Anda di halaman 1dari 2

2.

Perkembangan Kehidupan Ekonomi


Setelah pengakuan kedaulatan, kondisi perekonomian Indonesia masih tetap
memprihatinkan. Hal itu disebabkan oleh berbagai faktor.
a. Bangsa Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan sebagaimana yang
ditetapkan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB)
b. Indonesia tidak memiliki ahli-ahli ekonomi yang dapat diandalkan
c. Perang 7 tahun lebih dalam upaya mempertahankan kemerdekaan
d. Ekspor hanya berasal dari hasil perkebunan
e. Laju pertumbuhan penduduk yang pesat
Untuk mengatasi perekonomian yang buruk itu, pemerintah menempuh kebijakan jangka
pendek (mengurangi jumlah uang yang beredar serta menaikkan biaya hidup masyarakat)
dan jangka panjang (meningkatkan taraf hidup masyarakat serta menghambat laju
pertumbuhan penduduk).
Pada saat itu pemerintah mengalami defisit Rp. 5,1 milyar, yang kemudian sebagian dapat
diatasi dengan pinjaman. Pinjaman pemerintah itu dengan jalan pemotongan yang
berlangsung pada 20 Maret 1950. Kebijakan pemotongan itu dikenal dengan nama Gunting
Syafruddin sesuai dengan nama Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara.
Di bidang perdagangan, pemerintah mengeluarkan peraturan-peraturan baru bagi para
eksporir dengan sistem sertifikat devisa. Tujuan pemerintah adalah untuk merangsang para
eksporir meningkatkan ekspornya.
Kebijakan pemerintah itu kebetulan bertepatan dengan perang Korea, sehingga eskpor
Indonesia saat itu meningkat tajam. Pada bulan April 1950 ekspor mencapai 187%,
kemudian naik menjadi 243% pada bulan Mei yang bernilai 115 juta dollar Amerika Serikat.
Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Korean Boom.
Setelah pengakuan kedaulatan baru, hanya ada seorang ahli ekonomi yang mencurahkan
perhatiannya untuk perbaikan ekonomi nasional yaitu Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo
yang membangun ekonomi nasional melalui perdagangan. Pendapat beliau "Indonesia
harus selekas mungkin memiliki dan menumbuhkan kelas pengusaha".
Ketika Soemitro menjabat sebagai menteri perdagangan dalam Kabinet Natsir, gagasannya
itu diwujudkan, dengan nama Gerakan Benteng (Benteng Group). Dari tahun 1950-1953
ada sekitar 700 perusahaan yang memperoleh kredit melalui program tersebut. Namun
program ini dinilai tidak berhasil. Penyebab ketidakberhasilan kebijakan ekonomi gerakan
benteng sebagai berikut.

a) Tidak Memiliki Produk Ekspor yang Beragam


Pemerintah menyadari bahwa, untuk perbaikan ekonomi dalam jangka panjang diperlukan
sarana dan prasarana yang memadai. Namun mengingat ketiadaan biaya, maka pemerintah
berusaha memperoleh kredit dari pemerintah Amerika Serikat. Delegasi di bawah pimpinan
Ir. Haji Djuanda (Menteri Kemakmuran Republik Indonesia) berangkat menuju Amerika
Serikat dan berhasil diperoleh melalui Exim Bank of Washington sebesar 100 juta dollar.
Kemudian digunakan untuk membangun prasarana umum (jalan, jembatan,
telekomnikasi,telekomunikasi, bandar udara, rel kereta api, dll).
Bila pada tahun 1950 Indonesia memperoleh pemasukan yang besar dari ekspor, maka pada
tahun 1951, pendapatan dari ekspor mengalami penurunan. Hal ini disebabkan menurunnya
volume perdagangan internasional. Selain itu Indonesia tidak memiliki hasil ekspor lain yang
besar, kecuali produksi hasil perkebunan. Karena itu ketika hasil produksi perkebunan
berkurang, maka laju ekspor pun menurun.
b) Pengusaha Pribumi Kurang Mampu Bersaing dengan Pengusaha Nonpribumi
Sesudah de Javasche Bank di nasionalisasi, kebijakan ekonomi dan keuangan di tinjau
kembali pada akhir tahun 1951. Guna meningkatkan pendapatan, pemerintah menurunkan
biaya ekspor dan penghematan. Pada tahun 1952 defisit naik menjadi 3 milyar, karena
anggaran belanja tidak segera di ajukan untuk di sahkan DPR.
Pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo I, ia memperkenalkan sistem ekonomi baru yang
diprakarsai oleh Menteri Perekonomian Mr. Iskaq Tjokrohadisoeryo. Sistem yang
diperkenalkan itu disebut sistem ekonomi Ali-Baba, yang dimana digambarkan bahwa Ali
(Pribumi) dan Baba (Tiongkok). Agar pengusaha pribumi bisa cepat maju, mereka diberi pula
kredit dari bank dan dianjurkan agar mereka mau bekerja sama dengan pengusaha
nonpribumi. Ternyata sistem ini pun tidak berhasil, sebab pengusaha nonpribumi lebih
banyak memiliki pengalaman dari pengusaha pribumi. Dalam suasana liberal, persaingan
bebas memang diutamakan, sedangkan pengusaha pribumi masih minim pengalaman.
Dalam upaya mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah maka pada masa Kabinet
Natsir, ia telah merintis pembangunan industrialisasi yang disebut Rencana Soemitro.
Rencana ini untuk pembangunan pabrik-pabrik semen, pabrik pemintalan dan lain-lain;
diikuti dengan liberalisasi pertanian dan penanaman modal asing. Walaupun berbagai upaya
telah dilakukan, kondisi ekonomi Indonesia belum juga membaik hingga demokrasi liberal
berubah menjadi demokrasi terpimpin.

Anda mungkin juga menyukai