Anda di halaman 1dari 12

Rangkuman Point Penting

1. PP No. 22 Tahun 2010


a. Wilayah Pertambangan (WP) merupakan kawasan yang memiliki potensi mineral
dan/atau batubara yang terletak di permukaan tanah maupun di bawah tanah, dalam
wilayah daratan atau laut untuk kegiatan pertarnbangan yang memiliki kriteria adanya
indikasi formasi pembawa mineral dan/atau batubara serta berpotensi sumber daya
tambang.
b. Penyiapan WP dilakukan dalam 2 kegiatan yaitu :
 Perencanaan WP yang dilakukan melalui tahapan inventarisasi potensi
pertambangan dan penyusunan rencana WP. Inventarisasi ditujukan untuk
mengumpulkan data dan informasi potensi pertambangan sebagai dasar
penyusunan rencana penetapan WP yang dilakukan melalui kegiatan penyelidikan
dan penelitian pertambangan.
 Penetapan WP.
c. Data dan informasi hasil penyelidikan dan penelitian pertambangan yang dilakukan oleh
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral gubernur, bupati/walikota dan lembaga riset
wajib diolah menjadi peta potensi mineral dan/atau batubara dan harus dilaporkan ke
Menteri untuk dilakukan evaluasi oleh Menteri sebagai bahan penyusunan rencana WP.
Rencana WP ditetapkan oleh Menteri menjadi WP setelah berkoordinasi
dengan gubernur, bupati/walikota dan berkonsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang dapat ditinjau kembali satu kali dalam 5 tahun.
d. WP dapat terdiri atas :
 Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) :
WUP ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan gubernur dan
bupati/walikota setempat. Khusus penetapan WUP pertambangan mineral
bukan logam dan batuan dapat dilimpahkan kepada gubernur.
WUP dapat terdiri atas : Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) radioaktif,
WIUP mineral logam, WIUP batubara, WIUP mineral bukan logam, dan/atau
WIUP batuan.WIUP mineral logam dan/atau batubara ditetapkan oleh Menteri
setelah berkoordinasi dengan gubernur dan bupati/walikota setempat.
 Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), dan/atau
WPR ditetapkan oleh bupati/walikota setempat setelah berkoordinasi
dengan pemerintah provinsi dan berkonsultasi dengan DPRD
Kabupaten/Kota. Penetapan WPR disampaikan secara tertulis oleh
bupati/walikota kepada Menteri dan gubernur
 Wilayah Pencadangan Negara (WPN).
WPN ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan DPR. Menteri
menyusun rencana penetapan suatu wilayah di dalam WP menjadi WPN
berdasarkan peta potensi mineral dan/atau batubara serta peta potensi cadangan
mineral dan/atau batubara. Wilayah di dalam WP yang memenuhi kriteria
ditetapkan menjadi WPN oleh Menteri setelah memperhatikan aspirasi daerah dan
mendapat persetujuan dari DPR. WPN yang ditetapkan untuk komoditas tertentu
antara lain tembaga, timah, emas, besi, nikel, bauksit dan batubara dapat
diusahakan sebagian luas wilayahnya setelah berubah statusnya menjadi Wilayah
Usaha Pertambangan Khusus (WUPK).
 Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK)
WUPK ditetapkan oleh persetujuan dari DPR berdasarkan usulan Menteri.Untuk
menetapkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dalam suatu
WUPK harus memenuhi kriteria: letak geografis, kaidah konservasi, daya dukung
lingkungan, optimalisasi sumber daya mineral logam dan/atau batubara, dan
tingkat kepadatan penduduk. Peta zonasi untuk WIUP Eksplorasi dan WIUPK
Eksplorasi pada kawasan lindung dapat di-delineasi menjadi peta zonasi WIUP
Operasi Produksi atau WIUPK Operasi Produksi.
e. Delineasi zonasi dilakukan berdasarkan hasil kajian kelayakan dan memperhatikan
keseimbangan antara biaya dan manfaat serta antara resiko dan manfaat dalam konversi
kawasan lindung. Keseimbangan antara biaya dan manfaat dan antara resiko dan
manfaat dilakukan dengan memperhitungkan paling sedikit mengenai reklamasi,
pascatambang, teknologi, program pengembangan masyarakat yang berkelanjutan, dan
pengelolaan lingkungan.
2. PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral Dan Batu Bara di cabut dengan PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
1. Rencana pengelolaan Minerba Nasional akan memuat antara lain, kebijakan di bidang
Minerba dan batubara. Kemudian, strategi pengelolaan mineral dan batubara
Nasional dan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan mineral dan batubara
Nasional.
2. Kemudahan berusaha di bidang pertambangan mineral dan batubara. Berisi
pemberian perizinan berdasarkan kepemilikan nomor induk berusaha dan integrasi
elektronik. Dan persyaratan perizinan yang jelas dan tidak berbelit-belit. Kemudahan
perizinan usaha komoditas batuan melalui surat izin penambangan batuan (SIPB).
3. Kepastian berusaha dan investasi di bidang pertambangan mineral dan batubara.
Melalui tahap kegiatan eksplorasi dapat diberikan perpanjangan. Lalu, pemberian
persetujuan pemindah tanganan IUP/IUPK atau pengalihan kepemilikan saham
dengan syarat yang ketat. Kriteria kegiatan pertambangan yang terintegrasi meliputi
kegiatan PNT dilakukan oleh badan usaha yang melakukan penambangan dan
memiliki ketersediaan supply untuk kegiatan PNT; dan jangka waktu divestasi yang
mempertimbangkan kelayakan usaha dan metode penambangan.
4. Keberpihakan kepentingan nasional dengan kewajiban PNT dalam negeri, IUP
komoditas bantuan untuk modal dalam negeri, IUP untuk BUMN, serta pengalihan
saham asing.

3. Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2010. Reklamasi Dan Pascatambang.


Mengenai implementasi didalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 Tentang
Reklamasi dan Pascatambang tersebut adalah ProgramPascatambang, yang meliputi ;
1. Reklamasi pada lahan bekas tambang dan lahan diluar bekas tambang;
Reklamasi merupakan kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha
pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan
dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. Didalam
pelaksanaan reklamasi pada lahan terganggu meliputi lahan bekas tambang dan
lahan diluar bekas tambang akibat kegiatan operasi produksi dengan sistem dan
metode penambangan terbuka, antara lain :
 Area Penambangan
 tempat penimbunan batuan samping dan/ atau tanah/ batuan penutup
 tempat penimbunan tanah zona pengakaran
 tempat penimbunan komoditas tambang
 Jalan tambang dan/ atau jalan angkut
 Instalasi dan fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian
 fasilitas penunjang
 kantor dan perumahan
 pelabuhan khusus/ dermaga; dan/atau
 lahan penimbunan dan/atau pengendapan tailing.
Berdasarkan observasi dilapangan pelaksanaan reklamasi tidak sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi dan
Pascatambang pada Bab V Pasal 21 dimana disebutkan bahwa pelaksanaan
reklamasi dan pascatambang dalam pasal 19 dan pasal 20 wajib dilakukan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah tidak ada kegiatan usaha
pertambangan pada lahan terganggu. karena luas lahan terganggu yang sudah
tidak aktif atau dinyatakan selesai tidak seluruhnya dilakukan reklamasi sesuai
dengan peruntukannya dimana lahan terganggu/rusak akibat kegiatan
pertambangan sampai dengan akhir 2013 adalah seluas 31,99 hektar sedangkan
lahan yang telah direklamasi sesuai dengan peruntukkannya yaitu revegetasi sampai
akhir 2013 hanya seluas 4,64 hektar sehingga lahan yang
belumdireklamasi/dibiarkan saja seluas 27.35 hektar. sehingga masih ada lahan
terganggu/rusak akibat kegiatan pertambangan yang mengakibatkan kerusakan
lingkungan diwilayah pertambangan.
2. Pemeliharaan hasil reklamasi;
Pemeliharaan hasil reklamasi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 78
Tahun 2008 Tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan adalah merupakan kegiatan
untuk menjaga, mengamankan, dan meningkatkan kualitas tanaman hasil kegiatan
reboisasi, penghijauan jenis tanaman, dan pengayaan tanaman.
Dapat dilihat mengenai Pemeliharaan yang dimaksud menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 78 Tahun 2008 Tentang Rehabilitasi dan Reklamasi hutan Pasal
25 ayat (5) adalah pemeliharaan sebagaimana dimaksud dilakukan melalui
Perawatan dan Pengedalian hama dan penyakit.
Pemeliharaan tanaman dimaksudkan untuk memacu pertumbuhan tanaman
sedemikian rupa sehingga dapat diwujudkan keadaan optimum bagi pertumbuhan
tanaman. Kegiatan pemeliharaan tanaman yang dilakukan meliputi : pemupukan,
pemupukan ulang dilakukan secara berkala dan secara rutin dilakukan apabila
kegiatan penanaman telah berjalan dan saat usia tanaman sudah layak untuk
dilakukan pemupukan. Perawatan tanaman, Untuk perawatan tanaman akan
dilakukan secara rutin dan dilakukan oleh beberapa tenaga kerja agar kondisi dan
perkembangan tanaman dapat berjalan dengan normal. Sedangkan pemberian
obat-obatan (Pestisida) dilakukan pada saat kondisi tanaman dalam kondisi rusak
akibat hama atau serangan serangga.
Pemeliharaan tanaman secara umum mencakup segala kegiatan yang
berkaitan dengan upaya menjaga kelangsungan hidup tanaman agar tetap hidup
sehat dan memiliki produktivitas tinggi. Kegiatan yang dikerjakan pada
pemeliharaan tanaman dilakukan dengan menggunakan tenaga manusia maupun
tenaga mesin pertanian. Pekerjaan pemeliharaan tanaman yang menggunakan
tenaga manusia adalah sulam (replacement) dan pengendalian gulma pasca
tumbuh. Sulam bertujuan memperbaiki populasi tanaman.
Berdasarkan hasil observasi dilapangan dapat disimpulkan bahwa
pemeliharaan hasil revegetasi yang dilakukan yaitu pemupukan ulang, perawatan
tanaman, dan pemberian obat-obatan pestisida dan dalam tata cara pemeliharaan
hasil reklamasi sudah berjalan dengan baik sesuai yang terdapat didalamperaturan
Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 Tentang reklamasi dan pascatambang dan
Peraturan lainnya yang berkaitan dengan reklamasi yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 78 Tahun 2008 Tentang Rehabilitasi dan Reklamasi hutan Pasal 25 ayat (5)
menyebutkan bahwa pemeliharaan sebagaimana dimaksud dilakukan melalui
Perawatan dan Pengedalian hama dan penyakit.
3. Pengembangan dan pemerdayaan masyarakat;dan
Secara umum pengembangan masyarakat adalah kegiatan pengembangan
masyarakat yang dilakukan secara sistematis, terencana, dan diarahkan untuk
memperbesar akses masyarakat guna mencapai kondisi sosial, ekonomi dan kualitas
kehidupan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan
sebelumnya sedangkan Pemberdayaan masyarakat berdasarkan Undang-Undang
Nomor 04 Tahun 2004 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara merupakan
usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun
kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya.
Bentuk tanggung jawab sosial perusahaan atau yang lebih dikenal adalah
Corporate Social Responsibility (CSR) adalah sebuah kewajiban yang dapat merubah
pandangan maupun perilaku dari pelaku usaha, sehingga CSR dimaknai bukan
hanya sekedar tuntutan moral, tetapi sebagai suatu kewajiban perusahaan yang
harus dilaksanakan.
CSR secara umum diartikan sebagai upaya dari perusahaan untuk
menaikkan citranya di mata publik dengan membuat program-program amal, baik
yang bersifat eksternal maupun internal. Program eksternal dengan menjalankan
kemitraan dengan pemangku kepentingan (stakeholder) untuk menunjukan
kepedulian perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Secara
internal mampu berproduksi dengan baik, mencapai profit yang maksimal dan
mensejahterakan karyawan. Disimpulkan bahwa CSR atau tanggung jawab sosial
perusahaan adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan
ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga
karyawan, dan masyarakat setempat (lokal) dalam rangka meningkatkan kualitas
kehidupan.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis terhadap informan
dapat disimpulkan dalam hal ini terkait pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat masih belum maksimal dikarekan bantuan perusahaan saat ini masih
berupa bantuan dana ke desa kutai lama.. Berdasarkan observasi dilapangan dapat
terlihat tidak adanya bentuk program perusahaan terkait pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat yang dijalankan perusahaan. Dan Saat ini bentuk
program CSR masih dalam hal bantuan sosial atau sumbangan yang belum sesuai
didalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi dan
Pascatambang Pasal 10 poin (d) mengenai program pascatambang,
4. Pemantauan
Pemantauan dilakukan sebagai peringatan dini mengenai perubahan
komponen lingkungan yang terjadi agar dapat dilakukan tindakan/antisipasi yang
tepat dalam upaya-upaya pengelolaan lingkungan. Didalam Peraturan Pemerintah
Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi dan Pascatambang pada Bab III tentang
Tata Laksana Reklamasi dan Pascatambang Pasal (3) bahwa rencana reklamasi dan
rencana pascatambang disusun berdasarkan dokumen lingkungan hidup yang telah
disetujui oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Berdasarkan Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 07
Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang pada Bab
IXmengenai Penyerahan Lahan Pascatambang pasal 65 angka 7 menyebutkan
bahwa Tanggung jawab pemeliharaan dan pemantauan lahan yang telah
direklamasi oleh pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi
dinyatakan berakhir setelah Direktur Jenderal atas nama Menteri, gubemur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan
penyerahan lahan yang telah direklamasi.
Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat diuraikan bahwa pemeliharaan
dan pemantauan merupakan tanggung jawab perusahaan sampai dinyatakan
berakhir setelah mendapat persetujuan penyerahan lahan yang telah direklamasi.
Dan pemantauan lingkungan akan dilaporkan kepada Dinas Pertambangan dan
Energi dalam 3 bulan sekali (Laporan Triwulan). Berdasarkan observasi dilapangan
pemantauan lingkungan hidup khususnya pemantauan terhadap hasil reklamasi
yaitu revegetasi (penanaman kembali) sudah berjalan dengan baik sesuai dengan
ketentuan yang ada yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 Tentang
Reklamasi dan Pascatambang Pasal 10 Poin (d) mengenai Program Pasca tambang.
4. Permen ESDM 26 tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang
Baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara

Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 26 Tahun 2018 Pasal 3 (3), Good


Mining Practice meliputi 6 aspek, yaitu :

1. Teknis pertambangan.

2. Konservasi Mineral dan Batubara.

3. K3 pertambangan (Keselamatan dan Kesehatan Kerja pertambangan).

4. Keselamatan operasi pertambangan.

5. Pengelolaan lingkungan hidup pertambangan, Reklamasi, dan Pascatambang, serta


Pascaoperasi.
6. Pemanfaatan dan penerapan teknologi, kemampuan rekayasa, rancang bangun,
pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan.

     Operasi penambangan yang dilakukan tidak serta merta mengupas tanah


penutup, mengambil bahan galian, dan membiarkan begitu saja. Namun, kaidah ini
juga mengajarkan bahwa operasi penambangan yang baik juga turut mementingkan
kesejahteraan lingkungan dan alam maupun kesehatan dan kesejahteraan penduduk
lokal. Kita bisa melihat circle kaidah Good Mining Practice.

Aktivitas penambangan tidak akan dinyatakan sebagai suatu kegiatan yang


merusak lingkungan, apabila aktivitas penambangan tersebut dilakukan dengan baik
dan benar atau menjalankan kaidah Good Mining Practice dan selanjutnya dapat
diimplementasikan  dengan penuh kesadaran dan ketelitian, semua pihak yang turut
berperan dalam operasi penambangan tersebut juga aktif dan saling melakukan kontrol
atau pengawasan. Di samping itu juga diperlukan aturan hukum yang ketat dari
birokrat atau pemerintah dan adanya pengawasan dari masyarakat sekitar terhadap
perusahaan pertambangan tersebut.

 Ketentuan Good Mining Practice merupakan suatu kewajiban yang bersifat


imperatif yang diatur dalam pasal 50-53 berupa suatu sanksi administratif yang
diterapkan dalam peraturan menteri tersebut. Sanksi administratif tersebut berupa
penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha seperti pada ayat (1)
dikenakan paling lama 60 hari.

5. Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi Sumatera Selatan No. 5 Tahun 2011.


Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

6. Permen ESDM No. 34 Tahun 2017 tentang Perizinan Di Bidang Pertambangan


Mineral Dan Batubara di cabut dengan Permen ESDM No. 7 Tahun 2020 tentang
Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, Dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral Dan Batubara
1. Penerbitan Permen ini guna menjamin kepastian hukum, kepastian usaha,
meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan, penyederhanaan birokrasi dan perizinan, serta mendorong
pengembangan pengusahaan mineral dan batubara.
2. Pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi
Produksi, atau IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian
wajib melaporkan perubahan penggunaan usaha jasa pertambangan pada tahun
berjalan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal atau gubernur sesuai dengan
kewenangannya
3. Pemegang KK atau PKP2B yang akan berakhir harus mengajukan permohonan menjadi
IUPK Operasi Produksi perpanjangan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal dalam
jangka waktu paling cepat 2 (dua) tahun dan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum
KK atau PKP2B berakhir.
4. Dalam rangka menjamin efektivitas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan Mineral
dan Batubara serta menjamin iklim usaha yang kondusif, Menteri dapat menetapkan
ketentuan lain bagi pemegang IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan operasi KK
atau PKP2B, dengan mempertimbangkan:
a. skala investasi;
b. karakteristik operasi;
c. jumlah produksi; dan/atau
d. daya dukung lingkungan
5. Direktur Jenderal menyiapkan WIUP Mineral Logam yang telah ditetapkan oleh
Gubernur berdasarkan hasil koordinasi dengan Bupati/Walikota dengan cara lelang
kepada Badan Usaha, Koperasi, dan Perseorangan. Pemberian Wilayah Izin Usaha
Pertambangan Mineral Logam didasarkan pada Data dan Informasi yang berasal dari :
 Hasil kegiatan penyelidikan dan penelitian pertambangan yang dilakukan oleh
Menteri dan/atau Gubernur sesuai dengan kewenangannya;
 Hasil evaluasi terhadap WIUP Mineral Logam yang dikembalikan atau diciutkan
oleh Pemegang IUP; dan/atau
 Hasil evaluasi terhadap WIUP Mineral Logam yang IUP-nya berakhir atau dicabut.
6. Izin Usaha Eksplorasi, diberikan ketika hendak melakukan tahapan kegiatan
Penyelidikan Umum, Eksplorasi, dan Studi Kelayakan. Sesuai Pasal 37 Permen ESDM
7/2020, IUP Eksplorasi diberikan oleh:
a. Menteri, apabila WIUP-nya:
i. Berada pada lintas daerah provinsi;
ii. Berada pada wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis
pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan; atau
iii. Berbatasan langsung dengan negara lain; atau
b. Gubernur, apabila WIUP-nya berada:
i. Dalam 1 (satu) daerah provinsi; atau
ii. Pada wilayah laut sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis
pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
iii. Khusus untuk gubernur, dalam hal wilayah laut antar dua daerah provinsi
kurang dari 24 mil laut, maka dibagi sama jarak atau diukur sesuai dengan
prinsip garis tengah dari wilayah antar dua provinsi tersebut.
7. Jangka waktu IUP Eksplorasi menurut Pasal 41 ayat (2) Permen ESDM 7/2020 sebagai
berikut:[15]
a. 8 (delapan) tahun untuk IUP Eksplorasi mineral logam;
b. 7 (tujuh) tahun, untuk:

 IUP Eksplorasi Batubara;

 IUP Eksplorasi mineral bukan logam jenis tertentu;

c. 3 (tiga) tahun, untuk:

 IUP Eksplorasi Mineral Bukan Logam; atau

 IUP Eksplorasi Batuan.

8. Setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi, maka badan usaha wajib mengurus IUP
Operasi Produksi dalam rangka melakukan tahapan kegiatan operasi produksi. Sesuai
Pasal 42 Permen ESDM 7/2020, IUP Operasi Produksi diberikan oleh:
1. Menteri, apabila lokasi Penambangan, lokasi pengolahan dan/atau pemurnian,
serta lokasi pelabuhan khusus:
 Berada pada lintas daerah provinsi; atau
 Berbatasan langsung dengan negara lain;

2. Gubernur, apabila lokasi Penambangan, lokasi pengolahan dan/atau pemurnian,


serta lokasi pelabuhan khusus berada dalam 1 (satu) daerah provinsi.[16]

9. Jangka waktu IUP Operasi Produksi menurut Pasal 45 ayat (2) Permen ESDM 7/2020
adalah sebagai berikut:[17]
 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10
(sepuluh) tahun untuk:

1. IUP Operasi Produksi mineral logam;

2. IUP Operasi Produksi batubara;

3. IUP Operasi Produksi mineral bukan logam jenis tertentu;

 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5


(lima) tahun untuk IUP Operasi Produksi mineral bukan logam; atau

 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima)


tahun untuk IUP Operasi Produksi batuan

Jika ingin melaksanakan pembelian, pengangkutan, pengolahan dan pemurnian


termasuk penjualan komoditas tambang mineral atau batubara hasil olahannya, maka
badan usaha wajib mengurus IUP Operasi Produksi Khusus untuk Pengolahan dan/atau
Pemurnian

10. Sesuai Pasal 47 Permen ESDM 7/2020, IUP Operasi Produksi Khusus untuk Pengolahan
dan/atau Pemurnian diberikan oleh:

a. Menteri, apabila:

o Komoditas tambang yang akan diolah berasal dari daerah provinsi lain
di luar lokasi fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian;

o Komoditas tambang yang akan diolah berasal dari luar negeri;


dan/atau

o Apabila lokasi fasilitas pengolahan dan pemurnian berada pada lintas


daerah provinsi;

b. Gubernur, apabila:

o Komoditas tambang yang akan diolah berasal dari 1 (satu) daerah


provinsi yang sama dengan lokasi fasilitas pengolahan dan/atau
pemurnian; dan/atau

o Apabila lokasi fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian berada dalam


1 (satu) daerah provinsi.[18]
11. Pasal 49 ayat (5) Permen ESDM 7/2020 mengatur jangka waktu IUP Operasi Produksi
Khusus untuk Pengolahan dan/atau Pemurnian sebagai berikut:

“IUP Operasi Produksi khusus unutk Pengolahan dan/atau Pemurnian


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga
puluh_ tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh tahun)
setiap kali perpanjangan.”

12. Apabila badan usaha ingin melaksanakan pembelian, pengangkutan dan penjualan
komoditas tambang mineral atau batubara, maka badan usaha wajib mengurus IUP
Operasi Produksi Khusus untuk Pengangkutan dan Penjualan. Sesuai Pasal 50 Permen
ESDM 7/2020, maka IUP Operasi Produksi Khusus untuk Pengangkutan dan Penjualan
diberikan oleh:

a. Menteri, apabila kegiatan Pengangkutan dan Penjualan dilakukan pada lintas


darah provinsi dan/atau lintas negara; atau

b. Gubernur, apabila kegiatan Pengangkutan dan Penjualan dilakukan dalam 1


(satu) daerah provinsi.

13. Pasal 52 ayat (1) Permen ESDM 7/2020 mengatur jangka waktu IUP Operasi Produksi
khusus untuk pengangkutan dan penjualan sebagai berikut:

“IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan diberikan


untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu
5 (lima) tahun setiap kali perpanjangan.”

Anda mungkin juga menyukai