Makalah Kerajaan Sulawesi
Makalah Kerajaan Sulawesi
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana kehidupan politik, ekonomi sosial dan budaya di Kerajaan Gowa Tallo?
1.2.2 Bagaimana kehidupan politik, ekonomi sosial dan budaya di Kerajaan Ternate?
1.2.3 Bagaimana kehidupan politik, ekonomi sosial dan budaya di Kerajaan Tidore?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
2.1.2 Kehidupan Ekonomi
Seperti yang kita ketahui bahwa kerajaan Makasar merupakan
kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat perdagangan di Indonesia
bagian Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa faktor seperti letak yang
strategis, memiliki pelabuhan yang baik serta didukung oleh jatuhnya Malaka
ke tangan Portugis tahun 1511 yang menyebabkan banyak pedagang-
pedagang yang pindah ke Indonesia Timur.
4
menyebarkan Islam adalah Abdul Qodir Khotib Tunggal yang berasal
dari Minangkabau.
5
pemerintahannya Makasar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu
dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat
menunjang keperluan perdagangan Makasar. Perluasan daerah Makasar
tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat.
6
Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai
ibukota kerajaan Makasar. Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus
mengakui kekalahannya dan menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667
yang isinya tentu sangat merugikan kerajaan Makasar.
7
dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau
Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini
berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14
Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang
bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Benteng Ujung
Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke
lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu
dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang
berjaya di daratan maupun di lautan. Nama asli benteng in i adalah Benteng
Ujung Pandang.
Masjid Katangka
10
Kompleks makam raja gowa tallo
2.1.7 Kesimpulan
Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan
besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari
kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan
pesisir barat Sulawesi. Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan
11
komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera),
yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-
Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Sejak Gowa
Tallo sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan dengan
Ternate yang sudah menerima Islam dari Gresik. Raja Ternate yakni Baabullah
mengajak raja Gowa Tallo untuk masuk Islam, tapi gagal. Baru pada masa Raja
Datu Ri Bandang datang ke Kerajaan Gowa Tallo agama Islam mulai masuk
ke kerajaan ini.
8
2.2 Kerajaan Ternate
2.2.1 Gubahan Kesultanan menjadi Kerajaan
Kesultanan Ternate (mengikuti nama ibu kotanya) adalah salah satu
dari 4 kerajaan Islam di Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam
tertua di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257.
Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara
antara abad ke-13 hingga abad ke-17. Kesultanan Ternate menikmati
kegemilangan di paruh abad ke -16 berkat perdagangan rempah-rempah dan
kekuatan militernya. Di masa jaya kekuasaannya membentang mencakup
wilayah Maluku, Sulawesi utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan
Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di pasifik.
9
penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan yang hanya
berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh dan
terbesar di bagian timur Indonesia khususnya Maluku.
10
istana. Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin(1486-
1500). Beberapa langkah yang diambil Sultan Zainal Abidin adalah
meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan Sultan, Islam diakui
sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, membentuk
lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama.
Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara total,
hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah yang pertama di
Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan
berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa, disana beliau dikenal sebagai "Sultan
Bualawa" (Sultan Cengkih).
15
Gubernur Portugal bertindak sebagai penasihat kerajaan dan dengan pengaruh
yang dimiliki berhasil membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat
pangeran Tabariji sebagai sultan. Tetapi ketika Sultan Tabariji mulai
menunjukkan sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa – India.
Disana ia dipaksa Portugal untuk menandatangani perjanjian menjadikan
Ternate sebagai kerajaan Kristen dan vasal kerajaan Portugal, namun
perjanjian itu ditolak mentah-mentah Sultan Khairun (1534-1570).
16
peraturan yang merugikan rakyat lewat perintah sultan, sikap Belanda yang
kurang ajar dan sikap sultan yang cenderung manut menimbulkan
kekecewaan semua kalangan. Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 4
pemberontakan yang dikobarkan bangsawan Ternate dan rakyat Maluku.
Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga
rempah yang merosot Belanda memutuskan melakukan penebangan besar –
besaran pohon cengkeh dan pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal
sebagai Hongi Tochten, akibatnya rakyat mengobarkan perlawanan. Tahun
1641, dipimpin oleh raja muda Ambon Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan
gabungan Ternate – Hitu – Makassar menggempur berbagai kedudukan
Belanda di Maluku Tengah. Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan
dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya tanggal 16 Juni 1643.
Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, kapita Hitu Kakiali dan
Tolukabessi hingga 1646.
Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di
Ternate dan Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah
(1648-1650,1655-1675) yang terlampau akrab dan dianggap cenderung
menuruti kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot untuk menurunkan
Mandarsyah. Tiga di antara pemberontak yang utama adalah trio pangeran
Saidi, Majira dan Kalamata. Pangeran Saidi adalah seorang Kapita Laut atau
panglima tertinggi pasukan Ternate, pangeran Majira adalah raja muda
Ambon sementara pangeran Kalamata adalah adik sultan Mandarsyah. Saidi
dan Majira memimpin pemberontakan di Maluku tengah sementara pangeran
Kalamata bergabung dengan raja Gowa sultan Hasanuddin di Makassar.
Mereka bahkan sempat berhasil menurunkan sultan Mandarsyah dari tahta
dan mengangkat Sultan Manilha (1650–1655) namun berkat bantuan Belanda
kedudukan Mandarsyah kembali dipulihkan. Setelah 5 tahun pemberontakan
Saidi cs berhasil dipadamkan. Pangeran Saidi disiksa secara kejam hingga mati
sementara pangeran Majira dan Kalamata menerima pengampunan Sultan
dan hidup dalam pengasingan.
Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang lebih dikenal dengan nama
Sultan Sibori (1675 – 1691) merasa gerah dengan tindak – tanduk Belanda
yang semena - mena. Ia kemudian menjalin persekutuan dengan Datuk
17
Abdulrahman penguasa Mindanao, namun upayanya untuk menggalang
kekuatan kurang maksimal karena daerah – daerah strategis yang bisa
diandalkan untuk basis perlawanan terlanjur jatuh ke tangan Belanda oleh
berbagai perjanjian yang dibuat para pendahulunya. Ia kalah dan terpaksa
menyingkir ke Jailolo. Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa
menandatangani perjanjian yang intinya menjadikan Ternate sebagai kerajaan
dependen Belanda. Perjanjian ini mengakhiri masa Ternate sebagai negara
berdaulat.
Meski telah kehilangan kekuasaan mereka beberapa Sultan Ternate
berikutnya tetap berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda.
Dengan kemampuan yang terbatas karena selalu diawasi mereka hanya
mampu menyokong perjuangan rakyatnya secara diam – diam. Yang terakhir
tahun 1914 Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1896-1927) menggerakkan
perlawanan rakyat di wilayah – wilayah kekuasaannya, bermula di wilayah
Banggai dibawah pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal. Di Jailolo
rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau
berhasil menimbulkan kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit Belanda
yang tewas termasuk Coentroleur Belanda Agerbeek, markas mereka
diobrak – abrik. Akan tetapi karena keunggulan militer serta persenjataan
yang lebih lengkap dimiliki Belanda perlawanan tersebut berhasil
dipatahkan, kapita Banau ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Sultan
Haji Muhammad Usman Syah terbukti terlibat dalam pemberontakan ini oleh
karenanya berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23
September 1915 no. 47, sultan Haji Muhammad Usman Syah dicopot dari
jabatan sultan dan seluruh hartanya disita, beliau dibuang ke Bandung tahun
1915 dan meninggal disana tahun 1927. Pasca penurunan sultan Haji
Muhammad Usman Syah jabatan sultan sempat lowong selama 14 tahun
dan pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu serta dewan kesultanan.
Sempat muncul keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus
kesultanan Ternate namun niat itu urung dilaksanakan karena khawatir akan
reaksi keras yang bisa memicu pemberontakan baru sementara Ternate
berada jauh dari pusat pemerintahan Belanda di Batavia.
18
Dalam usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan
Ternate masih tetap bertahan meskipun hanya sebatas simbol budaya.
Jabatan sultan sebagai pemimpin Ternate ke-49 kini dipegang oleh sultan Drs.
H. Mudaffar Sjah, BcHk. (Mudaffar II) yang dinobatkan tahun 1986.
19
Timur terutama Sulawesi Utara, pesisir timur Sulawesi Tengah dan Selatan,
Maluku dan Papua dengan dialek yang berbeda – beda. Dua naskah surat
sultan Ternate Abu Hayat II kepada Raja Portugal tanggal 27 April dan 8
November 1521 diakui sebagai naskah Melayu tertua di dunia setelah naskah
MelayuTanjung Tanah. Kedua surat Sultan Abu Hayat tersebut saat ini masih
tersimpan di museum Lisabon – Portugal.
20
Bawah pimpinan Sultan Ternate, perang umum berkobar, namun perlawanan
tersebut dapat dipadamkan oleh kompeni Belanda. Kehidupan rakyat Maluku
pada zaman kompeni Belanda sangat memprihatinkan sehingga muncul
gerakan menentang Kompeni Belanda.
22
kalangan. Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 3 pemberontakan yang
dikobarkan bangsawan Ternate dan rakyat Maluku.
Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga rempah
yang merosot Belanda memutuskan melakukan penebangan besar- besaran
pohon cengkeh dan pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai
Hongi Tochten, akibatnya rakyat mengobarkan perlawanan. Tahun 1641,
dipimpin oleh raja muda Ambon Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan
gabungan Ternate-Hitu-Makassar menggempur berbagai kedudukan Belanda
di Maluku Tengah. Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan
dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya tanggal 16 Juni 1643.
Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, kapita Hitu Kakiali dan
Tolukabessi hingga 1646.
Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate
dan Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah(1648-1650,
1655-1675) yang terlampau akrab dan dianggap cenderung menuruti
kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot untuk menurunkan
Mandarsyah. Tiga di antara pemberontak yang utama adalah trio pangeran
Saidi, Majira dan Kalumata. Pangeran Saidi adalah seorang Kapita Laut atau
panglima tertinggi pasukan Ternate, pangeran Majira adalah raja muda
Ambon sementara pangeran Kalumata adalah adik sultan Mandarsyah. Saidi
dan Majira memimpin pemberontakan di Maluku tengah sementara pangeran
Kalumata bergabung dengan raja Gowa sultan Hasanuddin di Makassar.
Mereka bahkan sempat berhasil menurunkan sultan Mandarsyah dari tahta
dan mengangkat Sultan Manilha (1650–1655) namun berkat bantuan Belanda
kedudukan Mandarsyah kembali dipulihkan. Setelah 5 tahun pemberontakan
Saidi cs berhasil dipadamkan. Pangeran Saidi disiksa secara kejam hingga mati
sementara pangeran Majira dan Kalumata menerima pengampunan Sultan
dan hidup dalam pengasingan.
Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang lebih dikenal dengan nama
Sultan Sibori (1675-1691) merasa gerah dengan tindak-tanduk Belanda yang
semena-mena. Ia kemudian menjalin persekutuan dengan Datuk
Abdulrahman penguasa Mindanao, namun upayanya untuk menggalang
kekuatan kurang maksimal karena daerah – daerah strategis yang bisa
23
diandalkan untuk basis perlawanan terlanjur jatuh ke tangan Belanda oleh
berbagai perjanjian yang dibuat para pendahulunya. Ia kalah dan terpaksa
menyingkir ke Jailolo. Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa
menandatangani perjanjian yang intinya menjadikan Ternate sebagai kerajaan
dependen Belanda. Perjanjian ini mengakhiri masa Ternate sebagai negara
berdaulat.
Meski telah kehilangan kekuasaan mereka beberapa Sultan Ternate
berikutnya tetap berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda.
Dengan kemampuan yang terbatas karena selalu diawasi mereka hanya
mampu menyokong perjuangan rakyatnya secara diam-diam. Yang terakhir
tahun 1914 Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1896-1927) menggerakkan
perlawanan rakyat di wilayah-wilayah kekuasaannya, bermula di wilayah
Banggai dibawah pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal. Di Jailolo
rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau
berhasil menimbulkan kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit Belanda
yang tewas termasuk Coentroleur Belanda Agerbeek, markas mereka diobrak-
abrik. Akan tetapi karena keunggulan militer serta persenjataan yang lebih
lengkap dimiliki Belanda perlawanan tersebut berhasil dipatahkan, kapita
Banau ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Sultan Haji Muhammad
Usman Syah terbukti terlibat dalam pemberontakan ini oleh karenanya
berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23 September
1915 no. 47, sultan Haji Muhammad Usman Syah dicopot dari jabatan
sultan dan seluruh hartanya disita, beliau dibuang ke Bandung tahun 1915 dan
meninggal disana tahun 1927. Pasca penurunan sultan Haji Muhammad
Usman Syah jabatan sultan sempat lowong selama 14 tahun dan
pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu serta dewan kesultanan. Sempat
muncul keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus kesultanan
Ternate namun niat itu urung dilaksanakan karena khawatir akan reaksi
keras yang bisa memicu pemberontakan baru sementara Ternate berada
jauh dari pusat pemerintahan Belanda di Batavia. Dalam usianya yang kini
memasuki usia ke- 750 tahun, Kesultanan Ternate masih tetap bertahan
meskipun hanya tinggal simbol belaka. Jabatan sultan sebagai pemimpin
Ternate ke-49 kini dipegang
24
oleh sultan Drs. H. Mudaffar Sjah, BcHk. (Mudaffar II) yang dinobatkan
tahun 1986.
25
Gambar I: Majid Sultan Ternate
Sumber: Wikipedia, 2009
26
2.3 Kerajaan Tidore
27
memfasilitasi perundingan yang disebut dengan Togorebo. Pertemuan
disepakati di atas sebuah batu besar di kaki gunung Marijang.
Kesepakatannya, momole yang tiba paling cepat ke lokasi pertemuan akan
menjadi pemenang dan memimpin pertemuan. Dalam peristiwa itu, setiap
momole yang sampai ke lokasi pertemuan selalu meneriakkan To ado re,
karena merasa dialah yang datang pertama kali dan menjadi pemenang.
Namun, ternyata beberapa orang momole yang bertikai tersebut tiba pada
saat yang sama, sehingga tidak ada yang kalah dan menang. Berselang
beberapa saat kemudian, Syech Yakub yang menjadi fasilitator juga tiba di
lokasi dan berujar dengan dialek Iraknya: Anta thadore. Karena para momole
datang pada saat yang bersamaan, maka tidak ada yang menjadi pemenang,
akhirnya yang diangkat sebagai pemimpin adalah Syech Yakub. Konon, sejak
saat itu mulai dikenal kata Tidore, kombinasi dari dua kata: Ta ado re dan
Thadore. Demikianlah, kata Tidore akhirnya menggantikan kata Kie Duko dan
menjadi nama sebuah kerajaan besar.
Menurut catatan Kesultanan Tidore, kerajaan ini berdiri sejak Jou
Kolano Sahjati naik tahta pada 12 Rabiul Awal 502 H (1108 M).
Namun, sumber tersebut tidak menjelaskan secara jelas lokasi pusat
kerajaan pada saat itu. Asal usul Sahjati bisa dirunut dari kisah kedatangan
Djafar Noh dari negeri Maghribi di Tidore. Noh kemudian
mempersunting seorang gadis setempat, bernama Siti Nursafa. Dari
perkawinan tersebut, lahir empat orang putra dan empat orang putri. Empat
putra tersebut adalah: Sahjati, pendiri kerajaan Tidore; Darajati, pendiri
kesultanan Moti; Kaicil Buka, pendiri kesultanan Makian; Bab Mansur
Malamo, pendiri kesultanan Ternate. Sedangkan empat orang putri adalah:
Boki Saharnawi, yang menurunkan raja- raja Banggai; Boki Sadarnawi,
yang menurunkan raja-raja Tobungku; Boki Sagarnawi, yang menurunkan
raja-raja Loloda; dan Boki Cita Dewi, yang menurunkan Marsaoli dan
Mardike. Kerajaan Tidore merupakan salah satu pilar yang membentuk Kie
Raha, yang lainnya adalah Ternate, Makian dan
Moti.
Berdasarkan legenda asal usul di atas, tampak bahwa empat kerajaan
ini berasal dari moyang yang sama: Djafar Noh dan Siti Nursafa. Terlepas dari
benar atau salah, kemunculan dan perkembangan legenda asal-usul tersebut
28
secara jelas menunjukkan adanya kesadaran persaudaraan di antara kerajaan
Kie Raha (gabungan empat kerajaan utama di Maluku Utara, yaitu: Ternate,
Tidore, Makian dan Moti) sehingga mereka kemudian melegitimasinya
dengan sebuah mitos asal-usul.
Sejak awal berdirinya hingga raja yang ke-4, pusat kerajaan Tidore
belum bisa dipastikan. Barulah pada era Jou Kolano Bunga Mabunga Balibung,
informasi mengenai pusat kerajaan Tidore sedikit terkuak, itupun masih
dalam perdebatan. Tempat tersebut adalah Balibunga, namun para pemerhati
sejarah berbeda pendapat dalam menentukan dimana sebenarnya Balibunga
ini. Ada yang mengatakannya di Utara Tidore, dan adapula yang
mengatakannya di daerah pedalaman Tidore selatan.
Pada tahun 1495 M, Sultan Ciriliyati naik tahta dan menjadi penguasa
Tidore pertama yang memakai gelar sultan. Saat itu, pusat kerajaan berada di
Gam Tina. Ketika Sultan Mansur naik tahta tahun 1512 M, ia memindahkan
pusat kerajaan dengan mendirikan perkampungan baru di Rum Tidore Utara.
Posisi ibukota baru ini berdekatan dengan Ternate, dan diapit oleh Tanjung
Mafugogo dan pulau Maitara. Dengan keadaan laut yang indah dan tenang,
lokasi ibukota baru ini cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai.
Dalam sejarahnya, terjadi beberapa kali perpindahan ibukota karena
sebab yang beraneka ragam. Pada tahun 1600 M, ibukota dipindahkan oleh
Sultan Mole Majimo (Alauddin Syah) ke Toloa di selatan Tidore. Perpindahan
ini disebabkan meruncingnya hubungan dengan Ternate, sementara posisi
ibukota sangat dekat, sehingga sangat rawan mendapat serangan. Pendapat
lain menambahkan bahwa, perpindahan didorong oleh keinginan untuk
berdakwah membina komunitas Kolano Tomabanga yang masih animis agar
memeluk Islam. Perpindahan ibukota yang terakhir adalah ke Limau Timore di
masa Sultan Saifudin (Jou Kota). Limau Timore ini kemudian berganti
nama menjadi Soasio hingga saat ini.
Pada abad ke 16 M, orang Portugis dan Spanyol datang ke Maluku –
termasuk Tidore– untuk mencari rempah-rempah, momonopoli perdagangan
kemudian menguasai dan menjajah negeri kepulauan tersebut. Dalam usaha
untuk mempertahankan diri, telah terjadi beberapa kali pertempuran antara
kerajaaan-kerajaan di Kepulauan Maluku melawan kolonial Portugis dan
29
Spanyol. Terkadang, Tidore, Ternate, Bacan dan Jailolo bersekutu sehingga
kolonial Eropa tersebut mengalami kesulitan untuk menaklukkan Tidore dan
kerajaan
lainnya.
2.3.1 Silsilah
Dari sejak awal berdirinya hingga saat ini, telah berkuasa 38 orang sultan di
Tidore. Saat ini, yang berkuasa adalah Sultan Hi. Djafar Syah. (nama dan
silsilah para sultan lainnya, dari awal hingga yang ke-37 masih dalam proses
30
pengumpulan data).
40
2.3.2 Periode Pemerintahan Kerajaan Tidore berdiri sejak 1108
M dan berdiri sebagai kerajaan merdeka hingga akhir abad ke-18 M. setelah
itu, kerajaan Tidore berada dalam kekuasaan kolonial Belanda. Setelah
Indonesia merdeka, Tidore menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
31
pehak raha (empat pihak bobato; semcam departemen) dan wakil dari
wilayah kekuasan. Bobato ini bertugas untuk mengatur dan melaksanakan
keputusan Dewan Wazir. Empat bobato tersebut adalah: (1) pehak labe,
semacam departemen agama yang membidangi masalah syariah. Anggota
pehak labe terdiri dari para kadhi, imam, khatib dan modim; (2) pehak adat
bidang pemerintahan dan kemasyarakatan yang terdiri dari Jojau, Kapita Lau
(panglima perang), Hukum Yade (menteri urusan luar), Hukum Soasio
(menteri urusan dalam) dan Bobato Ngofa (menteri urusan kabinet); (3) Pehak
Kompania (bidang pertahanan keamanan) yang terdiri dari Kapita Kie, Jou
Mayor dan Kapita Ngofa; (4) pehak juru tulis yang dipimpin oleh seorang
berpangkat Tullamo (sekretaris kerajaan). Di bawahnya ada Sadaha (kepala
rumah tangga), Sowohi Kie (protokoler kerajaan bidang kerohanian), Sowohi
Cina (protokoler khusus urusan orang Cina), Fomanyira Ngare (public relation
kesultanan) dan Syahbandar (urusan administrasi pelayaran). Selain struktur
di atas, masih ada jabatan lain yang membantu menjalankan tugas
pemerintahan, seperti Gonone yang membidangi intelijen dan Serang oli yang
membidangi urusan propaganda.
32
Dalam usaha untuk menjaga keharmonisan dengan alam, masyarakat Tidore
menyelenggarakan berbagai jenis upacara adat. Di antara upacara tersebut
adalah upacara Legu Gam Adat Negeri, upacara Lufu Kie daera se Toloku
(mengitari wilayah diiringi pembacaan doa selamat), upacara Ngam Fugo,
Dola Gumi, Joko Hale dan sebagainya.
Untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari, orang Tidore
menggunakan bahasa Tidore yang tergolong dalam rumpun non-Austronesia.
Dengan bahasa ini pula, orang Tidore kemudian mengembangkan sastra lisan
dan tulisan. Bentuk satra lisan yang populer adalah dola bololo (semacam
peribahasa atau pantun kilat), dalil tifa (ungkapan filosofis yang diiringi alat
tifa atau gendang), kabata (sastra lisan yang dipertunjukkan oleh dua regu
dalam jumlah yang genap, argumennya dalam bentuk syair, gurindam, bidal
dsb). Sebagian di antara satra lisan ini disampaikan dan dipertunjukkan
dengan iringan alat tifa, sejenis gendang. Sasra tulisan juga cukup baik
berkembang di Tidore, hal ini bisa dilihat dari peninggalan manuskrip
kesultanan Tidore yang masih tersimpan di Museun Nasional Jakarta. Dan
boleh jadi, manuskrip-manuskrip tersebut masih banyak tersebar di tangan
masyarakat secara individual.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, orang-orang Tidore banyak yang
bercocok tanam di ladang. Tanaman yang banyak ditanam adalah padi, jagung,
ubi jalar dan ubi kayu. Selain itu, juga banyak ditanam cengkeh, pala dan
kelapa. Inilah rempah-rempah yang menjadikan Tidore terkenal, dikunjungi
para pedagang asing Cina, India dan Arab, dan akhirnya menjadi rebutan para
kolonial kulit putih.
Raja Tidore mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku
(1780-1805 M). Sultan Nuku dapat menyatukan Ternate dan Tidore untuk
terusir dari Tidore dan Ternate. Sementara itu, Inggris tidak mendapat apa-
apa kecuali hubungan dagang biasa. Sultan Nuku memang cerdik, berani, ulet,
dan waspada. Sejak saat itu, Tidore dan Ternate tidak diganggu, baik oleh
33
Portugis, Spanyol, Belanda maupun Inggris sehingga kemakmuran rakyatnya
terus meningkat. Wilayah kekuasaan Tidore cukup luas, meliputi Pulau Seram,
Makean Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai, dan Papua. Pengganti Sultan Nuku
adalah adiknya, Zainal Abidin. Ia juga giat menentang Belanda yang berniat
menjajah kembali.
dilihat pada saat Sultan Nuku dari Tidore dengan De Mesquita dari Portugis
Qur'an.
oleh Bangsa-bangsa Eropa. Bangsa Eropa yang datang ke Maluku, antara lain
35
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas tidaklah mudah. Perlu
penelitian tersendiri. Hal ini juga dibantah oleh salah satu Dosen Jurusan
Sejarah Fakultas Sastera Universitas Khairun Ternate yang tidak
mau menyebutkan namanya. Lebih lanjut dikatakan bahwa "agak
mustahil" kekuasaan Sultan Nuku bisa sampai ke ke
kawasan pasific. Alasan bantahan terhadap hal ini didasarkan
pada argumennya bahwa :
36
2.3.9 Kemunduran Kerajaan Tidore
Kerajaan Ternate yang dilakukan oleh bangsa asing ( Spanyol dan Portugis )
tersebut. Setelah Sultan Tidore dan Sultan Ternate sadar bahwa mereka telah
diadu domba oleh Portugis dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan
kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda
menaklukkan Ternate dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan
37
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kerajaan Makassar atau Gowa Tallo berdiri abad ke-17 yang merupakan daerah islam
yang berkembang cepat sebagai daerah maritime. Dibawah pemerintahan Sultan Alaudin
yang mencapai puncak kejayaan ialah pada masa Sultan Hassanudin. Meskipun sering terjadi
Ternate dan Tidore ialah awal kemasyuran rempah-rempah nasional didukung dengan
sebelah selatan Maluku. Kerajaan Ternate bersekutu dengan Portugis, sedangkan Kerajaan
Tidore dibantu oleh Spanyol. Kedua bangsa kulit putih, yaitu Portugis dan
Spanyol
bermusuhan memperebutkan kekuasaan monopoli. Namun, pada akhir perjuangan Kerajaan
Dalam makalah ini dimuat pembahasan dari empat aspek kehidupan, akan lebih baik jika
aspek yang diulas cakupannya lebih luas lagi sehingga pembaca mampu memahami sejarah
persebaran Islam di nusantra. Pembagian Kerajaan menjadi 3 daerah besar, yaitu Jawa,
Sulawesi, dan Sumatera kurang fokus dan tidak secara umum. Sehingga untuk kedepannya
fakta sejarah secara oral atau dapat melalui penelitian dengan teori-teori yang termuat
38
DAFTAR PUSTAKA
Andi Atjo, Rulis. 1989. Peninggalan Sejarah Masa Lampau di Pulau Ternate. Makalah:
Ambon.
Direktori masjid Bersejarah. 2008. Departemen Agama RI, Direktorat Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam, Direktorat Urusan Agama Islam dan pembiaan “yari'ah: Jakarta.
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto (Peny). 1984. Sejarah Nasional
Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Reid Anthony. 1992. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
39