Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH STUDI AL-QUR'AN

"MUHKAM DAN MUTASYABIH"


DOSEN PENGAMPU : NURUL HUDA, M.Pd

DISUSUN OLEH :

APING JULASTU SAMENDA

EGHA PRASASTIA

SYIFA UR ROHMAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

YAYASAN PEMBANGUNAN KALIANDA

TAHUN 2022
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang dijadikan pedoman dalam setiap aspek
kehidupan umat Islam, tentunya harus dipahami secara mendalam. Pemahaman al-Qur’an
dapat diperoleh dengan mendalami atau menguasai ilmu-ilmu yang tercakup dalam ulum al-
Qur’an. Dan menjadi salah satu bagian dari cabang keilmuan ulum al-Qur’an adalah ilmu
yang memnahas tentang Muhkam dan Mutasyabih ayat.

Muhkam Mutasyabih ayat hendaknya dapt dipahami secara mendalam. Hal ini
dikarenakan, dua hal ini termasuk dalam objek yang urgen dalam kajian atau pemahaman al-
Qur’an. Berdalih agar tidak terjadi ketimpangan dalm memahami ayat-ayat al-Qur’an
khususnya dalam ranah Muhkam dan Mutasyabih, maka kelompok kami menyusun makalah
yang membahas tentang kedua hal tersebut. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai
ketentuan dan hal-hal yang berhubungan dengan Muhkam dan Mutasyabih, akan dijelaskan
dalam bab berikutnya yaitu bab pembahasan.

B.     Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pengertian Muhkam dan Mutasyabih ?


2. Bagaimana Pandangan Para Ulama’ Mengenai Muhkam dan Mutasyabih ?
3. Bagaimana Hikmah dari Keberadaan Ayat Muhkam dan Mutasyabih ?
BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Muhkam dan Mutasyabih

Muhkam secara lughawi berasal dari kata hakama. Kata hukm berarti memutuskan
antara dua hal atau lebih perkara, maka hakim adalah orang yang mencegah yang zalim dan
memisahkan dua pihak yang sedang bertikai. Sedangkan muhkam adalah sesuatu yang
dikokohkan, jelas, fasih, dan membedakan antara yang hak dan yang bathilSedang dalam
kitab Mabahits fii Ulum al-Qur’an dijelaskan:

‫ ما استأثر هللا‬:‫ ما عرف المراد منه – والمتشابه‬:‫المحكم‬

Artinya:

“Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan mutasyabih


hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah sendiri.”

Mutasyabih secara bahasa berasal dari kata tasyabuh yang berarti keserupaan dan
kesamaan yang biasanya membawa kesamaran antara dua hal. Adapun secara istilah,
mutasyabih adalah lafadz yang maksud dan maknanya hanya diketahui oleh Allah S.W.T.,
dan tidak dapat diketahui oleh manusia.

B.     Sikap Para Ulama’ terhadap Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih

Sumber perbedaan pendapat berpangkal pada masalah waqaf dalam ayat :

}٧ : ‫ {العمران‬....‫ َو َما يَ ْع َم ُل تَْأ ِو ْيلَ ۤهُ اِلَّا هللاُ َوالرَّا ِس ُخونَ فِى ْال ِع ْلم ِيَقُوْ لُوْ نَ آ َمنَّابِه‬...

Pertama : apakah kedudukan lafaz ini sebagai mubtada’ yang khabarnya adalah َ‫يَقُوْ لُوْ ن‬,
dengan “wawu” diperlakukan sebagai huruf isti’nâf (permulaan) dan waqaf dilakukan pada
lafaz ُ‫ َو َما يَ ْع َم ُل تَْأ ِو ْيلَ ۤهُ اِلَّا هللا‬.

Kedua : ataukah ia ma’tȗf, sedang lafaz َ‫ يَقُوْ لُوْ ن‬menjadi hâl dan waqafnya pada lafaz
‫َّاس ُخونَ فِى ْال ِع ْلم‬
ِ ‫والر‬.
َ

Ulama yang berpendapat mengenai ayat-ayat muhkam dan mutasyabih terbagi


menjadi dua: Madzhab Ulama Salaf dan Madzhab Ulama Khalaf.
1.      Madzhab Ulama Salaf

Orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabih itu dan


menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan Allah dari pengertian-
pengertian lahir bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an
serta menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri. Ketika Imam Malik
ditanya tentang makna istiwa’, dia berkata:

.‫اَاْل ِ ْستِ َوا ُء َم ْعلُوْ ٌم َو ْال َكيْفُ َمجْ هُوْ ٌل َوالسََّؤ ا ُل َع ْنهُ بِ ْد َعةٌ َواَظُنُّكَ َر ُج َل السُّوْ ِء اَ ْخ ِرجُوْ هُ َعنِّ ْي‬

Artinya: Istiwa’ itu maklum, caranya tidak diketahui, mempertanyakannya bid’ah


(mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini dari majlis
saya.

Maksud istiwa’ (bersemayam) telah kita ketahui, namun mengenai bagaimana caranya
kita tidak mengetahuinya. Iman kepadanya adalah wajib dan menanyakan adalah bid’ah.
“Rabi’ah bin Abdur-rahman, guru Malik, jauh sebelumnya pernah berkata: “Arti istiwa’
sudah kita ketahui, tetapi bagaimana caranya tidak diketahui. Hanya Allahlah yang
mengetahui apa sebenarnya. Rasul pun hanya menyampaikan, sedang kita wajib
mengimaninya.” Jadi, jelaslah bahwa arti istiwa’ itu sendiri sudah diketahui tetapi caranyalah
yang tidak diketahui.

Adapun dalam argumen naqli, mereka mengemukakan beberapa hadits dan atsar.
Diantaranya :

َ yَ‫ ق‬: ‫ت‬


‫ال‬y َ ‫ (هُ َو الَّ ِذى َأ ْن َز َل َعلَ ْي‬: َ‫ ٰه َذا ااْل ٰ يَة‬.‫ع‬.‫ تَاَل َوسُوْ ُل هللاِ ص‬: ‫ت‬
ِ ‫ا‬yyَ‫ ُـولُوا ْالب‬... ‫ ِه‬yِ‫الَى قَوْ ل‬... ‫اب‬yyَ‫ك ْال ِكت‬
ْ َ‫ال‬yyَ‫ب) ق‬ ْ َ‫ع َْن عَاِئ َشةَ قَال‬
-‫ –رواه البجارى و مسلم‬.‫ولِئكَ الَّ ِذ ْينَ َس َّمى هللاُ فَاحْ َذرْ هُ ْم‬ ٰ ‫ فَا ِ َذا َرَأيْتَ الَّ ِذىنَ يَتَّبِعُوْ نَ َما تَ َشابَهَ ِم ْنهُ فَُأ‬: .‫ع‬.‫َرسُو ُل هللاِ ص‬

“Dari Aisyah, ia berkata: Rasul SAW. membaca ayat: “inilah yang menurunkan al-
Kitab (al-Qur’an) kepadamu”, sampai kepada “orang-orang yang berakal”, berkata ia : Rasul
SAW. berkata: “jika engkau melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat yang musytabihat
daripadanya maka mereka itulah orang-orang yang disebut Allah, maka hati-hatilah terhadap
mereka”. (dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dan yang lainnya).1[8]

Ini menunjukkan bahwa wawu untuk isti’naf(permulaan). Di samping itu, ayat


tersebut juga mencela orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutsyabihat dan memberikan
mereka itu sebagai yang mempunyai kecenderungan kepada kesesatan dan mencari fitnah.

1
Sebaliknya, ayat yang sama memuji orang-orang yang menyerahkan pengetahuan tentang itu
kepada Allah.

2.      Madzhab Ulama Khalaf

Madzhab ini berpendapat, bahwa waqaf(memberhentikan bacaan) dalam ayat (surat


Ali-Imran: 7) di atas adalah lafal : ‫ َوالرَّا ِس ُخونَ فِى ْال ِع ْل ِم‬. dengan demikian, selain Allah, orang-
orang yang mendala ilmunya juga dapat mengetahui takwil dari ayat-ayat mutâsyabihât itu.
Adapun wawu (‫ ) َو‬pada lafal ayat tersebut adalah berkududukan sebagai hurf ‘athf. Oleh
karena itu, kata َ‫ ُخون‬y‫َّاس‬
ِ ‫ الر‬di-‘athaf-kan kepada lafal ُ‫ هللا‬pada kalimat sebelumnya. Diantara
ulama yang berpendapat demikian –menurut Shubhi al-Shalih- adalah Abu Hasan
al-‘Asy’ariy. Pendapat ini diperjelas lagi oleh Abu Ishaq al-Syirazi yang sekaligus
mendukung dengan mengatakan, “bahwa pengetahuan Allah mengenai takwil ayat-ayat
mutasyabihat itu, juga dilimpahkan kepada para ulama yang mendalam ilmunya. Sebab
firman yang diturunkan itu merupakan pujian bagi mereka yang luas dan mendalam ilmunya.
Bila mereka dianggap tidak mengetahui maknanya berarti tidak ada bedanya dengan orang
awam.”

Mujtahid dan sahabat-sahabatnya, demikian juga al-Nawawi cenderung kepada


pendapat kedua ini. Menurut al-Nawawi, pendapat ini lebih banyak diterima sebab tidak
mungkin Allah akan mengkhithabkan hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak ada jalan untuk
mengetahuinya. Selanjutnya madzhab khalaf mengatakan, bahwa suatu hal yang seyogyanya
dilakukan dalam hal memahami ayat-ayat mutasyabihat itu adalah memalingkan lafal dari
kradaan kehampaan yang mengakibatkan kebingungan manusia, sehingga membiarkan
makna itu “terlantar” tidak bermakna. Selama ayat tersebut memungkinkan untuk dilakukan
penakwilan terhadapnya dengan makna yang benar dan rasional, maka tidak ada halangan
bagi nalar manusia -dalam hal ini bagi mereka yang sudah memiliki ilmu yang mendalam dan
kemampan tinggi- untuk melakukannya.”

C.    Hikmah Keberadaan Ayat Mutasyabihat dalam Al-Qur’an

Diantara hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabih di dalam al-Qur’an adalah sebagai


berikut:

1.      Memperlihatkan kelemahan akal manusia


Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana
Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan
anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi
akan menyombongkan keilmuannyasehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya.

Ayat-ayat mutasyabihat merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah


karena kesadarannya akan ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat
mutasyabih itu.

2.      Teguran bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat mutasyabih

ِ ‫َو َما يَ َّذ َّك ُر ِإاّل ۤ َ ُأولُوا اَأل ْلبَا‬


Pada penghujung surat Ali ‘Imran [3] ayat 7, Allah menyebutkan ‫ب‬
sebagai cercaan bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya,
memberikan pujian pada orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang
tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka
berkata ‫ز ْغ قُلُوْ بَنَا‬y
ِ yُ‫ا الَ ت‬yyَ‫ َربَّن‬. Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu
ladunni.

3.      Memberikan pemahaman abstrak-ilahiah kepada manusia melalui pengalaman indrawi


yang biasa disaksikannya.

Sebagaimana dimaklumi bahwa pemahaman diperoleh manusia tatkala ia diberi


gambaran indrawi terlebih dahulu. Dalam kasus sifat-sifat Allah, sengaja Allah memberikan
gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenal sifat-sifat-Nya. Bersamaan dengan itu,
Allah menegaskan bahwa diri-Nya tidak sama dengan hamba-Nya dalam hal pemilikan
anggota badan.
BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi dan tidak
menimbulkan pertanyaan jika disebutkan. Sedang mutasyabih adalah ayat-ayat yang
maknanya belum jelas.

Ulama’ berbeda pendapat dalam hal memahami ayat-ayat mutasyabih, yaitu antara
bisa tidaknya manusia memahami atau memaknai ayat-ayat mutasyabihat. Terdapat hikmah
adanya ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat yang secara garis besar masuk pada tataran
pemahaman dan penggunaan logika akal.

B.     Saran

Dalam memahami ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat tentunya akan menemui


perbedaan antara ulama’ satu dengan yang lainnya. Maka dari itu kita sebagai mahasiswa
tidak sepantasnya saling salah menyalahkan pendapat satu dengan yang lainnya. Karena
asetiap pendapat yang dikeluarkan oleh para ulama’ tentunya semuanya memiliki dasar. Kita
harus lebih bijak dalam mengatasi perbedaan.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qattan, Manna’. Mabahits fi Ulum al-Qur’an. Mesir: Maktabah Wahdah, 1973.

Anwar, Rosihon. Ulum al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Chirzin, Muhammad. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2000.

Hermawan, Acep. Ulumul Qur’an: Ilmu Untuk Memahami Wahyu. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2011.

Syadali, Ahmad dan Ahmad Rifa’i. Ulumul Qur’an I. Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Usman. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Teras, 2000.

Yusuf, Kadar M. Studi Al-qur’an. Jakarta: Amzah, 2012.

Anda mungkin juga menyukai