Anda di halaman 1dari 2

Relasi Pompanua – Hadramaut

Fadly Ibrahim al-Buni

Muwadda’ Muwadda’ Ya Ramadhan Muwadda’ Alaina bil Gufran


(Selamat tinggal Ya Ramadhan, tinggalkanlah kami disertai dengan pengampunan).

Demikian penggalan syair perpisahan Ramadhan yang dilantunkan pada akhir Ramadhan di Mesjid
Taqwa Pompanua-Bone. Tidak banyak masjid yang mentradisikan pembacaan syair perpisahan ini di
Sulawesi. Namun di negeri asalnya Hadramaut Yaman terutama di Tarim negeri para waliyullah.
Lantunan sedih Muwadda’ Ya Ramadhan mengiringi akhir Ramadhan di setiap mesjid, termasuk di
Darul Mustafa madrasah Habib Umar al Hafidz.
Relasi Pompanua – Hadramaut bermula dari kedatangan Syekh Abdullah Bafadhal, jauh sebelum
gelombang pertama diaspora hadramaut datang di Sulawesi. Relasi semakin menguat saat fase kedua
migrasi hadramaut tiba di Nusantara pada akhri abad 19. LWC Van den Berg mencatat tidak lebih 300
orang arab hadramaut tiba di Sulawesi pada tahun 1885, dan sebagian diantaranya memilih
beraktifitas di Bone. Diantara yang menetap di Pompanua Bone adalah fam Basalamah, al habsyi, al
jufri, al kaff, al Saqqaf, al Shafi, bin Yahya, al Attas, dll.
Kedatangan orang arab hadramaut relatif lebih mudah diterima di Pompanua, karena tiga anak Syekh
Abdul Majid bin Abdul Hayyi al Jawi al Bugisi yang berposisi sebagai qadhi dan imam yakni AGH Abdul
Hayyi, AGH Muhammad Khalifah, dan AGH Ahmad Surur berguru kepada ulama hadramaut di Mekah.
Diantara guru-gurunya adalah Syekh Sayyid Umar bin Abubakar ba Junaid al Hadrami, Syekh Sayyid
Habib Husein bin Muhammad al Habsyi kakak dari Habib Ali Hadramaut pengarang shalawat
Simthudurror, dan Syekh Sayyid Muhammad Said Babasil al Hadrami.
AGH Muhammad Khalifah dan AGH Ahmad Surur juga berkorespondensi dengan ulama-ulama
hadramaut di Mekah dan Batavia. Diantaranya adalah al habib Husein bin Abdullah al Attas di Mekah
(wafat di Hadramaut), al Habib Ahmad bin Muhammad bin Hamzah al Attas Pekojan Jakarta (wafat di
Hadramaut). Beliau adalah tokoh yang memperkenalkan kitab Fathul Mu'in di kalangan pesantren
tradisional nusantara. Perjumpaan ulama Pompanua dengan pendiri masjid zawiyah pekojan
tersebut, kemungkinan saat Habib Ahmad berada di Parepare. AGH Muhamad Khalifah juga berkirim
kitab dengan kemanakan Habib Ahmad al Attas, al Habib Thalib bin Husein bin Muhammad bin
Hamzah al Attas di Batavia. Ulama Hadramaut lainnya di Mekah yang disebut AGH Muhammad
Khalifah dalam suratnya bertarikh 1910, yakni al Habib Husein Al Kaff, Sayyid Ja’far bin Muhammad al
Habsyi, Sayyid Salim bin Husein bin Syekh Abubakar, dan Sayyid Abdul Halim bin Husein Assaqaf.
Sebagian ulama tersebut, masih memiliki keluarga yang menetap di Pompanua sampai pada akhir
tahun 1950 an.
Jaringan keilmuan ulama pompanua menjadi daya tarik bagi Sayyyid Abdullah bin Sadaqoh Dahlan
Mufti Johor (Kemanakan Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan Mufti Mekah). Betapa tidak, ulama
Pompanua tidak hanya memiliki relasi keilmuan dengan hadramaut, tapi juga mereka menyerap
pandangan keagamaan dan spiritual dari Fest Maroko. Beliau berkunjung di Pompanua selama lebih
kurang 2 bulan, dan menetap di rumah AGH Ahmad Surur. Sayyid Abdullah meninggal di Garut 10
tahun setelah berkunjung di Pompanua. Beliau seperti menyempurnakan pengembaraannya di
Pompanua, setelah berkeliling di negeri-negeri islam di Asia Afrika.
Sepeninggal anak-anak Syekh Abdul Majid, relasi Pompanua-Hadramaut dilanjutkan oleh AGH Yusuf
Surur. Beliau intensif berkomunikasi dengan Syekh Sayyid Abubakar al Habsyi (Sahabat buya hamka)
kapiten arab Makassar terkahir. Untuk melanjutkan pertalian spiritual leluhurnya, pada tahun 1950
Sayyid Abubakar al habsyi mengijazahkan shalwat kepada AGH Yusuf Surur.
Relasi pompanua-hadramaut kemudian berlanjut tidak terbatas pada jejaring keilmuan, tapi juga
akulturasi budaya yang mempengaruhi tradisi lokal masyarakat Pompanua. Seperti pembacaan
shalawat burdah yang diiringi dengan “gendrang”, nasi kebuli dari beras lokal, minum teh na’na’
(daun mint), dll. Hubungan geanologi Pompanua-Hadramaut pada puncaknya adalah relasi
kekerabatan yang ditandai dengan pernikahan perempuan bugis (non syarifah) dengan kalangan
sayyid. Diantaranya pernikahan Bungarosi anak Haji Ali (Paman AGH Ahmad Surur) dengan Sayyid
Hasan al Shafi, dan pernikahan Ruqayya (kemanakan AGH Ahmad Surur) dengan Sayyid Ali Assaqaf.
Pada akhirnya syair “Ya Tarim Ya Tarîm Syai’ lillâh Syai’ lillâh” mensugesti kerinduan negeri asal,
cucu dari Sayyid al Shafi yakni Sayyid Muhammad bin Ali al Shafi dan Sayyid Muhammad bin Abdullah
al Jufri. Kemudian kembali ke negeri leluhurnya membawa memori negeri Pompanua, mereka
mewartakan kebaikan dan kedalaman ilmu ulama Pompanua. Ia menceritakan juga kepada orang
Tarim bahwa roti beras (Rober) bisa dimakan dengan kari menggantikan roti Maryam. hehe

Anda mungkin juga menyukai