Anda di halaman 1dari 64

NOVEL SEJARAH

BUMI TANGIS TANAH


SEGELAP

Disusun Oleh :

Anggit Fatmanagari ( 03 )
Arul Ichan Maulana ( 05 )
Nadila Juliviana ( 26 )
Shelin Nahira Wizani ( 33 )
SMAN 1 PATI
TAHUN PELAJARAN 2019/2020
BAGIAN I

Di bawah terik siang matahari kala itu, warga kampung Desa Sekararum, salah
satu desa penghasil beras di Tanah Jawa sedang berkumpul di balai desa terlihat
membicarakan hal serius. Puluhan pasang mata tampak saling menelisik dengan kepalan
tangan yang kian mengeras membuktikan bahwa masalah yang dibahas kali ini
bukanlah hal yang sepele.

“ Sampai kapan hal ini terus terjadi Nggi ? kalau tetap dibiarkan, bukan
penghasilan kita saja yang menurun bisa mati juga anak turun kita ! “ kata salah satu
warga.

“ Sawah ee ajor mumur, wes kaping pindo iki ora tau panen. Beras nek lumbung
sing digawe mangan ae wes arep entek, iso ora iso awake dewe kudu teges lan nangkep
Kebo daden ! “ kata salah seorang petani tua.

Itu hanyalah satu dua keluhan yang berhasil membuat suasana Balai Desa siang
itu terasa semakin panas. Bukan tanpa alasan jika warga dibuat geram atas kejadian
yang sudah terjadi selama satu tahun ini. Sawah yang seharusnya bisa dipanen, tiba –
tiba rusak dan akhirnya gagal panen. Pada mulanya warga mengira kejadian ini suatu
hal yang biasa. Namun, jika ditelisik lebih jauh penyebab gagalnya panen yang terjadi
jelas bukan hama ataupun hewan yang merusak sawah warga. Melainkan sawah tersebut
sengaja dirusak oleh manusia, terlihat dari pola rusaknya sawah setiap warga yang
hampir sama.

“ Cari Kebo Nyabrang ! kita harus segera menangkapnya. Saya yakin seratus
persen kalau sawah kita yang merusak itu Dia. ! “ teriak seorang warga.

Tiba-tiba suara mencekam terdengar dan seketika atmosfer balai desa berubah
menjadi menyeramkan.

“ Hahahahaha hahahaha. Siapa yang mencariku ? punya berapa nyawa Dia


sampai-sampai berani meneriakkan namaku ? Tunjukkan wajahmu ! ."

Seketika para warga panik dan ketakutan, sejak awal puluhan warga yang
menghadiri rapat ini sudah takut dan was-was jika tiba-tiba sosok yang selama ini
menjadi dalang utama sumber masalah yang terjadi muncul dihadapan semua warga dan
mengamuk. Karena warga tahu sendiri jika Kebo Nyabrang bukanlah manusia biasa. Ia
adalah siluman yang memiliki kekuatan sihir ilmu hitam yang berbahaya. Ini merupakan
satu dari seribu alasan mengapa sampai sekarang ini warga juga belum melakukan
tindakan tegas terhadap Kebo Nyabrang. Tidak sedikit warga yang akhirnya meregang
nyawa karena sudah memberontak terhadap Kebo.

“ Katakan ! Siapa yang mencariku ? Siapa yang berani melawan Kebo Nyabrang
? “ kata Kebo Nyabrang.

Dan semua warga terdiam, bahkan semuanya tidak berani mendongakkan


kepala. Petani tua dan pemuda desa yang 10 menit lalu berkoar menunujukkan
kekesalannya dan kemarahannya kepada Kebo, kali ini tidak mengeluarkan sepatah kata
apapun.

“ Kau ! Hey Pak Tua ! Ning endi mau lambe lamismu seng ngunen-nguneni
aku ? Aku wes ning kene iki lo ? Ayo cekel ayo pateni aku ! “ bentak Kebo Nyabrang.
Tetap saja semua warga termasuk kepala desa yang notabennya menjadi pemimpin
rapatpun tak berani menjawab semua pertanyaan Kebo .

“ Hahahahah Hahahaha, dengarkan semua ! kalau kalian berani macam-macam


denganku, pastikan dulu kalian punya banyak nyawa yang siap dipertaruhkan untuk
melawanku. Hahahaha, dasar manusia lemah ! sudah bubar sana ! Eitsss nanti tunggu
dulu, Mbah Wagijan ! nanti malam saya mau main ke rumah mbah. Saya minta
dibuatkan kopi hitam tanp0a gula seperti biasa. Siap mbah ? “ tanya Kebo

“ Ssi... ssi... siap Den “ jawab petani tua tadi dengan terbata.

Sepeninggal Kebo Nyabrang, warga langsung bubar. Ada juga yang langsung
mengerubungi Mbah Wagijan, petani tua yang merangkap sebagai pedagang kopi kecil-
kecilan di rumahnya yang sempat marah-marah terhadap Kebo. Wajahnya pucat dan
tangan yang gemetar membuat prihatin para warga yang melihatnya.

“ Seng sabar nggih mbah, mugo Gusti Pangeran maringi panjenengan


keselamatan nggih “ ucap salah satu warga.

Ucapan penyemangat tak hanya terlontar dari satu pihak, hampir semua warga
memberikan doa dan kalimat-kalimat penenang bagi Mbah Wagijan. Tapi tak bisa
dipungkiri, semua kalimat itu seakan tak terdengar lagi di telinga Mbah Wakijan, karena
Ia tahu bahwa hari ini adalah hari terakhir dimana dia bisa hidup normal di Desa
Sekararum.

Tanpa diketahui seorangpun ternyata sedari tadi sosok yang tengah dibicarakan
belum benar-benar pergi dari Balai Desa tempat berkumpul. Kebo menyeringai dibalik
pohon mangga yang ada di depan balai desa. “ Hahahaha, tidak akan ada orang yang
berani melawanku, karena aku adalah Kebo Nyabrang “ ucap Kebo.
BAGIAN II

Setelah kericuhan yang sempat terjadi beberapa hari lalu, warga sudah tidak mau
lagi merundingkan masalah terkait kerusakan-kerusakan yang disebabkan ulah Kebo.
Ditambah lagi sejak malam berkunjungnya Kebo Nyabrang ke rumah mbah Wagijan
yang membuat keesokan paginya membuat Mbah Wagijan tak bisa lagi berbicara
membuat warga benar-benar takut untuk berurusan dengan Kebo. Tidak ingin berlarut-
larut akan ketakutannya terhadap Kebo, para warga bergotong royong untuk membenahi
sawah-sawah mereka yang rusak dan sama-sama berunding untuk mencari cara
memenuhi kebutuhan beras mereka yang hampir habis karena gagal panen. Para
pemuda desa mulai merantau keluar desa untuk mencari pekerjaan lain, karena mereka
tahu bahwa bertani tidaklah lagi mampu untuk mencukupi kebutuhan mereka.

Belum puas dengan apa yang dilakukannya, Kebo berusaha untuk mencari cara
lain untuk mengganggu kesejahteraan warga Desa Sekararum. Akhir-akhir ini Kebo
sering menculik anak-anak kecil untuk dibawa pulang ke pondoknya dan meminta
tebusan kepada rang tua mereka jika ingin anaknya kembali. Hal ini membuat warga
tersiksa, beberapa dari mereka bahkan ingin meninggalkan desa .

Hingga pada akhirnya semua kejadian ini terdengar di telinga para petinggi
Kerajaan Segelap, Kerajaan yang menguasai Desa Sekararum dan sekitarnya. Letak
Kerajaan Segelap yang jauh dari Desa Sekararum tak heran membuat segala hal yang
terjadi di Desa Sekararum terlambat diketahui oleh pihak kerajaan. Karena letak Desa
Sekararum sendiri yang ada di pinggir wilayah perbatasan Kerajaan Segelap dengan
daerah kekuasaan Sunan Muria.

“ Izin menghadap Yang Mulia Ratu “ ucap Patih Joyokaso salah satu utusan di
Kerajaan Segelap.

“ Apa yang terjadi ? “ ucap Ratu Kerajaan Segelap

“ Siluman Kebo lagi-lagi mengganggu ketentraman Desa Sekararum, Yang


Mulia. Desa tersebut sudah gagal panen untuk kedua kalinya dan banyak anak-anak
kecil diculik unutuk dimintai tebusan. Dampak terbesar yang ditimbulkan adalah
pasokan beras untuk wilayah kota dan lumbung kerajaan kesulitan untuk mendapatkan
beras berkualitas, Yang Mulia “ ucap Sang Patih menjelaskan secara detail masalah
yang terjadi.
Setelah mendengar lapora menterinya, Sang Ratu pun terdiam memikirkan
tindakan apa yang harus Ia lakukan. Ia tahu masalah kali ini tidak bisa di selesaikan
dengan mudah, karena si pembuat maslaah kali ini bukanlah manusia biasa. Sudah
cukup lama Ia mendengar tentang sosok siluman Kebo yang kerap kali membuat
kerusuhan di desa-desa wilayah kekuasaannya. Matanya terlihat memincing tatkala Ia
melihat sosok bayangan hitam yang terlihat mengintip pembicaraannya bersama para
menteri dan petingi kerajaan melalui celah bambu yang tak tertutup sempurna di balai
rapat ini.

“ Diam ! “ teriak Sang Ratu

Semua orang terdiam dan terlihat bingung karena tiba-tiba Sang Ratu berteriak
dan terlihat marah, padahal sebelumnya tidak ada masalah yang memancing amarahnya.
Sang Ratu yang menjadi pusat perhatian para petinggi kerajaan dan para menteri masih
saja tidak menunjukkan tanda-tanda berbicara. Hingga bayangan hitam yang hanya bisa
dilihat Sang Ratu itu pergi, barulah Beliau berbicara.

“ Siapkan tandu dan pasukan pengamanan, siang ini nanti saya akan berangkat
menuju Desa Sekararum “ dingin dan tegas nada yang dilontarkan Sang Ratu.

Para menteri dan pelayan terkejut, pasalnya Sang Ratu sendiri selama ini enggan
untuk berpergian jauh. Apalagi di desa pinggiran yang saat ini dilanda kekacauan akibat
ulah siluman Kebo. Tak ingin memancing amarah Sang Ratu yang kapan saja bisa
meledak, segera dari mereka semua membubarkan diri dan menyiapkan segala
keperluan Sang Ratu.

***

Sudah menjadi sebuah keharusan ketika Ratu mengadakan kunjungan bahwa


mereka semua harus mengenakan penyamaran. Tandu yang dibawa oleh para pengawal
tadi tidak digunakan untuk membawa Sang Ratu. Melainkan sengaja dipasang boneka
tiruan yang digunakan untuk mengelabuhi musuh seakan-akan memang Sang Ratu lah
yang sedang ada di dalam tandu itu. Ratu sendiri menyamar sebagai sosok prajurit dan
menunggangi kuda andalannya dan berjalan di bagian depan bersama dengan para
pengawal. Hal ini dilakukan untuk menghindari kejadian buruk yang kapan saja bisa
membahayakan Sang Ratu, karena semua orang tahu bahwa Ratu Kerajaan Segelap
sendiri sudah dikenal akan kecantikan dan keelokannya. Ditambah lagi sampai saat ini,
Sang Ratu belum juga dipersunting oleh siapapun.

Pernah terjadi kejadian dimana tandu Sang Ratu tiba-tiba diserang oleh kawanan
perampok yang berhasil menghabisi separuh dari jumlah pengawal Kerajaan Segelap.
Beruntungnya, sosok ratu yang memimpin Kerajaan Segelap ini bukanlah wanita lemah
yang tabu untuk memegang senjata. Sejak kecil, Ratu Kerajaan Segelap ini sudah dilatih
untuk memegang segala macam jenis senjata dan diharuskan untuk menguasainya
dengan baik. Kawanan perampok yang berjumlah lebih dari sepuluh orang tersebut
berhasil dibunuh oleh Sang Ratu. Sejak kejadian itu, Kepala prajurit keamanan Kerajaan
Segelap mengusulkan tentang ide penyamaran disetiap acara kunjungan Sang Ratu
untuk mengantisipasi kejadian-kejadian buruk yang bisa mengancam keselamatan Sang
Ratu.

“ Berhenti ! sebaiknya kita istirahat terlebih dahulu. Aku akan pergi sebentar
mencari sungai yang bisa kita gunakan untuk bersih diri nanti “ ucap Sang Ratu.

“ Izinan saya unutuk mengawal Anda Yang Mulia “ ucap salah satu pengawal

“ Tidak perlu, aku ingin sendiri. Pastikan tidak ada rombongan yang pergi
selama aku tidak ada “ jawab Sang Ratu dengan datar.

Bukan tanpa alasan, mengapa Ia pergi memisahkan diri dari para rombongan
kerajaan. Sedari tadi, Ia merasa ada sosok yang mengikuti rombongan kerajaan sejak
memasuki kawasan hutan perbatasan wilayah kota dengan desa. Tak ingin
membahayakan banyak orang, segera Ia memisahkan diri untuk mencari tahu siapa
gerangan yang sedari tadi mengikuti rombongannya.

Setalah memisahkan diri cukup jauh, akhirnya Sang Ratu menemukan sungai
kecil dengan air jernih yang bisa dijadikan untuk dirinya dan para rombongan kerajaan
lain untuk bersih diri. Suasana di sekitar sungai ini begitu damai dan tentram, cocok
sekali untuk dijadikan tempat menyendiri. Tiba-tiba terdengar langkah kaki seseorang
yang membuyarkan lamunannya. Segera Ia memakai cadar yang menutupi wajah
cantiknya dan mengeluarkan pedang yang selalu menempel dipunggungnya. Kakinya
membentuk kuda-kuda yang kokoh, seakan dirinya siap menghadapi siapapun yang kini
melangkah menuju kearahnya.

“ Hahahaha, bau manusia. Siapa yang sudah datang ke tempatku ? “ terdengar


suara mengerikan yang mengudara di sekitar sungai tersebut.

Sang Ratu mengernyitkan dahi dan memusatkan penglihatannya di setiap sudut


pandang yang bisa Ia jangkau. Hawa sekitar tiba “ tiba mencekam, perasaannya mulai
tak enak karena asap hitam yang tiba-tiba muncul mengganggu konsentrasinya.
Sekelebat bayangan hitam melintas cepat di belakang tubuhnya, membuatnya seketika
panik dan mulai kehilangan konsentrasinya. Hingga tiba “ tiba sebuah pisau kecil
melintas di belakang kepalanya, memutus tali cadar yang digunakan Sang Ratu. Tali
yang terlepas itu membuat wajah rupawan Sang Ratu terlihat dan hal itu membuat Kebo
tercengang.

“ Waduh ayu tenan. Kue kudu bisa dadi bojoku besok ! “ kata Kebo sosok yang
sedari tadi mengikuti para rombongan kerajaan

Apa yang terjadi membuat Sang Ratu murka, karena Kebo berhasil membuka
penyamarannya. Tanpa aba-aba Sang Ratu berlari menghunuskan pedangnya kehadapan
Kebo. Baru sampai dua meter dihadapan Kebo, tiba-tiba kakinya tak bisa digerakkan.
Kedua kakinya tak bisa bergerak dan genggaman tangan yang memegang erat pedang
tiba-tiba terlepas begitu saja. Sudah tidak ada waktu lagi untuk terkejut, Sang Ratu yang
yakin bahwa dirinya tak bisa melawan Kebo dengan cara biasa, memikirkan bagaimana
caranya agar para pengawalnya segera datang untuk membantunya.

“ Wahai Yang Mulia Baginda Ratu Kerajaan Segelap, ada apa gerangan Yang
Mulia berkeliaran di wilayahku hemm ? “ kata Kebo berpura-pura tidak tahu, padahal
sedari awal Kebolah yang memancing Ratu untuk memasuki kawasannya.

Dalam hati Kebo terus berkata bahwa Ia harus menjadikan wanita yang ada di
hadapannya ini istrinya, karena kecantikan dan keelokan yang dimiliki penguasa
Kerajaan Segelap ini sudah tidak bisa diragukan lagi. Tidak peduli bahwa yang akan
dipersunting dirinya ini suka atau tidak terhadapnya. Karena prinsip hidupnya, apapun
yang Ia inginkan pasti akan Ia dapatkan. Karena tak mendapat jawaban dari Sang Ratu,
Kebo memutuskan untuk menghilangkan sihirnya untuk sementara dan mencoba bicara
baik-baik kepada Sang Ratu.

“ Ratu Kerajaan Segelap, tidak ada satu orangpun yang mengetahui nama
aslinya. Wajahnya bukan main cantiknya, banyak orang yang tertarik untuk
mempersuntingmu. Dan tidak sedikit pula yang Kau tolak “ Kata Kebo sambil
mengelilingi Sang Ratu.

“ Tidak kusangka untuk menarik perhatianmu datang kepadaku tidak sesulit


yang kubayangkan. Padahal aku sudah memikirkan banyak cara agar pertemuan kita
terlihat lebih dramatis “ kata Kebo mulai mendekati Sang Ratu

“ Menjauh ! Dasar siluman jadi-jadian ! “ bentak Sang Ratu

“ Hahahaha, apa-apaan itu ! Tak usah takut dengan calon suamimu Ratu “ kata
Kebo mulai menyentuh rambut milik Sang Ratu.

“ Hahahaha, suami ? kamu menjadi suamiku ? aku tidak bakal sudi untuk
menjadi istrimu. Dengar ya, kedatanganku kemari adalah untuk membunuhmu. Sosok
yang selalu mengganggu dan membuat kericuhan di kerajaanku. Berani-beraninya kamu
berkata seperti itu terhadap ratumu ! “ kata Sang Ratu terlihat murka.

“ Roro Ayo Pudjiwat, itukan namamu ? Hahahaha tidak usah terkejut semacam
itu, sudah kubilang kan kalau aku itu calon suamimu. Aku tahu semua entangmu dan
apa yang harus kutakutkan darimu ? Kalian semua tak akan bisa mengalahkan makhluk
sepertiku “ jawab Kebo yang membuat Sang Ratu terkejut. Pasalnya tak ada seorangpun
yang mengetahui nama aslinya kecuali para petinggi istana yang akrab dengannya.
Karena namanya sengaja Ia rahasiakan di khalayak umum untuk menjaga keamanan
dirinya sendiri.

“ Apa maumu ? Aku yakin peristiwa penyerangan di Desa Sekararum bukanlah


tujuan utama mu datang ke wilayah kerajaanku ! “ kata sang Ratu dengan nada
congkak.

Kebo tidak langsung menjawab, tiba-tiba Ia duduk bersimpuh di sebelah Sang


Ratu. Dengan begitu, Sang Ratu segera bergeser dan membuat jarak lumayan jauh
dengan si Kebo. Melihat hal tersebut Kebo tersenyum kecut. “ Hahahaha, pintar sekali
ratuku ini, tidak hanya cantik dan pandai berkelahi tapi ternyata juga cerdas “ balas si
Kebo.

“ Tidak usah bertele-tele dasar siluman ! Apa maumu ? “ bentak Sang Ratu.

Kebo tak langsung menjawab, Ia terlihat berfikir seraya memandangi Sang Ratu
yang tak jauh darinya. Entah apa yang terjadi, kebo berubah tidak menjadi seperti
biasanya yang selalu mudah melontarkan kata – kata kepada lawan bicaranya. Sudah
lama sekali Kebo menantikan momen seperti ini, dimana Ia bisa bertemu langsung dan
berbicara langsung dengan Ratu Kerajaan Segelap dalam jarak dekat seperti ini.

“ Aku ingin menikahimu, Ratu Kerajaan Segelap. Terdengar gila memang, tapi
aku bersungguh-sungguh mengatakannya terlepas dari statusku saat ini adalah seorang
siluman yang dikenal banyak orang sebagai pembawa masalah dan makhluk kotor “
jawab Kebo mantap.

Roro Ayu Pudjiwat tak menampakkan ekspresi berlebih setelah mendengar


jawaban Kebo. Banyak lelaki yang sering melontarkan kalimat bermakna sama yaitu
mengajaknya menikah tapi berakhir dengan penolakan. Tapi yang membuatnya heran
adalah seorang siluman yang menyukai dirinya. Bagaimana bisa ?

“ Sejak kapan Kau menyukaiku ? ” tanya Roro.


“ Sejak pertama kali Aku melintasi Kerajaan Segelap dan saat itu terjadi
keributan kecil di depan pintu gerbang istanamu. Dan disana aku melihatmu dengan
pedang yang Kau genggam, dan tanpa ragu Kau langsung menghabisi perampok yang
menerobos masuk istana. Sejak saat itu aku mulai tertarik denganmu “ jawab Kebo
dengan sungguh-sungguh.

Roro berusaha mengingat kejadian itu. Membutuhkan waktu cukup lama, karena
Ia sendiri adalah tipe orang yang tidak ingin mengingat suatu hal yang sudah terjadi.
Sekarang Ia ingat, kejadian itu tejadi sekitar tujuh bulan lalu saat Istana hampir saja
dimasuki para perampok disaat penjagaan gerbang Istana sedikit lengang.

“ Kau sudah tahu jawabanku bukan ? Tidak sedikit laki-laki yang kutolak,
apalagi Kau adalah seorang siluman. Apalagi asal-usulmu sendiri tidak jelas. Berhenti
berulah di wilayah kekuasaanku atau aku sendiri yang akan menghadapimu. Dan saat
itulah Aku benar-benar tak akan memberikan ampun, tidak peduli kau manusia ataupun
siluman, “ jawab Roro menatap tajam Kebo.

“ Apa alasanmu ? Karena aku siluman ? Hahahaha alasanmu tidak cukup


membuatku menyerah begitu saja Ratu, “ jawab Kebo mendekati Roro.

Hal tersebut membuat Roro beringsut dan mendesis tajam. “ Menyingkir dariku
atau kubunuh Kau sekarang juga ! ” bentak Roro. Jujur saja Roro sendiri merasa takut
saat ini. Yang ada di depannya ini bukanlah manusia biasa yang sekali tebas langsung
mati, melainkan siluman yang menguasai ilmu hitam.

“ Akan aku pastikan bahwa Kau akan menikah denganku. Mungkin bukan
sekarang, tapi nanti Kau sendiri yang akan datang kepadaku dan meminta untuk
menjadikanmu sebagai istriku, Istri Siluman Kebo Nyabrang,” kata kebo dengan
seringai kecil di wajahnya.

“ Itu tak akan pernah terjadi ! Mana sudi Aku mau menjadi istrimu ? ” balas
Roro tak kalah tajam.

“ Hahahaha, ratu ratu ! Sudahkah Kau mendengar kemampuanku dari para


warga ? apa yang Aku ucapkan dan Aku inginkan, harus dan pasti terwujud.” jawab
Kebo

Jawaban Kebo semakin membuat Roro geram dan muak melihat wajah
buruknya. Tiba-tiba telinganya mendengar langkah kaki berdatangan ke arah tempatnya
saat ini. Ia berharap para pengawal menemukannya dan segera membawanya pergi dari
siluman Kebo yang ada dihadapannya saat ini.
“ Hei ? Kau memanggil antek-antekmu kesini bukan ? padahal aku masih mau
berlama-lama disini bersamamu.” kata Kebo.

Roro tidak menjawab ucapan Kebo, saat ini Ia fokus menajamkan suara yang
semakin lama semakin dekat. Ia harus memastikan bahwa yang datang ketempatnya saat
ini benar-benar pengawalnya atau orang asing .

“ Yang Mulia Ratu, apa yang Anda lakukan di sini ? Astaga kenapa Anda duduk
di tanah seperti itu Yang Mulia ? ” teriak Patih Joyokarso

Mendengar suara teriakan slaah satu patih setianya, Roro lekas menoleh ke
belakang mencari suara tersebut. “ Cepat kesini bantu aku ? “ teriak Roro.

“ Apa yang terjadi Yang Mulia ? “ tanya Sang Patih

“ Aku bertemu dengan ... Dimana Dia ? Tadi aku bertemu dengan siluman yang
mengganggu desa Sekararum. Tadi Dia disini dan membicarakan hal gila dihadapanku.”
kata Roro kebingungan karena tiba-tiba Kebo sudah menghilang.

Tiba-tiba Roro mendengar suara Kebo, “ Mungkin kali ini kita kan berpisah, tapi
akan kupastikan Kau akan segera jadi milikku Ratu. Jadi sebelum waktu itu datang, Aku
berharap Kau tidak kabur dan mempersiapkan dirimu baik-baik untuk menjadi istriku “
kata Kebo .

“ Arghhh sial ! Ayo kembali ke Istana ! “ ucap Sang Ratu tanpa mengindahkan
ekspresi terkejut patihnya.

“ Ta .. ta.. tapi Yang Mulia, bagaiman dengan kunjungan kita ke Desa Sekararum
? Bukankah kita belum sampai menyelesaikan tujuan kita ? “ tanya Patih Joyokarso
ragu

“ Jangan banyak bicara ! Urusan kita sudah selesai, cepat perintahkan yang lain
untuk segera kembali ke Istana, “ kata Sang Ratu melenggang pergi.

“ Apa yang sebenarnya terjadi ? “ bingung Patih Joyokarso.


BAGIAN III

Setelah Roro pergi dari sungai, Kebo yang sedari tadi belum benar-benar
meninggalkan tempat itu kembali duduk bersandar di salah satu batu besar dan terlihat
memikirkan semua kejadian yang dialaminya hari ini. Dimulai dari Ia bertemu langsung
dengan Roro hingga pernyataan cintanya untuk meminang Roro yang berujung dengan
penolakan. Sebelumnya Kebo tak pernah merasa seperti ini, statusnya yang setengah
manusia dan siluman tidak sepenuhnya membuat dirinya seperti manusia biasa. Dimana
bisa merasakan sakit hati, senang ataupun sedih dengan mudahnya. Separuh dirinya
yang dikuasai ilmu hitam hanya merasakan perasaan marah, dendam, dan keserakahan.
Namun, semua ini berubah ketika Ia pertama kali melihat Roro. Terlepas dari
kecantikan Roro yang tak terelakkan, Roro sendiri seperti memiliki kekuatan magis
dimana membuat Kebo tertarik.

Jika hanya wajah ayu yang membuat Kebo jatuh cinta dengan Roro jelas tidak
mungkin. Kebo sendiri sudah mengunjungi hampir semua wilayah Tanah Jawa, banyak
wanita cantik bahkan yang lebih cantik dari Roro pun sering Ia lihat, namun darI semua
wanita itu tidak benar-benar menarik perhatiannya.

Penolakan Roro membuat pikirannya kacau. Kebo menundukkan kepalanya


untuk melihat pantulan bayangannya di sungai, Ia bisa melihat pantulan wajahnya.
Badan besar, rambut panjang, kulit hitam yang berbeda dengan manusia biasa, dan tak
lupa tanduk kecil yang ada di masing-masing sisi kepalanya. Kebo mencoba tersenyum,
tapi yang terlihat adalah sebuah seringai yang mengerikan. Ia mencoba berkali-kali agar
terlihat ikhlas saat tersenyum, tapi yang muncul tetaplah senyuman yang mengerikan.
Merasa bodoh dengan melakukan hal itu, Kebo mendengus dan manjatuhkan dirinya
berbaring di atas batu.

Dilihatnya matahari sudah mulai turun menandakan bahwa hari semakin malam.
Suara adzan mulai berkumandang dan hewan-hewan malam mulai bermunculan, tapi
yang dilakukan Kebo hanya diam menikmati semua suasana yang ada. Ketika
mendengar suara adzan, Kebo selalu teringat tentang sosok yang selama ini menjadi
daftar nomor satu orang yang paling Ia benci. Masa lalu buruk yang dialaminya berputar
bagai kaset rusak di kepalanya dan menyisakan perasaan perih dan dendam.

***

Kejadian 20 tahun lalu


Di sebuah gubug reyot, tempat persembunyian Dewi Sapsari malam ini
kedatangan Sunan Muria, kekasihnya. Dewi Sapsari bertemu dengan Sunan Muria saat
Beliau ingin menyebrangi Sungai Silugonggo kala itu dan tak ada perahu yang bisa
digunakannya. Dewi Sapsari selaku penunggu Sungai Silugonggo, menawarkan bantuan
terhadap Sunan Muria untuk menyebrangi Sungai Silugonggo. Sunan Muria akhirnya
berhasil menyebrangi sungai berkat Dewi Sapsari. Kejadian kecil seperti itu membuat
Sunan Muria tertarik dengan Dewi Sapsari, padahal Ia tahu sendiri bahwa hal ini
tidaklah benar. Istrinya di rumah akan kecewa jika mengetahui bahwa Ia tertarik dengan
wanita lain. Pertemuan kedua Sunan Muria dengan Dewi Sapsari adalah ketika Ia
menemukan Dewi Sapsari tengah diganggu oleh para pria hidung belang di dekat masjid
tempat Ia berdakwah. Mengetahui hal itu, amarah Sunan Muria sudah tak terbendung
lagi melihat wanita pujaannya diperlakukan seperti itu. Saat itu, Sunan Muria benar-
benar murka, langsung saja Ia membawa pergi Dewi Sapsari tanpa memperdulikan
pandangan orang lain yang melihat tindakannya yang bisa saja menimbulkan masalah.

Berbulan - bulan telah berlalu, Sunan Muria dan Dewi Sapsari masih sering
bertemu bahkan waktu pertemuan mereka semakin sering terjadi. Dalam waktu
seminggu saja mereka bisa mengadakan pertemuan sebanyak 4 kali. Istri Sang Sunan
juga telah mengetahui tentang Dewi Sapsari yang menjadi selingkuhan suaminya,
bukannya marah Istri Sunan Muria berusaha untuk tidak memperdulikan perilaku
suaminya. Selama dia tetap menjadi satu-satunya istri sah Sunan Muria dan Beliau tetap
menafkahinya, Ia tak ingin berbuat lebih jauh tentang hubungan gelap suaminya. Dia
sendiri yakin bahwa sesuatu yang dimulai dengan tidak baik, nantinya juga
membuahkan hasil yang tidak baik juga. Sang istri menganggap bahwa saat ini
suaminya sedang berada di posisi bosan dengan kehidupan rumah tangganya dan
mencoba untuk mencari hiburan lain. Nanti saat semuanya sudah kembali normal,
Sunan Muria pasti akan menghentikan perselingkuhannya.

Enam bulan hubungannya dengan Sunan Muria berjalan mulus tanpa hambatan,
hingga pada suatu ketika, Dewi Sapsari tiba-tiba sakit dan tak bisa bangun dari tempat
tidur bahkan hanya untuk membersihkan diri. Keadaannya tidak diketahui Sunan Muria,
biasanya Beliau akan berkunjung setiap dua hari sekali, tapi kali ini Sang Sunan tak
memberi kabar sama sekali. Dihari kedua sakitnya, rumahnya dikunjungi seorang nenek
tua dengan pakaian compang - camping dan golok yang tersampir di punggungnya.
Dewi Sapsari ketakutan, Ia mengira bahwa nenek ini akan menculiknya atau yang lebih
parah akan membunuhnya. Tapi siapa sangka Sang Nenek hanya duduk manis di kursi
reyot dalam gubuknya dqn mengajaknya berbicara baik-baik.
" Sudah berapa lama Kau menjalin hubungan gelap dengan Sunan Muria ? "
tanya Nenek tua.

" Hampir satu tahun ni " Jawab Dewi Sapsari ragu karena sedari tadi Sang nenek
tak melepaskan pandangannya dari tubuhnya terutama bagian perut.

" Koe gak sadar nduk, loronem iki loro opo ? " tanya Sang Nenek

Dewi Sapsari hanya menggeleng karena Ia sendiri benar-benar tak tahu dan
merasa sakitnya ini bukanlah sakit penyakit. Setiap paginya Ia selalu mual dan
hidungnya semakin sensitif terhadap bau-bauan. Ia juga tak bisa makan semua
makanan, dan beberapa hari yang lalu tiba-tiba Ia menginginkan makanan masam yang
sebelumnya Ia tak pernah menyukainya.

" Kamu hamil ! " kata Nenek tua terlihat marah." Kamu hamil anak Sunan
Muria. Kalian sudah melakukan tindakan tak benar di wilayah hutan suci ini " sambung
Nenek tua.

Dewi Sapsari terkejud mendengarnya, Ia tak menyangka kecerobohannya


menghasilkan masalah besar seperti ini. Ia sendiri paham bahwa gubuk tempat
tinggalnya ini memang berada di kawasan hutan suci dan tidak seharusnya Ia
melakukan tindakan kotor disini.

" Semua yang diawali dengan keburukan nantinya pasti akan menghasilkan hasil
yang buruk. Sejak awal hubungan kalian ini salah, semua orang tak mendukung
hubungan kalian dan kalian tetap saja memaksakan hubungan ini. Kamu pasti tahu apa
yang akan terjadi setelah ini bukan ? Tanya Nenek.

Orang - orang yang melakukan hal - hal buruk di hutan Suci akan mendapat
kutukan menjadi manusia setengah iblis atau sebut saja siluman. Dewi Sapsari tak
menyangka bahwa hubungannya dengan Sunan akan berakhir seperti ini.

" Anakmu akan menjadi siluman, kamu tak bisa mengelak itu. Cepatlah pergi
dari wilayah ini sebelum hal buruk lainnya akan muncul dan menyusahkan banyak
warga. Bawa anakmu pergi dari wilayah Gunung Muria ini, dan jangan lupa bahwa
setelah melahirkan bayi yang Kau kandung... " Nenek tua terdiam cukup lama untuk
menyambung perkataannya. Dewi Sapsari tetap sabar mendengar semua perkataan
wanita tua dihadapannya.

" Kau akan mati ! " kata Sang Nenek dan tiba-tiba menghilang.

Bahu Dewi Sapsari langsung merosot, tanpa tunggu lama Ia bergegas


mengemasi barang-barangnya untuk segera meninggalkan gubugnya. Sebelumnya Ia
meninggalkan salah satu selendang pemberian Sunan Muria sebagi bentuk pamitnya
untuk pergi meninggalkan Kawasan Gujung Muria. Biarlah kehamilannya ini tidak
diketahui oleh Sang Sunan, Ia tak mau lagi melibatkan Sunan Muria kedalam hidupnya.
Sudah cukup satu tahun hubungan yang mereka jalani, Ia tak ingin menimbulkan
masalah yang bisa menyeret Sunan Muria ke jurang kehancuran.

***

Sembilan bulan telah berlalu, tiba saatnya bagi Dewi Sapsari untuk melahirkan.
Ia berhasil pergi jauh dari Sunan Muria dan sampai saat inipun tidak ada tanda-tanda
jika Sunan berhasil menemukannya. Entah Sunan memang benar-benar tidak bisa
menemukannya atau Sunan Muria sendiri telah menghentikan pencariannya dan
memutuskan untuk mengikhlaskan kepergiannya. Selama kehamilannya, Sapsari
banyak mengalami penderitaan. Susah dalam mencari tempat berteduh, mencari bahan
makanan dan rasa sakit di perutnya yang tidak wajar efek dari janin yang Ia kandung
bukanlah janin manusia biasa.

Setiap awal bulan pertama, perutnya terasa sakit seperti diremas – remas sampai
membuat dirinya tidak bisa bangun dan berakhir dengan dirinya yang sering tak
sadarkan diri akibat kesakitan dan rasa lapar akibat tak mendapat asupan makanan.
Bagaimana Ia bisa mencari makanan, kalau untuk bergerak sedikit saja perutnya terasa
diaduk-aduk dari dalam. Saat seperti itu yang bisa Ia lakukan hanya berdoa kepada Sang
Penguasa agar dirinya bisa selamat samapai waktu Ia melahirkan. Sudah seminggu
setelah memasuki bulan kesembilan kehamilannya, Dewi Sapsari bertemu lagi lewat
mimpi dengan nenek tua yang pernah Ia temui sembilan bulan lalu. Ia mengatakan
bahwa janin yang ada di dalam kandungannya sudah diberi nama oleh penguasa hutan
suci. Kelak jika anaknya lahir ke dunia, namanya adalah Raden Bambang Kebo
Nyabrang. Saat pertama kali mendengar nama itu, Dewi Sapsari merasa janggal dengan
nama hewan yang disematkan di tengah nama anaknya. Hingga tiba setelah melahirkan,
Ia baru mengerti apa maksud dari nama hewan yang tersemat di nama anaknya.

Bayi yang lahir dari perutnya tampak berbeda dengan bayi manusia pada
umumnya. Tubuhnya hitam lusuh dan ada tanduk kerbau kecil di kiri kanan kepala bayi
tersebut. Tak ada tangisan bayi ketika Ia melihat dunia untuk pertama kalinya, berbeda
dengan bayi pada umumya yang menangis kencang saat terlahir di dunia.

Tubuhnya masih terasa lemas dan semakin melemas, Ia sendiri tahu bahwa
waktu yang Ia punya sudah tak lama lagi. Menghabiskan waktu tambahan yang Ia
miliki, Dewi Sapsari hanya memanfaatkannya untuk memandangi bayi yang selama ini
Ia kandung selama sembilan bulan. Tak ada sedikitpun rasa kecewa dan sedih lantaran
anaknya adalah seorang siluman. Dengan susah payah Ia berusaha bangkit dan
menggendong putranya. Ia membersihkan tubuh bayinya dengan kain seadanya dan
memakaikannya baju yang sudah lama Ia jahit sendiri khusus untuk putranya.

“ Tak kusangka baju ini pas ditubuhmu. Wah terlihat tampan sekali putra ibu, “
kata Dewi Sapsari mencoba tersenyum disela kesakitan yang mengingatkannya akan
kematian yang segera tiba.

“ Ibu tak pernah menyesal karena telah mengandungmu dan melahirkanmu


walaupun kamu sendiri adalah manusia siluman. Maafkan ibu Le, semua ini salah ibu
dan bapakmu. Andai saja Ibumu ini tidak bodoh, mungkin saja saat ini kamu tidak
terlahir seperti ini. Hei ! tapi tenang saja Ibu tetap menyayangimu, sayang sekali, “ kata
Dewi Sapsari mencoba mengajak bicara bayinya.

“ Walaupun ibu tidak bisa menemanimu hingga besar nanti, Ibu pasti akan selalu
menemanimu dan melihatmu walau dari jauh. Kamu pria yang kuat dan hebat, Ibu yakin
kamu bisa hidup tanpa ibu, “ kata Dewi Sapsari sambil terbatuk.

Wajahnya semakin pucat dan tangannya gemetaran tak mampu lagi


menggendong bayinya. Jadi Ia memutuskan untuk meletakkan bayinya di tanah
beralaskan tikar bambu yang ditumpuki kain-kain lusuh. Perutnya mual, rasanya Ia
ingin memuntahkan sesuatu. Perlahan-lahan pandangannya mengabur, Ia tak ingin
menyia-nyiakan kesempatan terakhirnya untuk bisa melihat putranya, jadi yang Ia
lakukan adalah semakin mendekatkan wajahnya dengan wajah bayinya.

Bayi Kebo Nyabrang tampak tak nyaman dengan itu, Ia seakan bisa merasakan
kesakitan yang dialami ibunya. Mata Sang Bayi tampak berkaca-kaca siap untuk
menangis. Hingga tiba-tiba Dewi Sapsari terbatuk dengan keras dan mengeluarkan
darah dari mulutnya, hal itu mengejutkan Sang Bayi dan membuatnya menangis
kencang. Bukannya menenangkan Sang Bayi, yang Ia lakukan adalah tersenyum bangga
karena akhirnya bayi yang berhasil Ia lahirkan menangis kencang.

“ Uhuk... uhuk... Akhirnya Ibu bisa mendengar suara tangismu Le, “ kata Dewi
Sapsari dengan tubuh yang sebentar lagi tumbang.

Terdengar suara tangis Bayi Kebo semakin keras bahkan sampai terbatuk-batuk.
“ Urip sing nggenah yo Le. Ibu arep lunga ndisek, awakmu ora oleh nangis maneh
sakwise iki. Ibu sayang karo kowe Le, “ kata perpisahan terakhir Dewi Sapsari sebelum
Ia jatuh tersungkur ke tanah menandakan bahwa ruhnya sudah terpisah dari tubuhnya.
Berbarengan dengan itu, tangis Sang Bayi semakin nyaring dan hujan turun tiba-tiba
mengguyur kedua insan yang memiliki awal dan akhir buruk di hidupnya.
***

Sudah dua bulan berlalu dan selama itu juga Kebo tidak bertemu lagi dengan
Roro. Selama waktu itu, Kebo berusaha meyakinkan dirinya sendiri tentang
perasaannya terhadap Roro. Akhirnya Ia menyadari bahwa perasaannya terhadap Roro
benar adanya dan Ia sungguh-sungguh tentang ingin menjadikan Roro sebagai istrinya.
Hingga tiba-tiba Ia mendengar sebuah berita dari salah satu pemuda desa bahwa Ratu
Kerajaan Segelap itu mengadakan sayembara untuk memilih calon suami yang tepat
untunya.

“ Hahahaha permainan apalagi yang Kau ciptakan Roro ? aku takkan semudah
itu melepasmu untuk pemuda lain walaupun aku bukanlah pemenang sayembara itu “
kata Kebo dalam hati.

Roro Pudjiwat mengadakan sayembara untuk memilih siapa diantara para


pemuda terbaik yang pantas untuk menjadi calon suaminya. Mendengar kabar tersebut
Kebo Nyabrang pun segera mendaftarkan dirinya untuk mengikuti sayembara tersebut.
Esok harinya tibalah hari dimana sayembara itu dilaksanakan. Banyak raja, pangeran,
dan pemuda baik dari kalangan atas ataupun kalangan bawah mengikuti sayembara
yang diadakan Roro Pudjiwat.

Sayembara tersebut dibagi menjadi 3 babak dimana babak pertama akan


diadakan lomba berburu kijang emas, bagi siapa yang bisa membawakan hasil buruan
yang banyak maka ia akan lolos untuk mengikuti babak berikutnya. Pada babak ini
banyak pemuda yang gugur dikarenakan sulitnya untuk memburu kijang emas, yang
sangat lincah dalam berkelit dan berlari. Diperlukan keahlian memanah yang hebat agar
bisa menangkap kijang emas ini.

Hampir tiga perempat bagian dari seluruh total pemuda dinyatakan gugur dalam
babak ini. Hanya seperempat bagian dari total pemuda yang dapat melanjutkan ke babak
selanjutnya. Selanjutnya pada babak kedua akan diselenggarakan lomba adu gulat,
setiap pemuda akan diadu gulat dengan para kompetitor Kerajaan Segelap yang terkenal
kuat, sadis, dan lihai bergulat, tidak pernah ada satupun orang yang mampu
mengalahkan kompetitor ini. Saat lomba bergulat ini berlangsung banyak dari pemuda
yang gugur karena kalah dengan para kompetitor ini . Mereka kalah kuat dan lihai
dibanding para kompetitor ini. Namun, dibalik semua kehebatan para kompetitor
Kerajaan Segelap, masih ada pemuda yang lebih hebat. Hal itu dibuktikannya dengan
mengalahkan kompetitor yang terkenal hebat tersebut. Pemuda-pemuda itu ialah
pemuda yang tak terduga akan berhasil hingga tahap ini.
Hanya 2 orang pemuda yang berhasil mengalahkan para kompetitor ini, Mereka
merupakan seorang pangeran dan pemuda biasa yang sangat luar biasa. Masyarakat
Segelap mengenal Mereka dengan panggilan Ronggo Joyo dan Kebo Nyabrang.
Ronggo Joyo sendiri merupakan pangeran dari negeri utara, ia diutus oleh ayahnya Sang
Raja untuk mengikuti sayembara yang diadakan Roro dari Kerjaan Segelap, dengan
maksud suatu hari dapat menguasai dan mengambil alih kekuasaan Kerajaan Segelap
dari tangan Roro. Ronggo Joyo sendiri merupakan pemuda dengan fisik yang gagah,
kuat, serta tampan. Kekuatan serta ketampanannya pun diwariskan dari ayah
biologisnya yang merupakan seorang titisan dewa indra, sang dewa hujan.

Selain Ronggo Joyo, terdapat satu pemuda lagi yang bisa mengalahkan
kompetitor handal dari Kerajaan Segelap. Ialah Kebo Nyabrang, Kebo merupakan anak
dari Sunan Muria dengan Dewi Sapsari. Walaupun memiliki fisik yang buruk rupa
seperti kebo, Kebo Nyabrang memiliki kesaktian yang amat sakti mandraguna.

Akhirnya babak ketiga atau babak final dari sayembara inipun segera dimulai.
Pemuda yang tersisa yakni Ronggo Joyo dan Kebo Nyabrang, sebelum menghadapi
babak final mereka dihadapkan dengan Ratu dari Kerajaan Segelap yakni Roro
Pudjiwat.

“ Wahai pemuda-pemuda yang hebat! Saya ucapkan selamat atas keberhasilan


kalian berdua yang masih bertahan hingga akhir babak dalam sayembara ini. Saya
sebagai Ratu dari kerajaan ini sangat kagum akan kegigihan kalian dalam melewati
rintangan demi rintangan untuk berhasil memenangkan sayembara ini. Namun kalian
masih harus menempuh rintangan terakhir yang merupakan permintaan pribadiku
sebagai calon istri dari salah seorang kalian kelak ” Jelas Roro.

“ Apa itu wahai Sang Ratu ? ” Jawab Ronggo Joyo dan Kebo Nyabrang dengan
serempak.

Semua pasang mata yang menyaksikannya telihat tegang dan penasaran


permintaan apakah yang diminta Sang Ratu kepada kedua pemuda tersebut, sebagai
salah satu rintangan terakhir untuk memenangkan sayembara ini.

“ Untuk menguji kalian saya sudah menyiapkan sebuah rintangan yang sangat
sulit untuk kalian hadapi. Rintangan tersebut ialah Membuka Pintu Gerbang Kerajaan
Majapahit,” jelas Roro lantang.

Semua tamu yang hadir tampak kaget akan jawaban Roro, pasalnya hal tersebut
tidaklah mudah dilakukan. Konon, untuk melihat dan mengetahui dimana letak pintu
gerbang dari kerajaan legendaries ini sangat sulit, diperlukan kesaktian tingkat tinggi,
penglihatan secara gaib, dan hati yang suci dan murni dari dosa duniawi agar kita bisa
melihat keberadaan pintu tesebut.

“ Kita semua tahu bahwa untuk membuka pintu gerbang Kerajaan Majapahit ini
diperlukan Aji Saka Wiguna yang merupakan kunci untuk membuka pintu gerbang ini.
Untuk mendapatkan pusaka ini kalian harus memiliki kemampuan gaib yang dimana
bisa dimiliki bila kalian memiliki hati yang suci dan murni “ jelas Roro panjang lebar.

Roro memandang Ronggo Joyo dan Kebo Nyabrang secara bergantian. Saat
memandang Ronggo Joyo pandangan mereka bertemu, hal itulah yag membuat hati
Roro sedikit berdesir kagum akan kegagahan dan ketampanan Ronggo Joyo. Begitu
pula sebaliknya hati Ronggo Joyo berdetak tak karuan saat pandangannya dengan Roro
bertemu, ia jatuh cinta pada pandangan pertama pada kecantikan dan keanggunan yang
dimiliki Roro, Sang Ratu Segelap tersebut.

“ Apa ini kenapa jantungku berdetak sangat keras sekali? Apa aku telah jatuh
cinta padanya? Tidak hal itu pastilah tidak benar, ayah memberiku tugas untuk
memenangkan sayembara ini agar aku bisa mengambil alih kerajaannya kelak “ gumam
Ronggo Joyo dalam hati. Tampaknya Ronggo Joyo sedang berusaha melawan
perasaannya sendiri dan lebih memilih logikanya untuk terus mengikuti perintah
ayahnya tersebut.

Saat Roro mengalihkan pandangannya dari Ronggo Joyo menuju Kebo


Nyabrang, ia merasa tertegun sekaligus marah, pasalnya ia tahu akan siapa Kebo
Nyabrang dan tahu apa maksud dibalik keikutsertaannya dalam sayembara ini.

“ Tunggu bukankah dia adalah Kebo Nyabrang? Dasar siluman Kebo licik, dia
ikut sayembara ini pasti ada maksud tersembunyi! Tak akan kubiarkan dia menang!
Aku harus merencanakan sebuah cara agar siluman kebo itu merasakan kekalahan telak!
“ gumam Roro dalam hati. Sementara itu Kebo Nyabrang menyeringai saat pandangan
matanya bertemu dengan Roro, Ia merasa senang karena ia berhasil bertemu dengan
Roro, sang pujaan hati untuk kesekian kalinya.

“ Tunggulah wahai Roro sang pujaan hatiku, aku akan segera memenangkan
sayembara ini untukmu! Akan aku kalahkan semua yang menghalangi jalanku untuk
menjadikanmu milikmu! ” gumam Kebo Nyabrang dalam hati.

“ Wahai pemuda-penuda yang hebat! Aku memberi kalian waktu 2 bulan untuk
membuka pintu gerbang Kerajaan Majapahit! Bila selama itu salah satu dari kalian tidak
dapat membukanya, maka akan dinyatakan gugur dari sayembara ini.” Jelas Roro
kepada kedua pemuda tersebut.
“ Dan apabila salah satu dari kalian berhasil membuka pintu gerbang Kerajaan
Majapahit tersebut, maka saya akan menepati janji saya yakni bersedia menjadi
pendamping hidup sang pemenang sayembara ini.” Ujar Roro lantang.

Ding Dong Ding Dong

Alunan Gong dipukul saling bersahutan menandakan babak terakhir dalam


sayembara ini dimulai. Terlihat semua tamu yang menonton memberikan sorakan riuh
kepada Ronggo Joyo dan Kebo Nyabrang. Mendengar alunan gong tersebut Ronggo
Joyo dan Kebo Nyabrang segera membungkuk memberikan salam kepada Sang Ratu
dan segera meninggalkan istana untuk mencari Aji Saka Wiguna, yang merupakan kunci
untuk membuka pintu gerbang Kerajaan Majapahit.
BAGIAN IV

Ronggo Joyo berjalan ke arah utara sementara Kebo Nyabrang berjalan ke arah
selatan, mereka mempunyai rencana masing-masing untuk mencari AjI Pusaka Wiguna.
Kebo Nyabrang berencana bertapa di Alas Jati Blora untuk menyucikan hati dan
pikirannya agar ia dapat mengetahui dimana Aji Pusaka WIguna tersebut. Alas Jati
Blora merupakan hutan yang rimbun yang dipenuhi oleh pohon jati dan pohon besar nan
tinggi lainnya, menurut kepercayaan masyarakat sekitar Alas Jati Blora ini dihuni oleh
makhluk raksasa yang sering memangsa manusia yang berani memasuki kawasan
mereka. Makhluk tersebut sering disebut Buto oleh masyarakat sekitar.

Alasan Kebo Nyabrang memilih bertapa di Alas Jati Blora ialah karena menurut
piwulang dan wejangan dari gurunya, Ia diarah kan untuk bertapa di alas tersebut, agar
Kebo Nyabrang mendapatkan hidayah dan petunjuk dari sang Maha Kuasa dalam
menemukan Aji Saka Wiguna tersebut. Kebo Nyabrang menempuh perjalanan selama
berhari-hari hingga sampai di Alas Jati Blora. Ia akhirnya mulai memasuki alas tersebut,
sebelum Ia masuk Ia berdoa kepada Sang Maha Kuasa agar diberi keselamatan hingga
selesai bertapa nantinya.

“ Wahai Sang Maha Kuasa tolong lindungilah hamba dari segala kesesatan dan
dari marahabahaya yang dapat mncelakai jiwa dan raga hamba. Amin ” ujar Kebo
Nyabrang dalam hati

Setelah berdoa Kebo memasuki kawasan Alas Jati Blora. Keadaan alas itu sangat
gelap seperti cahaya matahari yang dihalangi masuk untuk menerangi alas tersebut.
Setelah hampir setengah perjalanan Kebo Nyabrang beristtirahat sebentar dibawah
pohon beringin besar, ia beristirahat dan memakan bekal dari ibunya sebelum berangkat
tadi.

Dek dek dek

Tiba-tiba bumi bergetar seperti terjadi gempa bumi diikuti oleh suara auman
yang yang sangat keras, dan burung-burung terbang menjauh, hal tersebut membuat
Kebo waspada, Ia segera mengemasi barang-barangnya dan bersembunyi dibalik pohon
beringin. Disela-sela ranting pohon beringin Kebo mengintip siapa gerangan yang
datang hingga membuat bumi bergetar seperti itu

Kebo tertegun dan terkejut melihat sesosok makhluk raksasa yang berbadan
hitam hitam besar, berjenis kelamin perempuan, dan memiliki rambut yang panjang.
Kebo yakin bahwa makhluk tersebut ialah buto yang sering ditakuti oleh masyarakat
sekitar, karena wajahnya yang mengerikan, dansering memangsa manusia yang berani
memasuki hutan ini.

“ Hahaha enak sekali manusia itu, aku jadi ingin memakan manusia lagi. Hmmm
sepertinya ada bau manusia disini, huhu aku akan makan malam enak kali ini.” Ujar
Makhluk raksasa itu.

“ Haha dimana kamu wahai manusia! Tidak perlu takut aku ini raksasa yang
baik kok; jika kamu mau keluar dari tempat persembunyianmu maka aku akan
memberimu sebuah hadiah, hehe” ujar buto sambal menyeringai licik.

Kebo Nyabrang merasa dia harus segera pergi dari sini agar tidak tertangkap
oleh si buto itu. Kebo akhirnya berjalan mengendap-endap agar si Buto tidak
mengetahui dimana keberadaannya. Namun saat hampir melangkahkan kaki untuk
kesekian kalinya, Kebo tidak sengaja menginjak ranting pohon yang kering sehingga
menimbulkan suara.

“ Aha aku tau kamu disitu. Haha jangan mencoba untuk kabur dariku manusia.”
Ujar Buto licik.

“ Sial kenapa aku harus menginjak ranting segala.”gumam kebo dalam hati.

“ Haha kamu tidak bisa kabur wahai manusia aku akan menemukanmu dan
menangkapmu haha ” ujar buto.

Kebo berusaha melarikan diri agar tidak tertangkap oleh buto, akan tetapi ia
terkejut saat buto sudah tiba-tiba berada di depannya.

“ Haha akhirnya aku menemukanmu wahai manusia, tapi tunggu apakah kau ini
benar manusia ? bila kamu benar manusia mengapa wajahmu seperti errr... kebo? “ujar
buto.

“ Tentu saja aku ini manusia! ” ujar Kebo tidak terima dengan perkataan buto.

“ Apa maumu wahai raksasa? Biarkan aku pergi karena aku harus bertapa esok
hari, dan juga aku tak punya begitu banyak waktu untuk meladenimu “ ujar kebo kepada
buto.

“ Haha jangan marah wahai manusia, kamu ingin tahu apa yang aku inginkan
darimu ? “ ujar buto.

“ Tentu saja apa itu wahai raksasa? Jika aku bisa memberikannya sebagai
imbalan untuk melepaskanku maka akan aku berikan, namun bila kamu menginginkan
diriku untuk makan malammu maka akan tidak segan-segan membunuhmu! “ ujar kebo
kepada buto.

“ Haha tentu saja aku tidak akan memangsamu, aku sudah kenyang tadi, tapi
bolehkah aku tahu namamu dan apa tujunamu pergi ke hutan ini? “ ujar buto.

“ Namaku adalah Kebo Nyabrang wahai raksasa, aku berasal dari Segelap. Dan
tujuanku pergi ketempat ini adalah untuk bertapa.” ujar kebo.

“ Bertapa? Kamu yakin? Ini bukanlah tempat yang aman untuk manusia tinggali
apalagi bertapa. Karena tempat ini adalah tempat tinggal bagi kami para raksasa “ ujar
buto.

“ Tentu saja aku yakin, aku tidak takut akan para raksasa itu, selagi aku percaya
pada Tuhan Yang Maha Kuasa akan melindungiku, akan aku lawan semua yang berniat
untuk mengancam nyawaku” ujar kebo lantang.

Buto kembali merasa tertegun dengan keberanian Kebo Nyabrang, pasalnya ia


juga tidak pernah bertemu dengan orang yang begitu berani seperti Kebo Nyabrang.
Entah kenapa Sang Raksasa semacam dirinya yang terkenal akan kesaktian dan
kesadisannya kepada manusia, bisa luluh dengan hal-hal yang sederhana dari Kebo
Nyabrang. Buto merasakan bahwa dirinya sedang jatuh cinta untuk pertama kalinya
dalam hidupnya kepada Kebo Nyabrang.

“ Apakah ini yang dinamakan cinta? Jika benar ini cinta, maka aku harus segera
menjadikan Kebo Nyabrang sebagai milikku selamanya “ gumam Buto dalam hati.

***

Setelah berhasil melepaskan diri dari Si Buto, Kebo Nyabrang segera mencari
tempat untuk dia bertapa. Setelah berkeliling hutan akhirnya Kebo nyabrang
menemukan tempat yang cocok untuknya bertapa, tempat itu ialah sebuah gua yang
tidak terlalu gelap, dan tidak tidak terlalu lembab. Sebelum memulai pertapaannya Kebo
Nyabrang mandi kembang 7 rupa dan berwudhu terlebih dahulu di mata air yang
terdapat didalam gua tersebut.

Diam-diam buto mengikuti Kebo Nyabrang, dia akhirnya menemukan tempat


dimana Kebo bertapa. Tanpa sepengetahuan Kebo Nyabrang, Buto menaruh sekeranjang
penuh buah di gua tersebut. Dan setelah Kebo selesai dengan mandi sucinya, Buto buru-
buru pergi meninggalkan gua tersebut.

“ Buah? Kenapa bisa ada buah disini? Padahal tadi tidak ada, siapa yang
menaruhnya disini? “ tanya kebo dalam hati.
Kebo akhirnya mengambil buah tersebut dan membaunya.

“ Kelihatannya tidak beracun, apakah ini rezeki darimu Ya Tuhan?


Alhamdullilah jika benar begitu” ujar Kebo.

“ Setelah ini akau harus segera bertapa sebelum muncul bulan purnama nanti “
ujar kebo dalam hati.

Kebo Nyabrang akhirnya bertapa diatas batu besar yang terdapat di gua tersebut.
Ia bertelanjang dada dan duduk bersila diatas batu tersebut, dan membaca mantra serta
doa-doa dalam pertapaannya.
BAGIAN V

Satu Minggu Kemudian…

Dek Dek Dek

Bumi bergetar menandakan ada raksasa yang datang. Buto yang telah berjaga
selama ini di depan gua, tempat Kebo Nyabrang bertapa menjadi waspada. Setelah
beberapa menit muncullah sesosok raksasa mengerikan yang berbadan lebih besar dari
Si Buto, berwarna ijo, terlihat matanya yang merah besar, dan memiliki taring besar di
masing-masing sudut bibirnya. Raksasa itu sering dipanggil “Minak Ijo” oleh warga
sekitar yang melihatnya.

“ Hahaha Hai Buto kenapa kau duduk didepan dirumahku? Kalau kau ingin
mengunjungiku masuk saja ke dalam haha “ ujar Minak Ijo.

“ Gawat ! Si Minak Ijo sudah kembali dari perburuannya aku harus segera
mencari cara agar dia tidak memasuki gua tersebut.” gumam Buto dalam hati.

“ Haha tentu saja tidak Minak Ijo! Aku disini sedang menjaga hasil buruannku
yang berda di dalm guamu.”ujar Buto

“ Haha benarkah ? kalau begitu kamu harus membagi dua hasil buruan itu
denganku, karena kamu menaruhnya di guaku” ujar Minak Ijo kepada Buto.

“ Tentu saja kau tidak mau wahai Minak Ijo! Kenapa aku harus membagi
makanan yang telah susah-susah aku dapatkan, kepadamu! Lebih baik kamu pergi dari
sini karena ini sekarang adalah rumahku” ujar Si buto.

“ Rumahmu? Haha enak saja! Aku telah tinggal selama beratus-ratus tahun di
gua ini. Dan kamu dengan seenak jidatmu ingin mengambilnya dariku? “ ujar Si Minak
Ijo

“ Iya tentu saja! Aku telah nyaman tinggal disini, dan menurut aturan raksasa,
bahwa tempat yang sudah ditinggal oleh pemiliknya boleh untuk ditinggali raksasa
lain” ujar Buto.

“ Cih! Aku tidak peduli aturan bodoh seperti itu1 jika kamu mau tinggal di
tempatku maka kamu harus bisa melangalahkanku!” tantang Minak Ijo.

“ Tentu saja akan aku lakukan apapun untuk memiliki tempat ini. Hiyaa!” ujar
Buto.
Pecahlah perkelahian antara dua raksasa tersebut. Mereka saling adu kekuatan,
dan kesaktiannya untuk bisa mengalahkan satu sama lain.

BAK BUK BAK BUK

Si Buto memukuli Si Minak Ijo dengan pukulan beruntun, walaupun badannya


kalah besar dengan Si Minak Ijo, namun kekuatan serta kesaktiannya jauh lebih kuat
dibanding Si Minak Ijo.

“Ampun! Ampun Buto! Tolong ampuni aku! Aku janji akan meninggalkan
tempat ini untuk kamu tinggali “ ujar Si Minak Ijo kesakitan.

“ Benarkah itu Minak? Kupenggang janjimu! “ ujar Buto.

“ Iya iya tinggalah disana, dan tolong lepaskan aku! “ ujar Si Minak.

Si Buto akhirnya melepaskan cengkramannya terhadap Si Minak Ijo. Ia berhasil


mendapatkan gua yang inginkannya dari minak Ijo. Dan setelahnya Minak Ijo segera
pergi meninggalkan gua tersebut selamanya.

Satu bulan kemudian…

Kebo Nyabrang membuka matanya perlahan demi perlahan, akan muncul bulan
purnama malam ini, hal itu berarti telah usai masa bertapanya. Ia segera turun dari batu
tersebut, dan memakai pakaiannya.

Dek dek dek

Bumi bergetar menandakan ada raksasa yang datang. Kebo Nyabrang segera
waspada dengan mengambil pedang dari balik jubahnya.

“ Haha kita bertemu lagi wahai Kebo Nyabrang! “ ujar Buto.

“ Apa yang kamu dariku wahai Buto? “ tanya Kebo Nyabrang.

“ Haha kamu tau saja apa yang aku pikirkan. Aku menginginkan dirimu menjadi
pendamping wahai Kebo Nyabrang “ ujar Si Buto.

“APA? Apa maksudmu? Mengapa aku harus menjadi suamimu?” tanya Kebo

“ Haha tentu saja karena aku mencintaimu wahai Kebo Nyabrang! Dan juga
karena aku telah melindungimu agar kamu bisa menyelesaikan tapamu” ujar Buto.

“ Benarkah itu wahai Buto? Jika itu benar, mana buktinya bila kau yang telah
melindungiku” tanya Kebo Nyabrang.
“ Haha keluarlah! Maka kau akan melihat bekas pertarunganku dengan raksasa
lain yang mencoba memasuki gua ini.” Ujar Buto.

Akhirnya Kebo Nyabrang segera keluar dan benar saja, ia melihat bekas
pertarungan yang hebat disana sini . Pohon-pohon sekitar terlihat roboh dan berantakan.

“ Kurasa kamu memang benar Buto. Baiklah akan aku turuti keinginanmu, aku
akan menikah imu, tapi dengan satu syarat!” ujar Kebo.

“Apa syarat itu wahai Kebo!” ujar Buto

“ Kamu harus merubah bentuk fisikku dengan mantra sihirmu dan kamu juga
harus memberiku sebagian kesaktianmu “ jawab Kebo.

“Haha baiklah, jika itu keinginanmu.”ujar Buto.

Akhirnya mereka menikah di hutan itu. Setelahnya Si Buto menepati janjinya


dengan merubah fisik Kebo Nyabrang menjadi sesosok laki-laki yang sangat rupawan.
Bukan hanya itu ia juga memberikan sebagian kesaktiannya kepada Kebo Nyabrang

***

Beberapa bulan kemudian…

“ Mengapa hatiku terus resah seperti ini? Mengapa aku malah terus teringat oleh
wajahmu wahai Roro?” gumam Kebo dalam hati.

“ Kakanda! lihat aku sudah selesai menjahit baju untuk anak kita! Bagus
bukan?” tanya Buto kepada Kebo Nyabrang.

Tidak ada jawaban dari Kebo, ia sibuk melamun dari tadi. Karena kesal telah
diacuhkan akhirnya Buto menggebrak meja di depan Sang Suami.

“ Ya ampun ! Kamu mengagetkanku adinda” ujar Kebo kaget.

“ Salah siapa cuekin aku!” ujar Buto kesal

“ Iya-iya aku salah. Jangan marah dong nanti anak yang ada didalam perut kamu
marah juga,” ujar Kebo.

“Memangnya kenapa dia marah?” tanya Buto.

“Tentu saja karena ayahnya dimarahin haha “ jawab Kebo jail.

“Haha kamu bisa aja.” ujar Buto sambil tertawa.

***
Sementara itu di Kerajaan Segelap terjadi pesta yang sangat meriah, semua tamu
yang hadir merupakan bangsawan kelas atas. Bagimana tidak? telah terjadi pernikahan
di antara Sang Ratu Segelap dengan Pangeran dari negeri utara yakni Ronggo Joyo.

Ronggo Joyo berhasil memenangkan sayembara tersebut, setelah Kebo


Nyabrang dinyatakan gugur karena tidak kembali dari pertapaannya setelah berbulan-
bulan. Ronggo Joyo akhirnya menikahi Roro setelah memenangkan seyembara tersebut.

Terdengar suara riuh tepuk tangan dan alunan music khas gamelan yang
mengiringi tarian sepasang pengantin yang telah dimabuk asmara ini. Ya benar! Ronggo
Joyo dan Roro Pudjiwat sedang menari bersama.

“ Sungguh beruntung diriku ini, mendapatkaan istri yang secantik dirimu Roro “
ujar Ronggo Joyo kepada Roro

“ Haha kamu bisa saja Kakanda. Saya juga beruntung bisa mendapatkan
Kakanda sebagai suamiku” jawab Roro.

“ Kamu benar! Kurasa aku telah jatuh cinta kepadamu wahai istriku yang cantik
“ ujar Ronggo Joyo.

“ Benarkah itu Kakanda? “ tanya Roro.

“ Benar sekali wahai Adinda, mana mungkin aku berani berbohong kepada
permaisuriku ini “ ujar Ronggo Joyo.

Bersamaan dengan selesainya acara pernikahan tersebut. Akhirnya Ronggo Joyo


dan Roro Pudjiwat telah resmi menjadi sepasang suami dan istri. Bukan hanya itu,
pernikahan ini juga menandakan bersatunya kedua kerajaan besar yang berada di tanah
Jawa ini.
BAGIAN VI

Ketika di Kerajaan Segelap sedang terjadi hal yang membahagiakan. Justru


sebaliknya terjadi hal yang meresahkan hati seorang Kebo Nyabrang disini. Ia resah
Karena Terus memikirkan Roro Pudjiwat, seorang wanita yang pernah mengisi hatinya.

“ Tidak aku pasti sudah gila! Mana mungkin aku masih mencintainya! Disini
aku telah mempunyai seorang istri dan sebentar lagi aku akan memiliki seorang anak.”
gumam Kebo Nyabrang dalam hatinya.

Kebo nyabrang bingung dengan perasaannya sendiri, karena ia telah memiliki


seorang istri yang sangat baik dan setia seperti Buto. Akan tetapi mengapa Ia terus
memikirkan wanita yang dulu pernah mengisi hatinya. Kebo sudah berusaha menutup
pintu hatinya untuk Roro Pudjiwat sudah sekian lama, tapi mengapa kini perasaan itu
kembali menyeruak lagi ke dalam hatinya.

Tiba-tiba istrinya Si Buto memanggilnya untuk segera makan.

“ Kakanda! Ayo makan! “ ujar Buto dari kejauhan.

“ Iya adinda sebentar! “ jawab Kebo.

“ Tidak mungkin aku masih mencintainya ! Aku harus segera melupakannya !


Karena aku sudah memiliki keluarga kecil yang bahagia disini.” ujar Kebo
menyemangati dirinya sendiri.

***

Enam bulan kemudian.

Suatu hari di sebuah ruangan dalam istana Kerajaan Segelap, terdapat ayah dan
anak yang sedang berdebat. Terlihat ayah dan anak tersebut sedang beradu argumen, dan
tidak ada yang mau mengalah antara satu sama lain.

“ Tidak Ayah! Saya tidak mau melakukan hal itu! Mana mungkin saya
mengkhianati istri saya sendiri.” ujar sang anak

“ Kamu harus melakukannya Ronggo! Apa kamu lupa akan tujuanmu menikahi
Roro?” ujar Sang Ayah.

Sepasang ayah dan anak yang sedamg berdebat itu adalah Ronggo Joyo dengan
ayahnya. Mereka memperdebatkan tentang rencana penggulingan kekuasaan milik Sang
Ratu , Roro Pudjiwat kepada Ronggo Joyo.
“ Itu aku yang dulu ayah! Sekarang aku sudah berubah! Tidak mungkin aku
mengkhinatinya ayah, karena aku mencintanya! “ ujar Ronggo Joyo kepada ayahnya.

“ Cinta? Untuk apa kamu percaya akan hal itu! Dasar anak yang bodoh! Buat
apa kamu mencintanya, kamu hanya perlu memanfaatkannya dan mengambil tahtanya!”
ujar sang ayah.

Saat perdebatan itu terjadi, ada seseorang yang mengintip disela-sela lubang
dinding. Orang itu ternyata adalah sesorang yang tengah dibicarakan oleh Ronggo Joyo
dan ayahnya. Orang tersebut tidak percaya bahwa suami dan ayah mertuanya
melakukan konspirasi untuk menggulingkan tahtanya, baginya yang hanya sebatang
kara ini, mereka sudah dianggap seperti keluarganya sendiri. Orang tersebut segera
meninggalkan ruangan tersebut dengan air mata yang mengalir deras, ia tidak sanggup
lagi mendengarkan pembicaraan ayah dan anak tersebut.

“ Saya tetap akan mencintainya Ayah! Saya tidak akan pernah bisa
mengkianatinya!” ujar Ronggo Joyo yang tetap kukuh akan keputusannya.

“ Dasar anak kurang ajar! Berani sekali kamu menentang perintahku! Jika kamu
tetap tidak mau melakukan rencana ini, maka akan aku hapus namamu dari daftar
pewaris kerajaan” ujar Ayah Ronggo Joyo marah.

“ Terserah Ayahanda! Saya tidak peduli! Saya tetap lebih memilih istri saya
dibanding harta dan kekuasaan yang ayah janjikan “ ujar Ronggo Joyo.

“ Kalau begitu mulai hari ini, kamu bukan anakku lagi Ronggo Joyo!, jangan
pernah kamu menginjakkan kakimu di kerajaanku nanti “ ujar Ayah ronggo Joyo.

Selepas perdebatan tersebut berakhir, ayah Ronggo Joyo segera meninggalkan


ruangan tersebut dengan perasaan marah, sekaligus kecewa, karena anak laki-laki satu-
satunya tidak mau menuruti perintahnya dan berani menentangnya. Keluarga Ronggo
Joyo yang malam itu sedang berkunjung ke Kerajaan Segelap harus terpaksa pergi
meninggalkan istana tersebut dengan segera. Mereka terpaksa memutuskan hubungan
la dengan Ronggo Joyo, akibat perintah dari Sang Raja, ayah Ronggo Joyo

“ Kakanda! Mengapa kita harus memutuskan hubungan kita dengan Ronggo


Joyo?” tanya ibu Ronggo Joyo.

“ Ini keputusanku Adinda! Anak itu sudah kualat kepada kita! Tidak perlu
diurusi lagi!” ujar Sang Raja.

“ Tapi Kakanda ” jawab Ibu Ronggo Joyo.


“ Jika kau tak setuju, lebih baik kamu pergi bersama anakmu itu!” hardik Sang
Raja.

Ibu Ronggo Joyo hanya bisa menuruti perkataan suaminya, dan pergi
meninggalkan Ronggo Joyo.

***

Roro Pudjiwat berlari dengan tergesa-gesa didalam lorong istana dengan wajah
yang bengkak dan penuh dengan air mata.Hal tersebut tentunya membuat semua
pelayan menyeritkan dahinya lantaran terkejut akan ekspresi Sang Ratu.

Brakk..

Suara pintu ditutup dengan keras, dan terdengar suara tangisan yang begitu
menyayat hati dibalik pintu tersebut. Terlihat seorang wanita yang meringkuk diatas
kasur dan menangis, terlihat bajunya yang kusut berantakan, begitu pula rambut serta
hatinya.

“ Mengapa Kakanda? Hiks.. Apa salahku hingga Kakanda mau mengkhianatiku?


Hiks.” tangis pilu wanita itu.

“ Padahal aku sudah membuka hatiku untukmu Ronggo Joyo! Mengapa kamu
malah melakukan ini padaku! Rasanya sakit sekali! Melihat orang yang kucintai ingin
menusukku dari belakang seperti ini”ujar Roro Pudjiwat penuh amarah.

“ Hiks… hiks…hiks .”

Akhirnya terdengar tangisan yang begitu memilukan didalam kamar tersebut.

Di sebuah taman yang indah di dalam istana Kerajaan Segelap, terduduk


seorang Ronggo Joyo. Akan tetapi eindahan serta ketenangan dari taman tersebut tak
mampu membuat hatinya yang sedang gundah menjadi tenang. Tiba-tiba datanglah
seorang pelayan yang menghampiri dirinya.

“ Maaf mengganggu Yang Mulia, ada yng ingin saya sampaikan kepada Yang
Mulia tentang Yang Mulia Ratu “ ujar pelayan tersebut.

“ Tentang Ratu? Apa itu? “ tanya Ronggo Joyo.

“ Maaf Yang Mulia bukan maksud saya mencapuri urusan pribadi Yang Mulia,
namun saya tadi melihat Yang Mulia Ratu berlari dengan tergesa-gesa sambil menangis”
Ujar palayan tersebut.
“ Apa? Ratu menangis? Siapa yang telah berani membuatnya mengeluarkan air
mata? “ ujar Ronggo Joyo Marah.

“ Maaf Yang Mulia, sebelumnya saya melihat Yang Mulia Ratu di depan
ruangan yang Yang Mulia pakai bersama Sang Raja” Ujar pelayan tersebut jujur.

“ Apa?” ujar Ronggo Joyo kaget, hingga berdiri dari tempat duduknya.

“ Jikalau benar begitu, Roro pasti mendengar pembicaraanku dengan ayah!”


gumam Ronggo Joyo dalam hati.

“ Lalu dimana Ratu sekarang?” tanya Ronggo Joyo kepada pelayan tersebut.

“ Ratu sedang berada di dalam kamarnya Yang Mulia “ ujar pelayan tersebut.

Setelah mendengar hal tersebut Ronggo Joyo segera menuju ke kamarnya.


Pikiran serta hatinya berkecamuk khawatir bila Roro akan meninggalkannya.

Tok tok tok

Mendengar suara pintu diketuk, Roro segera menghapus air mata yang berada
di pipinya.

“Masuk!” ujar Roro

Setelah dipersilahkan masuk Ronggo Joyo segera duduk di samping Roro, ia


memberikan sapu tangan bersih yang selalu ia bawa ke Roro.

“ Terima kasih.” Ujar Roro sambil mengusap air mata di pipinya dengan sapu
tangan tersebut.

“ Maaf Adinda. Aku tidak bermaksud mengkianatimu, aku ingin terus setia
kepadamu, wahai Ratuku.” Ujar Ronggo Joyo

“ Apa maksudmu kakanda? Aku tidak mengerti! “ tanya Roro.

“Aku tahu kamu pasti telah mendengar pembicaraanku dengan ayah bukan?
Percayalah Adinda, aku tidak ingin melakukan itu padamu. Aku sangat mencintaimu
adinda “ Uajar Ronggo.

“ Bagaimana caraku agar aku bisa percaya kembali padamu Kakanda? Kamu
telah menghancurkan hatiku sampai bekeping-keping. Dan aku juga akan berusaha
move on darimu Kakanda. Karena aku tidak ingin hatiku dihancurkan kembali
olehmu.”ujar Roro sambil berdiri membelakangi Ronggo Joyo.
Mendengar hal tersebut, Ronggo Joyo segera membalik tubuh Roro agar
menghadapnya dan segera memengang kedua tangan Roro.

“ Maafkan aku Adinda aku telah menyakiti hatimu aku mohon percayah padaku
adinda, aku tidak akan pernah mengkianatimu! Aku rela memutuskan hubunganku
dengan keluargaku hanya untukmu. Aku mohon percayalah kembali padaku
Adinda.”uiar Ronggo sambil meremas tangan Roro.

Roro yang melihat keseriusan di mata Ronggo Joyo kembali luluh.

“ Hahh baiklah aku percaya padamu Kakanda. Aku akan memberimu satu
kesempatan lagi untuk membuatku mempercayaimu lagi “ ujar Roro.

“ Benarkah itu Adinda? Aku berjanji akan membuatmu kembali jatuh cinta
padaku, dan mempercayaiku” Ujar Ronggo Joyo dengan wajah yang berseri-seri, dan
memeluk erat Roro.

“ Hmm akan kutunggu itu.”ujar Roro sambil tersenyum.


BAGIAN VII

Di sebuah hutan yang rindang terdapat seorang pria yang terkulai lemas di atas
rerumputan hijau. Pria yang memiliki paras yang sangat tampan tersebut, terlihat
kelelahan dan terengah-engah.

“ Hah..hosh…hosh. Akhirnya aku bisa menguasai jurus tersebut, yah walaupun


cukup melelahkan” ujar pria tersebut terengah-engah .

Pria tersebut terlihat menutup matanya sejenak, akan tetapi ia kemudian


membukanya lagi, kemudian menutup matanya lagi, dan kemudian membuka matanya
kembali. Hal itu ia lakukan berulang-ulang kali, hingga ia akhirnya duduk dan terdiam.

“ Mengapa aku terus terbayang akan wajahmu, wahai Roro? Apakah benar aku
masih mencintaimu?” gumam pria tersebut dalam hati.

Pria yang sering dipanggil Kebo Nyabrang tersebut terlihat melamun


memikirkan perasaanya yang masih belum bisa melupakan Roro Pudjiwat.

“Aku merindukanmu Roro, Apakah kamu disana juga masih mengingatku?”


tanya pria tersebut dalam hati.

“ Rasanya tidak mungkin kamu masih mengingatku, walaupun begitu aku masih
tetap mencintaimu Roro, aku ingin sekali menjadikanmu sebagai milikku! Tunggulah
aku Roro aku akan segera kembali untuk menemuimu! “ ujar Kebo Nyabrang entah
kepada siapa.

Pria tersebut segera bangkit dan berjalan menuju ke sebuah gua. Terlihat
didalam gua tersebut, terdapat sesosok raksasa yang sedang tertidur nyeyak. Kebo
Nyabrang berjalan mengendap-endap agar tidak membangunkan istri raksasanya
tersebut. Setelah mengambil barang-barangnya , ia kembali mengendap-endap. Namun
tiba-tiba ia berhenti dihadapan Sang Istri.

“ Maafkan aku wahai Adinda, aku tidak bisa bersama denganmu lagi, karena
aku masih mencintai wanita itu. Aku harap kamu dan anak-anak bisa baik-baik saja di
hutan ini. " ujar Kebo Nyabrang dengan pelan.

Setelah mengucapkan kata-kata tersebut kepada istrinya Kebo Nyabrang segera


menyusun rencana untuk kabur meninggalkan hutan ini.

Keesokan harinya Kebo Nyabrang pamit kepada istrinya untuk memburu rusa,
dibalik pamitnya ini terselip niat jahat untuk kabur dari hutan ini.

"Adinda, Aku pergi dulu!" ujar Kebo Nyabrang


"Iya Kakanda hati-hati! Segeralah pulang sebelum matahari terbenam. "jawab
Buto Maheswari.

Kebo Nyabrang tidak menjawab perkataan Buto, ia terus melangkah ke depan


tanpa menoleh ke belakang lagi. Ia sudah mantap akan keputusannya untuk
meninggalkan Buto dan pergi ke Kerajaan Segelap.

Dengan wajah yang sudah sedap dipandang oleh kedua bola mata, Kebo berjalan
secara pelan-pelan menyusuri hutan menuju ke kerajaan Segelap. Dilewatinya sebuah
ladang pertanian. Terlihat banyak orang sedang bercocok tanam, dan juga ada yang
sedang mencari rumput. Terlihat juga beberapa gadis muda ikut serta membantu orang
tua mereka. Para perawan penghuni hutan saling terheran-heran.

Sebelumnya, beredar isu bahwa orang sakti di Desa Sekararum telah pergi. Tak
hayal, banyak orang yang menyangka bahwa Kebo sedang bertapa untuk menambah
kekuatan sihir hitamnya.

“Oh Tuhan siapakah gerangan hambamu ini?” gumam seorang gadis.

Kebo yang tersadar akan sebuah sorot mata yang tertuju padanya segera
menatap balik dua mata tersebut.

“Hei gadis berbaju merah! Tak perlu kau heran melihat rupa yang berkharisma
ini. Jika kau ingin mengetahui tentang seluk beluk diriku ini marilah ikut denganku.”

Orang tua gadis tersebut yang berprasangka bahwa orang tampan ini adalah
Kebo segera menjawab ucapannya.

“Hai Tuan, janganlah kau ajak gadisku ini. Dua minggu lalu ia telah dipinang.
Hendaknya Tuan cari gadis lain yang belum menerima pinangan seorangpun!”

“Hahahaha tak perlu kau nasehatiku, aku punya jalanku sendiri!” bentak Kebo.

Suara yang kebo keluarkan seakan-akan terasa biasa di kuping para petani.
Keyakinan bahwa Kebo sudah kembali semakin kuat, namun kembalinya Kebo diiringi
dengan perubahan fisik yang sangat jauh berbeda.

Kebo yang merasa tak perlu melanjutkan dialog dengan petani tersebut kembali
berjalan menuju arah yang pada awalnya ia akan kunjungi. Jalan terasa sunyi, hanya
suara burung gagak dan serangga yang hanya saling berbalas-balasan. Lama berjalan,
kebo istirahat di bawah sebuah pohon tinggi besar namun hampIr mati. Kebo yang
menyadari bahwa pohon tempatnya beristirahat adalah pohon durian yang belum
berbuah, Ia berniat memakan buahnya juga. Dengan kekuatannya, Kebo menggosok-
gosok tangannya ke akar sekitar pohon tersebut. Tidak lama kemudian pohon tersebut
seperti hidup kembali, daun-daun kembali bersemi dengan lebatnya. Tak hanya daun,
bunga-bunga yang menjadi cikal bakal buah durian muncul. Dalam sekejap bunga-
bunga tersebut berubah bentuk menjadi buah yang sangat banyak.

“Hai pohon tua, bisakah kau berikan satu buahmu?” ucap Kebo.

“Baik, sebagai balas budi hamba kepada Tuan saya akan berikan empat buah
durian ajaib kepada Tuan”

“Hahaha baiklah terserah kau saja. Yang terpenting aku dapat kenyang hari ini.”

Pohon tua tersebut kemudian memanjangkan rantingnya, layaknya tangan yang


memberi sesuatu kepada seseorang. Digapailah empat buah durian, Kebo hanya
terheran-heran. Buah yang ia terima berbau durian, namun tanpa duri. Bulat seperti
melon namun berwarna kuning.

“Dengan memakan buah ini, Tuan tidak akan merasa lapar selama dua hari.”

“Sungguh ini sangat membantuku. Aku akan membawa tiga sisa durian ini
sebagai bekal perjalananku.” Ucap kebo.
BAGIAN VIII

Malam demi malam kebo lalui tanpa tidur, pada malam ke tujuh perjalananya
menuju Kerajaan Segelap akhirnya Ia membaringkan tubuhnya. Diantara semak-semak
Kebo menyiapkan posisi ternyamannya untuk merebah. Sembari memakan duriannya,
Kebo kembali mengingat wajah Roro.

“Akankah Roro jatuh cinta kepadaku? Apakah ia tahu bahwa perawakanku kini
telah berubah?” Gumam kebo dalam hati.

Setelah lama ia mengkhayal, Kebo akhirnya terlelap tidur. Memang kebo


memiliki kekuatan, namun ia juga perlu untuk mengistirahatkan tubuhnya.

Pagi datang menyinsing, bak manusia yang kembali terlahir, Kebo perlahan
membuka kedua bola matanya. Ia hirup aroma embun di sekitarnya, aroma yang
memberikan rasa tenang pada pikiran. Bersiap melanjutkan perjalanannya yang masih
cukup panjang, Kebo meraba wajahnya. Memastikan kalau wajah rupawannya belum
berubah seperti semula.

Tak terasa sudah hampir 15 hari perjalanan, Kebo sampai di desa Sekararum.
Tempat yang dulu Ia tinggali. Kebo melewati persawahan yang dulu sering ia porak
porandakan. Ia melihat mbah Wagijan sedang mengurus lahan pertaniannya. Orang
yang selalu menyediakan kopi hitam tanpa gula untuknya. Kebo berniat bermalam
beberapa hari di desa itu sebelum melesat ke kerajaan Segelap. Malam menjelang, Kebo
yang belum disadari akan kehadirannya di desa, mempunyai niat untuk merusak lahan
pertanian. Layaknya yang ia lakukan dulu sebelum akhirnya ia pergi dari desa tersebut.
Tepat tengah malam dengan kekuatan sihir hitamnya, Kebo merusak segala tanaman
pertanian di desa tersebut.

“Duh Gusti iki ono opo maneh tho!” Teriak warga yang pertama kali datang ke
sawah.

Para warga datang, berharap sawah yang mereka garap tak hancur seperti salah
satu warga tersebut. Namun apa daya, dilihatnya di depan mata mereka lahan pertanian
di desa Sekararum semuanya rusak parah.

“Jangan-jangan Kebo kembali!” Ucap mbah Wagijan.

“Waduh iso ajur panen tahun iki!” Sahut warga lain.

“Sudahlah jangan diambil pusing, ambil hikmahnya saja. Mungkin ini teguran
Gusti kepada kita semua agar tidak lupa beribadah.” Pikir positif dari seorang warga.
Malam datang, hampir semua kepala keluarga berkumpul untuk membahas apa
yang terjadi. Kebetulan mbah Wagijan sedang membuka warung kopinya. Diputuskan
para kepala keluarga ngopi sambil membahas hal aneh yang terjadi hari ini.

“Jikalau memang si Kebo kembali, beberapa hari ini aku tak merasakan
kehadirannya.” Mbah Wagijan membuka obrolan.

“Kan sudah aku bilang, ini bukan ulahnya si Kebo” Sahut salah satu warga.

Selang lama mengobrol datang seorang rupawan meminta kopi kepada mbah
Wagijan. Banyak warga curiga bahwa orang tampan di depan mereka adalah kebo. Dari
suasana yang berubah, hawa yang tambah dingin, menambah kecurigaan warga kepada
seorang rupawan tersebut.

“Mbah kopi hitam tanpa gula, cepet!”

Para kepala keluarga tahu bahwa tak ada warga yang doyan kopi mbah Wagijan
jika tak diberi gula. Namun, kali ini tidak! Seorang rupawan namun terlihat sangat
kejam terpancar dari aura yang dikeluarkan, memesan kopi hitam tanpa gula. Mbah
Wagijan yang seumur hidupnya hanya melayani warga kampung hafal benar siapa orang
di depannya kini. Kopi hitam tanpa gula hanya disesap oleh Kebo. Warga yang sudah
sadar akan kehadiran Kebo, satu per satu meninggalkan warung kopi mbah Wagijan
dengan wajah pucat.

“Bagaimana kabarmu mbah? Hahahaha.”

Tawa yang terdengar persis benar dengan Kebo. Mbah Wagijan sudah hafal
suara ini.

“Ba.. ba.. ik Den.” Jawab takut mbah Wagijan.

Setelah kopi yang diminumnya habis. Kebo langsung pergi meninggalkan


warung mbah Wagijan tanpa menoleh ke arah wajah mbah Wagijan.

***

Hari itu begitu cerah, Kebo merasa apa keinginannya akan segera terwujud.
Mempersunting Roro menjadi tujuannya kali ini. Sesampainya di sekitaran kerajaan
Segelap, Kebo merasa ada kejanggalan. Mendekatlah Kebo ke segerombolan warga,
Kebo mencuri obrolan mereka. Warga yang tak sadar akan kehadiran Kebo tetap saja
mengobrol dengan asyiknya.

“Hahaha semoga mereka berdua langgeng ya!” Ucap salah seorang warga.
“Ada apa gerangan, siapa yang kau doakan langgeng?!” Tanya Kebo kepada
warga.

“Darimana saja kau, jika bukan buat Ratu Roro dan Raja Ronggo”

“Jadi, Ro..ro Roro sudah menikah?!”

“Betul sekali, sudah hampir enam bulan ini mereka di atap yang sama.”

Kebo yang terkejut akan hal itu segera berjalan cepat menuju istana. Namun, ia
harus melewati seorang penjaga agar dapat menemui Roro.

“Siapa anda?” Tanya patih Joyokarso, tangan kanan sang Ratu.

“Tidakkah kau kenal aku? Aku pangeran dari gunung muria.” Kebo sambil
menujuk sebuah Gunung di sebelah utara.

“Aku kemari ada urusan ekonomi kerajaan dengan ratumu” bohong Kebo.

Karena wajah dan perawakan yang dinilai Patih Joyokarso memang cocok
sebagai seorang pangeran, maka dengan mudah Kebo memasuki wilayah kerajaan.
Dilihatnya banyak wanita sedang mondar-mandir seperti sedang mempersiapkan
sesuatu. Dengan insting yang kuat bahwa ruangan yang sering dimasuki para wanita
kerajaan tersebut adalah kamar Roro. Tanpa basa-basi Kebo masuk ruangan tersebut dan
benar!, dilihatnya Roro sedang membenarkan kuncir rambut. Tak hayal dibantu oleh
beberapa wanita lain, rambut Roro kini sangat panjang, berbeda saat mereka pertama
kali bertemu.

“Roro?” Ucap kebo.

Roro membalikkan badan dan kemudian menunjukan wajah terkejutnya.

“Ya Tuhan, siapa gerangan laki-laki tampan ini?” gumam Roro dalam hati.

“Siapa kau? Tanya Roro.

“Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, aku mau hanya kita berdua yang
mengetahui. Suruhlah wanita itu keluar dari kamarmu.”

“Baiklah, kau bisa keluar dulu.” Suruh Roro kepada pembantunnya. Setelah
pembantunya menutup pintu dari luar, Roro bertanya dengan penuh rasa penasaran.

“Siapakah kau sebenarnya?”

“Tak ingatkah kau kita pertama kali bertemu di sungai?”


Sembari mengingat, suasana hati Roro menjadi tak enak.

“Apakah yang dihadapanku ini Kebo, di sebuah kamar, hanya berdua, apa yang
kan ia perbuat padaku?!” gumam Roro.

“Hahahaha tak perlu kau terkejut begitu Roro, aku masih mencintaimu! Kali ini
kudatang untuk memilikimu!”

“Tapi, tak kau dengarkah kalau aku sudah menjadi istri orang?”

“Ya, barusan aku dengar tadi pagi dari wargamu. Tapi rasa cinta padamu masih
seperti dulu, sangat besar. Tak kah kau lihat aku sudah berubah demi dirimu!”

“Gunung telah ku daki, lautan telah ku arungi. Tak kah itu cukup untuk bukti
rasa cinta ini? Sudah kupastikan, aku akan mencintaimu hari ini, esok dan nanti!”
Sambung Kebo.

“Ikutlah denganku, akan kubawa dirimu ke rumahku, di gunung muria sana.


Kupastikan kau akan lebih bahagia denganku disana” Sambil mengarahkan jari
telunjuknya ke arah utara.

Roro yang terpincut akan ketampanan dan janji manis yang terucap dari bibir
Kebo, tanpa piker panjang menganggukan kepala.

“Baik Kebo, aku akan meninggalkan Ronggo untukmu. Aku menyesal dulu telah
menolakmu.”

“Hahaha tak perlu kau sesali, kini ku datang akan merubah takdirmu.
Membuatmu bahagia selamanya.”

“Mari kita pergi dari sini. Kau berjalan diawal dan berkata pada penjagamu
bahwa aku pangeran dari gunung Muria dan dirimu akan mengurus masalah kerajaan
bersamaku.”

“Ijinkan aku menulis surat kepada Ronggo sejenak. Sebagai tanda berpisahnya
aku dengan dia.” Pinta Roro.

“Baiklah Roro, kutunggu.”

Setelah surat selesai di titik terakhir kalimat Roro dan Kebo kemudian berjalan
menuju gerbang kerjaan dimana tadi Kebo ditanya penjaga gagah perkasa.

“Hai patih Joyokarso! Aku akan berjalan-jalan dengan pangeran gunung muria.
Saat Ronggo kembali bilang saja aku ada urusan kerajaan dan aku akan kembali
beberapa hari setelah ini.”
“Baik Ratu, akan hamba sampaikan pada Tuan Ronggo.” Jawab patih Joyokarso
dengan menundukkan badan.

Dengan mudah Kebo merebut Roro dari Ronggo, cukup dengan wajah rupawan
dan janji manis yang terucap. Roro yang telah terbutakan oleh fisik semata kini ikut
berkelana menjalani kehidupan barunya bersama Kebo.
BAGIAN IX

“Panah mati rusa itu dan kita pulang hari ini!” Bisik halus Ronggo kepada patih
Pakujiwo.

Panah melesat cepat mengenai leher rusa tersebut. Walau penuh darah
bercucuran dari lehernya, rusa tersebut masih sempat berlari menjauh dari Ronggo dan
Pakujiwo. Namun, tak bertahan lama, rusa tersebut mati dalam pelariannya menjauhi
Ronggo dan Pakujiwo.

“Huhh.. capek juga mengejar rusa yang dipastikan juga bakal mati. Kau
kelelahan?” Tanya Ronggo pada Pakujiwo.

“Tidak tuan, walaupun umur saya sudah hampir setengah abad tapi jiwa raga
saya masih kuat layaknya Tuan.”

“Hahaha baguslah kalau begitu, kau selalu bisa ku andalkan. Terimakasih


Pakujiwo.”

“Tak usah Tuan berterimakasih kepada saya. Rasanya aneh jika Tuan
merendahkkan diri kepada pengawal kerajaan.”

“Halah tak apa, kita semua sama, sama-sama manusia kan? Manusia jika mau
disebut manusia ya harus memanunisakan orang lain.”

“Baiklah Tuan. Terimakasih kembali.”

Betapa beruntungnya kerajaan Segelap, memiliki raja yang bisa dikatakan


adalah raja yang sangat merakyat. Hal itu dibuktikan dengan seringnya Ronggo
berinteraksi dengan warga sekitar kerajaan. Ronggo juga sering mengunjungi desa-desa
terluar dari kerajaan hanya untuk memastikan tak ada masalah yang terjadi pada
rakyatnya. Hal tersebut membuat rakyat sangat mencintai dirinya. Raja Ronggojoyo
menjadi panutan di mata masyarakat kerajaan Segelap.

Perjalanan pulang Ronggo dan Pakujiwo terasa lama. Ronggo yang sudah
merindukan istrinya menambah rasa ketidaksabaran akan inginnya sampai istana
dengan cepat.

“Hai Pakujiwo, andaikan kita punya kuda terbang cepatlah kita sampai di
istana.”

“Hahaha tidaklah mungkin jaman sekarang ini ada kuda terbang Tuan. Hewan
itu telah punah ratusan abad sebelum saya dan Tuan dilahirkan di dunia ini.”
“Wah iyakah? Kudengar malah di kerajaan pantai selatan masih ada dua ekor
kuda terbang yang masih hidup.” Sanggah Ronggo.

“Jikalau begitu, kuda tersebut adalah kuda terbang terakhir Tuan.”

“Aku jadi ingin memeliharanya. Tapi tak perlu, aku sudah sangat bersyukur bisa
punya kuda gagah ini.” Sambil mengelus kuda yang ditungganginya.

“Pakujiwo, kau juga harus selalu bersyukur akan semua keadaan yang terjadi
padamu. Karena semua ini sudah kehendak Tuhan kita.” Ucap Ronggo kepada Pakujiwo
dengan penuh senyuman bahagia.

Pakujiwo hanya membalas senyuman sang Raja.

“Andaikan Tuan Ronggo dapat hidup selamanya, maka damai selalu anak
keturunan warga kerajaan Segelap.” Gumam Pakujiwo dalam hati.

Tak terasa sudah hampir seharian Ronggo dan Pakujiwo melakukan perjalanan
pulang membawa hasil buruan mereka. Malam menjelang, Ronggo memutuskan untuk
beristirahat dan melanjutkan perjalanannya esok pagi.

Suara burung gagak ditengah malam membuat bangun Ronggo. Ditatapnya


keatas bulan purnama yang indah.

“Hai bulan, dapatkah kau menyampaikan rasa rindu ini kepada separuh jiwaku?”

Sambil kembali memejamkan mata, Ronggo berdoa supaya perjalanan esok pagi
dilancarkan dan sang pujaan hati senantiasa dilindungi dari marabahaya.

***

Suara samar-samar terdengar, kian jelas. Meneriakkan kata Tuan, dan ternyata
pagi sudah datang, dilihatnya Pakujiwo sudah bangun dulu dibanding dirinya sambil
membawakan sebotol air minum yang dipegangnya. Diminumlah apa yang diberikan
Pakujiwo kepadanya.

“Terimakasih Pakujiwo, siap melanjutkan perjalanan?” Tanya sang Raja.

“Sama-sama Tuan, saya sudah sangat siap. Tinggal menunggu perintah Tuan
saja.”

Ronggo dan Pakujiwo seraya berkemas-kemas juga merapikan barang bawaan


masing-masing. Saat dirasa sudah siap mereka kembali melanjutkan perjalanan. Tak
terasa sudah satu hari satu malam mereka lalui. Sampailah mereka di istana, disambut
Patih Joyokarso dan para anggota kerajaan lainnya. Namun, tak dilihatnya Roro
menyambut dirinya. Ronggo segera menuju dapur untuk menyerahkan hasil buruan
untuk dimasak. Tanpa menuju kamar tidur, Ronggo langsung menuju kamar mandi
untuk membersihkan diri. Selepas itu Ronggo menyusuri segala ruang di istana untuk
mencari istrinya, namun nihil. Ronggo tak menemukan Roro dimanapun itu. Ditanyalah
sang penjaga gerbang, tangan kanannya juga.

“Patih Joyokarso, lihatkah kau istriku hari ini?”

“Tidak tuan, Ratu telah pergi bersama dengan pangeran gunung muria beberapa
hari yang lalu.”

“Hah! Bukankah yang kau sebut pangeran gunung muria itu adalah si Kebo!”

Suasana hening, patih Joyokarso mencoba menjelaskan.

“Tapi tuan, yang hamba lihat bukanlah si Kebo melainkan seorang pangeran
yang berwajah tampan.”

Ronggo yang sudah tak karuan perasaannya berlari menuju kamarnya.


Dilihatnya sepucuk surat tergeletak di atas kasur.

“Sayangku, maafkan diriku. Kali ini perjalanan kita telah tiba pada ujungnya.
Langkahmu tak perlu lagi menyusulku. Ada beberapa hal yang memang harus selesai,
rela tidak rela. Aku akan baik-baik saja. Kau akan baik-baik saja, percayalah.
Tandaskan air matamu. Bukan dengan cara seperti ini aku ingin kau lepas.

Kita pernah menyenangkan, pernah punya impian bersama, pernah punya


cerita. Apa yang pernah kita punya sangat berharga, dan tidak ada yang bisa
mengubah itu. Percayalah aku telah memaafkan segala kesalahanmu yang pernah ingin
mengkhianatiku, namun aku tak bisa lagi membuka hatiku untukmu. Maaf kalau
akhirnya tak seperti yang kau kira. Aku tak bisa memaksa diriku untuk berjalan di
sebelahmu lagi.

Pelajaran kehidupan tidak berhenti saat kita berhenti bersama. Justru


sebaliknya, kelak akan kau temui lagi hati yang diciptakan untuk menyembuhkanmu.
Jangan lupa untuk kembali berdiri di atas kedua kakimu. Nikmati mentari yang
menyapu wajahmu. Syukurilah Tuhan pernah mempertemukan kita. Kita indah, teramat
sangat. Aku mengenangmu sebaik-baiknya. Semoga kelak kau temukan tempat untuk
hatimu berlabuh. Semoga kau tabah mengemban tugas kerajaan sendirian. Maaf, aku
pergi.”
BAGIAN X

Sudah hampir dua hari Raja Segelap mengurung diri di dalam kamarnya,
penghuni istana merasa bersalah atas diculiknya sang Ratu oleh Kebo. Tak pernah
sebelumnya raja menunjukan sisi sedihnya. Patih Joyokarso dan Patih Pakujiwo
mencoba berdialog dengan sang Raja, mencoba memberikan solusi dari permasalahan
yang terjadi di tubuh kerajaan Segelap.

“Tuan, maafkan hamba. Hamba salah, tidak ketat atas orang yang berkunjung di
istana.” Ucap patih Joyokarso.

“Sudahlah Joyokarso, kau tak perlu meminta maaf padaku. Ini semua
kesalahanku.”

“Tuan, bagaimana jika kita menyusul mereka. Kemungkinan mereka menuju ke


arah utara, Gunung Muria.” Usul Joyokarso.

“Baiklah, siapkan segala keperluan untuk perjalanan. Pakujiwo, tolong kau


siapkan kuda untuk kita bertiga.”

“Siap Tuan. Segera hamba siapkan.” Jawab Pakujiwo sambil menundukan


kepala.

Perjalanan dimulai. Doa demi doa selalu dipanjatkan Ronggo, tak henti ia
menanyakan keberadaan istrinya.

“Roro di mana dirimu kini?” Batin sang raja.

Walaupun malam akan mendekati mereka, rasa akan ingin segeranya membawa
Roro kembali ke kerajaan Segelap mengurungkan keinginan mereka untuk beristirahat.
Pada akhirnya setelah bulan terlihat sempurna, Ronggo memutuskan untuk beristirahat.
Perjalanan akan dilanjut esok pagi.

“Tak perlu kau mengejar wanita brengsek itu.” Terdengar suara, tanpa wujud.

“Dia telah meninggalkanmu. Dia lebih memilih laki-laki lain dibanding dirimu.
Tak kah kau sadari? banyak juga yang mencintaimu. Baiknya kau kembali ke istana”

Ronggojoyo tebangun dari tidurnya, mencoba mencerna akan maksud mimpi itu.
Namun, karena rasa cintanya yang begitu besar kepada Roro, Ronggo tak
memperdulikan mimpi tersebut. Pagi datang, kali ini yang pertama bangun adalah
Ronggo. Mencoba membangunkan para patihnya.

“Maaf Tuan, hamba terlambat bangun.” Ucap Patih Joyokarso.


“Tak apa, bangunkan Pakujiwo dan bersiap-siaplah, kita melanjutkan perjalanan
sebentar lagi.”

“Baik Tuan.”

Dipimpin Raja mereka, Joyokarso dan Pakujiwo mengikuti dari belakang.


Mereka akhirnya melewati desa paling luar kerajaan, desa Sekararum. Dilewatinya
sawah-sawah, dilihatnya ada kejanggalan.

“Sudah berjalan dua bulan musim tanam, mengapa baru menanam padi mbah?”
Tanya Ronggo. Kebetulan yang ditemuinya adalah mbah Wagijan.

“Beberapa hari yang lalu desa kami didatangi kembali orang sakti jahat tuan.”

“Siapakah dia?”

“Kebo Nyabrang, Tuan.”

“Selain merebut Roro, ia juga merusak lahan pertanian, sialan!” Umpat Raja.

Tak pernah terdengar di kuping Joyokarso dan Pakujiwo bahwa raja mengumpat,
baru kali ini mereka mendengar dari sang raja. Sudah dipastikan kalau Raja mereka kini
sedang dipucuk amarah.

“Baiklah mbah, sekembali dari perjalananku, aku akan mengunjungi desa ini
untuk memberi bantuan.”

“Terimakasih Tuan.” Balas mbah Wagijan sambil menundukan kepala.

Langkah kuda terdengar keras nan cepat, emosi telah memenuhi hati sang Raja.
Para patihnya hanya bisa mengikuti laju kuda sang Raja di belakang. Tak berani
meredam amarah Raja karena menurut mereka ini bukanlah saatnya untuk menasihati
raja.

Sore hari datang begitu cepat, namun langit sudah gelap bak malam. Ternyata
langit mendung, namun tak menghentikan langkah kuda Ronggo. Ia tetap memacu
kudanya, sampai hutan di kaki gunung muria, akhirnya langit tak kuasa menahan air
yang dibawanya. Dilepaskanlah air hujan, air turun begitu derasnya. Terpaksa Ronggo
melambatkan langkah kudanya, diikuti kuda yang ditunggangi Joyokarso dan Pakujiwo.

“Hendaknya kita bermalam di situ Tuan.” Pinta Pakujiwo sambil menunjuk


sebuah Gua.

“Tidak! Kita sudah tertinggal jarak yang jauh dari Kebo dan Roro.”
“Baiklah Tuan kita lanjut perjalanan.”

Hujan sudah cukup reda, sampailah mereka di lereng gunung muria.

“Aku akan turun dulu. Kalian menyusul, jaga jarak aman. Jangan lupa berdoa!”

Seakan-akan itu adalah sebuah nasihat terakhir dari sang Raja. Perasaaan
Pakujiwo tak enak.

“Aaaa!” Bruk, terdengar suara Sang Raja dan Kudanya yang sepertinya jatuh.

“Tuaaannn! Tuaan Ronggo!”

Segera mereka berdua menuruni lereng penuh rasa cemas. Dilihat sang Raja
tergeletak penuh darah di bawah lereng. Pakujiwo dan Joyokarso dengan wajah sedih
membantu sang Raja untuk duduk.

“Pakujiwo, Joyokarso hendaknya.. kalian kembali ke kerajaan.” Bicara Ronggo


mulai terengah-engah

“Apa maksud tuan!” sambil meneteskan air mata, Joyokarso mencoba menahan
rasa sedihnya.

“Aku ingin kalian berdua kembali ke istana, istana…(uhuk-uhuk) butuh seorang


raja untuk memimpin. Jadilah satu diantara kalian.”

“Jangan lupa libatkan Tuhan dalam setiap kegiatan”

“Roro, aku mencintaimu, selalu.” Ucap lirih Ronggo sambil menghembuskan


napas terakhirnya.

“Tuuannn! Jangan dulu pergi!” Teriak Joyokarso sambil menangis.

“Tuaan! Bangun! Kami masih butuh Raja seperti Tuan!” Pinta sedih Pakujiwo.

Hujan sudah mulai reda, namun kini hujan akan datang di kerajaan Segelap.
Raja Ronggojoyo kembali ke kerajaan Segelap, tanpa nyawa. Sang Raja di makamkan
di sebuah makam yang mana para pemimpin pendahulu juga dikuburkan di sana. Kabar
meninggalnya Raja Ronggojoyo menyebar dengan cepat. Banyak warga yang kini
datang dimakamnya hanya untuk mendoakan Raja Ronggojoyo.
BAGIAN XI

“Aku pergi dulu.”

Kata terakhir yang Buto Maheswari dengar dari sang suaminya, Kebo Nyabrang.
Dengan perut yang kian hari kian membesar Ia masih setia menanti suaminya kembali.
Kebo sebelumnya berpamitan kepada Buto untuk berburu mencari rusa untuk dua hari.
Tanpa curiga Buto mengiyakan keinginan suaminya.

“Sudah tiga malam ku lalui tanpa suamiku di sini. Bukankah di Alas Jati Blora
masih sering kutemui rusa?” Tanya Buto pada dirinya sendiri.

Hampir seminggu suaminya tak kembali, Buto mulai resah. Ia meminta tolong
kepada hewan-hewan hutan untuk menemukan suaminya. Buto yang mempunyai
kekuatan dapat berbicara dengan segala makhluk hidup memanggil para hewan untuk
berkumpul.

“Cari suamiku, Kebo Nyabrang. Ia mempunyai rupa tampan dibanding laki-laki


lain di tanah Jawa ini. mulailah berkeliling di seluruh hutan ini, jika perlu sampailah
kalian ke hutan yang lain!” Perintah Buto.

Para hewan segera memencar mencari orang yang bernama Kebo Nyabrang.
Sekian lama Buto menanti, ketika sore hari datanglah burung gereja, memberi tahu
jikalau ia melihat seorang tampan bersama dengan ratu kerajaan Segelap di gunung
bagian utara, gunung Muria. Buto tak percaya akan berita yang dibawa burung gereja, ia
berencana untuk pergi memastikan apa yang dilihat burung gereja benar atau tidak.

“Baiklah, aku akan berubah wujud menjadi seorang nenek-nenek.”

Dengan kekuatannya, dalam kedipan mata Buto berubah wujud menjadi seorang
nenek-nenek pencari kayu bakar. Berangkatlah Buto menuju gunung Muria, didampingi
angin sunyi dan senja yang kian meredup berganti malam. Perjalanan ditempuh dengan
penuh rasa khawatir, akankah benar Kebo bersama wanita. Tanpa istirahat, Buto hanya
butuh waktu semalam untuk sampai di Gunung Muria.

Di Gunung Muria, Buto menemukan satu rumah yang cukup membuat heran.
Tak mungkin ada warga yang tinggal sendirian di dalam hutan. Di intiplah jendela
rumah tersebut, dan yang Buto lihat adalah Kebo dengan perawakan tampannya
bersama dengan seorang wanita. Rasa kesal yang memenuhi sukma Buto mencoba ia
atur.

“Permisi, apakah ada orang di dalam?” Tanya Buto memastikan.


Di intiplah seorang yang memberi salam tersebut, betapa terkejutnya kebo. Ia
mengetahui kalau yang di depan rumahnya adalah Buto. Terlihat dari kalung yang sama
digunakan Buto, dan kini kalung tersebut melekat di leher nenek-nenek tersebut.

“Roro! Pergilah kau dari sini! Pergilah ke arah selatan, kearah kerajaanmu
dulu!” Suruh Kebo dengan wajah yang sangat takut.

“Ada apa Kebo? Mengapa kau tiba-tiba menyuruhku untuk pergi dari ragamu?”
Tanya terheran-heran Roro.

“Tak ada waktu untuk menjelaskan apa yang kini terjadi. Percayalah padaku,
aku akan secepatnya menyusulmu.”

Tanpa berdialog lagi, Roro pergi menuju selatan. Lewat pintu belakang, Roro
berlari dengan cepatnya segera meninggalkan Kebo dan rumahnya. Kini, Kebo berharap
semoga tidak terjadi hal buruk yang Buto akan lakukan padanya dan apa yang akan
Roro terima setelah ini.

***

Kebo menarik nafas panjang sebelum Ia keluar untuk menemui Buto


Maheswari. Bagaimanapun, Kebo yakin bahwa keadaan seperti ini akan datang. Namun,
dirinya tak menyangka bila Buto datang secepat ini, mengganggu kebahagiaan yang
baru saja dibangun bersama Roro.

Setelah Kebo sedikit lebih tenang, Ia turun dari ranjang yang terbuat dari bambu,
keringat mengucur dari kening Kebo dan membasahi rupanya yang tampan. Dengan
perasaan ragu, Ia mulai membuka pintu rumahnya.

"Si.. Siapa dirimu ini, nek? Kenapa malam-malam begini di tengah hutan?"
tanya Kebo yang sebenarnya sudah tau siapa nenek dihadapannya ini.

Buto merasa sangat sedih melihat Kebo yang sekarang. Berhari-hari Ia


menunggu Kebo yang dulu berjanji akan kembali untuk dirinya. Bahkan, Kebo
melupakan Buto yang telah mengubah perawakan Kebo dari buruk rupa menjadi lelaki
tampan bak seorang pangeran.

"Apa kau benar-benar telah melupakanku, Kebo? Sehingga kau tidak


mengenaliku sama sekali?" Buto memejamkan mata sesaat, sebelum melanjutkan
dialognya, "Aku, Buto Maheswari, orang yang telah mengubah dirimu menjadi lelaki
tampan, istri dari seorang Kebo yang tega berkhianat, istri dari Kebo yang ditinggalkan
berhari-hari, namun masih setia menunggu suaminya datang. Tak taukah kau Kebo?
Aku menunggu dirimu dalam keadaan mengandung anakmu? Dimanakah rasa
kemanusianmu wahai Kebo."

Dalam beberapa detik, bersama amarahnya, Buto berubah menjadi dirinya yang
asli, seorang Buto Maheswari yang berbadan besar dan ditakuti oleh siapapun yang
melihatnya.

Kebo terduduk, Ia terkejut mendengar penuturan Buto. Ia tak pernah mengira


Buto akan menemukannya.Dan sebenarnya, ia hanya mengharapkan seorang anak yang
datang dari rahim Roro, orang yang sangat dicintainya, bukan dari seorang Buto yang
ditemuinya hanya beberapa saat.

"Tidak, Buto. Bagaimana kau bisa menemuiku? Kenapa kau tidak menungguku
sedikit lebih sabar lagi? Aku bahkan baru memulai kebahagiaan beberapa hari ini,
Buto." Ucap Kebo frustrasi dengan keadaannya.

"Memulai kebahagiaan bersama istri orang maksudmu, Kebo? Tidak kah kau
tahu bahwa Ia adalah istri dari seorang raja? Kau benar-benar jahat, hingga tega
mengkhianati dua orang sekaligus, istrimu, dan Raja Ronggo." Buto sedih bukan main,
bahkan Ia meneteskan air mata dari matanya yang besar dan hitam itu. Walaupun
dirinya seorang Buto, namun, Ia juga memiliki hati dan bisa merasakan sakit, bila orang
yang dicintai dan ditunggunya berkhianat.

"Aku tidak tahu tujuanmu mengubah rupa menjadi lelaki tampan untuk apa.
Yang aku tahu, dirimu hanyalah Kebo nyabrang, yang bersedia menjadi suami dari
seorang Buto perempuan sepertiku. Tidakkah kau menyesal Kebo telah
meninggalkanku? Barang sedikit saja di hatimu?"

"Aku melakukan ini semua, demi Roro, Roro Pujiwat, seorang wanita nan cantik
jelita. Sudah sejak lama aku mencintai dirinya, tapi Buto, kau tahu? Karena rupaku yang
buruk rupa, Ia menolakku, dan memilih menjadi istri dari seorang Ronggo yang
kemarin telah aku bunuh agar Ia tidak bisa kembali bersama Roro. Apapun akan aku
lakukan demi seorang yang aku cintai."

Buto benar-benar marah, perasaan sedih yang sebelumnya Ia rasakan, berubah


menjadi amarah besar yang tidak bisa dikendalikan. Di malam yang sunyi ini, angin
berubah menjadi kencang, pepohonan bergoyang saling bergesekan dengan kasar,
seolah-olah turut merasakan amarah Buto yang dahsyat.

Kebo ketakutan, Ia tidak menyangka bahwa Buto benar-benar marah. Ia takut


jika terjadi hal buruk nantinya, bagi dirinya maupun bagi Roro. Dengan sisa-sisa
keberaniannya, Ia mencoba berdiri dan bernegoisasi dengan Buto Maheswari, berharap
Buto tidak melakukan hal buruk dan membalas dendam terhadapnya.

"Buto, tenang Buto. Tidak seharusnya kau marah seperti ini, semua bisa
dibicarakan baik-baik. Dengar, Buto. Dengarkan diriku dulu, kau tengah mengandung,
tidakkah kau takut akan terjadi hal buruk terhadap anak kita, Buto?"

"Kecurangan apalagi yang harus aku dengar dari mulutmu yang busuk itu, Kebo.
Kau memang benar-benar jahat, seorang yang tidak punya hati. Seharusnya aku biarkan
saja dulu dirimu memiliki wajah buruk rupa, agar tidak ada siapapun yang peduli
terhadapmu, kau benar-benar jahat."

Kebo pasrah, apapun akan Ia lakukan untuk menghindari amukan dari Buto ini.
Ia sadar, bahwa kekuatan yang dimilikinya tidak sebanding dengan kekuatan yang
dimiliki Buto. Ia tidak ingin menghabiskan tenaga dan sisa kekuatannya untuk hal itu.

"Buto, tidakkah kau percaya dengan diriku lagi? Bagaimanapun juga, anak yang
kau kandung adalah anakku, aku tidak mau terjadi apa-apa dengan dirinya, tenanglah
sedikit, Buto."

Buto memejamkan mata, mencoba memberi ketenangan kepada dirinya. Sedikit


benar apa yang dikatakan Kebo, walaupun sekarang Ia tidak sepenuhnya percaya lagi
dengan apa yang keluar dari mulut seorang pembohong seperti Kebo.

"Aku tidak kembali tenang untukmu Kebo, tapi untuk Cayapatra, anak yang aku
kandung."

"Apa saja akan aku lakukan untuk anakku Buto."

Dengan ketenangan yang kini sudah bisa dikuasai oleh Buto, Ia memiliki
hukuman yang pantas untuk kesalahan yang telah dilakukan oleh Kebo. Kesalahan yang
bisa ditebus Kebo agar dirinya bisa menghapus dosa-dosa dari kesalahan yang telah
dilakukan.

"Apa saja?" tanya Buto meyakinkan Kebo

Tanpa berpikir, Kebo mantap menjawab, "Ya, apa saja untuk anakku."
BAGIAN XII

Disisi lain, Roro berlari sekuat tenaga ke arah kerajaan, berharap Ia dapat
menemukan bantuan dari Raja Ronggo, mantan suaminya. Sambil melafalkan doa agar
dirinya bisa terselamatkan, dan dapat melanjutkan kehidupannya. Namun, manusia
tetaplah manusia, yang memiliki rasa lelah, didekat sebuah pohon, Ia mengistirahatkan
tubuhnya, mencoba kembali mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, Ia akan
bermalam di bawah pohon rindang ini terlebih dahulu.

Dengan hati yang gelisah dan tidak tenang, Ia berpikir tentang kesalahan yang
telah dilakukannya, "Tidak seharusnya dulu aku meninggalkanmu kakanda Ronggo,
sungguh aku menyesal. Jika aku kembali, apakah kau masih mau menerimaku?
Kemarin, aku terbutakan oleh wajah tampan milik Kebo, orang yang dulunya sangat aku
benci. Maafkan aku, Ronggo."

Malam semakin larut, rasa takut yang dimiliki Roro semakin menggunung.
Walaupun Ia sendiri tidak tau hal apa yang tengah terjadi saat ini. Ia masih menebak-
nebak kenapa Kebo menyuruhnya untuk berlari.

Angin malam yang dingin menerpa kulit Roro yang dibalut dengan sorai tipis.
Berharap ada seseorang yang mampu menolongnya dan menyelamatkan dirinya agar
keluar dari hutan gunung muria ini. Dirinya mencoba mengurangi rasa dingin yang
melanda tubuhnya dengan menggosokkan kedua telapak tangannya.

"Dosa besar apa yang telah dilakukan si Kebo? Kenapa aku ikut
menanggungnya? Tidakkah ada seorangpun di sini yang bisa menolongku keluar dari
kesusahan ini?"

Roro mencoba untuk menutup matanya, barangkali Ia bisa tidur dan melupakan
sejenak kesusahan yang dialaminya. Namun, Ia teringat bahwa malam tadi Ia belum
makan sama sekali dan hanya minum air putih. Kini, ketakutannya tergantikan dengan
rasa lapar yang mulai dirasakannya.

"Perut sial, bertahanlah sedikit saja sampai nanti fajar."

"krek... Krek.."

Mendengar seperti bunyi ranting yang terinjak oleh kaki, Roro menoleh dan
mencari sumber suara tersebut. Berharap ada seorang yang dapat dimintainya
pertolongan.

"Siapakah itu? Tolong bantu aku keluar dari sini!" Teriak Roro keras hingga
dapat terdengar di telinga siapapun yang berada di hutan gunung muria tersebut.
"Hai!! Tidakkah itu suara langkah kaki! Tolong keluarlah, bantu aku. Apa itu
kamu, Kebo?!"

Roro mendekat ke arah semak-semak secara perlahan. Sepanjang langkahnya, Ia


menaruh pengharapan akan bertemu dengan bantuan sehingga Ia dapat keluar dari hutan
ini.

Perlahan Roro mulai menyibakkan semak semak yang menghalangi jalannya.


Betapa kagetnya Ia, melihat dua orang tengah memegang anak panah yang mungkin
akan digunakannya untuk berburu. Dengan susah payah, Ia berusaha keluar dari semak-
semak yang menutupinya.

"Tuan! Tuan! Bantu aku, Tuan!"

Mendengar ada suara perempuan, dua lelaki itu menoleh, dan betapa kagetnya
mereka, karena menyadari bahwa perempuan tersebut adalah Roro Pujiwat, mantan istri
dari almarhum rajanya.

"Bukankah itu dirimu, Ratu Roro Pujiwat?" tanya salah satu dari dua lelaki
tersebut.

Dengan nafas terengah-engah dan keringat yang membanjiri wajah ayu Roro
Pujiwat, Ia berhasil mencapai tempat dua pemuda tersebut.

"Kalian mengenaliku? Apakah kalian rakyatku? Rakyat dari Kerajaan Segelap?"

"Iya, Ratu. Saya kesini untuk berburu bersama teman saya. Kenapa ratu malam-
malam ada di sini?"

"Ceritanya panjang, sekarang juga tolong antarkan aku pulang ke Kerajaan


Segelap. Nanti akan aku berikan imbalan kepada kalian,"

"Tapi, Ratu...."

Roro memotong perkataan salah satu pemuda tersebut, karena Ia ingin segera
keluar dari hutan ini, dan segera bertemu dengan mantan suaminya, Raja Ronggo.

"Sudahlah, jangan membantah, antar aku malam ini juga, ayo."

"Baiklah, Ratu."

Dengan langkah yang menggebu-gebu, Roro berjalan dibelakang dua pemuda


itu, dan mengikuti setiap langkah yang dilalui pemuda itu. Dalam hatimya, Ia tidak
sabar untuk bertemu dengan Raja Ronggo, dan meminta maaf atas kekhilafan yang
dilakukannya.
***

"Ya, apa saja untuk anakku."

Mendengar penuturan Kebo, Buto tidak sepenuhnya percaya dengan kalimat


yang baru saja muncul dari mulut Kebo.

"Hahahahaha... Kebo, Kebo, kau fikir aku akan begItu saja percaya lagi dengan
kata katamu yang busuk itu? Tidak akan lagi. Di mana Wanita yang kau cintai itu, aku
ingin melihatnya, secantik apa hingga membuat dirimu hilang kewarasan, suruh dia
menemuiku sekarang juga!"

Diluar dugaan Kebo, Ia kira Buto akan mempercayai perkataannya, tapi Buto
malah kembali mengeluarkan amarahnya. Dan kini, Buto mencari Roro Pujiwat.

"Ah, dia tidak ada di sini, Buto. Siapa yang kau cari, hanya ada aku dan dirimu
di sini."

"Cih, buang kata-kata manismu itu, Kebo. Jangan kau coba-coba melindungi
perempuan itu, di mana dia sekarang?! Cepat katakan!"

Emosi Kebo mulai tersulut, Ia sudah tidak peduli dengan siapa dirinya
berhadapan sekarang, demi Roro apapun akan Ia lakukan agar wanita itu selamat.

"Lalu, kau fikir apa aku akan menuerahkan begitu saja Roro kepadamu? Lalu
membiarkan Ia disakiti olehmu, Buto? Tidak akan, Kalau kau mau Roro, lawan diriku
lebih dulu, itu jika kau bisa mengalahlanku!"

Setelah itu, terjadilah pertempuran yang tak bisa dielakkan lagi. Dengan sekuat
tenaga, Kebo melawan Buto yang berbadan besar dan mustahil untuk dikalahkan
olehnya.

Alam seakan mengetahui atmosfer yang terjadi diantara keduanya. Burung-


burung ketakutan menyaksikan pertengkaran dua orang tersebut, memilih untuk terbang
melarikan diri dari tempat asalnya. Pohon-pohon bergesekan dengan kasar, membuat
angin bertiup kencang hingga menimbulkan bunyi decitan yang luar biasa kerasnya.

Buto belum melakukan perlawanan sama sekali, Ia hanya menghalau Kebo agar
serangan yang diberikan oleh Kebo tidak mengenai dirinya. Berbeda dengan Kebo, Ia
mengeluarkan seluruh kekuatan yang dimilikinya untuk melawan Buto. Namun, setelah
lama pertarungan yang terjadi, tidak ada sama sekali dari Ajian yang diberikan Kebo
mampu mengenai Buto.
Akhirnya, Kebo kehabisan tenaga, sehingga meluruhlah tubuh Kebo ke atas
tanah.

"Kau fikir dengan kekuatanmu yang tak seberapa itu kau bisa melawanku?
Bahkan, aku belum sama sekali mengeluarkan ajianku untuk dirimu Kebo. Kau bukan
tandinganku!"

Hembusan nafas Kebo terdengar tak beraturan, dengan sisa-sisa tenaganya, Ia


mendongak menghadap Buto.

"Tolong Buto, jangan kamu melukai Roro Pujiwat barang sejengkalpun, Ia tak
salah apa-apa. Kalaupun ada yang haris terluka, itulah aku orangnya!"

"Cintamu memang tulus, tapi sayang beribu sayang, ketulusanmu itu membuat
lupa siapa dirimu sebenarnya. Kebo Nyabrang, Kebo tetaplah seorang Kebo. Dirimu
harus menerima karma atas dosa-dosa yang telah kau lakukan terhadapku! Selamanya
kau akan menjadi Kebo, Kebo yang hanya mematuhi perintahku dan juga anakku,
Cayapatra! Atas segala bumi, alam dan beserta isinya, di sini aku, Buto Maheswari istri
dari seorang Kebo nyabarang, mengutuk Kebo Nyabrang menjadi seekor Kebo
selamanya!"

Bersamaan dengan kalimat yang baru dilontarkan oleh Buto Maheswari, sebuah
petir menyambar pohon besar yang berada disekitar gubug itu, angin bertiup kencang,
dan langit nampak lebih gelap dari malam biasanya.

Maka, dengan sekali perkataan, berubahlah Kebo nyabrang menjadi seekor


Kebo jantan yang besar, dan hanya akan menuruti perintah dari Maheswari dan
anaknya, Cayapatra.

"Maafkan aku, Maheswari. Mungkin, ini memang hal yang pantas kau lakukan
atas kesalahanku, dengan sisa hidupku, aku akan selamanya mengabdi kepadamu, dan
anak yang ada di kandunganmu." ucap Kebo nyabrang kepada Buto Maheswari

"Ini memang hal yang seharusnya engkau dapstkan, Kebo. Dengan begini, maka
Kau bisa menebus kesalahan-kesalahan semasa hidupmu. Ketahuilah, meskipun
perawakanmu benar-benar menjadi Kebo, tapi, kesaktian yang kau miliki tetap ada pada
dirimu, dan kau tidak boleh menggunakan kesaktianmu untuk melukai dan berbuat jahat
terhadap orang lain, apabila kau benar melakukannya, maka ketahuilah, hukuman yang
akan kau terima bahkan lebih berat dari ini, Kebo."
Kebo diam menandakan bahwa dirinya sudah paham terhadap pinutur yang
diberikan oleh Buto Maheswari. Kini, sudah saatnya Kebo menebus dosa-dosnya, baik
dosa di masa lalu, kemarin, dan sekarang.

Kebo yang tidak pernah mau diatur, Kebo yang selalu menganut kehendaknua
sendiri, kini harus patuh dan menuruti perintah dari majikannya sekarang, yaitu Buto
Maheswari. Namun, bagaimana dengan Roro Pujiwat? Ah, sudahlah mungkin dia sudah
aman, pikir Kebo.

"Kebo, ijinkan aku menginap di gubukmu ini, barangemalam saja. Dan kau,
harus menjaga diriku persis di depan pintu, dan jangan boarkan siapapun mengganguku.
aku ingin, anak yang aku kandung lahir malam ini juga, dan berubah menjadi sosok
lelaki kecil yang tampan seperti ayahnya yang dulu. Aku akan bersemedi selama satu
malam ini."

"Baiklah, aku akan menjaga di depan pintu ini, dan tidak membiarkan siapapun
mengganggu semedimu."

Buto merubah ukuran dirinya menjadi lebih kecil agar dapat memasuki gubuk
Kebo Nyabrang. Sesampainya di dalam gubuk, kemudian Buto mengambil posisi
bersiap untuk semedi. Segala ajian dibaca oleh Buto, agar janin yang berada di
kandungannya dapat keluar dari rahimnya berkat kekuatan sakti yang dimiliki oleh Buto
Maheswari.

Sedangkan Kebo, Ia di luar gubuk setia menanti selesainya Buto Maheswari.


Tanpa meletakkan tubuhnya sekalipun, dirinya selalu bersedia di depan pintu gubuk
bila-bila terdapat sesuatu hal yang mengancam keselamatan Buto Maheswari dan juga
Cayaptra, anak dan calon tuannya.
BAGIAN XIII

Sang surya mulai menampakkan dirinya malu-malu. Malam sunyi yang


membuat siapapun takut berada di dalam hutan yang gelap gulita berubah menjadi
langit fajar yang mendamaikan hati siapapun yang melihatnya.

Roro agak terkesima melihat sang surya yang malu-malu menampakkan dirinya,
dan juga langit fajar yang begitu menenangkan. Tak terasa, berkat kuda yang
ditumpangi Roro menuju ke Kerajaan Segelap bersama dua orang rakyatnya, tanpa
waktu lama Kuda itu melesat dan hampir sampai di Kerajaan Segelap.

"Berapa lama lagi, Tuan?" tanya Roro kepada salah satu pemuda

"Sebentar lagi, mungkin ketika matahari tepat di atas kepala."

"Kakanda Ronggo, tunggu aku menyusulmu. Aku sudah tidak sabar bertemu
dengan dirimu."

Gumam Roro pelan. Namun, masih dapar didengar oleh dua pemuda itu.

"Ratu, bukankah Raja Ronggo telah meninggal?"

Roro Pujiwat langsung menatap tajam pemuda melemparkan kalimat itu.

"Hati-hati mulutmu berbicara. Ketika sampai di Kerajaan nanti, aku bisa saja
merobek mulutmu yang busuk itu!" ancam Roro Pujiwat

Seketika dua pemuda itu diam, dan masih memikirkan kenapa Ratunya seperti
ini? Bahkan jelas-jelas beberapa hari lalu diadakan pemakaman kematian Raja Ronggo.
Kerajaan Segelap beserta rakyatnya pun masih berduka. Apa ada yang salah dengan
perkataan pemuda itu? Atau apakah Roro Pujiwat masih belum percaya bahwa suami
yang dicintainya, Raja Ronggo meninggal? Hingga Ia harus melarikan diri dan tersesar
di hutan?

Segala pemikiran-pemikiran kedua pemuda itu langsumg memenuhi kepalanya.


Selama satu malam perjalanan, mereka dibuat bingung oleh Roro Pujiwat karena tidak
mau memberi tahu alasannya kenapa malam-malam berada di tengah hutan yang
menakutkan itu. Bahkan, Ia hanya seorang diri di sana. Tidak khawatir bila bertemu
dengan lelembut, tapi jika bertemu dengan musuh dari Kerajaan Segelap? Entahlah,
mungkin ratunya itu sudah gila.

Setelah lama perjalanan akhirnya Roro sampai di gerbang kerajaan yang


menjulang tinggi dengan dua penjaga yang berdiri di sebelah kanan dan kiri gerbang
lengkap dengan senjata yang selalu dibawa layaknya prajurit-prajurit lainnya.
Dengan hati yang tidak sabar, Roro Pujiwat turun dari kuda dan segera
memerintah kedua prajurit penjaga gerbang itu membuka pintu gerbang untuknya.

"Wahai prajurit, buka pintu gerbang ini untukku!"

Kedua prajurit itu terdiam, tidak bergerak sama sekali, bahkan untuk menyahuti
perintah dari Roro saja enggan.

"Hai! Tidakkah kalian memiliki telinga?! Tidak taukah siapa yang berada di
depanmu ini?"

"Maaf, Nona Roro. Kami diperintahkan raja kami untuk tidak membuka gerbang
kepada Anda, nona." ucap salah satu prajurit menatap Roro Pujiwat tanpa
membungkukkan badannya seperti yang dilakukan prajurit lain kepada ratunya.

"Apa yang kalian bicarakan? Raja kalian itu Raja Ronggo, ratu kaliam itu Saya,
Ratu Roro Pujiwat! Ada apa dengan kalian?! Di mana Ronggo?"

Perasaan cemas menghampiri Roro. Masalah apalagi ini yang terjadi? Tidakkah
cukup penderitaan Roro semalam? Karena tidak sabar, Roro berusaha memaksa masuk
ke dalam gerbang Kerajaan Segelap.

"Nona Roro, tolong jangan memaksa masuk. Ini perintah langsung dari raja!"

"Iya, Nona. Tolong jangan membangkang!"

Kedua prajurit itu berusaha menghalau Roro Pujiwat yang memaksa masuk.
Lain halnya dengan kedua pemuda yang bersama Roro tadi, mereka nampak
kebingungan dengan keadaan yang ada di depan mata mereka. Mereka berusaha untuk
tidak ikut campur, dan memilih diam menunggu hal apalagai yang akan terjadi nantinya.

"Di mana raja kalian?! Aku ingin bertemu dengan dirinya! Cepat panggilkan
untukku!" teriak Roro kepada keduua prajurit tersebut

"Baik, Nona. Akan saya panggilkan, dengan syarat, nona tidak boleh membuat
gaduh di sini!"

"Baiklah!"

Salah satu prajurit masuk ke dalam gerbang untuk menemui raja dari Kerajaan
Segelap, untuk melapor bahwa Roro Pujiwat telah kembali. tak lama kemudian,
gerbang kerajaan terbuka, masuklah Roro ke dalam wilayah kerajaan dengan dua
pengawal yang menjaga di belakang Roro. Seluruh mata rakyat Kerajaan Segelap
menatap ke arah diri Roro, saling berbisik dan sinis terhadap kedatangan Roro.
Roro yang tak tahu menahu, merasa bingung dengan apa yang terjadi di
kerajaannya. Kenapa semua memakai baju berwarna hitam seolah-olah sesang berduka?
Apakah ada kematian yang baru saja terjadi? Ayolah, Roro tidak siap menerima
kemungkinan-kemungkinan yang akan didapatkannya sebentar lagi.

Ia mencoba mengabaikan semua hal yang berada disekitarnya, Ia lebih tidak


sabar untuk bertemu dengan Raja Ronggo. Dengan perasaan yang oenuh tanda tanya, Ia
berlari ke dalam kerajaan untuk menemui mantan suaminya.

Sampai di dalam kerajaan, Ia mendapati raja yang berpakaian serba hitam,


membelakangi diri Roro Pujiwat. Perasaan lega menghampiri Roro, kekhawatiran yang
dirasakannya kini hilang. Karena, di depannya sudah ada mantan suaminya, Raja
Ronggo yang telah ditinggalkan oleh Roro demi Kebo Nyabrang.

"Raja Ronggo, Roro kembali." ucap Roro memelas dibalik badan raja

Masih hening, tidak ada jawaban dari raja untuk Roro.

"Raja, semarah itu kah dirimu kepadaku? Mohon maaf, Raja. Kemarin, aku
merasa khilaf atas kesalahanku. Aku sudah meninggalkan Kebo dan berlari kembali ke
kerajaan ini."

Raja berbalik, dan betapa kagetnya Roro ketika mengetahui siapa raja
dihadapannya. Roro tidak menemukan Raja Ronggo, melainkan Patih Jayakarsa. Di
belakang Roro hadir Patih Pakujiwa. Keadaan ini membuar Roro semakin bingung
dengan apa yang terjadi. Ia merasa dipermainkan dengan keadaan saat ini.

"Patih, berani-beraninya dirimu memakai pakaian kebesaran seorang raja.


Tidakkah engkau sadar siapa dirimu di sini?"

Patih Pakujiwa mendekat, meraih bahu Roro

"Kami yang seharusnya bertanya kepadamu, Roro. Kenapa kau tega


meninggalkan Raja Ronggo yang jelas-jelas mencintaimu. Dia rela meregang nyawa
karenamu, karena dibunuh oleh Kebo nyabrang!"

Patih Pakujiwa hampir kehilangan kendali, dicengkramnya bahu Roro kuat


hingga Roro mengaduh dan hampir terjatuh. Rasa kaget diperlihatkan Roro dari air
mukanya yang dingin dan tegang. Raja Jayakarsa berusaha mengendalikan emosi yang
hampir tak bisa dikendalikan oleh Patih Pakujiwa.

"Patih, ingat! Dia perempuan, tak seharusnya seorang lelaki menyakiti


perempuan, bagaimana juga dia pernah menjadi ratumu."
Raja Jayakarsa melihat Roro, "Roro, bangunlah. Raja Ronggo telah tiada, di sini
tidak ada yang kau cari lagi. Raja Ronggo telah memberiku tanggung jawab menjadi
seorang raja di Kerajaan Segelap. Kau tidak ada hak lagi atas kerajaan ini. Tapi, karena
aku menghormatimu sebagai mantan pemilik kerajaan, maka aku akan menjadikanmu
selir di kerajaan ini."

Sejak saat itu, Roro mengabdikan dirinya sebagai seorang selir di Kerajaan
Segelap. Setiap hari, Ia mengunjungi puasara milik Raja Ronggo, mengaduhkan
nasibnya kepada Raja Ronggo, menyesali perbuatannya atas kekhilafannya di masa lalu.
Pakaian serba hitam menjadi penutupnya sehari-hari sebagai bentuk rasa duka terhadap
kepergian Raja Ronggo.
BAGIAN XIV

"Cayapatra, anakku. Kemarilah menemui ibumu!" Teriak Buto Maheswari

Seorang pemuda laki-laki yang sedang memandikan seekor Kebo segera datang
menemui ibu yang memanggilnya.

"Kebo, di sini dulu, jangan kemana-mana, aku akan menemui ibuku dulu."
tuturnya kepada Kebo yang tak lain adalah perawakan dari Kebo nyabrang.

Cayaptra berlari menghampiri ibunya, "Bagaimana, ibu? Perlu bantuan dari


Cayaptra?"

Buto tersenyum, "Kemarilah, duduk bersama ibumu. Besok adalah hari yang
tepat untuk kita membalaskan dendam kepada Roro Pujiwat. Persiapkan dirimu, besok
kau harus ikut denganku. Bawalah Kebo untuk menjadi tungganganmu, dengan
kesaktiannya, dia bisa menyelamatkanmu."

"Baiklah, apapun aku lakukan demi Ibu. Aku mempersiapkan Kebo dan
mengasah kemampuanmu untuk menghadapi siapapun yang menghalangi jalan kita
besok."

Segala perbekalan dipersiapkan oleh keduanya, Kebo nyabrang yang memang


masih mencintai Roro Pujiwat tidak dalat berbuat apa-apa melihat keadaannya dan juga
Kebo gelah mengabdikan sisa hidupnya hanya untuk Buto Maheswari dan Cayaptra,
anaknya.

Pagi-pagi betul, Buto dan Cayapatra berangkat untuk menemui Roro Pujiwat
untuk membalaskan dendam yang sudah lama Buto pendam. Dengan kekuatan yang
dimiliki keduanya serta Kebo, tak butuh waktu lama, mereka sudah sampai di Kerajaan
Segelap.

Buto semakin tidak sabar bertemu dengan Roro Pujiwat. Dihancurkannya


gerbang kebesaran milik Kerajaan Segelap. Rakyat Segelap berbondong-bondong lari
untuk menyelematkan diri dari amukan seorang Buto yang besar.

Patih Pakujiwa mengerahkan semua pasukannya untuk menyerang Buto dan


juga Cayaptra yang menunggangi Kebo Nyabrang.

"Wahai patih! Panggilkan Roro Pujiwat untuk menemuiku segera! Aku tidak
akan menghancurkan kerajaan ini apabila Roro Pujiwat bersedia menemuiku!" ucap
Buto dengan kasar dan keras. amarah benar-benar memenuhi dirinya saat ini.
"Selir tidak ada di sini. Dan apa urusannya dengan Selir Roro Pujiwat?!" Tanya
Patih Pakujiwa terhadap Buto Maheswari

"Tidak usah banyak tanya, cepat katakan di mana Roro Pujiwat?!"

"Sudah aku katakan dia tidak ada di sini?!"

"Baik jika kau memaksaku untuk menghancurkan kerajaan ini. Kebo, hancurkan
kerajaan ini, dan bunuh semua orang yang menghalangi langkah kita!"

Dengan satu kali perintah, Kebo menuruti hal yang diinginkan oleh Buto
Maheswari. Meskipun di dalam hatinya sendiri, Ia tidak ingin melakukan. Namun, ini
adalah satu-satunya hal bisa dilakukan Kebo untuk menebus kesalahannya terhadap
Buto.

Tanpa bertele-tele, Buto menghancurkan semua yang ada di kerajaan. Patih


Pakujiwa mengerahkan semua prajurit yang ada di kerajaan untuk menghalau serangan
dari Buto dan Kebo, sebelum dia sendiri yang maju menyerang.

Cayapatra terkesiap melihat Ibunya yang dipenuhi amarah, baru pertama kali
dirinya melihat Buto Maheswari semarah ini. Sebetulnya di hati yang paling dalam,
Cayaptra tidak setuju dengan hal ini.

"Ibu, sudahlah. Tidakkah kau kasihan dengan mereka yang tidak bersalah itu?
Kita di sini hanya untuk Roro Pujiwat, bukan mereka! Mereka tidak tahu menahu
tentang masalah ini, ibu!"

"Cayapatra, anakku. Mereka berusaha menyembunyikan Roro dari kita. Jadi


sudah sepantasnya kita menyerang mereka agar mereka melepaskan Roro."

Cayapatra terdiam kembali. Dirinya tidak berani membantah perkataan ibunya.


Kerusuhan di depannya terjadi sangat menegangkan, sudah banyak prajurit yang
dibunuh oleh Kebo kesayangannya. Tidak seharusnya hal ini terjadi, batin Cayapatra.

Raja Jayakarsa keluar, dan bingung dengan keadaan yang ada dihadapannya,
"Ada apa ini, wahai Patih Pakujiwa? Kenapa kerajaan kita diserang?" Tanya raja
terhadap patih

"Ampuni hamba yang tidak pandai menjaga keamanan kerajaan, Raja. Buto ini
datang untuk mencari Selir."

"Hentikan semua ini, dan panggil segera selir Roro Pujiwat, sebelum semua
rakyatku habis dibunuh!" perintah raja yang dibalas anggukan oleh Patih Pakujiwa
"Wahai, Buto. Hentikan ini semua, akan aku panggilkan Roro Pujiwat untuk
dirimu!"

Buto menghentikan serangannya terhadap kerajaan dan Patih Pakujiwa bergegas


membawa Roro Pujiwat.

"Buto, siapa sebenarnya dirimu ini? Apa urusanmu dengan Roro Pujiwat?"

Dengan ketegasan dan kebijaksanaannya, Raja Jayakarsa bertanya kepada Buto


Maheswari tanpa ada sedikitpun kemarahan yang ditunjukkan.

"Roro Pujiwat telah mengambil Kebo nyabrang dariku. Dan aku kesini untuk
membalaskan dendamku terhadapnya. Raja Jayakarsa, Kau lihat seekor Kebo yang
ditumpangi oleh putraku itu? Ialah Kebo nyabrang, yang dulunya seorang manusia
tapikarena kejahatannya Ia harus menanggung dosa dan menjadi kebo u tuk selamanya."
jawab Buto dengan seringai di wajahnya

Ditengah perbincangannya, semua orang dikejutkam dengan adanya kehadiran


Roro. Dengan keberaniannya, Roro menyerahkan diri kepada Buto. Bagaimanapun
juga, Ia yakin bahwa keadaan seperti ini akan Ia hadapi. Ia tidak akan menghindar dan
akan menanggung semua dosa-dosanya.

"Buto, kau mencariku? Aku kembali, jangan kau menghancurkan kerajaan.


Karena urusanmu hanya denganku, bukan yang lain."

"Wah wah, berani sekali Kau memerintahku, wanita sialan! Tidakkah kau takut
terhadapku? Ayolah, sebelum aku menghukummu, kau bisa meninggalkan pesan terlbih
dahulu, hahahaha!!"

Roro meneteskan air mata, sesungguhnya dirinya merasa sangat takut. Dengan
sisa-sisa keberaniannya Ia melangkah lebih maju untuk mendekat dengan lawan
bicaranya.

"Baiklah, izinkan aku meninggalkan pesan kepada Raja."

"Silahkan, aku tidak memberi waktu lama untukmu." ucap Buto dengan tidak
sabar

Roro pujiwat memandang sekeliling kerajaan, dilihatnya satu persaru korban


yang berjatuhan akibat ulah Buto Maheswari. Terakhir, Ia menatap Raja Jayakarsa.

"Maafkan hamba, Raja Jayakarsa. Karena hamba, kerajaan menjadi seperti ini.
Tapi, izinkan hamba untuk memberikan pesan kepadamu. Tolong tetap jaga pusara Raja
Ronggo, datangi setiap hari, perintahkan orang untuk selalu membersihkannya. Dan
apabila diriku meregang nyawa hari ini, kebumikan aku tepat disamping pusara Raja
Ronggo. Terimakasih karena engkau telah memberiku maaf dan mengangkatku menjadi
selirmu, sebuah kehormatan bagi diriku yang telah melakukan kesalahan besar terhadap
kerajaan."

"Baik, Selir Roro Pujiwat. Aku akan selalu menjaga pusara Raja Ronggo.
Terimakasih atas pengabdianmu selama ini. Sesungguhnya, berat hati aku melepasmu
kepada Buto Maheswari. Namun, kau juga harus mempertanggungjawabkan
perbuatanmu."

"Sudah! Tidak ada lagi waktu untukmu, Roro Pujiwat. Inilah saat yang sudah
aku tunggu-tunggu sejak lama. Aku akan menghukummu sekarang juga!"

Seketika Buto berubah dan bertambah semakin besar kala Ia memejamkan


matanya. Angin berhembus sangat kencang hingga merobohkan beberapa pohon besar
yang berada di sekitar kerajaan. Rakyat kerajaan berbondong-bondong lari untuk
menyelamatkan diri.

Kebo Nyabrang terlihat menangis karena menyaksikan wanita yang dicintai


harus menanggung kesalahannya. Raja Jayakarsa dan Patih Pakujiwa kagum melihat
kesaktian Buto Maheswari yang begitu hebat. Angin Berhembus semakin kencang,
diikuti dengan turunnya hujan yang begitu lebat dan juga petir yang menyambar-
nyambar dengan sangat hebat.

"Atas kekuatam alam dan segalanya isinya. Aku, Buto Maheswari mengutuk
Roro Pujiwat menjadi sebuah petilasan yang mampu menebus dosa-dosa atas kesalahan
yang telah dilakukannya. Jadilah dia sebuah petilasan yang mampu berguna bagi
masyarakat sekitar. Jadilah!!"

"Buto, lebih baik kau membunuhku Buto! Sampai kapanpun, aku tidak akan
menerima siapapun yang datang ke tempatku dengan maksut jahat dan hati yang jahat
sepertimu, Buto!"

Beberapa saat kemudian Buto membuka mata, dan cahaya yang menyilaukan
nampak terlihat dari arah tubuh Roro Pujiwat, beberapa saat kemudian bersama tangisan
dan teriakannya, berubahlah dirinya menjadi sebuah petilasan. Seketika, cuaca kembali
seperti semula, menjadi cerah seperti hari yang baru. Dan Buto berubah mengevil
kembali.

Kebo kemudian menghampiri petilasan itu dan menangisi Roro Pujiwat. Raja
dan Patih terlihat amat sangat sedih menyaksikan kejadian yang menimpa selirnya, Roro
Pujiwat.
"Bukan maksutku berbuat jahat semauku Raja. Tapi inilah hal yang pantas
diterima Roro untuk menebus dosanya, biarlah petilasan ini bermanfaat kepada
rakyatmu nantinya." Ucap Buto

"Baiklah, Buto. Urusanmu di sini telah selesai, akan lebih baik jika engkau
segera kembali bersama kebo dan anakmu. Datanglah jika kau butuh bantuan, kerajaan
selalu terbuka untukmu dan anakmu. Anggap saja ini bentuk penghapusan dosa-dosa
dari Roero Pujiwat, dan biarkanlah Kebo mendatangi petilasan Roro Pujiwat."

"Jadilah dirimu Raja yang bijaksana, Raja Jayakarsa. Terimakasih atas


pengertianmu. Hamba akan kembali."

Raja Jayakarsa mengangguk dan tersenyum kepada Buto Maheswari. Dilihatnya


Buto Maheswari pergi bersama anaknya, Cayapatra dan Kebo Nyabrang yang menjadi
tunggangannya.

"Semua hal yang dilakukan semasa hidup pasti ada timbal baliknya. Hal jahat
ada balasan jahat untuk karmanya, dan hal baik yang dilakukan akan ada karma baik
pula yang didapatkan. Sejatinya, semua orang pasti pernah melakukan kesalahan dan
memiliki dosa. Tapi, akan lebih baik jika kita berani menerima konsekuensi dan
bertanggung jawab dengan hal yang telah dilakukan." ucap raja, "Ayo Patih Pakujiwa.
Kita berbenah." ucap raja sebelum masuk ke dalam kerajaan dan diikuti oleh Patih
Pakujiwa.

-S ELESAI -

Anda mungkin juga menyukai