Anda di halaman 1dari 10

TereLiye “Bumi” 88

ELAMAT pagi, Ra.” Mama sedang menggoreng sosis saat aku


menuruni anak tangga. Mama tertawa kecil. ”Wah, ini rekor baru kamu
bangun pagi. Jam segini malah sudah siap be­rangkat sekolah.”

”Pagi, Ma,” aku menjawab pendek, menarik kursi, meletakkan tas.

”Tidur nyenyak, Ra?” Perhatian Mama kembali ke wajan, ti­dak


menunggu jawabanku. ”Hujan deras semalaman selalu bikin nyenyak
tidur lho.”

Aku menghela napas pelan, menatap punggung Mama yang asyik


meneruskan menyiapkan sarapan. Sebenarnya aku tidak bisa tidur tadi
malam. Siapa yang bisa tidur nyenyak setelah tiba-tiba ada sosok tinggi
kurus berdiri di dalam cermin kamar kalian? Bicara panjang lebar tentang
hal-hal yang tidak aku mengerti, penuh misteri.

Belum lagi si Hitam. Itu yang paling susah membuatku ti­dur—


tidak peduli seberapa manjur suara hujan mampu me­nina­bobokan.
Bagaimana kalian akan tidur jika di atas kasur me­ringkuk kucing
kesayangan kalian, yang ternyata selama ini tidak terlihat oleh siapa pun,
yang ternyata bisa menembus cermin. Dan itu belum cukup—kucing itu
ternyata juga memata-matai kalian se­lama enam tahun terakhir! Itu
mimpi buruk yang nyata. Meski­pun si Hitam sebenarnya terlihat biasa-
biasa saja, dia me­natapku dengan bola mata bundar bercahaya, manja
menempel­kan badan­nya yang berbulu tebal ke betis, meringkuk tidur.

Setengah jam sejak sosok tinggi kurus itu pergi, situasi ganjil di
kamarku masih tersisa pekat. Aku menatap si Hitam dengan kepala sesak
oleh pikiran. Sikapku jelas berbeda kalau si Hitam hanya minggat karena
naksir kucing tetangga. Ta­ngan­ku gemetar berusaha menyentuh kepala
si Hitam. Kucing itu mengeong, me­natapku, sama persis seperti kelakuan
kucing ke­sayanganku selama ini. Aku terdiam. Lihatlah, si Hitam amat
nyata, sama nyata­nya dengan si Putih yang sejak tadi terus tidur, tidak
merasa terganggu dengan keributan. Aku meng­gigit bibir. Bagai­mana
mungkin si Hitam ”makhluk lain”? Bagaimana mungkin matanya yang

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 89

indah itu ternyata meng­awasi­ku selama ini? Bagai­mana mungkin dia


kucing paling aneh sedunia, bukan hanya karena tidak ada yang
melihatnya, tapi boleh jadi dia juga punya rencana-rencana di kepalanya.
Melaporkan kepada dunia lain?

”Lho, Ra, kok malah melamun?” Mama menumpahkan sosis goreng


ke piring di atas meja. ”Pagi-pagi sudah melamun. Itu tidak baik untuk
anak gadis.”

Aku menggeleng, tersenyum kecut.

”Papa semalam baru pulang jam sepuluh. Larut sekali.” Mama


memberitahuku—yang aku juga sudah tahu. ”Pekerjaan kantor Papa
semakin menumpuk. Seperti biasa, sibuk berat.” Hanya itu penjelasan
Mama.

Aku mengangguk.

”Mama senang, dua hari terakhir kamu selalu siap sekolah sebelum
Papa berangkat. Jadi Mama tidak perlu teriak-teriak membangunkanmu.”
Mama menatapku, tersenyum, tangannya masih memegang wajan kosong.
”Kita semua harus mendukung Papa pada masa-masa sibuknya.”

”Iya, Ma,” aku menjawab pendek.

”Kamu mau sarapan duluan?”

”Nanti saja, Ma. Tunggu Papa turun.”

Mama mengangguk, kembali ke kompor gas, melanjutkan aktivitas


masak-memasaknya.

Aku menatap lamat-lamat piring berisi sosis di hadapanku,


mengembuskan napas pelan.

Tadi malam, berkali-kali aku menatap si Hitam—aku urung


mengelus bulu tebalnya, membiarkan dia meringkuk tanpa diganggu. Aku
berkali-kali menatap cermin besar, memastikan tidak ada siapa pun lagi
di dalamnya yang tiba-tiba menyapa. Aku berkali-kali meletakkan telapak
tangan di wajah, mengintip dari sela jemari, siapa tahu sosok tinggi kurus
itu ada di dalam kamarku, hanya kosong, tetap tidak ada siapa-siapa.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 90

Bahkan aku yang bosan tidak bisa tidur-tidur juga akhirnya memutuskan
beranjak duduk. Teringat percakapan dengan sosok itu, aku menatap
novel tebal di atas kasur, menghela napas. Aku berkonsentrasi, berkali-
kali menyuruh novel itu menghilang—lima belas menit berlalu, novel tebal
itu tetap teronggok bisu.

Akhirnya aku menarik selimut lagi, berusaha tidur, hingga jatuh


tertidur pukul dua malam. Di luar sana, hujan deras terus menyiram
kota. Lampu seluruh kota terlihat kerlap-kerlip oleh tetes air. Irama
konstan air menerpa atap, jalanan, dan pohon.

Aku terbangun mendengar kesibukan Mama di dapur. Me­lihat jam


di dinding, pukul lima, rasanya baru sebentar sekali aku tidur. Aku
memutuskan turun dari ranjang, memulai aktivitas pagi.

Di luar hujan sudah reda, masih gelap, menyisakan halaman


rumput yang basah. Si Putih mengeong riang, menyapa. Aku balas
menyapa. ”Pagi, Put.” Tapi tidak ada si Hitam. Kucingku itu jika aku
masih bisa menyebutnya ”kucing­ku” tidak terlihat di kamarku.

Aku merapikan poni yang berantakan di dahi, menatap cermin,


tidak ada hal yang ganjil di dalamnya. Kuperiksa kamar, si Hitam tetap
tidak ke­lihatan. Aku menggaruk kepala, sebaik­nya aku mandi dan
ber­siap berangkat sekolah.

”Eh, Ra? Jerawatmu sudah hilang, ya?” Seruan Mama sedikit


mengagetkan.

Aku mendongak. Entah sejak kapan, Mama sudah berdiri di


hadapanku. Tangannya memegang wajan kosong, habis meng­goreng telur
dadar. Aku tadi pasti lagi-lagi melamun.

”Wah, benar-benar hilang! Kamu pencet, ya? Tapi kenapa tidak ada
bekasnya?” Mama tertarik ingin tahu.

”Nggak tahu, Ma. Hilang begitu saja.”

”Hilang begitu saja?” Mama tertawa antusias. ”Wah, ini hebat, Ra.
Hanya dalam satu malam, jerawat sebesar itu sembuh. Kamu kasih obat

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 91

apa sih? Kita bisa buka klinik khusus jerawat lho. Mahal bayarannya.
Nanti Mama suruh tantemu bantu cari modal. Dia relasinya kan luas.”

Aku tersenyum kecut menatap Mama—yang biasa berlebihan kalau


sedang semangat. Seandainya Mama tahu bahwa jerawatku memang
hilang begitu saja saat aku suruh meng­hilang, Mama mungkin akan
berteriak panik. Mama tidak pernah suka cerita horor, kejadian penuh
misteri, dan sejenis­nya.

”Pagi, Ra, Ma.” Papa ikut bergabung, menyapa, menghentikan


kalimat rencana-rencana Mama tentang klinik jerawat. ”Ternyata Papa
terakhir yang bergabung ke meja makan. Padahal tadi Papa sudah mandi
ngebut sekali lho.”

Aku dan Mama menoleh. Papa sudah rapi.

”Kalian sedang membicarakan apa?”

”Jerawatnya Ra, Pa.” Mama tertawa.

”Oh ya? Ra jerawatan lagi? Seberapa besar?” Papa ikut ter­tawa.

Sarapan segera berlangsung dengan trending topic jerawatku.

Sempat diseling Papa bertanya soal mesin cuci baru yang diganti,
Mama bilang sejauh ini penggantinya tidak bermasalah. Mama juga
sempat bilang tentang rencana arisan keluarga minggu depan di rumah.
Papa diam sejenak, mengangguk. ”Semoga minggu depan Papa sudah
tidak terlalu sibuk lagi di kantor, Ma, jadi bisa membantu.” Papa
melirikku sekilas. Aku tidak ikut berkomentar. Aku tahu, maksud kalimat
Papa sebenarnya adalah semoga masalah mesin pencacah raksasa di
pabrik sudah beres.

Lima belas menit sarapan usai, aku berpamitan pada Mama, duduk
rapi di kursi mobil di samping Papa. Papa mengemudikan mobil melewati
jalanan yang masih sepi. Baru pukul enam, itu berarti jangan-jangan aku
orang pertama lagi yang tiba di sekolah.

”Bagaimana sekolahmu, Ra?” Papa bertanya, di depan sedang


lampu merah.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 92

”Seperti biasa, Pa,” aku menjawab pendek, menatap langit


mendung. Ribuan burung layang-layang terbang memenuhi atas kota,
sepertinya selama ini aku mengabaikan pemandangan itu.

”Kamu tidak punya sesuatu yang seru yang hendak kamu ceritakan
kepada Papa?” Papa menoleh, mengedipkan mata, timer lampu merah
masih lama. ”Selain soal jerawat lho.”

”Eh, tidak ada, Pa.” Aku menggeleng.

”Sungguhan tidak ada?” Papa tetap antusias.

Aku menggeleng lagi. Aku tahu, Papa sedang mencari topik


pembicaraan, lantas memberikan nasihat yang menyambung de­ngan
topik itu, menasihati putrinya.

Papa kembali memperhatikan ke depan. Aku menatap jalanan dari


balik jendela. Teringat percakapan dengan sosok tinggi kurus tadi malam.
Itu benar, bertahun-tahun aku mampu me­nyimpan rahasia itu sendirian.
Tidak bocor sedikit pun, tidak tem­pias satu tetes pun. Aku tidak pernah
membicarakannya kepada Papa dan Mama. Mereka dengan sendirinya
terbiasa, selalu punya penjelasan sederhana setiap melihat hal ganjil di
rumah kami. Aku yang tiba-tiba muncul. Aku yang tiba-tiba tidak ada di
sekitar mereka. Bahkan tentang kucingku, mereka selalu bilang si Hitam
atau si Putih, bukan si Hitam dan si Putih.

”Papa minta maaf ya, Ra.”

”Eh? Minta maaf apa, Pa?” Aku menoleh ke depan. Lampu merah
berikutnya.

”Hari-hari ini Papa jadi jarang memperhatikan kamu, meng­ajak


ngobrol. Tidak ada makan malam bersama. Sarapan juga serba­cepat.
Papa cemas, kemungkinan Sabtu-Minggu lusa Papa juga harus lembur di
kantor. Rencana weekend kita batal.”

Aku mengangguk, soal itu ternyata. ”Tidak apa kok, Pa. Ra paham.
Kan demi memenangkan hati pemilik perusahaan.”

Papa ikut tertawa pelan. ”Kamu selalu saja pintar menjawab kalimat
Papa.”

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 93

Lampu hijau, iringan kendaraan bergerak maju.

Lima belas menit kemudian tiba di gerbang sekolah, aku


meng­angkat tas, membuka pintu, berseru, berpamitan. Mobil Papa hilang
di kelokan jalan. Aku menatap lapangan sekolah yang lengang. Langit
semakin mendung. Ribuan burung layang-layang masih ada di atas
gedung-gedung kota, terbang menari menanti hujan. Aku menghela
napas, berusaha riang melangkah masuk ke halaman sekolah.
Setidaknya, dengan segala kejadian aneh tadi malam, hari ini aku tidak
perlu menutupi jidatku.

Jerawatku sudah hilang.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 94

KU langsung menuju kelasku, kelas X-9. Tiba di kursiku, aku


memasukkan tas ke laci meja. Sekolah masih lengang. Di kelas tidak ada
siapa-siapa. Tidak ada yang bisa kulakukan ke­cuali melamun menunggu.
Baiklah, aku mengeluarkan novel tebal yang sudah seminggu tidak tamat-
tamat kubaca—pe­ngarang yang satu ini novelnya semakin tebal saja,
menguras uang jatah bulanan dari Mama.

Aku teringat lagi percakapan tadi malam. Aku tidak mau patuh
pada sosok tinggi kurus dalam cermin itu. Aku belum tahu dia berniat
baik atau buruk, tapi kalimat-kalimatnya mem­buatku penasaran.
Apakah aku memang bisa menghilangkan novel tebal ini—juga benda-
benda lain.

Aku menatap konsentrasi novel tebal beberapa detik, meng­hela


napas, mengarahkan telunjukku, bergumam pelan menyuruh­nya
menghilang. Sedetik. Aku mengembuskan napas. Sama se­perti tadi
malam, novel itu tetap teronggok bisu di atas meja. Se­kali lagi aku
mengulanginya, lebih berkonsentrasi. Tetap saja, jangan­kan hilang
seluruhnya, hilang semili pun tidak.

Aku me­lempar tatapan ke luar jendela kelas, lengang. Hanya suara


pe­tugas kebersihan yang sedang menyapu lapangan dari dedaunan
kering.

Aku berkali-kali mencoba, memperbaiki posisi duduk—kalau


sampai ada yang mengintip, pasti akan aneh melihatku sibuk menunjuk-
nunjuk buku tebal.

Teman-teman mulai berdatangan, menyapa. Aku mengangguk,


tersenyum tipis, memasukkan kembali novel ke dalam tas. Se­tengah jam
berlalu, sekolah ramai oleh dengung suara. Beberapa teman duduk di
dalam kelas dan berdiri di lorong. Anak-anak cowok bermain basket atau
bola kaki. Lapangan basah, mereka tidak peduli, bahkan lebih seru, lebih
ramai tertawa.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 95

”Halo, Ra,” Seli menyapaku.

”Halo, Sel,” aku balas menyapa.

”Kamu datang pagi lagi, ya?”

Aku mengangguk. Aku menghitung dalam hati, satu, dua, tiga, dan
persis di hitungan ketujuh, Seli yang menatapku sambil memasukkan tas
ke laci meja berseru, ”Eh, Ra? Jerawatmu yang besar itu sudah hilang,
ya?”

Aku tertawa. Benar kan, tidak akan lebih dari sepuluh hitung­an.

”Beneran hilang, Ra. Kok bisa sih?” Saking tertariknya, Seli bahkan
memegang jidatku, melotot, memeriksa, untung saja tidak ada kaca
pembesar, yang boleh jadi akan dipakai Seli. ”Wah, beneran hilang. Bersih
tanpa bekas. Diobatin pakai apa sih?”

Aku tidak menjawab, menyeringai.

”Pakai apa sih, Ra? Ayo, jangan rahasia-rahasiaan. Pasti obat­nya


manjur sekali. Semalaman langsung mulus!” Seli penasaran, memegang
lenganku, membujuk. ”Ini ngalahin treatment wajah artis-artis Korea lho,
Ra. Tokcer.”

”Nggak diapa-apain.” Aku menggeleng.

”Nggak mungkin.” Bukan Seli kalau mudah percaya.

”Beneran nggak diapa-apain. Aku hanya tunjuk jerawatnya, bilang


‘hilanglah’, eh hilang beneran.” Demi mendengar kebiasaan Seli yang
mulai menyebut-nyebut drama favorit Korea-nya, dan setengah jam
terakhir bosan menatap novel tebal di atas meja yang tidak kunjung
berhasil kuhilangkan, aku jadi menjawab iseng.

”Jangan bergurau, Ra.” Seli melotot memangnya aku anak kecil bisa
dibohongi, begitu maksud ekspresi wajahnya.

Aku tertawa. ”Beneran. Memang begitu. Kusuruh hilang.”

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 96

Setidaknya itu manjur. Seli masih melotot setengah menit, lantas


wajahnya berubah menyerah, malas bertanya lagi. ”Temani aku ke kantin
yuk. Cari camilan.”

Aku mengangguk, bosan di kelas terus.

Kami bergegas keluar kelas, menuruni anak tangga, bel masuk


tidak lama lagi. Sayangnya, Seli bertabrakan dengan seseorang yang
sebaliknya hendak naik.

”Lihat-lihat dong!” Orang itu berseru ketus.

”Eh, Ali?” Seli mencoba tersenyum, setengah bingung. Wajah Seli


seolah mengatakan ”Bukankah kamu baru kemarin belajar bareng
bersamaku? Terlihat rapi dan menyenangkan. Tapi kenapa pagi ini
kembali terlihat acak-acakan, dan tantrum seperti balita gara-gara
senggolan kecil?”

”Makanya, kalau jalan, mata tuh jangan ditaruh di pantat.” Ali


melotot menjawab sapaan Seli, lantas berlalu. Dia terlihat buru-buru
menaiki anak tangga.

”Bukankah, eh?” Seli menatap punggung Ali, menoleh, me­natap­ku


tidak mengerti.

”Makanya, jangan tertipu penampilan. Jelas-jelas anak itu biang


kerok. Apanya yang gwi yeo wun. Sekali biang kerok, suka bertengkar,
itulah sifat aslinya.” Aku mengangkat bahu, tertawa. Aku berjalan lebih
dulu, menarik tangan Seli, sebentar lagi bel.

”Tapi kemarin kan...?” Seli menyejajari langkahku.

”Kemarin apa? Tampilannya kemarin itu menipu, karena dia lagi


ada maunya.” Aku nyengir.

”Ada maunya? Memang apa maunya Ali?” Seli bingung.

”Mana kutahu.” Aku mengangkat bahu.

”Ali menyelidiki rumahmu ya, Ra? Ini jadi aneh. Kemarin Miss
Keriting juga datang ke rumahmu. Ada apa sih, Ra?”

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 97

Aku menelan ludah, bergegas mengalihkan percakapan, menatap


kasihan Seli. ”Entahlah. Aku tidak tahu. Nah, yang aku tahu persis, kamu
apes sekali, Sel.”

”Apes apanya?”

”Barusan Ali bilang, matamu jangan ditaruh di pantat, kan?”

Seli melotot sebal. Aku tertawa.

Setidaknya hingga hampir pulang sekolah, aku (dan Seli) tidak


bermasalah dengan Ali. Anak lelaki itu masih sering mengamati­ku dari
bangkunya, tapi tidak tertarik memperhatikan jidatku yang sudah bersih
dari jerawat. Sepertinya anak cowok selalu begitu, tidak peduli dengan hal
baik dari anak cewek, sukanya memper­hati­­kan yang buruknya saja.

Pelajaran terakhir adalah bahasa Inggris. Mr. Theo me­nyuruh kami


mengeluarkan kertas ulangan. Aku meng­angguk riang. Aku menyukai
pelajaran bahasa, tidak masalah walau­pun ulang­an mendadak. Mr.
Theo membagikan soal, empat puluh soal isian.

Seli di sebelahku mengeluarkan puh pelan, mengeluh. Aku tertawa


dalam hati, padahal Seli selalu meng­aku fans berat Mr. Theo, ternyata itu

tidak cukup untuk membuatnya menyukai ulangan mendadak ini.

Yang jadi masalah adalah ketika bel pulang tinggal lima belas menit
lagi, Mr. Theo mengingatkan, ”Selesai-tidak selesai, kumpul­kan jawaban
kalian saat bel.”

Aku meringis. Tinta bolpoinku habis. Aku bergegas meng­ambil


bolpoin cadangan di dalam tas. Ada dua bolpoin yang ku­keluarkan. Eh,
aku sedikit bi­ngung kenapa ada bolpoin ber­warna biru. Bukankah aku
tidak pernah punya bolpoin seperti ini? Mungkin bolpoin Papa yang tidak
sengaja kutemukan di mobil atau ruang tamu. Tapi tidak apalah, yang
penting bisa buat menulis. Aku memutuskan meng­gunakannya, tapi
tidak bisa, tintanya tidak keluar.

Aku menggerutu, kenapa aku menyimpan bolpoin ini di dalam tas


kalau tintanya habis. Aku hendak menukarnya dengan bolpoin cadangan
yang lain, tapi gerakanku terhenti. Ada yang aneh dengan bolpoin biru ini.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai