jerami jagung karena kedua jenis limbah tersebut tersedia di sebagian
besar wilayah dan memiliki produksi yang tinggi dibandingkan dengan limbah
tanaman pangan lainnya.
Tabel 24 Matriks evaluasi faktor internal (IFE) pemanfaatan limbah tanaman
pangan sebagai pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan

Faktor-faktor internal Bobot Rating Skor


Kekuatan
1. Sumberdaya pakan limbah tanaman pangan
0.238 4 0.952
memiliki produksi yang cukup besar.
2. Produksi limbah tanaman pangan khususnya
jerami padi dan jerami jagung tersebar
0.142 4 0.568
disebagian besar wilayah kabupaten di Sulawesi
Selatan
3. Penggunaan limbah tanaman pangan sebagai
0.090 3 0.270
pakan ternak ruminansia belum optimal.
4. Teknologi pakan limbah tanaman pangan
0.088 2 0.176
tersedia dan diketahui oleh peternak
5. Limbah tanaman pangan tidak dimanfaatkan
0.073 2 0.146
untuk kebutuhan lain selain sebagai pakan
Sub total kekuatan 0.631 2.112
Kelemahan
1. Kebiasaan petani peternak membakar limbah
0.102 1 0.102
tanaman pangan
2. Kualitas nutrisi limbah tanaman pangan rendah 0.082 3 0.246
3. Sarana dan prasarana pengangkutan dan tempat
penyimpanan limbah tanaman pangan tidak 0.059 3 0.177
tersedia
4. Tingkat penerapan teknologi pengolahan pakan
0.080 2 0.160
limbah tanaman pangan rendah
5. Produksi limbah tanaman pangan bersifat
0.046 3 0.138
musiman atau fluktuatif
Sub total kelemahan 0.369 0.823
Total 1.000 2.935

Faktor internal yang memiliki bobot terendah adalah produksi limbah


tanaman pangan bersifat musiman atau fluktuatif (bobot 0.046) yang termasuk
dalam faktor kelemahan. Diketahui bahwa, limbah tanaman pangan produksinya
melimpah saat musim panen sehingga tidak tersedia sepanjang tahun. Walaupun
demikian, bobot faktor yang rendah ini mengindikasikan bahwa pengaruh faktor
tersebut tidak terlalu dominan.
Faktor eksternal yang merupakan faktor kelemahan utama dalam rangka
pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan adalah kebiasaan petani
peternak membakar limbah tanaman pangan, dan kualitas nutrisi limbah tanaman
pangan rendah masing-masing dengan bobot 0.102 dan 0.082. Adanya kebiasaan
petani membakar limbah, merupakan faktor penghambat dalam upaya
memamfaatkan limbah tanaman pangan sebagai pakan. Disamping itu, dengan
kualitas nutrisi limbah yang rendah perlu dilakukan upaya optimalisasi
peningkatan kualitas nutrisinya sehingga kelemahan demikian dapat
diminimalisasi.
Total nilai skor faktor internal sebesar 2.935 yang nilainya lebih besar dari
nilai rata-rata 2.5. Hal ini menunjukkan kondisi Sulawesi Selatan dalam rangka
pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia masih
relatif kuat.
Evaluasi Faktor Ekternal. Matriks evaluasi faktor eksternal digunakan
untuk mengetahui sejauh mana daerah Sulawesi Selatan mampu memanfaatkan
peluang dan mengatasi ancaman yang ada pada lingkungan eksternal. Hasil
pembobotan, peringkat dan skor setiap faktor ekternal (peluang dan ancaman)
seperti diperlihatkan pada Tabel 25.
Faktor ekternal yang memiliki bobot tertinggi dan merupakan peluang
yang harus dimanfaatkan adalah jumlah populasi ternak ruminansia yang cukup
tinggi dengan bobot dan skor adalah 0.219 dan 0.876. Dengan jumlah populasi
ternak ruminansia yang besar, maka limbah tanaman pangan yang dapat
dimanfaatkan sebagai pakan juga akan lebih banyak. Dilain pihak, faktor
keamanan berusaha ternak tidak terjamin merupakan faktor eksternal yang
memiliki bobot terendah (0.059).
Peluang yang dapat digunakan dalam rangka pemanfaatan limbah tanaman
pangan sebagai pakan adalah pola pemeliharaan ternak yang masih tradisional
(bobot 0.078). Hal ini dianggap sebagai peluang, karena dengan pola
pemeliharaan yang masih tradisional dapat diarahkan kepada pengembangan pola
pemeliharaan yang intensif. Dengan pola pemeliharaan intensif, pemanfaatan
limbah tanaman pangan sebagai pakan akan lebih optimal.
Tabel 25 Matriks evaluasi faktor eksternal (EFE) pemanfaatan limbah tanaman
pangan sebagai pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan

Faktor-faktor internal Bobot Rating Skor


Peluang
1. Jumlah populasi ternak ruminansia cukup tinggi 0.219 4 0.876
2. Dukungan kebijakan pembangunan peternakan
0.066 2 0.132
Sulawesi Selatan
3. Ternak ruminansia umumnya dipelihara oleh
0.106 4 0.424
peternak
4. Pola pemeliharaan ternak masih tradisional 0.078 2 0.156
5. Pertanian tanaman pangan semakin intensif 0.075 2 0.150
Sub total peluang 0.544 1.738
Ancaman
1. Populasi ternak ruminansia cenderung menurun 0.180 3 0.540
2. Impor ternak dan daging semakin meningkat 0.072 3 0.216
3. Usaha ternak ruminansia masih bersifat
0.085 2 0.170
sambilan dan kurangnya permodalan
4. Terjadinya penyakit ternak dan pemotongan
0.060 1 0.060
ternak betina produktif
5. Keamanan berusaha ternak tidak terjamin 0.059 1 0.059
Sub total ancaman 0.456 1.045
Total 1.000 2.783

Ancaman yang mesti dihindari atau diatasi adalah kecenderungan populasi


ternak ruminansia semakin menurun dengan bobot 0.180. Penurunan jumlah
populasi ternak sangat terkait dengan faktor eksternal yang berupa ancaman yaitu
terjadinya pemotongan betina produktif dan penyakit ternak (bobot 0.060) dan
keamanan berusaha ternak tidak terjamin (bobot 0.059) dengan adanya pencurian
ternak di beberapa wilayah kabupaten.
Berdasarkan total skor faktor eksternal sebesar 2.783 (di atas rata-rata 2.5)
menunjukkan bahwa Sulawesi Selatan secara umum memiliki kemampuan yang
cukup baik dalam merespon peluang dan meminimalkan pengaruh negatif dari
ancaman eksternal.

Formulasi Strategi
Dalam formulasi strategi digunakan matriks SWOT untuk merumuskan
alternatif strategi pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak
ruminansia di Sulawesi Selatan. Alternatif strategi diperoleh dengan memadukan
faktor-faktor eksternal dan internal dalam pemanfataan limbah tanaman pangan
sebagai pakan ternak ruminansia. Dengan matriks SWOT diperoleh empat macam
alternatif strategi yaitu S-O, W-O, S-T, dan W-T, seperti diperlihatkan pada
Tabel 26.
Strategi S-O. Strategi S-O adalah strategi yang menggunakan kekuatan
untuk memanfaatan peluang. Beberapa strategi S-O yang dapat dirumuskan
adalah :
1. Pengembangan kawasan pola integrasi sapi potong dengan padi dan
jagung (S1,S2,S3,S4,O1,O3,O5).
2. Sinergi dan keterpaduan antar sektor (peternakan-tanaman pangan)
dalam kebijakan pemerintah untuk pengembangan peternakan (O2,S5)
3. Membangun industri pakan berbasis bahan baku sumberdaya limbah
tanaman pangan (S1,S3,S5,O1,O3,O5).
Strategi W-O. Strategi W-O adalah strategi yang meminimalkan
kelemahan untuk memanfaatkan peluang. Beberapa strategi W-O yang dapat
dirumuskan adalah :
1. Optimalisasi penerapan teknologi pakan limbah tanaman pangan
melalui pemberdayaan masyarakat pola partisipatif (W2,W4,O5).
2. Pengembangan sarana alat pengangkutan dan tempat penyimpanan
limbah tanaman pangan di pedesaan (W1, W3,W5,O5).
3. Pengembangan rekayasa sosial dan ekonomi melalui pengembangan
kelembagaan peternak dan peningkatan sumberdaya daya manusia
peternak (W1,W4,O4).
Strategi S-T. Strategi S-T adalah strategi yang menggunakan kekuatan
untuk mengatasi ancaman. Strategi S-T yang dapat dirumuskan adalah :
1. Menjalin kemitraan antara investor/swasta dan peternak untuk
meningkatkan skala usaha ternak pola intensif dengan iklim berusaha
yang lebih baik dan terjamin (T1,T2,T3,T5,S1).
Tabel 26 Matriks SWOT analisis strategi pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan

KEKUATAN (strengths) KELEMAHAN (weaknesses)


Faktor-faktor Internal 1. Sumberdaya pakan limbah tanaman pangan 1. Kebiasaan petani peternak membakar limbah
memiliki produksi yang cukup besar tanaman pangan
2. Produksi limbah tanaman pangan khususnya jerami 2. Kualitas nutrisi limbah tanaman pangan rendah
padi dan jerami jagung tersebar disebagian besar 3. Sarana dan prasarana pengangkutan dan tempat
wilayah kabupaten di Sulawesi Selatan penyimpanan limbah tanaman pangan tidak tersedia
3. Penggunaan limbah tanaman pangan sebagai pakan 4. Tingkat penerapan teknologi pengolahan pakan
ternak ruminansia belum optimal limbah tanaman pangan rendah
4. Teknologi pakan limbah tanaman pangan tersedia 5. Produksi limbah tanaman pangan bersifat musiman
dan diketahui oleh peternak atau fluktuatif
Faktor-faktor Eksternal 5. Limbah tanaman pangan tidak dimanfaatkan untuk
kebutuhan lain selain sebagai pakan
PELUANG (opportunities) STRATEGI S-O STRATEGI W-O
1. Jumlah populasi ternak ruminansia cukup 1. Pengembangan kawasan pola integrasi sapi potong 1. Optimalisasi penerapan teknologi pakan limbah
tinggi dengan padi dan jagung (S1,S2,S3,S4,O1,O3,O5) tanaman pangan melalui pemberdayaan masyarakat
2. Dukungan kebijakan pembangunan 2. Sinergi dan keterpaduan antar sektor (peternakan- pola partisipatif (W2,W4,O5)
peternakan Sulawesi Selatan tanaman pangan) dalam kebijakan pemerintah 2. Pengembangan sarana alat pengangkutan dan tempat
3. Ternak ruminansia umumnya dipelihara untuk pengembangan peternakan (O2,S5) penyimpanan limbah tanaman pangan di pedesaan
oleh peternak (ternak sapi potong) (W1, W3,W5,O5)
3. Membangun industri pakan berbasis bahan baku 3. Pengembangan rekayasa sosial dan ekonomi melalui
4. Pola pemeliharaan ternak masih sumberdaya limbah tanaman pangan
pengembangan kelembagaan peternak dan
tradisional (S1,S3,S5,O1,O3,O5)
peningkatan sumberdaya daya manusia peternak
5. Pertanian tanaman pangan semakin (W1,W4,O4)
intensif

ANCAMAN (threats) STRATEGI S-T STRATEGI W-T


1. Populasi ternak ruminansia cenderung 1. Menjalin kemitraan antara investor/swasta dan 1. Peningkatan dan pengembangan sarana dan
menurun peternak untuk meningkatkan skala usaha ternak prasarana pengembangan teknologi pakan limbah
2. Impor ternak dan daging semakin pola intensif dengan iklim berusaha yang lebih baik tanaman pangan dan kesehatan hewan (W2,W4,T4)
meningkat dan terjamin (T1,T2,T3,T5,S1) 2. Penyediaan modal usaha dari pemerintah dan
3. Usaha ternak ruminansia masih bersifat 2. Peningkatan pemanfaatan limbah tanaman pangan lembaga keuangan melalui kerjasama dengan
sambilan dan kurangnya permodalan sebagai pakan yang sesuai dengan keunggulan kelembagaan peternak (kelompok, koperasi)
4. Terjadinya penyakit ternak dan produksi yang spesifik lokalita (S1,S5,T1,T3) (W3,T1,T2,T3)
pemotongan betina produktif
5. Keamanan berusaha ternak tidak terjamin
3. Peningkatan pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan yang sesuai
dengan keunggulan produksi yang spesifik lokalita (S1,S5,T1,T3)
Strategi W-T. Strategi W-T adalah strategi yang meminimalkan
kelemahan dan menghindari ancaman. Strategi W-T yang dapat dirumuskan
adalah :
3. Peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana pengembangan
teknologi pakan limbah tanaman pangan dan kesehatan hewan
(W2,W4,T4).
4. Penyediaan modal usaha dari pemerintah dan lembaga keuangan
melalui kerjasama dengan kelembagaan peternak (kelompok, koperasi)
(W3,T1,T2,T3).

Pengambilan Keputusan
Dari beberapa alternatif strategi yang terbentuk (Tabel 26), diinput untuk
menentukan bilai daya tarik setiap set alternatif strategi. Setiap pakar memberikan
nilai daya tarik strategi dengan mempertimbangkan faktor kritis ekternal dan
internal. Menurut David (2001), nilai daya tarik ditetapkan dengan memeriksa
setiap faktor eksternal dan internal. Apabila faktor tersebut mempengaruhi
alternatif strategi yang akan ditetapkan, maka nilai daya tarik harus diberikan pada
setiap strategi untuk menunjukkan daya tarik relatif dari satu strategi atas strategi
yang lain, dengan mempertimbangkan faktor kritis tertentu.
Pengambilan keputusan dalam penentuan prioritas dari masing-masing
alternatif strategi yang telah diterbentuk, dianalisis dengan menggunakan matriks
perencanaan strategi kuantitatif (QSPM), seperti diperlihatkan pada Lampiran 21.
Hasil penilaian untuk menentukan prioritas strategi pemanfaatan limbah
tanaman pangan sebagai sumber pakan ternak ruminansia (Tabel 27),
menghasilkan bahwa kombinasi antara faktor kekuatan dan peluang (SO) yaitu
pengembangan kawasan pola integrasi sapi potong dengan padi dan jagung
mendapat prioritas pertama atau strategi yang paling menarik di antara alternatif
strategi yang lain dengan nilai total daya tarik adalah 6.67.
Tabel 27 Prioritas alternatif strategi pemanfaatan limbah tanaman pangan
sebagai pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan

Prioritas Alternatif strategi Nilai

1 Pengembangan kawasan pola integrasi sapi potong


6.67
dengan padi dan jagung

2 Optimalisasi penerapan teknologi pakan limbah tanaman


pangan melalui pemberdayaan masyarakat pola 6.19
partisipatif

3 Membangun industri pakan berbasis bahan baku


6.06
sumberdaya limbah tanaman pangan

4 Pengembangan sarana alat pengangkutan dan tempat


6.04
penyimpanan limbah tanaman pangan di pedesaan

5 Penyediaan modal usaha dari pemerintah dan lembaga


keuangan melalui kerjasama dengan kelembagaan 5.46
peternak (kelompok, koperasi)

6 Peningkatan pemanfaatan limbah tanaman pangan


sebagai pakan yang sesuai dengan keunggulan produksi 5.22
yang spesifik lokalita

7 Peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana


pengembangan teknologi pakan limbah tanaman pangan 5.16
dan kesehatan hewan

8 Menjalin kemitraan antara investor/swasta dan peternak


untuk meningkatkan skala usaha ternak pola intensif 5.09
dengan iklim berusaha yang lebih baik dan terjamin

9 Sinergi dan keterpaduan antar sektor (peternakan-


tanaman pangan) dalam kebijakan pemerintah untuk 4.84
pengembangan peternakan

10 Pengembangan rekayasa sosial dan ekonomi melalui


pengembangan kelembagaan peternak dan peningkatan 3.86
sumberdaya daya manusia peternak

Strategi pengembangan kawasan pola integrasi sapi potong dengan padi


dan jagung menjadi menarik karena menggunakan hampir keseluruhan faktor
kekuatan sumberdaya yang dimiliki yaitu a) sumberdaya pakan limbah tanaman
pangan memiliki produksi yang cukup besar, b) produksi limbah tanaman pangan
khususnya jerami padi dan jerami jagung tersebar disebagian besar wilayah
kabupaten di Sulawesi Selatan, dan c) Penggunaan limbah tanaman pangan
sebagai pakan ternak ruminansia belum optimal.
Strategi berikutnya yang memiliki nilai tertinggi dan menjadi prioritas
kedua adalah optimalisasi penerapan teknologi pakan limbah tanaman pangan
melalui pemberdayaan masyarakat pola partisipatif dengan nilai 6.19. Strategi ini
dengan memanfaatkan peluang untuk mengatasi kelemahan yang ada dalam
pemanfataan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia. Strategi
ini menghendaki adanya peningkatan kemampuan peternak dalam menerapkan
atau melaksanakan teknologi pengolahan limbah tanaman pangan yang dilakukan
secara partisipatif yang dilakukan dari, oleh, dan untuk peternak.
Strategi yang menjadi prioritas ketiga adalah membangun industri pakan
berbasis bahan baku sumberdaya limbah tanaman pangan dengan nilai total daya
tarik adalah 6.06. Strategi ini adalah strategi yang memanfaatkan peluang seperti
jumlah populasi ternak ruminansia yang cukup tinggi, ternak ruminansia
umumnya dipelihara oleh peternak dan pertanian tanaman pangan semakin intesif,
dengan menggunakan kekuatan yang ada seperti sumberdaya pakan limbah
tanaman pangan memiliki produksi yang cukup besar, penggunaan limbah
tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia belum optimal, dan limbah
tanaman pangan tidak dimanfaatkan untuk kebutuhan yang lain.
Pengembangan sarana alat pengangkutan dan tempat penyimpanan limbah
tanaman pangan di pedesaan merupakan strategi prioritas keempat dengan nilai
total daya tarik 6.04. Pemilihan strategi ini dilakukan untuk mengatasi kelemahan
dalam memanfaatkan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia .
Kelemahan tersebut adalah adanya kebiasaan petani membakar limbah tanaman
pangan, tidak tersedianya sarana dan prasarana tempat penyimpanan limbah
tanaman pangan, dan produksi limbah tanaman pangan yang bersifat musiman dan
fluktuatif. Strategi yang menjadi prioritas kelima adalah penyediaan modal usaha
dari pemerintah dan lembaga keuangan melalui kerjasama dengan kelembagaan
peternak (kelompok, koperasi) dengan total nilai daya tarik adalah 5.46. Strategi
ini dilakukan untuk mengatasi keterbatasan modal peternak untuk menambah
kepemilikan ternak dan menjadi usaha yang intensif.
Implikasi Strategi Pemanfaatan Limbah Tanaman Pangan
sebagai Pakan Ternak Ruminansia

Secara umum untuk pelaksanaan strategi pemanfaatan limbah tanaman


pangan sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan, dilakukan
penjabaran beberapa elemen kunci yang menjadi faktor penentu pelaksanaan
pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan ternak ruminansia di
Sulawesi Selatan. Elemen kunci terdiri atas beberapa sub elemen variabel kunci
seperti dirangkum dalam Gambar 24.
Gambar 24 menunjukkan bahwa dalam rangka pemanfaatan limbah
tanaman pangan sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan
dibutuhkan sarana prasarana pengangkutan dan penyimpanan limbah, permodalan
untuk peternak, sarana penerapan teknologi pakan, adanya jaminan keamanan
beternak, serta kebijakan pemerintah. Dalam pemanfaatan limbah sebagai pakan
ditemui kendala antara lain kebiasaan petani membakar jerami, limbah yang
tersedia bersifat musiman, dan usaha ternak masih menjadi usaha sambilan.
Beberapa lembaga pelaku yang terlibat dalam upaya pemanfaatan limbah
tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia adalah kelompok tani, koperasi
dan usaha kecil menengah, lembaga keuangan, pemerintah, perguruan tinggi, serta
organisasi pengusaha peternakan. Disisi lain, masyarakat yang dapat terpengaruhi
adalah petani peternak, pemerintah daerah, pengusaha, manajemen koperasi dan
usaha kecil menengah, serta pasar domestik.
Tolak ukur keberhasilan pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai
pakan adalah limbah tanaman pangan dapat dimanfaatkan secara optimal.
Pemanfaatan limbah sebagai pakan dilakukan penerapan teknologi secara
berkesinambungan dengan sistem pemeliharaan ternak yang intensif dan
peningkatan skala usaha ternak, yang pada gilirannya akan meningkatkan
pendapatan peternak.
Dalam rangka pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak
ruminansia di Sulawesi Selatan dilakukan dengan strategi seperti diperlihatkan
pada Tabel 27. Dalam pelaksanaannya, masing-masing strategi saling terkait dan
saling mendukung seperti diperlihatkan dalam diagram alir pada Gambar 25.
Gambar 24 Elemen kunci pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai
sumber pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan.
Gambar 25 Keterkaitan strategi dalam pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan.
Berdasarkan Tabel 27 terdapat lima strategi yang menjadi prioritas dalam
pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan ternak ruminansia di
Sulawesi Selatan yaitu 1) pengembangan kawasan pola integrasi sapi potong
dengan padi dan jagung, 2) optimalisasi penerapan teknologi pakan limbah
tanaman pangan melalui pemberdayaan masyarakat pola partisipatif, 3)
membangun industri pakan berbasis bahan baku sumberdaya limbah tanaman
pangan, 4) pengembangan sarana alat pengangkutan dan tempat penyimpanan
limbah tanaman pangan di pedesaan, dan 5) Penyediaan modal usaha dari
pemerintah dan lembaga keuangan melalui kerjasama dengan kelembagaan
peternak (kelompok, koperasi).
Lima strategi prioritas seperti disebutkan di atas, dalam pelaksanaannya
diperlukan adanya analisis implikasi strategi yang menjadi arah dan pedoman
dalam pelaksanaannya. Implikasi strategi mencakup masalah yang dihadapi,
solusi atau pemecahan masalah, program yang harus dilakukan, pelaksana atau
unsur yang terlibat dalam rangka mencapai strategi dimaksud. Implikasi strategi
tersebut dijabarkan dalam bentuk matriks implikasi strategi seperti diperlihatkan
pada Tabel 28.
Tabel 28 Matriks implikasi strategi pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan
Pelaksana
No Strategi Masalah Solusi Program
(Unsur Terlibat)
1 Pengembangan a. Sistem pemeliharaan sapi a. Pengembangan sistem a. Merumuskan pedoman a. Dinas terkait
kawasan pola masih tradisional pemeliharaan ternak teknis pengembangan (Peternakan dan
integrasi sapi b. Penguasaan dengan melakukan kawasan pola integrasi Tanaman Pangan)
potong dengan padi ternak/kepemilikan ternak perkandangan (intensif) sapi potong dengan padi b. Kelompok
dan jagung oleh peternak rendah b. Peningkatan skala dan jagung Tani/peternak
c. Ketergantungan penyediaan kepemilikan ternak sapi b. Pemetaan dan penentuan c. Koperasi/UKM
pakan secara kontinyu potong lokasi kawasan yang d. Lembaga keuangan
d. Kepemilikan lahan usaha c. Penyediaan fasilitas sesuai dengan kondisi perbankan/non
tani rendah pengolahan pakan dan wilayah dan masyarakat bank
e. Sebagian peternak tidak pupuk organik c. Melaksanakan bimbingan e. Assosiasi
memiliki lahan usaha tani teknis produksi dan pengusaha
teknologi pakan dan peternakan
pengolahan pupuk f. Investor swasta
d. Penyediaan modal usaha
dengan bunga rendah

2 Optimalisasi a. Sarana pengolahan limbah a. Penyediaan a. Melakukan bimbingan a. Dinas terkait


penerapan tidak tersedia termasuk sarana/peralatan dan bahan teknis penerapan teknologi (Peternakan dan
teknologi pakan bahan yang digunakan yang digunakan dalam pakan Tanaman Pangan)
limbah tanaman dalam aplikasi teknologi pengolahan pakan dengan b. Penentuan teknologi pakan b. Kelompok
pangan melalui pakan harga terjangkau limbah yang sesuai dengan tani/peternak
pemberdayaan b. Peternak kurang memahami b. Memberdayakan fungsi agroekosistem setempat c. Perguruan
masyarakat pola manfaat teknologi pakan kelompok tani sebagai c. Menyusun pedoman teknis tinggi/Lembaga
partisipatif c. Peternak masih wahana dan media aplikasi/ penerapan Litbang
mencurahkan waktu lebih interaksi peternak yang teknologi pakan masing-
banyak untuk kegiatan usaha berangkat dari prinsip dari, masing limbah
tani oleh, dan untuk peternak
Tabel 28 Matriks implikasi strategi pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan (lanjutan)
Pelaksana
No Strategi Masalah Solusi Program
(Unsur Terlibat)
d. Kelembagaan peternak c. Peningkatan pengetahuan Menfasilitasi penyediaan a. Dinas terkait
(kelompok tani) kurang dan pemahaman peternak sarana dan prasarana yang (Peternakan dan
berjalan baik tentang manfaat penerapan dibutuhkan untuk penerapan Tanaman Pangan)
e. Kesadaran peternak untuk teknologi pakan teknologi pakan b. Kelompok
meningkatkan nilai tambah tani/peternak
limbah sebagai pakan c. Perguruan
kurang tinggi/Lembaga
Litbang
3 Membangun a. Produksi limbah musiman a. Merumuskan kebijakan a. Kebijakan pemerintah a. Dinas terkait
industri pakan sesuai dengan masa panen dalam pengembangan dalam pengembangan (Peternakan dan
berbasis bahan dan tersebar di berbagai industri pakan industri pakan berbasis Tanaman Pangan)
baku sumberdaya lokasi/wilayah b. Membangun infrastruktur pakan lokal b. Investor swasta
limbah tanaman b. Penggunaan limbah sebagai yang mendukung b. Penyusunan studi c. Pemerintah
pangan pakan masih rendah dan pengembangan industri kelayakan pengembangan daerah/instansi
tidak kontinyu pakan industri pakan berbasis teknis terkait
c. Infrastruktur yang c. Penentuan potensi bahan bahan baku limbah
mendukung pengembangan baku limbah yang tanaman pangan
industri pakan belum memiliki ketersediaan c. Penentuan lokasi industri
memadai lebih kontinyu yang tepat sesuai dengan
d. Kebijakan pemerintah yang ketersediaan bahan baku
sinergi antara instansi terkait dan potensi pasar (ternak)
kurang d. Pengembangan produk
pakan limbah yang
harganya dapat dijangkau
oleh peternak
e. Pengembangan
infrastruktur untuk
pengembangan industri
pakan
Tabel 28 Matriks implikasi strategi pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan (lanjutan)
Pelaksana
No Strategi Masalah Solusi Program
(Unsur Terlibat)

4 Pengembangan a. Tempat penyimpanan a. Penyediaan alat a. Membangun lumbung- a. Dinas terkait


sarana alat limbah tidak tersedia penyimpanan limbah lumbung (silo/gudang) (Peternakan dan
pengangkutan dan b. Limbah bersifat kamba secara kolektif berbasis penyimpanan limbah di Tanaman Pangan)
tempat sehingga sulit dalam kelompok pedesaan pada lokasi yang b. Kelompok
penyimpanan pengangkutan b. Penyediaan alat dapat terjangkau oleh Tani/peternak
limbah tanaman pengangkutan limbah peternak c. Swasta
pangan di pedesaan efisien b. Mendesain alat d. Perguruan
pengepakan untuk Tinggi/Lembaga
pengangkutan limbah agar Litbang
lebih mudah

5 Penyediaan modal a. Lembaga perbankan a. Keberpihakan lembaga a. Penyediaan kredit usaha a. Dinas terkait
usaha dari sebagian besar belum keuangan untuk peternakan (Peternakan dan
pemerintah dan berpihak ke usaha peternakan ditingkatan b. Pengembangan kelompok Tanaman Pangan)
lembaga keuangan peternakan b. Meningkatkan status tani ternak menjadi b. Kelompok
melalui kerjasama b. Kelompok tani bukan kelompok tani menjadi koperasi tani Tani/peternak
dengan lembaga formal sehingga kelompok usaha formal c. Bimbingan teknis c. Swasta/koperasi
kelembagaan tidak dapat melakukan c. Meningkatkan pelayanan manajemen pengelolaan d. Perguruan
peternak kontrak dengan lembaga koperasi dengan perbaikan koperasi yang transparan Tinggi/Lembaga
(kelompok, keuangan manajemen dan akuntabel Litbang
koperasi) c. Kepercayaan peternak e. Perbankan
terhadap koperasi kurang
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
.
1. Jumlah populasi ternak ruminansia di Sulawesi Selatan dalam kurun waktu
lima tahun terakhir (1999-2003) untuk sapi potong, kerbau dan domba
mengalami penurunan pertahun sebesar 0.24%, 4.22%, dan 9.56.%, sementara
populasi kambing mengalami peningkatan 4.66% pertahun. Dilain pihak,
tingkat pemotongan ternak sapi potong dan kambing mengalami peningkatan
4.15% dan 30.23% pertahun. Fenomena terjadinya peningkatan jumlah
pemotongan ternak ruminansia khususnya sapi potong, kambing, dan domba
yang tidak didukung oleh peningkatan jumlah populasi, memberikan indikasi
telah terjadi pemotongan ternak yang tidak terkendali tanpa memperhatikan
struktur populasi tetapi hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging.
2. Jumlah populasi ternak ruminansia di Sulawesi Selatan seluruhnya 727 774
ST, dengan penyebaran untuk sapi potong 564 847 ST, kerbau 86 942 ST dan
kambing 75 335 ST. Sebagian besar wilayah memiliki potensi sebagai
wilayah penawaran ternak sapi potong, kecuali kabupaten Selayar, Jeneponto,
Takalar, Enrekang, Luwu, Tator, Polmas, Majene, Makassar dan Parepare.
Beberapa wilayah disamping memiliki keunggulan pada ternak sapi juga
memiliki keunggulan pada ternak kambing yaitu Soppeng dan Bantaeng, dan
kerbau di Luwu Utara, Wajo, Pangkep, Maros dan Gowa.
3. Rata-rata produksi bahan kering jerami padi 5.94 ton/ha, dengan kisaran
produksi terendah 3.58 ton/ha dan tertinggi 8.53 ton/ha. Produksi bahan
kering jerami jagung dalam kisaran 5.14 – 7.25 ton BK/ha dengan rata-rata
produksi adalah 6.00 ton BK/ha. Untuk jerami kacang kedelai, jerami kacang
hijau, jerami kacang tanah, jerami ubi jalar dan pucuk ubi kayu diperoleh rata-
rata produksi bahan kering masing-masing sebesar 2.79 ton BK/ha, 5.45 ton
BK/ha, 4.49 ton BK/ha, 4.93 ton BK/ha dan 1.73 ton BK/ha.
4. Limbah tanaman pangan memiliki potensi yang cukup besar sebagai sumber
pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan. Jumlah produksi berdasarkan
bahan kering, total digestible nutrient, dan protein kasar masing-masing
6 874 105 ton, 3 128 339 ton, dan 372 261 ton dengan daya dukung masing-
masing 3 014 958 ST, 1 992 573 ST dan 1 551 087 ST.
5. Berdasarkan daya dukung yang ada di Sulawesi Selatan dapat dilakukan
penambahan populasi ternak dengan kapasitas peningkatan populasi ternak
ruminansia berdasarkan bahan kering sebesar 2 287 184 ST, total digestible
nutrient sebesar 1 264 799 ST dan protein kasar 823 313 ST. Beberapa
kabupaten yang menunjukkan daya dukung yang tinggi adalah Soppeng,
Wajo, Sidrap dan Luwu.
6. Sistem pemeliharaan ternak yang dilakukan oleh peternak di Sulawesi Selatan
sebagian besar masih dengan cara tradisional (71.21%), dengan cara ternak
dilepas sepanjang hari (38.63%), dan dilepas siang hari kemudian diikat pada
malam hari (32.58%). Jumlah peternak yang mengandangkan ternak
jumlahnya lebih rendah yaitu 28.79% (114 peternak), dengan cara
dikandangkan pada malam hari saja (semi intensif) sebanyak 66 peternak, dan
ternak dikandangkan sepanjang hari (intensif) sebanyak 48 peternak atau
12.12% dari seluruh responden.
7. Sebagian besar peternak (91.92%) melepas ternak untuk memperoleh pakan di
sawah, kebun dan pekarangan, sementara peternak yang melepas ternaknya di
pandang penggembalaan yaitu hanya 8.08%. Penggunaan limbah tanaman
pangan sebagai pakan ternak ruminansia di tingkat peternak masih rendah,
yang terlihat masih banyaknya peternak yang tidak menggunakan limbah
tanaman pangan sebagai pakan yaitu 62.12%.
8. Sebanyak 54.80% peternak mengetahui tentang teknologi pakan, seperti
amoniasi, hay, silase dan teknologi fermentasi lainnya. Dilain pihak, tingkat
penerapan teknologi masih sangat kurang, terlihat kurangnya peternak yang
menerapkan terknologi tersebut yang hanya 21.19%.
9. Strategi yang menjadi prioritas dalam pemanfaatan limbah tanaman pangan
sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan yaitu 1)
pengembangan kawasan pola integrasi sapi potong dengan padi dan jagung, 2)
optimalisasi penerapan teknologi pakan limbah tanaman pangan melalui
pemberdayaan masyarakat pola partisipatif, 3) membangun industri pakan
berbasis bahan baku sumberdaya limbah tanaman pangan, 4) pengembangan
sarana alat pengangkutan dan tempat penyimpanan limbah tanaman pangan di
pedesaan, dan 5) Penyediaan modal usaha dari pemerintah dan lembaga
keuangan melalui kerjasama dengan kelembagaan peternak (kelompok,
koperasi).

Saran
Untuk memanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak
ruminansia agar memperhatikan ketersediaan limbah yang memiliki produksi
yang tinggi di masing-masing wilayah kabupaten dengan penyediaan tempat
penyimpanan dan sarana penunjang penerapan teknologi pakan. Keberhasilan
pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan sangat ditentukan oleh
dukungan seluruh stakeholder yang terlibat di bidang peternakan.
DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1990. Official Methods of


Analysis. Washington DC: Association of Official Analytical Chemists.

Aryogi, Yusran MA, Umiyasih U, Rasyid A, Affandy L, Arianto H. 2001.


Pengaruh teknologi defaunasi pada ransum terhadap produktivitas ternak
sapi perah rakyat. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner. Bogor 17-18 September 2001. Bogor: Puslitbang Peternakan
Departemen Pertanian. hlm 181-188.

Ashari. 2002. Assessment method on competitive advantages concept for


planning and development information. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 30 Sepetember-1 Oktober
2002. Bogor: Puslitbang Peternakan Departemen Pertanian. hlm 277-285.

[BALITTAN MAROS] Balai Penelitian Tanaman Pangan Maros. 1992. Sumber


Pertumbuhan Kedelai Propinsi Sulawesi Selatan. Maros: Balai Penelitian
Tanaman Pangan Maros Badan Litbang Departemen Pertanian.

[BALITBANGDA SULSEL] Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah


Sulawesi Selatan. 2003. Strategi Peningkatan Daya Saing Komoditas
Unggulan Pertanian Sulawesi Selatan. Makassar: Badan Penelitian dan
Pengembangan Daerah Sulawesi Selatan.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Statistik Indonesia 2003. Jakarta: Badan Pusat
Statistik.

[BPS SULSEL] Badan Pusat Statistik Sulsel. 2004. Sulawesi Selatan dalam
Angka 2003. Makassar: Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan.

Bestari J, Thalib A, Hamid H, Suherman D. 1999. Kecernaan in vivo ransum


silase jerami padi dengan penambahan mikroba rumen kerbau pada sapi
peranakan ongole. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 4 (4) : 237 242.

Budiman S. 2001. Dukungan pemerintah terhadap keberadaan bahan baku pakan


lokal. Makalah Dies Natalis Himpunan Mahasiswa Ilmu Nutrisi dan
Makanan Ternak Fapet IPB. Bogor 25 Oktober 2001. Bogor: Himpunan
Mahasiswa Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor.

Chamdi AN. 2003. Kajian profil sosial ekonomi usaha kambing di kecamatan
Kradenan kabupaten Grobogan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Bogor 29-30 September 2003. Bogor:
Puslitbang Peternakan Departemen Pertanian. hlm 312-317.
Chhay Ty J Ly, Rodríguez L. 2001. An approach to ensiling conditions for
preservation of cassava foliage in Cambodia. Livestock Research for Rural
Development 13 (2). http://www.cipav.org.co/lrrd/lrrd13/2/chhach132.htm
[3 Nopember 2004].

Chinh BV, Viet Ly L. 2001. Potential of agro-byproducts as feed resources for


buffaloes in Vietnam. Proceedings Buffalo Workshop. December 2001.
http://www.mekarn.org/procbuf/chin.htm [19 Pebruari 2003].

Davendra C, Burns M. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Bandung:


Penerbit ITB.

David FR. 2001. Strategic Management : Concepts and Cases. 8th ed. New Jersey:
Prentice-Hall, Inc.

Dinas Peternakan Sulawesi Selatan. 2004. Statistik Peternakan Tahun 2003.


Makassar: Dinas Peternakan Provinsi Sulawesi Selatan.

Dinas Peternakan Sulawesi Selatan. 2001a. Potret pembangunan industri


peternakan di Sulawesi Selatan. Makalah Workshop Strategi
Pengembangan Industri Peternakan. Makassar 29-30 Mei 2001. Makassar:
Puslit Bioteknologi LIPI dan Fakultas Peternakan Universitas
Hasanuddin.

Dinas Peternakan Sulawesi Selatan. 2001b. Rencana Strategik Pembangunan


Peternakan Provinsi Sulawesi Selatan (2001-2005). Makassar: Dinas
Peternakan Provinsi Sulawesi Selatan.

[DITJEN PETERNAKAN DAN BALITNAK] Direktorat Jenderal Peternakan dan


Balai Penelitian Ternak. 1995. Pedoman Analisis Potensi Wilayah
Penyebaran dan Pengembangan Peternakan. Jakarta: Direktorat Jenderal
Peternakan dan Balai Penelitian Ternak.

[DITJEN BINA PRODUKSI PETERNAKAN] Direktorat Jenderal Bina Produksi


Peternakan. 2004. Buku Statistik Peternakan Tahun 2003. Jakarta:
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian.

[DITJEN PETERNAKAN DAN FAPET UGM] Direktorat Jenderal Peternakan


dan Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada. 1982. Laporan Survei
Inventarisasi Limbah Pertanian. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan
dan Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada.

Diwyanto K, Priyanti A, Zainuddin D. 1996. Pengembangan ternak berwawasan


agribisnis di pedesaan dengan memanfaatkan limbah pertanian dan
pemilihan bibit yang tepat. Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Pertanian 15(1) : 6-15.
Diwyanto K, Bahri S, Masbulan E. 2000. Ketersediaan dan kebutuhan teknologi
peternakan dan veteriner dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan.
Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor 18-19
September 2000. Bogor: Puslitbang Peternakan Departemen Pertanian.
hlm 51-64.

Diwyanto K, Prawiradiputra BR, Lubis D. 2002. Integrasi tanaman-ternak dalam


pengembangan agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan dan
berkerakyatan. Wartazoa 12 (1) : 1-8.

Djajanegara A. 1999. Local livestock feed resources. Di dalam: Livestock


Industries of Indonesia Prior to the Asian Financial Crisis. RAP
Publication 1999/37. Bangkok: FAO Regional Office for Asia and the
Pacific. hlm 29-39.

Ella A. 2002. Crop livestock system di Sulawesi Selatan : suatu tinjauan


pelaksanaan kegiatan. Wartazoa 12(1) : 18-23.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2004. Selected Indicators of Food and
Agriculture Development in Asia-Pacific Region 1999-2003. Food and
Agriculture Organization of the United Nations. RAP Publication 2004/20.
Bangkok: FAO Regional Office for Asia and the Pacific.

[FAKULTAS PETERNAKAN UGM] Fakultas Peternakan Universitas Gajah


Mada. 1972. Feed Supply dan Feed Analysis Hijauan. Jogyakarta:
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.

[FAKULTAS PETERNAKAN UNHAS] Fakultas Peternakan Universitas


Hasanuddin. 2001. Strategi Pengembangan Industri Peternakan dalam
Era Otonomi Daerah di Sulawesi Selatan. Rumusan Workshop Strategi
Pengembangan Industri Peternakan dalam Era Otonomi Daerah di
Sulawesi Selatan. Makassar 29-30 Mei 2001. Makassar: Fakultas
Peternakan UNHAS dan Puslit Bioteknologi LIPI.

Glueck WF, Jauch LR. 1994. Manajemen Strategis dan Kebijakan Perusahaan.
Jakarta: Erlangga.

Harris LE, Kearl LC, Fonnesbeck PV. 1972. Use of regression equation in
predicting availability of energy and protein. J Anim Sci 65 : 658-664.

Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Lebdosoekoyo S, Tillman AD, Kearl LC, Harris


LE. 1980. Tabel-Tabel Komposisi Bahan Makanan Ternak untuk
Indonesia. Logan Utah: Utah State University.

Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Tillman AD. 1993. Tabel Komposisi Pakan di


Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Haryanto B, Supriyati, Jarmani SN. 2004. Pemanfaatan probiotik dalam bioproses
untuk meningkatkan nilai nutrisi jerami padi untuk pakan domba.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor
4-5 Agustus 2004. Bogor: Puslitbang Peternakan Departemen Pertanian.
hlm 298-304.

Hax AC, Majluf NS. 1991. The Strategy : Concepts and Process. New Jersey:
Prentice-Hall, Inc.

Hidajati N, Martawidjaja M, Inonu I. 2001. Peningkatan protein ransum untuk


pembesaran domba hasil persilangan. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 17-18 September 2001.
Bogor: Puslitbang Peternakan Departemen Pertanian. hlm 235-240.

Jayasuriya, M.C.N. 2002. Principles of rations formulation for ruminant. Di


dalam: Development and Field Evaluation of Animal Feed
Supplementation Packages. IAEA-TECDOC-1294. Austria: IAEA. hlm 9-
14.

Johnson G, Scholes K, Sexty RM. 1989. Exploring Strategic Management.


Ontario: Prentice-Hall, Inc.

Katoe Z. 1991. Tinjauan ekonomi pengembangan sapi potong di Sulawesi


Selatan. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali. Ujung Pandang 2-3
September 1991. Ujung Pandang: Fakultas Peternakan Universitas
Hasanuddin. hlm 110-131.

Komar A. 1984. Teknologi Pengolahan Jerami Padi sebagai Makanan Ternak.


Bandung: Penerbit Yayasan Dhian Grahita.

Kristanto K. 1982. Aspect of the Cattle Economics in South Sulawesi. Otawa:


International Development Research Center.

Laconi EB. 1992. Pemanfaatan manure ayam sebagai suplemen non protein
nitrogen (NPN) dalam pembuatan silase jerami padi untuk ternak kerbau.
[tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Leng RA. 1980. Principles and Practices of Feeding Tropical Crops and By-
Products to Ruminant. Armidale: Department of Biochemistry and
Nutrition, University of New England.

[LPM UNPAD] Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Pajajaran.


2001. Analisis Penetapan Potensi Pengembangan Ternak Unggulan dan
Pemetaan Kawasan Agribisnis Peternakan di Kabupaten Garut,
Tasikmalaya dan Ciamis. Bandung: Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat
dan Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Pajajaran.
Makkar, H.P.S. 2002. Applications of the in vitro gas method in the evaluation of
feed resources, and enhancement of nutritional value of tannin-rich
tree/browse and agro-industrial by-product. Di dalam : Development and
Field Evaluation of Animal Feed Supplementation Packages. IAEA-
TECDOC-1294. Austria: IAEA. hlm 23-40.

Mantra IB, Kasto. 1995. Penentuan sampel. Di dalam : Singarimbun A, Effendi S,


editor. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. hlm 149-174.

Mattjik AA, Sumertajaya M. 2000. Perancangan Percobaan. Jilid I. Bogor: IPB


Press.

Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.


Jakarta: Grasindo.

Martawidjaja M, Budiarsana IGM. 2004. Pengaruh pemberian jerami padi


fermentasi dalam ransum terhadap performan kambing peranakan etawah
betina. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Bogor 4-5 Agustus 2004. Bogor: Puslitbang Peternakan Departemen
Pertanian. hlm 407-415.

Munier FF. 2003. Karakteristik system pemeliharaan ternak ruminansia kecil di


Lembah Palu Sulawesi Tengah. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Bogor 29-30 Sepetember 2003. Bogor:
Puslitbang Peternakan Departemen Pertanian. hlm 327-332.

Muller ZO. 1974. Livestock Nutrition in Indonesia. Rome: UNDP FAO.

Nickols F. 2000. Strategy Is….A Lot of Things. http://home.att.net/-


nickols/strategy_is.htm [28 Januari 2003].

[NRC] National Research Council. 1984. Nutrient Requirement of Beef Cattle. 6th
rev.ed. Washington DC: National Academy Press.

Parra R, Escobar A. 1985. Use of fibrous agricultural residues (FAR) in ruminant


feeding in Latin America. Di dalam: Better Utilization of Crop Residues
and By-products in Animal Feeding:research guidelines. 1.State
knowledge. FAO Animal Production and Health Paper 50. Rome: FAO.

Preston TR. 1986. Better Utilization of Crop Residues and By-products in Animal
Feeding : research guidelines. 2.A practical manual for research workers.
FAO Animal Production and Health Paper 50/2. Rome: FAO.

Priyanti A, Soejana TD, Handayani SW, Ludgate PJ. 1989. Karakteristik peternak
berpenampilan tatalaksana tinggi dan rendah dalam usaha ternak
domba/kambing di kabupaten Bogor Jawa Barat. Bogor: Badan penelitian
dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
Quoc Viet T, Duc Kien D. 2001. Dried rice straw-chicken litter and urea-treated
rice straw as main fodder resources for local cattle in the dry season.
Livestock Research for Rural Development 13 (2).
http://www.cipav.org.co/lrrd/lrrd13/2/trach132.htm. [25 Desember 2005].

Rangkuti F. 2002. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama.

Riethmuller P. 1999. The Indonesian feed and livestock sector : a statistical


overview. Di dalam: Livestock Industries of Indonesia Prior to the Asian
Financial Crisis. RAP Publication 1999/37. Bangkok: FAO Regional
Office for Asia and the Pacific. hlm 107-198.

Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Jakarta: PT


Pustaka Binaman Pressindo.

Sajimin, Kompiang IP, Supriyati, Lugiyo. 2000. Pengaruh pemberian berbagai


cara dan dosis Bacillus sp terhadap produktivitas dan kulaitas rumput
Panicum maximum. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner. Bogor 18-19 September 2000. Bogor: Puslitbang Peternakan
Departemen Pertanian. hlm 359-365.

Sembiring H, Panjaitan T, Mashur, Praptomo D, Muzani A, Sauki A, Wildan,


Mansyur, Sasongko, Nurul A. 2002. Prospek integrasi sistem usahatani
terpadu pemeliharaan sapi pada lahan sawah irigasi di Pulau Lombok.
Wartazoa 12 (1) : 9-17.

Suryani NN. 1994. Pengaruh manure ayam pada wastelage jerami padi dalam
ransum terhadap fermentasi rumen [tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.

Syafaat N, Agustian A, Pranadji T, Ariani M, Setiadjie I, Wirawan. 1995. Studi


Kajian SDM dalam Menunjang Pembangunan Pertanian Rakyat Terpadu
di KTI. Bogor: Puslit Sosial Ekonomi Pertanian.

Syamsu JA. 2001a. Fermentasi jerami padi dengan probiotik sebagai pakan ternak
ruminansia. Jurnal Agrista 5(3) : 280-283.

Syamsu JA. 2001b. Kualitas jerami padi yang difermentasi dengan manure
sebagai pakan ruminansia. Jurnal Produksi Ternak 3(2) : 62-66.

Syamsu JA, Yusuf M, Hikmah, Abustam E. 2003. Kajian fermentasi jerami padi
dengan probiotik sebagai pakan sapi Bali di Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu
Ternak 3(2) : 46-49.

Setiadi B, Subandrio, Iniguez LC. 1995. Reproductive performance in small


ruminant on outreach pilot project in West Java. Jurnal Ilmu Ternak dan
Veteriner 1: 73-80.
Shanahan JF, Smith DH, Stanton TL, Horn BE. 2004. Crop Residues for
Livestock Feed. Colorado: CSU Cooperative Extension - Agriculture,
Colorade State University. http://www.ext.colostate.edu/pubs/
crops/00551.html. [15 September 2005].

Simbaya J. 2002. Availability and feeding quality characteristics of on-farm


produced feed resources in the traditional small-holder sector in Zambia.
Di dalam : Development and Field Evaluation of Animal Feed
Supplementation Packages. IAEA-TECDOC-1294. Austria: IAEA. hlm
153-161.

Soejana TD. 1993. Ekonomi Pemeliharaan Ternak Ruminansia Kecil. Di dalam :


Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Surakarta: Sebelas Maret
University Press.

Soetanto H. 2000. Masalah Gizi dan Produktivitas Ternak Ruminansia di


Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Peternakan.
Universitas Brawijaya. Malang: Universitas Brawijaya.

Soetanto H. 2001. Teknologi dan Strategi Penyediaan Pakan dalam


Pengembangan Industri Peternakan. Makalah Workshop Strategi
Pengembangan Industri Peternakan, Makassar 29-30 Mei 2001. Makassar:
Fakultas Peternakan UNHAS dan Puslitbang Bioteknologi LIPI.

Sofyan LA. 1998. Permasalahan Pakan Ternak dan Solusinya. Makalah Dialog
Nasional Peternakan. Bogor 30-31 Mei 1998. Bogor: Lembaga
Kemahasiswaan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Subroto G. 2003. Analisis SWOT Tinjauan Awal Pendekatan Manajemen.


http://www.depdiknas.go.id/balitbang/Publikasi/Jurnal/No.026/analisis_sw
ot_gatot.htm [11 Pebruari 2003].

Sudardjat S. 2000. Potensi dan prospek bahan pakan lokal dalam mengembangkan
industri peternakan di Indonesia. Buletin Peternakan Edisi Tambahan : 11-
15.

Suryana A. 2000. Harapan dan tantangan bagi subsektor peternakan dalam


meningkatkan ketahanan pangan nasional. Prosiding Seminar Nasional
Peternakan dan Veteriner. Bogor 18-19 September 2000. Bogor:
Puslitbang Peternakan Departemen Pertanian. hlm 21-28.

Sutardi T. 1997. Peluang dan Tantangan Pengembangan Ilmu-ilmu Nutrisi


Ternak. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Nutrisi Ternak Fakultas
Peternakan IPB. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosoekojo S.


1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Wahyudi AS. 1996. Manajemen Strategik : Pengantar Proses Berpikir Strategik.
Jakarta: Binarupa Aksara.

Vongsamphanh P, Wanapat M. 2004. Comparison of cassava hay yield and


chemical composition of local and introduced varieties and effects of
levels of cassava hay supplementation in native beef cattle fed on rice
straw. Livestock Research for Rural Development 16 (8).
http://www.cipav.org.co/cipav/pubs/index.htm. [5 Nopember 2005].

Zulbardi M, Karto AA, Kusnadi U, Thalib A. 2001. Pemanfaatan jerami padi bagi
usaha pemeliharaan sapi peranakan onggole di daerah irigasi tanaman
padi. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Bogor 17-18 September 2001. Bogor : Puslitbang Peternakan Departemen
Pertanian. hlm 256-261.

Xuan Trach N, Magne M, Xuan Dan C. 2001. Effects of treatment of rice straw
with lime and/or urea on responses of growing cattle. Livestock Research
for Rural Development 13 (5). http://www.cipav.org.co/lrrd/ lrrd13/5/trach
135.htm. [13 Januari 2006].

Xuan Trach N. 2004. An evaluation of adoptability of alkali treatment of rice


straw as feed for growing beef cattle under smallholders' circumstances.
Livestock Research for Rural Development 16 (7).
http://www.cipav.org.co/cipav/pubs/index.htm. [9 Desember 2005].
Lampiran 1 Kuisioner survei inventarisasi potensi limbah tanaman pangan

KUISIONER
EVALUASI INVENTARISASI POTENSI
LIMBAH TANAMAN PANGAN DI SULAWESI SELATAN

WAKTU SURVEI : Tanggal……….Bulan……….Tahun…………..

Lokasi dan Musim/Pola Tanam

Desa
: ………………………………..
Kecamatan : (lingkari yang sesuai)
1. Bissappu 5. Wanomulyo
2. Pajukukang 6. Tinambung
3. Tanasitolo 7. Tanete Riaja
4. Sabbangparu 8. Soppeng Riaja
Kabupaten : (lingkari yang sesuai)
1. Bantaeng 3. Polmas
2. Wajo 4. Barru
Bulan musim tanam : (isi bulan dengan angka)
1. Rendeng/Hujan 1 : bulan …….s/d ..……..
2. Rendeng/Hujan 2 : bulan …….s/d…….…
3. Gadu/Kering : bulan …….s/d ………
Pola Tanam : (isian sesuai komoditi yang ditanam)
1. Rendeng/Hujan 1 : ………………………
2. Rendeng/Hujan 2 : ………………………
3. Gadu/Kering : ………………………
Waktu panen (bulan) : (lingkari bulan panen yang sesuai)
1. Rendeng/Hujan 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2. Rendeng/Hujan 2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
3. Gadu/Kering
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Data Hasil Pengubinan

Ulangan Kode Produksi


Sampel (kg/25 m2)
23. Cuplikan 1

24. Cuplikan 2
Lampiran 2 Kuisioner survei evaluasi pemanfaatan limbah tanaman pangan

KUISIONER

EVALUASI PEMANFAATAN
LIMBAH TANAMAN PANGAN SEBAGAI PAKAN TERNAK
RUMINANSIA DI SULAWESI SELATAN

WAKTU DAN LOKASI SURVEI

Waktu survei : tanggal………bulan………tahun………


Desa : ………………………………..
Kecamatan : (lingkari yang sesuai)
9. Bissappu 13. Wanomulyo
10. Pajukukang 14. Tinambung
11. Tanasitolo 15. Tanete Riaja
12. Sabbangparu 16. Soppeng Riaja

Kabupaten : (lingkari yang sesuai)


5. Bantaeng 7. Polmas
6. Wajo 8. Barru

IDENTITAS RESPONDEN

Nama responden :………………………………………


Umur :…………..tahun
Jenis kelamin :L/P
Pendidikan terakhir : (lingkari jawaban sesuai)
1. Tidak tamat/sekolah SD
2. SD
3. SLTP
4. SLTA
5. Perguruan tinggi
Pekerjaan utama : (lingkari jawaban sesuai)
1. Petani
2. Pegawai
3. Pensiunan
4. Pedagang
5. Ibu rumah tangga
Pengalaman beternak : ………….tahun
ASPEK PAKAN TERNAK

a. Ternak dipelihara secara


[ ] dilepas sepanjang hari, alasannya………………….
[ ] dilepas siang hari dan diikat pada malam hari, alasannya……...
[ ] dikandangkan sepanjang hari, alasannya……………………….
[ ] dikandangkan pada malam hari saja, alasannya………………...
Komentar

b. Sistem pemberian pakan


[ ] merumput di sawah/kebun/pekarangan
[ ] merumput dipadang penggembalaan
[ ] merumput di sawah/kebun/pekarangan,diberi rumput potongan
Komentar

c. Jenis hijauan pakan yang diberikan


[ ] hanya rumput
[ ] rumput dan daun-daunan
[ ] rumput dan limbah pertanian
[ ] rumput, daun-daunan,limbah tanaman pangan
Komentar

d. Jenis pakan tambahan yang diberikan


[ ] dedak
[ ] garam
[ ] dedak dan garam
[ ] tidak menggunakan pakan tambahan
Komentar

e. Ketersediaan pakan
[ ] selalu tersedia
[ ] fluktuasi/musiman
Komentar
PEMANFAATAN LIMBAH LIMBAH TANAMAN PANGAN SEBAGAI
PAKAN

a. Apakah menggunakan limbah tanaman pangan sebagai pakan


[ ] ya (bila ya, pertanyaan ke point b)
[ ] tidak (bila tidak, pertanyaan ke point g)
b. Jenis limbah yang digunakan
[ ] jerami padi
[ ] jerami jagung
[ ] jerami kedelai
[ ] jerami kacang tanah
[ ] jerami kacang hijau
[ ] jerami ubi jalar
[ ] pucuk ubi kayu
c. Apakah limbah pertanian digunakan setiap saat
[ ] ya, alasannya :

[ ] tidak, alasannya :

d. Apakah mengetahui tentang teknologi pakan limbah pertanian


[ ] ya (bila ya, pertanyaan ke point e)
[ ] tidak, komentar :

e. Jenis teknologi pakan yang diketahui


[ ] amoniasi
[ ] silase
[ ] hay (pengeringan)
[ ] lainnya
f. Apakah menerapkan/melakukan teknologi pakan tersebut
[ ] ya, alasan menggunakan……….

[ ] tidak, alasan tidak menggunakan…………..

g. Alasan tidak menggunakan limbah

h. Alasan tidak menggunakan limbah pertanian sebagai pakan


Lampiran 3 Kuisioner identifikasi faktor eksternal dan internal

KUISIONER

IDENTIFIKASI FAKTOR EKSTERNAL DAN INTERNAL


UNTUK PERUMUSAN STRATEGI PEMANFAATAN
LIMBAH TANAMAN PANGAN SEBAGAI PAKAN
DI SULAWESI SELATAN

Nama Responden
Umur
Pendidikan Terakhir
Pekerjaan/Jabatan
Alamat

Tlp
Waktu Wawancara Tanggal …….Bulan……Tahun……….
Tanda tangan

Penjelasan

Dalam rangka perumusan strategi pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai


pakan di Sulawesi Selatan, dimohon kesediaannya untuk memberikan pendapat
dan masukan yang berhubungan dengan faktor-faktor eksternal dan internal.

1). Identifikasi Faktor Ekternal - PELUANG

1. …………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
2. …………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
3. …………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
4. …………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
5. …………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
6. …………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
2). Identifikasi Faktor Ekternal – ANCAMAN

1. …………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
2. …………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
3. …………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
4. …………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
5. …………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
6. …………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………

3). Identifikasi Faktor Internal - KEKUATAN

1. …………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
2. …………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
3. …………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
4. …………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
5. …………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
6. …………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………

4). Identifikasi Faktor Internal - KELEMAHAN

1. …………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
2. …………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
3. …………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
4. …………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
5. …………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
6. …………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
Lampiran 4 Kuisioner penentuan bobot dan peringkat faktor-faktor eksternal
dan internal

KUISIONER
PENENTUAN BOBOT DAN PERINGKAT (RATING)
FAKTOR EKSTERNAL DAN INTERNAL
UNTUK PERUMUSAN STRATEGI PEMANFAATAN
LIMBAH TANAMAN PANGAN SEBAGAI PAKAN
DI SULAWESI SELATAN

Nama Responden
Umur
Pendidikan Terakhir
Pekerjaan/Jabatan
Alamat

Tlp
Waktu Wawancara Tanggal …….Bulan……Tahun……….
Tanda tangan

Dimohon kesediaannya untuk memberikan BOBOT dan PERINGKAT


terhadap faktor-faktor eksternal dan internal.

PENENTUAN BOBOT FAKTOR EKSTERNAL DAN INTERNAL

Penjelasan

1. Penentuan bobot faktor-faktor eksternal dan internal dilakukan dengan


penerapan Metode Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process).
2. Pertanyaan yang diajukan berbentuk perbandingan antara elemen baris dengan
elemen kolom pada tabel yang disediakan.
3. Masing-masing kotak dalam tabel diberikan nilai oleh Bapak/Ibu berdasarkan
tingkat kepentingan dari elemen-elemen yang dibandingan secara
berpasangan.
4. Bapak/Ibu hanya mengisi kotak dalam tabel yang berwarna putih saja dengan
salah satu angka skala yang disediakan
5. Nilai komparasi yang diberikan mempunyai skala 1 sampai 9, dan
kebalikannya (1, 1/2, 1/3…….1/9) yang didefenisikan seperti tabel berikut.
Intensitas
Keterangan
Kepentingan
1 Kedua elemen sama pentingnya
3 Elemen (x) sedikit lebih penting daripada elemen (y)
5 Elemen (x) lebih penting daripada elemen (y)
7 Elemen (x) jelas lebih penting daripada elemen (y)
9 Elemen (x) mutlak lebih penting daripada elemen (y)
2,4,6,8 Nilai-nilai diantara kedua nilai pertimbangan yang berdekatan

Sumber : Saaty (1993).

1). Penentuan Bobot Faktor Eksternal

Faktor eksternal A B C D E F G H
Peluang 1 (A)
Peluang 2 (B)
Peluang 3 (C)
Peluang ke-n (D)
Ancaman 1 (E)
Ancaman 2 (F)
Ancaman 3 (G)
Ancaman ke-n (H)

2). Penentuan Bobot Faktor Internal

Faktor eksternal A B C D E F G H
Kekuatan 1 (A)
Kekuatan 2 (B)
Kekuatan 3 (C)
Kekuatan ke-n (D)
Kelemahan1 (E)
Kelemahan 2 (F)
Kelemahan3 (G)
Kelemahan ke-n (H)
PENENTUAN RATING FAKTOR EKSTERNAL DAN INTERNAL

Penjelasan
Berikan nilai peringkat (rating) dari masing-masing faktor eksternal (peluang dan
ancaman) dan internal (kekuatan dan kelemahan), dengan memberikan tanda ( √ )
sesuai pilihan dan pendapat Bapak/Ibu dalam kotak pada tabel yang disediakan.

1). Penentuan Rating Faktor Eksternal


Pilihan rating yang digunakan mempunyai skala 1 sampai 4, terdiri atas :
1 = RENDAH (kurang)
2 = SEDANG (rata-rata)
3 = TINGGI (diatas rata-rata)
4 = SANGAT TINGGI (superior)

Nilai Peringkat (Rating)


Faktor-Faktor Eksternal
1 2 3 4
PELUANG
Peluang 1
Peluang 2
Peluang 3
Peluang ke-n
ANCAMAN
Ancaman 1
Ancaman 2
Ancaman 3
Ancaman ke-n

2). Penentuan Rating Faktor Internal


Pilihan rating yang digunakan mempunyai skala 1 sampai 4, terdiri atas :
1 = SANGAT LEMAH
2 = LEMAH
3 = KUAT
4 = SANGAT KUAT

Nilai Peringkat (Rating)


Faktor-Faktor Internal
1 2 3 4
KEKUATAN
Kekuatan 1
Kekuatan 2
Kekuatan 3
Kekuatan ke-n
KELEMAHAN
Kelemahan 1
Kelemahan 2
Kelemahan 3
Kelemahan ke-n
Lampiran 5 Kuisioner penentuan nilai daya tarik alternatif strategi

KUISIONER
PENENTUAN NILAI DAYA TARIK (ATTRACTIVENESS SCORE)
ALTERNATIF STRATEGI PEMANFAATAN LIMBAH TANAMAN
PANGAN SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA
DI SULAWESI SELATAN

Nama Responden
Umur
Pendidikan Terakhir
Pekerjaan/Jabatan
Alamat

Tlp
Waktu Wawancara Tanggal …….Bulan……Tahun……….
Tanda tangan

Dimohon kesediaannya untuk memberikan NILAI DAYA TARIK


terhadap alternatif strategi yang telah dirumuskan.

Penjelasan
1. Nilai daya tarik ditetapkan dengan memeriksa setiap faktor eksternal
(peluang dan ancaman) dan internal (kekuatan dan kelemahan) satu per
satu. Apakah faktor tersebut mempengaruhi alternatif strategi pilihan yang
akan dibuat ?

2. Tentukan Nilai Daya Tarik dari masing-masing faktor terhadap alternatif


strategi yang akan diambil, dengan cara memberikan tanda ( √ ) sesuai pilihan
dan pendapat Bapak/Ibu dalam kotak pada tabel yang disediakan.

3. Pilihan Nilai Daya Tarik yang dipilih adalah :


1 = tidak menarik,
2 = agak menarik,
3 = cukup menarik,
4 = sangat menarik
Bila jawaban yang dipilih adalah tidak menarik (1), menunjukkan bahwa
faktor tersebut tidak berpengaruh pada alternatif strategi yang akan dibuat.
1) Nilai Daya Tarik Alternatif Strategi 1

Faktor-Faktor Eksternal Nilai Daya Tarik


Bobot
dan Internal 1 2 3 4
FAKTOR-FAKTOR EKSTERNAL
♦ PELUANG
Peluang 1 √
Peluang 2
Peluang ke-n
♦ ANCAMAN Bobot dari
Matriks EFE
Ancaman 1
dan IFE
Ancaman 2
Ancaman ke-n
FAKTOR-FAKTOR INTERNAL
♦ KEKUATAN
Kekuatan 1
Kekuatan 2
Kekuatan ke-n
♦ KELEMAHAN
Kelemahan 1
Kelemahan 2
Kelemahan ke-n

2) Nilai Daya Tarik Alternatif Strategi ke-n

Faktor-Faktor Eksternal Nilai Daya Tarik


Bobot
dan Internal 1 2 3 4
FAKTOR-FAKTOR EKSTERNAL
♦ PELUANG
Peluang 1
Peluang 2
Peluang ke-n
♦ ANCAMAN
Ancaman 1
Ancaman 2
Ancaman ke-n √
FAKTOR-FAKTOR INTERNAL
Bobot dari
♦ KEKUATAN Matriks EFE
Kekuatan 1 dan IFE
Kekuatan 2
Kekuatan ke-n
♦ KELEMAHAN
Kelemahan 1
Kelemahan 2
Kelemahan ke-n
Lampiran 6 Populasi ternak ruminansia di Sulawesi Selatan

Ternak Ruminansia (ekor)


Kabupaten Sapi Sapi
Kerbau Kambing Domba
Potong Perah
Selayar 6 557 0 4 873 71 301 615
Bulukumba 65 835 0 5 493 28 006 0
Bantaeng 26 327 0 2 102 20 291 0
Jeneponto 17 434 0 11 487 62 591 724
Takalar 17 392 0 5 137 20 237 7
Gowa 70 572 0 22 568 17 822 0
Sinjai 38 368 73 6 170 21 315 0
Maros 40 488 0 10 465 17 490 0
Pangkep 27 589 0 9 375 5 694 0
Barru 33 451 0 2 157 9 207 0
Bone 104 696 0 5 754 8 677 0
Soppeng 11 959 0 78 8 192 0
Wajo 18 293 0 5 889 6 977 0
Sidrap 28 082 0 2 083 5 561 0
Pinrang 36 221 0 4 746 15 024 12
Enrekang 32 014 500 3 449 41 375 35
Luwu 12 280 0 5 655 6 943 0
Tator 6 198 0 46 833 12 068 0
Polmas 24 442 0 4 932 66 431 0
Majene 8 292 0 2 004 73 578 0
Mamuju 87 684 0 6 902 20 392 0
Luwu Utara 20 576 0 6 645 7 611 0
Makassar 1 322 29 665 4 152 0
Parepare 1 466 0 155 4 992 0
Jumlah 737 538 602 175 617 555 927 1 393
Lampiran 7 Nilai Location Quotient (LQ) ternak ruminansia di Sulawesi Selatan

Nilai Location Quotient (LQ)


Kabupaten/Kota
Sapi Sapi
Kerbau Kambing Domba
Potong Perah
Selayar 0.38 0.00 1.18 5.43 18.71
Bulukumba 1.14 0.00 0.40 0.64 0.00
Bantaeng 1.08 0.00 0.36 1.11 0.00
Jeneponto 0.62 0.00 1.72 2.97 13.70
Takalar 0.92 0.00 1.14 1.42 0.20
Gowa 1.03 0.00 1.38 0.34 0.00
Sinjai 1.07 2.49 0.72 0.79 0.00
Maros 1.04 0.00 1.12 0.59 0.00
Pangkep 1.03 0.00 1.46 0.28 0.00
Barru 1.18 0.00 0.32 0.43 0.00
Bone 1.23 0.00 0.28 0.13 0.00
Soppeng 1.14 0.00 0.03 1.04 0.00
Wajo 1.01 0.00 1.37 0.51 0.00
Sidrap 1.19 0.00 0.37 0.31 0.00
Pinrang 1.11 0.00 0.61 0.61 0.20
Enrekang 0.98 18.75 0.44 1.68 0.57
Luwu 0.92 0.00 1.78 0.69 0.00
Tator 0.21 0.00 6.56 0.53 0.00
Polmas 0.80 0.00 0.68 2.88 0.00
Majene 0.47 0.00 0.48 5.56 0.00
Mamuju 1.18 0.00 0.39 0.36 0.00
Luwu Utara 1.01 0.00 1.37 0.50 0.00
Makassar 0.68 18.19 1.43 2.82 0.00
Parepare 0.77 0.00 0.34 3.48 0.00
Lampiran 8 Analisis statistik deskriptif produksi limbah tanaman pangan

Produksi Produksi
Produksi Produksi Bahan
Jenis Limbah Tanaman Pangan Descriptive Statistics Segar 25m2 Kering
Segar (ton/ha) Kering (ton/ha)
(kg) (ton/ha)
Mean 29.72 11.89 6.73 5.94
Standard Error 1.57 0.63 0.45 0.39
Standard Deviation 8.89 3.56 1.80 1.56
Sample Variance 79.80 12.65 3.25 2.43
Jerami Padi
Range 26.50 10.60 5.49 4.77
Minimum 18.50 7.40 4.16 3.56
Maximum 45.00 18.00 9.66 8.35
Count 32.00 32.00 16.00 16.00
Mean 24.34 9.74 6.82 6.00
Standard Error 0.48 0.19 0.17 0.15
Standard Deviation 2.73 1.09 0.69 0.60
Sample Variance 7.43 1.89 0.51 0.36
Jerami Jagung
Range 9.50 3.80 2.52 2.11
Minimum 20.00 8.00 5.76 5.14
Maximum 29.50 11.80 8.03 7.25
Count 32.00 32.00 16.00 16.00
Mean 10.86 4.34 3.26 2.79
Standard Error 0.26 0.10 0.09 0.08
Standard Deviation 1.48 0.59 0.38 0.32
Sample Variance 2.19 0.35 0.14 0.10
Jerami Kedelai
Range 5.50 2.20 1.31 1.09
Minimum 8.00 3.20 2.51 2.17
Maximum 13.50 5.40 3.82 3.26
Count 32.00 32.00 16.00 16.00
Lampiran 8 Analisis statistik deskriptif produksi limbah tanaman pangan (lanjutan)

Produksi Produksi
Produksi Produksi Bahan
Jenis Limbah Tanaman Pangan Descriptive Statistics Segar 25m2 Kering
Segar (ton/ha) Kering (ton/ha)
(kg) (ton/ha)
Mean 23.86 9.54 6.24 5.45
Standard Error 0.47 0.19 0.19 0.17
Standard Deviation 2.68 1.07 0.75 0.68
Sample Variance 7.19 1.15 0.57 0.46
Jerami Kacang Hijau
Range 9.00 3.60 2.57 2.29
Minimum 19.00 7.60 4.86 4.17
Maximum 28.00 11.20 7.43 6.46
Count 32.00 32.00 16.00 16.00
Mean 22.02 8.81 5.70 4.94
Standard Error 0.38 0.15 0.14 0.12
Standard Deviation 2.13 0.85 0.55 0.48
Sample Variance 4.52 0.72 0.30 0.23
Jerami Kacang Tanah
Range 9.00 3.60 1.85 1.71
Minimum 18.00 7.20 4.74 4.08
Maximum 27.00 10.80 6.59 5.80
Count 32.00 32.00 16.00 16.00
Mean 26.27 10.51 6.12 4.93
Standard Error 0.75 0.30 0.22 0.19
Standard Deviation 4.25 1.70 0.86 0.77
Sample Variance 18.05 2.89 0.75 0.59
Jerami Ubi Jalar
Range 18.00 7.20 3.38 3.10
Minimum 18.00 7.20 4.69 3.72
Maximum 36.00 14.40 8.07 6.82
Count 32.00 32.00 16.00 16.00
Lampiran 8 Analisis statistik deskriptif produksi limbah tanaman pangan (lanjutan)

Produksi Produksi
Produksi Produksi Bahan
Jenis Limbah Tanaman Pangan Descriptive Statistics Segar 25m2 Kering
Segar (ton/ha) Kering (ton/ha)
(kg) (ton/ha)
Mean 8.58 3.43 2.07 1.73
Standard Error 0.30 0.12 0.09 0.80
Standard Deviation 1.71 0.69 0.37 0.32
Sample Variance 2.94 0.47 0.13 0.10
Pucuk Ubi Kayu
Range 6.00 2.40 1.29 1.16
Minimum 5.50 2.20 1.50 1.24
Maximum 11.50 4.60 2.79 2.40
Count 32.00 32.00 16.00 16.00
Lampiran 9 Analisis statistik deskriptif kualitas limbah tanaman pangan

Jenis Limbah Tanaman Pangan Descriptive Statistics BK PK LK SK BETN Abu TDN


Mean 88.30 4.64 2.74 33.79 41.40 17.44 42.65
Standard Error 0.32 0.28 0.27 1.40 1.48 0.47 1.17
Standard Deviation 1.26 1.11 1.07 5.60 5.93 1.89 4.68
Sample Variance 1.59 1.23 1.14 31.39 35.11 3.56 21.91
Jerami Padi
Range 4.53 2.98 3.42 21.46 20.58 6.39 14.56
Minimum 85.95 3.09 1.14 24.88 29.47 14.65 33.47
Maximum 90.48 6.07 4.56 46.34 50.05 21.04 48.03
Count 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00
Mean 86.82 6.38 2.81 30.19 51.69 8.94 53.23
Standard Error 0.46 0.30 0.28 0.61 0.93 0.40 0.61
Standard Deviation 1.84 1.19 1.10 2.46 3.70 1.61 2.44
Sample Variance 3.38 1.42 1.22 6.04 13.71 2.60 5.95
Jerami Jagung
Range 6.02 4.24 4.59 8.15 10.66 6.23 9.48
Minimum 83.20 4.88 1.08 25.18 46.11 5.70 48.26
Maximum 89.22 9.12 5.67 33.33 56.77 11.93 57.74
Count 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00
Mean 85.68 9.05 3.17 35.02 45.52 7.23 53.12
Standard Error 0.37 0.24 0.20 1.29 1.31 0.34 1.04
Standard Deviation 1.48 0.95 0.79 5.16 5.24 1.36 4.17
Sample Variance 2.20 0.90 0.63 26.62 27.51 1.85 17.36
Jerami Kedelai
Range 5.17 3.96 3.28 18.77 19.03 4.57 18.61
Minimum 82.74 6.61 1.49 27.64 33.34 4.99 41.98
Maximum 87.91 10.57 4.77 46.41 52.37 9.56 60.59
Count 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00
Lampiran 9 Analisis statistik deskriptif kualitas limbah tanaman pangan (lanjutan)

Jenis Limbah Tanaman Pangan Descriptive Statistics BK PK LK SK BETN Abu TDN


Mean 87.38 5.64 4.01 33.26 47.77 9.32 52.46
Standard Error 0.25 0.19 0.16 0.55 0.73 0.19 0.58
Standard Deviation 0.99 0.77 0.63 2.19 2.92 0.76 2.32
Sample Variance 0.99 0.60 0.40 4.79 8.52 0.58 5.36
Jerami Kacang Hijau
Range 3.22 3.20 2.08 6.43 8.56 2.80 6.93
Minimum 85.91 3.94 2.78 29.46 43.82 7.96 49.19
Maximum 89.13 7.14 4.86 35.89 52.38 10.76 56.12
Count 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00
Mean 86.76 12.00 2.67 30.27 42.76 12.30 52.09
Standard Error 0.36 0.53 0.26 0.41 0.85 0.66 0.82
Standard Deviation 1.44 2.13 1.05 1.63 3.39 2.64 3.28
Sample Variance 2.07 4.53 1.11 2.65 11.46 6.96 10.78
Jerami Kacang Tanah
Range 4.90 7.57 4.35 5.41 10.31 9.37 11.80
Minimum 84.35 8.33 0.97 27.45 37.68 9.53 45.08
Maximum 89.25 15.90 5.32 32.86 47.99 18.90 56.88
Count 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00
Mean 80.34 11.05 3.96 26.98 45.33 12.68 53.09
Standard Error 0.47 0.41 0.38 0.55 1.15 0.50 1.09
Standard Deviation 1.87 1.63 1.51 2.21 4.58 1.98 4.37
Sample Variance 3.51 2.64 2.27 4.90 21.00 3.93 19.06
Jerami Ubi Jalar
Range 7.34 5.20 4.22 7.68 18.50 5.71 16.60
Minimum 77.22 7.91 2.32 21.57 37.30 10.17 42.28
Maximum 84.56 13.11 6.54 29.25 55.80 15.88 58.88
Count 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00
Lampiran 9 Analisis statistik deskriptif kualitas limbah tanaman pangan (lanjutan)

Jenis Limbah Tanaman Pangan Descriptive Statistics BK PK LK SK BETN Abu TDN


Mean 83.64 17.04 5.66 21.11 46.13 10.06 61.29
Standard Error 0.48 0.58 0.33 0.37 0.93 0.27 1.55
Standard Deviation 1.91 2.31 1.34 1.47 3.72 1.09 6.21
Sample Variance 3.66 5.35 1.79 2.16 13.81 1.19 38.60
Pucuk Ubi Kayu
Range 6.53 7.25 5.25 5.50 12.57 4.27 22.65
Minimum 80.34 12.87 3.48 18.92 38.51 8.47 44.61
Maximum 86.87 20.12 8.73 24.42 51.08 12.74 67.25
Count 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00
Lampiran 10 Luas areal panen tanaman pangan di Sulawesi Selatan tahun 2003

Luas Areal Panen (ha) Tanaman Pangan


Kabupaten/Kota
Padi Jagung Kedelai Kacang Hijau Kacang Tanah Ubi Jalar Ubi Kayu
Selayar 1 554 5 230 385 459 1 020 26 928
Bulukumba 39 581 27 727 178 1 148 4 414 807 3 095
Bantaeng 14 080 33 102 946 183 472 75 352
Jeneponto 18 842 39 498 4 412 7 216 743 99 11 715
Takalar 20 635 3 891 326 4 165 217 288 1 885
Gowa 47 261 16 319 124 5 426 826 492 6 126
Sinjai 19 054 7 393 17 2 4 382 248 403
Maros 31 023 2 175 955 155 2 131 203 3 258
Pangkep 17 988 234 467 1 302 1 264 181 144
Barru 15 317 522 51 126 2 903 149 519
Bone 139 442 54 458 6 882 4 514 19 625 600 2 511
Soppeng 37 151 5 116 631 532 976 13 35
Wajo 97 090 4 012 743 5 596 1 501 246 340
Sidrap 79 327 1 868 89 111 797 249 236
Pinrang 77 824 999 115 418 152 61 503
Enrekang 6 770 3 197 127 133 366 88 354
Luwu 48 910 461 321 65 182 169 219
Tator 28 588 2 274 135 7 649 834 1 740
Polmas 34 940 1 349 77 939 158 372 2 182
Majene 2 337 360 204 433 141 72 1 572
Mamuju 13 331 1 453 5 626 42 157 139 1 936
Luwu Utara 53 161 1 929 159 93 212 309 551
Makassar 2 195 29 5 92 4 28 170
Parepare 905 224 0 23 93 0 33
Jumlah 847 306 213 820 22 975 33 180 43 385 5 748 40 807
Lampiran 11 Produksi segar limbah tanaman pangan di Sulawesi Selatan tahun 2003

Produksi Segar (ton) Limbah Tanaman Pangan


Kabupaten/Kota Jerami Jerami Jerami Jer. Kacang Jer.Kacang Jerami Pucuk Jumlah (ton)
Padi Jagung Kedelai Hijau Tanah Ubi Jalar Ubi Kayu
Selayar 18 477 50 940 1 671 4 379 8 986 273 3 183 87 910
Bulukumba 470 618 270 061 773 10 952 38 887 8 482 10 616 810 388
Bantaeng 167 411 322 413 4 106 1 746 4 158 788 1 207 501 830
Jeneponto 224 031 384 711 19 148 68 841 6 546 1 040 40 182 744 499
Takalar 245 350 37 898 1 415 39 734 1 912 3 027 6 466 335 802
Gowa 561 933 158 947 538 51 764 7 277 5 171 21 012 806 643
Sinjai 226 552 72 008 74 19 38 605 2 606 1 382 341 247
Maros 368 863 21 185 4 145 1 479 18 774 2 134 11 175 427 754
Pangkep 213 877 2 279 2 027 12 421 11 136 1 902 494 244 136
Barru 182 119 5 084 221 1 202 25 575 1 566 1 780 217 548
Bone 1 657 965 530 421 29 868 43 064 172 896 6 306 8 613 2.449 133
Soppeng 441 725 49 830 2 739 5 075 8 599 137 120 508 224
Wajo 1 154 400 39 077 3 225 53 386 13 224 2 585 1 166 1 267 063
Sidrap 943 198 18 194 386 1 059 7 022 2 617 809 973 286
Pinrang 925 327 9 730 499 3 988 1 339 641 1 725 943 250
Enrekang 80 495 31 139 551 1 269 3 224 925 1 214 118 818
Luwu 581 540 4 490 1 393 620 1 603 1 776 751 592 174
Tator 339 911 22 149 586 67 5 718 8 765 5 968 383 164
Polmas 415 437 13 139 334 8 958 1 392 3 910 7 484 450 654
Majene 27 787 3 506 885 4 131 1 242 757 5 392 43 700
Mamuju 158 506 14 152 24 417 401 1 383 1 461 6 640 206 960
Luwu Utara 632 084 18 788 690 887 1 868 3 248 1 890 659 455
Makassar 26 099 282 22 878 35 294 583 28 193
Parepare 10 760 2 182 0 219 819 0 113 14 094
Jumlah 10 074 468 2 082 607 99 712 316 537 382 222 60 411 139 968 13 155 925
Lampiran 12 Produksi kering limbah tanaman pangan di Sulawesi Selatan tahun 2003

Produksi Kering (ton) Limbah Tanaman Pangan


Kabupaten/Kota Jerami Jerami Jerami Jer. Kacang Jer.Kacang Jerami Pucuk Jumlah (ton)
Padi Jagung Kedelai Hijau Tanah Ubi Jalar Ubi Kayu
Selayar 10 458 35 669 1 255 2 864 5 814 159 1 921 58 140
Bulukumba 266 380 189 098 580 7 164 25 160 4 939 6 407 499 727
Bantaeng 94 758 225 756 3 084 1 142 2 690 459 729 328 618
Jeneponto 126 807 269 376 14 383 45 028 4 235 606 24 250 484 685
Takalar 138 874 26 537 1 063 25 990 1 237 1 763 3 902 199 364
Gowa 318 067 111 296 404 33 858 4 708 3 011 12 681 484 025
Sinjai 128 233 50 420 55 12 24 977 1 518 834 206 051
Maros 208 785 14 834 3 113 967 12 147 1 242 6 744 247 832
Pangkep 121 059 1 596 1 522 8 124 7 205 1 108 298 140 913
Barru 103 083 3 560 166 786 16 547 912 1 074 126 129
Bone 938 445 371 404 22 435 28 167 111 863 3 672 5 198 1 481 183
Soppeng 250 026 34 891 2 057 3 320 5 563 80 72 296 009
Wajo 653 416 27 362 2 422 34 919 8 556 1 506 704 728 884
Sidrap 533 871 12 740 290 693 4 543 1 524 489 554 149
Pinrang 523 756 6 813 375 2 608 866 373 1 041 535 833
Enrekang 45 562 21 804 414 830 2 086 539 733 71 967
Luwu 329 164 3 144 1 046 406 1 037 1 034 453 336 285
Tator 192 397 15 509 440 44 3 699 5 104 3 602 220 795
Polmas 235 146 9 200 251 5 859 901 2 277 4 517 258 151
Majene 15 728 2 455 665 2 702 804 441 3 254 26 049
Mamuju 89 718 9 909 18 341 262 895 851 4 008 123 983
Luwu Utara 357 774 13 156 518 580 1 208 1 891 1 141 376 268
Makassar 14 772 198 16 574 23 171 352 16 107
Parepare 6 091 1 528 0 144 530 0 68 8 360
Jumlah 5 702 369 1 458 252 74 899 207 043 247 295 35 178 84 470 7 809 506
Lampiran 13 Indeks konsentrasi produksi pakan (IKPP) limbah tanaman pangan

Indeks Konsentrasi Produksi Pakan (IKPP) Limbah Tanaman Pangan


Kabupaten/Kota Jerami Jerami Jerami Jer. Kacang Jer.Kacang Jerami Pucuk
Padi Jagung Kedelai Hijau Tanah Ubi Jalar Ubi Kayu
Selayar 0.04 0.59 0.40 0.33 0.56 0.11 0.55
Bulukumba 1.12 3.11 0.19 0.83 2.44 3.37 1.82
Bantaeng 0.40 3.72 0.99 0.13 0.26 0.31 0.21
Jeneponto 0.53 4.43 4.61 5.22 0.41 0.41 6.89
Takalar 0.58 0.44 0.34 3.01 0.12 1.20 1.11
Gowa 1.34 1.83 0.13 3.92 0.46 2.05 3.60
Sinjai 0.54 0.83 0.02 0.00 2.42 1.04 0.24
Maros 0.88 0.24 1.00 0.11 1.18 0.85 1.92
Pangkep 0.51 0.03 0.49 0.94 0.70 0.76 0.08
Barru 0.43 0.06 0.05 0.09 1.61 0.62 0.31
Bone 3.95 6.11 7.19 3.27 10.86 2.51 1.48
Soppeng 1.05 0.57 0.66 0.38 0.54 0.05 0.02
Wajo 2.75 0.45 0.78 4.05 0.83 1.03 0.20
Sidrap 2.25 0.21 0.09 0.08 0.44 1.04 0.14
Pinrang 2.20 0.11 0.12 0.30 0.08 0.25 0.30
Enrekang 0.19 0.36 0.13 0.10 0.20 0.37 0.21
Luwu 1.39 0.05 0.34 0.05 0.10 0.71 0.13
Tator 0.81 0.26 0.14 0.01 0.36 3.48 1.02
Polmas 0.99 0.15 0.08 0.68 0.09 1.55 1.28
Majene 0.07 0.04 0.21 0.31 0.08 0.30 0.92
Mamuju 0.38 0.16 5.88 0.03 0.09 0.58 1.14
Luwu Utara 1.51 0.22 0.17 0.07 0.12 1.29 0.32
Makassar 0.06 0.00 0.01 0.07 0.00 0.12 0.10
Parepare 0.03 0.03 0.00 0.02 0.05 0.00 0.02
Lampiran 14 Daya dukung bahan kering limbah tanaman pangan

Daya Dukung Bahan Kering (ST) Limbah Tanaman Pangan


Kabupaten/Kota Jerami Jerami Jerami Jer. Kacang Jer.Kacang Jerami Pucuk Jumlah (ST)
Padi Jagung Kedelai Hijau Tanah Ubi Jalar Ubi Kayu
Selayar 4 049 13 763 471 1 097 2 210 56 704 22 350
Bulukumba 103 119 72 966 218 2 744 9 564 1 745 2 348 192 704
Bantaeng 36 682 87 111 1 158 437 1 023 162 267 126 840
Jeneponto 49 088 103 942 5 399 17 249 1 610 214 8 889 186 391
Takalar 53 760 10 239 399 9 956 470 623 1 430 76 877
Gowa 123 127 42 945 152 12 970 1 790 1 064 4 648 186 696
Sinjai 49 641 19 455 21 5 9 494 536 306 79 458
Maros 80 823 5 724 1 169 371 4 617 439 2 472 95 614
Pangkep 46 863 616 571 3 112 2 739 391 109 54 402
Barru 39 905 1 374 62 301 6 290 322 394 48 648
Bone 363 283 143 311 8 421 10 790 42 521 1 297 1 905 571 529
Soppeng 96 788 13 463 772 1 272 2 115 28 27 114 464
Wajo 252 945 10 558 909 13 376 3 252 532 258 281 831
Sidrap 206 668 4 916 109 265 1 727 538 179 214 402
Pinrang 202 752 2 629 141 999 329 132 382 207 364
Enrekang 17 638 8 413 155 318 793 190 269 27 776
Luwu 127 423 1 213 393 155 394 365 166 130 111
Tator 74 479 5 984 165 17 1 406 1 803 1 320 85 175
Polmas 91 028 3 550 94 2 245 342 804 1 656 99 719
Majene 6 089 947 250 1 035 306 156 1 193 9 974
Mamuju 34 731 3 824 6 884 100 340 301 1 469 47 649
Luwu Utara 138 498 5 076 195 222 459 668 418 145 537
Makassar 5 719 76 6 220 9 61 129 6 219
Parepare 2 358 589 0 55 202 0 25 3 229
Jumlah 2 207 455 562 684 28 114 79 312 94 001 12 429 30 963 3 014 958
Lampiran 15 Daya dukung total digestible nutrient limbah tanaman pangan

Daya Dukung Total Digestible Nutrient (ST) Limbah Tanaman Pangan


Kabupaten/Kota Jerami Jerami Jerami Jer. Kacang Jer.Kacang Jerami Pucuk Jumlah (ST)
Padi Jagung Kedelai Hijau Tanah Ubi Jalar Ubi Kayu
Selayar 2 508 10 639 363 836 1 672 43 627 16 688
Bulukumba 63 869 56 404 168 2 091 7 235 1 345 2 090 133 202
Bantaeng 22 720 67 338 893 333 774 125 238 92 421
Jeneponto 30 404 80 349 4.165 13 141 1 218 165 7 912 137 354
Takalar 33 297 7 915 308 7 585 356 480 1 273 51 214
Gowa 76 262 33 197 117 9 881 1 354 820 4 137 125 769
Sinjai 30 746 15 039 16 4 7 182 413 272 53 673
Maros 50 060 4 425 902 282 3 493 338 2 200 61 700
Pangkep 29 026 476 441 2 371 2 072 302 97 34 785
Barru 24 716 1 062 48 229 4 758 248 351 31 413
Bone 225 009 110 782 6.496 8 220 32 166 1 000 1 696 385 369
Soppeng 59 948 10 407 596 969 1 600 22 24 73 565
Wajo 156 668 8 161 701 10 191 2 460 410 230 178 821
Sidrap 128 005 3 800 84 202 1 306 415 159 133 972
Pinrang 125 580 2 032 109 761 249 102 340 129 172
Enrekang 10 924 6 504 120 242 600 147 239 18 776
Luwu 78 923 938 303 118 298 282 148 81 010
Tator 46 131 4 626 127 13 1 064 1.390 1 175 54 526
Polmas 56 380 2 744 73 1 710 259 620 1 474 63 260
Majene 3 771 732 193 789 231 120 1 062 6 897
Mamuju 21 511 2 956 5.311 76 257 232 1 307 31 651
Luwu Utara 85 783 3 924 150 169 347 515 372 91 261
Makassar 3 542 59 5 168 7 47 115 3 941
Parepare 1 460 456 0 42 152 0 22 2 133
Jumlah 1 367 244 434 967 21.688 60 423 71 108 9 582 27 559 1 992 573
Lampiran 16 Daya dukung protein kasar limbah tanaman pangan

Daya Dukung Protein Kasar (ST) Limbah Tanaman Pangan


Kabupaten/Kota Jerami Jerami Jerami Jer. Kacang Jer.Kacang Jerami Pucuk Jumlah (ST)
Padi Jagung Kedelai Hijau Tanah Ubi Jalar Ubi Kayu
Selayar 1 785 8 342 405 588 2 519 59 1 140 14 838
Bulukumba 45 455 44 225 187 1 470 10 903 1 832 3 802 107 873
Bantaeng 16 169 52 798 995 234 1 166 170 432 71 965
Jeneponto 21 638 62 999 4 642 9 242 1 835 225 14 390 114 971
Takalar 23 697 6 206 343 5 334 536 654 2 315 39 086
Gowa 54 275 26 029 130 6 949 2 040 1 117 7 525 98 065
Sinjai 21 882 11 792 18 3 10 824 563 495 45 575
Maros 35 627 3 469 1 005 199 5 264 461 4 002 50 025
Pangkep 20 657 373 491 1 668 3 122 411 177 26 899
Barru 17 590 833 54 161 7 170 338 637 26 784
Bone 160 135 86 861 7 240 5 781 48 474 1 362 3 084 312 937
Soppeng 42 664 8 160 664 681 2 411 30 43 54 653
Wajo 111 498 6 399 782 7 167 3 707 558 418 130 530
Sidrap 91 099 2 979 94 142 1 969 565 290 97 138
Pinrang 89 373 1 593 121 535 375 138 618 92 755
Enrekang 7 775 5 099 134 170 904 200 435 14 716
Luwu 56 168 735 338 83 450 384 269 58 427
Tator 32 830 3 627 142 9 1 603 1 893 2 137 42 242
Polmas 40 125 2 152 81 1 203 390 844 2 680 47 475
Majene 2 684 574 215 555 348 163 1 931 6 470
Mamuju 15 309 2 318 5 919 54 388 316 2 378 26 681
Luwu Utara 61 050 3 077 167 119 524 701 677 66 315
Makassar 2 521 46 5 118 10 64 209 2 972
Parepare 1 039 357 0 29 230 0 41 1 696
Jumlah 973 046 341 043 24 171 42 495 107 161 13 047 50 123 1 551 087
Lampiran 17 Indeks daya dukung pakan limbah tanaman pangan

Bahan Kering TDN Protein Kasar


Kabupaten/Kota
Indeks Kategori Indeks Kategori Indeks Kategori
Selayar 1.30 2 0.97 1 0.86 1
Bulukumba 3.38 2 2.34 2 1.89 2
Bantaeng 5.30 2 3.86 2 3.00 2
Jeneponto 6.75 2 4.97 2 4.16 3
Takalar 4.13 2 2.75 2 2.10 2
Gowa 2.76 2 1.86 2 1.45 2
Sinjai 2.25 2 1.52 2 1.29 2
Maros 2.48 2 1.60 2 1.30 2
Pangkep 2.05 2 1.31 2 1.01 2
Barru 1.74 2 1.12 2 0.96 1
Bone 6.79 2 4.58 2 3.72 2
Soppeng 11.10 3 7.14 3 5.30 3
Wajo 15.77 3 10.01 3 7.30 3
Sidrap 9.21 3 5.75 3 4.17 3
Pinrang 6.45 2 4.02 2 2.89 2
Enrekang 0.86 2 0.58 1 0.46 1
Luwu 9.90 3 6.16 3 4.44 3
Tator 2.88 2 1.84 2 1.43 2
Polmas 3.31 2 2.10 2 1.57 2
Majene 0.58 1 0.40 1 0.37 1
Mamuju 0.65 1 0.43 1 0.36 1
Luwu Utara 7.25 2 4.55 2 3.30 2
Makassar 3.23 2 2.05 2 1.54 2
Parepare 1.72 2 1.14 2 0.90 2
Keterangan : kategori 1 rendah, 2 sedang, 3 tinggi.
Lampiran 18 Karakteristik peternak responden menurut lokasi penelitian

Bantaeng Wajo Polmas Barru


Bissappu Pajukukang Tanasitolo Sabbangparu Wonomulyo Tinambung Soppengriaja Taneteriaja
Uraian n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%)
Tingkat Pendidikan
Tidak tamat SD 6 12.77 11 22.92 7 16.28 18 33.96 14 23.73 11 26.83 4 9.76 17 26.56
Tamat SD 19 40.43 19 39.58 17 39.53 12 22.64 16 27.12 17 41.46 14 34.15 17 26.56
Tamat SLTP 16 34.04 7 14.58 10 23.26 15 28.30 18 30.51 6 14.63 18 43.90 20 31.25
Tamat SLTA 5 10.64 9 18.75 9 20.93 7 13.21 11 18.64 7 17.07 5 12.20 8 12.50
Tamat Perguruan tinggi 1 2.13 2 4.17 0 0.00 1 1.89 0 0.00 0 0.00 0 0.00 2 3.13
Pekerjaan Utama
Petani 39 82.98 43 89.58 38 88.37 42 79.25 48 81.36 37 90.24 34 82.93 54 84.38
Pegawai 4 8.51 1 2.08 3 6.98 1 1.89 0 0.00 1 2.44 4 9.76 0 0.00
Pensiunan 2 4.26 0 0.00 0 0.00 1 1.89 1 1.69 0 0.00 2 4.88 1 1.56
Pedagang 2 4.26 4 8.33 2 4.65 6 11.32 7 11.86 3 7.32 1 2.44 6 9.38
Ibu Rumah Tangga 0 0.00 0 0.00 0 0.00 3 5.66 3 5.08 0 0.00 0 0.00 3 4.69
Tingkatan Umur (Tahun)
<20 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00
21-30 1 2.13 0 0.00 2 4.65 4 7.55 5 8.47 0 0.00 1 2.44 4 6.25
31-40 13 27.66 17 35.42 12 27.91 13 24.53 18 30.51 14 34.15 10 24.39 16 25.00
41-50 25 53.19 20 41.67 20 46.51 23 43.40 23 38.98 18 43.90 23 56.10 31 48.44
>50 8 17.02 11 22.92 9 20.93 13 24.53 13 22.03 9 21.95 7 17.07 13 20.31
Pengalaman Beternak (Tahun)
<10 7 14.89 14 29.17 5 11.63 14 26.42 16 27.12 11 26.83 6 14.63 12 18.75
10.-20 29 61.70 22 45.83 28 65.12 29 54.72 34 57.63 19 46.34 26 63.41 41 64.06
21-30 9 19.15 11 22.92 8 18.60 8 15.09 7 11.86 10 24.39 7 17.07 8 12.50
>30 2 4.26 1 2.08 2 4.65 2 3.77 2 3.39 1 2.44 2 4.88 3 4.69
Keterangan : n adalah jumlah responden (peternak).
Lampiran 19 Karakteristik pemeliharaan ternak menurut lokasi penelitian

Bantaeng Wajo Polmas Barru


Bissappu Pajukukang Tanasitolo Sabbangparu Wonomulyo Tinambung Soppengriaja Taneteriaja
Uraian n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%)
Cara Pemeliharaan Ternak
Dilepas sepanjang hari 26 55.32 18 37.50 14 32.56 6 11.32 10 16.95 19 46.34 22 53.66 38 59.38
Dilepas siang hari & diikat
12 25.53 23 47.92 13 30.23 18 33.96 21 35.59 15 36.59 12 29.27 15 23.44
malam hari
Dikandangkan sepanjang hari 6 12.77 2 4.17 7 16.28 7 13.21 9 15.25 5 12.20 3 7.32 9 14.06
Dikandangkan pada malam
3 6.38 5 10.42 9 20.93 22 41.51 19 32.20 2 4.88 4 9.76 2 3.13
hari saja
Sistem Pemberian Pakan
Merumput di
10 21.28 13 27.08 14 32.56 17 32.08 20 33.90 18 43.90 22 53.66 36 56.25
sawah/kebun/pekarangan
Merumput di padang
2 4.26 3 6.25 3 6.98 8 15.09 7 11.86 3 7.32 4 9.76 2 3.13
penggembalaan
Merumput di
sawah,kebun,pekarangan,diberi 35 74.47 32 66.67 26 60.47 28 52.83 32 54.24 20 48.78 15 36.59 26 40.63
rumput potongan
Jenis Pakan Diberikan
Hanya rumput 15 31.91 20 41.67 19 44.19 23 43.40 26 44.07 22 53.66 25 60.98 41 64.06
Rumput dan daun-daunan 2 4.26 3 6.25 7 16.28 4 7.55 11 18.64 9 21.95 7 17.07 12 18.75
Rumput dan Limbah pertanian 28 59.57 19 39.58 15 34.88 16 30.19 18 30.51 8 19.51 4 9.76 5 7.81
Rumput,daun-daunan,limbah
2 4.26 6 12.50 2 4.65 10 18.87 4 6.78 2 4.88 5 12.20 6 9.38
pertanian
Keterangan : n adalah jumlah responden (peternak).
Lampiran 19 Karakteristik pemeliharaan ternak menurut lokasi penelitian (lanjutan)

Bantaeng Wajo Polmas Barru


Bissappu Pajukukang Tanasitolo Sabbangparu Wonomulyo Tinambung Soppengriaja Taneteriaja
Uraian n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%)
Jenis Pakan Tambahan Diberikan
Dedak 13 27.66 24 50.00 21 48.84 20 37.74 33 55.93 18 43.90 22 53.66 33 51.56
Garam 18 38.30 0 0.00 4 9.30 15 28.30 8 13.56 4 9.76 4 9.76 18 28.13
Dedak dan garam 4 8.51 16 33.33 7 16.28 10 18.87 11 18.64 8 19.51 6 14.63 7 10.94
Tidak menggunakan pakan
tambahan 12 25.53 8 16.67 11 25.58 8 15.09 7 11.86 11 26.83 9 21.95 6 9.38
Ketersediaan Pakan
Selalu tersedia 12 25.53 18 37.50 20 46.51 21 39.62 25 42.37 18 43.90 15 36.59 22 34.38
Fluktuasi/musiman 35 74.47 30 62.50 23 53.49 32 60.38 34 57.63 23 56.10 26 63.41 42 65.63
Keterangan : n adalah jumlah responden (peternak).
Lampiran 20 Karakteristik pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan menurut lokasi penelitian

Bantaeng Wajo Polmas Barru


Bissappu Pajukukang Tanasitolo Sabbangparu Wonomulyo Tinambung Soppengriaja Taneteriaja
Uraian n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%)
Menggunakan Limbah Tanaman Pangan Sebagai Pakan
Menggunakan 30 63.83 25 52.08 17 39.53 26 49.06 22 37.29 10 24.39 9 21.95 11 17.19
Tidak Menggunakan 17 36.17 23 47.92 26 60.47 27 50.94 37 62.71 31 75.61 32 78.05 53 82.81
Jenis Limbah Tanaman Pangan Digunakan
Jerami Padi 27 90.00 19 76.00 16 94.12 12 46.15 22 100.00 9 90.00 9 100.00 10 90.91
Jerami Jagung 29 96.67 23 92.00 6 35.29 20 76.92 3 13.64 7 70.00 3 33.33 9 81.82
Jerami Kedelai 6 20.00 2 8.00 9 52.94 18 69.23 14 63.64 8 80.00 0 0.00 6 54.55
Jerami Kacang Tanah 6 20.00 17 68.00 2 11.76 6 23.08 12 54.55 3 30.00 0 0.00 2 18.18
Jerami Kacang Hijau 5 16.67 6 24.00 1 5.88 4 15.38 2 9.09 0 0.00 0 0.00 0 0.00
Jerami Ubi Jalar 2 6.67 0 0.00 1 5.88 6 23.08 3 13.64 0 0.00 0 0.00 0 0.00
Pucuk Ubi Kayu 5 16.67 0 0.00 2 11.76 3 11.54 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00

Kontinuitas Penggunaan Limbah Tanaman Pangan Sebagai Pakan


Setiap saat 9 30.00 8 32.00 5 29.41 4 15.38 8 36.36 2 20.00 2 22.22 1 9.09
Tidak setiap saat 21 70.00 17 68.00 12 70.59 22 84.62 14 63.64 8 80.00 7 77.78 10 90.91

Mengetahui Tentang Teknologi Pakan Untuk Limbah Tanaman Pangan


Mengetahui 32 68.09 26 54.17 29 67.44 25 47.17 33 55.93 24 58.54 19 46.34 29 45.31
Tidak Mengetahui 15 31.91 22 45.83 14 32.56 28 52.83 26 44.07 17 41.46 22 53.66 35 54.69
Lampiran 20 Karakteristik pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan menurut lokasi penelitian (lanjutan)

Bantaeng Wajo Polmas Barru


Bissappu Pajukukang Tanasitolo Sabbangparu Wonomulyo Tinambung Soppengriaja Taneteriaja
Uraian n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%)
Jenis Teknologi Pakan Diketahui
Amoniasi/fermentasi lainnya 12 37.50 13 50.00 15 51.72 12 48.00 5 15.15 11 45.83 7 36.84 7 24.14
Silase 2 6.25 0 0.00 1 3.45 0 0.00 2 6.06 0 0.00 0 0.00 5 17.24
Hay (pengeringan) 8 25.00 9 34.62 8 27.59 5 20.00 11 33.33 9 37.50 10 52.63 12 41.38
Amonias/fermentasi lainnyai,
2 6.25 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 1 3.45
Silase
Silase, hay 0 0.00 0 0.00 0 0.00 1 4.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 3 10.34
Amoniasi/fermentasi
7 21.88 2 7.69 2 6.90 5 20.00 3 9.09 1 4.17 0 0.00 1 3.45
lainnya,hay
Amoniasi/fermentasi lainnya,
1 3.13 2 7.69 3 10.34 2 8.00 12 36.36 3 12.50 2 10.53 0 0.00
silase, hay
Menerapkan/Melakukan Teknologi Pakan
Menerapkan/melakukan 10 31.25 3 11.54 5 17.24 8 32.00 11 33,33 3 12.50 1 5.26 5 17.24
Tidak Menerapkan/melakukan 22 68.75 23 88.46 24 82.76 17 68.00 22 66,67 21 87.50 18 94.74 24 82.76
Keterangan : n adalah jumlah responden (peternak).
Lampiran 21 Matriks perencanaan strategi kuantitatif (QSPM) strategi pemanfaatan limbah tanaman pangan
sebagai pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan

(Bobot x Nilai Daya Tarik) Strategi ke - n


Faktor-faktor Internal Bobot
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kekuatan
1. Sumberdaya pakan limbah tanaman pangan memiliki
produksi yang cukup besar. 0.238 0.95 0.95 0.95 0.95 0.95 0.48 0.71 0.71 0.95 0.71
2. Produksi limbah tanaman pangan khususnya jerami padi dan
jerami jagung tersebar disebagian besar wilayah kabupaten
di Sulawesi Selatan 0.142 0.57 0.43 0.57 0.57 0.28 0.43 0.28 0.28 0.57 0.28
3. Penggunaan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak
ruminansia belum optimal. 0.090 0.36 0.36 0.27 0.27 0.36 0.18 0.18 0.27 0.27 0.27
4. Teknologi pakan limbah tanaman pangan tersedia dan
diketahui oleh peternak 0.088 0.35 0.26 0.09 0.26 0.09 0.09 0.09 0.26 0.09 0.26
5. Limbah tanaman pangan tidak dimanfaatkan untuk kebutuhan
lain selain sebagai pakan 0.073 0.29 0.29 0.07 0.22 0.22 0.15 0.15 0.07 0.07 0.07
Kelemahan
1. Kebiasaan petani peternak membakar limbah tanaman
pangan 0.102 0.31 0.20 0.20 0.41 0.31 0.20 0.31 0.31 0.20 0.20
2. Kualitas nutrisi limbah tanaman pangan rendah 0.082 0.33 0.25 0.25 0.25 0.33 0.25 0.16 0.25 0.16 0.25
3. Sarana dan prasarana pengangkutan dan tempat penyimpanan
limbah tanaman pangan tidak tersedia 0.059 0.18 0.12 0.24 0.18 0.18 0.12 0.06 0.06 0.12 0.18
4. Tingkat penerapan teknologi pengolahan pakan limbah
tanaman pangan rendah 0.080 0.32 0.08 0.24 0.32 0.32 0.08 0.16 0.24 0.24 0.08
5. Produksi limbah tanaman pangan bersifat musiman atau
fluktuatif 0.046 0.18 0.05 0.18 0.14 0.14 0.05 0.14 0.14 0.18 0.14
Keterangan :
1. Pengembangan kawasan pola integrasi sapi potong dengan padi dan jagung (S1,S2,S3,S4,O1,O3,O5)
2. Sinergi dan keterpaduan antar sektor (peternakan-tanaman pangan) dalam kebijakan pemerintah untuk pengembangan peternakan (O2,S5)
3. Membangun industri pakan berbasis bahan baku sumberdaya limbah tanaman pangan (S1,S3,S5,O1,O3,O5)
4. Optimalisasi penerapan teknologi pakan limbah tanaman pangan melalui pemberdayaan masyarakat pola partisipatif (W2,W4,O5)
5. Pengembangan sarana alat pengangkutan dan tempat penyimpanan limbah tanaman pangan di pedesaan (W1, W3,W5,O5)
6. Pengembangan rekayasa sosial dan ekonomi melalui pengembangan kelembagaan peternak dan peningkatan sumberdaya daya manusia peternak (W1,W4,O4)
7. Menjalin kemitraan antara investor/swasta dan peternak untuk meningkatkan skala usaha ternak pola intensif dengan iklim berusaha yang lebih baik dan terjamin
(T1,T2,T3,T5,S1)
8. Peningkatan pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan yang sesuai dengan keunggulan produksi yang spesifik lokalita (S1,S5,T1,T3)
9. Peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana pengembangan teknologi pakan limbah tanaman pangan dan kesehatan hewan (W2,W4,T4)
10. Penyediaan modal usaha dari pemerintah dan lembaga keuangan melalui kerjasama dengan kelembagaan peternak (kelompok, koperasi) (W3,T1,T2,T3)
Lampiran 21 Matriks perencanaan strategi kuantitatif (QSPM) strategi pemanfaatan limbah tanaman pangan
sebagai pakan ternak ruminansia di Sulawesi Selatan (lanjutan)

(Bobot x Nilai Daya Tarik) Strategi ke - n


Faktor-faktor Internal Bobot
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Peluang
1. Jumlah populasi ternak ruminansia cukup tinggi 0.219 0.66 0.44 0.88 0.66 0.44 0.44 0.66 0.66 0.44 0.66
2. Dukungan kebijakan pembangunan peternakan Sulawesi
Selatan 0.066 0.13 0.20 0.26 0.13 0.13 0.20 0.13 0.20 0.13 0.20
3. Ternak ruminansia umumnya dipelihara oleh peternak 0.106 0.42 0.21 0.21 0.32 0.32 0.21 0.21 0.32 0.42 0.32
4. Pola pemeliharaan ternak masih tradisional 0.078 0.23 0.08 0.16 0.23 0.23 0.08 0.23 0.16 0.16 0.23
5. Pertanian tanaman pangan semakin intensif 0.075 0.30 0.08 0.15 0.30 0.30 0.08 0.23 0.08 0.15 0.23
1. Populasi ternak ruminansia cenderung menurun 0.180 0.54 0.36 0.72 0.36 0.54 0.36 0.54 0.54 0.36 0.54
2. Impor ternak dan daging semakin meningkat 0.072 0.22 0.14 0.22 0.22 0.29 0.14 0.29 0.07 0.14 0.29
3. Usaha ternak ruminansia masih bersifat sambilan dan
kurangnya permodalan 0.085 0.09 0.17 0.17 0.17 0.26 0.17 0.09 0.26 0.26 0.26
4. Terjadinya penyakit ternak dan pemotongan ternak betina
produktif 0.060 0.18 0.06 0.12 0.12 0.24 0.06 0.24 0.18 0.12 0.24
5. Keamanan berusaha ternak tidak terjamin 0.059 0.06 0.12 0.12 0.12 0.12 0.12 0.24 0.18 0.12 0.06
Jumlah Total Nilai Daya Tarik 6.67 4.84 6.06 6.19 6.04 3.86 5.09 5.22 5.16 5.46
Keterangan :
1. Pengembangan kawasan pola integrasi sapi potong dengan padi dan jagung (S1,S2,S3,S4,O1,O3,O5)
2. Sinergi dan keterpaduan antar sektor (peternakan-tanaman pangan) dalam kebijakan pemerintah untuk pengembangan peternakan (O2,S5)
3. Membangun industri pakan berbasis bahan baku sumberdaya limbah tanaman pangan (S1,S3,S5,O1,O3,O5)
4. Optimalisasi penerapan teknologi pakan limbah tanaman pangan melalui pemberdayaan masyarakat pola partisipatif (W2,W4,O5)
5. Pengembangan sarana alat pengangkutan dan tempat penyimpanan limbah tanaman pangan di pedesaan (W1, W3,W5,O5)
6. Pengembangan rekayasa sosial dan ekonomi melalui pengembangan kelembagaan peternak dan peningkatan sumberdaya daya manusia peternak (W1,W4,O4)
7. Menjalin kemitraan antara investor/swasta dan peternak untuk meningkatkan skala usaha ternak pola intensif dengan iklim berusaha yang lebih baik dan terjamin
(T1,T2,T3,T5,S1)
8. Peningkatan pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan yang sesuai dengan keunggulan produksi yang spesifik lokalita (S1,S5,T1,T3)
9. Peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana pengembangan teknologi pakan limbah tanaman pangan dan kesehatan hewan (W2,W4,T4)
10. Penyediaan modal usaha dari pemerintah dan lembaga keuangan melalui kerjasama dengan kelembagaan peternak (kelompok, koperasi) (W3,T1,T2,T3)

Anda mungkin juga menyukai