Anda di halaman 1dari 37

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK

INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2020 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN


WILAYAH, PERIZINAN, DAN PELAPORAN PADA KEGIATAN USAHA
PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARAPEMBERIAN IUP EKSPLORASI
DAN IUPK EKSPLORASI
Pasal 37
(1) IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf a diberikan oleh:
a. Menteri, apabila WIUP-nya:
1. berada pada lintas daerah provinsi;
2. berada pada wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah
laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan; atau
3. berbatasan langsung dengan negara lain; atau
b. gubernur, apabila WIUP-nya berada:
1. dalam 1 (satu) daerah provinsi; atau
2. pada wilayah laut sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut
lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
(2) Dalam hal wilayah laut antar dua daerah provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil laut,
kewenangan gubernur di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibagi sama
jarak atau diukur sesuai dengan prinsip garis tengah dari wilayah antardua daerah provinsi
tersebut.

PELAKSANAAN IUP EKSPLORASI ATAU IUPK EKSPLORASI


Pasal 41
(1) IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi meliputi tahapan kegiatan:
a. Penyelidikan Umum;
b. Eksplorasi; dan
c. Studi Kelayakan.
(2) IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk
jangka waktu paling lama:
a. 3 (tiga) tahun, untuk:
1. IUP Eksplorasi Mineral Bukan Logam; atau
2. IUP Eksplorasi Batuan.

PEMBERIAN IUP OPERASI PRODUKSI ATAU IUPK OPERASI PRODUKSI


Pasal 42
IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf c diberikan oleh: a.
Menteri, apabila lokasi Penambangan, lokasi pengolahan dan/atau pemurnian, serta lokasi
pelabuhan khusus:
1. berada pada lintas daerah provinsi; atau
2. berbatasan langsung dengan negara lain;
b. gubernur, apabila lokasi Penambangan, lokasi pengolahan dan/atau pemurnian, serta lokasi
pelabuhan khusus berada dalam 1 (satu) daerah provinsi.

TATA CARA PEMBERIAN IUP OPERASI PRODUKSI ATAU IUPK OPERASI PRODUKSI
Pasal 44
(1) IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi diberikan kepada Badan Usaha, koperasi,
atau perseorangan yang telah menyelesaikan tahap IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi.
(2) Setiap pemegang IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP
Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha
pertambangannya dengan mengajukan permohonan peningkatan menjadi IUP Operasi Produksi
atau IUPK Operasi Produksi kepada Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.

PELAKSANAAN IUP OPERASI PRODUKSI ATAU IUPK OPERASI PRODUKSI


Pasal 45
(1) IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi meliputi tahapan kegiatan:
a. Konstruksi;
b. Penambangan;
c. Pengolahan dan/atau Pemurnian; dan
d. Pengangkutan dan Penjualan
(2) IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan untuk jangka waktu paling lama:
a. 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun untuk IUP
Operasi Produksi batuan.
(3) Untuk mendapatkan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang IUP
Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi harus mengajukan permohonan kepada Menteri
atau gubernur sesuai dengan kewenangannya:
a. paling cepat 2 (dua) tahun dan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jangka
waktu IUP Operasi Produksi untuk permohonan perpanjangan:
1. IUP Operasi Produksi mineral bukan logam; atau
2. IUP Operasi Produksi batuan.

Pasal 63
Pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi sebelum melaksanakan kegiatan
operasi produksi wajib menyampaikan permohonan uji kesiapan (commissioning) kepada
Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 82
(1) Pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi,
IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, atau IUP Operasi Produksi
khusus untuk pengangkutan dan penjualan, dan IUJP wajib menyusun dan menyampaikan
laporan yang meliputi:
a. Laporan Berkala;
b. Laporan Akhir; dan/atau
c. Laporan Khusus.
(2) Laporan Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas laporan bulanan
dan laporan triwulan.

Pasal 83
(1) Pemegang IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi wajib menyusun dan menyampaikan
Laporan Berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf a kepada Menteri melalui
Direktur Jenderal atau gubernur sesuai dengan kewenangannya yang meliputi:
a. laporan atas RKAB Tahunan;
b. laporan kualitas air limbah pertambangan;
c. laporan statistik kecelakaan tambang dan kejadian berbahaya;
d. laporan statistik penyakit tenaga kerja;
e. laporan pelaksanaan reklamasi dalam rangka pelepasan atau pencairan jaminan reklamasi; dan
f. laporan audit internal penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan Mineral dan
Batubara, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi wajib menyusun dan
menyampaikan Laporan Berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf a kepada
Menteri melalui Direktur Jenderal atau gubernur sesuai dengan kewenangannya yang meliputi:
a. laporan atas RKAB Tahunan;
b. laporan kualitas air limbah pertambangan;
c. laporan konservasi;
d. laporan statistik kecelakaan tambang dan kejadian berbahaya;
e. laporan statistik penyakit tenaga kerja;
f. laporan pelaksanaan reklamasi dalam rangka pelepasan atau pencairan jaminan reklamasi; g.
laporan pelaksanaan pascatambang dalam rangka pencairan jaminan pascatambang; dan
h. laporan audit internal penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan Mineral dan
Batubara.
(3) Pemegang IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi wajib menyusun dan menyampaikan
Laporan Akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf b kepada Menteri melalui
Direktur Jenderal atau gubernur sesuai dengan kewenangannya yang meliputi:
a. laporan lengkap Eksplorasi; dan
b. laporan Studi Kelayakan.
(4) Pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi wajib menyusun dan
menyampaikan Laporan Akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf b kepada
Menteri melalui Direktur Jenderal atau gubernur sesuai dengan kewenangannya yang meliputi:
a. laporan pelaksanaan pemasangan tanda batas; dan
b. laporan akhir kegiatan operasi produksi.
Pasal 92
Pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi wajib menyampaikan perubahan
Laporan Studi Kelayakan jika terdapat perubahan variabel teknis, ekonomis, dan lingkungan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 101
(1) Pemegang Kontrak Karya mineral logam yang akan melakukan perubahan bentuk
pengusahaan pertambangan menjadi IUPK Operasi Produksi harus mengajukan permohonan
kepada Menteri melalui Direktur Jenderal.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi:
a. peta dan batas koordinat wilayah dengan luas sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. bukti pelunasan iuran tetap dan iuran produksi; dan
c. RKAB Tahunan.

Pasal 102
(1) Direktur Jenderal atas nama Menteri melakukan evaluasi terhadap permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 101.
(2) Menteri memberikan IUPK Operasi Produksi berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam hal pemohon IUPK Operasi Produksi telah memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 103
(1) IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 diberikan dengan ketentuan:
a. perpanjangan pertama diberikan dengan jangka waktu:
1. sesuai sisa jangka waktu kontrak karya mineral logam; dan
2. sesuai jangka waktu perpanjangan pertama selama 10 (sepuluh) tahun; dan
b. dapat diberikan perpanjangan kedua selama 10 (sepuluh) tahun.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK I NDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2020 TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG
PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

Pasal 1
Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan Usaha Pertambangan untuk memperoleh informasi
secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis dan teknis
Usaha Pertambangan, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan
pascatambang.

Pasal 22
Wilayah dalam WP yang dapat ditentukan sebagai WPR harus memenuhi kriteria:
a. mempunyai cadangan Mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan
tepi sungai;
b. mempunyai cadangan primer Mineral logam dengan kedalaman maksimal 100 (seratus) meter;
c. endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba;
d. luas maksimal WPR adalah 100 (seratus) hektare;
e. menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang; dan/atau
f. memenuhi kriteria pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan Usaha Pertambangan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 36
(1) IUP terdiri atas dua tahap kegiatan:
a. Eksplorasi yang meliputi kegiatan PenyelidikanUmum, Eksplorasi, dan Studi Kelayakan; dan
b. Operasi Produksi yang meliputi kegiatanKonstruksi, Penambangan, Pengolahan
dan/atauPemurnian atau Pengembangan dan/atau Pemanfaatan, serta Pengangkutan dan
Penjualan.
(2) Pemegang IUP dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan Usaha Pertambangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 38
IUP diberikan kepada:
a. Badan Usaha;
b. koperasi; atau
c. perusahaan perseorangan.
Pasal 39
IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) paling sedikit memuat:
a. profil perusahaan;
b. lokasi dan luas wilayah;
c. jenis komoditas yang diusahakan;
d. kewajiban menempatkan jaminan kesungguhanEksplorasi;
e. modal kerja;
f. jangka waktu berlakunya IUP;
g. hak dan kewajiban pemegang IUP;
h. perpanjangan IUP;
i. kewajiban penyelesaian hak atas tanah;
j. kewajiban membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah, termasuk kewajiban iuran
tetap dan iuran produksi;
k. kewajiban melaksanakan Reklamasi dan Pascatambang;
1. kewajiban menyusun dokumen lingkungan; dan
m. kewajiban melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar WIUP.

Pasal 40
(1) IUP diberikan untuk 1 (satu)jenis Mineral atau Batubara.
(2) Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memiliki lebih dari 1 (satu) IUP
dan/atau IUPK.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya berlaku bagi:
a. IUP dan/atau IUPK yang dimiliki oleh BUMN; atau
b. IUP untuk komoditas Mineral bukan logam dan/atau batuan.

Pasal 42
Jangka waktu kegiatan Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a
diberikan selama:
a. 3 (tiga) tahun untuk Pertambangan batuan;

Pasal 47
Jangka waktu kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b
diberikan dengan ketentuan:
a. Untuk Pertambangan batuan paling lama 5 (lima) tahundan dijamin memperoleh
perpanjangan 2 (dua) kalimasing-masing 5 (lima) tahun setelah memenuhipersyaratan sesuai
dengan ketentuan peraturanperundang-undangan.

Pasal 57
WIUP batuan diberikan kepada Badan Usaha, koperasi, atau perusahaan perseorangan dengan
cara permohonan wilayah kepada Menteri.
Pasal 58
(1) Pemegang IUP pada tahap kegiatan Eksplorasi batuan diberi WIUP paling luas 5.000 (lima
ribu) hektare.
(2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP batuan dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk
mengusahakan komoditas tambang Mineral bukan logam atau batuan lain yang keterdapatannya
berbeda.
(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mendapatkan
persetujuan dari pemegang IUP pertama.
(4) Dalam hal tidak terdapat pihak lain untuk mengusahakan Mineral bukan logam atau batuan
lain yang keterdapatannya berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang IUP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki IUP untuk mengusahakan Mineral bukan
logam atau batuan lain yang keterdapatannya berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

BAB XIA
SURAT IZIN PENAMBANGAN BATUAN

Pasal 86A
(1) SIPB diberikan untuk pengusahaan pertambangan batuan jenis tertentu atau untuk keperluan
tertentu.
(2) SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterbitkan kepada:
a. badan usaha milik daerah/badan usaha milik desa;
b. Badan Usaha swasta dalam rangka penanaman modal dalam negeri;
c. koperasi; atau
d. perusahaan perseorangan
(3) SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri berdasarkan permohonan
dari badan usaha milik daerah/badan usaha milik desa, Badan Usaha swasta dalam rangka
penanaman modal dalam negeri, koperasi, atau perusahaan perseorangan, yang
telah memenuhi persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial.
(4) Selain persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), permohonan SIPB harus dilengkapi dengan koordinat dan luas wilayah batuan
jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu yang dimohon.
(5) SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tahap kegiatan perencanaan,
Penambangan, Pengolahan, serta Pengangkutan dan Penjualan.
(6) Pemegang SIPB dapat langsung melakukan Penambangan setelah memiliki dokumen
perencanaan Penambangan.
(7) Dokumen perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) terdiri atas:
a. dokumen teknis yang memuat paling sedikit informasi cadangan dan rencana Penambangan;
dan
b. dokumen lingkungan hidup.

Pasal 86B
SIPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86A harus memuat paling sedikit:
a. nama pemegang SIPB;
b. nomor pokok wajib pajak;
c. lokasi dan luas wilayah;
d. modal kerja;
e. jenis komoditas tambang;
f. jangka waktu berlakunya SIPB; dan
g. hak dan kewajiban pemegang SIPB.

Pasal 86C
Pemegang SIPB dapat diberikan wilayah paling luas 50 (lima puluh) hektare.

Pasal 86E
Pemegang SIPB berhak:
a. mendapat pembinaan di bidang keselamatan Pertambangan, lingkungan, teknis Pertambangan,
dan manajemen dari Menteri;
b. memiliki batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu yang telah diproduksi setelah
membayar pajak daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan ; dan
b. melakukan Usaha Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 86F
Pemegang SIPB wajib:
a. menerapkan kaidah Pertambangan yang baik;
b. menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan; dan
c.menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan SIPB kepada Menteri.

Pasal 86G
Pemegang SIPB dilarang:
a. memindahtangankan SIPB kepada pihak lain; atau
b. menggunakan bahan peledak dalam pelaksanaan kegiatan Penambangan;

Pasal 93
(1) Pemegang IUP dan IUPK dilarang memindahtangankan IUP dan IUPK kepada pihak lain
tanpa persetujuan Menteri.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan setelah Pemegang IUP dan
IUPK memenuhi persyaratan paling sedikit:
a. telah selesai melakukan kegiatan Eksplorasi yang dibuktikan dengan ketersediaan data sumber
daya dan cadangan; dan
b. memenuhi persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial.

Pasal 99
(1) Pemegang IUP atau IUPK wajib menyusun dan menyerahkan rencana Reklamasi dan/atau
rencana Pascatambang.
(2) Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan
Pascatambang.
(3) Dalam pelaksanaan Reklamasi yang dilakukan sepanjang tahapan Usaha Pertambangan,
pemegang IUP atau IUPK wajib:
a. memenuhi keseimbangan antara lahan yang akan dibuka dan lahan yang sudah direklamasi;
dan
b. melakukan pengelolaan lubang bekas tambang akhir dengan batas paling luas sesuai
denganketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pemegang IUP atau IUPK wajib menyerahkan lahan yang telah dilakukan Reklamasi
dan/atau Pascatambang kepada pihak yang berhak melalui Menteri sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 102
(1) Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi wajib meningkatkan nilai
tambah Mineral dalam kegiatan Usaha Pertambangan melalui:
a. Pengolahan untuk komoditas tambang batuan.
(2) Peningkatan nilai tambah Mineral melalui kegiatan Pengolahan dan/atau Pemurnian
sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) wajib memenuhi batasan minimum Pengolahan danf atau
Pemurnian, dengan mempertimbangkan antara lain:
a. peningkatan nilai ekonomi; dan/atau
b. kebutuhan pasar.

Pasal 119
IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri jika:
a. pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK
serta ketentuan peraturan perundang-undangan ;
b. pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang ini; atau
c. pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit.

Pasal 123A
(1) Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan OperasiProduksi sebelum menciutkan atau
mengembalikan WIUP atau WIUPK wajib melaksanakan Reklamasi dan Pascatambang hingga
mencapai tingkat keberhasilan
100% (seratus persen).
(2) Eks pemegang IUP atau IUPK yang IUP atau IUPK berakhir wajib melaksanakan Reklamasi
dan Pascatambang hingga mencapai tingkat keberhasilan 100% (seratus persen) serta
menempatkan dana jaminan Reklamasi dan/atau dana jaminan Pascatambang.

Pasal 140
Menteri melakukan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan yang dilakukan
oleh pemegang IUP, IUPK, IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/ Perjanjian, IPR,
SIPB,lzin Pengangkutan dan Penjualan, atau IUJP.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 78 TAHUN 2010
TENTANG
REKLAMASI DAN PASCATAMBANG

PRINSIP REKLAMASI DAN PASCATAMBANG


Pasal 2
(1) Pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi wajib melaksanakan reklamasi,
(2) Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib melaksanakan reklamasi
dan pascatambang.
(3) Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap lahan terganggu pada
kegiatan eksplorasi.
(4) Reklamasi dan pascatambang sebagaimana dimakdud pada ayat (2) dilakukan terhadap lahan
terganggu pada kegiatan pertambangan dengan sistem dan metode:
a. penambangan terbuka; dan
b. penambangan bawah tanah.

Pasal 3
(1) Pelaksanaan reklamasi oleh pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi wajib memenuhi
prinsip:
a. perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pertambangan; dan
b. keselamatan dan kesehatan kerja
(2) Pelaksanaan reklamasi dan pascatambang oleh pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK
Operasi Produksi wajib memenuhi prinsip:
a. perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pertambangan;
b. keselamatan dan kesehatan kerja; dan
c. konservasi mineral dan batubara.

Pasal 4
(1) Prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pertambangan paling sedikit
meliputi:
a. perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air laut, dan tanah serta udara
berdasarkan standar baku mutu atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. perlindungan dan pemulihan keanekaragaman hayati;
c. penjaminan terhadap stabilitas dan keamanan timbunan batuan penutup, kolam tailing, lahan
bekas tambang, dan struktur buatan lainnya;
d. pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai dengan peruntukannya;
e. memperhatikan nilai-nilai sosial dan budaya setempat; dan
f. perlindungan terhadap kuantitas air tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

TATA LAKSANA REKLAMASI DAN PASCATAMBANG


Pasal 6
(1) Pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi yang telah menyelesaikan kegiatan studi
kelayakan harus mengajukan permohonan persetujuan rencana reklamasi dan rencana
pascatambang kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
bersamaan dengan pengajuan permohonan IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi.
(3) Rencana reklamasi dan rencana pascatambang harus sesuai dengan:
a. prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal3;
b. sistem dan metode penambangan berdasarkan studi
kelayakan;
c. kondisi spesifik wilayah izin usaha pertambangan; dan
d. ketentuan peraturan perundang-undangan.

Rencana Reklamasi
Pasal 7
(1) Rencana reklarnasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 disusun untuk jangka waktu 5
(lima) tahun.
(2) Dalam rencana reklarnasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat rencana reklamasi
untuk masing-masing tahun.
(3) Dalam ha1 umur tambang kurang dari 5 (lima) tahun, rencana reklamasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai dengan umur tambang.
(4) Rencana reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (I), ayat (2), dan ayat (3) paling sedikit
memuat:
a. tata guna lahan sebelum dan sesudah ditambang;
b. rencana pembukaan lahan;
c. program reklamasi terhadap lahan terganggu yang meliputi lahan bekas tambang dan lahan di
luar bekas tambang yang bersifat sementara dm/ atau permanen;
d. kriteria keberhasilan meliputi standar keberhasilan penataan lahan, revegetasi, pekerjaan sipil,
dan penyelesaian akhir; dan
e. rencana biaya reklarnasi terdiri atas biaya langsung dan biaya tidak langsung.

Rencana Pascatambang
Pasal 10
Rencana pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 memuat:
a. profil wilayah, meliputi lokasi dan aksesibilitas wilayah, kepemilikan dan peruntukan lahan,
rona lingkungan awal, dan kegiatan usaha lain di sekitar tambang;
b. deskripsi kegiatan pertarnbangan, meliputi keadaan cadangan awal, sistem dan metode
penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta fasilitas penunjang;
c. rona lingkungan akhir lahan pascatambang, meliputi keadaan cadangan tersisa, peruntukan
lahan, morfologi, air permukaan dan air tanah, serta biologi akuatik dan teresterial;
d. program pascatarnbang, meliputi:
1. reklamasi pada lahan bekas tarnbang dan lahan di luar bekas tambang;
2. pemeliharaan hasil reklamasi;
3. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat; dan
4. pemantauan.
e. organisasi termasuk jadwal pelaksanaan pascatambang;
f. kriteria keberhasilan pascatambang; dan
g. rencana biaya pascatambang meliputi biaya langsung dan biaya tidak langsung.

Pasal 11
Pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi dalarn menyusun rencana pascatambang harus
berkonsultasi dengan instansi Pemerintah, instansi pemerintah provinsi dan/atau instansi
pemerintah kabupaten/kota yang membidangi pertambangan mineral dan batubara, instansi
terkait lainnya, dan masyarakat.

Reklamasi Tahap Eksplorasi


Pasal 19
(1) Pelaksanaan reklamasi pada lahan terganggu akibat kegiatan eksplorasi dilakukan pada lahan
yang tidak digunakan pada tahap operasi produksi.
(2) Lahan terganggu akibat kegiatan eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
lubang pengeboran, sumur uji, parit uji, dan/ atau sarana penunjang.
(3) Pelaksanaan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai memenuhi
kriteria keberhasilan.

Reklamasi dan Pascatambang Tahap Operasi Produksi


Pasal 20
(1) Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib melaksanakan reklamasi
dan pascatambang sesuai dengan rencana reklamasi dan rencana pascatambang sampai
memenuhi kriteria keberhasilan.
(2) Dalam melaksanakan reklamasi dan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (I),
pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi haas menunjuk pejabat
yang bertanggung jawab atas pelaksanaan reklamasi dan pascatambang.

Pasal 21
Pelaksanaan reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20 wajib dilakukan
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah tidak ada kegiatan usaha pertambangan pada
lahan terganggu.

Pelaporan dan Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang


Pasal 22
(1) Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib menyampaikan laporan
pelaksanaan kegiatan reklamasi setiap 1 (satu) tahun kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan evaluasi
terhadap laporanpelaksanaan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dalam jangka waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak diterimanya laporan.

Pasal 25
(1) Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib melaksanakan
pascatambang setelah sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan berakhir.
(2) Dalam hal seluruh kegiatan. usaha pertambangan berakhir sebelum jangka waktu yang
ditentukan dalam rencana pascatambang, pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi
Produksi wajib melaksanakan pascatambang.
(3) Pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dilakukan dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah sebagian atau seluruh kegiatan
usaha pertambangan berakhir.

Pasal 26
(1) Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib menyampaikan laporan
pelaksanaan pascatambang setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan evaluasi
terhadap laporan pelaksanaan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dalarn jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak diterimanya laporan.

Pasal 29
(1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyediakan:
a. jaminan reklamasi; dan
b. jaminan pascatambang.
(2) Jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. jaminan reklamasi tahap eksplorasi; dan
b. jaminan reklamasi tahap operasi produksi.

UU No. 4 Tahun 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

Pasal 36
1. IUP terdiri atas dua tahap:
a. IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan;
b. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
2. Pemegang IUP Eksplorasi dan pemegang IUP Operasi Produksi dapat melakukan sebagian
atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 37
IUP diberikan oleh:
a. bupati/walikota apabila WIUP berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota;
b. gubernur apabila WIUP berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu)
provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan; dan
c. Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah provinsi setelah mendapatkan
rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 39
1. IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a wajib memuat
ketentuan sekurangkurangnya:
a. nama perusahaan;
b. lokasi dan luas wilayah;
c. rencana umum tata ruang;
d. jaminan kesungguhan;
e. modal investasi;
f. perpanjangan waktu tahap kegiatan;
g. hak dan kewajiban pemegang IUP;
h. jangka waktu berlakunya tahap kegiatan;
i. jenis usaha yang diberikan;
j. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan;
k. perpajakan;
l. penyelesaian perselisihan;
m. iuran tetap dan iuran eksplorasi; dan
n. amdal.

2. IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b wajib memuat
ketentuan sekurang-kurangnya:
a. nama perusahaan;
b. luas wilayah;
c. lokasi penambangan;
d. lokasi pengolahan dan pemurnian;
e. pengangkutan dan penjualan;
f. modal investasi;
g. jangka waktu berlakunya IUP;
h. jangka waktu tahap kegiatan;
i. penyelesaian masalah pertanahan;
j. lingkungan hidup termasuk reklamasi dan pascatambang;
k. dana jaminan reklamasi dan pascatambang;
l. perpanjangan IUP;
m. hak dan kewajiban pemegang IUP;
n. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan;
o. perpajakan;
p. penerimaan negara bukan pajak yang terdiri atas iuran tetap dan iuran produksi;
q. penyelesaian perselisihan;
r. keselamatan dan kesehatan kerja;
s. konservasi mineral atau batubara;
t. pemanfaatan barang, jasa, dan teknologi dalam negeri;
u. penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan pertambangan yang baik;
v. pengembangan tenaga kerja Indonesia;
w. pengelolaan data mineral atau batubara; dan
x. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan mineral atau batubara.

Pasal 42
(3) IUP Eksplorasi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 3
(tiga) tahun.

Pasal 47
(4) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu
paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun.

Pasal 48
IUP Operasi Produksi diberikan oleh:
a. bupati/walikota apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta
pelabuhan berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota;
b. gubernur apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan
berada di dalam wilayah kabupaten/kota yang berbeda setelah mendapatkan rekomendasi dari
bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan
c. Menteri apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan
berada di dalam wilayah provinsi yang berbeda setelah mendapatkan rekomendasi dari
gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.

Pertambangan Batuan
Pasal 57
WIUP batuan diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara
permohonan wilayah kepada pemberi izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.

Pasal 58
(1) Pemegang IUP Eksplorasi batuan diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5 (lima) hektare
dan paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare.
(2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batuan dapat diberikan IUP kepada
pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda.
(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah
mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama.

Pasal 59
Pemegang IUP Operasi Produksi batuan diberi WIUP dengan luas paling banyak 1.000
(seribu) hektare.

PERSYARATAN PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN


Pasal 64
Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban
mengumumkan rencana kegiatan usaha pertambangan di WIUP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 serta memberikan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 kepada masyarakat secara terbuka.

Pasal 65
(1) Badan usaha, koperasi, dan perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Pasal
54, Pasal 57, dan Pasal 60 yang melakukan usaha pertambangan wajib memenuhi persyaratan
administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan
lingkungan, dan persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan pemerintah.

Kewajiban
Pasal 95
Pemegang IUP dan IUPK wajib:
a. menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik;
b. mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi Indonesia;
c. meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara;
d. melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; dan
e. mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan.

Pasal 96
Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik, pemegang IUP dan IUPK wajib
melaksanakan:
a. ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan;
b. keselamatan operasi pertambangan;
c. pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan
pascatambang;
d. upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara;
e. pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan dalam bentuk padat, cair,
atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media
lingkungan.

Pasal 97
Pemegang IUP dan IUPK wajib menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan
sesuai dengan karakteristik suatu daerah.

Pasal 98
Pemegang IUP dan IUPK wajib menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air
yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 99
(1) Setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana
pascatambang pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi
Produksi.
(2) Pelaksanaan reklamasi dan kegiatan pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan
lahan pascatambang.
(3) Peruntukan lahan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan dalam
perjanjian penggunaan tanah antara pemegang IUP atau IUPK dan pemegang hak atas tanah.

Pasal 100
(1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan
pascatambang.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan
pihak ketiga untuk melakukan reklamasi dan pascatambang dengan dana jaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan apabila pemegang IUP atau
IUPK tidak melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana yang telah
disetujui.

Pasal 101
Ketentuan lebih lanjut mengenai reklamasi dan pascatambang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 99 serta dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 100 diatur dengan peraturan pemerintah.

PENGHENTIAN SEMENTARA KEGIATAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN


IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS
Pasal 113
(1) Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan dapat diberikan kepada pemegang
IUP dan IUPK apabila terjadi: a. keadaan kahar; b. keadaan yang menghalangi sehingga
menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan; c. apabila
kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menanggung beban kegiatan
operasi produksi sumber daya mineral dan/atau batubara yang dilakukan di wilayahnya.
(2) Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak mengurangi masa berlaku IUP atau IUPK.
(3) Permohonan penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b disampaikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.
(4) Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan oleh
inspektur tambang atau dilakukan berdasarkan permohonan masyarakat kepada Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(5) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib
mengeluarkan keputusan tertulis diterima atau ditolak disertai alasannya atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak menerima
permohonan tersebut.

Perlindungan Masyarakat
Pasal 145
(1) Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan
berhak: a. memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan
pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. mengajukan
gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang
menyalahi ketentuan.
(2) Ketentuan mengenai perlindungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIANOMOR 23 TAHUN 2010
TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN
BATUBARA

IZIN USAHA PERTAMBANGAN


Pasal 3
1. Usaha pertambangan dilakukan berdasarkan IUP, IPR, atau IUPK.
2. IUP, IPR, atau IUPK diberikan dalam WIUP untuk IUP, WPR untuk IPR, atau WIUPK untuk
IUPK.
3. WIUP berada dalam WUP yang ditetapkan oleh Menteri.
4. WPR ditetapkan oleh bupati/walikota.
5. WIUPK berada dalam WUPK yang ditetapkan oleh Menteri.
6. WUP, WPR, atau WUPK berada dalam WP.
7. Ketentuan mengenai WP diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri.

Pasal 6
 IUP diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
berdasarkan permohonan yang diajukan oleh:
a. badan usaha : badan usaha swasta, BUMN, atau BUMD
b. koperasi
c. perseorangan : orang perseorangan, perusahaan firma, atauperusahaan komanditer
 IUP diberikan setelah mendapatkan WIUP
 Dalam 1 (satu) WIUP dapat diberikan 1 (satu) atau beberapa IUP

Pasal 7
IUP diberikan melalui tahapan: a. pemberian WIUP; dan b. pemberian IUP

Pasal 9
 Dalam 1 (satu) WUP dapat terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUP.
 Setiap pemohon hanya dapat diberikan 1 (satu) WIUP.

Pasal 23
Persyaratan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi meliputi persyaratan:
a. administratif;
b. teknis;
c. lingkungan; dan
d. finansial.

Pasal 24
Persyaratan administratifuntukbadan usaha IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral
bukan logam dan batuan:
1. surat permohonan;
2. profil badan usaha;
3. akte pendirian badan usaha yang bergerak di bidang usaha pertambangan yang telah disahkan
oleh pejabat yang berwenang;
4. nomor pokok wajib pajak;
5. susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan
6. surat keterangan domisili.

Pasal 25
Persyaratan teknis
a. IUP Eksplorasi meliputi
1. daftar riwayat hidup dan surat pernyataan tenaga ahli pertambangan dan/atau geologi
yang berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun;
2. peta WIUP yang dilengkapi dengan batas koordinat geografis lintang dan bujur sesuai
dengan ketentuan sistem informasi geografi yang berlaku secara nasional.
b. IUP Operasi Produksi, meliputi:
1. peta wilayah dilengkapi dengan batas koordinat geografis lintang dan bujur sesuai dengan
ketentuan sistem informasi geografi yang berlaku secara nasional;
2. laporan lengkap eksplorasi;
3. laporan studi kelayakan;
4. rencana reklamasi dan pascatambang;
5. rencana kerja dan anggaran biaya;
6. rencana pembangunan sarana dan prasarana penunjang kegiatan operasi produksi; dan
7. tersedianya tenaga ahli pertambangan dan/atau geologi yang berpengalaman paling
sedikit 3 (tiga) tahun.
Pasal 26
Persyaratan lingkungan meliputi:
a. untuk IUP Eksplorasi meliputi pernyataan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
b. untuk IUP Operasi Produksi meliputi:
1. pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuanperaturan perundang-undangan di
bidang perlindungandan pengelolaan lingkungan hidup; dan
2. persetujuan dokumen lingkungan hidup sesuai denganketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 27
Persyaratan finansial untuk:
a. IUP Eksplorasi, meliputi:
1. bukti penempatan jaminan kesungguhan pelaksanaankegiatan eksplorasi; dan
2. bukti pembayaran harga nilai kompensasi data informasi hasil lelang WIUP mineral
logam atau batubara sesuai dengan nilai penawaran lelang atau bukti pembayaran biaya
pencadangan wilayah dan pembayaran pencetakan peta WIUP mineral bukan logam atau
batuan atas permohonan wilayah.
b. IUP Operasi Produksi, meliputi:
1. laporan keuangan tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik;
2. bukti pembayaran iuran tetap 3 (tiga) tahun terakhir; dan
3. bukti pembayaran pengganti investasi sesuai dengan nilai penawaran lelang bagi
pemenang lelang WIUP yang telah berakhir.

Pasal 28
IUP Eksplorasidiberikan oleh:
a. Menteri, untuk WIUP yang berada dalam lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut
lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;
b. gubernur, untuk WIUP yang berada dalam lintaskabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi
dan/atau wilayahlaut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil darigaris pantai;
dan
c. bupati/walikota, untuk WIUP yang berada dalam 1 (satu)wilayah kabupaten/kota
dan/atau wilayah laut sampaidengan 4 (empat) mil dari garis pantai.

Pasal 29
1. IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 diberikan berdasarkan
permohonan dari badan usaha, koperasi, dan perseorangan yang telah mendapatkan
WIUP dan memenuhi persyaratan.
2. IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.

Pasal 31
1. Menteri menyampaikan penerbitan peta WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan
yang diajukan oleh badan usaha, koperasi, atau perseorangan kepada gubernur dan
bupati/ walikota untuk mendapatkan rekomendasi dalam rangka penerbitan IUP
Eksplorasi mineral bukan logam dan/atau batuan
2. Gubernur menyampaikan penerbitan peta WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan
yang diajukan oleh badan usaha, koperasi, atau perseorangan kepada bupati/walikota
untuk mendapatkan rekomendasi dalam rangka penerbitan IUP Eksplorasi mineral bukan
logam dan/atau batuan.
3. Gubernur atau bupati/walikota memberikan rekomendasi dalam jangka waktu paling
lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya tanda bukti penyampaian peta WIUP mineral
bukan logam dan/atau batuan.

Pasal 32
1. Badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang telah mendapatkan peta WIUP beserta
batas dan koordinatsebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dalam jangka waktupaling
lambat 5 (lima) hari kerja setelah penerbitan petaWIUP mineral bukan logam dan/atau
batuan harusmenyampaikan permohonan IUP Eksplorasi kepada Menteri,gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengankewenangannya.
2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajibmemenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
3. Apabila badan usaha, koperasi, atau perseorangansebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam jangka waktu 5(lima) hari kerja tidak menyampaikan permohonan IUP,dianggap
mengundurkan diri dan uang pencadanganwilayah menjadi milik Pemerintah atau milik
pemerintahdaerah.
4. Dalam hal badan usaha, koperasi, atau perseorangansebagaimana dimaksud pada ayat (3)
telah dianggapmengundurkan diri maka WIUP menjadi wilayah terbuka.

Pasal 33
Pemegang IUP Eksplorasi dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUP kepada
Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya untuk menunjang usaha
kegiatan pertambangannya.

Pasal 34
1. IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal22 ayat (1) huruf b diberikan
kepada badan usaha, koperasi,dan perseorangan sebagai peningkatan dari
kegiataneksplorasi.
2. Pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUPOperasi Produksi sebagai
peningkatan dengan mengajukanpermohonan dan memenuhi persyaratan
peningkatanoperasi produksi.
3. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, sertapengangkutan dan penjualan.
4. IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)diberikan kepada badan
usaha, koperasi, dan perseoranganyang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalamPasal 23.

Pasal 35
1. IUP Operasi Produksi diberikan oleh:
a. bupati/walikota, apabila lokasi penambangan, lokasipengolahan dan pemurnian, serta
pelabuhan berada didalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota atau wilayah lautsampai
dengan 4 (empat) mil dari garis pantai;
b. gubernur, apabila lokasi penambangan, lokasipengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan
berada didalam wilayah kabupaten/kota yang berbeda dalam 1 (satu) provinsi atau
wilayah laut sampai dengan 12 (duabelas) mil dari garis pantai setelah
mendapatrekomendasi dari bupati/walikota;
c. Menteri, apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahandan pemurnian, serta pelabuhan
berada di dalam wilayahprovinsi yang berbeda atau wilayah laut lebih dari 12(dua belas)
mil dari garis pantai setelah mendapatrekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota
setempatsesuai dengan kewenangannya.
2. Dalam hal lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian serta pelabuhan berada di
dalam wilayah yang berbeda serta kepemilikannya juga berbeda maka IUP Operasi Produksi
masing-masing diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.

Pasal 36
Dalam hal pemegang IUP Operasi Produksi tidak melakukan kegiatan pengangkutan dan
penjualan dan/atau pengolahan dan pemurnian, kegiatan pengangkutan dan penjualan dan/atau
pengolahan dan pemurnian dapat dilakukan oleh pihak lain yang memiliki:
a. IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan;
b. IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan pemurnian; dan/atau
c. IUP Operasi Produksi.

Pasal 37
1. IUP Operasi Produksi khusus sebagaimana dimaksud dalamPasal 36 huruf a diberikan oleh:
a. Menteri apabila kegiatan pengangkutan dan penjualandilakukan lintas provinsi dan
negara;
b. gubernur apabila kegiatan pengangkutan dan penjualandilakukan lintas kabupaten/kota;
c. bupati/walikota apabila kegiatan pengangkutan danpenjualan dalam 1 (satu)
kabupaten/kota.
2. IUP Operasi Produksi khusus sebagaimana dimaksud dalamPasal 36 huruf b diberikan oleh:
a. Menteri, apabila komoditas tambang yang akan diolahberasal dari provinsi lain dan/atau
lokasi kegiatanpengolahan dan pemurnian berada pada lintas provinsi;
b. gubernur, apabila komoditas tambang yang akan diolah berasal dari beberapa
kabupaten/kota dalam 1 (satu)provinsi dan/atau lokasi kegiatan pengolahan
danpemurnian berada pada lintas kabupaten/kota; atau
c. bupati/walikota, apabila komoditas tambang yang akandiolah berasal dari 1 (satu)
kabupaten/kota dan/ataulokasi kegiatan pengolahan dan pemurnian berada pada 1(satu)
kabupaten/kota.
3. Dalam hal komoditas tambang yang akan diolahsebagaimana dimaksud pada ayat (2) berasal
dari impor, IUPOperasi Produksi khusus untuk pengolahan dan pemurniandiberikan oleh
Menteri.
Pasal 42
Pemasangan Tanda Batas
1. Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diperolehnya IUP Operasi Produksi, pemegang
IUP Operasi Produksi wajib memberikan tanda batas wilayah dengan memasang patok pada
WIUP.
2. Pembuatan tanda batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai sebelum dimulai
kegiatan operasi produksi
3. Dalam hal terjadi perubahan batas wilayah pada WIUP Operasi Produksi, harus dilakukan
perubahan tanda batas wilayah dengan pemasangan patok baru pada WIUP.

Pasal 45
Perpanjangan IUP Operasi Produksi
1. Permohonan perpanjangan IUP Operasi Produksi diajukankepada Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuaidengan kewenangannya paling cepat dalam jangka waktu 2(dua)
tahun dan paling lambat dalam jangka waktu 6 (enam)bulan sebelum berakhirnya jangka
waktu IUP.
2. Permohonan perpanjangan IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud paling sedikit
harus dilengkapi:
a. peta dan batas koordinat wilayah;
b. bukti pelunasan iuran tetap dan iuran produksi 3 (tiga) tahun terakhir;
c. laporan akhir kegiatan operasi produksi;
d. laporan pelaksanaan pengelolaan lingkungan;
e. rencana kerja dan anggaran biaya; dan
f. neraca sumber daya dan cadangan.
3. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menolak
permohonan perpanjanganIUP Operasi Produksi apabila pemegang IUP OperasiProduksi
berdasarkan hasil evaluasi, pemegang IUP Operasi Produksi tidak menunjukkan kinerja
operasi produksi yang baik.
4. Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disampaikan kepada pemegang
IUP Operasi Produksi palinglambat sebelum berakhirnya IUP Operasi Produksi.
5. Pemegang IUP Operasi Produksi hanya dapat diberikan perpanjangan sebanyak 2 (dua)
kali.
6. Pemegang IUP Operasi Produksi yang telah memperoleh perpanjangan IUP Operasi
Produksi sebanyak 2 (dua) kali, harus mengembalikan WIUP Operasi Produksi kepada
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 46
1. Pemegang IUP Operasi Produksi yang telah memperolehperpanjangan IUP Operasi
Produksi sebanyak 2 (dua) kalisebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (6),
dalamjangka waktu 3 (tiga) tahun sebelum jangka waktu masaberlakunya IUP
berakhir, harus menyampaikan kepadaMenteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengankewenangannya mengenai keberadaan potensi dan cadanganmineral atau
batubara pada WIUP-nya.
2. WIUP yang IUP-nya akan berakhir sebagaimana dimaksudpada ayat (1) sepanjang
masih berpotensi untukdiusahakan, WIUPnya dapat ditawarkan kembali
melaluimekanisme lelang atau permohonan wilayah sesuai denganketentuan dalam
Peraturan Pemerintah ini.
3. Dalam pelaksanaan lelang WIUP sebagaimana dimaksudpada ayat (2) pemegang IUP
sebelumnya mendapat hakmenyamai.

Pasal 76
Penghentian Sementara Kegiatan Usaha Pertambangan
1. Kegiatan usaha pertambangan dapat dilakukan penghentiansementara apabila terjadi:
a. keadaan kahar;
b. keadaan yang menghalangi; dan/atau
c. kondisi daya dukung lingkungan.
2. Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak mengurangi masa berlaku IUP dan IUPK.
3. Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b,
penghentian sementara dilakukan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan permohonan dari pemegang IUP atau IUPK.
4. Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, penghentian
sementara dilakukan oleh:
a. inspektur tambang;
b. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan
permohonan dari masyarakat.

Pasal 77
1. Penghentian sementara karena keadaan kahar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat
(1) huruf a harus diajukan oleh pemegang IUP atau IUPK dalam jangka waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari kalender sejak terjadinya keadaan kahar kepada Menteri,
gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya untuk memperoleh
persetujuan.
2. Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka
waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali.
3. Penghentian sementara karena keadaan yang menghalangi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76 ayat (1) huruf b diberikan 1 (satu) kali dengan jangka waktu 1 (satu) tahun dan
dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka waktu 1 (satu) tahun pada setiap tahapan
kegiatan dengan persetujuan Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
4. Apabila jangka waktu penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah
berakhir, dapat diberikan perpanjangan jangka waktu penghentian sementara dalam hal
terkait perizinan dari instansi lain.

Pasal 78
Permohonan perpanjangan penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
ayat (3) diajukan secara tertulis dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kalender sebelum berakhirnya izin penghentian sementara.

Pasal 79
1. Pemegang IUP dan IUPK yang telah diberikan persetujuan penghentian sementara
dikarenakan keadaan kahar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a, tidak
mempunyai kewajiban untuk memenuhi kewajiban keuangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.
2. Pemegang IUP dan IUPK yang telah diberikan persetujuan penghentian sementara
dikarenakan keadaan yang menghalangi dan/atau kondisi daya dukung lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf b, dan huruf c wajib:
a. menyampaikan laporan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya;
b. memenuhi kewajiban keuangan; dan
c. tetap melaksanakan pengelolaan lingkungan, keselamatan dan kesehatan kerja, serta
pemantauan lingkungan.

Pasal 80
Persetujuan penghentian sementara berakhir karena:
a. habis masa berlakunya; atau
b. permohonan pencabutan dari pemegang IUP atau IUPK.

Pasal 81
Dalam hal jangka waktu yang ditentukan dalam pemberian persetujuan penghentian sementara
telah habis dan tidak diajukan permohonan perpanjangan atau permohonan perpanjangan tidak
disetujui, penghentian sementara tersebut berakhir.

Pasal 82
1. Apabila kurun waktu penghentian sementara belum berakhir dan pemegang IUP atau
IUPK sudah siap untuk melakukan kegiatan operasinya kembali, dapat mengajukan
permohonan pencabutan penghentian sementara kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
2. Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menyatakan pengakhiran penghentian
sementara.

Pasal 83
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan
diatur dengan Peraturan Menteri.

PP NOMOR 18 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KELIMA ATAS PERATURAN


PEMERINTAH NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN
USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
PERATURAN MENTERI ESDM NOMOR 26 TAHUN 2018
Pasal 2
Ruang lingkup Peraturan Menteri ini mengatur mengenai:
a. pelaksanaan kaidah pertambangan yang baik;
b. pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan Usaha Pertambangan; dan
c. pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan.

Pasal 3
(1) Pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, dan IUPK Operasi
Produksi dalam setiap tahapan kegiatan Usaha Pertambangan wajib melaksanakan kaidah
pertambangan yang baik.
(2) Kaidah pertambangan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kaidah teknik pertambangan yang baik; dan
b. tata kelola pengusahaan pertambangan.
(3) Kaidah teknik pertambangan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi
pelaksanaan aspek:
a. teknis pertambangan;
b. konservasi Mineral dan Batubara;
c. keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan;
d. keselamatan operasi pertambangan;
e. pengelolaan lingkungan hidup pertambangan, Reklamasi, dan Pascatambang, serta
Pascaoperasi; dan
f. pemanfaatan teknologi, kemampuan rekayasa, rancang bangun, pengembangan, dan
penerapan teknologi pertambangan.
(4) Tata kelola pengusahaan pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi
pelaksanaan aspek:
a. pemasaran;
b. keuangan;
c. pengelolaan data;
d. pemanfaatan barang, jasa, dan teknologi;
e. pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan;
f. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat;
g. kegiatan lain di bidang Usaha Pertambangan yang menyangkut kepentingan umum;
h. pelaksanaan kegiatan sesuai dengan IUP atau IUPK; dan
i. jumlah, jenis, dan mutu hasil Usaha Pertambangan.

Bagian Keempat
Pengelolaan Lingkungan Hidup Pertambangan, Reklamasi, dan Pascatambang, serta
Pascaoperasi
Pengelolaan Lingkungan Hidup Pertambangan
Pasal 20
(1) Pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, dan IUPK Operasi
Produksi wajib melakukan pengelolaan lingkungan hidup pertambangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf e.
(2) Pengelolaan lingkungan hidup pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup pertambangan sesuai
dengan Dokumen Lingkungan Hidup; dan
b. penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup apabila terjadi pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup.

Pasal 21
(1) Pemegang IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian wajib
melakukan pengelolaan lingkungan hidup dan pascaoperasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf c.
(2) Pengelolaan lingkungan hidup dan pascaoperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sesuai dengan Dokumen
Lingkungan Hidup; dan
b. penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup apabila terjadi pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup.

PENGAWASAN TERHADAP KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN


Pengawasan terhadap Pelaksanaan Kaidah Teknik Pertambangan yang Baik
Pasal 45
(1) Menteri dan gubernur sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan pelaksanaan
kaidah teknik pertambangan yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf
a, pelaksanaan kaidah teknik Pengolahan dan/atau Pemurnian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) huruf a, dan pelaksanaan kaidah teknik usaha jasa pertambangan yang baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Inspektur Tambang
melalui:
a. evaluasi terhadap laporan berkala dan laporan khusus;
b. pemeriksaan berkala atau sewaktu-waktu apabila diperlukan; dan
c. penilaian atas keberhasilan pelaksanaan program dan kegiatan.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Inspektur Tambang
melakukan kegiatan inspeksi, penyelidikan, dan pengujian.
(4) Inspektur Tambang menyusun dan menyampaikan laporan hasil inspeksi, penyelidikan, dan
pengujian sebagaimana dimaksud ayat (3) kepada KaIT.
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memuat perintah, larangan, dan petunjuk yang
harus segera ditindaklanjuti oleh pemegang IUP, IUPK, IUP Operasi Produksi khusus
pengolahan dan/atau pemurnian dan IUJP.
(6) Inspektur Tambang melakukan evaluasi terhadap laporan tindak lanjut hasil inspeksi,
penyelidikan, dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang disampaikan oleh
pemegang IUP, IUPK, IUP Operasi Produksi khusus pengolahan dan/atau pemurnian dan
IUJP.

Pasal 46
Dalam melakukan inspeksi, penyelidikan, dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ayat (3), Inspektur Tambang berwenang:
a. memasuki tempat kegiatan Usaha Pertambangan setiap saat;
b. menghentikan sementara, sebagian, atau seluruh kegiatan pertambangan Mineral dan
Batubara apabila kegiatan pertambangan dinilai dapat membahayakan keselamatan
pekerja/buruh tambang, keselamatan umum, atau menimbulkan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan; dan
c. mengusulkan penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam huruf b menjadi
penghentian secara tetap kegiatan pertambangan Mineral dan Batubara kepada KaIT.

Pasal 47
Menteri menetapkan pedoman bagi Inspektur Tambang untuk melakukan pengawasan kaidah
teknik pertambangan yang baik, kaidah teknik Pengolahan dan/atau Pemurnian, dan kaidah
teknik usaha jasa pertambangan yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45.

Pengawasan terhadap Pelaksanaan Tata Kelola Pengusahaan Pertambangan


Pasal 48
(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan tata kelola pengusahaan pertambangan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 3 ayat (2) huruf b, pelaksanaan tata kelola pengusahaan Pengolahan
dan/atau Pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, dan pelaksanaan
tata kelola pengusahaan jasa pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
huruf b dilakukan oleh Menteri atau gubernur sesuai kewenangannya.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pejabat yang Ditunjuk
oleh Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. evaluasi terhadap laporan berkala dan laporan akhir;
b. pemeriksaan berkala atau sewaktu-waktu apabila diperlukan; dan
c. penilaian atas keberhasilan pelaksanaan program dan kegiatan.
(4) Pejabat yang Ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyusun dan menyampaikan
laporan hasil pengawasan kepada Direktur Jenderal atau gubernur.
(5) Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memuat perintah, larangan,
dan petunjuk yang harus segera ditindaklanjuti oleh pemegang IUP, IUPK, IUP Operasi
Produksi khusus pengolahan dan/atau pemurnian dan IUJP.
(6) Pejabat yang Ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan evaluasi terhadap
laporan tindak lanjut hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang
disampaikan oleh pemegang IUP, IUPK, IUP Operasi Produksi khusus pengolahan dan/atau
pemurnian dan IUJP.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 96 TAHUN 2O21
TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN
BATUBARA
PERIZINAN BERUSAHA Di BIDANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN
BATUBARA
Pasal 17 ayat 4
WIUP Mineral bukan logam, WIUP batuan sebagaimana dimaksud diperoleh dengan cara
mengajukan permohonan wilayah kepada menteri (pasal 27)
Pasal 28
1. IUP terdiri atas 2 (dua) tahap kegiatan:
a. Eksplorasi; dan
b.Operasi Produksi.
2. Tahap kegiatan Eksplorasi terdiri atas kegiatan:
a. Penvelidikan Umum;
b. Eksplorasi; dan
c. Studi Kelayakan.
3. Tahap kegiatan Operasi Produksi terdiri atas kegiatan:
a. Konstruksi;
b. Penambangan;
c. Pengolahan dan/atau Pemurnian atau Pengembangan dan/atau Pemanfaatan; dan;
d. Pengangkutan dan Penjualan.
Pasal 30 ayat 1
Badan Usaha, Koperasi, atau perusahaan perseorangan yang telah mendapatkan WIUP Mineral
bukan logam, WIUP Mineral bukarr logam jenis tertentu, atau WIUP batuan sebagaimana
dimaksuci dalam Pasal 27 ayat (S), dalam jangka u,aktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
harus menyampaikan permohonan IUP kepada Menteri.
Pasal 36
1. Pemegang IUP tahap kegiatan Eksplorasi dapat melakukan tahap kegiatan Operasi
Produksi setelah mendapatkan persetujuan permohonan peningkatan tahap kegiatan
Operasi Produksi dari Menteri.
2. Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pemegang
IUP tahap kegiatan Eksplorasi memenuhi persyaratan;
a. administratif;
b. teknis;
c. lingkungan; dan
d. finansial.
Pasal 37

1. Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf a


meliputi:
a. surat permohonan peningkatan tahap kegiatan;
b. nomor induk berusaha dalam hal terjadi pemutakhiran data; dan
c. susunan pengurus, daftar pemegang saham atau modal, dan daftar pemilik manfaat
dari Badan Usaha, Koperasi, atau perusahaan perseorangan dalam hal terjadi
pemutakhiran data.
2. Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada aya1 (1) dilaksanakan terintegrasi
secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 38
Persyaratan teknis meliputi:
a. peta usulan WIUP tahap kegiatan Operasi Produksi yang dilengkapi dengan koordinat
berupa garis lintang dan garis bujur sesuai dengan sistem informasi geografis yang
berlaku secara nasional;
b. laporan lengkap tahap kegiatan Eksplorasi; dan
c. laporan Studi Kelayakan yang telah disetujui oleh Menteri.
Pasal 39
Persyaratan lingkungan meliputi:
a. Dokumen lingkungan hidup dan persetujuan lingkungan yang diterbitkan oleh
instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
b. dokumen rencana Reklamasi dan rencana Pascatambang.
Pasal 42
Jangka waktu kegiatan eksplorasi diberikan selama:
a. 3 (tiga) tahun untuk Pertambangan Mineral bukan logam;
b. 3 (tiga) mhun untuk Pertambangan batuan;
Pasal 43
Jangka waktu kegiatan Operasi Produksi diberikan dengan ketentuan:
a. untuk Pertarnbangan Mineral bukan logam paling lama 1O (sepuluh) tahun;
b. untuk Pertambangan batuan paling lama 5 (lima) tahun
Pasal 44
Pemberian jangka waktu kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 harus
mempertimbangkan jumlah sumber daya dan/atau cadangan sesuai laporan Studi Kelayakan
yang disetujui oleh Menteri.
Pasal 49
1. Pemegang IUP tahap kegiatan Operasi Produksi wajib melaksanakan pemasangan tanda
batas WIUP tahap kegiatan Operasi Produksi.
2. Kewajiban pemasangan tanda batas hanya berlaku bagi IUP tahap kegiatan Operasi
Produksi yang:
a. WIUP tahap kegiatan Operasi Produksi-nya berhimpit/berbatasan langsung dengan
WIUPK, wilayah KK, atau wilayah PKP2B lainnya; atau
b. lokasi kegiatan Penambangan dan penirnbunannya, berdekatan dengan batas WIUP
tahap kegiatan Operasi Produksi.
3. Dalam hal terjadi perubahan batas wilayah pada WIUP tahap kegiatan Operasi Produksi
harus dilakukan perubahan tanda batas wilayah dengan pemasangan tanda batas baru
pada WIUP tahap kegiatan Operasi Produksi.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemasangan tanda batas WIUP tahap kegiatan
Operasi Produksi diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 54
1. Jangka waktu kegiatan Operasi Produksi dapat diberikan perpanjangan dengan ketentuan:
a. untuk Pertambangan Mineral bukan logam sebanyak 2 (dua) kali masing-masing 5
(lima) tahun;
b. untuk Pertambangan batuan sebanyak 2 (dua) kali masing-masing 5 (lirna) tahun.
Pasal 55
Pemberian perpanjangan jangka waktu kegiatan Operasi Produksi yang tidak terintegrasi dengan
fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian atau kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan
harus mempertimbangkan jumlah sumber daya dan/atau cadangan sesuai laporan Studi
Kelayakan yang disetujui oleh Menteri.
Pasal 59
1. Permohonan perpaniangan jangka waktu kegiatan Operasi Produksi untuk Pertambangan
Mineral bukan logam atau batuan diajukan kepada Menteri paling cepat dalam jangka
waktu 2 (dua) tahun atau paling lambat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sebelum
berakhirnya jangka waktu kegiatan Operasi Produksi.
2. Perpanjangan jangka waktu kegiatan Operasi Produksi diberikan dengan jangka waktu
sesuai sisa jangka waktu IUP darr sesuai jangka waktu perpanjangan. '
3. Permohonan perpanjangan jangka waktu kegiatan Operasi Produksi paling sedikit harus
dilengkapi:
a. peta dan batas koordinat wilayah;
b. bukti pelunasan iuran tetap dan iuran produksi atau pajak daerah 3 (tiga) tahun
terakhir:
c. surat keterangan fiskal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang perpajakan;
d. rencana kerja selama masa perpanjangan;
e. laporan akhir kegiatan Operasi Produksi;
f. laporan pelaksanaan pengelolaan lingkungan dan
reklamasi; dan
g. neraca sumber daya dan cadangan.
4. Menteri memberikan persetujuan per:mohonan perpanjangan jangka waktu kegiatan
Operasi Produksi berdasarkan hasil evaluasi terhadap permohonan dan terhadap kinerja
Operasi Produksi, dalam jangka waktu paling lambat sebelum berakhirnya kegiatan
Operasi Produksi.
Pasal 129
1. SIPB diberikan oleh Menteri berdasarkan permohonan yang diajukan oleh:
a. BUMD/Badan Usaha milik desa;
b. Badan Usaha swasta dalam rangka penarlaman modal dalam negeri;
c. Koperasi; atau
d. perusahaan perseorangan.
2. Permohonan SIPB hanya dapat diajukan pada wilayah yang telah ditetapkan sebagar
WUP.
3. SIPB diherikan untuk pengusahaan pertambangan batuan jenis tertentu atau untuk
keperluan tertentu.
4. Batuan jenis terterrtu atau untuk keperluan tertentu sebagaimana meliputi batuan yang
memiliki sifat materiai lepas berupa tanah urug, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai,
batu kali, kerikii sungai ayak tanpa pasir, pasir urug, pasir pasang, kerikil berpasir alami
(sirtu), tanah, pasir laut, tanah merah (laterit), tanah liat, dan batu gamping. Perubahan
atas penggolongan komoditas batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Menteri.
5. SIPB sebagairnana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tahap kegiatan perencanaan,
penambangan, pengolahan, serta Pengangkutan dan Penjualan.
Pasal 131
1. Untuk m.endapatkan SIPB, pemohon harus memenuhi persyaratan:
a. administratif;
b. teknis;
c. lingkungan; dan
d. finansial.
2. Persyaratan administratif meliputi:
a. surat perrnohonan;
b. nomor induk berusatra;
3. Persyaratan administratif dilaksanakan terintegrasi secara elektronik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud berupa surat pernyataan untuk tidak
menggunakan bahan peledak dalam kegiatan usaha Penambangan.
5. Persyaratan lingkungan berupa surat pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
Pasal 132
1. Pemegang SIPB dapat langsung melakukan Penambangan setelah rnemiliki dokumen
perencanaan Penambangan yang telah disetujui oleh Menteri.
2. Dokumen perencanaan Penambangan sebagaiinana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
a. dokumen teknis yang memuat paling sedikit:
- informasi cadangan; dan
- rencana Penambangan.
IZIN PENGANGKUTAN DAN PENJUALAN
Pasal 136
1. Izin Pengangkutan dan Penjualan diberikan untuk jangka waktu S (lima) tahun dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setiap kali perpanjangan.
2. Permohonan perpanjangan jangka waktu lzin Pengangkutan dan Penjualan diajukan
kepada Menteri paling cepat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan atau paling lambat
dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya jangka waktr.r lzin
Pengangkutan dan Penjualan.
3. Perpanjangan jangka waktu lzin Pengangkutan dan Penjuaian diberikan dengan ketentuan
sesuai dengan sisa jangka waktu lzin Pengangkutan dan Penjualan ditambah jangka
waktu perpanjangan selama 5 (lima) tahun.
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 55 TAHUN 2022
TENTANG PENDELEGASIAN PEMBERIAN PERIZINAN BERUSAHA DI BIDANG
PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
LINGKUP KEWENANGAN YANG DIDELEGASIKAN
Pasal 2
1. Pendelegasian meliputi:
a. pemberian:
- sertifikat standar; dan
- izin;
b. pembinaan atas pelaksanaan Perizinan Berusaha yang didelegasikan; dan
c. pengawasan atas pelaksanaan Perizinan Berusaha yang didelegasikan.
2. Pemberian sertifikat standar meliputi kegiatan konsultasi dan perencanaan usaha jasa
Pertambangan di bidang:
penyelidikan umum;
a.
eksplorasi;
b.
studi kelayakan;
c.
konstruksi Pertambangan;
d.
pengangkutan;
e.
Iingkungan Pertambangan;
f.
reklamasi dan pascatambang
g.
keselamatan Pertambangan; dan/atau
h.
penambangan.
i.
3. Pemberian izin terdiri atas:
a. IUP dalam rangka penanaman modal dalam negeri untuk komoditas mineral bukan
logam dengan ketentuan:
- berada dalam 1 (satu) daerah provinsi; atau
- wilayah laut sampai dengan 12 (dua belas) mil laut;
b. IUP dalam rangka penanaman modal dalam negeri untuk komoditas mineral bukan
logam jenis tertentu dengan ketentuan:
- berada dalam 1 (satu) daerah provinsi; atau
- wilayah laut sampai dengan 12 (dua belas) mil
c. IUP dalam rangka penanaman modal dalam negeri untuk komoditas batuan dengan
ketentuan:
- berada dalam 1 (satu) daerah provinsi; atau
- wilayah laut sampai dengan 12 (dua belas) mil laut;
d. SIPB;
e. IPR;
f. lzin Pengangkutan dan Penjualan untuk komoditas mineral bukan logam;
g. lzin Pengangkutan dan Penjualan untuk komoditas mineral bukan logam jenis
tertentu;
h. lzin Pengangkutan dan Penjualan untuk komoditas
i. batuan;IUJP untuk 1 (satu) daerah provinsi;
j. IUP untuk penjualan komoditas minerai bukan
k. Logam IUP untuk penjualan komoditas mineral bukan logam jenis tertentu; dan
l. IUP untuk penjualan komoditas batuan.
4. Pengawasan terdiri atas:
a. perencanaanpengawasan;
b. pelaksanaan pengawasan; dan
c. monitoring dan evaluasi pengawasan.
5. Pelaksanaan pengawasan dilaksanakan atas:
a. kaidah teknik Pertambangan yang baik; dan
b. tata kelola pengusahaan Pertambangan.

Pasal 3
Selain Pendelegasian Pemerintah Pusat mendelegasikan sebagian kewenangan untuk
mendukung pengelolaan Pertambangan mineral dan batubara yang meliputi:
a. pemberian dan penetapan wilayah izin usaha Pertambangan mineral bukan logam,
wilayah izin usaha Pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu, dan wilayah
izin usaha Pertambangan batuan dengan ketentuan:
- berada dalam 1 (satu) daerah provinsi; atau
- wilayah laut sampai dengan 12 (dua belas) mil laut;
b. penetapan harga patokan mineral bukan logam, penetapan harga patokan mineral
bukan logam jenis tertentu, dan penetapan harga patokan batuan; dan
c. pemberian rekomendasi atau persetujuan yang berkaitan dengan kewenangan yang
didelegasikan.

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 2018

Anda mungkin juga menyukai