Anda di halaman 1dari 39

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Agama Islam sudah dikenal masyarakat sejak dahulu. Banyak sekali cara penyebaran
agama islam sehingga dapat diterma dengan mudahnya oleh masyarakat. Dalam hal ini,
dahulu islam berkembang melalui kerajaan – kerajaan di Nusantara. Kerajaan Islam
berkembang pesat di nusantara baik berasal dari penyebaran oleh para pedangang maupun
melalui media lainnya. Seiring dengan persebaran agama Islam di nusantara banyak
didirikan kerajaan Islam. Salah satu Kerajan Islam tertua di kawasan timur nusantara
ialah Kerajaan Ternate, kerajaan ini berdiri pada abad ke-13 hingga abad ke-17. Kerajaan
Ternate pada umumnya disebut kesultanan Ternate memiliki kekuatan besar dibidang
perekonomian karena memiliki kekayaan rempah-rempah dan daerah ini mengalami
eksodus penduduk dari Halmahera. Oleh sebab tersebut Kerajaan Ternate memiliki
pengaruh besar terhadap perdagangan di nusantara dan padat penduduk. Kerajaan Islam
yang berkedudukan di Maluku setelah Kerajaan Ternate ialah Kerajaan Tidore.
Kerajaan Tidore berdiri pada tahun 1108 M dibawah kekuasaan Kolonel Belanda.
Belanda berusaha untuk memonopoli bumi Maluku karena memiliki kekayaan rempah-
rempah yang melimpah. Kerajaan Tidore mengalami masa kejayaan pada era Sultan
Nuku dengan keadaan system pemerintahan yang telah berjalan dengan baik. Dalam
menghadapi penjajahan Kolonial Belanda, Kerajaan Tidore mendapat bantuan dari
Kerjaan Makassar yang berkedudukan di Pantai barat semenanjung Sulawesi Selatan
untuk berjuang melawan Kolonial Belanda. Kerajaan Makassar menjadi persinggahan
para pedagang karena lokasinya strategis dengan jalur perdagangan nusantara. Meskipun
memiliki kekuatan yang besar dibawah kepemimpinan Sultan Hassanudian, Belanda
mampu menumbangkan kejayaannya dengan melakukan politik devide et impera dan
berdiplomasi dengan kerajaan Bone yang diperintah oleh Raja Aru Palaka melakukan
pemberontakan terhadap Makassar. Kerajaan tersebut diatas berperan penting dalam
persebaran Islam, keadaan perekonomian, budaya, serta politik pemerintahan di
nusantara.

1
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana kehidupan politik, ekonomi sosial dan budaya di Kerajaan Gowa Tallo?
1.2.2 Bagaimana kehidupan politik, ekonomi sosial dan budaya di Kerajaan Ternate?
1.2.3 Bagaimana kehidupan politik, ekonomi sosial dan budaya di Kerajaan Tidore?

1.3 Tujuan Pembelajaran


1.3.1 Mengetahui kehidupan politik, ekonomi sosial dan budaya di Kerajaan Gowa Tallo
1.3.2 Mengetahui kehidupan politik, ekonomi sosial dan budaya di Kerajaan Ternate
1.3.3 Mengetahui kehidupan politik, ekonomi sosial dan budaya di Kerajaan Tidore

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kerajaan Gowa Tallo


2.1.1 Awal Berdirinya
Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang
dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian
menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data,
Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik
damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk membentuk
Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung
sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat
orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang pertama adalah
Batara Guru dan saudaranya

Gambar di bawah merupakan peta Sulawesi Selatan. Di Sulawesi


Selatan pada abad 16 terdapat beberapa kerajaan di antaranya Gowa, Tallo,
Bone, Sopeng, Wajo dan Sidenreng. Untuk mengetahui letak kerajaan-
kerajaan tersebut, silahkan diamati gambar peta tersebut.

Gambar Peta lokasi kerajaan Gowa – Tallo.

Masing-masing kerajaan tersebut membentuk persekutuan sesuai


dengan pilihan masing-masing. Salah satunya adalah kerajaan Gowa dan Tallo
membentuk persekutuan pada tahun 1528, sehingga melahirkan suatu
kerajaan yang lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Makasar. Nama
Makasar sebenarnya adalah ibukota dari kerajaan Gowa dan sekarang masih
digunakan sebagai nama ibukota propinsi Sulawesi Selatan.

3
2.1.2 Kehidupan Ekonomi
Seperti yang kita ketahui bahwa kerajaan Makasar merupakan
kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat perdagangan di Indonesia
bagian Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa faktor seperti letak yang
strategis, memiliki pelabuhan yang baik serta didukung oleh jatuhnya Malaka
ke tangan Portugis tahun 1511 yang menyebabkan banyak pedagang-
pedagang yang pindah ke Indonesia Timur.

Sebagai pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai pelabuhan


internasional dan banyak disinggahi oleh pedagang-pedagang asing seperti
Portugis, Inggris, Denmark dan sebagainya yang datang untuk berdagang di
Makasar.

Pelayaran dan perdagangan di Makasar diatur berdasarkan hukum


niaga yang disebut dengan ADE' ALOPING LOPING BICA‘ANNA
PABBALUE (ket
: artinya apa), sehingga dengan adanya hukum niaga tersebut, maka
perdagangan di Makasar menjadi teratur dan mengalami perkembangan yang
pesat. Selain perdagangan, Makasar juga mengembangkan kegiatan pertanian
karena Makasar juga menguasai daerah-daerah yang subur di bagian Timur
Sulawesi Selata

2.1.3 Kehidupan Sosial


Sebagai negara Maritim, maka sebagian besar masyarakat Makasar
adalah nelayan dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan
taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang merantau untuk
menambah kemakmuran hidupnya.

Sejak Gowa Tallo sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini


menjalin hubungan dengan Ternate yang sudah menerima Islam dari Gresik.
Raja Ternate yakni Baabullah mengajak raja Gowa Tallo untuk masuk
Islam, tapi gagal. Baru pada masa Raja Datu Ri Bandang datang ke
Kerajaan Gowa Tallo agama Islam mulai masuk ke kerajaan ini. Setahun
kemudian hampir seluruh penduduk Gowa Tallo memeluk Islam.
Mubaligh yang berjasa

4
menyebarkan Islam adalah Abdul Qodir Khotib Tunggal yang berasal
dari Minangkabau.

Raja Gowa Tallo sangat besar perannya dalam menyebarkan Islam,


sehingga bukan rakyat saja yang memeluk Islam tapi kerajaan-kerajaan
disekitarnya juga menerima Islam, seperti Luwu, Wajo, Soppeg, dan Bone.
Wajo menerima Islam tahun 1610 M. Raja Bone pertama yang menerima
Islam bergelar Sultan Adam. Walaupun masyarakat Makasar memiliki
kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi
dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka
anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat Makasar diatur berdasarkan
adat dan agama Islam yang disebut PANGADAKKANG. Dan masyarakat
Makasar sangat percaya terhadap norma-norma tersebut.

Di samping norma tersebut, masyarakat Makasar juga mengenal


pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan
bangsawan dan keluarganya disebut dengan "Anakarung/Karaeng",
sedangkan rakyat kebanyakan disebut "to Maradeka" dan masyarakat lapisan
bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan "Ata"..

2.1.4 Kehidupan Politik Dan Masa Kemunduran kerajaan Gowa -Tallo


Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan dilakukan oleh Datuk Robandang
dari Sumatera, sehingga pada abad 17 agama Islam berkembang pesat di
Sulawesi Selatan, bahkan raja Makasar pun memeluk agama Islam.

Raja Makasar yang pertama memeluk agama Islam adalah Karaeng


Matoaya (Raja Gowa) yang bergelar Sultan Alaudin yang memerintah Makasar
tahun 1593 – 1639 dan dibantu oleh Daeng Manrabia (Raja Tallo) sebagai
Mangkubumi bergelar Sultan Abdullah. Sejak pemerintahan Sultan Alaudin
kerajaan Makasar berkembang sebagai kerajaan maritim dan berkembang
pesat pada masa pemerintahan raja Malekul Said (1639 – 1653).

Selanjutnya kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada


masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa

5
pemerintahannya Makasar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu
dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat
menunjang keperluan perdagangan Makasar. Perluasan daerah Makasar
tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat.

Gambar Peta lokasi kerajaan Makasar.

Daerah kekuasaan Makasar luas, seluruh jalur perdagangan di


Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja
yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang
kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di
Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia
Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi
tersebut maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC,
bahkan menyebabkan terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di
daerah Maluku.

Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin


sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di
Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian
Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya
sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk mengakhiri
peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba
antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja
Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar meminta bantuan
kepada VOC untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai
akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar.

6
Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai
ibukota kerajaan Makasar. Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus
mengakui kekalahannya dan menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667
yang isinya tentu sangat merugikan kerajaan Makasar.

Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:

a. VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.

b. Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.

c. Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan


pulau-pulau di luar Makasar.

d. Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.

Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar


terhadap Belanda tetap berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin
yaitu Mapasomba (putra Hasannudin) meneruskan perlawanan melawan
Belanda. Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makasar, Belanda
mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat
menguasai sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami
kehancurannya.

2.1.5 Kehidupan Budaya


Karena kerajaan Makassar bersifat maritime maka kebudayaannya
dipengaruhi oleh keadaan tersebut, seperti pembuat alat penangkap ikan dan
kapal pinisi. Sampai sekarang kapal pinisi dari Sulawesi Selatan masih menjadi
salah satu kebanggan bangsa Indonesia. Disamping itu, masyarakat kerajaan
Makassar juga mengembangkan seni sastra, yaitu kitab Lontara.

2.1.6 Peninggalan Kerajaan Gowa dan Tallo


Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah
sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada
di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Benteng ini

7
dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau
Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini
berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14
Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang
bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Benteng Ujung
Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke
lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu
dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang
berjaya di daratan maupun di lautan. Nama asli benteng in i adalah Benteng
Ujung Pandang.

Benteng Fort Rotterdam

Masjid Katangka

Mesjid Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak berdirinya telah


mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran itu berturut-turut dilakukan
oleh Sultan Mahmud (1818), Kadi Ibrahim (1921), Haji Mansur Daeng
Limpo, Kadi Gowa (1948), dan Andi Baso, Pabbicarabutta Gowa (1962)
sangat sulit mengidentifikasi bagian paling awal (asli) bangunan mesjid
tertua Kerajaan Gowa ini.

10
Kompleks makam raja gowa tallo

Makam raja-raja. Tallo adalah sebuah kompleks makam kuno yang


dipakai sejak abad XVII sampai dengan abad XIX Masehi. Letaknya di RK
4 Lingkungan Tallo, Kecamatan Tallo, Kota Madya Ujungpandang. Lokasi
makam terletak di pinggir barat muara sungai Tallo atau pada sudut timur laut
dalam wilayah benteng Tallo. Ber¬dasarkan basil penggalian (excavation)
yang dilakukan oleh Suaka Peninggalan sejarah dan Purbakala (1976¬-
1982) ditemukan gejala bah wa komplek makam ber¬struktur tumpang-
tindih. Sejumlah makam terletak di atas pondasi bangunan, dan kadang-
kadang ditemukan fondasi di atas bangunan makam.
Kompleks makam raja-raja Tallo ini sebagian ditempat¬kan di dalam
bangunan kubah, jirat semu dan sebagian tanpa bangunan pelindung: Jirat
semu dibuat dan balok¬balok ham pasir. Bangunan kubah yang berasal dari
kuran waktu yang lebih kemudian dibuat dari batu bata. Penempatan balok
batu pasir itu semula tanpa memper¬gunakan perekat. Perekat digunakan
Proyek Pemugaran. Bentuk bangunan jirat dan kubah pada kompleks ini
kurang lebih serupa dengan bangunan jirat dan kubah dari kompleks makam
Tamalate, Aru Pallaka, dan Katangka. Pada kompleks ini bentuk makam
dominan berciri abad XII Masehi.

2.1.7 Kesimpulan
Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan
besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari
kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan
pesisir barat Sulawesi. Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan

11
komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera),
yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-
Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Sejak Gowa
Tallo sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan dengan
Ternate yang sudah menerima Islam dari Gresik. Raja Ternate yakni Baabullah
mengajak raja Gowa Tallo untuk masuk Islam, tapi gagal. Baru pada masa Raja
Datu Ri Bandang datang ke Kerajaan Gowa Tallo agama Islam mulai masuk
ke kerajaan ini.

Setahun kemudian hampir seluruh penduduk Gowa Tallo memeluk


Islam. Mubaligh yang berjasa menyebarkan Islam adalah Abdul Qodir Khotib
Tunggal yang berasal dari Minangkabau. Makasar mencapai puncak
kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669).
Daerah kekuasaan Makasar luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia
Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat
anti kepada dominasi asing. Dalam peperangan melawan VOC, Sultan
Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan
pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak.
Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan
julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur.

8
2.2 Kerajaan Ternate
2.2.1 Gubahan Kesultanan menjadi Kerajaan
Kesultanan Ternate (mengikuti nama ibu kotanya) adalah salah satu
dari 4 kerajaan Islam di Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam
tertua di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257.
Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara
antara abad ke-13 hingga abad ke-17. Kesultanan Ternate menikmati
kegemilangan di paruh abad ke -16 berkat perdagangan rempah-rempah dan
kekuatan militernya. Di masa jaya kekuasaannya membentang mencakup
wilayah Maluku, Sulawesi utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan
Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di pasifik.

2.2.2 Asal Usul


Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13, penduduk
Ternate awal merupakan warga eksodus dari Halmahera. Awalnya di Ternate
terdapat empat kampung yang masing - masing dikepalai oleh seorang
momole (kepala marga), merekalah yang pertama – tama mengadakan
hubungan dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru mencari
rempah – rempah. Penduduk Ternate semakin heterogen dengan
bermukimnya pedagang Arab, Jawa, Melayu dan Tionghoa. Oleh karena
aktivitas perdagangan yang semakin ramai ditambah ancaman yang sering
datang dari para perompak maka atas prakarsa momole Guna pemimpin
Tobona diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang lebih
kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja.
Tahun 1257 momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat
sebagai Kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo
(1257- 1272). Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam
perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh penduduk
disebut juga sebagai "Gam Lamo" atau kampung besar (belakangan orang
menyebut Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin besar dan populernya
Kota Ternate, sehingga kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan
Ternate daripada kerajaan Gapi. Di bawah pimpinan beberapa generasi

9
penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan yang hanya
berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh dan
terbesar di bagian timur Indonesia khususnya Maluku.

2.2.3 Organisasi kerajaan


Di masa – masa awal suku Ternate dipimpin oleh para momole.
Setelah membentuk kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang raja yang
disebut Kolano. Mulai pertengahan abad ke-15, Islam diadopsi secara total
oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam diberlakukan. Sultan Zainal Abidin
meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan gelar Sultan. Para
ulama menjadi figur penting dalam kerajaan.
Setelah Sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan Jogugu
(perdana menteri) dan FalaRaha sebagai para penasihat. Fala Raha atau Empat
Rumah adalah empat klan bangsawan yang menjadi tulang punggung
kesultanan sebagai representasi para momole pada masa lalu, masing –
masing dikepalai seorang Kimalaha. Mereka antara lain : Marasaoli, Tomagola,
Tomaito dan Tamadi. Pejabat – pejabat tinggi kesultanan umumnya berasal
dari klan – klan ini. Bila seorang sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya
dipilih dari salah satu klan. Selanjutnya ada jabatan – jabatan lain Bobato
Nyagimoi se Tufkange (Dewan 18), Sabua Raha, Kapita Lau, Salahakan,
Sangaji dll.

2.2.4 Kedatangan Islam


Tak ada sumber yang jelas mengenai kapan awal kedatangan Islam di
Maluku khususnya Ternate. Namun diperkirakan sejak awal berdirinya
kerajaan Ternate masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat
banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate kala itu. Beberapa
raja awal Ternate sudah menggunakan nama bernuansa Islam namun
kepastian mereka maupun keluarga kerajaan memeluk Islam masih
diperdebatkan oleh banyak sumber. Hanya dapat dipastikan bahwa keluarga
kerajaan Ternate resmi memeluk Islam pertengahan abad ke-15.
Kolano Marhum (1465-1486) penguasa Ternate ke-18 adalah raja
pertama yang diketahui memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat

10
istana. Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin(1486-
1500). Beberapa langkah yang diambil Sultan Zainal Abidin adalah
meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan Sultan, Islam diakui
sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, membentuk
lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama.
Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara total,
hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah yang pertama di
Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan
berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa, disana beliau dikenal sebagai "Sultan
Bualawa" (Sultan Cengkih).

2.2.5 Kedatangan Portugal dan perang saudara


Di masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521), Ternate
semakin berkembang, rakyatnya diwajibkan berpakaian secara islami, teknik
pembuatan perahu dan senjata yang diperoleh dari orang Arab dan Turki
digunakan untuk memperkuat pasukan Ternate. Di masa ini pula datang
orang Eropa pertama di Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema)
tahun 1506. Tahun 1512 Portugal untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di
Ternate dibawah pimpinan Fransisco Serrao, atas persetujuan Sultan, Portugal
diizinkan mendirikan pos dagang di Ternate. Portugal datang bukan semata –
mata untuk berdagang melainkan untuk menguasai perdagangan rempah –
rempah Pala dan Cengkih di Maluku. Untuk itu terlebih dulu mereka harus
menaklukkan Ternate. Sultan Bayanullah wafat meninggalkan pewaris -
pewaris yang masih sangat belia. Janda sultan, permaisuri Nukila dan
Pangeran Taruwese, adik almarhum sultan bertindak sebagai wali. Permaisuri
Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan Ternate dan Tidore dibawah
satu mahkota yakni salah satu dari kedua puteranya, pangeran Hidayat (kelak
Sultan Dayalu) dan pangeran Abu Hayat (kelak Sultan Abu Hayat II).
Sementara pangeran Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya sendiri.
Portugal memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba
keduanya hingga pecah perang saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung
Tidore sedangkan pangeran Taruwese didukung Portugal. Setelah meraih
kemenangan pangeran Taruwese justru dikhianati dan dibunuh Portugal.

15
Gubernur Portugal bertindak sebagai penasihat kerajaan dan dengan pengaruh
yang dimiliki berhasil membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat
pangeran Tabariji sebagai sultan. Tetapi ketika Sultan Tabariji mulai
menunjukkan sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa – India.
Disana ia dipaksa Portugal untuk menandatangani perjanjian menjadikan
Ternate sebagai kerajaan Kristen dan vasal kerajaan Portugal, namun
perjanjian itu ditolak mentah-mentah Sultan Khairun (1534-1570).

2.2.6 Kedatangan Belanda


Sepeninggal Sultan Baabullah Ternate mulai melemah, Spanyol yang
telah bersatu dengan Portugal tahun 1580 mencoba menguasai kembali
Maluku dengan menyerang Ternate. Dengan kekuatan baru Spanyol
memperkuat kedudukannya di Filipina, Ternate pun menjalin aliansi dengan
Mindanao untuk menghalau Spanyol namun gagal bahkan sultan Said Barakati
berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Manila. Kekalahan demi kekalahan
yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan Belanda tahun 1603.
Ternate akhirnya sukses menahan Spanyol namun dengan imbalan yang amat
mahal. Belanda akhirnya secara perlahan-lahan menguasai Ternate, tanggal
26 Juni 1607 Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di
Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol. Pada tahun 1607
pula Belanda membangun benteng Oranje di Ternate yang merupakan
benteng pertama mereka di nusantara.
Sejak awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara
Belanda dan Ternate menimbulkan ketidakpuasan para penguasa dan
bangsawan Ternate. Diantaranya adalah pangeran Hidayat (15?? - 1624), Raja
muda Ambon yang juga merupakan mantan wali raja Ternate ini memimpin
oposisi yang menentang kedudukan sultan dan Belanda. Ia mengabaikan
perjanjian monopoli dagang Belanda dengan menjual rempah – rempah
kepada pedagang Jawa dan Makassar.

2.2.7 Perlawanan rakyat Maluku dan kejatuhan Ternate


Semakin lama cengkeraman dan pengaruh Belanda pada sultan –
sultan Ternate semakin kuat, Belanda dengan leluasa mengeluarkan

16
peraturan yang merugikan rakyat lewat perintah sultan, sikap Belanda yang
kurang ajar dan sikap sultan yang cenderung manut menimbulkan
kekecewaan semua kalangan. Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 4
pemberontakan yang dikobarkan bangsawan Ternate dan rakyat Maluku.
Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga
rempah yang merosot Belanda memutuskan melakukan penebangan besar –
besaran pohon cengkeh dan pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal
sebagai Hongi Tochten, akibatnya rakyat mengobarkan perlawanan. Tahun
1641, dipimpin oleh raja muda Ambon Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan
gabungan Ternate – Hitu – Makassar menggempur berbagai kedudukan
Belanda di Maluku Tengah. Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan
dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya tanggal 16 Juni 1643.
Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, kapita Hitu Kakiali dan
Tolukabessi hingga 1646.
Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di
Ternate dan Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah
(1648-1650,1655-1675) yang terlampau akrab dan dianggap cenderung
menuruti kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot untuk menurunkan
Mandarsyah. Tiga di antara pemberontak yang utama adalah trio pangeran
Saidi, Majira dan Kalamata. Pangeran Saidi adalah seorang Kapita Laut atau
panglima tertinggi pasukan Ternate, pangeran Majira adalah raja muda
Ambon sementara pangeran Kalamata adalah adik sultan Mandarsyah. Saidi
dan Majira memimpin pemberontakan di Maluku tengah sementara pangeran
Kalamata bergabung dengan raja Gowa sultan Hasanuddin di Makassar.
Mereka bahkan sempat berhasil menurunkan sultan Mandarsyah dari tahta
dan mengangkat Sultan Manilha (1650–1655) namun berkat bantuan Belanda
kedudukan Mandarsyah kembali dipulihkan. Setelah 5 tahun pemberontakan
Saidi cs berhasil dipadamkan. Pangeran Saidi disiksa secara kejam hingga mati
sementara pangeran Majira dan Kalamata menerima pengampunan Sultan
dan hidup dalam pengasingan.
Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang lebih dikenal dengan nama
Sultan Sibori (1675 – 1691) merasa gerah dengan tindak – tanduk Belanda
yang semena - mena. Ia kemudian menjalin persekutuan dengan Datuk

17
Abdulrahman penguasa Mindanao, namun upayanya untuk menggalang
kekuatan kurang maksimal karena daerah – daerah strategis yang bisa
diandalkan untuk basis perlawanan terlanjur jatuh ke tangan Belanda oleh
berbagai perjanjian yang dibuat para pendahulunya. Ia kalah dan terpaksa
menyingkir ke Jailolo. Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa
menandatangani perjanjian yang intinya menjadikan Ternate sebagai kerajaan
dependen Belanda. Perjanjian ini mengakhiri masa Ternate sebagai negara
berdaulat.
Meski telah kehilangan kekuasaan mereka beberapa Sultan Ternate
berikutnya tetap berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda.
Dengan kemampuan yang terbatas karena selalu diawasi mereka hanya
mampu menyokong perjuangan rakyatnya secara diam – diam. Yang terakhir
tahun 1914 Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1896-1927) menggerakkan
perlawanan rakyat di wilayah – wilayah kekuasaannya, bermula di wilayah
Banggai dibawah pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal. Di Jailolo
rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau
berhasil menimbulkan kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit Belanda
yang tewas termasuk Coentroleur Belanda Agerbeek, markas mereka
diobrak – abrik. Akan tetapi karena keunggulan militer serta persenjataan
yang lebih lengkap dimiliki Belanda perlawanan tersebut berhasil
dipatahkan, kapita Banau ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Sultan
Haji Muhammad Usman Syah terbukti terlibat dalam pemberontakan ini oleh
karenanya berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23
September 1915 no. 47, sultan Haji Muhammad Usman Syah dicopot dari
jabatan sultan dan seluruh hartanya disita, beliau dibuang ke Bandung tahun
1915 dan meninggal disana tahun 1927. Pasca penurunan sultan Haji
Muhammad Usman Syah jabatan sultan sempat lowong selama 14 tahun
dan pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu serta dewan kesultanan.
Sempat muncul keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus
kesultanan Ternate namun niat itu urung dilaksanakan karena khawatir akan
reaksi keras yang bisa memicu pemberontakan baru sementara Ternate
berada jauh dari pusat pemerintahan Belanda di Batavia.

18
Dalam usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan
Ternate masih tetap bertahan meskipun hanya sebatas simbol budaya.
Jabatan sultan sebagai pemimpin Ternate ke-49 kini dipegang oleh sultan Drs.
H. Mudaffar Sjah, BcHk. (Mudaffar II) yang dinobatkan tahun 1986.

2.2.8 Warisan Ternate


Imperium nusantara timur yang dipimpin Ternate memang telah
runtuh sejak pertengahan abad ke-17 namun pengaruh Ternate sebagai
kerajaan dengan sejarah yang panjang masih terus terasa hingga berabad
kemudian. Ternate memiliki andil yang sangat besar dalam kebudayaan
nusantara bagian timur khususnya Sulawesi (utara dan pesisir timur) dan
Maluku. Pengaruh itu mencakup agama, adat istiadat dan bahasa.
Sebagai kerajaan pertama yang memeluk Islam Ternate memiliki
peran yang besar dalam upaya pengislaman dan pengenalan syariat-syariat
Islam di wilayah timur nusantara dan bagian selatan Filipina. Bentuk
organisasi kesultanan serta penerapan syariat Islam yang diperkenalkan
pertama kali oleh sultan Zainal Abidin menjadi standar yang diikuti semua
kerajaan di Maluku hampir tanpa perubahan yang berarti. Keberhasilan rakyat
Ternate dibawah sultan Baabullah dalam mengusir Portugal tahun 1575
merupakan kemenangan pertama pribumi nusantara atas kekuatan barat, oleh
karenanya almarhum Buya Hamka bahkan memuji kemenangan rakyat
Ternate ini telah menunda penjajahan barat atas bumi nusantara selama 100
tahun sekaligus memperkokoh kedudukan Islam, dan sekiranya rakyat
Ternate gagal niscaya wilayah timur Indonesia akan menjadi pusat kristen
seperti halnya Filipina.
Kedudukan Ternate sebagai kerajaan yang berpengaruh turut pula
mengangkat derajat Bahasa Ternate sebagai bahasa pergaulan di berbagai
wilayah yang berada dibawah pengaruhnya. Prof E.K.W. Masinambow dalam
tulisannya; "Bahasa Ternate dalam konteks bahasa - bahasa Austronesia dan
Non Austronesia" mengemukakan bahwa bahasa Ternate memiliki dampak
terbesar terhadap bahasa Melayu yang digunakan masyarakat timur
Indonesia. Sebanyak 46% kosakata bahasa Melayu di Manado diambil dari
bahasa Ternate. Bahasa Melayu – Ternate ini kini digunakan luas di Indonesia

19
Timur terutama Sulawesi Utara, pesisir timur Sulawesi Tengah dan Selatan,
Maluku dan Papua dengan dialek yang berbeda – beda. Dua naskah surat
sultan Ternate Abu Hayat II kepada Raja Portugal tanggal 27 April dan 8
November 1521 diakui sebagai naskah Melayu tertua di dunia setelah naskah
MelayuTanjung Tanah. Kedua surat Sultan Abu Hayat tersebut saat ini masih
tersimpan di museum Lisabon – Portugal.

2.2.9 Kehidupan Ekonomi


Tanah di Kepulauan maluku itu subur dan diliputi hutan rimba yang
banyak memberikan hasil diantaranya cengkeh dan di kepulauan Banda banyak
menghasilkan pala. Pada abad XIV, kerajaan Ternate mulai maju karena
berkembangnya perdagangan rempah-rempah.Pesatnya perkembangan
perdagangan keluar dari maluku mengakibatkan terbentuknya persekutuan.

2.2.10 Kehidupan Sosial


Kedatangan bangsa Portugis di kepulauan Maluku bertujuan untuk
menjalin perdagangan dan mendapatkan rempah-rempah. Bangsa Portugis
juga ingin mengembangkan agama katholik. Sultan Sairun adalah tokoh yang
paling keras melawan orang Portugis dan usaha Kristenisasi di Maluku. Tokoh
missi Katholik yang pertama di Maluku ialah Fransiscus Zaverius tahun 1546
M, ia berhasil mengkhatolikkan sebagian dari penduduk Maluku.
Seperti sudah diketahui, bahwa sebagian dari daerah maluku terutama
Ternate sebagai pusatnya, sudah masuk agama islam. Oleh karena itu, tidak
jarang perbedaan agama ini dimanfaatkan oleh orang-orang Portugis untuk
memancing pertentangan antara para pemeluk agama itu. Dan bila
pertentangan sudah terjadi maka pertentangan akan diperuncing lagi dengan
campur tangannya orang-orang Portugis dalam bidang pemerintahan,
sehingga seakan-akan merekalah yang berkuasa.
Setelah masuknya kompeni Belanda di Maluku, semua orang yang
sudah memeluk agama Katholik harus berganti agama menjadi Protestan. Hal
ini menimbulkan masalah-masalah sosial yang sangat besar dalam kehidupan
rakyat dan semakin tertekannya kehidupan rakyat. Keadaan ini menimbulkan
amarah yang luar biasa dari rakyat Maluku kepada kompeni Belanda. Di

20
Bawah pimpinan Sultan Ternate, perang umum berkobar, namun perlawanan
tersebut dapat dipadamkan oleh kompeni Belanda. Kehidupan rakyat Maluku
pada zaman kompeni Belanda sangat memprihatinkan sehingga muncul
gerakan menentang Kompeni Belanda.

2.2.11 Kehidupan Politik


Di kepulauan maluku terdapat kerajaan kecil, diantaranya kerajaan
ternate sebagai pemimpin Uli Lima yaitu persekutuan lima bersaudara. Uli
Siwa yang berarti persekutuan sembilan bersaudara. Ketika bangsa portugis
masuk, portugis langsung memihak dan membantu ternate, hal ini
dikarenakan portugis mengira ternate lebih kuat. Bagaimanapun kehadiran
para pedaganag Portugis di Ternate dirasakan kerajaan Ternate merugikan
karena monopoli perdagangan sehingga kerap menimbulkan pemberontakan
terhadap kedudukan Portugis di Ternate, terlebbih pada masa Antonio Galvao
menjadi Gubernur Portugis di Maluku (1536-
1540).
* Sultan Khairun
Untuk dapat memperkuat kedudukannya, portugis mendirikan sebuah
benteng yang di beri nama Benteng Santo Paulo. Namun tindakan portugis
semakin lama di benci oleh rakyat dan para penjabat kerajaan ternate. Oleh
karena itu Sultan Khairun secara terang-terangan menentang politik monopoli
dari bangsa portugis. Pada tahun 1565 Sultan Khairun dengan rakyatnya
mengadakan penyerangan-penyerangan terhadap Portugis karena hampir
terdesak pihak Portugis melakukan penipuan dengan dalih untuk mengadakan
perundingan tetapi tternyata Sultan Khairun dibunuh tahun 1570 yang
menebabkakn makin marahnya rakyat
4
Ternate.
* Sultan Baabullah
Sultan baabullah (Putra Sultan Hairun) bangkit menentang portugis.
Tahun 1577 M Portugis dapat dikalahkan dan meninggalkan benteng,
menyingkir ke pulau dekat Tahulu tidak jauh dari Tidore, tetapi tetap
diganggu oleh Ternate agar menyingkir dari tempat itu. Sultan Baabullah
menyatakan dirinya sebagai penguasa seluruh Maluku bahkan mendapat
pengakuan kekuasaannya samapai ke berbagai daerah Mindanao, Manado,
Sangihe, dan daerah-daerah Nusa Tenggara. Sultan Baabullah wafat pada
21
tahun1583, orang-orang Spanyol menyerang Ternate dan berhasil merebut
benteng Gamulamu di Ternate tahun 1606.
*Sahid Barkat
Sultan Ternate pada waktu itu Sahid Barkat ditangkap dan diminta
agar menyerahkan semua benteng-benteng yang ada kepada sekutu, agar
tawanan orang-orang Kristen dibebaskan, kemudian raja Ternate diasingkan
dengan putra-putranya serta kaicil-kaicil dibawah Manila. muncullah VOC
Belanda.

2.2.12 Kehidupan Budaya


Ternate memiliki andil yang sangat besar dalam kebudayaan
nusantara bagian timur khususnya Sulawesi (utara dan pesisir timur) dan
Maluku. Pengaruh itu mencakup agama, adat istiadat dan bahasa.
Kedudukan Ternate sebagai kerajaan yang berpengaruh turut pula
mengangkat derajat Bahasa Ternate sebagai bahasa pergaulan di berbagai
wilayah yang berada dibawah pengaruhnya. Prof E.K.W. Masinambow dalam
tulisannya; "Bahasa Ternate dalam konteks bahasa-bahasa Austronesia dan
Non Austronesia" mengemukakan bahwa bahasa Ternate memiliki dampak
terbesar terhadap bahasa Melayu yang digunakan masyarakat timur
6
Indonesia. Sebanyak 46% kosakata bahasa Melayu di Manado diambil dari
bahasa Ternate. Bahasa Melayu – Ternate ini kini digunakan luas di Indonesia
Timur terutama Sulawesi Utara, pesisir timur Sulawesi Tengah dan Selatan,
Maluku dan Papua dengan dialek yang berbeda – beda. Dua naskah Melayu
tertua di dunia adalah naskah surat sultan Ternate Abu Hayat II kepada Raja
Portugal tanggal 27 April dan 8 November 1521 yang saat ini masih tersimpan
di museum Lisabon – Portugal.

2.2.13Perlawanan Rakyat Maluku Dan Jatuhnya Ternate


Semakin lama cengkeraman dan pengaruh Belanda pada sultan-sultan
Ternate semakin kuat, Belanda dengan leluasa mengeluarkan peraturan yang
merugikan rakyat lewat perintah sultan, sikap Belanda yang kurang ajar dan
sikap sultan yang cenderung manut menimbulkan kekecewaan semua

22
kalangan. Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 3 pemberontakan yang
dikobarkan bangsawan Ternate dan rakyat Maluku.
฀ Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga rempah
yang merosot Belanda memutuskan melakukan penebangan besar- besaran
pohon cengkeh dan pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai
Hongi Tochten, akibatnya rakyat mengobarkan perlawanan. Tahun 1641,
dipimpin oleh raja muda Ambon Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan
gabungan Ternate-Hitu-Makassar menggempur berbagai kedudukan Belanda
di Maluku Tengah. Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan
dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya tanggal 16 Juni 1643.
Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, kapita Hitu Kakiali dan
Tolukabessi hingga 1646.
฀ Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate
dan Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah(1648-1650,
1655-1675) yang terlampau akrab dan dianggap cenderung menuruti
kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot untuk menurunkan
Mandarsyah. Tiga di antara pemberontak yang utama adalah trio pangeran
Saidi, Majira dan Kalumata. Pangeran Saidi adalah seorang Kapita Laut atau
panglima tertinggi pasukan Ternate, pangeran Majira adalah raja muda
Ambon sementara pangeran Kalumata adalah adik sultan Mandarsyah. Saidi
dan Majira memimpin pemberontakan di Maluku tengah sementara pangeran
Kalumata bergabung dengan raja Gowa sultan Hasanuddin di Makassar.
Mereka bahkan sempat berhasil menurunkan sultan Mandarsyah dari tahta
dan mengangkat Sultan Manilha (1650–1655) namun berkat bantuan Belanda
kedudukan Mandarsyah kembali dipulihkan. Setelah 5 tahun pemberontakan
Saidi cs berhasil dipadamkan. Pangeran Saidi disiksa secara kejam hingga mati
sementara pangeran Majira dan Kalumata menerima pengampunan Sultan
dan hidup dalam pengasingan.
฀ Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang lebih dikenal dengan nama
Sultan Sibori (1675-1691) merasa gerah dengan tindak-tanduk Belanda yang
semena-mena. Ia kemudian menjalin persekutuan dengan Datuk
Abdulrahman penguasa Mindanao, namun upayanya untuk menggalang
kekuatan kurang maksimal karena daerah – daerah strategis yang bisa

23
diandalkan untuk basis perlawanan terlanjur jatuh ke tangan Belanda oleh
berbagai perjanjian yang dibuat para pendahulunya. Ia kalah dan terpaksa
menyingkir ke Jailolo. Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa
menandatangani perjanjian yang intinya menjadikan Ternate sebagai kerajaan
dependen Belanda. Perjanjian ini mengakhiri masa Ternate sebagai negara
berdaulat.
Meski telah kehilangan kekuasaan mereka beberapa Sultan Ternate
berikutnya tetap berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda.
Dengan kemampuan yang terbatas karena selalu diawasi mereka hanya
mampu menyokong perjuangan rakyatnya secara diam-diam. Yang terakhir
tahun 1914 Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1896-1927) menggerakkan
perlawanan rakyat di wilayah-wilayah kekuasaannya, bermula di wilayah
Banggai dibawah pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal. Di Jailolo
rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau
berhasil menimbulkan kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit Belanda
yang tewas termasuk Coentroleur Belanda Agerbeek, markas mereka diobrak-
abrik. Akan tetapi karena keunggulan militer serta persenjataan yang lebih
lengkap dimiliki Belanda perlawanan tersebut berhasil dipatahkan, kapita
Banau ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Sultan Haji Muhammad
Usman Syah terbukti terlibat dalam pemberontakan ini oleh karenanya
berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23 September
1915 no. 47, sultan Haji Muhammad Usman Syah dicopot dari jabatan
sultan dan seluruh hartanya disita, beliau dibuang ke Bandung tahun 1915 dan
meninggal disana tahun 1927. Pasca penurunan sultan Haji Muhammad
Usman Syah jabatan sultan sempat lowong selama 14 tahun dan
pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu serta dewan kesultanan. Sempat
muncul keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus kesultanan
Ternate namun niat itu urung dilaksanakan karena khawatir akan reaksi
keras yang bisa memicu pemberontakan baru sementara Ternate berada
jauh dari pusat pemerintahan Belanda di Batavia. Dalam usianya yang kini
memasuki usia ke- 750 tahun, Kesultanan Ternate masih tetap bertahan
meskipun hanya tinggal simbol belaka. Jabatan sultan sebagai pemimpin
Ternate ke-49 kini dipegang

24
oleh sultan Drs. H. Mudaffar Sjah, BcHk. (Mudaffar II) yang dinobatkan
tahun 1986.

2.2.14 Tinggalan Arkeologi


Peninggalan arkeologi yang kerajaan Islam Ternate pada dasarnya ada
3 kelompok, yaitu:

1). Kompleks Istana, Masjid dan Makam Kesultanan Ternate


Istana Kesultanan Ternate bergaya bangunan abad XIX, berlantai dua,
menghadap ke arah laut, dikelilingi perbentengan terletak satu kompleks
dengan masjid Jami' Ternate, secara administratif terletak di “oa-Siu,
Kelurahan Letter C, Kodya Ternate, Kabupaten Maluku Utara. Istana tersebut
kini dialih fungsikan sebagai museum Kesultanan Ternate.Istana ini dikelilingi
oleh perbentengan yang kini masih nampak sisa-sisa pondasinya. (Lihat
Gambar I).
Masjid jami' Kesultanan Ternate juga terletak di kompleks istana,
berdenah persegi, mengahadap ke timur, memiliki satu ruang utama beratap
susun 7 tingkatMasjid dikelilingi pagar tembok, dengan pintu gapura beratap
gua susun. Gapura ini sekaligus berfungsi sebagai menara adzan.(Lihat
Gambar II).
Kompleks makam kesultanan ini terletak di belakang masjid Jami'
Ternate yang juga dikelilingi tembok yang ditiap sisi ukurannya tidak sama.
pada kompleks makam ini antara lain dimakamkan para raja Ternate yang
memerintah antara abad XVIII-XX M, 1798-1943 M.
Secara umum makam di kompleks ini dibedakan dalam makam tak
berhias dan makam berhias. Ragam hias umumnya floralistik berciri susunan
atau jalinan motif daun-daunan dari pohon dan cabang-cabangnya yang khas
Ternate, yang sering dianggap berpola hias Polinesia.
Sultan Ternate yang dimakamkan disekitar masjid agung (Jami')
Ternate antara lain Sultan Muhammad Uthman wafat 1212 Hijriah (1728 M),
Sultan Amiruddin Iskandar (wafat di 276 Hijriah/1850 M), Sultan Muhammad
Ali (wafat 1226H/1881 M) dan beberapa makam sultan lainnya dari periode
yang lebih muda.

25
Gambar I: Majid Sultan Ternate
Sumber: Wikipedia, 2009

Gambar II: Istana Sultan Ternate


Sumber: Haluchard Vie, 2012

2). Kompleks Makam di Bukit Foramadyahe


Tokoh penting yang dimakamkan di kompleks ini, adalah
Sultan Khairun dan Sultan Baabullah, yang baik jirat dan nisannya tidak
berhias.
3). Koleksi museum Kesultanan Ternate

26
2.3 Kerajaan Tidore

Tidore merupakan salah satu pulau yang terdapat di gugusan


kepulauan Maluku. Sebelum Islam datang ke bumi nusantara, Tidore dikenal
dengan nama Kie Duko, yang berarti pulau yang bergunung api. Penamaan ini
sesuai dengan kondisi topografi Tidore yang memiliki gunung api –bahkan
tertinggi di gugusan kepulauan Maluku– yang mereka namakan gunung
Marijang. Saat ini, gunung Marijang sudah tidak aktif lagi. Nama
Tidore berasal dari gabungan dua rangkaian kata bahasa Tidore dan Arab
dialek Irak: bahasa Tidore, To ado re, artinya, 'aku telah sampai' dan bahasa
Arab dialek Irak anta thadore yang berarti 'kamu datang'. Penggabungan dua
rangkaian kata dari dua bahasa ini bermula dari suatu peristiwa yang terjadi
di Tidore.
Menurut kisahnya, di daerah Tidore ini sering terjadi pertikaian antar
para Momole (kepala suku), yang didukung oleh anggota komunitasnya
masing-masing dalam memperebutkan wilayah kekuasaan persukuan.
Pertikaian tersebut seringkali menimbulkan pertumpahan darah. Usaha untuk
mengatasi pertikaian tersebut selalu mengalami kegagalan.
Suatu ketika, diperkirakan tahun 846 M, rombongan Ibnu Chardazabah, utusan
Khalifah al-Mutawakkil dari Kerajaan Abbasiyah di Baghdad tiba di
Tidore. Pada saat itu, di Tidore sedang terjadi pertikaian antar momole. Untuk
meredakan dan menyelesaikan pertikaian tersebut, salah seorang anggota
rombongan Ibnu Chardazabah, bernama Syech Yakub turun tangan dengan

27
memfasilitasi perundingan yang disebut dengan Togorebo. Pertemuan
disepakati di atas sebuah batu besar di kaki gunung Marijang.
Kesepakatannya, momole yang tiba paling cepat ke lokasi pertemuan akan
menjadi pemenang dan memimpin pertemuan. Dalam peristiwa itu, setiap
momole yang sampai ke lokasi pertemuan selalu meneriakkan To ado re,
karena merasa dialah yang datang pertama kali dan menjadi pemenang.
Namun, ternyata beberapa orang momole yang bertikai tersebut tiba pada
saat yang sama, sehingga tidak ada yang kalah dan menang. Berselang
beberapa saat kemudian, Syech Yakub yang menjadi fasilitator juga tiba di
lokasi dan berujar dengan dialek Iraknya: Anta thadore. Karena para momole
datang pada saat yang bersamaan, maka tidak ada yang menjadi pemenang,
akhirnya yang diangkat sebagai pemimpin adalah Syech Yakub. Konon, sejak
saat itu mulai dikenal kata Tidore, kombinasi dari dua kata: Ta ado re dan
Thadore. Demikianlah, kata Tidore akhirnya menggantikan kata Kie Duko dan
menjadi nama sebuah kerajaan besar.
Menurut catatan Kesultanan Tidore, kerajaan ini berdiri sejak Jou
Kolano Sahjati naik tahta pada 12 Rabiul Awal 502 H (1108 M).
Namun, sumber tersebut tidak menjelaskan secara jelas lokasi pusat
kerajaan pada saat itu. Asal usul Sahjati bisa dirunut dari kisah kedatangan
Djafar Noh dari negeri Maghribi di Tidore. Noh kemudian
mempersunting seorang gadis setempat, bernama Siti Nursafa. Dari
perkawinan tersebut, lahir empat orang putra dan empat orang putri. Empat
putra tersebut adalah: Sahjati, pendiri kerajaan Tidore; Darajati, pendiri
kesultanan Moti; Kaicil Buka, pendiri kesultanan Makian; Bab Mansur
Malamo, pendiri kesultanan Ternate. Sedangkan empat orang putri adalah:
Boki Saharnawi, yang menurunkan raja- raja Banggai; Boki Sadarnawi,
yang menurunkan raja-raja Tobungku; Boki Sagarnawi, yang menurunkan
raja-raja Loloda; dan Boki Cita Dewi, yang menurunkan Marsaoli dan
Mardike. Kerajaan Tidore merupakan salah satu pilar yang membentuk Kie
Raha, yang lainnya adalah Ternate, Makian dan
Moti.
Berdasarkan legenda asal usul di atas, tampak bahwa empat kerajaan
ini berasal dari moyang yang sama: Djafar Noh dan Siti Nursafa. Terlepas dari
benar atau salah, kemunculan dan perkembangan legenda asal-usul tersebut

28
secara jelas menunjukkan adanya kesadaran persaudaraan di antara kerajaan
Kie Raha (gabungan empat kerajaan utama di Maluku Utara, yaitu: Ternate,
Tidore, Makian dan Moti) sehingga mereka kemudian melegitimasinya
dengan sebuah mitos asal-usul.
Sejak awal berdirinya hingga raja yang ke-4, pusat kerajaan Tidore
belum bisa dipastikan. Barulah pada era Jou Kolano Bunga Mabunga Balibung,
informasi mengenai pusat kerajaan Tidore sedikit terkuak, itupun masih
dalam perdebatan. Tempat tersebut adalah Balibunga, namun para pemerhati
sejarah berbeda pendapat dalam menentukan dimana sebenarnya Balibunga
ini. Ada yang mengatakannya di Utara Tidore, dan adapula yang
mengatakannya di daerah pedalaman Tidore selatan.
Pada tahun 1495 M, Sultan Ciriliyati naik tahta dan menjadi penguasa
Tidore pertama yang memakai gelar sultan. Saat itu, pusat kerajaan berada di
Gam Tina. Ketika Sultan Mansur naik tahta tahun 1512 M, ia memindahkan
pusat kerajaan dengan mendirikan perkampungan baru di Rum Tidore Utara.
Posisi ibukota baru ini berdekatan dengan Ternate, dan diapit oleh Tanjung
Mafugogo dan pulau Maitara. Dengan keadaan laut yang indah dan tenang,
lokasi ibukota baru ini cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai.
Dalam sejarahnya, terjadi beberapa kali perpindahan ibukota karena
sebab yang beraneka ragam. Pada tahun 1600 M, ibukota dipindahkan oleh
Sultan Mole Majimo (Alauddin Syah) ke Toloa di selatan Tidore. Perpindahan
ini disebabkan meruncingnya hubungan dengan Ternate, sementara posisi
ibukota sangat dekat, sehingga sangat rawan mendapat serangan. Pendapat
lain menambahkan bahwa, perpindahan didorong oleh keinginan untuk
berdakwah membina komunitas Kolano Tomabanga yang masih animis agar
memeluk Islam. Perpindahan ibukota yang terakhir adalah ke Limau Timore di
masa Sultan Saifudin (Jou Kota). Limau Timore ini kemudian berganti
nama menjadi Soasio hingga saat ini.
Pada abad ke 16 M, orang Portugis dan Spanyol datang ke Maluku –
termasuk Tidore– untuk mencari rempah-rempah, momonopoli perdagangan
kemudian menguasai dan menjajah negeri kepulauan tersebut. Dalam usaha
untuk mempertahankan diri, telah terjadi beberapa kali pertempuran antara
kerajaaan-kerajaan di Kepulauan Maluku melawan kolonial Portugis dan

29
Spanyol. Terkadang, Tidore, Ternate, Bacan dan Jailolo bersekutu sehingga
kolonial Eropa tersebut mengalami kesulitan untuk menaklukkan Tidore dan
kerajaan

lainnya.

Sepeninggal Portugis, datang Belanda ke Tidore dengan tujuan yang


sama: memonopoli dan menguasai Tidore demi keuntungan Belanda sendiri.
Dalam sejarah perjuangan di Tidore, sultan yang dikenal paling gigih
dan sukses melawan Belanda adalah Sultan Nuku (1738-1805 M).
Selama bertahun-tahun, ia berjuang untuk mengusir Belanda dari seluruh
kepulauan Maluku, termasuk Ternate, Bacandan Jailolo.
Perjuangan tersebut membuahkan hasil dengan menyerahnya
Belanda pada Sultan Nuku pada 21 Juni 1801 M. Dengan itu, Ternate, Tidore,
Bacan dan Jailolo kembali merdeka dari kekuasaan asing. Inggris yang juga
ikut membantu Tidore dalam mengusir Belanda kemudian diberi kebebasan
untuk menguasai Ambon dan Banda, dan mengadakan perjanjian damai
dengan Sultan Nuku, sehingga relasi antara kedua belah pihak berjalan
cukup harmonis. Di masa Sultan Nuku inilah, Tidore mencapai masa
kegemilangan dan menjadi kerajaan besar yang disegani di seluruh
kawasan itu, termasuk oleh kolonial Eropa. Di masa Sultan Nuku juga,
kekuasaan Tidore sampai ke Kepulauan Pasifik. Menurut catatan sejarah
Tidore, Sultan Nuku sendiri yang datang dan memberi nama pulau- pulau
yang ia kuasai, dari Mikronesia hingga Melanesia dan Kepulauan
Solomon. Nama-nama pulau yang masih memakai nama Nuku hingga saat ini
adalah Nuku Hifa, Nuku Oro, Nuku Maboro, Nuku Nau, Nuku Lae-lae,
Nuku Fetau dan Nuku
Nono. Seiring dengan masuknya kolonial Eropa, agama Kristen juga
masuk ke Tidore. Namun, karena pengaruh Islam yang sudah begitu
mengakar, maka
agama ini tidak berhasil mengembangkan pengaruhnya di Tidore.

2.3.1 Silsilah
Dari sejak awal berdirinya hingga saat ini, telah berkuasa 38 orang sultan di
Tidore. Saat ini, yang berkuasa adalah Sultan Hi. Djafar Syah. (nama dan
silsilah para sultan lainnya, dari awal hingga yang ke-37 masih dalam proses
30
pengumpulan data).

40
2.3.2 Periode Pemerintahan Kerajaan Tidore berdiri sejak 1108
M dan berdiri sebagai kerajaan merdeka hingga akhir abad ke-18 M. setelah
itu, kerajaan Tidore berada dalam kekuasaan kolonial Belanda. Setelah
Indonesia merdeka, Tidore menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).

2.3.3 Wilayah Kekuasaan Pada masa kejayaannya, wilayah


kerajaan Tidore mencakup kawasan yang cukup luas hingga mencapai
Kepulauan Pasifik. Wilayah sekitar pulau Tidore yang menjadi bagian
wilayahnya adalah Papua, gugusan pulau-pulau Raja Ampat dan pulau Seram.
Di Kepulauan Pasifik, kekuasaan Tidore mencakup Mikronesia, Kepulauan
Marianas, Marshal, Ngulu, Kepulauan Kapita Gamrange, Melanesia,
Kepulauan Solomon dan beberapa pulau yang masih menggunakan identitas
Nuku, seperti Nuku Haifa, Nuku Oro, Nuku Maboro dan Nuku Nau.
Wilayah lainnya yang termasuk dalam kekuasaan Tidore adalah Haiti dan
Kepulauan Nuku Lae-lae, Nuku Fetau, Nuku Wange dan Nuku Nono.

2.3.4 Struktur Pemerintahan Sistem pemerintahan di Tidore


cukup mapan dan berjalan dengan baik. Struktur tertinggi kekuasaan berada di
tangan sultan. Menariknya, Tidore tidak mengenal sistem putra mahkota
sebagaimana kerajaan-kerajaan lainnya di kawasan Nusantara. Seleksi sultan
dilakukan melalui mekanisme seleksi calon-calon yang diajukan dari Dano-
dano Folaraha (wakil-wakil marga dari Folaraha), yang terdiri dari Fola Yade,
Fola Ake Sahu, Fola Rum dan Fola Bagus. Dari nama-nama ini, kemudian
dipilih satu di antaranya untuk menjadi sultan. Ketika Tidore mencapai masa
kejayaan di era Sultan Nuku, sistem pemerintahan di Tidore telah berjalan
dengan baik. Saat itu, sultan (kolano) dibantu oleh suatu Dewan Wazir, dalam
bahasa Tidore disebut Syara, adat se nakudi. Dewan ini dipimpin oleh sultan
dan pelaksana tugasnya diserahkan kepada Joujau (perdana menteri).
Anggota Dewan wazir terdiri dari Bobato

31
pehak raha (empat pihak bobato; semcam departemen) dan wakil dari
wilayah kekuasan. Bobato ini bertugas untuk mengatur dan melaksanakan
keputusan Dewan Wazir. Empat bobato tersebut adalah: (1) pehak labe,
semacam departemen agama yang membidangi masalah syariah. Anggota
pehak labe terdiri dari para kadhi, imam, khatib dan modim; (2) pehak adat
bidang pemerintahan dan kemasyarakatan yang terdiri dari Jojau, Kapita Lau
(panglima perang), Hukum Yade (menteri urusan luar), Hukum Soasio
(menteri urusan dalam) dan Bobato Ngofa (menteri urusan kabinet); (3) Pehak
Kompania (bidang pertahanan keamanan) yang terdiri dari Kapita Kie, Jou
Mayor dan Kapita Ngofa; (4) pehak juru tulis yang dipimpin oleh seorang
berpangkat Tullamo (sekretaris kerajaan). Di bawahnya ada Sadaha (kepala
rumah tangga), Sowohi Kie (protokoler kerajaan bidang kerohanian), Sowohi
Cina (protokoler khusus urusan orang Cina), Fomanyira Ngare (public relation
kesultanan) dan Syahbandar (urusan administrasi pelayaran). Selain struktur
di atas, masih ada jabatan lain yang membantu menjalankan tugas
pemerintahan, seperti Gonone yang membidangi intelijen dan Serang oli yang
membidangi urusan propaganda.

2.3.5 Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat di


Kesultanan Tidore merupakan penganut agama Islam yang taat, dan Tidore
sendiri telah menjadi pusat pengembangan agama Islam di kawasan
kepulauan timur Indonesia sejak dulu kala. Karena kuatnya pengaruh agama
Islam dalam kehidupan mereka, maka para ulama memiliki status dan peran
yang penting di masyarakat. Kuatnya relasi antara masyarakat Tidore dengan
Islam tersimbol dalam ungkapan adat mereka: Adat ge mauri Syara, Syara
mauri Kitabullah (Adat bersendi Syara, Syara bersendi Kitabullah).
Perpaduan ini berlangsung harmonis hingga saat ini
Berkenaan dengan garis kekerabatan, masyarakat Tidore menganut sistem
matrilineal. Namun, tampaknya terjadi perubahan ke arah patrilineal seiring
dengan menguatnya pengaruh Islam di Tidore. Klen patrilineal yang
terpenting mereka sebut soa. Dalam sistem adat Tidore, perkawinan ideal
adalah perkawinan antar saudara sepupu (kufu). Setelah pernikahan, setiap
pasangan baru bebas memilih lokasi tempat tinggal, apakah di lingkungan
kerabat suami atau istri. Dalam antropologi sering disebut dengan utrolokal.

32
Dalam usaha untuk menjaga keharmonisan dengan alam, masyarakat Tidore
menyelenggarakan berbagai jenis upacara adat. Di antara upacara tersebut
adalah upacara Legu Gam Adat Negeri, upacara Lufu Kie daera se Toloku
(mengitari wilayah diiringi pembacaan doa selamat), upacara Ngam Fugo,
Dola Gumi, Joko Hale dan sebagainya.
Untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari, orang Tidore
menggunakan bahasa Tidore yang tergolong dalam rumpun non-Austronesia.
Dengan bahasa ini pula, orang Tidore kemudian mengembangkan sastra lisan
dan tulisan. Bentuk satra lisan yang populer adalah dola bololo (semacam
peribahasa atau pantun kilat), dalil tifa (ungkapan filosofis yang diiringi alat
tifa atau gendang), kabata (sastra lisan yang dipertunjukkan oleh dua regu
dalam jumlah yang genap, argumennya dalam bentuk syair, gurindam, bidal
dsb). Sebagian di antara satra lisan ini disampaikan dan dipertunjukkan
dengan iringan alat tifa, sejenis gendang. Sasra tulisan juga cukup baik
berkembang di Tidore, hal ini bisa dilihat dari peninggalan manuskrip
kesultanan Tidore yang masih tersimpan di Museun Nasional Jakarta. Dan
boleh jadi, manuskrip-manuskrip tersebut masih banyak tersebar di tangan
masyarakat secara individual.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, orang-orang Tidore banyak yang
bercocok tanam di ladang. Tanaman yang banyak ditanam adalah padi, jagung,
ubi jalar dan ubi kayu. Selain itu, juga banyak ditanam cengkeh, pala dan
kelapa. Inilah rempah-rempah yang menjadikan Tidore terkenal, dikunjungi
para pedagang asing Cina, India dan Arab, dan akhirnya menjadi rebutan para
kolonial kulit putih.

2.3.6 Kehidupan Politik

Raja Tidore mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku

(1780-1805 M). Sultan Nuku dapat menyatukan Ternate dan Tidore untuk

bersama-sama melawan Belanda yang dibantu Inggris. Belanda kalah serta

terusir dari Tidore dan Ternate. Sementara itu, Inggris tidak mendapat apa-

apa kecuali hubungan dagang biasa. Sultan Nuku memang cerdik, berani, ulet,

dan waspada. Sejak saat itu, Tidore dan Ternate tidak diganggu, baik oleh

33
Portugis, Spanyol, Belanda maupun Inggris sehingga kemakmuran rakyatnya

terus meningkat. Wilayah kekuasaan Tidore cukup luas, meliputi Pulau Seram,

Makean Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai, dan Papua. Pengganti Sultan Nuku

adalah adiknya, Zainal Abidin. Ia juga giat menentang Belanda yang berniat

menjajah kembali.

2.3.7 Kehidupan Ekonomi

Sebagai kerajaan yang bercorak Islam, masyarakat Tidore dalam

kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum Islam . Hal itu dapat

dilihat pada saat Sultan Nuku dari Tidore dengan De Mesquita dari Portugis

melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah dibawah kitab suci Al-

Qur'an.

Kerajaan Tidore terkenal dengan rempah-rempahnya, seperti di daerah

Maluku. Sebagai penghasil rempah-rempah, kerajaan Tidore banyak didatangi

oleh Bangsa-bangsa Eropa. Bangsa Eropa yang datang ke Maluku, antara lain

Portugis, Spanyol, dan Belanda.

2.3.8 Kejayaan Kerajaan Tidore

Kesultanan Tidore mencapai kejayaannya pada masa


pemerintahanSultan Nuku alias Sultan Said-ul Jehad Muhammad al-Mabus
Amir ud-din Syah alias Kaicil Paparangan yang oleh kawula Tidore
dikenal dengan sebutan Jou Barakati. Pada masa kekuasaannya 1797 – 1805),
wilayah Kerajaan Tidore mencakup kawasan yang cukup luas hingga
mencapai Tanah Papua.
Wilayah sekitar pulau Tidore yang menjadi bagian wilayahnya adalah
Papua, gugusan pulau-pulau Raja Ampat dan pulau Seram Timur. Menurut
beberapa tulisan di berbagai situs internet, dituliskan bahwa kekuasaan
Tidore sampai ke beberapa kepulauan di pasifik selatan, diantaranya;
Mikronesia, Melanesia, kepulauan Solomon, kepulauan Marianas, kepulauan
Marshal, Ngulu, Fiji, Vanuatu dan kepulauan Kapita Gamrange. Disebutkan
34
pula bahwa hingga hari ini beberapa pulau atau kota masih menggunakan
identitas nama daerah dengan embel-embel Nuku, antara lain; kepulauan
Nuku Lae-lae, Nuku Alova, Nuku Fetau, Nuku Haifa, Nuku Maboro, Nuku
Wange, Nuku Nau, Nuku Oro dan Nuku
Nono.

35
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas tidaklah mudah. Perlu
penelitian tersendiri. Hal ini juga dibantah oleh salah satu Dosen Jurusan
Sejarah Fakultas Sastera Universitas Khairun Ternate yang tidak
mau menyebutkan namanya. Lebih lanjut dikatakan bahwa "agak
mustahil" kekuasaan Sultan Nuku bisa sampai ke ke
kawasan pasific. Alasan bantahan terhadap hal ini didasarkan
pada argumennya bahwa :

1. Pasific Selatan terlalu jauh dari Tidore.


2. Tidak adanya pengakuan dari penduduk setempat di Pasific Selatan bahwa
mereka mempunyai kaitan sejarah dengan Sultan Nuku.
3. Tidak ada bukti-bukti dan catatan tertulis tentang kapan dan bagaimana
Sultan Nuku data ng dan memberi nama pulau-pulau tersebut.
4. Masyarakat Pasific Selatan saat ini mayoritas beragama Kristen. Jika
memang kekuasaan Sultan Tidore telah sampai ke sana tentu ada jejak-
jejak Islam ditemukan di sana.
5. Sultan Nuku hidup ketika penjajah Eropa sudah berdatangan ke wilayah
Timur dan wilayah Pasific Selatan diduduki oleh mereka.
6. Masa hidup Sultan Nuku lebih banyak digunakan untuk berjuang melawan
Belanda.
7. Adanya nama Nuku di depan nama kota atau tempat di sana bukanlah
bukti yang bermakna kuat karena bisa saja kata "Nuku" di sana
mempunyai arti yang berbeda.

Argumentasi ini sangat beralasan, karena kalo kita menjelajahi


beberapa situs internet, di Wikipedia misalnya, tidak ditemukan catatan
sejarah tempat-tempat dimaksud yang menjelaskan bahwa mereka
mempunyai kaitan sejarah dengan Kesultanan Tidore dengan Sultan Nuku-nya.
Juga tidak ditemukan jejak-jejak hadirnya orang-orang Tidore di daerah ini.
Walaupun demikian, terlepas dari "perdebatan" permasalahan ini,
fakta sejarah mencatat bahwa di masa Sultan Nuku yang hanya berkuasa
sekitar delapan tahun inilah, Kerajaan Tidore mencapai masa kegemilangan
dan menjadi kerajaan besar yang wilayahnya paling luas dan disegani di
seluruh kawasan itu, termasuk oleh kolonial Eropa.

36
2.3.9 Kemunduran Kerajaan Tidore

Kemunduran Kerajaan Tidore disebabkan karena diadu domba dengan

Kerajaan Ternate yang dilakukan oleh bangsa asing ( Spanyol dan Portugis )

yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil rempah-rempah

tersebut. Setelah Sultan Tidore dan Sultan Ternate sadar bahwa mereka telah

diadu domba oleh Portugis dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan

berhasil mengusir Portugis dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun

kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda

untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil

menaklukkan Ternate dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan

terkontrol dalam bentuk organisasi yang kuat.

37
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kerajaan Makassar atau Gowa Tallo berdiri abad ke-17 yang merupakan daerah islam

yang berkembang cepat sebagai daerah maritime. Dibawah pemerintahan Sultan Alaudin

kerajaan Makassar meningkatkan sector perdagangan dan pelayaran. Tampuk kekuasaan

yang mencapai puncak kejayaan ialah pada masa Sultan Hassanudin. Meskipun sering terjadi

pertikaian menghadapi Belanda, tetapi ketangguhan Sultan Hassanudin tidak terklahkan.

Ternate dan Tidore ialah awal kemasyuran rempah-rempah nasional didukung dengan

jalur perdagangan yang strategis serta perkebunan rempah-rempah di pulau-pulau subur

sebelah selatan Maluku. Kerajaan Ternate bersekutu dengan Portugis, sedangkan Kerajaan

Tidore dibantu oleh Spanyol. Kedua bangsa kulit putih, yaitu Portugis dan
Spanyol
bermusuhan memperebutkan kekuasaan monopoli. Namun, pada akhir perjuangan Kerajaan

Ternate dan Tidore berdamai serta memberontak melawan Kolonial Belanda.

3.2 Kritik dan Saran

Dalam makalah ini dimuat pembahasan dari empat aspek kehidupan, akan lebih baik jika

aspek yang diulas cakupannya lebih luas lagi sehingga pembaca mampu memahami sejarah

persebaran Islam di nusantra. Pembagian Kerajaan menjadi 3 daerah besar, yaitu Jawa,

Sulawesi, dan Sumatera kurang fokus dan tidak secara umum. Sehingga untuk kedepannya

bisa dibuat makalah pada kehidupan masing-masing Kerjaan dengan mempertimbangkan

fakta sejarah secara oral atau dapat melalui penelitian dengan teori-teori yang termuat

dalam media cetak maupun media elektronik.

38
DAFTAR PUSTAKA

Andi Atjo, Rulis. 1989. Peninggalan Sejarah Masa Lampau di Pulau Ternate. Makalah:
Ambon.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. TERNATE SEBAGAI BANDAR DI JALUR


SUTRA: Kumpulan Makalah Diskusi. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah
Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Direktori masjid Bersejarah. 2008. Departemen Agama RI, Direktorat Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam, Direktorat Urusan Agama Islam dan pembiaan “yari'ah: Jakarta.

Huda Nur. 2007. Islam Nusantara Ar-ruzz. Yogyakarta: Media.

Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto (Peny). 1984. Sejarah Nasional
Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.

Reid Anthony. 1992. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.

TKS-DITJENBUD. 1995. "Istana Kesultanan Ternate," Aneka Ragam Khasanah Budaya


Nusantara VI. Jakarta: Depdikbud.

Vie Haluchard. 2012. Ternat Island, (online), (file:///D:/fd%20new/SIMI


%20GAMBAR/ternate-tourisem-obyek.html), diakses 16
Desember 2012.

Wikipedia. 2009. Masjid Sultan Ternate, (online), (file:///D:/fd%20new/SIMI


%20GAMBAR/Masjid_Sultan_Ternate.htm), diakses 10 Februari 2009.

Zuhairini dkk. 2006. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

39

Anda mungkin juga menyukai