Anda di halaman 1dari 17

NAMA : FIQRI ADAM SURYANTO

NIM : 1440126019
TUGAS RESUME PANCASILA
PANCASILA.

~PERUBAHAN UUD 1945 menjadi UNTUK MENGUATKAN SISTEM


PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL BAGI NEGARA REPUBLIK INDONESIA.

MPR SETELAH PERUBAHAN UUD 1945

-LEMBAGA TINGGI NEGARA YANG SEJAJAR DENGAN LEMBAGA-


LEMBAGA NEGARA LAINNYA

-TIDAK LAGI MENJALANKAN SELURUH KEDAULATAN RAKYAT


INDONESIA

-TIDAK LAGI MEMILIKI KEWENANGAN MENGANGKAT PRESIDEN DAN


WAKIL PRESIDEN

-TIDAK LAGI BERWENANG MENETAPKAN GARIS-GARIS BESAR DARI


PADA HALUAN NEGARA (GBHN)

SPPN

-DIATUR DALAM UU 25 / 2004

-DISUSUN SECARA TERPADU OLEH KEMENTRIAN/LEMBAGA DAN


PEMERINTAH DAERAH

-DITUANGKAN DALAM RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG


NASIONAL (RPJPN), RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH
NASIONAL (RPJMN), DAN RENCANA PEMBANGUNAN TAHUNAN

PERBEDAAN SPPN – GBHN

SPPN DISUSUN OLEH PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH,


PRESIDEN TIDAK BERTANGGUNG JAWAB KE MPR.

GBHN DITETAPKAN OLEH MPR, PRESIDEN BERTANGGUNG JAWAB KE


MPR.
ISU

-SPPN KURANG EFEKTIF DALAM MENENTUKAN ARAH KEBIJAKAN


PEMBANGUNAN NASIONAL

-MUNCUL GAGASAN UNTUK MELEKATKAN KEMBALI WEWENANG


PENETAPAN GBHN KEPADA MPR

-MENUAI BERBAGAI RESPON DI TANAH AIR

RUMUSAN MASALAH

BAGAIMANA SEJARAH INSTRUMEN GBHN DALAM KEHIDUPAN TATA


NEGARA INDONESIA ?

BAGAIMANA TINJAUAN HUKUM KETATANEGARAAN INDONESIA


TERHADAP PELEKATAN KEMBALI WEWENANG MPR DALAM
PENETAPAN GBHN ?

PEMBAHASAN

APA ITU GBHN ?

-Kewenangan pembentukan GBHN dilekati kepada MPR yang


awalnya merupakan lembaga jelmaan kedaulatan rakyat.

-MPR membuatnya GBHN secara berkala (5 tahun sekali)

-GBHN sebagai haluan presiden (dalam hal ini lembaga eksekutif)

Selanjutnya, DPR memastikan apakah Presiden dalam


menyelenggarakan negara tetap berada dalam haluan-haluan yang
telah ditetapkan oleh MPR.

Penjelasan Umum UUD 1945

“...oleh karena itu, DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-


tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap bahwa Presiden
sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh
Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar
supaya bisa minta pertanggungjawaban kepada Presiden.”

SEJARAH GBHN

-1945 – 1949

-1959 – 1966

-1966 – 1998

-1998 – SEKARANG

PERIODE 1945 - 1949

-MASA MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN

-MAKLUMAT WAKIL PRESIDEN NO. X

-MAKLUMAT PEMERINTAH RI 1 NOVEMBER 1945

-BELUM DIHASILKAN GBHN

PERIODE 1959 - 1966

-MASA ORDE LAMA / DEMOKRASI TERPIMPIN

-DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959

-PENETAPAN PRESIDEN NOMOR 2 TAHUN 1959

-MPR(S) MENGADAKAN SIDANGNYA YANG PERTAMA PADAL


TANGGAL 10 NOVEMBER 1960 DI BANDUNG

PERIODE 1959 - 1966

-GBHN DIARTIKAN SEBAGAI GARIS-GARIS BESAR HALUAN POLITIK

-DIPISAHKAN DENGAN GARIS-GARIS BESAR HALUAN PEMBANGUNAN


-MATERINYA TERDIRI DARI PIDATO-PIDATO PRESIDEN

PERIODE 1966 - 1998

-MASA ORDE BARU

-PERENCANAAN PEMBANGUNAN MENGALAMI KEMAJUAN SANGAT


PESAT

-GBHN MENGARAHKAN PEMBANGUNAN PADA UPAYA


MENINGKATKAN KEMAKMURAN RAKYAT YANG MAKIN MERATA

-BADAN PERENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS)

GBHN PADA MASA ORDE BARU

-GBHN 1983-1988

-GBHN 1973-1978

-GBHN 1993-1998

-GBHN 1978-1983

PERIODE 1988 - SEKARANG

-REFORMASI

-PERUBAHAN UUD 1945

-CALON PRESIDEN DAN CALON WAKIL PRESIDEN MEMILIKI


PROGRAM YANG DITAWARKAN LANGSUNG KEPADA RAKYAT

-PROGRAM-PROGRAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN HARUS


DILAKUKAN BERDASARKAN UU NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG
SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
ALASAN MUNCUL WACANA GBHN

Kelemahan dari sistem presindensiil

RPJMN sebagai substitusi GBHN disinyalir kurang mengakomodasi


tujuan pembangunan Indonesia

Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih melalui pemilihan umum


yang dilakukan lima tahun sekali membawa visi dan misi atau politik
tersendiri

Setiap pergantian Presiden dan Wakil Presiden, pembangunan


Indonesia diawali dengan platform yang berbeda

PEMBANGUNAN INDONESIA SEPERTI JALAN DI TEMPAT

SOLUSI

-GBHN DIHIDUPKAN KEMBALI

-Menetapkan GBHN sebagai instrumen atau ruang bagi penjabaran


tujuan negara yang tertuang dalam UUD NRI 1945

-Mekanisme pertanggungjawaban Presiden diubah menjadi


mekanisme pengawasan dari MPR kepada Presiden dalam
menjalankan GBHN

KESIMPULAN

-GBHN sebelum perubahan merupakan produk dari MPR

-GBHN dibuat dalam jangka waktu 5 tahun sekali

-Terdapat perbedaan isi dan penyebutan GBHN pada setiap periode

-Setelah perubahan UUD 1945, MPR tidak lagi berwenang menyusun


GBHN
GBHN DAN PERUBAHAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI
INDONESIA
Pendahuluan

Dalam sebuah acara debat politik di Jakarta akhir

Maret 2014, Presiden Indonesia ke 3, B.J. Habibie

mengingatkan kembali pentingnya Garis-Garis Besar

Haluan Negara (GBHN) untuk dihidupkan kembali1

Pandangan serupa juga sudah pernah didengungkan

oleh B.J. Habibie pada akhir Januari 2014, dalam

sebuah pertemuan kader Partai Golkar. “Kita sadar,

tanpa adanya GBHN itu maka pembangunan di

Indonesia tidak akan berjalan dengan baik pada jangka

panjang. Jadi, saya ingin menyampaikan, seluruh

kader Partai Golkar berjanji kepada Pak Habibie

bahwa kita akan membuat koreski terhadap UUD 45”,

kata Habibie dalam sambutan di pertemuan tersebut2.

Keinginan untuk menghadirkan kembali

GBHN di era kekinian bukan hanya disuarakan

oleh Habibie, namun juga oleh para intelektual.

Dalam pertemuan Forum Rektor Indonesia (FRI),

Konvensi Kampus ke X, dan pertemuan Himpunan

Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial


(HIPIIS) di Universitas Sebelas Maret (UNS) pada

akhir Januari 2014, salah satu rekomendasi penting

dari pertemuan itu adalah menghidupkan kembali

GBHN dan mendorong MPR untuk menginisiasi

amandemen konstitusi guna mencantumkan

kembali kewenangan MPR menetapkan GBHN.

Negara dan Pembangunan

Negara dan pembangunan merupakan dua

konsep yang saling berkaitan. Dalam pandangan

kaum post stukturalis sebagaimana dikemukaan oleh

Foucault (2008:77) negara merupakan ‘‘the mobile

effect of a regime of multiple govemmentalities’’

efek bergerak dari sebuah rezim kepengaturan

yang bersifat multi ganda. Dengan konsepsi ini

maka pembangunan dapat dilihat sebagai efek

dari negara yang di dalamnya mengandung proses

benturan dan saling berlawanan di antara berbagai

aktor dalam mewujudkan sebuah kehendak untuk

memperbaiki atau dalam istilah Tania Li disebut

“the will to improve”.


Masa Penghabisan GBHN

Pascakejatuhan Orde Baru, sempat terjadi

kevakuman pelaksanaan pembangunan karena

adanya proses transisi politik tahun 1998-1999.

Dalam GBHN yang ditetapkan oleh MPR tahun

1998, semestinya pada tahun itu Indonesia sudah

memasuki Repelita VII. Namun krisis ekonomi

yang menghantam Indonesia memudarkan semua

impian rencana pembangunan yang telah disusun

sejak masa awal Orde Baru dengan istilah tinggal

landas6

. Para kritikus mengomentarinya dengan

istilah satir dari tinggal landas menjadi tinggal

di landasan.Tap MPR No. II/MPR/1998 tentang

GBHN yang merupakan produk era Orde Baru

kemudian dicabut dan diganti dengan Tap MPR

No.X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi

Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan

Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan

Negara. Pokok reformasi pembangunan ini agak

berbeda dengan kelaziman GBHN yang biasanya


ditetapkan oleh MPR untuk jangka waktu panjang

dan memang dibuat hanya untuk masa transisi

yang dilaksanakan oleh Presiden Habibie. Dalam

dokumen ini juga dijelaskan bahwa ketetapan

ini hanya berlaku untuk kurun waktu sampai

terselenggaranya Sidang Umum MPR hasil

pemilihan umum 1999.

GBHN dan Konsolidasi Negara

Kejatuhan Soekarno dari tampuk kekuasaan

menandai dimulainya era baru di bawah

kepemimpinan Presiden Soeharto yang kemudian

dikenal dengan era Orde Baru. Soeharto dengan

dibantu oleh para ekonom mulai menyusun berbagai

strategi rencana pembangunan untuk memulihkan

kondisi ekonomi yang sudah limbung. Soeharto

mengeluarkan Instruksi Presidium Kabinet No 15/

EK/IN/1967 yang menugaskan Bappenas untuk

membuat rencana pemulihan ekonomi. Bappenas

kemudian menghasilkan dokumen yang dinamakan

Rencana Pembangunan Lima Tahun I (Repelita

I), untuk kurun waktu tahun 1969 sampai dengan


tahun 1973. Era Repelita telah berlangsung sampai

dengan Repelita ke VI yang berakhir pada tahun

1998. Proses perencanaan pada era Repelita

selalu didasarkan kepada GBHN yang dihasilkan

oleh MPR yang bersidang lima tahun sekali

(Bratakusumah, 2003).

Selanjutnya pada kurun waktu 1969–1998

bangsa Indonesia berhasil menyusun rencana

pembangunan nasional secara sistematis melalui

tahapan lima tahunan. Pembangunan tersebut

merupakan penjabaran dari Garis-garis Besar

Anda mungkin juga menyukai