Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN INDIVIDU

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN


DENGAN URTIKARIA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu

Praktek Klinik Keperawatan Medikal Bedah II

Di Ruang

RS BAPTIS BATU

Nama : M. Mufit Murtadho

NIM : P17210201014

PRODI D-III KEPERAWATAN MALANG

JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG

TAHUN AJARAN 2022/2023

LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Pendahuluan dan Asuhan keperawatan pada Pasien dengan Diagnosa Medis
Urtikaria Di Ruang RS Baptis Batu Periode 2022 s/d 2023 Tahun Ajaran 2022

Telah disetujui dan disahkan pada tanggal …… Bulan……………… Tahun…………

Malang,

Preceptor Klinik Preceptor Akademik

_________________________ _________________________
NIP.

Mengetahui,
Kepala Ruang

_________________________
LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP MEDIS
1. DEFINISI
Kelainan kulit sementara yang ditandai edema kulit atau mukosa (wheal) dan area
kemerahan (eritema) yang biasanya menyertai sensasi gatal dan menghilang perlahan-
lahan dalam 1 hari. (Dr. dr. Ago Harlim, 2016). Urtikaria adalah kelainan kulit yang
ditandai dengan peninggian kulit yang timbul mendadak dan/atau disertai angiodema;
ukurannya bervariasi, biasanya dikelilingi eritema, terasa gatal atau sensasi terbakar,
umumnya menghilang dalam 1-24 jam. (Siannoto, 2017)
Urtikaria merupakan suatu kelainan yang terbatas pada bagian superfisial kulit berupa
bentol (wheal) yang berbatas jelas dengan dikelilingi daerah yang eritematous. Pada
bagian tengah bentol tampak pucat. Biasanya kelainan ini bersifat sementara
(transient), gatal dan bisa terjadi di manapun di seluruh permukaan kulit. (Baskoro,
Effendi, Konthen, & Soegiarto, 2014)
2. ETIOLOGI
Banyak teori etiologi urtikaria, sampai sekarang belum ada yang bisa dibuktikan.
Beberapa teori antara lain:
1) Faktor psikosomatis
Dulu urtikaria kronis spontan dianggap disebabkan oleh gangguan cemas, ada
beberapa data bahwa gangguan cemas akan memperburuk penyakitnya. Saat ini
dapat disimpulkan bahwa kelainan mental (seperti depresi dan kecemasan) akan
mempengaruhi kualitas hidup pasien, tetapi bukan penyebab urtikaria
2) Alergi makanan tipe 1
Hubungan antara alergi makanan dan urtikaria kronis masih diperdebatkan.
Beberapa ahli tidak menganjurkan eliminasi diet pada pasien urtikaria, tetapi
sebagian menemukan perbaikan pada 1/3 pasien urtikaria kronis spontan yang
melakukan diet eliminasi.
3) Autoreaktivitas dan autoimun
Degranulasi sel mast akan menyebabkan infiltrasi granulosit (neutrofil, eosinofil,
dan basofil), sel T, dan monosit yang akan menyebabkan urtikaria. Jika serum
pasien diinjeksikan intradermal ke kulit pasien sendiri, dapat ditemukan infiltrasi
sel - sel inflamasi yang pada akhirnya menyebabkan urtikaria, disebut
autoreaktivitas, yang ditemukan ± pada 30% pasien. Selain autoreaktivitas, dapat
juga ditemukan reaksi autoimun. Pada awalnya, hanya ditemukan adanya IgG
terhadap subunit α reseptor IgE pada 5-10% pasien, tetapi berangsur-angsur IgG
ini makin banyak ditemukan pada 30-40% pasien urtikaria. IgG akan terikat pada
IgE reseptor mengaktivasi jalur komplemen klasik (dilepaskannya C5a), basofil,
dan sel mast. Meskipun demikian, adanya antibodi ini tidak membuktikan
hubungan kausalitas.
4) Peran IgE
Terapi dengan anti-IgE (omalizumab) memberikan hasil yang baik.13 Oleh karena
itu, salah satu etiologi urtikaria dianggap berhubungan dengan IgE. (Siannoto,
2017)
3. PATOFISIOLOGI
Sebenarnya patofisiologi dari urtikaria ini sendiri mirip dengan reaksi
hipersensifitas. Pada awalnya alergen yang menempel pada kulit merangsang sel
mast untuk membentuk antibodi IgE, setelah terbentuk, maka IgE berikatan dengan
sel mast. Setelah itu, pada saat terpajan untuk yang kedua kalinya, maka alergen akan
berikatan dengan igE yang sudah berikatan dengan sel mast sebelumnya. Akibat dari
ikatan tersebut, maka akan mengubah kestabilan dari isi sel mast yang mengakibatkan
sel mast akan mengalami degranulasi dan pada akhirnya sel mast akan mengekuarkan
histamin yang ada di dalamnya. Perlu diketahui bahwa sanya sel mast adalah mediator
kimia yang dapat menyebabkan gejala yang terjadi pada seseorang yang mengalami
urtikaria.
Pada urtikaria, maka gejala yang akan terjadi dapat meliputi merah, gatal dan
sedikit ada benjolan pada permukaan kulit. Pada dasarnya sel mast ini sendiri terletak
didekat saraf perifer, dan pembuluh darah. Kemerahan dan bengkak yang terjadi
karena histamin yang dikeluarkan sel mast itu menyerang pembuluh darah yang
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas. Gatal yang terjadi juga
diakibatkan karena histamin menyentuh saraf perifer.
Urtikaria terjadi akibat vasodilatasi dan peningkatan permiabilitas dari kapiler
atau pembuluh darah kecil sehingga terjadi transudasi cairan dari pembuluh darah di
kulit. Hal in karena adanya pelepasan mediator kimia dari sel mast atau basofil
terutamahistamin.
Pelepasan mediator ini dapat terjadi melalui mekanisme : 
a) Imunologi (terutama reaksi hipersensitivitas tipe I kadang kadang tipe II)
b) Non imunologi (“chemical histamine liberator”, agen fisik, efek kolinergik).
Baik faktor imunologi maupun nonimunologi mampu merangsang sel mas
atau basofil untuk melepaskan mediator. Pada yang imunologi mungkin sekali
siklik AMP(adenosine mono phosphate) memegang peranan penting pada
pelepasan mediator.beberapa bahan kimia seperti golongan amin dan derivate
amidin,obat-obatan seperti morfin,kodein,polimiksin,dan beberapa anttibiotik
berperan pada keadaan ini.
Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut dari pada yang
kronik,biasanya IgE terikat pada permukaan sel mas dan atau sel basofil karena
adanya reseptor Fc,bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE,maka terjadi
degranulasi sel,sehingga mampu melepaskan mediator. (Baskoro, Effendi,
Konthen, & Soegiarto, 2014)
4. TANDA DAN GEJALA
Gejala Klinis
Urtikaria ditandai dengan timbulnya peninggian pad kulit dan/atau angioedema secara
mendadak. Peninggian kulit pada urtikaria harus memenuhi kriteria di bawah ini:
1) Ditemukan edema sentral dengan ukuran bervariasi, dan bisa disertai eritema di
sekitarnya
2) Terasa gatal atau kadang-kadang sensasi terbakar
3) Umumnya dapat hilang dalam 1-24 jam, ada yang < 1 jam.
Angioedema ditandai dengan karakteristik berikut:
1) Edema dermis bagian bawah atau jaringan subkutan yang timbul mendadak, dapat
berwarna kemerahan ataupun warna lain, sering disertai edema membran mukosa.
2) Lebih sering dirasakan sebagai sensasi nyeri dibandingkan gatal, dapat
menghilang setelah 72 jam. (Siannoto, 2017)
5. KLASIFIKASI
Urtikaria dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi dan faktor pencetus.
Berdasarkan durasi, urtikaria dapat diklasifikasikan menjadi urtikaria akut (6
minggu). Urtikaria harus dibedakan dengan kondisi atau penyakit lain yang
menimbulkan peninggian kulit atau angioedema, seperti tes tusuk kulit, reaksi
anafilaksis, sindrom autoinflamasi, dan hereditary angioedema
1) Urtikaria Akut
Urtikaria yang onsetnya akut dan berulang selama <30 hari. Bentol yang besar
biasanya sering dikaitkan dengan angioedema dan sering tergantung pada IgE
dengan diatesisatopik; terkait juga dengan makanan, parasit dan dapat dengan obat
antibiotik penisilin. Dan juga, reaksi komplemen yang dimediasi oleh seperti
penyakit serum (serum-sicknes like reaction), contohnya darah lengkap,
immunoglobulin, dan antibiotik penisilin. Seringkali disertai angioedema. (Dr. dr.
Ago Harlim, 2016)
2) Urtikaria kronik
Urtikaria yang berulang selama <30 hari. Jarang bergantung pada IgE tetapi sering
kali disebabkan oleh autoantibodi anti-FcεR; etiologic tidak diketahui pada 80%
sehingga dianggap idiopatik. Intoleransi terhadap salisilat dan benzoate.
Umumnya, urtikaria idiopatik kronik menyerang orang dewasa dan lebih sering
pada wanita dibanding pria. Hingga 40% pasien dengan urtikaria kronis dengan
durasi >6 bulan masih mengalami urtikaria pada 10 tahun kemudian. (Dr. dr. Ago
Harlim, 2016)
6. POHON MASALAH

7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1) Tes Alergi.
Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan melakukan
tes kulit invivo (skin prick test), pemeriksaan IgE spesifik (radio- allergosorbent
test-RASTS) atau invitro yang mempunyai makna yang sama. Apabila secara
klinis "memungkinkan”, dapat dilakukan tes provokasi. Pada prinsipnya tes kulit
dan RAST, hanya bisa memberikan informasi adanya reaksi hipersensitivitas tipe
1. Tes yang demikian itu tidak dapat menunjang diagnosis urtikaria vaskulitis
yang merupakan reaksi imun kompleks atau sitotoksik, sebagaimana terjadi akibat
obat-obatan atau transfusi darah.
Untuk urtikaria akut, tes-tes alergi mungkin sangat bermanfaat, khususnya bila
urtikaria muncul sebagai bagian dari reaksi anafilaksis Pada kasus urtikaria
kontak, mungkin sulit dilacak penyebabnya dari riwayat perjalanan penyakitnya.
Bentuk lain dari intoleransi obat dan makanan yang tidak diperantarai oleh IgE
mungkin dihubungkan dengan manifestasi klinis sebagai urtikaria. kronik. Untuk
mengetahui adanya faktor vasoaktif seperti histamine-releasing autcontibodies, tes
injeksi intradermal menggunakan serum pasien sendiri "autologous serum skin
test-ASST) dapat dipakai sebagai tes penyaring yang cukup sederhana.
2) Tes Provokasi.
Tes provokas akan sangat membantu diagnosis urtikaria fisik, bila tes-fes alergi
memberi hasil yang meragukan atau negatif Namun demikian tes provokasi ini
harus dipertimbangkan secara hati-hati untuk menjamin keamanannya. Hal ini
dilakukan pada tempat yang mempunyai tenaga ahli dan tasilitas untuk resusitas
terutama bila ada riwayat anafilaksis atau reaksi anafilaktoic Adanya alergen
kontak terhadap karet sarung tangan atau buah buahan dapat dilakukan tes pada
lengan bawah, pada kasus urtikaria kontak.
Tes provokasi oral mungkin diperlukan untuk mengetahui kemungkinan
urtikaria akibat obat dan makanan tertentu. Tes ini menggunakan suatu seri kapsul
yang mengandung pengawet makanan, pewarna makanan, dan dosis kecil
asetilsalisilat yang diberikan secara bergantian dengan kapsul plasebo. Metode tes
seperti ini relatif sulit disimpulkan dan pasien harus benar-benar tidak
mengonsumsi obat-obatan. Selain itu, tes ini dilakukan saat tidak terjadi urtikaria,
diet ketat terhadap bahan yang dicurigai sebelum dilakukannya tes tersebut.
3) Biopsi.
Punch biopsy dengan ukuran 4 mm dapat digunakan membantu diagnosis.
Urtikaria mencakup kelainan histopatologis yang luas, mulai infiltrasi berbagai
macam sel radang yang agak jarang dengan edema dermis hingga edema dermis
yang menonjol disertai infiltrasi sel-sel radang yang relatif banyak. Sel-sel infiltrat
tersebut terdiri dari netrofil, limfosit dan eosinofil. Adanya infiltrat eosinofil, lebih
mengarah pada urtikaria alergi. Pada beberapa pasien vaskulitis nekrotikan,
tampak juga inflamasi dengan sel-sel radang limfosit yang jarang disekitar
pembuluh darah dermis dengan atau tanpa eosinofil.
4) Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan tersebut bermanfaat untuk mengetahui kemungkinan adanya
penyakit penyerta, misalnya urtikaria vaskulitis atau adanya infeksi penyerta
Pemeriksaan-pemeriksaan sepertikomplemen, autoantibodi, elektroforesis serum,
faal ginjal, faal hati dan urinalisis akan membantu konfirmasi urtikaria vaskulitis.
Pemeriksaan C1 inhibitor dan C4 komplemen sangat penting pada kasus
angioedema berulang tanpa urtikaria

8. PENATALAKSANAAN MEDIS
a) Non Farmakologi
Prioritas utama pengobatan urtikaria adalah eliminasi bahan penyebab, han
pencetus atau antigen, yang sebenarnya lebih mudah diucapkan daripada
dilakukan. Menghindari alergen penyebab urtikaria kontak atau anafilaksis,
seharusnya akan dapat menyelesaikan masalah. Intoleransi terhadap makanan dan
obat yang tidak diperantarai IgE, harus dipertimbangkan sebagai urtikaria kronik
yang tidak memberikan respons yang baik dengan pemberian antihistamin, Pada
kasus seperti ini, lebih menguntungkan menghindari salisilat, azodyes, benzoat
dan pengawet makanan lain seperti asam sorbik, khususnya bila akan dilakukan
tes provokasi tersamar ganda.
b) Farmakologi
1) Antihistamin1
Antihistamin-H1 non-sedatif/ generasi kedua (azelastine, bilastine, cetirizine,
desloratadine, ebastine, fexofenadine, levocetirizine, loratadine, mizolastine,
dan rupatadine) memiliki efikasi sangat baik, keamanan tinggi, dan dapat
ditoleransi dengan baik, sehingga saat ini digunakan sebagai terapi lini
pertama. Apabila keluhan menetap dengan pemberian antihistamin-H1 non-
sedatif selama 2 minggu, dosis antihistamin-H1 nonsedatif dapat ditingkatkan
sampai 4 kali lipat dosis awal yang diberikan. Antihistamin generasi pertama
sudah jarang digunakan, hanya direkomendasikan sebagai terapi tambahan
urtikaria kronis yang tidak terkontrol dengan antihistamin generasi kedua.
Antihistamin generasi pertama sebaiknya diberikan dosis tunggal malam hari
karena mempunyai efek sedatif.
2) Antagonis H2
Antagonis H2 (cimetidine) diberikan dalam kombinasi dengan antagonis H1
pada urtikaria kronis. Meskipun efikasinya rendah, beberapa ahli berpendapat
bisa diberikan sebelum terapi lini kedua
3) Antagonis reseptor leukotrien
Bukti efektivitas terapi ini masih terbatas, dan tingkat rekomendasinya rendah.
Dari beberapa penelitian, disimpulkan bahwa terapi ini hanya bermanfaat pada
urtikaria kronis spontan yang berhubungan dengan aspirin atau food additives,
tetapi tidak bermanfaat pada urtikaria kronis lain.16 Terapi ini dapat dicoba
pada pasien yang tidak merespons pengobatan antihistamin.
4) Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan hanya pada urtikaria akut atau eksaserbasi akut
urtikaria kronis.14 Belum ada konsensus yang mengatur pemberian
kortikosteroid, disarankan dalam dosis terendah yang memberikan efek dalam
periode singkat. Salah satu kortikosteroid yang disarankan adalah prednison
15 mg/hari, diturunkan 1 mg setiap minggu. Efek samping penggunaan
kortikosteroid (terutama dalam jangka panjang), antara lain supresi adrenal,
osteoporosis, avascular necrosis, aterosklerosis, perubahan emosi dan kognitif,
peningkatan risiko infeksi, ulkus peptikum, katarak, miopati, dan gagal
tumbuh pada anak. (Widyastuti, Rosdiana, Budianti, & Wresti , 2020)
5) Agen anti-inflamasi
Meskipun bukti efikasinya masih terbatas, terapi ini dapat dipertimbangkan
karena harganya terjangkau dan efek sampingnya minimal, antara lain
menggunakan dapson, sulfasalazine, hidroksiklorokuin, dan kolkisin.
6) Imunosupresan
Imunosupresan yang saat ini digunakan adalah inhibitor kalsineurin
(siklosporin). Imunosupresan lain (azatioprin, metotreksat, siklofosfamid, dan
mikofenolat mofetil) dapat dipertimbangkan untuk urtikaria kronis yang tidak
merespons antihistamin generasi pertama
7) Agen biologis
Obat baru yang sekarang mulai digunakan adalah omalizumab. Omalizumab
dianggap bisa menjadi obat pilihan beberapa tahun lagi, tetapi mahal dan efek
samping jangka panjang masih belum diketahui
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
1) Identitas Pasien.
2) Keluhan Utama.
Biasanya pasien mengeluh gatal, rambut rontok.
3) Riwayat Kesehatan.

a. Riwayat Penyakit Sekarang :


Tanyakan sejak kapan pasien merasakan keluhan seperti yang ada pada
keluhan utama dan tindakan apa saja yang dilakukan pasien untuk
menanggulanginya.
b. Riwayat Penyakit Dahulu :
Apakah pasien dulu pernah menderita penyakit seperti ini atau penyakit kulit
lainnya.
c. Riwayat Penyakit Keluarga :
Apakah ada keluarga yang pernah menderita penyakit seperti ini atau penyakit
kulit lainnya.
d. Riwayat Psikososial :
Apakah pasien merasakan kecemasan yang berlebihan. Apakah sedang
mengalami stress yang berkepanjangan.
e. Riwayat Pemakaian Obat :
Apakah pasien pernah menggunakan obat-obatan yang dipakai pada kulit, atau
pernahkah pasien tidak tahan (alergi) terhadap sesuatu obat.
f. Pemeriksaan fisik
KU : lemah
TTV : suhu naik atau turun.
1) Kepala
Bila kulit kepala sudah terkena dapat terjadi alopesia.
2) Mulut
Dapat juga mengenai membrane mukosa terutama yang disebabkan oleh
obat.
3) Abdomen
Adanya limfadenopati dan hepatomegali.
4) Ekstremitas
Perubahan kuku dan kuku dapat lepas.
5) Kulit
Kulit periorbital mengalami inflamasi dan edema sehingga terjadi
ekstropion pada keadaan kronis dapat terjadi gangguan pigmentasi.
Adanya eritema , pengelupasan kulit , sisik halus dan skuama.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan efek samping terapi ditandai dengan
klien mengeluh tidak nyaman
2) Gangguan pola tidur berhubungan dengan kurang control tidur ditandai dengan
klien mengeluh sulit tidur
3) Risiko alergi berhubungan dengan terpapar zat allergen
3. Rencana Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan Luaran Intervensi
1. Gangguan rasa nyaman berhubungan Tingkat Nyeri (L.08066) Manajemen Nyeri (I.08238)
dengan efek samping terapi ditandai Tujuan : Setelah dilakukan tindakan Observasi
dengan klien mengeluh tidak nyaman keperawatan 3x24 jam diharapkan - Lakukan pengkajian nyeri kompre hensif yang
ekspetasi meningkat dengan kriteria hasil meliputi : karakteristik, durasi, frekuensi,
: kualitas, intensitas (beratnya) nyeri dan factor
- Keluhan nyeri menurun pencetus
- Meringis menurun - Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang
- Gelisah menurun nyeri
- Kesulitan tidur menurun - Observasi tanda-tanda vital.
- Ketegangan otot menurun - Observasi adanya petunjuk non verbal
- Pola tidur membaik mengenai ketidaknyamanan
Terapeutik
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri seperti kompres hangat
atau terapi music
- Fasilitasi istirahat tidur
Edukasi
- Ajarkan tentang penggunaan teknik non
farmakologi untuk pengurangan nyeri.
- Anjurkan pasien dan keluarga untuk
menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan
nyeri.
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian terapi analgetik.
2. Gangguan pola tidur berhubungan Pola Tidur (L.05045) Dukungan Tidur (I.05174)
dengan kurang control tidur ditandai Tujuan : Setelah dilakukan tindakan Observasi
dengan klien mengeluh sulit tidur keperawatan selama 3x24 jam - Identifikasi pola aktivitas dan tidur
diharapkan pola tidur membaik dengan - Identifikasi faktor pengganggu tidur
kriteria hasil : - Identifikasi makanan dan minuman yang
- Keluhan sulit tidur menurun mengganggu tidur
- Keluhan sering terjaga menurun Terapeutik
- Keluhan istirahat tidak cukup - Modifikasi lingkungan
menurun - Batasi waktu tidur siang, jika perlu
- Lakukan prosedur untuk meningkatkan
kenyamanan
- Sesuaikan jadwal pemberian obat atau tindakan
untuk menunjang siklus tidur-terjaga
Edukasi
- Jelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit
- Anjurkan menepati kebiasaan waktu tidur

3. Risiko alergi berhubungan dengan Respon Alergi Lokal (L.14131) Pencegahan Alergi (I.14535)
terpapar zat allergen Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam Observasi
diharapkan respon alergi local menurun - Identifikasi riwayat alergi (obat, makanan,
dengan kriteria hasil : debu
- Nyeri menurun - Monitor terhadap reaksi obat, makanan, lateks,
- Gatal local menurun transfuse darah, atau allergen lainnya
- Eritema local menurun Terapeutik
- Edema local menurun - Berikan tanda alergi pada rekam medis
- Pasang gelang tanda alergi pada lengan
- Hentikan paparan allergen
- Lakukan tes alergi sebelum pemberian obat
Edukasi
- Ajarkan menghindari dan mencegah paparan
allergen
Kolaborasi
- Kolaborasi dengan tenaga kesehatan dalam
pencegahan alergi
DAFTAR PUSTAKA

(2014). BUKU AJAR ILMU PENYAKIT DALAM. In A. Baskoro, C. Effendi, P. Konthen,


& G. Soegiarto, Urtikaria dan Angioedema (pp. 495 - 503). Jakarta Pusat:
InternaPublishing.
Dr. dr. Ago Harlim, M. S. (2016). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Penyakit
Alergi Kulit. Jakarta: FK UKI .
Siannoto, M. (2017). Diagnosis dan Tatalaksana Urtikaria. CDK, 190 - 194.
Widyastuti, R., Rosdiana, D. S., Budianti, W. K., & Wresti , I. (2020). TERAPI
FARMAKOLOGIS URTIKARIA KRONIK SPONTAN. MDVI, 51 - 57.
PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai