Anda di halaman 1dari 12

TINJAUAN TEORI

A. Definisi
               Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana
tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap
bahan-bahan yang umumnya nonimunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia
bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh
dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas
tersebut disebut allergen. Hipersensitivitas merupakan respon yang berlebihan atau
respon yang tidak tepat dan terjadi pada pajanan antigen yang kedua kali.
(Kowalak, 2011).

B. Etiologi
            Faktor yang berperan dalam alergi dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Faktor Internal
 Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam
lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi
imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen
makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi
makanan tertentu.
 Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai
janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan
norma kehidupan setempat.
 Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan
penyerapan alergen bertambah.
b. Fakor Eksternal
Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih,
stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
Makanan seperti telur,kacang,susu,dll.
C. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala utama pada reaksi hipersensitivitas dapat digolongkan menjadi
reaksi sistemik yang ringan, sedang dan berat.

 Ringan. Reaksi sistemik yang ringan terdiri dari rasa kesemutan serta hangat
pada bagian perifer dan dapat disertai dengan perasaan penuh dalam mulut
serta tenggorokan. Kongesti nasal, pembengkakan periorbital, pruritus,
bersin-bersin dan mata berair dapat terjadi. Awitan gejala dimulai dalam
waktu 2 jam pertama sesudah kontak.
 Sedang. Reaksi sistemik yang sedang dapat mencakup salah satu gejala
diatas disamping gejala flushing, rasa hangat, cemas, dan gatal-gatal. Reaksi
yang lebih serius berupa bronkospasme dan edema saluran pernafasan atau
laring dengan dispnea, batuk serta mengi. Aawitan hgejala sama seperti
reaksi yang ringan.
 Berat. Reaksi sistemik yang berat memiliki onset mendadak dengan tanda-
tanda serta gejala yang sama seperti diuraikan di atas dan berjalan dengan
cepat hingga terjadi bronkospasme, edema laring, dispnea berat serta
sianosis. Disfagia (kesulitan menelan), kram abdomen, vomitus, diare, dan
serangan kejang-kejang dapat terjadi. Kadang-kadang timbul henti jantung
D. Patofisiologi
Saat pertama kali masuknya alergen ( obat-obatan, debu, bulu binatang peliharaan,
makanan, tranfusi antibodi sitotiksik ) ke dalam tubuh seseorang barulah tampak
gejala-gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu
muncul maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang akan memicu sel T
dimana sel telur yang merangsang sel B untuk mengaktifkan anti bodi ( ig.E ). Proses
ini mengakibatkan melekatnya anti bodi pada sel must yang dikeluarkan oleh basofil
apabila seorang mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama.
Jika seseorang terpapar alergen maka akan terjadi dua hal yaitu :
1. Ketika mulainya terjadi produksi sitokin oleh sel T, maka akan memberikan efek
terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel-sel radang misalnya netofil
atau esionatofil
2. Alergi tersebut akan mengakibatkan anti bodi ( ig.E ) yang merangsang sel must
kemudian akan melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian
histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat mereka
mencapai kulit, alergen akan menyebabkan gatal, prutitus, angioderma, urtikaria,
kemerahan pada kulit dan dermatitis pada saat mereka mencapai paru-paru,
kemudian alergen dapat meneruskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling
ditakutkan dikenal dengan nama anaflatik syok gejala ini ditandai dengan tekanan
darah yang menurun dan kesadaran yang menurun, dan bila tidak ditangani
segera dapat menyebabkan kematian.
E. Pathway

( obat-obatan, debu, bulu binatang peliharaan,


makanan, tranfusi antibodi sitotiksik )

Masuk ke tubuh

difagositosis

Masuk ke sel T di kelenjar limfe

\2

Komplikasi
 Eritroderma eksfoliativa sekunder
Eritroderma ( dermatitis eksfoliativa ) adalah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya
eritema seluruh / hampir seluruh tubuh, biasanya disertai skuama (Arief Mansjoer , 2000 :
121). Etiologi eritroderma eksfoliativa sekunder :
o Akibat penggunaan obat secara sistemik yaitu penicillin dan derivatnya ,
sulfonamide , analgetik / antipiretik dan ttetrasiklin.
o Meluasnya dermatosis ke seluruh tubuh , dapat terjadi pada liken planus , psoriasis
, pitiriasis rubra pilaris , pemflagus foliaseus , dermatitis seboroik dan dermatitis
atopik.
o Penyakit sistemik seperti Limfoblastoma.(Arief Mansjoer , 2000).

 Abses limfedenopati
Limfadenopati merujuk kepada ketidaknormalan kelenjar getah bening dalam ukuran,
konsistensi ataupun jumlahnya. Limfadenopati dapat timbul setelah pemakaian obat-
obatan seperti fenitoin dan isoniazid. Obat-obatan lainnya seperti allupurinol, atenolol,
captopril, carbamazepine, cefalosporin, emas, hidralazine, penicilin, pirimetamine,
quinidine, sulfonamida, sulindac). Pembesaran karena obat umumnya seluruh tubuh
(generalisata).
 Furunkulosis
Furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan
yangdisekitarnya, yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Apabila
furunkelnya lebihdari satu maka disebut furunkolosis.Faktor predisposisi:
o Hygiene yang tidak baik
o Diabetes mellitus
o Kegemukan
o Sindrom hiper IgE
o Carier kronik S.aureus (hidung)
o  Gangguan kemotaktik
o  Ada penyakit yang mendasari, seperti HIV
o Sebagai komplikasi dari dermatitis atopi, ekscoriasi, scabies atau pedikulosis
(adanya lesi pada kulit atau kulit utuh bisa juga karena garukan atau sering
bergesekan).
 Rinitis
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatumediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut (von Pirquet,1986).
 Stomatitis
Stomatitis Aphtous Reccurent atau yang di kalangan awam disebut sariawan adalah luka
yang terbatas pada jaringan lunak rongga mulut. Hingga kini, penyebab dari sariawan ini
belum dipastikan, tetapi ada faktor-faktor yang diduga kuat menjadi pemicu atau
pencetusnya.
Beberapa diantaranya adalah:
 Trauma pada jaringan lunak mulut (selain gigi), misal tergigit, atau ada
gigi yang posisinya di luar lengkung rahang yang normal sehingga
menyebabkan jaringan lunak selalu tergesek/tergigit pada saat
makan/mengunyah
  Kekurangan nutrisi,terutama vitamin B12, asam folat dan zat besi.
  Stress
 Gangguan hormonal, seperti pada saat wanita akan memasuki masa
menstruasi di mana terjadi perubahan hormonal sehingga lebih rentan
terhadap iritasi
 Gangguan autoimun / kekebalan tubuh, pada beberapa kasus penderita
memiliki respon imun yang abnormal terhadap jaringan mukosanya
sendiri.
 Penggunaan gigi tiruan yang tidak pas atau ada bagian dari gigi tiruan
yang mengiritasi jaringan lunak
 Pada beberapa orang, sariawan dapat disebabkan karena hipersensitivitas
terhadap rangsangan antigenik tertentu terutama makanan.
 Konjungtivitis
Konjungtivitis adalah radang atau infeksi pada konjungtiva dimana batasnya dari kelopak
mata hingga sebagian bola mata.Etiologi:
o  Infeksi oleh virus
o  Reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang
o Iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi lainnya
o Kelainan saluran air mata, dll.
 Kolitis Bronkolitis
 Hepatomegali
F. Penatalaksanaan medis farmakologis dan non farmakologis
Penatalaksanaan farmakologis
a. Adrenalin
Adrenalin termasuk golongan adrenergik yang akan meningkatkan konsentrasi cAMP
dalam mastosit sehingga terjadi hambatan degranulasi. Selain itu adrenalin mempunyai
manfaat terhadap sel sasaran, yaitu:
 Perangsangan terhadap pembuluh darah kulit, selaput lendir dan kelenjar liur.
 Mengendurkan otot polos usus, bronkhus dan pembuluh darah otot rangka.
 Perangsangan jantung dengan akibat peningkatan denyut jantung, kekuatan
kontraksinya dan tekanan darah.
 Perangsangan pusat-pusat pengaturan di otak, misalnya pernafasan.
Semua manfaat itu akan dapat mengurangi gejala-gejala reaksi anafilaktik. Cara
pemberiannya yaitu dengan memasukkan larutan adrenalin (epinefrin) 1/1000 dalam air
sebanyak 0,01 ml/kgBB, maksimum 0,5 ml (larutan 1:1000), diberikan secara intramuskular
atau subkutan pada lengan atas atau paha. Kalau anafilaksis terjadi karena suntikan, berikan
suntikan adrenalin kedua 0,1-0,3 ml (larutan 1:1000) secara subkutan pada daerah suntikan
untuk mengurangi absorbsi antigen. Dosis adrenalin pertama dapat diulangi dengan jarak
waktu 15- 20 menit bila diperlukan. Kalau terdapat syok atau kolaps vaskular atau tidak
berespons dengan medikasi intramuskular, dapat diberikan adrenalin 0,1 ml/kgBB  dalam 10
ml NaCl fisiologik (larutan 1:10.000) secara intravena dengan kecepatan lambat (1-2 menit)
serta dapat diulang dalam 5-10 menit.
b. Difenhidramin
Difenhidramin merupakan kelompok antihistamin yang bekerja menghambat histamin
yang dihasilkan oleh sel mastosit. Difenhidramin dapat diberikan secara intravena (kecepatan
lambat selama 5 – 10 menit), intramuskular atau oral (1-2 mg/kgBB) sampai maksimum 50
mg sebagai dosis tunggal, tergantung dari beratnya reaksi. Yang perlu diingat adalah bahwa
difenhidramin bukan merupakan substitusi adrenalin. Difenhidramin diteruskan secara oral
setiap 6 jam selama 24 jam untuk mencegah reaksi berulang. Kalau penderita tidak
memberikan respon dengan tindakan di atas, jadi penderita masih tetap hipotensif atau tetap
dengan kesulitan bernapas, maka penderita perlu dirawat di unit perawatan intensif dan
pengobatan diteruskan dengan langkah berikut:
·         Cairan intravena
Untuk mengatasi syok dapat diberikan cairan NaCl fisiologis dan glukosa 5% dengan
perbandingan 1 : 4 selama 1-2 jam pertama atau sampai syok teratasi. Bila syok sudah
teratasi, cairan tersebut diteruskan dengan dosis sesuai dengan berat badan.
c.     Aminofilin
Apabila bronkospasme menetap, diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/kgBB yang
dilarutkan dalam cairan intravena (dekstrosa 5%) dengan jumlah paling sedikit sama.
Campuran ini diberikan intravena secara lambat (15-20 menit). Tergantung dari tingkat
bronkospasme, aminofilin dapat diteruskan melalui infus dengan kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB
atau 4-5 mg/kgBB intravena selama 20-30 menit setiap 6 jam. Bila memungkinkan kadar
aminofilin serum harus dimonitor.
d.     Teofilin
Teofilin termasuk kelompok xantin yang mempunyai manfaat mengatasi reaksi
anafilaktis. Mekanisme kerjanya melalui sel mastosit dan sel sasarannya seperti halnya
adrenalin. Teofilin menghambat kerja enzim fosfodiesterase yang akan merusak cAMP,
sehingga kadar cAMP akan meningkat akibatnya degranulasi mestosit dihambat. Selain itu
teofilin akan bekerja pada pusat pernafasan dan otot-otot bronkhus, terlebih saat otot-otot
brunkhus dalam keadaan kontraksi. Semua hal itu akan mengurangi gejala-gejala reaksi
anafilaktik.
e.   Vasopresor
Bila cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan metaraminol
bitartrat (Aramine) 0,0l mg/kgBB (maksimum 5 mg) sebagai suntikan tunggal secara lambat
dengan memonitor aritmia jantung, bila terjadi aritmia jantung, pengobatan dihentikan
segera. Dosis ini dapat diulangi bila diperlukan, untuk menjaga tekanan darah. Dapat juga
diberikan vasopresor lain seperti levaterenol bitartrat (Levophed) 1 mg dalam 250 ml cairan
intravena dengan kecepatan 0,5 ml/menit atau dopamin (Intropine) yang diberikan bersama
infus, dengan kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam.
f. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan kelompok obat-obatan yang paling banyak dipakai pada
penyakit radang dan penyakit imunologik. Walaupun pada beberapa binatang, pemberiannya
menimbulkan kerusakan pada jaringan limfoid, namun pada manusia hal tersebut tidak
terjadi. Kortikosteroid mempunyai efek menghambat radang, disamping menghambat respon
imun dan menstabilkan dinding sel mastosit. Dengan menghambat respons imun dapat
menghambat sintesis IgE.Kortikosteroid tidak menolong pada pelaksanaan akut suatu reaksi
anafilaksis. Pada reaksi anafilaksis sedang dan berat kortikosteroid harus diberikan.
Kortikosteroid berguna untuk mencegah gejala yang lama. Mula-mula diberikan
hidrokortison intravena 7-10 mg/kgBB lalu diteruskan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam
dengan bolus infus. Pengobatan biasanya dapat dihentikan sesudah 2-3 hari.
Tabel obat-obatan yang digunakan :
No Nama obat Indikasi Kontraindikasi
1. Pehacain Anestesi lokal Inflamasi lokal atau sepsis,
septikemia, tirotoksikosis,
hipersensitif terhadap
anastesi lokal tipe amida

2. Phaminov Untuk meredakan dan Hipersensitivitas terhadap


mengatasi obstruksi saluran derivat xantin
napas yang berhubungan
dengan asma bronkial dan
penyakit paru kronik lain,
seperti emfisema dan
bronkitis kronis
3. Teosal Bronkitis asmatik, bronkitis Hipertiroid, tirotoksikosis
akut atau kronis, emfisema
pulmonar
4. Hydrocortisone Dermatitis atopik, kontak, Penyakit virus, infeksi jamur
alergi; pruritus anogenital, dan bakteri pada kulit, akne,
neurodermatitis dermatitis perioral, laktasi
G. Pengkajian focus
Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur,jenis kelamin,pendidikan, alamat, pekerjaaan, agama, suku
bangsa, tanggal dan jam MRS, no register dan diagnose medis.
2. Keluhan utama
Biasanya terdapat kemerahan dan bengkak pada kulit dan terasa gatal.
3.  Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh nyeri perut, sesak nafas, demam, bibirnya bengkak, tibul
kemerahan pada kulit, mual muntah dan terasa gatal.
4. Riwayat penyakit dahulu
Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami nyeri perut,sesak nafas,
demam,bibirnya bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal
dan pernah menjalani perawatan di RS atau pengobatan tertentu.
5.  Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang
sama.
6. Riwayat psikososial
Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak
penyakit pasien terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien,
mekanisme koping terhadap stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya, tugas
perkembangan menurut usia saat ini, dan sistem nilai kepercayaan.
7. Pemeriksaan fisik
a. kulit, seluruh kulit harus diperhatikan apakah ada peradangan kronik,
bekas garukan terutama daerah pipi dan lipatan kulit daerah fleksor.
b. Mata, diperiksa terhadap hiperemia, edema, sekret mata yang berlebihan
dan katarak yang sering dihubungkan dengan penyakit atropi.
c.  Telinga, telinga tengah dapat merupakan penyulit rinitis alergi.
d. Hidung, beberapa tanda yang sudah baku misal: salute, allergic crease,
allergic shiners, allergic facies.
e. Mulut dan orofaring pada rinitis alergik, sering terlihat mukosa orofaring
kemerahan, edema. Palatum yang cekung kedalam, dagu yang kecil serta
tulang maksila yang menonjol kadang-kadang disebabkan alergi kronik.
f. Dada, diperiksa secara infeksi, palpasi, perkusi, auskultasi. Pada waktu
serangan asma kelainan dapat berupa hiperinflasi, penggunaan otot bantu
pernafasan.
g. Periksa tanda-tanda vital terutama tekanan darah.

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan  terpajan allergen
2. Hipertermi berhubungan dengan  proses inflamasi
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal
sekunder
4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan  cairan berlebih
5. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( allergen,ex: makanan).

Anda mungkin juga menyukai