Horney berpendapat bahwa kita semua, baik normal maupun neurotik, membangun gambaran
diri kita yang mungkin atau mungkin tidak didasarkan pada kenyataan. Pencarian diri Horney sendiri
sulit dan berlangsung lama. Pada usia 21 tahun ia menulis, "Masih ada kekacauan seperti itu dalam
diri saya… Sama seperti wajah saya: sebuah bentuk tanpa massa yang hanya terbentuk melalui
ekspresi saat ini. Pencarian diri kita adalah hal yang paling menyiksa (Horney, 1980, hal. 174).
Pada orang normal, citra diri dibangun di atas penilaian realistis atas kemampuan, potensi,
kelemahan, tujuan, dan hubungan kita dengan orang lain. Citra ini memberikan rasa kesatuan dan
integrasi pada kepribadian dan kerangka kerja untuk mendekati orang lain dan diri kita sendiri. Jika
kita ingin menyadari potensi penuh kita dan mencapai suatu keadaan realisasi diri, citra diri kita harus
dengan jelas mencerminkan diri kita yang sebenarnya.
Seorang neurotik, yang mengalami konflik antara mode perilaku yang tidak sesuai, memiliki
kepribadian yang ditandai dengan perpecahan dan ketidakharmonisan. Mereka membangun sebuah
idealisasi citra diri untuk tujuan yang sama dengan orang normal: untuk menyatukan kepribadian.
Tetapi usaha mereka pasti akan gagal karena citra diri mereka tidak didasarkan pada penilaian yang
realistis atas kekuatan dan kelemahan mereka. Sebaliknya, didasarkan pada ilusi akan kesempurnaan
mutlak yang tidak dapat dicapai.
Tirani Seharusnya
Dalam upaya untuk mewujudkan kesempurnaan yang tidak dapat dicapai ini, para neurotik
terlibat dalam apa yang disebut Horney sebagai tirani seharusnya. Mereka mengatakan pada diri
mereka sendiri bahwa mereka seharusnya menjadi seorang pelajar, pasangan, orang tua, kekasih,
karyawan, teman, atau anak yang terbaik atau paling sempurna. Karena mereka menganggap citra diri
mereka yang sesungguhnya sangat tidak diinginkan, mereka percaya bahwa mereka harus hidup
sesuai dengan ilusi citra diri ideal mereka, di mana mereka melihat diri mereka dalam cahaya yang
sangat positif, misalnya, berbudi luhur, jujur, murah hati, perhatian, dan berani.
Dengan melakukan itu, mereka menyangkal diri mereka yang sesungguhnya dan mencoba
menjadi apa yang seharusnya, atau apa yang mereka butuhkan untuk menyesuaikan dengan citra diri
ideal mereka. Namun, upaya mereka ditakdirkan untuk gagal. Mereka tidak akan pernah bisa
mencapai citra diri mereka yang tidak realistis dan berakhir dalam keadaan membenci diri sendiri
tanpa kemampuan untuk memaafkan diri sendiri atau orang lain (Kerr, 1984).
Eksternalisasi
Salah satu cara seorang neurotik mempertahankan diri terhadap konflik batin yang disebabkan
oleh perbedaan antara citra diri ideal dan nyata adalah dengan eksternalisasi, yaitu memproyeksikan
konflik ke dunia luar. Proses ini untuk sementara dapat mengurangi kecemasan yang disebabkan oleh
konflik, tetapi tidak akan mengurangi kesenjangan antara citra diri yang diidealkan dan kenyataan.
Eksternalisasi melibatkan kecenderungan untuk mengalami konflik seolah-olah konflik
tersebut terjadi di luar diri seseorang. Eksternalisasi juga memerlukan penggambaran kekuatan
eksternal sebagai sumber konflik. Misalnya, seorang neurotik yang memiliki kebencian terhadap diri
sendiri karena adanya perbedaan antara diri yang nyata dan ideal dapat memproyeksikan kebencian
itu ke orang lain atau suatu institusi dan mempercayai bahwa kebencian tersebut berasal dari sumber-
sumber eksternal dan bukan dari diri mereka sendiri.
Psikologi Feminin
Pada awal karirnya, Horney mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap pandangan Freud
tentang perempuan. Ia mulai mengerjakan psikologi feminin versinya sendiri pada tahun 1922, di
mana ia menjadi wanita pertama yang mempresentasikan makalah tentang topik tersebut di kongres
psikoanalitik internasional. Pertemuan yang diadakan di Berlin itu dipimpin oleh Sigmund Freud.
Horney sangat kritis terhadap gagasan Freud tentang penis envy (kecemburuan penis), yang ia
yakini berasal dari bukti yang tidak memadai (yaitu dari wawancara klinis Freud dengan wanita-
wanita neurotik). Freud menggambarkan dan menafsirkan fenomena dugaan ini dari sudut pandang
laki-laki pada tempat dan waktu ketika perempuan dianggap warga negara kelas dua.
Freud menjelaskan bahwa perempuan adalah korban dari anatomi mereka, selamanya merasa
iri dan membenci laki-laki karena memiliki penis. Freud juga menyimpulkan bahwa perempuan
memiliki superego yang kurang berkembang (akibat konflik Oedipal yang tidak terselesaikan dengan
baik), dan citra tubuh yang lebih rendah, karena perempuan percaya bahwa mereka adalah laki-laki
yang dikebiri.
Womb Envy (Kecemburuan Rahim)
Horney melawan ide-ide ini dengan mengatakan bahwa laki-laki iri pada perempuan karena
kapasitas mereka untuk menjadi ibu. Posisinya dalam masalah ini didasarkan pada kesenangan yang
ia alami saat melahirkan. Ia menemukan pada pasien laki-lakinya apa yang ia sebut dengan womb
envy (kecemburuan rahim). "Ketika seseorang mulai menganalisis laki-laki setelah cukup lama
menganalisis perempuan, orang tersebut mendapatkan kesan yang paling mengejutkan tentang
intensitas kecemburuan pada kehamilan, persalinan, dan menjadi ibu" (Horney, 1967, hal. 60-61).
Laki-laki memiliki peranan yang kecil dalam hal menciptakan kehidupan baru sehingga
mereka harus meredam rasa iri dan mengkompensasinya secara berlebihan dengan mencari
pencapaian dalam pekerjaan mereka (Gilman, 2001). Kecemburuan rahim dan kebencian yang
menyertainya dimanifestasikan secara tidak sadar dalam perilaku yang dirancang untuk meremehkan
dan mengecilkan perempuan, serta memperkuat status inferior perempuan. Dengan menolak
persamaan hak perempuan, meminimalkan kesempatan perempuan untuk berkontribusi pada
masyarakat, dan merendahkan upaya perempuan untuk mencapai sesuatu, laki-laki mempertahankan
apa yang disebut superioritas alami mereka. Yang mendasari perilaku khas laki-laki tersebut adalah
rasa rendah diri yang berasal dari kecemburuan rahim.
Horney tidak memungkiri bahwa banyak perempuan yang menganggap dirinya lebih rendah
dari laki-laki. Yang ia pertanyakan adalah klaim Freud tentang dasar biologis untuk perasaan ini. Jika
seorang perempuan merasa dirinya tidak berharga, menurutnya, itu karena mereka telah diperlakukan
seperti itu dalam budaya yang didominasi laki-laki. Setelah beberapa generasi mengalami
diskriminasi sosial, ekonomi, dan budaya, dapat dimengerti mengapa banyak perempuan melihat diri
mereka sendiri dari sudut pandang tersebut.
The Flight from Womanhood (Pelarian dari Kewanitaan)
Sebagai akibat dari perasaan rendah diri ini, perempuan mungkin memilih untuk menyangkal
femininitas mereka dan berharap, secara tidak sadar, bahwa mereka adalah laki-laki. Horney
menyebut ini sebagai the flight from womanhood atau pelarian dari kewanitaan, suatu kondisi yang
dapat menyebabkan hambatan seksual (Horney, 1926). Bagian dari ketakutan seksual yang terkait
dengan kondisi ini muncul dari fantasi masa kanak-kanak tentang perbedaan ukuran antara penis
orang dewasa dan vagina anak perempuan. Fantasi-fantasi tersebut berfokus pada cedera vagina dan
rasa sakit akibat penetrasi paksa. Hal ini menghasilkan konflik antara keinginan bawah sadar untuk
memiliki anak dan ketakutan akan hubungan seksual. Jika konfliknya cukup kuat, hal itu dapat
menyebabkan gangguan emosional yang bermanifestasi dalam hubungan dengan laki-laki. Para
perempuan ini tidak mempercayai dan membenci laki-laki, serta menolak pendekatan seksual mereka.
Oedipus Complex
Horney juga tidak setuju dengan Freud mengenai sifat dasar dari Oedipus complex. Ia tidak
menyangkal adanya konflik antara anak-anak dengan orang tua mereka, tetapi ia tidak meyakini
bahwa konflik tersebut memiliki akar seksual. Dengan menghilangkan seks dari Oedipus complex, ia
menafsirkan ulang situasi tersebut sebagai konflik antara ketergantungan dan permusuhan pada orang
tua.
Kami membahas perilaku orang tua yang merusak kepuasan kebutuhan masa kanak-kanak
akan keselamatan dan rasa aman yang menyebabkan munculnya permusuhan. Pada saat yang sama,
anak tetap bergantung pada orang tua sehingga sikap permusuhan tersebut tidak dapat diterima. Anak
itu sesungguhnya berkata, "Saya harus menekan permusuhan saya karena saya membutuhkan Anda."
Seperti yang kami catat, impuls permusuhan tetap ada dan menciptakan kecemasan dasar.
Menurut Horney, "Gambaran yang dihasilkan mungkin terlihat persis seperti apa yang digambarkan
Freud sebagai Oedipus complex: hasrat yang melekat pada salah satu orang tua dan kecemburuan
terhadap orang tua yang satunya" (Horney, 1939, hal. 83). Dengan demikian, penjelasannya tentang
perasaan-perasaan Oedipal terletak pada konflik neurotik yang berkembang dari interaksi orang tua-
anak. Perasaan ini tidak didasarkan pada jenis kelamin atau kekuatan biologis lainnya, juga tidak
bersifat universal, hanya berkembang ketika tindakan orang tua merusak rasa aman anak.
Apa yang Freud Katakan tentang Horney?
Freud tidak menanggapi secara langsung tantangan Horney terhadap pandangannya tentang
perempuan, juga tidak mengubah konsepnya tentang Oedipus complex. Namun, dalam suatu kiasan
terselubung terhadap hasil karya Horney, ia menulis, "Kami tidak terlalu terkejut jika seorang analis
wanita yang belum cukup yakin akan intensitas keinginannya sendiri akan penis, juga gagal untuk
menekankan pentingnya faktor tersebut pada pasien-pasiennya" (Freud, 1940). Tentang Horney
sendiri, Freud berkomentar, "Ia cakap tetapi jahat" (dikutip dalam Blanton, 1971, hal. 65). Horney
merasa pahit akan kegagalan Freud untuk mengakui legitimasi dari pandangan-pandangannya.
Menjadi Ibu atau Karir?
Sebagai seorang feminis awal, Horney mengungkapkan keprihatinan tentang konflik
psikologis dalam mendefinisikan peran perempuan dan menunjukkan perbedaan antara peran ideal
perempuan yang tradisional dengan pandangan yang lebih modern (Horney, 1967). Dalam skema
tradisional, yang dipromosikan dan didukung oleh sebagian besar laki-laki, peran perempuan adalah
mencintai, mengagumi, dan melayani suaminya. Identitasnya semata-mata merupakan cerminan dari
pendapat suaminya.
Horney berargumentasi bahwa perempuan harus mencari jati dirinya sendiri, seperti yang
dilakukannya, dengan mengembangkan kemampuan dirinya dan mengejar karir. Peran perempuan
secara tradisional dan modern yang kontras ini menciptakan konflik yang hingga saat ini sulit
diselesaikan oleh sebagian wanita. Didasari oleh karya Horney, seorang feminis di puncak gerakan
perempuan pada tahun 1980-an menulis bahwa:
Perempuan modern terjebak antara keinginan untuk membuat diri mereka diinginkan oleh
laki-laki dan mengejar tujuan mereka sendiri. Tujuan-tujuan yang saling bersaing ini
menimbulkan perilaku yang saling bertentangan: seduktif versus agresif, hormat versus
ambisius. Perempuan modern terpecah antara cinta dan pekerjaan dan akibatnya tidak puas
dalam kedua hal tersebut. (Westkott, 1986, hal. 14).
Bagi sebagian perempuan di abad ke-21, menyatukan antara pernikahan, menjadi ibu, dan
karier, masih sama merepotkannya seperti yang dialami Karen Horney di tahun 1930-an.
Keputusannya untuk mengembangkan kemampuannya dan fokus pada pekerjaannya memberinya
kepuasan yang luar biasa, tetapi sepanjang hidupnya ia terus mencari rasa aman dan cinta.
Pengaruh Budaya pada Psikologi Feminin
Horney mengakui dampak kekuatan sosial dan budaya pada perkembangan kepribadian. Ia
juga mencatat bahwa budaya dan kelompok sosial yang berbeda memandang peran perempuan
dengan cara yang berbeda pula. Jadi, ada banyak psikologi feminin yang berbeda. "Perempuan
Amerika berbeda dengan perempuan Jerman," tulisnya, "keduanya berbeda dengan perempuan India
Pueblo tertentu. Perempuan sosialita New York berbeda dengan istri petani di Idaho... Kondisi budaya
tertentu menghasilkan kualitas dan fakultas tertentu pada perempuan seperti halnya pada laki-laki"
(Horney, 1939, hal. 119).
Salah satu contoh kekuatan budaya membentuk kehidupan dan harapan perempuan dapat
ditemukan pada masyarakat tradisional Tionghoa. Sejak milenium pertama SM, perempuan berada di
bawah laki-laki. Masyarakat diatur oleh keyakinan bahwa alam semesta mengandung dua elemen
yang kontras namun saling berinteraksi, yaitu yin dan yang. Yang mewakili elemen laki-laki dan
berisi semua hal yang vital, positif, kuat, dan aktif. Yin mewakili elemen perempuan dan mengandung
semua hal yang gelap, lemah, dan pasif. Seiring waktu, elemen-elemen ini membentuk hierarki di
mana laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.
Gagasan ini menjadi bagian dari ajaran filsuf Cina Konfusius (551-479 SM), yang karyanya
menjadi ideologi penguasa Cina selama berabad-abad. Aturan perilaku yang ketat ditetapkan untuk
perempuan. Mereka diharapkan untuk tunduk, patuh, hormat, suci, dan tidak mementingkan diri
sendiri. Bahasa Cina untuk perempuan secara harfiah berarti "orang dalam,” yang menunjukkan
statusnya terbatas pada batas-batas rumah.
Seorang perempuan Cina yang terhormat tidak boleh dilihat atau didengar. Ia diharapkan
tidak pernah lepas dari dominasi laki-laki, karena kewajibannya adalah mentaati ayahnya di rumah,
suaminya setelah menikah, dan anak sulungnya ketika menjanda. Laki-laki dinasihati agar tidak
mendengarkan perempuan karena ditakutkan akan terjadi bencana. Mengasah keinginan dan ambisi
dianggap heroik pada seorang laki-laki, namun dianggap jahat dan bejat pada seorang perempuan.
(Loo, 1998, hal. 180).
Ketika kita membandingkan sikap ini dengan pandangan yang diterima secara luas tentang
posisi perempuan dalam masyarakat Amerika kontemporer, dan juga dalam masyarakat Cina yang
berubah dengan cepat, kita dapat dengan mudah menerima pendapat Horney bahwa jiwa feminin
dipengaruhi, bahkan ditentukan, oleh kekuatan budaya.