Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Dalam terminologi Islam perkataan hadits maksudnya adalah perkataan dari Nabi
Muhammad SAW. Namun seringkali kata ini mengalami perluasaan makna sehingga
disinonimkan dengan sunnah, sehingga berarti segala perkataan (sabda), perbuatan,
ketetapan maupun persetujuan dari nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan
ataupun hukum dalam agama. Sehingga Hadits sebagai sumber hukum dalam agama
Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah al-Qur’an.
Akan tetapi setelah diadakan kajian yang begitu mendalam mengenai hadits-hadits
yang jumlahnya ribuan, didapatkan sebuah kesimpulan bahwa tidak semua hadits-
hadits tersebut bisa dijadikan pedoman/dijadikan sebagai hujjah.
Sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin lama zaman itu semakin jauh
dengan zaman Rasulullah, maka banyak sekali hadits yang keshahihannya masih
diragukan. Berdasarkan tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting
dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap
hadits.

B. Rumusan masalah
Dari latar belakang diatas maka penulis mengangkat tajuk mengenai hadist dhaif dan
kehujjahannya.

C. Tujuan
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas sekolah serta bertujuan untuk sumber
pembelajaran penulis serta pembaca dalam kalangan yang tidak dibatasi apapun itu.
.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadist Dha’if

Menurut bahasa dha’if berarti ‘Aziz yang artinya lemah. Sebagai lawan dari Qawiyyu
yang artinya kuat Pengertian hadits dhaif Secara bahasa, hadits dhaif berarti hadits yang
lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah
SAW. Dugaan kuat mereka hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah SAW. Menurut
istilah, Ibnu Shalah memberikan definisi :

‫ما لم يجمع صفات الصحيح والصفات الحسن‬

“Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.

Sedangkan Zinuddin Al-Traqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan kalimat


yang seharusnya dihindarkan, menurut dia cukup :

‫ما لم يجمع صفات الحسن‬

“Yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan”

Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan sudah barang tentu
tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih. Drs. Fatkhur Rahman memberikan definisi:

‫ما فقد شرطا او اكثر من شروط الصحيح اوالحس‬

“Hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat –syarat hadits shahih atau
hadits hasan”

Para ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if :

‫ديث‬UU‫فات الح‬UU‫حيح وال ص‬UU‫ديث الص‬UU‫فات الح‬UU‫“ الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع ص‬Hadits dha’if adalah
hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga tidak menghimpun sifat-
sifat hadits hasan”.

DR. Subhi As-Shalih, mengatakan hadits dha’if menempati urutan ketiga dalam
pembagian hadits. Batasannya yang paling tepat adalah hadits yang padanya tidak
terdapat ciri-ciri hadits shahih atau hasan. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa
pengertian hadits dha’if adalah hadits yang lemah, yakni para ulama masih memiliki

2
dugaan yang lemah, apakah hadits itu berasal dari Rasulullah atau bukan. Hadits dha’if
itu juga bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih tetapi juga tidak
memenuhi syarat-syarat hadits hasan. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan, hadits
dha’if (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak tersambung dan diriwayatkan oleh
orang-orang yang tidak adil atau tidak kuat ningatannya, mengandung kejanggalan atau
cacat.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan tertolaknya hadits dha’if, yaitu:

1. Adanya Kekurangan pada Perawinya

Baik tentang keadilan maupun hafalan para perawinya, misalnya karena:


- Dusta (hadits maudlu)

- Tertuduh dusta (hadits matruk)

- Fasik, yaitu banyak salah lengah dalam menghafal

- Banyak waham (prasangka) disebut hadits mu’allal

- Menyalahi riwayat orang kepercayaan

- Tidak diketahui identitasnya (hadits Mubham)

- Penganut Bid’ah (hadits mardud)

- Tidak baik hafalannya (hadits syadz dan mukhtalith)

2. Karena Sanadnya Tidak Bersambung

Macam-macam hadits yang sanadnya tidak bersambung, antara lain:

- Kalau yang digugurkan sanad pertama disebut hadits mu’allaq

- Kalau yang digugurkan sanad terakhir (sahabat) disebut hadits mursal

- Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut disebut hadits mu’dlal

- Jika tidak berturut-turut disebut hadits munqathi’

3. Karena Matan (Isi Teks) Yang Bermasalah

3
Selain karena dua hal di atas, kedha’ifan suatu hadits bisa juga terjadi karena kelemahan pada
matan (isi matan). Adapun Hadits Dha’if yang disebabkan suatu sifat pada matan ialah hadits
Mauquf (hadist yang matanya dinisbahkan pada sahabat)dan Maqthu’ (hadist yang matanya
dinisbahkan pada Tabi’in).

B. Pembagian Hadist Dha’if

Hadits dha’if sangat bervariasi, dan pembagiannya tidak sesederhana pembagian hadits
shahih maupun hasan. Oleh karena itu ada ulama ahli hadits yang membagi hadits dha’if
menjadi 42 macam, 63, 81 bahkan ada yang sampai 129 macam.

Sebab kedha’ifan suatu hadist dapat disebabkan oleh sanad, yaitu terputusnya sanad.
Terputusnya sanad dapat terjadi baik pada tingkat Sahabat, Tabi’in, maupun tingkat
sesudahnya. Begitu pula baik terputus hanya satu tingkat ataupun lebih.

1. Hadits Dha’if karena Gugurnya Rawi

Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu, dua atau beberapa
perawi, yang seharusnya ada dalam satu sanad, baik pada permulaan, pertengahan atau
akhir sanadnya.

a. Hadits Mursal

Kata “Mursal” secara etimologi diambil dari kata “irsal” yang berarti “Melepaskan”,
adapun pengertian hadits mursal secara terminologi ialah hadits yang dimarfu’kan oleh
tabi’in kepada Nabi SAW. Artinya, seorang tabi’in secara langsung mengatakan,
“bahwasanya Rasulullah Saw bersabda…..” Para ulama’ memberikan batasan hadits
mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi
diakhir sanad adalah rawi pada tingkatan sahabat. Jadi mursal adalah hadits yang dalam
sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi seharusnya menerima langsung
dari Rasulullah. Sebagai contoh, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, dari
Abdurrahman dari Harmalah dan dari Said bin Mutsayyab. Bahwasnya Rasulullah Saw
bersabda:

)‫ بيننا وبين المنافقين شهود لعشاء والصبح ال يستطيعون (رواه مالك‬: ‫قال رسول هللا صلى هللا وسلم‬

4
“Rasulullah bersabda: antara kita dengan kaum munafik (ada batas) yaitu menghadiri
jamaah Isya’ dan subuh, mereka tidak masuk menghadirinya”. (HR. Imam Malik). Hadits
ini mursal karena, siapa yang sahabat nabi yang yang meriwayatkan hadits ini kepada
Said bin Mutsayyab, tidaklah disebutkan dalam sanad di atas.

b. Hadits Munqathi’

Menurut bahasa, hadits munqathi’ berarti hadits yang terputus. Para ulama’ memberikan
batasan hadits munqathi’ ialah hadist yang gugur satu atau dua rawi tanpa beriringan
menjelang akhir sanadnya. Bila rawi diakhir sanadnya adalah sahabat Nabi, maka rawi
menjelang akhir sanadnya adalah tabi’in. artinya hadits munqathi’ itu bukanlah rawi di
tingkat sahabat yang gugur tapi minimal gugur seorang tabi’in.

Contoh hadits munqathi’:

‫ بسم هللا والسالم على رسول هللا اللهم غفرلى ذنوبى وافتح لى ابواب‬: ‫ إ ذا دخل المسحد قال‬: ‫كان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
)‫ (رواه ابن ماجه‬.‫رحمتك‬

“Rasulullah SAW, bila masuk ke dalam masjid membaca: dengan nama Allah dan
sejahteralah atas Rasulullah: Ya Allah, Ampunilah segala dosaku dan bukanlah bagiku
segala pintu rahmat-MU”. (HR. Ibnu Majah)

c. Hadits Mu’dhal

Hadits mu’dhal menurut bahasa, berarti hadits yang sulit dipahami. Para ulama member
batasan hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya atau lebih secara
beriringan dalam sanadnya, contohnya: telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah Saw bersabda:

)‫للملوك طعامه وكسوته بالمعروف (رواه مالك‬

“Budak itu harus diberi makanan dan pakaian secara baik”. (HR. Malik)
d. Hadits Mu’allaq

Hadits mu’allaq menurut bahasa berarti hadits yang tergantung. Dari segi istilah, hadits
mu’allaq adalah hadits yang gugur satu rawi atau lebih diawal sanad. Contoh: Bukhari
berkata, kata Malik, dari Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah
bersabda:

5
)‫التقاضلوابين األنبياء (رواه البخارى‬

“Janganlah kamu melebihkan sebagian Nabi dan sebagian yang lain”. (HR. Bukhari)

2. Hadits Dha’if karena Cacat pada Rawi atau Matan

Hadits yang cacat pada rawi atau matannya, atau kedua-duanya digolongkan hadits
dha’if. Ada berbagai macam cacat yang dapat menimpa para rawi atau matannya,
diantaranya pendusta, pernah berdusta, fasiq, tidak dikenal dan berbuat bid’ah merupakan
cacat-cacat yang dapat menghilangkan sifat para rawi.

Adapun cacat matan, misalnya terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau lafal
hadits itu diputarbalikkan sehingga memberikan pengertian yang berbeda dengan maksud
hadits yang sebenarnya.

a. Hadits Maudhu’

Hadits maudhu’ ialah hadits yang bukan hadits Rasulullah Saw tapi disandarkan kepada
beliau oleh orang secara dusta dan sengaja atau secara keliru tanpa sengaja. contoh:

‫اليدخل ولد الزنا الجنة الي سبع ابتاء‬

“Anak zina tidak masuk surga hingga tujuh turunan”.

Hadits tersebut bertentangan dengan firman Allah, surat al-An’am ayat : 164 : Yang
artinya: “Katakanlah: "Apakah Aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal dia adalah
Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan
kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain.

Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa
yang kamu perselisihkan."

Banyak cara untuk bisa mengetahui hadits palsu atau tidak adalah dengan melihat makna
hadits tersebut rusak ataukah batil yaitu dengan memastikan bahwa makna hadits tersebut
masuk akal ataukah tidak, bertentangan dengan akal sehat, bertentangan dengan
kebenaran yang sudah dapat dipastikan secara ilmiah/historis, bertentangan dengan
hadits-hadits yang lebih kuat atau bertentangan dengan ayat al-Qur’an.

c. Hadits Matruk atau Hadits Matruh

6
Hadits matruk ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi, yang menurut penilaan
seluruh ahli hadits terdapat catatan pribadinya sebagai seorang rawi yang dha’if. Contoh:
hadits riwayat Amr bin Syamr, dari Jabir Al-Ju’fi, dari Haris, dari Ali. Dalam hal ini Amr
termasuk orang yang haditsnya ditinggalkan. Atau dengan kata lain hadist yang
diriwayatkan oleh perawi yang suka berdusta, nyata kefasikannya dan pelupa atau ragu
dalam periwayatan.

d. Hadis Munkar

Hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dha’if yang berbeda dengan
riwayat rawi yang tsigah (terpercaya). Contoh:

‫من اقام الصالة واتي الزكاة وحج وصام وقري الضيق ودخل الجنة‬
(‫)رواه بن ابى حاتم‬

“Barang siapa mendirikan shalat, menunaikan zakat, melakukan haji, berpuasa, dan
menjamu tamu, maka dia masuk surga”.

e. Hadits Muallal

Hadist Muallal adalah hadist yang kelihatannya terbebas dari cacat, akan tetapi
sebenarnya memiliki cacat yang tersembunyi baik pada sanad maupun matannya atau
juga pada keduanya. Untuk menemukan illat (cacat) hadist ini membutuhkan pengetahuan
yang luas, ingatan yang kuat dan pemahaman yang cermat. Sebab ‘ilat itu sendiri tidak
tampak, bahkan bagi orang-orang yang menekuni ilmu hadist. Contoh:

‫ البيعان بالخيار مالم يتفرقا‬: ‫قال رسولوهللا صلي هللا عليه وسلم‬

“Rasulullah bersabda: penjual dan pembeli boleh berikhtiar, selama mereka masih belum
berpisah”

f. Hadits Mudraj

Hadits mudraj adalah hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian hadits
itu. Contoh:

‫ والزعيم الحميل لمن أمن بي واسلم وجاهدفي سبيل هللا يبيت في ريض الجنة (رواه‬،‫ انا زعيم‬:‫قال رسولوهللا صلي هللا عليه وسلم‬
)‫النسائ‬

7
“Rasulullah Saw bersabda: saya itu adalah Zaim dan Zaim itu adalah penanggungjawab
dari orang yang beriman kepadaku, taat dan berjuang di jalan Allah, dia bertempat
tinggal di dalam surga.” (HR. An-Nasai)

g. Hadits Maqlub

Hadist yang terjadi pembalikan baik pada sanad, nama periwayat maupun matannya.
Maksudnya perawi mendahulukan apa yang seharusnya diakhirkan dan mengakhirkan
apa yang seharusnya didahulukan serta meletakkan sesuatu di tempat yang lain. Contoh
maqlub pada matan adalah hadist yang diriwayatkan oleh Thabrani:

)‫ (رواه الطبرانى‬.‫ اذا امرتكم بشئ فأتوهواذا نهيتكم عن شئ فاجتنيبوه ما استطعتم‬.‫م‬.‫قال رسول هللا ص‬

“Rasululah bersabda : Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan sesuatu maka


kerjakanlah dia, apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah dia sesuai dengan
kesangupanmu”. (HR. Thabrani)

Sedangkan dalam hadits Buhkari dan Muslim, matan hadist di atas disampaikan dengan
redaksi yang berbeda, yaitu :

.‫ ما بهيتكم عنه فاجتنبوه وما امرتكم به فافعلوه ما استطعتم‬:‫ يقول‬.‫م‬.‫ سمعت رسول هللا ص‬:‫عن ابى هريرة رضي هللا عنه قال‬
)‫(رواه البجارى ومسلم‬

“Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata : saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : apa-apa
yang kami cegah dari kamu semua maka jauhilah dan apa-apa yang kami perintahkan
kepadamu sekalian perbuatlah menurut kemampuanmu”. (HR. Bukhori-Muslim)

h. Hadits Sya

Hadits syaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang terpercaya, yang
berbeda dalam matan atau sanadnya dengan riwayat rawi yang relatif lebih terpercaya,
serta tidak mungkin dikompromikan antara keduanya. Contoh: hadits syaz dalam matan
adalah hadits yang diriwayatkan oleh muslim, dari Nubaisyah Al-Hudzali, dia berkata,
Rasulullah bersabda:

)‫ايام التشريق ايام اكل وشرب (رواه موسى بن على‬

“Hari-hari tasyrik adalah hari-hari makan dan minum”

C. Status Kehujjahan Hadist Dha’if

8
Cacat yang terdapat pada hadits dha’if berbeda-beda. Hal ini berimbas pada tingkatan
(martabat) hadits-hadits dha’if juga mengalami perbedaan. Dari hadits yang mengandung
cacat pada rawi (sanad) atau matannya, yang paling rendah martabatnya adalah hadits
maudhu’, kemudian hadits matruk, hadits munkar, hadits muallal, hadits mudraj dan
hadits maqlub. Sedangkan untuk hadits yang gugur rawi atau sejumlah rawinya yang
paling lemah adalah hadits muallaq, hadits mu’dhal, hadits munqathi’ dan hadits mursal.
Berkaitan dengan hal tersebut maka dalam hal kebolehannya (kehujjahan) hadits dha’if
untuk diamalkan terdapat beberapa pendapat:

Pendapat pertama, hadits dha’if tersebut dapat diamalkan secara mutlak, yakni baik yang
berkenaan dengan masalah halal dan haram, maupun yang berkaitan dengan kewajiban
dengan syarat tidak ada hadits lain yang menerangkannya. Pendapat ini disampaikan oleh
beberapa imam, seperti imam Ahmad bin Hambal, Abu Dawud dan sebagainya. Pendapat
ini tentunya berkenaan dengan hadits yang tidak terlalu dha’if, karena hadits yang dha’if
itu ditinggalkan para ulama’. Disamping itu pula hadits dha’if itu tidak boleh
bertentangan dengan hadits yang lain.

Pendapat kedua, dipandang baik mengamalkan hadits dha’if dalam fadaitul amal, baik
yang berkaitan dengan hal-hal yang dianjurkan maupun dilarang. Segolongan ulama’
yang dipimpin oleh Syaikh Muhyiddin an-Nawawi menyatakan : sudah menjadi
kesepakatan ulama akan diperbolehkannya menggunakan hadits dha’if sebagai dalil untuk
fadaitul amal. Ibnu Daqiq al’Id memberikan syarat dibolehkannya penggunaan hadits
dha’if dalam fadaitul amal :

1. Hadits dha’if itu harus benar-benar ada berdasarkan sumber yang asli. Artinya
bukan rekayasa seseorang.
2. Tidak menganggapnya sebagai hadits shahih ketika mengamalkannya, tetapi
menganggapnya sebagai langkah antisipatif saja.
3. Telah disepakati untuk diamalkan, yaitu hadits dha’if yang tidak terlalu dha’if.
4. Hadits dha’if yang bersangkutan berada di bawah suatu dalil yang umum,
sehingga tidak bisa diamalkan hadits dha’if yang sama sekali tidak memiliki dalil
pokok.
Pendapat yang ketiga, hadits dha’if sama sekali tidak dapat diamalkan, baik yang
berkaitan dengan fadaitul amal maupun yang berkaitan dengan halal-haram.
Dalam hal ini pemakalah lebih sependapat dengan pendapat yang ketiga, yakni

9
hadist dha’if sama sekali tidak dapat diamalkan baik yang berkaitan dengan
Fadaitul amal maupun yang berkaitan dengan halal-haram. dengan alasan
bahwasanya masih banyak hadits shahih yang lebih kuat dasar hukumnya yang
masih bisa kita jadikan sandaran hukum.
D. Contoh Kitab-kitab Yang Memuat Hadits Dha’if
1. Al-Maudu’at, karya Al-Imam Al-Hafiz Abul Faraj Abdur Rahman bin Al-
Jauzi (579 H)
2. Al-Laali Al- Masnuah fi Al-Hadits Al-Mauduah, Karya Al-Hafiz Jalaludin Al-
Suyuti (911 H)
3. Tanzih Al-Syariah Al-Marfuah An Al-Ahadits Al-Syaniah Al-Mauduah, karya
Alhafizh Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad Bun Iraq Al-Kannani (963 H)
4. Al-Manar Al-Munif fi Shahih wa Al-Dafi, karya Al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-
Jauziyah ( 751 H )
5. Al-Masnu fi Al-Hadits Al-Maudu’ karya Ali Al-Qari ( 1014 H )

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hadist berfungsi sebagai bayyanu taudhih tafsir (sebagai penjelas) dan sebagai
bayyanu tsabit (menambah) yang tidak ada dalam al-qur’an.
2. Akan tetapi tidak semua hadist-hadist yang jumlahnya ribuan bisa dijadikan pedoman
atau dijadikan sebagai hujjah. Ada tingkatan-tingkatan dalam pembagian hadits
tersebut. Tingkatan-tingkatan tersebut sangat berpengaruh dalam peluang penggunaan
hadits tersebut sebagai hujjah, terutama Hadist dha’if.
3. Hadist Dha’if adalah Hadist yang lemah baik disebabkan oleh karena kekurangan
perawinya atau karena sanadnya tidak bersambung
4. Kehujjahan penggunaan hadits dha’if ada tiga :
a. Boleh secara mutlak, baik itu berkaitan dengan halal dan haram dan kewajiban
asalkan hadits tersebut tidak terlalu dha’if.
b. Boleh hanya dalam hal yang berkaitan dengan fadaitul amal, itupun disertai dengan
beberapa syarat.
c. Tidak boleh diamalkan sama sekali dengan alasan karena hadits yang dha’if lebih
mendekati dengan palsu padahal masih banyak hadits shahih yang masih bisa
digunakan.

11

Anda mungkin juga menyukai