Anda di halaman 1dari 11

INTERKONEKSI INTEGRASI NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM

PEMBELAJARAN SAINS DI MADRASAH

Mata Kuliah : Sains dalam Al-Qur’an di Madrasah dan Sekolah

Dosen Pembimbing: Dr. Firman Mansir, M.Pd.I

Oleh:
Naila Fahriyani Fathur (20190720050)
PAI B 2019

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2022
PENDAHULUAN
Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 M, tetapi ada pendapat lain yang mengtakan
bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 M. walaupun masih ditemukan perbedaan
dalam hal kapan sebenarnya Islam masuk ke Indonesia, tapi satu yang pasti adalah Indonesia saat
ini adalah negara dengan mayoritas penduduknya memeluk agama Islam hampir 85% atau
sekitar 200 juta jiwa dari total 250 juta jiwa penduduk bergama Islam. Kendati demikian
Indonesia bukanlah negara yang menganut hukum islam secara menyeluruh, karena Indonesia
sendiri mengakui 5 agama selain islam diantaranya; Katolik, Protestan, Hindu, Buddha dan
Konghuchu.
Dalam segala perbedaan inilah, kita harus berdiri pada suatu yang tidak bersifat dikotom,
segala urusan keilmuan agama dan keilmuan social sudah sepatutnya berjalan beriringan tanpa
mengurangi esensi saatu dengan yang lainnya. Ternyata adanya pemahaman ini telah melahirlan
suatu disiplin ilmu yang baru, yaitu konsep integrasi-interkoneksi yang akan saya jelaskan pada
tulisan ini.
Pemahaman integrasi-interkoneksi memiliki kaitan erat dengan epistemology yang
diangkat oleh Muhammad Abid Al-Jabiri dan kemudian menimbulkan dikotom ilu pada
pelaksanaanya. karena inilah Muhammad Amin Abdullah mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, sekaligus Guru Besar Filsafat Islam melakukan kajian ilmu untuk menemukan
problem solving atas masalah ini dengan konsep integrasi-interkoneksi, yang dengan konsep ini
pula sebagai suatu landasan dalam perubahan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijag
a Yogyakarta menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan KalijagaYogyakarta.
Rancangan epistemologi agama dan sains dalam paradigma integrasi-interkoneksi
menunjukkan bahwa pada hakikatnya terdapat perbedaan antara agama dan sains dalam
persepsi kebenaran, namun perbedaan inilah dijadikan sebagai bentuk untuk membentuk
pemahaman yang komprehensif tentang kebenaran. makna kebenaran itu sendiri.Ilmu
pengetahuan mencoba menjelaskan fenomena yang material dan secara kuantitatif
memperhitungkan untuk menemukan penyebab dari fenomena yang terjadi Sementara itu,
agama mencoba menafsirkan fenomena yang muncul sebagai akibat dari sesuatu yang
transenden (Labaso, 2018).
Secara universal, keilmuan sendiri terbagi menjadi 3 bagian; yakni natural science (atau
yang kita kenal dengan Ilmu pengetahuan alam), social science (Ilmu pengetahuan social), dan
humanistic. Dan pengilmuan agama terdapat pada bagian humaniora/humanistic. Dan ketika
pengilmuan alam dan social sudah berjalan beriringan, maka akan ditemui pergesekkan dengan
humanistic. Yang diharapkan dapat memperdalam kualitas dan memperluas pengaruh yang dapat
ditimbulkan pada kehidupan manusia kedepannya (Lukman, 2016).
Pendidikan keagamaan selama disekolah memiliki peran atau manfaat yang besar sebagai
landasan etika dan moral bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat dan dalam hidup berbangsa
dan bernegara sebagaimana yang telah ditetapkan pada Peraturan Pemerintah No.55 Tahun 2007
Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Pasal 5 Ayat 3 (Fanani, Mashuri, & Din
a, 2018) Nilai pendidikan, khusunya pada pendidikan agama islam diharapkan dapat
menghasilkan pribadi yang dapat bertoleransi dan mau menerima perbedaan-perbedaan yang
ada.
Dengan menggunakan pedekatan interkoneksi integrasi dalam mengetahui bagaiamana
nilai pendidikan Islam di madrasah dan sekolah dapat berlangsung secara fleksibel tanpa
mengurangi atau menghapus bagian-bagian penting didalamnya (Masyitoh, Mustika, Alfaza, &
Hidayatullah, 2020).
Syahrial (2018) menyatakan dalam jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat bahwa konsep
integrasi-interkonektif adalah dua hal yang berbeda, akan tetapi mereka senantiasa berupaya
untuk menyatukan nash ilmu keagamaan dengan ilmu social yang merupakan padanan antara
ilmu alam dan ilmu umum.
Penerapan integrasi-interkoneksi pada nilai pendidikan Islam di madrasah masih jarang
ditemui kajian keilmuannya, sehingga saya mencoba untuk mempadankan 2 kajian yang terkait
sehingga didapati hasil yang sedemikian rupa. Banyak dari jurnal-jurnal yang saya temukan
mengenai pembahasan nilai pendidikan Islam diantaranya ada yang membahas internalisasi nilai
pendidikan Islam kepada karakter siswa, adapula yang membahas tentang pendidikan
multicultural sebagai upaya penanaman nilai-nilai pendidikan, yang saya temui adalah demikian.
Dan tidak saya temui jurnal yang membahas tentang integegrasi-interkoneksi nilai pendidikan
Islam di madrasah.

METODE
Maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan atau library
research yaitu metode yang bersifat teoritis dengan judul penelitian “Integrasi-interkoneksi Nilai
Pendidikan Islam di Madrasah”. Berdasarkan judul tsb penelitian ini akan mengkaji konsep, dan
teori seperti jurnal-jurnal terdahulu terkait dengan judul ini. studi pustaka bertujuan untuk
menghimpun data yang bersifat kepustakaan dan ditelaah sedemikian rupa agar dapat menjadi
jalan keluar atau problem solving bagi masalah yanag diangkat dalam tulisan ini (Suwarjeni, 201
4).
Studi kepustakaan adalah penelitian yang menekankan pada telaah sumber bacaan yang
termasuk pada kategori penelitian kualitatif deskriptif yang menekankan pada deskripsi hasil
analisis tentang integrasi-interkoneksi nilai pendidikan Islam di Madrasah dengan menggunakan
sumber seperti buku dan jurnal-jurnal penelitian terkait (Watson, 2016).

PEMBAHASAN
1. Kajian Integrasi-Interkoneksi
Saya menemukan banyak sekali jurnal yang membahas tentang kajian ilmu integrasi-
interkoneksi dengan berbagai macam bahasan yang diangkat, dan saya menemukan 2 tokoh
yang sering dibahas dalam jurnal-jurnal tsb, diantaranya adalah; Muhammad Amin Abdullah
dan Muhammad Abid Al-Jabari.
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Abdullah merupakan seorang filsuf sekaligus guru
besar studi islam pada Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga Yogyakarta yang sampai saat
ini masih aktif mengajar di fakultas pascasarjana yang dalam kiprahnya aktif dalam dunia
filsafat islam baik melalui karya-karya nya maupun melalui pengabdiannya di masyarakat.
Konsep integrasi-interkoneksi pada UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dikenalkan oleh Prof.
Dr. H. Muhammad Amin Abdullah dengan tujuan merombak kajiam akademik, khususnya
pada studi pendekatan Islam (Lukman, 2016).
Sedangkan Muhammad Abid Al-Jabari sendiri adalah filsuf asal Maroko yang
mencetuskan 3 epistemologi nalar arab, yaitu burhani (akal), bayani (teks) dan irfani
(pengalaman). Hal ini didasari oleh keresahannya sebagai muslim, khususnya ia sebagai
bangsa Arab yang dimana saat itu bahkan belum optimal dalam persaingan global. Maka ia
mencoba untuk melakukan kajian epistemology ini secara tersusun dengan metode yang
dibuatnya, karena ia yakin dengan kajian inilah jauh lebih efektif daripada membangun
angan-angan yang tidak jelas (Abbas, 2007) Dan dalam salah satu jurnal, yaitu Jurnal Zulfata
vol. 15 no. 2 membahas bahwa pemikiran Muhammad Abid Al-Jabiri merupakan salah satu
landasan yang dapat digunakan untuk membentuk peradaban masyarakat Aceh di masa
depan.
Paradigma integrasi-interkoneksi yang dilahirkan oleh Prof. Dr. H. Muhammad Amin
Abdullah sangat dipengaruhi oleh bahasan epistemology nalar Arab yang dicetuskan oleh
Muhammad Abid Al-Jabari. Yang dengan paradigma ini diharapkan dapat menjadi ‘jalan
keluar’ bagi persoalan-persoalan dikotom (pemisahan) ilmuyang terjadi di masyarakat. (202
0)
Yang dengan gagasan inilah Prof. Dr. H. Muhammad Amin Abdullah dapat
menggunakan integrasi-interkoneksi sebagai basis dalam perubahan Institut Agama Islam Ne
geri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalij
agaYogyakarta. Sesuai dengan Putusan Presiden Nomor 50 Tahun 2004. Ia juga menyatakan
bahwa ilmu agama juga harus dibarengi dengan ilmu social yang apabila tidak diindahkan
maka akan terjadi pergeseran pemahaman terhadap pola yang akan dicapai kedepannya.
Tokoh dibalik layar integrasi-interkoneksi bukan hanya nama-nama diatas, ada pula S
yekh Muhammad Naquib al-Attas, Seyyed Hossein Nasr, Ziauddin Sardar, Ismail Raji` al-Fa
ruqi, Fazlur Rahman dan ada Kuntowijoyo ilmuwan muslim yang berasal dari Indonesia dan
telah menerbitakan buku yang berjudul “Islam sebagai Ilmu; Epistemologi, Metodologi, dan
Estetika” yang didalamnya membahas tentang integralisasi kekayaan keilmuan antara
manusia dengan wahyu. (Al-Madani, 2020)
Adapula Mulyadi Kartanegara dalam karyanya yang berjudul “Integrasi Ilmu: Sebuah
Rekonstruksi Holistik” yang menyatakan bahwa Al-Ghazali melaksanakan pengklasifikasian
bidang ilmu berdasar pada cakupan dan kandungan disiplin ilmu itu sendiri. (Izudin, 2017)
Sedangkan interkoneksi menurut Prof. Dr. H. Muhammad Amin Abdullah adalah
pemahaman dalam bidang keilmuan apapun (baik ilmu agama dan ilmu social) merupakan
suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, semua harus
dijalankan selaras sesuai dengan porsi nya masing-masing.
Hakikatnya integrasi-interkoneksi merupakan suatu pendekatan yang dapat
menghargai antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya; ilmu agama dan social
dapat mengetahui keterebatasan apa yang mereka miliki sehingga dapat melahirkan
kerjasama antar keduanya yang paling tidak dapat saling memahami satu dengan yang
lainnya.
Selayaknya pemahaman lain, integrasi-interkoneksi hanyalah sebuah kata, yang
dalam pengucapannya sangatlah mudah akan tetapi dalam pengaplikasiannya dapat dikatakan
sulit. Karena menyatukan beberapa disiplin ilmu yang memiliki karakteristik berbeda satu
dengan yang lainnya dan menjadikannya sebagai multidisipliner ilmu. Pelaksanaan konsep
integrasi-interkoneksi sangat diperlukan untuk mengurangi ruang dualisme atau dikotomi
ilmu antara pembentukan umum pendidikan agama yang oleh karena itu mempengaruhi
pemisahan dan penyortiran kesadaran akan keagamaan (Machali, 2015).
Maka, dapat dikatakan bahwa konsep integrasi-interkoneksi adalah sebuah upaya
pendekatan antara keilmuan agama dan social yang pada hakikatnya dua hal ini sama-sama
memiliki kekurangannya masing-masing dan dengan kekurangan ini mereka dapat saling
menghargai dan diharapkan dapat menjadi sebuah pemecah masalah atau problem solving
pada manusia yang nantinya akan menimbulkan kerjasama dikemudian hari.

2. Kajian Nilai Pendidikan Islam


Pendidikan agama Islam umumnya berfokus pada nash atau teks teoritif yang bersifat
pemahaman baik melalui Al-Qur’an dan Hadits, akan tetapi kurang berfokus pada
bagaimana pengamalan yang harus diterapkan berdasar nash tsb (Rohmah, 2019)
Ali Akbarjono (2018) menyatakan dalam jurnal nya bahwa, pendidikan agama
khusunya pada pendidikan agama Islam diharapkan dapat mengubah pandangan
masyarakat diluar sana terhadap Islam, dan mampu mengubah sikap yang menganggap
benar agama dianutnya dan menyatakan bahwa agama lainnya adalah salah atau tidak
benar paham ini disebut paham exclusivisme dapat digantikan dengan sikap yang
menyatakan bahwa semua agama itu sama tiada agama yang menyeru kepada kebatilan
atau dapat disebut dengan paham universalisme. Dengan perubahan ini diharapkan akan
menjadikan generasi yang mampu hidup bertoleran atas berbagai macam perbedaan,
sikap ini dalam Islam disebut juga dengan tasammuh.
Peserta didik dengan segala potensi nya harus didampingi dengan pengarahan yang
sesuai agar perkembangan potensi dapat berjalan dengan optimal, proses transfer
pembalajaran bukan hanya tentang teori tetapi juga sebuah usaha seorang pendidik dalam
memberi bimbingan, binaan, dan pengarahan agar selama proses pengemabangan potensi
dapat membentuk kepribadian yang memiliki budi pekerti yang luhur (Nata, 2016).
Pada dasarnya nilai pendidikan islam adalah himpunan dari prinsip kehidupan,
bagaimana ia akan hidup di dunia dan bekal apa yang harus mereka persiapkan bagi
kehidupan setelah di dunia yang mana dari prinsip ini menjadi satu kesatuan utuh yang
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, terlepas dari konsep nya pengaplikasian
nilai pendidikan inilah yang harus diperhatikan. (Nashuddin, 2020)
Nilai secara umum dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu;
1) Nilai Ilahiah yang berdasar pada rasa yakin atas sesuatu
2) Nilai Insaniyah yang berdasar pada pribadi maupun lingkungan sekitar.
Sedangkan nilai pendidikan dibagi menjadi 2 berdasar pada kajian teori
1) Nilai instrumental
Adalah nilai yang menjadi pedoman dalam penialain-penilaian lainnya yang
berkaitan dengan luaran diri nya sendiri seperti penilaian guru atau teman
terhadap dirinya.
2) Nilai intrinsik
Berbanding terbalik dari nilai instrumental, intrinsic berfokus pada penilaian yang
ada pada diri nya sendiri. Seperti perumpaan yang paling mengenal dirimu
hanyalah dirimu sendiri.
Al-Qur’an telah membahas nya dalam salah satu surat tentang nilai-nilai pendidikan
Islam yaitu surat Luqman ayat 12 yang berbunyi:
‫َولَقَ ْد ٰاتَ ْينَا لُ ْقمٰ نَ ْال ِح ْك َمةَ اَ ِن ا ْش ُكرْ هّٰلِل ِ ۗ َو َم ْن يَّ ْش ُكرْ فَاِنَّ َما يَ ْش ُك ُر لِنَ ْف ِس ٖ ۚه َو َم ْن َكفَ َر فَا ِ َّن هّٰللا َ َغنِ ٌّي َح ِم ْي ٌد‬
Artinya :
Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu, ”Bersyukurlah kepada
Allah! Dan barangsiapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur
untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah
Mahakaya, Maha Terpuji.” (Q.S Luqman (31):12)
Pembahasan singkat dari ayat diatas ialah nasihat Luqman kepada anaknya bahwa
apabila kita bersyukur atas nikmat yang telah Allah SWT berikan kepada kita maka
dengan syukur inilah kita didatangkan kebaikan sebagai manfaat bagi dirinya sendiri,
akan tetapi jika dengan nikmat itu kita tidak bersyukur (kufur) maka hal ini tidak
merugikan Allah akan tetapi akan berimbas pula pada diri kita sendiri. Memahami
agama, pemikiran, dan kebenaran dalam bahasa tanpa nubuat (kenabian). Pentingnya
kearifan bagi sosok pendidik mengandung makna bahwa seorang pendidik tidak hanya
berupaya untuk senantiasa meningkatkan kemampuan akademiknya, tetapi juga
menyelaraskannya dengan praktiknya. Jadi ada keselarasan antara peningkatan
intelektual dan perkembangan emosional dan spiritual. Inilah tujuan pendidikan yang
sesungguhnya, yaitu terwujudnya peserta didik yang ditopang secara seimbang oleh
berbagai potensi yang dimilikinya (Fitri & Idris, 2019).
Sosok Luqman adalah figure tauladan bagi seorang pendidik, yang mana ia
hanyalah seorang manusia biasa bukan lah nabi ataupun rasul, akan tetapi namanya
sangat lah popular di telinga umat muslim, bahkan namnya pun diangkat oleh Allah SWT
sebagai salah satu surat dalam Al-Qur’an. Dalam surat ini pula dijelaskan bahwa Luqman
senantiasa memberikan nasihat kepada anak-anaknya baik dalam ucapan secara tersurat
maupun perilaku nya secara tersirat.
Terdapat 6 pokok nilai pendidikan Islam yang diangkat dari surat Luqman, diantaranya:
1) Nilai pendidikan tauhid
Nilai pendidikan tauhid terdapat pada ayat ketiga belas yang berisikan tentang
larangan mendekati syirik atau menduakan Allah, perintah ini selaras dengan makna
tauhid itu sendiri. Penyamapain larangan ini dilangsungkan dengan dua kalimat,
kalimat pertama menjelaskan tentang larangan syirikm itu sendiri yang dilanjut
dengan kalimat kedua yang menjelaskan tentang akibat atau bahaya yang akan
ditimbulkan apabila kita syirik kepada Allah.
2) Nilai pendidikan adab
Pendidikan adab tidak hanya berkaitan dengan pelajaran keagamaan, akan tetapi pada
pengamalannya pada perilaku sehari-hari. Dalam surat ini menjelasakan tentang adab
kepada 3 objek, adab kepada Sang Pencipta, adab kepada yang lebih tua (orangtua)
dan adab terhadap sesama.
3) Nilai pendidikan ibadah
Nilai pendidikan ibadah ditunjukan luqman dalam perintah shalat kepada anaknya
yang sebagaimana kita ketahui bahwa shalat merupakan salah satu ibadah yang
terdapat dalam rukun Islam.
4) Nilai pendidikan social budaya
5) Nilai pendidikan moral
Nilai pendidikan moral tersalurkan dari perintah amal ma’ruf nahi mungkar yang
terdapat dalam surat ini.
6) Nilai pendidikan ketauladanan
Ketauladanan disini dapat berupa seruan yang indah dan menenangkan hati, seperti
luqman dalam awal ayat senantiasa memanggil anaknya dengan panggilan yang indah
lagi menyejukkan hati.
Nilai-nilai pendidikan Islam pada hakikatnya merupakan perkumpulan dari
prinsip hidup, ajaran tentang bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupannya di
dunia ini, yang saling berhubungan membentuk satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat
dipisahkan. Dengan demikian, pada dasarnya Islam adalah suatu sistem, sepaket dengan
nilai-nilai yang dihubungkan bersama untuk membentuk apa yang disebut teori-teori
Islam secara umum (Fitriyah & Ulwiyah, 2019).
Sedangkan Anshori (Ansori, 2017) membagi bentuk penanaman nilai pendidikan
Islam dalam beberapa bagian yakni;
1) Ketauladanan
2) Penyesuaian
3) Pemberian nasihat/masukan
4) Pemberian sanksi/punishment
Mengutip dari Nashuddin (2020) dalam menentukan tahapan dalam membentuk
nilai pendidikan adalah sebagai berikut.
1) Tahap menerima (receiving)
Tahap ini merupakan proses penerimaan stimulus secara terarah dan tertata.
2) Tahap memahami (responding)
Tahap ini merupakan proses penerimaan titik balik secara riil
3) Tahap pemberian nilai (valueing)
Masuk ke tahap ini sudah mulai membangun bayangan sungkat mengenai
suatu objek
4) Tahap pengorganisir nilai (organizing)
Setelah melewati tahap pemberian nilai maka pada tahap ini sudah dapat
mengolah nilai tsb ke suatu system yang telah dibuat
5) Tahap pembagian nilai (characterizing)
Tahapan ini dilalui apabila ada pada tahap-tahp sebelumnya masih belum
dapat ditemui atau kurang cocoknya sesuatu yang menyebabkan perlu
dilakukan tahapan ini.
Keberadaan nilai pendidikan agama, khususnya Islam juga sangat berpengaruh
pada kehidupan sehari-hari, bisa kita perhatikan bersama dari lingkungan sekitar kita.
Jika ada anak yang sedari kecil belum mempelajari tentang agama, akan ada perbedaan
saat ia dewasa nanti.

3. Integrasi-Interkoneksi Nilai Pendidikan Islam di Madrasah


Proses dikotomi ilmu memang mudah ditemui dalam kajian ilmu agama, maka
dengan diadakannya konsep integrasi-interkoneksi dapat menjadi solusi atas permasalahan
ini. Madrasah sebagai wadah untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam merupakan
suatu tempat yang pas, walaupun proses penyampaian ilmu tidak hanya beralngsung di
pendidikan akan tetapi esensi yang di dapatkan tentunya akan berbeda, maka pendidik juga di
haruskan untuk siap dalam segala keadaan baik keadaan peserta didiknya maupun keadaan
madrasahnya.
Apalagi dengan terus berkembangnya ilmu pengetahuan baik pengetahuan alam
maupun social maka kajian ilmu keagamaan juga sudah sepatutnya untuk terus mengkaji
bahasan bahasan agama yang seuai dengan perkembangan pengetahuan tanpa menimbulkan
keyakinan yang baru, cukup dengan pendalaman atau pembahasan ulang materi yang telah
dikaji.
Pada dasarnya perkembangan ilmu tidak perlu untuk dikotomikan, karena antara
kajian ilmu agama ilmu sains merupakan satu kestauan yang tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lainnya, keduanya harus berjalan selaras dengan porsi nya masing-masing. Kita
ketahui bahwa kajian ilmu agama berdasar pada nash yang tidak dapat diubah, bebeda
dengan kajian ilmu alam atau social yang landasannya berdasar pada pengalaman yang sudah
dilewati dan dapat diubah atau diganti apabila ditemukannya ada yang tidak sesuai.
Sebenarnya konsep dari nilai pendidikan Islam tidak sulit untuk diketahui, karena
pelakasanaanya secara tidak sadar sudah terlaksana karena adanya pembiasaan sehingga kita
tidak asing dalam konsepnya akan tetapi dalam pelaksanaanya di lapangan masih banyak
yang harus di koreksi kembali. Aspek yang dapat diberikan sebagai nilai pendidikan Islam di
madrasah dapat berupa sikap religiusitas kepada Sang Maha Pencipta, sikap saling
menghormati kepada sesama, dan perilaku kita terhadap alam dan lingkungan sekitar.
Kajian keagamaan merupakan wadah yang ampuh sebagai penanaman nilai-nilai
pendidikan Islam pada peserta didik, jikalau didapai adanya pebedaan maka sebagai pendidik
kita haruslah cerdas dalam mengambil keputusan, yang dengan perbedaan inilah kompetensi
seorang pendidik dapat di ulas. Sedangkan Kajian ilmu tentang integrasi-interkoneksi dan
nilai pendidikan Islam sangatlah panjang jika diuraikan secara menyeluruh, bahkan jurnal
yang membahas 2 topik ini sangatlah banyak akan tetapi jika bahasan tentang kajian 2 ilmu
ini agak sulit untuk ditemukan.

KESIMPULAN
Usaha pengimplementasian konsep integrasi-interkoneksi harus selalu dilakukan untuk
mengurangi dikotomi ilmu yang dengankeberadaanya telah memisahkan kajian ilmu alam,
social dengan kajian ilmu keagamaan yang nantinya dapat memengaruhi pemahaman akan
sesuatu karena didalamnya telah terjadi pemilahan dan pemisahan.
Pengadaan integrasi-interkoneksi dalam nilai pendidikan Islam di madrasah dapat menjadi
suatu pedoman bagi dunia pendidikan di kemudian hari. Pendekatan secara integrasi-
interkoneksi sangatlah cocok digunakan dalam nilai pendidikan Islam. Karena ada sebagian
yang sudah mendikotomi kajian ilmu ini, maka tulisan ini dapat digunakan dalam mengtahui
apa yang sebenarnya harus kita lakukan dan dapat menjadi suatu bahan dalam melihat
mengkaji apabila kedepannya kita ditemui pada diktotom ilmu. Di madrasah sendiri proses
internalisasi nilai Islam sudah dilakukan dengan baik dari segi kuantitas nya hanya perlu
ditingkatkan lagi pada kualitas nya pada setiap peserta didik, agar potensi yang mereka miliki
dapat digunakan dengan optimal dikemudian hari. dapat saya katakana bahwa urusan ini
sangatlah krusial bagi pendidik. maka dalam tulisan ini saya mencoba untuk membuat materi
dengan judul “Integrasi-Interkoneksi Nilai Pendidikan Islam di Madrasah” dengan segala
kemampuan yang saya miliki

Anda mungkin juga menyukai