HBL - Tatap Muka - 01
HBL - Tatap Muka - 01
MODUL PERKULIAHAN
01
Swarmilah Hariani.,SE.M.Acc.,CIBA.,CBV
Ekonomi dan Bisnis Akuntansi
A. Pengertian Hukum
Mengenai definisi hukum para sarjana dan para ahli membuat rusuman atau
definisi yang berbeda-beda tentang apa yang dimaksud dengan hukum. Van
Vollenhoven dalam bukunya Hat Adatrecht van Nederlandsche Indie menyatakan:
“Recht is een verchijnsel der almaar stromende samenieving, met andere vershijnsel in
rusteloze wisselwerking van stuw en tegenstuw”. (Hukum adalah suatu gejala dalam
pergaulan hidup, yang bergejolak terus-menerus dalam keadaan bentur-membentur tanpa
henti-hentinya dengan gejala lain). (Riduan Syahrani, 2013:16). Utrecht misalnya, dalam
bukunya Pengantar dalam Hukum Indonesia mengemukakan: “Hukum adalah himpunan
petunjuk-petunjuk hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata
tertib dalam suatu masyarakat, dan oleh karena itu seharusnya ditaati oleh anggota
masyarakat yang bersangkutan”. (Riduan Syahrani, 2013:17). Selanjutnya, Wirjono
Prodjodikoro dalam tulisan yang berjudul Rasa Keadilan Sebagai Dasar Segala Hukum
menyatakan bahwa: “Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah
laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat.” (Riduan Syahrani, 2013:17).
Definisi hukum oleh J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto dalam buku mereka
yang berjudul Pelajaran Hukum Indonesia (Arus Akbar Silonde dan Wirawan B. Ilyas,
2011:2) memberikan definisi bahwa adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa
yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh
badan-badan resmi yang berwajib. Pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tersebut
dikenakan sanksi atau hukuman tertentu.
Maka hukum itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
a. Hukum terdiri dari serangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku
manusia dalam masyarakat.
b. Peraturan-peraturan hukum tersebut bermaksud untuk mengatur tata tertib dan
kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat.
c. Agar aturan-aturan hukum tersebut dapat terlaksana dengan baik.
d. Pelanggaran terhadap aturan-aturan hukum tersebut sanksinya adalah tegas.
Leon Dugoit (dikutip dalam C.S.T Kansil, 2011) mengemukakan bahwa hukum
adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya
pada saat tertentu diindahkan oleh masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan
bersama dan jika yang dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang
melakukan pelanggaran itu. Menurut Aristoteles (dikutip dalam Wawan Muhwan Hariri,
2012) hukum adalah particular law is that which each community lays down and applies to
its own members. Universal law is the law of nature (hukum adalah pijak mendasar untuk
B. Tujuan Hukum
Sumber hukum adalah “segala apa saja yang dapat menimbulkan aturan-aturan
yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau
dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata” (CST. Kansil, 1984:46) (dikutip
dalam Zaeni Asyhadie, 2005).
Adapun sumber-sumber hukum adalah sebagai berikut (Zaeni Asyhadie, 2005:6) :
1) Undang-undang
Undang-undang merupakan peraturan yang dibuat oleh pemerintah dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 ayat (1) UUD
1945).
2) Yurisprudensi, yaitu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap, yang secara umum memutuskan sesuatu persoalan yang belum ada
pengaturannya pada sumber hukum yang lain.
3) Kebiasaan
Kebiasaan merupakan perbuatan manusia yang dilakukan berulang-ulang dalam hal
keadaan yang sama. Bila suatu perbuatan manusia telah diterima oleh masyarakat
sebagai suatu kebiasaan, dan kebiasaan ini selalu berulangkali dilakukan sehingga
perbuatan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran
(perasaan hukum), maka timbullah suatu kebiasaan yang dipandang sebagai hukum.
Syarat-syarat suatu kebiasaan bisa menjadi hukum adalah sebagai berikut.
a) Syarat materiil, yaitu adanya kebiasaan atau tingkah laku yang tetap dan diulang
dalam jangka waktu yang lama.
b) Syarat intelektual, yaitu kebiasaan itu menimbulkan keyakinan bahwa perbuatan
tersebut merupakan kewajiban hukum.
Sebagai subjek hukum, setiap manusia memiliki hak dan kewaiban, tanpa kecuali.
Inilah yang disebut dengan istilah “kewenangan hukum”. Setiap manusia memiliki
kewenangan hukum, namun tidak setiap manusia memiliki kecakapan untuk melakukan
tindakan hukum. Golongan manusia yang tidak cakap untuk bertindak itu disebut dengan
istilah Personae Miserabile. Mereka itu terdiri atas :
a. Manusia yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum kawin (minderjarigheid);
b. Manusia dewasa yang berada di bawah kuratele.
Yang dimaksud manusia dalam pengertian ini adalah orang yang dilahirkan secara
biologis ataupun natural (Arus Akbar Silondae & Wirawan B. Ilyas, 2011:9). Sebagai
subjek hukum manusia mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan
suatu tindakan hukum, membuat perjanjian, memiliki harta kekayaan, dan sebagainya
(Arus Akbar Silondae & Wirawan B. Ilyas, 2011:9). Berlakunya manusia sebagai subjek
hukum adalah sejak ia dilahirkan dalam keadaan hidup dan subjek hukum berakhir sejak
manusia itu meninggal dunia.
Seorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum kawin, oleh hukum belum
diizinkan melakukan tindakan hukum sendiri; meskipun oleh hukum ia masih berada
dalam kandungan, kalau kepentingannya menghendaki, ia sudah merupakan subjek
hukum.
3. Manusia dewasa yang berada di bawah kuratele :
Tidak cakap melakukan perbuatan hukum berdasarkan Pasal 1330 KUH perdata
tentang orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yaitu :
- Orang-orang yang belum dewasa (belum mencapai usia 21 tahun).
- Orang ditaruh dibawah pengampuan (curatele) yang terjadi karena gangguan jiwa
pemabuk atau pemboros.
- Kurang cerdas.
- Sakit ingatan.
Manusia sebagai subjek hukum telah mempunyai hak dan mampu menjalankan
haknya dan dijamin oleh hukum yang berlaku dalam hal itu menurut pasal 1 KUH Perdata
menyatakan bahwa menikmati hak kewarganegaraan tidak tergantung pada hak
kewarganegaraan.
B. Objek Hukum
Menurut Kansil, objek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subjek
hukum dan yang dapat menjadi objek perhubungan hukum (dikutip dalam Arus Akbar
Silondae & Wirawan B. Ilyas, 2011:11). Wujud dari objek hukum adalah benda. Objek
hukum juga sering disebut benda, yaitu segala barang-barang dan hak-hak yang dapat
dimiliki orang.
Menurut Pasal 499 KUHPerdata, pengertian benda atau “zaak” : segala sesuatu
yang dapat dijadikan objek hak milik. Yang dapat menjadi objek hak milik dapat
berupa barang dan hak, seperti hak cipta, hak paten, dan lain-lain. Namun pengertian
“benda” yang dimaksud oleh KUHPer :
- benda berwujud seperti kendaraan bermotor, tanah, dan lain-lain.
benda tak berwujud seperti hak cipta, hak paten, tidak diatur oleh KUHPerdata ,
tetapi diatur dengan undang-undang tersendiri.
Dalam ilmu hukum, dikenal beberapa asas hukum terhadap suatu kontrak, yaitu
sebagai berikut (Munir Fuady, 2012:11):
1. Asas kontrak sebagai hukum mengatur.
2. Asas kebebasan berkontrak.
3. Asas pacta sunt servanda.
4. Asas konsensual.
5. Asas obligatoir.
Istilah ”pacta sunt servanda” berarti “janji itu mengikat”. Yang dimaksudkan adalah
bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pihak
tersebut secara penuh sesuai isi kontrak tersebut. Istilah lain dari asas ini adalah ”my
word is my bonds”, yang artinya dalam bahasa Indonesia bahwa jika sapi dipegang
talinya, jika manusia dipegang mulutnya, mengikat secara penuh atas kontrak atas
kontrak yang dibuat oleh para tersebut oleh hukum kekuatanya dianggap sama saja
dengan kekuatan mengikat dari suatu undang-undang. Oleh karena itu, apabila suatu
pihak dalam kontrak yang telah dibuatnya oleh hukum disediakan ganti rugi atau bahkan
pelaksaan kontrak secara paksa.
Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya salah satu pihak ingkar
janji (wanprestasi), maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa agar pihak yang
melanggar itu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai perjanjian. Bahkan hakim
dapat memerintahkan pihak yang lain membayar ganti rugi. Putusan pengadilan itu
merupakan jaminan bahwa hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian memiliki
kepastian hukum secara pasti memiliki perlindungan hukum.
Asas Konsensual :
Konsensus = sepakat.
Konsensual secara sederhana diartikan sebagai kesepakatan. Dengan tercapainya
kesepakatan antara para pihak lahirlah kontrak, meskipun kontrak pada saat itu belum
Asas Obligatoir :
Asas obligatoir adalah suatu asas yang menentukan bahwa jika suatu kontrak telah
dibuat, maka para pihak telah terikat, tetapi keterikatan itu hanya sebatas timbulnya hak
dan kewajiban semata - mata. Sedangkan prestasi belum dapat dipaksakan karena
kontrak kebendaan (zakelijke overeenkomst) belum terjadi. Jadi, jika terhadap kontrak jual
beli misalnya, maka dengan kontrak saja, hak milik belum berpindah, jadi baru terjadi
kontrak obligatoir saja. Hak milik tersebut baru dapat berpindah setelah adanya kontrak
kebendaan atau sering disebut serah terima (levering). Hukum kontrak di Indonesia
memberlakukan asas obligatoir ini karena berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Kalaupun hukum adat tentang kontrak tidak mengakui asas obligatoir karena
hukum adat memberlakukan asas kontrak riil, artinya suatu kontrak haruslah dibuat
secara riil, dalah hal ini harus dibuat secara terang dan tunai. Kontrak harus dilakukan di
depan pejabat tertentu, misalnya di depan penghulu adat atau ketua adat, yang sekaligus
juga dilakukan levering-nya. Jika hanya sekedar janji saja, seperti dalam sistem obligatoir,
dalam hukum adat kontrak semacam ini tidak mempunyai kekuatan sama sekali.
Pasal 1320 KUHPerdata menentukan adanya 4 (empat) syarat sahnya suatu
perjanjian, yaitu:
1. Adanya Kata Sepakat.
Supaya kontrak menjadi sah maka para pihak harus sepakat terhadap segala hal
yang terdapat di dalam perjanjian. Pada dasarnya kata sepakat adalah pertemuan
atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam perjanjian. Kesepakatan
para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu kontrak. Kesepakatan
Syarat sahnya kontrak di atas berkenaan baik mengenai subjek maupun objek perjanjian.
Persyaratan yang pertama dan kedua berkenaan dengan subjek perjanjian dan
pembatalan untuk kedua syarat tersebut adalah dapat dibatalkan (voidable). Sedangkan
persyaratan ketiga dan keempat berkenaan dengan objek perjanjian dan pembatalan
untuk kedua syarat tersebut di atas adalah batal demi hukum (null and void). Dapat
dibatalkan (voidable) berarti bahwa selama perjanjian tersebut belum diajukan
pembatalannya ke pengadilan yang berwenang maka perjanjian tersebut masih tetap sah,
sedangkan batal demi hukum (null and void) berarti bahwa perjanjian sejak pertama kali
dibuat telah tidak sah, sehingga hukum menganggap bahwa perjanjian tersebut tidak
pernah ada sebelumnya.
Oleh hukum umumnya diterima teori bahwa kesepakatan kehendak itu ada jika tidak
terjadinya salah satu unsur-unsur sebagai berikut :
a. Paksaan (dwang, duress).
Setiap tindakan yang tidak adil atau ancaman yang menghalangi kebebasan
kehendak para termasuk dalam tindakan pemaksaan. Paksaan dapat berupa
kejahatan atau ancaman kejahatan, hukuman penjara atau ancaman hukuman
penjara, penyitaan dan kepemilikan yang tidak sah, atau ancaman penyitaan atau
kepemilikan suatu benda atau tanah yang dilakukan secara tidak sah, dan
tindakan-tindakan lain yang melanggar undang-undang, seperti tekanan ekonomi,
penderitaan fisik dan mental, membuat seseorang dalam keadaan takut, dan lain-
lain.
b. Penipuan (bedrog, fraud).
Menurut Pasal 1328 KUHPerdata dengan tegas menyatakan bahwa penipuan
merupakan alasan pembatalan perjanjian. Penipuan adalah tindakan yang
bermaksud jahat yang dilakukan oleh satu pihak sebelum perjanjian itu dibuat.
Perjanjian tersebut mempunyai maksud untuk menipu pihak lain dan membuat
Judul harus dirumuskan secara singkat, padat, dan jelas misalnya Jual Beli.
Pembukaan terdiri dari kata-kata pembuka, misalnya dirumuskan sebagai berikut : “Yang
bertanda tangan di bawah ini atau Pada hari ini ….tanggal …. bulan tahun…., kami yang
bertanda tangan di bawah ini.”
Setelah itu dijelaskan identitas lengkap pihak-pihak. Sebutkan nama pekerjaan atau
jabatan, tempat tinggal, dan bertindak untuk siapa. Bagi perusahaan/badan hukum
sebutkan tempat kedudukannya sebagai pengganti tempat tinggal.
Contoh penulisan identitas pihak-pihak pada perjanjian jual beli sebagai berikut :
Nama ....; Pekerjaan ....; Bertempat tinggal di .... dalam hal ini bertindak untuk diri
sendiri/untuk dan atas nama .... berkedudukan di .... selanjutnya disebut penjual;
Nama ....; Pekerjaan ....; Bertempat tinggal di .... dalam hal ini bertindak untuk diri
sendiri/selaku kuasa dari dan oleh karenanya bertindak untuk atas nama ....
berkedudukan di .... selanjutnya disebut pembeli.
Pada bagian berikutnya diuraikan secara ringkas latar belakang terjadinya kesepakatan
(recital). Contoh perumusannya seperti ini : “dengan menerangkan penjual telah menjual
kepada pembeli dan pembeli telah membeli dari penjual sebuah ….. merek .... tipe ....
dengan ciri-ciri berikut ini : Engine No. .... Chasis ...., Tahun Pembuatan .... dan Faktur
Kendaraan tertulis atas nama .... alamat .... dengan syarat-syarat yang telah disepakati
oleh penjual dan pembeli seperti berikut ini.”
Pada bagian inti dari sebuah kontrak diuraikan panjang lebar isi kontrak yang dapat
dibuat dalam bentuk pasal-pasal, ayat-ayat, huruf-huruf, angka-angka tertentu. Isi kontrak
paling banyak mengatur secara detail hak dan kewajiban pihak-pihak, dan bebagai janji
atau ketentuan atau klausula yang disepakati bersama.
Jika semua hal yang diperlukan telah tertampung di dalam bagian isi tersebut,
kemudian baru dirumuskan penutupan dengan menuliskan kata-kata penutup,
misalnya:
1. Silondae, Arus Akbar dan Ilyas, Wirawan B. 2011. Pokok-Pokok Hukum Bisnis.
Jakarta : Salemba Empat.
2. Kansil, C.S.T. 2011. Pengantar Ilmu Hukum Indonesia (PIH). Cetakan pertama.
Jakarta : PT. Rineka Cita.
3. Fuady, Munir. 2012. Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era
Globalisasi. Cetakan ke IV. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.
4. Syahrani, Riduan. 2013. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum Edisi Revisi. Cetakan ke
VI. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.
5. Sampara, Said. 2009. Buku Ajar Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan I. Yogyakarta :
Total Media.
6. Hariri, Wawan Muhwan. 2012. Pengantar Ilmu Hukum (PIH). Cetakan pertama.
Bandung : Pustaka Setia.
7. Asyhadie, Zaeni. 2014. Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia
Edisi Revisi. Cetakan ke-8. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
8. http://bhpjakarta.kemenkumham.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=186%3Aproses-pengurusan-
pengampuan&catid=84%3Atugas-a-wewenang&Itemid=144&limitstart=1