Anda di halaman 1dari 10

TereLiye “Bumi” 138

Seli menghantamkan lagi tangannya ke depan.

Kali ini sosok tinggi kurus itu lebih siap. Dia balas memukul.
Lubang hitam menganga muncul, menggantung di depan mem­bentuk
tameng. Larikan petir yang diciptakan Seli tersedot ke dalam. Lubang itu
mengecil, hilang. Sosok tinggi kurus itu men­dorongkan telapak
tangannya ke depan. Entah disentuh kekuatan apa, meski telapak tangan
itu jaraknya masih tiga meter dari kami, Seli tetap terbanting
menghantam dinding aula.

Aku menjerit ngeri. Itu pasti sakit sekali.

Seli mengerang, terkulai duduk.

”Ringkus mereka berdua!” Sosok tinggi kurus itu tidak peduli. Dia
justru berseru lantang ke belakangnya. ”Akan menarik sekali bisa
membawa pulang seorang anggota Klan Matahari.”

Delapan orang membawa panji meloncat ke depan, meng­hunus


panji tinggi mereka yang sekarang berubah menjadi tom­bak panjang
berwarna perak.

Seli masih berusaha memukulkan tangannya ke depan, me­lawan,


selarik kilat menyambar, lebih redup dibanding sebelum­nya, tapi delapan
orang itu dengan mudah menghindar. Ali ber­teriak di sebelahku,
mengayunkan pemukul bola kasti, juga melawan, tapi salah satu dari
mereka menangkisnya dengan tombak. Ali ter­lempar ber­sama pemukul
bola kastinya.

Aku mendesah cemas. Apa yang harus kulakukan? Aku juga harus
melawan.

Tanganku teracung ke depan, berseru lantang, ”Hilanglah!”

Tiga dari mereka yang membawa tombak memang menghilang


seketika, tapi kemudian kembali muncul. Tidak berkurang apa pun,
malah maju semakin dekat, mengancam dengan tombak perak.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 139

Sosok tinggi kurus itu tertawa. ”Kamu sepertinya tidak be­l­ajar,


Nak. Kamu tidak bisa menghilangkan orang yang sudah hilang dari dunia
ini. Ingat kucing hitamku?”

”Hilanglah!” aku menjerit panik.

Sebanyak apa pun aku bisa menghilangkan, mereka muncul


kembali.

”Kamu masih harus belajar banyak, Gadis Kecil. Itulah guna­nya


kamu ikut denganku. Dunia Tanah ini terlalu hina untuk klan kita.”
Sosok kurus itu tergelak.

Mereka berhasil meringkus Seli, mengikat seluruh tubuhnya dengan


jaring perak. Seli berontak, berusaha melawan dengan sisa tenaga,
namun sia-sia. Jaring itu semakin kencang setiap kali dia berontak.

”Tinggalkan saja Makhluk Tanah itu. Kalian tidak perlu


mem­bawanya,” sosok tinggi itu berseru.

Ali dilemparkan kembali ke lantai aula sekolah. Jaring perak yang


telanjur membungkusnya membuka sendiri. Jaring itu me­rangkak
kembali ke tombak perak.

Aku terdesak di dinding, panik melemparkan apa saja yang ada di


dekatku, termasuk bola voli dan galah. Tidak ada artinya bagi mereka.
Aku tidak bisa ke mana-mana. Empat dari mereka mengepungku. Salah
satu dari mereka mengacungkan tombak yang dari ujungnya keluar
jaring. Aku menunduk, berusaha menghindar. Percuma, jaring itu seperti
bisa bergerak sendiri, berubah arah, siap menjerat.

Tidak ada lagi yang dapat kulakukan, tiga orang anak kelas sepuluh
melawan delapan orang dewasa yang tiba-tiba datang dari lubang di
dinding aula, ditambah sosok tinggi kurus itu. Kami bukan lawan
sebanding. Tidak adakah yang mendengar semua kegaduhan di dalam
aula? Datang menolong kami? Bukan­kah teriakanku dan Seli seharusnya
terdengar lantang dari luar?

Aku mengeluh, bahkan suara sirene mobil pemadam kebakar­an di


halaman sekolah pun tidak bisa kami dengar, se­akan ada tabir yang

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 140

menutup seluruh dinding, membuat aula senyap, remang bagai malam


hari. Terputus dari dunia luar.

Jaring perak menangkap tanganku, lantas seperti lintah, men­jalar,


berjalan sendiri ke seluruh tubuh, berusaha membungkus badanku.
Semakin kencang aku berontak, semakin cepat jaring itu bergerak. Aku
mengeluh panik. Apa yang harus kulakukan? Seli bahkan sudah
digendong salah satu dari mereka. Aku mulai putus asa.

Terdengar suara seperti gelembung air meletus pelan di dekat­ku.


Lantas kalimat datar bertenaga. ”Sepertinya aku datang ter­lambat....”

Entah muncul dari mana, di sampingku telah berdiri dengan gagah


orang yang juga amat kukenal selama ini. Tangannya ber­gerak cepat,
lebih cepat daripada bola mataku mengikuti, me­nebas jaring perak di
tubuhku, luruh ke bawah.

Aku terduduk. Orang yang baru datang itu mengulurkan


ta­ngan­nya, membantuku ber­diri, lantas menatap ke depan dengan
tenang.

”Kalian seharusnya memilih lawan setara.”

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 141

ISS KERITING...,” aku tersengal menyebut nama.

Guru matematikaku itu tertawa pelan. ”Kamu seharusnya


me­manggilku Miss Selena, Ra. Tapi tidak masalah, aku tidak akan
menghukum semua murid sekolah ini gara-gara panggilan lucu itu.
Apalagi dalam situasi sulit seperti ini.”

Seli mengerang dua langkah dariku.

Miss Selena melangkah cepat, berusaha membantu Seli. Namun


gerakannya terhenti, karena enam orang yang memegang tombak tanpa
banyak bi­cara telah menyerangnya. Enam tombak melesat cepat ke
tubuh Miss Selena. Aku menutup mata, ngeri melihat apa yang akan
terjadi. Tapi sebaliknya, enam tombak itu patah, berkelontangan di lantai
aula. Pemegangnya jatuh terbanting.

Aku memberanikan diri membuka mata, melihat Miss Selena berdiri


mantap. Tangannya baru saja menepis tombak perak sekaligus mengirim
serangan, sama sekali tidak tersisa tampilan guru yang kulihat selama ini.
Dia terlihat anggun berwibawa. Remang aula membuat wajah Miss Selena
terlihat bercahaya, se­perti bulan purnama. Itu tadi gerakan menangkis
yang memati­kan. Miss Selena berdiri di tengah enam orang yang
berge­limpang­an. Enam orang itu mengerang di lantai, dua sisanya
takut-takut mendekat.

”Dia bukan lawan kalian,” sosok tinggi kurus itu berseru, menyuruh
dua orang dari me­reka mundur.

Miss Selena dengan cepat melangkah mendekati Seli. Satu


ta­ngan­nya menghantam dua orang tersisa yang langsung ter­banting ke
lantai, satu tangannya lagi merobek jaring perak yang mengikat Seli,
membebaskannya.

”Kamu baik-baik saja, Seli?” Miss Selena bertanya pendek.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 142

Seli mengangguk. Dia tidak terluka, meski seluruh tubuhnya


te­rasa sakit. Ali yang tidak jauh dari kami berusaha duduk, kon­disi­nya
juga tidak mengkhawatirkan. Ali bahkan meraih pemukul kastinya, lantas
dengan wajah jengkel memukul kepala salah satu dari mereka yang roboh
menimpa badannya tadi.

”Bantu Seli duduk, Ra.” Miss Selena menoleh padaku,


me­nyuruhku dengan tegas.

Aku mengangguk. Meski kakiku masih gemetar, aku jauh lebih baik
dibanding Seli. Aku bergegas membantu Seli du­duk.

”Kamu tidak terluka kan, Sel?” aku berbisik.

Seli menggeleng. Napasnya masih tersengal.

Semua kejadian ini amat membingungkan. Dengan kenyataan aku


bisa menghilangkan tiang listrik raksasa dan Seli bisa me­ngeluarkan
petir saja sudah cukup membingungkan. Apalagi sekarang ditambah pula
dengan bagaimana mungkin guru mate­matika kami tiba-tiba muncul di
dalam aula, berdiri gagah me­lindungi kami, menantang sosok tinggi
kurus di hadapannya.

Aku menatap ke depan dengan wajah tegang, ke arah Miss Selena


dan sosok tinggi kurus yang saling berhadapan.

”Selamat malam, Selena.” Sosok tinggi itu melangkah men­dekat.


Suara sapaannya terdengar ramah, tapi menyembunyi­kan ancaman.

”Tinggalkan murid-muridku,” Miss Selena berseru lan­tang, tanpa


basa-basi.

”Mereka murid-muridmu?” Sosok tinggi itu menatap seolah tidak


percaya, kemudian terkekeh pelan. ”Kamu tidak bergurau, Selena? Sejak
kapan kamu jadi guru di Dunia Tanah? Lantas apa yang kamu ajarkan
kepada mereka? Menyulam pakaian? Atau membuat anyaman? Atau
jangan-jangan kamu guru ber­hitung mereka? Murid-murid, mari kita
menghitung jumlah anak ayam? Satu, dua, tiga—”

”Setidaknya mereka tidak kuajarkan kebencian dan permusuh­an,”


Miss Selena memotong dengan suara tegas.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 143

Aku yang memperhatikan percakapan dari belakang menelan ludah,


baru menyadari sesuatu. Rambut Miss Selena tidak keriting lagi.
Rambutnya berubah jadi pendek, berdiri, terlihat meranggas seperti duri.
Dia masih mengenakan pakaian gelap yang sering dipakai saat mengajar,
tapi seluruh tubuhnya di­bungkus sesuatu berwarna gelap, sama seperti
yang dikena­kan sosok tinggi kurus itu. Dan yang paling berbeda adalah
wajah Miss Selena, cahaya wajahnya semakin terang, seperti purnama
yang meninggi.

”Oh ya? Kebencian? Permusuhan?” Sosok tinggi kurus itu


ter­kekeh. ”Bukankah kamu sendiri yang amat membenci, me­musuhi
klan sendiri? Bukankah kamu sendiri yang meninggalkan dunia kita?
Memutuskan hidup di tengah Makhluk Tanah, hah?”

Miss Selena tidak menjawab, berdiri mengawasi setiap


ke­mungkinan.

”Ini sungguh menarik, Selena. Mari kita berhitung sejenak. Satu,


gadis kecil yang berusaha duduk itu dari Klan Matahari. Kamu pasti tahu
itu, bukan? Meski sepertinya gadis kecil malang itu tidak punya ide sama
sekali siapa dia. Dua, si bodoh dengan tongkat kayu itu, yang sepertinya
paling berani tapi sebenarnya paling tidak memiliki kekuatan, dia jelas
Makhluk Tanah. Mungkin dia merasa paling pintar, hanya untuk
me­nyadari bahwa pengetahuan paling maju di Dunia Tanah ini hanyalah
separuh dari teknologi paling rendah dunia kita.

”Tiga, gadis itu—yang paling kuat tapi sama sekali tidak paham apa
kekuatannya, yang terus bingung dengan apa yang terjadi di sekitarnya,
berusaha mencari jawaban padahal jawaban itu ada di dirinya sendiri—
adalah bagian dari dunia lain.

”Sekarang kita tambahkan dengan faktor terakhir, kamu ternyata


guru mereka. Maka hasil persamaan ini adalah apa yang sebenarnya
sedang kamu rencanakan diam-diam, Selena? Peng­khianatan yang lebih
besar? Kekuasaan yang lebih tinggi?” Sosok kurus itu menatap dengan
ekspresi wajah merendahkan.

”Aku tidak tertarik membahas imajinasi kosong yang tidak penting


sementara murid-muridku butuh bantuan,” Miss Selena menjawab datar.
”Kamu harus segera tinggalkan mereka, atau...”

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 144

”Atau apa, Selena?” Sosok tinggi kurus itu tertawa lagi.

”Aku akan melawan,” Miss Selena menjawab tegas.

”Astaga, Selena!” Sosok tinggi kurus itu pura-pura terkejut.


”Tidakkah di Dunia Tanah yang rendah ini juga terdapat nasihat jangan
pernah melawan guru sendiri? Kamu hendak melawanku? Dengan apa,
Nak? Aku yang mengajarkan seluruh kekuatan yang kamu punya hari ini.
Semuanya. Kecuali tentang berhitung, me­nyulam, dan merajut itu. Bisa
kita lupakan. Sungguh berani­nya kamu!”

Miss Selena tetap tenang, menatap datar.

”Tidakkah kamu akan malu jika tiga muridmu ini melihat gurunya
dipermalukan di hadapan mereka, Selena?” Sosok tinggi kurus itu
mengangkat tangannya. Dia jelas tidak akan pergi seperti yang disuruh.

Miss Selena ikut mengangkat tangannya, bersiap. ”Aku akan


mengambil risikonya.”

Aku menahan napas menyaksikan ketegangan yang segera meruyak


di remang aula. Seli sudah bisa berdiri di sebelahku. Wajahnya masih
meringis menahan sakit. Sedangkan Ali, si genius itu sekali lagi memukul
satu dari mereka yang ter­geletak di dekat kami. Orang dengan pakaian
gelap itu terlihat bergerak hendak bangkit. Ali refleks memukulnya
dengan pe­mukul bola kasti agar tetap terkapar.

Aku melirik Ali, apa yang sedang dia lakukan? Ali meng­angkat
bahu. ”Hei, dia bisa saja tiba-tiba berdiri dan menyerang kita lagi, kan?”
Kurang-lebih begitu maksud wajah Ali tanpa dosa. Sepertinya dia terlalu
sering menonton film.

Aku menyeka peluh ber­campur debu di leher.

Miss Selena dan sosok tinggi kurus itu masih saling tatap,
berhitung. Tetapi pertarungan tidak bisa dihindari lagi, percakap­an
selesai. Sosok tinggi kurus itu menyerang lebih dulu.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 145

Badannya ringan melompat ke depan, memukulkan tangan


kanannya. Miss Selena dengan cepat menghindar ke samping. Tidak
terlihat apa yang melintas di udara menyerbu Miss Selena, hanya
suaranya menderu kencang, dan saat mengenai tembok aula,
menimbulkan dentum keras. Tiang basket hancur berantak­an. Aku, Seli,
dan Ali membungkuk, berlindung. Lantai yang kami pijak bergetar. Tabir
yang melindungi dinding aula bergoyang.

Sosok tinggi kurus itu tidak berhenti. Dia segera mengirim tiga-
empat pukulan lainnya. Aku menatap jeri. Tidak ada lagi yang kami kenali
dari Miss Selena, guru matematika kami. Dia melompat ke sana kemari,
dengan tangkas menghindari pukulan jarak jauh itu. Dentuman kencang
susul-menyusul.

Sosok tinggi kurus itu menggeram, untuk kesekian kali mencecar


dengan tinjunya. Aku berseru tertahan karena kali ini Miss Selena tidak
sempat menghindar. Sepersekian detik se­belum deru pukulan itu tiba,
Miss Selena membuat tameng besar, lubang hitam, deru serangan
tersedot masuk ke dalamnya. Lubang mengecil, lantas lenyap, persis
bersamaan dengan Miss Selena maju mengirim serangan balasan untuk
pertama kalinya. Tangan kanan Miss Selena meninju ke depan. Sosok
tinggi kurus itu terlihat kaget. Dia yang telanjur merangsek maju,
se­pertinya tidak mengira serangan itu datang, terlambat meng­hindar.
Tubuhnya terbanting dihantam sesuatu yang tidak ter­lihat. Tubuhnya
mental sepuluh meter, hingga tembok aula me­nahannya.

Aku mengepalkan tangan. Rasakan!

Seli yang menunduk di sebelahku mengangkat kepala, meng­intip,


ingin tahu apa yang sedang terjadi. Sedangkan Ali, lagi-lagi memukul
salah satu dari orang-orang pembawa panji yang me­rangkak hendak
bangun. Aku me­lotot. ”Hei, Ali, apa yang kamu lakukan?”

Ali lagi-lagi mengangkat bahu. ”Semoga saja dari delapan orang


berpakaian gelap yang tergeletak itu tidak ada yang tiba-tiba bangun. Itu
bisa berbahaya, kan?” ujarnya santai.

”Kamu sepertinya belajar dengan baik sekali, Selena.” Sosok kurus


tinggi itu tertawa pelan. Dia berdiri, menyeka mulutnya, merapikan
jubahnya.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 146

Aku mengeluh, kukira pertarungan sudah selesai.

”Baik, saatnya untuk lebih serius.” Sosok tinggi kurus itu


menggerung pelan, dan belum habis gerungannya, dia melompat
menyerbu.

Suara seperti gelembung air meletus terdengar.

Sosoknya menghilang, lalu cepat sekali dia sudah ada di depan Miss
Selena. Pertarungan jarak pendek telah dimulai. Tinju kanannya
memukul.

Miss Selena sepertinya siap menerima serangan. Dia me­nunduk.


Tapi percuma, tinju tangan kiri sosok tinggi itu juga me­nyusul sama
cepatnya. Miss Selena menangkis dengan kedua tangan bersilang,
bergegas hendak membuat tameng, tapi ter­lambat. Keras sekali pukulan
itu, berdentum. Miss Selena ter­pental ke belakang. Sosok tinggi kurus itu
hilang lagi, lantas dia sudah berada di atas tubuh Miss Selena yang masih
melayang setelah terkena pukulan. Sosok tinggi kurus itu
menghantamkan kedua tangannya tanpa ampun.

Seli di sebelahku menjerit. Aku menggigit bibir.

Miss Selena tidak sempat menghindar sama sekali, juga


meng­angkat tangan untuk menangkis. Dentuman keras terdengar untuk
kesekian kali, disusul terbantingnya tubuh guru mate­matika kami di
lantai aula. Lantai semen terlihat retak. Tubuh Miss Selena tergeletak.

Aku gemetar menunggu. ”Bangunlah!” aku berbisik.

Aku tidak tahu berada di sisi mana Miss Selena dalam kejadi­an ini.
Bahkan aku sama sekali tidak punya ide apa yang sebenar­nya sedang
terjadi. Sosok tinggi kurus ini siapa? Apa yang mem­buatnya memaksa
menjemputku? Kenapa Miss Selena tiba-tiba muncul? Apa peranannya
dalam kejadian ini? Jangan-jangan dia lebih jahat dibandingkan siapa
pun. Tapi tidak mungkin. Miss Selena guru matematika kami di sekolah.
Meskipun galak, disiplin, aku tahu dia selalu menyayangi murid-
muridnya.

”Bangunlah, Miss Selena.” Suaraku bergetar menyemangati.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 147

”Kamu boleh jadi ahli dalam pertarungan jarak jauh, Selena. Tapi
kamu tidak pernah menguasai pertarungan jarak dekat.” Sosok tinggi
kurus itu berdiri satu langkah di depan tubuh Miss Selena yang masih
tergeletak.

”Maafkan aku, Selena. Seharusnya sejak dulu kuselesaikan urusan


kita.” Sosok tinggi kurus itu menatap prihatin.

Miss Selena masih meringkuk. Entah masih hidup atau tidak.

”Bangunlah, Miss Selena,” aku berbisik pelan.

”Hari ini akan kuperbaiki hingga ke akar-akarnya kesalahan yang


pernah kulakukan saat memilihmu sebagai murid.” Sosok tinggi kurus itu
mendesis, tangannya terangkat tinggi. Aku bisa merasakan betapa besar
kekuatan yang keluar dari tangan­nya. Bahkan kami yang berjarak
belasan meter terdorong ke tembok oleh angin deras.

”Selamat tinggal, Selena!” Tangan itu ganas menghunjam ke arah


tubuh Miss Selena.

Tiba-tiba tubuh Miss Selena lenyap.

Dentuman kencang terdengar saat pukulan itu tiba. Lantai aula


melesak satu meter. Bongkahan semen berhamburan. Ada lubang selebar
dua meter di antara kepulan debu.

Miss Selena muncul di belakang sosok tinggi kurus itu. Wa­jah­nya


yang bersinar terlihat meringis, sisa rasa sakit menerima pukulan tadi.
Tubuhnya juga kotor, tapi dia tampak baik-baik saja, bahkan dengan
sekuat tenaga melepas pukulan. Sosok tinggi kurus yang masih
terperanjat melihat sasarannya lenyap kini ti­dak sempat menghindar.
Pukulan Miss Selena mengenai badan­nya. Tubuh tinggi kurus itu
terbanting jauh sekali.

Aku berseru, mengepalkan tangan. ”Yes!”

”Sejak dulu kamu tidak pernah mengenali bakat murid dengan


baik. Bagaimana kamu yakin sekali aku tidak bisa ber­tarung jarak
dekat?” Miss Selena berkata datar, napasnya masih tersengal. Pukulan
keras barusan sepertinya menguras banyak tenaga.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai