Anda di halaman 1dari 7

Pengantin Tebu

Langit di atas Desa Pangkah telah tersapu warna ungu, hingga semburat
sisa cahayanya hanyalah keremangan yang menjelma kesunyian di antara dinding-
dinding rumah tua dan pabrik gula yang telah rapuh digerogoti waktu dan dendam
kebencian dari angin masa lampau. Dinding-dinding tua yang telah menjadi
bangkai sejarah, membuat orang-orang yang melintasi desa yang diam dan
nglangut ini, bagai tercercapi khayal bayang-bayang kelam di masa kolonial yang
entah bagaimana menyembul dan merayapi isi kepala mereka bagai ular yang
mendesis sembari membuat lubang di ubun-ubun.
Namun malam ini bayang-bayang itu tak begitu menggerus pikiran orang-
orang. Sebab, kesenyapan yang biasanya menyelimuti desa itu, kini tersibak oleh
orang-orang yang berbondong-bondong menembus malam dengan rasa kehausan
untuk mereguk kebahagiaan dari kemeriahan pesta giling tebu menjelang musim
tanam tebu. Bagi mereka, pesta giling tebu yang setiap tahun mereka rayakan
adalah ritual penting yang tak boleh terlewatkan.
Mereka bakal tak akan rela bila kehilangan kemeriahan pesta yang
membuat derita kemelaratannya sesaat terlupakan. Para orang tua, remaja, bahkan
anak-anak tak lagi menghiraukan kelelahan kaki-kaki mereka yang telanjang,
menapaki jalan desa yang gelap dan berbatu. Walau hanya sekadar melihat aksi
seksi penyanyi orkes kampung, komedi putar, atau ocehan meluap-luap dari mulut
penjual obat kurap. Para pedagang tiban yang selalu memburu keramaian di
pelosok desa telah membuat badan jalan yang menuju pabrik gula nyaris tak
terlihat lagi. Kemeriahan terus menari-nari di atas lautan orang-orang desa hingga
mereka tak menyadari, bahwa malam telah begitu larut dan jalan menuju rumah
mereka semakin gelap dan berbahaya.
Malam ini adalah malam menjelang acara arak-arakan pengantin tebu yang
akan digelar besok siang selepas azan luhur. Ritual yang telah ada sejak zaman
kolonial itu merupakan berkah bagi sebagian besar orang-orang desa. Sebab,
mereka bisa mengais rizki dengan berdagang apa saja atau membantu para
pedagang yang membutuhkan tenaga mereka. Beberapa anak muda yang bengal,

1
terkadang melakukan aksinya menjadi pencopet. Dan hasil copetan itu akan
disetorkan pada bos mereka, Baskoro. Dialah yang menjadi penguasa keamanan
perhelatan pesta giling tebu menjelang acara ritual arak-arakan pengantin tebu.
Para pedagang di pesta itu, sudah paham betul; bila mau aman, jangan
coba-coba membuat dia tersinggung. Apalagi berani untuk tidak memberi upeti
kepadanya. Semua harus menuruti kemauan Baskoro. Begitu pula orang-orang
desa yang menaruh rasa segan kepadanya. Apalagi bagi orang-orang pabrik.
Mereka enggan berurusan dengan Baskoro yang juga punya jabatan sebagai
fabrieksbeveilinging chief atau kepala keamanan di pabrik gula itu. Terlebih lagi
dia adalah anak semata wayang Tuan Ramono, seorang mandor tebu atau sering
dipanggil dengan istilah zinder, yang dikenal garang. Di desa yang seluruh areal
sawahnya ditanami tebu, dia menjadi zinder yang paling disegani. Jadi, siapa yang
berani berhadapan dengan Baskoro?
Dan di pagi ini, di depan kantor besar pabrik gula, pengantin tebu yang
berupa boneka yang didandani layaknya pengantin telah disandingkan di atas
kereta kuda yang dihias dengan janur dan kain warna-warni serta penuh sesaji
lengkap dengan benda-benda keramat milik para pejabat pabrik tebu dan para
pembesar di desa itu. Bau kemenyan dari anglo dan minyak kesturi, membuat
aura mistis kereta pembawa pengantin tebu semakin kuat. Siang nanti, kereta itu
akan diarak keliling desa sebagai tanda dimulainya musim tanam tebu.
Namun, kali ini ritual itu terancam gagal menyusul tersebarnya kabar
buruk penemuan mayat seorang lelaki muda di dekat parit yang membentang di
tengah perkebunan tebu. Mayat lelaki muda itu adalah Baskoro. Di tubunya yang
putih dan bertato dikabarkan penuh dengan luka sayatan benda tajam. Mungkin
bekas tebasan clurit, mando, belati, pisau, atau pedang. Sedang di mulutnya, ada
darah segar yang meleleh bercampur air ludah. Hal itulah yang menimbulkan satu
dugaan kuat, Baskoro kalah dalam sebuah pertarungan. Entahlah, pertarungan itu
satu lawan satu atau keroyokan, itu belum pasti.
“Yang bertarung dengan anak macan itu, pasti punya ilmu bela diri yang
hebat!” kata Maksus yang sejak tadi duduk di warung kepada beberapa orang
yang sedang menikmati teh poci. “Aku yakin kalau yang mengalahkan Baskoro
bukan orang sini,” kata dia lebih yakin. “Mana ada orang sini yang berani

2
berhadapan dengan Baskoro? Menyebut namanya saja orang harus berhati-hati,”
tambah dia lagi tanpa menoleh dan dengan tenang menghisap dalam-dalam asap
rokok kereteknya.
Sesaat senyap, tak ada seorang pun menyahuti ucapan Maksus. Seperti ada
setan yang menunggui mereka. Baru kemudian seseorang menanggapinya dengan
nada cukup bersahaja. “Orang sini atau orang mana saja itu tidak penting,” ujar
Wak Roso mengalihkan perhatian beberapa orang dengan pandangan tajam.
“Mestinya yang kita cari adalah apa yang menyebabkan Baskoro sampai
terbunuh.”
“Benar,” ujar Bi Darwi sambil mematahkan batang-batang cabe. “Apa
sampeyan pernah dengar kalau Baskoro di malam sebelum terbunuh sangat marah
pada Ambar, pacarnya yang cantik itu. Ada yang bilang, ia sampai mengancam
akan membunuhnya,” kata Bi Darwi dengan suara setengah berbisik.
Di luar warung, kemeriahan menjelang arak-arakan pengantin tebu telah
berubah mencekam. Tak banyak orang yang berani melewati jalan di depan
pabrik. Hingga jalan terasa lengang. Hanya sesekali terlihat pengembala kerbau
dan para wanita tua yang menggendong batang tebu yang telah kering melewati
jalan itu. Para pedagangpun enggan menggelar dagangannya. Mereka memilih
duduk di pinggir toko dan warung, berkerumun dengan beberapa orang sambil
memasang kuping mencari tahu kabar kematian Baskoro. Raungan sirene dari
mobil-mobil polisi menambah situasi desa itu menjadi lebih tegang dan kelabu.
Rumah besar peninggalan Belanda yang telah ditempati keluarga Tuan
Ramono lebih dari 20 tahun ini kini dipenuhi para kerabat, pekerja pabrik gula,
dan beberapa orang desa untuk menyampaikan rasa bela sungkawanya. Wajah
mereka seperti berduka, atau memang hanya berpura-pura saja.
Sementara di benak orang-orang desa itu muncul berpuluh-puluh
pertanyaan tentang bagaimana dengan arak-arakan pengantin tebu. Bukankah
sudah lebih dari satu abad yang lalu ritual itu setiap tahun sekali selalu
dilaksanakan. Bukankah ritual ini telah diyakini bakal membawa berkah bagi
keberhasilan musim tanam tebu yang akan datang. Sungguh tak pernah
terbayangkan mereka sebelumnya, bila ritual itu sampai gagal dilaksanakan. Bisa-
bisa musim tanam tebu yang akan datang bisa terancam gagal.

3
Tapi bagaimana dengan Tuan Ramono. Patutkah arak-arakan yang biasa
dilakukan dengan meriah tetap akan dilaksanakan di tengah suasana duka seorang
yang paling berkuasa dalam perkebunan tebu. Tapi bagaimana kalau tidak
dilaksanakan. Apakah penghormatan pada seseorang, yang bisa saja hanya basa-
basi, harus mengorbankan sebuah ritual yang begitu penting dan menyangkut
hajat sebagian besar warga Desa Pangkah dan sekitarnya. Tapi, bagaimana bila
tetap dilaksanakan sementara Tuan Ramono merasa tersinggung berat. Rentetan
pertanyaan itulah yang menyelimuti kegelisahan dalam pikiran orang-orang desa.
Mereka hanya bisa menduga-duga dan menunggu apa yang bakal terjadi siang
nanti.
Namun, di tengah desa masih ada beberapa warga yang tak mempedulikan
lagi dengan kebimbangan yang merongrong pikiran orang-orang. Buktinya Jamiri
dan beberapa temannya. Ia yang biasa bertugas memimpin arak-arakan, sejak tadi
sudah berdandan dengan mengenakan baju basofi hitam, iket wulung, dan kain
batik irengan bermotif tapak kebo yang diikat dengan sabuk besar dari kulit serta
dua cincin batu akik tapak jalak serta gelang akar bahar yang diyakini menambah
kewibawaan dirinya.
“Sudahlah, apakah dengan terus menangis Baskoro akan hidup kembali?
Arak-arakan pengantin tebu itu lebih penting daripada berpura-pura sedih. Apakah
Tuan Ramono akan menanggung hidup kamu, seandainya panen tebumu gagal?
Tidak, kan? Nah, sekarang lebih baik kita siapkan saja arak-arakan pengantin tebu
sambil memanjatkan doa agar panen tebu mendatang bakal melimpah ruah.”
Begitulah Jamiri terus memprovokasi setiap warga yang ditemuinya di
jalan. Wargapun banyak yang termakan provokasinya, lalu mereka begitu saja
mengikuti langkah kaki Jamiri yang berjalan bersama teman-temannya menuju ke
pabrik gula. Semakin lama, gerombolan Jamiri semakin banyak diikuti warga
desa. Tak lama kemudian, jadilah seperti arak-arakan kecil. Orang-orang yang
tadinya kebingungan, mengira bahwa ritual arak-arakan pengantin tebu tetap
dilaksanakan. Dan mereka pun begitu saja mengikuti langkah Jamiri dan teman-
temannya, hingga barisan orang-orang desa itu pun semakin panjang seperti ular
naga yang merayap di tengah ladang.

4
Di langit Desa Pangkah terik matahari bertambah panas. Lelaki tua dengan
warna suara yang parau terdengar mengumandangkan azan dari sebuah surau
kecil di pojok pabrik. Suara azan luhur itu juga menjadi penanda bahwa arak-
arakan pengantin tebu segera dimulai. Seperti pada ratusan tahun yang lalu.
Namun dalam kondisi yang sedang berkabung seperti ini, semua orangpun
menunggu-nunggu Tuan Ramono. Dialah yang ditunggu restunya oleh warga desa
yang kini semakin berjubel di halaman dan di jalan depan pabrik . Begitu juga
Jamiri bersama teman-temannya yang sudah berada di tengah kerumanan orang di
halaman pabrik, turut larut dalam kebisuan orang-orang.
Tuan Ramono tahu betul bagaimana situasi di luar rumah. Ia juga tahu,
kereta pembawa pengantin tebu telah disiapkan dan orang-orang seluruh desa
telah berkumpul memenuhi jalan dan halaman pabrik. Cukup lama Tuan Ramono
berpikir keras. Lalu perlahan ia membuka kunci pintu dan berjalan ke halaman
pabrik.
Kali ini Tuan Ramono tak mengenakan jas putih dan celana putih dengan
topi zinder. Ia hanya mengenakan kemeja hitam dan berpeci. Melihat Tuan
Ramono datang, orang-orang yang tadinya duduk-duduk segera berdiri dan
menundukkan badan padaTuanRamono.WajahTuan Ramono teramat dingin
ketika meminta mike pada seorang staf kantor pabrik. Orang-orang yang ada di
jalan bergerak mendekati halaman pabrik. Tak ada suara yang terdengar dari
mulut mereka yang menyaksikan Tuan Ramono dengan tatapan mata tajam.
“Semua orang pasti akan terluka hatinya, bila anak kandungnya mati di
tangan orang biadab.” Begitu Tuan Ramono membuka sambutannya dengan nada
berat, pelan, dan kulit wajah memerah. Air matanya menggenang. “Dan hari ini,
hati saya tercabik-cabik. Luka hati saya menganga.” Air mata di kelopak matanya,
begitu saja meluncur deras hingga membasahi kemejanya. “Saya tahu kalian
semua juga turut merasakan kesedihan saya dan istri saya. Untuk itu, saya
mengucapkan terima kasih . Saya juga tahu, bahwa acara ritual pengantin tebu
juga penting. Untuk itu saya sampaikan, ritual pengantin tebu biarlah tetap
dilaksanakan. Terimakasih.” Ia mengakhiri sambutanya dan bergegas kembali ke
rumah, lalu mengunci pintu kamar.

5
Jamiri dengan sigap menarik tali pada leher kuda dan mengaitkannya pada
kereta pengantin tebu. Orang-orang yang tadinya larut dalam kesediahan, kini
sedikit lega. Doa yang dipimpin oleh Ustadz Saeful dipanjatkan. Orang-orang
dengan khusuk mengamininya. Lalu, arak-arakan pengantin tebupun dimulai.
Bagai mesin penggiling tebu yang mulai meremas batang-batang manis, orang-
orang berputar-putar kegirangan sembari mengiringi kereta pengantin tebu dengan
permainan rebana, gending, kuntulan, dan salawatan, serta berbagai sesaji yang
dibawa gadis-gadis cantik. Desa Pangkah benar-benar riuh oleh gegap gempita
arak-arakan panjang mengiringi kereta. Hingga senja mulai berwarna kelabu dan
di antara dinding-dinding tua pabrik gula, terpantul suara duka dari dalam dada
Tuan Ramono.
Hingga malam bergelanyut membawa kelangutannya. Malam ini Desa
Pangkah seperti orang tua bangka yang terlelah di atas dipan. Hanya suara
binatang malam terasa begitu menyengat gendang telinga. Orang-orang desa itu
telah suntuk dalam kelelapan tidur malam. Hingga sebuah mobil kijang terbuka
yang membawa satu regu polisi melintas dan perlahan memasuki halaman rumah
Tuan Ramono.
Mendengar suara mobil berhenti, Ridwan, petugas jaga malam pabrik yang
sejak tadi terkantuk-kantuk di kursi depan rumah Tuan Ramono terbelalak
matanya dan segera membuka sarung yang menutupi kepala. Ia kebingungan saat
melihat para polisi telah mengepung rumah tuannya.
“Buka pintunya!” perintah seorang polisi yang berjaket kulit hitam dengan
pistol tergenggam di tangan.
Ridwan menuruti saja perintah polisi itu. Lalu mereka memasuki rumah
Tuan Ramono yang ditinggalkannya sejak tadi sore. Sementara Ridwan hanya
terlongo-longo melihat para polisi itu mengobrak-abrik seisi rumah. Cukup lama
mereka memeriksa setiap bagian dalam rumah itu. Namun, tak ada satu pun yang
mereka dapati. Hingga seorang polisi yang bertubuh kurus memunguti sobekan
kertas-kertas kecil dari sebuah kotak sampah di sudut ruang kerja Tuan Ramono.
Ditatanya kertas-kertas sobekan itu di meja kerja Tuan Ramono dengan dibantu
kedua temannya. Meskipun belum utuh, sobekan-sobekan kertas itu sudah

6
nampak foto Ambar saat di sebuah pesta bersama beberapa lelaki. Samar-samar
terlihat, seorang lelaki dengan baju zinder duduk di sampingnya.
Malam telah menyempurnakan kesunyian Desa Pangkah yang diam-diam
memendam bara kebencian orang-orang pada keangkuhan pabrik gula, dari
musim ke musim dari zaman ke zaman. Orang-orang itu tetap saja tak pernah
berdaya. Meskipun telah berhari-hari, bahkan ribuan hari, sejak Tuan Ramono
yang bagai penghisap darah para petani tebu di desa itu tak lagi terlihat kembali
ke rumahnya.

Tegal, November 2013

Catatan:

nglangut : sepi sekali


tiban : mendadak
iket wulung : ikat kepala berwarna hitam dan ungu
tepak kebo : telapak kerbau
tepak jalak : telapak burung jalak
irengan : berwarna kehitaman

Anda mungkin juga menyukai